Hukum Organisasi "Internasional"
Oleh Yuli Lestari (201310360311122)
Dosen Pengampu : M. Syaprin Zahidi, M.A.
Pendahuluan
Organisasi Internasional merupakan salah satu dari enam subjek dalam hukum internasional. Untuk memenuhi syarat sebagai subjek hukum internasional perlu memiliki "legal personallity". Kedudukan atau kepribadian hukum (legal personality) tersebut diperlukan untuk memperoleh keabsahan hukum sebagai pelaku (subjek) serta satuan tersendiri dalam pergaulan atau hubungan internasional.
Subjek Hukum Internasional
Subjek – Subjek hukum internasional adalah mencangkup a) negara, dan b) subjek hukum bukan negara. Dalam istilah hubungan internasional, juga disebut a) pelaku berupa negara (state actor), dan b) pelaku bukan negara (nonstate).
Untuk negara sebagai subjek hukum internasional, sudah tentunya hanya ada satu macam bentuk, yaitu : negara (termasuk pemerintah masing – masing negara ). Sedangkan subjek hukum internasional yang bukan negara, dapat dibagi atas lima macm penggolongan.
Dengan demikian, hukum internasional mempunyai enam subjek keseluruhan, yaitu :
Negara, atau negara – negara;
Tahta suci (vatikan);
Organisasi – organisasi internasional;
Palang Merah Internasional (ICRC);
Pemerintah dalam pelarian/pihak dalam sengketa;
Individu (perorangan) dan kelompok tertentu.
Negara sebagai subjek hukum internasional, tentu sudah cukup jelas. Bahkan, negara atau negara – negara, adalah merupakan subjek hukum internasional paling pokok.
Tahta Suci (vatikan) digolongkan tersendiri, karena keunikan fungsi dan kedudukannya. Tidak dapat disebut suatu negara dan bukan oula salah satu anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Tidak pula dapat digolongkan kedalam satu bentuk lainnya dari subjek hukum internasional bukan negara.
Organisasi – organisasi internasional, adalah subjek hukum internasional bukan negara. Khususnya, karena organisasi internasional pada umumnya merupakan gabungan keanggotaan beberapa negara. Sedangkan Palang Merah Internasional (ICRC) digolongkan terpisah dari organisasi internasional lainnya karena keunikan statusnya. Tidak menyangkkut kepentingan langsung atau tertentu dari anggota – anggotanya, melainkan ditujukan untuk kepentingan menyeluruh umat manusia.
Pemerintahan dalam pelarian atau pihak – pihak dalam sengketa adalah subjek tersendiri pula. Contohnya : pemerintahan Kamboja pimpinan Norodom Sihanouk yang berada di Beijing, sebelum tercapainya proses perdamaian dan pembentukan pemerintahan koalisi di negeri Kamboja. Phiak dalam sengketa, misalnya: PLO (Palestine Liberation Organization).
Ada syarat – syarat tertentu yang perlu dipenuhi, untuk mendudukan pemerintahan pelarian, pemberontak serta pihak dalam sengketa sebagai subjek hukum internasional, yaitu :
Mempunyaistruktur (susunan) administrasi dan keorganisasian yang lengkap dan jela, sebagaimana layaknya suatu administrasi pemerintahan.
Mempunyai markas besar yang tetap sebagai pusat dalam menjalankan kegiatan admnistrasi pemerintahan, walaupun markas – markas itu berada di luar wilayahnya.
Pasukan yang berada dibawah kekuasannya, baik militer resmi maupun paramiliter (milisi atau sukarelawan), memakai seragam tertentu dan atribut – atribut secara jelas.
Syarat – syarat tersebut diatas adalah dipelukan sebagai bukti keberadaan (eksistensi)pihak – pihak dalam sengketa secara sah. Misalnya, bahwa satuan atau pihak itu bukan sekedar kumpulan gerombolan atau gerakan pengacau keamanan. Jika memenuhi syarat – syarat tersebut diatas, barulah diakui sebagai subjek hukum internasional (dengan pihak ketiga atau pihak lainnya). Misalnya, untuk melakukan transaksi perdagangan dan mendapata pinjaman komersial.
Individu adalh merupakn subjek hukum internasional, dalam hal melakukan kegiatan dan tindakan yang membahayakan perdamaian atau melakukan "genocide" (pembasmian masalterhdapa kelompok ras/bangsa). Berdasarkan hal tersebut pula, diadakan pengadilan Nunberg dan Tokyo (menghukum jendral – jendral Jerman dan Jepang yang melakukan pelanggaran hukum humaniter dalam masa Perang Dunia II), yang memperlakukan terhukum sebagai individu – individu yang telah melanggar ketentuan hukum internasional. Dalam perkembangan masa kini, kejahatan perdagangan narkotika secara internasional, juga dapat dituntut sebagai tanggungjawab individu (sebagai contoh Kasus penangkapan Jenderal Antonio Noriega di Panama oleh Amerika Serikat pada tahun 1990).
Untuk kelompok, adalah perusahaan – perusahaan transnasional (TNC/MNC), yang makin besar perannya dalam pergaulan internasional dewasa ini.
Legal Personality
Suatu satuan masyarakat, kelompok, atau orrganisasi internasional tidak memiliki proses administratif dan tata hukum yang sama dengan masyarakat atau satuan – satuan secara nasional. Organisasi internasional terdiri dari keanggotaan negara – negara, tetapi secara hukum tidak dibenarkan untuk menggunakan legal personality negara – negara anggotany. Organisasi tersebut perlu mempunyai kebasahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar mengatasnamakan negara – negara anggotanya.
Untuk itulah perlu adanya legal personality bagi suatu organisasi internasional yang terpisah dari legal personallity masing – masing negara anggotanya. Syarat – syarat bagi suatu organisasi internasional untuk memiliki legal personality sendiri, adalah bawaha organisasi tersebut :
Merupakan himpunan (keanggotaan) negara – negara, yang berdifat tetap (permanen), serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap.
Dengan kata lain, bukan sekedar komite ad-hoc yang biasanya berfungsi hanya sementara atau dalam jangka waktu tertentu.
Memiliki perbedaan, dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi, antara organisasi , antara organisasi itu dengan negara anggota.
Adanya kewenangan hukum organisasi itu yang dapat diterima (oleh pihak lain) serta diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruanglingkup internasional, bukan sekedar kegiatan di dalam ruang lingkup nasional salah satu atau masing – masing negara anggotanya.
Dengan kata lain, diakui sebagai suatu satuan tersendiri (bukan sekedar pengelompokkan beberapa negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain.
Syarat tersebut diatas, jika menyangkuthal – hal yang lebih khusus , masih perlu pula dilengkapi oleh :
Kemampuan mengadakan perjanjian (the Treaty-making Power).
Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki asset – asset berupa barang, modal, bangunan, peralatan (milik organisasi);serta status khusus bagi personalia yang diberi kepercayaan atau amanat (diakreditasi) atas nama organisasi.
Kemampuan mengajukan tuntutan (claim) terhadap negara anggota dan juga negara bukan anggota, jika terjadi atau terdapat hal yang merugikan organisasi.
Locus standi untuk mengajukan perkara ke pengadilan internasional dan berdasarkan jurisdiksi internasional.
Adanya perlindungan fungsional terhadap staf dan personalia.
Hak organisasi yang disertai pengakuan/penerima oleh negara atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan dalam menghindari berbagai konfrensi internasional yang bersangkutan.
Demikianlah, kita lihat contohnya bahwa pertemuan ASEAN dengan masing – masing mitra-wicara (dialog-partners) adalah mengatasnamakan ASEAN sebagai satuan organisasi. Berbeda dan terpisah dari hubungan bilateral yang ditempuh oleh masing – masing anggota ASEAN dengan negara – negara yang menjadi mitra-wicara ASEAN tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN memiliki legal personality tersendiri. Agak lain halnya dengan Gerakan Non-Blok, yang bersifat movement atau koordinasi pengelompokkan acara moral sehingga kurang jelas adanya suatu legal personality.
Peranan dan Fungsi Organisasi – organisasi Internasional
Peran organisasi internasional :
Wadah atau form untuk meggalangkan kerjasama serta untuk mencegah atau mengurangi intensitas konflik (sesama anggota);
Sebagai sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan bersama yang slaing menguntungkan dan adakalanya bertindak sebagai
Lembaga yang mandiri untuk melaksanakan kegiatan yang diperlukan (antara lain kegiatan sosial kemanuisaan, bantuan untuk pelesteraian lingkungan hidup, pemugaran monumen bersejarah, peace keeping operation dan lain-lain)
Fungsi organisasi internasional :
Tempat berhimpun bagi negara – negara anggota bila organisasi internasional itu IGO (antar-negara/pemerintah) dan bagi kelompok masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat apabila organisasi internasionalitu masuk kategori INGO (non-pemerintah);
Untuk menyusun atau merumuskan agenda bersama (yang menyangkut kepentingan semua anggota dan memprakarsai berlangsungnya perundingan untuk menghasilka perjanjian – perjanjian internasional;
Untuk menyusun dan menghasilkan kesepakatam emngenai aturan/norma atau rejim – rejim internasional;
Penyediaan saluran untuk berkomnikasi diantara sesama anggota dan adakalanya mwrintis akses komunikasi bersama dengan non anggota (bisa dengan negara lain yang bukan anggota dan bisa dengan organisasi internasional lainnya;
Penyebarluasan informasi yang bisa dimanfaatkan sesama anggota.
Organisasi internasional memang tidak memiliki dan tidak menjalankan politik luar negri sebagaimana negara – negara yang merdeka dan berdaulat. Namun organisasi internasional bisa menjadi indtrument bagi pelaksanaan kebijakan luar negri (foreign policy) negara anggotanya. Tiga peranan penting organisasi internasiona dalam politik dunia (word politics) menurut Pentland (dalam Little dan Smith, 1991:242-243) adalah :
Sebagai indtrumen dari kebijakan luar negri negara – negara anggota;
Untuk mengatur perilaku dan tindakan negara – negara anggota;
Bertindak berdasar keputusannya sebagai aktor/lembaga yang mandiri (otonom).
Tujuan Organisasi Internasional
Tujuan dari masing – masing organisasi internasional tentu dapat kita simak dari Piagam (Charter) atau Statuta yang membentuk dan mendirikannya. Sama sebagaimana tujuan setiap organisasi bisa kita baca dalam Anggaran Dasar organisasi tersebut. Tujuan PBB (United Nations Organization) misalnya bisa kita simak dari "Charter of the United Nations" (1945). Tujuan ASEAN kita simak dari isi Deklarasi Bangkok (8 Agustus 1967) dan beberapa perubahan yang dihasilkan dalam KTT-KTT ASEAN berikutnya. Tujuan Uni Eropa (European Union) bisa kita simak dari perjanjian Maastrich (1992), yaitu setelah perubahannya dari European Community (EC).
Sedangkan menurut Werner J. Feld dan Robert S. Jordan, tujuan organisasi internaisonal (baik IGOs maupun INGOs) dpat dibagi atas tiga kategori, yaitu :
Untuk memelihara kepentingan anggota – anggotanya diarnea internasional (global dan regional);
Untuk mengimbangi organisasi internaisonal lainnya;
Untuk mengubah , meodifikasi, menyelaraskan kepentingan nasional dari negara – negara anggotanya.
Pembahasan
Pada umumnya, dalam melangsungkan hidup manusia memerlukan bantuan orang lain. Oleh karena itu, manusia harus bekerja sama, berdampingan, dan hidup dengan damai. Namun, kadang terjadi benturan kepentingan dalam mencapai tujuannya. Demikian pula halnya dengan negara yang ingin bekerja sama dengan negara lain, adakalanya, benturan kepentingan pun tidak dapat dihindari.
Akibat dari benturan kepentingan, terkadang, dapat menimbulkan konflik bersenjata atau peperangan. Setiap peperangan selalu menimbulkan kehancuran, baik di pihak yang menang maupun yang kalah. Bahkan banyak perang yang mengakibatkan lenyapnya sebuah bangsa atau negara.
Akibat perang yang merusak segala sendi kehidupan, maka, manusia pun memikirkan tentang perdamaian yang kekal dan abadi. Upaya menghindari peperangan yang mengancam kehidupan manusia diusahakan dengan membentuk suatu lembaga perdamaian dan merupakan persatuan seluruh bangsa atas dasar kehendak bebas setiap negara untuk menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban bersama. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka, Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill dan Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, mengadakan pembicaraan khusus yang menghasilkan deklarasi tentang hak kebebasan, kemerdekaan dan perdamaian dunia.
Hal inilah yang menjadi langkah awal terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang lahir pada 24 Oktober 1945. PBB dapat dikategorikan sebagai organisasi internasional terluas dan terlengkap, tetapi juga amat kompleks. Dikatakan demikian, karena ruang lingkup PBB adalah meliputi semua negara di dunia, baik anggota maupun bukan. Hingga saat ini, sebagai organisasi besar atau organisasi internasional par excellence yang dikenal dunia dan masyarakat internasional, PBB memiliki pengaruh dan peranan dalam mempertahankan kelangsungan hidup umat manusia di dunia, khususnya di bidang perdamaian dan keamanan internasional (international peace and security) ataupun di bidang ekonomi sosial.
Organisasi internasional seperti PBB dikategorikan sebagai organisasi yang memiliki peranan amat kompleks karena memiliki fungsi sebagai berikut (Mandalangi, 1986:56).
1. Berfungsi sebagai Yudisial, artinya bahwa PBB menjalankan fungsi yudisial melalui badan prinsipalnya yang terkenal yaitu the international Court of justice (ICJ), demikian pula melalui the Administrative tribunal of the ILO yang dibentuk berdasarkan pasal 37 Konstitusi ILO serta melalui suatu badan kuasi-yudisial seperti the committee on freedom of Association yang bertindak sewaktu-waktu atas nama governing Body dari ILO.
2. Berfungsi sebagai legislatif atau administratif, dikatakan demikian karena PBB menjalankan fungsi legislatif atau administratif melalui resolusi-resolusi dan keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang majelis umum; demikian pula melalui keputusan dan berbagai peraturan yang dibuat oleh Dewan Ekonomi Sosial (the economic and social council), melalui beraneka ragam konvensi (conventions), regulations dan procedures yang dihasilkan dalam Internasional Labour Organization (ILO) dan lain-lain.
3. Berfungsi sebagai eksekutif atau politik, dikatakan demikian karena melalui badan-badan prinsipalnya (principal organs) seperti Majelis Umum (General Assembly) dan Dewan Keamanan (Security Council) dalam arti memelihara perdamaian dan keamanan internasional, melalui "related agency" yang bukan badan-badan khusus seperti the international atomic energy agency (IAEA), bahkan seterusnya melalui 'pasukan darurat PBB (United Nations Emergency Force) yang pernah bertugas misalnya di Korea, Congo, Cyprus, Timur Tengah dan sebagainya.
Fungsi-fungsi yang dikemukakan di atas menunjukkan betapa luas dan pelik permasalahan yang ditangani PBB sebagai organisasi internasional. Mengingat fungsi dan wewenangnya (competence) yang beraneka ragam itu, maka, PBB tidak dapat di pandang hanya sebagai "subyek hukum internasional" atau "lembaga hukum" (legal institution) belaka, tetapi harus dilihat sebagai suatu "lembaga politik" (political institution) yang sangat dinamis dan berpengaruh dalam tata kehidupan hubungan internasional.
Salah satu lembaga yang berpengaruh dalam tata kehidupan hubungan internasional adalah Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan merupakan salah satu dari 6 badan utama PBB. Negara-negara anggota PBB telah melimpahkan tanggungjawab utama kepada Dewan Keamanan (DK) untuk mengurusi masalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB. Semua negara anggota telah menyetujui untuk menerima dan melaksanakan keputusan-keputusan Dewan Keamanan, termasuk keputusan Dewan Keamanan untuk menjatuhkan sanksi militer terhadap anggota-anggota PBB yang dianggap menyalahi prinsipprinsip Piagam PBB dan mengancam pemeliharaan perdamaian (Suryokusumo, 2007:17)
Sejarah PBB: Fondasi Struktur Kekuasaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut oleh Hans J. Morgenthau dalam literatur klasiknya, Politics Among Nations (1948) sebagai international government atau pemerintahan dunia. Analisis Morgenthau didasarkan atas sebuah asumsi, bahwa penanggulangan atas sistem internasional yang anarki hanya akan dapat efektif jika ada tata-aturan internasional yang terlembaga dalam wujud international government, atau sebuah organisasi yang memayungi negara-negara di dunia (Morgenthau, 1948).
Mengapa PBB menjadi sebuah alternatif? Untuk menjawab hal ini, kita perlu berangkat dari analisis mengenai sejarah PBB. Berdasarkan situs resmi PBB, detil mengenai sejarah PBB dilukiskan secara lebih gamblang. Nama PBB atau United Nations sendiri pertama kali diusulkan oleh Presiden AS Franklin Delano Roosevelt pada tahun 1952. Pada waktu itu, Roosevelt tengah menggalang dukungan internasional untuk melawan negara-negara axis yang menjalin aliansi militer strategis: Jerman, Jepang, dan Italia.
Nama Perserikatan Bangsa-Bangsa ini mengingatkan masyarakat internasional pada Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) dan Aliansi Suci (Holy Alliance) yang merupakan aliansi untuk menjaga perdamaian dunia. Liga Bangsa-Bangsa sendiri memiliki anggota tidak tetap dan anggota tetap. Morgenthau memotret konflik dan problematika LBB dalam sebuah konflik antagonistik antara negara-negara status quo: Inggris Raya dan Perancis (Morgenthau, 1948). Liga Bangsa-Bangsa dilahirkan oleh Perjanjian Versailles tahiun 1919 (United Nations, 2000).
Tujuan dibentuknya LBB sendiri, mengutip United Nations (2000), adalah "to promote international cooperation and to achieve peace and security". Dari sini, dapat kita lihat bahwa Liga Bangsa-Bangsa sendiri sangat menekankan komitmen dari anggotaya untuk membina kerjasama. Secara teoritik, sistem internasional yang anarki, yang dihasilkan oleh Perang Dunia I, memang akan menghasilkan order. Hal ini yang coba diadopsi oleh LBB untuk menanggulangi problem keamanan internasional.
Oleh karena seting politik internasional yang konfliktual tersebut, ditambah lemahnya komitmen dan menguatnya kembali kekuatan Jerman sebagai salah satu kekuatan utama dunia, LBB tak dapat bertahan dalam waktu lama. Penyebabnya adalah hilangnya komitmen atas perjanjian LBB yang menyebabkan beberapa negara keluar. Padahal, LBB pada awalnya dibuat untuk menahan perang antarnegara. Serangan Jerman atas Polandia pada tahun 1939 praktis memicu respons negara-negara sekutu untuk menggalang kembali kekuatan melawan Jerman. LBB bubar, dan perang muncul kembali.
Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, perwakilan 50 negara bertemu di San Fransisco untuk membahas nasib dunia pasca-Perang Dingin. Beberapa delegasi negara menawarkan proposal untuk membentuk sebuah organisasi internasional yang sebelumnya telah dibahas pada pertemuan di Dumbarton Oaks tahun 1944. Pertemuan ini menghasilkan sebuah deklarasi yang kini kita kenal dengan deklarasi PBB, yang disahkan pada tanggal 26 Juni 1945. Sebagai anggota ke-51, masuk Polandia yang tidak mengirimkan perwakilan pada pertemuan tersebut.
Akan tetapi, legalitas dari PBB sendiri baru muncul setelah 24 Oktober 1945, setelah 5 negara utama meratifikasi UN Charter. Hal ini menjadi sebuah batu loncatan untuk menuju apa yang disebut oleh Morgenthau (1948) sebagai "world government dengan struktur kekuasaan yang bertumpu pada Dewan Keamanan (lima anggota tetap).
Dari fakta sejarah tersebut, ada tiga fenomena yang dapat dianalisis terkait seting politik internasional pada era tersebut.
Pertama , PBB dilahirkan dari respons atas sebuah sistem internasional yang anarkis. Artinya, PBB sendiri merupakan sebuah kompromi internasional untuk menahan perang. Wajar jika kita sulit menemukan perbedaan struktur antara LBB dan PBB secara organisasional. Sehingga, kita akan sampai kepada sebuah kesimpulan: PBB akan sangat bergantung pada komitmen anggota-anggotanya untuk menaati kesepakatan yang ada.
Kedua , PBB dibuat oleh kelompok yang menang perang. Secara sadar atau tidak, meminjam kamus wacana Gramscian, kelompok yang memenangi peperangan akan menjadi hegemoni dalam tata organisasi selanjutnya (Simon, 1999; Sugiono, 1999). Hal ini kemudian termanifestasi dalam struktur organisasi PBB yang menempatkan lima negara besar (great powers) sebagai anggota Dewan Keamanan yang memiliki hak veto dalam resolusi-resolusi PBB.
Ketiga , karena dibuat oleh negara-negara besar (great powers) dan sangat menekankan pada komitmen pada negara-negara anggotanya, PBB akan sangat bergantung pada struktur kekuasaan yang membentuknya. Dalam konteks ini, PBB akan mampu menjalankan perannya secara positif jika kekuatan-kekuatan besar yang menyokong PBB, dalam hal ini lima negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan, mendukungnya. Adanya pemberian hak veto pada lima negara DK PBB menjadikan strukturnya sangat bertumpu pada powers, sehingga kita akan kembali pada logika realisme untuk mencermati persoalan PBB.
Dilema-Dilema Struktural
Jika merujuk pada teori Morgenthau bahwa pengaturan keamanan dan perdamaian akan terwujud melalui sebuah lembaga atau pemerintahan dunia (world government), maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa peran utama PBB adalah mendukung perdamaian dan keamanan dunia melalui sebuah instrumen politik yang mengakomodasi kepentingan kekuatan-kekuatan besar (great powers). Hal ini kemudian menjadikan PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki otoritas untuk menjaga perdamaian dunia. Sekarang, setelah era perang dingin berakhir, PBB mengalami berbagai dilema struktural. Perubahan politik internasional pasca-perang dingin serta mulai masuknya aktor non-negara sebagai pemain dalam hubungan internasional setidaknya telah menjadi masukan bagi PBB untuk merevitalisasi perannya yang begitu sentral dalam politik internasional.
Sehingga, kita akan masuk pada sebuah pertanyaan: posisi struktural apa yang perlu direvitalisasi dari PBB? Untuk menjawabnya, kita akan masuk pada uraian mengenai struktur organisasi PBB dan analisis mengenai struktur tersebut. Dalam konteks kontemporer, PBB setidaknya memiliki beberapa permasalahan persoalan struktural. Ada tiga persoalan yang muncul: persoalan hak veto dalam Dewan Keamanan, lemahnya peran PBB dalam menghadapi disparitas ekonomi, serta hegemoni yang masih kuat dalam politik internasional yang masuk di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertama , hak veto. Definisi hak veto adalah hak untuk tidak menyetujui rancangan resolusi Dewan Keamanan yang diusulkan. Secara garis besar, hak veto dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Cina, dan Rusia. Pada awalnya, hak veto ini merupakan konsensus yang ingin menjaga agar tidak ada kekuatan lain yang muncul pasca-Perang Dunia II.
Sehingga, keberadaan hak veto merupakan konsensus dari lima negara pemenang perang dunia II untuk memegang kontrol atas dunia. Adanya hak veto tidak didasarkan atas pertimbangan keadilan, tetapi lebih kepada balance of power yang merupakan ciri khas realisme politik. Perimbangan kekuasaan ini kemudian memberi hak bagi The Big Five untuk memainkan peran politik dalam pembuatan resolusi PBB.
Jika kita analisis, penggunaan hak veto ini memiliki dua dimensi yang problematis. Problem pertama adalah soal power yang tidak terbatas. karena hak veto memberi porsi begitu besar pada power, penggunaan power oleh negara-negara besar kerap terabaikan dari sanksi. Smith (2005) menggambarkan struktur yang AS-minded mengakibatkan adanya justifikasi-justifikasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam foreign policy-nya. Hal ini dipotret sebagai sebuah "hegemoni" dalam politik internasional, yang dalam konteks perang dingin ditandingin oleh "counter-hegemony", yaitu Uni Sovyet. Terciptalah bipolaritas kekuatan dalam politik internasional (Kegley, 2006).
Problem kedua adalah soal keadilan. hak veto mengabaikan dimensi keadilan dan demokrasi. Padahal, secara struktural. asas keadilan merupakan aspek terpenting dalam decision-making pada diplomasi multilateral (Berridge, 2002). Banyak kasus yang menunjukkan bahwa hak veto sering disalahgunakan oleh negara pemiliknya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam kasus agresi militer Israel ke Jalur Gaza, misalnya, adanya veto atas rancangan resolusi yang memberi sanksi atas Israel mengakibatkan adanya korban jiwa begitu besar. Padahal, serangan tersebut bertentangan dengan Konvensi Jenewa IV (1949).
Dengan demikian, pembagian kekuasaan ini cenderung oligarkis. dan melupakan prinsip pertama realisme politik: Political realism believes that politics, like society in general, is governed by objective laws that have their roots in human nature (Morgenthau, 1948). Dengan adanya hak veto yang berbasis power pada negara-negara besar akan sangat problematis karena adanya subordinasi terhadap hukum internasional. Kacamata realisme memandang hukum internasional sangat penting dalam menegakkan perdamaian dan keamanan (Sprout, 1963). Ketika politik dibasiskan hanya pada power dan meniadakan hukum internasional, hak veto menjadi problematis secara konseptual.
Sehingga, eksistensi PBB dalam kacamata struktural akan tergantung pada nasib dari hak veto ini. Negara-negara besar akan menghadapi tantangan untuk menerapakan asas keadilan, sehingga hegemoni yang menjadi sebuah kekuatan unipolar pasca-perang dingin dapat dikurangi, Penghapusan hak veto serta persamaan hak dan kedudukan negara di PBB akan memungkinkan kontrol atas negara-negara besar yang tidak berkomitmen terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Kedua , Kegagalan PBB dalam mengatasi kesenjangan antara negara core dan periphery. Deadlock yang seringkali terjadi dalam sidang-sidang WTO harus dibaca sebagai sinyal ketidaksetujuan negara-negara periphery atas klausul free trade regime yang justru akan menjadi penyebab pemiskinan struktural di negara-negara miskin (Kegley, 2006). Negara-negara maju tidak memperhatikan kondisi perekonomian negara-negara miskin yang terpuruk akibat utang luar negeri yang begitu akut, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi. Meminjam bahasa Hadiz (1999), negara-negara miskin mengalami penyerapan surplus ekonomi oleh negara-negara besar karena adanya akumulasi kapital serta pertukaran tak seimbang. Hal ini yang dikenal dalam teori ekonomi politik internasional sebagai "teori dependensia"
Dengan tata ekonomi dunia yang semakin berbasis pasar serta masuknya multinational corporations (MNC) yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara global south (meminjam istilah Charles Kegley), struktur ekonomi dunia akan menjadi semakin timpang. Hal ini juga menjadi tanggung jawab PBB melalui dua lembaga donornya : IMF serta World Bank. Permasalahan yang muncul, IMF serta World Bank tidak menjadi "penolong" negara-negara yang terpuruk tersebut. Lembaga yang kemudian dikenal dengan nama "Washington Consensus" tersebut menawarkan resep ekonomi yang meniadakan peran negara dalam mengatur perekonomian. Akibatnya, banyak negara-negara yang memaksakan konsep ini tanpa pertimbangan rasional sehingga pertumbuhan ekonomi melambat dan utang luar negeri justru bertambah. Fenomena ini dikritik oleh beberapa ekonom seperti Jeffrey Sachs, Vedi R Hadiz atau Joseph Stiglitz.
Penulis seperti Hadiz (1999), misalnya, mengkritik teori negara pasca-kolonial yang sangat bertumpu pada logika di atas. Negara pasca-kolonial seakan-akan diposisikan sebagai sebuah negara yang siap untuk menerima pengaruh eksternal apapun, padahal yang akan muncul sebenarnya hanya penindasan kelas marjinal oleh kelas pemodal. Alih teknologi yang dilakukan tergesa-gesa hanya menumbuhkan dependensi antara negara core dan peripheral.
Hal ini yang menjadi aras problematis dari peran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tujuan awal PBB yang ingin mendudukkan perdamaian dan keamanan sebagai basis akan sangat problematis dalam era yang lebih kontemporer, karena keamanan yang sekarang kita definisikan bukan lagi keamanan yang menyangkut soal-soal militer atau persenjataan, tetapi lebih mengacu pada human security seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Secara struktural, hal ini akan sangat problematis.
Ketiga , hegemoni kekuatan besar dunia. Bukti kegagalan PBB dalam menjaga perdamaian dunia terlihat dari intervensi dan invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat. John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men secara jelas menjelaskan bahwa AS melakukan serangkaian intervensi politik ke negara-negara lain, seperti Panama (Manuel Norriega), Chile (Salvador Allende), atau Guatemala (Jacobo Arbenz). Bahkan pada tahun 2001 dan 2003, Amerika Serikat melakukan show of force dengan melakukan invasi ke Afghanistan serta Irak.
Hegemoni ini mungkin dibatasi melalui PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki power. Namun, PBB yang memiliki otoritas untuk melakukan hal ini justru tidak mampu berbuat banyak, karena secara struktural hegemoni Amerika Serikat masih memiliki dominasi yang kuat. Adanya hak veto dan basis historis sebagai pemenang perang Dunia II menjadi Meski demikian, PBB memiliki yang kemudian tidak kompatibel dengan sistem politik internasional (Sprout, 1963). Sistem politik internasional, sebagaimana dijelaskan oleh Dean Minix dalam bukunya, Global Politics, memang telah mengarah pada unipolaritas pasca-perang Dingin (1990).
Kesimpulan
Sehingga, jika mengacu pada analisis di atas, struktur kekuasaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki problem-problem internal. Sebagai sebuah organisasi internasional, PBB akan sangat bertumpu pada great powers yang menjadi patron dari PBB tersebut. Hal tersebut tidak hanya akan sangat oligarkis dan membuat faktor-faktor lain seperti hukum internasional akan terabaikan, tetapi membuat PBB tidak lagi menjadi entitas yang menaungi seluruh kekuatan.
Dalam seting politik yang unipolar seperti sekarang, PBB memang tidak akan menjadi alat bagi hegemoni untuk mensubordinasi kekuatan lain. Akan tetapi, PBB akan diam ketika negara yang mensubordinasi negara lain tersebut adalah sentral dari hegemoni, seperti dalam perang Irak (Setiawati, 2003). Sehingga, untuk menjawab pertanyaan di awal paper, kita dapat menyebutkan bahwa struktur kekuasaan PBB dibentuk di atas basis power lima negara yang menjadi anggota tetap dewan keamanan, sehingga basis struktur tersebut sangat rawan pada kembalinya sistem internasional yang konfliktual. Ada dua argumen: pertama. komitmen terhadap perdamaian sudah tidak lagi dipegang oleh great powers; kedua, munculnya kekuatan penanding dari negara besar sehingga struktur kekuasaan akan menjadi bipolar dan rawan perang, seperti terjadi pada saat perang dingin.
Dengan demikian, struktur kekuasaan yang rapuh tersebut akan memiliki implikasi jika tidak ada konsensus ulang atas fungsi PBB di masa yang akan datang. Hal ini akan mempertajam kebenaran peribahasa lama: si vis pacem para bellum, jika mau perdamaian, bersiaplah untuk perang. Revitalisasi struktur dan peran PBB akan sangat diperlukan untuk menanggulangi permasalah ini.
Daftar Pustaka
Hadi, Shaummil. 2008. Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra.
United Nations Official Website. 2000. "History of United Nations". Retrieved from http://www.un.org/
Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial. Yogyakarta: Insist Press.
Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
ournal.unas.ac.id , Vol 32, No 23 (2010).
Rudy, T. May. 1993. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung : Refika Aditama.