KELIMPAHAN RELATIF HAMA DAN MUSUH ALAMI DALAM SISTEM PERTANIAN
Oleh : Zahro Rohayati Aurida Fauziyah Zinatul Uthbah Faikotu Syarifah Yopi Sulistyono Andriani Diah I Yani Yuliani Hanifah Surati Dwi F Titin Atinah
B1J011167 B1J011173 B1J012001 B1J012002 B1J012006 B1J012011 B1J012017 B1J012018 B1J012023 B1J012024
Kelompok : 16 Rombongan : IV Asisten : Rizkita Dinda Pandhani
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengendalian hayati merupakan salah satu solusi dalam masalah hama pertanian yang seharusnya lebih banyak dipraktekkan di lapangan karena lebih ramah lingkungan dan dapat mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida. Menurut Norris
(2003),
mendefinisikan
pengendalian
hayati
sebagai
penggunaan
parasitoid, predator, patogen, antagonis atau populasi kompetitor untuk menekan populasi hama, membuat hama menjadi lebih sedikit kelimpahannya dan lebih sedikit merusak daripada seharusnya bila agens hayati tidak ada. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alami (agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Lahan pertanian adalah sekumpulan ekosistem yang tidak hanya meliputi lahan pertanaman (agroekosistem) tetapi juga ekosistem diluarnya, seperti tumbuhan liar, jalan raya, perkampungan dan lainnya. Lahan pertanian modern struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat sangat bervariasi dari satu lanskap ke lanskap yang lain. Lanskap pertanian yang sangat sederhana misalnya, hanya terdiri atas satu jenis pertanaman (monokultur) dan tumbuhan iiar, sedangkan lanskap penanian yang kompleks tidak hanya terdiri atas berbagai pertanaman (polikultur), tetapi juga rerdapat banyak tumbuhan liar (Yaherwandi et al., 2007). Van Emden (1991) menyatakan peningkatan keanekaragaman habitat dalam lanskap pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan serangga hama dan serangga bemanfaat dan seringkali kerusakan tanaman oleh hama berkurang. Selanjutnya Kruess and Tschamtke (2000) menambahkan bahwa tipe dan kualitas habitat, susunan spasial dan keterhubungan (connectivity) antar habitat di dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Keanekaragaman stuktur lanskap pertanian tidak hanya mempengaruhi keanekaragarnan hama dan musuh alami di dalam pertanian, tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya. Menurut Smith (1983) hama adalah semua organisme atau agens biotik yang merusak tanaman dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan manusia. Hama dalam arti
yang luas adalah makhluk hidup yang mengurangi kualitas dan kuantitas beberapa sumber daya manusia yang berupa tanaman atau binatang yang dipelihara yang hasil dan seratnya dapat diambil untuk kepentingan manusia. Berbicara soal tentang sistem pertanian, ekosistem sawah tentu identik dengan ekosistem pertanian yang tak lain merupakan sistem ekosistem sederhana juga monokultur. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoritik adalah jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan dari ekosistem sawah ini antara lain interaksi antara komponen ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang ada di dalam lingkungan sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama, predator dan masih banyak lagi lainnya. Ekosistem sawah bisa dibagi menjadi dua yakni parasitoid dan juga predator (Herlinda, 2005).
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kelimpahan organisme dalam sistem pertanian.
II. TINJAUN PUSTAKA
Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan monokultur jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies serta resiko terjadinya ledakan hama dan penyakit (Santosa dan Joko, 2007). Dari sudut pandang usahatani padi, serangga secara umum dikelompokkan menjadi serangga hama, serangga berguna dan serangga netral. Organisme berguna,yaitu serangga yang berperan sebagai musuh alami baik sebagai parasitoid maupun predator, serangga penyerbuk, dan dekomposer. Serangga netral kerap menjadi mangsa predator, sehingga peranannya sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem sawah.
Keragaman jenis serangga mempunyai peran yang sangat
penting dalam ekosistem padi sawah. Keanekaragaman hayati
serangga
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Ekosistem alami umumnya telah terjadi kestabilan populasi hama dan tanam, tidak hanya menekan populasi hama, tetapi juga berpengaruh pada kerapatan populasi musuh alami. Rendahnya kepadatan populasi musuh alami pada saat bera karena mangsa (hama) juga rendah (Widiarta et al., 2006) Upaya peningkatan produksi padi dihadapkan pada kendala dan masalah, antara lain serangan hama. Hama utama pada tanaman padi adalah penggarek batang dan wereng batang coklat. Untuk mengendalikan hama, umumnya petani menggunakan insektisida yang belebihan sehingga berdampak negatif terhadap bioekologi lahan sawah. Menurut Wan Jaafar et al., (2013), penggunaan peptisida seperti fipronil dan cartap hidroclorid dapat menurunkan populasi musuh alami. Penggunaan peptisida terhadap bioekologi sawah akan berdampak buruk karena dapat
menyebabkan
terjadinya
biological
explosion dan
terganggunya
keseimbangan alami dengan berbagai konsekuensi negative lainnya seperti hama sasaran menjadi resisten dan berkembang karena adanya efek resurjensi, musuh alami terbunuh sehingga pertumbuhan populasi hama meningkat, penggunaan peptisida juga dapat mencemari lingkungan dan biota air serta merusak lingkungan, karena itu dianjurkan dengan menggunakan teknik pengendalian secara terintegrasi dengan mengutanakan lingkungan sehat dan meningkatkan peran serangga berguna seperti musuh alami (Kartohardjono, 2011).
Musuh alami memiliki peran dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Santosa dan Joko, 2007). Pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami memiliki beberapa keuntungan, yaitu mencegah lingkungan oleh bahan kimia dari insektisida serta bersifat permanen, efisien, berkelnjutan, tidak mengganggu dan merusak keragaman hayati, dan kompartetibel dengan cara pengendalian lainnya (Wood 1971; Debach 1973). Menekan populasi hama agar tidak menimbulkan kerusakan
dapat
dilakukan
dengan
mengelola
komponen
biotik
dan
lingkungannya. Beberapa komponen biotik yang dapat mengurangi populasi hama adalah varietas padi tahan hama dan musuh alami hama seperti parasitoid, predator, patogen (jamur, bakteri, dan virus), nematode dan jasad renik lainnya (Debach, 1973).
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam acara praktikum ini adalah penggaris, tali rafia sepanjang 8 m dan kamera. Bahan yang digunakan adalah tanaman padi di area persawahan belakang kampus Biologi.
B. Metode
1. Area pesawahan yang akan diamati kelimpahan hama dan musuh alaminya ditentukan terlebih dahulu. 2. Tali raffia sepanjang 8 m, dibuat bentuk petakan persegi sehingga masingmasing panjangnya sekitar 2 m. Petakan tersebut digunakan sebagai tempat pengamatan kelimpahan hama dan musuh alami bagi sistem pertanian. 3. Setiap oraganisme yang ada dalam area petakan tersebut diamati, dicatat dan dihitung jumlah maupun jenisnya. Organisme yang diamati dapat berupa serangga, kutu, capung, lab-laba, keong mas dan lain-lain. 4. Setiap organisme dikelompokkan ke dalam kelompok hama, musuh alami atau lainnya. 5. Jumlah individu per hektar dihitung, dengan menggunakan rumus berikut: Jumlah Individu Per Hektar = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000 Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Gambar Hasil Pengamatan
Gambar 1. Belalang (Valanga sp.)
Gambar 2. Wereng (Nilaparvata lugens)
Tabel 1. Data Pengamatan Kelimpahan Relatif Hama dan Musuh Alami dalam Sistem Pertanian No. 1
2 3 4
Organisme Kepik Leher
Kepik Belalang Wereng Total
Jumlah 1
2 5 2 10
Perhitungan: Jarak tanaman = 0,163 m
Jumlah Individu Per Hektar = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000 Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei = 1,25 x 10.000 0,163 x 2 = 38, 34 individu/hektar
B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kelimpahan organisme dalam sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai banyaknya organisme atau melimpahnya organisme yang menghuni suatu area pertanian yang membentuk satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran masing-masing. Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber makanan (sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan semua organisme yang berada di area pertanian tersebut
Kelimpahan jenis
serangga sangat ditentukan oleh aktifitas reproduksinya yang didukung oleh lingkungan yang cocok dan tercukupinya kebutuhan sumber makanannya. Kelimpahan dan aktifitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim , karena musim berpengaruh kepada ketersediaan sumber pakan dan kemampuan hidup serangga yang secara langsung mempengaruhi kelimpahan (Erawati dan Sih Kahono, 2010). Menurut Baiquni (2007), ada beberapa cara mendeteksi dan sekaligus menaksir populasi serangga yang ada pada sistim pertanian, yaitu sbagai ber ikut:. 1. Pengamatan langsung (1)
Pemeriksaan satu tumbuhan Tumbuhan dengan secara acak dipilih. Serangga besar terdapat di
tumbuhan diamati. Tumbuhan tersebut diamati serangga yang besar dan bergerak dengan cepat. Semua daun (permukaan atas dan bawah), tangkai daun, batang, bunga, dan buahnya diperiksa. Hasil pengamatan mengenai jenis serangga yang diperkirakan ada dan jumlahnya, stadium yang ada serta keadaan lainnya ditabelkan. (2)
Perhitungan untuk suatu jarak Penaksiran populasi dilakukan menurut kenampakan dengan berjalan
menempuh suatu jarak yang telah ditentukan sambil membolak-balik bagian tumbuhan. Cara ini baik dilakukan untuk tumbuhan stadium muda dengan mengamati serangga yang tidak begitu aktif atau yang cepat menjatuhkan diri. Cara yang digunakan untuk serangga aktif cukup dengan mengetuk tumbuhan dan menghitung serangga yang terbang atau meloncat.
Kedua cara di atas sangat bersifat individual tergantung kepada kemampuan pengamat. Faktor angin juga dapat berpengaruh pada hasil perhitungan. Konversi harga relatif ke harga absolut dapat dilakukan sebagai berikut : Jumlah Individu Per Hektar = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000 Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei 2. Lembar penutup tanah Lembar penutup tanah dibuat dari kain putih atau yang berwarna terang dengan panjang dan lebar yang sama dengan ukuran 0,5 sampai 1 m , kedua tepi kain
dilekatkan
pada
tongkat
kayu
bergaris
tengah
2-3
cm
untuk
menggulungnya. Tempat pengambilan sampel ditentukan, dan sampel diperoleh dengan merentangkan kain penutup di antara dua baris tumbuhan. Kedua baris tumbuhan dipegang dan diguncangkan ke arah kain sebanyak 10 sampai 15 kali sehingga serangga berjatuhan. Serangga ini dapat langsung dihitung jumlahnya sambil diidentifikasi atau dikumpulkan ke dalam botol pengawet untuk pengerjaan selanjutnya. Cara ini baik untuk menangani serangga yang bergerak lambat serta tumbuhan masih rendah dan muda sehingga tidak terjadi kerontokan daun atau bunga. Harga absolut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus yang telah diberikan. 3. Jala ayun Alat ini paling umum digunakan untuk mengambil contoh populasi serangga karena dengan alat ini dapat ditangkap serangga dalam jumlah relatif besar, waktu singkat, dan biaya tidak besar. Jala ayun terdiri dari bagian jala berbentuk kerucut, gelang kawat besar atau besi dan sebuah tangkai. Garis tengah jala 38 cm dengan kedalaman 75 cm, panjang tangkai 60 sampai 90 cm dengan garis tengah 2,2 cm. Terdapat berbagai cara untuk mengayun jala ini, misalnya ayunan sepanjang satu baris tumbuhan dan setiap ayunan berbentuk huruf S. Dapat juga dilakukan ayunan sepanjang dua baris tumbuhan dengan cara ayunan huruf S. Tidak hanya ayunan berbentuk huruf S ada juga ayunan yang berbentuk angka 8. Meskipun metoda jala ayun merupakan salah satu metoda yang paling mudah
dilaksanakan, tetapi penafsiran yang didapatkan tidaklah terlalu teliti. Beberapa faktor lingkungan sangat mempengaruhi hasil tangkapan : -
Suhu yang memberikan pengaruh pada pergerakan serangga
-
Suhu dan Kelembaban Udara yang memberikan pengaruh pada posisi tumbuhan dan serangga
-
Kecepatan Angin yang berpengaruh pada tempat bersembunyi serangga
-
Posisi Matahari yang berpengaruh kepada perilaku serangga
-
Ukuran tumbuhan yang berpengaruh pada pelaksanaan ayunan
-
Kerapatan dan Tekstur Daun yang berpangaruh pada pelaksanaan ayunan
4. Jala pengisap atau alat penghisap Tidak hanya perangkap yang mampu menghisap udara sehingga serangga tersedot ke dalamnya, ada juga alat pengambil sa mpel yang bernama D-Vac yang boleh juga dianggap semacam jala yang dapat menghisap udara. Hal ini merupakan jala dengan bingkai logam dihubungkan kepada blower dengan lorong lentur yang terbuat dari karet atau bahan kedap lainnya. Blower digerakkan dengan mesin penggerak kecil dan keseluruhan alat ini dapat dibawa di punggung. Cara pengambilan sampel mempunyai pola yang sama dengan jala ayun. Alat ini sangat cocok untuk mengambil serangga kecil. Segi yang kurang menguntungkan adalah harga dan perawatannya yang mahal. 5. Kotak fumigasi (absolut) Kotak atau kandang fumigasi dapat berupa kotak sampah plastik yang besar dan diberi lubang untuk fumigasi atau dibuat khusus dari kerangka metal yang dibungkus dengan lembaran kayu, plastik, atau seng serta diberi lubang untuk fumigasi. Tinggi kandang sedikit melebihi tinggi tumbuhan dan perlu disediakan alas yang sedikit lebih luas dari dasar kandang. Landasan dapat terdiri dari dua belahan yang dapat disatukan di dasar tumbuhan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menutupkan kandang atau kotak di atas landasan tumbuhan. Fumigasi dilakukan dengan aerosol yang berisi pyretrin 20%. Serangga yang berada di kandang atau kotak berjatuhan dalam waktu 5 sampai 8 detik. Kotak diangkat dan serangga dikumpulkan untuk diidentifikasi dan dihitung. 6. Ekstraksi tumbuhan utuh
Cara ini diperlukan sebuah sangkar kasa dengan ukuran 1,8 x 1,8 x 1,8 m yang berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu dua orang. Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil sampel masuk ke dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator), pemotong tumbuhan, dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar diambil sampai habis, kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diikat erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan dalam plastik lainnya. Sangkar dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa serangga yang keluar dari persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi. 7. Mengektraksi serangga dari tanah Sangat sulit untuk dapat mengumpulkan serangga yang berada di dalam tanah, karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak dapat dengan mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun demikian mengambil sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena lebih dari 90% spesies serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan hidup di dalam atau pada permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan untuk mengumpulkan serangga dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese funnel , menyaring, dan mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan sampel tanah terlebih dahulu. Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor tanah atau sekop. Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya dikembangkan oleh seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun 1990, menggunakan air panas di sekeliling furnel untuk memanaskan dan mengeringkan sampel tanah yang terdapt di dalam furnel. A. Tullgreen, orang Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu pijar yang diletakkan di atas sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah dikembangkan, tetapi semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat kondisi lingkungan menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka untuk keluar dari tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga untuk keluar dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus diperhatikan
adalah pencegahan kematian serangga sebelum ia meninggalkan tanah. Biasanya pemanasan dilakukan secara bertahap sehingga serangga dapat terhindar dari kekeringan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengambil serangga yang berada dalam tahap tidak aktif seperti, telur, pupa, atau serangga-serangga yang dorman. Teknik pengayakan (penyaringan) merupakan suatu teknik yang sangat mekanik. Kelebihan dari teknik ini bila dibandingkan dengan menggunakan Berlese furnel adalah tidak tergantung kepada pergerakan dari serangga. Pengayakan kering atau basah dapat digunakan untuk mengumpulkan serangga. Ayakan yang digunakan adalah ayakan bertingkan dimulai dari ayakan kasar sampai ayakan halus. Metoda ini sangat mengandalkan ukuran tubuh dari serangga (Herlinda, 2010). Metoda pengambangan merupakan metoda yang didasarkan kepada prinsip bahwa partikel yang memiliki gravitasi lebih rendah dari mediumnya akan mengambang pada permukaan medium. Serangga pada umumnya dapat mengambang di atas permukaan air. Efisiensi dari metoda ini dapat ditingkatkan dengan menambahkan garam, seperti magnesium sulfat pada medium. 8. Berbagai perangkap khusus (1) Perangkap cahaya (lampu) Perangkap
ini
khusus
digunakan
untuk
serangga dewasa yang tertarik pada sinar. Serangga yang tertangkap dibunuh dengan air campur minyak tanah atau dengan sianida. Perangkap cahaya merupakan perangkap yang paling banyak digunakan terutama untuk
menangkap
serangga
ham
dari
kelompok ngengat (Lepidoptera) dan nyamuk (Diptera : Culicidae). Hal ini karena banyak ngengat (terutama spesies dari kelompok Noctuidae) dan serangga lain yang tertarik dengan panjang gelombang cahaya yang pendek, makalampu ultra violet banyak digunakan pada perangkap cahaya (2) Perangkap dengan menggunakan umpan
Perangkap tipe ini mengandalkan kepada kemampuan mencium dan mengecap dari serangga. Umpan yang paling umum digunakan adalah makanan. Kairomone merupkan aroma dari makanan yang menyebabkan serangga tertarik atau merubah perilakunya disebut kairomone. Penarik lain yang sering digunakan adalah sex pheromone ( feromon sex). Serangga yang tertarik oleh senyawa ini selanjutnya dapat dibunuh dengan menggunakan kertas berpelekat atau sianida. (3) Perangkap Malaise Perangkap ini merupakan suatu perangkap yang tidak menggunakan umpan dan mengandalkan kepada kebiasaan terbang serangga yang biasanya mengarah ke atas. Perangkap ini pada dasarnya merupakan suatu tenda yang terbuat dari jala halus yang terbuat dari katun atau nilon yang berfungsi untuk menangkap serangga yang terbang. Pada bagian puncak tenda terdapat wadah untuk menampung serangga. (4)
Suatu lembaran alumunium atau kain (karton) diberi perekat khusus dan
direntangkan di tempat yang diperkirakan dilewati serangga terbang. (5)
Perangkap Pitfall merupakan qlat penangkap serangga yang merayap di
tanah, terdiri dari tabung yang ditanam di tanah, corong, dan pelindung digunakan untuk menangkap serangga-serangga yang bergerak di permukaan tanah. Serangga yang melewatinya akan tergelincir masuk ke tabung. Serangga yang tertangkap dibunuh dengan formalin. Masalah yang banyak muncul dari penggunaan perangkap ini adalah curahan air hujan yang dapat menyebabkan air pada wadah penangkap meluap dan serangga yang tertangkap hilang, dengan menggunakan suatu struktur yang dapat mencegah curahan air hujan, masalah ini dapat diatasi (Van Mele, 2004). Berdasarkan hasil praktikum, jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0.163 m, sedangkan jumlah individu per hektarnya adalah 38,34 individu/hektar. Hewan yang berada disekitar petak yang kelompok kami buat yaitu ada kepik leher 1 ekor, kepik 2 ekor, belalang 5 ekor dan wereng 1 ekor. Organisme yang terdapat di sawah ada yang berperan sebagai predator, parasitoid, parasit dan musuh alami. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Arifin et al ., 1997). Hal ini terbukti
dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem (Baehaki, 1991). Menurut Iriadi (1990) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara. Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian, secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Semua makhluk hidup dalam ekosistem alami berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Keragaman jenis dalam ekosistem alamiah sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Riyani, 1992). Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu : a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi. b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya. c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup,
namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya. d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis. e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi. f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi. Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan kelimpahan jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Chan et al ., 2006). Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Faktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Nasution dan Rustiadi 1990). Artropoda predator (serangga dan laba-laba) dalam ekosistem persawahan merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang). Hal ini disebabkan predator memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem efemeral tersebut (Irsan , 2003). Artropoda predator yang telah terbukti efektif mengendalikan hama padi adalah laba-laba pemburu, misalnya Pardosa pseudoannulata dan kumbang Carabidae,
dilaporkan bahwa ekosistem sawah yang kompleks menyediakan beragam tipe habitat.
Berbagai
tipe
habitat
itu
dapat
mendukung
spesies
laba-laba
berkoeksistensi di dalamnya. Rendahnya Indeks dominasi di tanaman padi berpengaruh terhadap tertingginya kemerataan spesies artropoda predator di ekosisem tersebut (Kartohardjono, 1988).
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan dapat disimpulkan :
.
1. Jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0,163 m dan jumlah individu per hektarnya adalah 38,34, diantaranya kami amati, terdapat kepik leher 1 ekor, kepik 2 ekor, belalang 5 ekor dan wereng 2 ekor.
DAFTAR REFERENSI
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12. Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9. Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Department of Industry Tourism and Resources, Australia. Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily. 2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4: 2138-2152. Debach, P. 1973. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London – 884pp. Erawati, Nety Virgo, Sih Kahono. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vol 7 (2) :100-115. Herlinda S. 2005. Jenis dan kelimphan parasitoid Plutella xylostella L. (Lepidoptera: lutellidae) di Sumatera Selatan. Agria 1(2):78 – 83. Herlinda S. 2010. Spore density and viability of entomopathogenic fungal isolates from Indonesia, and its virulence against Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae).Tropical Life Sciences Research. 21(1):13 – 21. Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian. Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami Sebagai Komponen Pengendalian Hama Padi Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1) : 29-46. Kruess, A. and T. Tschamtke. 2000. Spesies dchness and parasitism in a fragmented landscape: experiments and field studies with insects on Vicia sepium. Oecolagia lZ2: 129-137 Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah
Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM. Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat. Santosa, Sartono J. dan Joko Salistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi Pada Ekosistem Sawah. Jurnal Inovasi Pertanian 6(1): 1-10. Van Emden, H.F. 1991. Plant diveNity and natural enemy efficiency in ecosystems. Pages 63 - 80 in: Mackkaue, M., L.E. Ehte. & J. Roland, eds. Critical Issws in Biological Control. Alheneum Press. Creat Brilain. Van Mele, P. dan N.T.T. Cuc, 2004. Semut Sahabat Petani : meningkatkan hasil buah-buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang (Alih bahasa oleh: Rahayu, S.). World Agroforestry Centre (ICRAF), 61 p. Wan Jaafar, Wan N., Norida M., Nur Anura A. and Dzolkhifli Omar. 2013. Evaluation On The Effect of Insecticides on Biodiversity of Anthopod in Rice Ecosytem. Acta Biologica Malaysiana 2(3): 115-123. Widiarta, I Nyoman, Deda K., dan Suprihanto. 2006. Keragaman Arthropoda pada Padi Sawah dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu. J.HPT Tropika 6(2) : 61-69. Wood, B. J. 1991. Development of Integrated control Progams For Pests of Tropical Perenial Crop in Malaya. p. 422-457. In CB. Huffaker (Ed.). Biological Control. Plenum Press, New York. Yaherwandi, S. Manurwoto, D. Buchori, P. Hidayat, dan L.B. Prasetyo. 2007. Keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada struktur landskap pertanian berbeda di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat. Jurnal HPT Tropika, 1 (1): 10-20.