TUGAS INDIVIDU AKHIR RESPONS PAPER Tiap-tiap Topik Perkuliahan Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK /2 SKS) GEOGRAFI PEMBANGUNAN Oleh: Aprizon Putra Nim: 89059/07 Dosen: Dra.Hj.Kamila Latif, MS Ahyuni, ST, M.Si JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2008 Mendeskripsikan Konsep-konsep dasar Geografi dan Pembangunan Topik I .Geografi dan Pembangunan I. Konsep Geografi Geografi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai ilmu, masih belum dikenal luas di masyarakat Indonesia, meskipun hakekatnya tiap orang telah memiliki pengetahuan tersebut. Berdasarkan konsep yang ditemukan diatas, jelas bahwa geografi tidak hanya terbatas sebagai suatu deskripsi tentang bumi atau permukaan bumi, melainkan meliputi analisa hubungan antara aspek/faktor fisis dengan pola serta hakekat umat manusia. Dengan demikian, pada studi Geografi, perhatian dan analisa tidak hanya ditujukan kepada alam lingkungan, melainkan juga berkenaan dengan umat manusia serta hubungan diantara keduanya. Disini pun juga ditegaskan bahwa geografi merupakan bidang ilmu yang mencoba menemukan, mendiskripsikan dan menafsirkan karakter variable dari tempat ketempat lainnya dibumi sebagai dunia kehidupan manusia. Pada pengertian yang terakhir karakter geografi itu lebih ditekankan, yaitu berkenaan yaitu dengan tempat dibumi, tidak ada bidang ilmu yang lain yang menonjolkan aspek tempat atau aspek ruang, kecuali geografi. Ciri khas studi geografi yang berbeda dengan studi lain yaitu berkenaan dengan tempat ini. Hal lain yang perlu dikemukakan dan perlu pula diketahui bersamaan bahwa yang menjadi objek studi geografi, bukan hanya alam fisik yang menjadi tempat dan sumber daya bagi kehidupan manusia, melainkan juga manusia dengan segala dan perubahan perilakunnya, dan bahkan
interalisasi keduanya, menjadi objek studi yang juga memberikan karakter kepada ilmu geografi. Dipihak lain juga studi geografi yang mengkhususkan diri mempelajari alam lingkungan (physical geography), tidak saja mempelajari alam (udara, air, batuan, gejala gempa dan lain sebagainya) hanya untuk mengetahui gejala alam tersebut, melainkan untuk mengungkap “pentingnya” alam bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu ciri khas dari geogarfi dan studi geografi. II. Nilai Geografi Sebagai suatu bidang pengetahuan dan ilmu, geografi memiliki nilai teoritis dan nilai praktis. Geogarfi sebagai ilmu penelitian (geography as a research discipline), tidak hanya bernilai teoritis bagi kepentingan pngembangan diri sebagai suatu ilmu, melainkan dapat dimanfaatkan secara praktis bagi perencanaan dan pembangunan daerah (Regional). Geografi sebagai bidang inkuiri seperti yang telah dikemukakan terdahulu, tidak hanya merangsang untuk berfikir bagi siapa yang melakukannya, melainkan lebih jauh dari pada itu dapat mempertajam penghayatan terhadap apa yang ada dan terjadi dipermukaan bumi ini. Dengan perkataan lain, geografi memiliki nilai edukatif bagi siapa yang mempelajarinya, dalam arti dapat meningkatkan kognisi, afeksi dan psikomotod yang mempelajarinya, lebih dari pada itu, dengan mempelajari geogarfi kita dapat menghayati keberadaan diri kita dialam raya, keberadaan bumi dialam raya, fungsi dan peranan kita terhadap lingkungan ada nilai yang menghubungkanya atau dengan perkataan lain, geogarfi itu memiliki nilai filsafat. Pada akhirnya sesuai dengan penghayatan dan kesadaran yang tinggi dalam mempelajari ilmu geografi , kita menjadi bertambah dekat dengan alam lingkungan, dengan alam raya dan merasa dekat dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. III. Pembangunan Berpijak Kepada Ruang dipermukaan Bumi Pembangunan, baik yang berkenaan dengan aspek fisik maupun non fisik, tidak dapat dilepaskan dari permukaan bumi sebagai ruang tempat pembangunan itu berlangsung. Oleh karena itu, perancangan, perencanaan, telaah kelayakan danpelaksanaan pembangunan, berarti merancang, merencanakan, menelaah kelayakan dan melaksanakan pembangunan
ruang dipermukaan bumi, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia sesuai dengan nilai geografi seperti yang telah dikemukakan diatas. Pembangunan non fisik seperti pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya dan lain-lainnya, memerlukan sarana dan prasarana. sarana dan prasarana tadi memerlukan lahan yang diambil dari permukaan bumi. Oleh karena itu, pembangunan tidak dapat dilepaskan dari ruang yang berada di permukaa bumi. Pembangunan fisik seperti jalan, jembatan,lapangan terbang, pelabuhan, gedung dan lain-lainnya. Jelas sekali berpijak pada ruang yang ada di permukaan bumi. Prasarana dan sarana fisik tadi mengambil lahan dipermukaan bumi. Untuk membangun prasarana dan sarana, memerlukan bahan yang digali dari permukaan bumi ini. IV. Sumbangan Geografi terhadap Pembangunan Geografi sebagai ilmu penelitian, dapat mengembangkan teori, konsep, asas dan generalisasinya bagi pengembangan dirinya sendiri, disini ia bergerak dalam bidang teori. Peranan yang sama yaitu sebagai ilmu penelitian (geography as research discipline), dimanfaatkan juga dalam menyusun rancangan, perencanaan pembangunan wilayah yang bersangkutan. Salah satu peranan yang lain yang dimiliki oleh geografi yaitu “geografi sebagai ilmu tata guna lahan” (Geography as the science of landuse). Disini jelas sekali ia bergerak dalam bidang praktis, melalui peranannya sebagai ilmu tata guna lahan, geografi dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization), dalam hal ini geografi membantu planologi dalam analisis faktor-faktor geografi dalam melakukan tata guna lahan dan tata guna ruang di permukaan bumi. Untuk menata ruang dipermukaan bumi berapa persen untuk permukimam, berapa persen untuk industri, berapa persen untuk industri dan lain sebagainya. Perlu data geografi yang menunjang tata guna lahan. Oleh karena itu, geografi tidak hanya menunjang secara pasif terhadap pembangunan, melain kan berperan aktif memberikan data dan informasi tentang aspek-aspek atau faktor-faktor geografi yang menjadi landasan pembangunan. 6 Topik II .Pertumbuhan dan Pembangunan I. Evolusi Makna Pembangunan
Setiap Orang berbicara tentang “Pembangunan”. Mungkin pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya yang sebenarnya disebut dengan pembangunan? Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri evolusi makna pembangunan sejak ekonomi pembangunan lahir, yakni setelah perang Dunia kedua. II. Pandangan Tradisional Pada mulanya upaya pembangunan Negara sedang berkembang (NSB) Diidentifikasikan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau populer disebut dengan startegi pertumbuhan ekonomi. Dengan ditingkatkan pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianngap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.Tradisi pemikiran utama (mainstream) Eropa diterjemahkan lebih lanjut oleh: model general, strategi kapitalis Negara (State capitalist strategy). Model soviet, dan nesiesme. Model liberal mandasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme dasar, Industrialisasi yang bertahap, dan perkembangan teknologi. Strategi kapitalis Negara merupakan reaksi terhadap paradigma modernisasi. Model soviet pada Negara merupakan perkembangan lebih lanjut dari strategi kapitalis Negara, yang dampaknya diilhami oleh kisah sukses soviet dalam program industrialisasinya. Aliran ynesian merupakan manifestari dari kapitalisme yang telah mencapai tahap dewasa, yang intinya menghendaki campur tangan pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Pentingnya Investment in man, yang menekankan peranan faktor pendidikan dan kebudayaan, merupakan tahap pertama menuju konsep pembangunan yang semakin tidak murni ekonomi lagi. 7 III. Paradigma baru dalam pembangunan Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui Negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka. Memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-
masalah seperti pengangguran, kemiskinan dipedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidak seimbangan struktur (sjahrir 1986.Bab 1)Fakta ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan , pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produktifitas barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan (marada .1966), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan keatas dan seluruh system social. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Kondisi ini dilandasi argument adanya dimensi kualitatif yamg jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi. Selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dengan upaya meniadakan, setidaknya mengurangi, kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Tidak berlebihan apabila banyak yang memandang bahwa defenisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Dengan cepat dimensi baru mengenai pembangunan mendapat sambutan dari penganjur strategi yang berorientasi kesempatan kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan kebutuhan pokok. Obsesi nampaknya didorong oleh keprihatinannya melihat kenyataan pembangunan diNSB. Timbul kesan bahwa ia “tidak sabar” melihat implementasi strategi anti kemiskinan, orientasi pada kesempatan kerja, dan pemerataan pembangunan, yang sering hanya berhenti sebagai retorika politik pada penguasa diNSB semata. Ini pula ajaknya yang mendorong munculnya konsep dan strategi pembangunan yang baru. Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri, Pembangunan berkelanjutan demgan perhatian terhadap alam (ecodevelopment). Pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Barangkali menarik untuk menjadikan ide dasar masimg-masing paradigma tersebut,
a) Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi Pada proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi“, atau “retribusi pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) dan juga mempertimbangan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. Inii bisa diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan investasi modal manusia, perhatian kepada petani kecil, sector informal dan pengusaha ekonomi lemah. Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada setiap daya manusia, atau ada yang menyebut sebagai orientasi populisme pembangunan. b) Strategi kebutuhan pokok Strategi pemenuhan kebutuhan kebutuhan pokok telah mencoba memasukan semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapatkan masukan dari setiap program pembangunan. c) Strategi Pembangunan mandiri Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda pada dekade 1970-an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma depensiasi dan tidak bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania dibawah dibawah Julius Nyerere, dan Cina dibawah mao Zedong. d) Strategi Pembangunan berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasawarsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila system biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Pada pendukung utama Pembangunan berkelanjutan lalu menuju pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem disuatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih
tinggi,namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjutan, baik sisi ekologi maupun Sosial. V. Paradigma Pembangunan : Utopis ataupun Normatif? Demikian banyak makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman diberbagai Negara dan studi empiris yang mereka lakukan. Sejarah pemikir mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makana pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuha pokok (basic needs), pembangunan mandiri (selfreliant development), pembangunan berkelanjutan denga perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang mempertimbangkan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antre beberapa paradigama lain, seperti: wanita dalam pembangunan regional/spasial, dan pembangunan masyarakat. Kendati demikian banyak yang memandang berbagai paradigma baru tentang. Pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks actual, namun lebih membahas apa yang harus dilakukan. 10 Topik III .Indikator Pertumbuhan dan Pembangunan Pembangunan selalu menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan indicator sbagai tolak ukur terjadinya pembangunan, kali ini kita akan menguraikan mengenai indikator-indikator ekonomi maupun sosial yang dikemas dalam ekonomi pembangunan. A. Perlunya Indikator Pembangunan Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya , paradigama tradisional mengenai pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Dewasa ini, defenisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah:
Suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu Negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah pendudukan dibawah “garis kemiskinan absolute” tidak meningkat da distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier,1995: h.7.) Yang dimaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuatan tertera yang sqaling berkaitan dan mempengaruhi, Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam:
perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau jasa Perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri Penekanan pada kenaikan pendapatan perkapita (GNP riil dibagi jumlah penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahwa perhatian pembangunan baiu Negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Pendapatan nasional riil (atau GNP pada harga konstan) yang meningkat sering kali tidak diikuti dengan perbaikan kualitas hidup. Bila pertumbuhan pendudukan melebihi atau sama dengan pertumbuhan pendapatan nasional maka pendapatan perkapita bisa menurun atau tidak berubah, dan jelas ini tidak dapat disebut ada pembangunan ekonomi. Kurun waktu yang panjang menyiratka bahwa pendapatan perkapita perlu berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Rencana pembangunan lima tahun baru merupakan awal dari proses pembangunan. Tugas yang paling berat adalah menjaga sustainabilitas pembangunan dalam jangka yang lebih panjang. Pembangunan bukan 11 merupakan tujuan melainkan hanya alat sebagai proses instrument untuk menurunkan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan. B. Indikator Ekonomi Klasifikasi Negara Untuk tujuan operasional dan analitikal, Kriteria utama Bank Dunia dan mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu Negara adalah GNP (gross national Product, atau Produk nasional Bruto) perkapita. GNP perkapita adalah dibuat dengan jumlah penduduk.
Negara berpenghasilan rendah dan menengah kadang-kadang disebut Negara sedang berkembang (Developing Countries). Jelas ini sekedar untuk memudahkan klasifikasi dan tidak ada maksud untuk menggeneralisasi bahwa semua Negara adalah sekelompok ini yang mengalami tahapan pembangunan yang sama. Klasifikasi menurut penghasilan tidak selalu mencerminkan status pembangunan (IBRD, 1993). Namun pada umumnya, Negara sedang berkembang (NSB)memliki karasteristik yang relatif sama Yaitu: 1. Tingkat kehidupannya rendah, dengan ciri penghasilan rendah ketimpang distribusi pendapatan tinggi, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan. 2. Tingkat Produktivitas relatif rendah. 3. Pertumbuhan penduduk dan beban ketergantunganya tinggi. 4. Tingkat pengangguran dan setengah penganggurannya tinggi dan cenderung meningkat 5. Ketergantungan terhadap produksi pertanian da ekspor produk primer demikian segnifikan. 6. Dominan, tergantung, dan rentan dalam Hubungan Internasional (Todaro, 1994:h.38-54 12 C. Indikator Sosial Indikator Sosial sebagai Alternatif Indikator Pembangunan GNP Per kapita sebagai ukuran tingkat kesejahteraan mempunyai beberapa kelemahan, kelemahan umum yang sering dikemukakan adalah tidak memasukan produksi yang tidak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsistem, jasa, rumah tangga, transaksi barang bekas, kerusakan lingkungan dan masalah distribusi pendapatan. Akibatnya bermunculan upaya untuk memperbaiki maupun menciptakan indikator lain sebagai pelengkap ataupun alternatif dari indikator kemakmuran dan tradisional. Indikator-indikator yang dipilih atas dasar tingginya korelasi dalam membentuk indeks pembangunan dengan mengunakan “bobot timbangan” yang berasall dari tingkat korelasi. Indeks pembangunan tersebut ternyata mempunyai korelasi yang lebih erat dengan indikator sosial dan ekonomi dibandingkan korelasi GNP perkapita dengan indikator yang sama tentunya ranking berbagai Negara dengan indeks pembangunan ini berbeda dengan ranking berbagai Negara dengan indeks pembangunan ini berbeda dengan rangking dengan menggunakan ukuran GNP perkapita. Ditemukan juga bahwa indeks pembangunan ini
mempunyai korelasi yang lebih erat dengan NSB. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial berlangsung lebih cepat dibandingkan pembangunan ekonomi sampai tingkat S$ 500 perkapita. 13 Mendeskripsikan teori-teori Pembangunan dan pendekatan Geogarfi yang terkait erat dengan Pembangunan. Topik IV.Teori Pembangunan dan Modernisasi Ada suatu masa pada abad yang lalu dimana teori pembahagian kerja secara internasional merupakan teori yang dianut. Para ahli ekonomi, termasuk mereka yang punya posisi penting dalam menentukan kebijakan perdagangan luar negeri sebuah Negara, mengikuti teori ini. Teori-teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa setiap Negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan kompararif yang dimilikunya. Negara-negara dikatulistiwa yang tananya subuh, misalnya, lebih baik melakukan spesialisasi dibidang produksi pertanian. Sedangkan Negara-negara dibahagian bumi sebelah utara, yang iklimnya tidak cocok untuk usaha pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi dibidang industri. Mereka harus mengembangkan teknologi, untuk menciptakan keunggulan komparatif begi negerimya. Ada banyak variasi dari teori-teori yang tergabung dalam kelompok Teori Modernisasi. Yang diuraikan secara singkat diatas hanya sebahagian kecil dari ketipan pembuka yang di anggap mewakili beberapa pemikiran aliran dari teori modernisasi. Aliranaliran yang ada antara lain:
Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi. Teori jenis ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Dalam buku ini, teori ini diwakilkan kepada teori Harrod-Domar.
Teori modernisasi yang menekankan aspek-aspek psikologi individu, Teori McClelland dengan konsep n-Achnya dapat dianggap mewakili aliran ini.
Teori yang menekankan nilai-nilai budaya. Teori weber tentang peran agama dalam pembentukan kipitalisme merupakan sumber dari dari aliran sumber ini. Nilai-nilai masyarakat, antara lain dari yang melalui agama, mempunyai peran yang menentukan dalam melakukan tingkah laku individu. Kalau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan kepada sifat yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, proses pembangunan dalam masyarakat dapat terlaksana. 14
Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik Yang mendukung proses pembangunan, sebelum lepas landas dimulai. Teori Rostow (yang lebih menekankan pada proses lepas landas) dan hoselitz (yang membicarakan lembaga-lembaga yang yang diperlukan sebelum lepas landas) merupakan contoh dari teori ini. Berbeda dengan weber yang menekankan nilai-nilai, Hoselitz menekankan lembaga-lembaga yang kongkreat. Lembaga-lembaga politik dan social ini diperlukan untukmenghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga wiraswasta dan teknologi.
Teori yang menekankan lingkungan material, dalam hal ini lingkungan pekerjaan, sebagai salah satu cara terbaik untuk menentukan manusia moderen yang biasa membangun. Inkeles da smith berbicara tentang persoalan ini. Berbeda dengan McClelland yang menekankan pendidikan dalam arti “manipulasi” mental yamg dipakai sebagai instrument mengubah, tetapi pengalaman kerja yang dialami secara nyata oleh siburuh yang mengubah sikap dan tingkah lakunya. Tetapi memang inkeles dan smith juga menyatakan bahwa pendidikan adalah cara yang paling efektif untuk membentuk manusia moderen. Perbedaan yang ada pada macam-macam teori ini hanya merupakan perbedaan penekanan aspek yang dianggap penting, baik dalam menciptakan manusia yang akan membangun, maupun dalam mempersiapkan sarana material untuk pembangunan itu sendiri. Tetapi, inti dari teori-teori ini adalah sama. Dengan demikian, yang menjadi ciri utama dari teori Modernisasi adalah: I.
Teori ini didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut dan yang tradisional. Ynag moderen merupakan symbol dari Kemajuan, Pemikiran yang rasional, cara kerja yang efisien, dan seterusnya Sebaliknya yang tradisional. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berfikir yang irasional serta cara kerja yang tidak efisien. Ini merupakan cirri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian di Negaranegara miskin. 15 II. Teori Modernisasi juga berdasarkan pada faktor-faktor Non-materi sebagai penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Faktor-faktor ini menjaelma dalam dalam psikologi individu, atau nilai-nilai masyarakat yang menjadi orientasi penduduk dalam memberikan arah kepada tingkah lakunya.Seperti misalnya teori Hoselitz (yang menekannkan pembentukan lembaga-lembaga yang menunjang proses modernisasi) atau inkeles dan smith (yang menekankan lingkungan kerja sebagai cara untuk menciptakan manusia moderen 16 Topik V.Teori Pertumbuhan yang terkait dengan Ruang dan wilayah I. Variasi Keruangan dalam pembangunan Tipe teori pembangunan ini (coere-Periphery), seperti halnya dualisme dan “dual sector model” mencoba memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan pembangunan (development), tetapi dengan tekanan dari segi keruangan. Jadi kosep ini sesuai dengan ide geogarfi yang juga meliha sesuatu dalam segi keruangannya. Sedang dualisme dan “dual sector model” menekankan perbedaan didalam masyarakat dan didalam ekonomi. Perbedaan diantara daerah pusat © dan daerah pinggiran (P) dan dijumpai dalam beberapa skala : didalam ‟Region‟. Antara Regions dan antara Negara (eg. Pelabuhan dan daerah pendukungnya: kota dan desa: Negara maju dan Negara sedang berkembang. “Pelarization of growth” ini menimbulkan “backwash-effects” atau akibat-akibat yang menghambat pertumbuhan wilayah-wilayah lain dari mana tenaga- tenaga trampil, modal dan barang-barang perdagangan ditarik disitu.
Apabila “Spread effects” dari C ke P ini lebih besar/kuat, maka “backwash- effects” dapat diatasi. Dalam hal ini Myrdal berpendapat pesimis karena selama masih ada campur tangan bebas dari kekuatan pasar. Maka pertumbuhan daerah pinggiran (P) sukar diharapkan selama itu “backwash-effects” akan selalu lebih besar dari dibandingkan dengan “Spread effects”, jadi untuk memperbesar “Spread effects” Myrdal mengemukakan perlunya campur tangan pemerintah misalnya pengendalian imigrasi. Pencegahan modal luar, pembangunan „Pheriphery‟. Program pembangunan perdesaan. Teori Myrdal menerangkan hubungan antara C-P dalam arti polarisasi pertumbuhan ekonomi , da juga menerangkan pentingnya campur tangan pemerintah dalam pembangunan.. Perbedaanya adalah bahwa pandangannya lebih Optimistis dibandingkan dengan pandangan Myrdal. Hirshman mengemukakan bahwa penanaman modal yang banyak di „core- regions‟ akan mempercepat pertumbuhan di C dan efek polarisasi pembangunan akan diganti oleh „trickling down-effects‟ pembangunan.‟Trickling down‟ ini disebabkan oleh stimulasi/perubahan yang kumulatif didaerah pusat („core-regions) dengan penanaman modal yang intensif. Jadi „tricklingdown effects‟ sama dengan „spread effects‟. Seperti dikemukakan didepan bahwa ide Hirschman lebih optimistis karena keyakinanya bahwa 17 perbedaan keruangan pembangunan merupakan hal yang sementara sifatnya serta bahwa intervensi pemerintah akan menpercepat menghilangkan ketimpanagan keruangan ini. FRIEDMANNsebagai ahli perencana menggunakan konsep „core-periphery‟ untuk membuat tipologi suatu wilayah. Menurut dia wilayah dapat dibedakan menjadi: 1.„Core-Regions‟ Sebagai ekonomi metropolitan yang berpusat . ini identik dengan kapitalis modrean. Sebagai contoh „core-regions‟ ini adalah wilayah perkotaan Jakarta. Indonesia tetapi „core-regions‟ dapat pula dengan skala Internasiona. 2.Wilayah Transisi yang berkembang (Upward-transision regions) Yaitu wilayah dekat dengan pusat dan sesuai untuk pengembangan sumber- sumber (misalnya antara daerah perkotaan Jakarta dengan daerah perkotaan Dibandung).
3.Wilayah yang berdekatan dengan sumber-sumber („resource regions‟) Daerah permukiman baru (Misalnya daerah-daerah tranmigrasi disumatera, kalimatan dan lain-lainnya). 4.Wilayah transisi yang mundur („downward-transisions regions) Wilayah ini terdapat didalam Negara (misalnya daerah-daerah yang mengalami “backwash-effects‟) da diluar negeri pada skala dunia (Misalnya sub- saharan countries). Menurut Friedmann perbedaan pembangunan keruangan dihubungkan dengan stadia Kota didalam evolusi keruangan, ditandai oleh tingkat urbanisasinya. 1. Fase Sebelum Industri Ditandai dengan banyak pusat kota kecil yang bebas dan ekonominya belum maju (stagnant), tanpa perbedaan (didalam pembangunan) keruangan yang bebas (misalnya diEropa pada abad pertengahan). 2. Fase Industrialisasi belum mulai Ditandai dengan „primate city‟ yang dominan dan perbedaan yang besar dalam membangunan keruangan antara C dan P (Misanya Indonesia sekarang). 18 3. Fase Tansisi Ditandai dengan industrialisasi yang makin meluas di pusat-pusat. Pertumbuhan (growth centres), tetapi juga dengan perbedaan yang terus menerus didalam pembangunan keruangan 4. Fase Terakhir dengan organisasi keruangan yan sempurna Kota-kota yang system secara fungsional saling tergantung. Seluruh ruang nasional terintegrasi sedemikia rupa sehingga tidak ada lagi „periperhy‟ yang tebelakang sdan belum berkembang. II. Kutub-kutub Pertumbuhan da Pusat-pusat Pertumbuhan Konsep kutub pertumbuhan (growth centre) diformulasikan oleh PERROUX, seorang ahli ekonomi bangsa perancis pada tahun 1950. Kutub pertumbuhan adalah pusat-pusat dalam arti kerurangan yang abstrak, sebagai tempat kekuatan-kekuatan sentrifugal memancar dan kekuatan-kekuatan sentripental tertarik kesitu. Dikatakan keruangan yang abstrak karena memang tidak merupakan lokasin yang konkrit dalam arti keruangan Geografis.
Konsep pertumbuhan yang dikemukanan oleh BOUDEVILLE, seorang ahli ekonomi perancis ia menggunakan konsep (kutub pertumbuhan) yang sudah ada dijadikan konsep keruangan geografis yang konkrit. Pusat pertumbuhan adalah sekumpulan (geografis) semua kegiatan. Pusat pertumbuhan adalah kota-kota atau wilayah perkotaan yang memiliki suatu industri yang „propulsive, yang kompleks. 19 Topik VI.Konsep Wilayah dan lokasi Konsep Wilayah (Region) Ilmu Geografi regional muncul sebagai kritik dari beberapa Geogarf Sosial yang tidak puas akan analisis ilmu Geografi tradisional yang mengabaikan penggunaan konsep space (ruang). Menurut Budiharsono (2001: 13) analisis ilmu Geogarfi berada pada alam tanpa ruang (spaceless world). Ilmu Geogarfi regional tampil dengan memberikan tekanan analisisnya pada penerapan konsep space (ruang) dalam menganalisis masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial Geografi dan sosial ekonomi. Unsur-unsur ruang yang terpenting adalah jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran (skala). Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (region). Untuk menerapkan unsur ruang (space) tersebut, ilmu Geografi regional menggunakan konsep wilayah (region) yang dapat diformulasikan sesuai dengan kebutuhan analisis. Menurut Glasson (1977) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah yaitu cara pandang subjektif dan cara pandang objektif. Glasson (1977) membedakan wilayah berdasarkan kondisinya atau berdasarkan fungsinya. Menurut Haggett (1977) ada 3 jenis wilayah, yaitu wilayah homogen (homogenous regions), wilayah nodal (nodal regions) dan wilayah perencanaan (planning or program regions). Budiharsono (2001: 14) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah juga dapat diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau fungsional (Adisasmita, 2005: 86). Dalam analisis Geografi regional beberapa konsep wilayah (region) yang lazim digunakan, yaitu
(1) Wilayah Homogen (Homogeneous Region); (2) Wilayah Nodal (Nodal/Polarized Region); (3) Wilayah Administratif; (4) Wilayah Perencanaan (Planning Region). 20 Friedmann dan Alonso (1964) membuat 4 (empat) klasifikasi wilayah pembangunan, yaitu a) metropolitan regions; b) development axes; c) frontier regions; d) depressed regions. (Adisasmita, 2005: 93) Lokasidapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007) 21 Topik VII.Teori Konektivitas dan Model Gravitasi Teori Konektivitas dan model gravitasi dalam pengembangan Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal. suatu wilayah Dasar pemikiran teori pengembangan wilayah adalah setiap kegiatan pasti terjadi dan mempunyai efek dalam sebuah ruang dan bukan dalam suatu titik yang statis (Budiono, 1994). Misal sebidang tanah yang diusahakan untuk lahan maka kegiatan produksi padi tidak terbatas pada lahan itus aja tetapi berdasarkan pemikiran bahwa tata ruang kegiatan produksi padi berkaitan engan jarak tempat tinggal petani dengan lahan, jarak petani mendapatkan bibit dan obatobatan, jarak petani menjual hasil produknya dan jarak dengan tempat dimanan petanai
tersebut membelanjakan pendapatannya. Dengan demikian dalam pendekatan tata ruang pembangunan yang terjadi di suatu daerah akan mempengaruhi daerah lain demikian pula sebaliknya. Dalam pendekatan tata ruang ini digunakan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan daerah perkotaan dengan pedesaan. Hubungan atau kontak yang terjadi antara daerah perkotaan dengan pedesaan berserta hasil hubungannya disebut interaksi (Bintarto, 1991). Interaksi antara desa-kota merupakan suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya maupun proses politik yang terjadi karena berbagai faktor dan unsur yang ada dalam kota, dalam desa, dan diantara kota dan desa (hubungan timbal balik antara desa dan kota). Kota tidak dapat tumbuh untuk `dirinya` sendiri tetapi juga tumbuh untuk desa-desa di sekitarnya. Dalam pandangan ekonomi regional, pembangunan perkotaan tanpa mengakaitkannya dengan pembangunan pedesaan adalah tidak mungkin terjadi demikian pula sebaliknya. Pembangunan desa-kota (pembangunan regional) dalam perencanaannya. 22 Menggunakan konsep region (wilayah). Cara yang paling banyak dikenal dalam mendefinisikan suatu regiaon adalah : (Syafrizal, 1993) 1. Wilayah yang homogin. Adalah sebuah daerah yang memiliki sifat-sifat yang sama yaitu perbedaan-perbedaan yang terdapat pada sebuah region dipandang tidak penting. Misal : region aliran sungai, region lahan kritis dan sebagainya. 2. Wilayah yang memusat (polarized region). Adalah sebuah wilayah yang didasari oleh adanya aliran barang secara internal, kontak dan saling tergantungnya daerah-daerah tertentu dengan suatu pusat kegiatan yang dominan (biasanya pusat kota). 3. Wilayah perencanaan (planning region). Adalah wilayah yang keseragamannya didasari oleh kesamaan daerah administratif atau politis. Karena ketersediaan sarana administratifnya maka wilayah ini digunakan sebagai wilayah perencanaan pembangunan. Pemikiran konsep region diatas dalam hubungannya dengan ukuran region dan interaksi di dalammnya terakait denganm teori lokasi. Teori lokasi yang pertama dikenal dengan tempat sentral yang mengemukakan bahwa pusat kota ada karena berbagai jasa penting yang disediakan oleh lingkungan sekitarnya. Secara ideal kota merupakan pusat
daerah yang produktif dengan demikian disebut tempat sentral (Sukanto dan Karseno, 1997). Teori lokasi kedua adalahgrowth poles (teori pertumbuhan). Teori ini menyatakan bahwa kumpulan industri cenderung memilih lokasi yang memusat di kota-kota besar (aglomerasi ekonomi) dan didukung oleh sebuah daerah belakang (hinterland) yang kuat. (Alfonso, 1999). Pendekatan dengan teori pusat pertumbuhan menekankan pentingnya pusat-pusat wilayah utama untuk pertumbuhan dengan maksud agar pertumbuhannya dapat menimbulkan efek pertumbuhan bagi daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya pendekatan ini dapat digunakan untuk mengkaji hubunngan timbal balik desa- kota. Dengan mengembangkan kota diharapkan agar perkembangan ini dapat menetes ke desa-desa melalui arus barang, bahan pangan, urbanisasi dan bahkan modal. Menurut Myrdal (1999) potensi sumber daya yang dimiliki antara daerah satu dengan daerah lainnya tidak merata oleh karena itu pertumbuhannyapun berbeda. Untuk dapat tumbuh secara cepat, suatu negara perlu meilih satu atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang emiliki potensi paling kuat. Apabila region ini kuat maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region lemah. Pertumbuhan ini berdampak positip (trickle down effect) yaitu adanya pertumbuhan di region yang kuat akan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah atau mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk region yang kuat. Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka pusat kota dianggap sebagai tempat sentral bagi pertumbuhan inti di daerah dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi secar keseluruhan . dengan demikian terjadi interdependensi antara pusat-pusat kota dengan daerah-daerah sekitarnya… 24 Topik VIII.Teori Lokasi Teori lokasi Teori lokasidapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
Von Thunen (1826)mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota. Weber (1909)menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk 25 menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane). Teori Christaller (1933)menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat
berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold. Teori Lokasi dariAugust Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. D.M. Smithmemperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan ratarata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal. McGrone (1969)berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan 26 Menurut Isard (1956),masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda- beda. Isard (1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan lokasi. Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminimumkan risiko. Dalam hal ini, baik kenyamanan (amenity) maupun keuntungan
aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi yang penting, yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi bagaimanapun juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya. Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu implikasi dari pengembangan daerah yang menghendaki suatu rencana tata ruang yang tersendiri yang tidak lagi menjadi bagian dari rencana atau penataan ruang yang sudah ada. Berdasarkan latar belakang tersebut, prinsip perencanaan tata ruangnya adalah dalam rangka pengembangan wilayah. Karena itu haruslah diperhatikan aspek-aspek yang mendasari pengembangan wilayah (regional development) seperti sumber daya manusia (human resources), sumber daya alam (natural resources), serta dukungan pranata sistem (institutional infrastructure). Salah satu isu yang patut dipertimbangkan adalah implikasi demokratisasi, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam penentuan keputusan-keputusan publik. Hal ini merupakan inti dari reformasi yang kita cita-citakan yaitu timbulnya masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang egaliter berdasarkan kesetaraan. Dengan demikian, masyarakat harus diberikan peranan yang cukup besar dalam penentuan “nasib”nya. Dalam kaitan tersebut, pendekatan perencanaan yang sentralistik dantopdownharus segera direvisi menjadi pendekatan perencanaan yang lebih mengedepankan demandmasyarakat yang disebut sebagaicommunity driven planning. Isu yang paling aktual untuk saat ini adalah bagaimana upaya untuk mencapai kondisi di mana masyarakat sendirilah yang mendesain rencana yang diinginkan dan pemerintah adalah fasilitatornya. Hal ini sangat penting dalam penataan ruang suatu wilayah atau perkotaan. Isu lain yang hendak dibahas adalah terkait dengan akselerasi pembangunan di Kabupaten Lamongan. Sebagai salah satu daerah yang berkembang, Kabupaten Lamongan, hendaknya mengambil momen yang sangat baik ini untuk meraih dukungan bagi pengembangan wilayahnya. Dalam kaitan tersebut, potensi yang sudah ada hendaknya didayagunakan dan didorong secepatnya. Dilihat dari letak geografisnya, Kabupaten Lamongan memiliki letak yang sangat strategis yaitu memiliki jangkauan yang tidak jauh dari Surabaya sebagai ibukota Propinsi Jawa Timur dan dalam kedepannya nanti akan berada di antara dua kluster industri Surabaya-Gresik-Sidoarjo-Pasuruan-Mojokerto dan Bojonegoro- Tuban Dari segi
infrastruktur wilayah, walaupun beberapa pihak mengatakan belum memadai, telah terdapat jaringan jalan yang melintasi seluruh kawasan sampai dengan perbatasan antara Kabupaten Lamongan dengan kota-kota lain disekitarnya. Letak Lamongan yang berada di jalur transportasi jalur utara Pulau Jawa juga tidak bisa dipisahkan disini. Hal ini merupakan keuntungan lokasional dimana luapan (spill over) dari dua kluster industri yang mengapit Kabupaten Lamongan dapat merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan. Salah satu konsekuensi negatif da ri diberlakukannya otonomi daerah kondisi antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya daerah yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa berupaya untuk ber-sinergi dalam pelaksanaan pembangunan dengan daerah lainnya, demi sekedar mengejar target dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Kondisi tersebut akan menimbulkan persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah yang lebih luas dan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Prasarana yang bersifat tunggal dan melayani wilayah sekitarnya (prasarana wilayah) sangatlah tidak efisien apabila harus dibangun pada setiap daerah. Karena itu haruslah dicari suatu sinergi yang baik dalam mengupayakan ketersediaan prasarana sejenis yang secara hirarki fungsional dia dapat melayani kebutuhan kebutuhan yang tidak hanya menguntungkan pembangunan daerah tetapi juga wilayah dan nasional. Sebagai contoh, prasarana jalan secara sistem berhirarki mulai dari jalan arteri, kolektor, dan lokal yang secara keseluruhan mendukung kelancaran sistem aktivitas dan produksi baik dari asal bahan baku maupun menuju outlet-nya. Begitu pula dengan sistem kota-kota yang terdiri dari fungsi pelayanan kegiatan nasional, wilayah, maupun lokal. Kota- kota tersebut secara hirarki fungsional melayani penduduk kotanya maupun wilayah sekitarny 28
Mengevaluasi isu-isu sentral pembangunan dan Pengaruhnya terhadap kehidupan. Topik IX.Dualisme A. Pengertian Dualisme Dualismeadalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak jaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelaspikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasmeemergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialismenonemergent. B. Contoh Perkembangan Kondisi Dualisme sampai saat ini di Indonesia Permusuhan dan Persahabatan (Budaya Politik Minang Kabau) “Permusuhan dalam persahabatan” (hostile and Friendship) adalah istilah yang dilontarkan oleh Josselin de Jong (1960) untuk menggambarkan struktur budaya masyarakat Minangkabau. Istilah ini mengandung makna bahwa struktur sosial-budaya masyarakat Minangkabau itu sendiri sebenarnya mencirikan sifatdualisme, di mana akan selalu ada dua aliran yang satu sama lain berseberangan. Lalu apa yang terjadi seandaikan dua aliran yang berseberangan(dualisme), dipertemukan dalam sebuah wilayah dan masyarakat yang sama, apalagi kalau pertemuan tersebut cenderung selalu
29 hadir setiap saat dalam kehidupan masyarakatnya. Kita bisa membayangkan, begitu besarnya potensi konflik yang ada ditengah masyarakat tersebut, yang suatu saat bisa saja meledak. Seandainya ditengah-tengah masyarakat tidak ada “alat” yang mampu menyatukan dua kubu yang seberangan ini, maka, potensi konflik tersebut bisa saja meledak dan menjadikan wilayah masyarakat ini menjadi “medan pertempuran” yang sebenarnya. Inilah yang justru terjadi di masyarakat Minangkabau sejak lama, di mana secara adat, ditemukan ada dua aliran politik yang berbeda dan bertemu dalam “medan” yang sama. Aliran pertama memegang prinsip aristrokratis (manitiak dari ateh-menetes dari atas) dengan aliran lainnya justru memegang prinsip demokratis atau egaliter (mambusek dari bumi-menyembur dari bumi atau dari bawah). Pada banyak kasus, berbagai fenomena di masyarakat Minangkabau menunjukkan pola budaya yang dualisme seperti ini, di mana di dalamnya terkandung dua komponen yang bersifat oposisi (oposisi binary). Walaupun demikian, sifat duelisme ini tidaklah menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat yang berkonflik terus menerus (disharmoni), justru sebaliknya menciptakan masyarakat yang sangat harmonis dan dinamis. I ni menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki kemampuan dalam mensintesiskan dualisme tersebut. Melalui cara pandang structural, tulisan ini mencoba memaparkan, bagaimana cara orang Minangkabau mensintesisikan dua aliran yang berseberang tersebut, melalui gerakan-gerakan politik para actor yang ada di dalamnya. Tidak banyak tulisan dan hasil penelitian tentang Minangkabau, baik yang dilakukan oleh peneliti Indonesia maupun peneliti asing, yang mencoba mengupas adanya dualisme dalam masyarakat Minangkabau khususnya dalam sistem sosial-politik yang dianutnya. Namun berbagai tulisan ini ada kecenderungan mengakui bahwa memang ada “dualisme” dalam masyarakat Minangkabau tersebut. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah yang digunakan, seperti “dualisme” (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah- ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Wahid, 1996), “ambiguous” (Sairin, 2002),dispute (Tanner, 1971). Saya bisa memaklumi, mengapa ketegasan dalam menyebut adanya fenomena demikian cenderung tidak populer. Salah satunya karena konsep
“dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara negatif, sehingga setiap peneliti mungkin akhirnya lebih baik menghindar daripada “didemonstrasi oleh orang Minangkabau” Satu satunya yang secara tegas menyebutkan “masyarakat minangkabau memilikipola dualisme” hanyalah ditemui dalam tulisan Saanin (1989) yang melihat bahwa masyarakat Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua (dualisme). Menurut Saanin (1989), ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan selalu dihadapkan pada masalah “dualisme” tersebut. Sifat dualisme seperti ini, misalnya terlihat jelas pada : (1) Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara agama (patrilineal). (2) sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan demokratis. (3) pola pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan pengasuhan oleh bapak. (4) sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan ke kemenakan dengan pewarisan ke anak. Ini hanya beberapa contoh bentuk dualisme dalam masyarakat Minangkabau tersebut. Sifat dasar masyarakatnya yang terbelah (dualisme) ini, tidaklah terbentuk begitu saja, tetapi secara struktural telah terbentuk sejak lama, yaitu sejakduo datuak pendiri adat Minangkabau menciptakan dua landasan adat (lareh) dalam masyarakatnya. Dalamtambo digambarkan,dua datuak ini yaitu Datuak Katamenggungan akhirnya menciptakanlareh Koto Piliang yang aristokratis (manitiak dari ateh), dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang akhirnya menciptakanlareh Bodi Caniago yang demokratis (mambusek dari bumi). Sebagai dua tokoh penting, maka terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini bisa dimaklumi, karena kedua tokoh ini digambarkan memang memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak Katamenggungan digambarkan sebagai “putra makhkota” yang akan mewarisi “kerajaan” ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang “raja”. Berbeda dengan Datuak Prapatiah Nan Sabatang yang justru terlahir dari rakyat biasa, suka merantau dan berwatak kerakyatan, serta memiliki pola pikir yang lembut dan egaliter. Perbedan-perbedaan ini lah yang sering menjadi pemicu munculnya persaingan dan pertentangan diantaraduo datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu. Puncaknya, terjadi setelah ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, yaitu dengan terjadinya “perang“ di Limo Kaum (Dobbin, 1983; Djamaris,
1991). Pada perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu membentuk dua sistem politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling berebut pengaruh dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah dalam dua sistem politik(phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilahluhak1 (Batuah, 1966). Secara struktural, dualareh yang diciptakanduo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996). Akan tetapi walau pun sifat terbelah dua (dualisme) ini selalu membayangi kehidupan masyarakatnya, justru hal ini tidak menimbulkan kondisi disharmoni dalam masyarakatnya. Banyak ahli bahkan melihat bahwa Minangkabau, justru memiliki kehidupan yang sangat dinamis2. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme ini justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama lain. Mengikutitambo, maka menurut Navis (1984) dan juga Djamaris (1991), sintesis yang mengakhiri pertentangan antaraduo datuak pendiri Minangkabau tersebut dilakukan melalui kehadiran tokoh Datuak Sakalok Dunia dan Banego-nego3. Ini akhirnya melahirkanlareh baru yang disebutLareh Nan Panjang, dimana sifatlareh ini sering dikatakanKoto Piliang bukan, Bodi Caniago antah (Koto Piliang bukan, tetapi dikatakan Bodi Caniago juga bukan). Pada perkembangan kemudian, pola menyelesaikan pertentangan (sintesis dualisme) gayaduo datuak tersebut, misalnya terlihat dengan hadirnya filosofi yang mendasari kehidupan masyarakatnya yaituadat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Menurut Syarifuddin (1984), filosofi lebih sebagai bentuk sintesis yang dilakukan oelh masyarakatnya dengan masuknya Islam menjadi agama baru dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Begitu juga pola pengasuhan anak disentesiskan menjadianak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing), sedangkan sistesis dualisme dalam sistem pewarisan dilakukan melalui pewarisanharto pusako(harta komunal) kepada kemenakan (khususnya perempuan) dan harta pancarian (harta individual) diwariskan kepada anak. Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur sering
digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (Nasroen, 1954), “permusuhan dalam persahabatan (hostile in friendship)” (de Jong, 1960),dispute in harmony (Abdullah, 1966; Tanner, 1971), “dari dualisme menuju keesaan” (Saanin, 1989). Oleh sebab itu, menurut Saanin Walaupun kelompok ini, berbeda fungsi dan peran satu sama lainnya, namun di masyarakat Minangkabau, ia menjadi satu kesatuan yang utuh yang selalu ada dan mewarnai setiap musyawarah yang mereka lakukan. Artinya, dua kelompok yang berseteru tidak akan ada tanpa kehadiran kelompok ketiga, sebaliknya kelompok ketiga tidak mungkin dimunculkan tanpa adanya perseteruan dua kelompok lainnya. Secara struktural, maka budaya politik Minangkabau ini dapat digambarkan sebagai struktur triadik. Struktur triadik sebagai ciri khas budaya politik Minangkabau ini akan selalu ditemui dan teraplikasinya dalam musyawarah dalam kelompok (internal), dan juga dalam musyawarah antar kelompok (eksternal). Inilah yang kemudian sering digambarkan oleh para ahli sebagai “keragaman dalam kesatuan” (Nasroen, 1955), atau “hostile in friendship” (de Jong, 1966), “dari dualisme menjadi keesaan” (Saanin, 1989). 33
Topik X.Masalah ketimpangan dan kemiskinan Masalah Ketimpangan Pandangan Sektoral dan Faktor Produksi A. Sumber Baru Ketimpangan Persoalan ketimpangan sesungguhnya justru muncul pada titik ini, yakni kesepakatan bahwa sektor industri merupakan basis pertumbuhan ekonomi dan dengan begitu harus didukung sepenuhnya dengan mengabaikan sektor lainnya. Dalam konteks ini sektor industri didinamisir untuk memproduksi secara efisien dan produktif sehingga bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, sektor lainnya karena relatif diabaikan tetap dalam kondisi yang stagnan. Keyakinan bahwa sektor industri merupakan mesin yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi dalam banyak hal dapat dipahami, tetapi dalam dosis tertentu bisa pula dianggap berlebihan. Dipahami dalam pengertian bahwa sektor industri selalu memproduksi barang dan jasa setelah melalui proses pengolahan (manufacturing) sehingga dapat
meningkatkan nilai produk dan menjadi sumber pendapatan nasional. Tetapi bisa dianggap berlebihan apabila timbul keyakinan sektor industri tersebut dapat tumbuh tanpa dukungan sektor lainnya, khususnya bagi sebuah negara yang memilikiendowment factor di sektor pertanian. Lepas dari argumentasi tersebut, akibat dukungan pemerintah terhadap sektor industri yang berlebihan, muncul perbedaan efisiensi dan produktivitas antara sektor industri dan sektor lainnya (misalnya sektor pertanian) sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan sektoral, yang dalam penilaian mikro sekaligus juga menunjukkan ketimpangan pendapatan antara pelaku ekonomi yang bekerja di sektor industri dan pelaku ekonomi yang bekerja di sektor pertanian. Dalam tahap awal pembangunan, seringkali dijumpai fakta terjadinya ketimpangan tinggi antara sektor industri dan sektor lainnya, dan setelah itu ketimpangan akan menurun pada level pembangunan berikutnya. Menurunnya ketimpangan tersebut bukan diakibatkan oleh meningkatnya efisiensi dan produktivitas di sektor lain, tetapi karena merosotnya kinerja sektor industri akibat tidak bertumpu pada sektor basis. Fakta ini banyak dijumpai di negara-negara berkembang yang memprioritaskan sektor industri sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi dan menihilkan sektor basis pada saat memulai proses pembangunan. Ketimpangan pendapatan juga bisa diperiksa dari sisi lain, bahwa ketika industrialisasi dijalankan, faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal, lebih-lebih jika hal ini direlasikan dengan negara yang memakai sistem kapitalis. Modal merupakan instrumen penting yang dianggap bisa menggerakkan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Akibat dominasi modal dibandingkan faktor produksi yang lain, setiap tetes penghasilan ekonomi yang diperoleh dari proses produksi sebagian besar akan jatuh pada pemilik modal secara tidak proporsional. Pendeknya, jika keuntungan suatu perusahaan meningkat dalam kurun waktu tertentu, peningkatan laba tersebut hampir seluruhnya jatuh ke pemilik modal, sedangkan pemilik tanah tetap menikmati sewa seperti masa sebelumnya dan tenaga kerja juga harus menerima upah seperti sediakala ketika keuntungan belum meningkat.
Tentu saja fenomena tersebut bisa menjadi instrumen yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antarmasyarakat dengan menggunakan pijakan pembagian keuntungan faktor produksi yang tidak adil. Dalam banyak kasus di negara berkembang fakta ini dengan mudah bisa ditemukan dengan merujuk pada praktik produksi di perusahaanperusahaan yang mengakibatkan terjadinya konflik antara buruh dan pemilik modal akibat. Demikian halnya apabila dipindahkan ke sektor pertanian, misalnya, ketimpangan tersebut juga terjadi akibat pembagian pendapatan yang tidak sepadan antara pemilik lahan dan buruh tani dalam sistem''share cropping'' (bagi hasil). Dalam sistem ini pembagian pendapatan cenderung ditentukan secara sepihak oleh pemilik lahan akibat posisi tawar mereka yang jauh lebih kuat dibandingkan buruh tani. Jadi, dengan menggunakan pendekatan ini ketimpangan bukan merupakan produksi dari kebijakan pemerintah yang memprioritaskan sektor tertentu, melainkan akibat praktik pembagian yang tidak adil antarfaktor produksi ekonomi B. Kemiskinan. Terdapat dua pendekatan : kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif 1. Kemiskinan absolut ( melihat jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan). 2. Kemiskinan relatif (hubungan populasi terhadap distribusi pendapatan). Beban Kemiskinan Global Terjadi pada negara yang memiliki populasi yang besar pada kelompok-kelompok tertentu (kaum wanita), Anak –anak (sisi pendidikan dan kesehatan). Beban tersebut dapat dilihat dariextreme poverty line danpoverty line. C. Perbedaan Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan. - Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut. - Sedangkan Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. D. Garis Kemiskinan Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan pada norma tertentu. Pilihan norma tersebut sangat penting terutama dalam pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi. Garis kemiskinan didasarkan pada consumption based poverty line dimana terdapat dua elemen : 1. Pengeluaran yang diperlukan untuk standar gizi. 2. Jumlah kebutuhan lain yang bervariasi. E. Seberapa Besar Tingkat Kemiskinan terjadi Berdasarkan perhitungan untuk melihat tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diantaranya menggunakan : o Headcount Index : menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi populasi.
o Poverty Gap : menghitung transfer yang akan membawa pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat garis kemiskinan, sehingga kemiskinan dapat dilenyapkan. F. Hipotesis U Terbalik Tentang Kemiskinan Simon Kuznets (1955)membuat hipotesis adanya U terbalik, bahwa permulaan pembangunan dimulai dimana distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai tingkat pembangunan tertentu distribusi pendapatan makin merata. Sebagian besar kurva kuznet ini terletak disebelah kanan, ketimpangan pendapatan menurun seiring dengan peningkatan GDP perkapita pada tahap pembangunan selanjutnya. Hipotesis ini membuktikan terjadinya dua economy. G. Penyebab Kemiskinan Mencoba dengan mengidentifikasi penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi : 1. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. 2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia. 3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses modal. H. Alternatif Solusi Kemiskinan - Pengupahan tenaga kerja (terutama sektor tradisional, modal yang didapat dari pemungutan pajak). - Menitikberatkan pada transfer sumber daya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar. - Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi sehingga menjadileading sector (rural – led development) proses ini akan mendukung pertumbuhan seimbang dengan syarat : 1. Kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi. 2. Menciptakan pola permintaan yang kondusif pada pertumbuhan Topik XI.Gender dan Pembangunan I. Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan gender telah terjadi di beberapa sektor kunci
Selama ini telah terjadi perbaikan yang stabil dan mengesankan dalam hal posisi relatif pendidikan perempuan. Bagi mereka yang saat ini berusia di bawah 20 tahun, perbedaan gender yang terjadi sangatlah kecil. Sedikit lebih banyak perempuan daripada lelaki yang terdaftar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Hanya di tingkat sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, terdapat lebih banyak lelaki yang mendapatkan pendidikan dibandingkan perempuan. Perempuan yang berusia lebih tua tetap kurang namun hanya terdapat sedikit perbedaan. Peran-peran, harapan-harapan, dan pandangan-pandangan gender menempatkan perempuan dan laki-laki ke dalam situasi-situasi yang membatasi kapasitas-kapasitas mereka untuk melakukan dan untuk menjadi sesuatu. Kondisi ini pada gilirannya menghalangi, potensi-potensi mereka untuk mencapai hidup yang lengkap dan memuaskan. Di Indonesia, subordinasi gender mempengaruhi secara buruk kaum perempuan. Ini terlihat jelas dalam hal marjinalisasi ekonomi, subordinasi politik, stereotipe gender, beban yang berlipat, dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Institut ini mengakui legitimasi dari kesetaraan gender sebagai sebuah nilai dasar yang harus tercermin dalam pilihan-pilihan pembangunan, dan juga kebijakan-kebijakan, pada tingkat nasional dan lokal. Institut ini mendekati masalahmasalah kesetaraan gender di pusat dari keputusan-keputusan kebijakan yang luas, strukturstruktur institusional dan alokasi-alokasi sumber daya, dan bagaimana penyertaan pandanganpandangan dan prioritas-prioritas kaum perempuan dalam proses pembuatan kebijakan dan tujuan-tujuan pembangunan. II. Globalisasi dan desentralisasi mendatangkan kesempatan sekaligus tantangan lebih besar untuk pencapaian kesetaraan gender Migrasi ke luar negeri bukan hanya salah satu dari sumber kesempatan kerja terbesar dan terus menerus tumbuh untuk kaum miskin pedesaan, namun berperan juga sebagai satu dari mekanisme jaring pengaman yang dimanfaatkan kaum miskin untuk menghadapi kejutan ekonomi. Tiap tahunnya jumlah warga negara Indonesia yang tercatat pergi sebagai migran ke luar negeri adalah sekitar 400.000 orang, dan 80% diantaranya adalah perempuan. Sekitar 90% perempuan migran tersebut bekerja pada sektor informal, umumnya sebagai pembantu rumah tangga. Mayoritas pekerja laki-laki migran bekerja di
sektor formal sebagai buruh bangunan. Migrasi ke luar negeri juga mendatangkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan hak asasi. Walaupun terasa berat bagi para pekerja migran Indonesia, persoalan tersebut terasa lebih menyulitkan pekerja migran perempuan karena sebagai pembantu rumah tangga, hubungan kerja dengan majikan mereka tidak diakui atau dilindungi. Para pekerja migran perempuan di luar negeri sangat rentan terhadap pelanggaran hak mereka selaku pekerja seperti perkosaan, pelecehan, pemotongan upah dan kondisi kerja yang buruk. Desentralisasi membuka kesempatan bagi perempuan untuk memainkan peran yang lebih besar, namun secara tidak langsung juga telah mengurangi partisipasi perempuan di pemerintahan. Pegawai negeri memiliki ketidakseimbangan gender pada tingkatan pangkat tinggi, terutama pada pangkat tinggi di pemerintahan daerah. Oleh karenanya ketika pembuatan keputusan di sektor publik diturunkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, maka tingkat partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan manjadi berkurang. Sejalan dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga- lembaga pembuat keputusan, jumlah kabupaten/kotayang mengesahkan peraturan- peraturan daerah yang bias gender (misalnya Perda Maksiat), atau bahkan peraturan yang mendiskriminasikan perempuan, menunjukkan peningkatan. Perspektif gender yang rendah diantara pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga pembuat keputusan lainnya di daerah, mengakibatkan keluarnya kebijakan-kebijakan yang tidak peka gender walaupun kebanyakan dari kebijakankebijakan tersebut pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan. III. Namun demikian, diskriminasi angkatan kerja masih terlihat di seluruh wilayah Hanya 41% perempuan versus 73% lelaki yang bekerja atau mencari pekerjaan. Di pasar tenaga kerja, perempuan lebih cenderung tidak mendapatkan pekerjaan dibandingkan laki-laki. Namun demikian, angka statistik ini menyamarkan fakta bahwa banyak perempuan yang walaupun tidak secara aktif mencari kerja, namun berminat 39
untuk bekerja. Perempuan terwakili secara berlebihan dalam pekerjaan-pekerjaan tanpa bayaran atau dengan bayaran rendah, dan kurang terwakili di dalam sektor formal yang berpenghasilan lebih baik. Di sektor formal, perempuan menerima upah yang lebih rendah. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya pendidikan atau pengalaman perempuan. Rata-rata, karyawan perempuan hanya menerima76% dari penghasilan laki-laki. 80% dari perbedaan upah laki-laki dan perempuan disebabkan oleh timpangnya perlakuan terhadap perempuan. Seorang perempuan dengan pendidikan dan pengalaman yang persis sama dengan lakilaki rata-rata akan menerima sekitar 81% dari penghasilan yang diterima laki-laki. Perbedaan upah ini lebih besar di wilayah-wilayah luar Jawa dibandingkan Jawa, dan lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. IV. Dan kekerasan terhadap perempuan masih terus berlanjut Perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan dibandingkan lelaki dan seringkali mereka juga menjadi korban kekerasan di daerah-daerah konflik sipil dan militer. Aceh, Maluku, Poso, Papua dan Kalimantan Tengah adalah daerah-daerah dimana kekerasan sipil dan militer telah mempengaruhi kehidupan perempuan, lelaki dan anak-anak secara serius. Di Aceh, 1.694 perempuan menjadi janda selama operasi militer (DOM), dan 4.126 lainnya menjadi janda selama periode paska-DOM. Di Maluku, stigmatisasi menimpa perempuan hamil dan perempuan beranak yang dibuang keluarganya. Pada bulan Maret 2001, terdapat 1,1 juta pengungsi lokal dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia. Kekerasan berbasis gender dilaporkan semakin meningkat. Tercatat ada 5.163 kasus kekerasan di tahun 2002, naik sebesar 63% dari tahun sebelumnya. Kasus-kasus tersebut termasuk pelecehan pada buruh migran perempuan, kekerasan dalam rumah tangga serta perbuatan kriminal. Data akhir tahun di Markas Besar Kepolisian Jakarta, misalnya, memperlihatkan bahwa kasus perkosaan yang dilaporkan telah meningkat secara signifikan sebesar 25% di tahun 2003 walaupun terdapat penurunan jumlah peristiwa kriminal di kota. Kekerasan dalam rumah tangga mengungguli kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
lokal di Nusa Tenggara Barat. Persoalan ekonomi telah dituding sebagai penyebab meningkatnya jumlah kasus tersebut. Menurut Asosiasi
40 Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), terdapat 43 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani organisasi tersebut di tahun 2000. Hal ini meningkat menjadi 70 kasus di tahun 2001 dan naik drastis menjadi 729 kasus di tahun 2002. V. Kinerja Indonesia dalam menangani ketidaksetaraan gender tertinggal dari negara tetangga Di tahun 2002, kinerja GDI1 Indonesia menduduki peringkat 91 dari 144 negara. Hal ini disebabkan oleh karena angka harapan hidup perempuan „dibebani‟ oleh tingkat melek aksara yang lebih rendah, yaitu 86%(dibandingkan 94% untuk lelaki), jumlah waktu rata-rata sekolah perempuan lebih pendek dari lelaki (6,5 berbanding 7,6 tahun), dan porsi penghasilan perempuan yang lebih kecil dari lelaki (38% berbanding 62%). Kinerja GDI diseluruh wilayah juga tidak beraturan dengan variasi yang signifikan,
bahkan di antara dua kabupaten/kota yang bertetangga Topik XII.Dinamika pola pertanian di Indonesia Pertanian sebagai Anugerah Terbesar Bangsa Indonesia Jika melihat kondisi pertanian Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan, dalam hal hasil produksi (yang cenderung menurun dari waktu ke waktu) dan kualitas produk pertanian, khususnya bahan pangan. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara agraris penghasil bahan pangan terbesar didunia. selain itu, Indonesia memiliki ketersediaan bahanbahan organik yang melimpah di alam. Menurunnya hasil produksi pertanian di Indonesia tidak lain disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu : 1. Menipisnya unsur hara mikro di dalam tanah Untuk dapat tumbuh dan menghasilkan produksi yang maksimal, tanaman membutuhkan 13 jenis unsur makro dan mikro. akan tetapi, petani-petani di Indonesia hanya memberikan 3 jenis unsur hara makro saja (N,P,K). jadi, lambat laun tanah kita akan semakin miskin kandungan unsur hara mikro karena habis diserap secara terus- menerus oleh tanaman tanpa ada pengembalian pada tanah (karena hanya 3 jenis unsur hara makro saja yang dikembalikan lagi ke tanah). 2. Penggunaan pupuk & pestisida dari bahan kimia sintetis Tanpa kita sadari penggunaan bahan-bahan kimia sintetis sangat berakibat fatal bagi kemajuan pertanian kita. Tentunya, kita perlu mengingat bahwa salah satu sifat dari bahan kimia sintetis yaitu tidak dapat terurai di dalam tanah & akan mengendap di dalam tanah. Sehingga, mengakibatkan semakin mengerasnya struktur tanah. efek lain bagi petani yaitu semakin meningkatnya biaya produksi karena semakin banyak jumlah dosis yang dibutuhkan dari tahun ke tahun. Nah, kalau kita perhatikan dari 2 hal diatas, sudah 42 saatnya pola pertanian di Indonesia harus dirubah ke arah pertanian ORGANIK, dalam arti yaitu menggunakan bahan-bahan (pupuk & pestisida) berbahan organik. Selain itu juga akan semakin lebih bersahabat dengan lingkungan alias menjaga kelestarian lingkungan(tanah). Hanya ada satu harapan untuk dapat bersaing di era globalisasi ini yaitu memajukan bidang pertanian. Topik XIII.Pembangunan Regional
PEMBANGUNAN REGIONAL 1.1 Pengertian Pembangunan Regional Pembangunan regional ialah suatu program untuk strategi pemerintah setempat / nasional dalam menjalankan campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi jalannnya proses pembangunan di daerah-daerah sebagai bagian dari daerah nasional supaya terjadi perkembangan kearah yang dikehendaki. 1.2 Tujuan-tujuan kebijaksanaan pembangunan 1. Mencapai kenaikan pendapatan per kapita yang cepat 2. Menyediakan kesempatan kerja yang cukup 3. Mengadakan redistribusi pendapatan supaya lebih merata 4. Mengurangi perbedaan tingkat perkembagan / pembangunan dan kemakmuran antara daerah yang satu dengan yang lain 5. Merubah struktur perekonomian supaya tidak berat sebelah. Pembangunan Regional, Ketimpangan antar wilayah atau (inter-area gap) lebih disebabkan karena banyak factor antara lain ketersediaan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah serta pengelolaan dari pemerintah wilayah setempat. Timpangnya pembangunan di tiap wilayah di Indonesia lebih dikarenakan perbedaan potensi sumberdaya yang dimiliki dan pengelolaan sumberdaya tersebut dari tiap pemerintah wilayah.Kebjakan otonomi daerah yang sudah berjalan hingga saat ini, maka setiap masing-masing pemerintah wilayah tersebut mampu memiliki kewenangan secara penuh untuk mengolah sumberdaya yang dimiliki tanpa campur tangan pemerintah pusat 43 untuk mendukung pembangunan regional masing-masing wilayah. Namun disisi lain walaupun tiap wilayah memiliki kewenangan penuh untuk mencari dana sendiri, namun pemerintah pusat tetap berkewajiban mengontrol guna mengantisipasi adanya pengelolaan sumberdaya yang salah dalam pelaksanaannya.Untuk itu dapat diusulkan kebijakan pembangunan pemerintahan otoritarian-kapitalistik Suharto yang memuncak, telah menumbangkan kekuasaan tersebut dan menggantikannya dengan semangat baru pembangunan yangkemudian dikenal sebagaiera-reformasi. Demikianlah, sehingga pada fase
ketiga ini, pembangunan pedesaan lebih banyak dicirikan oleh pemenuhan kebutuhan akan penyaluran aspirasi politik daripada pemenuhan kebutuhan fisik sebagaimana dilakukan pada masa sebelumnya. Adanya berbagai permasalahan di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota menengah dan kota besar, terutama diakibatkan kurang dilibatkannya masyarakat di dalam proses pembangunan kota-kota dimaksud, sejak proses awal yaitu dari tahap perencanaan. Akibatnya hasil pembangunan di kota-kota menengah dan besar di Indonesia cenderung mengarah untuk menampung kebutuhan sebagian kecil kelompok masyarakat, yang rata-rata berpenghasilan tinggi dan menengah. Sebagian besar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tidak tertampung aspirasinya, pada perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan kawasan. Kota-kota menengah dan besar di Indonesia saat ini menyajikan kondisi dilematik. Di satu sisi pertumbuhan dan pembangunan kota cukup pesat, namun di sisi lain mengakibatkan masyarakat berpenghasilan rendah tersingkir dan semakin miskin (marginal-society). Terjadinya kontradiksi ini akhirnya sering menimbulkan konflik sosial yang mengarah kepada pengrusakan sarana-prasarana fisik perkotaan dan sendi- sendi sosial antar kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah cukup kuat dan terpelihara dengan baik. Belajar dari pengalaman yang sama pada negara-negara berkembang lainnya, maka visi kota-kota besar dan menengah di masa depan memerlukan pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat seluas mungkin, sejak awal, yaitu tahap perencanaan. Bagaimana mekanisme keterlibatan peran serta masyarakat di dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota memerlukan pengkajian secara mendalam. Pembangunan Transmigrasi ke depan masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan 44 pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui
pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Sedangkan Kebijakan Transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu: 1. Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak; 2. Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja; 3. Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk . Sementara itu, untuk wilayah KTI pembangunan transmigrasi diarahkan untuk. (1) Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal, (2) Mendukung pembangunan wilayah perbatasan, dan (3) Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan permukiman baru secara selektif, dan pengembangan desa-desa/permukiman transmigrasi potensial. Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah. 1.3 Faktor Pembangunan Sektoral dan Daerah Pembangunan daerah dan regional sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain dan pembangunan daerah secara holistik. Namun demikian, mengingat bahwa sumberdaya 45 alam sebagai sistem penyanggga kehidupan yang memiliki kedudukan, fungsi dan peran yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan, maka pembangunan sektor lain yang menyebabkan perubahan peruntukan dan pemanfaatan sumberdaya yang berdampak penting, bercakupan luas, atau bernilai strategis, harus dilakukan secara cermat dan koordinatif. Khusus hubungannya dengan pembangunan daerah, penyelenggaraan otonomi dibidang
pembangunan regional perlu memperoleh perhatian yang semestinya. Untuk itu perlu dikembangkan kegiatan yang bersifat “local specific” berdasarkan potensi dan keadaan setempat. 46 Mengidentifikasi aspek Geogarfi dalam Pembangunan. Topik XIV.Aspek Geografi dalam Pembangunan 1.1 Aspek Geogarfi Dalam Pembangunan Geogarfi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai ilmu, masih belum dikenal luas di masyarakat Indonesia, meskipun hakekatnya tiap orang telah memiliki pengetahuan tersebut. Berdasarkan konsep yang ditemukan diatas, jelas bahwa geografi tidak hanya terbatas sebagai suatu deskripsi tentang bumi atau permukaan bumi, melainkan meliputi analisa hubungan antara aspek/faktor fisis dengan pola serta hakekat umat manusia. Dengan demikian, pada studi Geografi, perhatian dan analisa tidak hanya ditujukan kepada alam lingkungan, melainkan juga berkenaan dengan umat manusia serta hubungan diantara keduanya. Disini pun juga ditegaskan bahwa geografi merupakan bidang ilmu yang mencoba menemukan, mendiskripsikan dan menafsirkan karakter variable dari tempat ketempat lainnya dibumi sebagai dunia kehidupan manusia. Pada pengertian yang terakhir karakter geogarfi itu lebiuh ditekannkan, yaitu berkenaan yaitu dengan tempat dibumi, tidak ada bidang ilmu yang lain yang menonjolkan aspek tempat atau aspek ruang, kecuali geografi. Ciri khas studi geogarfi yang berbeda dengan studi lain yait berkenaan dengan tempat ini. Hal lain yang perlu dikemukakan dan perlu pula diketahui bersamaan bahwa yang menjadi objek studi geogarfi, bukan hanya alam fisik yang menjadi tempat dan sumber daya bagi kehidupan manusia, melainkan juga manusia dengan segala dan perubahan perilakunya, dan bahkan interalisasi keduanya, menjadi objek studi yang juga memberikan karakter kepada ilmu geogarfi. Dipihak lain juga studi geogarfi yang mengkhususkan diri mempelajari alam lingkungan (physical geography), tidak saja mempelajari alam (udara, air, batuan, gejala
gempa dan lain sebagainya) hanya untuk mengetahui gejala alam tersebut, melainkan untuk mengungkap “pentingnya” alam bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu cirri khas dari geogarfi dan studi geografi. Sebagai suatu bidang pengetahuan dan ilmu, geografi memiliki nilai teoritis dan nilai praktis. Geogarfi sebagai ilmu penelitian (geography as a research discipline), tidak hanya bernilai teoritis bagi kepentingan pngembangan diri sebagai suatu ilmu, melainkan dapat dimanfaatkan secara praktis bagi perencanaan dan pembangunan daerah (Regional). Geogarfi sebagai bidang inkuiri seperti yang telah dikemukakan terdahulu, tidak hanya merangsang untuk berfikir bagi siapa yang melakukannya, melainkan lebih jauh dari pada itu dapat mempertajam penghayatan terhadap apa yang ada dan terjadi dipermukaan bumi ini. Dengan perkataan lain, geografi memiliki nilai edukatif bagi siapa yang mempelajarinya,dalam arti dapat meningkatkan kognisi, afeksi dan psikomotod yang mempelajarinya, lebih dari pada itu, dengan mempelajari geogarfi kita dapat menghayati keberadaan diri kita dialam raya, keberadaan bumi dialam raya, fungsi dan peranan kita terhadap lingkungan ada nilai yang menghubungkanya atau dengan perkataan lain, geogarfi itu memiliki nilai filsafat. Pada akhirnya sesuai dengan penghayatan dan kesadaran yang tinggi dalam mempelajari ilmu geografi , kita menjadi bertambah dekat dengan alam lingkungan, dengan alam raya dan merasa dekat dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. 1.2 Sumbangan Geogarfi Terhadap pembangunan Geografi sebagai ilmu penelitian, dapat mengembangkan teori, konsep, asas dan generalisasinya bagi pengembangan dirinya sendiri, disini ia bergerak dalam bidang teori. Peranan yang sama yaitu sebagai ilmu penelitian (geography as research discipline), dimanfaatkan juga dalam menyusun rancangan, perencanaan pembangunan wilayah yang bersangkutan. Salah satun peranan yang lain yang dimiliki oleh geografi yaitu “geografi sebagai ilmu tata guna lahan” (Geography as the science of landuse). Disini jelas sekali ia bergerak dalam bidang praktis, melalui peranannya sebagai ilmu tata guna lahan, geogarfi dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization), dalam hal ini geogarfi membantu planologi dalam analisis faktor-faktor geogarfi dalam melakukan tata guna lahan dan tata guna ruang di permukaan bumi. Untuk menata ruang dipermukaan bumi berapa
persen untuk permukimam, berapa persen untuk industri, berapa persen untuk industri dan lain sebagainya. Perlu data geografi yang menunjang tata guna lahan. Oleh karena itu, geografi tidak hanya menunjang secara pasif terhadap pembangunan, melain kan berperan aktif memberikan data dan informasi tentang aspek-aspek atau faktor-faktor geogarfi yang menjadi landasan pembangunan 48 Pertanyaan:
1. Jelaskanlah dengan ringkas tentang ilmu geogarfi sebagai pengetahuan dan ilmu? 2. Apa yang dimaksud dengan ilmu geografi sebagai ilmu penelitian ? Jelaskanlah 3. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan nilai edukatif dalam Ilmu geogarfi? 4. Jelaskan latar belakang mengapa dapat terjadi pergeseran makna pembangunan ? 5. Apa yang dimaksud dengan growth without development? Tunjukan contoh nyata dimana suatu Negara secara ekonomi telah mengalami pembangunan namun dianggap kurang berkembang ? 6. Sebutkan lah dimensi-dimensi apa saja yang tidak disebutkan dalam diskusi Pertumbuhan dan Pembangunan ini? 7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan negara berkembang (NSB)? 8. Jelaskan Perbedaan antara Indikator Ekonomi dan Indikator Sosial? 9. Sebutkan kelemahan GNP perkapita sebaga ukuran tingkat kesejahteraan ?Jelaskanlah 10. Jelasakan Perbedaan teori-teori nilai-nilai budaya dengan Lingkungan material? 11. Apa yang dimaksud dengan Unilinear dalam teori modernisasi? Jelaskan 12. Sebutkan Masalah pendidikan yang menjadi masalah dalam psikologi seseorang? 13. Sebutkanlah pembahagian Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Prebishi? 14. Dalam faktor apa saja, terjadi ketidak seimbangan dalam perdagangan di Amerika latin! Jelaskanlah? 15. Apa yang dimaksud dengan keruangan yang abstrak dalam kutub pertumbuhan? Hormat Saya, Aprizon Putra Nim: 89059