2. Ing Ngarsa Sung Tulada, yaitu memberi suri tauladan di hadapan anak buah. 3. Ing Madya Mangun Karsa, yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah-tengah anak buah 4. Tut Wuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberi dorongan dari belakang kepada anak buah. 5. Waspada Purba Wisesa, yaitu selalu waspada mengawasi, serta sanggup dan memberi koreksi kepada anak buah. 6. Ambeg Parama Arta, yaitu dapat memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan. 7. Prasaja, yaitu tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. 8. Satya, yaitu sikap loyal yang timbal balik dari atas terhadap bawahan dan bawahan terhadap atasan dan ke samping. 9. Gemi Nastiti, yaitu kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan. 10. Belaka, yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya. 11. Legawa, yaitu kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya Sumpah Perwira Demi Allah saya bersumpah/berjanji : 1. Bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan sebaik-baiknyaterhadap Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Bahwa saya akan menegakkan harkat dan martabat perwira serta menjunjung tinggi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. 3. Bahwa saya akan memimpin anak buah dengan memberi suri teladan, membangun karsa, serta menuntun pada jalan yang lurus dan benar. 4. Bahwa saya akan rela berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa. Sejarah TNI Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongrongan-rongrongan baik yang berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka melalui “Pepolit, Biro Perjuangan, dan TNI -Masyarakat:. Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan yang lebih modern. Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat. Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang RI (APRI). Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain, campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung (pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional. Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa lainnya. Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan. Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politiknya.
Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI, mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia. Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya. Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Sementara itu, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal. Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD). Peran, Fungsi dan Tugas TNI (dulu ABRI) juga mengalami perubahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor: 34 tahun 2004. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa d an seluruh tumpah darah Indonesia dari a ncaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok itu dibagi 2(dua) yaitu: operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer selain perang meliputi operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue) serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan. Sementara dalam bidang reformasi internal, TNI sampai saat ini masih terus melaksanakan reformasi internalnya sesuai dengan tuntutan reformasi nasional. TNI tetap pada komitmennya menjaga agar reformasi internal dapat mencapai sasaran yang diinginkan dalam mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik dimasa yang akan datang dalam bingkai tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, sejak tahun 1998 sebenarnya secara internal TNI telah melakukan berbagai perubahan yang cukup signifikan, antara lain:
Pertama, merumuskan paradigma baru peran ABRI Abad XXI; kedua, merumuskan paradigma baru peran TNI yang lebih menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI Abad XXI; ketiga; pemisahan Polri dari ABRI yang telah menjadi keputusan Pimpinan ABRI mulai 1-4-1999 sebagai Transformasi Awal; keempat, penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun atau alih status. (Kep: 03/)/II/1999); kelima, penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda/Wansospolda Tk-I; keenam, penyusutan jumlah anggota F.TNI/Polri di DPR RI dan DPRD I dan II dalam rangka penghapusan fungsi sosial politik; ketujuh; TNI tidak lagi terlibat dalam Politik Praktis/day to day Politics; kedelapan, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua parpol yang ada; kesembilan, komitmen dan konsistensi netralitas TNI dal am Pemilu; kesepuluh, penataan hubungan TNI dengan KBT (K eluarga Besar TNI); kesebelas, revisi Doktrin TNI disesuaikan dengan Reformasi dan Peran ABRI Abad XXI; keduabelas, perubahan Staf Sospol menjadi Staf Komsos; ketigabelas, perubahan Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) menjadi Kepala Staf Teritorial (Kaster); keempatbelas, penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim; kelimabelas, likuidasi Staf Syawan ABRI, Staf Kamtibmas ABRI dan Babinkar ABRI; keenambelas, penerapan akuntabilitas public terhadap Yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer; ketujuhbelas, likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI; kedelapanbelas, penghapusan Bakorstanas dan Bakorstanasda; kesembilanbelas, penegasan calon KDH dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan; keduapuluh, penghapusan Posko Kewaspadaan; keduapuluhsatu, pencabutan materi Sospol ABRI dari kurikulum pendidikan TNI; keduapuluhdua, likuidasi Organisasi Kaster TNI; keduapuluhtiga, likuidasi Staf Komunikasi Sosial (Skomsos) TNI sesuai SKEP Panglima TNI No.21/ VI/ 2005; keduapuluh empat, berlakunya doktrinTNI “Tri Dha rma
Eka Karma (Tridek) menggantikan “Catur Dharma Eka Karma (Cadek) sesuai Keputusan Panglima TNI nomor Kep/2/I/2007 tanggal 12 Januari 2007. Sebagai alat pertahanan negara, TNI berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi internal TNI seiring dengan tuntutan reformasi dan keputusan politik negara. Sejarah Kopassus Pengalaman menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari sejarah pasukan elit TNI Angkatan Darat. Terutama Komando Operasi Teritorium-VI Letkol Slamet Riyadi. Ia merasakan dalam menumpas gerakan pemberontakan ternyata selain semangat tinggi dan perlengkapan lebih baik, juga diperlukan kemampuan taktik da pengalaman tempur yang baik dengan sejumlah penembak tepat yang mampu bergerak secara perorangan sebagai inti pasukan RMS. Maka, ia pun terilhami untuk membentuk satu pasukan yang bergerak cepat dan berkemampuan tinggi. Melalui instruksi Panglima Tentara dan Teritorium III No 55/Istr/PDS/52 tanggal 16 April 1952 terbentuklah Kesatuan Komando Teritorium III yang merupakan cikal bakal “Korps Baret Merah�. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai hari lahir Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Untuk mengisi organisasi dan kemampuan, maka dilaksanaka pedidika komando angkatan pertama dengan 400 siswa berasal dari Batalyon 304 Pasopati, Batalyon 3 Mei, dan pasukan lain dari Sekolah Kader (SK). Siswa komando angkatan pertama yang berhasil lulus kemudia bergabung dalam Kompi A yang langsung dioperasikan di Jawa Barat, wilayah tanggung jawab Teritorium III. Karena ingin mendapatkan pembinaan lebih baik, pada tahun 1953, Kesko Teritorium III dialihkan kedalam TNI AD dan namanya diubah menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada tanggal 25 Juli 1955, KKAD diubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD). Tanggal 28 Oktober 1959, terjadi pemisahan unsurvtempur dan pendidikan. Unsur tempur langsung dibawah kendali KSAD dengan markas di Cijantung, Jakarta. Sementara unsure pendidikan (SPKAD) berada dibawah Kodiklat dan tetap di Batujajar, Bandung. Semasa Kolonel Sarwo Edhi Wibowo menjadi komandan (1964-1967), sesuai kondisi dan situasi saat itu, tanggal 12 Pebruari 1966, RPKAD diganti menjadi Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus TNI AD), dan tanggal 17 Pebruari 1971 berubah nama lagi menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Saat Komandan dijabat oleh Brigjen Sintong Panjaitan (1985-1987) tanggal 21 Mei 1985 Kopassandha berubah menjadi Komando Pasukan Khusus TNI Adatau Kopassus. Seiring dengan itu, tanggal 27 Desember 1986, satua
operasional dan pendidikan berikut lambing kesatuan disatukan kembali dan dilikuidasi, hingga menjadi tiga grup. Yaitu: Grup-1/Parako, Grup-2/Parako, dan Grup-3/Pusdikpassus, serta Detasemen Anti-Teror (Den-81). Namun, ketika Mayjen TNI Prabowo Subiyanto menjadi komandan, ia mengembalikan Kopassus menjadi lima grup yang terdiri dari dua grup Parako, satu grup Pusdikpassus, satu grup Sandi Yudha dan satu grup Anti Terror. Perubahan terakhir melalui Surat Panglima TNI Nomor: B/563-08/05/06/SRU tanggal 23 Maret 2001 maka Kopassus kembali menjadi tiga grup, satu Pusdikpassus dan satu satuan penanggulangan teroris. Sejarah Kostrad Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) secara resmi terbentuk pada tanggal 6 Maret 1961. Tanggal pembentukan ini didasarkan pada tanggal disahkannya cikal bakal Kostrad, yakni Korps Tentara Ke I/Cadangan Umum Angkatan Darat (Korra-I/Caduad) melalui Surat Keputusan Men/Pangad No. Mk/Kpts.54/3/1961, tanggal 6 Maret 1961. Ide pembentukan Korra-I/Caduad berasal dari Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat). Pertimbangannya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan adanya suatu kekuatan cadangan strategis yang bersifat mobil, siap tempur dan memiliki kemampuan lintas udara serta sanggup melakukan operasi secara sendiri-sendiri maupun dalam komando gabungan, yang setiap saat dapat dikerahkan ke seluruh penjuru tanah air untuk menghadapi segala macam tantangan, cobaan dan gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Tepatnya, gangguan dari dalam negeri, berasal dari kekuatan-kekuat-an/ gerombolan bersenjata maupun tidak bersenjata, yang melakukan berbagai pemberontakan, diantaranya PKI Muso Madiun (1948), DI/TII SM. Kartosuwiryo di Jawa Barat (1948) dan di Jawa Tengah (1949), APRA Westerling di Bandung (1950), Andi Aziz di Makassar dan Ibnu Hajar di Kalimantan (1950), RMS di Maluku (1950), DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1951), PRRI/Permesta di Sumatera Barat serta Su lawesi Utara dan Tengah (1956/1957). Sedangkan gangguan dari luar negeri, berasal dari Belanda dan sekutu-sekutunya yang ingin kembali bercokol dan menjajah Indonesia. Selain itu, pertimbangan lain untuk membentuk Caduad adalah terkait dengan pembangunan kekuatan militer Angkatan Darat. Bahwa saat itu, di seluruh wilayah NKRI, khususnya ditiap-tiap daerah tingkat I (Propinsi), dibentuk Komando-Komando Daerah Militer (Kodam). Tiap-tiap Kodam membawahi Komando-Komando Resor Militer (Korem), Kesatuan-Kesatuan Brigade dan Batalyon-Batalyon. Dengan struktur organisasi seperti itu, kesatuan-kesatuan tersebut masih bersifat kesatuan territorial. Dislokasi satuan juga dilakukan sesuai dengan teritorialnya. Dengan demikian, untuk menghadapi tugas-tugas nasional, tidak ada satuan yang terpusat, yang setiap saat dapat digerakkan kemanapun, oleh satuan atas. Gagasan pembentukan Caduad sesungguhnya sejalan dengan UU No.3 Tahun 1948 tentang susunan Kementrian Pertahanan dan Keamanan maupun Perintah Siasat No.1 Panglima Besar Angkatan Perang. Berdasar ketentuan itu, susunan pasukan terdiri atas Tentara Mobil dan Tentara Teritorial. Namun penyusunan Tentara Mobil tidak bisa segera dilaksanakan, karena saat itu timbul kesa-lah pahaman yang menganggap
bahwa Tentara Mobil adalah “tentara kelas satuâ⠂¬Â� sedangkan Tentara Teritorial merupakan “tentara kelas duaâ€Â� atau “tentara kelas tigaâ€Â�. Setelah pengakuan kedaulatan, berdasarkan pengalaman memperebutkan kota Ambon, TNI AD membentuk Korps Baret Merah yang kemudian dikenal dengan sebutan RPKAD. Ke- satuan ini merupakan kesatuan tempur khusus pertama yang berada langsung dibawah komando Kasad, sehingga dalam hal pusat komando-nya sudah berbeda dengan kesatuan teritorial. Namun demikian, pemben-tukan RPKAD belum memenuhi kebutuhan akan pasukan mobil dengan kualifikasi seperti yang kemudian dimiliki Korra-I/Caduad. Karena sesuai rencana pembentukannya, RPKAD hanya berkekuatan 1 Resimen dan karena kekhususannya, RPKAD tidak dapat digerakkan dalam satu kesatuan besar tingkat Brigade maupun Divisi. Disisi lain, ketika itu sebagian besar Kodam juga sudah membentuk Resimen Tim Pertempuran (RTP). Terutama setelah pasukan tempur berkualifikasi Raider, setingkat Batalyon, yang ada di Jawa Tengah terus dikembangkan di seluruh Kodam. Tetapi sifat dari kesatuan-kesatuan itu pada dasarnya masih merupakan
kesatuan teritorial, sehingga untuk menghadapi tugas-tugas nasional, perlu dikembangkan/diperbesar kemampuannya, agar dalam melaksanakan tugas mudah digerakkan, bilamana dibutuhkan. Korra-I/Caduad awalnya berintikan 1 Divisi Infanteri yang dikomandani oleh seorang Panglima. Sebagai pejabat Panglima pertama adalah Brigjen TNI Soeharto dengan Kepala Staf, Kolonel Inf Achmad Wiranata Kusumah. Pengisian satuan-satuan dan personil dalam Korra-I/Caduad dilakukan secara bertahap karena harus diambilkan dari satuan Kodam-Kodam dan Direktorat-Direktorat. Pengisian satuan-satuan Para diambilkan dari Kodam-Kodam di Jawa, yaitu Kodam VI, Kodam VII dan VIII. Adapun penyusunan Divisi Korra-1/Caduad dan Brigade Infanteri 3 Para dilakukan bersamaan dengan pembentukan Korra-I/Caduad. Selanjutnya, terkait dengan perintah untuk melaksanakan tugas Pembebasan Irian Barat (tahun 1962) yang menempatkan Korra-I/Caduad sebagai kekuatan inti dari Komando Angkatan Darat Mandala (ADLA), maka Soeharto yang sudah berpangkat Mayor Jende-ral (Mayjen), selain menjabat sebagai Panglima Korra-I/Caduad, sekaligus merangkap sebagai Panglima ADLA/Komando Mandala. Akhirnya, di tahun 1963 organisasi Korps Tentara-I/Caduad (Korra-I/Caduad) dihapus dan selanjutnya diganti menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). SEIRING dengan perjalan-an waktu, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan pembinaan, pembangunan dan penggunaan kekuatan, maka pada tahun 1984 Kostrad disusun dalam 2 Divisi Infanteri (2 Divif), yang masing-masing terdiri dari Brigade Infanteri Lintas Udara (Brigif Linud), Brigade Infanteri (Brigif) serta unsur pendukung Satuan Bantuan Tempur (Satbanpur) dan Satuan Bantuan Administrasi (Satbanmin). Sedangkan Komando Tempur Lintas Udara (Kopur Linud) menjadi Divisi Infanteri-1 (Divif-1) dan Komando Tempur II (Kopur II) menjadi Divisi Infanteri-2 (Divif-2) beserta unsur Banpur dan Banminnya. Kemudian, dalam rangka reorganisasi TNI AD, Pokok-pokok Organisasi dan Tugas Kostrad yang baru disahkan. Melalui Surat Keputusan Kasad tertanggal 6 Maret 1985, Kostrad di-nyatakan sebagai Komando Utama Operasional (Kotama Ops) dan sebagai Komando Utama Pembinaan (Kotama Bin), dengan susunan organisasi dan dislokasi satuan terdiri dari : Markas Kostrad (Makostrad) berkedudukan di Jakarta, Divif 1 berkedudukan di Cilodong Bogor Jawa Barat dan Divif 2 berkedudukan di Singosari Malang Jawa Timur. Dari dua Divif tersebut, kekuatan Kostrad tergelar atas 3 Brigif, 3 Brigif Linud, 2 Resimen Artileri Medan (2 Men Armed) dan 33 Batalyon (33 Yon) jajarannya. Yon tersebut terdiri dari Batalyon Infanteri (Yonif), Zeni Tempur (Zipur), Kavaleri (KAV), Artileri Perta -hanan Udara (Arhanud) serta didukung satuan-satuan setingkat Yon lainnya. Dari seluruh Yon tersebut, 9 diantaranya berkualifikasi Yonif Linud. Dengan kekuatan dan kualifikasi pasukan seperti itu, wajar jika Kostrad lantas menjadi salah satu bagian utama Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI, yaitu suatu Komando Tugas Gabungan TNI yang dibentuk khusus dan berkedudukan langsung dibawah Panglima TNI.Tugas pokok pasukan ini adalah melaksanakan tindakan awal terhadap ancaman nyata, baik dari dalam maupun luar negeri di suatu wilayah darat tertentu, dalam rangka pola operasi perang maupun selain perang. Dengan demikian, se-suai tuntutan tugasnya, PPRC TNI harus memiliki kemampuan reaksi cepat dan mampu diproyeksikan ke sasaran wilayah darat tertentu dalam wakut relatif singkat. Komandan PPRC adalah Pangdivif Kostrad. Adapun para Danbrigif Linud Kostrad bertindak sebagai Komandan Satuan Tugas Darat (Satgasrat) PPRC. Dalam pelaksanaan tugasnya, Satgasrat dilengkapi dengan 1 Brigade Linud sebagai inti yang diperkuat unsur-unsur bantuan administrasi. Sebagaimana tujuan awal pembentukannya, kesatuan ini memang diciptakan untuk selalu siap tempur dan siap bergerak kemanapun serta dalam kondisi apapun. Jadi, setiap saat Ibu Pertiwi memanggil, para prajurit Kostrad pasti akan memenuhi panggilannya dan siap menjalankan perintahnya, agar Ibu Pertiwi menjadi senang dan bangga. Tercatat, beragam tugas telah dijalaninya, mulai dari tugas operasi tempur, operasi pengamanan, operasi bakti, operasi perdamaian hingga operasi pe- nyelamatan. Berikut sepak terjang Pasukan “Darma
Putra� Kostrad, yang telah turut mewarnai perjalanan sejarah bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia. OPERASI TRIKORA/PEMIRBAR
Terkait dengan Tri Komando Rakyat (Trikora), maka dibentuklah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat (Kola Pemirbar). Dengan dibentuknya Kola sebagai Komando Utama dan satu Kawasan Perang di Pemirbar, maka unsur AD ditentukan sebagai Angkatan Darat Mandala (Adla). Lalu, oleh Kasad, pada tanggal 26 Pebruari 1962 Mayjen Soeharto sebagai Pangkorra I/Caduad merangkap Deyah IT (Deputi Wilayah Indonesia Timur) ditetapkan sebagai Panglima Mandala (Pangla) merangkap Panglima Angkatan Darat Mandala (Pangadla). Tugas Adla yang juga merupakan tugas Korra I/Caduad dalam operasi Pemirbar adalah : Mengembangkan pasukan dan pangkalan dalam suatu Kawasan Darat; Mempertahankan Daerah Kawasan Darat; Menghadapi penyerah-an Irian Barat secara damai; Menyelenggarakan infiltrasi dan melaksanakan eksploitasi. Dengan semangat tempur yang tinggi, akhirnya Belanda harus me- nyerah untuk mentaati ketentuan yang dibuat PBB, di antaranya menyerahkan kekuasaan pada UNTEA dan melakukan penentuan pandapat rakyat berdasarkan hak penentuan nasib sendiri (Right of self determination). Pada tanggal 1 Mei 1963 Belanda menyerahkan seluruh wilayah Iran Barat kepada Pemerintah RI dan sejak saat itulah Irian Barat (sekarang Papua) secara resmi menjadi bagian dari NKRI. OPERASI DWIKORA Gagasan pembentukan Federasi Inggris di semenanjung Malaya dan Kalimantan bernama Malaysia oleh Tengku Abdul Rahman, mendapat dukungan pemerintah Inggris namun ditolak keras oleh Indonesia. Bahkan di Kalimantan Utara, rencana tersebut disambut dengan pergerakan senjata (8 Desember 1962) yang dilancarkan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Penyelesaian secara musyawarah gagal, hingga lahirlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang berisi : Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia; Bantu perjuangan revolusi rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia. Selanjutnya di tahun 1965 dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang merupakan Komando Pelaksana Opera-si Dwikora yang akan melangsungkan raid dan perongrongan terhadap kekuat-an musuh. OPERASI PENUMPASAN G.30.S/PKI Pada tanggal 1 Oktober 1965 pkl. 06.00, seluruh rakyyat Indonesia dikejutkan oleh berita RRI Jakarta yang disampaikan oleh Letkol Inf. Untung, Danyon I Men/Cakrabirawa, tentang adanya Ge-rakan 30 September dengan Revolusinya. Melihat situasi yang terjadi, termasuk keberadaan pasukan Kostrad Yon 530/Para dan Yon 454/Para di sekitar Monas tanpa ada perintah dari Makostrad, maka Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto memutuskan bahwa G.30.S adalah kontra revolusi dan Letkol Inf Untung dinyatakan telah berkhianat kepada negara. Setelah menerima laporan-laporan tentang kejadian di sekitar G.30.S, Pang-kostrad sebagai perwira senior yang bertanggung jawab memegang pimpinan sementara AD segera mengambil langkah-langkah dengan tujuan pengamanan Kepala Negara yang saat itu belum dike-tahui keberadaannya. Berdasarkan fakta-fakta yang nyata dan obyektif itulah, maka G.30.S adalah kontra revolusi yang bertujuan meng-adakan kup terhadap pemerintah yang sah. Terlebih lagi ketika kemudian terjadi penculikan beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Pertama AD, maka dugaan dan analisa tersebut benar adanya. Selanjutnya Pak Harto, yang banyak mendapat dukungan moril dari para pejabat lembaga pemerintahan dan para Perwira Tinggi Staf Umum Angkatan Darat (Pati SUAD), termasuk Jenderal TNI AH. Nasution untuk tetap memegang pimpin-an AD, melakukan gerakan pembersih-an tehadap para pemberopntak negara tersebut. PENUMPASAN GPK/SEPARATISME Sebagai kesatuan yang disiapkan bukan hanya untuk perang, namun juga mampu melaksanakan operasi selain perang, yakni meredam pemberontakan dan separatisme yang timbul dan meng-ancam kedaulatan serta keutuhan negara, maka satuan-satuan jajaran Kostrad telah menunjukkan peran pengabdiannya menghadapi Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) atau kelompok separatis di negeri ini. Di Timor Timur, Kostrad harus berhadapan dengan pemberontakan yang dilakukan Fretilin dari tahun 1975 hingga akhirnya TimTim lepas dari NKRI. Di Irian Barat (sekarang Papua) memburu dan menumpas kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memberontak sejak dikeluarkannya hasil Pepera tahun 1963, termasuk meredam aksi mereka/OPM yang menyandera Tim Ekspedisi Lorentz tahun 1996.
Sedangkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), para prajurit Kostrad terpaksa harus melakukan kontak senjata dengan saudara-saudaranya yang menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka, hingga akhirnya Kostrad tidak lagi terlibat dalam operasi di NAD, karena ditariknya seluruh satuan non organik dari sana, pasca penandatanganan kesepakatan damai (MoU) Helsinki tahun 2005 lalu. TMMD DAN MISI PERDAMAIAN PBB Sebagai wujud kepedulian TNI terhadap pembangunan bangsa dan negara Indonesia, Kostrad sebagai bagian dari TNI, bersama-sama dengan matra TNI lainnya dan segenap komponen bangsa, melakukan Operasi Bhakti yang disebut TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD). Selain itu, Kostrad juga berpartisipasi dalam Tugas Perdamaian PBB, melalui Kontingen Garuda sejak tahun 1973 (Konga IV ke Saigon Vietnam Selatan) hingga sekarang. Sejak berdirinya, sudah banyak tugas yang dilakukan. Mulai dari Trikora (1962-1963), Dwikora (1964-1966), Penumpasan G-30-S/PKI (1965), Operasi Seroja Timor-Timur (1975-1999), penumpasan GAM di Aceh dan OPM di Papua. Untuk penugasan luar negeri, pasukan Kostrad yang tergabung dalam Kontingen Garuda ditejunkan Vietnam, Terusan Suez, Irak-Iran, Kamboja, Bosnia Herzegovina dan yang terakhir adalah ke Lebanon. Brigade Mobil atau sering disingkat Brimob adalah unit (korps) tertua di dalam Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena mengawali pembentukan kepolisian Indonesia di tahun 1945. Korps ini dikenal sebagai Korps Baret Biru. Brimob termasuk satuan elit dalam jajaran kesatuan Polri, Brimob juga juga tergolong ke dalam sebuah unit paramiliter ditinjau dari tanggung jawab dan lingkup tugas kepolisian. Sejarah Brimob pertama-tama terbentuk dengan nama Pasukan Polisi Istimewa. Kesatuan ini pada mulanya diberikan tugas untuk melucuti senjata tentara Jepang, melindungi kepala negara, dan mempertahankan ibukota. Brimob turut berjuang dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di bawah pimpinan Inspektur Polisi I Moehammad Jasin, Pasukan Polisi Istimewa ini memelopori pecahnya pertempuran 10 November melawan Tentara Sekutu. [sunting] Beralih menjadi Mobrig Pada 14 November 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir membentuk Mobile Brigade (Mobrig) sebagai ganti Pasukan Polisi Istimewa. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadi Korps Baret Biru. Pembentukan Mobrig ini dimaksudkan Sjahrir sebagai perangkat politik untuk menghadapi tekanan politik dari tentara dan sebagai pelindung terhadap kudeta yang melibatkan satuan-satuan militer. Di kemudian hari korps ini menjadi rebutan antara pihak polisi dan militer. [sunting] Menghadapi gerakan separatis Pada 1 Agustus 1947, Mobrig dijadikan satuan militer. Dalam kapasitasnya ini, Mobrig terlibat dalam mwenghadapi berbagai gejolak di dalam negeri. Pada tahun 1948, di bawah pimpinan Moehammad Jasin dan Inspektur Polisi II Imam Bachri bersama pasukan TNI berhasil menumpas pelaku Peristiwa Madiun di Madiun dan Blitar Selatan dalam Operasi Trisula. Mobrig juga dikerahkan dalam menghadapi gerakan separatis DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo dan di Sulawesi Selatan dan Aceh yang dipimpin oleh Kahar Muzakar dan Daud Beureueh. Pada awal tahun 1950 pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menyerbu kota Bandung. Untuk menghadapinya, empat kompi Mobrig dikirim untuk menumpasnya. Mobrig bersama pasukan TNI juga dikerahkan pada April 1950 ketika Andi Azis beserta pengikutnya dinyatakan sebagai pemberontak di Sulawesi Selatan. Kemudian ketika Dr. Soumokil memproklamirkan berdirinya RMS pada 23 April 1950, kompi-kompi tempur Mobrig kembali ditugasi menumpasnya. Pada tahun 1953, Mobrig juga dikerahkan di Kalimantan Selatan untuk memadamkan pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diumumkan pada 15 Februari 1958 dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai tokohnya, pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas, Operasi Saptamarga dan Operasi 17 Agustus dengan mengerahkan Mobrig dan melalui pasukanpasukan tempurnya yang lain. Batalyon Mobrig bersama pasukan-pasukan TNI berhasil mengatasi gerakan koreksi PRRI di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Timur, Riau dan Bengkulu.
Dalam Operasi Mena pada 11 Maret 1958 beberapa kompi tempur Mobrig melakukan serangan ke kubu-kubu pertahanan Permesta di Sulawesi Tengah dan Maluku. Pada 14 November 1961 bersamaan dengan diterimanya Pataka Nugraha Sakanti Yana Utama, satuan Mobrig berubah menjadi Korps Brigade Mobil (Korps Brimob). Brimob pernah terlibat dalam beberapa peristiwa penting seperti Konfrontasi dengan Malaysia tahun 1963 dan aneksasi Timor Timur tahun 1975. Brimob sampai sekarang ini kira-kira berkekuatan 30.000 personil, ditempatkan di bawah kewenangan Kepolisian Daerah masing-masing provinsi. Di tahun 1981 Brimob membentuk sub unit baru yang disebut unit Penjinak Bahan Peledak (Jihandak). Semenjak tahun 1992 Brimob pada dasarnya adalah organisasi militer para yang dilatih dan diorganisasikan dalam kesatuan-kesatuan militer. Brimob memiliki kekuatan sekitar 12.000 personel. Brigade ini fungsi utamanya adalah sebagai korps elite untuk menanggulangi situasi darurat, yakni membantu tugas kepolisian kewilayahan dan menangani kejahatan dengan tingkat intensitas tinggi yang menggunakan senjata api dan bahan peledak dalam operasi yang membutuhkan aksi yang cepat. Mereka diterjunkan dalam operasi pertahanan dan keamanan domestik, dan telah dilengkapi dengan perlengkapan anti huru-hara khusus. Mereka telah dilatih khusus untuk menangani demonstrasi massa. Semenjak huru-hara yang terjadi pada bulan Mei 1998, Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) kini telah menerima latihan anti huru-hara khusus.Dan terus menerus melakukan pembaharuan dalam bidang materi pelaksanaan Pasukan Huru-Hara(PHH). Beberapa elemen dari Brimob juga telah dilatih untuk melakukan operasi lintas udara. Dan juga sekarang sudah melakukan pelatiahan SAR(Search And Rescue) Brimob dalam peristiwa [sunting] Peristiwa G-30-S Pada hari-hari setelah peristiwa G-30-S, Brimob tetap netral. Hal ini membingungkan banyak pihak, karena pada September 1965 Brimob adalah unsur yang sangat dekat dengan Amerika. Karena sikap ini, sebagian pengamat menganggap Brimob sebagai unsur yang setia kepada Presiden Soekarno. [sunting] Peristiwa Binjai Semenjak Polri dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia, peristiwa bentrok antara Polri dan TNI (terutama TNI-AD) kerap terjadi. Satu peristiwa bentrok TNI-AD dan Polri dalam hal ini Brimob adalah peristiwa Binjai pada tanggal 30 September 2002. Insiden ini melibatkan unit infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia dengan korps Brimob Polda Sumut yang sama-sama bermarkas di Binjai. Dalam insiden dini hari tersebut pertama hanya dipicu oleh keributan kecil antara oknum prajurit unit Linud 100/PS dengan oknum kesatuan Polres Langkat. Namun kemudian, insiden pecah menjadi bentrok senjata antara Polres Langkat ditambah Brimob melawan Linud 100/PS. Gegana Artikel utama: Gegana
Personel Gegana Brimob bersenapan serbu Steyr dalam latih tempur CQB. Gegana adalah bagian dari Kepolisian Indonesia (Polri). Pasukan ini mulai ada sejak tahun 1976, meski ketika itu baru berupa detasemen. Baru pada tahun 1995, dengan adanya pengembangan validasi Brimob bahwa kesatuan ini harus memiliki resimen, Detasemen Gegana lalu ditingkatkan menjadi satu resimen tersendiri, yakni Resimen II Brimob yang sekarang berubah nama Sat I Gegana(2003). Tugas utama Gegana ada tiga: mengatasi teror, SAR dan jihandak (penjinakan bahan peledak). Secara umum, hampir semua anggota Gegana mampu melaksanakan ketiga tugas utama tersebut. Namun, kemampuan khusus yang lebih tinggi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Gegana tidak memiliki Batalyon atau pun Kompi. Kesatuan yang lebih kecil dari resimen adalah detasemen. Setelah itu subden dan yang paling kecil adalah unit. Satu unit biasanya terdiri dari 10 orang. Satu subden 40 orang, dan satu detasemen beranggotakan 280-an orang. Satu operasi biasanya dilakukan oleh satu unit. Karena itu, dari sepuluh personel dalam satu unit tersebut, harus ada enam orang yang memiliki kemampuan khusus. Masing-masing: dua orang memiliki kemampuan