PROFIL PERESEPAN OBAT PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT SUMEDANG
KARYA TULIS ILMIAH
Adinda Mutiara Islami 23131110
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG PROGRAM STUDI DIPLOMA III BANDUNG 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah
Asma bronkial merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak - anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mengancam jiwa seseorang. Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran nafas secara menyeluruh. Penyebab pasti penyakit asma masih belum diketahui secara j elas (WHO, 2014). Tetapi, faktor resiko umum yang mencetuskan asma yaitu udara dingin, debu, asap rokok, stress, infeksi, kelelahan, alergi obat dan alergi makanan (RISKESDAS, 2013). Asma tidak bisa disembuhkan, tetapi dengan tatalaksana yang tepat, asma dapat terkontrol dan kualitas hidup terjaga. Asma dapat terjadi pada siapa saja tua – muda, berbagai usia, laki – laki maupun perempuan. Menurut WHO ( World Health Organization) tahun 2011, 235 juta orang di seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8% di negara - negara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah. National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2011 mengatakan bahwa bahwa prevalensi asma menurut usia sebesar 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% laki - laki dan 9,7% perempuan. Berdasarkan laporan hasil RISKESDAS tahun 2013 prevalensi Asma di Indonesia adalah 4,5%, meningkat sebesar 1% dari laporan hasil RISKESDAS tahun 2007. Berdasarkan hasil survei The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) prevalensi Asma pada anak usia 13-14 tahun di Indonesia adalah 2,1%. Kontrol asma di Indonesia masih rendah. Rendahnya kontrol asma paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor dokter dan penderita. Dilihat dari peran dokter dalam penelitian Rabe dkk menunjukkan bahwa penggunaan obat pengontrol asma seperti kortikosteroid inhalasi pada pasien asma masih sangat rendah. Sedangkan dilihat dari peran pasien, pasien juga merasa bahwa asma yang dideritanya sudah terkontrol terkontrol baik. Sebanyak 89% orang tua cukup puas dengan obat yang diterima anaknya meskipun asmanya masih bergejala dan tidak terkontrol. Tujuan terapi asma adalah untuk mencapai dan memelihara kontrol manifestasi klinik penyakit pada periode yang lebih lama. Terapi asma di bagi menjadi 2 kelompok, controller
(pengontrol) dan reliever (pelega). Obat pengontrol harus digunakan setiap hari untuk mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan mencegah serangan akut dan Kelompok obat pelega digunakan ketika terjadi serangan akut seperti mengi (wheezing ), sesak dada dan batuk. Farmasi berperan cukup besar dalam peningkatan dan memelihara kontrol asma dan kualitas hidup. Keberhasilan dalam peningkatan kontrol asma kualitas hidup pasien asma baik yang dewasa maupun anak – anak tidak terlepas dari peran farmasi dalam memberikan informasi mengenai penyakit asma, rekomendasikan penggunaan inhaler secara tepat kepada pasien, mengingatkan kembali indikasi yang diberikan oleh dokter dan kemungkinan efek samping. Dari uraian di atas dan masih tingginya prevalensi penyakit Asma, sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul “PROFIL PERESEPAN OBAT PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT SUMEDANG” Sebagai Karya Tulis Ilmiah. 1.2
Batasan Masalah
Agar didalam penelitian ini dapat terarah dan mendapatkan hasil yang diinginkan maka peneliti hanya membatasi penggunaan obat asma bronkial yang digunakan oleh pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Sumedang pada periode Januari – Juni 2016. 1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut ini : 1.
Bagaimanakah karakteristik pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang yang meliputi distribusi jenis kelamin dan umur pasien anak ?
2.
Bagaimana gambaran umum peresepan pasien asma bronkial Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang yang meliputi jumlah jenis obat, golongan obat dan cara pemberian obat ?
1.4
Tujuan Penelitian a.
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peresepan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang.
b.
Tujuan Khusus
Penelitian tentang pola peresepan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang secara khusus bertujuan untuk : 1)
Mengetahui gambaran kasus asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang periode Januari – Juni 2016 yang digolongkan berdasarkan jenis kelamin dan umur pasien.
2)
Mengetahui gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang periode Januari – Juni 2016 yang meliputi jumlah jenis obat, golongan obat dan cara pemberian obat.
1.5
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tinjauan pola peresepan pasien asma bronkial anak , maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan penelitian tentang persepan pasien asma bronkial.
2.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diarapkan dapat memberikan masukan bagi Rumah Sakit Sumedang sebagai bahan pertimbangan dalam pengobatan khususnya pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
RSUD Kabupaten Sumedang
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang merupakan rumah sakit dengan tipe B Non Pendidikan dan sebagai salah satu sarana kes ehatan tempat menyelenggarakan kegiatan memelihara dan meningkatkan kesehatan (upaya kesehatan) di wilayah Kabupaten Kota Sumedang beralamat di Jl. Palasari No. 80/Jl. Prabu Geusan Ulun No. 41. RSUD Kabupaten Sumedang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam berbagai unit pelayanan yang terdiri dari :
2.2
a.
Pelayanan Instalasi Rawat Darurat (IRD)
b.
Pelayanan Instalasi Rawat Jalan
c.
Pelayanan Instalasi Rawat Inap
d.
Pelayanan Instalasi Bedah Sentral (IBS)
Instalasi Rawat Inap
Instalasi rawat inap merupakan unit pelayanan non struktural yang menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan rawat inap. Rawat inap adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan profesional akibat penyakit tertentu, dimana pasien dirawat dan tinggal di rumah sakit untuk jangka waktu tertentu. (Anggraini,2008). Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sumedang menangani 10 besar penyakit yang banyak di derita oleh masyarakat. Sebagai berikut : NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diagnosa ESRD STROKE OBS FEBRIS GEA VULNUS LACERATUM DISPEPSIA ASPHYXIA SEDANG/RINGAN ASTHMA BRONCHIALE MILD HEAD INJURY DENGUE FEVER
Jumlah 12833 1881 1471 1214 1024 855 816 767 613 608
Tabel 1. 10 besar penyakit di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sumedang tahun 2015
2.3
Penyakit Asma Bronkial ( Asma )
2.3.1
Definisi Asma Bronkial
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah -engah” dan berarti serangan napas pendek. Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan gejala bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas, biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (GINA, 2011). Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan nafas (Corwn, 2009). Menuut Jeremy dkk(2008), asma dapat didefinisikan sebagai peningkatan responsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus, bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas yang meluas yang keparahannya berubah secara spontan maupun sebagai akibat pengobatan.
Gambar 1. Penampang saluran nafas pada keadaan norma dan pada asma bronkial (dikutip dari Adam)
Yang utama secara klinis pada asma bronkial adalah kesulitan pernapasan yang parah dengan kurangnya oksigen dalam jaringan. Akibat spasmus otot polos bronkhioli dan bronkus kecil serta akibat adanya lendir yang kental dalam lumen bronkus yang menyempit ini, akan terjadi ekspirasi yang sulit dan berdengik serta diperlambat. 2.3.2
Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Asma Bronkial
1.
Asma Bronkial Intermiten Gejala-gejala kurang dari satu kali perminggu, kekambuhan (eksaserbasi) sebentar, gejala-gejala di malam hari tidak lebih dari dua kali per bulan, APE (Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 80% prediksi, variabilitas APE < 20%.
2.
Asma Bronkial Persisten Ringan Gejala-gejala lebih dari sekali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari, eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur, gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan, APE ≥ 80% prediksi, variabilitas APE < 20 -30 %.
3.
Asma Bronkial Persisten Sedang Gejala-gejala setiap hari, eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur, gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan, APE ≥ 80% prediksi dan variabilitas APE > 30%.
4.
Asma Bronkial Persisten Berat Gejala-gejala setiap hari, eksaserbasi sering kali, gejala-gejala Asma Bronkialdi malam hari sering kali, keterbatasan aktivitas fisik, APE < 60% prediksi, variabilitas APE > 30%.
2.3.3
Faktor Risiko Asma Bronkial
Asma dapat disebabkan oleh beberapa faktor, secara umum faktor resiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor dasar dan faktor pencetus 1.
Faktor dasar Faktor dasar adalah faktor yang sudah ada pada diri manusia itu untuk timbulnya asma
2.
a)
Hiperaktivitas
b)
Atopi/alergi bronkus
c)
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d)
Jenis kelamin
e)
Ras/etnik
Faktor pencetus a)
Alergan merupakan faktor pencetus utama yang sering dijumpai pada penderita asma
b)
Lingkungan kerja dan polusi udara (lingkungan dekat pabrik, as ap rokok )
c)
Perubahan cuaca
d)
Infeksi saluran napas
e)
Ekspresi emosi berlebih
f)
Obat-obatan seperti golongan aspirin
g)
Kambuh asma karena melakukan aktifitas tertentu.
2.3.4
Patogenesis Asma Bronkial
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. 1.
Jalur imunologis (asma ekstrinsik) Jalur imunologis merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi) yang diperantai oleh imonoglobulin E yang selanjutnya disebut Ig E, yang dapat membentuk anti bodi Ig E bila terkena alergan. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
2.
Jalur saraf otonom Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
2.3.5
Penatalaksanaan Asma Bronkial
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari – hari. Penatalaksanaan secara umum penyakit asma, meliputi : 1)
Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi dari asma antara lain : a)
Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalksanaan asma. Edukasi kepada pasien / keluarga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri), meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri), meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri, serta membantu pasien agar melakukan penatalksanaan dan mengontrol asma.
2)
b)
Pengukuran peak flow meter
c)
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d)
Pemberian oksigen
e)
Banyak minum untuk menghindari dehidrasi
f)
Kontrol secara teratur
g)
Pola hidup sehat
Terapi farmakologi
Pada prinsipnya pengobatan terapi farmakologi asma dibagi menjadi 2 jenis pengobatan, yaitu (Sugiyanti,2007) : a)
Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot – otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk bernafas, memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi serangan asma.
b)
Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu mencegah timbulnya serangan asma.
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Kelompok pertama adalah obat pereda atau pelega atau obat serangan. Obat pelega (reliever) asma ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik (Taufik, 2009). 1)
Obat pengendali (controller)
Kortikosteroid inhalasi dan sistemik Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan untuk penderitas asma semua umur. Kortikosteroid dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi hiperresponsive dan mengurangi gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup (GINA,2005).
Leukotriens Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini dapat mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan menurunkan gejala sma (GINA,2005).
Long acting β2 Agonist (LABA) Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam, dan meningkatkan fungsi paru.
Teofilin lepas lambat Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma. Obat ini bekerja dengan merelaksasi secara langsung oto polos bronki dan pembuluh darah pulmonal.
2)
Obat pereda ( Reliever) Terapi farmakologi obat pereda yang diterapkan dalam NAEPP, antara lain :
Bronkodilator Bronkodilator menyebabkan relaksasi otot-otot polos yang berada di saluran pernafasan dengan cara merangsang sistem adrenergik dengan adrenergik atau melalui penghambatan sistem kolinergik dengan antikolinergik. Bronkodilator sendiri terdiri atas 3 golongan yaitu : a)
Simpatomimetikum (β2 Agonist ) Obat golongan ati asma golongan simpatomimetik bekerja dengan jalan merangsang reseptor – reseptor sehingga mengurangi pelepasan mediator
dari sel inflamasi. Contoh obat simpatomimetik adalah salbutamol, dan terbutalin. b)
Xantin Penggunaan secara terus menerus pada terapi pemeliharaan ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Kerja xantin yakni menghambat fofodiesterase yang memecah siklik AMP. Contoh obat xantin adalah teofilin dan aminopilin.
c)
Antikolinergik Merupakan bronkodilator yang cukup efektif dan mengurangi sekresi mukus. Mekanisme kerja antikolinergik yakni memblok reseptor muskarin dan saraf-saraf kolinergik di otot polos bronki, sehingga aktivitas saraf adrenergik menjadi dominan dan mengakibatkan efek bronkodilatasi. Contoh obat antikolinergik adalah ipratropium bromida dan tiotopium.
Kortikosteroid Kortikosteroid yaitu obat anti alergi dan anti peradangan contohnya metil prednisolon, hidrokortiso. Cara kerjanya sebagai anti alergi yang kuat, mengurangi
pembengkakan
saluran
nafas
dan
memperbaiki
kerja
bronkodilator yang melemah. Terapi farmakologi sebagai penunjang pengobatan asma yang direkomendasikan pada NAEPP dan standar lain, antara lain :
Antibiotik Penggunaan antibiotik tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertain infeksi bakteri yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif.
Mukolitik Mukolitik bekerja menurunkan viskositas mukus atau dahak, sehingga memeudahkan ekspektorasi. Biasanya digunakan pada kondisi dimana dahak cukup kental dan banyak.
Ekspektoran Ekspektoran ditujukan untuk merangsang batuk sehingga memudahkan pengeluaran dahak / ekspektorasi.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang pola peresepan penyakit asma bronkial pada pasien di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang merupakan jenis penelitian observasional yaitu penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subyek menurut keadaan apa adanya tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti. Rancangan penelitian yaitu deskriptif non analitik artinya penelitian yang hanya menyuguhkan sedeskriptif mungkin fenomena yang ada, tanpa menganalisa bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi. Cara pengambilan data dilakukan melalui rekam medik secara retrospektif. Pendekatan retrospektif yaitu data yang diambil setelah peristiwa terjadi atau setelah pelayanan dilakukan (Notoadmodji,2010). 3.2
Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar Rekam Medik (RM) yang memenuhi kriteria inkulasi yaitu rekam medik yang lengkap mencakup identitas, diganosa penyakit asma tanpa penyakit penyerta, tidak mengalami pe rulangan dalam perawatan di rumah sakit dan memulai terapi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang selama rentang waktu 1 Januari sampai 30 Juni 2016. 3.3
Populasi dan Sampel a.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh resep obat asma bronkial yang digunakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang dengan jumlah 115 resep. b.
Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo,2010). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan teknik sampel jenuh. Sampel jenuh adalah teknik penentuan sampel dimana semua anggota populasi dijadikan sebagai sampel. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh resep obat asma bronkial yang diresepkan oleh dokter di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang periode Januari – Juni 2016 dengan jumlah sampelnya adalah semua populasi yaitu 115 resep, jadi sampel pada penelitian ini merupakan sampel jenuh.
BAB IV DESAIN PENELITIAN 4.1
Prosedur Penelitian
Jalannya penelitian dilakukan dalam tiga tahap, pertama adalah tahap perencanaan, tahap kedua adalah pengambilan data, sedangkan tahap ketiga adalah melakukan pencatatan serta pengolahan hasil dan pembahasan. a.
Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan meliputi analisis situasi dan penentuan masalah. Analisis situasi dilakukan dengan mencari data penyakit terbanyak yang terjadi di Rumah Sakit Sumedang tahun 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase kejadian asma bronkial cukup besar dan termasuk 10 besar penyakit yang sering terjadi di Instalasi Rawat Inap. Melihat terapi pada pasien asma memerlukan perhatian khusus, maka diangkat masalah peresepan asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang. b.
Tahap Pengambilan Data
Proses pengambilan data diawali dengan penelusuran data pasien yang diperoleh dengan melihat laporan sub-bagian rekam medik yang berupa laporan jumlah kasus pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap yang berisi No. Medrek, tanggal masuk, Nama, Umur, Jenis kelamin, dan diagnosis. Kemudian dilakukan pengambilan data pada lembar-lembar rekam medik sesuai jumlah sampel yang ada. c.
Tahap Pencatatan dan Pengolahan Data
Yaitu dengan mencatat informasi tiap pasien yang ada dilembar rekam medik data yang diambil meliputi nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, hasil diagnosis, obat yang diberikan, dosis, cara pemberian obat, bentuk sediaan obat dan keterangan pasien lainnya. Data yang diperoleh kemudian diolah, hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan disertai uraian pembahasannya. 4.2
Analisis Data
Data yang sudah didapat dan dicatat dikelompokkan serta diidentifikasi secara deskriptif sesuai dengan diagnosis masing-masing untuk memperoleh informasi tentang : a.
Penghitungan jumlah pasien penderita asma bronkial Jumlah yang dihitung berasal dari rekam medis pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sumedang yang di diagnosis asma tanpa disertai penyakit penyerta serta memenuhi
kriteria inklusi selama periode Januari sampai Juni tahun 2016 dan datanya digunakan sebagai bahan penelitian. b.
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dan umur Jenis kelamin dan umur dihitung dari seluruh pasien terdiagnosis utama asma yang dijadikan sebagai bahan penelitian di instalasi rawat inap. Kemudian dihitung persentasenya dimana umur pasien dikelompokkan berdasarkan rentang usia pasien yaitu 0 - 17 tahun, 18 – 45 tahun, 46 - >60 tahun.
c.
Persentase jenis dan golongan obat yang digunakan Persentase jenis dan golongan obat dihitung dengan mengelompokkan jenis dan golongan obat kemudian dicari persentasenya dari jumlah total penggunaan. Persentase golongan dan jenis obat yang diberikan dihitung dari jumlah kasus yang diteliti dibagi total dikalikan 100%.
d.
Cara pemberian obat yang digunakan Disajikan menurut jenis bentuk sediaan tertentu, disertai jumlah obat yang memiliki bentuk sediaan tersebut. persentase sediaan obat yang diberikan dihitung berdasarkan jumlah yang memiliki bentuk sediaan tersebut dibagi jumlah total penggunaan dikalikan 100%.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengambilan data Rekam Medik di Depo Farmasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sumedang yang terdiagnosis asma bronkial selama periode Januari sampai dengan Juni 2016 sebanyak 115 pasien. 5.1
Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sumedang periode Januari – Juni 2016 digolongkan berdasarkan jenis kelamin pasien dan umur pasien. 1.
Jenis Kelamin
Tujuan distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin untuk mengetahui pasien perempuan atau laki – laki yang rentan terkena serangan penyakit asma. Perbandingan junlah dan persentase dari pasien laki-laki dan perempuan pada pasien asma bronkial di Intslasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016 adalah 59,13 % untuk jenis kelamin perempuan dan 40,87 % untuk jenis kelamin laki-laki. Tabel 1. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan jenis kelamin di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis Kelamin
Jumlah pasien
Persentase (%)
1
Perempuan
68
59,13 %
2
Laki – laki
47
40,87 %
Jumlah
115
100 %
Data penelitian di atas menunjukan, bahwa pasien asma bronkial dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak bila dibandingkan dengan pasien asma bronkial yang berkelamin lakilaki. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh komite NAEPP dan hasil RISKESDAS 2013, dimana perbandingan prevalensi asma lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki pada usia dewasa. Pada awal mulanya persentase pengidap asma lebih banyak diderita oleh anak lelaki, namun seiring perkembangan usia predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perbedaan ukuran rongga dada, dimana semakin dewasa seorang pria, saluran per napasannya akan semakin lebar sedangkan wanita pertumbuhan saluran pernapasannya hanya berkembang
lebih sedikit. Faktor hormonal dan imunologi juga dapat disebut sebagai pemicu berkembangnya asma pada perempuan. 2.
Umur Pasien
Tujuan distribusi berdasarkan usia ini untuk mengetahui rentang usia pasien yang paling rentan terkena serangan asma. Rentang usia diambil berdasarkan Departemen Kesehatan. Berdasarkan umurnya, pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang dikelompokkan dalam 3 kelompok. Yang terdistribusi dalam persentase sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi pasien asma bronkial berdasarkan umur di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Umur Pasien
Jumlah pasien
Persentase (%)
1
0 – 17 tahun
59
51,30 %
2
18 – 45 tahun 46 - diatas 60 tahun Jumlah
30
26,11 %
26
22,61 %
115
100 %
3
Data penelitian diatas menunjukkan bahwa pasien asma bronkial dapat dimulai dan menyerang pada segala usia. Pada usia balita dan anak – anak memiliki tempat tertinggi rentannya terkena asma serangan asma pada anak dapat diakibatkan karena saluran napas yang mereka miliki masih sangat kecil, sehingga mudah sekali menyempit jika terinfeksi. Asma Bronkial pada orang dewasa dapat merupakan kelanjutan Asma Bronkial yang terjadi pada masa kanak-kanak, atau Asma Bronkial yang kambuh lagi atau yang memang pertama kali muncul pada usia dewasa. Sedangkan asma pada lanjut usia mengalami penurunan hal ini sesuai dengan data hasil RISKESDAS 2013, dimana Prevalensi asma pada kelompok umur ≥45 tahun mulai menurun. Kejadian asma pada lanjut usia dapat disebabkan karena fungsi organ tubuh sudah menurun.
5.2
Gambaran Umum Peresepan
Pada penelitian ini gambaran umum peresepan pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sumedang pada periode Januari sampai dengan J uni 2016 dapat dilihat dari beberapa variabel, antara lain : jumlah jenis obat, golongan obat, jenis obat, cara pemakaian obat dan interaksi obat.
1.
Jumlah jenis obat
Jumlah jenis obat yang dipakai untuk pengobatan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang adalah 5 – 8 jenis macam obat dengan jumlah obat terbanyak yang diberikan adalah 5 macam obat pada 53 pasien. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma bronkial tidak diberikan dalam umlah dan waktu yang bersamaan, tetapi menurut selang waktu dan dosis tertentu berdasarkan pada unit dose dispensing, yaitu distribusi obat yang diberikan pada pasien menurut dosis yang dibutuhkan selama masa perawatan di Instalasi Rawat Inap. Tabel 3. Jumlah jenis obat yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis Obat
1
5 jenis
Jumlah pasien (n) 53
2
6 jenis
43
37,39 %
3
7 jenis
15
13,04 %
4
8 jenis
4
3,48 %
Jumlah
115
100 %
Persentase (%) 46,09 %
Jumlah macam obat yang bervariasi diantara pasien asma bronkial disebabkan perbedaan diagnosis yang diberikan oleh dokter berdasarkan gejala-gejala yang dialami pasien. Jumlah obat yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keparahan dari penyakit berdasarkan diagnosis yang diberikan, misal pada pasien yang terdiagnosis asma bronkial yang tergolong ringan diberikan 3 – 4 macam obat ( 1 bronkodilator, 1 anti-mikroba, 1 obat saluran pencernaan dan 1 mukolitik ). Pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016 sebagian besar (46,09%) mendapat 5 macam obat dan yang terbanyak hingga 8 jenis obat mendapatkan persentas terendah yaitu 3,48 %. Macam obat yang bisa diberikan antara lain bronkodilator, pengganti kalori tubuh, anti-mikroba, analgesik, mukolitik, kortikosteroid, antihistamin, dan obat saluran pencernaan. Menurut Sundaru, perbedaan jumlah obat yang diberikan disebabkan oleh sifat variabilitas dan individualitas dari pasien asma dengan respon pengobatan tiap pasien berbeda beda. Jumlah obat yang diberikan menunjukkan bahwa dalam proses terapi penyakit asma tidak hanya khusus untuk asma saja, tetapi juga untuk gejala -gejala yang menyertainya. Hal ini sesuai dengan tujuan pengobatan asma yakni menghilangkan atau meperingan geja la sehingga pasien asma bronkial dapat beraktifitas secara normal.
2.
Golongan Obat
Golongan obat yang digunakan oleh pasien penderita asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016 meliputi golongan anti asma (bronkodilator, kortikosteroid) dan obat-obat tambahan seperti antialergi, mukolitik, antibiotik dan analgesik antipiretik. Tabel 4. Golongan obat yang digunakan pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Golongan Obat
Jumlah obat (n)
Persentase (%)
1
Bronkodilator
102
16,68 %
2
Pengganti kalori tubuh
115
18,79 %
3
Kortikosteroid
95
15,52 %
4
Mukolitik
63
10,29 %
5
Antibiotik
96
15,69 %
6
Antihistamin
49
8,00 %
7
Analgesik
36
5,88 %
8
Obat Saluran Pencernaan
53
8,66 %
9
Vitamin
3
0,49 %
Jumlah
612
100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa golongan obat anti asma yang paling banyak digunakan adalah bronkodilator (16,68%) yang hampir sama banyak dengan penggunaan obat kortikosteroid (15,52%). Kortikosteroid merupakan terapi utama dalam pengobatan asma sesuai dengan pedoman tatalaksana asma DAI 2011. Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan jumlah dari sel yang terinflamasi. Bronkodilator digunakan untuk mengatasi terjadinya penyempitan jalan udaran. Obat-obat golongan bronkodilator terdiri dari antikolinergik, simpatomimetik, dan metil xantin. Golongan obat lain yang banyak digunakan dalam terapi penunjang asma adalah antibiotik (15,96%) antibitik digunakan untuk mengatasi infeksi mikroba yang dapat memperparah asma bronkial, mukolitik (10,29%) mukolitik digunakan untuk mengencerkan dahak, penggunaan obat batuk berguna untuk mengurangi keluhan batuk yang dirasa mengganggu. Batuk terjadi karena adanya rangsangan saluran napas akibat produksi dahak yang berlebihan yang disebabkan karena radang bronkus, obat saluran pencernaan (8,66%) diberikan untuk mengatasi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh sekresi asam lambung
yang berlebihan atau proses pencernaan makanan yang kurang baik, antihistamin (8,00%) bermanfaat untuk mengatasi alergi yang timbul akibat adanya allergan, analgesik antipiretik (5,88%) digunakan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan oleh penyempitan bronkus pada saluran pernapasan dan menurunkan panas, penggunaan analgetik antipiretik dan vitamin (0,49%) tidak mutlak melihat angka presentase yang kecil, karena prinsip terapi untuk asma bronkial adalah mengatasi faktor pencetus sehingga keluhan-keluhan yang lain dapat diatasi. 3.
Jenis Obat yang digunakan
Jenis – jenis obat dari beberapa golongan yang digunakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016 dapat dilihat sebagai berikut : a.
Bronkodilator
Bronkodilator yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 teridir dari golongan Metilxantin (Aminopilin dan Teofilin) sebanyak 56,86% dan golongan simpatomimetikum (Salbutamol dan Protacerol HCL) sebanyak 43,14%. Tabel 5. Jenis obat bronkodilator yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No 1
2
Jenis Obat Golongan Bronkodilator
Jumlah obat
Persentase (%)
a. Aminopilin
27
26,47 %
b. Retaphyl (Teofillin)
31
30,39 %
a. Salbutamol
23
22,55 %
b. Meptin syrup (protacerol hcl)
21
20,59 %
102
100 %
Metilxantin
Simpatomimetikum
Jumlah
Dalam penggunaan asma secara umum, teofilin dan aminopilin merupakan pilihan yang baik untuk mengatasi onbstruksi saluran napas, menghambat reaksi lambat tetapi tidak mempunyai efek terhadap hiperreaksi bronkus dan dapat memperkuat kerja otot diafragma. Teofilin digunakan untuk mengatasi obstruksi saluran napas, dimana cara kerjanya yaitu menekan pelepasan mediator peradangan yang ditimbulkan oleh alergan dari sel mastosit yang disensitisasikan oleh IgE. Aminofilin merupakan bentuk garam dari teofilin yang larut dalam air bekerja dengan mengurangi pembebasan mediator. Penggunaan golongan metilxantin lebih
banyak dibandingkan dengan penggunaan simpatomimetikum, hal ini bisa dikarenakan golongan metilxantin dapat mengatasi gejala dengan onset lebih lama dibanding golongan simpatomimetikum. Penggunaan simpatomimetikum sebagai bronkodilator dapat merelaksasikan oto polos saluran pernapasan dan menghambat pelepasan senyawa bronkokontriksi dari mediator pencerus alergi. Salbutamol dan protacerol HCL termasuk golongan simpatomimetikum yang memiliki toksisitas sitsemik rendah dibanding dengan aminopilin dan teofilin, serta lebih efektif bila digunakan dalam sediaan inhalasi, karena efek dari zat-zat golongan simpatomimetikum lebih cepat menuju ke saluran pernapasan. b.
Pengganti cairan tubuh
Pada perawatn pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit diberikan beberapa cairan elektorlit dianataranya D5 %, Kaen 3B, dan Ringer Laktat. Sediaan rehidrasi hanya perlu diberikan untuk mengkoreksi dehidrasi akibat efek diuretik dari teofilin dan kehilangan cairan yang tak terasakanberasal dari peningkatan ventilasi dan pasien yang sukar untuk minum akibat dari susahnya bernapas. Tabel 6. Pemberian cairan elektrolit pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
c.
No
Jenis cairan
Jumlah kasus
Persentase (%)
1
D5%
58
50,43 %
2
Kaen 3B
27
23,48 %
3
RL
30
26,09 %
Jumlah
115
100 %
Kortikosteroid
Jenis obat golongan kortikosteroid yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 adalah metil prednison sebanyak 56,84% dan deksametason sebanyak 43,16%. Tabel 7. Jenis obat kortikosteroid yang diberikan pada pasien asma di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis obat
Jumlah obat
Persentase (%)
1
Metil prednison
54
56,84 %
2
Deksametason
41
43,16 %
95
100 %
Jumlah
Kortikosteroid sangat berpotensial dan efektif sebagai antiinflamasi. Inhalasi kortikosteroid dan kortikosteroid oral pada umumnya dapat digunakan untuk pengobatan jangka panjang pada asam persisten. Namun di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang hanya menggunakan kortikosteroid sistemik yaitu metil prednison dan deksametason. Kortikosteroid yang digunakan pada subjek penelitian telah sesuai dengan standar NAEPP tahun 2007. Deksametason direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan RI pada Pharmaceutical Care untuk penyakit asma tahun 2007. Mekanisme kerja kedua obat yang diberikan sama yakni antiinflamasi dengan memblok alergan dan menurunkan jumlah sel yang terinflamasi. d.
Mukolitik
Jenis obat golongan mukolitik yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 sebagian besar menggunakan obat ambroxol yaitu sebanyak 92,06 % dan Vestein s ebanyak 7,94 %. Tabel 8. Jenis obat mukolitik yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis obat
1
Ambroxol
2
Vestein Jumlah
Jumlah obat
Persentase (%)
58
92,06 %
5
7.94 %
63
100 %
Obat batuk digunakan untuk meredakan batuk yang terjadi sebagai usaha pembebasan saluran napas akibat produksi dahak yang berlebihan. Pada penderita asma selain memproduksi dahak berlebih, kualitas dahak yang dihasilkan juga sangat kental karena tubuh penderita kekurangan cairan sehingga sukar untuk dikeluarkan. Mukolitik mengurangi kentalnya dahak dengan cara mengubah mukoproteinnya. Obat ini dapat meringankan perasaan sesak napas pada serangan asma yang terjadi sumbatan lendir kental sehingga dapat dikeluarkan. Ambroxol lebih banyak digunakan karena merupakan metabolit aktif yang stabil karena dapat mempercepat ekspektoransi mengurangi viskositas sputum pada asma. e.
Antibiotik
Jenis obat golongan Antibiotik yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 adalah golongan Kuinolon (Ciprofloksasin) sebanyak 15,63%, golongan Sefalasoporin (Ceftriaxon, Cefotaxim) dimana
yang paling banyak digunakan adalah Cefotaxim sebanyak 61,46% dan Ceftriaxon 17,71%, dan golongan Penisilin (Amkosilin) sebanyak 5,21%. Tabel 9. Jenis obat antibiotik yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
Jenis Obat Golongan Bronkodilator
No 1
Jumlah obat
Persentase (%)
15
15,63 %
a. Ceftriaxon
17
17,71 %
b. Cefotaxim
59
61,46 %
a. Amoksilin
5
5,21 %
Jumlah
96
100 %
Kuinolon a. Ciprofloksasin
2
3
Sefalosporin
Penisilin
Antibiotik merupakan terapi tambahan yang hanya diberikan bila ada indikasi klinis infeksi bakterial. Kondisi ini sangat menuntut penentuan diagnosis yang tepat penyebab infeksi yang timbul. Berdasarkan tabel diatas antibiotik golongan sefalosporin lebih sering digunakan pada pengobatan asma. Hal ini dikarenakan sefalosporin lebih aktif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif . mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel mikroba, sama halnya dengan golongan penisilin yang aktif terhadapa bakteri gram positif dan negatif. Penggunaan cefotaxim parenteral lebih ban yak digunakan dibanding dengan antibitoik lain, hal ini dikarenakan cefotaxim memiliki waktu paruh plasma hanya 1 jam. Penggunaan antibiotik golongan kuinolon lebih sedikit dibanding golongan lain, hal ini dikarenakan daya antibakteri kuinolon terhadap bakteri gram positif sangat kurang atau lemah. f.
Antihistamin
Jenis obat golongan anti histamin yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 adalah cetrizin yang paling banyak digunakan sebanyak 85,71 % kemudian intunal yang mengandung Dexchlorpheniramine Maleat sebanyak 14,29 %.
Tabel 10. Jenis antihistamin yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis obat
Jumlah obat
Persentase (%)
1
Cetrizin
42
85,71 %
2
Intunal
7
14,29 %
49
100 %
Jumlah
Pemberian antihistamin merupakan salah satu upaya untuk mengobati infeksi yang timbul karena pasien alergi terhadap suatu alergan. Obat-obat antihistamin ini mengatasi alergi dengan menghambat pelepasan mediator-mediator histamin oleh sel mastosit pada saluran pernapasan sehingga bronkus tidak mengalami konstriksi (Tjay dan Raharja, 2012). g.
Analgesik antipiretik
Jumlah obat analgesik antipiretik yang digunakan adalah 36. Ke 36 tersebut adalah paracetamol yang merupakan golongan analgesik anti-piretik non opioid. Tabel 11. Jenis analgesik yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No 1
Jenis obat
Jumlah obat
Persentase (%)
Paracetamol
36
100 %
Jumlah
36
100 %
Penggunaan Analgesik bertujuan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri dan demam yang timbul akibat serangan asma. Parasetamol menjadi obat pilihan karena merupakan obat yang relatif aman dan memiliki efek samping yang ringan jika digunakan sesuai ketentuan. Penggunaan parasetamol secara terus-menerus dengan dosis yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan organ tubuh terutama organ ginjal dan hati. h.
Obat saluran pencernaan
Obat saluran pencernaan yang diberikan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang pada tahun 2016 adalah Lansoprazol sebanyak 43,4 % dan Rantidim 56,6 %.
Tabel 12. Jenis obat saluran pencernaan yang diberikan pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Jenis obat
Jumlah obat
Persentase (%)
1
Lansoprazol
23
43,4 %
2
Ranitidin
30
56, 6 %
53
100 %
Jumlah
Alergan yang masuk kedalam tubuh dapat merangsang reseptor H2, hal ini dapat membuat produski cairan lambung meningkat sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri pada daerah lambung. Lansoprazole dan Ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 secara s elektif dan reversibel. Penghambatan reseptor H2 akan menghambat sekresi cairan lambung sehingga pasien terhindar dari nyeri lambung. i.
Vitamin
Pemberian vitamin pada pasien asma bronkial bertujuan untuk memulihkan serta daya tahan tubuh pasien 4.
Cara Pemberian
Pada umumnya cara pemberian (bentuk sediaan) yang digunakan pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang ada tiga macam, yakni oral, parenteral dan inhalasi. Tabel 13. Cara pemberian obat pada pasien asma bronkial di Depo Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016
No
Cara pemberian
Jumlah obat
Persentase (%)
1
Oral
323
49,77 %
2
Parenteral
277
42,68 %
3
Inhalasi
49
7,56 %
649
100 %
Jumlah
Pemberian oral paling banyak digunakan dalam penanganan asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang tahun 2016 yakni sebesar 49,77 %, hal ini berkaitan dengan kenyamanan dan kepathan pasien. Cara pemberian oral memberikan keuntungan, yakni mudah dalam pemberian obat. Pada anak-anak pemberian secara oral akan menghindarkan mereka pada ketakutan pengobatan, jika dibandingkan dengan parenteral ataupun inhalasi.
Pemberian secara parenteral diberikan untuk mengatasi serangan asma yang berat, dimana pemberiaan oral sudah tidak dimungkinkan lagi. Dengan pemberian secara parenteral efek obat akan didapat dengan cepat. Pemberian secara parenteral juga dapat digunakan untuk pendukung terapi yang diberikan, seperti pemberian infus sebagai pengganti ion tubuh. Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Sumedang penggunaan sediaan parenteral mencapai 42,68 %, lebih sedikit dibanding penggunaan oral. Cara pemberian inhalan dalam penanganan asma bronkial, membantu untuk membawa obat langsung ke dalam saluran pernapasan. Biasanya obat-obat ini akan diberikan dengan alat bantu yang disebut dengan nebulizer. Nebulizer merubah bentuk cairan suatu obat menjadi aerosol untuk inhalasi.