Analisis Penyimpanan Dan Distribusi Alat Dan Obat Kontrasepsi Pemerintah di Kota Palangkaraya Pengalaman Keluarga Merawat Lansia Demensia Di Wilayah Kerja Puskesmas Menteng Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Umbi Bawang Dayak (Eleutherine Bulbosa (Mill.) Urb.) Secara Oral Terhadap Jumlah Eosinofil Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Model Asma Alergi Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Pasien Resiko Perilaku Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah Pengaruh Pemberian Diet Dash Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Penganggaran Dalam Rencana Pengembangan Program Jamkesda di Kabupaten Banjar Hubungan Pelaksanaan Kelas Antenatal Dengan Jenis Persalinan Pada Ibu Hamil di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Tahun 2016 Pengetahuan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Pada Anak Usia 6-10 Tahun di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang
ISSN : 2087 - 9105
Volume VII Nomor 14, Agustus 2017
TIM REDAKSI
Jurna J urnall F orum K eseha sehattan P olite oli tekk nik ni k K esehat sehatan an K emenke nk es Palangka Palangk a R aya aya Tim Penyunting :
Penanggung Jawab
:
Dhini, M.Kes
Redaktur
:
Asih Rusmani, SKM, M.Kes
Editor
:
Dr. Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA
Tim Pembantu Penyunting :
Penyunting Pelaksana
:
1. Ns. Gad Datak, M.Kep, Sp.MB 2. Riyanti, M.Keb 3. Erma Nurjanah, SKM, SKM, M.Epid M.Epid
Pelaksana TU
:
1. Deddy Eko Heryanto, ST 2. Daniel, A.Md.Kom 3. Arizal, A.Md
Tim Mitra Bestari :
1. Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp, M.Epid (Dosen Poltekkes Kemenkes Bandung) 2. Dr. Djenta Saha, S.Kp, MARS (Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang) 3. Dr. Demsa Simbolon, SKM, MKM (Dosen Poltekkes Kemenkes Bengkulu)
Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya Ra ya 73111- Kalimantan Tengah Telepon/Fax : 0536 – 3221768 3221768
Email
: forum forumke kese seha hattanpky@gm npky@gma ail.com il.com, po polte ltekkesp kkespa alangka langkaray raya a@gma @gmai l.com l.com
Websi Website te : www.p www.polt olte ek kes-palangk s-palangka ar aya.a aya.ac.i c.id d Terbit 2 (dua) kali setahun.
PENGANTAR REDAKSI Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan. Jurnal Forum Kesehatan merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya bidang ilmu yang yang berhubungan dengan dengan kesehatan. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama Jurnal Forum Kesehatan Volume VII Nomor 14, Agustus 2017 ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan muncul pada penerbitan – penerbitan penerbitan selanjutnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya Jurnal Forum Kesehatan Volume VII Nomor 14, Agustus 2017 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi . Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan Jurnal Forum Kesehatan ini selanjutnya. Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam Jurnal Forum Kesehatan Volume VII Nomor 14, Agustus 2017 ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.
Tim Redaksi
DAFTAR ISI Hal. Ana A nalisis lisis Pe Peny nyim imp panan nan D an D istr istr ibusi ibusi A lat lat D an Oba Obat K ontras ntrase epsi Pe Pem mer i nta ntah di K ota P alang alangkkaraya Lamia Diang Mahalia ................. ........ ................. ................ ................ ................. ................. ................ ................ ................ ................. ................. .............. ......
1
P engala ng alam man Ke K eluarga luarg a Me Mer awat awat Lan Lansi sia a De D emensia nsi a D i Wila Wi laya yah h Ke K er ja Puske P uskesm sma as Me M ente nteng Missesa, Syam’ani Syam’ani ...............................................................................................................
10
P engaruh ngar uh Pe P ember i an E kstra kstr ak E tano tanoll Umbi Umbi B awang wang D ayak yak ( E leut leuthe herr i ne B ulbo ulbosa ( M i ll.) Urb Ur b.) Seca Secarr a Ora Or al Te T er had hadap Jum J umla lah h E osino si nofifill Pa P ada Tikus Ti kus (R ( R attus ttus Norvegi Norvegicus cus)) Mo M odel Asma Asma A ler ler gi dr. Adelgrit Adelgrit Trisia, Trisia, M.Imun M.Imun ........................ .............................................. ............................................ ............................................ .............................. ........
22
P engaruh ngaruh Terapi Terapi R elaksasi laksasi Otot Otot Pro Pr ogre gr esif si f Te T er had hadap P asie si en Re R esiko si ko Peri laku laku K eker eker asan san di R SJ D D r A mi no G ondo ndohuto hutomo Pro Pr ovinsi J awa Tengah Tengah NurizaChoirul Fhadilah, Fhadilah, Wien Soelistyo Adi, Adi, Shobirun ................ ........ ................ ................ ................ ................. ............... ......
28
P engaruh ngaruh Pemb Pember i an Di et Da D ash Te T er hada hadap Peruba Perubahan han Tekanan Tekanan Da D ar ah Pada Pada Pende Pender i ta H i pe perr tensi tensi di Puskesm P uskesmas as Pahand Pahandut ut Palang Palangkka R aya Fretika Utami Dewi, Sugiyanto, Sugiyanto, Yetti Wira C ................ ........ ................ ................ ................. ................. ................ ................ ............. .....
35
P engangg ng anggaran aran D alam alam Re R encana ncana Pe Penge ngembangan ng an Pr P r ogr am Ja J amkesda di K abupat bupate en Banjar B anjar Juni Ramadhani ................ ........ ................. ................ ................ ................. ................ ................ ................ ................. ................. ................ ................ ................ ........
44
H ubungan Pelak Pelaksanaa sanaan n Ke K elas A ntena ntenata tall De D engan ng an J enis ni s Pe Per salinan sali nan P ada ada I bu H ami l di di P uske usk esma smas Paha P ahandut ndut P alangk alangka a Ray R aya a Tahun 2016 Sofia Mawaddah, Asih Rusmani ................ ........ ................. ................. ................ ................ ................. ................ ................ ................. ................ ..........
57
Pengetahuan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Pada Anak Usia 6-10 Tahun di K ecamat camatan an Sumo S umowono wono Kab K abupat upaten en Se Semarang arang Sri Eny Setyowati, Sri Widiyati, Fajar Surahmi ................ ....... ................. ................ ................ ................. ................. ................ .......... ..
66
J urnal urnal F orum K eseha sehattan - V olume lume V I I Nomo Nomor 14, 14, Agustus Agustus 2017 2017
JURNAL FORUM KESEHATAN
ABSTRAK
ANALISIS PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI ALAT DAN OBAT KONTRASEPSI PEMERINTAH DI KOTA PALANGKARAYA Lamia Diang Mahalia
Kontrasepsi merupakan merupakan alat/obat yang memiliki nilai yang sangat strategis dalam menunjang operasional program Keluarga Berencana. Pada tahun 2012, di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP dan KB) Kota Palangka Raya serta puskesmas se Kota Palangka Raya, masih ditemui masalah terkait penyimpanan dan distribusi alat/obat kontrasepsi (alokon). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai praktik pengelolaan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB Kota Palangka Raya pada tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan rancangan case study yang menggunakan data retrospektif. Data Data kuantitatif diperoleh dengan dengan pengisian daftar daftar tilik dan observasi observasi dokumen yang yang diambil secara retrospektif, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan wawancara mendalam di Badan PP dan KB Kota Palangka Raya dan puskesmas se-Kota Palangka Raya yang dilaksanakan pada tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa persentase kecocokan kecocokan antara barang dengan kartu stok di Badan PP dan KB Kota Palangka Palangka Raya adalah sebesar 100%, namun hal ini tidak terjadi di puskesmas. Penyimpanan alokon di Badan PP dan KB tidak 100% berdasarkan prinsip FEFO. Masih ditemukan alokon yang kadaluwarsa dan mengalami stok mati. Terdapat penyimpangan antara jumlah alokon yang diberi oleh Badan PP dan KB dengan yang diminta oleh puskesmas. Banyak puskesmas yang pernah mengalami mengalami kekosongan beberapa jenis stok alokon dalam satu tahunnya. Kegiatan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon di Kota Palangka Palangka Raya pada tahun 2012 jika dilihat dari persentase persentase pencapaian indikator penyimpanan penyimpanan distribusi serta pemenuhan pemenuhan unsur CDOB secara umum masih belum memenuhi memenuhi standar yang yang berlaku. Kata Kunci : Distribusi dan Penyimpanan, Penyimpanan, Alat/Obat Kontrasepsi, Badan Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Palangka Raya.
Page 1
JURNAL FORUM KESEHATAN
bagian kecil dari hal yang di supervisi. Hal ini menyebabkan permasalahan dalam kegiatan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon menjadi kurang terangkat. Berdasarkan hasil survei pendahuluan tesebut maka perlu dilakukan analisis mendalam mengenai penyimpanan dan pendistribusian alokon di lingkungan pemerintah Kota Kota Palangkaraya, Palangkaraya, meliputi Badan Badan PP dan KB serta puskesmas-puskesmas di Kota Palangkaraya. Peneliti membatasi penelitian hanya pada lingkup puskesmas karena puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan kesehatan dasar termasuk KB, sehingga alokon harus selalu tersedia di puskesmas puskesmas untuk memenuhi memenuhi kebutuhan masyarakat dalam ber-KB [3].
PENDAHULUAN Salah satu bagian dari upaya pelayanan kesehatan adalah dengan diberlakukannya pelayanan Keluarga Berencana (KB). Dalam rangka menjamin keberlangsungan pelayanan KB dan upaya mewujudkan visi dan misi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), maka diperlukan dukungan manajemen pengelolaan alat/obat kontrasepsi (alokon) yang profesional, efektif dan efisien melalui pengelolaan logistik [1]. Mengingat alokon memiliki nilai yang sangat strategis baik dalam menunjang operasional program KB maupun membantu calon akseptor/akseptor dari keluarga miskin di Kota Palangkaraya, juga nilai nominal untuk pembeliannya yang membutuhkan membutuhkan anggaran sangat besar dari APBN, maka alokon tersebut harus dikelola dengan baik, dengan memperhatikan prosedur/ketentuan-ketentuan tentang penyimpanan dan pendistribusian alat/obat kontrasepsi. Untuk dapat terlaksananya penyimpanan dan distribusi alat/obat kontrasepsi yang baik, maka harus diperhatikan beberapa aspek penting yaitu manajemen mutu, personalia, bangunan dan peralatan, dokumentasi dokumentasi dan inspeksi diri[2]. Berdasarkan hasil survei pendahuluan melalui wawancara dan pengamatan langsung yang dilakukan tahun 2012, ditemukan permasalahan permasalahan terkait penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya serta puskesmas se Kota Palangkaraya, yaitu: 1). Ditemukan beberapa jenis alokon kadaluwarsa seperti IUD, dan kondom, 2). Terdapat beberapa hal di gudang yang masih butuh perhatian seperti ketiadaan alat pengukur suhu dan kelembaban, tata letak alokon yang belum sesuai standar, dan tempat penyimpanan penyimpanan yang belum memadai, memadai, 3). Adanya perbedaan antara jumlah alokon yang diberi oleh Badan PP dan KB dengan yang diterima oleh puskesmas, 4). Pengelolaan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon yang yang belum dipegang oleh tenaga kefarmasian, dan 5). Sistem penyimpanan dan distribusi alokon yang belum satu pintu dengan Gudang Farma Farmasi si Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya dimana hingga saat ini pengelolaan alokon sepenuhnya dipegang oleh Badan PP dan KB. Kegiatan supervisi pernah dilakukan di Badan PP dan KB minimal 1 tahun sekali, namun cakupan hal yang di supervisi bersifat luas dan masalah penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon merupakan
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan rancangan case study. Data penelitian berupa data kualitatif dan kuantitatif . Data kuantitatif diperoleh dengan pengisian daftar tilik dan observasi dokumen yang diambil secara retrospektif, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP dan KB) Kota Palangkaraya dan di puskesmas se-Kota Palangkaraya. Jumlah puskesmas yang ada di Kota Palangkaraya ada 10 buah. Penelitian dilaksanakan sejak Maret 2012 hingga April 2012. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Badan PP dan KB Kota Palangkaraya, Sekretaris Badan PP dan KB Kota Palangkaraya, Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Kasubid Pengendalian Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, petugas penanggung jawab gudang alokon Badan PP dan KB dan Koordinator KB di puskesmas. puskesmas.
Page 2
JURNAL FORUM KESEHATAN
dari Badan PP dan KB tidak berdasarkan prinsip FEFO. Dilihat dari persentase nilai alokon yang rusak/kadaluwarsa dan stok mati, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih ditemukan alokon yang kadaluwarsa dan mengalami stok mati. Selain itu, masih ditemukan perbedaan jumlah alokon yang diminta oleh puskesmas dengan yang didistribusikan oleh Badan PP dan KB Kota Palangkaraya. Masih banyak puskesmas yang mengalami kekosongan alokon pada tiap tahunnya. 1. Penyimpanan alat dan obat kontrasepsi pemerintah di Kota Kota Palangkaraya Palangkaraya Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (1999), ketidaktercapaian indikator keberhasilan keberhasilan dalam penyimpanan disebabkan karena belum diterapkannya kebijakan satu pintu pada pelaksanaan penyimpanan dan distribusi obat-obatan. Sampai saat ini masih ada penyimpanan obat yang dilakukan di luar gudang farmasi yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kota, termasuk obat program seperti alokon[4]. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa masih ditemukan berbagai permasalahan permasalahan dalam penyimpanan alokon, baik di Badan PP dan KB maupun puskesmas di Kota Palangkaraya. Dalam penelitian ini, digunakan indikator penyimpanan alokon yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan atau sasaran dalam penyimpanan alokon telah berhasil dicapai. Berikut merupakan hasil penelitian indikator i ndikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pada tahap penyimpanan alokon : a. Kecocokan antara barang dengan kartu stok Obat yang disimpan di gudang dikontrol dengan kartu stok dan kartu kendali[5]. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa Badan PP dan KB Kota Palangkaraya telah menerapkan penggunaan kartu stok dalam penyimpanan alokon, sedangkan untuk seluruh puskesmas yang ada di Kota Palangkaraya belum menerapkan penggunaan kartu stok. Pencatatan pada kartu stok harus dilakukan secara rutin dari hari ke hari, setiap terjadi mutasi obat[6]. Stok obat yang ada di gudang harus selalu sesuai
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari pengamatan terhadap indikator penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB dan Puskesmas se-Kota Palangkaraya, maka diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Analisis Terhadap Indikator Variabel Tergantung Penyimpanan dan Distribusi Alokon di Badan PP dan KB dan Puskesmas se-Kota Palangkaraya Indikator Unit Pelayanan Badan PP dan KB Kota Puskesmas Bukit Hindu Puskesmas Jekan Raya Puskesmas Kalampangan Puskesmas Kayon Puskesmas Kereng Bangkirai Puskesmas Menteng Puskesmas Pahandut Puskesmas Panarung Puskesmas Rakumpit Puskesmas Tangkiling
A %
b %
c %
d %
e %
f %
100
100
0,19
0,09
-
0
0
100
0
0
0,77
41,64
0
100
0
2,89
19,16
0
0
100
19,95
0
6,13
23,45
0
100
0
0
2,66
15,49
0
100
0
0
17,75 17,75
8,31
0
100
0
0
0
0
0
100
0
6,77
0
3,34
0
80
5,85
0
21,21
8,16
0
75
0
0
0
12,53
0
100
2,84
0
16,96
16,60
Keterangan : a. Persentase jumlah jenis alokon yang cocok antara kenyataan fisik dengan yang tercatat di kartu stok b. Persentase jumlah jenis alokon yang disimpan sesuai sistem FEFO c. Persentase nilai alokon yang rusak/kadaluwarsa d. Persentase nilai stok mati alokon e. Persentase penyimpangan jumlah alokon yang didistribusikan f. Persentase rata-rata waktu kekosongan alokon Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa masih banyak indikator kesuksesan kesuksesan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon yang yang belum tercapai. Untuk indikator kecocokan barang dengan kartu stok, hanya Badan PP dan KB saja yang sudah mencapai 100%, sedangkan di puskesmas puskesmas indikator tidak dapat diamati karena tidak memiliki kartu stok. Penataan alokon di gudang Badan PP dan KB belum sepenuhnya merujuk pada prinsip FEFO, masih ada puskesmas yang menerima alokon
Page 3
JURNAL FORUM KESEHATAN
dengan kartu stok [5]. Pada kenyataannya, kenyataannya, jumlah fisik stok alokon yang ada di gudang Badan PP dan KB sama dengan yang ada di kartu stok. Penggunaan kartu stok khusus alokon di seluruh puskesmas di Kota Palangkaraya belum diterapkan. Kartu stok hanya digunakan untuk obatobatan yang didistribusikan dari gudang Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya. Palangkaraya. Ketiadaan kartu stok ini menyulitkan petugas pengelola alokon di puskesmas, karena mereka tidak dapat mengetahui dengan cepat jumlah j umlah persediaan alokon. Selain itu, para petugas menjadi kesulitan pada saat pembuatan Laporan Gudang Klinik KB bulanan, karena pada laporan tersebut mereka harus mencantumkan jumlah sisa stok alokon. Oleh karena itu, sebaiknya tiap-tiap puskesmas yang ada di Kota Palangkaraya dapat menerapkan penggunaan kartu stok khusus untuk alokon. b. Sistem penataan alokon di gudang Alokon yang memiliki tanggal kadaluwarsa lebih pendek seharusnya didistribusikan terlebih dahulu. dahulu. Ada 2 puskesmas puskesmas yang pendistribusian alokonnya tidak berdasarkan prinsip FEFO yaitu Puskesmas Panarung dan Rakumpit dimana ada jenis alokon yang tanggal kadaluwarsa di puskesmas puskesmas lebih panjang daripada yang ada di gudang Badan PP dan KB. Penerapan prinsip penyimpanan penyimpanan secara FIFO tidak dapat dilakukan baik di Badan PP dan KB maupun di puskesmas. Hal ini disebabkan karena minimnya informasi terkait alokon yang disimpan di gudang Badan PP dan KB maupun di puskesmas, sehingga tdak dapat diketahui mana alokon yang lebih dahulu dikeluarkan dan mana yang dikeluarkan belakangan. Penataan obat di gudang dengan sistem FIFO dan FEFO akan menjamin kualitas pengelolaan barang lebih efisien. Penataan alokon di gudang dikatakan baik jika [5] persentasenya persentasenya sebesar 100% . Prinsip FIFO dan FEFO dalam penyusunan obat yaitu obat dengan masa kadaluarsa lebih awal atau yang
diterima lebih awal harus digunakan lebih awal[6]. c. Persentase dan nilai alokon yang kadaluwarsa/rusak Pada tahun 2011, persentase nilai alokon yang kadaluarsa/rusak adalah sebesar 0,61% dengan jumlah kerugian sebesar Rp 3.102.840. Kerugian yang dialami Badan PP dan KB ini disebabkan karena kurangnya pengamatan pengamatan mutu dalam penyimpanan alokon, baik di puskesmas maupun di Badan PP dan KB. Obat yang kadaluarsa/rusak dapat dikurangi dengan meningkatkan pengawasan obat sehingga mutu obat dapat terjaga[7]. d. Persentase rata-rata waktu kekosongan alokon Pada tahun 2011, nilai stok mati alokon di Badan PP dan KB dan di Puskesmas Kota Palangkaraya adalah sebesar Rp 540.000 (0,11%). Jenis alokon yang mengalami stok mati ini adalah IUD. Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator KB yang ada di puskesmas, stok mati ini disebabkan karena IUD kurang dimintai oleh akseptor KB, sehingga IUD tersebut menjadi tidak terpakai. Stok mati ini dapat menimbulkan kerugian karena akan meningkatkan jumlah obat yang kadaluarsa/rusak kadaluarsa/rusak [7]. Pengawasan terhadap stok sebaiknya dilakukan secara rutin sehingga dapat diketahui adanya obat yang stok mati[8]. Apabila diketahui ada alokon yang mengalami stok mati, maka alokon tersebut dapat segera digunakan sebelum masa kadaluarsanya kadaluarsanya tiba. 2.
Page 4
Distribusi alat dan obat kontrasepsi pemerintah di Kota Kota Palangkaraya Palangkaraya Badan PP dan KB Kota Palangkaraya mendistribusikan alokon ke puskesmas puskesmas berdasarkan permintaan dari puskesmas. puskesmas. Permintaan diajukan sekali dalam sebulan. Apabila sebelum masa 1 bulan berakhir dan puskesmas puskesmas membutuhkan sejumlah alokon maka puskesmas puskesmas tersebut dapat melakukan melakukan permintaan alokon alokon ke Badan PP dan KB. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan PP dan KB Kota
JURNAL FORUM KESEHATAN
Palangkaraya, diketahui bahwa distribusi alokon belum dilaksanakan satu pintu dengan gudang farmasi di Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya seperti halnya penyimpanan alokon. Distribusi alokon memiliki indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan distribusi alokon di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya. Indikator tersebut yaitu: a. Persentase penyimpangan jumlah alokon yang didistribusikan Pada tahun 2011 persentase penyimpangan penyimpangan jumlah alokon yang didistribusikan oleh Badan PP dan KB ke puskesmas adalah sebesar 11,17%, dimana jumlah alokon yang diberi lebih sedikit dibandingkan jumlah alokon yang diminta. Penyimpangan ini disebabkan karena pada saat Badan PP dan KB membuat perencanaan distribusi alokon, Badan PP dan KB melakukan analisis terlebih dahulu terhadap kebutuhan nyata penggunaan alokon masing – masing puskesmas. Analisis ini dilakukan dengan melihat sisa stok alokon, alokon yang diterima untuk satu bulan, jumlah alokon yang dikeluarkan dalam satu bulan, dan jumlah alokon yang diminta. Berdasarkan analisis inilah Badan PP dan KB mendistribusikan alokon ke puskesmas-puskesma puskesmas-puskesmas. s. Penyimpangan jumlah alokon yang didistribusikan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman pengelola alokon terhadap perhitungan distribusi alokon. Dalam pendistribusian obat perlu adanya kesesuaian antara jumlah obat yang dibutuhkan oleh unit pelayanan dengan jumlah obat yang tersedia di gudang obat[9]. b. Persentase rata-rata waktu kekosongan alokon Persentase rata-rata waktu kekosongan obat adalah persentase jumlah hari kekosongan kekosongan obat dalam [10] satu tahun . Berdasarkan hasil penelitian, hanya Badan PP dan KB, Puskesmas Jekan Raya dan Puskesmas Menteng yang tidak mengalami kekosongan alokon selama tahun 2011. Kekosongan ini disebabkan karena tidak adanya permintaan
beberapa jenis alokon oleh puskesmas puskesmas kepada Badan PP dan KB. Para Koordinator KB di puskesmas lebih memilih untuk tidak memesan jenis alokon tertentu untuk meminimalkan jumlah alokon yang tidak terpakai. Koordinator KB baru akan memesan jenis alokon tertentu, seperti IUD hanya jika ada akseptor yang datang ke puskesmas dan meminta untuk dipasangkan IUD. Persentase rata-rata waktu kekosongan alokon dapat menggambarkan kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai [11] alokon . 3.
Page 5
Aspek penyimpanan dan distribusi alat dan obat kontrasepsi berdasarkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) a. Manajemen mutu Dari hasil penelitian, diketahui bahwa puskesmas di Kota Palangkaraya telah memiliki tim manajemen mutu, sedangkan di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya justru belum memiliki tim khusus dalam hal manajemen mutu. Ketiadaan tim khusus manajemen mutu di Badan PP dan KB tidak ti dak serta merta menyebabkan mutu penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon diabaikan. Mutu penyimpanan dan distribusi tetap diawasi dan yang bertindak sebagai penanggung jawab langsungnya adalah Kepala Sub Bidang Pengendalian Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Program menjaga mutu merupakan suatu upaya yang berkesinambungan, berkesinambungan, sistematis sistematis dan objektif dalam memantau dan menilai pelayanan yang [12] diselenggarakan . Berdasarkan pengamatan langsung dan penelusuran dokumen, Badan PP dan KB tidak memiliki SOP yang dibuat terkait penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon. Tidak ada prosedur tertulis yang diletakan atau ditempel di gudang alokon. Dalam kegiatan distribusi, harus ada prosedur tertulis dan catatan untuk memastikan kelancaran
JURNAL FORUM KESEHATAN
dan ketepatan produk yang didistribusikan. Dengan dibuatnya tim manajemen mutu di Badan PP dan KB, diharapkan dapat terjadi peningkatan kinerja petugas secara terus menerus. Manajemen mutu merupakan suatu cara untuk dapat meningkatkan kinerja secara terus menerus pada setiap l evel organisasi, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia yang tersedia [13]. b. Personalia Dalam pemenuhan aspek personalia menurut CDOB, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu petugas, struktur organisasi, kualifikasi dan tanggung jawab karyawan, dan pelatihan [2]. Badan PP dan KB Kota Palangkaraya dan puskesmas di kota Palangkaraya telah memiliki struktur organisasi yang jelas dimana pembagian uraian tugas dari struktur tersebut juga telah dijabarkan secara lengkap. Apabila dilihat dari segi pendidikan formal yang didapat pada bangku kuliah, petugas penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon yang ada di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya dan Puskesmas Kota Palangkaraya tidak memenuhi kualifikasi karena tidak ada satupun yang memiliki latar belakang Pendidikan Profesi Apoteker. Pendidikan secara umum merupakan usaha yang sengaja diadakan atau dilakukan secara sistematis serta terus menerus dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan tingkatannya, guna menyampaikan, menumbuhkan dan mendapatkan pengetahuan, sikap, nilai, kecakapan atau keterampilan yang [14] dikehendaki . Pendidikan informal mengenai penyimpanan dan distribusi alokon dapat diperoleh
melalui pelatihan. Petugas harus diberikan pelatihan yang terkait dengan tugasnya sehingga memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya[2]. Selama ini petugas yang mengelola alokon di puskesmas tidak pernah mendapatkan pelatihan mengenai mengenai penyimpanan alokon. Berdasarkan wawancara dengan para Koordinator KB di puskesmas, puskesmas, mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang penyimpanan alokon, dan menurut mereka pelatihan tentang penyimpanan tersebut sangat dibutuhkan. c. Bangunan dan peralatan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa fasilitas penyimpanan alokon di gudang Badan PP dan KB Kota Palangkaraya tergolong baik, namun belum maksimal. Masih terdapat kekurangan dalam hal cara penyimpanan, keamanan, prasarana, dan kebersihan. Area penyimpanan obat harus dirancang atau disesuaikan dengan kondisi obat yang disimpan untuk memastikan kondisi penyimpanan dalam keadaan baik [15]. Bangunan tempat penyimpanan harus dalam kondisi bersih dan kering. Selain itu, bangunan hendaknya dibangun dan dipelihara agar dapat melindungi obat yang disimpan dari pengaruh temperatur dan kelembapan, banjir, rembesan rembesan melalui tanah, masuk dan dan bersarangnya binatang kecil, tikus, burung dan serangga [2]. Obat harus disimpan pada kondisi yang tepat untuk menjamin kestabilannya[16]. Faktor lingkungan seperti suhu, radiasi, cahaya, udara dan kelembaban juga dapat mempengaruhi stabilitas [17] obat . Penguncian ruang penyimpanan obat saat tidak
Page 6
JURNAL FORUM KESEHATAN
digunakan dan penggunaan teralis merupakan sarana yang harus dimiliki ruang penyimpanan obat, karana penguncian ruangan dan penggunaan teralis merupan salah satu indikator keamanan tempat penyimpanan obat [16]. Kendaraan dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan produk farmasi harus dapat melindungi produk dan mencegah paparan yang dapat mengkontaminasi dan mempengaruhi mempengaruhi stabilitas produk, serta efek lain yang dapat merugikan kualitas produk yang didistribusikan[19]. Alat transportasi yang dimiliki Badan PP dan KB Kota Palangkaraya untuk mendistribusikan alokon sudah cukup memadai, terdiri dari kendaraan roda 2 dan 4, serta longboat. d. Dokumentasi Berdasarkan hasil penelitian di Badan PP dan KB, tidak ditemukan dokumentasi terkait prosedur tetap, metode, maupun instruksi terkait kegiatan distribusi dan penyimpanan alokon. Hal serupa juga terjadi di puskesmas, puskesmas, dimana tidak ditemukan dokumentasi terkait prosedur tetap, metode, maupun instruksi untuk penyimpanan alokon. Hasil pencatatan dan pelaporan terkait kegiatan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB sudah cukup baik. Dokumentasi sudah dilakukan secara terkomputerisasi. Informasi obat akan sangat meningkat dengan adanya sistem komunikasi elektronik [18]. Kartu stok juga merupakan salah satu sarana penting yang dapat mendukung kegiatan pencatatan dan [20] pelaporan . Sayangnya hingga saat ini seluruh puskesmas yang ada di Kota Palangkaraya belum menerapkan penggunakan kartu
stok untuk alokon. Kartu stok dapat menjamin penyediaan data dan informasi yang akurat dan aktual terhadap keadaan stok [2]. e. Inspeksi diri Kegiatan inspeksi diri di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya dilakukan dalam bentuk supervisi dan evaluasi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim pemeiksa yang berasal dari BKKBN Provinsi dan Pusat yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. Supervisi dan evaluasi yang dilakukan bersifat menyeluruh. Hasil supervisi ini kemudian dievaluasi dan dilaporkan tiap 6 bulan dalam bentuk Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program KB Nasional. Di puskesmas juga diberlakukan kegiatan supervisi dimana tim inspektoratnya berasal dari Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya. Supervisi yang dilakukan juga bersifat menyeluruh. Dalam pengelolaan obat, supervisi adalah proses pengamatan secara terencana oleh petugas pengelola obat pada unit yang lebih tinggi (instalasi pengelola obat kabupaten/kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas pada unit yang lebih rendah. Tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan produktivitas petugas pengelola obat agar mutu pelayanan obat dapat ditingkatkan secara optimal[21]. Suatu monitoring yang lengkap adalah yang disertai umpan balik, yang dapat disampaikan disampaikan kepada individu maupun kelompok [18] anggota . BKKBN Provinsi Kalimantan Tengah, setelah melakukan evaluasi akan selalu menyampaikan umpan balik hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon kepada Badan PP dan KB Kota Palangkaraya.
Page 7
JURNAL FORUM KESEHATAN
alokon. Dokumentasi yang dilakukan di puskesmas masih kurang memadai. e. Inspeksi diri telah dijalankan baik di Badan PP dan KB maupun puskesmas puskesmas se-Kota Palangkaraya. Palangkaraya.
KESIMPULAN 1. Penyimpanan alokon di Kota Palangkaraya belum dilaksanakan secara satu pintu. Berdasarkan perhitungan terhadap indikator penyimpanan, penyimpanan, diketahui bahwa masih ditemukannya alokon yang kadaluarsa/rusak dan stok mati. Selain itu di puskesmas se-Kota Palangkaraya masih belum menerapkan penggunaan kartu stok khusus alokon, dan untuk kartu stok yang ada di Badan PP dan KB informasinya masih minim. Cara penyimpanan penyimpanan alokon di puskesmas puskesmas belum sepenuhnya menerapkan menerapkan sistem FEFO. 2. Distribusi alokon di Kota Palangkaraya belum dilaksanakan secara satu pintu. Masih ditemukan adanya penyimpangan jumlah alokon yang didistribusikan ke puskesmas puskesmas puskesmas dan masih terjadi kekosongan beberapa jenis alokon di puskesmas. puskesmas. 3. Aspek CDOB yang mempengaruhi penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB dan Puskesmas di Kota Palangkaraya, Palangkaraya, yaitu : a. Belum ada tim manajemen mutu yang dibentuk di Badan PP dan KB Kota Palangkaraya. Seluruh puskesmas puskesmas di Kota Palangkaraya Palangkaraya telah memiliki tim manajemen mutu. b. Personalia yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon di Badan PP dan KB dan penyimpanan di puskesmas puskesmas tidak ada yang dipegang oleh apoteker maupun tenaga kefarmasian lainnya. c. Bangunan dan peralatan yang dimiliki badan PP dan KB dalam menunjang pelaksanaan penyimpanan penyimpanan dan distribusi alokon sudah cukup memadai. Untuk bangungan dan peralatan pendukung penyimpanan penyimpanan alokon di puskesmas masih minim. d. Dokumentasi yang dilakukan di Badan PP dan KB sudah cukup baik, namun masih kurang dalam hal ketiadaan SOP maupun instruksi tertulis terkait kegiatan penyimpanan penyimpanan dan distribusi
DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2010) Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Alat/Obat Kontrasepsi/Non Kontrasepsi Program KB Nasional. Biro Perlengkapan dan Perbekalan: Jakarta. 2. Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2007).Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik, edisi ketiga. Badan Pengawas Obat dan Makanan: Jakarta. 3. Priyanti. (2009) Manfaat Sistem Logistik Kontrasepsi Yang Terintegrasi Terhadap Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi : Studi Kasus Di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Tesis, Magister Kesehatan Ibu dan Anak-Kesehatan Reproduksi Universitas Gadjah Mada. 4. Sihombing, M. (1999) Evaluasi Pengelolaan Obat Gudang Farmasi Kabupaten di Daerah Percontohan Otonomi, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 5. Pudjaningsih, D. (1996) Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi Rumah Sakit, Tesis, Magister Manajemen Rumah Sakit, Program Pendidikan Pascasarjana, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 6. Kementerian Kesehatan RI dan Japan International Coorperation Agency. (2010) Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Kementerian Kesehatan RI dan Japan International Coorperation Agency: Jakarta. 7. Harahap, H., (2009) Evaluasi Pengelolaan Obat Pada Pusat Pengelola Farmasi Kota Pontianak . Tesis, Magister Manajemen dan Kebijakan Obat Universitas Gadjah Mada. 8. Indriawati, C. S.,Suryawati, S., dan Pudjaningsih. (2001) Analisis Pengelolaan Obat di Rumah Sakit Umum Wates. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,4 (03) September, pp. 173-181.
Page 8
JURNAL FORUM KESEHATAN
9. Ukai, M., (2009) Evaluasi Manajemen Obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Raja Ampat Irian Jaya Barat . Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. 10. Murwati, Nety (2011) Analisis Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. 11. Departemen Kesehatan RI. (2006) Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, cetakan kedua. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Jakarta. 12. Maltos, JJ dan Keller, C. (1989) Quality Assurance: A Manual For Family Planing Agencies. San Francisco James Bowman Agencies. 13. Gasperz, V. (2005) Manajemen Bisnis Total : Total Quality Management . Gramedika Pustaka Utama: Jakarta. 14. Sulistiyani. (2004) Memahami Good Governance dalam Prospektif SDM . Gava Media: Yogyakarta. 15. World Health Organization. (2003) Good Storage Practices for Pharmaceuticals: Geneva. 16. Athijah, U., dkk (2011) Profil Penyimpanan Obat di Puskesmas Wilayah Surabaya Timur dan Pusat, Jurnal Farmasi Indonesia, 5 (4) Juli, pp.213-222. 17. Departemen Kesehatan RI. (1995) Farmakope Indonesia, Edisi IV . Departemen Kesehatan RI: Jakarta. 18. Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., and Connor, R.W. (1997) Managing Drug Suplay : The Selection, Procurement, Distribution and Use of Pharmaceuticals, 2nd edition. Kumarin Press: USA. 19. World Health Organization. (2005) Good Distribution Practices (GDP) For Pharmaceutical Products: Geneva. 20. Departemen Kesehatan RI. (2004) Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas, cetakan kedua. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Kesehatan: Jakarta. 21. Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2001) Evaluasi Pengelolaan dan Penggunaan Obat Kabupaten/Kota dan Puskesmas. Badan Pengawas Obat dan Makanan: Jakarta.
Page 9
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGALAMAN KELUARGA MERAWAT LANSIA DEMENSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MENTENG 1
Missesa, 2Syam’ani
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Abstrak
Latar Belakang : Hasil penelitian WHO (2013) menunjukkan bahwa peningkatan kasus demensia di wilayah Asia tenggara termasuk Indonesia tertinggi pada usia 75 – 79 tahun dengan estimasi prevalensi 6,4 % (termasuk tinggi tinggi sesuai standar standar internasional internasional 6 – 6 – 9 9 %). Tujuan Penelitian : Mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna pengalaman keluarga tentang beban dan sumber dukungan dalam merawat lansia demensia di Wilayah Kerja Puskesmas Menteng. Metode Penelitian : Desain Desain penelitian penelitian ini menggunakan menggunakan metode metode penelitian penelitian kualitatif kualitatif studi fenomenologi. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga lansia dengan demensia di wilayah kerja Puskesmas Menteng Kota Palangka Raya sebanyak 5 partisipan. Strategi pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan catatan lapangan. Penelitian ini memperhatikan prinsip etik selama penelitian dilakukan. dilakukan. Hasil Penelitian menemukan 7 tema yaitu 1) Pengetahuan Keluarga tentang lansia demensia, 2) Kondisi lansia yang demensia, 3)Beban keluarga yang demensia, 4)Strategi keluarga dalam merawat lansia, 5)Manajemen Koping Caregiver, 6) Sumber Dukungan Keluarga dalam merawat lansia demensia dan 7)Perawatan lansia yang terjangkau dan biaya efisien. Rekomendasi Rekomendasi : Perawat Perawat bersama tenaga kesehatan lainnya mendukung partisipasi aktif keluarga dalam merawat lansia demensia di rumah melalui pelayanan kesehatan yang terjangkau baik dari segi tempat layanan maupun biaya. Kata kunci : demensia, demensia, keluarga, lansia Abstract
Background: The WHO study results (2013) indicate that the increase in cases of dementia in the Southeast Asian region including Indonesia is highest at the age of 75 - 79 years with an estimated prevalence of of 6.4% (including international standards standards as high as 6 - 9%) Research Objectives: Objectives: Gain a deep understanding of the meaning of family experience about the burden and source of support in treating elderly with dementia in the Working Area of Menteng Community Health Center. Method of Research: The design of this study using qualitative research methods of phenomenology studies. The samples in this research are 5 elderly’s elderly’s family with dementia in area of Puskesmas Menteng Kota Palangka Raya. Data collection strategies are interviews, observations and field notes. This study takes into account the ethical principles during the research conducted. The research finds 7 themes: 1) Family Knowledge about elderly dementia, 2) elderly condition of dementia, 3) family burden of dementia, 4) family strategy in caring for elderly, 5) Caregiver Coupling Management, 6) Source of Family Support in caring for elderly Dementia and 7) Elderly care that is affordable and cost efficient. Recommendation: Nurses with other health workers support the family's active participation in caring for elderly dementia at home through affordable health care both in terms of service and cost. Keywords : dementia, family, elderly
Page 10
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
PENDAHULUAN
Demensia merupakan salah satu gangguan mental emosional yang sering terjadi pada lansia selain depresi dan ansietas (WHO, 2014). Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang menggambarkan kerusakan fungsi kognitif secara global yang biasanya bersifat progresif dan mempengaruhi aktivitas sosial dan aktivitas pekerjaan sehari-hari (Bowers, 2008). Lansia yang mengalami demensia di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 35,6 juta dan diperkirakan hampir dua kali lipat setiap 20 tahun menjadi 65,7 juta pada tahun 2030 dan 115.400.000 pada tahun 2050, dengan demikian diproyeksikan meningkat menjadi 71 % pada tahun 2050 (WHO, (WHO, 2013). Demensia di Indonesia tidak dijabarkan secara langsung tetapi diidentifikasikan sebagai salah satu masalah gangguan mental emosional yang dialami dengan prevalensi secara nasional berdasarkan berdasar kan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013 adalah 6,0% dengan peningkatan kejadian meningkat seiring usia lanjut tepatnya tertinggi dialami usia 75 tahun ke atas. (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, 2013). Tanda dan gejala demensia menurut Stuart (2013) yaitu onset bertahap, klien mengalami disorientasi, bingung, afek labil kemudian apatis pada tahap lanjut,daya ingat mengalami ganggaun terutama kejadian yang baru terjadi, gangguan penalaran dan berhitung, keluyuran, perilaku sosial yang tidak pantas, penampilan secara konsisten buruk. Hilangnya ingatan yang menonjol pada lansia demensia mengakibatkan mereka mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dampak demensia diantaranya yaitu kesulitan dalam memori, bereaksi, membuat rencana dan melakukan
perawatan diri secara mandiri (Steele, 2010). Keluarga memiliki peran perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa seperti demensia, menurut Pitoyo (2012) ada 8 peran keluarga merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa yaitu menyadari masa transisi adaptasi keluarga, memantau terapi farmakologis, peka terhadap reaksi emosional penderita,garda terdepan dan menumbuhkan keterbukaan, terbuka terhadap lingkungan sosial, memberikan harapan yang realistis,mempelajari pengetahuan yang baru dan meningkatkan partisipasi anggota keluarga yang lain. Keluarga memegang peranan dalam perawatan demensia, sekitar 70% lansia dirawat dirumah dan menimbulkan permasalahan pada keluarga seperti isolasi sosial, keletihan dan masalah keuangan serta banyak menghabiskan waktu mereka (Stanley & Beare, 2006). Beban keluarga atau disebut juga family burden digunakan untuk mengidentifikasi kesulitan keluarga secara subjektif sehubungan dengan adanya anggota keluarga mengalami gangguan mental dalam jangka waktu yang lama (Magliano, 2008). Mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan dukungan keluarga yang efektif karena berpengaruh besar pada kesehatan jiwa lansia. Dukungan keluarga yang positif akan sangat membantu meningkatkan pemulihan kesehatan anggota keluarga sehingga lansia dapat sejahtera dalam keluarga.
Page 11
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
Tujuan umum penelitian ini adalah Mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna pengalaman keluarga tentang beban dan sumber dukungan dalam merawat lansia demensia di Wilayah Kerja Puskesmas Menteng. Adapun tujuan khususnya yaitu : a. Menguraikan pengetahuan keluarga tentang lansia demensia. b. Menguraikan dampak yang dirasakan selama merawat lansia. c. Menggambarkan cara keluarga mengatasi beban selama merawat lansia. d. Menggambarkan sumber dukungan keluarga melakukan perawatan lansia demensia di rumah. e. Menggambarkan pelayanan kesehatan untuk perawatan lansia dari persepektif keluarga. METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu suatu desain penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Kriteria sampel dalam penelitian kualitatif ini antara lain: anggota keluarga yang tinggal serumah dan berperan penting dalam perawatan lansia, usia 18 – 18 – 59 59 tahun, mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia menjadi partisipan dengan memberikan persetujuan atau informed consent . Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 5 partisipan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – – Desember Desember 2016 yaitu pada keluarga yang merawat lansia dengan demensia. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Menteng Kota Palangka Raya. Pertimbangan etik yang digunakan peneliti untuk menjelaskan kepada partisipan adalah menghormati harkat martabat manusia dan bebas paksaan (autonomy), berbuat baik (beneficence), dan keadilan ( justice) atau berbuat adil (Polit & Beck 2008). Strategi pengumpulan data yang digunakan pada
riset kualitatif ini adalah wawancara, observasi dan catatan lapangan. HASIL PENELITIAN 1. Pengetahuan Keluarga tentang Demensia Pengetahuan keluarga tentang demensia dari hasil penelitian meliputi pengertian, penyebab. a. Pengetahuan tentang Pengertian Demensia Semua partisipan menyampaikan bahwa demensia lebih dikenal dengan istilah pikun atau bahasa dayaknya “ Ngalilu” yaitu penyakit mudah lupa. “Kalau pikun itu lupa”(P1) Ngalilu te bisa lupa”(P2) “Anu... Ngalilu lupa”(P2)
“Oh, Banyak atau suka lupa” lupa ”(P3) “orang “orang yang sudah tua dan sering lupa” lupa”(P4) “Pikun itu lupa ingatannya ‘(P5)
Satu partisipan menyampaikan bahwa demensia merupakan penyakit dengan penurunan daya ingat. Pikun itu lupa ingatannya,...” (P5) b. Pengetahuan tentang Penyebab Demensia Empat partisipan menyampaikan bahwa penyebab demensia yaitu adanya penuaan. penuaan. “.. saat tua munculnya...”(P1) “....Karena tua, ..”(P3) “....dialami semua orang yang sudah menjadi tua....”(P5) “....orang yang sudah tua...(P4) Satu partisipan menyampaikan bahwa demensia disebabkan oleh masalah pada kepala. “...masalah di kepala... (P2) 2. Kondisi Lansia Demensia yang Dirawat Keluarga a. Kondisi Kognitif Lansia Demensia Yang Dirawat Keluarga Kondisi kognitif lansia yang mengalami demensia berdasarkan pernyataan 2 (dua)
Page 12
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
partisipan yaitu adanya gangguan orientasi waktu. “...hampir tiap hari bapak nanya hari. Apa hari ini nah?...” (P1). “...Iyalah kata bapak, kukira hari ini katanya...” (P5) Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi kognitif lansia demensia yaitu adanya gangguan orientasi tempat. “...Alamat rumah bisa bapak lupa...”(P1). “...Ia bilang”kenapa pas ke jalan ke depan rumah saya bingung alamat rumah” jadi ia balik lagi...”(P4). Tiga partisipan menyampaikan bahwa kondisi kognitif lansia demensia yaitu adanya gangguan orientasi orang. kalo cucu-cucunya kadang bisa lupa...”(P1). Ada tamu datang, tanya orang...ini siapa, masuk rumah sebentar...nanti keluar lagi tanya..ini siapa... lebih 3 kali ...”(P2). Jangankan orang, cucu ja sekarang ni bisa bisa lupa...”(P5) Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi kognitif lansia demensia yaitu lansia tampak bingung. Biasanya bingung naruh barang, ... (P1). Cari pinang, bingung kesana kemari ...........(P3) b. Kondisi Perilaku lansia yang dirawat keluarga Kondisi Perilaku lansia yang mengalami demensia berdasarkan pernyataan dua partisipan yaitu Perilaku sulit diatur. “...bisa kesal kalau tidak dituruti keinginannya atau tidak sesuai dengan mau nya....” (P1). “...sulit diatur...”(P4) Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu kebersihan diri kurang. “..sering baju yang seharusnya dicuci tapi dipakai lagi...”(P1).
Page 13
“....Begini juga perilaku bapak sering menggunakan pakaian yang itu-itu saja, belum dicuci tapi dijemur nanti dipakai lagi...(P2). Empat partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu sulit melakukan aktivitas sehari-hari. “...panci gosong saat ia memanaskan bubur kacang hijau..”(P1). “Bapak itu baru saja makan, tidak lama satu jam ia bilang lapar karena belum makan...”(P2). “....kukasih tahu “kenapa mandi, maka tadi sudah.” (P5). “...bisa balik lagi ke kamar mandi karena ia bilang belum mandi.....”(P3) Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu kehilangan barang miliknya. “...karena pikunnya kartu BPJS dan KTP nya hilang....”(P3). “...Tapi ini bisa besok begitu lagi, ada yang hilang lagi kata bapak...”(P5). Tiga partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu berperilaku seperti anak kecil. “...Padahal “...Padahal kenyataannya ia yang seperti anak kecil...”(P1). ‘...kelakukan orantua ini kayaknya anak kecil juga....”(P5) Kelakuan seperti anak kecil...”(P4) Tiga partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu pelupa. “...kesal karena belum belum dikasih uang untuk belanja di warung, padahal sudah dikasih....”(P1). “Sehari bisa satu sampai dua kali ada saja barang yang hilang...”(P2). “...sering lupanya....lebihlah dari lima kali sehari...”(P3). “...baru tanya sesuatu nanti lupa..tanya ua tiga kali...”(P4). lagi, d ua
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu mengulang pembicaraan. “...sekali nanya sesuatu tidak masalah tapi ini sampai sepuluh kali rasanya...”(P2) “Suka bertanya sesuatu ulang-ulang ulang-ulang terus...”(P3)
Ada tensinya naik, mulainya sekitar empat tahun....(P5. Satu partisipan menyampaikan bahwa faktor risiko demensia yaitu adanya trauma kepala. “...Pas rumah di kampung kan ada lotengnya, ia jatuh dari tangga dan kepala terbentur meja...hampir ja meninggal...(P4). “....Ada juga tiga Tahun yang lalu pas saya bonceng naik sepeda, ia duduk di belakang dan jatuh..ampun, hampir ja. Kemungkinan bisa itulah.... (P4).
Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi perilaku lansia demensia yaitu mondar-mandir. “Bapak itu,maunya jalan sana..jalan sini tapi tidak ada ja dikerjakan...(P5). “...bingung kesana kemari ....”(P3). c. Kondisi Sosial lansia yang dirawat keluarga Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi sosial lansia demensia yaitu konflik dengan orang lain. “....anak saya jujur ngaku, eh malah dimarahin bapak karena makan mangga punyanya....”(P1). punyanya....”(P1). “...menyalahkan orang lain...(P2). d. Kondisi Afektif lansia yang dirawat keluarga Dua partisipan menyampaikan bahwa kondisi afektif lansia demensia yaitu marah. “...marah karena cari buah mangga.....”(P1). “..malah ia marah ....”(P2). Satu partisipan menyampaikan bahwa kondisi afektif lansia demensia yaitu cerewet. Cerewet cari sesuatu, yang paling sering duitnya....”(P5). e. Faktor Risiko lansia demensia yang dirawat keluarga Tiga partisipan menyampaikan tentang riwayat kesehatan lansia demensia yaitu adanya penyakit fisik. Sakitnya tekanan darah...(P1) Penyakit Maag...”(P2)
3. Beban keluarga selama merawat lansia Beban keluarga selama merawat lansia terdiri dari beban psikologis, beban sosial, beban fisik dan beban ekonomi, yaitu sebagai berikut :
a. Beban psikologis Beban psikologis pada keluarga lansia demensia yaitu malu, kuatir dan marah Satu partisipan menyampaikan beban psikologis pada keluarga lansia demensia yaitu malu. “....bikin kita malu ja....”(P5). Satu partisipan menyampaikan beban psikologis pada keluarga lansia demensia yaitu kuatir. “Was..was, bisa pas pulang tinggal baju di badan. Baju sampai pakaian dalam tidak ada”. (P2). Dua partisipan menyampaikan beban psikologis pada keluarga lansia demensia yaitu marah. “.........sambil mengomel..” (P1). “Pernah juga saya marah dengan umai.....” (P3). b. Beban sosial Beban sosial yang yang dialami keluarga yang merawat lansia di rumah adalah keluarga
Page 14
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
membatasi hubungan sosial disampaikan oleh salah satu partisipan. “....jadi sekarang saya jarang lagi keluar rumah dan ikut acara keluarga atau acara orang....”(P2). c. Beban Fisik Beban fisik yang dialami keluarga yang merawat lansia di rumah adalah disampaikan empat partisipan. “Sakit kepala kita... tidak ketemu....” (P1). “Kadang bisa terganggu istirahat....” (P2). ‘...sampai sakit kepala.. “ (3). “Sampai tidak bisa tidur, pernah aku baru tidur jam 12 malam...” (P4). d. Beban ekonomi Beban ekonomi yang dialami keluarga yang merawat lansia di rumah disampaikan oleh tiga partisipan. “Lupa taruh duit .........kita kasih saja duitnya daripada cari sambil mengomel” (P1). “Untung ada tetangga yang mencium bau gosong dan terbakar...”(P2). “Uangnya tadi hilang...”(P3). “Bisa sampai tidak bekerja...”(P4). e. Beban spiritual Beban spiritual dialami keluarga yang merawat lansia di rumah disampaikan oleh satu partisipan “Jadi kepikiran bisa dosa kalau melawan orangtua, istilahnya durhaka. Apalagi kalau ia ngomel begini”Bisa juga kalian ini nanti..., kalau ngomong kasar dengan orangtua.” (P3). 4. Strategi keluarga dalam merawat lansia Strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu memberikan peringatan, bekerjasama, membantu lansia dalam aktivitas sehari-hari dan pengaturan jadwal. Dua partisipan menyatakan Strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu dengan memberikan peringatan. “....saya ingatkan uangnya dijaga supaya tidak hilang...”(P1).
“...kami ingatkan jangan jauh-jauhlah jauh-jauhlah nanti sesat...”(P2). Tiga partisipan menyatakan Strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu bekerjasama. “Saya telp dari kantor pas ingatkan sesuatu, melalui pengasuh anak saya...”(P1). “Untung ja ada tetangga,sudah seperti keluarga jadi kalau memang penting. Saya titip bapak ke mereka tuk dilihatlihat..”.(P2). “....jalan “....jalan menteng antar ke dokter untuk berobat...”(P4). Tiga partisipan menyatakan Strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu membantu lansia dalam aktivitas seharihari. “Aktivitas seharisehari-hari saya bantu...”(P2). “Saya bantu aktivitas ibu sehari-hari sehari -hari di umah...”.(P4). r umah...”.(P4). Tiga partisipan menyatakan strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu dengan penagturan jadwal. “...bersama adik saya yang kerja, jadi kami atur jadwal kerja bergantian dan kasih tahu pimpinan” (P3). “Bergantian ja kami...” (P4). “Gantian ja “Gantian ja dengan suami, .....”(P4). 5. Manajamen Koping Caregiver Manajemen Koping Caregiver lansia demensia terdiri dari koping positif dan koping negatif yaitu sebagai berikut : a. Koping Positif Koping positif responden yaitu homor, spiritual, pengelolaan emosi, pengalihan pikiran negatif dan berpikir positif. Dua responden memiliki koping positif yaitu humor. “..ha..ha (tertawa kecil) saat bapak itu tanya kacamata malah ada di atas kepala sendiri...”(P1). “Bisa tertawa sendiri...”(P3). Dua responden memiliki koping positif yaitu spiritual.
Page 15
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
“Pas baca Firman Tuhan, hormatilah ayah dan ibu supaya lanjut umurmu...sabar lagi...”(P1). “Sabar sabar ja, ...oh Tuhan. Doa ja supaya tenang....”(P3). Tiga responden memiliki koping positif yaitu pengelolaan emosi. “Tidak mau mau ikut-ikut, berusaha paham dan sabar...”(P3). “Benar - benar benar sabar..”(P5). “.....jaga perasaan saya sendiri supaya tidak ikut kesal juga...(P1). Satu responden memiliki koping positif yaitu pengalihan pengalihan pikiran negatif . “...tidak mau dipikir terus..., kalau ka lau ada anak datang...”(P2). Satu responden memiliki koping positif berpikir positif. “Gantian ja, sudah di asuh dulu kita nakal mungkin pas kecil,tapi sekarang gantian ngasuh orangtua....”(P1) b. Koping negatif Koping negatif keluarga dalam merawat lansia demensia yaitu diam dan marah. Dua partisipan memiliki koping negatif yaitu diam. “saya diam saja...”(P1) “....ya nyarenan ih (ditahan saja).....”(P3).
Dua partisipan menyampaikan men yampaikan dukungan internal keluarga adalah dukungan dari anak. “Saya punya tiga orang anak, yang bisa diharap yang paling tua. Ia sudah kelas lima Sekolah Dasar. Bisa menelpon kalau ada sesuatu....”(P4). “Syukurnya, bisa ja dua anak saya saya suruh bantu bue nya.....”(P5). Dua partisipan menyampaikan men yampaikan dukungan internal keluarga adalah dukungan dari saudara. “....saya “....saya sering itu menghubungi menghubungi kaka ....”(P4). “Ada, diurus sama ade saya dan dikasih kartu kesehatan...”(P5). b. Sumber dukungan eksternal keluarga Sumber dukungan internal keluarga terdiri dari dukungan dari tetangga disampaikan dua partisipan. “....Untung ada ad a tetangga yang mencium bau gosong dan terbakar....”(P2).” “Tetangga sini dekat, jadi ngobrol ja dengan mereka...”(P4).
Tiga partisipan memiliki koping negatif yaitu marah. “...bisa dibilang kesal lah..”(P1) “......Saya omelin.....(P2) “......Saya omelin.....(P2) “....bisa juga ikutan ngomel....”(P5) 6. Sumber dukungan keluarga dalam merawat lansia demensia Sumber dukungan keluarga dalam merawat lansia demensia terdiri dari dukungan internal keluarga dan dukungan eksternal keluarga. a. Sumber dukungan internal keluarga
Sumber dukungan internal keluarga terdiri dari dukungan dari pasangan, anak dan saudara. Dua partisipan menyampaikan dukungan internal keluarga adalah dukungan dari pasangan. “.....Yang tadinya kesal mau menjawab kasar tidak jadi lah, sama lah dengan suami sabar juga...” (P1). “Suami saya tidak banyak bicara, mungkin paham ja dengan kondisi orangtua......”(P4). orangtua......”(P4).
7. Perawatan Kesehatan Lansia terjangkau dan biaya efisien Perawatan Kesehatan Lansia terjangkau dan biaya efisien menunjukkan empat subtema yaitu perawatan ke rumah, pendidikan kesehatan, tindakan pencegahan dan pelayanan kesehatan dengan biaya terjangkau.
Page 16
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
Tiga partisipan mengharapkan perawatan lansia ke rumah. “Maunya ada perawat yang bantu kita merawat orangtua di rumah, kan pasti lebih tahu caranya dan pasti sabar tanpa konflik perawatan...”(P1). “Kalau sudah tua susah kesana-kemari,jadi kesana -kemari,jadi maunya orang kesehatan datang ke rumah...”(P2). “Bagus lagi ada kunjungan ke rumah, perawat dan dokternya...”(P3). Satu partisipan membutuhkan pendidikan kesehatan tentang perawatan demensia. “Kita diberi penjelasan, cara merawat orang pikun....”(P5). Dua partisipan menyatakan ingin adanya tindakan pencegahan. “...Bisa sesekali perawat datang periksa kesehatan dan bantu merawat....”(P4). “....mencegah “....mencegah pikunnya bertambah berat, kami mau ja....”(P1). Semua partisipan membutuhkan pelayanan kesehatan dengan biaya terjangkau. “..Tapi bayarnya jangan mahal, mau nya gratis...”(P2). “Kalau ada kegiatan kesehatan ikut ja, kalau gratis apalagi dekat rumah...”(P3). rumah.. .”(P3). “...Kalau ada obat, tapi jangan mahalmahal mahal....”(P5). “Kami berharap ada pelayanan kesehatan yang murah,bagus lagi gratis...”(P4). “Diberi pelayanan kesehatan gratis...”(P1). PEMBAHASAN 1) Pengetahuan tentang Demensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa istilah demensia masih asing di dengar oleh partisipan, semua s emua partisipan menyampaikan bahwa demensia lebih dikenal dengan istilah pikun atau bahasa dayaknya “ Ngalilu” yaitu penyakit mudah lupa. Hal ini karena kentalnya bahasa daerah yang digunakan, selain itu istilah tersebut kurang populer walaupun penyakitnya tersebut banyak dialami lansia usia lanjut. Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
informasi yang ia dapatkan, kondisi inilah yang dialami karena kurangnya informasinya yang didaptkan maka keluarga belum memiliki pengetahuan yang adekuat tentang penyakit demensia. Pemahaman penyakit demensia menurut persepsi keluarga dimana demesia merupakan penyakit dengan penurunan daya ingat, hal ini disampaikan oleh partisipan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 5 (Lima) partisipan utama, semua menyampaikan bahwa penyebab demensia yaitu adanya penuaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Stanley dan Beare (2006) yang menyatakan bahwa Korteks serebral pada lansia adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh neuron, adanya penurunan aliran darah serebral, penyusutan neuron potensial 10%, distribusi neuron kolinergik, norepinefrin dan dopamin yang tidak seimbang dikompensasi oleh hilangnya sel-sel yang pada akhirnya penurunan intelektual seperti daya ingat. Penuaan bukan satu-satunya penyebab tetapi akan diperberat dengan adanya masalah pada kepala, dimana salah satu partisipan menyampaikan bahwa demensia disebabkan oleh masalah pada kepala akibat benturan saat terjatuh. 2) Kondisi Lansia Demensia Hasil penelitiaan terkait kondisi lansia menunjukkan 4 (empat) aspek yaitu gangguan fungsi kognitif, gangguan perilaku, gangguan sosial dan gangguan afektif. Hal ini relevan dengan tanda dan gejala demensia menurut DSM-IV (2000) dalam Videbeck (2011) yaitu adanya kerusakan memori sehingga terjadi gangguan orientasi, penurunan daya ingat, perilaku yang tidak terkoordinasi, terganggunya aktivitas sehari-hari, kebingungan dan kurang harmonisnya hubungan sosial.
Gangguan orientasi waktu dialami semua lansia, adanya gangguan orientasi tempat pada dua lansia adanya gangguan orientasi
Page 17
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
orang pada tiga lansia. Menonjolnya masalah orientasi waktu, karena orientasi waktu melibatkan fungsi eksekutif dalam mengurutkan waktu secara kontinyu. Hal penelitian ini relevan dengan teori yang disampaikan Stuart (2013) bahwa adanya tanda dan gejala disorientasi dan bingung pada lansia yang mengalami demensia. Disorientasi ini timbul sebagai akibat menurunnya kemampuan memori pada lansia, sehingga keluarga dibutuhkan untuk melakukan pendampingan sebagai bagian pendukung lansia yang terdekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku lansia yang mengalami demensia yaitu perilaku sulit diatur, kebersihan diri kurang, sulit melakukan aktivitas seharihari, kehilangan barang miliknya, dan berperilaku seperti anak kecil. Kondisi tersebut terkait dengan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas motorik secara utuh dan kurangnya melakukan aktivitas terorganisir sesuai dengan pernyataan, hal ini senada dengan pernyataan Steele (2010) dan hasil penelitian Missesa, Helena dan Putri (2014) bahwa lansia demensia akan mengalami kehidupannya sehari-sehari seperti defisit perawatan diri karena kurang kemampuan perawatan mandiri, kesulitan bereaksi terhadap te rhadap situasi sit uasi yang dihadapi dan membuat rencana. Hubungan sosial lansia yang mengalami demensia kurang terjalin dengan baik dengan keluarga atau orang lain sehingga terpicunya konflik, hal diperburuk dengan kondisi afektif lansia yaitu marah dan cerewet. Hasil penelitian ini selaras dengan teori yang disampaikan oleh Stuart (2013) bahwa lansia memiliki perilaku sosial yang tidak pantas. Perilaku yang ditampilkan lansia sering tidak sinkron dengan situasi dan bertentangan dengan orang lain.
3) Beban Care Giver dalam Merawat Lansia Demensia Keluarga sebagai caregiver lansia demensia berperan penting dalam memberikan perawatan di rumah yang siap sedia memenuhi kebutuhan dan memfasilitasi lansia yang kesulitan dalam berbagai aktivitas hariannya. Hasil penelitian menemukan 4 subtema dalam penelitian terkait beban keluarga sebagai caregiver yang merawat lansia demensia yaitu beban psikologis, beban fisik, beban sosial, s osial, beban ekonomi, beban spiritual. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Widyastuti (2011) yang menemukan empat tema yang sama yaitu beban psikologis, beban fisik, beban sosial, beban ekonomi. Subtema yang berbeda adalah terkait beban spiritual. Hal ini karena keluarga memegang teguh kenyakinannya 4) Strategi Caregiver dalam merawat lansia Demensia Strategi keluarga dalam merawat lansia berdasarkan hasil penelitiaan yaitu memberikan peringatan, hal ini sejalan dengan teori Friedman, Bowden dan Jones (2003) yaitu sebagai wujud fungsi perlindungan dimana keluarga memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga, misalnya ada ungkapan dari keluarga yang kuatir bahaya fisik pada lansia maupun anggota kesehatan lainnya akibat kelalaian lansia saat memasak.
Strategi keluarga dalam merawat lansia berdasarkan hasil penelitiaan lainnya yaitu bekerjasama dan membantu lansia dalam aktivitas sehari-hari, dan pengaturan jadwal. Hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan keluarga sebagi caregiver untuk mendukung perawatan lansia di rumah sesuai dengan fungsi keluarga yang disampaikan oleh Kaakinen, Hanson dan Denham (2010) yaitu memelihara perawatan atau pemeliharaan kesehatan, yaitu berfungsi mempertahankan keadaan kesehatan lansia secara optimal
Page 18
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
5) Manajemen koping Caregiver Manajemen koping keluarga selaku caregiver mengatasi beban yang dirasakannya terdiri dari koping positif dan koping negatif, hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti, Sahar, Permatasari (2011) yaitu mekanisme koping caregiver terdiri dari koping adaptif dan maladaftif. Koping negatif diartikan sebagai bagian dari koping maladaptif, dan koping positif diartikan sebagai koping adaptif. Koping positif yang adaptif lebih banyak digunakan oleh keluarga dibanding yang negatif atau maladaptif, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam manajemen stress pada seluruh partisipan lebih baik.
Manajemen koping positif caregiver secara tidak langsung memberikan dukungan yang posotif untuk kesejahteraan lansia, hal ini mengacu pada peran keluarga yang disampaikan oleh Pitoyo (2012) dan dukungan keluarga yang dimaksud oleh Kuntjoro (2012) dimana adanya penerimaan keluarga melalui pengelolaan koping terhadap lansia yang menderita sakit demensia. 6) Sumber Dukungan Keluarga dalam merawat lansia demensia Sumber dukungan keluarga dalam merawat lansia demensia adalah dukungan internal keluarga berasal dari anggota keluarga ada 3 partisipan dan dukungan eksternal dari tetangga dua partisipan. Dukungan penting ini sangat diperlukan untuk meningkatkan peran keluarga sebagai caregiver. Hasil penelitian sesuai dengan hasil poenelitian yang dilaksnakan oleh Widyastuti (2011) menemukan 2 subtema terkait sumber dukungan pada keluarga dari internal keluarga dan dari eksternal keluarga. Dukungan ini dapat memberikan kemampuan melakukan perawata yang optimal pada lansia ya demensia di rumah. Hasil penelitian tentang tema Sumber dukungan Keluarga juga relevan dengan
pernyataan Purnawan dalam Rahayu (2008) yaitu dipengaruhi faktor internal dan eksternal, namun dalam hal ini lebih difokuskan tentang dukungan dalam internal keluarga. Dukungan internal keluarga berasal dari pasangan caregiver, anak dan saudara ini tentunya selaras dengan teori yang disampaikan oleh Pitoyo (2012) bahwa salah satu peran keluarga adalah meningkatkan partisipasi anggota keluarga yang lain, dimana dalam hal ini adalah keluarga yang tinggal serumah dengan lansia yang mengalmi demensia. 7) Pelayanan kesehatan terjangkau dan efisien Tiga partisipan mengharapkan perawatan lansia ke rumah, satu partisipan membutuhkan pendidikan kesehatan, dua partisipan menyatakan ingin adanya tindakan pencegahan dan semua partisipan membutuhkan pelayanan kesehatan dengan biaya terjangkau. Lansia memiliki keterbatasan sehingga membutuhkan poelayanan yang mudah dan murah mengingatkan keterbatasan ekonomi. Hasil penelitian ini relevan ini sesuai penelitian Widyastuti (2011) menemukan tema yaitu pelayanan kesehatan yang bebas biaya, hal ini tentunya diharapakan menjadi bahan masukan untuk pelayanan kesehatan selanjutnya.
Fokus perawatan kesehatan yang ditujukan kepada lansia demensia di rumah, tidak hanya secara individu, tetapi akan lebih baik ditujukan juga kepada keluarga selaku caregiver, mengingat teori yang telah disampaikan oleh Stanley dan Beare (2006) terkait beban keluarga lebih banyak pada saat merawat lansia di rumah. Dukungan layanan kesehatan yang terjangkau tentunya memudahkan keluarga dalam mobilisasi lansia yang memiliki keterbatasan fisik dan status sosial ekonomi yang masih rendah. Dengan demikian akan tercapaian pemerataan layanan kesehatan yang optimal pada lansia dan keluarganya.
Page 19
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut : 1) Pemahaman penyakit demensia menurut persepsi keluarga dimana demesia merupakan penyakit dengan penurunan daya ingat. 2) Kondisi lansia demesia menunjukkan 4 (empat) aspek yaitu gangguan fungsi kognitif, gangguan perilaku, gangguan sosial dan gangguan afektif. 3) Keluarga sebagai caregiver lansia demensia berperan penting dalam memberikan perawatan di rumah yang siap sedia memenuhi kebutuhan dan memfasilitasi lansia yang kesulitan dalam berbagai aktivitas hariannya. 4) Strategi keluarga dalam merawat lansia yaitu dengan memberikan peringatan, bekerjasama, membantu lansia dalam aktivitas sehari-hari dan pengaturan jadwal. 5) Koping keluarga dalam merawat lansia terdiri dari koping positif dan negatif 6) Sumber dukungan keluarga dalam merawat lansia demensia adalah dukungan internal keluarga dan eksternal keluarga. 7) Lansia memiliki keterbatasan sehingga membutuhkan poelayanan yang mudah dan murah mengingatkan keterbatasan ekonomi. SARAN Diharapkan adanya ketersediaan pelayanan kesehatan yang pada lansia demensia dan keluarga seperti pendidikan kesehatan tentang demensia, pemeriksaan dini masalah kognitif di Posyandu lansia dan Homevisit lansia demensia. Perawat memberikan dukungan pada keluarga untuk melakukan perawatan pada lansia yang demensia di rumah dengan pelayanan yang terjangkau baik dari dari segi tempat maupun biaya yang seefisien mungkin.
Page 20
JURNAL FORUM KESEHATAN
Pengalaman K eluarg a.... a.....,Missesa,PKP .,Missesa,PKP 2016 2016
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Keseha tan Dasar Da sar (RISKESDAS) 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Friedman, M., Bowden, V.R., Jones, E.G. 2003. Family Nursing Research, Teory and Practice. New Jersey : Prentice Hall. Kementerian Kesehatan R.I. 2013. Buletin Jendela Semester I 2013 : Topik Utama Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan R.I Pitoyo. 2012. Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga Gangguan Jiwa. Feb 20,2013. http://www.poltekkesmalang.ac.id/artikel-216 Polit dan Beck. 2008. Nursing research : Metods, appraisal appr aisal and a nd utilization utili zation (5th ed). Philadelphia : Lippincott Williamms & Wilkins. Missesa, Daulima, N.H., Putri, Y.S.E. 2013. Manajemen kasus spesialis keperawatan Jiwa pada lansia demensia dengan konfusi kronis menggunakan pendekatan adaptasi Roy di Ruang Saraswati Rumah Sakit
dr. Marzoeki Mahdi Kota Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Stanley, M. dan Beare, P.G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Alih bahasa : Juniarti N., Kurnianingsih, S. Editor :Meylin E., Ester M . Jakarta : EGC. Steele, C. 2010. Nurse to Nures Demensia Care : Expert Intervention. USA: The McGraw-Hill Companies. Stuart, G.W., 2013. Principles and practice of psychiatric nursing. (Tenth Edition). St Louis: Elsevier Mosby. Videbeck, S.L. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing. (5th edition). Philadhelpia: Lippincott. Williams & Wilkins. Word Health Organization (WHO). 2013. Demensia : A Public Health Priority. Http://site.ebrary.com/id/10718026?p pg=1 Word Health Organization (WHO). (2014). Mental Health Action Plan 20132014.. Http://site.ebrary.com/id/10265303?p pg=6
Page 21
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK ( Eleutherine Eleutherine bulbosa (Mill.) (Mill.) Urb.) SECARA ORAL TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL PADA TIKUS ( Rattus Norvegicus Norvegicus) MODEL ASMA ALERGI dr. Adelgrit Trisia, M.Imun
Departemen Histologi Universitas Palangka Raya e-mail Koresponden :
[email protected] [email protected] ABSTRAK Latar Belakang: Pada masyarakat dayak di Kalimantan Tengah tanaman bawang dayak ini digunakan untuk alergi, asma dan meningkatkan daya tahan tubuh. Tampaknya tanaman obat ini dapat digunakan sebagai bahan yang bersifat modulasi imun si stem. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk membuktikan pengaruh pemberian ektrak etanol umbi bawang dayak terhadap eosinofil tikus model asma setelah pemberian secara oral ekstrak etanol umbi bawang dayak selama 21 hari. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental murni, dengan menggunakan Tikus Jantan sebagai hewan coba dengan jumlah 30 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor. Kelompok K(n) diberi placebo (CMC Na+) selama 21 hari, kelompok K(-) mendapat OVA IP pada hari ke 1,7 dan 14 serta pemberian secara aerosol hari ke 21, kelompok perlakuan 1 (P1) mendapat OVA kombinasi ektrak etanol bawang dayak 250 mg/KgBB selama 21 hari, kelompok perlakuan 2 (P2) mendapat mendapat OVA kombinasi kombinasi ektrak etanol etanol bawang dayak dayak 500mg/KgBB 500mg/KgBB selama 21 hari, hari, kelompok perlakuan 3 (P3) mendapat mendapat OVA kombinasi ektrak etanol bawang dayak 1000 mg/KgBB selama 21 hari. Pelaksanaan pengambilan data (darah) segera setelah selesai penelitian. Sampel darah dianalisis dengan Advia 2120i untuk mengukur jumlah eosinofil. Hasil: Hasil memperli memperlihatkan hatkan nilai rerata jumlah eosinofil dalam sampel darah kelompok K(n) (3.18±1.77), kelompok K(-) (4.97±2.11), kelompok P1 (2.50±1.23), kelompok P2 (1.72±1.12) dan kelompok P3 (0.83±0.39). Uji statistik dengan uji Kruskal Wallis pada kelima kelompok berbeda bermakna dengan nilai p < 0,05. Ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi bawang dayak yang diberikan secara oral dapat mempengaruhi mempengaruhi penurunan jumlah eosinofil. Kata Kunci: ekstrak etanol bawang dayak, eosinofil, asma alergi
Page 22
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di seluruh dunia (WHO, 2011). Konsep terbaru tentang patogenesis asma berdasarkan konsensus intenational adalah suatu proses inflamasi kronis saluran nafas, karakteristik dari inflamasi saluran nafas ini ditandai dengan peningkatan jumlah j umlah dan aktivitas dari limfosit T, eosinofil, sel mast, makrophage di dalam mukosa dan lumen saluran nafas, proses inflamasi ini tetap terjadi pada asma dengan derajat yang sangat ringan sekalipun.1,2 Proses inflamasi yang terjadi pada penderita asma dipercaya sebagai hasil dari respons imun yang berlebihan terhadap alergen pada individu yang rentan secara genetik sejumlah sel inflamasi, seperti sel T, sel B, eosinophils, macrophages, dan sel mast, dilibatkan dalam respon imun yang komplek terhadap antigen di saluran nafas. Khususnya, aktivasi dari sel CD4+ Th2 terlihat berperan utama dalam mengawali dan memelihara terjadinya inflamasi alergi.3,4,5 Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit asma. Tujuan pengobatan asma adalah untuk menghilangkan menghilangkan gejala-gejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi dan selanjutnya mempertahankan agar serangan asma tidak terulang lagi. 6 Penyakit asma ini dapat timbul akibat gangguan saraf otonom dan sistem imun. Gangguan saraf otonom berupa hipereaktivitas saraf parasimpatis dan blokade terhadap reseptor adrenergik beta (sistem saraf simpatis). Adapun gangguan sistem imun ditandai oleh adanya reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu tubuh mengadakan reaksi imun yang berlebihan terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Hasil dari semua gangguan ini dapat berupa bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan peradangan pada bronkus beserta cabang - cabangnya. Pada peristiwa radang terjadi infiltrasi atau perekrutan sel-sel radang antara lain berupa eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang dominan jumlahnya pada peristiwa radang yang berhubungan dengan reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas tipe I).7 Angka kejadian penyakit alergi makin meningkat selama tiga puluh tahun terakhir dan tidak jarang mengganggu aktivitas seharihari bahkan mengganggu tumbuh kembang anak. Faktor herediter merupakan penyebab terpenting terjadinya penyakit alergi namun
paparan lingkungan, lingkungan, infeksi, dan kondisi psikis juga sering kali menjadi faktor pencetus. Tata laksana utama penyakit alergi adalah tindakan pencegahan terhadap alergen penyebab namun tidak jarang alergen penyebab sulit diidentifikasi hanya berdasarkan pada anamnesis. Disamping itu banyak pula kasus alergi dengan gejala menyerupai penyakit lain, maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis dan 8 menentukan alergen penyebab. Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, obat, keganasan, keganasan, dan defisiensi defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid kortikosteroid secara secara sistemik. sistemik.8 Eosinofil memiliki diameter kira-kira 8 μm dengan inti sel biasanya berupa bilobus, kadang dapat ditemui tiga atau lebih lobus. Eosinofil ditandai oleh granul kristaloid besar yang dikenal sebagai granul spesifik atau sekunder, berwarna merah terang setelah pewarnaan dengan zat pewarna asam seperti eosin pada mikroskop cahaya. Pembentukan eosinofil terjadi di sum-sum tulang yang merupakan tempat terjadinya hemato-poiesis. Pematangan Pematangan granulosit ditandai dengan sintesis protein oleh retikulum endoplasma endoplasma kasar dan kompleks Golgi dalam dua tahap. Tahap pertama, protein yang dihasilkan akan akan dikemas dalam granul azurofilik. Pada tahap kedua, protein yang dihasilkan di hasilkan dikemas dalam granul spesifik yang digunakan untuk berbagai aktivitas.Diferensiasi eosinofil terjadi akibat T-cell derived pengaruh dari eosinophilopoietic cytokines dan growth factor yaitu interleukin-5 (IL-5), interleukin-3 (IL-3), dan Granulocyte/Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF). IL-3 dan GMCSF memiliki peran dalam hematopoiesis turunan sel darah yang lain, sedangkan IL-5
Page 23
JURNAL FORUM KESEHATAN
bersifat lebih spesifik terhadap perkembangan perkembangan 9 dari eosinofil. Eosinofil memiliki fungsi yang dijalankan dalam peran yang berbeda, yaitu dalam peran efektor dan peran kolaboratif. Eosinofil memiliki kemampuan melakukan fagositosis dan eliminasi bakteri dan mikroorganisme lainnya. Eosinofil menghasilkan dua mediator lipid yang terlibat dalam penyakit alergi (termasuk asma) yaitu leukotrien C4 dan Platelet-Activating Factor (PAF). Mediator tersebut menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas, meningkatkan produksi mukus, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan membantu membantu infiltrasi eosinofil dan neutrofil. Eosinofil diyakini memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan limfosit dan sel imun serta mesenkimal lain yang berperan dalam kesehatan dan penyakit, seperti kemampuan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Hipersensitivitas tipe 1 menjadi dasar dalam patogenesis asma ekstrinsik. Sensitisasi sel T naïve mengawali patogenesis asma ekstrinsik. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC) yaitu sel dendritik dan makrofag, kemudian dipresentasikan kepada sel T naïve (Th0). Selanjutnya sel T naïve akan berkembang berkembang menjadi Th 1 atau Th2 tergantung dari sifat antigen, karakteristik APC, dan konsentrasi sitokin lokal. Sumber sitokin yang mempengaruhi diferensiasi sel T naïve adalah APC (khususnya sel dendritik), sel epitel dan otot saluran napas, sel T, eosinofil, sel mast , makrofag, fibroblast .11 Stimulasi antigen yang berasal dari alergen dan antigen ekstraselular menyebabkan terbentuknya IL-4 dengan konsentrasi tinggi sehingga sel T naïve berdiferensiasi berdiferensiasi menjadi sel Th2. Interleukin 4 berperan mengahambat terbentuknya sel Th1. Sel Th2 akan menyekresikan sitokin seperti Interleukin 4, 5, dan 13 (IL-4, IL-5, IL-13). Interleukin 4 dan 13 menyebabkan sel B berdiferensiasi berdiferensiasi menjadi sel Plasma yang memroduksi IgE. Interleukin 5 menyebabkan terjadinya eosinofilopoiesis dan aktivasi eosinofil. Antibodi IgE akan berikatan dengan dengan reseptor Fc pada sel sel mast dan basofil. Apabil terjadi pemaparan ulang dengan alergen, maka alergen tersebut akan berikatan dengan 2 molekul IgE pada permukaan permukaan sel membentuk membentuk jembatan yang disebut dengan crosslinking. Segera setelah sinyal awal akibat crosslinking, terjadi
serangkaian serangkaian reaksi biokimia intraselular secara berurutan menyerupai menyerupai kaskade, kaskade, dimulai dengan dengan aktivasi enzim metiltransferase dan serine esterase, diikuti perombakan fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3), pembentukan diasilgliserol dan peningkatan ion Ca⁺⁺ Ca⁺⁺ intrasitoplasmik. Reaksi kimia ini menyebabkan terbentuknya zat yang memudahkan fusi membran granula sehingga terjadi degranulasi.11
Gambar 1. Setelah paparan alergen pada subjek yang disensitisasi. Pada salah satu jalur, paparan alergen mengakibatkan cross-linking dari reseptor IgE IgE sel mast dan basofil dan segera melepaskan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, dan leukotrienes). Sel mast kemudian hasilkan sitokin proinflamatori (misalnya, interleukin-1 dan tumor nekrosis faktor alfa) induksi sel epitel pernapasan untuk memproduksi eosinophil-directed sitokin (misalnya, granulocyte- makrofag colonystimulating colonystimulating faktor (GM-CSF) dan chemokines. Pada jalur lain, alergen awalnya dikenali oleh antigen presenting cel (APC) seperti sel dendritik dan kemudian disampaikan kepada tipe 2 limposit T helper (sel Th2) Berbeda dengan sel mast, yang tidak perlu muncul untuk diperlukan untuk akumulasi eosinofil, sel Th2 diperlukan untuk akumulasi ini. Sel ini regulasi reaksi alergi dengan menghasilkan hematopoetin eosinofil (IL-5) sebaik IL-4, yang menginduksi IgE dan vascular-cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) (Guidelines for the diagnosis and treatment of eosinophilia.Final version 2009).
Serangan asma ekstrinsik memperlihatkan dua fase: fase awal, dimulai 30 hingga 60 menit setelah inhalasi antigen yang kemudian mereda, diikuti 4-8 jam kemudian oleh fase lanjut. Pengaktifan awal sel mast terjadi di permukaan mukosa, mengakibatkan pelepasan mediator yang membuka taut-erat (tight junction) antar sel epitel sehingga lebih banyak antigen dapat masuk dan berikatan dengan sel mast subepitel. Sel mast juga melepaskan mediator lain seperti Leukotrien C4, D4, dan E4, Prostaglandin D2, E2, dan F2α, Histamin, Platelet-activating factor , Triptase. Reaksi awal ini diikuti oleh fase lanjut yang didominasi oleh leukosit seperti eosinofil, basofil, dan neutrofil. Eosinofil sangat penting
Page 24
JURNAL FORUM KESEHATAN
dalam fase lanjut. Rekrutmen eosinofil ditunjang oleh kemotaksin yang dihasilkan sel mast. Sel epitel bronkus aktif, makrofag, dan otot polos jalan napas turut menghasilkan eotaksin yang dianggap sebagai kemotaksin paling poten. Selanjutnya eosinofil juga akan melepaskan berbagai mediator seperti MBP, ECP, peroksidase eosinofil, leukotrien C4, serta platelet-activating factor yang mempertahankan respon inflamasi lebih lanjut.9 Beberapa penelitian tentang asma menyebutkan kandungan senyawa yang berpengaruh pada proses ini adalah Flavonoid dapat menghambat aktivasi IL- 5 sehingga jumlah eosinofil dan pada tubuh akan enzim proteolitik berkurang sehingga hipertropi otot polos bronkiolus akan berkurang dan menyebabkan perbaikan gambaran histopatologi paru. Flavonoid juga dapat menghambat proliferasi sel T sehingga tidak menginduksi sel B untuk menghasilkan IgE, maka tidak terjadi degranulasi sel mast dan produksi enzim protease. Selain itu, flavonoid dapat memblokir transkripsi NF-Kb yang diinduksi oleh bakteri Phorphyromonas gingivali, menghambat IL-12, dan ekspresi TNF-alfa melalui sel epitel dan sel dendritik sehingga meminimalisir sel-sel sitokin dan kemokin yang mencapai permukaan lumen melalui epitel saluran penafasan sehingga mencegah kerusakan sel epitel dan terjadinya respon inflamasi.10 Glikosida saponin dilaporkan dapar menstabilkan sel mast. Flavonoid memiliki aktivitas merelaksasi otot polos dan sebagai bronkodilator. Senyawa apigenin dan luteolin diketahui dapat menghambat pelepasan histamin basofil dan pelepasan neutrof il il β glukoronidase dan memiliki aktivitas sebagai antialergi. 11 Flavonoid memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Saponin diketahui memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi dan menjaga stabilitas sel. Saponin memiliki aktivitas yaitu menghambat pembentuk metabolit siklooksigenasi siklooksigenasi yaitu prostaglandin dan tromboksan serta menghambat metabolisme dari asam arakidonat. Selain itu saponin juga memiliki mekanisme sebagai antiinflmasi dengan cara menghambat histamin, bradikinin dan serotonin. Tanin memiliki aktivitas menghambat enzime siklooksigenase, menurunkan permeabilitas vascular, dan
sebagai antioksidan. Sedangkan steroids memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat pelepasan sitokom IL-1,2 dan 6, pergerakan leukosit dan penginduksian lipocortin.11 Penapisan fitokimia memperlihatkan bahwa di dalam ekstrak air dan ekstrak etanol umbi bawang dayak ditemukan adanya senyawa golongan alkaloid, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, dan steroid. Jenis senyawa fitokimia yang menonjol pada ekstrak air adalah alkaloid, fenolik dan triterpenoid, sedangkan pada ekstrak etanol adalah alkaloid, tanin, fenolik, flavonoid dan triterpenoid. Kedua jenis ekstrak menunjukkan aktivitas antioksidan, yaitu kemampuan dalam membersihkan (scavenging) radikal bebas DPPH dengan nilai IC50 526 ppm untuk ekstrak air dan 112 ppm untuk ekstrak etanol, serta kemampuan menghambat aktivitas enzim alfa-glukosidase dengan nilai IC50 505 ppm untuk ekstrak air dan 241 ppm untuk ekstrak etanol.12 METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian True eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test Only Control Group Design (pengambilan data dilakukan sesudah diberikan perlakuan) dan dibandingkan dengan kelompok kontrol. penelitian menggunakan menggunakan Tikus Jantan sebagai hewan coba dengan jumlah 30 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor. Kelompok 1 (K(n)) diberi placebo (CMC Na +) selama 21 hari, kelompok 2 K(-)) mendapat OVA IP pada hari ke 1,7 dan 14 serta pemberian secara aerosol hari ke 21, kelompok 3 (P1) mendapat OVA kombinasi ektrak etanol bawang dayak 250 mg/KgBB selama 21 hari, kelompok 4 (P2) mendapat OVA kombinasi ektrak etanol bawang dayak 500mg/KgBB selama 21 hari, kelompok 5 (P3) mendapat OVA kombinasi ektrak etanol bawang dayak dayak 1000 mg/KgBB selama 21 hari. hari. Pelaksanaan pengambilan data (darah) segera setelah selesai penelitian. Sampel darah yang diambil dari vena pada pleksus retroorbital tikus dianalisis dengan alat Advia 2120i untuk melihat jumlah eosinofil. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium farmasi Banjarbaru dari bulan September – September – November November 2015.
Page 25
JURNAL FORUM KESEHATAN
HASIL
Rerata eosinofil hewan coba dengan jumlah hewan coba 30 ekor (N=30) pada kelompok K(n), K(-), P1, P2, dan P3 dapat dilihat dalam grafik berikut.
Grafik Rerata Eosinofil hewan coba (N=30)
Pada grafik rerata eosinofil terlihat gambaran penurunan jumlah eosinofil pada kelompok perlakuan yang diberikan dosis ekstrak 250 mg/KgBB, 500mg/KgBB dan 1000 mg/KgBB. Kontrol negatif lebih tinggi dari kontrol normal. . Analisis eosinofil pada hewan coba kelompok K(n), K(-), P1, P2, dan P3 disajikan dalam tabel di bawah ini. Kelompok Negatif Normal 250 mg 500 mg 1000 mg
Mean 4.97 3.18 2.50 1.72 0.83
SD 2.11 1.77 1.23 1.12 0.39
Sig
0,001
Uji statistik dengan uji Kruskal Wallis pada kelima kelompok berbeda bermakna dengan nilai p < 0,05. Ini dapat disimpulan bahwa ekstrak etanol etanol umbi bawang dayak dayak yang diberikan secara oral dapat mempengaruhi penurunan jumlah jumlah eosinofil.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukan nilai rerata jumlah eosinofil dalam sampel darah kelompok K(n) (3.18±1.77), K(-) (4.97± 2.11), kelompok P1 (2.50±1.23), kelompok P2 (1.72±1.12) dan kelompok P3 (0.83±0.39). Uji statistik dengan uji Kruskal Wallis pada kelima kelompok berbeda bermakna dengan nilai p <
0,05. Ini dapat disimpulan bahwa ekstrak etanol umbi bawang dayak yang diberikan secara oral dapat mempengaruhi penurunan jumlah eosinofil. Limfosit, netrofil, eosinofil, basofil dan monosit merupakan unit yang aktif pada sistem imunitas, sehingga diberi nama sel imunokompeten. Sel-sel imunokompeten tersebut dapat digunakan sebagai indikator kualitas ketahanan atau kekebalan tubuh. Indikator kekebalan tubuh yang innate akan diwakili oleh basofil, eosinofil, netrofil, dan monosit, sedangkan indikator kekebalan tubuh yang adaptive diwakili oleh limfosit.13 Beberapa penelitian tentang asma menyebutkan kandungan senyawa yang berpengaruh pada proses ini adalah Flavonoid dapat menghambat aktivasi IL- 5 sehingga jumlah eosinofil akan berkurang sehingga hipertropi otot polos bronkiolus akan berkurang dan menyebabkan menyebabkan perbaikan gambaran histopatologi paru. Flavonoid juga dapat menghambat proliferasi sel T sehingga tidak menginduksi sel B untuk menghasilkan IgE, maka tidak terjadi degranulasi sel mast dan produksi enzim protease. Selain itu, flavonoid dapat memblokir transkripsi NF-Kb yang diinduksi oleh bakteri Phorphyromonas gingivali, menghambat IL-12, dan ekspresi TNF-alfa melalui sel epitel dan sel dendritik sehingga meminimalisir sel-sel sitokin dan kemokin yang mencapai permukaan lumen melalui epitel saluran penafasan sehingga mencegah kerusakan sel epitel dan terjadinya respon inflamasi.10 Flavonoid memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Ekstrak umbi bawang dayak ekstrak menunjukkan menunjukkan aktivitas antioksidan, yaitu kemampuan dalam membersihkan (scavenging) radikal bebas DPPH dengan nilai IC50 526 ppm untuk ekstrak air dan 112 ppm untuk ekstrak etanol, serta kemampuan menghambat aktivitas enzim alfa-glukosidase dengan nilai IC50 505 ppm untuk ekstrak air dan 241 ppm untuk ekstrak etanol.12 Berdasarkan Analisis Kualitatif (Skrining Fitokimia) metabolit Sekunder yang dikandung pada Ekstrak Etanol Bawang Dayak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Flavonoid, Fenol, Tanin, dan Terpenoid. Terdapat juga dalam jumlah sedikit yaitu kandungan senyawa Alkaloid, Diterpen dan Steroid.
Page 26
JURNAL FORUM KESEHATAN
Terjadi penurunan jumlah eosinofil yang bermakna pada penelitian ini dihubungkan dengan senyawa kimia yang terkandung didalam tanaman bawang dayak sehingga tanaman dari kalimantan ini dapat berpotensi memodulasi memodulasi sistem sistem imun.
8. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP. Berbagai Teknik Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri.2009;11(3):174-8. Pediatri.2009;11(3):174-8. Jakarta. 9. Manurung DNM, Nasrul E, Medison I. Gambaran Jumlah Eosinofil Darah Tepi Penderita Asma Bronkial di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Padang. 2013. 10. Aji YL, Aulanni’am, Wuragil DK. Therapeutic Effect of Mimosa pudica, Linn. Extract toward Superoxide Dismutase (SOD) Enzyme Activity and Lung Histopathology on Asthma Rats (Rattus norvegicus. Universitas Brawijaya. Indonesia. 2010. 11. Rizki MI, Chabib L, Nabil A, Yusuf B. Tanaman dengan Aktivitas AntiAsma. Jurnal Pharmascience.2015;Vol 2, No. 1.hal: 1 – 1 – 9 9 12. Febrinda A.E, Yuliana N.D, Ridwan E, Wresdiyati T, Astawan M. Hyperglycemic control and diabetes complication preventive activities of Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia L. Merr.) bulbs extracts in alloxandiabetic rat, International Food Research Journal. 2014; 21(4): 14051411 13. Roitt, Ivan M, Imunologi. Edisi delapan. Jakarta: Widya Medika. 2002.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan jumlah eosinofil pada pemberian ekstrak etanol umbi bawang dayak. Hasil memperlihatkan nilai rerata jumlah eosinofil dalam sampel darah kelompok K(n) (3.18±1.77), K(-) (4.97± 2.11), kelompok P1 (2.50±1.23), kelompok P2 (1.72±1.12) dan kelompok P3 (0.83±0.39). DAFTAR RUJUKAN
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for management and prevention. 2005. 2. Manurung P, Yunus F, Wiyono HW, Jusuf A, dan Murti B. Hubungan antara jumlah eosinofil sputum dengan hiperaktiviti bronchus pada asma alergi persisten sedang di RS Persahabatan. J Respir Indo. 2006; 26 (1): 45-58. 3. Blease K, Lukacs NW, Hogaboam CM, dan Kunkel SL. Chemokines and their role in airwayhyper-reactivity. Respir Res. 2000; 1(1): 54 – 61. 61. 4. Temann UA, Ray P, dan Flavell RA. Pulmonary overexpression of IL-9 induces Th2 cytokine expression, leading to immunepathology. J Clin Invest. 2002;109 (1): 29 – 39 39 5. Laouini D, Alenius H, Bryce P, Oettgen H, Tsitsikov E, dan Geha RS. IL-10 is critical for Th2 responses in a murine model of allergic dermatitis. J Clin Invest. 2003;112 (7): 1058 – 1066 1066 6. Balgis. The Effect of Needling at Feishu (BL13) and Zusanli (ST36) Acupoints on CD4+ Lymphocyte Counts in Asthmatic Rat Model. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2011. Vol. 2 no.1. 7. Muthmainah. Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus Tikus Putih Model Asma. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2011.
Page 27
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP PASIEN RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD DR AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH NurizaChoirul Fhadilah*) ; Wien Soelistyo Adi ; Shobirun Shobirun Jurusan Keperawatan ; Poltekkes Kemenkes Semarang Jl. Tirto Agung ; Pedalangan ; Banyumanik ; Semarang
Abstract [THE INFLUENCE OF PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION THERAPY TOWARDS THE PATIENT WITH THE RISK OF VIOLENCE BEHAVIOUR AT DR AMINO GONDOHUTOMO MENTAL HEALTH HOSPITAL CENTRAL JAVA] The risk of violence behavior is one of the human behavior which tends to injure someone for both physical and psychological sides with its symptoms expressing through anger. Angry is the basic emotion of human. Anger is usually coming up followed by the increasing muscle strain. Reducing anger can be overcome by using relaxation techniques, as its alternative way is progressive muscle relaxation. The aim of this research is to describe the influence of progressive muscle relaxation behavior therapy towards the patients with the risk of violence behaviour in RSJDDr Amino Gondohutomo Semarang Central Java. A quasi exsperiment with pre-test and post-test group, performed 33 respondents with the purposive sampling technique restricting by the inclusion criteria. The data were analyzed using non parametric Wilcoxon test, p value 0.000 (<0.05). There is an effect of Progressive muscle relaxation relaxation towards anger in Patient with risk of violance Behavior in RSJD Dr. Amino Gondohutomo Central Java. Keywords : Violance Behavior, progressive muscle relaxation, decrease emotions Abstrak
Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang memiliki resiko untuk melukai seseorang baik fisik maupun psikologis, dengan gejala perilaku kekerasan yang salah satunya diungkapkan melalui kemarahan. Marah merupakan emosi dasar yang terdapat pada setiap individu. Rasa marah biasanya terasa saat keteganggan otot mulai meningkat. Untuk mengurangi perasaan marah dapat diatasi dengan menggunakan tekhnik relaksasi, salah satunya adalah relaksasi otot progresif. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap pasien resiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi exsperiment dengan rancangan one group pre test and post test design, design, dilakukan pada 33 responden dengan tekhnik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Data penelitian dianalisa menggunakan uji parametic wilcoxon, dengan hasil penelitian didapatkan nilai p value 0,000 (<0.05) dapat disimpulkan ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan emosi marah pada pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. emosi Kata kunci : perilaku kekerasan, relaksasi otot progresif, penurunan emosi
1. Pendahuluan Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa merupakan rentang adaptasi-maladaptasi seseorang, dimana ketika individu mengalami sakit baik fisik maupun jiwa individu tersebut dapat beradaptasi terhadap keadaan sakitnya. (Stuart, 2006)
*) Penulis Korespondensi E-mail: rizafhadilah
[email protected]
World Health Organization tahun 2014, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. (Depkes, 2016) Sensus penduduk di Amerika Serikat pada tahun 2014 dengan hasil sensus memperkirakan 9,8 juta orang dewasa berusia 18 atau lebih mengalami gangguan jiwa. (National of Mental Health, 2014)
Page 28
JURNAL FORUM KESEHATAN
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, prevalensi orang yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia rata-rata 1,7 per mil. Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh dengan masing-masing 2,7 per mil, prevalensi terendah berada di provinsi Kalimantan Barat yaitu 0,7 per mil, dan prevalensi di provinsi Jawa Tengah sebesar 2,3 per mil. (Riset Kesehatan Dasar, 2013) Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons terhadap stresor yang dihadapi oleh seseorang yang dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. (Keliat, 2010) Data rekam medik RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang tahun 2015 didapatkan populasi penderita resiko perilaku kekerasan pada bulan Januari sampai September 2.258 orang,dan pada bulan September menempati urutan pertama terbanyak dengan jumlah 285 orang. Keadaan emosi dari setiap orang merupakan bagian penting dari keadaan emosional yang diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri atau secara destruktif. Pada pasien perilaku kekerasan dapat terjadi gelisah atau amuk dimana seseorang marah mempunyai respon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol. (Yosep, 2009) Perawat memiliki peran penting dalam pengendalian kemarahan yang dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, mengendalikan marah dengan relaksasi, latihan fisik, sosial/ verbal, mengkonsumsi obat dengan teratur, dan secara spiritual. ( Keliat, 2010) Salah satu aktivitas terarah yang dapat diajarkan kepada klien dalam mengendalikan perilaku kekerasan adalah dengan menggunakan teknik relaksasi. Teknik relaksasi merupakan keterampilan, dimana untuk mendapatkan manfaatnya perlu mempraktekkannya secara teratur. (Widyastuti, 2003) Progressive muscle relaxation merupakan terapi relaksasi dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada suatu bagian tubuh dalam satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik pada kelompok otot yang dilakukan secara berturut-turut. (Synder, 2002) Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti akan melakukan penelitian teknik relaksasi otot progresif dengan acuan gejala kemarahan/
emosi pada pasien. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan terapi perilaku kepada pasien berupa latihan relaksasi otot progresif yang diarahkan untuk mengencangkan dan melemaskan otot-otot tubuh pasien, hal ini merupakan upaya mengurangi ketegangan kejiwaan pada pasien sehingga pasien menjadi lebih tenang dan kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan oleh pasien menurun. 2. Metode Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pre test and post test design. Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada periode 15 Januari - 20 Februari 2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan esklusi (33 responden). Variabel independen penelitian ini adalah terapi relaksasi otot progresif sedangkan variabel dependen adalah resiko perilaku kekerasasan. Pemberian perlakuan relaksasi otot progresif dilakukan di rumah sakit, dilakukan 2 kali sesi pada setiap pasien, yang tujuannya pasien paham dan bisa melakukan relaksasi otot progresif secara mandiri baik saat di rumah sakit ataupun setelah pasien pulang ke rumah, perlakuan dilakukan selama 2 hari 1 kali di hari pertama dan satu kali di hari kedua selama 2530 menit. Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner pengungkapan marah. Hasil dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian a. Karakteristik Responden Tabel 1. Karakteristik responden menurut jenis kelamin, umur, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan pada pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah (n=33) No 1
2
Page 29
Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur 25-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun 41-45 tahun
F (n)
%
20 13
60.6 39.4
13 9 9 2
39.4 27.3 27.3 6.1
JURNAL FORUM KESEHATAN
3
4
5
Status Perkawinan Menikah Belum menikah
15 18
45.5 54.5
Pendidikan SD SMP SMA/SMK
13 13 7
39.4 39.4 21.2
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Buruh/tani Dll (belum bekerja)
6 2 11 14
18.2 6.1 33.3 42.4
Tabel 3. Didapatkan hasil responden memiliki riwayat rutin kontrol sebanyak n=18 responden (54.5%), kemudian diikuti tidak rutin kontrol 10 responden (30.3%), dan pertama kali 5 responden (15.2%). d. Tingkat Kepatuhan Minum Obat Responden Tabel 4. Tingkat Kepatuhan Minum Obat n=33) No
Tabel 1. Didapatkan hasil responden pada penelitian ini sebanyak 33 responden yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki 20 responden (60.6%), dengan usia 25-30 tahun (39.4%), dan status perkawinan belum menikah sebanyak 18 responden (54.5%). Dari 33 responden pendidikan terbanyak yaitu SD dan SMP sebanyak masing-masing 13 responden (39.4%),dengan pekerjaan lainlain (belum bekerja) sebanyak 14 responden (42.4%).
1 2 3
Kategori
<1 tahun 1-3 tahun 3-5 tahun
Jumlah
Frekuensi
%
10
30.3
21
63.6
2
6.1
33
100
3
1 2 3
Rutin control Tidak rutin control Pertama kali Jumlah
16
48.5
12
36.4
5
15.2
33
100
Jumlah
Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat responden terbanyak adalah rutin minum obat sebanyak 16 responden (48.5%), kemudian diikuti tidak rutin minum obat sebanyak 12 responden (36.4%), dan pertama kali sebanyak 5 responden (15.2%). e. Riwayat Responden Dalam Perawatan di Rumah Sakit Tabel 5. Frekuensi riwayat responden dalam perawatan (n=33)
Frekuensi
Presentase
18
54.5
10
30.3
5
15.2
33
100
No
Rawat ke
Frekuensi
Presentase
1
1
5
15.2
2
2
9
27.3
3
3
4
12.1
4
4
7
21.2
5
5
3
9.1
6
6
5
15.2
Jumlah
33
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa berdasarkan riwayat dalam perawatan di Rumah Sakit sebagian besar adalah dirawat ke 2 sebanyak 9 responden (27.3%), kemudian dirawat ke 4 sebanyak 7 responden (21.2%), dirawat pertama 5 responden (15.2%), dirawat ke 6 sebanyak 5 responden (15.2%), dan dirawat ke 5 sebanyak 3 responden (9.1%)
c. Riwayat Pengobatan Responden Tabel 3. Frekuensi berdasarkan riwayat pengobatan responden (n=33) Kategori
%
Tidak patuh minum obat Pertama kali
2
Tabel 2 menunjukan bahwa responden paling lama di diagnosa gangguan jiwa pada rentang 1-3 tahun sebanyak 21 responden (63.6%), kemudian diikuti oleh rentang rentang <1 tahun sebanyak 10 responden (30.3%), dan rentang paling sedikit 3-5 tahun sebanyak 2 responden (6.1%).
No
Frekuensi
Patuh minum obat
1
b. Periode Gangguan Jiwa Responden Tabel 2. Lama diagnosa ganngguan jiwa (n=33) No
Kategori
Page 30
JURNAL FORUM KESEHATAN
f. Nilai Rata-Rata, Median, Minimum dan Pretest Posttest Maksimum Skor Pengungkapan Marah Tabel 6. Rata-rata, median, minimum, maksimum dan selisih skor pretest dan posttest kuesioner pengungkapan marah (n=33) Nilai
Pre
Post
Mean
51.18
45.64
Selisih
h. Analisa Pengaruh Penurunan Pengungkapan Marah Pada Responden Resiko Perilaku Kekerasan Sesudah Mendapatkan Terapi Relaksasi Otot Progresif Tabel 8. Hasil analisa Wilcoxon test skor pengungkapan marah setelah terapi Relaksasi Otot Progresif (n=33)
5.5455
Variabel
4.0000 Median
53.00
46.00 0.00
Minimum Maximum
40.00
32.00 17.00
61.00
g. Tabel Normalitas Skor Kuesioner Pengungkapan Marah Tabel 7. Hasil analisa normalitas data skor kuesioner pengungkapan marah prepost perlakuan (n=33) Kategori Statistic
Dari tabel Test Statistics di atas, nilai signifikansi pvalue sebesar 0.000<0.05, maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima yang artinya terdapat pengaruhterapi relaksasi otot progresif pada pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
56.00
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata total skor kuesioner pengungkapan marah pada 33 responden resiko perilaku kekerasan pada pre perlakuan adalah 51,18, sedangkan pada post perlakuan adalah 45,64. Median skor kuesioner pengungkapan marah pada 33 responden pasien resiko perilaku kekerasan pre perlakuan adalah 53 dan median post perlakuan adalah 46.Skor maksimum pengungkapan marah pada 33 responden pre perlakuan adalah 61, sedangkan skor maksimum pengungkapan marah post perlakuan adalah 56.
Skor pre perlakuan Skor post perlakuan
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Pasien Resiko Perilaku Kekerasan
Signifikan (2tailed) 0,000
Shapiro-Wilk df Sig.
0.914
33
0.012
0.964
33
0.329
N >0,05 Tidak Normal Normal
Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah seluruh responden adalah (n=33) dengan nilai signifikan p< 0,05 yang artinya data data tidak berdistribusi normal untuk data kuesioner pengungkapan marah pre perlakuan, dan nilai signifikan p> 0,05 yang artinya data berdistribusi normal untuk data skor kuesioner pengungkapan marah post perlakuan. Sehingga data dapat diuji menggunakan untuk Wilcoxon test mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah Terapi Relaksasi Otot Progresif di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Jawa Tengah.
4. Pembahasan a. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil analisa data didapatkan hasil bahwa data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah laki-laki. Menurut Stuart dan Laria (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin lakilaki lebih sering melakukan perilaku agresif. Klien laki-laki dua kali lipat banyak melakukan kekerasan daripada klien perempuan. (Keliat, 2010) Usia terbanyak pada penelitian ini yaitu pada rentang usia 25–30 tahun (39,4%). Dan distribusi status perkawinan menunjukkan sebagian besar responden belum menikah yaitu sebanyak 18 responden (54,5%). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan klien paling banyak melakukan kekerasan dilakukan oleh usia 30 tahun ke bawah. (Keliat, 2010) Salah satu ciri-ciri klien skizofrenia adalah kegagalan dalam melakukan interaksi sosial, salah satunya interaksi dengan lawan jenis kondisi ini menyebabkan sebagian besar klien skizofrenia tidak menikah. (Yosep, 2009) Distribusi responden menurut pekerjaan sebagian besar adalah tidak bekerja sebanyak 14 responden (42,4%). Hasil ini sejalan dengan penelitian Keliat (2003) bahwa perilaku kekerasan dilakukan sebagian besar oleh klien berpendidikan menengah dan rendah, serta tidak bekerja. Hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden berpendidikan SD dan SMP yaitu
Page 31
JURNAL FORUM KESEHATAN
sebanyak masing-masing 13 reponden (39,4%). Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin berkurang tingkat kemarahannya. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan dan mencerna informasi secara lebih mudah. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki respon adaptasi yang lebih baik karena respon yang diberikan lebih rasional dan juga memengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus. (Gregory, 2009) Berdasarkan lama diagnosa gangguan jiwa paling lama pada rentang 1-3 tahun sebanyak 21 responden (63.6%). Berdasarkan riwayat perawatan Rumah Sakit terbanyak adalah sebanyak 9 responden dirawat ke 2 (27.3%). Waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kali stresor tersebut dihadapi oleh individu. Jumlah stresor terkait dengan berapa kali stresor tersebut pernah dialami oleh individu pada kurun waktu tertentu. (Stuart, 2009) Semakin sering terpapar stresor maka akibat yang diterima oleh individu juga semakin buruk. Dinyatakan frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan perilaku kekerasan mengalami kekambuhan, dan riwayat perilaku kekerasan di masa lalu mempengaruhi dalam kejadian perilaku kekerasan. (Dyah, 2009) Hasil penelitian ini sesuai pendapat dari Pratiwi (2006) yang menyatakan usaha untuk mencegah penyakit adalah mengelola stresor yang datang, pengelolaan tersebut berhubungan dengan bagaimana individu memelihara kesehatannya. Kesimpulannya semakin banyak stresor yang diterima baik internal maupun eksternal dengan waktu yang bersamaan maka semakin tinggi risiko tercetusnya perilaku kekerasan pada diri seseorang.
marah menjadi rendah pada 33 responden (100%). Jika kita lihat lebih detil lagi akan terlihat untuk rata-rata selisih penurunan kemarahan setelah perlakuan terapi relaksasi otot progresif sebesar 5,54. Emosi marah merupakan salah satu jenis emosi yang dianggap sebagai emosi dasar, dan dapat dikatakan emosi yang sehat apabila diekspresikan secara bebas tetapi tidak merusak orang lain. (Yosep, 2009) Dan hal-hal yang dapat dilihat dari pasien perilaku kekerasan yaitu dapat dilihat dari respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. (Christoper, 2010) Secara fiologis perubahan sistem limbik merupakan salah satu pendorong dasar ( basic drive) dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti makan, agresi dan respon sexual, termasuk proses informasi dan memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak mempengaruhi emosi dan perilaku. Perubahan system limbic mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan perilaku agresif, amuk dan rasa takut. (Varcarolis, 2009) c.
b. Pengelolaan pasien resiko perilaku kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi otot progresif Berdasarkan penelitian diketahui tingkat pengungkapan marah pasien resiko perilaku kekerasan menunjukkan tingkat marah pada pre test pasien resiko perilaku kekerasan memiliki tingkat marah rendah sebanyak 28 responden (84,8%) dan tingkat sedang 5 responden (15,2%). Hal ini berbeda ketika sudah dilakukan post perlakuan tingkat
Page 32
Pengaruh pemberian terapi relaksasi otot progresif terhadap pasien resiko perilaku kekerasan Dari hasil penelitian terhadap 33 responden resiko perilaku kekerasan yang diberikan terapi relaksasi otot progresif telah dilakukan analisa data menggunakan program komputer yang telah dilakukan oleh peneliti menggunakan uji Parametic Wilcoxon. Hasil uji Wilcoxon tingkat pengungkapan marah pada dengan hasil pvalue 0,000 lebih kecil dari 0,05. Maka Ho ditolak dan Ha diterima dapat disimpulkan terdapat pengaruhterapi relaksasi otot progresif pada pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan diberikan terapi relaksasi otot progresifakan dapat mengurangi ketegangan otot, kecemasan, kelelahan, pengontrolan marah sehingga akan mempengaruhi status mental klien terutama pada pasien resiko perilaku kekerasan. Dengan dilakukan pemusatan perhatian pada otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi, untuk mendapatkan perasaan rileks, memberikan kenyamanan pada pasien sehingga mempengaruhi status mental pasien.
JURNAL FORUM KESEHATAN
Hasil ini sesuai dengan pendapat Chen (2009) yang meyatakan terapi relaksasi otot progresif memiliki efek menguntungkan dalam pengurangan kecemasan, depresi, peningkatan perasaan kontrol diri, danjuga meningkatkan kemampuan mengatasi stres dalam berbagai situasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purwaningtyas Lisa tentang Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJD Surakarta dengan hasil penelitian kecemasan mengalami penurunan yang diuji menggunakan uji mann whitney u-test dengan tingkat kecemasan didapatkan p-value 0,000 dan lebih kecil dari 0,05 maka disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan klien skizofrenia. (Purwaningtyas, 2010) Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Eka Putri mengenai Pengaruh Rational Emotional Behavior Therapy Terhadap Klien Perilaku Kekerasan Di Ruang Rawat Inap RSSM – Bogor. Hasil pengumpulan data diuji menggunakan Independent Sample t - Test didapatkan hasil peningkatan respon kognitif dan sosial, penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara bermakna dengan p-value< 0,05 yang dapat diartikan bahwa Rational Emotional Behavior Therapy berpengaruh terhadap klien perilaku kekerasan. (Dewi, 2010) Dari hasil dan berbagai penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang saya lakukan ini terbukti bahwa terapi relaksasi otot progresif mampu menurunkan gejala pada pasien resiko perilaku kekerasan. Walaupun secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian relaksasi otot progresif berpengaruh terhadap pasien resiko perilaku kekerasan, namun dalam penelitian ini terdapat 2 pasien (6,1%) yang dilihat dari skor kuesioner tidak mengalami penurunan. Kondisi ini dapat terjadi karena setelah dilakukan terapi relaksasi otot progresif peneliti tidak melakukan kontrol perilaku ataupun pengobatan pasien. Gangguan-gangguan yang terjadi selama masa tunggu antara pemberian terapi relaksasi otot progresif satu dengan lainnya bisa menjadi faktor penyebab tidak terjadinya penurunan gejala perilaku kekerasan, sehingga pemberian terapi relaksasi otot progresif pada masa
berikutnya tidak berperan secara signifikan terhadap penurunan gejala perilaku kekerasan. Selain itu pada saat pemberian terapi tidak semua pasien mengikuti tahapan demi tahapan dengan baik, ada beberapa pasien yang merasa lelah dan berhenti di tengah tahapan perlakuan, maka perlakuan diberhentikan sejenak dan istirahat kemudian dilanjutkan lagi ke tahapan selanjutnya. Rata-rata responden mengalami kelelahan pada gerakan 10 dimana gerakan tersebut membawa kepala ke muka, kemudian membenamkan dagu ke dada. Pada penelitian ini juga tidak menganalisis karakteristik responden dan perlakuan yang dilakukan sedetail mungkin karena variabel perlakuan dianggap sama, dan tujuan penelitian ini hanya sampai pada melihat pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap pasien resiko perilaku kekerasan dan hasilnya adalah terapi relaksasi otot progresif menurunkan gejala periaku kekerasan pada pasien resiko perilaku kekerasan.
5. Simpulan dan Saran a. Simpulan 1. Rata-rata penurunan tinggi fundus Hasil penelitian menunjukan bahwa karateristik responden berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki 20responden (60,6%) dengan usia 2530 tahun 13 responden (39,4%), status perkawinan belum menikah 18 responden (54,5%), pendidikan SD dan SMP sebanyak 13responden (39,4%), dan pekerjaan terbanyak yaitu belum bekerja sebanyak 14 responden (42,4%). 2. Hasil pengukuran pengungkapan marah rata-rata pada pre perlakuan adalah rendah sebanyak 28 responden (84,8%) dan tingkat sedang 5 responden (15,2%). 3. Hasil pengukuran post perlakuan pengungkapan marah menjadi rendah pada 33 responden (100%). Penurunan kemarahan belum dapat dijustifikasi apakah pengaruh terapi relaksasi otot progresif itu sendiri atau karena factor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemarahan responden. 4. Hasil analisis dengan menggunakan uji parametic wilcoxon SPSS 16.0 for windows, menunjukan p value sebesar
Page 33
JURNAL FORUM KESEHATAN
0,000 (p<0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada pengaruh antara sebelum dan sesudah terapi relaksasi otot progresif terhadap pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Selain itu untuk melihat seberapa berpengaruh terapi relaksasi otot progresif yang telah dilakukan dapat dilihat dari rata-rata penurunan pengungkapan marah setelah diberikan perlakuan yang menunjukan penurunan lebih baik dibanding sebelumnya. b. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi relaksasi otot progresif efektif dalam menurunkan kemarahan khususnya pada pasien resiko perilaku kekerasan, sehingga perlu dibuat kebijakan serta teknik pelaksanaannya agar semua perawat bisa melakukan pada pasien resiko perilaku kekerasan.
[Online]. Among U.S. Adults. http://www.nimh.nih.gov. Pratiwi, A. (2006). Model Pengembangan Strategi Tindakan Keperawatan Pada Klien Halusinasi Dengan Klasifikasi Akut, Maintanance, Health Promotion di RSJD Wilayah Karasidenan Surakarta . Purwaningtyas, L. (2010). Pengaruh Relaksasi Progresif terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta . Semiun, Y. (2010). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius. Stuart, G. W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Jakarta: Penerbit EGC. Stuart, G. W. (2009). Principles and Practice of Phsyciatric Nursing. 9th ed. Mosby: St Louis. Stuart, L. (2005). In Principles and Practice of Phsyiatric Nursing. New York: Elseiver Mosby Synder, M. L. (2002). Complementary and Alternative Therapies in Nursing. Edisi IV. Yosep, I. S. (2009). Buku ajar Keperawatan Jiwa Bandung: Refika Aditama
6. Daftar Pustaka
Chen, W. C, Dkk. (2009). Efficacy of progressive muscle relaxation training in reducing anxiety in patients with acute of Critical schizophrenia. Journal Nursing. Cristopher, E. (2010). Anger, Agression, and Irrational Belief in Adolescents Cognitive Therapy and Research : Springer Science LLC Depkes. (2016). Diakses 10 Oktober 2016 dari Prevalensi Gangguan Jiwa Menurut Who. [Online]. http://www.depkes.go.id Dyah, W. (2009). Pengaruh Assertive Training Terhadap Perliaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia. Gregory, F. (2009). Funding and the Future of Psychology of Science. Journal of Psychology and Technology. Keliat, B. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Keliat, B. A. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa Jakarta: EGC Kemenkes. (2013). Kesehatan Jiwa. Riset Kesehatan Dasar. Mental Health, N. I. (2014). Dipetik 12 Oktober 2016 dari Serious Mental Illness (SMI)
Page 34
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGARUH PEMBERIAN DIET DASH TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA HIPERTENSI DI PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA Fretika Utami Dewi 1 ,Sugiyanto ,Sugiyanto 2 , Yetti Wira C 3
ABSTRACT Background: Hypertension is a condition of an increase in blood pressure that gives symptoms continue on an organ causing more severe damage such as stroke and coronary heart disease. The DASH diet (Dietary Approaches to stop Hypertension) is a diet to stop high blood pressure. The principle is the DASH diet high food ingredients derived from fruit and vegetables, using low fat dairy products, and fish consumption in moderation, nuts and poultry is sourced Saturated Saturated Fatty Acid Acid (SAFA). (SAFA). Objective: To determine the effect of the DASH diet intervention to changes in blood pressure in hypertensive patients in health centers Pahandut Palangkaraya. Palangkaraya. Research Methodology: The study design is quasi-experimental. Samples were obtained 20 people were taken by purposive sampling. Intervention is given in the form of fruit and low-fat dairy number one exchanger for 14 days. DASH dietary intake of minerals (potassium, calcium, magnesium and sodium), obtained by using form food recall for 14 days, blood pressure is o btained by measuring the blood pressure using a digital blood pressure meter and the data were analyzed using ANOVA test. Results: The samples are mostly in the age range between 51-55 years old and female. Most nutritional status in Obese category I. After the intervention of all samples decreased blood pressure (p = 0.0005). There are significant differences between the measurements before the intervention after intervention for 14 days and repeated measurements after the intervention by day 28. Measurements for 14 days after the intervention differ significantly from the measurements before the intervention. Repeated measurements after the intervention at day 28 was significantly different to the measurement before intervention. Conclusion: There was a significant effect of dietary intervention DASH to changes in blood p ressure. Keywords: Hypertension, DASH Diet, Blood Pressure, Intake of Potassium, Calcium Intake, Intake of Magnesium, Sodium intake.
*: Lecturer Departement of Nutritional Health Polytechnic Palangkaraya ABSTRAK Latar Belakang : Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke dan penyakit jantung koroner.Diet koroner.Diet DASH (Dietary Approaches to stop Hypertension) merupakan suatu diet yang untuk menghentikan tekanan darah tinggi. Prinsip diet DASH adalah tinggi bahan makanan yang berasal dari buah dan sayuran, dengan menggunakan menggunakan produk susu rendah lemak, lemak, serta konsumsi ikan ikan secukupnya, kacang dan unggas yang bersumber Saturated Fatty Acid (SAFA). (SAFA). Tujuan : Mengetahui pengaruh intervensi diet DASH terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Metodologi Penelitian :Rancangan penelitian ini bersifat eksperimen semu.Sampel diperoleh 20 orang yang diambil secara purposive sampling . Intervensi diberikan berupa buah dan susu rendah lemak sejumlah satu penukar selama 14 hari. Asupan mineral diet DASH (kalium, kalsium, magnesium dan natrium), diperoleh dengan menggunakan form food recall selama 14 hari, tekanan darah diperoleh dengan mengukur tekanan darah menggunakan alat tensi meter digital dan data dianalisis menggunakan uji Anova. Hasil : Sampel terbanyak pada umur berkisar antara 51-55 tahun danberjenis kelamin perempuan. Status gizi terbanyak pada kategori Obes I. Setelah dilakukan intervensi semua sampel mengalami penurunan tekanan darah. Ada perbedaan secara signifikan antara pengukuran sebelum intervensi dengan setelah intervensi selama 14 hari dan pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28. Pengukuran setelah intervensi selama 14 hari berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum intervensi. Pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28 berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum intervensi. Kesimpulan :Ada pengaruh y ang signifikanintervensi diet DASH terhadapperubahantekanandarah. Kata Kunci: Hipertensi, Diet DASH, Tekanan Darah, Asupan Kalium, Asupan Kalsium, Asupan Magnesium, Asupan Natrium.
* :Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Page 35
JURNAL FORUM KESEHATAN
I. PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri/ bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit penyakit tersebut, hipertensi dapat pula menyebabkan gagal ginjal, penyakit pembuluh lain, diabetes mellitus dan lain-lain (Kearney, et. al, 2002 dalam Sugiharto, A., 2007). Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang melebihi 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan 90 mmHg untuk tekanan diastolik. Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta diantaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (WHO, 2005 dalam Rahajeng E & Tuminah, S., 2009). Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Kalimantan Tengah (26,7%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 persen (25,8% + 0,7 %). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada pend uduk uduk umur ≥18 tahun (Riskesdas, 2013). Hasil laporan konsultasi gizi di Puskesmas Pahandut Palangkaraya di tahun 2014 sampai bulan Oktober penderita
hipertensi yang menjalani rawat jalan berjumlah berjumlah 219 orang orang penderita dengan 97 (44%) laki-laki dan 122 (56%) perempuan. Berdasarkan umur penderita yang menjalani rawat jalan 20 – 44 tahun kasus baru 3 orang laki-laki dan 5 orang perempuan, kasus lama 10 orang laki-laki dan 28 orang perempuan, umur 45 – 54 54 tahun kasus baru 2 orang laki-laki dan 3 orang perempuan, kasus lama 25 orang laki-laki dan 40 orang perempuan, umur 55 – 55 – 59 59 tahun hanya terdapat kasus lama yang yang terdiri dari dari 20 orang laki-laki dan 17 orang perempuan, umur 60-69 tahun hanya kasus kasus lama lama 27 orang laki-laki laki-laki dan dan 20 orang perempuan perempuan dan umur >70 tahun tahun juga di temukan hanya kasus lama yaitu 10 orang lakilaki dan 9 orang perempuan. Faktor-faktor non-diet yang dapat memperberat hipertensi seperti kegemukan, kebiasaan merokok, kurang istirahat, stres yang berlebihan (distress) dan kebiasaan minumminuman beralkohol. Sementara kebiasaan baru yang dapat mengendalikan tekanan darah seperti berolahraga yang yang teratur, relaksasi relaksasi atau meditasi, meditasi, dan pendekatan spiritual sangat dianjurkan. Suplemen yang membantu menurunkan tekanan darah seperti kalsium, magnesium dan omega-3 diperbolehkan selama pemberiannya dilakukan dengan dosis dan indikasi yang tepat (Hartono A, 2012). Pendekatan diet dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) sangat direkomendasikan. Diet DASH dapat menurunkan dan mengontrol tekanan darah, diet DASH lebih menekankan pada buah dan sayur yang kaya akan serat serta rendah garam. Uji klinis di Amerika Serikat dan Eropa Utara menunjukkan bahwa mengurangi natrium klorida dapat menurunkan tekanan darah (Sacks FM , et al, 2001). Diet DASH (Dietary Approaches to stop Hypertension) merupakan suatu diet yang untuk menghentikan tekanan darah tinggi. Prinsip diet DASH adalah tinggi bahan makanan yang berasal dari buah dan sayuran, dengan menggunakan produk susu rendah lemak, serta konsumsi ikan secukupnya, kacang dan unggas yang bersumber Saturated Fatty Acid (SAFA). Diet ini direkomendasikan sebagai bagian dari pengobatan hipertensi hipertensi (Sacks (Sacks FM , et al, 2001). Penelitian tentang diet DASH bertujuan untuk mengetahui pola diet terhadap tekanan darah membuktikan bahwa kombinasi diet DASH dan diet rendah garam mempunyai pengaruh yang sangat baik dalam penurunan
Page 36
JURNAL FORUM KESEHATAN
tekanan darah, yaitu menurunkan tekanan darah sistolik pada kelompok hipertensi sebesar 1,5 mmHg dan diastolik sebesar 5 mmHg. Hasil Penelitian Ervina Rahmayanti M dan Endang Sutjiati yang dilaksanakan di Malang pada bulan Januari sampai Mei 2006 membuktikan bahwa perbedaan nyata yang dapat dilihat dari intake kalsium, dimana pada kelompok kombinasi diet DASH + DRG (Diet Rendah Garam) konsumsi kalsium lebih tinggi dengan rata-rata konsumsi sebesar 381,421 mg sedangkan pada kelompok DRG rata-rata konsumsi kalsium sebesar 274,847 mg. Intake kalium selama penelitian rata-rata 1307.732 mg, sedangkan untuk kelompok DRG saja intake kalium lebih rendah dengan rata-rata 1078.520 mg. Peningkatan konsumsi kalsium dan kalium pada kelompok kombinasi diet DASH + DRG karena menggunakan prinsip diet DASH yang salah satu prinsipnya adalah memperbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung kalium. Begitu juga pada intake natrium dan kalsium tampak lebih tinggi pada kelompok kombinasi diet DASH + DRG tetapi pada kelompok ini tingginya ratarata intake natrium diimbangi dengan tingginya rata-rata intake kalium (Frank M, et al,2001). Anjuran diet DASH pada penderita hipertensi di Puskesmas di Palangka Raya belum diterapkan karena ketidaktahuan dari petugas dalam teknis penerapannya. Selama ini, yang diterapkan adalah pemberian diet rendah garam yang sudah universal diketahui. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh pemberian diet DASH terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. II. BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini adalah eksperimen semu yaitu penelitian mencoba menggali pengaruh perubahan antara variable dependent (tekanan darah) dan variabel independent (pemberian diet DASH). Pendekatan yang digunakan yaitu pre-post design dimana pengukuran awal sebelum intervensi dan pengukuran akhir setelah intervensi diet DASH pada penderita hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus s/d
Oktober 2015 pada penderita hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi yang menjalani rawat jalan di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi yang terdapat dalam populasi yang berjumlah 20 orang yang diambil secara Purposive Sampling. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tekanan darah penderita hipertensi. Sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah asupan zat gizi yang meliputi natrium (Na), kalium (K), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca). Data primer dalam penelitian ini adalah data identitas penderita yang meliputi data asupan zat gizi yang meliputi natrium, kalium, magnesium dan kalsium yang diperoleh dari hasil food recall untuk makanan dari rumah selama 14 hari secara berturut-turut. Data tekanan darah pasien diperoleh dengan cara mengukur langsung menggunakan alat tensi meter yang dibantu oleh tenaga perawat . Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data keadaan klinis penderita yaitu data tekanan darah awal yang diperoleh diperole h dengan cara mengutip catatan medik penderita dan data gambaran umum lokasi penelitian penderita diperoleh dengan cara melihat alamat penderita hipertensi dari data identitas penderita hipertensi di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Prosedur pemberian intervensi Diet DASH adalah 1) Merecall penderita yang menjadi sampel sebelum dilakukan intervensi untuk mengetahui besarnya asupan Na, K, Mg dan Ca. 2) Menghitung selisih asupan Na, K, Mg dan Ca dengan kebutuhan Na, K, Mg dan Ca yang sesuai dengan anjuran diet DASH. 3) Memberikan intervensi berupa buah dan susu rendah lemak tinggi kalsium. Jumlah buah dan susu pada masing-masing sampel berbeda sesuai dengan besarnya selisih selisih hasil hasil perhitungan perhitungan pada point 2. 4) Intervensi pada point 3. diberikan selama 14 hari. 5) Setelah 14 hari intervensi dilakukan pengukuran tekanan darah. Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data asupan zat gizi yang meliputi Na, K, Mg, Ca yang diperoleh melalui food recall yang kemudian selanjutnya dianalisis dengan cara menghitung rata-rata asupan standar dari diet DASH dengan menggunakan alat hitung kalkulator.. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis data secara univariat yaitu,
Page 37
JURNAL FORUM KESEHATAN
mendeskripsikan distribusi frekuensi yang didapat. Sedangkan analisis data secara bivariat yaitu menganalisis data secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA dengan alat bantu berupa software SPSS.dengan P ≤ 0,05. 0,05. Analisis multivariat yang digunakan adalah one-way anova.
Berdasarkan gambar 1, dapat diketahui bahwa 12 orang (60%) berjenis kelamin kelamin perempuan dan 8 orang (40%) berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian ini ternyata ternyata yang lebih banyak banyak terkena hipertensi adalah berjenis kelamin perempuan. Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada laki-laki tetapi wanita lebih tahan daripada laki-laki tanpa kerusakan jantung dan pembuluh darah. Hipertensi pada wanita seringkali dipicu oleh prilaku tidak sehat (kelebihan berat badan, depresi dan rendahnya status pekerjaan) dan penggunaan kontrasepsi hormonal (Han, 2009). Selain itu menurut Sutanto, 2010, beban kerja yang harus ditanggung perempuan sangat berat selain bekerja keras diluar rumah perempuan juga masih harus melakukan kewajiban sebagai ibu rumah tangga dan perempuan sering sekali mengadopsi perilaku yang tidak sehat dan pola makan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan kelebihan berat badan dan depresi. depresi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN A. Karakteristik sampel Pada penelitian ini adapun karakteristik dari sampel adalah sebagai berikut. 1.
Distribusi sampel berdasarkan umur Distribusi sampel berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel. 5 Distribusi sampel Berdasarkan Umur Umur (Tahun) 35 – 35 – 40 40 41 – 41 – 45 45 46 – 46 – 50 50 51 – 51 – 55 55 56 – 56 – 60 60
Jumlah
4 2 5 8 1
Persentase (%) 20 10 25 40 5
Jumlah
20
100%
3.
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa umur sampel yang terbanyak berkisar antara 51 – 55 55 tahun yang berjumlah 8 orang (40%). Bertambahnya umur, resiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes, 2006). 2.
Tabel. 7 Distribusi Sampel berdasarkan Status Gizi Status Gizi
Kurang Normal Lebih Dengan Resiko Obes I Obes II Jumlah
Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar berikut.
60%
Jumlah
1 6 1 4 7 1 20
Persentase (%) 5 30 5 20 35 5 100
Berdasarkan tabel 7, distribusi sampel berdasarkan status gizi terbanyak dengan status gizi sampel pada kategori Obes I yaitu sebanyak 7 orang (35%). Obesitas Obesitas merupakan merupakan ciri ciri khas penderita hipertensi, walaupun belum diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dari pada penderita hipertensi dengan
Jenis Kelamin 40%
Distribusi Sampel berdasarkan Status Gizi Distribusi Sampel berdasarkan Status Gizi dapat dilihat pada tabel 7 .
Laki-laki Perempuan
Gambar 1. Distribusi Jenis Kelamin Sampel
Page 38
JURNAL FORUM KESEHATAN
berat badan normal (Adnil, 2004). Berat badan lebih cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada orang yang memiliki badan kurus. Hal ini disebabkan karena tubuh orang yang memiliki berat badan berlebihan harus bekerja lebih keras untuk membakar kelebihan kalori yang di konsumsi (Beevers, 2002). Selain itu berat badan lebih mengakibatkan produksi hormon-hormon dalam tubuh kurang normal (Sutanto, 2010). Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT ≥ 25.0. Obestitas merupakan faktor risiko munculnya hipertensi. Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl. 4. Distribusi tekanan darah dan asupan zat gizi Distribusi rata-rata tekanan darah dan asupan zat gizi dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Distribusi Rata-rata Tekanan Darah (TD) dan Asupan Zat Gizi Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel
Mean
Median
SD
TD sebelum TD sesudah (14 hr) TD sesudah (28 hr)
170 151,5 143,5
170 150 145
18,06 17,85 19,26
Asupan Natrium sebelum Natrium sesudah (14 hr) Natrium sesudah (28 hr) Asupan Kalium sebelum Kalium sesudah (14 hr) Kalium sesudah (28 hr) Asupan Kalsium sebelum Kalsium sesudah (14 hr) Kalsium sesudah (28 hr) Asupan Magnesium sebelum Magnesium sesudah (14 hr) Magnesium sesudah (28 hr)
1427,49 260,22 254,34
926,75 259,4 257,80
1172,93 56.50 47,77
1200,85 1899,48 1882,22
1166,75 1726,15 1804,10
512,65 624,26 397,24
232,5 498,13 528,27
145,75 494,0 492,35
188,42 107,07 149,66
169,99 226,89 239,41
165,85 214,25 218,80
76,94 65,25 83,48
Page 39
Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa variabel berat badan sebelum pemberian taburia diperoleh nilai mean sebesar 10.15 kg,nilai median sebesar 10.35 kg, nilai standar deviasi sebesar 1.56 kg, nilai minimum sebesar 7.9 kg, dan nilai maksimumnya sebesar 12.5 kg. Setelah pemberian taburia diperoleh nilai mean sebesar 11.61 kg, nilai median sebesar 11.80 kg, nilai standar deviasi sebesar 1.62 kg, nilai minimum sebesar 9.3 kg, dan nilai maksimumnya maksimumnya sebesar 14.0 kg. Asupan natrium sebelum intervensi diperoleh nilai mean sebesar 1427,49 mg, nilai median sebesar 926,75 mg, nilai standar deviasi sebesar 1172,93 mg, nilai minimum sebesar 308,20 mg, nilai maksimum sebesar 4166,00 mg. Setelah intervensi selama 14 hari diperoleh nilai mean sebesar 260,22 mg, nilai median sebesar 259,4 mg, nilai standar deviasi sebesar 56,50 mg, nilai minimum sebesar 187,10 mg, dan nilai maksimum sebesar 414,50 mg. Setelah 14 hari tanpa intervensi diperoleh nilai mean sebesar 254,34 mg, nilai median sebesar 257,80 mg, nilai standar deviasi sebesar 47,77 mg, nilai minimum sebesar 133,80 mg, dan nilai maksimum sebesar 329,80 mg. Asupan kalium sebelum intervensi diperoleh nilai mean sebesar 1200,85 mg, nilai median sebesar 1166,75 mg, nilai standar deviasi sebesar 512,65 mg, nilai minimum sebesar 402,60 mg, nilai Min maksimumMax sebesar 2613,60 mg. Setelah 140 intervensi 200 selama 14 hari diperoleh nilai 120 200 mean sebesar 1899,48 mg, nilai median 110 180 sebesar 1726,15 mg, nilai standar deviasi sebesar 624,26 mg, nilai minimum sebesar 308,20 4166,0 1177,90 mg, dan nilai maksimum sebesar 187,10 414,50 3650,30 mg. Setelah 14 hari tanpa 133,80 329,80 intervensi diperoleh nilai mean sebesar 1882,22 mg, nilai median sebesar 1804,10 402,60 2613,60 mg, nilai 3650,30 standar deviasi sebesar 397,24 1177,90 1219,40 mg, nilai 2707,90 minimum sebesar 1219,40 mg, dan nilai maksimum sebesar 2707,90 mg. Asupan 449,8 665,0 kalsium sebelum intervensi diperoleh nilai 386,90 700,30mean sebesar 232,5 mg, nilai 502,0 923,30 145,75 mg, nilai standar median sebesar deviasi sebesar 188,42 mg, nilai minimum sebesar 32,5 mg, nilai maksimum sebesar 82,8 665,00 mg. Setelah intervensi selama 14 151,80 hari diperoleh nilai mean sebesar 498,13 144,70 mg, nilai median sebesar 494,00 mg, nilai
JURNAL FORUM KESEHATAN
standar deviasi sebesar 107,07 mg, nilai minimum sebesar 286,90 mg, dan nilai maksimum sebesar 700,30 mg. Setelah 14 hari tanpa intervensi diperoleh nilai mean sebesar 528,27 mg, nilai median sebesar 492,35 mg, nilai standar deviasi sebesar 149,66 mg, nilai minimum sebesar 291,10 mg, dan nilai maksimum sebesar 923,30 mg. Asupan magnesium sebelum intervensi diperoleh nilai mean sebesar 169,99 mg, nilai median sebesar 165,85 mg, nilai standar deviasi sebesar 76,94 mg, nilai minimum sebesar 82,8 mg, nilai maksimum sebesar 449,8 mg. Setelah intervensi selama 14 hari diperoleh nilai mean sebesar 226,89 mg, nilai median sebesar 214,25 mg, nilai standar deviasi sebesar 65,25 mg, nilai minimum sebesar 151,80 mg, dan nilai maksimum sebesar 386,90 mg. Setelah 14 hari tanpa intervensi diperoleh nilai mean sebesar 239,41 mg, nilai median sebesar 218,80 mg, nilai standar deviasi sebesar 83,48 mg, nilai minimum sebesar 144,70 mg, dan nilai maksimum sebesar 502,0 mg.
B.
Analisis Statistik Tabel 9. Distribusi Rata-rata Tekanan Darah (TD) Menurut Waktu Pengukuran Variabel Pengukuran - Awal - 14 hari - 28 hari
Mean
SD
170 151,5 143,5
18,0 17,8 19,3
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan tekanan darah (sistole) (sistole) pada pengukuran awal adalah adalah 170 mmHg dengan dengan standar deviasi 18,0 mmHg. Pada pengukuran setelah dilakukan intervensi diperoleh rata-rata tekanan darah (sistole) adalah 151,5 mmHg dengan standar deviasi 17,8 mmHg. Sedangkan pada pengukuran tanpa intervensi diperoleh rata-rata tekanan darah (sistole) adalah 143,5 mmHg dengan standar deviasi 19,3 mmHg. Hasil uji statistik didapat nilai p=0,0005, berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan ada perbedaan tekanan darah diantara ketiga waktu pengukuran. Analisis lebih lanjut membuktikan bahwa kelompok yang berbeda secara signifikan adalah
Page 40
pengukuran sebelum intervensi dengan setelah intervensi selama 14 hari dan pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28. Pengukuran setelah intervensi selama 14 hari berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum intervensi. Pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28 berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum sebelum intervensi. intervensi. Intervensi diet DASH dengan pemberian susu rendah lemak dan buah selama 14 hari memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tekanan darah sampel. Tetapi setelah intervensi dihentikan dan dilakukan pengukuran ulang pada hari ke 28 diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah sampel dengan sebelum intervensi. Anjuran dalam diet DASH, penderita hipertensi dianjurkan mengkonsumsi susu rendah lemak 2-3 porsi/hari dan sayuran dan buah 8-10 porsi/hari serta konsumsi natrium yang rendah. Sehingga diharapkan zat gizi seperti kalsium, kalium dan magnesium tinggi tetapi kandungan natriumnya yang rendah yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa setelah intervensi dihentikan dan dilakukan pengukuran ulang pada hari hari ke 28 diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah sampel 95% CIdengan sebelum P Value intervensi. Hal ini disebabkan karena keadaan sosial 161,5 – 161,5 – 179,4 179,4 yang 0,0005 ekonomi sampel sebagian besar 143,1 – 143,1 – 159,8 159,8 tergolong menengah ke bawah sehingga 134,5 – 134,5 – 152,5 152,5 sangat mempengaruhi kebiasaan makan dan pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi. Masyarakat dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah cenderung untuk membatasi konsumsi bahan makanan tinggi kalsium karena harganya yang mahal dan ketidakmampuan untuk membeli. Selain itu, faktor genetik individu yang bervariasi juga mempengaruhi mempengaruhi kemampuan kemampuan tubuh menggunakan kalsium secara optimal untuk menurunkan tekanan darah dan adanya faktor-faktor yang dapat menghambat absorpsi kalsium di usus halus seperti fosfor, oksalat, dan serat yang masingmasing banyak terdapat pada makanan berprotein tinggi, sayuran hijau, dan buah buahan segar sehingga dapat menjadi
JURNAL FORUM KESEHATAN
penyebab tidak optimalnya fungsi kalsium dalam menurunkan tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang memiliki asupan kalsium kurang ternyata tidak selalu menderita hipertensi (Lestari D, 2010). Kalsium juga berfungsi dalam proses pembekuan darah diantaranya adalah menurunkan aktivitas sistem reninangiotensin, meningkatkan keseimbangan natrium dan kalium, serta menghambat konstraksi pembuluh darah. Kalsium juga berkaitan dengan terjadinya terjadinya penebalan pada pembuluh darah ke jantung. Jika asupan kalsium kurang dari kebutuhan tubuh maka untuk menjaga keseimbangan kalsium dalam darah, hormon paratiroid menstimulasi pengeluaran kalsium dari tulang dan masuk ke darah. Kalsium dalam darah akan mengikat asam lemak bebas sehingga pembuluh darah menjadi menebal dan mengeras sehingga dapat mengurangi elastisitas jantung yang akan meningkatkan tekanan darah (BeckME,2011). Suatu studi memaparkan bahwa efek dari kalsium pada tekanan darah berpengaruh terhadap perubahan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik pada penderita hipertensi (Dickinsonet al., 2009). Teori diet DASH menunjukkan bahwa kalium mempunyai peranan penting dalam membantu penurunan tekanan darah.Kalium banyak terdapat dalam bahan makanan mentah atau segar. Proses pemasakan pemasakan makanan dapat menyebabkan menyebabkan hilangnya kalium dalam bahan makanan dan penambahan garam ke dalam proses pemasakan pemasakan makanan menyebabkan menyebabkan kandungan natrium dalam makanan tersebut semakin meningkat sehingga dapat terjadi perubahan keseimbangan rasio natrium dan kalium dalam makanan tersebut. Kalium sebagai salah satu mineral yang menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit mempunyai efek natriuretik dan diuretik yang meningkatkan pengeluaran natrium dan cairan dari dalam tubuh. Asupan kalium yang sesuai dengan anjuran kebutuhan minimum kalium dalam sehari dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan kategori ringan sampai sedang (Lestari D, 2010). Kadar magnesium ekstraseluler yang rendah akan meningkatkan influks kalsium sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas pada otot polos. Magnesium bersama dengan kalium, kalsium, dan natrium berperan terhadap proses regulasi tekanan darah. Tingginya diet magnesium sangat berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah(Sonti B et al., 2006). Efek magnesium terhadap tekanan darah sangat kecil tetapi sangat berperan terhadap pencegahan penyakit penyakit kardiovaskuler. Selain Selain itu, magnesium juga berperan dalam kontraksi otot jantung, bila konsentrasi magnesium dalam darah menurun maka otot jantung tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga mempengaruhi tekanan darah (Lestari D, 2010). Kurang optimalnya fungsi asupan magnesium yang berasal dari makanan dalam menurunkan tekanan darah dapat disebabkan oleh serat, oksalat, fitat, dan fosfor yang dapat menghambat absorpsi magnesium di dalam usus halus. Selain itu, faktor stres mental atau stres fisik juga cenderung menurunkan absorpsi magnesium dan meningkatkan ekskresinya (Lestari D, 2010). Konsumsi natrium berlebih terjadi karena sampel cenderung menyukai makanan yang memiliki rasa asin dan gurih menyebabkan penggunaan garam dapur (NaCl) dan penyedap rasa (monosodium glutamate / MSG) pada produksi makanan yang tidak terkontrol. Selain itu, budaya memasak masyarakat yang umumnya boros menggunakan garam sehingga indera pengecap telah dibiasakan dengan ambang batas yang tinggi terhadap rasa asin. Keadaan hipertensi banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar. Bukti yang menunjukkan hubungan antara hipertensi dan masukan natrium yang tinggi memang ditemukan sehingga bagi pasien hipertensi dianjurkan agar tidak mengkonsumsi terlalu banyak garam (Beck ME, 2011). Menurut Astawan M, 2004, konsumsi garam natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler menyebabkan meningkatnya volume darah yang berdampak pada timbulnya hipertensi.
Page 41
JURNAL FORUM KESEHATAN
Karena itu disarankan untuk mengurangi asupan natrium. Tekanan darah tinggi terjadi bukan hanya karena asupan natrium yang tinggi pada saat ini melainkan manifestasi dari asupan natrium dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada penelitian ini mungkin terjadi akibat kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh subjek untuk mengkonsumsi makanan tinggi natrium dan didukung oleh faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tekanan darah. Pengaruh asupan tinggi natrium terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Kelebihan asupan natrium akan meningkatkan cairan dari sel, dimana air akan bergerak ke arah larutan elektrolit yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan mengakibatkan peningkatan volume plasma darah dan akan meningkatkan curah jantung, sehingga tekanan tekanan darah meningkat. meningkat. Selain itu asupan tinggi natrium dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit (Lestari D, 2010).
2.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut : 1. Diet DASH efektiv untuk menurunkan tekanan darah. 2. Ada perbedaan secara signifikan antara pengukuran sebelum intervensi dengan setelah intervensi selama 14 hari dan pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28. Pengukuran setelah intervensi selama 14 hari berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum intervensi. Pengukuran ulang setelah intervensi pada hari ke 28 berbeda signifikan dengan pengukuran sebelum intervensi. B. SARAN
1.
Bagi masyarakat yang tekanan darahnya tinggi disarankan untuk meningkatkan konsumsi bahan makanan yang tinggi
Page 42
kalium, kalsium, magnesium dan rendah natrium seperti buah, sayuran, ikan segar atau susu. Memilihkan bahan makanan yang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi dengan tetap memperhatikan diet DASH sehingga tekanan darah dapat tetap normal.
JURNAL FORUM KESEHATAN
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S, 2005. Penuntun Diet Edisi Baru,PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Beck, M.E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet. ANDI Yogyakarta : YEM Beevers, D. 2002. Bimbingan Dokter pada Tekanan Darah. Jakarta : Dian Rakyat. Hal. 37 Blumenthal JA, Babyak MA, Hinderliter A, Watkins LL, Craighead L, LinPH, et al. Effects of the DASH Diet Alone and in Combination WithExercise and Weight Loss on Blood Pressure and Cardiovascular Biomarkers in Men and Women With High Blood Pressure. Arch InternMed. 2010; 170(2):126 – 135. Fauziah, YN. 2013. Hubungan Asupan Bahan Makanan Sumber Serat, Asupan Natrium, Asupan Lemak Dan Imt Dengan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Di Rumah Sakit Tugurejo Semarang.Program Studi S1 Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang (16 Mei 2014). Hartono, A. 2012. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit , Penerbit Penerbit Buku Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal. 164. Kresnawan, T.2011. Asuhan Asuhan Gizi Pada Hipertensi. Instalasi Gizi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta 34(2):143-147 (11 Desember 2014). LESTARI, D. 2010. Hubungan Asupan Kalium, Kalsium, Magnesium, Dan Natrium, Indeks Massa Tubuh, Serta Aktifitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada Wanita Usia 30 – 40 40 Tahun.Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang (11 Desember 2014). Mahan LK, Stump SE, Raymond JL. Krause’s Food and The Nutrition Care Process Ed 13. Penerbit : Elsevier. Hal 758769.2012. McFall JM, Barkley JE, Gordon KL, Burzsminski N, Glickman EL. Effectof the DASH Diet on Pre- and Stage 1 Hypertensive Individuals in a FreeLiving Environment. Nutrition and Metabolic Insights. 2010:3 15 – 23. 23. Padmawinata, K. 2001, Pengendalian Hipertensi. Bandung : ITB. Hal. 23
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC Rahajeng E & Tuminah S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia vol. 59 no.12: 580-587 (3 oktober 2014) Rahmayanti EM, Sutjiati E. Anjuran Kombinasi Diet DASH ( DietaryApproaches To Stop Hypertension) Dan Diet Rendah Garam Pada Wanita Menapouse Dengan Hipertensi. Jurnal Kesehatan, Volume 7, No. 2November 2November 2009: 100 – 100 – 118. 118. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. (Serial Online) 2013. (306 screens). Available from : URLHyperlink URLHyperlink http://www.k4health.org/ http://www.k4health.org/ sites/default/files/laporanNasional%20R iskesdas%202013.pdf . 04 Oktober 2014 (14:44) Sacks FM et al. 2001. Effect on Blood Pressure of reduce Dietary Sodium and The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) Diet . The New England Journal of Medicine, vol. 344, No.1 : 3-10 (3 oktober 2014) Soenardi, T & Susirah, S. 2000, Hidangan Sehat Untuk Penderita Hipertensi; PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sugiharto, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Grade II pada Masyarakat. Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro (3 oktober 2014) Sutanto, 2010, CEKAL (Cekal Bakal) Penyakit Modern (Hipertensi, Stroke, Kolesterol, dan Diabetes). C. V ANDI OFFSET. Yogyakarta. Sutomo, B. 2009, Menu Sehat Penakluk HIPERTENSI . DeMedia Pustaka. Jakarta Selatan. Syahrini,NE et al.2012.Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Primer Di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang.Jurnal Kesehatan Masyarakat,Volume Masyarakat,Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 315 – 325 Online Di Http://Ejournals1.Undip.Ac.I Http://Ejournals1 .Undip.Ac.Id/Index.Php/Jkm d/Index.Php/Jkm (23Oktober 2014).
Page 43
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGANGGARAN DALAM RENCANA PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PROGRAM JAMKESDA DI KABUPATEN BANJAR BUDGETING IN JAMKESDA (LOCAL HEALTH INSURANCE) PROGRAM DEVELOPMENT PLANNING AT DISTRICT OF BANJAR Juni Ramadhani ABSTRAK Latar Belakang : Anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah Kabupaten Banjar di bidang kesehatan bertambah besar dengan diterapkannya program pelayanan kesehatan bersubsidi 24 jam. Dalam implementasinya biasa disebut dengan singkatan PKDG 24 jam. Anggaran untuk PKDG 24 jam ini bersumber dari APBD ditambah dari sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku. Pada tahun 2 009 program ini akan dikembangkan menjadi Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) karena untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada setiap warga masyarakat di daerah yang lebih baik dan penerapan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian fungsi dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam proses penyusunan perencanaan pengembangan program tersebut ada dua opsi yang ditawarkan yaitu; pengembangan PKDG menjadi Jamkesda dan pengembangan Jamkesda dengan tetap mempertahankan program PKDG. Tujuan: Penelitian ini untuk mengkaji sistem penganggaran rencana pengembangan Program Jamkesda, mengidentifikasi tersedia atau tidaknya anggaran yang berkaitan langsung dengan program Jamkesda di Kabupaten Banjar, dan mengevaluasi penganggaran rencana program Jamkesda di Kabupaten Banjar.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan rancangan studi kasus dengan Metode Penelitian : metode kualitatif. Variabel variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari anggaran program Jamkesda, kesiapan sumberdaya manusia, kepesertaan program Jamkesda dan persepsi Stakeholder . Instrumen penelitian adalah wawancara mendalam. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian : Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa anggaran program Jamkesda sudah dialokasikan dalam DPA-SKPD sebesar Rp. 3.381.769.000, khusus untuk persiapan pelaksanaan Jamkesda dianggarkan sebesar Rp. 1.014.538.800 (30%). Sumberdaya manusia pengelola program Jamkesda masih masih belum siap terbukti pengelolaan belum dilakukan secara dasar pendidikan maupun dari pengalaman. Kepesertaan program Jamkesda adalah masyarakat miskin dan kurang mampu yang tidak terakomodir oleh program Jamkesmas (Askeskin). Persepsi stakeholder terhadap rencana pengembangan program Jamkesda di Kabupaten Banjar sangat positif terbukti dengan adanya persiapan baik dari segi anggaran dan sarana prasana dalam pelaksanaan program Jamkesda tahun 2010. Kesimpulan: Penganggaran pelaksanaan Jamkesda belum dianggarakan tersendiri karena masih menyatu dengan anggaran PKDB, yaitu sebesar 30%. Kesiapan sumberdaya manusia untuk pengelolaan Jamkesda belum siap. Jumlah sasaran program Jamkesda di kabupaten Banjar sebanyak 10.422 orang. Persepsi stakeholder terhadap rencana pengembangan Jamkesda adalah positif yang ditunjukkan dengan adanya anggaran untuk persiapan pelaksanaan. Kata Kunci : Penganggaran, Rencana Pengembangan Program Jamkesda, Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi 24 jam.
Page 44
JURNAL FORUM KESEHATAN
ABSTRACT Background: Budget that has to be provided by Banjar District Government in health sector is increasing in line with the implementation of 24 hour subsidized health service program (PKDG 24 jam). Budget for PKDG 24 jam comes from local revenue and expenditure budget and other sources permitted by the regulation. In 2009 the program was to be developed to Local Health Insurance Program (Jamkesda) to increase better social protection for every member of the local community and implement Government Regulation No. 38/2007 on the distribution of function and authority of central and local government. In the process of program development planning there are two propositions: the development from PKDG to Jamkesda and the development of Jamkesda by sustaining PKDG program. Objective: The study aimed to evaluate budget proposition of subsidized health service program at District of Banjar in the development plan of Jamkesda program, identify availability of budget directly related with Jamkesda program and evaluate budget plan of Jamkesda program at District of Banjar. Method: The study was descriptive with case study design and qualitative method. Variables of the study were budget of Jamkesda program, preparedness of human resources, participation in Jamkesda program and perception of stakeholders. Data were obtained through indepth interview and analyzed using descriptive qualitative technique. Result: Budget of Jamkesda program had been allocated in DPA-SKPD as much as Rp 3,381,769,000, especially for the preparation of Jamkesda implementation the allocation was as much as Rp 1,014,538, 800 (30%). Human resources that would manage Jamkesda program were not yet prepared since the management was not based on education and experience. Participants of Jamkesda program were poor communities that were not accommodated in Jamkesmas (Askeskin) program. Stakeholders had very positive perception about Jamkesda program development plan either in aspect of budget or facilities for Jamkesda program implementation 2010. Conclusion: Budget for the implementation of Jamkesda had not been allocated separately, the budget was still part of (30%) ( 30%) a bigger program. The number of targets of Jamkesda were as many as 10,427 people. Percept ion of stakeholders about Jamkesda development plan was positive as reflected from the availability of budget for its implementation. Keywords: health budget, Jamkesda, basic health service, free health service
Page 45
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENDAHULUAN Terjadi pertentangan dalam mekanisme pembiayaan pembiayaan masyarakat, ada yang mengatakan bahwa mekanisme mekanisme pembiayaan pembiayaan ini telah memberikan beban justru kepada mereka yang sebenarnya kurang mampu membayar (yaitu masyarakat pedesaan yang lebih miskin). Hal ini juga dianggap sebagai penyimpangan penyimpangan sebab akibat ketidak-mampuan politik pemerintah untuk memperoleh sumber pembiayaan baru atau melakukan realokasi sumber daya yang tersedia. Meskipun di beberapa kasus mekanisme ini telah berhasil memberikan kontribusi yang memadai bagi pelayanan kesehatan. Pada gilirannya hal ini berarti pula sebagai pemenuhan kebutuhan kesehatan, dan memang seharusnya dipandang sebagai sumber daya pelengkap ketimbang sebagai pengganti dari sumber daya yang seharusnya disediakan. Penganggaran program pelayanan kesehatan di Kabupaten Banjar masih menggunakan prosedur penganggaran pemerintah yang tidak dapat membantu membantu efisiensi manajemen maupun penyediaan informasi yang diperlukan oleh pembuat kebijaksanaan dan perancanaan. Kritik utamanya mengenai prosedur pengganggaran ini berkaitan dengan berbagai prosedur dalam pelaksanaan pelaksanaan dan struktur anggaran itu sendiri. Akibatnya pada proses penyusunan anggaran kesehatan masih terbentur dengan perencanaan program kesehatan yang akan dilaksanakan. dilaksanakan. Padahal penganggaran program pada dasarnya telah di susun sebagai suatu bentuk pengendalian atas segala pengeluaran dan juga bagi tujuan akuntansi, bukan sebagai pendukung kegiatan perencanaan. perencanaan. Ketidaksinkronan inilah yang mengakibatkan penganggaran penganggaran yang ‘incremental’ setiap tahunnya memberikan tambahan sedikit atau kurang sedikit tanpa memperhitungkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran. pengeluaran. Sistem jaminan kesehatan sejak lama sebenarnya sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat dalam komunitas lokal. Sebagian besar komunitas masyarakat masyarakat lokal sudah mengenal istilah lumbung desa, jimpitan, iuran dan arisan sebagai sebuah cara pengelolaan jaminan sosial dalam skala kecil. Namun negara memiliki peran yang sangat besar untuk mempengaruhi ketersediaan kesejahteraan. Peran besar negara ini disebabkan karena: (1) Negara memiliki kapasitas untuk menentukan menentukan kebijakan, yang akan mempengaruhi layanan
(kebijakan belanja). Negara bisa memutuskan siapa yang akan diijinkan menjadi provider atau bukan, menetukan kualifikasinya, menentukan bagaimana mekanisme delivery layanannya serta mengatur kualitas dan kuantitas layanan. (2) Negara dapat berperan langsung dalam penyediaan layanan dan benefit, (3) Negara dapat berperan dalam delivery merencanakan dan mengawasi layanan, (4) Negara juga dapat berperan dalam memberikan bantuan langsung, memberikan dukungan fiskal dan subsidi(1) Program Jaminan Kesehatan Daerah adalah suatu upaya pemeliharaan kesehatan yang pembiayaannya dilakukan secara praupaya dan dikelola berdasarkan jaminan pemeliharaan pemeliharaan kesehatan masyarakat masyarakat dan bermaksud untuk memberikan memberikan jaminan penyelenggaraan penyelenggaraan pemeliharaan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang pembiayaannya dikelola secara terpadu. Dalam penyelenggaraannya ditemukan beberapa masalah (2) Di Kabupaten Banjar, upaya dan peningkatan kesehatan telah mengalami mengalami pergeseran orientasi, orientasi, sejalan dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi dan budaya. Upaya kesehatan yang semula lebih berfokus pada penyembuhan penyembuhan dan pemulihan penderita (kuratif dan rehabilitatif ) secara berangsur telah bergeser dan berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh penduduk dengan peran aktif masyarakat masyarakat menuju peningkatan kesehatan ( promotif ) dan pencegahan penyakit ( preventif preventif ) tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif. Kondisi tersebut dapat terlihat pada data kunjungan masyarakat ke Puskesmas. Pada tahun 2007 jumlah kunjungan Puskesmas mencapai 440.747 atau rata-rata 64 orang per puskesmas puskesmas per hari, sedangkan sedangkan untuk rawat jalan mencapai 399.202 orang atau rata-rata 58 orang per puskesmas per hari, lebih baik dibandingkan tahun 2006 yaitu 52 orang per puskesmas puskesmas per hari. Untuk alokasi anggaran Dinas Kesehatan sebesar Rp. 32.491.704.950,realisasi 92,69% dan Rumah Sakit Ratu Zalecha sebesar Rp. 48.682.728.420,- realisasi 97,95%.(3) Pada tahun 2009 pemerintah Kabupaten Banjar berencana mengembangkan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan perlindungan sosial kepada setiap warga masyarakat di daerah yang lebih baik dan penerapan PP No.
Page 46
JURNAL FORUM KESEHATAN
38 tahun 2007 tentang Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Rencana pengembangannya berupa peningkatan cakupan peserta, peningkatan paket layanan sampai ke rumah sakit, dan pembentukan pembentukan badan penyelenggara. penyelenggara. Dalam proses penyusunan perencanaan perencanaan pengembangan pengembangan program tersebut ada dua opsi yang ditawarkan yaitu; pengembangan Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi 24 jam menjadi Jamkesda dan pengembangan Jamkesda dengan tetap mempertahankan program Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi 24 jam. Mengingat bahwa anggaran daerah untuk salah satu program kesehatan yang diselenggarakan pemerintah Kabupaten Banjar, yaitu program Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi 24 jam saja sudah relatif cukup menyerap APBD. Maka apakah beban anggaran ini tidak akan bertambah berat dengan rencana pemerintah Kabupaten Banjar untuk tahun anggaran 2009 yang akan mengembangkan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), dan hal apa yang melatarbelakangi sehingga pemerintah mencetuskan pengembangan program ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang penganggaran penganggaran rencana pengembangan pengembangan Jamkesda di Kabupaten Banjar. Hal ini dimaksudkan agar ke depannya nanti penyusunan perencanaan sistem penganggaran penganggaran program jaminan kesehatan kesehatan di daerah dapat efisien dan efektif, serta reliable dengan pendekatan kebutuhan biaya pelayanan secara kapitasi. Kebutuhan anggaran yang jelas akan menentukan pengambilan kebijakan pengembangan pengembangan program kesehatan termasuk program jaminan. jaminan.
dan perawat yang bertugas di Puskesmas yang menjadi tempat penelitian. Instrumen penelitian ini adalah wawancara wawancara mendalam (indepth interview), check list dokumen, dan data sekunder agar dapat diperoleh data sistematis berdasarkan jenis-jenis data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang sudah dirumuskan. Untuk mempermudah pengumpulan data, tak menutup kemungkinan kemungkinan pelaksanaan pelaksanaan wawancara wawancara dibantu dengan alat tape recorder , yang dilengkap dengan kamera, alat tulis, dan lain-lain. Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif. Analisis, interpretasi, dan penyajian data dalam penelitian kualitatif bertujuan untuk memberi memberi makna pada data, mereduksi volume informasi, mengidentifikasi pola-pola yang bermakna, dan menyusun kerangka guna mengkonsumsi esensi data yang dikumpulkan.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi kasus (4). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, artinya data-data penelitian yang digunakan merupakan data yang yang diperoleh berasal dari hasil pengumpulan pengumpulan informasi dari berbagai sumber, baik dokumen maupun narasumber. Subjek penelitian ini adalah stakeholder yang berperan dalam pengambilan pengambilan kebijakan dan terlibat dalam penganggaran program Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi 24 jam dan Jamkesda, yang terdiri dari; Bupati Kabupaten Banjar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Kepala Puskesmas, Dokter
Page 47
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rencana Pengembangan Jamkesda di Kabupaten Banjar Mencermati aspek kesehatan dalam arti luas, maknanya tidak hanya sehat secara fisik namun juga psikis, termasuk di dalamnya kesehatan mental yang direfleksikan dalam inidikator kemampuan kemampuan atau kecerdasan intelektual, emosional dan spritual. Dalam konteks ini jelas, derajat kesehatan dapat memberikan pengaruh ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. masyarakat. Dan harus diakui, selama ini masih banyak permasalahan permasalahan kesehatan, seperti masih rendahnya derajat kesehatan dari warga miskin, akibat rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, minimnya minimnya dana yang dialokasikan untuk menunjang program kesehatan, beberapa penyakit menular, yang dapat menjadi ancaman utama bagi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan beberapa penyakit yang sering diderita oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Banjar dapat dikelompokkan ke dalam 10 besar penyakit penyakit sebagai berikut berikut :
JURNAL FORUM KESEHATAN
Tabel 1. Sepuluh Besar Penyakit di Poliklinik Umum di RSU Ratu Zalecha Martapura Jumlah Kasus
Persentase (%)
607
31,53
02.
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) Hipertensi (HT)
468
24,31
03.
Penyakit Kulit
153
7,95
04.
Gastritis
150
7,79
05.
Diabetes Melitus
91
4,72
06.
Dispepsia
91
4,72
07.
KP
90
4,67
08.
GE
72
3,74 3,74
09.
Brochitis
68
3,53
10.
Myalgia
67
3,48
Jumlah/Total
1925
100,00
No.
Jenis Penyakit
01.
Sumber : Rumah Sakit Umum Ratu Zalecha Martapura, 2008
Pada tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa derajat kesehatan kesehatan masyarakat masyarakat di Kabupaten Banjar masih relatif rendah diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. kesehatan. Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal. Peningkatan biaya kesehatan yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit, perkembangan perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan pembiayaan kesehatan kesehatan berbasis pembayaran pembayaran out of pocket . Derajat kesehatan yang rendah ber-pengaruh terhadap rendahnya produktifitas kerja yang pada akhirnya akan berpengaruh pada meningkatnya masyarakat miskin dan hal tersebut menjadi beban masyarakat dan pemerintah.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pemerintah daerah dengan menggunakan dana APBD selanjutnya akan menjamin kesehatan masyarakat miskin yang tidak tertampung dalam Jamkesmas dan masyarakat rentan yang berpenghasilan berpenghasilan rendah dan belum memiliki jaminan pemeliharaan pemeliharaan kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri, dan Askes Komersial. Sesuai tugas dan wewenang Pemerintah Kabupaten dalam Bidang Kesehatan maka pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan dalam kerangka desentralisasi terintegrasi memiliki tugas dan wewenang sebagai operator baik dalam delivery pelayanan kesehatan financing ataupun (pembiayaan), stewardship/ regulator yaitu sebagai lembaga yang menetapkan kebijakan dan regulator terhadap upaya pelayanan kesehatan, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan. Adanya hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Banjar terdorong untuk mengeluarkan mengeluarkan Peraturan Bupati Banjar No. 01 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Bersubsidi 24 Jam sebagai dasar hukum dalam dalam menyelenggarakan program Jamkesda sebagai pelengkap kebijakan pusat dengan program Askeskin. Askeskin. “…masih banyaknya masyarakat miskin di Kabupaten Banjar, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan dalam bentuk pelayanan kesehatan bersubsidi dan jaminan kesehatan…” (R.5) Anggaran kesehatan di Kabupaten Banjar pada tahun 2009 mengalami kenaikan yang relatif besar, namun anggaran ini sudah termasuk dana untuk pelayanan kesehatan dasar bersubsidi, sehingga kegiatan kuratif cukup memberikan prosentasi yang cukup besar dalam anggaran kesehatan. Anggaran tersebut dialokasikan untuk programrpogram pelayanan dan penjaminan kesehatan masyarakat, baik itu ke arah promotif maupun preventif. Salah satu program yang sudah direncanakan direncanakan oleh pemerintah Kabupaten Banjar adalah Program jaminan kesehatan (Jamkesda).
Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan landasan yuridis untuk pengembangan pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dalam peraturan pemerintah ini tercantum adanya kewenangan daerah untuk mengelola dan menyelenggarakan jaminan kesehatan daerah. Walaupun secara nasional pemerintah pusat sudah menjamin kesehatan masyarakat miskin melalui
Page 48
JURNAL FORUM KESEHATAN
Program Jamkesda di Kabupaten Banjar diluncurkan pada Tahun 2009 merupakan pengembangan dari Program Askeskin, dengan tujuan secara umum adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin dicapai adalah: a. Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit b. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Pelaksanaan jaminan kesehatan di Kabupaten Banjar dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. Berdasarkan data pada tahun 2008, data masyarakat miskin yang belum terakomodir oleh Jamkesmas (Askeskin) masih relatif besar jumlahnya, sekitar 119.309 jiwa. Untuk itulah, pemerintah Kabupaten Banjar dalam rencana pengembangan pengembangan Program Jamkesda akan memfokuskan pada jumlah tersebut dengan memberikan pelayanan dasar bersubsidi (PKDB) dan Program Jamkesda. Sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan, maka dirumuskanlah beberapa jenis kegiatan Dinas Kesehatan Kesehatan Kabupaten yang dikembangkan menjadi kegiatan Program Jamkesda. Rencana pengembangan Program Jamkesda di Kabuaten Banjar tentu bukan suatu kebijakan yang dibuat tanpa arah dan tujuan. Program ini diorientasikan untuk lebih meningkatkan peran masyarakat miskin dan kurang mampu dalam mengakses pelayanan kesehatan dalam bentuk asuransi. Adanya sistem jaminan dengan bentuk asuransi ini, akan lebih menumbuhkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan data dan sistem pengelolaan yang lebih baik. Keberadaan Jamkesmas dengan Askeskin dan Program Pelayanan
Kesehatan Dasar Bersubsidi (PKDB) merupakan cikal bakal dan menjadi inspirasi untuk mengembangkan program Jamkesda. Sasaran dan fokus kegiatan pelayanan Program Program Jamkesda Jamkesda sama sama dengan PKDB, yang membedakannya adalah dari segi kepesertaan dan cakupan kegiatan. Kepesertaan Jamkesda dikhususkan pada masyarakat miskin yang tidak terakomodir oleh Program Jamkesmas dan cakupan kegiatan selain pelayanan kesehatan dasar, Jamkesda juga memberikan pelayanan kesehatan lanjutan. Program kegiatan PKDB mencakup beberapa Jenis pelayanan dasar sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Bupati Banjar No. 01 Tahun 2008 sebagai berikut: berikut: 1. Konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan 2. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik 3. Laboratorium sederhana 4. Tindakan medis sederhana 5. Pemeriksaan Pemeriksaan dan pengobatan gigi 6. Pemeriksaan ibu hamil/nifas/meyusui, bayi dan balita 7. Pemberian obat-obatan sesuai ketentuan 8. Pelayanan KB dan penanganan efek samping 9. Pelayanan gawat darurat 10. Paket rawat inap 11. Pertolongan persalinan Dari seluruh kegiatan pelayanan kesehatan dasar tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3.058.387.000,00. Anggaran tersebut dialokasikan dalam beberapa kegiatan sebagai berikut:
Page 49
JURNAL FORUM KESEHATAN
Tabel 2. Anggaran Jaminan Kesehatan Dasar Bersubsidi (PKDB) dan Jamkesda di Kabupaten Banjar Tahun 2009 No.
Kegiatan
1.
Honorarium Petugas Khusus PKD bersubsidi
2.038.565.000,00
66,65%
2.
Pelayanan Kesehatan dasar bersubsidi Jasa sarana PKD bersubsidi Obat-obatan non standar dan BAKHP Kelompok Kerja PKD Bersubsidi Bahan dan alat kesehatan PKD bersubsidi habis pakai Belanja alat tulis kantor PKD bersubsidi Jumlah
650.800.000,00
21,28%
172.000.000,00
5,62%
114.166.000,00
3,73%
76.200.000,00
2,49%
4.506.000,00
0,15%
2.150.000,00
0,07%
3.058.387.000,00 3.058.387.000,00
100%
3.
4.
5.
6.
7.
Anggaran
Alokasi anggaran kesehatan pemerintah untuk orang miskin tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat miskin dan ditekankan pada upaya promotif dan preventif. Harus ada political will dari pemerintahan, legislatif, swasta, dan masyarakat untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan. Pelayanan bersubsidi maupun sistem jaminan kesehatan tidak akan secara otomatis meningkatkan cakupan, karena masih ada biaya diluar biaya pelayanan kesehatan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat miskin. Pola pembagian tugas yang jelas antara pusat dan daerah baik dari sisi demand maupun sisi supply terutama dalam sharing penganggaran. Pentingnya keterlibatan seluruh pihak atau stakeholder dalam pelaksanaan upaya kesehatan untuk masyarakat miskin. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan pelayanan kesehatan, kesehatan, antara lain adanya pemantapan asuransi kesehatan nasional sebagai bagian dari pelaksanaan Undangundang Sistem Jaminan Sosial, sebagai bagian dari peningkatan akses orang miskin terhadap layanan kesehatan, dan peningkatan akuntabilitas dalam pelayanan pelayanan kesehatan. Selain itu juga Perlu memperhatikan pelayanan kesehatan yang didasarkan pada permintaan masyarakat programs) ( Demand-based sehingga masyarakat dapat memilih layanan kesehatan yang diinginkan. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain (a) penentuan sasaran secara hati-hati; (b) pelibatan rumah sakit, puskesmas dan pusat layanan kesehatan; (c) penjamin mutu layanan kesehatan bagi masyarakat miskin; (d) sosialisasi kepada masyarakat; (e) evaluasi secara kritis terhadap hasil pelayanan kesehatan. Cakupan dari anggaran program tersebut terdiri dari kegiatan-kegiatan yang memfokuskan pada memberikan pelayanan kesehatan kesehatan masyarakat masyarakat secara umum, seperti Pelayanan Kesehatan Dasar Berdubsidi (PKDB) dan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). PKDB yang dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Banjar sebagai upaya peningkatan kesehatan kesehatan untuk seluruh masyarakat Kabupaten Banjar, sedangkan Jamkesda merupakan sebuah program
%
Sumber: DPA-SKPD Dinkes Kabupaten Banjar Tahun 2009 Terlihat dari data di atas, bahwa anggaran Jaminan Kesehatan Dasar Bersubsidi (PKDB) termasuk anggaran persiapan pengembangan pengembangan Program Jamkesda untuk tahun 2009 sebesar Rp 3.058.387.000,00. Khusus untuk anggaran program Jamkesda sampai saat ini pemerintah belum mengalokasikan mengalokasikan anggaran tersendiri dikarenakan masih dalam proses persiapan. Namun demikian pemerintah tetap mengalokasikan mengalokasikan anggaran program Jamkesda yang masih menyatu dalam alokasi anggaran PKDB. Hasil wawancara dengan narasumber sebagai berikut: “…dalam penyusunan anggaran yang diajukan oleh pemerintah belum secara eksplisit mengalokasikan untuk program Jamkesda, tetapi sebagian anggaran yang ada dalam PKDB digunakan untuk mempersiapkan pengembangan Program Jamkesda…” Jamkesda…” (R.5).
Page 50
JURNAL FORUM KESEHATAN
yang dilaksanakan pemerintah daerah untuk mengantisipasi adanya warga yang tidak ter cover cover /masuk /masuk dalam program Jamkesmas yang dilaksanakan pemerintah pusat. Tujuan program ini untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat terutama yang masuk dalam kategori keluarga miskin (GAKIN). Pembiayaan kedua program tersebut berasal dari subsidi pemerintah Kabupaten Banjar dalam hal ini Dinas Kesehatan. “…persiapan pelaksanaan Program Jamkesda tahun 2010, memang belum dianggarkan secara eksplisit dalam DPASKPD” tetapi diambil dari anggaran PKDB sekitar sekitar 30%...”. (R. 1)
tahun 2010. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk mem-persiapkan pelaksanaan Jamkesda, Jamkesda, seperti pendataan masyarakat miskin, pembentukan lembaga pengelola Jamkesda, Jamkesda, persiapan sumberdaya manusia pengelola dan lain sebagainya. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara sebagai berikut: “…program peningkatan kesehatan masyarakat memang menjadi prioritas Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar dengan memberikan pelayanan kesehatan bersubsidi dan program Jamkesda kepada masyarakat miskin dan kurang mampu..” (R-1) “…pemerintah Kabupaten Banjar meluncurkan program jaminan kesehatan pada tahun 2009 dalam bentuk program Jamkesda, tetapi realisasi dari program tersebut baru akan dilakasanakan pada tahun 2010...”(R-2) 2010...”(R-2)
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari narasumber tersebut, maka anggaran persiapan pelaksanaan Jamkesda dapat diketahui sebesar 30% dari total anggaran PKDB yang dialokasikan dalam DPA-SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Pembagian Anggaran antara PKDB dan Jamkesda di Kabupaten Banjar Tahun 2009 Persen Program Anggaran (%) PKDB 2.140.870.900 70% Jamkesda 917.516.100 30% Jumlah 3.058.387.000 100% Sumber: Dinkes Kabupaten Banjar tahun 2009 Pembagian anggaran antara PKDB dan Jamkesda merupakan bentuk dari komitmen pemerintah Kabupaten Banjar untuk pelaksana-an Jamkesda. Pada tabel di atas terlihat bahwa anggaran untuk PKDB memang cukup besar dibandingkan dengan anggaran Jamkesda dikarenakan PKDB merupakan program bersubsidi bagi seluruh masyarakat Kabupaten Banjar tanpa melihat status dan tingkat ekonomi masyarakat, sedangkan Jamkesda merupakan bentuk pengembangan dari program-program program-program jaminan kesehatan yang sudah ada, yaitu dalam bentuk penjaminan kesehatan masyarakat yang dikhususkan untuk masyarakat miskin dan kurang mampu. Anggaran sebesar Rp 917.516.100,00 (30%) tersebut merupakan anggaran persiapan pelaksanaan program Jamkesda yang akan dilaksanakan pada
Rencana pengembangan Jamkesda difokuskan dalam bentuk perlindungan sosial kepada setiap warga masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara paripurna dengan meng-gerakkan masyarakat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang pengelolaannya dengan mekanisme asuransi. Hal tersebut didorong dengan biaya kesehatan yang terus naik hingga meng-akibatkan kemampuan publik miskin dan paling miskin merosot, pemerintah daerah harusnya menjadikan program Jamkesda ini menjadi lebih bermanfaat dan berdaya guna. Bukannya cenderung berupaya menambah menambah porsi keterlibatan publik dalam pembiayaan pembiayaan pelayanan kesehatan, seraya mengurangi berbagai macam subsidi. Implementasinya berupa perubahan status Puskesmas dari bersubsidi ke Puskesmas swakelola dan swadaya; ataupun metamorfosis status rumah sakit pemerintah dari perusahaan perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas. “…pengembangan “…pengembangan program Jamkesda ini diorientasikan untuk mewujudkan Puskesamas dan Rumah Sakit lebih mandiri karena terbatasnya anggaran yang dimiliki oleh pemerintah…” (R.5)
Page 51
JURNAL FORUM KESEHATAN
Setiap penyelenggaran jaminan sosial khususnya bidang kesehatan dasar bertujuan memberikan memberikan jaminan kepada masyarakat dengan ekonomi rendah untuk menikmati pelayanan kesehatan secara mudah, namun semua itu harus ditinjau dari unsur keterjangkauan (affordability). Tentu dalam hal ini harus didukung oleh adanya keterlibatan pihak-pihak lain selain pemerintah dalam pembiayaan pembiayaan maupun sarana dan prasarana. Keterlibatan pihak swasta dan pihak lainnya akan memberikan kekuatan dan perkembangan perkembangan program Jamkesda semakin semakin mandiri dan mampu memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin dan kurang mampu. Dalam proses pergeseran pergeseran ini, disadari atau tidak, sebagai upaya untuk mengurangi subsidi dan menswastakan puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Ini bukan berarti pemerintah pemerintah tak bicara soal pemenuhan kewajiban negara pemenuhan hak sosial bidang kesehatan, namun lebih karena konsepsi pemenuhan pemenuhan hak-hak sosial bidang kesehatan adalah dengan memandirikan individu.
Kesehatan. UPT ini mempunyai tugas dan fungsi untuk mengelola pelaksanaan program Jamkesda dan tugasnya sesuai dengan SK Kepala Dinas Kesehatan yang beranggota staf Dinas Kesehatan. Kesehatan. Adapun karakteristik dari tim UPT ini sebagai berikut: Tabel 4. Karakteristik Tim Pengelola Program Pelayanan Kesehatan Dasar Bersubsidi Kabupaten Banjar Karakteristik Jumlah Persentase Jenis Kelamin 8 47,05% - Laki-laki 9 52,95% - Perempuan Jabatan 12 70,58% - Pejabat Struktural 5 29,42% - Staf Pendidikan Akhir 2 11,76% 10 58,82% - S2 1 5,88% - S1 4 23,54% - Akademi - Sederajat SLTA Sumber: Dinkes Kabupaten Banjar, 2009 Dari data tersebut di atas terlihat bahwa yang menjadi anggota Tim UPT Program Jamkesda di Kabupaten Banjar 70,58% adalah menduduki jabatan struktural baik eselon III maupun eselon IV sehingga dalam hal ini terjadap jabatan rangkap, sedangkan yang berasal dari staf hanya 29,42%. Untuk latar belakang pendidikan Strata satu sebesar 55,82%, sedangkan sisanya berlatar belakang pendidikan strata strata S2, akademi akademi dan SLTA. SLTA.
2. Sumberdaya Manusia Pengelola Jamkesda Dalam pengelolaan program Jamkesda sebaiknya ada garis batas yang jelas antara fungsi pelaksana dan fungsi regulasi yaitu dengan memisahkan badan penyelenggara penyelenggara jaminan kesehatan, badan regulasi dan badan pelaksana pelayanan kesehatan, walaupun masih dalam satu koordinasi di tingkat kabupaten yaitu Dinas Kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar mutu pelayanan dan efektifitas pelaksanaan pelaksanaan program jaminan kesehatan lebih terjaga, di samping itu berguna dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Sebagai pelaksana pelayanan kesehatan pemerintah daerah harus berusaha meningkatkan meningkatkan mutu pelayanan, mempermudah akses pelayanan dengan meningkatkan sarana dan prasarana penunjang, meningkat-kan meningkat-kan efisiensi dan meningkatkan sumber daya manusia kesehatan. Rencana pengembangan program Jamkesda di Kabupaten Banjar dilakukan oleh Satuan Tugas (UPT) di bawah Dinas
3. Kepesertaan Program Jamkesda Data peserta masyarakat Kabupaten Banjar yang menjadi sasaran pelayanan kesehatan dasar gratis berdasar PKK I sebagai berikut :
Page 52
JURNAL FORUM KESEHATAN
Tabel 5.
No.
Data Masyarakat Miskin yang menjadi Sasaran Program Jamkesda Kabupaten Banjar Tahun 2008 Nama Puskesmas (PKM)
Jumlah Total
Persen (%)
01.
PKM Karang Intan
2.876
2.41
02.
PKM Sungai Alang
2.269
1.90
03.
PKM Sungai Pinang
7.711
6.46
04.
PKM Simpang Empat
5.863
4.91
05.
PKM Sungkai
4.192
3.51
06.
PKM Aluh-aluh
11.450
0.96
07.
PKM Jambu Burung
5.965
5.00
08.
PKM Kertak Hanyar
5.781
4.85
09.
4.344
3.64
10.
PKM Tatah Pemangkih Laut PKM Gambut
6.950
0.58
11.
PKM Sungai Tabuk
5.627
4.72
12.
PKM Lok Baintan
2.812
2.36
13.
PKM Sungai Rangas
6.149
5.15
14
PKM Dalam Pagar
7.458
6.25
15.
PKM Martapura
10.792
9.05
16.
PKM Pasayangan
3.982
3.34
17.
PKM Pengaron
4.150
0.35
18.
PKM Astambul
9.196
7.71
19.
PKM Bawahan Selan
4.953
4.15
20.
PKM Aranio
1.990
0.17
21.
PKM Sambung Makmur
2.909
2.44
22.
PKM Sungai Lulut
1.890
0.16
Jumlah/Total
119.309
100%
Kondisi ini memerlukan pendataan yang cukup komplek karena setiap saat dapat berubah ditambah ditambah lagi dengan karakteristik karakteristik masyarakat yang kurang respon dalam proses pendataan, sehingga tidak sedikit dalam proses pendataan ini masyarakat terdaftar ganda atau dengan data yang sudah tidak akurat. “…kepesertaan Jamkesda perlu adanya evaluasi dan pendataan ulang agar lebih akurat dan mempermudah dalam penghitungan klaim oleh Puskesmas dan rumah sakit…” (R.3, sakit…” (R.3, R.4). 4. Prosedur Klaim Program Jamkesda di Kabupaten Banjar Permasalahan klaim ini memang sangat erat kaitannya dengan sistem pendataan kepesertaan, kepesertaan, sehingga apabila pada proses pendataan kepesertaan kepesertaan baik, maka pada proses klaim akan berjalan lancar karena berdasarkan data yang sudah ada. Tetapi sebaliknya apabila pada pendataan terjadi kesalahan kesalahan dan kurang akurat maka pada proses klaim akan menghadapi kendala dalam proses pencocokan pencocokan data peserta yang akan dibayar. Dan biasanya memang Dinas kesehatan harus berdasarkan data yang valid dan akurat berdasarkan sistem pendataan yang sudah dilakukan oleh beberapa lembaga lainnya, padahal seringkali hasil dari pendataan antara lembaga tersebut tidak sama. Misalnya antara BPS dengan Askeskin sering terjadi ketidakcocokan data, maka untuk menghadapi permasalahan tersebut hasil verifikasi menjadi acuan dalam pembayaran pembayaran klaim. Pembayaran baru dapat dilakukan apabila sudah melewati proses verifikasi secara sederhana yang dilakukan oleh tim verifikasi yaitu dengan mencocokan format PKDB 1 (satu) dengan PKDB 2 (dua) dan dibayar setiap triwulan sesuai dengan sistem anggaran yang ada. Jumlah yang diterima PPK (khususnya untuk rawat jalan terlebih dahulu dikurangi sebesar 30% untuk pemda sebagai retribusi daerah dan sisanya dijadikan 100%. Dari 100% tersebut dipotong 20% untuk Dinas Kesehatan sebagai manajemen fee. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut :
Sumber: Program JPK-MM Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, 2008
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah masyarakat masyarakat miskin yang menjadi target kepesertaan Jamkesda dari 22 Puskesmas (PKM) di Kabupaten Banjar sebanyak 119.309 orang. Jumlah masyarakat miskin tertinggi berada pada PKM Aluh Aluh sebesar 9,60% dengan jumlah warga miskin sebanyak 11.450 orang, sedangkan jumlah masyarakat terkecil dimiliki oleh PKM Sungai Lulut sebesar 0,16% dengan warga miskin berjumlah 1.890 orang. orang. Peserta program Jamkesda di Kabupaten Banjar adalah masyarakat miskin yang tidak terakomodir Jamkesmas, dan masyarakat rentan berpenghasilan rendah dan belum memiliki jaminan pemeliharaan pemeliharaan kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri, dan Askes Komersial, selanjutnya disebut dengan peserta Jamkesda Kabupaten Banjar, yang terdaftar dan memiliki kartu Jamkesda dan berhak mendapatkan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Page 53
JURNAL FORUM KESEHATAN
“…dalam pengajuan klaim, kita dari pihak PPK hanya menerima dana bersih pelayanan kesehatan setelah dipotong 30% oleh pihak Dinas…” (R. Dinas…” (R. 4). Kebijakan pemotongan sebesar 30% tersebut berdasarkan Perda tarif, bahwa setiap retribusi harus masuk ke kas daerah sebagai jasa sarana karena pemda sudah menyediakan sarana dan fasilitas, sedangkan 20% untuk manajemen fee. kebijakan manajemen fee diambil berdasarkan berdasarkan SK Bupati tentang tarif Perda pasal 19 yang menyebutkan menyebutkan bahwa 70% dikembalikan ke dinas, antara lain digunakan untuk jasa pelayanan, operasional dan pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia. Menurut PPK besarnya persentase untuk manajemen fee langsung ditetapkan Dinas Kesehatan hal tersebut tidak menjadi permasalahan permasalahan asal ada dasar hukum yang mengharuskan seperti itu, yang penting fungsi dan tugas PPK adalah memberikan pelayanan. Hal tersebut sesuai hasil wawancara sebagai berikut: “…RS tidak ada akan menolak pasien, itu sudah menjadi prinsip kami setiap pasien tidak pernah ditolak, tapi loss cost kami harus ada orang yang memeriksa…” (R.3).
Hal ini sesuai hasil wawancara sebagai berikut: “…ketersediaan dana bagi kami yang masih meragukan, dalam arti kata, ya jumlahnya tadi. Pelayanan kan berjalan terus, nah ketersediaannya kami tidak ngerti berapa sih yang disiapkan dana untuk Jamkesda oleh pemerintah…” (R. 3) Dari hasil wawancara tersebut, menunjukkan adanya ketidak transparan pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kesehatan atas anggaran yang disediakan untuk pembayaran pembayaran klaim pelayanan program Jamkesda. Sistem seperti inilah yang akan memunculkan saling curiga antara pihak pemerintah dengan pihak penyedia pelayanan, sehingga dikhawatirkan pelayanan bagi peserta Jamkesda akan terganggu. Apalagi program Jamkesda di Kabupaten Banjar masih relatif baru dilaksanakan, sehingga dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik diantara instansi yang terkait dengan program ini. Ketersediaan Ketersediaan anggaran pada pemerintah juga menjadi menjadi hal penting untuk melakukan pengembangan program Jamkesda, apalagi untuk masa-masa yang akan datang proses pelayanan kesehatan memerlukan saran dan prasaran yang lebih memadai memadai dan berkualitas.
“… yang menjadi komitmen kami, siapapun yang datang ke kami sebagai pasien akan selalu diberi pelayanan yang terbaik sesuai dengan kapasitas kami…” (R.4). Sistem pembayaran berdasarkan pelayanan merupakan merupakan sistem yang memang disukai oleh PPK, karena dinilai lebih obyektif dan menguntungkan. Berapapun klaim yang diajukan dan berdasarkan berdasarkan hasil verifikasi tidak menjadi masalah karena akan tetap dibayarkan. Namun permasalahn muncul dari waktu pembayaran pembayaran yang kadang-kadang kadang-kadang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ada. Misalnya seharusnya pembayaran klaim diberikan tiap triwulan setelah proses pelayanan selesai dengan pembayaran pembayaran penuh, tetapi pada kenyataannya kenyataannya seringkali walaupun dibayarkan per triwulan tapi pembayarannya tidak penuh.
Page 54
JURNAL FORUM KESEHATAN
KESIMPULAN 1. Penganggaran rencana pengembangan program Jamkesda di Kabupaten Banjar sudah dialokasikan pada DPA-SKPD sebesar Rp 3.058.387.000,- yang termasuk pada alokasi anggaran peningkatan kesehatan masyarakat. Besarnya anggaran untuk program Jamkesda sebesar Rp. 917. 516.100,-. 2. Kesiapan sumberdaya manusia dalam rencana pengembangan program Jamkesda masih perlu dilakukan peningkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini ditunjukkan dengan pelaksanaan program pelayanan kesehatan kesehatan dasar bersubsidi masih dikelola oleh UPT yang berada di bawah Dinas Kesehatan dengan sumber daya manusia pengelola masih rangkap jabatan, baik secara struktural maupun fungsional. 3. Sistem kepesertaan program Jamkesda dikhususkan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu yang tidak terakomodir oleh program jaminan lainnya seperti Askeskin. Jumlah sasaran program Jamkesda di Kabupaten Banjar yang masih perlu dilakukan verifikasi kepesertaan kepesertaan program sebanyak sebanyak 10.422 orang. orang. 4. Persepsi stakeholder terhadap rencana pengembangan pengembangan program Jamkesda adalah positif. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui SK Bupati dan Perda terhadap pengaturan pelaksanaan program pelayanan kesehatan dasar bersubsidi. Selain itu juga sudah dibuktikan dengan dialokasikannya anggaran pada tahun 2009. SARAN 1. Pemda Kabupaten Banjar perlu mempersiapkan anggaran yang cukup besar untuk membiayai membiayai pelaksanaan pelaksanaan program Jamkesda dan pelayanan kesehatan dasar bersubsidi lainnya dengan menggandeng pihak-pihak ketiga yang menjadi sumber PAD. Selain itu juga perlu adanya sosialisasi bagi masyarakat akan pentingnya berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan dengan ikut serta dalam kepesertaan jaminan kesehatan yang di luncurkan oleh pemerintah. 2. Persiapan sumber daya manusia menjadi salah satu hal yang penting untuk pelaksanaan pelaksanaan program Jamkesda, Jamkesda, baik dari
Page 55
segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu juga persiapan lembaga pengelola yang independen perlu dilakukan sesegera mungkin agar mampu mempersiapkan halhal yang berkaitan dengan pelaksanaan program, muali dari penyusunan program, pendataan peserta serta terknis pelaksanaan program. 3. Sistem pembayaran klaim kepada PPK perlu dilakukan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Hal ini dilakukan untuk memperlancar pelayanan kesehatan ditingkat PPK. Hal tersebut dapat disusun dengan prosedur pencairan biaya klaim yang secara bersamaan, antara pemerintah dengan PPK sebagai penyedia pelayanan untuk menentukan standart procedure yang baku dan dapat dilaksanakan oleh semua pihak. Adanya standar prosedur tidak saja untuk efisiensi dana tetapi juga untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ke arah preventif dan promotif sehingga memberikan memberikan peluang ke arah efisiensi.
JURNAL FORUM KESEHATAN
DAFTAR PUSTAKA 1. Thabrany, H. (2005), Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta: Pamjaki.
2. Mukti; A. G. dan Moertjahjo. (2008). Sistem Jaminan Kesehatan: Konsep Desentralisasi Terintegrasi. Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/Jaminan Kesehatan. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Asosiasi Jaminan Sosial Daerah; Yogyakarta. 3. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Tahun 2007, Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. 4. Yin, R.K. (2002), Studi Kasus: Desain dan Metode (Rev. ed), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 5. Departemen Kesehatan, R.I, (2004), Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat , Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan R.I., Nomor 128/SK/II/2004 6. Mukti, A.G. (2003), Mencari Alternatif Model Sistem Pembiayaan Berbagai Asuransi Kesehatan Sosial di Era Desentralisasi, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 06 (2), pp.45-55.
Page 56
JURNAL FORUM KESEHATAN
Hubungan Pelaksanaan Kelas Antenatal Dengan Jenis Persalinan Pada Ibu Hamil di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Tahun 2016 Sofia Mawaddah1, Asih Rusmani 2, 1
Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
2
ABSTRAK Angka kematian ibu (AKI) sebagai indikator kesehatan ibu, masih besar di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa beberapa faktor yaitu pengawasan pengawasan kehamilan belum menjangkau menjangkau masyarakat masyarakat secara menyeluruh dan bermutu, pertolongan ibu hamil dan persalinan belum memadai, rendahnya sistem rujukan dan pendidikan/ pengetahuan masyarakat serta berkaitan juga dengan karakteristik ibu yang meliputi umur, paritas, pendidikan dan perilaku yang berpengaruh terhadap kondisi ibu selama hamil yang memengaruhi jenis persalinan. Diperlukan upaya untuk mengurangi AKI tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah diselenggarakannya kelas ibu hamil/ antenatal. Kelas antenatal merupakan sarana untuk belajar belajar bersama mengenai mengenai kesehatan ibu hamil dalam bentuk tatap muka muka dalam kelompok kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular menular dan akte kehamilan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pelaksanaan kelas antenatal dengan jenis persalinan pada ibu hamil di Puskesmas Pahandut palangka Raya tahun 2016. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a). Distribusi frekuensi jenis persalinan pada ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal di Puskesmas Pahandut Raya tahun 2016, (b). Distribusi frekuensi jenis persalinan pada ibu hamil yang tidak mengikuti kelas antenatal di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Tahun 2016, (c). Hubungan pelaksanaan pelaksanaan kelas kelas antenatal antenatal dengan jenis jenis persalinan persalinan pada ibu hamil di Puskesmas Puskesmas Pahandut Pahandut Palangka Palangka Raya tahun 2016. Metode: Rancangan penelitian yang digunakan adalah quasi eskperimen dengan dua kelompok subjek penelitian. Kelompok pertama pertama adalah kelompok kelompok kontol yaitu ibu hamil hamil yang tidak mengikuti mengikuti kelas antenatal antenatal dan kelompok kelompok kedua adalah kelompok kelompok eksperimen yaitu ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal. Hasil : Ada hubungan yang signifikan antara kelas antenatal dengan jenis persalinan di Puskesmas Pahandut palangka Raya. Ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal akan memiliki persiapan yang lebih baik dibandingkan ibu hamil yang tidak mengikuti kelas antenatal. Kesiapan diperoleh karena dukungan serta informasi yang diberikan melalui pendidikan kesehatan kepada ibu hamil mengenai hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh ibu hamil ketika menghadapi persalinan. Kesimpulan : (a). Ibu yang mengikuti kelas antenatal dalam proses persalinan normal sebanyak 12 orang (40%), ibu yang mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan abnormal sebanyak 3 orang (10%), (b). Ibu yang tidak mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan normal sebanyak 5 orang (16.7%) dan ibu yang tidak mengikuti kelas antenatal dengan persalinan tidak normal sebanyak 10 orang (33.3%), (c). Ada hubungan yang signifikan antara kelas antenatal dengan jenis persalinan persalinan di Puskesmas Puskesmas Pahandut Pahandut Palangka Palangka Raya
Page 57
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) sebagai indikator kesehatan ibu, masih besar di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 yang tercatat 228/100.000 kelahiran hidup dan mengalami peningkatan AKI pada tahun 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB tahun 2007 mengalami penurunan yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup menjadi 32/1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Hasil tersebut masih jauh dari target MDG’s yaitu harus harus mencapai 23 per 1000 kelahiran hidup. Tingginya AKI dan AKB di Indonesia menempatkan upaya penurunan sebagai program prioritas (dikutip dari Ni Ketut Nopi Widiantri). AKI dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu pengawasan kehamilan belum menjangkau masyarakat secara menyeluruh dan bermutu, pertolongan ibu hamil dan persalinan belum memadai, rendahnya sistem rujukan dan pendidikan/ pengetahuan masyarakat serta berkaitan juga dengan karakteristik ibu yang meliputi umur, paritas, pendidikan dan perilaku yang berpengaruh terhadap kondisi ibu selama hamil yang memengaruhi jenis persalinan. Kurangnya pengetahuan tentang kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu pada saat melahirkan (Nurrachmah, 2004). Ibu hamil dalam merencanakan proses persalinannya memerlukan suatu informasi yang benar, sehingga ibu mempunyai gambaran tentang kehamilan serta proses persalinan. Dari informasi dan gambaran tersebut, diharapkan ibu lebih siap dalam menghadapi proses persalinan manapun. manapun. Pengetahuan ibu tentang keadaan kehamilan dan persalinan yang akan dilakukan, memungkinkan untuk mempersiapkan fisik dan mental, sehingga ibu dapat memilih proses persalinan yang tepat dan aman. Seorang ibu hamil yang memiliki pengetahuan lebih tentang kehamilan akan lebih banyak berpikir untuk menentukan sikap yang tepat untuk mencegah dan mengatasi resiko pada kehamilan agar persalinannya berjalan baik dan aman. Dan ibu mempunyai kesadaran untuk melakukan kunjungan antenatal untuk memeriksakan kehamilan (Depkes RI, 2004). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan AKI adalah diselenggarakannya kelas ibu hamil/ antenatal.
Kelas ibu hamil/ antenatal merupakan sarana untuk belajar bersama mengenai kesehatan ibu hamil dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular dan akte kehamilan (Kemenkes RI, 2011). Pelaksanaan program kelas ibu hamil di Puskesmas dilakukan seminggu sekali dan minimal satu kali pertemuan didampingi oleh suami atau keluarga. Hal ini dimaksudkan agar kesehatan ibu selama hamil, bersalin, nifas, termasuk kesehatan bayi yang baru dilahirkannya dan kebutuhan akan KB pasca persalinan menjadi perhatian dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga. keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh dari buku register pelaksanaan Kelas Ibu Hamil di ruang KIA-KB Puskesmas Pahandut Palangka Raya disebutkan bahwa periode April sampai dengan Juni Tahun 2015 ada 267 orang ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Ada 12 kelas ibu hamil yang telah dibentuk selama periode tersebut di seluruh wilayah kerja puskesmas pahandut, yang dilaksanakan satu bulan sekali dan diikuti oleh 10 orang peserta ibu hamil pada seetiap kelasnya. Artinya ada 100 orang ibu hamil yang berpartisipasi mengikuti kelas antenatal sementara 167 orang ibu hamil tidak mengikuti kelas tersebut. Dapat disimpulkan bahwa hanya ada 34,8% ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal di puskesmas Pahandut Palangka Raya. Merujuk pada penjelasan di atas dapat diambli kesimpulan bahwa perkembangan dan pemanfaatan kelas ibu hamil masih rendah, sementara kelas ibu hamil sangat bermanfaat secara fisik dan mental. Padahal pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Sebagaimana dinyatakan oleh Permata (2002) bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal, maka ia akan cenderung mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan masalah tersebut dibandingkan dengan mereka yang pengetahuannya rendah. rendah. Berdasarkan uraian di atas maka penting dilakukan penelitian mengenai hubungan pelaksanaan kelas antenatal dengan jenis persalinan pada ibu hamil di Puskesmas Palangka raya Tahun 2016.
Page 58
JURNAL FORUM KESEHATAN
ME TODE TOD E P E NE L I TI AN
Design penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan dua kelompok subjek penelitian. Kelompok pertama adalah kelas kelompok kontrol yaitu ibu hamil yang tidak mengikuti kelas antenatal dan kelompok kedua adalah kelas kelompok eksperimen yaitu ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal.
Kegiatan Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil Pertemuan kelas ibu hamil dilaksanakan sebanyak 3 kali pertemuan selama hamil atau sesuai dengan hasil kesepakatan fasilitator dengan peserta. Materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ibu hamil namun tetap mengutamakan materi pokok. Pada setiap akhir pertemuan diadakan senam ibu hamil. Durasi waktu pertemuan adalah 120 menit dan sudah termasuk senam hamil selama 15-20 menit.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Pahandut Palangka Raya dan Waktu penelitian pada bulan Oktober 2016-Desember 2016-Desember 2016. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu hamil trimester III yang memeriksakan kehamilan pada bulan sebelumnya di Puskesmas Pahandut sejumlah 32 orang setiap bulan. Sampel dalam penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi dan rumus Notoatmodo 2010 ialah sebnyak 30 orang dibagi atas dua bagian yaitu 15 orang ibu yang ikut kelas antenatal disebut sebagai kasus dan 15 orang ibu yang tidak ikut kelas antenatal yang disebagai kontrol.
a. Proses pertemuan kelas ibu hamil
b. Materi, Metode dan Alat Bantu Penjelasan dan uraian materi pertemuan kelas ibu hamil dari pertemuan I s/d III dipaparkan pada Pegangan Fasilitator, Buku KIA, Lembar Balik, CD senam ibu hamil dan buku senam ibu hamil. Susunan materi, metode dan alat bantu pertemuan pelaksanaan kelas ibu hamil dari pertemuan I sampai III seperti pada tabel berikut:
Kriteria inklusi subjek penelitian 1. ibu hamil sehat tanpa komplikasi 2. umur kehamilan ≥ 28 minggu 3. ibu hamil trimester III yang mengikuti kelas antenatal minimal 3 kali Kriteria Eksklusi 1.Ibu 1. Ibu hamil dengan komplikasi kehamilan 2.Umur 2. Umur kehamilan < 28 minggu Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive sampling. Dengan menggunakan teknik tersebut maka populasi yang memenuhi kriteria memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Jumlah sampel ditetapkan berdasarkan rumus Notoatmodjo 2010. Sampel yang diperoleh sejumlah 30 orang yang dibagi atas dua bagian. Bagian pertama yaitu 15 orang ibu hamil yang tidak ikut kelas antenatal dan bagian kedua yaitu 15 orang ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal.
Page 59
JURNAL FORUM KESEHATAN
Contoh jadwal pertemuan kelas ibu hamil (pertemuan I)
PERTEMUAN I
1. 2.
Materi Penjelasan umum kelas ibu hamil dan perkenalan peserta Materi kelas kelas ibu hamil pertemuan pertama: a. Kehamilan, Perubahan Tubuh dan Keluhan. Apa kehamilan itu?
Metode
Waktu 10 Menit
Alat Bantu Buku KIA
85 Menit
Flip chart, Buku KIA, Lembar balik, Contoh makanan, Stiker P4K, Dll
10 Menit
Kuesioner
5 Menit
Buku KIA
15-20 Menit
Tikar/karpet, bantal, CD/Buku senam hamil (Jika ada)
Waktu 10 Menit 85 Menit
Alat Bantu Buku KIA Buku KIA, Lembar Lembar Balik, Boneka Bayi, KB Kit, Dll
Tanya Jawab
10 Menit
Kuesioner
Ceramah Praktek
5 Menit 15-20 Menit
Buku KIA Tikar/karpet, bantal, CD/Buku senam hamil (Jika ada)
Ceramah Tanya Jawab, Ceramah, Demontsrasi, dan Praktek
Perubahan tubuh ibu selama kehamilan Keluhan umum saat hamil dan cara mengetahuinya (kram kaki, wasir, nyeri pinggang) Apa saja yang dilakukan ibu hamil Pengetahuan gizi termasuk pemberian tablet tambah darah untuk penanggulangan Anemia Perawatan Kehamilan Kesiapan psikologis menghadapi kehamilan Hubungan suami istri selama kehamilan Obat yang tidak boleh dan boleh dikonsumsi dikonsumsi oleh ibu hamil Tanda-tanda Tanda-tanda bahaya kehamilan Perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi komplikasi (P4K) Evaluasi harian hari ke I Materi pertemuan I (Peningkatan Pengetahuan) Kesimpulan Senam ibu hamil (Lembar Balik Pilihan 1) Setelah penyampaian materi selesai
b.
Suami diikut Tanya Jawab
sertakan,
c.
d. e.
Ceramah, Praktek
Contoh jadwal pertemuan pertemuan kelas ibu hamil (pertemuan II)
PERTEMUAN II
1. 2.
Materi Review materi pertemuan I Materi kelas kelas Ibu hamil (Pertemuan II) a. Persalinan Tanda-tanda Tanda-tanda persalinan Tanda bahaya pada persalinan Proses persalinan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) b. Perawatan nifas Apa saja yang dilakukan ibu nifas agar dapat meyusui eksklusif? Bagaiman menjaga kesehatan ibu nifas? Tanda-tanda Tanda-tanda baha ya dan penyakit ibu nifas? KB pasca salin c. Evaluasi harian hari ke II Materi pertemuan II (peningkatan pengetahuan) d. Kesimpulan e. Senam ibu hamil setelah penyampaian materi selesai
Metode Ceramah Tanya Jawab, Demontsrasi, dan Praktek
Page 60
JURNAL FORUM KESEHATAN
Contoh jadwal pertemuan kelas ibu hamil (pertemuan III) PERTEMUAN III
1. 2.
Materi Review materi pertemuan I Materi kelas ibu hamil (Pertemuan III) a. Perawatan Bayi Perawatan Bayi Baru Lahir (BBL) Pemberian Vitamin K 1 injeksi pada BBL
Metode Ceramah Tanya Jawab, Demontsrasi, dan Praktek
Waktu 10 Menit 85 Menit
Alat Bantu Buku KIA Buku KIA, Lembar Lembar Balik, Metode Kanguru, Boneka, Dll
Tanya Jawab
10 Menit
Kuesioner
Ceramah Praktek
5 Menit 15-20 Menit
Buku KIA Tikar/karpet, bantal, CD/Buku senam hamil (Jika ada)
b.
Tanda bahaya BBL Pengamatan perkembangan Bayi atau anak Pemberian imunisasi pada BBL
Mitos
Suami diikut Sertakan
Penggalian dan penelusuran mitos yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak Penyakit Menular Infeksi Menular Seksual (IMS)
c.
Informasi dasar HIV/AIDS Pencegahan dan penanganan malaria pada ibu hamil d. Akte Kelahiran Pentingnya Pentingnya akte kelahiran Evaluasi harian hari ke III dan evaluasi materi pertemuan III (Peningkatan Pengetahuan) Kesimpulan Senam ibu hamil dana tau senam nifas setelah penyampaia materi materi selesai
3.
4. 5.
Page 61
JURNAL FORUM KESEHATAN
c.
Pendekatan Kelas Ibu Hamil 1. Kelas ibu hamil dilaksanakan menggunakan prinsip Belajar Orang Dewasa (BOD). 2. Bidan di desa memfokuskan pembelajaran pada upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil menggunakan Lembar Balik, KB-KIT, Contoh makanan, Boneka bayi dll. 3. Sesuai dengan pendekatan BOD, metode yang digunakan adalah: Ceramah
HASIL
Distribusi Responden
Frekuensi
Karakteristik
Tanya jawab Demonstrasi dan praktik
Curah pendapat penugasan (peserta ditugaskan membaca Buku KIA, dll) Simulasi. 4. Pada awal pertemuan dimulai engan pengenalan kelas ibu hamil dan perkenalan sesama peserta dan fasilitator. Gunakan label nama untuk peserta dan fasilitator. 5. Setiap penggantian sesi sebaiknya diselingi dengan permaian untuk penyegaran.
Karakteristik ibu hamil yang mengikuti kelas ibu hamil a. Usia kehamilan b. Pendidikan c. Umur ibu d. Paritas Kerangka Konsep Berdasarkan uraian dan tinjauan teori yang telah diperoleh, maka kerangka konsep penelitian disajikan sebagai berikut: berikut:
Page 62
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa: a) Distribusi Frekuensi Ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal berdasarkan usia Paling banyak responden berusia > 35 th yaitu sebanyak 14 orang (100%) terdiri dari 7 orang (50%) mengikuti kelas antenatal dan 7 orang (50%) tidak mengikuti kelas antenatal. Usia < 20 tahun sebanyak 3 orang (100%) terdiri dari 1 orang (33,3 %) mengikuti kelas antenatal dan 2 orang(66,7%) tidak mengikuti kelas antenatal. Usia 20-35 th yaitu sebanyak 14 orang (100%) terdiri dari 7 orang (53,8%) mengikuti kelas antenatal dan 6 orang (46,2 %) tidak mengikuti kelas antenatal. b) Distribusi Frekuensi Ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal berdasarkan pekerjaan Paling banyak responden tidak bekerja yaitu sebanyak 25 orang (100%) terdiri dari 12 orang (48%) mengikuti kelas antenatal dan 13 orang (52%) tidak mengikuti kelas antenatal. Responden yang bekerja yaitu sebanyak 5 orang (100%) terdiri dari 3 orang (60%) mengikuti kelas antenatal dan 2 orang (40%) tidak mengikuti kelas antenatal. c) Distribusi Frekuensi Ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal berdasarkan paritas. d)
JURNAL FORUM KESEHATAN
Paling banyak responden ialah multipara yaitu sebanyak 16 orang (100%) terdiri dari 7 orang (43,8%) mengikuti kelas antenatal dan 9 orang (56,2%) tidak mengikuti kelas antenatal. Primipara yaitu sebanyak 14 orang (100%) terdiri dari 8 orang (57,1%) mengikuti kelas antenatal dan 6 orang (42,9%) tidak mengikuti kelas antenatal. e) Distribusi Frekuensi Ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal berdasarkan pendidikan Paling banyak responden berpendidikan SMU yaitu sebanyak 13 orang (100%) terdiri dari 7 orang (53,9%) mengikuti kelas antenatal dan 6 orang (46,1%) tidak mengikuti kelas antenatal. Pendidikan SMP sebanyak 8 orang (100%) terdiri dari 4 orang (50 %) mengikuti kelas antenatal dan 4 orang (50%) tidak mengikuti kelas antenatal. Pendidikan S1 yaitu sebanyak 6 orang (100%) terdiri dari 3 orang (50%) mengikuti kelas antenatal dan 3 orang (502 %) tidak mengikuti kelas antenatal. Pendidikan SD yaitu sebanyak 3 orang (100%) terdiri dari 1 orang (33,3%) mengikuti kelas antenatal dan 2 orang (66,7%) tidak mengikuti kelas antenatal.
Dari tabel di atas tersebut diketahui bahwa ibu yang mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan normal sebanyak 40%, ibu yang mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan abnormal sebanyak 10% 10 % sedangkan ibu yang tidak mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan normal sebanyak 16,7% dan ibu yang tidak mengikuti kelas antenatal dengan proses persalinan tidak normal sebanyak 33,3% Hasil uji statistic dengan ujichi-square ujichi-square menunjukkan bahwa nilai p=0.10 (p=<0,05) nilai tersebut dibawah taraf signifikansi 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan terhadap hubungan yang signifikan antara kelas antenatal dengan jenis persalinan di Puskesmas Pahandut Palangka Raya PEMBAHASAN
Karakteristik ibu hamil yang mengikuti kelas antenatal apabila dilihat dari rata-rata usia ibu paling banyak adalah adalah usia > 35 tahun sebanyak 7 0rang (50%). Berdasarkan pekerjaan, kelompok yang paling banyak mengikuti kelas antenatal adalah ibu yang tidak bekerja yaitu sebanyak 12 0rang (48%). Berdasarkan pendidikan ibu hamil yang paling banyak mengikuti kelas antenatal adalah ibu dengan pendidikan SMU yaitu sebanyak 7 0rang (53,9%). Berdasarkan paritas ibu hamil yang paling banyak mengikuti kelas ibu hamil adalah ibu primipara sebanyak 8 orang (57,1%). Berdasarkan analisa statsitik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Kelas Antenatal dengan proses persalinan diPuskesmas Pahandut Palangka Raya.
Distribusi Frekuensi Kelas Antenatal
Hasil penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Bernadeta (2003) bahwa terdapat hubungan kelas ibu hamil dengan proses persalinan di klinik Bidan Praktek Swasta Hj. Endang Tungkak Yogyakarta. Hasil ini sejalan dengan pendapat Manuaba (1998) bahwa kelas ibu hamil secara teratur dapat membantu proses persalinan berlangsung alami dan lancar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaimatul Chusnah Tahun 2012 tentang hubungan keikutsertaan kelas ibu hamil terhadap proses persalinan pada ibu primigravidarum di primigravidarum di wilayah kerja Puskesmas Nalumsari Jepara dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keikutsertaan kelas ibu
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 56,67% bayi dilahirkan dengan persalinan normal dan 43,33 b ayi dilahirkan dengan proses persalinan tidak normal.
Page 63
JURNAL FORUM KESEHATAN
hamil terhadap proses persalinan pada ibu primigravidarum di primigravidarum di wilayah kerja puskesmas nalumsari jepara karena p value (0.000) < 0,05. Kesiapan menghadapi persalinan adalah rencana tindakan yang dibuat oleh ibu, anggota keluarga dan bidan.Persiapan ini tidak harus dalam bentuk tertulis, namun dalam bentuk diskusi untuk memastikan bahwa ibu dapat menerima asuhan yang diperlukan. Dengan adanya persiapan persalinan akan mengurangi kebingungan dan kekacauan pada saat persalinan dan meningkatkan kemungkinan bahwa ibu akan menerima asuhan yang sesuai tepat waktu. (Romauli, 2011, h. 146). Kesiapan ibu hamil dalam menghadapi persalinan ini ditunjukkan dengan melakukan persiapan secara fisik, yaitu dengan mengkonsumsi asupan gizi yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ibu dan janin, melakukan aktivitas fisik dengan melakukan olahraga ringan dan berjalan jalan serta melakukan persiapan secara psikologis dengan rajin berdoa dan juga melakukan persiapan finansial yaitu mengumpulkan atau menabung untuk kebutuhan persalinan nantinya. Dengan persiapan yang dilakukan ini diharapkan diharapkan ibu dapat melakukan persalinan dengan baik dan tidak ada halangan yang mengganggu selama proses persalinan sehingga persalinan bisa berjalan secara normal. Kesiapan ibu ini bisa diberikan melalui kelas antenatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arum Widiastuti Tahun 2014 tentang Hubungan keaktifan mengikuti kelas ibu hamil dengan proses persalinan pada ibu hamil di desa Colo kecamatan Dawe kabupaten Kudus dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa Ada Hubungan antara Keaktifan Mengikuti Kelas Ibu Hamil dengan proses Persalinan Pada Ibu Hamil di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus tahun 2013 dengan nilai p value sebesar 0.000. Hasil penelitian ini menunjukkan didapatkan nilai p value sebesar = 0,25 < 0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara kelas antenatal dengan Jenis persalinan di Puskesmas Pahandut Palangka Pal angka Raya. Hasil penelitian tersebut dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang mengikuti kelas ibu hamil akan mempunyai persiapan yang lebih baik dibandingkan
dengan ibu hamil yang tidak mengikuti kelas ibu hamil. Kesiapan itu diperoleh berkat dukungan serta informasi yangdiberikan melaluipendidikan kesehatan kepada ibu hamil tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh ibu hamil dalam menghadapi persalinan pada kelas antenatal. Ada beberapa hal kesiapan menjelang persalinanyang dibutuhkan ibu hamil yaitu didalam buku Bobak Lowdermild, Jesen (2004) yaitu yaitu persiapan fisik, psikologi, finansial, dan kultural.(Martanti, 2013, h. 30).Proses persalinan adalah proses yang banyak melelahkan, untuk itu perlunya dilakukan persiapan fisik semenjak kehamilan memasuki bulan ke 8 kehamilan, hal ini disebabkan persalinan bisa terjadi kapan saja. Persiapan pada ibu primigravida umumnya belum mempunyai bayangan mengenai kejadian-kejadian yang akan dialami pada akhir kehamilannya saat persalinan terjadi. Salah satu yang harus dipersiapkan ibu menjelang persalinan yaitu hindari kepanikan dan ketakutan dan bersikap tenang, dimana ibu hamil dapat melalui saat-saat persalinan dengan baik dan lebih siap serta meminta dukungan dari orangorang terdekat, perhatian dan kasih sayang tentu akan membantu memberikan semangat untuk ibu yang akan melahirkan. Keluarga baik dari orang tua maupun suami merupakan bagian terdekat bagi calon ibu yang dapat memberikan pertimbangan serta bantuan sehingga bagi ibu yang akan melahirkan merupakan motivasi tersendiri sehingga lebih tabah dan lebih siap dalam menghadapi persalinan. Hasil penelitian Redshaw& Henderson (2013) kelas ibu hamil mempersiapkan orang tua secara emosional dan psikologis dalam menghadapi masa kehamilan, persalinan dan pola asuh, sehingga mereka lebih percaya diri tentang peran mereka sebagai orang tua nanti.
Page 64
JURNAL FORUM KESEHATAN
DAF TAR PUSTAKA PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5] [6] [7]
[8]
Keluarga berencana untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta: EGC [14] Martaadisoebrata. 2005. Bungan Rampai Obstetri dan Gunekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono. [15] Notoadmodjo, Soekidjo. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. [16] Osninelli. 2007. Hubungan Pendidikan Prenatal Melalui Kelas Ibu hamil dengan Persalinan Tenaga Kesehatan. Kesehatan . Universitas gajah mada. [17] Redshaw, M., & Henderson, J. 2013. 2013. Fathers Engagement in Pregnancy and Childbirth: Evidence from a National Survey. Survey. BMC Pregnancy P regnancy and Chilbirth. [18] Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (p.178). (p.178). Jakarta. [19] Romauli, Suryati. 2011. Buku Ajar Asuhan Kebidanan I Konsep Dasar Asuhan Kehamilan. Yogyakarta: Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika. [20] Suyatno, S. & Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Pemberdayaan . Yogyakarta: Aditya Media. [21] Sosroasmoro, S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. [22] Simanjuntak, T. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Pemeriksaan Kehamilan K4. K4. Universitas Indonesia. [23] Sastrawinata, S. 2004. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Reproduksi. Jakarta: EGC [24] Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta: 4. Jakarta: EGC [25] Wiknojasastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Kebidanan . Jakarta: Bina Pustaka. [26] Widiastuti, Arus. 2014. Hubungan Keaktifan Mengikuti Kelas Ibu Hamil dengan Persiapan Persalinan Pada Ibu Hamil di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus.
A. Alimul Hidayat. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analitis Data. Surabaya: Salemba berman, R. O. 2006. Perceived Learning Needs of Minority Expectant Women and Barriers to Prenatal Education. The Journal of Perinatal education. cohen, S., Gottlieb, B. H.,& Underwood, Underwood, L. G. 2000. Social Relationship and Health in Social S upport Measurement and Interventions: Interventions: A guide for health and social sientist. Cchusnah, Zaimatul. 2012. Hubungan Keikutsertaan Kelas Ibu Hamil Terhadap Kesiapan Menghadapi Persalinan Pada Ibu Primigravidarum di Wilayah Kerja Puskesmas Nbalumsari Jepara. cunningham, f. G, dkk. 2006. Obstetri Williams Volume I. Jakarta: EGC Depkes RI. 2006. Ibu Sehat Bayi Sehat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2008. Panduan Pelaksanaan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) and Child Survival. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Depkes RI. 2009. Penanganan Fasilitator Kelas Ibu Hamil Tahun 2009. Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil (p.72). jakarta: Departemen Kesehatan RI.
[9] Dinkes. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013. 2013 . Palangka Raya. [10] Kemenkes RI. 2014. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta: Kemenkes RI. [11] Kependudukan, Kependudukan, B., & Nasional, Nasional, B. 2013. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. SDKI. [12] Manuaba, I, C. 2008. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi dan ObstetriGinekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Bidan . Jakarta: EGC. [13] Manuaba, I. B. G, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan
Page 65
JURNAL FORUM KESEHATAN
PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA 6-10 TAHUN DI KECAMATAN SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG Sri Eny Setyowati1 , Sri Widiyati2 , Fajar Surahmi 3 Jurusan Keperawatan Poltekkes Poltekkes Kemenkes Semarang Jl. Tirto Agung,Pedalangan,Banyumanik,Semarang Agung,Pedalangan,Banyumanik,Semarang Abstract
Background: According to Indonesian Child Protection Commission, Central Java is a province with high rate of violence of children. This province is ranked 18 th from 34 provinces in Indonesia with approximately 2000 cases between January and July 2015. Among those cases, 157 0 cases were sexual assault cases. Parents plays a major role in educating their children about sex, particularly for children from 6 – 6 – 10 10 year-old who are in the elementary school. Therefore, this research aims to understand how knowledgeable the parents are about sex education for 610 year-old children. Research aims: This research aims to understand how knowledgeable the parents of students in elementary school are about sex education for 6-10 year-old children in District Sumo wono. Research method: This research is a Descriptive-Analytic research with cross sectional approach. One hundred parents of 6-10 year-old students in District Sumowono, Regency Semarang Semarang are used as a population. Research method: This research is a Descriptive-Analytic research with cross sectional approach. One hundred parents of 6-10 year-old students in District Sumowono, Regency Semarang Semarang are used as a population. Result: The characteristic of the respondents are 46% parents (aged 20-30 years old), 48% parents are Junior High School educated, and 41% parents work as housewife. The result of this experiment shows that 63% parents have less knowledge about sex education for children. Those parents still think that sex conversation with children is taboo (53%) and this conversation should be given after marriage (76%). Suggestion: This research suggests that sex education should be informed to the parents of 6-10 year-old students by giving seminars or watching movies. Keywords: Knowledge, parents, sex education, 6-10 year-old children, Abstrak Latar Belakang: Komisi Nasional Perlindungan anak menyatakan bahwa Provinsi Jawa Tengah menyandang status darurat kekerasan terhadap anak dan menempati posisi ke 18 dari 34 propinsi di Indonesia dengan 2000 kasus selama bulan Januari hingga Juli 2015. Dari jumlah tersebut, 1570 kasus dari antaranya adalah kekerasan seksual. Dalam hubungan ini, orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan pendidikan seks kepada anak usia 6-10 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia 6-10 tahun. Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan orang tua siswa tentang pendidikan seks pada anak usia 6-10 tahun di Kecamatan Kecamatan Sumowono. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah para orang tua siswa yang mempunyai anak dengan usia 6- 10 tahun di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang berjumlah 100 orang. Hasil: Karakteristik responden menunjukkan bahwa sebagian orang tua siswa berumur 20-30 tahun (46%), sebagian besar berpendidikan SMP (48%) dan sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga (41%). Didapati bahwa sebagian sebagian besar orang tua siswa memiliki pengetahuan yang yang kurang tentang pendidikan pendidikan sex pada anak anak (62%) seperti: sebagian besar dari mereka masih beranggapan bahwa membicarakan seks pada anak adalah tabu (53%) dan sebaiknya pendidikan seks diberikan setelah anak menikah (76%). Disarankan: Karena itu disarankan agar informasi tentang pendidikan seks diberikan kepada orang tua siswa yang anaknya berusia 6-10 tahun dengan cara ceramah atau pemutaran film. Kata kunci: Pengetahuan, orang tua, pendidikan seks, anak usia 6 -10 tahun,
Page 66
JURNAL FORUM KESEHATAN
Latar belakang Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia menjadi menjadi hal yang sangat memprihatinkan dewasa ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan bahwa selama tahun 2012 tercatat sebanyak 62 % atau 1.526 kasus tindakan kekerasan seksual terjadi pada anak. Dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2012 mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 10%. Bahkan dari laporan yang masuk ke Komnas PA tercatat bahwa selama bulan Januari Januari hingga awal awal Februari Februari tahun 2013, di wilayah Jabotabek saja, telah terjadi kejahatan seksual terhadap anak sebanyak 42 kali (BKKBN, 2013). Ketua Umum Pergerakan Indonesia, Sereida Tambunan, mengatakan bahwa tidak ada tempat aman untuk anak Indonesia. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama Januari hingga Agustus 2015, korban kasus pelecehan seksual didominasi oleh anak. Setidaknya ada 1.726 kasus yang melibatkan anak-anak dan 58 persen di antaranya merupakan pelecehan seksual. Itu berarti ada sekitar 1000 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dari Januari hingga Agustus 2015 yang adalah kasus kekerasan seksual. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur tahun 1992 menemukan bahwa pada umumnya mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual disebabkan adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun sebagian pemerkosa pemerkosa biasanya bi asanya mencoba menaklukan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan menggunakan menggunakan obat bius (5,1%) (Bagong Suyanto, 2010:239). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa provinsi Jawa Tengah menyandang status darurat kekerasan terhadap anak. Jawa Tengah menempati posisi ke 18 dari 34 provinsi, provinsi , dengan 2.000 kasus selama Januari hingga Juli 2015. Sebanyak 1.570 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual. Sisanya adalah kasus penelantaran hinga kekerasan fisik dan verbal. Data yang dihimpun Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Jawa Tengah menyebutkan pada Januari hingga Juni 2015 Kabupaten Semarang merupakan wilayah dengan tingkat kekerasan fisik katagori baru tertinggi yakni 70 kasus, disusul Wonosobo (62) kasus dan Cilacap (52 kasus). Total kekerasan katagori kasus baru sebanyak 724.
Berdasarkan jenis kekerasan, kekerasan seksual di Jawa Tengah masih menempati urutan tertinggi (“Dari Mencubit Hingga Membunuh”, Membunuh”, Suara Merdeka, 12 Oktober 2015). Hingga saat ini pendidikan seks masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Masyarakat menganggap bahwa pendidikan seks hanya perlu diberikan kepada orang yang mau menikah, kendati sesungguhnya dorongan seksual sudah muncul jauh sebelum seseorang memasuki memasuki usia menikah. Skripsiadi Skripsi adi (2005) mengatakan bahwa terdapat dua hal yang membuat masyarakat merasa tabu dalam membicarakan hal tersebut. Kedua hal dimaksud adalah pertama, faktor budaya yaitu ada budaya yang melarang pembicaraan pembicaraan tentang seks di depan umum karena dianggap sebagai sesuatu yang jorok atau porno dan bersifat sangat sangat pribadi sehingga sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain; kedua, pengertian atau pengetahuan seks yang ada di masyarakat masih sangat rendah. Pembicaraan tentang seks seolah-olah hanya terbatas pada hubungan seksual saja. Masih banyak orang tua beranggapan bahwa membicarakan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas manusia kepada anak adalah sesuatu yang tabu, sehingga baik anak maupun orang tua enggan membuka komunikasi tentang hal tersebut (Briggs dan Hawkins,1997:192). Hal ini bisa disebabkan oleh minimnya pengetahuan orang tua tentang tentang pendidikan seks pada anak, apalagi bagi orang tua di pedesaan. Inilah yang menjadi penghalang dimelakukan dimelakukan pendidikan seks dalam keluarga, terutama di kalangan orang tua yang memiliki sifat tertutup dan menjunjung menjunjung tinggi tinggi etika ketimuran. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman pemahaman yang benar tentang pendidikan seks dan perlakuan kekerasan seksual terhadap anak serta cara-cara pencegahannya. pencegahannya. Karena itu penting dilakukan pendidikan seks serta bagaimana bagaimana mencegah mencegah tindak kekerasan terhadap anak kepada orang tua bahkan anak. Anak usia 6-10 tahun yang masih duduk di bangku kelas 1-3 Sekolah Dasar merupakan generasi penerus bangsa yang dapat membawa perubahan bagi bangsa dan Negara di masa mendatang. Mereka merupakan kelompok yang rawan mengalami kekerasan seksual, terutama anak sekolah usia dini yang berumur antara 7 – 10 tahun. Anak-anak ini sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Page 67
JURNAL FORUM KESEHATAN
Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengetahuan orang tua siswa tentang pemberian pendidikan seksual pada anak usia 6-10 tahun di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang tahun 2016. Dengan memperoleh gambaran tentang pengetahuan orang tua dalam memberikan memberikan pendidikan seksual pada anak usia 6-10 tahun, maka akan dapat dicari cara melakukan intervensi yang tepat terhadap orang tua siswa tentang pendidikan seks untuk anak usia 6-10 tahun di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang”. Metode Penelitian : Jenis penelitian yang digunakan di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Dalam penelitian ini jumlah seluruh responden adalah 100 orang, responden adalah orang tua siswa yang memiliki anak anak usia 6-10 tahun yang duduk di bangku SD kelas 1-3. Responden tersebut adalah 22 orang dari SDN Piyangggang 1 dan 40 orang dari SDN Piyanggang 2 serta 38 orang dari SDN Mendongan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik, pengetahuan orang tua siswa yang mempunyai anak usia 6 – 6 – 10 10 tahun yang masih sekolah di SD di Kecamatan Sumowono tentang pendidikan seks anak usia 6 -10 tahun, sedangkan variebel dependent adalah praktek memberikan memberikan pendidikan seks anak anak usia 6 -10 tahun. Instrument pengumpulan data adalah kuesioner terstruktur. Data kuantitatif diolah dengan SPSS. Hasil dan Pembahasan : Mayoritas responden berumur 20 sampai 30 tahun (46%) dengan tingkat pendidikan terbanyak SMP (48%). Sebagian besar responden pekerjaannya pekerjaannya adalah ibu rumah rumah tangga (41%). Masih rendahnya pendidikan orangtua tentang pendidikan seks. dikarenakan faktor budaya di mana wanita tidak perlu bersekolah tinggi dan faktor faktor ekonomi. Menurut Menurut Mubarak, pendidikan seseorang berpengaruh terhadap penerimaan informasi, salah satunya tentang pendidikan seks. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih terbuka menerima informasi. Berbeda dengan halnya orang tua yang mempunyai mempunyai pendidikan rendah, akan cenderung tidak terbuka menerima
informasi dari luar, bahkan tidak jarang sering beranggapan bahwa masalah pendidikan seks adalah hal yang tabu (Mubarok.W). Pendapat ini juga sejalan dengan hasil penelitan Sujarwati dkk, yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua yang tinggi lebih terarah dalam menyampaikan informasi tentang pendidikan pada anak dibandingkan dengan pendidikan orang tua yang rendah yang masih menganggap seks merupakan hal yang tabu (Sujarwati dkk. 2016). Pengetahuan. Hasil penelitian univariat menunjukkan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai mempunyai pengetahuan kurang (62%), cukup (34%) dan baik (4%). Hasil uji statistik pengetahuan didapatkan bahwa p value >α >α, (0,001 >0,05 ), artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek memberikan pendidikan seks pada anak usia 6 – 10 tahun di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan orang tua siswa SD Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang masih kurang. Hal ini bisa dikarenakan sebagian besar orangtua mempunyai tingkat pendidikan rendah yakni hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini diindikasikan oleh masih banyaknya orang tua yang mempunyai mempunyai anggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan kepada anak usia 6 – 6 – 10 10 tahun. Pengetahuan yang kurang pada orang tua siswa, seperti misalnya tentang asal usul manusia, masih banyak orang tua belum tahu bahwa menjelaskan menjelaskan asal usul manusia pada anak adalah termasuk bahagian dari pendidikan seks pada anak. Karenanya orang tua tidak dapat menjelaskan pada anaknya. Kurangnya informasi tentang pendidikan seks dari orang tua menjadi penyebabnya. Pada hal orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam mrnyampaikan informasi tentang pendidikan seks. Demikian juga halnya dengan penyebutan alat kelamin laki-laki dan perempuan. Dikarenakan adanya anggapan pendidikan seks pada anak adalah tabu maka masih banyak orang tua ketika menyebut alat kelamin, menggunakan kata-kata kiasan/perumpamaan seperti “burung” untuk alat kelamin laki-laki laki-laki dan “tempe” untuk alat kelamin wanita (disesuaikan dengan daerah masing-masing). Ini bisa dimungkinkan karena orang tua enggan atau merasa tidak nyaman untuk menjelaskan atau menyebukan nama alat kelamin laki-laki
Page 68
JURNAL FORUM KESEHATAN
dan perempuan dengan sebutan yang sebenarnya. Pengetahuan dapat diperoleh seseorang melalui melihat, mendengar atau mengalami suatu kejadian yang nyata. Selain itu pengetahuan dapat pula diperoleh melalui pendidikan baik yang berbentuk formal maupun informal. Pengetahuan bisa diperoleh juga dari pengalaman pengalaman baik pengalaman pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengetahuan lebih bersifat pengenalan benda atau suatu hal secara secara obyektif (Notoatmodjo,2010). Kenyataan masih kurangnya pengetahuan tentang pendidikan seks pada orang tua siswa di Kecamatan Sumowono yang menyatakan sebagian besar masih memahami bahwa pendidikan seks berarti mengajarkan mengajarkan segala hal tentang seksualitas kepada anak, tentu saja akan berdampak pada adanya rasa tabu untuk melakukan pendidikan seks pada anak. Hal ini juga menunjukkan menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua siswa masih sangat terbatas. Padahal yang seharusnya bertanggung jawab memberikan pendidikan seks pada anak sejak dini adalah orang tua dalam keluarga. Karena keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak maka pendidikan seks harus dimulai dari keluarga. Sedangkan pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan di rumah. Karena itu sebaiknya sebaiknya informasi tentang seks didapatkan anak dari orang tua dan guru. Di sini, selain orang tua, peran guru kelas sangat penting. Diharapkan guru dapat menyisipkan menyisipkan materi pendidikan seks dalam materi pelajaran yang relevan. Hal ini sesuai dengan teori L. Green yang mengatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar; semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media massa (Green,2000). Demikian juga menurut hasil penelitiannya, Maryuni dkk menjelaskan menjelaskan bahwa bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan tingkat pengetahuan pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks secara dini pada anak (Maryuni.2016). Sebagian besar orang tua (64%) tidak mengajarkan anak tentang perbedaan jenis kelamin antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan seks. Hal ini dikarenakan orang tua merasa enggan berbicara tentang alat-alat reproduksi karena beranggapan bahwa pendidikan seks itu hanya diberikan pada orang-orang yang akan menikah, selain karena kurangnya informasi tentang pendidikan seks
dari orang tua sendiri. Hal ini sesuai dengan penelitian Meilani dkk dkk yang yang menyatakan menyatakan bahwa orang tua tidak memberikan pendidikan seksualitas kepada anaknya di antaranya karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki orang tua tentang kesehatan reproduksii, adanya rasa malu yang membuat para orang tua enggan menyampaikan informasi tentang pendidikan seks pada anak usia dini, persepsi orang tua tentang norma-norma konservatif tentang pendidikan seksualitas seksualitas sehingga membicarak membicarakan an tentang seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang tabu (Meilani N, 2014). Masih banyak orang tua yang tidak melakukan diskusi tentang pendidikan seks kepada anaknya yang berusia 6 – 10 tahun, karena menurut orangtua pendidikan seks itu sebaiknya diberikan oleh guru di sekolah, padahal orang tua seharusnya juga ikut bertanggung jawab tentang pendidikan seks pada anak karena secara emosional anak lebih l ebih mempunyai kedekatan dengan orangtua, sehingga informasi yang diberikan dari orang tua kepada anak akan lebih mudah diterima anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Djiwandono yang menyatakan bahwa orang tua memiliki tugas dalam memberikan pendidikan seks (Djiwandono,2008). Kenyataannya orang tua memiliki kesulitan bagaimana cara menjelaskan kepada anak usia 6-10 tahun, sehingga orang tua cenderung bersikap pasif dan menghindari pertanyaan anak tentang seks. Penelitian Inhastuti S. membenarkan hal ini. Menurutnya menyatakan bahwa pada kenyataannya selama ini orang tua jarang sekali membicarakan masalah pendidikan seks kepada anaknya, salah satu disebabkan disebabkan oleh rendahnya pengetahuan orang tua mengenai mengenai pendidikan seks (Inhastuti.S.2016). Notoadmodjo (2003) mengemukakan mengemukakan bahwa informasi dalam bentuk penyuluhan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan. Informasi yang banyak didapat akan memperluas pengetahuan mereka Oleh sebab itu, dengan memberikan informasi dalam bentuk penyuluhan kesehatan kesehatan secara baik dan terarah diharapkan pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks usia dini pada anak akan meningkat. Pengetahuan akan mempengaruhi sikap orang tua mengenai pentingnya pendidikan seks sejak dini. Bahkan dengan merebaknya perilaku penyelewengan
Page 69
JURNAL FORUM KESEHATAN
seksual maka informasi tentang seks bagi anak bisa dijadikan informasi informasi yang urgen. urgen. Simpulan dan saran Karakteristik responden meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan. Sebagian besar orangtua siswa berusia 20- 30 tahun (46%) dan pendidikan sebagian besar lulusan SMP (48%) dan sebagian besar orang tua pekerjaannya adalah ibu rumah tangga(41%). Sebagian besar orang tua siswa SD di Kecamatan Sumowono mempunyai pengetahuan kurang tentang pendidikan seks pada anak usia 6 -10 tahun (62%), seperti asal-usul manusia atau dari mana bayi itu lahir. Sebagian besar orang tua menjawab bahwa bayi berasal dari perut ibu. Demikian juga dalam hal menyebut alat kelamin wanita dan laki-laki masih ada yang menyebut dengan istilah burung dan tempe. Ternyata masih banyak orang tua siswa yang belum memberikan pendidikan seks pada anak usia 6-10 tahun di SD Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Seperti tidak pernah mendiskusikan tentang pendidikan seks pada anak. Ini dikarenakan adanya anggapan bahwa yang memberikan pendidikan seks pada anak adalah guru sekolah. Oleh karena itu, diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) kepada orang tua siswa umur 6 – 10 tahun tentang pendidikan seks kepada kepada anak di SD Kecamatan Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.
Page 70
JURNAL FORUM KESEHATAN
Kepustakaan 1. Azis. Ainul. H . (2006) Pengantar Ilmu Keperawatan Anak , Jakarta, Salemba Medica. 2. Gunarso,P.D, & Gunarso,DD (1991).Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga, Jakarta,BPK Gunung Mulia. 3. BKKBN (2013). Selama Januari terjadi 42 Kasus Pelecehan seksual pada anak .http://dkijakarta.bkkbn.go.id/List .http://dkijakarta.bkkbn.go.id/List s/Berita/Disp Form.aspx?ID=698&Conten Typeld=Ox0100A28EFCBF520B3643 87716414DEECEBIE. Diakses tanggal 27 Mei 2016. 4. Djiwandono,SEW (2008). Pendidikan Seks Keluarga. Jakarta. PT Remaja. 5. Harian Suara “ Dari mencubit hingga membunuh” 12 Oktober 2015 6. Pramastri,Supriyati, dan Priyanto. Prevensi Dini Terhadap kekerasan Seksual pada anak-anak , Laporan penelitian, Yogyakarta, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2011 7. Skripsiadi, Erwin J. Pendidikan Dasar Seks Untuk Anak Sebagai Panduan Diskusi Dalam Keluarga. Yogyakarta.Curiosita,2005 8. Briggs,F and Hawkins,RMF.(1997), Child protection:Aguide for teachers and early childhood profesionals.Sydney:Allen& .Sydney:Allen& Unwin 9. Nurdiansyah (2011,mei30). Pentingnya Pendidikan Seks Untuk Anak. Retrieved from ibu dan balita : http/www.ibudanbalita.com/diskusi/pe rtanyaan/26545/PentingnyaPendidikan-Seks-Untuk-Anak-Artikel.
Page 71
10. KPAI.(2012,April30),KPAI: Pendidikan Seks Itu Harus. Retrieved from komisi Perlindungan anak indonesia : http://www.kpai.go.id/publikasimainmenu.33/beritakpai/183--kpai pendidikan-seks-itu-harus-html. pendidikan-seks-itu-harus-html. 11. Suyanto, Bagong . Masalah Masalah Sosial Anak. Jakarta. Kencana Prenada Media Group,2010 12. Notoatmodjo,Soekidjo(2010), Notoatmodjo,Soekidjo(2010), Metodol Metodol ogiPenelitianKesehatan(ed.rev).Jakart a:PT.RinekaCipta. 13. Notoatmodjo,Soekidjo, Notoatmodjo,Soekidjo, (2005). Promosi Kesehatan:Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT.Asli Mahasatya. 14. Mubarak W. (2011). Promosi Kesehatan untuk Kebidanan, Jakarta : Salemba Medika, 15. Sujarwati.S, Yugistyowati A, Haryani K. Peran Orangtua & Sumber informasi dalam pendidikan seks dengan Perilaku Seksual Remaja pada masa pubertas di SMAN I Turi. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia : 2016,2.(3):112) 16. Meilani , Shaluhiyah z, Suryoputro A. Perilaku Ibu dalam memberikan Pendidikan Seksualitas pada remaja Awal. Kesmas : Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional(Internet) [cited 2004 Juni 10);8(8):411. Available from :http://journal.fkm:ui.ac.id/kesmasphj/ article/view/413.
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan. 2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep konsep yang ditujukan kepada Forum Kesehatan, belum dipublikasikan di tempat lain. 3. Komponen naskah: Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf dan spasi. Teks naskah ditulis dengan huruf Times New Roman size 11pt. Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman pertama. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian. Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, prosedur analisa data. Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan, bahasa dialog yang yang logis, logis, sistematik, sistematik, dan mengalir. mengalir. Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat. Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas. Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada. 4. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti “dkk (et al)”. Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar, selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris bawah dan ditebalkan ditebalkan hurufnya hurufnya.. Artikel Jurnal Penulis Individu: Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T, Villalpando S. Impact of the Mexican Program for Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth and Anemia in infants and young children a randomized effectiveness study. JAMA. 2004; 291(21):2463-70. Artikel Jurnal Penulis Organisasi Diabetes Prevention Program Research Group. Hypertension, insulin, and prosulin in participants with impaired glucose tolerance. Hypertension. 2002;40(5):679-86.
Buku yang ditulis Individu: Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource Management: Present and Future Challenges. St. Louis: Mosby;1998. Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit: Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Departement of Clinical Nursing. Compendium of nursing research and practice development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001. Bab dalam Buku: Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262. Artikel Koran: Tynan T. Medical improvements lower homicide rate: study sees drop in assault rate. The Washington Post. 2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4). CD-ROM: Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual Health[CD ROM], London: Reproductive Health Matters;2005. Artikel Jurnal di Internet: Griffith, AI. Cordinating Family and School: Mothering for for Schooling, Education Policy Analysis Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ; 102 (3): [about 3 p.]. Available from: http://olam.ed.asu.edu/epaa/ . Buku di Internet: Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.edu/books/0309074029/html/ . Situs Internet: Canadian Cancer Society [homepage on the internet]. Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12; cited 2006 Oct 17]. Available from: http://www.cancer.ca/.. http://www.cancer.ca/ 5. Naskah maksimal maksimal 20 halaman halaman kuarto spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word, dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar eksemplar copy dokumen tertulis. 6. Naskah harus disertai surat pengantar pengantar yang ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan permintaan tertulis. 7. Naskah dikirimkan dikirimkan kepada: kepada: Redaksi Redaksi J urnal „Forum Kesehatan‟, Perpustakaan Perpus takaan Gedung B Lantai 2 Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George Obos No.32 Palangka Raya, Telp : 0536-3221768 atau email:
[email protected] .