KELAPA SAWIT, MANFAAT DAN PERMASALAHANNYA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DI SUMATERA Jaya Arjuna 1.
Pendahuluan
Diawali dengan empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa Belanda dari Mauritius tahun 1848, pada tahun 1875 Kelapa Sawit mulai ditanam pada lahan seluas 0,4 Ha di Tanah Deli. Tahun 1911 Kelapa Sawit dibudidayakan secara komersil oleh Adrien Haller pengusaha swasta dari Belgia. Pada tahun 1940 perusahaan perkebunan swasta telah mengekspor minyak sawit sebesar 250.000 ton ke Eropa. Pemerintah Indonesia mulai terlibat dengan usaha perkebunan pada tahun 1957 dengan cara pengambil alihan perkebunan swasta asing. Usaha perkebunan memerlukan disiplin dan organisasi serta sistem keamanan yang kuat. Berdasarkan pertimbangan ini, pada setiap perkebunan ditempatkan perwira-perwira militer untuk mengelola dan mengamankan jalannya produksi. Pemerintah menjembatani kerjasama antara buruh perkebunan dengan militer. Karena berbagai sebab, produksi kelapa sawit Indonesia pada masa ini mengalami penurunan dan perannya sebagai pemasok terbesar dunia mulai digeser oleh Malasyia. Pada awal pemerintahan orde baru tahun 1968, luas perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia 119.660 Ha, yang terdiri atas 79.209 Ha dikuasai Pemerintah dan 40.451 Ha oleh Perusahaan Swasta. Tahun 1979 rakyat mulai terlibat dalam kepemilikan lahan perkebunan dengan luas 3.125 Ha, sementara kebun Pemerintah 176.408 Ha dan kebun milik Swasta 81.405 Ha. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan Kelapa Sawit mencapai 294.560 ha. dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat karena didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan (PIR-bun). Pesatnya pertumbuhan lahan kebun kelapa sawit Indonesia diawali masuknya modal dari ADB (Asian Development Bank). ADB mendukung program Perkebunan Inti Rakyat perkebunan (PIR-Bun) yang dimulai dari Sumatera Utara. Dukungan Bank diperlukan untuk mengembangkan daerah perbatasan dan daerah terpencil dengan mengandalkan sumber daya manusia peserta Transmigrasi. Pusat Data Info Sawit Kementerian Pertanian RI mencatatkan bahwa PIR Kelapa Sawit dimulai pada 1980/81 di Labuhan Batu dan Langkat, Sumatera Utara. Selanjutnya pengembangan PIR kelapa sawit menyebar ke berbagai daerah seluruh penjuru tanah air seperti Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Jayapura. Tahun 1989 pengusaha Swasta memiliki kebun sawit sedikit lebih luas dari milik Negara dan rakyat memiliki kebun hampir 23% dari seluruh lahan perkebunan sawit seluas 973.528 Ha. Tahun 1990 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 1,126 juta ha yang tersebar diberbagai sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan. Tahun 2000, luas perkebunan sawit mencapai 4,158 juta hektar dan tahun 2010 sudah mencapai 8.385 juta hektar (Tabel 1). Indonesia telah memasuki era ketergantungan kepada Kelapa Sawit dan sekaligus juga mulai muncul penolakan masyarakat karena Industri Kelapa Sawit dinilai telah menurunkan kualitas lingkungan hidup Indonesia. Peningkatan kesadaran pentingnya lingkungan yang baik, sehat dan nyaman bersamaan dengan makin dirasakan peningkatan pendapatan dari usaha Industri Kelapa Sawit. Bila kegiatan pembangunan yang mengandalkan sumber daya alam tidak dikelola secara bijaksana, manfaatnya tidak dapat dinikmati secara bersama. Kesenjangan akan makin dalam, dan pada saat yang sama kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan terus berlangsung. 1
Tabel 1 : Luas Areal Kelapa Sawit dan Produksi Minyak Sawit dari tahun 1968 -2015 Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015, Dirjenbun Kementerian Pertanian 2014
Sumber: Statitik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2013-2015, Dirjenbun-Kementerian Pertanian 2014
Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak kelapa sawit memiliki berbagai keunggulan serta keberbagaian penggunaan yang menjadikannya tetap sebagai produk unggulan Indonesia. Industri Kelapa Sawit memasok kebutuhan dasar manusia baik pangan maupun non pangan, sehingga pertumbuhan permintaannya akan sebanding dengan peningkatan populasi manusia. Melihat dari pemanfaatannya, Minyak Sawit tidak bisa lagi dijauhkan dari kehidupan manusia. Minyak Sawit memiliki khasiat untuk menjaga kesehatan serta aman dikonsumsi. Minyak Sawit dimanfaatkan untuk minyak makan, pembuatan roti, mie dan berbagai jenis makanan lainnya. Minyak Sawit juga jadi bahan dasar pembuatan kosmetik, sabun, bahan kimia, cat dan juga elektronik. Minyak Sawit 2
memiliki kandungan tertinggi untuk vitamin A dan Vitamin E. Makin menipisnya cadangan minyak fosil, maka Minyak Sawit sebagai minyak yang dapat diperbaharui, merupakan pilihan untuk pembuatan biodiesel. Minyak Sawit dinyatakan kalangan industri sebagai minyak masa depan, sementara penggiat lingkungan menyatakan sebagai perusak masa depan. Mulai dari masalah pembukaan dan alih fungsi lahan hutan, penguasaan lahan masyarakat hingga masalah dampak sosial dijadikan isu melawan kehadiran industri kelapa sawit. Industri Kelapa Sawit menimbulkan konflik antara pencinta lingkungan dan penggiat pembangunan. Ada yang mengibaratkan industri sawit ibarat api. Waktu kecil masih aman dan nyaman pemanfaatannya. Bila sudah membesar dan diluar kendali, menimbulkan suasana yang menakutkan karena dia akan melahap siapa saja yang coba menghalanginya. Pertentangan suka dan tak suka akan industri sawit makin keras tanpa ada yang mengalah. Masing masing punya alasan yang kuat atas pendapatnya. Indonesia yang membangun mengandalkan sumber daya alam harus benar benar memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Pembangunan harus berlangsung tanpa menurunkan kualitas lingkungan. Paham kelestarian lingkungan memang hal yang paling sulit untuk diterapkan pada saat lemahnya penegakkan hukum lingkungan, dan ketidak mampuan menghentikan penurunan kualitas lingkungan. Pada saat daya dukung hutan sudah mencapai titik kritis karena luasannya terus menurun, kebutuhan lahan hutan untuk pembangunan terus meningkat pesat. Keberlanjutan pembangunan dan upaya keras melestarikan lingkungan bersamaan dengan giatnya usaha pemodal memanfaatkan lingkungan, khususnya mengurangi luas tutupan hutan untuk diubah menjadi kebun. Akhirnya masyarakat disuguhi dengan berbagai jargon sesuai dengan tujuan pengusungnya yang spesifik. Kata pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan antar generasi, kelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan dan kata senada lainnya selalu digaungkan pencinta lingkungan. Pemerintah dan pengusaha juga melontarkan jargon seperti pro people, pro planet dan pro profit. Tak mungkin membangun tanpa memanfaatkan lingkungan, alam memang diciptakan untuk kesejahteran manusia dll. Masing masing pihak menitik beratkan penerapan jargonnya sesuai dengan dengan tujuan keyakinan yang diusungnya. Tentu saja akan sulit menemukan garis singgung, apalagi bidang singgung karena masing masing bertolak dari titik perbedaan. Memang titik pandang antara penggiat kelestarian lingkungan dengan pelaku kegiatan yang memanfaatkan sumber daya untuk satu objek lingkungan selalu tidak akan sama. Pada posisi ini, Pemerintah harus dapat berperan mencarikan jalan keluarnya. Harus ada sosialisasi yang cerdas menyatakan bahwa industri kelapa sawit mampu mempercepat pembangunan dan menurunkan tingkat kemiskinan, serta mendukung pembangunan Nasional. Di sisi lain juga perlu ditunjukkan secara nyata penerapan hukum bagi yang mencemari atau merusak lingkungan, serta komitmen yang kuat untuk menyelamatkan lingkungan bagi kesejahteraan generasi mendatang. Pemerintah harus mampu membangun model industri kelapa sawit yang tetap mendukung program konservasi, tetap menjaga tegakan pohon dan fungsi hutan. Pemerintah harus mampu melibatkan pengusaha, lembaga peneliti, masyarakat lokal dan juga penggiat lingkungan dalam upaya mencari bentuk pengelolaan industri sawit yang relatif menguntungkan semua pihak. Premerintah juga harus mampu menetapkan luasan hutan yang masih mendukung keberadaan habitat satwa. Programnya harus riil dan transparan, sehingga tidak terkesan adanya rekayasa untuk kepentingan salah satu pihak. Teknologi sudah mampu menjadikan pengolahan kelapa sawit sebagai industri tanpa limbah, harusnya sektor perkebunannya juga harus mampu mengimbangi dampak kerusakan hutan dan penurunan kualitas lingkungan. 3
2.
Kondisi Sebaran Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit
Pemerintah menganggap bahwa struktur industri Minyak Sawit Indonesia tergolong sehat dan berimbang antara petani kecil dan perkebunan besar yang mencakup swasta dan BUMN. Data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian dinyatakan bahwa perkebunan yang diusahakan Negara adalah 6,9%, Swasta Nasional maupun Swasta Asing 51,42% dan Perkebunan Rakyat 41,62%. Perkebunan yang dikuasai rakyat seharusnya dibagi lagi atas kebun rakyat kecil seperti peserta PIR dengan kepemilikan sekitar 2 Ha, kebun Rakyat dengan luas di bawah 25 Ha dan Kebun Rakyat diatas 25 Ha. Pada Tabel 2 terlihat sebaran areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia pada tahun 2013 pada masing masing Propinsi di Indonesia dan Status Penguasaannya. Tabel 2 : Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan Tahun 2013
Sumber: Statitik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2013-2015, Dirjenbun-Kementerian Pertanian 2014
4
Wilayah Sumatera sebagai awal perkebunan kelapa sawit tahun 2015 ini menjadi sorotan masyarakat ramai karena terpaparnya asap. Paparan asap selain menurunkan Kualitas Lingkungan di Wilayah Indonesia, juga menyebabkan ketidaknyamanan hidup masyarakat di Malaysia dan Singapura. Kabut asap menyebabkan kelumpuhan transportasi udara dan darat serta menyebabkan meningkatnya penderita ISPA. Bahkan sampai berakhir dengan kematian. Dampak negatif terjadi akibat pembakaran lahan untuk kegiatan pembukaan kebun kelapa sawit. Tiga daerah tertinggi jumlah titik api serta terluas kawasan hutan dan lahan yang terbakar selain di Kalimantan dan Irian adalah Riau, Sumatera Selatan dan Jambi. Paparan kabut asap mendapat tanggapan negatif dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Paparan kabut asap terjadi karena kurang mampunya pemerintah mengawasi pembangunan kegiatan perkebunan kelapa sawit. Peristiwa kabut asap tahun 2015 merupakan ulangan dari keadaan tahun 1996-1998 yang menunjukkan bahwa kita tidak belajar mengelola perkebunan, terutama memberi efek jera terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. 3.
Pengendalian Pembangunan Industri Perkebunan
Sebagai syarat utama pada seluruh kegiatan yang memberi dampak penting, pembangunan dan operasional Pabrik Kelapa Sawit harus diawali dengan penyusunan dokumen AMDAL. Dokumen AMDAL mengkaji secara mendalam tahapan dan jenis kegiatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Kajian dampak dilakukan terhadap seluruh aspek, komponen dan parameneter apa yang akan berubah dengan adanya kegiatan indutri kelapa sawit. Kajian AMDAL memuat informasi tentang kegiatan pembukaan dan pengelolaan kebun, panen dan pengolahan pasca panen. Identifikasi rona awal lingkungan dilakukan secara cermat termasuk fauna-flora, bentuk spesifik fisik dan kualitas lingkungan menyangkut parameter kimia air, tanah dan udara. Kegiatan yang akan dilaksanakan diinventarisasi, terutama yang diduga akan memberikan dampak terhadap lingkungan. Dalam dokumen AMDAL harus tercantum kegiatan dan prediksi terhadap dampak yang akan menurunkan kualitas lingkungan serta bagaimana cara mengelolanya. Cara pengelolaan harus dicantumkan secara teknis dan terukur. Dampak dari kegiatan yang potensial menurunkan kualitas lingkungan harus dipantau secara rutin dan dianalisis secara cermat. Hasil pantauan dimanfaatkan untuk menyempurnakan kegiatan pengelolaan, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan selama kegiatan berlangsung. Pembukaan lahan dan pengelolaan kebun merupakan hal yang sangat perlu mendapat perhatian dalam kegiatan industri Kelapa Sawit. Pembukaan lahan baru dengan mengkonversi kawasan hutan, bekas lahan berstatus hutan atau areal penggunaan lain seperti bekas hutan memiliki perbedaan kegiatan dan dampaknya dengan lahan yang ditanami ulang (Replanting). Rona awal, fungsi dan status lahan dan kawasannya menyebabkan perbedaan keberadaan jenis, jumlah dan sebaran fauna dan floranya. Sekali lahan hutan berubah jadi lahan sawit yang merubah keberagaman tanaman menjadi monokultur, maka terjadi perubahan total dari flora dan faunanya. Sebenarnya kearifan lingkungan telah diajarkan Belanda pada kegiatan perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Kegiatan pembukaan kebun harus menyisakan lahan hutan tak terjamah sekitar 300 Hektar untuk satu hamparan perkebunan. Lahan cadangan ini disebut dengan Rimba Larangan yang dinyatakan sebagai kawasan konservasi dalam areal perkebunan. Keberadaan rimba larangan diharapkan dapat menampung fauna yang terpaksa hengkang dari habitatnya akibat dijadikan lahan tanaman monokultur. Usaha mengalihfungsi hutan atau bekas hutan menjadi perkebunan dapat digolongkan menjadi kegiatan perkebunan yang legal dan illegal. Lahan legal memperoleh hak guna usahanya dengan memenuhi segala ketentuan teknis dan administratif yang berlaku. Perilaku pengusahaan lahan mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku, 5
khususnya terkait pengelolaan dan pengendalian lingkungan. Lahan perkebunan illegal merupakan kegiatan perkebunan pada lahan status milik negara baik dengan status dan fungsi hutan, maupun bukan hutan dengan cara pakai paksa atau penjarahan terkordinir. Bahkan pada kebun illegal juga dilakukan atas tanah masyarakat yang diambil alih baik atas nama hukum maupun melawan hukum. Perubahan status dan fungsi lahan hutan atau bukan hutan menjadi kawasan perkebunan berdasarkan legalitas usahanya dapat dikatagorikan atas: a. Kebun yang Tidak Memerlukan Izin Khusus Perkebunan yang dinyatakan sebagai perkebunan yang diusahakan rakyat dengan luas di bawah 25 hektar tidak memerlukan izin khusus. Pada status lahan perkebunan rakyat, kegiatan pengelolaan perkebunan harus mendapat pengawasan ketat dari pihak pemerintah. Diperlukan kejujuran para pengusaha sehingga tidak terjadi penguasaan lahan diatas 25 Ha dibawah kordinasi satu kepemilikan modal. Untuk menghindari keruwetan permasalahan pengurusan perizinan, seorang pemilik modal dapat menguasai lahan yang luas atas beberapa nama kepemilikan. Walaupun secara hukum pemiliknya berbeda, tetapi pada kenyataannya dikelola oleh satu sistem perusahaan pengelola. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak, pengelolaan lahan dan tanaman perkebunan serta, tanggung jawab bila terjadi kasus pelanggaran hukum. Kasus yang dikhawatirkan adalah menentukan pemilik pengelola lahan bila terjadi kebakaran atau pembakaran lahan yang menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Hal yang sangat perlu dicermati pemerintah adalah alih fungsi lahan sawah yang jadi milik beberapa orang petani atau kelompok tani menjadi areal tanaman sawit milik seorang pemilik modal. Kewajiban dan kewenangan utama pemerintah adalah mengendalikan luas lahan yang beralih fungsi, membina upaya pengelolaan dan memantau perubahan kualitas lingkungan melalui kajian perubahan daya dukung dan daya tampung kawasan. b. Perkebunan yang Memiliki Izin Perkebunan yang memiliki izin dalam pengelolaannya harus mengikuti aturan yang melekat dalam persyaratan perizinannya. Disamping aturan pengelolaan usaha yang ditetapkan Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan, kegiatan perkebunan juga harus mematuhi ketentuan tidak merusak dan tidak mencemari lingkungan. Kewajiban untuk mengelola lingkungan melekat dalam perizinan yang merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kata kunci dalam pengelolaan perkebunan adalah tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pelaporan rutin usaha perkebunan harus dilakukan ke Dirjen Perkebunan maupun kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan ke Pemerintah Daerah cq BLH. Untuk usaha yang tidak mematuhi aturan, seharusnya pemerintah dapat serta merta mengambil kembali hak penguasaan lahan dan mengembalikan status dan fungsi lahan menjadi hutan. Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pengawasan cermat perlu dilakukan saat dilakukan pembukaan dan persiapan lahan untuk perkebunan dan juga penanaman kembali (replanting). Dampak kegiatan persiapan lahan baik dari kawasan hutan atau bekas hutan maupun replanting, yang paling utama adalah cara pematangan lahan melalui pembakaran atau tidak. Bagi perusahaan yang memiliki izin tetapi tidak memenuhi ketentuan pengelolaan lingkungan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas dan berkeadilan. Tegas sesuai hukum yang berlaku dan berkeadilan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan.
6
c. Perkebunan Illegal Modus perkebunan illegal adalah penguasaan lahan dengan memanfaatkan kelemahan pengawas kawasan hutan oleh petugas yang berwenang. Pemilik modal membayar sejumlah orang untuk membuka lahan. Pembukaan lahan bisa juga dilakukan oleh pemilik modal kecil yang kemudian menjualnya ke pemilik modal besar. Sasaran pertama dan utama pembuka lahan adalah mengambil tegakan kayu yang terdapat dalam kawasan yang dipersiapkan menjadi lahan pekebunan kelapa sawit. Pemilik modal yang membayar pekerja, akan terhindar dari resiko tertangkap tangan sebagai penjarah hutan. Pemilik modal kecil biasanya segera menjual lahan selesai bakar yang sudah dikuasainya secara illegal. Dengan terjualnya lahan, resiko tertangkap tangan waktu kejadian pembakaran sudah terlewati. Membeli lahan yang sudah selesai bakar dari pemodal kecil akan membebaskan pemilik usaha modal besar dari jeratan hukum sebagai pembakar lahan. Upaya legalisasi lahan yang sudah bertumpuk di tangan pengusaha besar akan dapat berjalan lancar bila terdapat “kesepahaman” dengan pemberi izin. Membakar lahan merupakan pilihan menguntungkan dalam membuka kebun, karena biaya operasional pengolahan lahan menjadi lebih kecil. Cara membakar merupakan pilihan utama untuk lahan gambut, karena penggunaan alat berat beresiko amblas ke dalam lapisan gambut. Perilaku membakar hutan untuk pematangan lahan perkebunan dapat terjadi di hutan negara, di areal konsesi perusahaan maupun di lahan masyarakat. Dalam lingkar kegiatan perkebunan illegal, dapat melibatkan berbagai strata dan profesi masyarakat seperti pengklaim lahan, pengurus dan anggota kelompok tani, pelaku pemasar lahan, pemerintah daerah sampai pusat baik atas nama oknum maupun kelompok oknum-oknum, makelar tanah, pembeli lahan kecil, pengumpulan lahan skala besar, sampai perusahaan kecil maupun korporasi. Pada kejadian pembakaran lahan hingga proses “pemutihan” perizinan merupakan suatu rangkaian yang kuat dan terlindung cangkang ampuh. Hanya bagi yang bernasib sial saja terangkat sebagai “contoh kasus” di pengadilan perusakan lingkungan. Seorang pengusaha lahan kelapa sawit illegal tentunya telah memikirkan untung rugi usaha. Acuan perhitungan mereka adalah efektifitas penegakan dan sanksi hukum serta lamanya rentang kepastian hukuman bagi pelanggar hukum. Bila perbuatan tidak tersentuh hukum, maka sejak mulai berbuah (buah pasir) hingga pemerintah tersadar bahwa miliknya telah dikuasasi, mereka akan terus memperoleh keuntungan sebagai pemilik modal usaha. Selama proses pengusutan, penyelidikan, penuntutan dalam persidangan hingga hukuman ditetapkan, pemilik modal akan tetap menerima keuntungan hasil panen dari lahan yang dikuasainya secara tidak sah. Makin lama proses, makin cepat pengembalian modal, makin banyak keuntungan yang didapatkan dan makin besar kemungkinan menguasai lahan lebih lama. Satu hamparan lahan yang sangat luas dan dikuasasi secara illegal sebagai perkebunan Kelapa Sawit, akan terus berproduksi dengan hasilnya “entah untuk dan berbagi dengan siapa”. Walau negara memiliki kekuatan hukum untuk memulihkan fungsinya menjadi hutan, namun kekuatan itu cuma ampuh di atas kertas tanpa mampu merobohkan satu batang pohonpun. Seharusnya usaha perkebunan secara illegal yang pastinya dilakukan terorganisir, proses pemulihan status dan fungsi lahan tidak menunggu hasil putusan hukum. Pemusnahan tanaman dapat dilakukan sesegera penjarahan milik negara diketahui, dan segera diikuti dengan proses menghutankan kembali sebagai kewajiban dari si penjarah. (Gambar 1)
7
POLA RUANG PULAU SUMATERA KAWASAN BUDI DAYA (1)
KAWASAN LINDUNG >40%
kawasan yang harus dilindungi
Kawasan Andalan
kawasan yang harus dihutankan
Perkebunan Dalam Negeri
Perkebunan Dalam Negeri
Badan Hukum
Penanaman Modal Asing
PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Perkebunan Kelapa Sawit
Jasa Hasil Perkebunan
Usaha Lainnya Bio Gas
Budi Daya Ternak Daging
Kompos
(1) KAWASAN BUDI DAYA Peruntukan hutan, pertanian, perkebunan, perikanan kelautan, pertambangan, industry, pariwisata dan pemukiman (2) PENGELOLAAN TIDAK SESUAI ATURAN Terjadi Kebakaran Lahan Dilakukan Pembakaran Lahan Lahan di Kawasan Gambut Dampak Negatif KegiatanTidak Dikelola Melanggaran Aturan Izin Lingkungan
Agrowisata Holtikultura a
Lahan Memiliki Izin
Pengelolaan Tidak Sesuai Aturan (2) Dikembalikan Fungsi Daya Dukung dan Daya Tampung
Pengelolaan Sesuai Aturan
Tidak Memerlukan Izin Khusus
Luas Lahan < 25 Ha.
Industri Pengolahan
LAHAN KEBUN ILLEGAL (3)
Pemasaran Dalam dan Luar Negeri
Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung
Usaha Dapat Dilegalkan DIKENDALIKAN, DIBINA DAN DIPANTAU
Dikembalikan Fungsi Daya Dukung dan Daya Tampung
LAHAN YANG MELANGGAR ATURAN ATAU TIDAK DAPAT DIKENDALIKAN, HARUS DIHUTANKAN KEMBALI
(3) LAHAN KEBUN ILLEGAL
Panjarahan Hutan Negara Penjarahan Tanah Adat/Hak Ulayat Dll. Tindakan Penguasaan Lahan Illegal
Gambar 1: Kerangka Fikir Pengendalian Kegiatan Perkebunan di Pulau Sumatera 8
4.
Pembangunan dan Operasional Pabrik Kelapa Sawit
Pabrik Kelapa Sawit pertama dunia berdiri di Cameroon tahun 1907 yang dibangun oleh Pabrik Mesin KRUPP. Di Indonesia, pengolahan tandan buah segar Kelapa Sawit yang pertama didirikan oleh Belanda di Perkebunan Tanah Itam Ulu ( 1917) Sumatera Utara. Turbin uap terpasang yang pertama di Tanah Itam Ulu adalah buatan pabrik tahun 1925. Penyempurnaan demi penyempurnaan kemampuan mengolah Tandan Buah Segar (TBS) dilakukan dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Namun secara prinsip pengolahan TBS hampir tidak berubah dari pengolahan yang pertama di Afrika yaitu rebus, pisahkan dari tandan, peras minyaknya dan saring untuk lebih memurnikan minyak dari air dan kotoran. Perubahan pada alat dan proses produksi umumnya berdasarkan pada penghematan energi dan sumber daya, peningkatan kualitas minyak dan kepedulian terhadap lingkungan. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan pabrik yang mampu memasok kebutuhan energinya sendiri. Proses produksi dan sumber energi untuk kebutuhan listrik pada proses pengolahan diperoleh dari turbin uap yang ketersediaan uapnya diperoleh dari membakar serabut (Fibre) dan cangkang (Shell). Limbah padat Tandan Kosong (Empty Bunch) dahulunya dibakar dan abunya dijadikan pupuk tanaman untuk pasokan Kalium. Dengan adanya larangan pembakaran, maka Tandan Kosong dijadikan mulsa pada pinggiran piringan tanaman muda. Sekarang nilai ekonomi Tandan Kosong makin meningkat karena bisa dijadikan bahan bakar untuk pembangkit listrik. Pabrik Kelapa Sawit mampu mendapat sumber listrik baru dari Tandan Kosong dengan mengambil minyak ikutan dan mencacah serta menjadikan bahan bakar ketel. Secara keseluruhan PKS dapat dikatakan sebagai pohon industri dengan Zero Waste, sehingga tidak ada yang disebut sebagai limbah. Pada awalnya, limbah cair merupakan limbah PKS yang potensial mencemari lingkungan. Belanda sebagai pengusaha yang memulai industri pengolahan sawit selalu menyediakan lahan rawa untuk menampung limbah cair PKS. Contohnya adalah pengelolaan limbah PKS Tanah Itam Ulu pada awal operasinya ditampung pada sebuah rawa. Luas rawa ditentukan berdasarkan kapasitas produksi. Dengan kapasitas produksi PKS Tanah Itam Ulu sebesar 9 ton TBS perjam, luas rawa penampung limbahnya sekitar 3 Ha. Rawa penampung limbah ditanami bibit ikan Sepat Siam, Gabus dan atau Lele. Ikan dapat dipanen pekerja kebun dan pabrik sebagai sumber protein hewani. Penampungan limbah pada kolam atau rawa alami ini dapat menyelamatkan sungai dari pencemaran. Kandungan organik limbah pengolahan kelapa sawit menjadi pasokan makan ikan, sisanya terurai dengan pengurangan oksigen dalam air kolam yang relatif kecil. Kehidupan biota air tidak terganggu, ikan berkembang biak dengan baik dan masyarakat mendapat manfaat dengan memanen ikan Selama ini, kewajiban mengolah limbah sebelum dibuang ke badan air dilakukan dengan menguraikan kandungan organiknya pada kolam kolam anaerobik, fakultatif dan aerobik. Setelah kandungan organik berkurang, limbah cair dijadikan sebagai pupuk cair dengan pemaparan di antara gawangan sawit. Cara ini dikenal dengan system land aplication. Melalui land application system, tidak ada lagi air limbah yang masuk ke badan aliran air sungai. Fungsi utama pemaparan limbah pada tanah adalah untuk memasok air pada lahan tanaman yang dikenal cukup rakus air. Sebenarnya limbah terolah ini dapat lebih ditingkatkan manfaatnya sebagai penyedia protein hewani dengan memelihara ikan yang sesuai dengan karakteristik kolam atau kualitas air limbahnya. Pemanfaatan limbah
terolah ini masih terkendala dengan adanya aturan yang tidak membiarkan sembarang orang masuk areal kebun kecuali untuk kepentingan perkebunan. Areal kebun hanya boleh untuk kepentingan tanaman Kelapa Sawit. Limbah padat lain adalah Cake yang dihasilkan kalau pabrik menggunakan Decanter 2-phase atau 3-phase pada proses klarifikasi. Proses klarifikasi menggunakan Decanter dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan padat (cake) dengan cair (Sludge dan Oil). Cake dapat dijadikan media biakan larva untuk bahan makanan bebek dan ayam. Larva merupakan makanan bagi unggas dan ikan karena kandungan proteinnya tinggi. Cake bersama dengan limbah cair juga dapat diolah menghasilkan gas methane dan kompos. Secara keseluruhan PKS tidak lagi disebut sebagi penghasil limbah yang potensial menurunkan kualitas lingkungan. Peningkatan manfaat seluruh material yang berhubungan dengan proses pengolah sawit perlu dilakukan oleh berbagai pihak. Material ini dapat berbentuk produk utama, hasil sampingan maupun limbah. Pemantauan dan pengawasan serta bimbingan oleh pejabat pemerintah yang berkewenangan dalam hal pengendalian pembangunan dan seluruh jajarannya sangat diperlukan lebih intensif. Aparat di daerah harus memahami masalah teknis, karena pengendalian pembangunan tidak bisa hanya didekati melalui aspek hukum. Perlu dijalin kerjasama antara perguruan tinggi dan perusahaan yang lebih memiliki visi hemat bahan baku dan hemat energi, sehingga industri proses pengolahan kelapa sawit bukan hanya sampai pada taraf zero pollution, tetapi lebih kaya manfaat untuk kesejahteraan sosial. Hal ini sesuai dengan tuntutan kebijakan pengelolaan lingkungan yang terkait dengan sumber daya alam dari Green Economy menjadi Blue Economy. 5.
Pertumbuhan Areal Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Kegiatan perkelapa-sawitan Indonesia dimulai tahun 1875 ternyata memiliki prospek usaha yang baik. Tahun 1916 sudah ada 19 perusahaan yang menanamkan modalnya untuk usaha perkebunan sawit. Ekspor pertama tahun 1919 sebanyak 576 ton Minyak Sawit yang diolah di PKS Tanah Itam Ulu, makin mengundang pihak Eropah berusaha di bidang perkebunan Kelapa Sawit. Tahun 1920, industri Kelapa Sawit di Indonesia telah melibatkan 34 Perusahaan. Tahun 1980 luas areal kelapa sawit Indonesia adalah 294.560 ha, dan pada tahun 1998 menjadi 3,5 juta Ha. Dalam rentang waktu enam tahun dari tahun 1998, luas lahan Perkebunan Sawit di Indonesia bertumbuh dari 3,5 juta hektar menjadi 5,3 juta Hektar. Pertumbuhan tercepat adalah pada tahun 2006 sebesar 29,92%. Estimasi saat ini Indonesia telah memiliki 10.956.231 Hektar lahan sawit, dan bahkan tahun ini juga ada izin pertambahan seluas tiga ratus lima puluh ribu hektar lebih. Pengusaha perkebunan yang mengalihfungsikan hutan jadi kebun sawit tidak menyisakan areal pinggir sungai, puncak bukit, lahan berkemiringan tinggi dan bahkan menghabiskan areal konservasi yang harusnya dilindungi. Semua ditanami bibit sawit. Semua jadi areal produktif tanaman Kelapa Sawit. Kelapa Sawit dinyatakan pada satu sisi sebagai Industri yang telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi pembangunan pedesaan, mengurangi kemiskinan dan melestarikan lingkungan. Pembangunan usaha kelapa sawit di Indonesia di sisi lain dinyatakan telah menyebabkan konflik, pelanggaran hak asasi manusia dan penjarahan tanah masyarakat. Industri kelapa sawit juga dinyatakan telah memicu kebakaran besar yang menghancurkan hutan, memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim. Akhir akhir ini industri kelapa sawit dinyatakan sebagai sumber penyebar asap, menyebabkan naiknya penderita ISPA dan bahkan menjadi penyebab kematian. Pengusaha sawit menganggap berbagai isu
negatif tentang industri sawit disebarkan berdasarkan persaingan dagang yang tidak sehat oleh pengusaha minyak nabati lain. Industri Kelapa Sawit juga tidak menerima tuduhan sebagai industri rakus sumber daya, menyebarkan kemiskinan dalam wilayah yang luas dan menjadikan petani sebagai sapi perah oleh pemilik PKS. Industri Kelapa Sawit menyatakan telah berhasil membangun infrastruktur di daerah hingga daerah terpencil. Di sisi lain pembangunan usaha kelapa sawit juga dinyatakan merupakan penyebab kehancuran hutan Indonesia. Pro dan kontra ini tidak akan berakhir sebelum ditemukan solusi yang menyebabkan kedua belah pihak merasa sama-sama beruntung. Proses ini seharusnya difasilitasi oleh pemerintah. Kedua belah pihak diajak untuk mampu melihat secara jernih permasalahan sosial ekonomi dan sosial budaya yang ada. Mengurai masalahnya serta mencarikan jalan keluar yang menguntungkan semua pihak. Upaya penanganan termasuk aspek fisik-kimia dan biologi lingkungan hidup. Tentu saja tidak semua pengusaha itu punya niat dan perilaku baik. Bagi petualang dan hanya mau cari untung, pemerintah harus bersikap tegas. Lahan usaha yang ditelantarkan atau dikelola dengan merusak lingkungan, harus diambil kembali melalui jalur hukum. Dipulihkan fungsinya dan pelakunya mendapat hukuman berat. Peraturan yang berlaku juga harus dievaluasi. Lingkungan Indonesia hanya terlindungi bila hukum dilaksanakan secara adil dan merata untuk seluruh orang dan sanksinya di terapkan dengan tegas. Masalah lingkungan bukan hanya masalah Indonesia saja. Dunia juga punya kepentingan. Kita berada pada satu kapal yang sama, sehingga secara bersama juga harus saling mengawasi agar tidak ada yang membuat kerusakan pada bagian kapal. Bagi negara lain, masalah lingkungan selalu dikaitkan dengana masalah ekonomi dan hak azazi manusia. Walaupun belum sepenuhnya menjalankan, namun bila yakin dan serius kita juga bisa. Pertimbangan dunia usaha kini bukan hanya memperhatikan masalah lingkungan, tetapi juga harus memperhatikan masalah kesejahteraaan sosial. 6.
Permasalahan Lingkungan Usaha Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit
Pertumbuhan lahan kelapa sawit dengan luas sampai 2,5 juta hektar tahun 1998 harus dibayar mahal. Indonesia disebut sebagai perusak lingkungan melalui penyebaran kabut asap sebagai dampak pembukaan lahan dengan cara membakar dan merusak lahan gambut. Dukungan Bank Dunia dan ADB yang mendanai beberapa proyek perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1980 ternyata tidak disertai dengan kesadaran dan penguatan penegakkan hukum lingkungan. Pemilik kebun kelapa sawit mendapat dukungan sumber daya manusia dengan ketersediaan pekerja melalui program transmigrasi. Program transmigrasi berjalan tanpa hambatan, karena dikaitkan dengan perlindungan terhadap daerah terluar wilayah Indonesia. Berbagai wilayah kebun baru bermunculan di Papua dan Kalimantan bersamaan dengan perluasan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Namun dampak penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan perkebunan dan industri pengolahannya seakan terlalaikan karena silau dengan banyaknya uang beredar. Percepatan pembukaan kebun baru bukan hanya karena dibiayai oleh Bank, tetapi juga karena potensi kayu bernilai ekonomi tinggi pada areal hutan yang akan dijadikan lahan Kelapa Sawit. Bersamaan dengan pembukaan lahan, berbagai kasus terkait kepemilikan lahan dan habitat masyarakat lokal serta kehancuran flora dan fauna mulai mencuat. Pembangunan mulai dihadapkan dengan penurunan kualitas lingkungan dari aspek fisik kimia-biologi dan sosek-sosbud. Kelompok penentang kerusakan lingkungan berhadapan dengan provokasi pembelaan diri kelompok pengusaha kebun yang kadangkala terbantu dengan
keberpihakan penguasa. Isu pelanggaran HAM terkait hak mayarakat adat dan juga petani kecil yang lahannya tiba tiba berada dalam HGU kepemilikan pengusaha besar, mulai dikenal dan bahkan dicuatkan ke seluruh dunia. Penguasaan lahan dilakukan dengan cara bujukan hingga intimidasi, dan bukan tak mungkin juga berujung dengan kekerasan fisik. Masyarakat mulai mengenal istilah pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Begitu juga lembaran media massa mulai dihiasi kata konflik dan bentrok fisik dan bahkan kematian warga masyarakat karena disiksa kelompok orang tak dikenal. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang dikutip Reuter, 6 Januari 2010, (http://in.reuters.com/ article/2010/01/06/idINIndia-45191820100106) menyatakan bahwa Indonesia hanya memiliki 37% hutan yang baik dari 130 juta hutan yang ada. Pertumbuhan luas lahan kelapa sawit yang bertambah cukup tinggi sampai tahun 2006 adalah dari bekas lahan hutan. Bahkan dalam tulisan Promised Land, 2006, Sawit Watch, FPP, HuMa and World Agroforestry Centre yang diakses dari http://www.forestpeoples.org/sites/ fpp/files/publication/2010/08/ promise dlandeng .pdf menyatakan bahwa pengusaha yang telah meminta izin untuk membuka lahan sawit tidak semua bertujuan membuka kebun kelapa sawit. Pengusaha hanya mengambil kayunya dan menanam sepertiga dari luas lahan yang tidak memiliki tegakan kayu lagi. Tidak heran bila pengembang industri kelapa sawit dituding sebagai penyebab menurunnya luas tegakan hutan. Permasalahan demi permasalahan mulai dikaji dan ditampilkan ke ruang baca dan fikir khalayak ramai. Kasus kabut asap tahun 1998 ternyata berulang. Kerusakan akibat kebakaran, sebaran dan tebal kabut asap jauh lebih besar dan siginifikan di tahun 2015. Sebagai produk unggulan Indonesia, secara ekonomi Kelapa Sawit memang dibutuhkan dunia. Pemerintah perlu mengkaji keberadaan dan dampak kegiatannya pada masa lalu, membuat rencana pembangunan dan pengembangan untuk masa yang akan datang. Perlu dilakukan kajian relatif detil untuk dampak keberadaan industry kelapa sawit oleh pihak yang lebih independent. Beberapa hal yang perlu dikaji mendalam untuk bahan pertimbangan dalam program pembangunan dan pengembangan industri kelapa sawit saat ini dan masa mendatang adalah: a. Lahan Awalnya alas hak penguasaan tanah untuk perkebunan sawit di Sumatera Timur adalah dari Grant Sultan Deli. Pada prores nasionalissi, pemerintah bukan hanya menasionalisasi perusahaannya, melainkan juga hak atas kepemilikan lahan. Tanah perkebunan yang tadinya milik Sultan menjadi milik Perusahaan Perkebunan Negara. Tahun 1980an, perusahaan perkebunan swasta mulai berkembang dengan bantuan ADB dan Bank Dunia. Lahan hutan beralih fungsi menjadi perkebunan. Tentu saja sasaran pertama adalah mengambil kayu yang kemudian diikuti dengan pembukaan kebun dan menanami dengan kelapa sawit. Sebagian besar perusahaan swasta tidak melanjutkan mengusahakan lahan perkebunan sawit dan hanya fokus pada kayu saja. Makin meningkatnya kebutuhan dunia akan CPO menjadikan pemilik modal makin haus lahan. Kebijakan Pemerintah mengundang dan mendukung investasi bidang Kelapa Sawit menyebabkan Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN) telah tersingkirkan perannya dalam dunia usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Dua puluh lima group perusahaaan Kelapa Sawit milik swasta Nasional dan Asing telah menguasai 5,9 juta hektar lahan, dari 11,44 juta hektar lahan Indonesia dengan peruntukkan kebun Kelapa Sawit. Dari 5,9 juta hektar tersebut masih ada sekitar 2 juta hektar yang belum ditanami, tetapi alas hak pengelolaanya telah diakui sebagai milik pengusaha.
Kelompok perusahaan yang paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai. Permasalahan penguasaan lahan dari pengusaha besar terutama terkait dengan hak atas tanah masyarakat yang hampir keseluruhan tidak memiliki surat kepemilikan. Masyarakat yang keseluruhan hidupnya dan bahkan secara turun temurun telah memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian, tiba tiba harus dipaksa keluar karena kebunnya dinyatakan masuk dalam areal hak pemegang konsensi sebuah perusahaan perkebunan. Dari segi administrasi dan kekuatan hukum. masyarakat pasti kalah. Mereka tidak pernah memiliki, bahkan memikirkan untuk mengurus surat hak kepemilikan lahan yang mereka usahakan. Tanah milik Allah. Mereka sudah mengolahnya seumur hidupnya dan juga dari nenek moyangnya telah mengusahakan untuk kehidupan. Pada hamparan lahan terebut mereka sudah bangun kehidupan sosial dan adat istiadat yang mengatur hubungan antar mereka. Sesama mereka juga sudah saling menghormati bahwa sampai batas tertentu adalah hak milik si Fulan, dan wilayah lainnya adalah milik si Fulan. Mereka berbagi lahan sesuai dengan kemampuan mereka mengolah yang hasilnya menjamin kehidupan mereka dan keluarganya. Bagi masyarakat, hak untuk berusaha atas tanah yang telah dihuninya bergenerasi adalah masalah hidup mati. Bagi pengusaha keberadaan mereka dalam areal konsensinya merupakan ancaman gangguan. Konflik lahan mulai terjadi dimana areal perkebunan baru mulai dibuka. Bentrokan antara masyarakat dan pekerja pengelola perkebunan tidak terelakkan. Pengusaha biasanya akan meminta bantuan aparat keamanan untuk mengamankan hak mereka yang telah diakui sah secara hukum. Bentrok demi bentrok yang terjadi antar anak negeri kadangkala bisa berakibat cedera fisik, dan bahkan sampai menghantar ke gerbang kematian. Sebagai rakyat kecil, tentu saja penderitaan mereka hampir tidak terdengar. Secara hukumpun mereka tidak dapat dibela, karena mereka menempati areal yang sudah sah secara hukum dikuasai perusahaan. Dalam konflik seperti ini, semua dapat saja memanfaatkan siapa. Bila beritanya sampai bocor keluar dan jadi konsumsi masyarakat luas, maka kasusnya bisa berubah jadi pelanggaran Hak Azazi Manusia. Konflik berkepanjangan di beberapa daerah dapat membahayakan dunia usaha, dan tentu saja hak hidup masyarakat yang berkonflik juga terimbas. Kenyamanan bisnis pengusaha juga bisa terganggu karena produk mereka dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang sudah mulai dijadikan pertimbangan atas boleh atau tidaknya sebuah produk masuk pasar dunia. Pasar dunia akan bereaksi negatif terhadap produk yang dianggap bermasalah. Alasan lingkungan bisa saja dijadikan tameng, karena sebenarnya lebih kental alasan bisnisnya. Produk dari perusahaan yang dituduh merusak lingkungan akan ditolak di pasar perdagangan dunia oleh para pesaingnya. Ketetapan dunia perdagangan sudah mengikat. Produk Kelapa Sawit yang masuk ke pasaran dunia harus jelas dari mana sumber bahan bakunya. Produk dari lahan yang diduga hasil jarahan perusahaan terhadap lahan masyarakat, atau lahan hasil jarahan masyarakat terhadap kawasan hutan merupakan isu negatif bagi memasuki pasar dunia. b. Pabrik Minyak Kelapa Sawit
Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sampai tahun 2014 dinyatakan seluas 4,55 juta Ha. Badrun (2013) dalam buku Pertanian Berbasis Kelapa Sawit: Dari limbah ke Limbah Menuju Ekonomi Biru menuliskan bahwa perkebunan rakyat diklasifikasi atas kebun rakyat pola plasma, pola kemitraan, perkebunan rakyat swadaya dan kebun rakyat lainnya. Luas seluruh kebun rakyat mencapai 41,5% berbanding dengan Perkebunan Besar Nasional (PTPN?) hanya 6,83%. Walaupun dari segi luas cukup signifikan, tetapi menurut mantan Dirjen Perkebunan, tingkat Produktivitas kebun rakyat lebih rendah sehingga mengakibatkan terjadinya pemborosan sumberdaya lahan. Benarkah tingkat produktivitas kebun rakyat lebih rendah? Apakah buah yang dipanen dari Perkebunan Besar Swasta Nasional dan Swasta Asing memang lebih baik kualitasnya dari kebun rakyat. Bagaimana cara mengujinya? Pernyataan Perkebunan Rakyat produktivitasnya rendah sebenarnya ditengarai lebih berdasarkan perhitungan ekonomi dari pada pertimbangan kualitas. Rendahnya tingkat produktivitas merupakan dasar penentuan harga pembelian TBS oleh pemilik PKS. Harga pembelian TBS terkait dengan ketentuan harga jual CPO. Produktivitas CPO ditentukan oleh rendemennya. Bila dari awal produktivitas kebun rakyat sudah dinyatakan rendah, maka rakyat tidak akan bisa membantah bila PKS menetapkan rendemen hanya 18%. Petani sebagai perorangan yang melakukan usaha perkebunan dan melakukan kemitraan usaha dengan Pabrik Kelapa Sawit seakan tidak punya hak menentukan harga jual TBS. Pembelian TBS ditetapkan oleh TIM yang terdiri dari pihak pemerintah, Perusahaan Perkebunan dan Wakil Pekebun serta instansi lainnya. Tujuan peraturan penetapan harga TBS untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar TBS bagi produksi pekebun. Tujuan lain adalah menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Sebenarnya persaingan tidak sehat di antara PKS hanya mungkin akan terjadi pada waktu tidak musim buah. Aturan yang tidak membolehkan adanya persaingan tidak sehat antar PKS, menyebabkan petani pekebun tidak mungkin mencari pembeli yang lebih mahal. Bila panen puncak, pemilik PKS tentu saja lebih mengutamakan mengolah dari kebun sendiri. Bukan tidak mungkin pula mereka akan menolak produksi panen dari kebun rakyat. Pembelian TBS agak baik hanya akan terjadi bila tidak ada buah dan pembelinya terbatas pada PKS yang tidak punya kebun. Bila tidak ada buah atau harga CPO sedang baik, maka PKS berlomba membeli dengan harga cukup tinggi. Pada waktu ini juga muncul “buah terlarang” yang merupakan hasil panenan “ninja” atau dikenal dengan buah curian. Tentu saja bagi pekebun yang ingin berbisnis dengan baik, jujur dan halal tidak akan terlibat dengan kondisi ini. Rendemen hasil produksi Perkebunan Besar Nasional dan Swasta maupun Perkebunan Rakyat memang tergantung dari jenis dan usia tanaman. Namun setelah usia tanaman lebih tujuh atau delapan tahun, perbedaan rendemen tidak akan terpaut jauh. Pengolahan yang baik umumnya akan menghasilkan rendemen 23% - 25%. Selisih yang lima persen ini dinikmati oleh pemilik PKS. Rendahnya rendemen adalah kesalahan dari pabrik yang tidak efektif, namun keputusannya merugikan petani.. Saat Pemerintah menerapkan pajak ekspor yang merupakan pemotongan sebagian kecil keuntungan eksportir, bebannya akhirnya juga justru dibebankan pada petani. Pemilik PKS masih menikmati keuntungan dari harga jual cangkang (Shell) yang bisa dijadikan bahan bakar atau bahan karbon aktif. Sesuai dengan perkembangan teknologi, PKS masih bisa lagi mendapatkan keuntungan dari Tandan Kosong yang beratnya 21-22% dari TBS, karena bisa dijadikan bahan bakar ketel yang tenaga uapnya dapat diubah
menjadi tenaga listrik. Listrik juga bisa dihasilkan dari limbah cair serta padat stasiun klarifikasi yang diproses menghasilkan gas methane. Dasar penentuan angka rendemen dan pemasukan lain dari produk utama maupun produk sampingan proses pengolahan kelapa sawit umumnya tidak diketahui oleh petani. Petani Kelapa Sawit akan lebih mendapat untung bila memiliki Pabrik Kelapa Sawit sendiri. Namun upaya memiliki PKS sendiri adalah impian petani maupun kelompok tani yang tak pernah terwujud, walau mereka tahu bahwa mereka telah dijadikan sapi perah oleh pemilik PKS. Tidak benar bahwa Produktivitas Perkebunan Rakyat yang rendah akan memboroskan sumber daya alam. Yang tepat adalah petani memperoleh hasil tidak sesuai dengan usaha mereka, dan keuntungan itu jatuhnya pada pemilik modal tanpa pemerintah berbuat apapun untuk membantunya. PKS milik Perkebunan Besar Nasional juga memperlakukan petani sama, karena Menteri menetapkan pedoman harga pembelian TBS berlaku sama untuk semua pembeli. Pemerintah bahkan memberi izin beroperasinya pabrik yang tidak punya kebun daripada memfasilitasi permodalan perkebunan rakyat untuk membangun PKS sendiri. Untuk lahan seluas 6.000 s.d. 7.000 Ha, bila melalui pola PIR Transmigrasi akan melibatkan 2500 s.d. 3.000 petani. Kelompok ini sebenarnya sudah dapat dibangun sebuah PKS berkapasitas 30 ton TBS/jam dengan nilai sekitar sekitar 130 Milyar. Petani dapat membangun usaha bersama melalui pembentukan perusahaan atau koperasi yang jadi pemilik PKS. Permodalan dapat diusahakan bersama melalui kewajiban membeli saham. Pemerintah dapat meminjamkan dana pajak ekspor pada petani dan juga dapat menjadi penjamin pinjaman pada Bank. Mungkin dengan keuntungan sebanyak lima persen yang selama ini hilang dari tangan petani, dalam waktu singkat modal pembangunan PKS akan segera kembali. c. Penyerapan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia Bila dihitung dari segi sumberdaya alam yang terpakai, nilai ekonomi yang diperoleh serta kemampuannya mendukung kehidupan, industri kelapa sawit termasuk industri yang boros dan tidak akrab lingkungan. Kelapa sawit membutuhkan air yang cukup banyak. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air dalam proses pertumbuhannya. Menurut Widodo dan Dasanto dalam tulisannya Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Dintinjau dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (tersedia online di http://journal.ipb.ac.id/index.php/ agromet), Kelapa Sawit dapat tumbuh dengan baik apabila air tanah tersedia secara cukup atau curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm, tanpa periode kering yang nyata. Tanaman Kelapa Sawit yang monokultur menyebabkan peningkatan air limpasan dua belas kali lebih besar dari limpasan hutan. Selain untuk proses evapotranspirasi, pembukaan hutan jadi perkebunan tanaman monokultur meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mm/tahun. Semakin tua tanaman, semakin banyak kebutuhan unsur hara dan air. Jumlah kebutuhan air untuk satu pohon kelapa sawit dalam sehari mencapai 12 liter per hari. Dalam satu hektar terdapat 140 hingga 144 batang pohon sehingga kebutuhan air untuk satu hektar adalah 1.680 liter –1.728 liter perhari. Diperkirakan kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit adalah berkisar 1 s.d. 1,2 ton/Ha/tahun. Sawit akan menghasilkan 2 – 2,5 ton TBS/Ha/bulan dengan hasil CPO sekitar 20-25% TBS dan membutuhkan air sekitar 52 ton perhektar perbulan. Saat ini terdapat 10.956.231 hektar lahan sawit. Seharusnya harga CPO yang diekspor juga memperhitungkan harga air dan unsur hara yang terbawa ke luar negeri. Selama ini
pengusaha tidak pernah memasukkan harga air dan kerusakan lingkungan dalam perhitungan untung ruginya. Air masih dianggap benda non ekonomis, sehingga tidak masuk dalam modal. Bila sudah ada perhitungan yang rasional, maka wajar bila Pemerintah meningkatkan pajak ekspor. Volume air untuk memenuhi kebutuhan sawit bisa dialihkan atau dikompensasi untuk kebutuhan tanaman padi atau tanaman pangan lainnya. Pajak ekspor dapat digunakan untuk memulihkan kualitas lingkungan terutama untuk mengelola sumber daya air. Bisa juga untuk subsidi silang mengembangkan dan memperkuat daya dukung tanaman pangan. Berdasarkan hal ini, pengenaan pajak ekspor tidak lagi hanya diperhitungkan pada harga CPO di pasaran dunia. Tinggi rendahnya harga ekspor CPO tidak mempengaruhi jumlah sumber daya air yang diserapnya dari alam. Dari segi penyerapan Sumber Daya Manusia, Usaha Industri Kelapa Sawit termasuk sangat rendah berbanding luas lahan yang terpakai. Untuk setiap hektar lahan sawit hanya perlu 0,4 s.d. 0,6 tenaga kerja. Untuk menjadi pekerja di kebun kelapa sawit tidak perlu pendidikan dan ketrampilan khusus. Struktur gaji pada satu kebun 80% menerima gaji setingkat karyawan biasa dengan standard UMR atau UMP. Hanya satu orang manager yang bergaji sangat jauh diatas UMR, dan sisa lainnya lima s.d. lima belas kali UMR. Dari struktur ini terlihat untuk areal yang cukup luas, Perkebunan Kelapa Sawit hanya menyerap sedikit tenaga kerja, dan sebagian besar diantaranya hanya menerima gaji sebatas UMR. Kondisi ini merugikan dalam perhitungan masyarakat yang daerahnya memiliki lahan kelapa sawit luas. Sebagai contoh Kabupaten Labuhan Batu di Sumatera Utara memiliki 370.000 Ha kebun dan 28 Pabrik Minyak Sawit. Pendapatan Asli Daerah berada pada peringkat 3 di Sumatera Utara dan di sisi lain peringkat kemiskinannya berada pada peringkat 8 di Sumut. Bila dibandingkan dengan buruh kebun di Malaysia untuk komoditas yang sama dan harga jual di pasaran inter nasional relatif sama, upah buruh Indonesia tidak sampai sepertiga dari buruh kebun Malaysia. Uniknya, sebagian besar buruh kebun sawit Malaysia adalah perantauan dari Indonesia. Keuntungan yang menjanjikan telah mendorong perusahaan sawit Malaysia berekspansi ke Indonesia. Tentu saja penggajian yang mereka terapkan sesuai dengan sistem penggajian yang berlaku umum di seluruh perkebunan Indonesia. Relatif sekitar batas UMR. Bagi pembangunan daerah, keberadaan industri Kelapa Sawit tidak memberikan manfaat yang signifikan, karena Usaha Industri Sawit adalah industri padat modal yang menguasai lahan begitu luas. Penguasaan lahan ini membatasi masyarakat dari sumber daya, sementara kegiatan itu sendiri hanya menyerap tenaga kerja relatif kecil dan upah hanya sebatas Upah Minimum Regional atau bisa juga mengikut Upah Minimum Provinsi. (Tabel 3)
Tabel 3 : Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat, Besar Negara, Besar Swasta Nasional dan Besar Swasta Asing (PR+PBN+PBS+PBSA) Menurut Propinsi dan Keadaan Tanaman tahun 2013
Sumber: Statitik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2013-2015, Dirjenbun-Kementerian Pertanian 2014
d. Replanting Sebelum tahun 2000an, masalah replanting selalu dikaitkan dengan kebakaran lahan. Sejak adanya aturan perundang-undangan yang melarang penyiapan lahan tidak dibenarkan dengan cara membakar, kasus pembakaran lahan relatif sudah berhenti. Persiapan lahan dengan cara membakar merupakan cara yang mudah dilakukan, murah dan sekaligus dapat menaikkan pH tanah. Indonesia sebenarnya sudah meneliti dan mencoba mengembangkan teknologi untuk memanfaatkan batang pohon sawit tua untuk dijadikan papan atau jadi sumber energi biomassa. Pemanfaatan pohon sawit tua akan mengurangi dampak penggunaan racun Natrium Arsenit 20 cc perpokok(tersedia on line di Blog Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta situs http://agroteknologiupn.blogspot.co.id/2010/03/metode-pembukaan-lahan-kelapasawit_28.html) terhadap tanah/air tanah. Selain masalah lingkungan, proses replanting juga terkait masalah sosial ekonomi ratusan ribu, atau mungkin juga jutaan rakyat kecil yang terlibat dalam kegiatan perkebunan sawit. Lahan masyarakat yang ikut dalam program Perkebunan Inti Rakyat (PIR BUN) kini sudah memasuki masa replanting. Replanting memerlukan modal dan juga minimal ada pasokan uang selama tiga tahun karena tidak ada pendapatan dari penjualan buah. Bagi masyarakat, beban modal ini sangat berat. Masyarakat sangat menunggu realisasi program revitalisasi perkebunan dari pemerintah. Dikhawatirkan bila tidak ada “sinterklas”, sertifikat tanah yang dimiliki masyarakat secara perorangan maupun secara kelompok akan berpindah ke tangan pemodal besar. Petani pemilik lahan yang selama ini dapat penghasilan tetap dari hasil kebun kelapa sawit akan berubah menjadi petani buruh. Bukan tidak mungkin mereka harus bekerja sebagai buruh harian lepas pada bekas lahan miliknya sendiri. Badrun (2013) menyatakan potensi limbah kayu replanting adalah 42 juta m3/tahun. Limbah kayu ini tersedia sepanjang tahun selama kegiatan perkebunan masih ada. Jumlahnya bahkan makin bertambah sesuai dengan pertambahan luas lahan tanaman. Dari kayu hasil replanting dapat dijadikan kayu lapis dan juga papan blok. Limbah
kayu juga bisa dijadikan biogas. Limbah padat kelapa sawit dapat membangkitkan 90 juta m3 biogas yang setara 187,5 miliar ton gas elpiji pertahun. Hasil replanting ini mungkin dapat dimanfaatkan untuk membantu rakyat pemilik lahan yang tidak punya modal untuk replanting. Tentunya juga menyokong kehidupan mereka sampai mendapatkan pendapatan kembali dari menjual buah hasil panen tanaman baru. e. Penjarahan Kearifan Lokal Rimba Larangan Belanda sebagai pelopor pembukaan kebun di Sumatera Utara menerapkan adanya sistem rimba larangan pada kawasan areal perkebunan. Tidak seluruh lahan dijadikan kebun. Hamparan hutan harus disisakan 300 – 500 Ha untuk dijaga tetap sebagai hutan perawan. Hutan ini diharapkan dapat menampung hewan yang terpaksa harus pindah karena habitatnya dijadikan areal tanaman monokultur. Walau luas areal hutan bertambah kecil dan mengalami fragmementasi, namun masih ada kemungkinan untuk hidup. Kearifan yang sangat berpihak pada lingkungan ini ternyata tidak diwarisi oleh pelaku kebun kita, baik PTPN, Swasta Nasional/Asing, apalagi milik rakyat biasa. Semua dijadikan lahan sawit. Adanya lahan hutan yang tersisa dinyatakan dapat sebagai ancaman bagi perkebunan karena jadi sumber hama. Rimba larangan yang dulunya pernah ada berlokasi di Batang Kuis seluas 300 Ha dan di Labuhan Batu dengan Nama Holiday Resort seluas 1000 Ha, kini punah diganti hamparan tegakan batang kelapa sawit. Belanda penguras harta kekayaan negara jajahannya ternyata masih memikirkan kelestarian daya dukung lingkungan. Walau kita menuding Belanda sekedar untuk memperlama penguasaan sumberdaya, ternyata perilaku baiknya untuk lingkungan tidak mampu kita tiru untuk kebaikan tanah air milik kita sendiri. Penjajah Belanda lebih peduli dengan kelestarian kehidupan binatang atau keberadaan tanaman di hutan yang bermanfaat untuk generasi sekarang dan akan datang. Bila sudah jadi kebun Kelapa Sawit, tidak ada lagi cerita hewan liar dan tanaman endemik. f. Tumpang Sari Ternak dan Tanaman di Kebun Sawit Perkebunan sawit dulunya dijadikan Belanda sebagai areal khusus dan diberlakukan hukum kekuasaan khusus. Tuan Kebon itu identik dengan raja dalam suatu areal yang memiliki kekuasaan mutlak. Di bawah Tuan Kebon ada Mandor yang memiliki kekuasaan menjalankan seluruh aturan yang digariskan Tuan Kebon. Portal merupakan batas areal kekuasaan Tuan Kebon yang hanya terbuka untuk kalangan atau kepentingan tertentu. Sistem kekuasaan Tuan Kebon pada suatu Perkebunan berlangsung sampai Republik sudah Merdeka dan bahkan sampai kini. Agar produktivitas kebun tetap tinggi, memang diperlukan disiplin karyawan yang tinggi. Menjaga disiplin diperlukan aturan yang keras dan diberlalukan dengan tegas. Dari dulu sampai sekarang struktur organisasi kebun itu memang masih mirip dengan kerajaan. Satu raja dengan beberapa punggawa dan hulubalang serta prajurit. Yang lainnya adalah rakyat hamba sahaya yang tunduk pada kekuasaan dan kehendak raja. Disiplin mati tanpa dibenarkan ada bantahan atau sanggahan. Masuk ke areal kebun kita hanya menemukan pohon Sawit dan tumbuhan penutup tanah. Tidak boleh ada yang lain. Tidak ada ternak berkeliaran, walau terdapat hamparan rumput yang dapat dijadikan makanan ternak. Tidak ada ubi kayu, kedelai, jagung, tomat atau cabe walau tersedia areal untuk ditanami. Kebun Sawit adalah untuk tanaman sawit. Kesakralan areal kebun sawit mulai terganggu dengan makin meningkatnya kebutuhan terhadap lahan dan juga terhadap produksi lain selain sawit.
Kebun sawit yang dianggap menguasai lahan secara ekslusif mulai dilirik karena sumber daya alam demikian besar hanya untuk satu komoditi. Ilmu pengetahuan juga menyambut baik dengan diinformasikannya hasil penelitian terkait industri kelapa sawit. Berkat keseriusan peneliti, Pabrik Kelapa Sawit sudah bisa dinyatakan sebagai Zero Waste Industry. Isu Green Economy dengan menghindari dampak buruk Industri Sawit terhadap lingkungan sekitar, telah dilalui dengan hasil yang baik. Isu Blue Economy yang mencari nilai tambah baru suatu kegiatan dengan meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial, efisiensi pemanfataan sumber daya alam, sistem produksi tanpa limbah sedang dan harus diterapkan pada Industri Kelapa Sawit. Luasnya hamparan hijau tanaman penutup tanah di antara gawangan sawit yang difungsikan untuk menjaga iklim mikro diantara tanaman dapat terjaga, dianggap potensial sebagai areal pemeliharaan sapi atau lembu lembu. Memelihara lembu di areal kebun sawit akan menguntungkan, karena dapat menghasilkan pupuk organik serta penguraian kandungan organiknya dapat menghasilkan gas sebagai sumber energy. Gas hasil fermentasi kotoran sapi dapat digunakan menggerakkan turbin pembangkit listrik, keperluan rumah tangga maupun untuk kendaraan. Ketersediaan sumber energy panas juga dapat mendukung industri ternak ayam potong. Pelepah sawit bersama dengan bungkil inti sawit merupakan pasokan makan sapi, sehingga meningkatkan efisiensi sumber daya. Sapi juga memasok kebutuhan protein hewani yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Masyarakat bisa didorong untuk beternak sapi di lahannya. Mungkin pola PIR juga bisa dimodifikasi untuk pertenakan sapi. Bantuan bungkil Inti Sawit untuk pakan dan mencarikan penjualan ternaknya bisa dilakukan Pengusaha Besar baik Nasional maupun Swasta. Tumbuhan penutup tanah yang biasa disebut dengan kacangan ini harusnya diganti dengan tanaman kacangan yang punyai nilai ekonomi untuk pakan ternak, namun tetap dengan fungsi yang sama sebagai tanaman penutup tanah bagi tanaman Kelapa Sawit. Selain memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam, kacangan yang punya nilai ekonomis juga dapat menambah pendapatan petani atau karyawan kebun. Menteri Pertanian RI telah menerbitkan Peraturan No. 105/Permentan/PD.300/8/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budi Daya Sapi Potong. Upaya pengintegrasian ini dibina dan diawasi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota sesuai Peraturan Menteri ini memberikan kepastian bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan/atau pelaku usaha budi daya sapi potong dalam melakukan integrasi usaha sawit-sapi dengan pendekatan kemanfaatan, keterpaduan, dan keberlanjutan. Sapi dapat digembalakan untuk mencari makanan sendiri sepanjang hari pada lahan sawit, dilepas/digembalakan dari pagi sampai sore atau dikandangkan dengan menjadikan lahan perkebunan sebagai sumber makanan. Tentu saja Pemerintah juga harus turun tangan untuk membina sistem penjualan sapi yang selama ini lebih banyak menguntungkan pedagang perantara. Pengelola dapat langsung bekerjasama dengan Rumah Potong atau bisa juga dengan melakukan perdagangan sapi on-line. Pada satu hektar lahan kebun Kelapa Sawit biasanya ditanami 140 hingga 144 pohon. Pertimbangannya adalah lingkar bentangan pucuk daun tidak saling bertemu. Walaupun produk Kelapa Sawit terus dibutuhkan, jumlah batang pohon perhektar bisa dikurangi. Jarak satu pohon jadi bertambah dan pada jalur penambahan ini dapat ditanami dengan tumbuhan lain seperti ubi kayu, kedelai atau jagung. Kemungkinan untuk tumpang sari ini, baik dari segi hama tanaman maupun berbagai gangguan
lainnya dapat dicarikan teknologinya oleh Dirjen Perkebunan atau Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian. Industri kelapa sawit juga dapat membagikan bungkil dari proses produksi Palm Kernel Oil untuk pakan ternak, sehingga pendapatan petani akan meningkat dan diharapkan suatu saat petani sudah tidak tergantung lagi pada tumbuhan kelapa sawit. Diantara gawangan sawit juga bisa dijadikan tempat tampungan air yang menjadi pemasok kebutuhan tanaman kelapa sawit sepanjang tahun. Pada kolam tampungan air dapat dipelihara ikan yang selain punya nilai ekonomis, juga memasok kebutuhan protein hewani karyawan atau masyarakat. Tumpang sari pada lahan kebun sawit harus dicarikan teknologi serta sistem pengelolaannya. Kebutuhan ini terutama untuk mendukung perekonomian masyarakat yang punya lahan terbatas. Harga sawit selalu mengalami perubahan. Bahkan permintaanpun bisa menurun volumenya. Perubahannyapun bahkan bisa di luar perkiraan. Contoh kasus adalah pada waktu dolar naik menjelang tahun 2000, seluruh produk perkebunan komoditi ekspor mengalami masa emas dan mendapat keuntungan berlimpah. Kondisi dolar naik tahun 2015 jauh berbeda. Harga pembelian TBS sangat jauh menurun. Bahkan untuk kebutuhan makanpun petani kecil mengalami kekurangan, apalagi untuk pembelian pupuk. Bila tanaman tidak dipupuk, maka hasil pada panen berikutnya akan menurun. Lingkaran kepedihan ini dapat menghunjamkan petani pada cengkeram lintah darat. Bila sekali lahan tergadai, maka status petani pemilik akan jadi petani pencari kerja. g. Pajak Ekspor CPO, Industri Hilir CPO dan Pemulihan Kualitas Lingkungan. Indonesia saat ini telah menguasai 80% kebutuhan Crude Palm Oil (CPO) dunia dengan mengalahkan Malaysia sebagai pemasok utama sebelumnya. CPO bukan hanya untuk kebutuhan pangan, kosmetik dan pelumas. CPO merupakan bahan dasar untuk biodiesel. Bagi Indonesia, usaha industri kelapa sawit memang jadi primadona komoditi ekspor dalam bentuk produk CPO. Esportir terbesar Indonesia pada level atas dikuasai oleh PT Wilmar Nabati Indonesia (Grup Wilmar), diikuti oleh PT Musim Mas. Pengusaha CPO lainnya adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART). Bila perusahaan lainnya hanya mengekspor CPO, PT Smart mulai merambah ke industri hilirnya seperti Minyak Goreng dan Margarin. Bila dilihat dari manfaat untuk daerah, hampir seluruh industri hilir itu jauh dari sentra produksi bahan bakunya. Tentu saja hal ini merugikan bagi daerah, karena tidak adanya investasi dan juga penyerapan tenaga kerja. Volume produk yang diekspor memang masih didominasi oleh CPO. Malaysia sudah lama tidak lagi mengekspor CPO dengan pertimbangan investasi dan penyerapan tenaga kerja lokal. Manisnya hasil ekspor CPO yang pemasukannya dihitung dengan dollar, bahkan pernah membuat Indonesia kekurangan minyak Goreng. Pengusaha lebih untung bila seluruh CPO diekspor mentah. Mengolah CPO menjadi minyak goreng masih memerlukan biaya pengolahan, sedangkan nilai jualnya masih belum menyamai dengan pendapatan ekspor CPO langsung. Masyarakat menyatakan bahwa pengusaha sebagai eksportir yang juga pemilik PKS telah mengeruk keuntungan sangat besar dari penetapan harga beli TBS. Pengusaha juga dituding tidak mau mengurangi keuntungan karena membebankan pajak ekspor kepada pekebun. Hal ini terlihat dengan terjun bebasnya harga TBS setelah pemerintah menetapkan pajak ekspor yang lebih tinggi. Pengalaman pada waktu yang lalu juga memperlihatkan perilaku pengusaha yang setiap kenaikan pajak ekspor selalu menantang dan bahkan mengancam untuk memPHK karyawannya.
Berkat lobby yang baik, tuntutan pengusaha biasanya dikabulkan, walau mengurangi pendapatan negara. Pemerintah telah menetapkan pajak ekspor sebesar $50 per ton bagi ekspor CPO dan $30 USD per ton bagi produk turunannya. Kebijakan ini juga mendapat tantangan dari pengusaha karena dinilai membebani pelaku usaha industri CPO yang berbasis ekspor. Pengusaha juga bereaksi langsung dan menyatakan penerapan pajak ekspor CPO telah menyebabkan harga Tandan Buah Segar ( TBS) terjun bebas hingga Rp300 hingga Rp500 per kilogram. Pada saat yang sama terjadi kenaikan harga dolar yang meningkatkan penerimaan eksportir dalam rupiah yang seharusnya tidak menurunkan harga pembelian TBS. Para pengusaha memberi alasan dan terlihat merupakan ancaman karena penurunan harga TBS dapat berakibat petani tidak mampu memberi pupuk dan perawatan kebun. Bahkan juga tidak mampu membayar angsuran bulanan kredit pinjaman dari bank-bank. Pengusaha juga menyatakan bahwa penerapan pajak ekspor CPO juga berdampak kepada turunnya permintaan pembelian CPO, karena CPO Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia. Padahal Malaysia sudah lama menyatakan tidak mengekspor CPO. Bila dilihat dari penggunaan sumber daya, maka nilai 50$ USD masih setara dengan setiap Ha sumber daya air, pupuk dan lahan yang diserap Kelapa Sawit. Nilai 30$ USD untuk produk turunan CPO sebenarnya merupakan subsidi bila pengusaha mau membangun pabrik pengolahan CPO di Indonesia. Pengolahan CPO dalam negeri bukan tidak ada masalah. Salah satu yang masih diupayakan pananganannya adalah Spent Bleaching Earth (SBE). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Spent Bleaching Earth (SBE) dinyatakan sebagai limbah B3 kategori 2 yaitu yang mengandung B3, memiliki efek tunda (delay effect), dan berdampak tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisitas sub-kronis atau kronis. Seperti halnya dengan limbah pengolahan TBS pada Pabrik Kelapa Sawit yang sudah tertangani hingga disebut sebagai Zero Waste Fcctory, SBE juga punya banyak kemungkinan untuk digunakan kembali, dimanfaatkan kembali atau diolah 8ntuk berbagai kegfunaan lain. Banyak kemungkinan pemanfaatannya termasuk untuk bahan bangunan, pupuk, pewarna dll. Perundang-undangan Indonesia juga sudah mengantisipasi dengan masukkan unsur perkembangan teknologi untuk menentukan kriteria dampak penting suatu kegiatan. Ratusan turunan dari CPO akan membangkitkan pertumbuhan industri pengolahnya yang sekaligus juga akan mengurangi nilai impor. Serapan tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan industri hilir CPO serta bertumbuhnya investasi merupakan manfaat lebih dari industri kelapa sawit. Selain untuk memulihkan lingkungan, menaikkan manfaat industri kelapa sawit serta membantu petani untuk membangun Pabrik Kelapa Sawit sendiri, pajak ekspor juga diharapkan dapat mengembangkan industri hilir CPO. Usaha industri kelapa sawit yang sampai saat ini masih belum mampu mensejahterakan pekerja dan pekebunnya harus dibantu dengan memanfaatkan dana pajak ekspor. Pajak ekspor juga harus dimanfaatkan pemerintah untuk menghutankan kembali lahan yang dijarah atau dikuasai secara illegal untuk kebun sawit. Semoga Kelapa Sawit dapat mendukung pembangunan bangsa secara fisik dan berkeadilan, mensejahterakan secara sosial, serta menjamin daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk generasi sekarang dan akan datang.
7.
Penutup
Kelapa Sawit yang mulai dibudidayakan secara komersil tahun 1911, sekarang telah jadi komoditas primadona ekspor Indonesia dan ditanam pada lahan seluas 10.956.231 Ha. Program perkebunan inti rakyat perkebunan (PIR-bun) yang dikembangkan untuk ketahanan dan pembangunan wilayah negara di daerah perbatasan dan daerah terpencil, sekarang luas kebun rakyat telah mencapai 4.551.884 Ha atau 42% dari luas seluruh kebun sawit di Indonesia. Luas kebun rakyat ini masih jauh di bawah kebun milik Perusahaan Swasta Asing Maupun Nasional yang mencapai 5,381 juta Hektar, dan masih ada 2 juta hektar lagi peruntukkan kebun yang belum diusahakan mereka. Kebun Kelapa Sawit umumnya dibuka dengan mengkonversi kawasan hutan, bekas lahan berstatus hutan atau areal penggunaan lain seperti bekas hutan. Berdasarkan statusnya, lahan kebun sawit dapat dibagi atas lahan kebun yang tidak memerlukan izin khusus, kebun yang memiliki izin dan kebun tanpa izin atau illegal. Kebun illegal diperoleh melalui penjarahan hutan atau juga melalui penyerobotan dan pendudukan lahan masyarakat secara paksa. Pembukaan kebun skala kecil dulu menggunakan cara membakar. Pembukaan lahan dengan cara yang sama untuk skala luas seperti sekarang ini teerbukti menimbulkan bencana kabut asap yang terpapar dan menurunkan kualitas hidup masyarakat dalam maupun luar negeri. Pabrik Kelapa Sawit pertama dunia berdiri di Cameroon tahun 1907 yang dibangun oleh Pabrik Mesin KRUPP. Belanda membangun PKS Indonesia yang pertama tahun 1917 di Perkebunan Tanah Itam Ulu ( 1917) Sumatera Utara. Luas lahan tanaman kelapa sawit tahun 2014 adalah 10.856.231 Ha. Bila untuk 7.500 Ha lahan memerlukan satu pabrik pengolahan berkapasitas 30 ton TBS/jam, maka dalam dua tahun ini jumlah pabrik kelapa sawit di Indonesia seharusnya berjumlah 1.460 unit. Sampai tahun 2012, baru ada 700an PKS di Indonesia. 219 diantaranya tanpa didukung oleh kebun sebagai pemasok buah. Operasional Pabrik sebanyak 1.460 unit memerlukan air sejumlah 876.000 ton per hari. Secara teknis, seluruh limbah pabrik kelapa sawit sudah dapat diolah menjadi produk bermanfaat, sehingga PKS dapat disebut sebagai Zero Waste. Tingginya jumlah PKS tanpa kebun disebabkan keuntungan pemilik pabrik jauh lebih tinggi dari petani pemilik kebun. Sementara pekerja pabrik dan pekerja kebun dimanapun tetap berpendapatan sekitar batas UMR. Tanpa pabrik, berapa tinggipun produktivitas buah tak ada gunanya. Industri Kelapa Sawit yang dituding boros sumber daya alam dan miskin penyerapan sumber daya manusia, di sisi lain adalah andalan eskpor dan dianggap berhasil membangun hingga ke daerah terpencil. Bila diwajibkan membangun industri hilir CPO dan membatasi kuota ekspornya, maka Industri Kelapa Sawit diharapkan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Nasional yang akan banyak menyerap tenaga kerja. Tidak dapat dipungkiri isu Industri Kelapa Sawit sebagai perusak hutan tropis dan mempunyai andil besar menciutkan luas hutan Indonesia belum dapat dihilangkan sepenuhnya. Kerasnya pertentangan pihak pro dan kontra menyebabkan pelaku usaha industri Kelapa Sawit bersama dengan pemerintah harus membangun citra baik di dalam negeri maupun ke konsumen di luar negeri. Hal penting lainnya yang harus dicermati adalah tuntutan global agar industri kelapa sawit dapat diwujudkan sebagai industri berkelanjutan dan juga berkeadilan sosial. Menciutnya luas lahan hutan yang dapat dijadikan ladang, sawah dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap lapangan kerja dan lahan tempat berusaha menyebabkan hamparan luas Kebun Kelapa Sawit harus mampu berbagi manfaat. Lahan Kelapa Sawit dianggap potensial sebagai areal pemeliharaan sapi atau lembu lembu. Tuntutan itu
diselaraskan dengan makin senjangnya jarak antara kebutuhan dan pasokan daging di pasaran. Lahan kebun sawit selama ini tidak boleh dimasuki ternak karena dapat merusak tanaman dan menurunkan tingkat produktivitas serta adanya kekhawatiran akan terjadi pencurian buah. Alasan itu tidak bisa diterima lagi. Masyarakat mulai menuntut pembangunan harus berkeadilan sosial, dan penguasaan lahan yang luas oleh satu atau kelompok pemilik mencederai rasa keadilan. Bila di satu sisi industri Kelapa Sawit telah berhasil mengangkat beberapa pengusaha sebagai pengusaha tersukses berskala global, namun di sisi lain masih ada sisi kelam yang dirasakan masyarakat akibat menurunnya berbagai aspek dari kualitas lingkungan. Saatnya pemerintah serius membangun model usaha kegiatan industri sawit yang menguntungkan semua pihak, minimal relatif tidak ada yanag merasa dirugikan. Semoga DAFTAR PUSTAKA Badrun, M (2013), Saatnya Menerapkan Pertanian Berbasis Kelapa Sawit: Dari limbah ke Limbah Menuju Ekonomi Biru, Gapki, Jakarta Direktorat Jenderal Perkebunan (2014), Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2013-2015. Jakarta Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Menteri Pertanian No. 105 tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budi Daya Sapi Potong. Jakarta Direktorat Jenderal Perkebunan (2015), Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2015-2019. Jakarta. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (2014), Industri Minyak Sawit Indonesia Bekelanjutan. Bogor: PASPI Rival A and Levang P. 2014. Palms of controversies: Oil palm and development hallenges. Bogor, Indonesia: CIFOR. Tim Advokasi Minyak Sawit Indonesia - Dewan Minyak Sawit Indonesia (2010). Fakta Kelapa Sawit Indonesia. Jakarta : TAMSI-DMSI Unites States Department of Agriculture, USDA (2015) Oilseeds: World Markets and Trades. Foreign Agriculture Service. Available Online: http://apps.fas.usda.gov/psdonline/ circulars/oilseeds.pdf. Widodo dan Dasanto (2010), Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Dintinjau dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit, J.Agromet 24 (1) : 23-32 Tersedia online: http://journal.ipb.ac.id/index.php/agromet