1
Etika Jawa1 OLEH: FRANZ MAGNIS-SUSENO2 ETIKA JAWA1 Franz Magnis-Suseno2
Pengantar 1. Etika Jawa bukan sebuah sistem eksplisit, melainkan sebuah pola kultural. Tidak ada “orang Jawa” secara murni. Seperti orang-orang lain, orang Jawa mengembangkan sikap-sikap etis berhadapan dengan tantangan yang ada, banyak di antaranya sudah tidak bergerak dalam kerangka tradisi Jawa. 2. Akan tetapi, sesuatu dari pola kultural itu dapat diperkirakan masih, secara mendalam, mempengaruhi perasaan dan sikap-sikap—terutama sikap-sikap spontan—mereka yang menjadi besar dalam kebudayaan Jawa. 3. Etika Jawa bukan sesuatu yang unik. Unsur-unsurnya terdapat dalam banyak—kalau bukan semua budaya di dunia—tapi dengan pembobotan yang berbeda. Dapat diandaikan bahwa banyak unsur “etika Jawa” juga dihayati oleh budaya-budaya Indonesia, khususnya yang dekat dengan Jawa.
Etika Jawa, Etika Keselarasan3 1. Etika Jawa dapat disebut etika keselarasan karena keselarasan dengan masyarakat, alam dan alam gaib bernilai sangat tinggi di dalamnya. 2. Tanda keselarasan adalah tidak adanya konflik terbuka/kerukunan (di luar) dan tidak adanya keresahan/perasaan tenteram (di hati). 3. Keselarasan itu tercapai dengan: (1) Menghindari konflik terbuka. (2) Menghormati semua warga masyarakat sesuai kedudukan sosial mereka (= mengakui struktur hierarkis masyarakat). (3) Menghindar dari emosi-emosi berlebihan. Makalah seri keempat Kuliah Umum Filsafat Etika dari Yunani Klasik hingga Jawa di Teater Salihara, 23 Februari 2013, 16:00 WIB. Makalah ini sudah disunting. 2 Franz Magnis-Suseno, S.J. adalah Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta. Bukunya, antara lain, Etika Dasar (1987), Etika Jawa (1996), dan Menalar Tuhan (2006). 3 Tulisan ini berdasarkan tulisan Franz Magnis-Suseno “Pertanyaan Kritis Sekitar Etika Jawa” yang termuat dalam Franz Magnis-Suseno, 1991, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia), hlm. 67-96; dapat dibaca juga Franz Magnis-Suseno, S.J., 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. 1
Makalah Kuliah Umum | Februari 2013
2 4. Manusia Jawa belajar etika keselarasan di tiga dimensi: (1) Melalui tekanan masyakarat: Masyarakat tidak mengizinkan kelakuan yang mengganggu kerukunan dan tidak menghormati struktur sosialnya. (2) Melalui internalisasi: Sejak kecil orang Jawa dididik untuk menghayati kelakuan rukun dan hormat sebagai sesuatu yang positif/mengenakkan. Khususnya ia belajar bahwa persatuan dengan keluarga dan lingkungannya adalah dasar dan sumber keamanan psikisnya. Ada tiga sikap yang satu demi satu dipelajari: • Sikap takut (wedi): Anak kecil ditertibkan bukan dengan dimarahi, melainkan dengan dibikin takut terhadap ancaman dari luar: anjing ganas, orang asing, hantu. • Belajar tahu malu (isin). Tanda orang mulai menjadi dewasa bahwa ia tahu malu. Kelakuan yang tepat didukung dengan perasaan malu terhadap kelakuan yang tidak berkenan pada orang yang dekat. • Belajar sungkan: Perasaan malu-malu kalau harus menghadap orang besar/atasan. (3) Melalui ajaran etika Jawa • Nilai-nilai paling inti etika Jawa adalah “sepi ing pamrih” (tidak mencari keuntungan sendiri tanpa perhatian pada yang lain-lain), dan “ramé ing gawé” (dengan tenang melaksanakan kewajibannya). • Manusia Jawa juga dianjurkan supaya belajar sikap-sikap seperti nrimo (menerima), iklas, legowo (merelakan).
Rangkuman Etika keselarasan dapat diringkas sebagai harapan masyarakat Jawa agar anggotaanggotanya selalu menjaga keselarasan dan menghindari konflik dalam kehidupan bersama, dengan merelatifkan pendiriannya sendiri demi keseluruhan, dengan berlaku sopan dan tenang, dan dengan mengembangkan sikap hati yang bersedia untuk melepaskan sesuatu yang justru akan menghalanginya dalam usaha untuk mencapai makna kehidupan yang sebenarnya.
Struktur Etika Jawa Kekhasan etika dapat dijelaskan dengan empat cirinya: 1. Keselarasan tidak diciptakan, melainkan sudah ada. Kelakuan yang salah mengganggu keselarasan. Maka tindakan benar mengembalikan keselarasan. 2. Karena itu tindakan yang benar bukannya mengubah realitas, melainkan menyesuaikan diri dengannya. 3. Mengingat keselarasan berarti bahwa semuanya berada di tempatnya yang semestinya, inti sikap moral adalah mencari dan menemukan “tempatnya”: Dalam keluarga, dalam setiap lingkungan sosial, juga dalam alam, juga—dalam hati—dengan alam adiduniawi. 4. Tempat yang tepat diketahui orang Jawa adalah di dalam rasa. Maka bagi orang Jawa olah rasa adalah amat penting. Rasa yang halus memungkinkan manusia tahu diri dan tahu tempatnya.
Makalah Kuliah Umum | Februari 2013
3
Pertanyaan-pertanyaan Kritis 1. Keselarasan bukan nilai moral inti. Di mana tempat untuk dasar moralitas: kebaikan hati, hal baik dan buruk, hati nurani? Jawaban: Demi hati nurani orang Jawa seperlunya melanggar keselarasan. 2. Apakah menyesuaikan diri sudah cukup sebagai sikap etis? Bukankah kadang-kadang: (1) Orang justru tidak boleh menyesuaikan diri? (2) Bagaimana orang bisa inovatif, bisa mengubah sesuatu, bisa kreatif jika pada dasarnya harus menyesuaikan diri? 3. Dalam masyarakat Jawa konflik dipecahkan dengan menghindari konflik terbuka, menahan diri, saling menghindari dan sebagainya. Tetapi dalam kondisi pasca- tradisional, apakah cara itu cukup? Bagaimana kalau konflik terjadi demi apa yang harus dilakukan? Di situ tidak mungkin hanya menahan diri, melainkan perlu memutuskan sesuatu, jadi mencari konfrontasi, mengatakan “tidak”. 4. Berlaku rukun dan hormat terhadap status sosial mengandaikan keadilan. Rukun atas dasar ketidakadilan dan hormat terhadap kedudukan pihak yang tidak berhak secara etis justru harus ditolak.
Kedalaman Etika Jawa 1. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa etika Jawa lebih daripada etika keselarasan. Keselarasan adalah nilai tinggi di dalamnya, tetapi bukan nilai paling dasar. Sikap sepi ing pamrih dan ramé ing gawé membuka dimensi etis yang sebenarnya. Orang yang memiliki dua sikap itu, justru karena menganggap diri tidak penting akan berani bangkit dan tidak menyesuaikan diri dengan kazaliman serta seperlunya protes, dan pasti membela keadilan. 2. Maka etika Jawa, dan etika Indonesia lain, menuntut sikap moral yang sebenarnya: Kesediaan untuk berbaik hati dan untuk memberi komitmen mutlak terhadap keadilan.
Pertanyaan-pertanyaan 1. Diskusikan segi-segi kuat dan segi-segi problematis suatu etika dengan nilai inti keselarasan. 2. Apa kekuatan dan kelemahan etika yang sangat mementingkan kesediaan untuk selalu rukun dan untuk menghormati kedudukan sosial masing-masing pihak?
Makalah Kuliah Umum | Februari 2013
4
Daftar Pustaka Anderson, B.R.O.G., 1965. Mythology and the Tolerance of the Javanese. Ithaca N.Y.: Cornell University. Franz Magnis-Suseno, 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. -------- 1991, Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia. Geertz, Clifford, 1960. The Religion of Java. New York: The Free Press. Geertz, Hildred, 1961. The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. The Free Press of Glencoe.
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org Makalah Kuliah Umum | Februari 2013