Jeneponto: Masyarakat dan Kebudayaanya Patta Hindi Asis Abstrak Artikel ini mengurai tentang Jeneponto dan kebudayaannya yang menghiasi kebudayaan Sulawesi Selatan. Dinamika sosial budaya orang Jeneponto terkait erat dengan perjalanan sejarah masa silam dari catatan naskah lontaraq dan catatan peninggalan Belanda di abad-19 ketika memegang kendali atas kerajaan Makassar termasuk daerah Jeneponto sendiri. Uraian tentang Jeneponto dan sosial kebudayaannya secara rinci dibahas dalam artikel ini terdiri dari (i) Jeneponto dalam lintas sejarah (ii) Letak dan keadaan alam (iii) Konteks sosial masyarakat Jeneponto dan (iv) Aktivitas ekonomi orang-orang Jeneponto. Kata Kunci: Sejarah Jeneponto, Masyarakat dan Kebudayaan Jeneponto 1. Jeneponto dalam lintasan sejarah Toponim Jeneponto baru muncul pada abad-19 saat Belanda menjajah dan memegang kendali pemerintahan di Makassar. Bahkan naskah kuno lontaraq sebagai rujukan penting menelusuri rekam jejak sejarah tidak dijumpai nama Jeneponto. Yang ada hanyalah toponim Bangkala, Binamu, dan Garassikang bahkan dalam catatan Ahimsa (2007) bangkala menjadi satu bagian dari afdeling Takalar yang terdiri dari Takalar dan Bangkala sewaktu Belanda menguasai Sulawesi Selatan. Hadrawi (2008) setelah meneliti naskah kuno Jeneponto tidak menemukan sedikitpun toponim dengan nama Jeneponto. Sebagai toponim atau nama asal usul, Jeneponto dikaitkan dengan nama kerajaan kecil yaitu, Bangkala, Binamu, Layu, Sapanang, Arungkeke, Garassikang, Banrimanurung, Batang dan kerajaan lokal lainnya. Sementara itu, kerajaan lokal atau kampung lama (wanua, [Bugis], banua, atau paqrasangang [makassar]) yang disebutkan dalam lontaraq hanya Bangkala, Kalimporo, Tarowang, Arungkeke, Bungeng, Garassi, Binamu, Layu, Mamapa, Sidenre, Sapanang, Batang, Banrimanurung dan lain-lain (ibid, hal. 2). Dalam tradisi lisan juga disebutkan 4 (empat) kerajaan yang disebut kerajaan besar yaitu: Bangkala, Binamu, Arungkeke, Garassikang yang diyakini membentuk dan menyatakan menyebut nama Jeneponto. Ini diketahui dari hubungan genealogi kebangsawanan antara raja-raja mereka. Penyatuan kerajaan di Jeneponto melalui jalinan perkawinan silang antara anak-anak Karaeng—istilah ini disebut dengan bunduq laso (perang kelamin). Penaklukkan kerajaan satu dengan yang lain tidak dengan cara pertumpahan darah namun dengan sistem kawin-mawin. Jeneponto dalam lintasan sejarah berlangsung sudah sejak lama yang terhubung dari penanggalan awal untuk rute perdagangan antar-pulau yang dipisahkan laut Selatan Barat Daya Sulawesi selama, dan sebelum milenium pertama SM (Reid dalam Caldwell & Bougas, 2004). Penamaan Jeneponto sering juga disebut dengan sebutan Turatea yang dalam catatan Caldwell dan Bougas adalah nama yang telah lama ada. Toponim Turatea juga selalu disebut dalam tradisi lisan masyarakat Jeneponto yang menyebutkan bahwa orang-orang
1
Jeneponto berasal dari atas (baca: langit). Andaya 1981 (dalam Caldwell dan Bougas 2004: 461) menyebutkan: “Turatea is the older name. Andaya's account (1981) of the seventeenth century which is based on contemporary Dutch and slightly later Bugis sources has eleven index entries for Turatea and three for Binamu. An oral tradition that sailors from Binamu brought nice cultivation from Bali to Turatea provides a folk etymology of the newer name denved from the word bine (rice, seed). The tradition appears to represent a memory of trading contacts with the north coast of Bali, which lies southwest of Binamu...” “Turatea adalah nama yang tua. Andaya (1981) merunut dari abad ketujuh belas yang didasarkan pada sumber-sumber Belanda dan sumber catatan Bugis kontemporer menyebut sebelas daftar indeks untuk Turatea dan tiga untuk Binamu. Dari tradisi lisan menyebutkan bahwa para pelaut dari Binamu membawa bibit unggul dari Bali ke Turatea (Jeneponto, pen) yang memungkinkan cerita rakyat berkembang yang kemudian memberi nama dari bibit unggul tersebut (beras atau biji). Tradisi ini muncul untuk mewakili memori dari kontak perdagangan dengan pantai utara Bali, yang terletak di barat daya Binamu... " Selanjutnya, sejarah mencatat orang Jeneponto telah dikenal memiliki kontak dengan dunia luar sejak abad-15, tidak saja dengan kerajaan Gowa, kerajaan Bugis namun juga Bali hingga China. Daerah pesisirnya dibagian selatan berbatasan dengan Laut Flores memungkinkan orang Jeneponto dapat melakukan kontak dengan dunia luar. Kontak sosial ekonomi dilakukan dengan cara perdagangan hasil bumi, dan keramik membuat Jeneponto-terutama Bangkala dan Binamu-dikenal. Bukti ini dikuatkan dengan penemuan benda arkeologis seperti keramik yang berasal dari daratan China semasa dinasti Sung, Yuan, Ming dan beberapa stoneware dari Vietnam (Nur dkk, 2008: 16). Jeneponto yang dalam bahasa Makassar berarti “gelang air”. Kata “jene” berarti air dan “ponto” yang berarti gelang/lingkaran. Berdasarkan sumber lisan dari masyarakat, penyebutan lingkaran air mengingat sebagian besar wilayah ini dulunya terendam air (baca: laut). Sementara itu, informasi dari naskah lontaraq dan sumber-sumber asing mengidentifikasi dari penulusuran peta klasik Nusantara, Guillaume de L’isle 1705, yang berdasar dari peta yang dibuat orang Portugis Hofman Atlas tahun 1778 yang mencantumkan nama “Gresse, demikan halnya peta Belanda yang lain Kaart van Eiland of Macassart 1759 sebagai sebuah nama di wilayah Makassar (ibid. hal. 3). Penamaan “Gresse” yang diduga sebagai salah satu nama kampung di Jeneponto—disebut dengan lafaz lokal Garassi (kang). Mengingat Garassikang adalah salah satu kerajaan besar dan tua seperti halnya Bangkala dan Binamu, yang terletak bagian selatan Sulawesi Selatan dengan kekuatan armada perang yang cukup disegani. Setelah pendudukan Belanda di Makassar mencapai puncaknya di abad19, kerajaan yang lebih dikenal dalam catatan-catatan Belanda adalah kerajaan Binamu. Kerajaan ini menjadi daerah penting bagi Belanda dalam percaturan
2
politik di wilayah Jeneponto. Tidak heran, orang Jeneponto menyebut orangorang Binamu adalah orang-orang yang „jago‟ dalam hal strategi perang dan politik mengingat kecerdasan pendahulu mereka—sampai kini sebutan itu masih dilekatkan pada sosok orang Binamu. Kerajaan Binamu kemudian mewadahi banyak banua yang kemudian lebih lekat dengan pemberian nama Jeneponto.
Foto : Gerbang Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan
Dalam tulisan lain, kehadiran jejak sejarah Jeneponto dipengaruhi oleh dua kerajaan. Selanjutnya mengenai sejarah Jeneponto lebih banyak membicarakan masa dua munculnya kerajaan utama yang menguasai Jeneponto yakni Kerajaan Bangkala di Barat dan Binamu di Timur (ibid. 13). Uraian ini kemudian didukung dengan data-data dan literatur, tradisi tutur dan informasi masyarakat tentang peninggalan sejarah dan benda-benda arkeologis yang ditemukan di dua bekas kerajaan tersebut. Dijelaskan dari hasil penelitian, pada saat yang bersamaan, dua kekuatan politis kerajaan Bangkala dan kerajaan Binamu muncul dan memainkan peran signifikan dalam konteks sejarah terbentuknya Jeneponto, sebagai bukti adalah pemakaman raja-raja yang dipusatkan di Binamu.1 Mengingat tradisi lisan yang melekat kuat dalam masyarakat Jeneponto, Haji Mustaring sebagai keturunan Toddoq appaka2 menjelaskan secara lisan dengan sangat fasih bahwa Jeneponto biasa juga dikenal dengan nama Turatea. Penamaan Turatea sendiri dalam bahasa Makassar disebut “orang atas”. Toponim ini berasal dari mitos tumanurung. Konsep manusia dari langit ini dipercaya oleh 1
Saat penelitian, peneliti menyempatkan berkunjung ke makam-makam raja-raja Binamu yang telah berubah menjadi salah cagar budaya oleh dinas purbakala Sulawesi Selatan. Situs ini terdiri makam-makam raja yang terbuat dari batuan andesit dengan beragam relief. 2 Toddo’ diartikan bagi masyarakat Jeneponto adalah dewan adat yang mengangkat Karaeng terdiri dari empat pemangku (Bangkala Loe, Layu’, Batujala, Lentu). Toddoq seperti halnya dewan adat Bate Salapang di Gowa, Aruppitu di Bone yang berasal dari bangsawan namun hanya memiliki kewenangan dalam mengangkat raja (Karaeng) pada masa kerajaan. Saat penelitian, Toddoq hanya tersisa satu keturunan yakni To’do Layu (H.Mustaring). sekarang fungsi dewan adat ini hanya sebagai simbol dan tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan dalam pemerintahan.
3
orang Jeneponto sebagai perwakilan dewata (pemilik alam) yang turun memerintah. Mitos dan bahasa lisan masih melekat kuat dalam masyarakat untuk merekonstruksi sejarah Jeneponto mengingat terbatasnya sumber tulisan yang memotret jejak kehadiran Jeneponto masa silam. Sementara itu, lahirnya Kabupaten Jeneponto yang otonom dari Provinsi Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dari pergulatan sejarah di dalamnya. Kelahiran kabupaten di selatan Kota Makassar ini memiliki sejarah panjang sejak dari pemerintahan Belanda hingga pasca kemerdekaan. Pertimbangan historis, dan sosio-kultural telah banyak mempengaruhi kelahiran Jeneponto. Dari penelusuran sejarah Jeneponto seperti yang ditulis Adywangsa (Jenepontokab.go.id) seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Jeneponto melihat bahwa Jeneponto dalam lintasan sejarah tidak dapat dipisahkan dari beberapa faktor antara lain : Pertama: 1. November 1863, adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan Laikang. Ini membuktikan jiwa patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap pemerintah Kolonial Belanda. 2. Tanggal 29 Mei 1929 adalah pengangkatan Raja Binamu. Tahun itu mulai diangkat “Todo” sebagai lembaga adat yang refresentatif mewakili masyarakat. 3. Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto. Kedua: 1. Tanggal 1 Mei 18633, adalah bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang sangat penting yaitu dilantiknya Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh “Toddo Appaka” sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea. 2. Mundurnya Karaeng Binamu dari tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. 3. Lahirnya Undang Undang No. 29 Tahun 1959. 4. Diangkatnya kembali raja Binamu setelah berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian tahun 1863, adalah tahun yang bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea setelah diturunkan oleh pemerintah Belanda dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi Binamu. 5. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Dengan Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. 3
Setiap tanggal 1 Mei adalah ‘Hari Jadi Jeneponto’ sesuai peraturan daerah No.1 Tahun 2003.
4
2. Karakteristik Wilayah Jeneponto Jeneponto adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Bagian selatannya memanjang garis pantai kurang lebih 114 km. Daerah ini terletak di laut Flores (flores sea) dengan luas wilayah mencapai 749,79 km persegi yang terbagi 10 kecamatan dengan ibu kota Bontosunggu. Daerah ini terletak di antara bentangan 5023‟12”-5042‟1,2” Lintang Selatan dan 119029‟12”119056‟44,9” Bujur Timur. Awalnya daerah Jeneponto hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan, namun setelah Otonomi Daerah terjadi pemekaran yang kemudian terpisah menjadi 11 kecamatan yaitu Bangkala, Bangkala Barat, Tamalatea, Bontoramba, Binamu, Turatea, Taroang, Batang, Kelara, Arungkeke dan terakhir Rumbia. Daerah yang diapit—kabupaten Gowa dan Takalar di bagian utara, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Bantaeng, bagian barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Takalar sedangkan di bagian selatan dibatasi laut Flores—ini memiliki curah hujan tidak merata. Yang mengakibatkan sebagian wilayah mengalami basah dan sebagian lagi mengalami semi kering. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Januari sedangkan curah hujan terendah di bulan Juni, Agustus, September dan Oktober. Situasi iklim yang kering dan curah hujan yang rendah mengakibatkan sebagian besar wilayahnya kering dan tandus. Padi sebagai makanan pokok masyarakat hanya ditanaman sekali dalam setahun yakni pada musim hujan, namun dibagian barat yang berbatasan dengan Kabuptaen Bantaeng termasuk daerah subur karena dialiri irigasi teknis sehingga musim tanam padi dan sayursayuran bisa dilakukan sepanjang tahun. Dibagian selatan yang kering itu masyarakatnya terfokus pada perkebunan, tambak garam, budidaya rumput laut dan sebagian sektor perikanan dan peternakan.
Foto : Topografi Jeneponto termasuk daerah yang kering dan panas (tandus). Daerah ini sebagian besar memanfaatkan hujan sebagai sumber utama untuk pertanian (tampak pohon lontar (Borassus flabellifer) sebagai tanaman khas daerah Jeneponto).
Saat menunggu musim panen atau musim kemarau, sebagian masyarakat (pada umumnya laki-laki) mencari pekerjaan alternatif di kota Makassar dengan
5
mengayuh becak, buruh bangunan atau bekerja serabutan. Kondisi ini kemudian diceritakan juga dalam tulisan Caldwell and Bougas (2004) : “...As a result, despite large areas of fertile soil, rice can be grown only from December to March, watered by the west monsoon. The people of Jeneponto are mostly peasant farmers, although fish farming, salt extraction, and fishing are practised in some coastal areas. During the dry season many young men seek seasonal employment as becak (pedicab) drivers in Makassar”. ...akibatnya, meskipun area besar dengan tanah yang relatif subur, padi dapat tumbuh hanya dari Desember hingga Maret, disiram oleh hujan barat. Orang-orang Jeneponto sebagian besar petani, meskipun budidaya ikan, tambak garam, dan memancing dipraktekkan di beberapa daerah pesisir. Selama musim kemarau banyak pemuda mencari pekerjaan musiman seperti mengemudi becak di Makassar. Kondisi alam yang kering dan berbatu membuat Jeneponto menjadi ciri khas diantara daerah di Sulawesi Selatan. Yang tumbuh kemudian adalah jenis tanaman khas daerah kering, pohom lontar. Pohon Lontar (borassus flabellifer) masyarakat Jeneponto menyebutnya tala’ yang biasa dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber utama dalam membuat gula merah dan minuman khas Jeneponto, ballo‟ sejenis minuman keras yang telah mengalami fermentasi. 3. Sumber Daya Manusia Kependudukan terutama sumber daya manusia (SDM) adalah masalah utama di Jeneponto dengan diikuti pertumbuhan pendudukan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan selalu mengalami kenaikan jumlah. Masyarakat Jeneponto masih percaya pada konsep banyak anak banyak rejeki. Pertumbuhan dari tahun ke tahun memperlihatkan hal itu, orang Jeneponto rata-rata memiliki anak lebih dari dua tiap keluarga4. Pada masa orde baru, pemerintah melaksanakan program KB namun tidak membuat masyarakat Jeneponto menerapkan sungguh-sungguh program dua anak cukup.
4
Penyajian data tentang komposisi penduduk dibagian ini selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga data-data yang disajikan selalu dinamis yang menunjukkan perubahan sosial.
6
Laju pertumbuhan ini kemudian tidak diikuti dengan peningkatan mutu sumber daya manusia terutama di bidang pendidikan. Sebagian besar masyarakat Jeneponto tidak mendapat pendidikan yang layak. Dalam sebuah pidato, Bupati Jeneponto Radjamilo mengungkapkan sebuah fakta bahwa warga Jeneponto yang masih buta aksara masih sekitar 74.000 orang dan separuh dari jumlah warga yang buta huruf ini masih dalam usia produktif, yakni usia antara 15-35 tahun (Haboddin 2009: 45). Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) sebagai indikator mengukur sumber daya manusia menunjukkan hal ironis, IPM Jeneponto berada paling rendah diantara kabupaten di Sulawesi Selatan, dimana IPM masyarakatnya pada tahun 2009 berada di angka 64,54 yang menduduki urutan terakhir dari 24 kabupaten di Sulawesi Selatan seperti yang dilansir media jenepontokab.bps.go.id (12/11/2011) dan menjelang akhir tahun 2011 Jeneponto masih berada di daftar terbawah IPM provinsi dengan angka 71 demikian data dari fajar.co.id (12/11/2011). Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan beberapa faktor antara lain adalah faktor ekonomi sebagai faktor utama dan pelayanan pemerintah daerah dalam memberi akses pendidikan kepada warganya. Orang-orang yang tidak menempuh pendidikan yang layak kemudian bekerja sebagai tukang ojek, buruh tani, sopir angkot, tukang becak, atau mengambil pilihan sulit; merantau ke luar Sulawesi Selatan. Bagi warga miskin Jeneponto, pendidikan menjadi alternatif kedua setelah kebutuhan hidup terpenuhi. Kemiskinan telah membawa masalah pada pilihan untuk sekolah. Kemiskinan di Jeneponto telah membawa dampak pada kebutaaksaraan dan ketidakmampuan dalam mengakses pendidikan. Dengan kondisi yang serba kekurangan ini mereka hanya mengandalkan bantuan pemerintah seperti beras miskin, jaminan kesehatan keluarga miskin (askeskin), pendidikan gratis dan bantuan lainnya. Tahun 2008 masyarakat miskin diidentifikasi diseluruh kecamatan se-Jeneponto, dengan hasil yang memprihatinkan. Walaupun tidak ada angka pasti namun setiap kecamatan di Jeneponto menyumbang ribuan keluarga (rumah tangga) miskin. Kondisi ini memperlihatkan bahwa di Jeneponto, kehidupan masyarakatnya lebih mencerminkan kehidupan yang serba kekurangan. Dibandingkan dengan kabupaten lain di Sulawesi Selatan, Jeneponto masih berada dalam garis kemiskinan dan pendidikan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah angka yang cukup besar. 4. Stratifikasi sosial Dalam kehidupan bermasyarakat pelapisan sosial menjadi sesuatu yang niscaya. Umumnya untuk menganalisis lapisan sosial terdapat beberapa dimensi. Dimensi itu antara lain, privilese, kekuasaan dan prestise (Tahara, 2010). Stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan telah banyak disinggung para ahli (Mattulada, 1985, Ahimsa, 2007, Walinono, 1979, Roger Tol et.al, 2009). Pengelompokkan sosial ini merupakan bagian penting dalam menganalisis masyarakat. Kondisi ini memperlihatkan perbedaan pemilikan sumber daya turut memberi pengaruh penting dalam stratifikasi sosial. Perbedaan pemilikan sumber daya ini kemudian menjadi landasan pembagian lapisan masyarakat secara
7
berlapis-lapis. Untuk tujuan praktis, stratifikasi berdasarkan status berjalan dengan memonopilisasi barang-barang ideal dan material atau kesempatan, yang dalam cara kita maklumi sebagai tipikal (Weber, 2009: 229). Hal ini kemudian menjadikan status sosial dalam lapisan sosial dimasyarakat menjadi sebuah kebanggaan (previlese). Dalam kehidupan sosial, ciri-ciri ini dihadirkan sebagai pembeda (distingsi) kelas-kelas sosial. Secara umum, lapisan sosial masyarakat Sulawesi Selatan meminjam istilah Pelras berbentuk seperti halnya organisasi sosial. Organisasi sosial ini mencakup sistem stratifikasi sosial, yang mengatur posisi setiap anggota masyarakat berdasarkan garis keturunan mereka (Pelras dalam Tol, et.al. 2009). Jika kita melihat secara kasatmata, secara tradisional lapisan sosial masyarakat Jeneponto tidak berbeda dengan lapisan sosial masyarakat Sulawesi Selatan secara umum dimana lapisan sosial dibedakan atas tiga yaitu bangsawan, menengah dan bawah. Demikian halnya masyarakat Jeneponto yang berasal dari tumaradeka (orang merdeka). Secara tradisional pelapisan sosialnya dibedakan; lapisan pertama ditempati oleh golongan bangsawan (Karaeng), lapisan menengah (daeng), dan lapisan terendah ditempati golongan ata. Jika dilihat dalam organisasi sosial di Jeneponto, Karaeng memiliki posisi strategis dan penting, hal ini menjadi landasan pijak bagi Karaeng dalam memposisikan dirinya dalam lapisan tertinggi masyarakat Jeneponto. Stratifikasi sosial juga mengandung makna kebanggaan, mengingat dalam nilai-nilai tradisional di Jeneponto, Karaeng sebagai lambang status sosial maka siapa yang bisa menguasai arena politik, ekonomi dan sosial secara langsung maupun tidak langsung akan mengangkat dirinya dalam tingkat yang lebih tinggi meskipun seseorang yang awalnya memiliki kelas lebih rendah. Kuntowijoyo (2006) melihat bahwa siapa saja yang mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial dan intelektual dapat menjadi budaya tinggi dalam masyarakat. Masyarakat Jeneponto dalam pelapisan sosial dapat mudah ditemukan. Pelapisan sosial dapat dijumpai dengan melihat struktur masyarakatnya sekarang ini dimana lapisan Karaeng ditempatkan pada lapisan atas, daeng ditempatkan pada lapisan bawah derajat kebangsawanan Karaeng, sedangkan lapisan bawah adalah ata, hamba sahaya yang mengabdi para bangsawan. Walau demikian, perubahan terjadi di Jeneponto seiring waktu. Sekarang masyarakat Jeneponto termasuk dalam lapisan masyarakat terbuka, sehingga aspek dinamis pun terjadi, perubahan ini nampak dari beberapa golongan ata yang telah berubah status sosial karena pemilikan modal ekonomi dan pengetahuan.5 Arena pertarungan lapisan sosial sangat dipengaruhi kepemilikan modal, seseorang yang memiliki modal akan mudah beralih status sosial. Dalam struktur masyarakat Jeneponto ada kategori masyarakat yang sangat sulit untuk dimasukkan dalam lapisan sosial yaitu golongan yang disebut oleh masyarakat Jeneponto yaitu Sayyek. Golongan 5
Saat melakukan penelitian ini di tahun 2011, ada kecenderungan kelas bawah dan menengah untuk ‘meruntuhkan’ dominasi kaum bangsawan dengan jalan pengetahuan, pendidikan dan pemilikan modal ekonomi. Banyak lapisan dari gologan daeng dan ata yang telah merengkuh pendidikan tinggi dan berhasil secara ekonomi perlahan-lahan memproduksi pengetahuan menjadi Karaeng, dalam istilah masyarakat Jeneponto “Karaeng plastik”.
8
ini mengkategorikan diri sebagai keturunan arab (habib, syaikh) yang sifatnya eksklusif. Mengingat fokus kajian ini hanya terbatas pada Karaeng, Daeng dan Ata sehingga penelititian lebih lanjut tentang golongan Sayyek tidak disinggung lebih jauh. Meski diakui Pelras, bahwa masyarakat di Sulawesi Selatan secara tradisional tidak mengenal mobilitas sosial, mengingat secara teoritis status seseorang selamanya ditentukan berdasarkan keturunan (Pelras, 2009) namun fenomena di Jeneponto memperlihatkan hal lain, mobilitas sosial di Jeneponto selalu berlangsung dengan kuatnya perebutan status dalam arena sosial. Mobilitas sosial nampak jelas dengan mudahnya orang memiliki status sosial dengan kepemilikan modal, politik dan pemerintahan walau tidak bisa dipungkiri dominasi para Karaeng tampak masih sangat kuat. Di Jeneponto, lapisan sosial mempengaruhi previlese seseorang di mata masyarakat. Semakin tinggi kedudukan seseorang baik secara sosial, ekonomi, maupun politik semakin isitimewa kedudukan dan penghormatan seseorang di masyarakat. Pengalaman mereka ini kemudian dihadirkan dalam kehidupan; kepemilikan modal ekonomi, simbolik dan politik menjadi simbol kebanggaan. Konsekukensinya, nilai-nilai, status, kedudukan dan penghargaan seseorang dijadikan sebagai kontestasi. Bentuk ini sebagai pembeda lapisan sosial di masyarakat Jeneponto dan kondisi ini masih sering dijumpai. 5. Sistem kekerabatan dan perkawinan Sistem kekerabatan orang Jeneponto dibentuk oleh sistem perkawinan, pengelompokkan atas dasar kekerabatan ini tidak dapat dilepaskan daru konsep siri’ yang masih melekat kuat. Chabot (Ahimsa, 2007) melihat terjadinya pengelompokkan wilayah kekerabatan dalam satu wilayah tertentu, yang lamakelamaan kelompok ini membesar dan menyebar. Ketika Belanda menetapkan batas-batas wilayah wanua (banua, makassar) terjadilah perubahan. Sehingga perubahan kekerabatan tidak saja dalam batas kekerabatan orang-orang sekerabat terdekat atau dalam lingkup satu daerah saja tetapi juga kerabat lain yang ada di luar kampung. Secara umum sistem kekerabatan orang Jeneponto tidak berbeda jauh dengan sistem kekerabatan yang ada di Sulawesi Selatan (lihat Mattulada, 1985, Ahimsa, 2007, Tol, et.al. 2009, Haboddin, 2009). Sebagaimana lazimnya masyarakat Sulawesi Selatan, orang Jeneponto juga menganut sistem kekerabatan yang bilateral, yang berarti seseorang merunut dari kekerabatan berdasarkan lakilaki atau perempuan. Dengan demikian, sistem kekerabatan orang Jeneponto pun luas karena bisa saja mengikuti hubungan garis kekerabatan laki-laki atau pihak perempuan sehingga jalinan kekerabatan menjadi sangat luas. Hal ini kemudian, penelusuran kekerabatan seringkali dikaitkan dalam silsilah keluarga. Setiap keluarga mengenal baik pertalian itu dari beberapa garis genealogis generasi pendahulunya. Penelusuran pertalian kekerabatan ini dapat diketahui melalui sejarah lisan dan tulisan (lontaraq bilang) yang dimiliki setiap keluarga (dan biasanya yang masih menyimpan dengan baik adalah para keturunan bangsawan). Masyarakat Jeneponto sebagian besar memiliki silsilah keluarga yang tertulis kemudian dipajang atau disimpan yang bisa diperlihatkan
9
kapan saja untuk generasi mendatang sebagai bagian penting dalam ingatan terhadap leluhur mereka. Bagi masyarakat biasa ataupun golongan bangsawan, penelurusan kekerabatan ini juga merujut pada kesamaan nenek moyang atau pertalian keluarga. Mengingat orang Jeneponto dapat menelusuri silsilah kekerabatan dari garis keturunan laki-laki maupun dari perempuan. Di Jeneponto garis kekerabatan ataupun asal-usul sangat penting karena menyangkut harkat dan martabat keluarga. Penelusuran kekerabatan ini digunakan sebagai modal sosial dalam arena kehidupan. Bagi golongan bangsawan, penelusuran kekerabatan selalu merujuk pada lontaraq atau kisah yang tertulis. Tidak heran jika sebagian golongan bangsawan menampilkan silsilah keluarga adalah sebuah kebanggaan sosial. Ahimsa (2007) menduga bahwa penelusuran garis kekerabatan masyarakat ini berkaitan dengan konsep siri’. Prinsip yang dipegang teguh masyarakat Sulawesi Selatan ini juga menjadi pertanda penting di masyarakat Jeneponto dalam menjaga, menjalin dan menelusuri jejak-jejak kekerabatannya. Kekerabatan orang Jeneponto termasuk keluarga besar (extended family) dimana di dalam satu rumah tidak hanya dihuni oleh ayah, ibu dan anak-anak saja melainkan juga terdiri dari keluarga yang lain seperti mertua dan sanak keluarga dari ayah atau ibu. Kepala keluarga dipimpin oleh laki-laki, relasi jender masih sangat kuat dalam masyarakat Jeneponto. Seorang laki-laki adalah pengayom yang melindung saudara atau keluarga perempuan namun lebih dari sekedar siri‟, pemaknaan penelusuran silsilah kekerabatan dalam lontaraq menjadi modal budaya bagi kalangan yang memilikinya. Selain asal usul kekerabatan, perkawinan menjadi permasalah penting bagi masyarakat Jeneponto. Seperti masyarakat Sulawesi Selatan pada umumunya, perkawinan bagi orang Jeneponto menjadi permasalahan keluarga (termasuk juga perjodohan). Proses pertalian perkawinan ini selalu mengaitkan keluarga. Bahkan sejak kecil perjodohan kerap dilakukan dengan keluarga dekat yang disebut passialleang, seperti sepupu satu kali atau dua kali. Bagi kaum bangsawan lama, perjodohan hal biasa untuk menjaga darah bangsawan dan warisan. Tradisi perkawinan dengan jalan perjodohan masih ada dipertahankan bagi keluarga Jeneponto yang tersebar di beberapa tempat. Perkawinan memiliki arti penting dalam orientasi kehidupan orang Jeneponto, bagi seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan, pelamaran tidak saja ditentukan oleh keluarga orang tua kandung, tetapi juga ditentukan oleh anggota keluarga lainnya: saudara, paman, atau nenek (Walinono 1979:48). Perkawinan ini memperlihatkan representasi atas kuasa keluarga terhadap seseorang yang menikah. Betapa kuatnya seseorang dalam menentukan pilihan menikah tetap akan jatuh pada pilihan orang tua dan keluarga. Dalam kondisi seperti ini, seseorang yang akan menikah terlibat negosiasi dengan pihak keluarga. mengingat pertimbangan dalam perkawinan ini asal usul, latar belakang sosial ekonomi menjadi hal yang sangat penting, istilah Makassar disebut pattutturang, dan di Bugis disebut rituttung lampe, artinya diteliti asal usulnya (baca lebih lanjut Walinono, Tanete, 1979). Orang Jeneponto akan merasa bangga jika dapat
10
menikah dengan golongan bangsawan. Karena secara langsung atau tidak akan mengangkat derajat sosial di mata masyarakat. Menikah dengan keturunan Karaeng adalah sebuah kebanggaan, tidak hanya sebagai bagian untuk menaikkan status namun juga pelanggengan status sosial. Menikah dengan bangsawan dapat meningkatkan derajat sosial, terlebih bagi seseorang yang berasal dari golongan daeng atau ata. Menikah dengan keluarga bangsawan akan mudah meningkatkan modal simbolik dan modal budaya. Biasanya hubungan perkawinan orang Jeneponto bersifat ke dalam, dimana perkawinan dari kerabat dekat seperti sepupu atau sanak keluarga. Data yang dikumpulkan Chabot (Ahimsa, 2007: 76) menujukkan hal itu, dalam penelitian yang mengambil kasus keluarga orang Makassar di Bontoramba menujukkan dari 89 pernikahan dalam satu kelompok tertentu, ternyata 79 diantaranya adalah pasangan yang masih memiliki pertalian kekerabatan yang dekat satu sama lainnya. Namun cara-cara seperti ini sedikit berubah di masyarakat Jeneponto yang telah mengalami transformasi pengetahuan dalam pendidikan, perantauan atau yang telah tinggal di perkotaan. Persoalan perkawinan memang termasuk penting di masyarakat Jeneponto. Perkawinan dianggap suatu kebanggaan sosial. Semakin meriah pesta perkawinan, semakin tinggi kebanggaan sosial di mata masyarakat. Tidak heran, disetiap pernikahan pesta digelar semewah-mewah mungkin dengan menghadirkan musik elektronik (elekton) yang dimainkan sampai larut malam. Dalam perkawinan juga dijadikan sebagai lambang status ekonomi, semakin tinggi mahar dan nilai nominal pernikahan semakin tinggi kebanggaan sosial seseorang. Seseorang yang menikah membutuhkan biaya mahar yang tidak sedikit. Ini dimaksudkan untuk mengukur derajat ekonomi juga sosial, hal yang lumrah setiap pernikahan biaya mahar disebutkan dan disebarkanluaskan dalam lingkar keluarga dan masyarakat umum. Perkawinan dijadikan sebagai peristiwa penting seperti halnya kelahiran dan kematian seperti tradisi pesta kematian yang disebut attumate. Perkawinan dijadikan sebagai wadah bertemunya sanak keluarga yang jauh juga dijadikan sebagai arena perjodohan. Pesta perkawinan biasanya dipersiapkan jauh hari sebelumnya acara akad nikah yang diisi dengan berbagai acara seperti pertandingan domino, pakkarena, sinrilik dan bentuk-bentuk kesenian lainnya yang dipersiapkan oleh yang memiliki hajatan. Bentuk seperti ini memperlihatkan sebagai pertukaran modal ekonomi dan sosial yang ditransformasikan dalam bentuk perkawinan dan pertalian kekerabatan. Produksi dan reproduksi pertukaran bertujuan sebagai akumulasi status-status genealogis, nama-nama garis keturunan atau garis leluhur (Bourdieu, Dominasi Maskulin, 2010: 64). Perkawinan dan kekerabatan menghasilkan tandatanda atas pertukaran tersebut yang dilakukan dalam keluarga sebagai proses produksi pengetahuan dan kekuasaan. Seperti halnya dalam bentuk perkawinan orang Jeneponto, perkawinan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan modal ekonomi, modal simbolik dan modal budaya sebagai proses pertalian yang diinvestasikan dalam hubungan tersebut.
11
6. Etika siri’ na pacce Dimensi lain dalam hidup masyarakat Sulawesi Selatan adalah nilai/etika yang masih melekat dalam hidup: siri’ dan pacce (pesse, Bugis). Chabot yang dikutip Ahimsa mendefenisikan siri’ sebagai perasaan seseorang yang direndahkan atau jikalau martabatnya diserang, dihina oleh orang lain (Ahimsa, 2007: 62). Namun pemaknaan siri dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan tidak hanya terkait mengenai harga diri yang direndahkan saja namun memiliki makna yang luas, makna siri juga berkaitan dengan etos kerja. Penjelasan ini kemudian menurut Antropolog dari Sulawesi Selatan, Mattulada menganggap bahwa siri merupakan hal yang abstrak dan hanya akibat konkritnya saja yang dapat diamati dan diobeservasi (Mattulada, Latoa, 1985). Nilai ini menurut Mattulada sebagai konsep kultural yang menjadi „panggilan‟ mendalam dari dirinya secara pribadi untuk mempertahankan suatu yang dihormatinya. Makna „panggilan‟ memang jika diamati lebih mirip dengan makna sebagaimana ungkapan Weber dengan konsep “calling”-nya yang muncul sebagai akibat penghayatan atas nilai-nilai protestan. Sebuah konsep semangat dan etos kerja bagi masyarakat Barat (baca: Kristen). Konsep ini kemudian melahirkan etika protestan & spirit kapiltalisme (lebih lanjut lihat, Weber, Etika Protestan, 2006). Konsep etika Weber menurut saya mendekati nilai-nilai siri‟ dalam arti semangat untuk berusaha, namun siri ini tidak terkait dengan agama namun hanya sebagai konsep kultural yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan. Siri’ ini mengandung kesadaran psikologis dan etos yang melekat dalam usaha orangorang Sulawesi Selatan diperantauan. Menariknya kemudian konsep siri’ tidak hanya sebagai kesadaran individu namun kesadaran kolektif (Ahimsa, 2007) dimana nilai-nilai ini nampak dalam solidaritas orang-orang Sulawesi Selatan di perantauan. Etika ini menjadi nilai dan kesadaran bersama yang dijunjung untuk menjaga rasa kekeluargaan dan kebersamaan. Di Jeneponto, siri’ juga memiliki kaitan dengan martabat dan harga diri. Ketika seseorang melakukan perbuatan tercela, dianggap merendahkan martabat dan perbuatannya dianggap sebagai aib, konsekuensinya kemudian adalah diasingkan atau mengasingkan diri keluar Jeneponto. Pengalaman di Jeneponto menunjukkan banyaknya peristiwa pertikaian memiliki kaitan siri’ yang kemudian berujung pada perkelahian. Selain siri‟, konsep lain yang masih melekat sebagai filosofi hidup orang Jeneponto adalah pacce (pesse, Bugis). Konsep ini sebagai sisi yang terus berdampingan dengan filosofi siri’ yang saling melengkapi. Pacce diartikan sebagai rasa simpati terhadap sesama orang-orang Sulawesi Selatan. Konsep ini mengedepankan aspek persaudaraan dan solidaritas baik dari kerabat maupun di luar kerabat yang telah dianggap „saudara‟. Nilai seperti ini tidak saja hidup di kampung halaman namun di wilayah perantauan. Dalam sebuah studi mengenai hubungan kekerabatan di Jeneponto, Effendy yang dikutip Acciaioli (dalam Tol, et.al, 2009) mengemukakan adanya ungkapan solidaritas kekeluargaan: Di Jeneponto, meski dia orang [yang berasal dari] luar, jika kami telah menjalin hubugan baik dengannya, maka orang itu dianggap bagaikan kerabat sendiri. Kami siap mati demi membela kawan kami itu demi nama baik keluarga kami (Effendi, 1981 dalam Acciaioli, 2009: 315).
12
Pacce adalah falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan baik yang hidup di kampung halaman maupun masyarakat yang hidup diperantauan. Konsep ini terjali dalam nuansa kekeluargaan antar masyarakat yang merantau demi menjaga rasa solidaritas maka orang Sulawesi Selatan membuat kelompok ikatan kerukunan yang bersifat kultural seperti contoh “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dan organisasi yang berlatar kedaerahan lainnya. 7. Stigma tentang Pa’bambangan na Tolo Orang Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut yang tangguh, jiwa wirausaha yang tinggi dan keberanian yang mengagumkan. Namun dibalik itu semua ada sifat yang melekat; watak keras. Di Sulawesi Selatan secara lebih khusus etnis Makassar digambarkan Mattulada dalam buku Makassar (2011) sebagai masyarakat yang memiliki watak keras dibandingkan dengan ras serumpun, sukar diperintah dan keras kepala. Ciri-ciri antropologis ini menjadi standar elementer dari pemberian label orang-orang Makassar. Pemberian label „keras‟ mencerminkan watak masyarakat sebuah daerah, di Sulawesi Selatan atau dikalangan masyarakat Makassar sendiri, pelabelan orang-orang „keras‟ selalu mengacu kepada orang-orang Jeneponto. Wacana ini berkembang dalam keseharian dan mengalir begitu saja di masyarakat. Pelabelan ini pun melekat dalam identitas orang Jeneponto; ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, orang Jeneponto digambarkan sebagai orang yang mudah naik darah, keras kepala, dan rawan terhadap tindak kriminal. Istilah ini kemudian disebut pa’bambangang na tolo (cepat marah dan bodoh). Sebutan ini digambarkan untuk orang Jeneponto sebagai orang yang kasar, mudah naik darah dan bodoh. Ahimsa dalam sebuah e-mail kepada Muhtar Haboddin menulis bahwa Jeneponto dikenal sebagai daerah rawan tindak kriminal di Sulawesi Selatan (Haboddin 2009: 45). Sebagai contoh angka kejahatan di Jeneponto dari tahun ketahun mengalami peningkatan, ini memperlihatkan bahwa Jeneponto masih dianggap sebagai daerah yang rawan terhadap tindakan kriminalitas. Keterbatasan Negara dalam menghadapi tindak kriminalitas memunculkan pam-swakarsa yang disebut massa6, dimana sekolompok orang menegakkan hukum berdasarkan pemahaman lokal yang sering mengacu pada hukum adat. Pranata hukum lokal inipun ternyata belum mampu menekan angka pelanggaran dan kriminalitas di Jeneponto. Terbukti dengan maraknya aksi pelanggaran dan tindak pidana di tahun 20022006 telah terjadi 348 kasus (Haboddin,2009). Tidak ada penelusuran yang memadai tentang sebab mengapa orang Jeneponto memiliki watak keras, namun hasil wawancara lisan dengan orang Jeneponto ditemukan bahwa kebiasaan meminum ballo, daerah yang kering, suka memakan kuda7 dan kondisi ekonomi dan rendahnya pendidikan dianggap menjadi faktor penyebab pembentukan watak tersebut. 6
Pamswakarsa yang dibentuk masyarakat dengan fungsi sebagai penjaga ketertiban umum. ‘Massa’ ini hampir sama dengan fungsi pecalang di Bali. Namun seiring berjalannya waktu kelompok ini tidak jelas lagi keberadaanya di Jeneponto. 7 Memakan kuda adalah kebiasaan masyarakat Jeneponto. Kuda sebagai makanan favorit yang biasa dihidangkan dengan bentuk coto (soto). Kuda juga berfungsi sebagai penunjang aktifitas ekonomi dan pertanian, selain sebagai olahraga pacuan. Di Jeneponto memiliki persamaan
13
Kenyataan ini memang menyakitkan bagi masyarakat Jeneponto, sehingga terjadi pengkerdilan identitas di lingkup masyarakat Sulawesi Selatan sendiri dengan adanya stigma seperti itu. wacana pun berkembang di luar masyarakat Jeneponto bahwa orang-orang Jeneponto kurang bersahabat terhadap orang dari luar. Namun bagi orang-orang Jeneponto sendiri, tidak melihat hal itu, orang Jeneponto demkian masyarakat berkata, adalah orang-orang yang menjunjung, tinggi persaudaraan, nilai-nilai solidaritas, teguh pada pendirian dan keyakinan, pekerja keras dan rela mati untuk sebuah persaudaraan. 8. Fanatik terhadap Islam Jelang abad ke-17 dianggap sebagai masa keemasan dalam sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Momentum besar ini ditandai dengan banyaknya pemeluk Islam waktu itu. Leonard Y. Andaya dalam catatannya menjelaskan telah terjadi perubahan secara serempak dengan skala luas, banyak penguasa lokal memeluk Islam kemudian diikuti dengan para pengikutnya. Penyebaran ini dilakukan oleh kerajaan dengan jalan penaklukkan atau diplomasi. Keberhasilan ini terilihat berkat raja-raja lokal secara terang-terangan memeluk Islam dan kemudian memperluas ke pengikut kemudian kerajaan-kerajaan tetangganya (Andaya, 2004). Masuknya Islam menjadi penanda penting yang dianggap sebagai pembebas jiwa, memiliki nafas persamaan dan persaudaraan yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan sendi-sendi kehidupan orang Sulawesi Selatan. Seiring berjalannya waktu dengan dianutnya Islam oleh dua kerajaan kembar Makassar, Gowa-Tallo pada tahun 1605 sebagaimana yang diungkpan Anthony Reid (Roger Tol e.t.all. 2009: 78), akhirnya Islam juga menyebar pada kerajaan Jeneponto yang pada saat itu sebagian wilayahnya memiliki hubungan dengan kerajaan Gowa. Islam pada saat itu telah berhasil disebarluaskan di seluruh jazirah Sulawesi Selatan baik melalui penaklukkan maupun dengan jalan perkawinan. Secara umum, masyarakat Sulawesi Selatan adalah penganut Islam yang taat, namun ada beberapa yang masih menganut agama-agama lokal ketika praIslam seperti to-lotang yang disebut sebagai agama yang ada dalam periode lagaligo, juga kepercayaan lama di masyarakat Kajang yang disebut dengan ammatoa (Mattulada 1985: 69-60). Kepercayaan lama ini masih bertahan hingga sekarang namun pengaruh Islam sangat kuat yang akhirnya lambat laun mempengaruhi eksistensi kepercayaan lama. Tentang catatan-catatan tertulis yang menandai masuknya Islam di Jeneponto. dapat dilihat juga saat gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar diantara tahun 1950-1965 yang ketika itu masuk ke jazirah Sulawesi yang pada akhirnya berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Jeneponto. Adanya pemberontakan DI/TII semakin mengokohkan Islam di Jeneponto. Kala itu, DI/TII banyak memusnahkan lontaraq atau hal-hal yang dianggap bidah. Hal ini dengan masyarakat NTT, kuda adalah lambang status sosial, semakin banyak kuda disembelih dalam satu pesta semakin tinggi derajat seseorang di masyarakat. Kompas mencatat Permintaan daging kuda diperoleh dari NTT dengan angka cukup menakjubkan seorang pedagang kuda mengatakan “rata-rata 400 kuda kami kirim ke jeneponto setiap bulan” kata Makkah (40thn). Di Jeneponto, sama seperti di NTT kuda juga dianggap sebagai hewan sakral (Kompas,28/1/2012).
14
dilakukan sebagai bentuk pemurnian dari unsur-unsur mistis yang kemudian diganti dengan konsep dan tata cara Islam. Pemurnian terhadap hal mistis ini dilakukan saat DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar masuk ke Jeneponto. Saat itu naskah-naskah lontaraq Jeneponto banyak dibakar yang kemudian banyak menghilangkan kisah-kisah dan kronik yang tertulis mengenai tomanurung dan sejarah asal usul orang-orang Jeneponto (Hadrawi, 2008). Perkembangan Islam tidak mengalami kemunduran bahkan setelah kejatuhan Makassar pada tahun 1669 secara mendadak dan mengenaskan, Islam masih terus dipertahankan sebagai agama resmi kerajaan Jeneponto hingga sekarang. Sejak kejatuhan Makassar demikian juga pemberontakan DI/TII di Jeneponto, Islam tetap bertahan menjadi agama utama. Perkembangan ini tidak lepas dari peran penguasa saat itu yang menganut Islam. Sejalan dengan itu, orang Jeneponto adalah orang yang sangat fanatik terhadap Islam. Kondisi ini memperlihatkan tidak adanya bangunan ibadah selain mesjid dan Musallah/langgar. Fanatisme terhadap Islam dilihat dari jumlah tempat ibadah yang tersebar, data statistik menyajikan terdapat 486 mesjid dan 117 Musallah atau Langgar (bps, 2010), untuk tempat ibadah selain itu tidak akan dijumpai di daerah ini. Hasil kajian Haboddin menunjukkan hal yang mengejutkan, ia menunjukkan bahwa karakter orang Jeneponto dalam beragama tidak memperlihatkan sikap toleransi terhadap agama dan tempat ibadah lain. Dalam sebuah dialog di tanggal 25 April 2006 yang dicatat Haboddin menyebutkan bahwa : “...karena semua orang Jeneponto Islam, kita (orang Jeneponto, pen) tidak bisa mengabaikan penolakan, menganut agama kristen tersedia dua pilihan. Pertama, pindah agama. Kedua, tetap pada agamanya tetapi ibadah di luar Jeneponto". Bagi pemeluk agama lain, mereka terpaksa beribadah di daerah yang dekat dengan Jeneponto, seperti di Takalar atau Bantaeng. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ber-islam di Jeneponto adalah suatu hal yang utama dan tak bisa ditawartawar. Pemeluk agama selain Islam yang hanya bisa dihitung jari mengingat jumlah mereka yang puluhan orang yang berasal dari luar Jeneponto. Badan Pusat Statistik Jeneponto (2010) mencatat pemeluk protestan berjumlah 32 orang yang tinggal di kecamatan Bangkala Barat, 5 orang di kecamatan Bontoramba, 6 orang di kecamatan Tarowang dan 1 orang di kecamatan Kelara. Untuk pemeluk katolik berjumlah 17 orang di kecamatan Bontoramba, 2 orang di kecamatan Binamu. Dan pemeluk hindu berjumlah 3 orang yang tinggal di kecamatan Binamu. Walaupun demikian, fatanatisme dalam ber-islam, tidak semerta-merta menghilangkan kepercayaan terhadap leluhur. Ajaran Islam pun tidak dijalankan secara murni (ortodoks) mengingat masih adanya ritual-ritual yang berhubungan dengan arwah/leluhur. Hingga kini, kepercayaan itu kemudian dipadu (sinkretisme) antara agama dan kebudayaan menyatu dalam masyarakat Jeneponto. Upacara-upacara pernikahan, kematian (attumate), upacara adat lainnya.
15
9. Aktifitas ekonomi orang Jeneponto Kehidupan sosial ekonomi Jeneponto masih berorientasi ke sektor pertanian, perikanan dan sedikit di sektor tambang. Sebahagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya di sektor pertanian atau perikanan yang dilakukan bersama anggota keluarga. Aktifitas ini dilakukan dari pagi hingga menjelang sore. Disektor pertanian misalnya, tiap anggota keluarga memiliki peran masingmasing, seluruh keluarga terlibat dalam aktifitas seperti membajak sawah dan menanam benih padi. Peran tiap-tiap anggota keluarga dalam kegiatan sosial ekonomi sangat membantu. Pola ini dianggap sebagai bentuk kewajiban bersama yang masih dilakukan di desa-desa di Jeneponto. Namun kegiatan usaha yang menggunakan „otot‟ lebih banyak dikerjakan oleh kaum laki-laki seperti menambak garam, melaut, atau menyadap nira. Sedangkan kaum perempuan lebih banyak dengan kegiatan rumah tangga, mengurus anak dan membantu menyiapkan makanan bagi anggota keluarga yang bekerja di sawah atau di kebun. Aktivititas ekonomi di Jeneponto sebenarnya tidak berbeda dengan daerah pedesaan lain di Sulawesi Selatan. Penjelasan aktifitas ekonomi orang Jeneponto secara umum dapat dilihat dari aktifitas masyarakatnya yang hampir tiap hari digelar di pasar tradisional. Setiap hari masyarakat melakukan aktifitas jual beli hewan seperti ayam, kambing dan jenis unggas lainnya di pasar tradisional. Di wilayah perkotaan di pusat-pusat pemerintahan, aktivitas ekonomi lebih fokus pada pelayanan jasa seperti warnet, fotocopy dan kedai kopi. Guna mendukung perekonomian masyarakat, transportasi yang digunakan adalah transportasi tradisional yang disebut dengan bendi (dokar) dan pete-pete (angkutan umum). Moda transportasi inilah yang membantu roda ekonomi di Jeneponto terus berputar hingga sekarang. Seluruh aktivitas ekonomi ini baik di pasar maupun usaha lain digerakkan oleh dua kelompok besar yaitu saudagar dari Bugis dan saudagar Jeneponto sendiri. Dua kelompok ini yang menggerakkan roda ekonomi di Jeneponto selain sekolompok kecil dari pedagang dari Jawa. Di tempat ini tidak akan mudah mendapatkan pedagang dari Cina. Tidak ada penjelasan yang memadai mengapa orang Cina tidak tertarik melakukan aktivitas ekonomi di Jeneponto, namun seperti halnya upaya proteksi upaya dagang dari masyarakat Kotagede Yogyakarta, pedagang Kotagede melakukan resistensi yang sangat kuat terhadap pedagang dari Cina. Bahkan orang cina tidak diperkenankan tinggal di Kotagede—sampai sekarang—demi kedaulatan ekonomi penduduk lokal (Efendi, 2009: 111). Tidak berbeda jauh dengan kasus di Kotagede, di Jeneponto tidak memperkenankan pedagang dari Cina hadir—sampai sekarang pun tidak ada orang Cina yang berdagang di Jeneponto. Hal ini dilakukan sebagai bentuk proteksi atau perlindungan terhadap ekonomi masyarakat lokal Jeneponto. Sebagian besar unit-unit usaha yang dikelola masyarakat Jeneponto berkutat pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan laut, tambak garam dan budidaya rumput laut yang masih dikerjakan oleh keluarga dekat. Demikianlah gambaran singkat masyarakat Jeneponto bersama dengan tradisi, perjalanan sejarah hingga ciri khas yang dilekatkan dari waktu ke waktu yang masih terus hidup sampai hari ini.
16