NAMA : ESA HABI NUGRAHA NIM
: F1D214028
PRODI : TEKNIK GEOLOGI
Klasifikasi Morfologi Van Zuidam dan Versteppen Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuklahan berdasarkan genesisnya menjadi 10 (sepuluh) macam bentuklahan asal proses, yaitu: 1. Bentuklahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain: kerucut gunungapi, madan lava, kawah, dan kaldera. 2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal struktural. 3. Bentuklahan asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh - contoh satuan bentuklahan ini. 4. Bentuklahan asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline, ovala, polye, goa karst, dan logva, merupakan contoh-contoh bentuklahan ini. 5. Bentuklahan asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain : bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan rusak. 6. Bentuklahan asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: gumuk pasir barchan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal. 7. Bentuklahan asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah: gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat dikatakan bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang
terjadi akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi ini disebut proses fluviomarine. Contoh-contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses fluvio marine ini antara lain delta dan estuari. 8. Bentuklahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini antara lain lembah menggantung dan morine. 9. Bentuklahan asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang. 10. Bentuklahan asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan hasil proses antropogenik Analisa geomorfologi di daerah penelitian didasarkan pada klasifikasi van Zuidam (1983). Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisa di lapangan serta analisa pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur dan kemudian melakukan sayatan morfometri pada peta topografi. Morfometri adalah pembagian geomorfologi berdasarkan pada perhitungan kelerengan dan beda tinggi (van Zuidam, 1979) (Tabel 3.1). Dalam penentuan pewarnaannya menggunakan klasifikasi bentukan asal berdasarkan van Zuidam (1983) (Tabel 3.2). Untuk klasifikasi unit bentukan asal juga mengacu pada van Zuidam (1983), proses denudasional (Tabel 3.3), , proses fluvial (Tabel 3.4). Selain itu juga dengan melakukan pengamatan keadaan morfologi yang ada di lapangan yang meliputi proses yang membentuk dan yang sedang berlangsung pada bentang alam tersebut.
Tabel 3.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam, 1979)
No
Relief
Kemiringan
Beda Tinggi
Lereng ( % ) 0–2
(m) <5
1
Topografi datar atau hampir datar
2
Bergelombang lemah – sedang / Topografi
3–7
5 – 25
3
landai Bergelombang lemah – sedang / Topografi
8 – 13
25 – 75
4
miring (lereng) Bergelombang sedang – perbukitan /
14 – 20
50 – 200
5
Topografi cukup curam Perbukitan – tersayat kuat / Topografi
21 – 55
200 – 500
6
curam Tersayat kuat – pegunungan / Topografi
56 – 140
500 – 1000
7
sangat curam Pegunungan / Topografi Hampir Tegak
> 140
> 1000
Tabel 3.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan (van Zuidam, 1983). No
Genesa
Pewarnaan
1
Denudasional (D)
Coklat
2
Struktural (S)
Ungu
3
Vulkanik (V)
Merah
4
Fluvial (F)
Biru muda
5
Marine (M)
Biru tua
6
Karst (K)
Orange
7
Glasial (G)
Biru muda
8
eolian (E)
Kuning
Tabel 3.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan asal oleh proses denudasional (D), (Van Zuidam, 1983 ) Kod e D1
D2
D3
D4
Unit
Karakteristik umum
Lereng dan perbukitan
Lereng landai – curam menengah
denudasional
(topografi bergelombang – bergelombang
Lereng dan perbukitan
kuat), perajangan lemah – menengah Lereng curam menengah – curam
denudasional
(topografi bergelombang kuat – berbukit),
Perbukitan dan
perajangan menengah - tajam Lereng berbukit curam – sangat curam
pegunungan denudasional
sampai topografi pegunungan, perajangan
Bukit sisa pelapukan dan
menengah – tajam Lereng berbukit curam – sangat curam,
erosi (residual
perajangan menengah. (Bornhardts =
hills/inselbergs)
membulat, curam dan halus, Monadnocks = memanjang, curam; bentuk tidak teratur dengan atau tanpa block penutup, Tros =
D5 D6
D7
Dataran (peneplains)
timbunan dari batuan induk/asal Hampir datar, topografi bergelombang
Dataran yang
lemah – kuat perajangan lemah Hampir datar, topografi bergelombang
terangakat /dataran tinggi
lemah – kuat perajangan lemah -
(upwarped
menengah
peneplains/plateaus ) Kakilereng ( footslopes )
Lereng relatif pendek, mendekati horisontal – landai, hampir datar, topografi bergelombang lemah, perajangan lemah
D8
Piedmonts
Lereng landai – menengah, topografi bergelombang lemah – kuat pada kaki perbukitan dan sone pegunungan yang
D9 D10
D11
Gawir (scarps )
terangkat, terajam menengah Lereng curam – sangat curam, terajam
Rombakan lereng dan
menengah - tajam Lereng landai – curam, terajam lemah –
kipas (scree slopes and
tajam
fans) Daerah gerakan massa
Tidak beraturan, lereng menengah – curam, topografi bergelombang lemah – perbukitan, terajam menengah (slides,
D12
Daerah tandus dengan
slump and flows) Topografi dengan lereng curam – sangat
puncak runcing
curam, terajam menengah (knife – edged,
(badlands)
round crested and castellite types)
Tabel 3.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan asal oleh proses fluvial (F), (Van Zuidam, 1983) Kode F1
Unit River beds
Karakteristik Umum Hampir datar, topografi tidak teratur dengan garis batas permukaan air yang bervariasi mengalami erosi & bagian yang
F2
Lakes
terakumulasi. Tubuh air.
F3
Flood plains
Hampir datar, topografi tidak teratur
Fluvial levees, alluvial
lemah, banjir musiman. Topografi dengan lereng landai,
ridges and point bar
berhubungan erat dengan peninggian dasar
Swamps, fluvial basin
oleh akumulasi fluvial. Topogarafi landai-hampir landai ( swamp
F4
F5
tree vegetation )
F6
Fluvial terraces
Topogarafi dengan lereng hampir datar-
F7
Active alluvial fans
landai, terajam lemah-menengah Lereng landai-curam menengah, biasanya banjir dan berhubungan dengan
F8
Inactive alluvial fans
paninggian dasar oleh akumulasi fluvial. Lereng landai-curam menengah, jarang banjir dan pada umumnya terajam lemahmenengah.
3.1.1
Stadia Daerah Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses - proses geologi yang
telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses – proses tersebut adalah proses endogen (sesar, lipatan) dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi) dan stadia sungai termasuk di dalamnya pola pengaliran yang berkembang. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan morfologi (proses). Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi) (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Stadia daerah (Lobeck, 1939) Suatu daerah dengan stadia muda dapat dicirikan dengan keadaan yang mirip dengan bentuk awal bentang alamnya, gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, erosi
vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun dan terkadang danau. Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang, aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya berbentuk U. Stadia tua dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar, tak dijumpai meander lagi, terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Bilamana suatu daerah berkembang menjadi daerah yang tererosi lanjut, setelah proses tersebut berlangsung maka keadaan permukaan daratan akan mulai menjadi datar, dengan lembah sungai yang lebar. Pada tahap ini proses erosi akan menjadi berkurang dan ketika akan mencapai tahap tua daerah tersebut membentuk bukit-bukit relatif datar dengan lembah yang lebar dan dangkal. Permukaan bumi yang demikian disebut peneplain (hampir rata). Apabila kemudian terjadi epirogenesis atau orogenesis, maka daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh sungai-sungai yang mengalir di daerah tersebut sehingga akan terjadi tingkat erosi daerah muda lagi. Proses ini disebut peremajaan ulang atau rejuvenation. Pola pengaliran merupakan bagian dari penentuan stadia daerah. Pola pengaliran (drainage pattern) adalah suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969) (Gambar 3.2). Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kemiringan lereng,perbedaan resisten batuan, proses vulkanik kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage basin).
Gambar 3.2. Bentuk pola aliran sungai. (A). Pola aliran yang belum mengalami ubahan (basic pattern), (B). Pola aliran yang telah mengalami ubahan (modified pattern) (Howard, 1967 dalam Thornbury, 1969).
Menurut Van Bemmelen (1949), Sumatera terbagi menjadi 6 Zona Fisiografi :
Pulau sumatra
1. Zona jajaran barisan
2. 3. 4. 5. 6.
Zona semangko Zona pegunungan tiga puluh Zona busur kepulaun luar Zona paparan sunda Zona dataran rendh dan berbukit Berdasarkan pembagian wilayah diatas dan sesuai letak geografisnya, daerah penelitian
masuk ke dalam zona fisiografi dataran rendah berbukit.
Pulau Kalimantan
Van Bemmelen(1949), membagi bagian barat Pulau Kalimantan menjadi dua bagian : Pegunungan Kapuas atas, berada diantara lembah rejang di bagian utara, cekungan Kapuas atas, dan lembah batng lupar di bagian selatan. Madi Plateau, berada di antara cekungan kapuas atas dan sungi melawi. Sedangkan di wilayah timur, van bemmelen juga membagi daerah ini menjadi dua bagian : Rangkaian pegunungan di Kalimantan bagian utara, berakhir di semenanjung teluk Darvel. Rangkaian pegunungsn lsinnys, yang berakhir di semenanjung Mangkalihat. Fisiografi Sulawesi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh bagian, yaitu lengan utara, lengan timur, kepulauan banggai, lengan tenggara, kepulauan buton dan pulau tukang besi, lengan selatan dan Sulawesi tengah. Secara fisiografis tersebut kabupaten Bonehau berada di Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan lengan-lengan Sulawesi. Disebelah timurlaut Sulawesi tengah dibatasi oleh garis baratlaut-tenggara dari Donggala melalui Parigi dan Lemoro sampai teluk Tomori. Disebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut dari mejene melalui Palopo ke Dongi di teluk Tomori. Fisiografi Jawa Barat Bentuk permukaan bumi yang kita lihat sekarang merupakan hasil dari suatu proses geologi sebagai tenaga endogen dan pengaruh faktor cuaca sebagai tenaga eksogen yang menyebabkan batuan mengalami proses pelapukan . Dengan demikian daerah yang telah terangkat akan mengalami proses denudasi sehingga terbentuk bukit – bukit dan dataran (peneplain) , proses pengankatan dan patahan akan menimbulkan zona – zona lemah sehingga akan terbentuk
lembah-lembah sungai dan penerobosan magma ke permukaan dalam bentuk kegiatan vulkanisme yang menghasillkan batuan vulkanik. Seperti yang membentuk fisiogarfi Jawa Barat yang memiliki karakteristik geologi terdiri dari pedataran alluvial, perbukitan lipatan dan gunungapi. Secara fisiografi terbagi menjadi 4 bagian (van Bemmelen 1949), yaitu : 1. Zona Jakarta (Pantai Utara) Daerah ini terletak di tepi laut Jawa dengan lebar lebih kurang 40 Km terbentang mulai dari Serang sampai ke Cirebon. Sebagian besar tertutupi oleh endapan alluvial yang terangkut oleh sungai – sungai yang bermuara di laut Jawa seperti Ci Tarum, Ci Manuk, Ci Asem, Ci Punagara. Ci Keruh dan Ci Sanggarung . Selain itu endapan lahar dari Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Gede dan Gunung Pangranggo menutupi sebagai zona ini dalam bentuk vulkanik alluvial fan (endapan kipas alluvial) khususnya yang berbatsan dengan zona bandung. 2. Zona Bogor Zona ini membentang mulai dari Rangkasbitung melalui Bogor, Purwakarta, Subang, Sumedang, Kuningan dan Manjalengka. Daerah ini merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam membentuk suatu Antiklonorium, di beberapa tempat mengalami patahan yang diperkirakan pada zaman Pliosen-Plistosen sezaman dengan terbentuknya patahan Lembang dan pengankatan Pegunungan Selatan. Zona Bogor sekarang terlihat sebagai daerah yang berbukit-bukit rendah di sebagian tempat secara sporadis terdapat-bukit-bukit dengan batuan keras yang dinamakan vulkanik neck atau sebagai batuan intrusi seperti Gunung Parang dan Gunung Sanggabuwana di Plered Purwakarta, Gunung Kromong dan Gunung Buligir sekitar Majalengka. Batas antara zona Bogor dengan zona Bandung adalah Gunung Ciremai (3.078 meter) di Kuningan dan Gunung Tampomas (1.684 meter) di Sumedang . 3. Zona Bandung Zona Bandung merupakan daerah gunung api, zone ini merupakan suatu depresi jika dibanding dengan zona Bogor dan Zona Pegenungan Selatan yang mengapitnya yang terlipat pada zaman tersier . Zona Bandung sebagain besar terisi oleh endapan vulkanik muda produk dari gunung api disekitarnya . Gunung - gunung berapi terletak pada dataran rendah antara kedua zone itu dan
merupakan dua barisan di pinggir Zone Bandung pada perbatasan Zone Bogcr dan Zone Pegunungan Selatan. Walaupun Zone Bandung merupakan suatu depresi, ketinggiannya masih cukup besar, misalnya depresi Bandung dengan ketinggian 650 – 700 m dpl. Zone Bandung sebagian terisi oleh endapan-endapan alluvial dan vukanik muda (kwarter), tetapi di beberapa tempat merupakan campuran endapan tertier dan kwarter. Pegunungan tertier itu adalah : A .Pegunungan Bayah (Eosen) yang terjadi atas bagian Selatan yang terlipat kuat, bagian tengah terdiri atas batuan andesit tua (old Andesit)dan bagian Utara yang merupakan daerah peralihan dengan zone Bogor. B. Bukit di lembah Ci Mandiri dekat Sukubumi, yang terletak pada ketinggian 570 - 610 m merupakan kelanjutan dari pegunungan Bayah. Antara Cibadak dan Sukabumi terdapat punggung-punggung yang merupakan horst, yang menjulang di atas endapan vulkanik daerah itu. Di sebelah Timur Sukabumi terdapat dataran Lampegan pada ketinggian 700 -750 m, yang mungkin seumur dengan plateau Lengkong di Pegunungan Selatan. C Bukit-bukit Rajamandala (Oligosen) dan plateau Rongga termasuk ke dataran Jampang (Pliosen) di Pegunungan Selatan. Dibandingkan dengan plateau Rongga, keadaan Raja-mandala lebih tertoreh-toreh oleh lembah. Plateau Rongga merupakan peralihan antara zone Bandung dan Pegunungan Selatan terletak pada ±1.000 m serta merupakan bukit -bukit dewasa dan tua. Daerah ini melandai ke dataran Batujajar (650 m) di zone Bandung. D. Bukit-bukit Kabanaran yang terletak di Timur Banjar zone Bandung itu Iebarnya 20- 40 km, terdiri atas dataran-dataran dan lembah-tembah. Bagian Barat Banten merupakan kekecualian, karena di sana tak terdapat depresi dandaerahnya terdiri atas komplek pegunungan yang melandai dengan bukit-bukit rendah. Pegunungan itu telah tertoreh-toreh dan tererosikan dengan kuat, sehingga merupakan permukaan yang agak datar (peneplain). Peneplain itu terus melandai ke Barat ke Selat Sunda. Di beberapa tempat di Selatan pantai lautnya curam Zone Bandung, terdiri atas: depresi Cianjur Sukabumi, depresi Bandung, depresi Garut dan depresi Ci Tanduy para ahli geologi menyebutnya sebagai cekungan antar pegunungan (cekungan intra montana), Depresi Cianjur letaknya agak rendah (459 m) dibandingkan dengan depresi Bandung. Tempat terendah terletak 70 m di atas permukaan taut. Di sebelah Bara, dekat zone Bogor terdapat
kelompok gunung api, dengan Gunung Salak (2.21 1 m) sebagai gunung berapi termuda, sedangkan di beberapa tempat seperti di Sukabumi, permukaannya tertutup oleh bahan vulcanic dar( Gunung Gede (2.958 m) dan Gunung Pangrango (3.019 m), yang menjulang di tengahtengah dataran. Bahan-bahan vulkanik tersebut bahkan tersebar di Iembah-lembah zone Bogor. Depresi Bandung pada ketinggian 650 — 675 m dengan lebar ±25 Km. merupakan dataran alluvial yang subur, yang dialiri oleh sungai Ci Tarum. Dataran itu terletak antara dua deretan gunung berapi. Di sebelah Utara pada perbatasan zone Bogor tertetak Gunung Burangrang yang tua (2.064 m), Gunung Bukittunggul (2.209 m) dan Gunung Tangkubanperahu yang muda (2.076 m); dan pada perbatasan zone Pegunungan Selatan terletak Gunung Malabar (2.321 m) dengan beberapa gunung berapi tua seperti Gunung Patuha (2.429 m) dan Zona Bandung memiliki karakteristik banyak memiliki gunungapi baik yang sudah tidak aktif (gunungapi tipe B dan C) yang ditandai dengan fumarol dan solfatara dan gunungapi yang masih aktif (gunungapi tipe A). Gunungapi tersebut dapat berperan sebagai penangkap hujan yang baik karena material – material gunungapi bersifat porous sehingga dapat menjadi daerah penyimpan air yang baik sumber yang potensial untuk sungai-sungai disekitarnya . Di dataran Bandung terdapat endapan rawa yaitu batuan lempung yang kemudian tertutupi oleh endapan danau yang berumur resen, yaitu danau pra historis yang terbentuk karena pengaliran air di Barat Laut, terbendung oleh bahan vukcanik (pada kebudayaan Neotithikum), dan selanjutnya kering lagi karena Ci Tarum mendapat pengaliran baru pada suatu celah sempit yang dinakamakan Sanghyang Tikoro di daerah bukit Rajamandala. Depresi Garut pada ketinggian 717 m merupakan daerah yang lebarnya ±50 km dan dikelilingi gunung berapi. Di sebelah Selatan terletak Gunung Kracak (1.838 m) yang tua dan Gunung Ci Kuray (2.821 m) yang muda. Di Gunung Papandayan (2.622 m) terdapat solfatara dan di Gunung Guntur (2.249 m) terdapat aliran Iava yang telah membeku menyebar di lereng Gunung Calancang (1.667 m) di Utara merupakan batas dengan zone Bogor. Depresi Lembah Ci Tanduy tertutupi oleh endapan alluvial, dan sporadis terdapat bukit-bukit dari-batuan yang terlipat. Gunung Sawal (1.733 m) endapannya tersebar ke sebelah Barat yang menutupi plateau Rancah, yang melandai ke Selatan. Agak ke Barat terletak dataran Tasikmalaya yang mempunyai komplek gunung berapi tua, dengan gunung berapi muda Gunung Galunggung (2.241 m) yang meletus terakhir tahun 1982. Di sekitar Kota Tasikmalaya terdapat bukit-bukit
kecil yang sebagai pruduk letusan Gunung Galunggung purba yang membentuk morfologi Hillloc atau disebut juga Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thausand Hill). Di sebelah Timur Banjar, lembah Ci Tanduy itu terbagi dua oleh bukit Kabanaran. di bagian Selatant sepanjang lembah Ci Tanduy dan menerus di bagian Utara melalui Majenang bersambung dengan depresi Serayu di Jawa Tengah. 4.Zone Pegunungan Selatan. Pegunungan Selatan (menurut Pennekoek; Zone Selatan) terbentang mulai dari tetuk Pelabuhanratu sampai Pulau Nusakambangan. Zone ini mempunyai lebar ±50 km, tetapi di bagian Timur menjadi sempit dengan lebar hanya beberapa km. Pegunungan Selatan telah mengalami pelipatan dan pengangkatan pada zaman Miosen. dengan kemiringan lemah ke arah Samudera lndonesia. Pegunungan Selatan dapat dikatakan suatu plateau dengan permukaan batuan endapan Miosen Atas, tetapi pada beberapa tempat permukaannya tertoreh-toreh dengan kuat sehingga tidak merupakan plateau lagi. Sebagian besar dari pegunungan Selatan mempunyai dataran erosi yang letaknya lebih rendah, disebut dataran Lengkong yang terletak di bagian Baratnya dan sepanjang hulu sungai Ci Kaso. Pada waktu pengangkatan Pegunungan Selatan (Pleistosen Tengah) dataran Lengkong ikut terangkat pula, sehingga batas Utara mencapai ketinggian ± 800 m dan bukitbukit pesisir mencapai ± 400 m. Di pegunungan Selatan terdapat bagian-bagian Plateau Jampang, Plateau Pangalengan dan Plateau Karangnunggal. A. Plateau Jampang bentuknya khas sekali bagi Pegunungan Selatan karena dibatas Utara mempunyai escarpment, dan pegunungan itu melandai ke Selatan. Plateau Pesawahan (menurut Pannekoek; Pegunungan Hanjuang) merupakan permukaan Pliosen, yang telah terangkat. Di sebelah Selatan Plateau Pesawahan terdapat suatu dataran yang lebih rendah dan rata sekali yang disebut plateau Jampang Selatan yang mungkin dahulu dibentuk oleh abrasi waktu daerah tersebut tergenang air laut. Dataran Lengkong letaknya 200 m lebih rendah dari permukaan plateau Pesawahan. Di beberapa tempat dataran Lengkong terangkat lebih tinggi. Puncak tertinggi adalan Gunung Malang (909 m). B Plateau Pangalengan (1.400 m) telah terangkat lebih tinggi daripada plateau Jampang dan plateau Karangnunggal. Sungai Ci Laki di plateau Pangalengan mengalir ke Selatan ke Samudera lndonesia. Di sebelah Barat Laut terdapat plateau Ciwidey - Gununghalu dengan sebuah danau Telaga Patenggang, yang mempunyai morfologi gunung longsor (depresi). Sedangkan di bagian Utara tertutupi oleh gunung berapi muda, misalnya Gunung Ma-labar.
C. Plateau KarangnunggaL Plateau inipun melandai ke Selatan dan di beberapa tempat mempunyai topografi karst. Sungai Ci Wulan berhulu di zone Bandung kemudian mengalir melintasi Pegunungan Selatan ke Samudera lndonesia. Sepanjang sungai itu terdapat teras-teras lahar vulkanis. Di Tenggara Sukaraja terdapat bukit Pasirkoja setinggi 587 m. di daerah ini perbatasan antara zone Bandung dan pegunungan Selatan (yang berupa flexure) tertimbun oleh endapan muda alluvial dan vulkanis. Di sebelah Timur Gunung Bongkok (1.114 m), suatu bukit intrusi terdapat pula escarpment sebagai batas plateau itu dengan lembah Ci Tanduy di zoneBandung. pegunungan Selatan itu di Timur tertimbun dataran alluvial yang sempit, karena sebagian masuk ke laut dan berakhir di dekat Pulau Nusakambangan. Jawa tengah Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng, Deperesi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar 2.1). - Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km kearah selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km. - Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria. - Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan tegal, zona ini tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik kwarter G. Rogojembangan, G.Ungaran, dan G.Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi.
Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang. - Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa Tengah. - Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barattimur dicirikan oleh bentuk antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen. Jawa timur Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : • Dataran Aluvial Jawa Utara • Antiklinorium Rembang, • Zona Depresi Randublatung, • Antiklinorium Kendeng (Pegunungan Kendeng), • Zona Pusat Depresi Jawa (Zona Solo, Subzona Ngawi), • Busur Vulkanik Kuarter, dan • Pegunungan Selatan • Kendeng Barat Kendeng Barat meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur Oligo-Miosen Bawah yang diwakili oleh
Formasi Pelang. Batuannya mengandung bahan volkanis. Daerah ini memiliki struktur geologi yang rumit yaitu banyak sesar-sesar sungkup. • Kendeng Tengah Kendeng Tengah mencakup daerah Purwodadi hingga Gunung Pandan batuan tertua yang tersingkap berumur Miosen Tengah. Daerah ini terdiri dari sedimen bersifat turbidit (laut dalam) yang diwakili oleh formasi Kerek dan Formasi Kalibeng, prosentase kandungan bahan piroklastik dalam batuan sedimen menurun kearah Utara, dengan pola struktur geologi yang kurang rumit. • Kendeng Timur Kendeng Timur terdiri dari endapan-endapan Kenozoikum Akhir yang tersingkap diantara Gunung Pandan dan Mojokerto, berumur Pliosen dan Plistosen. Struktur geologinya adalah lipatan dengan sumbu-sumbu lipatannya yang menggeser ke utara dan menunjam ke timur. Berdasarkan letak geografis dan umur dari batuan yang tersingkap, jika dimasukkan dalam pembagian zona Kendeng oleh van Bemmelen, (1949); de Genevraye dan Samuel, (1973) daerah penelitian termasuk kedalam daerah Kendeng Timur. Fisiografi Daerah Papua Pulau Papua secara administratif terletak pada posisi 130019’ BT - 150048’ BT dan 0019’ LS – 10043’ LS. Pulau ini terletak di bagian paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Irian Jaya (sekarang Papua) merupakan ekspresi permukaan dari batas utara deformasi blok kontinen Australia dan Lempeng Pasifik. Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) telah membagi Papua menjadi 3 bagian utama (Gambar 2.1), yaitu: Pada peta diatas, tampak pembagian dari fisiografis regional dari Pulau Papua yang tampak seperti seekor burung. Pulau ini terbagi menjadi bagian-bagian seperti bagian kepala, badan dan ekor. Wilayah yang berada di dalam lingkaran merupakan lokasi penelitian yag terletak pada bagian ”badan” dari pulau tersebut.
Bagian Kepala Burung, yaitu bagian semenanjung di sebelah utara yang terhubung dengan bagian badan utama oleh bagian leher yang menyempit. Bagian ini terletak pada koordinat 1300 BT– 1350 BT. Bagian Tubuh Burung, merupakan bagian daratan utama Pulau Papua yang didominasi oleh struktur berarah barat-baratlaut pada daerah Central Range. Bagian ini terletak pada koordinat 1350 BT– 143,50 BT. Bagian Ekor Burung, terletak pada bagian timur New Guinea Island. Bagian ini terletak pada koordinat 143,50 BT– 1510 BT.