*ILMU JIWA,* * MENURUT KI AGENG SURYOMENTARAM * *KAJIAN NORMA ETIS- FILOSOFIS * ** *Dr. Selu Margaretha Kushendrawati**** ** ** ** *Pengantar * Secara etimologis asal kata psikologi dari kata Yunani *Psychê* yang berarti jiwa dan *logos* yang berarti nalar, logika atau ilmu. Maka secara harafiah psikologi bisa diartikan ilmu tentang jiwa yang mengamati berbagai macam gejala- gejala kejiwaan. Tetapi sebenarnya banyak juga pakar yang lebih cenderung mengartikan psikologi sebagai bidang studi tentang tingkahlaku atau perilaku manusia. *Psychê,* di d alam Oxford Dictionary tertulis *soul*(roh), *mind* dan *spirit.* Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Pada tahun 1879 psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Sebelum itu psikologi merupakan bagian dari filsafat atau ilmu faal. Aristoteles filsuf Yunani yang hidup kurang lebih di abad 400 tahun SM memasukkan psikologi ke dalam fisika. Ini dikarenakan Aristoteles membagi ilmu pengetahuan teoritis atas fisika, matematika dan metafisika. Maka psikologi bukan nerupakan ilmu yang berdiri sendiri. Bagi Aristoteles, semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh- tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. Sementara yang dimaksud ilmu jiwa Ki Ageng Suryomentaram adalah suatu bidang studi yang berisikan norma- norma etis bagi manusia man usia karena manusia selalu mencatat, membedakan catatan dengan yang dicatat, mengenal jiwa abadi,
bagaimana manusia secara *deontologis* (meminjam istilah Kant) harus berbuat baik bukan karena kategori yang hipotetis melainkan kategori yang imperatif (kewajiban) dan lain- lain. Maka tentunya ada perbedaan antara psikologi yang dikenal di masyarakat awam dengan konsep Ki Ageng Suryomentaram. Untuk itu marilah kita mencermati wejangan tentang ilmu jiwa men urut Ki Ageng Suryomentaram yang penulis ulas dari salah satu buku diantara buku- buku yang berisikan wejangan- wejangannya. ** * Ilmu Jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram Sur yomentaram * * *Di dalam beberapa pandangan termasuk ilmu jiwa (psikologi), berpendapat bahwa manusia terdiri dari keduaan yaitu tubuh dan jiwa. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri dan bersifat abadi. ** Alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan menurut Ki Ageng Suryomentaram terdiri dari pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal- hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Dengan demikian alat ketiga ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, endapan yang didapat dengan menyingkirkan atau mengabaikan hal- hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak terketahui karena 'di sana' terdapat banyak hal yang *mysteré *tak terjangkau oleh alat kemampuan manusia. Menurut Ki Ageng Suryomentaram (untuk selanjutnya penulis akan tulis initialnya KAS), jiwa tak kalah pentingnya dari tubuh. Plato berargumen, jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat
bagaimana manusia secara *deontologis* (meminjam istilah Kant) harus berbuat baik bukan karena kategori yang hipotetis melainkan kategori yang imperatif (kewajiban) dan lain- lain. Maka tentunya ada perbedaan antara psikologi yang dikenal di masyarakat awam dengan konsep Ki Ageng Suryomentaram. Untuk itu marilah kita mencermati wejangan tentang ilmu jiwa men urut Ki Ageng Suryomentaram yang penulis ulas dari salah satu buku diantara buku- buku yang berisikan wejangan- wejangannya. ** * Ilmu Jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram Sur yomentaram * * *Di dalam beberapa pandangan termasuk ilmu jiwa (psikologi), berpendapat bahwa manusia terdiri dari keduaan yaitu tubuh dan jiwa. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri dan bersifat abadi. ** Alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan menurut Ki Ageng Suryomentaram terdiri dari pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal- hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Dengan demikian alat ketiga ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, endapan yang didapat dengan menyingkirkan atau mengabaikan hal- hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak terketahui karena 'di sana' terdapat banyak hal yang *mysteré *tak terjangkau oleh alat kemampuan manusia. Menurut Ki Ageng Suryomentaram (untuk selanjutnya penulis akan tulis initialnya KAS), jiwa tak kalah pentingnya dari tubuh. Plato berargumen, jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat
kebebasan jiwa. Tetapi yang jelas, jiwa dan tubuh saling berkorelasi, pengaruh- mempengaruhi bahkan jiwa tak mungkin terketahui tanpa adanya tubuh. Oleh karena jiwa tak dapat tertangkap oleh pancaindera maka jiwa sangat membutuhkan tubuh. Kas mengatakan bahwa setiap orang memiliki rasa nama, "Saya Margaretha", "Saya si Anu". Rasa nama tersebut oleh KAS disebut "kramadangsa", rasa Aku Kramadangsa" dan itulah jiwa menurut KAS. Membicarakan tentang jiwa seringkali terdapat kesulitan terutama untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan yang sulit seperti masalah: apakah jiwa itu abadi atau sebaliknya jiwa itu ikutserta lenyap len yap ketika si manusia mati? Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Dalam hal ini ternyata setiap jawaban mengandung risiko dan tidak dapat memuaskan sepenuhnya karena kedua- duanya tetap mengandung kelemahan- kelemahan. Menurut KAS jiwa yang tidak abadi adalah rasa "Aku Kramadangsa" sedangkan rasa jiwa yang abadi adalah "Aku bukan Kramadangsa". Rasa aku kramadangsa adalah aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa adalah aku yang otonom yang sudah memiliki kesadaran memilih mana yang benar dan mana yang tidak sehingga ia dapat dinamai *'Aku sing madeg pribadi*'. Perlu dipahami bahwa Kramadangsa adalah kumpulan seluruh catatatan di dalam memori manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya di mana semua itu tidak bersifat abadi karena seluruh catatan tersebut dapat terlupakan bahkan lenyap bersama tubuh yang mati. Maka jika aku yang aku bukan kramadangsa, berarti yang dimaksudkan adalah aku yang dapat mengatasi kromodongso karena ia adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kromodongsonya.
*Manusia selalu mencatat * Diri kita selaku subjek dan lingkungan kita sebagai objek menyatu dan bertemu manjadi apa yang dinamai dengan pengetahuan. Oleh karena itu
pengetahuan manusia dari sehari kesehari selalu bertambah dan bersifat kumulatif. Mendapatkan pengetahuan dengan cara berpikir sangat berbeda dengan mendapatkan pengetahuan melalui rasa (dengan merasakan). Pengetahuan pertama didapat tanpa/mendahului pengalaman karena di sana hanya diperlukan kekuatan rasio yang berjalan amat logis, sementara cara kedua adalah jenis pengetahuan yang didapatkan harus melalui pengalaman- pengalaman inderawi karena harus dapat dirasakan oleh tubuh yang menjasmaniah. Itulah pekerjaan otomatis yang dilakukan manusia secara sadar ataupun tak sadar terus menerus sepanjang hidupnya sebagai pencatat, terlepas dari catatan yang ia catat benar atau salah. KAS mengatakan bahwa catatan salah dapat dibetulkan agar menjadi benar (walaupun itu sulit), sedangkan catatan benar bersifat tetap. Namun di sini terdapat kesenjangan (menurut penulis makalah), dari mana kita ketahui bahwa catatan kita sudah benar ataupun catatan kita masih salah? Hal ini bukan suatu hal yang mudah tentunya, dari sisi yang mana kita akan dapat men *judge* bahwa ini benar dan yang itu salah? Seperti yang dikatakan KAS, catatan salah menyebabkan orang juga menyimpulkan sesuatu yang salah sedangkan banyaknya catatan yang benar akan menghasilkan terangnya intelegensia setiap orang. Catatan- catatan pada dasarnya dapat dirasakan karena bagi kelompok orang yang mayoritas masih 'terpencil' dari berbagai lingkungan hidup, catatan mereka lebih dihayati berdasarkan rasa yang didapatkan melalui berbagai pengalaman inderawi. Tetapi catatan yang dapat dilihat, dibaui, diraba, dicecap itu dapat ditingkatakan ke dalam rasa batin, rasa tersebut mengendap dan tinggal menjadi rasa yang dirasakan sebagai memori. Di sisi lain terdapat yang disebut oleh KAS sebagai catatan awangan yaitu catatan yang diperoleh tanpa melalui proses karena ia ditemukan melalui intuisi, penerangan tanpa bayangan. Masing- masing catatan tersebut hidup dan menempel dalam jiwa setiap orang. Agar catatan dapat terus hidup ia memerlukan makanan berupa perhatian dari si pemilik catatan. Catatan yang selalu masih diperhatikan akan tetap subur dan hidup, sebaliknya catatan yang tak pernah diperhatikan akan tandus dan mati. Disinilah kita sebagai manusia yang berakhlak moral dan bersikap etis harus dapat memilah- milah mana catatan yang harus kita buang dan mana catatan yang tetap masih bisa kita pertahankan. Catatan yang sudah mati hanya menjadi pengalaman misalnya: pengalaman ketika selagi menjadi pejabat berkebiasaan mencuri, ketika pernah menjadi pecandu narkoba, kesenangan mampir ke 'Dolly" dan lain sebagainya. Walaupun kebiasaan- kebiasaan dan keinginan- keinginan tersebut seringkali amat sulit ditumpas bahkan seringkali juga ia dapat kembali hidup. Semuanya
tergantung moralitas pemilik catatan, dalam situasi seperti itu catatan berada dalam keadaan sekarat karena ia tak lagi diingini. Catatan sekarat dapat memanifestasikan diri dalam berbagai macam bentuk seperti catatan sekarat akibat rasa kangen. Co ntoh kangen dari suami- isteri yang lama tidak bertemu karena ada tugas yang berbeda sehingga keduanya terpisah. Catatan sekarat kangen akan segera hilang begitu mereka bertemu kembali. Juga catatan kangen (sakau) narkoba, atau rokok misalnya. Catatan sekarat dalam kasus ini seharusnya justru dibunuh dan jangan sekali- kali diingat lagi, tetapi kenyataannya sering benda- benda laknat tersebut setelah sekarat malah dihidupkan lagi (?). Catatan lain yaitu catatan sekarat berupa pengalaman seseorang yang kehilangan *semat* (kekayaan), * drajat* (kedudukan), *kramat* (kekuasaan). Catatan selalu menuntut disertainya tindakan- tindakan. Olehkarenanya terjadi pertarungan sengit antara catatan lama dan catatan baru. Jika seseorang belum dapat meninggalkan catatan lama maka akibatnya ia menjadi pribadi yang tidak otentik bahkan ia cenderung menjadi orang lain terhadap dirinya sendiri. Ia berlagak seperti orang kaya, seperti penguasa yang berkedudukan tinggi padahal ia tak ada hubungan apa- apa dengan semua itu. Akhirnya ia terkena gangguan jiwa akibat catatan yang terlalu tebal. Padahal catatan yang terlalu tebal itu dapat ditipiskan kalau saja kita mau men *delete* catatancatatan yang sudah tidak kita perlukan lagi. Catatan dapat runtut (selaras) dan nalar (masuk akal) atau sebaliknya tidak runtut dan tidak nalar yang menyebabkan makna tindakanpun demikian juga. Jadi meluruskan catatan sama dengan meluruskan juga makna- makna tindakan. Selanjutnya catatan akan menggolong- golongkan diri saling tarik- menarik dan tolak- menolak antar sesamanya. Tampak dalam hal ini isi dan kekuatan catatan terletak pada keputusan. Keputusan otonom si pemilik catatan untuk memilih "Aku Kramadangsa" atau "Aku bukan Kramadangsa". Keputusan merupakan jiwa atau inti dari catatan- catatan. Maka jika keputusan atau jiwa itu benar, baik, bagus, catatannyapun juga benar, baik dan ba gus.
*Antara catatan dan yang dicatat * Manusia hidup untuk mencatat dan catatan- catatan itu menjadi pengetahuan baginya. Manusia mencatat segala sesuatu yang berasal dari pancaindera, berasal dari keinginan *(karep),* dan juga yang berasal dari aku. Seluruh
catatan hanya berupa gambar, oleh karena itu catatan terpisah dan berbeda dengan yang dicatat. Catatan bersifat subjektif. Artinya, jika seseorang mati maka catatannyapun ikut serta dengannya sedangkan yang dicatat tetap ada dan tinggal sebagai objek yang berada di luar dirinya. Contohnya, jika seseorang memiliki catatan tentang gunung di dalam memori ingatannya, gambar gunung itu akan lenyap bersama dirinya jika ia tutup usia tetapi tidak dengan gunung itu sendiri sebab gunung tidak melekat pada diri seseorang tetapi sebagai sesuatu yang dicatat oleh orang tersebut yang berada di luar diri orang tersebut sebagai objek. Menurut KAS terdapat catatan- catatan pusat atau disebut juga catatan raja dan terdapat catatan- catatan pelayan atau catatan balatentara yang fungsinya hanya melayani catatan raja atau catatan pusat karena catatan raja adalah cita- cita utama dalam setiap catatan. Setiap orang memiliki citacita apakah itu sukses dalam *semat, drajat* ataupun *kramat*. Contoh, jika *semat* menjadi catatan raja maka catatan- catatan lain hanya dimanfaatkan sebagai pelayan atau balatentara penunjang meraih sukses untuk mendapat * semat* (kekayaan). Demikian juga dengan keinginan- keinginan terhadap *drajat *ataupun *kramat* jika mereka menjadi acuan dan dijadikan catatan raja. Tanpa disadari bagi orang pemuja ketiga catatan tersebut sebenarnya mereka adalah orang- orang yang mengidap penyakit kebendaan sehingga akhirnya mereka menjadi 'raja menderita'. Aliran kebendaan menyatakan bahwa benda adalah dasar segala- galanya. Aliran ini amat dekat dengan catatan- catatan *semat, drajat* dan* **kramat. *Seseorang yang selalu menghidupkan ketiga catatan itu adalah orang yang hanya dapat menghargai orang lain maupun benda- benda di sekitar sebagai sejauh bermanfaat bagi dirinya saja. Segalanya diukur bagi kesenangan dirinya sehingga kurang memperhatikan ukuran dalam hal menyenangkan orang lain. Maka lambat laun akan terjadi konflik kepentingan berdasarkan catatan yang rentan dan berbeda antar seorang dengan orang lain. Di sisi lain orang juga dapat menjalin kerjasama apabila sama- sama berada dalam catatan yang sama. Demi kebendaan yang diingini raja *semat, drajat* dan *kramat* juga dapat melakukan apa saja demi mencapai cita- citanya. Bahkan kalau perlu caracara kekerasan juga dilakukan. Jika gagal, tidak saja sakit penyakit tubuh yang diidap tetapi gangguan jiwa bahkan penyakit kejiwaan serius juga menanti. Berbagai penyakit jiwa muncul disebabkan rasa hati yang rusak. Jika rasa hati sudah tidak lagi bersemayam di dalam diri seseorang, maka ia sudah
tidak mampu lagi merasakan rasa, akibatnya menjadi buta hati. Akhirnya jiwapun terganggu dan melahirkan penyakit yang mengganggu rasa hati. Adapun bibit penyakit jiwa menurut KAS dapat dijelaskan sebagai berikut: Seperti diketahui kramadangsa mencatat segalanya dari pancaindera menjadi pengalaman- pengalaman yang kemudian dijadikan rupa- rupa kein ginan dari aku. Ketika seseorang menjadi "Aku Kramadangsa" kemudian *semat, drajat* dan *kramat* dijadikan raja yang diingini ternyata tidak tercapai, maka ia menderita. Ia kecewa dan sakit jiwa karena ia yakin jika semua itu tercapai maka ia akan bahagia. Aku dan keinginan sebenarnya merupakan campuran semacam adonan dari rasa- rasa yang lain. Maka jika kramadangsa mencatat catatan yang keliru, campuran atau adonan- adonan lainpun akan keliru juga. Hal- hal semacam itulah yang seringkali menjadi pemicu penyakit kejiwaan seperti psikosomatis bahkan pecah jiwa. Pada saat seseorang tidur, ia tidak mencatat berdasarkan pancainderanya melainkan mencatat yang berasal dari keinginan dan akunya. Orang yang hidup selalu mengalami berbagai macam kejadian dan juga melihat segalanya dari keinginan dan aku, kemudian semua itu diubah menjadi gagasan- gagasan sebagai pengetahuan yang berasal dari aku. Memang dalam tidur orang akan merasa segalanya bagaikan nyata, bukan sebagai gagasan. Sebaliknya dalam keadaan tidak tidur, walaupun seseorang juga menggagas seperti ketika ia tidur tetapi dalam keadaan tidak tidur pancaindera terus bekerja. Dengan demikian dalam keadaan tidak tidur seseorang dapat membedakan mana gagasan dan mana yang kenyataan. Berbeda lagi dengan mimpi. Dalam mempelajari apa itu mimpi kebanyakan orang mengalami kesulitan sebab seringkali hal- hal yang tercatat di dalam tidur tak pernah diingat lagi. Karena tidak ingat maka ia mengatakan bahwa ia tidak merasa apa- apa, padahal lupa bukan berarti tidak ada apa- apa. Perlu dipahami bahwa lupa dan tidak merasa apa- apa merupakan dua hal yang berbeda.Banyak kejadian yang kita lupakan walaupun b elum lama terjadinya. Hal itu dikarenakan kita hanya mengingat hal- hal yang menjadi perhatian kita. Orang dapat saja lupa atau ingat akan pengalamannya mengembara ke Amerika, ke New Zealand dll. tetapi sungguh mengherankan ia tak pernah lupa akan asal desanya. Selain mimpi KAS juga membahas secara rasional tentang * nglilir* (bangun dari tidur dan tidur kembali), *nglindur* (mengigau), *tindhien* (berteriakteriak dengan kata- kata yang tidak jelas dalam keadaan setengah tidur), *
chandikala* (senja), *gondhol wéwé,* *kesurupan* dan *ndleming*, sakit ingatan dan juga *préwangan* (medium). *Chandikala *misalnya, adalah waktu dikala matahari mulai tenggelam. Mengapa biasanya orang tua selalu tidak mengizinkan anak- anak mereka yang di bawah umur 5-6 tahun bermain di luar runah pada jam- jam tersebut? Secara rasional disebabkan anak- anak di umur itu belum memiliki catatan atau pengetahuan yang memadai, mereka hanya mengandalkan penglihatan semata- mata. Padahal di luar rumah cuaca mulai gelap, maka mereka dilarang bermain lagi. *Gondhol wéwé*, juga masalah catatan belum kuat. Anak yang diistilahkan *digondhol wéwé* (disembunyikan setan) adalah mereka yang berumur kira- kira 10 tahun. Padahal sebenarnya hal itu mudah saja dijelaskan. Biasanya anak- anak bermain dengan kawan- kawannya ke tempat yang jauh dari rumah. Ketika pulang salah satu dari mereka terpisah dan tersesat sehingga tak tahu jalan pulang. Setelah hari mulai gelap ia tertidur di mana saja. Anak seumur itu memang belum cukup catatan yang dimilikinya. Orang tua yang kehilangan anakn ya akan mengajak orang- orang lain untuk mencari si anak dengan menabuh bunyi bunyian seperti kentungan, panci atau apa saja yang dapat menimbulkan bun yi. Banyak orang percaya bahwa *wéwé* takut akan bunyi- bunyian sehingga ketika mendengar bunyi- bunyian maka ia lari dan meninggalkan anak yang disembunyikannya. Padahal si anak yang ditemukan kembali disebabkan ia mendengar bunyi- bunyi tersebut lalu mendatanginya, bukan karena dilepas oleh si setan *wéwé.* *Kesurupan, ndleming *adalah suatu keadaan pada orang yang meracau menceriterakan sesuatu yang menurutnya ia lihat dan ia dengar tetapi yang tidak dapat dilihat dan didengar oleh orang lain. Orang *kesurupan* atau * ndleming* adalah orang yang menceritakan suatu gagasan atau gambaran tanpa merasa bahwa apa yang diceriterakannya itu tidak nyata. Jadi, orang yang demikian adalah orang yang tidak dapat membedakan antara gagasan dengan kenyataan, ia mencampuradukkan keduanya. Mirip dengan *kesurupan* dan * ndleming* adalah *préwangan*. Namun *préwangan* adalah suatu keadaan yang terjadi pada seseorang karena disengaja. Maksudnya, orang yang menjadi *préwangan *adalah orang yang merasa dirinya dapat dengan sengaja* *mendatangkan dan memasukkan jiwa orang lain baik yang masih hidup maupun yang sudah mati ke dalam dirinya melalui syarat- syarat tertentu. Kemudian orang yang bersangkutan akan mengalami *trans*. Jadi *préwangan* atau yang sering disebut medium sama dengan *kesurupan* ataupun *ndleming* yaitu tercampurnya
gagasan dan kenyataan.
*Jiwa abadi dan jiwa yang tidak abadi * Kembali pada masalah catatan.Untuk menjaga agar catatan- catatan menjadi benar dan juga jiwa menjadi sehat terlebih dahulu rasa aku dan bukan aku harus dipisahkan. Semula rasa "Aku Kramadangsa" dianggap hanya terdiri dari satu macam rasa saja. Tetapi kemudian terketahui bahwa rasa "Aku Kramadangsa" adalah rasa campuran yang terjadi dari perpaduan antara rasa aku dan rasa kramadangsa. Jadi, aku- kramadangsa sama dengan aku kramadangsa. Jikalau rasa aku sudah terpisah dengan rasa kramadangsa, maka aku menganggap 'kamu' terhadap kramadangsa. Orang yang demikian adalah orang yang sudah dapat mengendalikan dirinya, mengubah dirinya dan mengubah pandangan hidupnya. Kramadangsa sebagai kamu berarti kramadangsa bukan aku. Aku sudah tidak lagi tergantung pada kramadangsa. Kramadangsa juga tidak lagi menjadi pusat kehidupanku. Orang yang masih "Aku Kramadangsa" hanya dapat menghargai dirinya sendiri, orang lain dan benda- benda lain hanya merupakan 'kamu' baginya. Rasa "Aku bukan Kramadangsa" menunjukkan keterpisahan antara aku dan kramadangsa. Kramadangsa hanya merupakan 'kamu' yang amat kecil yang hampirhampir tak mempengaruhi apapun bagiku. Kamu adalah objek yang diketahui aku selaku subjek. Maka aku yang mengetahui tentu lebih agung daripada yang diketahui karena yang mengetahui itu meliputi yang diketahui. Rasa "Aku bukan Kramadangsa" yang dirasai dengan sadar akan menimbulkan rasa 'aku' abadi dan bahagia yaitu jiwa abadi. Jadi, jiwa yang abadi adalah jiwa yang identik dengan rasa "Aku bukan Kramadangsa", sedangkan jiwa yang tidak abadi adalah jiwa rasa "Aku Kramadangsa". Jika jiwa abadi atau rasa "Aku bukan Kramadangsa" dicatat dalam kramadangsa menggantikan catatan jiwa yang tidak abadi maka catatan inti menjadi benar. Maka lahirnya jiwa abadi akan menyebabkan kramadangsa dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan hidup yang baik dan benar. T ujuan hidup yang baik dan benar jika tercapai akan menimbulkan 'rasa enak' meskipun wujudnya sangat beranekaragam. Obsesi hidup kramadangsa adalah mencari semat, drajat dan kramat. Sebagai manifestasi "Aku Kramadangsa". Apabila cita- cita hidup baik
dan benar telah dicatat maka kemudian akan tejadi pertentangan antara catatan baru dengan catatan- catatan raja lama. Peperangan batin yang hebat akan terjadi dalam waktu yang lama. Jika catatan raja lama mati maka catatan raja baru akan menggantikannya dengan semboyan: "Aku bukan Kramadangsa", aku dapat merasa enak meskipun tidak dekat dengan *semat, drajat* dan *kramat!* Secara kejiwaan orang yang demikian adalah orang yang berpendapat bahwa baik kaya maupun miskin tidak menjadi masalah baginya karena ia tetap berbahagia. Maka jiwanyapun menjadi tenteram. Aliran kejiwaan semacam itulah yang hendaknya dapat dipahami dan dihayati setiap orang agar jiwa menjadi enak. Barang siapa hidup hanya untuk mengenakkan diri sendiri saja berarti ia adalah orang yang menjerat tali dilehernya sendiri karena sesungguhnya manusia hidup di dunia adalah ada bersama dengan orang lain dan bertujuan mengenakkan orang lain juga. Aliran kebendaan atau aliran yang memfokuskan pada materi sebagai rajanya adalah aliran yang hanya membuat catatan- catatan luka. Apabila itu terjadi maka kemudian hatipun rusak, akibatnya hati tak dapat lagi dipergunakan untuk merasakan rasa. Catatan luka merupakan sumber gangguan kejiwaan bahkan penyakit jiwa. Catatan luka juga menimbulkan rasa malu, malu terhadap orang lain dan juga malu pada diri sendiri yang lebih parah lambat laun menimbulkan rasa takut (walaupun orang lain belum tentu mengetahui perihal aibnya). Jiwa yang buntu akan mengakibatkan keputusasaan dan sebagai penghibur diri ia akan menghibur diri ke dunia gelap seperti alkohol, narkoba dan berbagai hal maksiat. Jadi, kemewahan jasmaniah merupakan pemicu utama bagi penyakit jiwa tingkat tinggi. Alih- alih buat penghibur diri namun k emewahan justru menjerumuskan diri ke catatan luka yang amat dalam. Jiwa yang sehat terjadi bila raga, hati dan juga pikiran sudah dapat menerima raja kejiwaan yang menyadari bahwa tidak ada yang lebih enak dan membuat diri bahagia kecuali bila seseorang sudah dapat membuat orang lain juga enak dan bahagia. Jika raga, hati, pikiran mengalami kesukaran menerima raja kejiwaan itu merupakan pertanda bahwa jiwa sedang menderita sakit. Apabila ternyata raja *semat, drajat* dan *krama*t beserta seluruh pasukannya sudah tak berdaya, maka ketiganya akan menjadi tawanan raja kejiwaan. Akhirnya raja *semat*, *drajat* dan *kramat* hanya menjadi tugu peringatan saja padahal setiap perbuatan sebenarnya tidak lain merupakan manifestasi catatan. Olehkarenanya jika seseorang ingin dapat mengendalikan perbuatan maka ia harus menguasai dulu semua catatannya. Misalnya jika
seseorang ingin berbuat baik kepada orang lain, tindakannya tersebut haruslah merupakan tindakan yang dilakukan karena memang kewajiban tanpa dikarenakan maksud- maksud lain atau masih terkait dengan catatancatatannya. Dengan demikian setiap orang dapat membuat orang lain senang, enak berdasarkan ukuran rasa hati sendiri. Aku yang sudah memiliki sifat- sifat jiwa luhur atau yang bisa dinamai sifat kedewaan berhadapan dengan keinginan- keinginan dalam sifat- sifat jiwa rendah atau sifat- sifat kehewanan, mereka berkelahi dengan sengit. Aku dan keinginan merupakan dua hal yang bersifat abadi. Kita tak pernah mampu menghilangkan mereka. Hal ini menyebabkan terjadi perang batin di dalam hati setiap orang karena setiap orang memiliki kearifan sendiri. Rasa jiwa terjadi dari perpaduan antara catatan rasa aku dan keinginan. Rasa jiwa manusia selalu silih berganti antara dominasi rasa aku atau keinginan- keinginan. Manusia berbeda dengan makhluk- makhluk lain yang bukan manusia seperti hewan, tumbuh- tumbuhan dan lainnya. Olehkarenanya manusia selalu menghadapi masalah, manusia bisa bahagia dan manusiapun bisa menderita. Manusia memiliki emosi, sementara di sisi lain hewan, pohon, batu tidak. Suatu waktu rasa akunya lebih tinggi, tetapi dalam waktu yang berbeda keinginan- keinginan jasmaninya yang mendominasi. Ketika seorang suami menempeleng isterinya dan si isteripun membalas dengan membanting pintu, mereka sama- sama emosi. Setelah sadar mereka heran sendiri mengapa mereka bisa melakukannya bahkan seakan- akan bukan di ri mereka yang melakukan semua itu. Hal itu disebabkan ketika terjadi, mereka melakukan tanpa kesadaran penuh. Tetapi akan lebih parah apabila hal itu dilakukan dengan sadar, tahu dan mau. Sebaiknya tindakan yang baik dan benar harus dilakukan secara etis yaitu sadar, tahu, mau dan ditanggungjawabi. Demikian maka aku dalam jiwa luhur menempati keabadian karena menurut Plato jiwa berhakikat abadi.
*Penutup * Sebagai penutup penulis akan menuliskan beberapa catatan yang perlu dicermati tentang isi ilmu jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram menurut penulis bukan saja seorang pemikir tetapi lebih jauh seorang praktisi moral yang konsisten. Hal itu tampak dari konsep maupun wejangan- wejangannya yang berisikan baik argumen- argumen maupun
pengalaman- pengalaman yang terungkap didalamnya. Seringkali para intelektual termasuk para intelektual Indonesia menganggap bahwa seluruh pemikiran dan teori datangnya dari barat, barat selalu menjadi acuan dan pegangan. Di sisi lain timur selalu dianggap sebagai yang terbelakang. Memang terdapat semacam perbedaan cara pandang antara timur dan barat misalnya, timur cenderung *inward looking* sedangkan barat cenderung *outward looking.* Orang timur menjunjung tinggi intuisi subjektivitas, pemahaman, harmoni dan intuisi sedangkan orang barat lebih menekankan akal budi (nalar) serta bersikap realistis. Kalau di Cina dikenal ajaran- ajaran dari orang- orang seperti Kung Fu Tse, Mo Tse; di Arab ada Suhrawadi, Mullâ Sadrâ, Muhammad Iqbal; di India dikenal para tokoh di zaman kitab- kitab *veda*, maka di Indonesia khususnya bagi orang- orang Jawa bisa kita akui Ki Ageng Suryomentaram sebagai tokohnya. Ki Ageng Suryomentaram seorang filsuf praktis yang memberi pencerahan tentang hidup yang baik. Hidup yang berdampingan dengan orang lain/ *liyan*, dengan demikian setiap orang hendaknya tidak hanya mau enaknya sendiri saja melainkan bisa berbuat agar dapat mengenakkan orang lain juga. Dalam hal itu Ki Ageng juga telah menujukkan adanya pendekatan- pendekatan yang sifatnya religio- humanistik. Ki Ageng Suryomentaram ingin menunjukkan bahwa setiap orang berada dalam dimensi baik yang horizontal maupun vertikal. Artinya, manusia dalam garis yang horizontal ia berada dan berhubungan dengan sesamanya manusia sedangkan dalam garis yang vertikal ia juga selalu menjalin komunikasi dengan Tuhannya. Ki Ageng juga banyak sekali mengulas tentang teori pengetahuan atau * epistemologi.* Seperti yang diungkapkannya mengenai Kramadangsa. Kramadangsa merupakan catatan- catatan yang didapatkan setiap orang melalui pengalaman pengalamannya baik itu yang kasat indera maupun melalui intuisi. Maka sebagai kesimpulan pribadi, penulis melihat Ki Ageng Suryomentaram dapat dijadikan tokoh acuan dalam kehidupan etis yang layak diikuti oleh siapapun yang mengingini hidup tenang, tenteram dan bahagia.
*Daftar Bacaan * **
Bahm, Archie J., *Filsafat Perbandingan, Filsafat Barat, India, Cina dalam* *Perbandingan, *Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003
Bertens, Kees, *Sejarah Filsafat Yunani,* Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999
Hadiwijono, Harun, *Agama Hindu dan Buddha*, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976
Olthof, W.,L., alih bahasa: HR. Sumarsono, *Babad Tanah Jawi,* Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2008
Sarwono, Sarlito Wirawan, *Aliran- aliran dan Tokoh- tokoh Psikologi*, Bulan Bintang. Jakarta, 1978
Suryomentaram, Ki Ageng, diterjemahkan: Grangsang Suryomentaram,dr., SKM., *Rasa Takut, Ilmu Jiwa, dan Pembangunan Jiwa warga Negara (kumpulan buku- buku Ki Ageng Suryomentaram jilid XIV),* Inti Idayu Press, Jakarta, 1983
Takwin, Bagus, *Filsafat Timur, Sebuah Pengantar ke Pemikiran- pemikiran Timur*, Jala Sutera Yogyakarta, 2001 Selected post May 19, 2009; 8:57am KAJIAN NORMA ETIS- FILOSOFIS Kawruh Bejo Ki Ageng Suryomentaram http://spiritual-indonesia.10925.n7.nabble.com/KAJIAN-NORMA-ETIS-FILOSOFIS-KawruhBejo-Ki-Ageng-Suryomentaram-td98313.html Kamis, 19 September 2013
Menjelajah Ruang Rasa dan Mengembangkan Kecerdasan Batin bersama Ki Ageng Suryomentaram Filsafat Jawa menyimpan lapisan-lapisan ilmu pengetahuan tentang moral, etika, hingga pengetahuan tentang "rasa". Filsuf dan begawan Jawa telah memberi kabar tentang masa depan, ilmu kemanusiaan, politik kuasa, hingga hubungan dengan alam dan Tuhan. Kisah-kisah kebatinan Jawa telah ditulis Ranggawarsita, Puradisastra, hingga Suryamentaram. Dan, nama terakhir inilah yang merupakan pangeran keraton yang menulis syair dan rahasia kemanusiaan. Buku karya Abdurrahman el-Ashiy ini mengungkap biografi intelektual dan pandangan filsafat Ki Ageng Suryamentaram. Tokoh yang dibahas dalam buku ini merupakan filsuf Jawa yang hidup pada abad ke- 21. Ia ahli waris trah Keraton Ngayogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono VII, tapi menolak sebagai pangeran agar mampu hidup damai dan menemukan kebahagiaan sejati. Ia lahir pada 20 Mei 1892 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ibundanya, Bendara Raden Ayu Retnomandoyo, adalah putri patih Danurejo VI yang bergelar Pangeran Cakraningrat. Pada usia 18 tahun, Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryamentaram. Namun penganugerahan ini justru menggelisahkannya. Kesedihannya memuncak tatkala kakeknya, Pangeran Cakraningrat, diberhentikan dari jabatan patih dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan ibundanya diceraikan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Istri yang dicintainya pun wafat ketika anaknya baru berusia 40 hari. Berbagai peristiwa tragis yang menimpa sang pangeran itu membuatnya sedih dan frustrasi. Ia lalu mengajukan pengunduran diri sebagai pangeran dan ingin pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menenangkan diri. Tapi permintaan itu ditolak ayahnya. Keinginan itu baru dikabulkan Sultan Hamengku Buwono VIII. Kemudian ia pindah ke daerah Bringin di Salatiga. Nama Ki Ageng Suryamentaram adalah pemberian sahabatnya, Ki Hadjar Dewantara. Mereka sering berdiskusi tentang masalah kehidupan manusia, situasi keindonesiaan, serta penjajahan Belanda dan Jepang. Perenungannya tentang kehidupan dan pengalaman pribadinya kemudian menggumpal dalam satu ajaran tentang kearifan yang disebutnya kramadangsa. Ia menggunakan dirinya sendiri untuk bereksperimen, semisal menyeberangi sungai banjir dan kemudian hampir meninggal. Ia menggunakan pengalaman itu sebagai cara untuk mengetahui kedalaman batinnya. Ki Ageng menuturkan, "Dalam diri setiap manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam berbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak, tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya. Berbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita" (halaman 58).
Kradamangsa alias "filsafat rasa" inilah yang menggerakkan batin, imajinasi, dan intuisi seseorang. Ki Ageng Suryamentaram mengklasifikasi benda-benda yang ada di alam semesta ini menjadi empat macam, dari benda berdimensi tunggal hingga yang berdimensi empat. Dan keempat jenis wujud benda itu tercakup dalam diri manusia. Menurut Ki Ageng, dalam tahap keempat inilah, manusia menemukan makna sejati, yakni dapat mengetahui diri sendiri, merasakan emosi orang lain, hingga akan timbul kebijaksanaan. Istilah "ukuran keempat" yang diciptakan Ki Ageng Suryamentaram ini tak berbeda dari istilah "budi" yang dipakai R. Ng. Ranggawarsita, filsuf besar Jawa pendahulunya. Buku anggitan Abdurrahman el-Ashiy ini sangat menarik. Ia membandingkan ajaran Ki Ageng Suryamentaram dengan filsafat wujud Mulla Sadra al-Ghazali dan ilmu hikmah Ibnu Athaillah. "Filsafat rasa" Ki Ageng Suryamentaram menuturkan dengan lembut konsepsi eksistensi manusia dengan refleksi diri untuk toleransi kemanusiaan. Filsafat rasa inilah yang perlu dijadikan referensi untuk menggali etika dan moral manusia Indonesia yang sedang tersandera oleh gemerlap materi dan konflik politik yang tak berujung. Oleh: Munawir Aziz, Nominator beasiswa unggulan bidang riset Kemendikbud, mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM, Yog yakarta. http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/menjelajah-ruang-rasa-danmengembangkan.html Sabtu, 07 September 2013 Dari Ki Ageng Suryomentaram untuk Generasi Muda Tawaran untuk Para Remaja Kami orang-orang yang sudah tua ini umumnya mempunyai tabiat buruk. Sudah semestinya jika para remaja mengevaluasi dengan kritis. Hampir tiap hari kami bersitegang dan berselisih dengan istri, anak, saudara, tetangga, golongan lain, orang-orang yang beragama lain, bangsa lain, dan sebagainya. Selama siang dan malam kami tak henti-hentinya saling bermusuhan, dan baru akan berhenti di saat tidur. Bahkan di dalam tidur, kami masih juga sering mimpi bertengkar. Penyebab perselisihan kami para orang tua adalah karena kami suka berebut. Kami saling memperebutkan benda-benda untuk menutupi diri kami supaya tidak terlihat dengan telanjang oleh orang lain, juga oleh diri kami sendiri. Benda-benda yang kami perebutkan itu hanyalah untuk menutupi diri kami, dari penglihatan orang lain dan diri kami sendiri. Misalnya kami tengah mengenakan pakaian bermerk, mobil bermerk, dan baru saja membeli sebuah rumah atau apartemen di kawasan elit, maka kami pun lantas berjalan tegak di hadapan orang banyak dengan perasaan bangga, karena merasa diri kami telah menjadi elit dan bermerk sebagaimana pakaian yang kami kenakan atau barang-barang yang baru saja kami beli. Setiap kali kami berpapasan dengan kolega kami, tanpa mereka minta kami akan bercerita bahwa mobil kami baru, keluaran terbaru dari pabrik anu, sehingga anu, dan menjadi paling anu,
sembari merasa bahwa diri kami juga turut menjadi baru dan keren seperti citra mobil baru itu. Padahal kami sebagai pribadi samasekali tak pernah baru. Bahkan ketika kami berganti ―agama baru‖ sekalipun, kami tidak pernah bisa menjadi baru. Karena hati kami demikian gelap, maka kami tak kunjung dapat menyadari diri kami sendiri. Ketika kami memilih ideologi baru, isme baru, komunitas baru, bahkan spiritualitas yang kami anggap baru, sesungguhnya kami hanya menjadikannya sebagai kebanggaan semata. Meski dalam hati, kami merasa sudah selaras dengan ideologi dan spiritualitas baru kami. Kami juga merasa sudah dapat bersetiakawan, setidaknya dengan orang-orang dalam komunitas baru kami, namun dalam praktiknya kami tetap hoby bertengkar. Bahkan spiritualitas baru kami pun kami jadikan sebagai sarana alat pertengkaran. Begitu pula ideologi baru kami. Kami jadikan sebagai sarana untuk bermusuhan dengan golongan lain, bahkan dengan bangsa lain. Begitulah keadaan kami yang sesungguhnya, wahai para remaja. Masing-masing kami tidak ada yang memiliki kesediaan untuk merasa sama dan setara dengan orang lain. Jadi perselisihan di antara kami sebenarnya adalah ekspresi penolakan kami terhadap kebersamaan dan kesetaraan. Namun secara culas kami membungkus semua itu dengan berbagai doktrin, isme-isme, bahkan dengan ajaran agama serta spiritualitasnya. Tentu saja kami tidak pernah sungguh-sungguh mendalami spirit dalam agama-agama kami, wahai para remaja... Karena jika kami sampai dapat memahami spirit dalam agama-agama kami, tentunya kami akan dapat melihat dengan jelas berbagai keburukan yang terus kami pelihara di dalam hati kami. Jadi mata batin kami memang tidak pernah terbuka, wahai para remaja. Sekarang kalian semua telah mengetahui betapa buruknya hati kami. Kami telah sedemikian serakah terhadap harta benda, kedudukan, serta kekuasaan, sehingga kami senantiasa berebut di antara kami sendiri. Padahal kalian sudah paham bukan? Bahwa masyarakat terbentuk karena adanya hubungan antar pribadi. Sebagai pribadi-pribadi kami masih terus-menerus berebut. Itu berarti masyarakat yang telah kami bentuk adalah masyarakat bobrok. Jika kalian sudah memahami bahwa masyarakat yang terdiri dari kami orang-orang tua ini telah bobrok, maka kalian mestinya dapat memperbaharuinya. Atau, kalau belum mampu melakukan pembaruan, setidaknya kalian tidak ikut-ikutan seperti kami yang sudah kolot dan jadul ini. Itulah tawaran dari kami orang-orang tua yang telah bobrok ini, Wahai Para Remaja. Manusia sesungguhnya mengalami revolusi semenjak dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Setelah berkeluarga revolusi manusia seakan terhenti. Karena manusia mulai menyesuaikan diri dengan masyarakat yang telah bobrok, dan kemudian ikut-ikutan menjadi bobrok. Jadi ketika para remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ada sekarang ini, berarti secara tidak langsung telah berkeinginan untuk ma‘mum menjadi bobrok.
Setelah kalian berkeluarga nanti, kalian pasti akan segera dibujuk orang-orang tua untuk turut aktif berpartisipasi guna memperkokoh masyarakat yang sudah bobrok. Awalnya mungkin kalian hanya diundang untuk menghadiri berbagai perjamuan yang mereka adakan. Namun jika kalian tidak ngeh dan waspada, maka kalian akan segera mereka ajak untuk berebutan dalam pesta keserakahan yang tiada akhirnya.***
*) Diambil dari Puncak Makrifat Jawa (Nourabooks 2012, halaman 368-371.) http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/dari-ki-ageng-suryomentaramuntuk.html Kamis, 19 September 2013 Makrifat Jawa Ulasan buku oleh: Hartono Rakiman, Pengasuh Rumah Baca. Ada untungnya saya dilahirkan sebagai orang Jawa, ketika membaca buku ―Makrifat Jawa,‖ karya Abdurrahman El ‗Ashiy (Serambi: 2011). Mungkin agak sedikit sulit bagi pembaca non Jawa untuk memahami buku ini, meskipun di sampul depan ada tulisan yang menyebutkan ―Makrifat Jawa Untuk Semua.‖ Pada sampul belakang buku disebutkan bahwa sebelum Islam datang, Jawa telah memiliki ajaran-ajaran kearifan yang mapan. Kehadiran Islam tidak menghapus kearifan-kearifan itu, tapi justru menyempurnakannya. Orang Jawa sangat terbuka terhadap keyakinan dan semua agama, terutama Islam. Namun, mereka tidak mau ketika harus ‖diarabkan.‖ Sebagaimana mereka juga menolak mati-matian saat hendak ‖dibelandakan‖ atau ‖diinggriskan.‖ Melalui buku ini, sang penulis, Abdurrahaman El ‘Ashiy, yang bernama asli Muhaji Fikriono, mencoba mendaratkan ajaran makrifat Jawa ini ke dalam dialog personal dengan pembaca. Menceritakan siapa Ki Ageng Suryomentaram, sang penemu rumusan ‖Kawruh Begja‖ (ilmu bahagia). Sekaligus menceritakan siapa sang penulis sendiri pada awal sebelum mengenal karya-karya Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram adalah pelatak dasar ilmu kejawen ‖Kawruh Begja,‖ yang berhasil menyedarhanakan realitas kehidupan dengan kondisi yang dihadapai sosok manusia sehari-hari. Dia adalah B.R.M. Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengku Buwono VII. Konsepnya adalah ‖saiki, ngene, neng kene‖ (sekarang, seperti ini, di sini). Menurut Ki Ageng Suryomentaram, tak perlulah otak manusia dijejali dengan pemikiran atau kawruh yang berada di luar pengetahuan atau pengalaman manusia sehari-hari. Konsep ini lebih berifat personal, refleksi ke dalam diri setiap manusia.
Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan Krisnamurti (self knowldge: pengetahuan tentang diri sendiri), Zarathustra (Tat Tvam Asi: itulah engkau), atau Sokrates (Gnothi Seauton: kenalilah dirimu). Dalam khasanah Islam juga ada, seperti disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib (Man ‗arafa nafsahu faqad ‗arafa Rabbahu: orang yang memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya). Menjelaskan sesuatu di luar akal manusia, menurut Ki Ageng adalah cara berfikir manusia yang sok tahu, padahal tidak tahu. Seperti yang telah ada selama ini, dengan lahirnya ilmu-ilmu filsafat yang mencoba mengupas fenomea di luar akal, metafisika, asal dan akhir dunia. Padahal mengakui atau menyadari bahwa tidak tahu itu sebenarnya adalah inti dari ilmu ―Kawruh Bagja‖ itu. Tahu itu ada batasnya. Di luar itu adalah tidak tahu. Maka yang paling penting adalah menyadari keberadaan diri senediri, menyelami apa yang terjadi dalam diri. Ada proses refleksi diri. Maka yang perlu dipahami adalah tiga hal tadi (saiki, ngene, neng kene). Sama halnya dengan ungkapan yang mengatakan ―yesterday is a memory, tomorrow is a mystery, today is a gift.‖ Bagi Ki Ageng Suryomentaram, today atau hari ini adalah sesuatu yang harus dilalui dan dinikmati sebagai sebuah karunia Illahi. Ilmu bahagia itu akan ketemu kalau meletakkan sesuatu apa adanya. Terlalu tinggi menaruh keinginan atau harapan-harapan akan membuat hati tidak bahagia dan kosong. Buku ini menurut saya menjadi unik karena ditulis oleh seseorang yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di lingkungan pesantren. Yang setiap harinya belajar Al Qur‘an, kitab kuning, belajar sorogan, di bawah bimbingan ustad. Hidup dalam garis kemiskinan yang hampir membuatnya protes kepada Tuhan, yang menurutnya tidak adil. Hingga pada suatu ketika sang penulis menemukan buku ajaran Ki Ageng Suryomentaraman di toko buku Gunung Agung Kwitang, yang waktu itu seharga Rp. 150 untuk setiap buku. Mulai dari sana ajaran itu telah merubah hidupnya secara drastis. Terutama dalam hal memandang kehidupan. Dari sanalah, sekian tahun kemudian sang penulis membeberkan dalam buku ‖Makrifat Jawa‖ ini. http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/makrifat-jawa.html Kamis, 19 September 2013 Memahami Makrifat Jawa ―Man‘ arafa nafsahu faqad‘arafa Rabbahu‖ Orang yang telah memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya. Orang Jawa kerap kali di persepsikan sebagai masyarakat yang percaya akan suatu di luar rasionalitasnya. Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan senantiasa dikaitkan dengan halhal gaib. Wajar, jika dalam masyarakat Jawa kuno banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk mengisi ruang batinnya. Supaya menemukan keajaiban dan kekuatan.
Terlebih, bagi masyarakat yang hidup di sekitar keraton warisan budaya tersebut selalu di pertahankan secara turun- temurun. Lantas, menjadi penanda identitas bagi masyarakat Jawa secara keseluruhan. Menurut Rasyidi,(1996) orang Jawa memiliki falsafah aliran kebatinan tersendiri yakni, ―Sepi ing Pamrih, rame ing gawe‖ dan ikut ―memayu hayuning Bawana‖. Maksudnya, banyak bekerja bhakti tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan ikut membentuk dunia yang indah dan makmur. Ironisnya, kini ajaran-ajaran kearifan lokal justeru semakin kehilangan makna di hati masyarakat ―jawa‖ modern. Bila kita telusuri, di Jawa banyak sekali warisan agung mengenai ajaran kearifan lokal yang sudah mapan. Misalnya, Serat Dewa Ruci, Suluk Gatholoco, Suluk Darmogandhul, Serat Syeh Siti Jenar, dan Serat Wirid Hidayat Jati Raya untu k di pelajari generasi selanjutnya. Ironisnya, semua itu kini kurang diminati. Tentu, ada berbagai persoalan yang menjadi penyebab ketidakpedulian masyarakat Jawa modern terhadap tradisi para leluhurnya. Penyebabnya adalah masyarakat Jawa modern sudah banyak yang terkontaminasi dengan budaya modern. Yang sedikit banyak justeru mendorong manusia mengejar materi ketimbang mencari jati diri. Akhirnya, tidak sedikit dari masyarakat modern krisis spiritual. Buku ―Makrifat Jawa Untuk Semua‖ini, hendak memperkenalkan salah satu khazanah kearifan lokal ―tasawuf‖ yang pernah membumi di tanah Jawa kepada kita. Yaitu, ajaran ki Ageng Suryamentaram dari Ngayogyakarto. Ada tiga pembahasan makrifat Jawa yang di ulas oleh Abdurrahman Asiy di buku ini, yakni Relasi Takdir Tuhan dan Pilihan Bebas Manusia, Cinta Kuasa Manusia, Makrifat. Ketiganya, merupakan mutiara yang penuh makna. Baik di tinjau dari kajian filsafat maupun tasawuf. Diakui maupun tidak, manusia sebagai makhluk pencari makna kerap jatuh putus asa dan mencari berbagai cara untuk mencari alternatif supaya dapat menenangkan bathinnya. Terlebih bagi kita yang hidup di zaman seperti sekarang ini, banyak gejolak bathin yang tak mampu di selesaikannya. Bahkan, masyarakat di Barat sendiri untuk mencari jati dirinya banyak melakukan berbagai meditasi. Kembali ke ajaran ma‘rifat Jawa, menurut Ki Ageng, manusia dapat mempelajari atau mengetahui segala sesuatu melalui tiga macam perangkat dalam diri. Pertama, melalui panca indera yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Kedua, melalui rasa hati, rasa yang merasa aku, merasa ada, senang, dan susah. Ketiga, melalui pengertian atau pemahaman yang berguna untuk menentukan suatu hal yang berasal dari pancaindera dan perasaan. Dengan menjadikan diri sebagai ―pengawilan pribadi‖objek, kita dapat mempelajari manusia secara keseluruhan. (hal,52)
Ajaran tasawuf Ki Ageng Suryomentaram ini, dapat menjadi resep mujarab bagi kita dalam kehidupan yang universal. Serta, mendorong diri kita untuk menghadapi apa yang saat ini terjadi dengan mengedepankan keluhuran kemanusiaan. Abdurrahman El Ashiy memberikan tips kepada kita untuk menempa diri(yang di ambil dari ajaran Ki Ageng). Pertama, mengamati dan meneliti rasa bathin kita yang muncul serta bertanya dan menjawabnya dengan jujur. Kedua, membangkitkan kesadaran sejati‖aku sejati‖ supaya senatiasa menjadi subjek dalam menghayati kehidupan dengan penuh kesabaran dan memiliki keberanian menghadapi kenyataan hidup. Ketiga, mengambil keputusan atau menentukan sikap atau tindakan berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dengan meng kritik nilai-nilai yang kita yakini. Buku ini, membantu kita memahami ajaran kearifan lokal yang sudah pernah membumi di tanah Jawa. Apalagi di tengah absennya masyarakat Jawa ―modern‖ yang kini banyak tidak tertarik akan ajaran kearifan lokal. Penting kiranya, menggali khazanah warisan agung para leluhur kita untuk dipelajari. Menurut saya, kehadiran buku ini amat tepat. Memahami makrifat Jawa sebagai upaya memupuk jiwa kita menjadi penting. Dan, menjadi alat control bagi kita untuk menyingkirkan sikap egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada dunia. Tak pelak, buku ini bisa menghantarkan seseorang yang berminat untuk menemukan arti hidup dengan ajaran tasawuf.
*)Ahmad Faozan, Ketua Himasakti (Himpunan Mahasiswa Santri Alumni Keluarga Tebuireng) Yogyakarta. http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/memahami-makrifat-jawa.html Kamis, 19 September 2013 ―Sandi Rasa‖ Ki Ageng Suryomentaram Sewaktu bersilaturrahmi dengan para kadang pengkaji kawruh begja atau kawruh jiwawejangan Ki Ageng suryomentaram di Salatiga, saya sempat kandha bahwa sepanjang pembacaan saya atas teks yang mencatat wejangan Ki Ageng Suryomentaram dalam bahasa Jawa, saya merasakan dengan sangat jelas bahwa Ki Ageng menyelipkan ―sandi rasa‖ di beberapa bagian dari wejangannya. Namun karena terbatasnya waktu (saya nyampai di kediaman Ki Langgeng hari Kamis tanggal 9 Mei sekitar jam 10 pagi dan hari Jumat tanggal 10 pada jam yang kurang lebih sama saat datang, saya sudah dijemput sahabat saya untuk ke Klaten, tabarrukan 1 tahum kapundhut-nya Mbah Liem [Guru Gus Dur]), tidak banyak yang bisa saya sampaikan karena saya juga berusaha untuk banyak mendengar apa-apa yang di-kandha-kan p ara kadang di sana.
Ya, selain Kawruh Bab Kawruh (Pengetahuan tentang Pengetahuan), Kawruh Kasunyatan(Pengetahuan atas Realitas), dan Kawruh Bab Kasampurnan (Pengetahuan tentang Kesempurnaan), menurut saya Bab Manembah dhateng Ingkang Maha Kuwasa(Pembahasan tentang Menyembah Yang Maha Kuasa) adalah wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang tidak cukup dieksplorasi menggunakan rasa kita yang paling dangkal.*) Karena itu saya bertanya-tanya ketika dalam terjemahan yang beredar secara umum sesorah Ki Ageng ini, terutama dalam sub bab: Bab Ingkang Dipun Sembah (Tentang Yang Disembah), yang terdiri dari tujuh paragraf dalam teks bahasa Jawa, hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. Yang Disembah Menurut keterangan di atas jelas, bahwa bila yang menyembah, yang merasa sial atau yang keinginannya tak tercapai, maka yang disembah tentulah yang merasa berkuasa atau yang keinginannya tercapai. Misalnya seorang yang sedang memiliki banyak harta benda, ia merasa berkuasa, lalu berhenti menyembah. Malah sebaliknya, ia disembah oleh orang yang keinginannya tak tercapai. Orang berkuasa itu disodori makanan, pakaian, dengan hormat sekali. Lebih-lebih kalau ingin meminjam uang darinya. Di sini akan saya terangkan proses rasa sial yang mengadakan barang yang disembah. Kalau kita mengerti yang menyembah rasa sial, maka yang disembah ialah yang merasa berkuasa. Tatkala orang menderita kesusahan, dan ingin menolaknya, ia tidak mencari tahu sebab-musabab kesusahannya, sehingga usahanya menolak kesusahan pun sia-sia. Lalu ia merasa sial, celaka. Rasa sial itu mendorongnya untuk minta pertolongan Yang Kuasa. Dicarinya dukun-dukun atau guru-guru yang dapat menunjukkan jalan untuk menemui Yang Kuasa. Gambarannya tentang Yang Kuasa ialah sesuatu yang dapat menolongnya menghindari kesulitan. Dibayangkannya bahwa Yang Kuasa itu akan menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi permohonannya. Dan Yang Kuasa dapat mencipta sesuatu yang tidak ada, menjadi ada, dan yang ada, menjadi tidak ada. Misalnya Gunung Merapi yang ada dapat dicipta lenyap. Maka orang menggunakan kekuasaan Yang Kuasa untuk memperoleh yang dimintanya. Yang diminta orang ialah menghindari kesulitan. Kalau kesulitannya berupa utang yang tak dapat ia bayar, ia memohon kepada Yang Kuasa agar utangnya dicipta menjadi lunas. Kalau kesulitannya berupa rindunya terhadap seseorang, ia mohon kepada Yang Kuasa agar orang yang dicintai berbalik mencintai dirinya. Namun yang sering terjadi si pemohon semakin tergila-gila, lupa daratan. Jadi yang dianggapnya Yang Kuasa adalah anggitan si orang yang merasa sial itu. Teks dalam bahasa Jawa yang membuka paragraf keempat, ―Upami satunggaling lare prawan ingkang boten nate tunggilan kaliyan tiyang jaler, yen dipun cipta meteng dening Ingkang Maha Kuwasa, inggih lajeng meteng. Upami Redi Merapi...‖
(Seandainya ada seorang gadis yang belum pernah digauli oleh lelaki manapun, tetapi dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa untuk Hamil, maka hamillah si gadis tersebut. Misalnya Gunung Merapi...) yang menurut saya ―penting‖ di dalam membahas Yang Maha Kuasa ini tidak tercakup dalam terjemahan bahasa Indonesia yang beredar umum itu. Begitu juga penutup paragraf ketujuh, ―Upami tiyang asor ngaya-ngaya nggayuh luhur, menika yen sumerep tiyang luhur lajeng memundhi ngalap berkah supados ketularan luhur. Malah, anakipun prawan asring dipun sajekaken kangge pirantos ngala p berkah.‖ (Contohnya adalah orang yang merasa berderajat rendah yang berusaha meningkatkan derajatnya, ketika mengetahui ada orang yang dianggapnya luhur, maka orang tersebut pun dimuliakannya hingga sedemikian rupa dengan harapan keluhuran orang tersebut dapat menular kepadanya. Bahkan, seringkali anak gadisnya pun dijadikan persembahan sebagai sarana untuk mendapatkan keberkahan), tidak tercantum dalam terjemahan yang beredar secara umum. Apakah tidak dicantumkannya kedua contoh Ki Ageng Suryomentaram tersebut memang disengaja, ataukah memang semata-mata demi ringkasnya terjemahan? Dalam kesempatan ini saya mengundang para pengkaji kawruh jiwa untuk menjagongkannya secara terbuka atau cukup via inbox saya saja. Nuwun. Langgeng Bungah Susah... Bintaro, 28 Mei 2013. Oleh: Muhaji Fikriono
*) Di dalam wejangannya pada hari lebaran tahun 1957 (Raos Apura), Ki Ageng menegaskan bahwa rasa dangkal adalah semisal rasa senang ketika kita dapat mengungguli atau mengalahkan orang lain. Dan rasa yang lebih dalam dari rasa terdangkal itu adalah rasa yang dapat membuat kita merasakan kesamaan akan tidak nyamannya saat kita mengalahkan maupun dikalahkan orang lain. http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/sandi-rasa-ki-ageng-suryomentaram.html Kamis, 19 September 2013 Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore dalam sebuah catatan pendek Sebagaimana pernyataan Tagore dalam My Boyhood Days, bahwa ―makanan memperoleh cita rasanya bukan dari bumbu-bumbu melainkan dari tangan-tangan yang memasaknya.‖ Demikian pula berbagai resep kearifan dari Ki Ageng Suryomentaram menurut saya. Ya, betapapun nyaris tanpa bumbu sastrawi dan jauh dari terminologi ilmiah, namun Kawruh Begja yang beliau ajarkan tidak kalah adiluhungnya dengan yang didedahkan oleh para filsuf dan pujangga termasyhur di dunia, setidaknya menurut saya.
Bagi para sahabat yang sudah mempelajari ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram, melalui diktat yang telah dirangkum oleh para sahabat di Taman Mpu Sendok 12, paling tidak, berikut ini saya kutipkan sebuah aforisma dari Rabindranath Tagore yang saya nukil dari Gitanjali beliau yang legendaris itu. Mudah-mudahan aforisma ini semakin meningkatkan sense of appreciate kita terhadap kekayaan khazanah lokal kita. Amin. Tinggalkan lagu dan nyanyian ini, juga pembicaraan mengenai penyucian diri (tasbih). Kepada siapa kau tujukan pemujaan dalam sudut sepi dan gelap di kuil ini dengan semua pintu tertutup? Buka matamu dan lihat Tuhan-mu tidak ada di hadapanmu. Dia ada di sana. Di tempat para peladang yang membajak tanah yang keras, dan di tempat para pembuat jalan setapak yang memecah batu-batu. Dia bersama mereka dalam panas dan hujan, dengan pakain yang berlumur debu. Lepaskan jubah sucimu sebagaimana mereka yang didekati Nya, dan bergumullah dalam tanah berdebu! Pembebasan? Di mana arti kata pembebasan ini bisa ditemukan? Tuan kita sendiri dengan penuh keriangan menalikan pada diri-Nya ikatan penciptaan; Dia terikat dengan kita semua selamanya. Keluar dari meditasimu dan singkirkan bunga-bunga dan dupamu! Apa ruginya jika pakaianmu menjadi compang-camping dan kotor? Temui Dia dan berdiri di sebelah-Nya dalam kerja keras dan dalam keringat di keningmu. Silakan sandingkan dengan frasa yang ditulis oleh Ki Ageng, yang mendedahkan hakikat dengan bahasa ―rakyat jelata‖ berikut ini: Maka apabila rasa sial dianggap sebagai sifat, anggapan itu benar. Walaupun penjabarannya masih bisa keliru, sehingga orang mencari Yang Kuasa dan melakukan hal yang aneh-aneh yang tak enak rasanya. Kekeliruan itu disebabkan tidak jelasnya rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh. Jadi bila kita mengerti bahwa sifat manusia itu sial karena butuh, lalu tidak mencari kuasa. Dengan sendirinya kita lalu berkuasa karena tidak butuh kuasa. Kemudian kita dapat menertawai kesialan kita sendiri. Demikian itu menyembah yang benar. Dengan sedikit polesan verbal, frasa Ki Ageng saya tulis: Maka, apabila inferiority yang melahirkan rasa tidak beruntung dianggap sebagai sifat, anggapan itu bisa dibenarkan. Walaupun penjabarannya masih bisa salah, sehingga manusia dalam mencari Yang Kuasa tidak perlu melakukan hal yang aneh-aneh, yang tidak membawa ketenteraman dan membahagiakan. Kesalahkaprahan itu disebabkan tidak jelasnya — apa yang disebut oleh Nietsche sebagai kehendak bebas (free will) atau dalam bahasa Ki Ageng — rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh terhadap apapun dan siapapun.
Jadi, bila kita telah memahami bahwa subyektivitas manusia yang berkecenderungan merasa sial (tidak beruntung) itu terjadi karena rasa butuhnya, maka kitapun tidak lagi perlu mencari kuasa. Dengan sendirinya, kita otomatis menjadi berkuasa karena tidak lagi membutuhkan kuasa yang berada di luar diri kita. Kemudian, kita pun dengan mudah menertawai kesialan (ketidak beruntungan) kita sendiri. Demikian itulah bentuk penyembahan yang benar. Dengan gaya bahasanya yang khas, Ki Ageng Suryomentaram menutup pembahasan Menyembah Yang Kuasa dengan kalimat seperti ini: Rasa kuasa ialah rasa enak, maka wejangan tersebut membikin orang merasa enak. Apabila orang menanggapi wejangan dengan tepat, ia merasa berkuasa, enak, yakni hasil wejangan yang semestinya. Salam… Muhaji Fikriono http://makrifatsuryomentaraman.blogspot.com/2013/09/kejernihan-ki-ageng-suryomentaramdan.html Kamis, 06 September 2012 Kearifan Universal ‗Ki Ageng Suryomentaram‘: (Pararelisme Ajaran-ajaran Jalan Tengah ―Mengenal Diri dan Hidup Bahagia‖) Tak bisa dipungkiri, ‗Nyawa‘ kekeluargaan Rumah ‗Res publica‘ Republik Indonesia dan Kebangsaan Indonesia kita adalah "gotong-royong", yang merupakan sari dari ajaran universal adiluhung Filosofi-Ideologi-Paradigma Pandangan Dunia ―Pancasila‖, warisan dari leluhur dan para Bapak Pendiri Bangsa yang bijaksana, penuh rahmat cinta kasih, yang welas asih dan ikhlas-berhati bersih. Landasan idealitas dan realitas ‗Gotong Royong‘, aktual hidup dalam kebudayaan nusantara dengan aneka ramuan kemasan ekspresi-manifestasi yang khas pada berbagai warna-warni manifesto kehidupan suku bangsa, agama, ras dan antar golongan. Pondasi filosofi Kemanunggalan Esoteris ―Kesadaran Ego Universal Ilahi‖ ini, yang lalu mengejawantah dalam kredo jalan kehidupan – pandangan dunia Nusantara Indonesia ―Semua Satu, Satu Semua– Bhinneka Tunggal Ika‖, tak terbantahkan merupakan roh-spirit republik keindonesiaan kita sekaligus menjadi payung kehidupan yang memeluk seluruh anasir kebangsaan dalam kebersamaan yang satu. Dengan indahnya, ramuan adonan Kemanunggalan Esoteris di atas Sang Ilahi jelmakan pada anak manusia yang ditetesi Pengetahuan Cahaya Kasih-Nya, sosok Putra Indonesia sejati, Ki Ageng Suryomentaram dengan Ajaran Mengenal Diri (Kawruh Jiwa) dan ajaran Jalan Hidup Bahagia (Kawruh Begja)-nya. Abdullah Wong, editor buku ―Puncak Ma‘rifat Jawa‖ karya Muhadji Fikriono menulis, Pengetahuan atau ilmu merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia sebagaimana makanan dan minuman atau udara dalam melangsungkan hidup dan kehidupan. Secara substansial, pengetahuan manusia sesungguhnya tidak terbatas. Karena sifatnya yang tak
terbatas itu, maka pengetahuan sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh apa dan siapa pun. Dalam hal ini pengetahuan tidak bisa dibatasi oleh ideologi, filsafat, moralitas, bahkan agama sekalipun. Pengetahuan ‗Esoteris-Suryomentaran‘ ini, sama sekali bukan pengetahuan agama, mistisisme, aliran filsafat, aliran kepercayaan, dan bukan pula budi pekerti atau etika yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Pengetahuan yang dibedah Ki Ageng lebih merupakan hasil dari memahami dan mengalami sesuatu yang benar-benar telah diketahui. Menurut Wong, di sinilah sosok Ki Ageng Suryomentaram memberikan satu pencerahan. Bahkan untuk mengalami dan demi mendapatkan pengetahuan yang utuh itu, ia menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan selama kurang lebih 40 tahun. Ki Ageng Suryomentaram yang dilahirkan pada 20 Mei 1892 adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ki Ageng meninggal pada 18 Maret 1962, di Yogyakarta. Seperti halnya tokoh sufi Ibrahim Ibnu Adham dan Sidharta Gautama, Ki Ageng Suryomentaram juga mengalami kegelisahan batin yang mendalam meskipun ia hidup di dalam keraton. Ia pun kabur dan menyamar sebagai rakyat jelata dan mengganti namanya, Natadangsa. Selama pengembaraan dan tirakatnya itulah berbagai temuan dan pencerahan ia dapatkan. Bagi Ki Ageng Suryomentaram, obyek pengetahuan yang benar-benar dapat kita ketahui ada dua macam. Pertama, obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau utuh (Barang Asal). Sesuatu yang utuh (mutlak) tentu saja tak cukup dipahami hanya dengan indera, tak cukup dihitung secara matematis, tak cukup dibagi secara parsial, terlebih di kotak dalam imaji ruang-waktu. Bukankah kemutlakan itu ―mengatasi‖ semua dualitas bahkan keragaman yang selama ini hadir dalam pikiran manusia? Kedua, adalah obyek pengetahuan yang bisa diperinci atau dapat dihitung dan dibagi-bagi. Tentu saja obyek ini merupakan derivasi dari Barang Asal. Obyek pengetahuan yang kedua ini oleh Ki Ageng disebut sebagai Barang Jadi atau sesuatu yang diadakan (dumadi atau maujud). Sifat dasar dari Barang Jadi adalah kebalikan dari Barang Asal, yakni dapat dihitung, selalu terikat ruang-waktu, dan bisa diindera. Karena Barang Jadi dapat mengada sebab adanya Barang Asal, maka Barang Asal boleh dibilang sebagai Yang Mewujudkan Barang Jadi. Pengetahuan yang berkaitan dengan Barang Asal inilah yang kemudian disebut sebagai pokok ilmu pengetahuan. Menurut Ki Ageng, cara mendapatkan ilmu Barang Asal, sangat berbeda bahkan berlawanan dengan cara memikirkan ilmu Barang Jadi. Mendapatkan ilmu Barang Asal tidak memerlukan pertanyaan berapa, bagaimana, kenapa, kapan, dan di mana. Membumikan Ajaran Mengenal Diri Ki Ageng Suryomentaram adalah peletak dasar ilmu kejawen ‖Kawruh Begja,‖ yang berhasil menyederhanakan realitas kehidupan dengan kondisi yang dihadapi sosok manusia sehari-hari. Dia adalah B.R.M. Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengku Buwono VII. Konsepnya adalah ‖saiki, ngene, neng kene‖ (sekarang, seperti ini, di sini). Menurut Ki Ageng Suryomentaram, tak perlulah otak manusia dijejali dengan pemikiran atau kawruh yang berada di luar pengetahuan atau pengalaman manusia sehari-hari. Konsep ini lebih
berifat personal, refleksi ke dalam diri setiap manusia, papar Hartono Rakiman, Pengasuh Rumah Baca. Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan Krisnamurti (self knowledge: pengetahuan tentang diri sendiri), Zarathustra (Tat Tvam Asi: itulah engkau), atau Sokrates (Gnothi Seauton: kenalilah dirimu). Dalam khasanah Islam juga ada, seperti disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib (Man ‗arafa nafsahu faqad ‗arafa Rabbahu: orang yang memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya). Menjelaskan sesuatu di luar akal manusia, menurut Ki Ageng adalah cara berfikir manusia yang sok tahu, padahal tidak tahu. Seperti yang telah ada selama ini, dengan lahirnya ilmu-ilmu filsafat yang mencoba mengupas fenomena di luar akal, metafisika, asal dan akhir dunia. Padahal mengakui atau menyadari bahwa tidak tahu itu sebenarnya adalah inti dari ilmu ―Kawruh Bagja‖ itu, tulis Hartono. Tahu itu ada batasnya. Di luar itu adalah tidak tahu. Maka yang paling penting adalah menyadari keberadaan diri sendiri, menyelami apa yang terjadi dalam diri. Ada proses refleksi diri. Maka yang perlu dipahami adalah tiga hal tadi (‗saiki, ngene, neng kene‘). Sama halnya dengan ungkapan yang mengatakan ―yesterday is a memory, tomorrow is a mystery, today is a gift.‖ Bagi Ki Ageng Suryomentaram, today atau hari ini adalah sesuatu yang harus dilalui dan dinikmati sebagai sebuah karunia Illahi. Ilmu bahagia itu akan ketemu kalau meletakkan sesuatu apa adanya. Terlalu tinggi menaruh keinginan atau harapan-harapan akan membuat hati tidak bahagia dan kosong. Manakah yang Namanya Manusia? Seperti juga Plato yang memerintahkan muridnya berteriak pada siang hari bolong yang terik, di tengah pasar dengan membawa obor: ―Tuan-tuan sekalian tunjukkan kepadaku di mana manusia? Tuan-tuan sekalian tunjukkan kepadaku di mana manusia? …..‖. Menyaksikan kepalsuan hidup dari ‗dunia sebagai kesenangan yang menipu‘, Pangeran Suryomentaram mengalami gejolak diri saat ia duduk sebagai pejabat publik. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hatinya. Ia merasa setiap saat hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, dan yang dimintai. Dia tidak puas dengan semua itu karena merasa tidak pernah bertemu "orang" (manusia sejati). Di lingkungan keraton, dia hanya menemukan sembah, perintah, marah, minta, dan tidak pernah bertemu dengan "orang". Inilah titik tolak pengembaraan spiritual Sang Matahari Jawa yang kemudian berujung pada penemuan diri yang hilang setelah kurang lebih 40 tahun, Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan, tulis Syeikh Muhammad Alcaff, Pengasuh Meditasi Suluk Sunan. Pembahasan tentang jiwa, misalnya, yang sedemikian rumit dalam literatur tasawuf maupun mistisme jawa, atau bahkan dalam psikologi umum, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa.
‗Pangawikan Pribadi‘ atau mempelajari tentang rasa dalam diri sendiri, menurut Ki Ageng, bisa disamakan dengan mempelajari manusia dan kemanusiaan. Karena kita semua adalah bagian dari makhluk bernama manusia, maka ketika kita mempelajari rasa diri sendiri dan berhasil memahaminya dengan tepat, otomatis kita akan memahami manusia pada umumnya. Maka, Pangawikan Pribadi itu, mesti dimulai dari sekarang, di sini, dan dengan penuh keberanian menghadapi segala yang ada di hadapan kita secara apa adanya (saiki, ing kene, lan ngene). Malam setiap diri manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam pelbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya. Pelbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita. Sepanjang waktu, aktifitas kramadangsa adalah memperhatikan, memikirkan, menyeleksi, mengorganisasi, dan kemudian dengan senang hati menjadikan rekaman favoritnya sebagai tuan atau majikan yang dihambanya dengan penuh kerelaan, papar Syeikh Alcaff. Bila beragam rasa yang muncul dari dalam diri kita bisa kita teliti dengan tuntas, penghalang yang berupa anggapan benar itu pun akan runtuh. Setelah hijab itu runtuh, kita pun leluasa menyaksikan kekeliruan rekaman-rekaman kita tentang segala sesuatu. Dengan demikian, keakuan si Kramadangsa yang sebelumnya selalu dominan pun tak lagi bertaji. Bersamaan dengan tak lagi berdayanya rasa kramadangsa, lahirlah rasa manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri, atau manusia yang tak lagi memerlukan ciri-ciri (atribut), adalah manusia yang penglihatan mata hatinya tak lagi terpengaruh atau terhalangi oleh pelbagai rekaman dan catatan-catatan yang memenuhi ruang rasanya. Saat itu semua rekaman dan catatannya sudah tidak lagi memerlukan perhatian pikirannya. Sebagai hasil dari pangawikan pribadi ini, seharusnya jiwa kita menjadi sehat. Beliau sengaja membuat bagan yang provokatif bahwa manusia tanpa ciri akan memiliki jiwa sehat 100%. Ki Ageng lebih mendahulukan "pengalaman" daripada "keyakinan". Ia senantiasa berupaya mengalami terlebih dahulu, baru kemudian percaya dan yakin. Ki Ageng babarkan, ―Manusia dapat mempelajari atau mengetahui segala sesuatu melalui tiga macam perangkat dalam diri. Pertama, melalui panca indera yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Kedua, melalui rasa hati, rasa yang merasa aku, merasa ada, senang, dan susah. Ketiga, melalui pengertian atau pemahaman yang berguna untuk menentukan suatu hal yang berasal dari pancaindera dan perasaan. Dengan menjadikan diri sebagai ―pengawilan pribadi‖objek, kita dapat mempelajari manusia secara keseluruhan.‖ Menurut Ahmad Faozan, Ketua Himasakti (Himpunan Mahasiswa Santri Alumni Keluarga Tebuireng) Yogyakarta, ajaran tasawuf Ki Ageng Suryomentaram ini, dapat menjadi resep mujarab bagi kita dalam kehidupan yang universal dan mendorong diri kita untuk menghadapi apa yang saat ini terjadi dengan mengedepankan keluhuran kemanusiaan. Ajaran Ki Ageng membantu kita memahami ajaran kearifan lokal yang sudah pernah membumi di tanah air, selain itu menjadi alat bontrol bagi kita untuk menyingkirkan sikap egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada dunia
Muhadji Fikriono memberikan tips kepada kita untuk menempa diri (yang di ambil dari ajaran Ki Ageng). Pertama, mengamati dan meneliti rasa bathin kita yang muncul serta bertanya dan menjawabnya dengan jujur. Kedua, membangkitkan kesadaran sejati‖aku sejati‖ supaya senatiasa menjadi subjek dalam menghayati kehidupan dengan penuh kesabaran dan memiliki keberanian menghadapi kenyataan hidup. Ketiga, mengambil keputusan atau menentukan sikap atau tindakan berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dengan meng kritik nilainilai yang kita yakini. Muhadji babarkan, dengan perantara pancaindera, kita mencatat segala rupa penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya, yang jumlahnya tak terhingga. Dan rekaman-rekaman itu — seberapa pun banyaknya — akan tetap tertampung ke dalam ruang rasa kita. Maka, ruang rasa penampung seluruh rekaman kita itu, sesungguhnya memang lebih luas dibandingkan dengan alam semesta seisinya. Sayangnya, rekaman tentang apa-apa yang pernah kita rasakan ketika masih berada di rahim ibu dahulu, juga beberapa saat setelah terlahir menjadi bayi, rekaman-rekaman itu tak ada yang dapat kita putar kembali karena files-nya tidak kita temukan dalam folder lemari ingatan kita sekarang ini. Karena itu, berkaitan erat dengan aktivitas kita dalam hal catat mencatat atau rekam merekam itu, kita tidak bisa menyandarkannya pada keberadaan ingatan semata. Artinya, ketika kita bermaksud melakukan verifikasi untuk menentukan ada dan tiada, kita tidak mungkin hanya bergantung kepada ingatan belaka. Terutama yang menyangkut kedalaman rasa dan luasnya pemahaman kita. Sebab segala sesuatu yang telah kita rasakan dan lihat, meskipun semuanya telah terekam dan tercatat, ternyata tidak semuanya dapat kita ingat. Jika kita mencampuradukkan lupa dengan tidak merasakan apa-apa dianggap sebagai ketiadaan atau tidak pernah ada, berarti kita percaya bahwa kita semua ini tak pernah mengalami menjadi bayi, atau serta merta terlahir sebagai manusia dewasa. Dan hal itu adalah mustahil. Selagi dalam hidup kita hanya berperan sebagai pencatat atau perekam maka kita disebut sebagai Manusia Ukuran ke-I. Artinya masing-masing dari kita secara naluriah adalah pencatat atau perekam atas pengalaman-pengalaman kita sendiri. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, catatan dan rekaman itu senantiasa terus bertambah hingga seluruh waktu kita hanya tersita untuk memikirkan dan mengelola catatan dan rekaman itu. Beragam rekaman yang kita senangi akan tumbuh subur dan terus berkembang memenuhi ruang rasa kita, sementara rekaman yang tidak pernah mendapat perhatikan akan layu bahkan mati. Aktivitas rasa yang hanya berkutat untuk memikirkan aneka ragam rekaman ini oleh Ki Ageng Suryomentaram disebut Manusia Ukuran ke-II. Selanjutnya, seiring bergulirnya perjalanan hidup kita, ditambah rasa keakuan (subjektivitas) yang menggelayuti kita, menjadikan diri kita ini sebagai buruh dari ragam catatan atau rekaman itu. Artinya, rekaman-rekaman atau catatan-catatan yang telah kita susun dan kita senangi itu, lambat laun menjadi majikan atau tuan bagi kita sendiri. Dengan kata lain, manusia yang selalu memuja dan mengelu-elukan segala jenis rekaman tertentu adalah budak atas rekaman yang disusunnya sendiri. Inilah yang disebut sebagai Manusia Ukuran ke-III. Dalam bahasa J. Krishnamurti, kita terkondisi dan hanya menjadi budak dari identifikasi pikiran kita.
Menurut Ki Ageng, hal-hal yang kita catat sepanjang perjalanan hidup ini, bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: 1.Barang-barang dan gerakan yang timbul dari panca indera; 2. Pengharapan, rencana, dan imajinasi pikiran yang terdorong oleh keinginan; 3.Ilmu dan pengetahuan yang dilahirkan oleh rasa aku subjektif. Dalam keadaan terjaga, si subjektif dalam diri kita akan terus-menerus mencatat apa saja yang berhubungan dengan ketiga hal di atas. Tetapi dalam keadaan tertidur, si subjektif hanya akan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan keinginan dan rasa aku atau subjektivitasnya. Artinya, dalam keadaan tidur si subjektif tidak mencatat atau merekam apa-apa yang tecerap atau dirasakan oleh panca indera. Demikian pula saat kita mati. Seluruh aktivitas mencatat dan merekam terhenti sepenuhnya, dan si subjektif juga telah rusak atau lenyap keberadaannya. Jadi, pada saat kita mati, si aku subjektif dalam diri kita sudah tidak ada lagi, dan catatan-catatan atau berbagai rekaman pun akan rusak dan hilang. Namun segala objek yang pernah direkam atau dicatat itu tidak ikut rusak atau pun hilang. Kalaupun apa-apa yang pernah dicatat atau direkam itu rusak dan hilang, bukan akibat dari matinya si aku subjektif. Karena yang mencatat atau merekam (aku subjektif) bukanlah yang dicatat atau direkam (objek). Begitu juga sebaliknya. Misalnya, pada saat kita masih hidup pernah mencatat atau menyimpan data tentang matahari, maka ketika kita mati, tidak membuat matahari itu lenyap meskipun catatan kita tentang matahari itu musnah. Karena, begitu kita mati, secara otomatis aktivitas si aku subjektif dalam diri kita juga ikut terhenti dan seluruh catatan atau rekaman sepanjang perjalanan hidup menjadi rusak dan lenyap.‖ ―Pada saat kita mati nanti, catatan kita tentang gambaran surga neraka, dan berbagai hal yang kita imani berdasarkan informasi dari siapa dan apa saja termasuk kitab suci akan rusak dan lenyap, begitu pun segala sesuatu yang kita kait-kaitkan dengannya. Namun segala sesuatu yang telah ada akan tetap meskipun kita tak mengimani atau bahkan mendustakannya selama hidup.‖ Dan belakangan saya baru memahami bahwa apa yang dimaksudkan Babe tersebut adalah sebuah syarah dari ucapan Ali Ibn Abi Thalib, ―Law kusyifa al-ghitha‘ ma izdadtu yaqiyna!‖ (Kalau saja di dunia ini misteri yang menutupi akhirat dibukakan, tetap saja keyakinanku terhadapnya sekarang ini takkan bertambah sedikit pun!). ―Pada kenyataannya dalam kematian, si aku subjektif menjadi rusak bersama pengharapan, rencana, dan imajinasi pikirannya. Keadaan tersebut dapat kita saksikan sendiri, kita rasakan sendiri, dan kita pahami sendiri, bahkan sebelum hidup dan kehidupan ini berakhir kita jalani (mati sajeroning urip). Begitu pula dengan semua barang jadi (maujud), satu persatu apabila telah rusak, bentuknya akan berubah menjadi bentuk yang lain. Yang kekal adalah zat asalnya, serta gerak yang mendorong (―energi‖) adanya kehidupan bagi semua barang jadi yang hidup yang karakteristiknya akan menyesuaikan dengan hasrat lain (―Energi‖) di luar dirinya (Wujud). Kenyataan kematian yang semacam itu memang hanya bisa dipahami dengan menggunakan pikiran yang objektif. Pikiran objektif adalah pikiran yang selalu memikirkan segala sesuatu secara apa adanya. Netral, tidak terpengaruh oleh rasa suka dan rasa tidak suka, penilaian baik dan buruk, untung dan rugi, termasuk juga rasa yang telah dipengaruhi oleh berbagai catatan dan
rekaman seperti catatan keagamaan sekalipun. Dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram manusia yang demikian adalah Manusia Ukuran ke-IV.‖ Ki Ageng, Mulla Shadra dan Ibnu Sina Ki Ageng Suryomentaram sangat jenius. Kegeniusan Ki Ageng tercermin dari pengejewantahannya tentang jiwa. Jiwa yang dalam literatur tasawuf dan psikologi umum terlihat begitu rumit serta njlimet, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa. Karena rasalah daya yang mendorong semua makhluk untuk beraktivitas. Kecerdasan beliau akan lebih nampak jika disandingkan dengan Mulla Shadra, yang mendefinisikan jiwa sebagai substansi yang zatnya non materi tetapi sangat terikat dengan materi dalam aktivitasnya. Begitu juga dengan pengklarifikasian jiwa. Jika Mulla Shadra dan Ibnu Sina menyebut gradasi jiwa dengan jiwa tumbuhan, jiwa hewan baru jiwa manusia, Ki Ageng menyederhanakannya dengan rasa dangkal, rasa dalam serta rasa sangat dalam, tulis Eko Sulistiyo ZA, Presiden pada Association of Saber Unfold Fak. Ushuluddin UIN Suka. Ketiga level rasa diatas menurut Ki Ageng dapat dipelajari lewat tiga perangkat inheren dalam diri setiap manusia. Pertama adalah panca indera. Kedua melalui rasa hati, yakni rasa yang dapat merasa aku, merasa senang, merasa ada dan sebagainya. Sedang yang ketiga dapat dipelajari lewat pengertian atau pemahaman. Perangkat terakhir ini berfungsi untuk menentukan suatu hal yang berasal dari panca indera dan perasaan. Oleh Ki Ageng, mempelajari rasa dalam diri sendiri atau pangawikan pribadi sama halnya dengan mempelajari manusia dengan kemanusiaan. Karena bagaimanapun yang mempelajari adalah bagian dari makhluk yang bernama manusia. Maka jika berhasil mempelajari diri sendiri dengan tepat, secara otomatis juga berhasil mempelajari manusia pada umumnya. Dengan demikian, alangkah eloknya jika pembelajaran pangawikan pribadi dipelajari dari sekarang, disini serta penuh keberanian menghadapai segalanya apa adanya. Keberadaan kondisi yang bercorak hitam-putih terkadang memang masih membelenggu jiwa manusia. Hal itu disebabkan manusia kurang menyadari keberadaan alam, yang oleh Ki Ageng dibedakan menjadi empat gradasi. Pertama dimensi tunggal. Dimensi yang berupa garis ini sebagai analogi untuk bayi, yang kemampuannya baru sebatas merekam berbagai rangsangan dari luar dengan panca inderanya. Oleh Mulla Shadra, tingkatan pertama ini disebut dengan jiwa tumbuhan. Seseorang dapat dikatakan memasuki gradasi kedua jika telah mampu mengorganisasikan atau membentuk tipologi dari berbagai jenis rekaman di dalam ruang rasa. Dengan kata lain, manusia pada tingkatan kedua ini mulai sedikit sadar untuk mengekspresikan rangsanganrangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Namun dalam bertindak tersebut tidak berdasarkan akal dan hati, sehingga akibat reaksinya dalam menghadapi rangsangan sering melenceng. Tingkatan kedua ini disebut sebagai benda dua dimensi atau jiwa bianatang. Ketiga, manusia tiga dimensi. Dalam fase ini, manusia sudah mampu memberdayakan akalnya untuk berfikir, sehingga dapat memahami hukum-hukum alam. Namun tidak dengan