BAB III GEOTEKNIK DAN METODE PEMBONGKARAN
3.1. Faktor Penggalian
Untuk menentukan metode penggalian yang dapat digunakan untuk membongkar Batu Gamping di Dusun Dlingo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maka dapat digunakan grafik hubungan Point hubungan Point Load Index (Mpa) dengan Fracture dengan Fracture Indeks – m. m. Kriteria penggalian ditentukan berdasarkan Indeks Kekuatan Batuan yang diusulkan oleh Franklin, dkk (1971) dan Pettifer& Fookes, (1994). Klasifikasi massa batuan berdasarkan dua parameter yaitu : 1.
Fracture Index Parameter ini digunakan sebagai ukuran karakteristik diskontinu dan didefinisikan sebagai jarak rata-rata fracture rata-rata fracture dalam sepanjang bor inti atau massa batuan.
2.
Point Load Index (PLI) Point Load Index atau pengujian titik beban merupakan substansi pengujian dari faktor kehadiran bidang lemah yang mempengaruhi kecepatan rambat gelombang ultrasonik dari suatu batuan (spesimen batuan). Hasil dari pengukuran scanline pada footwall didapatkan fracture index = 1,1 m (dari hasil scanline) scanline) dan Point Load Index Index = 0,31 Mpa. Nilai Point Load Index berasal Index berasal dari : 23 Is
= UCS
23 Is
= 7,2154 MPa
Is
= 0,31 MPa
III-1
Gambar 3.1 : Kriteria penggalian (Franklin, dkk. 1971)
Gambar 3.2 : Kriteria penggalian Pettifer dan Fookes (Kramdibrata, 2000)
Berdasarkan pada Kriteria penggalian Pettifer & Fookes maka disimpulkan bahwa Batu Gamping termasuk dalam bahan galian yang keras untuk digaruk. Sedangkan berdasarkan kriteria penggalian Franklin Batu Gamping termasuk bahan galian yang cara pembongkarannya pembongkarannya menggunakan penggaruan.
III-2
Tujuan utama penambangan Batu Gamping adalah memperoleh blok Batu Gamping sesuai dengan spesifikasi alat yang digunakan. Alat yang digunakan dalam penambangan Batu Gamping adalah Dozer Shovell, Dumptruck Hino 260 JD, Excavator, Flatbed truck dan Backhoe PC 200. Cara penambangan sistem kuari berjenjang meliputi : 1.
Pembersihan Lokasi
Merupakan serangkaian pekerjaan membersihkan permukaan kerja dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan yang ada maupun dari pepohonan dengan menggunakan alat Dozzer Shovell . Sedangkan untuk pembuatan jalan tambang dan permukaan kerja dengan menggunakan peralatan mekanis Excavator yang berfungsi membersihkan lapangan (tempat kerja) dari batuan yang ada (lapuk), mengisi tempat-tempat yang berlubang yang dianggap dapat mengganggu aktivitas penambangan nantinya. 2.
Pembongkaran
Pembongkaran Batu Gamping dari batuan induknya dilakukan dengan penggaruan
dengan
menggunakan
alat
Backhoe.Pengambilan
dengan
menggunakan alat ini lebih fleksibel karena biasa dilakukan pengambilan sambil membuat jalan. 3.
Pemuatan & Pengangkutan
Hasil penambangan Batu Gamping terlebih dahulu dikumpulkan pada suatu stockpile. Kemudian setelah terkumpul, Batu Gamping dimuat ke atas Dumptruck Hino 260JD yang akan dibawa menuju Stockpile yang berada dilokasi pabrik pengolahan Batugamping, yang selanjutnya akan diproses menjadi bahan baku pembuatan semen.
III-3
Tabel 3.1 : Hasil perhitungan DCP di Daerah Penelitian Koordinat Pengukuran X
Y
Z
Hasil Perhitungan Daya Dukung Tanah (kg/cm2)
1
410025
9137787
153
6.845
2
410013
9137790
150
5.745
3
410036
9137774
150
7.413
4
409986
9137270
141
6.551
5
409993
9137626
140
5.415
6
409965
9137629
140
7.554
7
410503
9137537
152
9.254
8
410519
9137520
152
4.237
9
410534
9137501
157
6.532
10
410583
9137567
143
4.208
11
410570
9137599
147
4.141
12
410554
9137627
151
4.267
13
410423
9137672
146
4.369
14
410419
9137669
146
6.887
15
410257
9137678
147
5.931
16
410412
9137675
149
5.529
17
410414
9137681
150
4.941
18
410408
9137670
151
5.605
19
410399
9137677
153
5.764
20
410400
9137674
152
5.088
21
410402
9137810
154
6.194
22
410378
9137682
155
4.881
23
410387
9137673
155
8.526
24
410389
9137684
156
4.731
25
410372
9137652
157
5.550
26
410356
9137679
158
6.111
No
Rata-rata
5.856
Sumber : (Data PT. Block Wabu Mining, 2017)
III-4
Berdasarkan data hasil perhitungan daya dukung tanah di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata daya dukung tanah di wilayah IUP PT. Block Wabu Mining adalah 5.856 kg/cm 2 , sehingga pemilihan alat angkut yang mampu melewati jalan adalah sebagai berikut : 1.
Hino 260 JD Diketahui : Kapasitas maks. Dump Truck = 30 ton Jumlah roda
= 10 buah (pembebanan roda depan 40%
dan 60% roda belakang) Lebar roda
= 25.4 cm
Panjang kontak roda dengan permukaan tanah = 50.8 cm Pembagian beban muatan: -
Roda belakang 60%
= 40% x 30 ton = 12 ton (4 buah roda)
Tiap roda mendapat beban
= 12 ton : 4 buah roda = 3 ton/roda
-
Roda depan 40%
= 60% x 30 ton = 18 ton (6 buah roda)
Tiap roda mendapat beban
= 18 ton : 6 buah roda = 3 ton/roda
- Luas kontak antara ban dengan permukaan tanah: Luas
= Panjang kontak antara roda dengan permukaan tanah x lebar
roda = 25,4 cm x 50,8 cm = 1.290 cm 2 - Maka beban yang diterima tanah adalah :
Roda belakang
= 4.220 kg/1.290 cm 2 = 3,27 kg/cm2
Roda depan
= 3.280 kg/1.290 cm 2 = 2,54 kg/cm2
III-5
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh beban yang diterima tanah dari roda belakang truk 3,27 kg/cm 2 dan roda depan truk 2,54 kg/cm 2, sedangkan dari hasil pengujian DCP diperoleh DDT rata-rata 5.856 kg/cm 2. Maka, dapat disimpulkan bahwa kondisi tanah yang ada saat ini mampu menahan beban dari truk. 3.2. Klasifikasi Massa Batuan
Menurut Bieniawski (1989), pada dasarnya klasifikasi massa batuan tidak harus digunakan sebagai pengganti untuk rekayasa desain. Klasifikasi massa batuan harus diterapkan secara tepat dan digunakan bersama dengan metode observasi dan studi analisis untuk menyusun desain keseluruhan yang sesuai dengan tujuan desain pada lokasi geologi. Menurut Bieniawski (1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah : 1.
Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku massa batuan.
2.
Membagi formasi massa batuan ke dalam grup yang mempunyai perilaku sama menjadi kelas massa batuan.
3.
Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa batuan.
4.
Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan lokasi lainnya.
5.
Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design).
6.
Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.
Agar dapat digunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) : 1. Sederhana, mudah diingat dan mudah dimengerti 2. Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan 3. Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah 4. Pembobotan dilakukan secara relatif 5. Menyediakan alat-alat kuantitatif
III-6
Menurut Bieniawski (1989), dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu: 1.
Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan minimum sebagai parameter klasifikasi.
2.
Memberikan informasi atau data kuantitatif untuk tujuan rancangan.
3.
Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu proyek.
Metode klasifikasi massa batuan merupakan cikal bakal dari pendekatan metode empiris yang digunakan di dalam rekayasa batuan, contohnya adalah Klasifikasi Rock Mass Ratting . Klasifikasi Rock Massa Ratting dibuat pertama kali oleh Bieniawski pada tahun 1973. Modifikasi dilakukan menggunakan data yang baru agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan disesuaikan dengan standar internasional. Klasifikasi Rock Massa Ratting (RMR) tahun 1989 menggunakan parameter sebagai berikut : 1.
Kuat tekan uniaksial dari material batuan
2. Rock Quality Design (RQD) 3.
Spasi kekar (Spacing Discontinuities)
4.
Kondisi kekar meliputi (Condition of discontinuities) :
- Kemenerusan ( persistence/continuity) - Lebar celah (aperture) - Jarak antar permukaan kekar atau celah ( separation/aperture) - Kekasaran kekar (roughness) - Material pengisi (infilling/gouge) - Tingkat kelapukan (weathering ) 5.
Kondisi air tanah (Groundwater Conditions)
6.
Orientasi ketidak-menerusan
Parameter
keenam
(orientasi
ketidak-menerusan)
pemakaian
dan
penerapannya disesuaikan dengan penggunaan RMR untuk rekayasa batuan.
III-7
Terkait dengan materi yang dibahas, yaitu lereng, maka parameter keenam tersebut disesuaikan untuk keperluan analisis kestabilan lereng seperti yang dikemukakan Romana (1985). Sedangkan RQD ( Rock Quality Design) adalah modifikasi persentase perolehan inti pemboran yang utuh dengan panjang 100 mm atau lebih. Palmstorm (1982) mengusulkan jika tidak tersedia inti bor, maka RQD dapat deperkirakan dari jumlah kekar-kekar ( joints) per meter. RQD (%) =100e -0,1λ (0,1λ+1) ........................................................................... (3.1) Keterangan : λ = Frekuensi Kekar (m) RQD dilihat sebagai sebuah petunjuk kualitas batuan di mana permasalahan pada batuan seperti tingkat kelapukan yang tinggi, lunak, hancur, tergerus dan terkekarkan diperhitungkan sebagai bagian dari massa batuan (Deere, 1988). Dengan kata lain, RQD adalah ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan yang baik dari sebuah interval kedalaman lubang bor. Hubungan antara nilai RQD dan kualitas massa batuan seperti Tabel 3.2.
Tabel 3.2 : Rock Quality Designation Rating
Qualitative
RQD (%)
Rating
Excellent
90 – 1000
20
Good
75 – 90
17
Fair
50 – 75
13
Poor
25 – 50
8
Very Poor
<25
3
Description
Sumber : ( Bieniawski, 1979) 3.2.1.Uji Laboratorium
Pengujian sifat fisik yang telah dilakukan pada tanggal 06 September 2017 di Laboratorium Mekanika Batuan dengan melakukan pengujian untuk beberapa III-8
parameter seperti berat asli, berat jenuh, berat tergantung dan berat kering. Berdasarkan hasil pengujian percontohan di Laboratorium Mekanika Batuan Jurusan Teknik Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Batu Gamping yang diambil di Desa Banyuroto, Dlingo 1 Kabupaten Kulon Progo mempunyai sifat fisik seperdi dalam Tabel 3.8 berikut : Tabel 3.3 : Hasil Uji Sifat Fisik Batu Gamping Sampel
A
B
Berat Asli (gr)
205,9
139
Berat Jenuh (gr)
207,4
173,8
73
48,5
Berat Kering (gr)
171,5
130,2
Bobot Isi Asli (gr/cm3)
1,53
1,11
Bobot Isi Kering (gr/cm3)
1,28
1,04
Bobot Isi Jenuh (gr/cm3)
1,54
1,39
Apparent Sg
1,28
1,04
True SG
1,74
1,59
Kadar Air Asli (%)
20,06
6,76
Kadar Air Jenuh (%)
20,93
33,49
Derajat Kejenuhan (%)
95,82
20,18
Porositas (%)
26,71
34,80
Void Ratio
0,36
0,53
Sifat Fisik
Berat Tergantung (gr)
III-9
Tabel 3.4 : Hasil analisis laboratorim Sampel
Hasil Uji Kuat Tekan (Mpa)
A
7.2154
Gambar 3.3 : Hasil analisis berdasarkan sistem RMR (Bieniawski, 1989)
III-10
Tabel 3.5 : Pembobotan RMR Total Keterangan
Nilai
Bobot
Kuat Tekan Batuan (MPa)
7,2154
2
RQD (%)
90.75%
20
Spasi Kekar
0,6 – 2,0 m
15
Kemenerusan
<1 m
6
Bukaan
0,1 - 1 mm
4
Kekasaran
Smooth
1
Isian
Hard Filling <5 mm
4
Pelapukan
Moderately Weathered
3
Laluan
Completely Dry
15
Total RMR
70
(Sumber : Bieniawski, 1989) Berdasarkan nilai RMR diatas, maka dapat ditentukan kelas dari batu batugamping tersebut. Kelas tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.6 dibawah ini : Tabel 3.6 : RMR Rock Class RMR (Rock Class)
No
1
100 – 81
80 – 61
60 – 41
40 – 21
< 20
2
Sangat Baik
Baik
Sedang
Jelek
Sangat Jelek
(Sumber : Bieniawski, 1989)
3.3. Kekuatan Massa Batuan
Kriteria
kegagalan
Hoek-Brown
merupakan
kriteria
empiris
yang
dikembangkan melalui percocokan kurva data uji triaksial. Titik dimulainya konsep untuk kriteria ini adalah teori Griffith, proses tersebut berasal dari salah satu percobaan trial and error .
III-11
3.3.1.Geological Strenght Index (GSI)
Geological Strenght Index (GSI) diperkenalkan Joek (1994), Hoek et al. (1995), Hoek & Brown (1997), Hoek et al. (1998) dan Marinos & Hoek (2001), dikembangkan sebagai alat bantu ketidakmampuan klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) system Bieniawski (1989) menentukan kualitas batuan berkondisi buruk. Misalkan mampu diterapkan dalam massa batuan berupa blok-blok, batuan heterogen seperti fish (Marino & Hoek, 2001), molash (Hoek et al, 2005), ophiolit (Marinos e al., 2006), dan schist (Hoek et al., 1998). Hoek (2004) dan Marinos et al. (2005) tetapi klasifikasi GSI tidak boleh diterapkan untuk batuan tanpa kekar, serta batuan yang didominasi orientasi struktur (highly anisotropic).
Tabel 3.7 : Hasil analisis berdasarkan metode GSI (Sonmez & Ulusay, 1999) Orientasi Lapangan
GSI
Rata-rata per regu
52
3.3.2. I ntact Rock Parameter (mi)
Intact rock parameter (mi) merupakan nilai konstan contoh batuan yang dinilai berdasarkan kelompok batuan. Kisaran nilai mi didapatkan untuk setiap material yang bergantung pada granularitas dan interlocking pada struktur kristal dalam batuan. Nilai mi yang lebih besar menggambarkan karakteristik batuan dengan kristal yang semakin interlocking dan lebih bersifat friksi. 3.3.3. Disturbance F acor ( D)
Faktor kerusakan ( Disturbance Factor , D) merupakan indikasi dari jumlah kerusakan batuan yang dapat terjadi pada saat dilakukan eksavasi atau peledakan. Nilai D = 0 mencerminkan batuan mengalami kerusakan yang sangat sedikit, sedangkan nilai D = 1 mencerminkan kondisi batuan yang mengalami kerusakan signifikan pada saat peledakan. Pengujian sifat mekanik yaitu uji kuat tekan uniaksial. Pengujian kuat tekan uniaksial dilakukan percobaan uji sampel dan pengujian kuat geser pada satu perconto batuan saja.
III-12
Gambar 3.4 : Grafik analisis kekuatan massa batuan untuk slope height 8 meter dengan software RocLab.
Berdasarkan analisis diatas dengan menggunakan software RockLab didapatkan sudut gesek dalam (ϕ) = 50,11° dan kohesi (c) = 0,0044 Mpa.
Gambar 3.5 : Grafik analisis kekuatan massa batuan untuk slope height 40 meter dengan software RockLab.
III-13
Berdasarkan analisi diatas dengan menggunakan software RockLab didapatkan sudut gesek dalam (ϕ) = 38,56° dan kohesi (c) = 0,099 Mpa.
3.3. Analisis Kestabilan Lereng
Metode kesetimbangan batas adalah metode yang digunakan dalam analisis kesetabilan lereng untuk longsoran tipe gelinciran. Perhitungan faktor keamanan (FK) menggunakan software slide dengan memasukan nilai bobot isi jenuh, kohesi dan sudut geser dalam yang meliputi hasil dari bench face angle, inter ramp angle dan overall slope sebagai berikut : Perhitungan Beban dengan tipe Truck yang digunakan Hino 260 JD, dengan diketahui : Berat total (berat alat angkut bermuatan)
: 33.500 kg
Permukaan roda yang menyentuh permukaan
: 0,25 m 2/roda
Jumlah roda
: 10
Beban yang diterima lereng =
=
×0,009807 × 33500 ×0,009807 0,25 ×10
= 131,413 kN/m 2 Geometri lereng single slope H (tinggi jenjang)
: 8 meter
Lebar jenjang
: 15 meter
Kemiringan lereng
: 790
Material Properties
:
Unit weight
: 0.0113 MN/m 3
Cohesion
: 0.044 Mpa
Sudut geser dalam
: 50o
III-14
Gambar 3.6 : Dimensi Jenjang Single Slope Pada Kondisi Kering Metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan Metode Janbu, dengan nilai Seismic Load 0.5 maka diperoleh nilai FK sebesar 1,292 pada kondisi kering. Maka dapat disimpulkan bahwa single slope ini aman (Arif, 2016) Geometri lereng untuk overall slope H (tinggi jenjang)
: 40 meter
Lebar jenjang
: 8 meter
Kemiringan lereng
: 410
Material Properties
:
Unit Weight
: 0,0113 MN/m 3
Cohesion
: 0,099 Mpa
Sudut geser dalam
: 38o
Gambar 3.7 : Dimensi Jenjang Overall Slope Pada Kondisi Jenuh
III-15
Metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan Metode Janbu, nilai Seismic Load 0.5 maka diperoleh nilai FK sebesar 1,113 pada kondisi jenuh. Maka dapat disimpulkan bahwa dimensi jenjang overall slope ini aman (Arif, 2016). Kesimpulan dari percobaan analisa dengan menggunakan software slide dapat disimpulkan untuk dimensi jenjang single dalam keadaan kering dan dimensi overall slope dengan keadaan jenuh dengan menggunakan Metode Janbu memiliki nilai FK yang aman (Arif, 2016). 3.4. Analaisis Potensi Jenis Longsoran
Bidang diskontinu perlu untuk dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui kinematiknya pada lereng atau batuan yang dilakukan pengamatan. Sehingga akan diketahui potensi longsoran apa yang mukin terjadi pada suatu lereng. Berikut ini adalah istilah-istilah yang sering dijumpai pada analisis potensi longsoran: 1. Strike (Jurus) merupakan arah garis horizontal yang dibentuk oleh perpotongan anatara bidang yang bersangkutan dengan bidang bantu horizontal, dimana besarnya jurus atau strike diukur dari arah utara. 2.
Dip (Kemiringan) merupakan besarnya sudut kemiringan terbesar yang dibentuk oleh bidang miring yang bersangkutan dengan bidang horizontal yang diukur tegak lurus terhadap jurus atau strike.
3. Apparent Dip (Kemiringan semu) merupakan sudut kemiringan suatu bidang yang bersangkutan dengan bidang horizontal dan pengukuran dengan arah tidak tegak lurus jurus. 4.
Dip Direction (Arah kemiringan) merupakan arah tegak lurus jurus yang sesuai dengan miringnya bidang yang bersangkutan dan diukur dari arah utaranya. Besarnya adalah arah strike ditambah 90ᵒ.
5.
Deklinasi Magnetik adalah sudut yang dibentuk antara arah utara magnetic
bumi terhadap arah utara geografis. 6.
Variability Cones (Kerucut variabilitas) area berbentuk lingkaran yang
tersedia pada software dips yang melingkupi pole plot dengan populasi tinggi,
III-16
yang mewakili beberapa penyimpangan atau standar deviasi dari ketidak pastian orientasi yang tergantung dari besar standar deviasi yang dipilih. 7.
Daylight E nvelope adalah area berbentuk lingkaran yang tersedia pada software dips yang berfungsi untuk memperkirakan daerah terjadinya longsoran menuju free face pada analisis longsoran bidang.
3.4.1
Jenis-jenis longsoran
Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan di tambang terbuka (Hoek and Bray, 1981) yaitu : 1. Longsoran Bidang ( plane failure) Longsoran
bidang
merupakan
suatu
longsoran
batuan
yang
terjadi
disepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa rekahan, sesar maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran jenis ini (Gambar di bawah) akan terjadi jika kondisi dibawah ini terpenuhi (Karyono, 2004) : a.
Jurus ( strike) bidang luncur mendekati 17actor17l terhadap jurus bidang permukaan lereng.
b.
Kemiringan bidang luncur harus lebih kecil daripada kemiringan bidang permukaan lereng.
c.
Kemiringan bidang luncur lebih besar daripada sudut geser dalam.
d.
Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah yang longsor.
Gambar 3.8 : Longsoran Bidang
III-17
2. Longsoran Baji (wedge failure) Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (gambar di bawah). Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal ( single sliding ) dan longsoran ganda (double sliding ). Untuk longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang. Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat sebagai berikut:
Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua bidang lemah.
Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
Gambar 3.9 : Longsoran Baji 3. Longsoran Guling (toppling failur e) Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan yang keras dimana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom (Gambar di bawah). Longsoran jenis ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan lereng. Longsoran ini pada blok fleksibel, terjadi jika : a.
β> 900 + f – α, dimana β = kemiringan bidang lemah, f = sudut geser dalam dan α = kemiringan lereng.
III-18
b.
Perbedaan maksimal jurus ( strike) dan kekar ( joint ) dengan sudut lereng ( slope) adalah 300.
Gambar 3.10 : Longsoran Guling 4. Longsoran Busur ( circular failure) Longsoran busur umumnya terjadi pada material yang bersifat lepas (loose material )
seperti
material
tanah.
Sesuai
dengan
namanya,
bidang
longsorannya berbentuk busur (Gambar di bawah). Batuan hancur yang terdapat pada suatu daerah penimbunan dengan dimensi besar akan cenderung longsor dalam bentuk busur lingkaran (Hoek and Bray, 1981). Pada longsoran busur yang terjadi pada daerah timbunan, biasanya 19 actor struktur geologi tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan lereng timbunan.Pada umumnya, kestabilan lereng timbunan bergantung pada karateristik material, dimensi lereng serta kondisi air tanah yang ada dan 19actor luar yang mempengaruhi kestabilan lereng pada lereng timbunan.
III-19
Gambar 3.15 : Longsoran Busur
Gambar 3.11 : Hasil Analisis Dengan Dips pada 410/ N 1390 E Berdasarkan dari hasil software dips diatas maka dapat dianalisis bahwa terjadi potensi longsoran baji karena arah bidang lereng searah dengan arah longsoran. Arah lereng berada antara E dan S, sedangkan arah longsoran berada antara arah E dan S, sehingga berpotensi longsoran baji.
III-20