Kajian Risiko danIklim Adaptasi Perubahan Tarakan Sumatera Selatan Malang Raya
Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Juni 2012
Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim: Kota Tarakan, Sumatera Selatan, dan Malang Raya – Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan © 2012 Kementerian Lingkungan Hidup
Dipublikasikan oleh: Kementerian Lingkungan Hidup Gedung B lt.4, Jl D.I. Panjaitan kav. 24, Jakarta 13410 Tel
: +6221 858 0081
Fax
: +6221 858 0081
Email
:
[email protected] /
[email protected]
ISBN: 978-602-8358-52-1
Isi dan materi dalam buku ini dapat direproduksi secara bebas dan dipublikasikan dengan tidak mengubah isi dan arti dari dokumen ini. Mengutip diperbolehkan dengan mencantumkan sumber secara jelas.
Dokumen ini dibuat atas dukungan:
Tim Penyusun Penasehat Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Lingkungan Hidup Pengarah Ir. Arief Yuwono, MA, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim
Penanggung Jawab Ir. Emma Rachmawaty, M.Sc, Asisten Deputi Adaptasi Perubahan Iklim
Tim Kemente rian Lingk ungan Hidup drs. Haneda Sri Mulyanto, MAS Ir. Tri Widayati, MT dra. Kusmulyani, MS Koko Wijanarko, S.Hut Yulia Suryanti, S.Si., M.Sc Astutie Widyarissantie, ST
Tim Aus AID Didi Marjimi Amrita Wedha
Tim GIZ Tilman Hertz Ni Luh Made Ashanapuri
Koordinator Tim Ahli Asisten Koordinator Ahli Kebijakan Ahli Proyeksi Iklim dan Temperatur Ahli Proyeksi Muka Air Laut Ahli Pesisir dan Kelautan Ahli Sumber Daya Air Ahli Kesehatan Ahli Pertanian
: Djoko Santoso Abi Suroso, PhD : Muhammad Suhardjono Fitriyanto, M.Sc : Wilmar Salim, PhD : Dr. Tri Wahyu Hadi : Dr. Ibnu Sofian : Dr. Hamzah Latief : Dr. Oman Abdurahman, Dr. Budhi Setiawan : Prof. Ridad Agoes, Dr. Asep Sofyan : Prof. Handoko, Dr. Ruminta
Tim Administrasi: Mendur Lestira Harliana
Foto Sampul oleh Darmastyo Wicaktomo Sudarto
Kementerian Lingkungan Hidup JL DI Panjaitan Kav‐24, Kebon Nanas, Jakarta 13410
[email protected]
Ucapa n Teri ma Kasih
Publikasi laporan ini telah terlaksana dengan komitmen yang tinggi dan kerjasama yang baik antara semua pihak yang terlibat. Kementerian Lingkungan Hidup mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh satuan kerja pemerintah daerah di Kota Tarakan, Provinsi Sumatera Selatan, dan Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), GIZ dan AusAID, serta seluruh tenaga ahli dari berbagai perguruan tinggi. Ucapan terima kasih ini juga kami sampaikan kepada seluruh perwakilan dari berbagai pemerintah daerah yang telah memberikan kontribusi dan dukungan, baik secara langsung dan tidak langsung dalam proses penyusunan laporan ini. Dukungan tersebut telah kami terima melalui proses berbagi informasi, pengalaman, serta pendapat dalam setiap acaraacara yang telah dilaksanakan selama proyek berlangsung, konsultasi publik, diskusi prioritas pilihan adaptasi, pertemuan sinkronisasi program pemerintah serta acara pengarusutamaan. Seluruh acara tersebut telah turut membantu dalam penyelesaian pelaksanaan kajian tersebut.
ii
Kata Pe ng antar Deput i B idang Pengendalian Kerus akan Ling kung an d an Perubaha n Ikli m Dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah mulai dirasakan, banyak kejadian iklim ekstrim yang melanda beberapa bagian wilayah Indonesia yang secara geografis mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata adaptasi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat sebagai sebuah komponen penting yang diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan yang tahan kurang terhadap goncangan/gangguan iklim. Wilayah Indonesia dengan garis pantai sepanjang lebih 80.000 km dan lebih dari 17.000 pulau, banyak kegiatan perekonomian dilakukan di wilayah pesisir dan banyak masyarakat yang mengandalkan hidupnya pada sektor yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap iklim, seperti pertanian. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dampak yang negatif yang timbul di berbagai wilayah, serta potensi kerugian yang makin besar khususnya di kalangan prasejahtera menjadi alasan penting untuk dilakukannya peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim. Walaupun dampak yang sekarang dirasakan dan ke depan yang akan timbul akibat dari perubahan iklim dapat dikatakan masih berada dalam ketidakpastian, tetapi kita harus mulai menyusun suatu strategi untuk menangani isu-isu tentang variabilitas iklim dan pemahaman mengenai dampak yang didasarkan pada pengetahuan dan teknologi yang paling mutakhir dan paling baik pada saat ini. Pemahaman dampak perubahan iklim di tingkat daerah merupakan hal yang penting dan menjadi dasarkajian yang risiko fundamental dalam perubahan mengatasi iklim. masalah perubahanperangkat iklim melalui pelaksanaan dan adaptasi Ketersediaan dan metoda untuk melakukan kajian dapat dilakuan dilakukan baik pada skala tingkat umum (makro), menengah (meso) ataupun detil (mikro). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dengan didukung oleh GIZ dan AusAid telah melakukan ujicoba Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) di beberapa lokasi percontohan, yaitu Pulau Lombok yang mewakili wilayah dengan skala meso, Propinsi Sumatera Selatan untuk skala menengah (meso), Kota Tarakan (skala mikro), Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu) untuk skala meso. Proses yang cukup panjang dilalui dalam pelaksanaan kajian ini yang dimulai dengan konsultasi publik untuk identifikasi sektor yang rentan terdampak perubahan iklim, sampai tahap akhir sinkronisasi dan integrasi rekomendasi hasil kajian berupa opsi-opsi dan strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Dari hasil kajian yang sudah dilakukan tersebut, ada banyak hal yang dapat dipelajari dari masing-masing proses kajian dan kondisi wilayah yang berbeda-beda. Beberapa hal penting yang dapat diambil sebagai pelajaran adalah: •
•
Pentingnya ketersediaan dan aksesibilitas seri data basis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, memenuhi kualifikasi dan berkesinambungan dari jaringan stasiun pemantau klimatologi dan kelautan, khususnya untuk penyusunan informasi kondisi iklim dan paras permukaan air laut saat ini dan skenario proyeksi perubahan iklim dan kenaikan muka air laut ke depan sebagai dasar dari kajian; Pentingnya ketersediaan dan aksesibilitas data yang terkait dengan sosial, ekonomi, dan perencanaan pembangunan pada saat ini dan masa mendatang dari pemangku kepentingan yang terkait untuk proses kajian yang lebih rinci dan akurat; iii
•
• •
Pentingnya meningkatkan sumber daya yang tersedia, termasuk meningkatkan jumlah dan kapasitas pakar yang terkait basis ilmiah dan adaptasi perubahan iklim serta sumber pendanaan baik untuk riset dan pengembangan maupun untuk proses dan aksi adaptasinya; Pentingnya mengeksplorasi potensi kearifan lokal dalam kerangka adaptasi terhadap perubahan iklim; Pentingnya mensinkronkan dan menyelaraskan program pembangunan nasional dan daerah dengan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim yang diusulkan oleh para ahli terkait.
Hasil kajian yang dilaksanakan di Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) menunjukkan empat sektor yang berpotensi rentan terhadap perubahan iklim, yaitu sektor pesisir (termasuk di dalamnya perikanan dan kelautan), sektor air (termasuk sumber daya air dan bencana banjir dan longsor, pertanian, dan kesehatan. Rekomendasi dari kajian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam proses perencanaan pembangunan di Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) melalui integrasi hasil kajian ke dalam RPJMD, RPJP, maupun perangkat perencanaan yang lain. Dengan telah dilaksanakannya kajian ini diharapkan menjadi contoh yang baik dalam implementasi upaya dan strategi adaptasi di daerah, dan nantinya akan direplikasikan ke daerah lain di Indonesia, supaya upaya peningkatan ketahanan iklim dapat berkembang luas dan menjadi Indonesia menjadi negara yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam Pelaksanaan kajian ini kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan fasilitasi yang diberikan selama kegiatan berlangsung dari seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) sehingga kegiatan berlangsung lancar sesuai yang diharapkan.
Jakarta, Mei 2012 Deputi MENLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim
Arief Yuwono
iv
DAFTAR ISI Tim Penyu su n .............. .............................................................................................. i Kata P engantar De puti Bidang Pengendalian Kerusakan Lin gkun gan dan Perub ahan Ikl im ........................................................................................................ i i BA B I Rin gk asan u nt uk Pembu at K ebi jak an ........................................................ I-1 Pendah ul uan ....................................................................................................... I-1 BAB II Kaj ian Risi ko dan Ad aptasi Perubahan Ikli m .......................................... II-1 II.1. KRA PI Ko ta Tarakan ...................................................................................... II-1 II.1.1. Basi s Sain ti fi k (Sci ence B asi s) .................................................................. II-1 II.1.2. Sekto r Pesi si r .............................................................................................. II-4 II.1.3. Sekto r Ai r ..................................................................................................... II-6 II.1.4. Sekto r Kes ehatan ...................................................................................... II-10 II.2. KRA PI Pro pi ns i Sum atera Selatan .............................................................. II-15 II.2.1. Basi s Sain ti fi k (Sci enc e Basi s) ................................................................ II-15 II.2.2. Sekto r Pesis ir ............................................................................................ II-20 II.2.3. Sekto r Ai r ................................................................................................... II-24 II.2.4. Sekto r Pert ani an ........................................................................................ II-28 II.2.5. Sekto r Kes ehatan ...................................................................................... II-30 II.3. KRA PI Malang Raya. .................. .................................................................. II-35 II.3.1. Basi s Sain ti fi k (Sci enc e Basi s) ................................................................ II-35 II.3.2. Sekto r Ai r ................................................................................................... II-44 II.3.3. Sekto r Pert ani an. ....................................................................................... II-44 II.3.4. Sekto r Kes ehatan ...................................................................................... II-44 BAB III Progr am Ungg ul an Terkait Adapt asi Peru bahan Ik li m ......................... III-1
v
vi
DAFTAR GAMBAR No I. 1 II.1 II.2 II.3
II.4
II.5 II.6 II.7 II.8 II.9 II.10
II.11 II.12 II.13 II.14 II.15 II.16 II.17 II.18 II.19 II.20 II.21 II.22 II.23 II.24 II.25
JUDUL Proses Kajian Risiko pada Pendekatan KRAPI Tren temperatur Kot a Tarakan sepanjang 100 tahun (gari s bi ru), 50 tahun (garis h ijau), da n 25 tahun terakhir (garis oranye) Data pengama tan curah hu jan (garis hitam) dan model pr ediksi (garis merah) Gambar II. 3. Proyeksi curah hu jan (kiri) dan Proyeksi temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim (kiri) Korelasi probabilitas bulanan mele60 bihi ambang batasantara 400 mm dan curahcurah hujanhuj hariananyang melebihi (biru ), 80 (hijau), dan 10 0 (mm/hari (merah), dengan pembandi ng d ata Singapura (simbol kotak), Kenten (1985-1989, simbol asterisk), Kenten (199 0-1994, simbol sil ang) dan Ta rakan (simb ol p lus ) Gambar II.4.b (kanan) Proyeksi tren/kecenderungan probabilitas dari kejadia n ekst rem (curah hujan melebihi 433 mm) Peta Risiko Perubahan Iklim Sektor Pesisir Kota Tarakan pada tahun 2030 Peta Regionalisasi Adaptasi Perubaha n Ikli m Sektor Pesisi r K ota Tarakan Zona a daptasi risi ko b anjir Kot a Tarakan Zona ada ptasi risik o p enurunan ketersediaa n air Kota Taraka n Pola curah hujan di sekitar Palembang antara tahun 1901 Tren temperatur Sumatra Selatan: sekitar Palembang (garis biru), rata-rata Sumatra Selatan (garis hijau), dan sekitar Singapura sebagai perbandingan (garis merah) Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Sumatra Selatan. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1951-2009 dan model prediksi empirik (garis merah) sampai dengan 2020 Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) di sekitar Palembang melalui beberapa skena rio perubaha n i klim Perubahan peluang terjadinya curah hujan ekstrem yang dideduksi dari korelasi kuat terhadap curah hujan bul anan Siklus tahunan suhu permukaan air laut di perairan timur Sumatera Selatan Distribusi laju kenaikan suhu permukaan air laut berdasarkan Pathfin der SS T resolusi 4 km Rekonstruksi kenaikan muka air laut di wilayah pantai timur Sumatera Selatan tahun 1871-2008 Peta penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030 Peta risiko terhadap penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030 Peta regionalisasi adaptasi perubaha n i klim hingga t ahun 203 0 Empat DAS Utama untuk Zonasi Adaptasi Risiko Penurunan Keterse diaan Air di Sumatera Selatan Peta Kemiringan Lahan dan Pilihan Adaptasi di Sumatera Selatan Peta Kemiri ngan Lahan dan Pili han Adaptasi di Sumatera Sela tan Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (a) Padi Lahan Basah, (b) Pada i L ahan Kering Penuru nan Produks i Pertanian Akibat Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Ai r Laut: (a) Padi Lahan Basah, (b) Padai Lahan Kering Tren temperatur di Malang Raya sepanjang 100 tahun (garis biru), 50 tahun
vii
HAL I-2 II-2 II-2 II-3
II-3
II-5 II-5 II-7 II-9 II-15 II-16
II-16 II-17 II-18 II-18 II-19 II-19 II-20 II-21 II-22 II-24 II-25 II-27 II-29 II-29 II-35
II.26 II.27 II.28 II.29 II.30 II.31 II.32 II.33
(garis hij au), dan 25 tahun t erakhir (garis or anye) Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Malang Raya. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1980 sampai dengan 2009 dan mo del predik si empi rik (garis merah) sampai dengan 202 0 Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim di Malang Raya Perubahan dari probabilitas curah hujan bulanan yang berkorelasi kuat dengan curah huj an harian ekstrem di Malang Raya Peta Risiko Kekurangan Air di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan) Zonasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya Peta Risik o Banji r di Kota Batu (atas), Kota Malang (tengah) , dan Kabupaten Malang (bawah), baik pada saat ini (kiri) dan proyeks i t ahun 203 0 (kanan) Peta Risiko Longsor di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan ) Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (kiri) Padi Lahan irig asi, (kanan) P adi Lahan Kering
viii
II-36 II-37 II-37 II-38 II-38 II-42 II-43 II-45
DAFTAR TABEL II.1 II.2 II.3 II.4 II.5 II.6 II.7 II.8 II.9 II.10 II.11 II.12 II.13 II.14 II.15 II.16 II.17 II.18 II.19 II.20 II.21 II.22 II.23
Waktu-waktu k ejadian EN SO berdasark an model MRI pa da skenario perubahan iklim SRES A1B Strate gi Adaptasi Umum unt uk Sektor Air Strategi Adaptasi Umum Bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue Kota Tarakan Strate gi A daptasi Umum u ntuk Bahaya P enyakit Mala ria di Kota Tarakan Strate gi Ad aptasi Umum untuk Bahaya Penyakit Diare di Kot a Tarakan Empat Tipe Adaptasi Berdasarkan Re gionalisasi Provinsi Sumate ra Selatan Peringkat im plementasi a daptasi perubaha n ikli m pesisir Provi nsi Sumatera Se latan (Skala pri ori tas 1 – 6) Strate gi A daptasi Terha dap Risiko Kekurangan Air di Sumatera Selatan Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Banjir di Sumatera Selatan Pilihan Adaptasi Terhada p Risik o Lo ngsor di Sumate ra Selatan Strate gi A daptasi Umum Sektor Pertanian di Provinsi Sumate ra Selatan Strate gi Ad aptasi Umum untu k Risiko Penyakit DBD di Sumatera Selatan Strategi Umum untuk Risiko Penyakit Malaria di Sumatera Selatan Strate gi Ad aptasi Umum untuk Risiko Penyakit Diare di Sumate ra Selatan Pilihan Adaptasi t erhada p Risiko Kekurangan Air di Malang Raya Kriteria dan Ra nking Impleme ntasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya (Skala Priori tas 1-3) Luasan Wila yah yang Beresiko d an Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Banjir di Malang Raya Pilihan Adaptasi t erhada p Risiko Banjir d i Level Kecamata n Mala ng Raya Pilihan Adaptasi Risiko Lon gsor di Mala ng Raya Strate gi Adaptasi Sektor Pertanian Terhada p Tingkat Risiko Perubahan Iklim y ang Sangat Tinggi di Wilayah Malang Raya Strategi Ad aptasi B ahaya Demam Berdarah Untuk Masa De pan Wilayah Malang Raya Strategi Ad aptasi B ahaya Malaria Untuk Masa De pan di Wil ayah Malang Raya Strategi Ad aptasi Bahaya Diare U ntu k Masa Depan di Wilayah Malang Raya
ix
II-4 II-9 II-11 II-13 II-13 II-23 II-23 II-25 II-27 II-28 II-30 II-32 II-33 II-34 II-39 II-41 II-42 II-43 II-44 II-45 II-47 II-49 II-50
x
BAB I Rin gk asan unt uk Pembu at Kebi jakan Pendahuluan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan pulau yang berjumlah kurang lebih 17,000 pulau, dampak dari kenaikan muka air laut, perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim menjadi masalah utama. Dengan semakin bertambahnya intensitas dan frekuensi dari kejadian iklim ekstrim, risiko bencana banjir selama musim hujan dan kekeringan selama musim kemarau akan semakin meningkat. Hal tersebut akan berdampak pada sektor sumber daya air, pertanian dan kehutanan, perikanan, kesehatan serta sarana dan prasarana. Penurunan muka tanah. kenaikan muka air laut, banjir, kekeringan, longsor, dan kebakaran hutan telah dirasakan sebagai bencana yang merusak dan merugikan bagi Indonesia. Untuk menghindari dampak berganda dari bencana alam tindakan adaptasi pada tingkat nasional dan daerah menjadi sangat diperlukan. Oleh karena itu, kebijakan nasional untuk merespon perubahan iklimharus segera disusun. Dalam rangka memprioritaskan, mendesain, dan melaksanakan tindakan adaptasi perubahan iklim, sangatlah penting untuk memiliki satu pendekatan, kerangka kerja, dan metodologi untuk mengkaji tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) adalah salah satu pendekatan yang dikembangkan secara aktif oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, didukung oleh GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit) dan Australian Government. Sebagai satu pendekatan yang utuh, kegiatan KRAPI telah mencakup aktivitas identifikasi sektor yang rentan terhadap perubahan iklim dan formulasi permasalahannya sampai dengan mengarusutamakan strategi adaptasi dalam kebijakan pembangunan. Secara lengkap langkah-langkah KRAPI dapat disebutkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Formulasi permasalahan dan identifikasi sektor yang rentan terhadap perubahan iklim Analisa basis ilmiah iklim Analisa bahaya akibat perubahan iklim Analisa kerentanan pada sektor dari dampak perubahan iklim Analisa dan evaluasi risiko perubahan iklim untuk sektor Formulasi strategi adaptasi untuk sektor Kajian multi-risiko dan prioritisasi adaptasi Pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan pembangunan
Sektor-sektor yang dimaksud pada penjabaran di atas adalah 4 sektor yang telah diidentifikasi pada awal kegiatan yaitu; Sumber Daya Air, Pertanian, Kesehatan, dan Pesisir. Sektor-sektor tersebut juga diidentifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui prioritisasi sektor pada dokumen yang telah disusun yaitu Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap,(BAPPENAS 2010). Secara lebih jelas, proses kajian risiko yang digunakan pada pendekatan KRAPI dapat diilustrasikan pada gambar I-1 dibawah ini:
I‐1
Anal isi s Baseline Iklim Konsultasi Pemangku Kepentingan
Pengumpulan Data
Anal isi s B ahaya Peruba han Iklim
Anal is a Dasar Il mi ah
Formulasi Masalah & Sektor Rentan akan Perubahan Iklim
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Kajian Kerentanan Dinamis
Anal isi s Kejadian Ekstrem Curah Hujan
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Anal isa Ri sik o
Identifikasi Kerentanan Komponen: Exposure (E) Sensitivity (S) Adap tiv e Capac ity (AC)
Risiko Analisis Pada Kondisi Baseline
Risiko Analisis Pada Kondisi Proyeksi
Pembobotan Komponen Kerentanan
Pengembangan Opsi Adaptasi Anal isi s Ker entan an u ntu k Bas eli ne
Adap tasi yang Reaktif
Adap tasi yang Ant isi pati f
Anal isi s Ker entan an un tuk Proy eks i
Gambar I. 1 Proses Kaji an Risik o pada Pendekatan KRAPI
Dalam kerangka kerja desentralisasi, peningkatan peran pemerintah daerah (Propinsi, Kab/Kota) merupakan salah satu fokus yang ingin dicapai. Melalui kegiatan ini, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk meningkatkan adaptasi iklim di dengan cara memfasilitasi pemerintah daerah dalam kegiatan melakukan KRAPI perubahan di tingkat meso area provinsi dan mikro pada area kabupaten/kota. Secara umum, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan lebih lanjut dan mereplikasi secara nasional hasil kajian di tiga area percontohan (Provinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan, dan Malang Raya), mengembangkan strategi adaptasi, dan mendorong pelaksanaan/tindakan adaptasi termasuk identifikasi ketersediaan pendanaan yang mencukupi. Hasil dari kegiatan KRAPI akan menghasilkan set opsi adaptasi. Selanjutnya, opsi-opsi tersebut diprioritaskan untuk memformulasikan strategi adaptasi melalui kerjasama/ koordinasi dengan pemerintah daerah dari perspektif lokasi. Tindak lanjut dari strategi adaptasi adalah pengarusutamaan/pengintegrasian prioritas opsi adaptasi ke dalam rencana pembangunan di tingkat daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
I‐2
BAB II Kajian R is ik o d an Ad apt asi Perub ahan Iklim II.1. KRAPI Ko ta Tarakan Kota Tarakan adalah kota yang terletak pada sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah o
o
timur Pulau Kalimantan. Secara geografis, Tarakan terletak pada 3 14'23"-3 26'37" Lintang Utara dan 117o30'50"-117o40'12" Bujur Timur. Tarakan gberbatasan langsung dengan sebelah Utara: Kabupaten Kepulauan Tana Tidung; sebelah Timur: Kabupaten Kepulauan Tana Tidung dan Laut Sulawesi; sebelah Selatan dan Barat : Kabupaten Bulungan. Pada saat ini, hampir 80% penduduk Tarakan menghuni wilayah pesisir (sumber: Laporan KRAPI Tarakan). Lebih lanjut, populasi terkonsentrasi di pantai barat Kota Tarakan, terutama di sebelah barat daya dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi dan pemerintahan, dengan populasi terkonsentrasi di wilayah Tarakan Barat.
II.1.1. Basis Saint ifi k (Science B asis) Kota Tarakan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang diindikasikan mengalami keterpaparan terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global, terutama karena keberadaannya sebagai wilayah di pulau kecil yang hanya meliputi luas sekitar 250,80 km2. Pada studi basis saintifik iklim, data panjang curah hujan dan temperatur udara dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Tarakan harus digabung dengan basis data internasional sehingga memiliki durasi minimal dua kali periode iklim (2 x 30 tahun), yaitu: Data curah hujan dari Global Historical Climatology Network (GHCN) tahun 1911 – 2009 Data temperatur permukaan dari University of Delaware (UDEL) tahun 1900 – 2008.
• •
Secara umum Kota Tarakan memiliki iklim tropis yang basah dimana kelembaban di bulan paling kering mencapai 87%. Walaupun Tarakan dipengaruhi oleh monsun sehingga angin permukaan berubah setiap 6 bulan sekali, namun curah hujan yang terjadi selalu lebih besar dari 240 mm per bulan, dengan rata-rata 310 mm. Curah hujan ini bertipe ekuatorial (terjadi dua kali puncak hujan yaitu di sekitar April dan November). Temperatur udara rata-rata kota Tarakan sekitar 26,9° C dengan variasi kurang dari 1°C. Perubahan iklim yand dilihat dari segi rata-rata jangka panjang temperatur menunjukkan adanya tren kenaikan sebesar 0,63°C sepanjang 25 tahun terakhir, tetapi jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya hanya sebesar 0,2°C/abad (Gambar II.1). Namun, kenaikan temperatur ini perlu penelitian lebih lanjut untuk memisahkan efek pemanasan global dengan proses-proses lokal (urban heat island) dan regional (efek monsun).
II‐1
Gambar II.1 . Tren temperatur Ko ta Taraka n sepanjang 100 tahun (garis biru ), 50 tahun (garis hijau), dan 25 tahun t erakhir (garis or anye)
Di lain pihak, perubahan iklim juga dapat dilihat dari variabilitas curah hujan dan temperatur dalam bentuk kejadian-kejadian ekstrem (extreme events). Isu yang berkaitan dengan kejadian ekstrem terutama adalah mengenai kekeringan (akibat curah hujan yang sedikit). Kekeringan di Kota Tarakan merupakan potensi bahaya iklim yang banyak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino. Kota Tarakan pernah mengalami kekeringan yang panjang pada sekitar tahun 1961-1970an, bahkan di bulan April – Agustus terjadi defisit curah hujan sekitar 100 mm dari nilai-rata-ratanya. Menurut prediksi model curah hujan, kekeringan mungkin akan berulang pada tahun 2010-2020 namun dengan nilai curah hujan yang lebih besar dari pada nilai tahun 1961-1970an (Gambar II.2).
Gambar II.2 . Data pengamatan curah hu jan (garis hi tam) dan model pr ediksi (garis merah)
Kondisi curah hujan di Kota Tarakan kemudian berubah trenChange) naik setelah 2030 berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel menjadi for Climate AR-4 tahun pada beberapa skenario (Gambar 3 kiri). Tren kenaikan secara terus menerus terjadi pada temperatur udara (Gambar II.3 kanan).
II‐2
Gambar II.3 . Proyeksi c urah hu jan (kiri ) dan Proyeksi temperatur (kanan) melalui beberapa skenario peruba han ikli m
Di samping kekeringan, kejadian ekstrem juga meliputi pola curah hujan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Sebagai contoh, curah hujan ekstrem tersebut pernah terjadi pada tanggal 1 Agustus 1998 dengan nilai 295 mm/hari. Untuk selanjutnya indikator curah hujan ekstrem harian ini dapat diindikasi dari probabilitas kejadian curah hujan bulanan. Menurut model proyeksi IPCC skenario A1B, probabilitas terjadinya curah hujan sebesar 433 mm/bulan terus menurun hingga sekitar tahun 2020 namun kembali meningkat setelahnya (Gambar II.4).
Gambar II.4 .a (kiri ) Korelasi antara probabil itas c urah huj an bulanan melebihi ambang batas 400 mm d an cur ah hujan h arian yang m elebihi 60 (biru), 80 (hijau), dan 10 0 (mm/hari (merah), dengan pembanding data Singapura (simbol kot ak), Kenten (19 85-1989, simb ol ast erisk), Kenten (19 90-1994, simbol sil ang) dan Tara kan (simb ol p lus) Gambar II.4 .b (kana n) Proyeksi t ren/kecenderungan prob abilit as dari kejadian ekstr em (curah hujan melebih i 433 mm)
Studi basis saintifik laut menyimpulkan adanya kenaikan muka air laut menjadi sekitar 14,7 cm (dengan ketidakpastian sekitar 6,25 cm) pada tahun 2030 relatif terhadap kondisi saat ini. Variabilitas juga terjadi pada muka air laut yaitu akibat fenomena La-Nina dan gelombang badai (storm surges). Untuk tujuan proyeksi penggenangan air laut di pesisir, diprediksi kedua fenomena tersebut akan menaikkan muka air laut maksimal masing-masing sebesar 15 cm dan 30 cm. Nilai-nilai tren dan variabilitas muka air laut tersebut akan melengkapi nilai tertinggi muka air laut pada saat pasang maksimum sebesar 160 cm dan gelombang signifikan sebesar 160 cm untuk dijadikan acuan dalam penentuan tinggi dan luasan penggenangan air laut di pesisir. II‐3
Berdasarkan mod l proyeksi kejadian ekstrem aki at El-Nino Southern Oscillati ns, lihat abel II.1), ntara tah n 2001 – Nino k at kurang dari 6,7%, sedangkan kejadian El-Nino k kejadian La-Nina akan menimbulkan enaikan uka air la menda ang yang disebabk n efek k mbinasi dengan ke peman san global.
dan La-Ni a (ENSO, El-Nino 030 prob bilitas kejadian Elat sekitar 13%. Diperkirakan t lebih dari 15 cm i masa aikan mu a air lau akibat
Tabel II .1. Wakt u-w aktu kejadi an ENSO b rdasarkan model MRI pada skena rio perubah an iklim SRES A1B
II.1.2.
ektor Pe sisir
Sebag i pulau k cil yang has, wilayah pesisir Kota Tarakan sang t rentan terhadap beberapa bahaya penggena gan air la t akibat a anya feno ena perubahan ikli seperti kenaik n permuk an laut, k ndisi ekstrem La Nin dan gelombang an in badai, terutama yang t rjadi dala kondisi kstrim saa air laut pasang pada level tertinggi. Sec ra fisik, beberapa wilayah yang memiliki elevasi rendah dan landai ren an terhadap bahaya t rsebut. Kerent nan juga terjadi pa a bebera a wilayah Kota Tar kan yang memiliki opulasi penduduk yang c kup padat, aktivitas konomi y ng tinggi, an infrast uktur vital. Hampir 80% d ri total po ulasi dan beberapa i frastruktur vital sepe ti bandara, pelabuha , kilang minyak, kawasan pemerintahan, bisni dan area industri t rletak pa a wilayah pesisir, sehing a rentan t rhadap g nangan air laut. Di a tara 20 d sa di Kota Tarakan, anya 5 desa y ng tidak emiliki garis pantai atau berbatasan denga air laut y itu Juata erikil di Kecamatan Tarakan Utara, arang Balik dan Kar ng Anyar di Kecama an Tarakan Barat, Selumi di Kecam tan Tarakan Tengah, dan Kamp ng Enam i Kecamat n Tarakan Timur.
II‐4
Risiko terhadap perubahan iklim di Kota Tarakan yang diproyeksikan pada tahun 2030 dapat digambarkan pada peta di bawah ini.
Gambar II.5. P eta Risiko Perubaha n Ikl im Sekto r Pesisi r Ko ta Taraka n pada tahun 2030
Berdasarkan karakteristik tipologinya, area pesisir Kota Tarakan dapat dibagi menjadi tiga wilayah atau region yaitu Pantai Utara, Pantai Barat dan Timur (lihat Gambar II.6 di bawah).
Gambar II.6 . Peta Regionalisasi Adaptasi Perubahan Ikli m Sektor Pesis ir K ota Tara kan
Oleh sebab itu terdapat tiga jenis konsep strategi adaptasi yang direkomendasikan kepada Pemerintah Kota Tarakan yaitu: Konsep adaptasi untuk Pantai Utara Kota Tarakan (Wilayah A) Wilayah ini didominasi oleh hutan lebat, rawa, serta hutan bakau di sepanjang Desa Juata Permai dan Juata Laut. Konsep adaptasi yang diusulkan adalah restorasi •
II‐5
•
•
mangrove dan hutan pesisir, yang diikuti oleh pendekatan akomodasi melalui strategi perlindungan untuk desa-desa permukiman, dengan menaikkan tinggi dasar lantai bangunan. Konsep adaptasi untuk Pantai Barat Kota Tarakan (Wilayah B) Wilayah ini memiliki populasi padat penduduk (permukiman), aktivitas ekonomi yang cukup tinggi serta beberapa area merupakan hutan bakau dan rawa. Konsep adaptasi yang diusulkan adalah pendekatan akomodasi dengan strategi seperti menaikkan tinggi dasar lantai bangunan, serta perlindungan dan restorasi mangrove. Konsep adaptasi untuk Pantai Timur Kota Tarakan (Wilayah C) Pada wilayah ini terdapat daerah wisata pantai (Pantai Amal) yang dapat bermanfaat di masa depan. Namun, pembangunan pada wilayah ini dibatasi oleh adanya potensi tinggi abrasi atau erosi, akibat gelombang angin tinggi dari Selat Makasar. Oleh sebab itu, diusulkan konsep pengelolaan zona pesisir terpadu (ICZM), terutama melalui penataan/pengelolaan kembali, penetapan garis mundur, dan perlindungan pesisir baik melalui struktur lunak (green belt, beach nourishment, dll) maupun keras (sea wall, sea dike, dlsbnya).
Opsi-opsi adaptasi yang diusulkan menyesuaikan dengan sistem pembangunan Kota Tarakan. Saat ini Pemerintah Kota Tarakan telah mengesahkan RTRW dan RDTR untuk Tarakan Barat, namun RDTR Tarakan Timur, Tarakan Tengah dan Tarakan Utara belum ditetapkan. Berdasarkan identifikasi program-program pembangunan spasial yang ada pada wilayah pesisir, menunjukkan bahwa hampir seluruh program terintegrasi dengan konsep adaptasi serta masih dapat dikembangkan melalui strategi adaptasi yang sesuai. Namun, pada proses penyesuaian juga ditemukan bahwa pengembangan sea wall dan sea dike tidak perlu dilakukan kecuali pada lokasi tertentu yang memerlukan perlindungan struktur keras. Selain itu pada area yang teridentifikasi memiliki risiko tinggi perlu mulai menerapkan konsep ICZM, misalnya melalui mainstreaming pada RDTR seluruh kecamatan. Dalam penerapan opsi-opsi adaptasi yang diusulkan, terdapat empat skenario prioritas adaptasi sesuai dengan kriteria tingkat risiko, jumlah penduduk, infrastruktur vital dan keberadaan kawasan terbangun serta kawasan lahan basah dan mangrove, yaitu: 1. Prioritas adaptasi yang berbasis tingkat risiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut pada wilayah pesisir, khususnya pada 5 desa yaitu Sebengkok dan Selumit Pantai di Kecamatan Tengah, serta Lingkas Ujung, Gunung Lingkas, dan Kampung Empat di Kecamatan Tarakan Timur. 2. Prioritas adaptasi yang berbasis tingkat populasi penduduk tertinggi pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Karang Anyar Pantai, Selumit Pantai, Sebengkok, Pamusian, dan Lingkas Ujung. Desadesa tersebut perlu diprioritaskan untuk implementasi pendekatan adaptasi akomodasi dan proteksi. 3. Prioritas adaptasi yang berbasis kawasan terbangun dan lokasi infrastruktur vital terluas pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Karang Harapan, Karang Anyar Pantai, Mamburungan, Pantai Amal, dan Juata Permai, melalui strategi perlindungan pantai dengan struktur lunak dan keras. 4. Restorasi hutan dan mangrove serta strategi perlindungan lingkungan menjadi prioritas adaptasi yang berbasis luasan lahan basah dan mangrove pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Juata laut, Karang Anyar Pantai, Juata Permai, Lingkas Ujung dan Pamusian.
II.1.3. Sektor Ai r Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko pada sektor air berupa banjir, tanah longsor dan kekurangan/krisis air. Secara prinsip, adaptasi terhadap risiko perubahan iklim tersebut II‐6
adalah dengan menerapkan konsep Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resource Management - IWRM), yang implementasinya dapat berupa struktur keras maupun lunak, tergantung pada karakteristik alam dan sosial budaya. Pelaksanaan IWRM di Tarakan (seperti halnya pada beberapa daerah lainnya di Indonesia) masih mengalami banyak kendala, antara lain kurang tersedianya data yang representatif, kurangnya keterlibatan pemerintah daerah, dan tumpang tindihnya sebagian kewewenangan instansi di daerah dan pusat. Sebagai contoh, tugas dan wewenang Dinas Pekerjaan Umum di daerah masih belum mencakup pemeliharaan sumber air dan zona air infiltrasi. Berikut adalah strategi adaptasi untuk masing-masing bahaya di Kota Tarakan: a. Bahaya Banji r Agar upaya adaptasi lebih efektif, Kota Tarakan dibagi menjadi 3 zona risiko banjir (Gambar 1)berdasarkan tata guna lahan pada saat ini dan perubahannya berdasarkan RTRW Kota Tarakan 2011-2030, serta daerah bahaya genangan banjir hasil proyeksi model.
Gambar II.7. Zona adaptasi r isi ko b anjir K ota Tara kan
Zona Wilayah I terletak di sepanjang utara-timur ke selatan-timur Kota Tarakan yang meliputi 5 DAS utama, yaitu Maya, Mangatai, Binalatung, Kuli dan Amal Baru
Pertim bangan Adaptasi Guna lahan eksisting pada wilayah ini berupa hutan, semak dan area pertanian, yang berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan kota. Risiko area tergenang pada wilayah ini yaitu 3,3356 km2 dan diprediksikan tahun 2030 akan meningkat menjadi 4,8354 km2 (bertambah sekitar 45%)
Wilayah II mencakup 3 DAS utama yaitu Semunti, Bengawan dan Persemaian
Guna lahan eksisting merupakan hutan, semak dan area pertanian, yang berfungsi sebagai pusat kota baru. Risiko area tergenang pada wilayah ini adalah 2,3576 km2 dan diprediksi pada tahun 2030 meningkat II‐7
Strate gi Adaptasi Strategi utama yang diusulkan adalah IWRM dan Pemulihan Fungsi Sungai. Dalam konteks ini IWRM dimulai dari proses perencanaan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan-kegiatan IWRM yang lebih detail, misalnya menangkap pandangan masyarakat, proses perencanaan pembentukan kembali, manajemen sumber daya air dan koordinasi lahan, mengenali hubungan kualitas dan kuantitas air, penggunaan air tanah dan air permukaan yang terintegrasi, perlindungan dan pemulihan sistem alami, serta adanya pertimbangan isu perubahan iklim. Strategi utama yang diusulkan adalah IWRM serta Pemulihan Fungsi Sungai dan Kolam. Konsep IWRM pada wilayah ini sama dengan yang diterapkan pada Wilayah I. Restorasi kolam bertujuan untuk; (1) menangkap limpasan air dari daerah elevasi tinggi dan mempertahankan
Zona
Wilayah III mencakup 4 DAS utama, yaitu Sesanip, Kampung Bugis, Pamusian dan Karungan
Pertimb angan Adaptasi menjadi 5,508 km2 (bertambah sekitar 134%).
Kondisi pada saat ini adalah area terbangun seperti perumahan, pusat bisnis, perdagangan, dan sebagainya. Menurut RTRW Kota Tarakan 2010-2030, wilayah ini akan tetap menjadi pusat kota dengan beberapa infrastruktur vital (bandara, militer, industri, dan pergudangan). Risiko genangan saat ini adalah 3,365 km2 yang mana tahun 2030 akan meningkat menjadi 11,436 km2 (bertambah sekitar 240%).
Strate gi Adaptasi limpasan air sebelum mengalir ke sungai, (2) melestarikan dan menjadi pasokan sumber daya air. Guna mencegah atau meminimalkan banjir selama periode air tinggi, lokasi kolam harus berada di area terbuka yang luas Strategi adaptasi yang sesuai berupa pemasangan gerbang pintu air di sungai, tanggul, dan pemompaan
b. Bahaya Longso r Terdapat dua pendekatan adaptasi terhadap bahaya longsor di Kota Tarakan yaitu: 1. Reboisasi untuk menutupi lahan dengan vegetasi pada kawasan dimana populasinya kurang padat. Reboisasi dapat diterapkan di Kecamatan Tarakan Tengah, yang guna lahannya merupakan hutan lindung, hutan kota dan perumahan dengan kepadatan rendah, serta memiliki tingkatan risiko sedang. 2. Rekayasa teknik pada daerah dengan populasi atau area terbangun yang relatif padat. Pendekatan ini dapat diterapkan di Kecamatan Tarakan Utara, yang memiliki banyak area terbangun seperti perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, dan kawasan pemerintahan, di Kecamatan Tarakan Barat, yang terdiri dari perumahan berkepadatan tinggi dan beberapa kawasan perdagangan, serta beberapa bagian dari Kecamatan Tarakan Tengah, yang terdiri dari perumahan berkepadatan tinggi dan daerah pertambangan. 3. Kombinasi dari reboisasi dan rekayasa teknik, yaitu di Kecamatan Tarakan Timur, dimana pemanfaatan lahannya didominasi oleh hutan kota dan perumahan berkepadatan sedang. c. Bahaya Kekurangan/ Krisi s Air Konsep adaptasi dalam mengatasi risiko kekurangan air (penurunan ketersediaan air) diterapkan pada 6 zona di Kota Tarakan (Gambar II.8). Zona tersebut diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor, yakni lokasi, kesamaan sumber air (air tanah dan air permukaan), kondisi pembangunan yang sedang berlangsung, guna lahan saat ini, dan rencana guna lahan berdasarkan RTRW 2010-2030.
II‐8
Gambar II.8 . Zona adaptasi r isi ko p enurunan k etersediaan air Kota Taraka n
Pada dasarnya strategi untuk setiap zona dikembangkan berdasarkan profil risiko, potensi air permukaan, dan potensi air tanah. Oleh sebab itu, adalah dimungkinkan setiap zona memiliki sub-zona agar penanganan adaptasi lebih spesifik. Berikut adalah strategi adaptasi untuk setiap zona:
Zona Zona 1
Tabel II.2. Strategi Adaptasi Umum untuk Sektor Air Gambaran Penyediaan Pertimbangan dan Lokasi Air Ad aptasi Berlokasi di pusat pemerintahan Permintaan air (total): 10,9 3 kota saat ini juta m /tahun (2010) dan Terdiri dari 7 DAS meningkat menjadi 27,3 Terbagi menjadi 1A dan 1B Sub juta m3/tahun pada 2030 Zona Permintaan air (Sub Zona 3 Permintaan air saat ini dilayani 1A): 4.397.235 m /tahun oleh 3 IPA dari PDAM (2010) dan meningkat 3 (kapasitas maks 10 juta 6.552.654 m /tahun pada 3 m /tahun) 2030 Permintaan air (Sub Zona 1B) mengalami kenaikan besar sampai 303% dari 3 6.788.195 m /tahun (2010) menjadi 20.566.862 3 m /tahun (2030) Terdapat reservoir dengan kapasitas mencapai 3 200.000 m Terletak di sekitar pusat Memiliki 2 DAS yang belum pemerintahan baru digunakan dengan potensi Terdiri dari 9 DAS air yang besar, yaitu
Strategi adaptasi Optimalisasi penyediaan air dari PDAM untuk Sub Zona 1A Untuk Sub Zona 1B, optimasi penyediaan air sebagian dari PDAM dan lainnya dengan pemanfaatan air tanah tertekan (kedalaman rata-rata: 96,8 m)
Zona 2
Pengembangan IPAs baru, memanfaatkan DAS Bengawan dan
Penyediaan airLaut saatdengan ini disuplai dari IPA Juata debit 30 lt/dtk, sisanya ( sekitar 5 lt/dtk) dari sumur dan mataair
Zona
Berlokasi di Juata Laut dan
3 Semunti 24,724 juta m /tahun)(debit dan Bengawan 3 (debit 29,478 juta m /tahun) Permintaan air akan meningkat 19 kali dari saat ini, yaitu 1,132 juta 3 m /tahun (2010) menjadi 3 21,599 juta m /tahun (2030)
Permintaan air meningkat
II‐9
Semunti debit 0,60dengan m3/dtk potensi atau 3 18,932 juta m /tahun Pengembangan reservoir untuk melengkapi IPAs baru Pemanfaatan air tanah dari lapisan akuifer yang terletak 130 m di bawah permukaan tanah Pemanfaatan air
Zona 3
Gambaran Penyediaan dan Lokasi Air Kampung Satu Sebagian besar wilayah ini belum berkembang, namun akan menjadi permukiman, industri dan perdagangan Penggunaan air sebagian besar diperoleh dari sumur-sumur lokal dan mata air Akan dibagi menjadi Sub Zona 3A dan 3B
Zona 4
Zona 5
Zona 6
Terletak di Tarakan Timur Lokasi direncanakan sebagai kawasan permukiman, pariwisata dan area pendidikan Lokasi dilewati oleh aliran sungai kecil dan DAS Binalatung DAS Binalatung adalah sumberIPA kampong Skip 3 dengan debit 0,126 m /dtk Zona ini sedang dibagi menjadi 2 zona; 4A dan 4B
Berlokasi di Tarakan Selatan Masyarakat wilayah ini sudah memanfaatkan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan airnya Permintaan air 0,234 juta 3 m /tahun sebagian besar untuk pabrik pengolahan ikan Berlokasi di jantung pulau Tarakan yang didominasi oleh kawasan hutan lindung
Pertimbangan Ad aptasi dari 0,127 m /dtk (4,005 juta m3/tahun) menjadi 0,788 m3/dtk ( 24,840 juta 3 m /tahun) Sub Zona 3A didominasi oleh industri, jasa dan permukiman, sedangkan Sub Zona 3B akan didominasi oleh permukiman dan pariwisata. Karena itu, Zona 3A akan lebih banyak memerlukan air. Perbandingan permintaan air untuk 3A dan 3B adalah 2,21:1 Potensi air permukaan 3A lebih kecil 1:1,63 dengan 3B Pembuangan optimal pada hulu Binalatung adalah 3 0,5338 m /dtk (16.835 juta 3 m / tahun) atau sangat besar dibandingkan proyeksi kebutuhan air 3 8.086 m /tahun Sungai Binalatung terletak di ujung utara Zona 4, membentang dari utara ke selatan dengan panjang 16 km, sehingga tidak akan optimal untuk pembangunan infrastruktur air bersih Proyeksi kebutuhan air 6,87 juta m3/tahun Data potensi air tanah masih minim, namun survey menunjukkan bahwa kualitas potensi air tanah baik Lokasi merupakan daerah konservasi yang berfungsi pula sebagai kawasan resapan air tanah untuk Tarakan Barat
Strategi adaptasi permukaan lebih disarankan untuk Zona 3A dan 3B, sebab bila air tanah digunakan dalam waktu lama akan menimbulkan kerusakan lingkungan (karena permintaan yang tinggi sehungan dengan peruntukan lahannya) Pembangunan reservoir di Sungai Mangantai untuk Sub Zona 3A Pengembangan reservoir untuk Sub Zona 3B DAS B
Optimalisasi IPA Binalatung untuk Sub Zona 4A Panen air hujan serta alternatif lain seperti pemanfaatan air tanah dangkal, desalinasi, atau panen air hujan untuk Sub Zona 4B
Pemanfaatan air tanah Alternatif lain adalah desalinasi air laut dan panen air hujan
Konservasi air permukaan dan air tanah
II.1.4. Sekto r K esehatan Sebagai pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim, Kota Tarakan memiliki potensi bahaya yang tinggi dalam sektor kesehatan. Salah satu dari sepuluh penyakit teratas di Tarakan, diare, merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh perubahan variabel iklim, seperti kekeringan, kenaikan muka air laut, dan pola curah hujan (WHO, 2003). Selain itu bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan diare adalah jeni-jenis penyakit yang sangat dipengaruhi oleh perubahan pada stimulus iklim seperti suhu dan curah hujan. II‐10
Oleh sebab itu perlu dirumuskan strategi adaptasi terhadap potensi ketiga penyakit tersebut di Kota Tarakan berdasarkan tingkatan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan. Hasil analisis penilaian risiko di Tarakan saat ini adalah sebagai berikut: ‐ Selumit Pantai, Selumit dan Sebengkok merupakan tiga kelurahan di Kecamatan Tarakan Tengah yang berisiko sangat tinggi terhadap penyakit DBD pada masa mendatang, bukan hanya disebabkan kepadatan penduduk yang tinggi tapi juga prevalensi DBD yang sangat tinggi. Selain itu beberapa kelurahan di Tarakan Timur (Lingkas Ujung), Tarakan Barat (Karang Rejo dan Karang Balik) dan Tarakan Utara (Juata Laut) juga memiliki risiko sangat tinggi, hal ini terutama disebabkan oleh tingkat prevelansi DBD dan cakupan pipa air bersih yang kurang mencukupi. ‐ Kelurahan-kelurahan Lingkas Ujung, Gunung Lingkas di Tarakan Timur dan Juata Laut di Tarakan Utara memiliki risiko paling tinggi terhadap penyakit malaria. Secara umum Tarakan Utara berisiko tinggi karena tingginya populasi penduduk yang tinggal di rumah non-permanen, sementara di Tarakan Timur disebabkan oleh masyarakat yang hidup dan menjalankan aktivitas dekat lokasi perkembangbiakan nyamuk. ‐ Juata Permai dan Juata Kerikil memiliki risiko tertinggi terhadap penyakit diare pada masa mendatang. Oleh sebab itu dua kelurahan ini merupakan prioritas utama dalam pelaksanaan adaptasinya. Diperlukan peningkatan kekuatan lokal terhadap diare pada masa mendatang, mengingat jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat sanitasi yang rendah merupakan faktor-faktor utama tingginya risiko penyakit diare tersebut. Secara umum, prinsip dalam perumusan kegiatan adaptasi untuk sektor kesehatan di Tarakan meliputi: Peralihan kebijakan dari dominasi kuratif (pengobatan) menjadi pencegahan dan kegiatan promotif dalam jangka waktu panjang Berdasarkan pada kesimpulan dan prediksi dari kajian ilmiah bahwa iklim Tarakan mengalami perubahan dimana kejadian iklim ekstrem semakin sering, maka seluruh strategi adaptasi dan perencanaan di sektor kesehatan harus mempertimbangkan adaptasi perubahan iklim di masa mendatang Sektor Kesehatan harusnya tidak berjalan sendiri dalam menghadapi situasi ini. Suatu upaya bersama harus melibatkan departemen lainnya. Perubahan kebijakan di masa datang kemungkinan terlihat pada jangka pendek (2010 – 2020), aktifitas mitigasi dan pendekatan adaptasi untuk jangka menengah (2020-2030) dan jangka yang lebih panjang (2030 – 2050). •
•
•
a. Strategi Adapt asi Terhadap Pe nyaki t Demam Berdarah D engue (DBD) Strategi adaptasi untuk Kota Tarakan terhadap bahaya penyakit DBD di masa depan diberikan pada tabel berikut. Daerah dengan risiko menengah dapat menerapkan strategi yang kurang/lebih sedikit daripada area risiko tinggi. Kombinasi dari dua atau lebih strategi diharapkan dapat menurunkan insidensi atau kejadian penyakit DBD. Tabel II.3. S trategi A daptasi Umum Bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue Kot a Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) Pengendalian vektor penyakit (berdasarkan perubahan iklim musiman)
Pengurangan sumber-sumber nyamuk Penyemprotan rutin musiman (3-4 kali setahun, khususnya kelurahan risiko tinggi) Penyemprotan tambahan / insidental (selama Kejadian Luar Biasa, KLB) Penggunaan larvicides ekstensif (misalnya temphos IGR)
II‐11
Penyemprotan rutin yang lebih sedikit (2-3 kali setahun berdasarkan keberhasilan program jangka pendek) Jika berkurangnya KLB seperti yang diharapkan program, maka penyemprotan insidental dikurangi Keberlanjutan dan
. Pengembangan insektisida biologis yang lebih tahan, murah dan tidak beracun . Pengembangan rekayasa genetik nyamuk jantan steril
Peningkatan lingkungan
Secara pribadi melakukan tindakan anti nyamuk (pengusir, jaring nyamuk, kaleng semprot dan pakaian) Pelaksanaan program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus Penggunaan musuh biologis, predator (basil, jamur, ikan larvivorous) Perumahan dengan sistem penyaluran dan penimpanan air yang lebih baik
Pengawasan/ pengamatan agen penyakit
Pengamatan serologi virus dengue (peringatan untuk virus yang berbahaya) Pengembangan vaksin DBD
Manajemen infeksi manusia
Fasilitas penanganan kasus Pelaporan insiden yang lebih baik Meningkatkan kesadaran komunitas (masyarakat) Meningkatkan edukasi masyarakat terhadap risiko DBD
pemeliharaan program umum untuk mengurangi sumber nyamuk Peningkatan Program 3M Plus Penegakan hukum peraturan daerah (Perda) tentang sanitasi lingkungan Program perbaikan kampung Review desain bangunan untuk mengurangi potensi habitat berkembang biak nyamuk Pengembangan cara diagnos virus yang cepat Percobaan pada manusia untuk vaksin dengue pentavalen Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik, terutama saat wabah DBD Menurunkan tingkat kejadian menjadi setengahnya pada tahun 2030
. Konstruksi pembangunan perumahan semiurban (Perumnas) utuk mengurangi area kumuh dan padat di pusat kota
. Percobaan masal dari vaksin virus seperti yang diharapkan . Pengembangan obat anti-DBD . Tujuan jangka panjang adalah mengurangi insiden dan kematian akibat infeksi DBD dengan minimalisasi bahaya, kerentanan dan risiko
b. Strategi Adaptasi Terhadap Penyakit Malaria Strategi pencegahan sangat bermanfaat untuk wilayah Tarakan yang memiliki tingkat risiko sedang. Hal ini sudah dibuktikan dengan kombinasi ITN dan IRS yang dapat mengurangi terjadinya wabah malaria. Sementara masyarakat pada area dengan risiko tinggi, perlu meningkatkan ketahanan misalnya melalui rumah yang permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi yang jauh dari tempat berkembangnya nyamuk. Oleh sebab itu perlu dikombinasikan strategi pencegahan terhadap penyakit malaria dengan strategi tanggap darurat. Berikut adalah strategi adaptasi umum dari berbagai risiko penyakit malaria di masa depan yang dapat diterapkan di Tarakan.
II‐12
Tabel II.4 . Strategi Adaptasi Umum un tuk Bahaya Pe nyakit Malaria di Kota Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) Pengendalian vektor penyakit (dirancang untuk malaria endemik di pesisir dan dataran
Pengurangan sumber-sumber nyamuk Implementasi dari Program WHO Roll back Malaria Penyemprotan insektisida rutin (2-1 kali setahun, khususnya kelurahan risiko tinggi) Penyemprotan tambahan /insidental
. Penyemprotan yang lebih sedikit (2-3 kali setahun berdasarkan keberhasilan program jangka pendek) . Jika KLB tidak sesuai yang diharapkan maka penyemprotan incidental dikurangi
rendah)
(selama KLB-kejadian biasa) Penggunaan larvicidesluar ekstensif (misalnya temphos IGR) Secara pribadi melakukan tindakan anti nyamuk (pengusir, jaring nyamuk, kaleng semprot dan pakaian)
. umum Pemeliharaan program untuk mengurangi sumber nyamuk . Penggunaan kelambu
Peningkatan lingkungan
Program reklamasi area pesisir Reforestasi ekstensif/ menanam kembali mangrove yang hilang di Tarakan Timur Perumahan yang lebih baik dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela Pengamatan rutin parasit malaria oleh ahli malaria lapangan dan ahli entomologi
. Pengenalan larva ikan dan . Pengembangan predator lainnya perumahan semi. Pengenalan monyet daerah urban (Perumnas) (bekantan) agar nyamuk agar menjauhi area menjauhi manusia perkembangbiakan nyamuk
Fasilitas penanganan kasus dan laporan yang lebih baik Meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat Ketersediaan anti-malaria yang lebih baik
. Pelatihan personel rumah . Tujuan jangka sakit yang lebih baik, panjang adalah terutama saat malaria mengurangi mewabah insiden dan . Pelatihan untuk ahli malaria kematian yang lapangan disebabkan oleh penyakit malaria akut
Pengawasan/ pengamatan agen penyakit
Manajemen infeksi manusia
. Pengembangan cara diagnosa malaria yang cepat
. Pengembangan insektisida biologis yang lebih tahan, murah dan tidak beracun . Pengembangan rekayasa genetik nyamuk jantan steril
. Pengembangan vaksin malaria . Pengembangan obat anti-malaria
c. Strategi Adapt asi Terhadap Penyakit Diare Strategi adaptasi untuk bahaya diare didasarkan pada proyeksi peningkatan curah hujan di Tarakan pada masa depan. Berikut adalah strategi umum untuk berbagai risiko penyakit diare yang dapat diterapkan di Tarakan: Tabel II.5 . Strategi Adaptasi Umum un tuk Bahaya Pe nyakit Diare di Kot a Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) Manajemen . Kawasan penampungan . Pengembangan . Masyarakat yang lebih untuk korban banjir infrastruktur drainase di tanggap terhadap banjir banjir dengan fasilitas dan area tergenang banjir . Peningkatan manajemen sistem yang baik . Memperlebar dan pesisir . Rumah isolasi yang memperdalam saluran . Daur ulang limbah dan pipa menyediakan fasilitas air dan kanal air yang bebas bakteri minum yang steril
II‐13
Peningkatan kualitas air
. Penggunaan air matang . Penggunaan air berklorin . Sistem pembuangan yang lebih baik . Ketersediaan air sumur yang bersih
Pengawasan/ pengamatan agen penyakit
. Pengamatan agen infeksi gastrointestinal (e.coli, tifus kolera)
Manajemen infeksi manusia
. Fasilitas penanganan kasus dan laporan yang lebih baik . Meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat
. Adaptasi penggunaan . Desain perumahan yang air buangan tahan terhadap banjir . Perda mengenai sanitasi berkepanjangan di masa lingkungan depan . Program perbaikan . Rencana perumahan yang sanitasi di kelurahan lebih baik dengan air . Peningkatan pipa air ledeng dan pemisah air (2030) yang ekstensif limbah . Pengembangan agen . Pengembangan genetik diagnosa diare dari patogen diare . Pengembangan vaksin dan antibiotik . Pelatihan personel . Tujuan jangka panjang rumah sakit yang lebih adalah untuk mengurangi baik terutama saat diare insiden dan kematian mewabah karena diare
II‐14
II.2. KRAP I Propi nsi Sumatera Sela tan Provinsi Sumatera Selatan merupakan bagian dari Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah 91.806,36 Km2, yang terletak pada 1°-4° Lintang Selatan dan 102°-106° Bujur Timur. Provinsi Sumatera Selatan secara administratif dibagi menjadi 11 (sebelas) kabupaten dan 4 (empat) kota, serta 217 kecamatan, 2.777 desa dan 373 kelurahan. Propinsi Sumatera Selatan sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Jambi, sebelah selatan berbatasan Propinsi Lampung, sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Bengkulu, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan morfologi Sumatera sebagian besar di daerah dataran rendah, dan kondisi juga dialiri banyak sungai,Selatan, 54 sungai induk, 287 terletak anak sungai, 908 ranting sungai dan 1723 sub-ranting sungai.
II.2.1. Basis Saintifik (Science Basis) Kajian basis saintifik ini menjadi dasar bagi sektor-sektor terkait dalam menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Sumatra Selatan. Basis saintifik ini meliputi kajian terhadap pola iklim di atmosfer di seluruh wilayah Sumatra Selatan dan pola oseanografis di sekitar pesisir timur Sumatra. Namun demikian data dan informasi basis saintifik yang bersifat spesifik untuk wilayah Sumatra Selatan masih sangat terbatas. Kondis i Ikli m dan Perubahan Iklim di Sumate ra Selatan Pola iklim dianalisis dari data historis yang diperoleh dari stasiun BMKG dan dari institusi basis data iklim internasional. Hasil analisis secara umum memperlihatkan bahwa Sumatra Selatan memiliki iklim basah, dimana wilayah ini merupakan batas antara pola monsunal yang dicirikan oleh satu puncak periode hujan dan pola ekuatorial yang dicirikan oleh dua puncak periode hujan. Data di sekitar Palembang menunjukkan dua puncak hujan yang tidak sama magnitudo-nya (Gambar II.9), yaitu di bulan Desember-Januari (sekitar 300-450 mm) dan di bulan Maret (250-350 mm). Data tersebut juga menunjukkan bahwa curah hujan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir (1951-2008) lebih variatif magnitudo-nya dibandingkan periode sebelumnya.
Gambar II.9. Pola curah hujan di sekitar Palembang antara tahun 1901 - 2008
Secara geografis, pola curah hujan tersebut umumnya sama untuk seluruh wilayah Sumatra Selatan. Terdapat sedikit perbedaan di daerah pegunungan di wilayah Barat Laut dimana curah hujan relatif lebih tinggi sepanjang tahun, sehingga musim kering menjadi kurang tampak jelas. Di lain pihak, temperatur udara rata-rata adalah sekitar 27° C untuk sekitar Palembang dan sekitar 26° C untuk rata-rata di seluruh wilayah Sumatra Selatan (Gambar II.10).
II‐15
Dampak pemanasan global di Sumatra Selatan dapat ditengarai oleh adanya tren kenaikan sepanjang 25 tahun terakhir sebesar 0,31°C di sekitar Palembang dan 0,67°C secara ratarata di seluruh Sumatra Selatan. Meskipun demikian, angka tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesalahan sistematis dalam pengukuran serta perubahan lokal seperti efek pulau panas perkotaan (urban heat island) dan pergeseran iklim regional, karena jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya rata-rata sangat kecil hanya terhitung sekitar -0,12-0,03°C/abad. Pola curah hujan ini dikonfirmasi oleh data di sekitar Singapura (Gambar II.10).
Gambar II.10 . Tren temperatur Sumatra Selatan: sekit ar Palembang (garis b iru), rata-rata Sumatra Sela tan (garis hi jau), dan sekitar Singapur a sebagai perbandingan (garis m erah)
Dengan demikian kajian perubahan iklim di wilayah Sumatra Selatan lebih difokuskan pada pola variabilitas curah hujan. Namun berbeda dengan temperatur, perubahan curah hujan tidak dapat didekati secara tren linier. Kajian variabilitas antar-dasawarsa (inter-decadal) dari tahun 1951 hingga sekarang menunjukkan, bahwa sekitar 1965-1970 merupakan periode yang relatif sangat basah, sedangkan tahun-tahun 1990-an merupakan periode dengan curah hujan rata-rata paling sedikit. Tren variabilitas curah hujan antardasawarsa tersebut telah dicoba diprediksi sampai dengan tahun 2020 dengan model empirik (Gambar II.11). Ditinjau dari komponen variasi antardasawarsa tersebut, curah hujan rata-rata dekade ini tidak tergolong kepada kondisi ekstrem. Namun demikian, ancaman bahaya (hazard) iklim yang ada saat ini justru lebih disebabkan oleh variabilitas iklim antar-tahunan (inter-annual) dan curah hujan ekstrem.
Gambar II.11 . Variasi c urah hu jan antar-dasawarsa di wi layah Sumatra Selatan. Da ta pengamatan curah huj an (garis h itam) antara tahun 19 51-2009 dan model pr ediksi empiri k (garis merah) sampai d engan 202 0
II‐16
Variabilitas iklim antar-tahunan terutama yang berkaitan dengan fenomena El Nino (ENSO; dari Samudra Pasifik) dan Dipole Mode (+) (IOD; dari Samudra Hindia) dapat menyebabkan terjadinya kekeringan yang lebih panjang dari biasanya, terutama untuk periode bulan JuniJuli-Agustus dan September-Oktober-November. Meskipun fenomena sebaliknya yaitu La Nina dan Dipole Mode (-) umumnya menyebabkan surplus curah hujan, kondisi netral justru menyebabkan ketidakpastian iklim yang lebih tinggi. Hal ini perlu dicermati karena beberapa hasil studi menyebutkan bahwa pemanasan global menyebabkan pergantian antara El Nino dan La Nina yang lebih sering yang berdampak pada ketidakpastian iklim lebih tinggi. Di wilayah Sumatra Selatan ini pengaruh IOD lebih kuat daripada ENSO. Proyeksi perubahan iklim akibat bertambahnya konsentrasi CO 2 di atmosfer diturunkan berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change) AR-4 dengan tiga skenario emisi yaitu B1 (rendah), A1B (sedang), dan A2 (tinggi). Secara umum, dalam semua skenario, tren kenaikan temperatur yang ada saat ini digambarkan akan terus berlangsung dan setidaknya meningkat secara rata-rata sekitar 1°C hingga tahun 2030-an dibandingkan dekade 1990-an (Gambar II.12 kanan). Selanjutnya, tren kenaikan yang lebih tinggi diproyeksikan pada skenario A1B dan A2 hingga mencapai kenaikan sebesar lebih dari 2°C pada tahun 2070-an. Proyeksi perubahan curah hujan memperlihatkan adanya perubahan pola curah hujan yang tidak signifikan hingga tahun 2050-an meskipun masih terjadi beberapa kali fluktuasi. Hasil ini sekaligus memperlihatkan bahwa potensi ancaman bahaya iklim hingga tahun 2030-an masih didominasi oleh ketidakpastian iklim yang diakibatkan oleh variabilitas antar-tahunan dari curah hujan (Gambar II.12 kiri).
Gambar II.1 2. Proyeks i cu rah huj an (kiri) dan temperatur (kanan) di s ekitar Palembang melalui beberapa skenario perubahan iklim
Di Sumatra Selatan, kejadian curah hujan yang ekstrem tinggi pada skala harian juga merupakan ancaman bahaya yang perlu dianalisis. Dalam hal ini, peluang untuk terlampauinya (probability of exceedence) sangat lebat (definisi BMKG: lebih dari 100 mm/hari) dapat dihitung. Meskipun proyeksi curah hujan dari model IPCC-AR4 hanya dilakukan untuk data bulanan, dari analisis korelasi antara curah hujan harian dengan bulanan dapat diketahui bahwa bulan-bulan dengan akumulasi curah hujan antara 250-400 mm mempunyai peluang tertinggi untuk terjadinya curah hujan ekstrem. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa peluang kejadian curah ekstrem secara rata-rata relatif tidak berubah pada periode 2020-2030-an relatif terhadap kondisi saat ini (2010-an), namun sebenarnya relatif meningkat dibandingkan periode sebelumnya (1991-2000-an) (Gambar II.13).
II‐17
Gamba r II.13. Peru bahan pelu ang terjadi ya curah h ujan ekstre kuat terhad ap curah h jan bu lana
yang did
duksi dari
orelasi
Kondis i Oseanog rafi dan K naikan M ka Air La t Kondisi umum di amik per ukaan air laut dan arus di pantai timur Sumatera Selatan (terma uk Selat Bangka) dianalisis dari beberapa model oseanografi s perti HYC M dan FVCO . Selama angin monsun Asia erlangsun arus di ermukaan laut mengarah ke selatan, dengan maksimum 30 cm/detik di bulan Januari; sebaliknya selama monsun Australia arus pe mukaan t rsebut berbalik men arah ke utara deng n kecepat n lebih rendah. Sedangkan pengaruh arus asang surut cukup signifikan di Selat Bangka khususnya untuk ungsi pembilasan (flushing) di uara Sungai Musi pada saat air menuju surut. kibat pola monsun itu pula, su u permuk an air laut mengala i siklus musiman, dimana kenaikan hingga maksimum terjadi pada bulan Mei menginga pemanas n sinar matahari yang intensif dan rendahny angin p rmukaan, serta seb liknya mengalami penuru minimum pada bula Januari. yan udra banyak mempengar permu nan aan menuj air lau ini adalah transpor massa air la taktor dari Sam Pasifi yang mel hi lui suhu Laut Cina S latan.
Gam bar II.14. Si klus tahuna n suhu per
ukaan air laut di pera iran timur
umatera S latan
Tren kenaikan suhu permu aan laut i sekitar antai timur Sumater Selatan berkisar 0.02 C tahun yan setara de gan nilai r ta-rata di eluruh per iran Indon sia. °
II‐18
Gam ar II.15. Dis tribusi laju kenaikan s hu permu aan air laut berdasark n Pathfind r esolusi 4 k
r SST
Kenaik n muka air laut dire onstruksi dengan me ggunakan model SODA (Simpl Ocean Data ssimilation , dimana laju kenaikan di pantai timur S matera S latan berkisar 0,3 mm/tahun antara tahun 18 1-2008. elalui gabungan model ROMS (Regional Ocean Modeli g System ) dengan SODA, pa a periode 1960-200 laju kenaikan muka air laut menjadi 1 mm/ta un. Berikutnya sateli altimeter mengamati laju kenaikan muka air laut sebesar 4,1 mm/tahun sejak ahun 1993.
Gamb ar II.16. Re onstruksi
enaikan m ka air laut i wil ayah p antai ti mur Sumatera ta un 1871-2 08
elatan
Estima i ke depan laju kenaikan muk air laut erdasarkan altimeter, model, dan data pasang surut berkisar antara 0,5-0,7 cm/tahun. Pr yeksi kenaikan muka air laut pa a tahun 2030 s besar 13. ± 6.15 cm relatif terh dap level uka air la t pada tahun 2000. i antara nilai tersebut, antara 6-15 m merupakan hasil ontribusi encairan s yang diestimasi dengan model HY OM dan CCO. Kejadian ekstrem juga berpengaruh t rhadap kenaikan muka air laut seperti terjadinya fenom na La-Nin (pengaruh dari Sa udra Pasifik) yang apat menimbulkan kenaikan sebesar 15 cm terhadap mu a air laut d alam kondisi normal. Di masa d pan feno ena LaNina diprediksi s makin panjang dan sering terja i yang da at beraki at makin tingginya gelombang laut, akin besa kecepata angin, di samping enaikkan level muka air laut. Proyeksi ENSO y ng melipu i fenomen El-Nino dan La-Nina berdasar an skenario SRES II‐19
a1b menunjukkan bahwa keduanya akan terjadi hampir pada setiap tahun yang diselingi dengan kondisi normal pada tahun 2013/2014, 2021/2022 dan 2027/2028. Probabilitas kejadian La-Nina, El-Nino, dan kondisi normal masing-masing sekitar 55%, 30% dan 15%. Gelombang signifikan pada pantai timur Sumatera Selatan meninggi pada monsun Asia sekitar bulan Desember-Januari, dan menurun pada monsun Australia pada bulan Mei. Menurut catatan satelit altimeter, gelombang tinggi yang pernah terjadi sekitar 2,5 m pada tahun 2000, 2001, dan 2007 yang diperkirakan disebabkan oleh menguatnya La-Nina dan El-Nino, yang disertai kurangnya pengaruh IOD (Dipole Mode dari Samudra Hindia).
II.2.2 Sektor Pesisir Provinsi Sumatera Selatan memiliki kekhasan dimana sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah sehingga mempunyai tingkat keterpaparan tinggi terhadap perubahan iklim, khususnya bahaya penggenangan pesisir yang disebabkan oleh kombinasi kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan fenomena La-Nina pada saat air pasang maksimum. Oleh sebab itu penilaian risiko diperlukan di sepanjang wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan untuk mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai dampak perubahan iklim dan strategi adaptasi yag tepat dalam mengatasinya. Di antara 15 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, hanya dua kabupaten yang memiliki garis pantai atau berbatasan dengan air laut yaitu Ogan Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin. Namun bahaya penggenangan pesisir yang dipicu oleh stimuli perubahan iklim tersebut hingga tahun 2030 dapat mencapai enam kabupaten/kota, yaitu Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, OKI, dan Palembang (Gambar II.17).
Gambar II.1 7 Peta penggenangan pesisi r akibat p erubahan ikli m hi ngga tahun 2030
Di antara wilayah-wilayah tersebut khusus Kota Palembang dan sekitarnya memiliki risiko sangat tinggi terhadap penggenangan pesisir mengingat kombinasi faktor-faktor kerentanan seperti rendahnya muka tanah terhadap muka air laut rata-rata, landainya kemiringan topografi, lahan yang banyak digunakan untuk pemukiman dan industri, populasi penduduk terbesar, serta adanya infrastruktur vital (Gambar II.18).
II‐20
Gambar II.18 Peta risiko terhadap penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030
Untuk mengantisipasi risiko tersebut disusun opsi-opsi adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi ekoregion dataran rendah dan estuari di pesisir Provinsi Sumatera Selatan. Opsi-opsi adaptasi tersebut pada dasarnya adalah: pemeliharaan dan restorasi dataran rendah, pengelolaan transpor sedimen, penataan pembangunan pesisir, pemeliharaan garis pantai secara alami (soft measures) dan dengan teknologi (hard measures), konservasi habitat spesies, pengelolaan kualitas air, dan ketersediaan sumber daya air. Untuk itu empat tipe adaptasi diajukan berdasarkan pembagian Provinsi Sumatera Selatan ke dalam enam region sebagai berikut (Gambar II.19):
II‐21
Gambar II.1 9 Peta regionali sasi adaptasi perubahan ikl im hi ngga tahun 2030
1. Wilayah A, area pesisir Banyuasin dan Musi Banyuasin (perikanan dan desa permukiman), yang didominasi oleh hutan lebat, rawa dan mangrove di sepanjang garis pantai desa. Oleh sebab itu, konsep adaptasi yang diusulkan pada area ini adalah restorasi mangrove dan hutan pesisir serta diikuti dengan strategi proteksi-akomodasi bagi permukiman dan tambak perikanan. 2. Wilayah B, Tanjung Api-Api (taman industri masa depan, industri perikanan, dan permukiman), terdiri dari beberapa delta, sistem estuari, lahan basah dan hutan bakau. Wilayah ini akan dikembangkan sebagai pusat ekonomi di masa depan, yaitu sebagai penggerak utama ekonomi (outlet) untuk ekspor sumber daya alam dari Provinsi Sumatera Selatan dan provinsi tetangganya. Konsep adaptasi yang diusulkan pada wilayah ini yaitu strategi proteksi-akomodas i dan diikuti dengan restorasi mangrove . 3. Wilayah C-D-E, Ogan Komering Ilir (perikanan dan desa permukiman), hampir sama dengan wilayah A, didominasi oleh hutan lebat, rawa dan mangrove di sepanjang garis pantai desa. Wilayah ini akan dikembangkan sebagai industri perikananbudidaya kolam ikan dan budaya kelautan lainnya. Namun, pembangunan di daerah ini dibatasi oleh potensi tinggi abrasi atau erosi akibat gelombang tinggi angin harian dari Selat Karimata. Oleh sebab itu, konsep adaptasi yang diusulkan adalah Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu (ICZM) , terutama melalui managed realignment dan coastal setback dengan proteksi-soft (memelihara mangrove dan sand dune) 4. Wilayah D, Kota Metropolitan Palembang (permukiman, industri, aktivitas ekonomi), yang merupakan sistem estuari dan sungai yang khas. Wilayah ini terutama akan dikembangkan sebagai permukiman, bisnis, pemerintahan, dan kegiatan transportasi laut. Konsep adaptasi yang diusulkan berupa strategi akomodasi dan proteksi berupa perlindungan dengan teknologi (hard) pada area genangan sepanjang sungai. Selain itu juga diperlukanpemeliharaa n d an restorasi Sungai Musi .
II‐22
Tabel II.6 Empat Tipe Adaptasi Berdasarkan Regionalisasi Provins i Sumatera Se latan WILAYAH KARA KTERISTIK STRATEGI ADAPTASI Wilayah A, area Perikanan dan desa permukiman Restorasi mangrove & hutan pesisir; pesisir Hutan lebat, rawa dan mangrove Diikuti dengan strategi proteksiBanyuasin dan akomodasi : permukiman dan tambak Musi perikanan Wilayah B, Lahan industri masa depan, industri Strategi proteksi-akomodasi Tanjung Api-Api perikanan, dan permukiman Diikuti dengan restorasi mangrove Delta, sistem estuari, lahan basah dan hutan bakau Pengembangan: pusat ekonomi di masa depan untuk ekspor sumber daya alam Wilayah C-D-E, Perikanan dan desa permukiman Pengelolaan zona pesisir terpadu Ogan Komering Hutan lebat, rawa dan mangrove (ICZM), terutama : Ilir Pengembangan: industri perikananmanaged realignment dan (seperti wilayah budidaya dan budidaya kelautan coastal setback A) lainnya dengan proteksi-soft (memelihara Kendala: potensi tinggi abrasi akibat mangrove dan sand dune) gelombang tinggi dari selat karimata Wilayah F, Kota Permukiman, industri, aktivitas Perlindungan dengan teknologi (hard) Metropolitan ekonomi pada area genangan sepanjang Palembang Sistem estuari dan sungai yang khas sungai Pengembangan: permukiman, bisnis, Pemeliharaan dan restorasi sungai pemerintahan, dan transportasi laut musi
Implementasi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ke-enam kabupaten/kota yang beresiko tinggi-sangat tinggi tersebut dapat mengikuti peringkat berikut berdasarkan beberapa kriteria (Tabel II.7) Tabel II.7 Peringkat implementasi adaptasi perubahan iklim pesisir Provinsi Sumatera Selatan (Skala pri orit as 1 – 6)
No
1
2
3
4
Kriteria
Faktor lu as daerah yang me miliki tingka t risiko tinggisangat tinggi saja Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor kepadatan penduduk Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor infrastruktur vital dan d aerah terbangun Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor ekosistem lahan
u y n a B . b a K
n i s a
n a g O . b a K
g n ri e m o ri K lI
i s u M . b a K
in s a u y n a B
ra a u M . m b i a n K E
n e t a p u b a K
4
5
r liI n a g O
g n a Strategi Adaptasi b m Prioritas ta le o a K P
Akomodasi dan proteksi 1
2
3
2
1
2
1
3
2
II‐23
6
3
1
4
3
Akomodasi dan proteksi khususnya pada daerah permukiman di Palembang, Banyuasin, dan Muara Enim Proteksi secara alami (soft) dan industri teknologi di daerah di (hard), Palembang, Banyuasin (fokus: Tanjung Api-Api), dan Muara Enim, serta lahan perikanan di OKI Restorasi hutan dan mangrove, kehidupan di pesisir, dan konservasi lingkungan Fokus: TN Sembilang
No
Kriteria
u y n a B . b a K
in s a
n a g O . b a K
g n ir e m o ir K lI
i s u M . b a K
in s a u y n a B
a r a u M . b a K
im n E
n te a p u b a K
irl I n a g O
g n a b Strategi Adaptasi m Prioritas a e t l o a K P
basah dan mangrove
II.2.3. Sektor Ai r Pada prinsipnya, adaptasi di sektor air harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management - IWRM). Dalam adaptasi dengan IWRM ini, perubahan iklim menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam pengelolaan air, misalnya dalam pengembangan infrastruktur air dan sebagainya. Indikator dari IWRM sebagaimana dinyatakan dalam Laporan IPCC-AR4 (2007) antara lain: mempertimbangkan pandangan masyarakat, mengintegrasikan dengan proses perencanaan, koordinasi manajemen sumber daya air, mengenali keterkaitan kuantitas dan kualitas air, keterkaitan penggunaan air permukaan dan air tanah, melindungi dan memulihkan sistem alam, dan pertimbangan perubahan iklim. Pilihan adaptasi dapat berupa adaptasi hard (pembangunan struktur) maupun adaptasi soft (non-struktur). Berikut adalah pilihan adaptasi pada setiap risiko dalam sektor air yang direkomendasikan di Sumatera Selatan berdasarkan risikonya, dimana banyak di antaranya merupakan adaptasi struktur. a. Adapt asi Terhadap Risik o Kekur angan (Penur unan Ketersedi aan) Air Strategi adaptasi pada sektor air dibagi dalam 4 zona utama yang diklasifikasikan berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan susunan sungai, yaitu DAS Musi, DAS Sugihan, DAS Mesuji, dan DAS Banyuasin (Gambar II.20). Pertimbangan lain dalam mengidentifikasi pilihan adaptasi adalah peta risiko kekurangan air dan periode pelaksanaan pilihan adaptasi. Daerah dengan tingkat risiko sangat tinggi sampai medium merupakan prioritas utama dalam adaptasi (Gambar II.21).
Gambar II.2 0. Empat DAS Utama untuk Zonasi A daptasi Risi ko Penurunan Ketersediaan Air Sumatera Selatan
II‐24
di
Gambar II.2 1. Peta Risik o Penurunan K etersediaan Air di Sumatera Selatan: (kiri ) pada saa t i ni (kanan) tahun 2030 Tabel II.8 Strategi Adapt asi Terhadap Risiko Kekurangan Ai r di Sumatera S elatan
Zona dan SubStrategi Adaptasi Zona Zona I: DAS Musi , Dataran rendah: total area 57,845 Regulasi penyediaan air untuk aktivitas perkebunan km2 atau 66.56% Peningkatan pelayanan PDAM dari total area Pemanfaatan air tanah dengan mengembangkan lubang bor Sumatera Selatan Dataran tinggi: Pemanfaatan air permukaan dari sungai dengan membangun bendungan atau teknologi hidrolik Reboisasi dan konservasi vegetasi lainnya
(I-2) DAS Batangharileko
(I-3) DAS Rawas
(I-4) DAS Lakitan
(I-5) DAS Kelingi
(I-6) DAS Semangus
Panen airpenyediaan hujan Regulasi air bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan Konservasi tanah dan konservasi vegetasi untuk pemeliharaan sumber daya air Peningkatan pelayanan PDAM Konservasi tanah dan konservasi vegetasi untuk pemeliharaan sumber daya air Regulasi perusahaan perkebunan dan pertambangan dalam penyediaan air Pemanfaatan air tanah dan panen air hujan Pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Pengembangan air tanah dan panen air hujan Pembangunan bendungan Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Peningkatan infrastruktur air untuk pertanian Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Pembangunan bendungan Peningkatan pelayanan PDAM untuk Kota Lahat dan perkotaan disekitarnya Peningkatan infrastruktur air untuk pertanian Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Pembangunan bendungan II‐25
Zona dan SubZona (I-7) DAS Lematang
Strategi Adaptasi
(I-8) DAS Ogan
(I-9) DAS Komering
Zona II: DAS Sugihan Zona III: DAS Mesuji
Zona IV: DAS Banyuasin
Zona V: DAS Bengkulu Bagia n At as
Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Peningkatan infrastruktur irigasi/ pengairan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Pemanfaatan air tanah dan pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Pemanfaatan air tanah dan pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan infrastruktur irigasi untuk pertanian lahan basah Peningkatan pelayanan PDAM Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi Peningkatan pelayanan penyediaan air publik (PDAM) dan lainnya Peningkatan infrastruktur irigasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi danair reboisasi untuk pemeliharaan kuantitas dan kualitas penyediaan air Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi untuk pemeliharaan kuantitas dan kualitas penyediaan air
b. Adaptasi terhada p Risiko Banjir Pilihan adaptasi terhadap risiko banjir di Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga area berdasarkan kemiringan lahan Sumatera Selatan yaitu lowland (dataran rendah), midland (dataran menengah) dan highland (dataran tinggi), seperti ditunjukkan pada Gambar II.22 berikut.
II‐26
Gambar II.2 2. Peta Kemiri ngan Lahan dan Pil ihan Ad aptasi di Sumatera S elatan
Ar ea Dataran rendah (Lowland)
Tabel II.9 Strategi Adapt asi Terhadap Risiko Banjir di Sumatera Selata n Pil ih an Deskripsi Pilihan Adaptasi Ad aptasi Kanalisasi Cara paling tradisional dalam sistem drainase. Kanalisasi dilakukan dengan menghilangkan penghalang dari dasar sungai, meluruskan sungai dan memperbaiki tepi sungai sehingga dapat meningkatkan Polder dan tanggul
Dataran menengah (Middle land)
Dataran tinggi (Highland)
pengangkutan Polder melindungi area sungai dari meluapnya air sungai dengan membangun tanggul sepanjang saluran. Dalam area yang dilindungi diperlukan kolam penyimpanan dan saluran tambahan untuk menyalurkan air lokal pada waduk.
Kolam retensi
Dirancang untuk mengendalikan limpasan air hujan pada situs, dan pada beberapa kasus dapat menghilangkan polutan. Kolam ini dirancang sebagai tempat penyimpan air sementara sebelum perlahan-lahan mengalir ke hilir.
Tindakan infiltrasi
Infiltrasi dapat memulihkan tangkapan alami hidrologis. Contoh tindakannya yaitu parit, vegetasi di permukaan, kebun hujan dan trotoar permeabel atau berpori. Rendaman banjir adalah cara paling efektif untuk mendistribusikan debit air dari waktu ke waktu. Proses rendaman terus menyimpan air dan mengontrol aliran keluaran dengan debit yang terbatas. Terdapat beberapa aplikasi untuk kolam penahan. Kolam penahan dapat ditempatkan pada sungai-sungai maupun taman umum dan wilayah sungai yang juga dapat menjadi lansekap multifungsi
Kolam penahan (detention basin)
Embung
Embung (pond) menyediakan dua layanan utama yaitu (1) sebagai cekungan untuk menangkap limpasan air dari daerah tinggi dan mempertahankan limpasan sebelum melepaskannya ke sungai (2) sebagai penyimpanan dan sumber air.
Reboisasi
Meskipun pada area ini tidak pernah terjadi banjir, namun perlu diterapkan reboisasi untuk mencegah erosi tanah, mempertahankan lapisan tanah dan infiltrasi.
II‐27
c. Adaptasi Terhadap Risiko Longso r Kawasan tanah longsor dibagi menjadi dua area utama dengan jenis yang berbeda yaitu area permukiman dan non-permukiman. Peta risiko menunjukkan bahwa tingkatan risiko tinggi hanya terjadi pada daerah berpopulasi penduduk, yaitu area irigasi seluas 34.190,8 m2, area permukiman seluas 80.861,3 m2, perkebunan lahan basah seluas 202.220,3 m2 dan lahan pertanian seluas 4.171.510 m2. Berdasarkan data historis Dinas PU Jasa Marga dan Dinas Pertambangan dan Energi di Sumatera Selatan, terdapat 34 kasus longsor yang terjadi di area jalanan(road). Berdasarkan hal tersebut dan proyeksi guna lahan pada saat ini, maka terdapat dua strategi utama dalam menangani longsor akibat perubahan iklim di Sumatera Selatan, yaitu adaptasi pada daerah non-populasi penduduk dan daerah berpopulasi penduduk. Pada prinsipnya adaptasi longsor berupa stabilisasi tanah yang dilakukan untuk mengurangi kekuatan pendorong dan melawannya. Adaptasi pada daerah non-populasi penduduk berupa penghijauan atau menutup tanah dengan populasi vegetasi, sehingga sistem tanah akan menguatkan dan memberi efek stabilisasi. Sementara pada daerah berpopulasi penduduk di mana dominan area terbangun, maka dibutuhkan pengerjaan rekayasa teknik untuk menerapkan penghijauan. Tabel berikut adalah kondisi tanah longsor di Sumatera Selatan beserta rekomendasi pilihan adaptasi yang dapat diterapkan.
Tabel II.1 0. Pili han Adaptasi Terhadap Risik o Lon gsor di Sumatera Sela tan Tingkatan Tingkatan Kabupaten Guna lahan Pilihan Adaptasi Bahaya Risiko Empat lawang Pertanian 2,4,5 2,3,4 Reboisasi Lahat Pertanian, industri perhutanan, 2,4,5 2,3,4 Reboisasi dan Muara Enim OKU Selatan OKU OKU Timur
Pagar Alam Musi Banyuasin Musi Rawas Lubuk Linggau
permukiman Pertanian, industri perhutanan, permukiman Pertanian dan hutan lindung Pertanian, industri perhutanan, hutan lindung, permukiman Pertanian, industri perhutanan, perkebunan lahan basah dan permukiman Pertanian, permukiman, perkebunan lahan basah Pertanian
2,5
2,3,4
2,3 2
2,3 2,3
2
2,3
2
2
2
2,3
Permukiman, perkebunan lahan basah, pertanian, hutan lindung Permukiman dan pertanian
2
2
2
2,3
Prabumulih Permukiman 2 2,3 Keterangan: 1: sangat rendah, 2: rendah, 3: sedang, 4: tinggi, 5: sangat tinggi
rekayasa teknik Reboisasi dan rekayasa teknik Reboisasi Reboisasi dan rekayasa teknik Reboisasi dan rekayasa teknik Reboisasi dan rekayasa teknik Reboisasi Reboisasi Reboisasi dan rekayasa teknik Reboisasi
II.2.4. Sekto r Pert anian Sektor pertanian merupakan salah satu sektor utama yang mendominasi bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Adanya isu perubahan iklim dapat mengancam sektor pertanian dengan asumsi bahwa penurunan produktivitas tanaman dan luas panen memiliki hubungan kuat dengan perubahan suhu udara dan curah hujan. Selain itu naiknya permukaan laut akan menyebabkan berkurangnya luas lahan pertanian. Pada akhirnya, II‐28
perubahan iklim tersebut dapat menimbulkan risiko penurunan produksi pertanian, dimana di Sumatera Selatan didominasi oleh komoditi padi (lahan basah dan lahan kering) , jagun g dan kedelai. Hasil kajian menunjukkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko sangat tinggi terhadap perubahan iklim maupun terhadap kenaikan muka air laut seperti pada Gambar II.23 di bawah (untuk padi lahan basah dan padai lahan kering).
Gambar II.2 3. Risi ko Penurun an Produks i Pertanian Ak ibat Perubahan Iklim : (a) Padi Lahan Basah, (b) Pa dai Lahan K ering
Gambar II.2 4. Risi ko Penurunan Produ ksi Pertanian Ak ibat Perubahan Iklim d an Kenaikan Muka Air Laut: (a) Padi Lahan Basah, (b) Pa dai Lahan Kerin g
Oleh sebab itu perlu diterapkan berbagai strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim tersebut terutama pada tiga komoditas tanaman utama tersebut. Strategi umum adaptasi tersebut antara lain: 1) meningkatkan produktivitas tanaman melalui varietas benih unggul, teknologi budidaya, pupuk dan peralatan, 2) memperluas lahan pertanian dengan reklamasi, optimasi lahan, dan membuka lahan baru, 3) diversifikasi pangan melalui penanaman tanaman potensial yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim seperti tanaman yang lebih cepat dapat dipanen, tanaman yang tahan terhadap kekeringan, dan yang tahan terhadap genangan air, 4) revitalisasi pola penanaman sesuai dengan perubahan pola distribusi dan frekuensi curah hujan, 5) membatasi konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian dengan kekuatan hukum, 6) koordinasi antar instansi terkait dalam berbagai kegiatan pertanian untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan, risiko pada sektor pertanian dan diprioritaskan pada kabupaten yang
II‐29
berisiko sangat tinggi dan tinggi. Berikut adalah strategi adaptasi umum sektor pertanian di Sumatera Selatan yang sesuai dengan peta risiko pada Gambar II.24 di atas. Tabel II.1 1. Strategi A daptasi Umum Sekto r Pertanian di Prov ins i Sumatera Se latan Jenis Kabupaten Strategi Adaptasi Risiko Penurunan OKU Timur, Musi Banyuasin, Muara Penggunaan bibit unggul dengan produktivitas produkEnim, Prabumulih, Ogan Ilir dan OKI tinggi, umur pendek, dan tahan terhadap tivitas (padi lahan basah) kekeringan atau banjir tanaman OKI, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Peningkatan teknik budidaya pangan misalnya Muara Enim, OKU, dan Prabumulih PTT dan intensifikasi penanaman (SRI dan (jagung) Sistem Legowo) Musi Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, Prabumulih, Ogan Ilir, dan OKI (kedelai) Penurunan Banyuasin dan OKI (padi lahan Peningkatan kapasitas waduk air hujan pada lahan basah) musim hujan pertanian Muara Enim (padi lahan kering) Revitalisasi jaringan irigasi tadah hujan Musi Banyuasin dan Banyuasin Penggunaan bibit unggul padi, jagung, dan biji (jagung) kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan OKU Timur dan Lahat (kedelai) awal Penurunan Banyuasin (padi lahan basah) Peningkatan kapasitas waduk air hujan pada lahan musim hujan pertanian Revitalisasi jaringan irigasi dan pintu air pasang irigasi Konservasi tanah dan air pada lahan pertanian pengaruh bahaya Penggunaan bibit unggul padi, jagung, dan biji Penurunan Tanpa penggenangan pantai oleh kenaikan kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan produksi tanaman muka air laut: awal OKU Timur (padi l ahan basah) Peningkatan teknik budidaya pangan misalnya Muara Enim (padi lahan kering) PTT dan intensifikasi penanaman (SRI dan Musi Banyuasin (jagung) OKU Timur (kedela i)
Dengan pengaruh bahaya penggenangan pantai oleh kenaikan muka air laut: Banyuasin dan OKI (pa di lahan basah) Banyuasin dan Muara Enim (padi lahan kering)
Sistem Legowo) sistem tanam raised bed untuk Pengembangan melestarikan tanah dan air pada lahan pertanian tadah hujan Optimalisasi pemanfaatan lahan tadah hujan dengan reboisasi Optimalisasi pemanfaatan lahan reklamasi yang ditinggalkan dan membuka lahan baru Penggunaan bibit unggul yang tahan terhadap genangan air yang berkadar garam relatif tinggi Perbaikan saluran irigasi yang umumnya dipengaruhi oleh pasang surut laut Penggunaan teknik budidaya pangan yang memperhatikan genangan air yang berkadar garam relatif tinggi Konversi lahan pertanian yang tergenang air asin menjadi lahan usaha perkebunan dan tambak Mencetak lahan pertanian baru untuk menggantikannya
Sumber: Handoko dan Ruminta, 2011
II.2.5. Sekto r K esehatan Kajian risiko perubahan iklim di setiap kabupaten dan kota di Sumatera Selatan telah menunjukkan bahwa perubahan iklim membawa dampak perubahan tertentu dalam kondisi lingkungan. Pada sektor kesehatan, perubahan pola curah hujan dan temperatur akan mempengaruhi sifat dari agen penyakit tertentu. Untuk itu sektor kesehatan di Sumatera II‐30
Selatan perlu menerapkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut yang mengandung tiga prinsip yaitu: Kebijakan secara bertahap beralih dari dominasi kuratif (pengobatan) menjadi kegiatan pencegahan dan promosi jangka panjang Berdasarkan pada kesimpulan dan prediksi dari kajian ilmiah bahwa iklim Sumatera Selatan mengalami perubahan dimana kejadian ekstrem akan semakin sering, maka seluruh perencanaan sektor kesehatan di Sumatera Selatan harus mempertimbangkan adaptasi perubahan iklim di masa depan Sektor kesehatan perlu bekerja sama dengan sektor terkait lainnya. Kebijakan di masa mendatang dapat dilakukan bertahap pada periode jangka pendek (2010-2020) untuk tindakan mitigasi dan pendekatan adaptasi pada periode jangka panjang (2030-3050) •
•
•
Secara umum strategi adaptasi terdiri dari dua komponen utama yaitu strategi proaktif yang berkaitan dengan pengurangan dampak perubahan iklim dan strategi reaktif yang berkaitan dengan peningkatan ketahanan atau resistensi masyarakat terhadap penyakit. Berikut penjelasan strategi adaptasi untuk tiga risiko yang berkaitan dengan isu perubahan iklim yaitu penyakit demam berdarah dengue (DBD), malaria dan diare di Sumatera Selatan. a. Strategi Adaptasi Terhadap Risik o Penyakit De mam Berdarah Dengue di Sumatera Selatan Banyak wilayah di Sumatera Selatan mengalami endemik penyakit DBD. Perubahan iklim dapat mempengaruhi peningkatan limpahan nyamuk Aedes. Meningkatnya frekuensi curah hujan ekstrem dapat menyediakan tempat untuk pembiakan nyamuk dan suhu yang lebih hangat dapat meningkatkan kemungkinan kawin nyamuk tersebut. Untuk itu wilayah yang memiliki risiko tinggi memerlukan perlindungan ekstra sebab biasanya merupakan situs perkembangbiakan nyamuk. Selain itu selama wabah berlangsung (KLB) strategi tanggap darurat bergantung pada manajemen penyakit dan pemulihan yang mengarah pada strategi pencegahan melalui peningkatan lingkungan. Kombinasi dua atau lebih strategi adaptasi dapat lebih menurunkan jumlah kejadian DBD. Pada saat ini terdapat 4 kabupaten di Sumatera Selatan yang memiliki risiko sangat tinggi terhadap risiko DBD yaitu Muara Enim, Banyuasin, Empat Lawang, dan Palembang. Pada masa depan, daerah risiko sangat tinggi tersebut berubah menjadi Muara Enim, Prabumulih, Lubuk Linggau, dan Palembang. Wilayah yang memiliki risiko menengah dan rendah perlu untuk mengimplementasikan strategi pencegahan dalam jangka panjang. Strategi masa depan untuk risiko DBD di Sumatera Selatan didasarkan pada proyeksi iklim di masa depan yang harus disesuaikan dengan bahaya, kerentanan, dan risiko di setiap kabupaten.
II‐31
Tabel II.12. Strategi A daptasi Umum untu k Risi ko Penyakit DBD di Sumatera Se latan Jenis Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Strategi (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) 1. Penyemprotan rutin yang 1. Pengembangan Pengendalian 1. Pengurangan sumberVektor sumber nyamuk lebih sedikit (2-3 kali insektisida biologis (berdasarkan 2. Penyemprotan musiman setahun, berdasarkan yang lebih tahan perubahan rutin (3-4 kali setahun, keberhasilan program lama, tidak beracun iklim terutama untuk kelurahan jangka pendek) dan lebih murah musiman) berisiko tinggi) 2. Jika KLB berkurang 2. Pengembangan 3. Penyemprotan incidental/ seperti yang diharapkan modifikasi nyamuk tambahan saat KLB dengan adanya jantan steril secara 4. Penggunaan ekstensif dari peningkatan program, genetis larvicides (temephos, IGR) maka penyemprotan 5. Perlindungan pribadi insidental dikurangi (pengusir nyamuk, jaring 3. Keberlanjutan dan nyamuk, semprotan keberjalanan program nyamuk, dan pakaian yang pengurangan sumbersesuai sumber nyamuk 1. Pelaksanaan Program 3M 1. Peningkatan Program 3M 1. Konstruksi rencana Peningkatan (Menguras, Menutup, 2. Penguatan hukum dari pengembangan Lingkungan Mengubur) Plus Peraturan Daerah permukiman semi2. Penggunaan ekstensif dari (Perda) mengenai urban (Perumnas) musuh biologis/predator sanitasi lingkungan yang mengurangi (basil, jamur, larva ikan) 3. Program peningkatan kepadatan dan area 3. Permukiman yang lebih dan perbaikan kampung kumuh di pusat kota baik dengan sistem 4. Review desain bangunan penyimpanan dan untuk mengurangi habitat penyaluran air tertutup potensial pembiakan nyamuk Pengendalian Pengamatan Ag en Penyakit
1. Pengamatan serologi virus DBD 2. Pengembangan lebih jauh untuk vaksin DBD
Manajemen Infeksi Manusia
1. Fasilitas penanganan yang lebih baik 2. Sistem pelaporan yang lebih baik 3. Peningkatan kesadaran masyarakat 4. Peningkatan edukasi masyarakat
1. diagnosa Mengembangkan cara 1. Percobaan virus secara vaksin virusmasal cepat 2. Pengembangan 2. Percobaan pada manusia antibiotik antiviral untuk vaksin dengue pentavalen 1. Pelatihan personel RS 1. Menurunkan yang lebih baik kejadian dan 2. Menurunkan tingkat kematian karena kejadian menjadi infeksi DBD dengan setengahnya pada tahun meminimasi 2030 bahaya, kerentanan dan risiko
b. Strategi Adaptasi Terhadap Risik o Penyakit Malaria di Sumatera Selatan Saat ini kasus penyakit malaria telah terjadi di berbagai kabupaten di Sumatera Selatan. Perubahan iklim dapat mempengaruhi kemungkinan peningkatan kasus tersebut di masa depan. Faktor utama di daerah pesisir yaitu kenaikan muka air laut yang dapat meningkatkan pembentukan daerah rawa, danau dan area tergenang lainnya yang merupakan tempat ideal pembibitan nyamuk Anopheles. Selain itu faktor lainnya adalah kenaikan suhu yang dapat memperpendek siklus gonotropic Anopheles sehingga dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan populasi nyamuk yang signifikan. Malaria disebabkan oleh transmisi plasmodium melalui vektor. Oleh sebab itu strategi adaptasi ditujukan untuk dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan vektornya. Daerah berisiko tinggi memerlukan perlindungan ekstra karena lokasinya yang dekat dengan lokasi pembiakan nyamuk. Pada saat ini terdapat dua kabupaten II‐32
dengan risiko sangat tinggi yaitu Ogan Komering Ulu dan Musi Rawas, sedangkan di masa depan tinggal Kabupaten Ogan Komering Ulu saja. Secara umum strategi adaptasi terhadap risiko malaria saat ini dibedakan menjadi empat strategi yaitu; (1) manajemen pengendalian vektor nyamuk, (2) manajemen infeksi pada masyarakat/populasi, (3) peningkatan lingkungan sehat dan (4) pengendalian agen penyakit sebagai program adaptasi jangka panjang. Strategi jangka pendek (2010-2020) lebih bergantung pada menajemen penyakit, sementara strategi jangka panjang lebih mengarah pada pencegahan penyakit melalui teknik pencegahan lingkungan yang diterapkan pada daerah risiko menengah. Oleh sebab itu daerah berisiko tinggi tersebut perlu memiliki ketahanan masyarakat yang kuat terhadap malaria, misalnya dengan keberadaan rumah permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi rumah yang jauh dari situs perkembangbiakan nyamuk. Oleh sebab itu setiap daerah perlu untuk mengkombinasikan strategi pencegahan umum dan tanggap darurat terhadap malaria. Berikut adalah strategi adaptasi terhadap berbagai risiko penyakit malaria di Sumatera Selatan berdasarkan proyeksi masa depan yang harus disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kabupaten. Tabel II.13. Strategi Umum un tuk Risik o Penyakit Malaria di Sumatera Selata n Jenis Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Strategi (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) Pengendalian 1. Pengurangan sumber-sumber 1. Penyemprotan yang 1. Pengembangan Vektor nyamuk lebih sedikit (2-3 kali insektisida (Dirancang 2. Pelaksanaan Program WHO Roll setahun biologis yang untuk malaria Back Malaria yang lebih baik berdasarkan lebih tahan, endemik di 3. Penyemprotan insektisida indoor keberhasilan murah dan tidak wilayah pesisir rutin (1-2 kali setahun, program jangka beracun dan dataran khususnya kelurahan dengan pendek) 2. Pengembangan rendah) risiko tinggi) 2. Jika KLB tidak rekayasa genetik 4. Penyemprotan sesuai yang nyamuk jantan insidental/tambahan selama KLB diharapkan maka steril 5. Penggunaan ekstensif larvicides penyemprotan (temephos, IGR) insidental dikurangi 6. Perlindungan pribadi (pengusir 3. Pemeliharaan nyamuk, jaring nyamuk, program umum semprotan nyamuk dan pakaian untuk mengurangi yang sesuai) sumber nyamuk 4. Penggunaan kelambu Peningkatan 1. Program reklamasi pesisir (rawa, 1. Pengenalan larva 1. Pengembangan laguna, area tergenang) ikan dan predator perumahan semiLingkungan 2. Reboisasi ekstensif/ menanam lainnya urban kembali mangrove yang hilang di 2. Pengenalan monyet (Perumnas) agar timur Sumatera Selatan akibat daerah (bekantan) menjauhi area kenaikan muka air laut agar nyamuk perkembangbiaka 3. Perumahan yang lebih baik menjauhi manusia n nyamuk dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela 1. Pengembangan 1. Pengembangan Pengendalian 1. Pengamatan rutin parasit malaria oleh ahli malaria lapangan dan cara diagnosa vaksin malaria ahli entomologi malaria yang cepat 2. Pengembangan Pengamatan obat anti-malaria Ag en Penyakit 1. Fasilitas penanganan kasus 1. Pelatihan personel 1. Mengurangi Manajemen Infeksi malaria yang lebih baik rumah sakit yang insiden dan 2. Pelaporan kasus malaria yang lebih baik, terutama kematian yang Manusia lebih baik dan cepat saat malaria disebabkan oleh 3. Peningkatan kesadaran mewabah penyakit malaria
II‐33
masyarakat 4. Meningkatkan edukasi masyarakat 5. Ketersediaan anti-malaria
2. Pelatihan untuk ahli malaria lapangan
akut
c. Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Penyakit Diare di Sumatera Selatan Penyakit diare umumnya disebabkan oleh transmisi mikroorganisme pathogen melalui kotoran. Oleh sebab itu strategi adaptasi harus dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan meningkatkan kekebalan dalam suatu komunitas. Daerah berisiko tinggi memerlukan strategi yang lebih komprehensif terutama dalam strategi tanggap darurat dan strategi pencegahannya, sementara daerah risiko rendah perlu lebih terkonsentrasi pada strategi pencegahan saja. Pada saat ini terdapat empat kabupaten dengan risiko sangat tinggi yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir, dan Empat Lawang. Di masa depan, daerah yang berpotensi risiko sangat tinggi berubah menjadi Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, dan Muara Enim. Risiko sangat tinggi terhadap diare sebagian besar dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Oleh sebab itu strategi adaptasi yang dirumuskan lebih terkonsentrasi ke arah perbaikan infrastruktur. Selain itu strategi adaptasi pada daerah dengan risiko tinggi dan menengah perlu terkonsentrasi ke arah perubahan perilaku jangka panjang dan pencegahan terjadinya diare. Strategi adaptasi terhadap risiko penyakit diare di masa mendatang dirumuskan guna mengantisipasi proyeksi perubahan pola curah hujan di Sumatera Selatan. Berikut adalah strategi adaptasi umum untuk berbagai risiko diare di masa mendatang yang harus disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan danrisiko di setiap kabupaten. Tabel II.1 4. Strategi A daptasi Umum untu k Risi ko Penyakit Diare di Sumatera Se latan Tipe Strategi Manajemen Banjir (iklim ekstrim; banjir berkepanjan gan selama musim hujan) Peningkatan Lingkungan
Pengendalia nPengamatan Ag en Penyakit Manajemen Infeksi Manusia
Jangka Pendek (2010-2020) 1. Kawasan penampungan untuk korban banjir dengan ketersediaan air yang cukup dan fasilitas pembuangan yang baik 2. Rumah isolasi yang menyediakan fasilitas air minum yang steril Peningkatan kualitas air: 1. Penggunaan air matang 2. Penggunaan air berklorin 3. Sistem pembuangan dan penyaluran kotoran yang lebih baik 4. Ketersediaan air sumur yang bersih 1. Pengamatan agen infeksi gastrointestinal (e.coli, tifus, kolera)
1. Fasilitas penanganan kasus dan laporan yang lebih baik 2. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat
Jangka Menengah (2020-2030) 1. Pengembangan infrastruktur drainase di area tergenang banjir 2. Memperlebar dan memperdalam saluran dan kanal 1. Adaptasi penggunaan air buangan 2. Perda mengenai sanitasi lingkungan 3. Program perbaikan sanitasi di kelurahan 4. Peningkatan pipa air (2030) yang ekstensif 1. Pengembangan agen diagnosa diare
1. Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik terutama saat diare mewabah
II‐34
Jangka Panjang (2030-2050) 1. Masyarakat yang lebih tanggap terhadap banjir 2. Peningkatan manajemen pesisir 3. Daur ulang limbah dan pipa air yang bebas bakteri 1. Desain perumahan yang tahan terhadap banjir berkepanjangan di masa depan 2. Rencana perumahan yang lebih baik dengan air ledeng dan pemisah air limbah 1. Pengembangan genetik dari patogen diare 2. Pengembangan vaksin dan antibiotik 1. Mengurangi insiden dan kematian karena diare
II.3. KRA PI Malang Raya Malang Raya merupakan bagian hulu dari Sungai Brantas yang merupakan sungai strategis nasional. Selain itu, wilayah Malang Raya mencakup tiga wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu. Secara geografis, Kabupaten Malang yang merepresentasilan keseluruhan tiga wilayah administrasi tersebut, terlatak pada .25”- 112057’28.17” bujur timur dan 7 045’41.86”- 8027’53.58” lintang selatan dengan wilayah seluas 3,519 km2 dimana Kota Batu terletak di bagian utara wilayah Malang Raya pada 112028’19.72”- 112035’26.68” bujur timur dan 7043’58.71”- 7056’28.28” lintang selatan dengan wilayah seluas 189 km2. Sedangkan Kota Malang berada agak ke tengah wilayah Malang terletak pada 112034’39.11”- 112040’37.12” bujur timur dan 7 055’11.05”801’59.65” lintang selatan dengan wilayah seluas 110 km2.
II.3.1. Basis Saint ifi k (Science B asis) Kajian basis saintifik mendasari kajian sektor-sektor dalam menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Malang Raya, baik yang sedang terjadi saat ini maupun yang diproyeksikan akan terjadi di masa depan. Hasil analisis terhadap data iklim dari tahun 1900 memperlihatkan bahwa Malang Raya memiliki iklim monsun yang dicirikan oleh satu puncak periode hujan antara bulan Desember- Februari (selama musim dingin di Asia) dan musim kering yang tegas pada periode bulan Juni- Agustus (selama musim dingin di Australia). Di lain pihak, temperatur udara rata-rata adalah sekitar 25° C, dengan dua puncak di sekitar bulan April-Mei dan Oktober-November, serta temperatur “terdingin” di sekitar bulan Juli. Dampak pemanasan global di wilayah Malang dapat ditengarai oleh adanya tren kenaikan sebesar 0,69°C sepanjang 25 tahun terakhir. Meskipun demikian, angka tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesalahan sistematis dalam pengukuran serta perubahan lokal seperti efek pulau panas perkotaan (urban heat island) dan pergeseran iklim regional, karena jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya rata-rata hanya terhitung sekitar 0,5°C/abad (Gambar II.25).
Gambar II.2 5. Tren t emperatur di Malang Raya sepanjang 100 tahun (garis b iru), 50 tahun (garis hijau), dan 25 tahun t erakhir (garis or anye)
II‐35
Berbeda dengan temperatur, tren perubahan curah hujan tidak dapat didekati secara linier tetapi pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari variabilitas antar-dasawarsa (interdecadal), antar-tahunan (inter-annual), dan curah hujan ekstrem. Meskipun dasawarsa 1980-an merupakan periode yang relatif sangat basah dan sekitar tahun 1990-an merupakan periode dengan curah hujan rata-rata paling sedikit, namun curah hujan rata-rata dekade hingga 2020 tidak tergolong kepada kondisi ekstrem (Gambar II.26). Ancaman bahaya (hazard) iklim yang lebih nyata pada saat ini justru lebih disebabkan oleh variabilitas iklim antar-tahunan (inter-annual) dan curah hujan ekstrem.
Gambar II.26 . Variasi cu rah huj an antar-dasawarsa di w ilayah Malang Raya. Da ta pengamatan curah hu jan (garis hit am) antara tahun 198 0 sampai dengan 20 09 dan model pr ediksi empirik (garis merah) sampai d engan 202 0
Variabilitas iklim antar-tahunan terutama yang berkaitan dengan fenomena El Nino (pengaruh iklim dari Samudra Pasifik) dan Dipole Mode (+) (pengaruh iklim dari Samudra Hindia) yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan. Malang Raya setidaknya pernah mengalami defisit curah hujan yang panjang pada sekitar tahun 1997/98 akibat pengaruh El Nino kuat dan mungkin sekitar tahun 1995 akibat kejadian Dipole Mode (+). Meskipun fenomena sebaliknya yaitu La Nina dan Dipole Mode (-) umumnya menyebabkan surplus curah hujan di wilayah Malang Raya, kondisi netral justru menyebabkan ketidakpastian iklim yang lebih tinggi. Hal ini perlu dicermati karena beberapa hasil studi menyebutkan bahwa pemanasan global menyebabkan pergantian antara El Nino dan La Nina menjadi lebih sering yang berdampak pada ketidakpastian iklim lebih tinggi. Proyeksi perubahan iklim akibat bertambahnya konsentrasi CO 2 di atmosfer diturunkan berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change) AR-4 dengan tiga skenario emisi CO2 yaitu B1 (rendah), A1B (sedang), dan A2 (tinggi). Secara umum, dalam semua skenario, tren kenaikan temperatur yang ada saat ini digambarkan akan terus berlangsung dan setidaknya meningkat secara rata-rata sampai 1° - 1,5° C hingga tahun 2030-an dibandingkan dekade 1990-an (Gambar 3 kanan). Selanjutnya, tren kenaikan yang lebih tinggi diproyeksikan pada skenario A1B dan A2 hingga mencapai kenaikan sebesar lebih dari 2° C pada tahun 2070-an. Proyeksi perubahan curah hujan memperlihatkan adanya sedikit kenaikan nilai rata-ratanya hingga tahun 2030-an disertai dengan penurunan nilai yang cukup signifikan antara tahun 2030-an sampai dengan 2050-an. Hasil ini sekaligus memperlihatkan bahwa potensi ancaman bahaya iklim (pola curah hujan) hingga tahun 2030-an masih didominasi oleh ketidakpastian iklim yang diakibatkan oleh variabilitas antar-tahunan dari curah hujan (Gambar II.27 kiri). II‐36
Gambar II.2 7. Proyeks i cu rah hujan (ki ri) dan temperatur (kanan) melalui b eberapa skenario perubahan ikl im di Malang Raya
Di samping potensi perubahan pada curah hujan rata‐rata, bahaya iklim juga dapat berasal dari kejadian curah hujan yang tinggi pada skala harian (curah hujan ekstrem). Dari data historis selama lebih dari 25 tahun, dapat diketahui bahwa kejadian curah hujan (harian) ekstrem atau sangat lebat dapat diperkirakan dari data curah hujan bulanan yang sedang yaitu sekitar 250‐450 mm. Dengan demikian, dapat diproyeksikan bahwa peluang kejadian curah hujan ekstrem secara rata‐rata akan meningkat antara sekitar 5% hingga tahun 2030‐an relatif terhadap kondisi saat ini (Gambar II.28).
Gambar II.2 8. Perubahan dari prob abilit as curah huj an bulanan yang berkor elasi kuat dengan curah hu jan harian ekstr em di Malang Ra ya
II.3.2 Sektor Air Sebagaimana dinyatakan oleh lembaga Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) AR4, adaptasi perubahan iklim dalam sektor air harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management, IWRM). Dalam adaptasi ini, perubahan iklim harus menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam pengelolaan air, misalnya dalam pengembangan infrastruktur air dan lainnya. Beberapa indikator dari IWRM antara lain: menangkap pandangan masyarakat, membentuk kembali proses perencanaan, koordinasi manajemen sumber daya air, mengenali keterkaitan kuantitas dan kualitas air, penggunaan air permukaan dan air tanah yang II‐37
terhubung, melindungi dan memulihkan sistem alam, pertimbangan perubahan iklim dan menghilangkan hambatan dalam penyampaian informasi. Pengelolaan air di wilayah Malang Raya sebenarnya sudah cukup baik jika dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala dan hambatan seperti ketidaktersediaan data, finansial, teknologi, sumber daya manusia. Langkah penerapan dan pelaksanaan IWRM di setiap daerah berbeda-beda tergantung pada karakteristik alami dan sosial budayanya. Berikut adalah pilihan adaptasi yang direkomendasikan di Malang Raya berdasarkan tingkat risikonya. a. Adaptasi Terhadap Risiko Ke kurangan Air Peta risiko kekurangan (penurunan ketersediaan) air dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar II.2 9. Peta Risiko Kekurangan Ai r di Malang Raya pada saa t in i (kir i) dan pro yeksi tahun 2030 (kanan)
Pada saat ini (baseline) risiko ini hanya ditemukan pada tingkat sangat rendah hingga tinggi, namun pada proyeksi tahun 2030 terdapat beberapa daerah yang memiliki risiko sangat tinggi di sekitar Malang selatan. Untuk mempermudah perumusan strategi adaptasi, wilayah Malang Raya dibagi dalam 5 zona utama dan sub zonanya masing-masing, yang diklasifikasikan berdasarkan aliran sungai (DAS). Opsi adaptasi (Tabel II.15) dirumuskan berdasarkan karakteristik bahaya, kerentanan dan risiko di setiap zona (Gambar II.30).
Gambar II.30 Zonasi Adaptasi Risik o Keku rangan Air di Malang Raya
II‐38
Tabel II.1 5 Pilihan Ad aptasi terhadap Risi ko K ekurangan Air di Malang Raya
Zona dan Cakupan DAS I A, Sumber Brantas I B, Bango
Wilayah Ad mi ni st ras i (Kecamatan) Batu, Junrejo, Bumiaji (Kota Batu) Karangploso, Singasari, Pakis utara, Lawang selatan, Lowokwaru timur, Blimbing, Purwantoro, Klojen timur
Pilihan Adaptasi
-
-
I C, Amprong
II A, Bag. barat MetroLahorMelamon
II B, Bag. timur MetroLahorMelamon
Pakis SelatanTengah, utara Poncokusumo, Tumpang, Jabung (Kabupaten Malang), Blimbing dan Kedung-kandang (Kota Malang)
-
Dau, Wagir, Pakisaji, Kapanjen, Ngajum, Kromengan, Wonosari, Kepanjen (Kabupaten Malang), Lowokwaru barat, Klojen barat, Sukun (Kota Malang). Blimbing, Kedung Kandang (Kota Malang), Tajinan, Bululuwang, Turen,
-
-
-
-
-
Reforestasi dan rehabilitasi lahan rusak Konservasi sumber daya air Implementasi pembangunan rendah dampak (LID) Reboisasi atau vegetasi pada daerah tegalan Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu (a) mengembangkan forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air an pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu (a) mengembangkan forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu mengembangkan (a) forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area Kolaborasi dengan area sub DAS dalam upaya adaptasi banjir dan kekurangan air Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan II‐39
Zona dan Cakupan DAS
II C, Lesti
Wilayah Ad mi ni st ras i (Kecamatan) Pagelaran, Bantur utara, Gedangan Utara, Sumber Manjing Utara, Pagak Timur (Kabupaten Malang) Bagian selatan Poncokusumo, Wajak, Dampit, Tirtoyudo utarabarat (Kabupaten Malang)
Pilihan Adaptasi air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan - Pembangunan sistem resapan alami dengan kolam penahan atau embung - Pemeliharaan drainase dan sungai
- Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area
- Upper dan middle area (a) forestasi/vegetasi pada
III, Soetami
Sumber pucung, bagian atas Kalipare, Pagak Utara
-
IV A, Pantai Selatan Barat
Kalipare, Pagak, Gedangan Batur, Donomulyo, (KabupatenMala ng)
-
IV B, Pantai Selatan Timur
Sumbermanjing, bag selatan Tirtoyudo, bagian selatan Ampel Gading (Kabupaten Malang)
-
tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil, (e) minimasi erosi tanah Lower area/urban perlu (a) pengembangan sistem resapan air alami dan (b) pemeliharaan drainase Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area Kolaborasi dengan area sub DAS dalam upaya adaptasi banjir dan kekurangan air Area Upper (a) forestasi terutama pada tegalan dan (b) pencegahan erosi tanah Area Lower (a) rekayasa pada dam, (b) evaluasi katup, (c) katup darurat, (d) evaluasi bendungan, (e) pencegahan penyaluran air dam (6)mengurangi sedimentasi dan pengerukan Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan Pengembangan sumber air permukaan pada sungai pendek yang airnya berlimpah Pengembangan air tanah atau permukaan pada daerah kapur Panen air hujan pada kawasan yang tidak punya potensi air tanah Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan Pengembangan sumber air permukaan pada sungai pendek yang airnya berlimpah Pengembangan air tanah atau permukaan pada daerah kapur Panen air hujan pada kawasan yang tidak punya potensi air tanah Desalinasi air laut jika diperlukan II‐40
Zona dan Cakupan DAS V A, Konto
Wilayah Ad mi ni st ras i (Kecamatan)
Pilihan Adaptasi
- Reforestasi dan rehabilitasi lahan rusak - Implementasi konservasi sumber daya air (a) agro-
Pujon, Ngantang, dan Kasembon (Kabupaten Malang)
V B, Lawang
-
Bagian utara Lawang (Kabupaten Malang)
V C, Ampelgading
-
Dari utara sampai timur Ampelgading (Kabupaten Malang)
kehutanan, (b) peningkatan kapasitas mata air, (c) membuat mata air buatan (parit/selokan) untuk perkebunan Implementasi pembangunan bersih (LID) Forestasi atau vegetasi pada area tegalan Implementasi konservasi sumber daya air (supply) Implementasi pembangunan bersih (LID) Forestasi atau vegetasi pada area tegalan Pengembangan sistem pipa air PDAM pada Kecamatan Lawang untuk mengambil air tanah Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan Implementasi pembangunan bersih (LID) Implementasi konservasi sumber daya air (supply) Forestasi atau vegetasi pada area tegalan
Berdasarkan deskripsi pilihan adaptasi di atas, maka disusun kriteria implementasi adaptasi pada setiap kota/kabupaten sebagai berikut (Table II.16): Table II.16 Kriteria dan Ranking Imp lementasi Ad aptasi Risi ko Kekur angan Air di Malang Raya (Skala Prioritas 1-3)
No 1
2
3
Kota Malang
Kab. Malang
Kota Batu
Prioritas Strategi Adaptasi
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi
2
1
3
Adaptasi keras + Adaptasi lunak
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi + Faktor kebutuhan air
1
2
3
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi + faktor suplai air
3
Kriteria
Fokus pada Adaptasi keras, disertai dengan Adaptasi lunak 2
1
b. Adaptasi Terhadap Risiko Banjir Adaptasi terhadap risiko banjir pada wilayah Malang Raya (Tabel II.16) dirumuskan berdasarkan tingkatan risiko di setiap kecamatan, guna lahan saat ini dan proyeksi guna lahan di masa depan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (masing-masing lihat Gambar II.31 kiri dan kanan).
II‐41
Gambar II.31 Peta Risi ko B anjir d i K ota Batu (atas), Kota Malang (tengah), dan Kabupaten Malang (bawah), baik pada saat ini (kiri) dan proyeks i t ahun 203 0 (kanan)
Pada saat ini (baseline), wilayah yang banyak memiliki risiko sangat tinggi terhadap bahaya banjir adalah Kota Malang (18,67% terhadap luas totalnya). Diproyeksikan, luasan risiko sangat tinggi di Kota Malang tersebut bertambah menjadi 80,23%. Tabel II.17. Luasan W ilayah yang Beresik o dan Pilih an Adaptasi terhadap Risik o Banji r di Malang Raya Kota Batu
Kot a Malang
Kab. Malang
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
1.Sangat rendah
179.38
160.68
57.22
6.88
3059.4
2494.5
2. Rendah
11.68
7.75
3.14
3.80
177.58
347.08
3.Menengah
1.59
2.71
4.03
1.30
97.15
104.59
4.Tinggi
3.32
0.70
25.55
9.00
66.90
228.36
Tingkat Risiko
II‐42
Pilihan Adaptasi Reforestasi, Kolam detensi,Embung Reforestasi, Kolam detensi Reforestasi, Embung, Tindakan Infiltrasi Reforestasi, Tindakan Infiltrasi, Kolam detensi
Tingkat Risiko 5.Sangat Tinggi
Kota Batu
Kot a Malang
Kab. Malang
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
Baseline 2 (km )
Proyeksi 2 (km )
0.001
24.14
20.53
89.48
7.71
233.21
Pilihan Adaptasi Reforestasi, Tindakan Infiltrasi, Kolam retensi
Wilayah-wilayah yang berkaitan dengan pilihan adaptasi dapat dilihat pada Tabel II.17 Tabel II.1 8. Pili han Adaptasi terhadap Risik o Banji r di Level Kecamatan Ma lang Raya Pilihan Adaptasi Kecamatan Reforestasi Kolam detensi Embung Kolam retensi Tindakan Infiltrasi
Pujon, Batu, BumiAji, Jabung, Dau, Wagir, Ngajum, Poncokusumo Pujon, Bumiaji, Singosari, Gondanglegi, Wajak, Tumpang Pujon, Batu, Bumiaji, Jabung, Dau, Wagir, Wajak, Dampit, Turen Kedung Kandang, Pakisaji, Kepanjen, Tajinan Lowokwaru, Blimbing, Kedung Kandang, Dinoyo, Sukun, Buring, Klojen, Purwantoro, Mulyorejo, Oro Oro Dowo, Pakisaji, Bululawang, Kepanjen
c. Adaptasi Terhadap Risiko Longso r Peta risiko dan luasan area longsor di Malang Raya baik pada saat ini maupun proyeksi pada tahun 2030 dapat dilihat pada Gambar II.32 dan Tabel II.18
Gambar II.3 2 Peta Risik o Lon gsor di Malang Raya pada sa at ini (kiri) dan p royeksi tahun 2030 (kanan)
Untuk kondisi saat ini, daerah yang beresiko sangat tinggi meliputi daerah terbangun (3.352,39 m2), perkebunan (45.934,96 m2), permukiman (111.493,88 m2), dan sawah irigasi (27.890,22 m2). Sedangkan untuk kondisi proyeksi tahun 2030 daerah dengan risiko sangat tinggi meluas melingkupi fasilitas publik (15.634,89 m 2), hutan lindung (60,78 m2), industri dan pergudangan (2,908.91 m2), pariwisata (41.603,05 m2), perkebunan (3.673,96 m2), jasa dan perdagangan (70.600,75 m2), permukiman (624.679,50 m2), ruang terbuka hijau (19.507,86 m2), dan pinggiran sungai (13.654,42 m2). Berdasarkan informasi di atas direkomendasikan pilihan adaptasi yang utama antara lain berupa konservasi tanah dan manajemen lahan; forestasi, proteksi tebing sungai, stabilisasi lereng yang memiliki masalah longsor, dan pengembangan database area rawan terhadap longsor. Berdasarkan hal tersebut dan proyeksi guna lahan saat ini, maka terdapat dua strategi utama dalam menangani bahaya longsor akibat perubahan iklim di Malang Raya,
II‐43
yaitu adaptasi pada daerah non-populasi (yang tidak memiliki populasi penduduk) dan daerah yang memiliki populasi penduduk. Pada prinsipnya adaptasi longsor berupa stabilisasi tanah yang dilakukan untuk mengurangi kekuatan pendorong dan melawannya. Adaptasi pada daerah non-populasi berupa penghijauan atau menutup tanah dengan populasi vegetasi, sehingga sistem tanah akan menguatkan dan memberi efek stabilisasi. Sementara pada daerah yang memiliki populasi penduduk dimana area terbangun mendominasi, maka dibutuhkan pengerjaan rekayasa teknik untuk menerapkan penghijauan. Tabel II.19 Pilihan Adaptasi Risik o Long sor d i Malang Ra ya Pilihan Adaptasi
Guna Lahan
Proteksi tebung sungai
Air Tawar
Forestasi
Belukar/ Semak, Hutan, Hutan Rawa, Kebun, Rawa, Rumput, Sawah Irigasi, Sawah Tadah Hujan, Tanah Berbatu, Tanah Ladang /Tegalan
Pekerjaan rekayasa
Empang, Gedung, Pasir Darat, Pasir Pantai, Pemukiman
Kecamatan Kasembon, Ngantang, Pujon, Pakisaji, Kepanjen, Sumberpucung Kasembon, Ngantang, Pujon, Bumiaji, Batu, Jabung, Dau, Wagir, Ngajum, wonosari, Donomulyo, Bantur, Pagak, Gedangan, Sumbermanjing, Dampit Tirtoyudo, Ampel Gading, Poncokusumo, Gondang Legi, Lawang, Singosari, Karang Ploso Kasembon, Pujon, Ngantang, Bumiaji, Batu, Jabung, Kedung Kandang, Buring, Blimbing, Klojen, Sukun, Mulyorejo, Pakisaji, Turen
II.3.3 Sekto r Pert anian Analisis suhu udara dan curah hujan di Malang Raya mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim pada wilayah ini. Laporan basis saintifik menunjukkan bahwa suhu udara meningkat sekitar 0,69°C dan curah hujan menjadi lebih fluktuatif sejak tahun 1981. Sebagai dampak ke sektor pertanian, musim tanam dan panen untuk tanaman padi dan jagung telah bergeser. Indikasi lain juga ditunjukkan oleh perubahan hythergraph dan jenis iklim (klasifikasi Oldeman) di wilayah Malang Raya. Potensi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian di Malang Raya cukup signifikan mengingat wilayah ini memiliki populasi petani sebesar 36,5% dari total penduduk saat ini yang berjumlah 3.392.634 jiwa serta area pertanian sekitar 47,5% dari total luasnya. Malang Raya memiliki 3 jenis sistem pertanian yaitu dataran rendah (padi sawah), menengah (padi lahan kering) dan dataran tinggi. Kecamatan Dampit, Turen, Kepanjen, dan Singosari merupakan penghasil padi terbesar dengan produksi lebih dari 20 ribu ton pada tahun 2010. Kecamatan Kalipare, Bantur, Gedangan, Poncokusumo, Wajak, Turen, Dampit, Tajinan, dan II‐44
Tumpang adalah penghasil jagung terbesar dengan produksi lebih dari 10 ribu ton pada tahun 2010. Selain itu, Malang Raya (terutama Kecamatan Poncokusumo dan Bumiaji) merupakan pusat produksi apel di Indonesia. Kondisi ini menjadikan sektor pertanian Malang Raya berpotensi mengalami risiko akibat perubahan iklim seperti penurunan produktivitas dan area pertanian, yang akhirnya berdampak pada penurunan produksi pertanian akibat peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan. Peta risiko perubahan iklim pada komoditi padi lahan basah dan padi lahan kering dapat dlihat pada Gambar II.33 di bawah.
Gambar II.33. Risi ko Penurunan Produ ksi Pertanian Akib at Perubahan Iklim : (kiri ) Padi Lahan irig asi, (kana n) Padi Lahan Kerin g
Oleh sebab itu perlu dirumuskan tindakan penanganan untuk mengatasi kemungkinan dampak negatif dari perubahan iklim di Wilayah Malang Raya. Delapan prinsip adaptasi yang perlu diaplikasikan, yaitu (1) koordinasi, (2) kolaborasi, (3) partisipasi, (4) representatif, (5) kapasitas, (6) ekuitas, (7) skala prioritas, (8) sumber daya alam yang berkelanjutan dalam aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan fungsi yang terintegrasi antar instansi dan pemangku kepentingan yang terkait. Institusi pendidikan dan penelitian berbasis pertanian perlu berkolaborasi dengan DNPI, BMKG, BAPPEDA, dan instansi terkait lainnya. Demikian pula lembaga-lembaga pemerintah harus berkoordinasi dengan instansi teknis dan kelompok teknis lain di kabupaten/kecamatan seperti P3A, PPL, Kelompok Tani, dan Kontak Tani. Secara umum, upaya adaptasi terhadap risiko penurunan produksi komoditi pertanian (khususnya padi dan jagung) akibat perubahan iklim di Malang Raya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II.20. Strategi Adaptasi Sekto r Pertanian Terhada p Tingk at Risik o Perubahan Iklim yang Sangat Tingg i di Wilayah Mala ng Raya
Faktor Dominan Kerentanan Penurunan Sensitivitas Produksi (banyaknya Komoditi lahan yang Pertanian tidak ada/ (padi dan kurang irigasi, jagung) banyak lahan
Kecamatan Prioritas
Bahaya
Dampit, Turen, Kepanjen, Singosari, dan Pagelaran (Padi lahan basah ) Dampit (Padi lahan II‐45
Strate gi Adaptasi 1. Menggunakan benih unggul padi, jagung, dan kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan awal 2. Meningkatkan teknik budidaya pertanian melalui intensifikasi (misalnya SRI)
di dataran rendah, dan rendahnya kesejahteraan petani)
kering) Wajak (Jagung)
3. Optimalisasi pemanfaatan lahan yang ditinggalkan dengan reklamasi dan membuka lahan baru. 4. Merevitalisasi jaringan irigasi. 5. Melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petani untuk adaptasi perubahan iklim, misalnya dengan SLI (Sekolah Lapang Iklim).
Untuk kasus khusus apel Batu, meskipun perubahan iklim telah mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi pertanian, namun penurunan produksi apel di Kota Batu merupakan gabungan faktor iklim tersebut dan input produksinya, termasuk faktor sosialekonomi yang terkait dengan harga jual dan produktivitas tanaman. Data-data yang tersedia tidak dapat membedakan dampak dari beberapa faktor tersebut. Beberapa strategi adaptasi dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak tersebut antara lain:
1. Revitalisasi menggunaan lahan tanaman apel berdasarkan kesesuaian tanaman apel dengan kondisi lingkungannya.
2. Menanam bibit apel yang unggul yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim terutama perubahan suhu dan curah hujan.
3. Meningkatkan teknik budidaya apel yang lebih intensif dan berorientasi pada pertanian tanaman apel yang berkelanjutan.
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan pestisida yang mengarah pada upaya konservasi lahan dan pertanian ramah lingkungan.
5. Rehabilitasi penanaman apel dan mengganti tanaman apel yang sudah tua oleh tanaman apel muda.
6. Mencegah konversi lahan tanaman apel menjadi lahan tanaman non apel. 7. Memberikan insentif bagi petani tanaman apel agar petani tetap bergairah menanan apel dan tidak beralih profesi menjadi petani non apel.
II.3.3. Sekto r K esehatan Berdasarkan hasil analisis tingkat bahaya, kerentanan dan risiko di Malang Raya menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim membawa perubahan tertentu dalam kondisi lingkungan. Secara khusus, peningkatan curah hujan dan temperatur akan mempengaruhi sifat dari agen penyakit. Strategi adaptasi perubahan iklim dalam sektor kesehatan di Malang Raya meliputi dua prinsip umum yaitu: ‐ Kebijakan secara bertahap beralih dari dominasi kuratif menjadi kegiatan pencegahan dan promosi jangka panjang ‐ Sektor kesehatan tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi perubahan iklim, melainkan harus berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya seperti BMKG, dinas pekerjaan umum, pusat penelitian, dll. Kebijakan di masa mendatang dapat dilakukan bertahap pada periode jangka pendek (2010-2020) dan pendekatan adaptasi pada periode jangka panjang (2030-3050)
II‐46
Secara umum strategi adaptasi terdiri dari dua komponen utama yaitu strategi proaktif yang berkaitan dengan pengurangan dampak perubahan iklim dan strategi reaktif yang berkaitan dengan peningkatan kekuatan masyarakat atau resistensi komunitas terhadap penyakit. Berikut penjelasan strategi adaptasi untuk tiga risiko penyakit yang berkaitan dengan isu perubahan iklim yaitu demam berdarah, malaria dan diare di Malang Raya. Strategi Adapt asi Terhadap Risiko Demam Be rdarah di Wilayah Ma lang Raya Banyak wilayah di Malang Raya mengalami endemik penyakit demam berdarah, namun endemisitasnya tidak homogen. Pada kurun waktu 5 tahun terakhir beberapa area mengalami risiko yang sangat tinggi terhadap penyakit DBD ini, yaitu: semua kecamatan di Kota Malang (Sukun, Klojen, Blimbing, Lowok Waru), beberapa kecamatan di Kabupaten Malang (Dau, Sumber Pucung, dan Turen), serta 2 kecamatan di Kota Batu (Batu dan Junrejo). Umumnya wilayah-wilayah tersebut memiliki kepadatan penduduk tinggi yang ideal untuk penularan penyakit sekaligus lokasi ideal bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti pada lokasi-lokasi yang kumuh. Oleh sebab itu pada lokasi tersebut membutuhkan perlindungan ekstra dan strategi tanggap darurat untuk pencegahan baik melalui manajemen penyakit maupun pemulihan, terutama selama wabah berlangsung (KLB). Kombinasi dari beberapa strategi dapat menurunkan tingkat kejadian DBD. Area dengan risiko moderat; yaitu Tumpang, Singosari, Pakisaji dan Bumiaji, perlu mengimplementasikan strategi yang bersifat pencegahan dalam jangka waktu panjang, serta lebih sedikit daripada area dengan risiko tinggi. •
Berdasarkan analisis model penyebaran penyakit DBD, tingkat risiko penyakit DBD yang sangat tinggi di tahun 2030 masih tetap dialami oleh Kota Malang dan Kota Batu (Sukun, Klojen, Blimbing, Lowok Waru, Batu dan Junrejo), sedangkan kecamatan Turen di Kabupaten Malang menjadi risiko tinggi. Strategi berikut dirumuskan berdasarkan pada proyeksi kesehatan dan iklim di Malang Raya untuk masa depan, dan harus disesuaikan dengan kondisi bahaya, kerentanan dan risiko yang berbeda pada setiap kecamatan yang ada. Tabel II.21 Strategi Adaptasi Bahaya De mam Berdarah Unt uk Masa Depan Wilayah Malang Raya
Jenis Strategi Pengendalian Vektor (berdasarkan perubahan iklim musiman)
Peningkatan
Jangka Pendek Jangk a Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) 6. Pengurangan 4. Penyemprotan rutin 3. Pengembangan sumber-sumber yang lebih sedikit (2-3 insektisida biologis nyamuk kali setahun, yang lebih tahan 7. Penyemprotan berdasarkan lama, tidak beracun musiman rutin (3-4 keberhasilan program dan lebih murah kali setahun, terutama jangka pendek) 4. Pengembangan untuk kelurahan 5. Jika KLB berkurang modifikasi nyamuk berisiko tinggi) seperti yang jantan steril secara 8. Penyemprotan diharapkan dengan genetis incidental /tambahan adanya peningkatan saat KLB program, maka 9. Penggunaan ekstensif penyemprotan dari larvicides insidental dikurangi (temephos, IGR) 6. Keberlanjutan dan 10. Perlindungan keberjalanan program pribadi (pengusir pengurangan sumbernyamuk, jaring sumber nyamuk nyamuk, semprotan nyamuk, dan pakaian yang sesuai) 4. Pelaksanaan Program 5. Peningkatan Program 2. Konstruksi rencana II‐47
Lingkungan
Pengendalian Pengamatan Ag en Penyakit Manajemen Infeksi Manusia
3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus 5. Penggunaan ekstensif dari musuh biologis/predator (basil, jamur, larva ikan) 6. Permukiman yang lebih baik dengan sistem penyimpanan dan penyaluran air tertutup 3. Pengamatan serologi virus DBD 4. Pengembangan lebih jauh untuk vaksin DBD 5. Fasilitas penanganan dan pelaporan yang lebih baik 6. Peningkatan kesadaran masyarakat dan edukasi masyarakat
3M pengembangan 6. Penguatan hukum dari permukiman semiPeraturan Daerah urban (Perumnas) (Perda) mengenai yang mengurangi sanitasi lingkungan kepadatan dan area 7. Program peningkatan kumuh di pusat kota dan perbaikan kampung 8. Review desain bangunan untuk mengurangi habitat potensial pembiakan nyamuk 3. Mengembangkan cara 3. Percobaan masal diagnosa virus secara vaksin virus cepat 4. Pengembangan 4. Percobaan pada antibiotik antiviral manusia untuk vaksin dengue pentavalen 3. Pelatihan personel RS 2. Menurunkan yang lebih baik kejadian dan 4. Menurunkan tingkat kematian karena kejadian menjadi infeksi DBD dengan setengahnya pada meminimasi tahun 2030 bahaya, kerentanan dan risiko
Strategi A daptasi Terhadap Risi ko Malaria di Wilayah Malang Ra ya Saat ini kasus malaria dilaporkan jarang terjadi di perkotaan seperti Kota Malang dan Kota Batu namun dilaporkan saat ini sering terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Malang seperti Ngantang, Sumber Pucung, Kasembon, Donomulyo, Bantur, dan Ampelgading, sehingga dikategorikan beresiko tinggi. Kejadian malaria biasanya terjadi di pemukiman yang dekat dengan sarang nyamuk Anopheles Sp. seperti rawa, kebun, sawah, ladang, dsb. Sehingga perubahan iklim di Malang Raya dapat mempengaruhi kemungkinan peningkatan kasus malaria di masa depan, khususnya di daerah-daerah yang dekat dengan sarang nyamuk malaria. Melihat kondisi geografis Kabupaten Malang, kenaikan air laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang diperkirakan dapat meningkatkan pembentukan daerah rawa dan genangan, yang merupakan tempat ideal perkembangbiakan bagi nyamuk Anopheles. Selain itu, kenaikan suhu dapat memperpendek siklus gonotropic Anopheles sehingga dapat meningkatkan populasi nyamuk. •
Strategi pencegahan sangat bermanfaat pada area dengan risiko sedang (moderate). Telah terbukti bahwa kombinasi ITN dan IRS dapat mengurangi terjadinya penyakit malaria. Daerah-daerah dengan risiko tinggi pada saat ini tersebut di atas harus memiliki ketahanan masyarakat yang kuat terhadap malaria, misalnya dengan keberadaan rumah permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi rumah yang jauh dari lokasi perkembangbiakan nyamuk. Oleh sebab itu setiap daerah perlu untuk mengkombinasikan strategi pencegahan umum dan tanggap darurat terhadap malaria. Berdasarkan analisis risiko mendatang, di tahun 2030, terdapat dua kecamatan saja dengan risiko tinggi yaitu: Sumber Pucung an Donomulyo. Berikut adalah strategi adaptasi terhadap berbagai risiko malaria di Malang Raya berdasarkan proyeksi masa depan yang penerapannya harus disesuaikan dengan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan.
II‐48
Tabel II.22. Strategi Adaptasi Bahaya Ma laria Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya
Jenis Strategi Pengendalian Vektor (Dirancang untuk malaria endemik di wilayah pesisir dan dataran rendah)
Jangka Pendek (2010-2020) 1. Pengurangan sarang nyamuk 2. Penyemprotan insektisida indoor rutin (1-2 kali setahun, khususnya kelurahan dengan risiko tinggi) 3. Penyemprotan insidental/tambahan selama KLB 4. Penggunaan ekstensif larvicides (temephos, IGR) 5. Perlindungan pribadi (pengusir nyamuk, jaring nyamuk, semprotan nyamuk dan pakaian yang sesuai)
Jangka Menengah Jangka Panjang (2020-2030) (2030-2050) 1. Penyemprotan 3. Pengembangan yang lebih sedikit insektisida biologis (2-3 kali setahun yang lebih tahan, berdasarkan murah dan tidak keberhasilan beracun program jangka 4. Pengembangan pendek) rekayasa genetik 2. Jika KLB tidak nyamuk jantan steril sesuai yang diharapkan maka penyemprotan insidental dikurangi 3. Pemeliharaan program umum untuk mengurangi sumber nyamuk 4. Penggunaan kelambu
Peningkatan Lingkungan
4. Program reklamasi pesisir (rawa, laguna, area tergenang) 5. Reboisasi ekstensif/ menanam kembali
3. Pengenalan larva ikan dan predator lainnya 4. Pengenalan monyet daerah
mangrove yang hilang akibat kenaikan muka air laut 6. Perumahan yang lebih baik dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela Pengendalian Pengamatan Ag en Penyakit Manajemen Infeksi Manusia
2. Pengamatan rutin parasit
(bekantan) agar nyamuk menjauhi manusia
2. Pengembangan
malaria oleh ahli malaria lapangan dan ahli entomologi
cara diagnosa malaria yang cepat
6. Fasilitas penanganan kasus malaria yang lebih baik 7. Pelaporan kasus malaria yang lebih baik
3. Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik, terutama saat malaria mewabah
dan cepat 8. Peningkatan kesadaran masyarakat 9. Meningkatkan edukasi masyarakat 10. Ketersediaan antimalaria
4. Pelatihan untuk ahli malaria di lapangan
II‐49
2. Pengembangan
perumahan semiurban (Perumnas) agar menjauhi area perkembangbiakan nyamuk
3. Pengembangan vaksin malaria 4. Pengembangan obat anti-malaria 2. Mengurangi insiden
dan kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria akut
Strategi Adapt asi Terhadap Risiko Diare di W ilayah Ma lang Raya Epidemi penyakit diare di kota seperti Malang dan Batu dapat terkait dengan faktor iklim berupa dampak tidak langsung. Sebagai contoh, daerah yang memiliki sanitasi yang buruk dan pelayanan air bersih yang kurang, ketika terjadi kekeringan maka daerah tersebut akan bertambah parah, sehingga wabah diare dan kolera akan lebih mudah terjadi. Secara umum, kurangnya pasokan air bersih di Malang Raya memainkan peran penting dalam peningkatan penyakit diare, terutama saat musim kering berkepanjangan. Sumber air bersih yang cukup adalah isu prioritas dalam menangani masalah diare di area dengan risiko tinggi. Oleh sebab itu strategi adaptasi yang dirumuskan pada area ini lebih terkonsentrasi pada perbaikan infrastruktur, yaitu pada Kecamatan Sukun dan Batu. •
Sementara untuk masa mendatang, strategi adaptasi terhadap risiko diare di Malang Raya dirumuskan berdasarkan proyeksi peningkatan curah hujan di Malang Raya. Perhatian khusus harus diberikan untuk daerah rawan banjir, karena genangan banjir akan mencemari sumber air bersih penduduk, sehingga wabah diare dan kolera akan lebih mudah terjadi. Dalam penerapannya, tindakan adaptasi disesuaikan dengan tingkatan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan serta harus dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan meningkatkan ketahanan sosial. Berdasarkan analisis risiko diare mendatang, tahun 2030, kecamatan dengan risiko diare sangat tinggi adalah Batu dan Bumiaji, dan risiko tinggi adalah Blimbing dan Junrejo. Daerah berisiko sangat tinggi atau tinggi memerlukan strategi yang lebih komprehensif terutama dalam strategi tanggap darurat dan strategi pencegahannya, sementara daerah risiko rendah perlu lebih terkonsentrasi pada strategi pencegahan saja. Berikut adalah strategi adaptasi umum untuk berbagai risiko diare di Malang untuk Raya masa mendatang. Tabel II.23. Strategi Adaptasi Bahaya Diare Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya
Tipe Strategi Manajemen Banjir (iklim ekstrim; banjir berkepanjangan selama musim hujan)
Peningkatan Lingkungan
Jangk a Pendek (2010-2020) 1. Kawasan penampungan untuk korban banjir dengan ketersediaan air yang cukup dan fasilitas pembuangan yang baik 2. Rumah pengungsian yang menyediakan fasilitas air minum yang steril Peningkatan kualitas air: 5. Penggunaan air matang 6. Penggunaan air berklorin 7. Sistem pembuangan dan penyaluran kotoran yang lebih baik 8. Ketersediaan air sumur yang bersih
Jangk a Menengah (2020-2030) 1. Pengembangan infrastruktur drainase di area tergenang banjir 2. Memperlebar dan memperdalam saluran dan kanal
Jangka Panjang (2030-2050) 1. Meningkatkan jumlah masyarakat yang lebih tanggap terhadap banjir 2. Peningkatan manajemen pesisir 3. Daur ulang limbah dan pipa air yang bebas bakteri
1. Adaptasi penggunaan air buangan 2. Perda mengenai sanitasi lingkungan 3. Program perbaikan sanitasi di kelurahan 4. Peningkatan pipa air (2030) yang ekstensif
1. Desain perumahan yang tahan terhadap banjir berkepanjangan di masa depan 2. Rencana perumahan yang lebih baik dengan air ledeng dan pemisah air limbah
II‐50
Pengendalian Pengamatan Ag en Penyakit
Manajemen Infeksi Manusia
2. Pengamatan agen infeksi gastrointestinal (e.coli, tifus, kolera) 3. Fasilitas penanganan kasus dan laporan yang lebih baik 4. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat
1. Pengembangan agen diagnosa diare
1. Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik terutama saat diare mewabah
II‐51
1. Pengembanga n genetik dari patogen diare 2. Pengembanga n vaksin dan antibiotik 1. Mengurangi insiden dan kematian karena diare
II‐52
BAB III Pro gram Unggu lan Te rk ait Adapt asi Peru bahan Ikl im Hasil dari Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) perlu diarusutamakan / diintegrasikan ke dalam rencana dan kebijakan pembangunan daerah/lokal guna dimanfaatkan demi arah pembangunan yang lebih baik. Proses pengarusutamaan hasil KRAPI melibatkan beberapa langkah, termasuk identifikasi agenda di rencanaini nasional, provinsi, atau lokal yang Jangka berhubungan KRAPI. Dokumen-dokumen menyertakan Rencana Pembangunan Panjangdengan (RPJP) 20052025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2008-2013, Rencana Pembangunan Tahunan (RKP) 2012, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 20102030. Tujuan identifikasi tema-tema tersebut dalam dokumen daerah Provinsi Sumatera Selatan adalah mencari pintu masuk untuk diskusi dengan para pemangku kepentingan mengenai hal yang dihasilkan dari kegiatan KRAPI, sehingga pemangku kepentingan memiliki dasar pengkaitan dari dokumen yang ada. Sejalan dengan proses di atas, opsi adaptasi yang diminati juga diidentifikasikan dalam konsultasi pemangku kepentingan. Dalam proses ini faktor-faktor yang menentukan kesempatan dari pelaksanaan pilihan adaptasi yang diusulkan oleh para ahli teridentifikasi. Langkah selanjutnya adalah kerjas sama dengan pejabat pemerintah, khususnya dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dalam analisis kompatibilitas antara opsi adaptasi yang terprioritisasi dengan program yang ada atau kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam RKP. Tujuannya adalah untuk menyusun rekomendasi akan opsi adaptasi yang perlu daerah yangdiintegrasikan selanjutnya. lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan tahunan pemerintah Menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut maka kegiatan Focus Group Discussion yang melibatkan pejabat pemerintah pusat dan daerah dari sektor terkait perlu diadakan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengsinkronisasi program atau kegiatan yang direkomendasi oleh pemerintah daerah dengan program pemerintah pusat. Pada tahap ini kami mengidentifikasi kantor pemerintah pusat yang mengatur suatu program atau kegiatan yang sama dengan program yang direkomendasikan oleh tahap sebelumnya, juga untuk mengidentifikasi mekanisme pendanaan yang potensial guna mengimplementasikan program atau kegiatan. Tahap terakhir dari pengarusutamaan KRAPI ke dalam rencana pembangunan adalah memformulasikan program-program “Champion” bagi Sumatera Selatan berdasarkan rekomendasi proses sebelumnya yaitu prioritas adaptasi. Program-program “Champion” ini diajukan ke pemerintah pusat agar mendapatkan komitmen pendanaan baik dari anggaran negara atau anggaran non-negara, termasuk dana internasional.
III‐1
PROGRAM UNGGULAN TERKAIT ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM HASIL WORKSHOP SINKRONIS ASI PROGRAM PUSAT DAN DA ERAH TANGGAL 17 APRIL 2012 DI BOGOR
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
1
Kota
Program
Pesisir
Program Penataan
Tarakan (Pesisir Tarakan Barat)
Penataan Kawasan Kumu h Pesis ir Tarakan Barat secara Terpadu dan Menyeluruh
Kegiatan yang Terkait
•
Kawasan Kumuh Pesisir •
Air
Kesehatan
Program Pelaksanaan Normalisasi Sungai Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
•
•
•
•
•
2
Propinsi Sumatera Selatan
Program Penanggulangan Dampak Perubahan Iklim
Pesisir
Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku Program Penataan dan Rehabilitasi Permukiman Nelayan Kec.
Kementerian/ Lembaga Terkait
An ti si pasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Survei topografi detail,
Kemen-Pera;
Penggenangan
garis pantai, dan level bangunan pantai Peninggian level lantai bangunan Rehabilitasi/normalisasi saluran sungai Program peningkatan pembersihan dan pengerukan sungai/kali Penyemprotan (fogging) nyamuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Program 3M Plus secara rutin Pelayanan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
Kemen-KP DJKP3K; Kemen-PU DJCK Kemen-PU DJSDA
air laut di pesisir
Peningkatan pelayanan air bersih perpipaan (PDAM)
•
Banjir
•
Kemenkes DJP2PL
•
•
Kemen-PU DJCK
Kemen-Pera; Kemen-KP DJKP3K; Kemen-DJCK
III‐2
Faktor Dominan Kerentanan
• •
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit Malaria
Penyakit Penyakit DBD Diare
Penggenangan air laut di pesisir
•
Kepadatan pen
tinggi dengan ti sosial- ekonom relatif kurang, sehingga memperbesar p penularan peny seperti DBD da Topografi pesis landai, sehingg memperlama w penggenangan oleh air laut, air dan air sungai s beresiko timbul penyait malaria Banyaknya infrastruktur, m bandara, indus pengolahan ha perikanan
Topografi pesisir Sumsel yang lan sangat luas yang disertai dengan b
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
dari Hulu DAS Musi hingga Daerah Pesisi r Provinsi Sumatera Selatan Pertanian
Air
Kesehatan
Program Sektor Terkait
Kegiatan yang Terkait
Sungsang Kab. Banyuasin Program Restorasi Hutan Pesisir (Mangrove) Kec. Sungsang Kab. Banyuasin Evaluasi dan Revitalisasi Jaringan Irigasi, Rawa, dan Jaringan Pengairan Lainnya yang Dipengaruhi oleh Pasang Surut Laut di Kec. Makarti Jaya, Kab. Banyuasin Aplikasi Teknik Budidaya dan Bibit Unggul yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim di Kec. Makarti Jaya,
Kementerian/ Lembaga Terkait
An ti si pasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Kemen-KP DJKP3K; Kemen-Hut; Kemen-LH Kemen-PU DJSDA
Penurunan Produksi Pertanian
Kemen-Tan DJPSP; Kemen-Tan BPTP
Kab. Banyuasin Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan di Daerah Resapan Bendungan Irigasi Ulu Musi Kab. Lahat Perbaikan
Kemen-Hut DJBPDAS-PS; KLH
Kemen-Pera;
III‐3
Faktor Dominan Kerentanan
rusaknya hutan mangrove sebag buffer, menyebab luas dan lamany peng-genangan o laut. Penggenangan t menimbulkan da seperti rusaknya pemukiman yang tergenang dan berkurang-nya la pertanian yang b terdapat di daera pesisir. Penguran lahan pertanian t dapat menganca potensi Sumsel s salah satu lumbu pangan nasional
Banyaknya konv lahan hutan di da resapan
•
Penurunan Ketersediaan Air Banjir
•
Penyakit DBD
Kepadatan pendu
•
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
Kegiatan yang Terkait
Lingkungan Permukiman Kumuh di Kota Palembang
3
Malang Raya (Kota Batu, Kab. Malang, Kota Malang)
Program Konservasi Sumber Daya Air Daerah Al iran Sungai (DAS) Brantas Hulu
• •
Air Pertanian
Program Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan
Kemen-PU DJCK
Reboisasi, terutama pada tegalan dan daerah pembuangan Agro-forestry Hutan rakyat murni
Kemen-Hut DJBPDAS-PS; KLH
Program Pengembangan Sumber Daya Air
Pembangunan Embung
Kemen-PU DJSDA
Program Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan (tambahan) Program Pembangunan saluran
Penambahan hewan mamalia (kera, dsb) di hutan
Kemen-Hut
Perbaikan saluran drainase, pembuangan air hujan, dan
Kemen-PU DJCK dan Kemen-kes
drainase/goronggorong, dipadukan dengan: Program Pengembangan Lingkungan Sehat
penampungan air bersih
DJP2PL; KLH
•
• •
Kesehatan
Kementerian/ Lembaga Terkait
III‐4
An ti si pasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Faktor Dominan Kerentanan
Penyakit Diare
tinggi dan tingkat ekonomi yang rel kurang, sehingga memperbesar pe penularan penyak dan diare Banyaknya konv lahan hutan men lahan permukima pariwisata, dan pertanian di daer DAS Brantas
•
Penurunan Ketersediaan Air Banjir Longsor Penurunan produksi pertanian, akibat pengurangan lahan pertanian Penyakit malaria
•
• • •
• •
•
Penyakit DBD Penyakit malaria Penyakit Diare
Kurangnya hewa mamalia sebaga pengalih sasaran nyamuk malaria Banyaknya salur drainase, pembu air hujan, dan
penampungan ai yang kurang mem standar kesehata lingkungan
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
4
Tarakan, Sumatera Selatan, Malang Raya
Program Inventarisasi dan Standarisasi Data Terkait Perubahan Iklim
Basis Saintifik
Program Inventarisasi dan Standarisasi Data Terkait Iklim
Kegiatan yang Terkait
• •
• •
Standarisasi data iklim Standarisasi data kelautan Inventarisasi data iklim Inventarisasi data kelautan
III‐5
Kementerian/ Lembaga Terkait
An ti si pasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Faktor Dominan Kerentanan
BMKG; Badan Informasi Geospasial; Kemen-Ristek LIPI LAPAN
Semua risiko sektoral
Kurangnya kuan data yang tidak memenuhi stand data iklim dapat menyebabkan kurangnya akura analisis dan proy perubahan iklim, pada gilirannya d menimbulkan ku tepatnya rekome adaptasi perubah iklim