Kerja-Kerja Riset dalam Jurnalisme1 “Bung pekerjaan ini sangat berat. Kalau saya tidak bergelar Ph.D., mungkin saya tidak sanggup melakukannya.” Kalimat ini dilontarkan Susumu Awanohara menjawab keheranan Hamid Basyaib, mengapa seorang doktor ekonomi lulusan Universitas Yale seperti dirinya “hanya” bekerja sebagai wartawan di Far Eastern Economics Review.2 Dias Prasongko3 Wartawan cum Ilmuan Kira-kira apa yang terpikir setelah membaca lead yang demikian? Tentu saja anda (mungkin) heran. Dalam tulisannya di majalah Pantau, Hamid4 pun awalnya merasa heran. Mengapa orang seperti Awanohara dengan pendidikan yang tinggi mau bekerja sebagai wartawan yang notabene adalah pekerjaan yang “ringan”? Dari obrolan antara Hamid dan Awanohara itu ada benang merah bahwa kerja kewartawanan tidak semudah yang dibayangkan. Rupaya pekerjaan wartawan memang suatu pekerjaan yang serius, dengan syarat ketat dan tantangan yang cukup berat5. Lalu apa hubungannya kemudian antara gelar kesarjanaan sosial yang tinggi dengan kerja-kerja jurnalisme atau kewartawanan? Dari simpul itu kita bisa melihat bahwa ternyata kerja jurnalisme memang mengharuskan kita memiliki pengetahuan sosial yang luas dan menguasai metode penelitian sosial. Singkatnya, seorang wartawan adalah (seharusnya) juga seorang peneliti atau ilmuan sosial yang andal sekaligus mumpuni. Menjadi wartawan atau seorang jurnalis tak hanya bekerja untuk sekadar mengumpulkan fakta dan data yang sedang berkaitan dengan persoalan yang sedang dibahas. Tetapi ia juga dituntut untuk mampu mengkerangkai dan mengurai ketersalinghubungan antara data, fakta dengan realita sosial yang ada. Maka kerja-kerja wartawan tak seharusnya hanya jadi tukang kutip sanasini dalam kerangka 5W dan 1H melainkan juga mampu menjalin data dan fakta menjadi makna. Mengenal Riset Media Kalau dalam paragraf sebelumnya menyingung kerja jurnalisme yang sama dengan seorang ilmuan, maka di bagian ini akan mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang dimaksud riset media itu sendiri. 1
Makalah untuk mengisi diklat Riset di Ekonimka UII pada 4 April 2014 dan Poros UAD Indi Aunullah, mantan PU Balairung 2005, ada dalam artikel “Wartawan dan/atau Ilmuwan: Sebuah Jurnal & Komunitas Intelektual” Dapur Jurnal Balairung edisi 38/XIX/2005 hal. 159 3 Kepala Suku di Divisi Riset BPPM Balairung, calon Sarjana Ilmu Politik UGM, mengembara dengan nama @dzprasongko 4 Tulisan asli lihat Hamid Basyaib, “Setelah Kedatangan Awanohara”, di majalah Pantau Th. III/No.16, Agustus 2001, hal. 17-18 5 Indi Aunullah, op.cit hal. 159 2
Ada dua makna 6 ketika kita berbicara mengenai riset media. Pertama, riset media dimaknai sebagai riset-riset atau penelitian yang digunakan untuk menganalisis media itu sendiri. Dalam hal ini media baik koran, majalah, film, televisi dan sebagainya dianggap sebagai obyek penelitian. Kedua, riset media diartikan sebagai riset-riset yang sering atau digunakan dalam penelitian untuk tulisan, laporan atau artikel di media. Di dalam media sebagai sebagai obyek penelitian kita bisa menggunakan metode analsisi isi, analsisi wacana, analisis framing, analisis semiotik dan sebagainya. Namun media mainstream di Indonesia jarang sekali atau bahkan mungkin tidak menggunakan metode tersebut. Penggunaan metode tersebut lebih sering digunakan oleh teman-teman yang sedang belajar mengenai Ilmu Komunikasi walau banyak juga disiplin ilmu lain yang menggunakan metode tersebut. Sedang pada “riset media” yang sering dilakukan oleh media itu sendiri dalam hal ini ada survei dan polling. Metode tersebut saat ini sedang menjadi tren di Indonesia karena kemampuannya yang bisa memprediksi hasil dan mengeneralisasi atau inferensi7. Survei atau Polling? Bagaimana jika kita ingin mengetahui pendapat warga negara tentang suatu peristiwa atau kebijakan yang sedang terjadi di suatu tempat? Atau bagaimana misalnya jika anda bukan seorang dokter dan ingin mengetahui orang tersebut sakit atau tidak? Cara terbaik untuk mengetahuinya tentu saja dengan menanyakannya. Tapi bagaimana kemudian jika orang-orang yang kita tanya tersebut terlalu banyak? Bagaimana kita melakukannya? Nah dari pengalaman itulah kemudian muncul penelitian survei. Survei merupakan salah satu jenis penelitian yang menggunakan teknik sampling dan menggunaan kuestioner dalam pengambilan datanya8. Berbeda dengan sensus yang menanyakan kepada seluruh anggota populasi, survei hanya menggunakan sebagian anggota populasi. Selain itu, survei mensyaratkan adanya sample di dalam penelitiannya untuk kemudian dilakukan inferensiasi atau generalisasi terhadap hasil temuan. Misalnya, jika kita ingin mengetahui rasa sebuah semangka tersebut manis atau tidak kita tidak perlu merasakan satu buah semangka tersebut. Cukup merasakan satu atau dua iris semangka kita sudah bisa mengetahuinya. Nah itulah yang disebut sebagai survei.
6
Dua makna ini merupakan hasil pengamatan dan pembacaan penulis yang sering dilakukan tertutama di dalam media-media nasional (mainstream) seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Bisnis Indonesia dll. 7 Eriyanto. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. 2007. Yogyakarta: LKIS, hal 4-5 8 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survei. 2008. Jakarta: LP3ES. hal 3-6
Lalu mengapa kemudian kita perlu menggunakan teknik sampling dalam melakukan sebuah survei?9 Pertama, hampir tidak mungkin mengamati semua anggota populasi yang demikian besar. Kedua, menghemat waktu, biaya dan tenaga. Ketiga, penarikan sampling seringkali lebih akurat karena menghindari human error yang lebih tinggi. Setelah kita mengetahui apa itu survei mari kita beranjak ke proses pengerjaan penelitian ini. Coba lihat gambar di bawah ini.
Secara singkat, proses-proses penelitian dalam melakukan riset survei terangkum dalam tujuh langkah10 1. Merumuskan masalah dan menentukan tujuan survei 2. menentukan hipotesa atau jawaban sementara dari penelitian 3. Mendesain sampel 4. Pembuatan kuisioner 5. Menyebar kuisioner ke lapangan 6. mengolah dan menganalisis data 7. Analisa dan pelaporan
9
Eriyanto, op.cit. hal 1-5 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, op.cit. hal 12
10
Seperti halnya penelitian kuantitati-positivistik yang cenderung deduktif, maka penelitian survei ini menuntut penggunaan mulai dari teori, definisi konseptual dan operasional yang jelas sejak di awal. Selain itu, yang perlu digaris bawahi adalah perlunya minat peneliti yang kuat untuk memahami fenomena sosial dari tema dan topik itu11. Setelah menentukan minat dan tema penelitian pada suatu fenomena kita bisa beranjak ke proses yang selanjutnya. Dalam hal ini bagaimana kita akan mendesain survei kita. Ada empat hal perlu digarisbawahi dalam tahap ini. Pertama adalah menentukan tujuan dari survei kita sendiri apakah akan melakukan eksplorasi, deskripsi atau analisis12. Kedua terkait waktu. Apakah akan dilakukan dalam satu kali suatu waktu (snapshot), atau panel (longitudinal) dan bisa juga melakukan survei tracking. Ketiga, terkait berapa budget atau biaya yang dimiliki. Terakhir, pendekatan apa yang akan kita gunakan dalam melakukan survei. Ada dua dalam pendekatan yang bisa dilakukan ketika melakukan sebuah survei. Pertama, ada pendekatan probabilitas. Di dalam pendekatan penelitan biasanya ditujukan untuk melakukan generalisasi terhadap hasil yang ingin didapat. Selain itu, dalam pendekatan ini menggunakan prinsip acak atau random. Maksudnya, prinsip acak atau random adalah bahwa semua anggota populasi yang akan diteliti memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi responden penelitian13. Kedua, ada pendekatan non-probabilitas. Pendekatan ini memiliki kelemahan pada rendahnya dimensi metodologis yang digunakan sehingga subyektifitas peneliti sangat menentukan di dalam penelitian. Pendekatan probabilitas. Di dalam pendekatan ini ada enam metode penarikan sampling yang terbagi di dalam dua kluster tahap proses pengacakan. Kluster tahap satu kali pengacakan ada acak sederhana, acak stratifikasi dan acak sistematis. Sedang kluster dua tahap pengacakan ada acak stratifikasi, acak bertahap dan acak area/wilayah. Pendekatan non-probabilitas. Pendekatan ini memiliki empat teknik penarikan sample, yakni : acak sembarang, acak kuota, acak purposif dan acak snowballing. Lalu apa yang kemudian dilakukan setelah mengetahui tujuan, waktu, budget dan pendekatan dalam melakukan survei? Setelah ini kita harus bisa menentukan pendekatan mana yang cocok atau tepat dengan penelitian dan kondisi fenomena sosial tersebut. Untuk menentukan mana desain penarikan sampling yang tepat tersebut kita perlu membekali diri kita dengan tiga hal. Pertama, pengetahuan akan keberagaman atau variasi dari populasi itu sendiri. Kedua, kita wajib menentukan besaran sampling error (SE) di dalam sebuah survai. Perlu diingat bahwa semakin besar SE dalam sebuah survei semakin besar pula ia tidak mendekati realitas atau 11
ibid. hal 29 Eriyanto, op.cit. hal 27-34 13 Ibid. hal 51 12
fenomena yang ada. Namun semakin kecil SE yang diberikan semakin presisi atau semakin akurat hasil sampel tersebut untuk dilakukan generalisasi atau mendekati realitas. Ketiga, perlunya menentukan tingkat kepercayaan penelitian. Seperti halnya dua sisi mata uang, antara SE dengan tingkat kepercayaan tidak bisa dipisahkan. Besaran SE mengestimasi berapa nilai populasi, sementara nilai tingkat kepercayaan memastikan beberapa besar estimasi itu berlaku dalam populasi14. Oke last but not least, kita akan sedikit menyinggung mengenai polling. Pada dasarnya polling hampir sama dengan survei. Akan tetapi yang membedakan kemudian ia tidak dilandasi epistimologis dan metodologi yang kuat sebagai sebuah ilmu. Selain itu, jumlah penyataan yang diajukan juga cenderung sedikit berkisar antara 5-10 pertanyaan15. Di tambah lagi jawaban yang cenderung diberikan hanya sekedar “ya” atau “tidak”. Pun tujuan dilakukan polling untuk sekedar melakukan eksplorasi tentang fenomena sosial semata. Sekian.
14 15
Eriyanto, op.cit. hal 288 Hal ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis itu sendiri