Generasi Penerus—Penguasa Kunci Estafet Nilai-nilai Kepahlawanan Oleh: Famila Takhwifa
Hari-hari khusus untuk Indonesia ada di setiap bulan. Hari-hari tersebut ada yang sebagai pengingat peristiwa yang terjadi di Indonesia masa lampau. 10 November—Hari Pahlawan merupakan salah satunya. Hari Pahlawan diperingati oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk pelajar. Peringatan mempunyai dampak positif. Pelajar tidak lupa akan para pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. Namun, sayang jika hanya sekadar ingat tanpa arti atau tidak mengetahui maksud peringatan. Seperti halnya peringatan hari jadi seorang teman, jika kita hanya ingat tanpa bertindak apalah artinya. Dalam rangkaian peristiwa sejarah disebutkan bahwa maksud dijadikannya 10 November sebagai Hari Pahlawan adalah mengenang perjuangan rakyat Surabaya. Pertempuran 10 November di Surabaya merupakan rangkaian yang paling hebat selama revolusi mempertahankan kemerdekaan. Rangkaian diawali sejak kedatangan pasukan Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby dan disambut oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.R.A.A. Soeryo. Sambutan baik berganti serangan, ketika Inggris mulai melanggar kesepakatan pada awal kedatangannya. Inggris menduduki kantor pos, pangkalan angkatan laut di Tanjung Perak, gedung Bank Inferio, serta lokasi-lokasi penting lainnya. Kontak senjata pertama dengan Inggris terjadi siang hari pada tanggal 27 Oktober 1945 tersebut, yang kemudian meluas dengan cepat. Lokasi-lokasi penting berhasil direbut oleh para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1945. Terdesak oleh serangan rakyat Surabaya, A.W.S. Malllaby meminta bantuan kepada Mayjend. D.C. Hawthorn, komandan tentara Inggris di Jawa. Howthorn lalu menghubungi Presiden Soekarno dan meminta bantuan untuk menyelesaikan pergolakan. Keesokan harinya, Soekarno didampingi Moh.Hatta, Amir Syarifuddin, dan MayJend. D.C. Howthorn tiba di Surabaya. Soekarno berkeliling dengan sebuah jeep pinjaman Inggris menyerukan gencatan senjata. Gencatan senjata dilakukan seraya menunggu hasil perundingan antara Indonesia dan Inggris(Sekutu). Meskipun gencatan disepakati, aksi tembak-menembak secara sporadis masih terus terjadi di berbagai tempat. Pada tanggal 30 Oktober 1945, mobil Buick yang ditumpangi Famila Takhwifa/XII MIA B
Page 1
A.W.S. Mallaby menjadi sasaran tembakan saat hendak melintasi Jembatan Merah. Terjadi baku tembak di tempat itu yang berakhir dengan tewasnya Mallaby. Sementara itu, mobil hangus terbakar akibat ledakan sebuah granat. Kematian Mallaby itu menjadi dalih bagi Inggris untuk mengggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”. 7 November 1945, pemimpin baru tentara Inggris, MayJend. E.C. Marsegh menulis surat kepada Gubernur Soeryo. Inti surat itu yaitu kecaman atas kematian Mallaby serta tudingan bahwa Gubernur tidak mampu mengendalikan rakyat. Soeryo pun membalas surat pada 9 November. Dia membantah semua tuduhan. Marsegh kembali membalasnya dengan nada tegas dan keras. Surat balasan berisi ultimatum yang mengharuskan untuk menandatangani dokumen berisi penyerahan tanpa syarat dan pemuda yang bersenjata untuk menyerahkan semua senjata sambil membawa bendera putih. Penyerahan tanpa syarat harus dilakukan paling lambat pada 10 November pukul 06.00. Jika ultimatum tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya. Tepat pukul 22.00, 9 November setelah berunding dengan pemerintah pusat, Gubernur Soeryo menolak ultimatum. Penolakan disiarkan melalui radio. Setelah batas waktu habis, pertempuran tidak terelakkan. Kontak senjata pertama terjadi di Tanjung Perak. Di tempat itu, pasukan Inggris berhasil mengendalikan perlawanan rakyat. Banyak koraban berjatuhan. Namun, rakyat bersama TKR(Tentara Keamanan Rakyat) terus melakukan perlawanan. Mereka memilih “merdeka” atau “mati”. Selama pertempuran berlangsung, saat Inggris mulai menggempur Surabaya melalui darat, laut, dan udara terdapat dua tokoh yang tak pernah diam. Merekalah Bung Tomo dan Bung Karno. Bung Tomo(1920-1981) dengan gigih dan berapi-api membawa semangat para pemuda dan masyarakat Surabaya dengan pidato-pidatonya di radio. Sementara itu, Bung Karno berpidato menggunakan bahasa Inggris, direkam di tape recorder, lalu disiarkan ke seluruh duunia. Melalui pidato ini, ia melancarkan protes kepada PBB. Soekarno juga mendesak presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman untuk turun tangan menghentikan aksil militer Inggris. Namun, hal tersebut dihiraukan. Setelah tiga minggu, TKR, para pemuda, dan rakyat Surabaya berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari pendudukan Inggris meski telah hancur. Untuk mengenang perjuangan, di kota ini dibangun Tugu Pahlawan dan 10 November diperingati sebgai Hari Pahlawan. Melalui cerita tersebut, tergambar bagaimana susah payah para pendahulu kita. Banyak pula taruhan mereka—harta, keluarga, dan nyawa. Secara logika tentu pantas kita menghargai jasa para pahlawan. Penghargaan adalah perbuatan menghargai;penghormatan Famila Takhwifa/XII MIA B
Page 2
(Kamur Besar Bahasa Indonesia). Penghargaan yang telah ada di Indonesia, seperti memperingati Hari Pahlawan dan memberikan gelar pahlawan . Pada dasarnya Hari Pahlawan untuk pahlawan pada Pertempuran Surabaya, tetapi pada umumnya bisa diperingati untuk semua pahlawan dan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sedangkan gelar pahlawan pemerintah yang berwenang. Berbicara terkait gelar pahlawan, tahukah kamu apa itu pahlawan dan siapa yang layak disebut pahlawan(mendapat gelar pahlawan)? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pengertian tersebut seperti yang dikatakan sejarawan, Salim Said dalam acara Gestur—perbincangan antara sejarawan,Salim Said; menteri era Soeharto,Suswono Yudo Husodo; tokoh agama, Frans Magnis Suseno; dan Ahli fisiognomy: Ronny NitiBaskara terkait pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto dan Gusdur. Salim Said mengatakan bahwa untuk memberikan gelar pahlawan, kita harus memikirkan seberapa besar kebaikan yang telah dilakukan dan bagaimana jika dibandingkan dengan kejahatan untuk bangsa dan negara ini? Seperti halnya Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia selama 30 tahun. Waktu yang terlalu panjang ini memungkinkan kesempatan berbuat baik banyak, tetapi berbuat jahat juga banyak. Begitu juga Presiden Gusdur, yang berkebalikan. Gusdur memimpin Indonesia sangat sebentar. Dengan demikian kesempatan berbuat baik dan jahat sedikit. “Untuk memberikan gelar pahlawan pada keduanya perlu pemikiran panjang, ga usah tergesa-gesa. Toh mereka juga sudah tenang disana dan tidak mengharapkan gelar ini. Meskipun tanpa gelar pahlawan, mereka tetap Seharto dan Gusdur. Presiden Soekarno yang sudah jelas pengabdiannya pun baru dianugerahi gelar tahun 2012. Gelar untuk Soeharto dan Gusdur mungkin bisa diberikan di era penerus kita”, tambah Said Salim. Dari tayangan Gestur—TV one pukul 19.00 WIB diperoleh kesimpulan, gelar pahlawan adalah untuk mereka yang banyak berjuang dan berjasa bagi Indonesia. Sedangkan gelar pahlawan untuk Soeharto dan Gusdur belum belum diberikan pada masa sekarang, mungkin besok pada era kepemimpinan anak muda sekarang. Artinya mereka mengharapkan kita untuk bisa menilai lebih jeli terhadap sejarah bangsa kita. Menilai perjuangan para pahlawan, tulus atau sekadar memanfaatkan jabatan. Untuk bisa menilai bukankah harus menjadi orang yang bernilai dahulu? Jika diibaratkan guru yang menilai siswanya. Untuk menjadi seorang penilai mereka harus menjadi bernilai dahulu, melalui usaha sekolah guru. Hakikatnya seorang siswa pun tidak mau dinilai oleh orang yang tidak bernilai.
Famila Takhwifa/XII MIA B
Page 3
Generasi penerus harus menjadi seorang yang juga tulus untuk menilai ketulusan orang lain(para pahlawan). Generasi penerus harus menjadi orang yang berat kebaikannya untuk menimbang kebaikan orang lain. Hal-hal demikian bisa muncul karena terbiasa dan terlatih.Sebagai seorang pelajar harusnya menjadi pencari ilmu yang tulus, bukan hanya sekadar nilai. Seorang pelajar harusnya mencari ilmu dengan jujur dan tidak menghalalkan segala cara yang berakibat nilai kebaikan kurang dari keburukan. Suatu perjuangan tidak hanya dilihat dari hasil, tatapi usaha. Seperti halnya para pahlawan dahulu. Jika hanya dilihat hasil,yaitu merdeka tentu mereka semua yang terlibat dalam peristiwa sebelum kemerdekaan akan mendapat gelar pahlawan. Bukan itu, melainkan usaha mereka dalam meraih hasil, kemerdekaan. Jika pahlawan meraih kemerdekaan, kita adalah meraih kemenangan(kemajuan). Dengan kata lain kita pun bisa menjadi seorang pahlawan jika meneladani sikap para pahlawan pendahulu. Pada akhirnya, para generasi penerus punya sosok dan figur yang senantiasa dapat menjadi inspirasi dalam bergerak dan berkarya. Nilai kepahlawanan pun tidak akan luntur ditelan zaman karena generasi penerus sebagai pemegang kunci. Kunci akan terus diberikan secara estafet dari generasi penerus ke generasi penerus berikut-berikutnya.
Famila Takhwifa/XII MIA B
Page 4