POTENSI ULAT SAGU DAN PROSPEK PEMANFAATANNYA Sjahrul Bustaman Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114
ABSTRAK Luas areal tanam sagu di Indonesia mencapai 1,40 juta ha, dan sebagian besar (+ 1 juta ha) terdapat di Maluku dan Papua. Maluku memiliki areal tanam sagu 31.360 ha dan masih dapat dikembangkan menjadi 649.938 ha. Tanaman yang siap panen setiap tahun mencapai 86 pohon/ha. Salah satu limbah dari hasil panen sagu adalah pucuk batang. Limbah ini umumnya belum dimanfaatkan dan dapat menjadi tempat bertelur bagi kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus). Larva kumbang tersebut dikenal dengan ulat sagu. Sebagian masyarakat Maluku dan Papua mengonsumsi ulat sagu sebagai sumber protein. Bila ulat sagu menjadi dewasa akan berubah menjadi kumbang dan merupakan hama pada tanaman kelapa. Ulat sagu dapat diperoleh dari alam atau melalui budi daya, serta prospektif sebagai sumber protein pada pakan ternak. Potensi ulat sagu dari alam di Maluku diperkirakan mencapai 935 ton dengan produktivitas 2,52 kg/m3 limbah pucuk batang sagu. Bila dibudidayakan, dalam waktu 42 hari dapat dihasilkan ulat sagu dengan produktivitas 2,77 kg/m3. Perkembangbiakan terjadi sepanjang tahun dengan waktu panen 39−45 hari setelah pohon sagu ditebang. Ulat sagu mengandung protein 13,80% dan sejumlah asam amino esensial sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein pengganti tepung ikan pada pakan. Kata kunci: Sagu, pemanfaatan limbah, Rhynchophorus ferrugineus
ABSTRACT Potency and prospect of sago larva utilization The area of sago palm in Indonesia occupies 1.40 million ha and most of them (+ 1 million ha) located in Moluccas and Papua. The actual sago area in Moluccas is 31,360 ha and it can be developed to be about 649,938 ha. The number of sago tree ready to be harvested is counted 86 trees/ha. The waste from harvested sago crop is tree sprout which can be a place for coconut red beetle (Rhynchophorus ferrugineus) to lay eggs. Larva of the beetle is recognized with sago larva. The larva is usually consumed by some of Moluccas and Papua society as protein source. The larva will turn into beetle and become a pest on coconut trees. The sago larva can be produced naturally or by rearing and prospective as source of protein in feed. The potency of larva sago from nature is estimated 935 tons with productivity of 2.77 kg/m3 of sago tree sprout waste. The breeding season occurred a year long and the larva could be harvested in 39−45 days from post-cut away tree. Sago larva contains 13.80% protein and a number of essential amino acids, so it is potential as a source of protein in feed to substitute fish meal. Keywords: Metroxylon, waste utilization, Rhynchophorus ferrugineus
L
uas areal tanam sagu di Maluku mencapai 31.360 ha yang tersebar di tujuh kabupaten (Alfons dan Bustaman 2005). Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Maluku skala 1:250.000, luas areal sagu masih dapat dikembangkan hingga 649.938 ha (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku 1999). Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Batang sagu mengandung pati (karbohidrat), dan biasanya dipanen setelah berumur 8−10 tahun. Namun jika tanaman dibudidayakan dengan baik, sagu dapat dipanen pada umur 6−7 tahun (Flach 50
1980). Potensi pohon sagu siap panen di Maluku diperkirakan mencapai 86 pohon/ ha/tahun (Alfons et al. 2004). Limbah dari hasil panen pohon sagu bermacam-macam dan umumnya belum dimanfaatkan. Salah satu limbah tersebut adalah pucuk batang sagu (1−2 m). Limbah ini dapat menjadi tempat bagi kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus) untuk meletakkan telur. Pertanaman sagu di Maluku umumnya berdekatan dengan tanaman kelapa, sehingga bila telur dalam limbah sagu tersebut menetas dan menjadi kumbang dikhawatirkan dapat menjadi hama pada tanaman kelapa.
Larva kumbang merah kelapa dikenal sebagai ulat sagu. Selain sebagai hama kelapa, kumbang tersebut juga merupakan hama pada tanaman palma lain, seperti sagu, kelapa sawit, enau, dan nipah. Kumbang biasanya hanya tertarik untuk meletakkan telur pada tanaman yang telah mati, bagian pohon kelapa yang luka, dan pucuk batang sagu sisa penebangan. Tanaman kelapa yang terserang kumbang ini ditandai dengan daun terkulai karena pangkal daun dimakan oleh larva. Berbeda dengan kumbang badak, kumbang merah kelapa juga menyerang tanaman kelapa Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
yang masih muda, terutama bagian-bagian yang muda (Pracaya 2005). Ulat sagu belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi. Ulat sagu juga prospektif sebagai sumber protein pada pakan ternak untuk menggantikan tepung ikan. Pembuatan pakan unggas dan ikan biasanya menggunakan tepung ikan sebagai sumber protein. Proporsi tepung ikan dalam pakan unggas sekitar 5% dan untuk pakan ikan (udang) 15%. Apabila produksi pakan unggas mencapai 5 juta t/tahun dan pakan ikan (udang) 2 juta t/tahun maka sedikitnya dibutuhkan 0,25–0,75 juta ton tepung ikan setiap tahun. Dari kebutuhan tersebut, 70% masih harus diimpor antara lain dari Peru dan Chili (Anhar 2004). Harga tepung ikan dengan kandungan protein 23,08%, lemak 1,90%, dan energi metabolis 1.543 kkal/kg cukup tinggi (Antawidjaja et al. 1997). Harga pakan yang mahal masih menjadi kendala dalam usaha ternak unggas serta budi daya ikan dan udang di Maluku, karena pakan masih didatangkan dari luar Maluku. Biaya pakan mencapai 60−70% dari total biaya operasional. Tulisan ini memberikan gambaran tentang potensi ulat sagu dan pemanfaatannya sebagai sumber protein pada pakan ternak.
POTENSI PRODUKSI ULAT SAGU Potensi Sumber Daya Lahan Menurut Louhenapessy (1992) dalam Louhenapessy (2006), Maluku memiliki areal sagu 26.410 ha, yang tersebar di Kecamatan Piru 320 ha, Kairatu 2.350 ha, Amahai 1.150 ha, Buru Utara Barat 240 ha, Buru Utara Timur 7.800 ha, dan Kepulauan Aru 9.762 ha. Sementara Alfons dan Bustaman (2005) melaporkan areal sagu di Maluku mencapai 31.360 ha, yang tersebar di Kabupaten Seram Bagian Timur 9.250 ha, Seram Bagian Barat 8.410 ha, Maluku Tengah 6.425 ha, Buru 5.457 ha, Maluku Tenggara Barat 245 ha, Kepulauan Aru 1.318 ha, dan Kota Ambon 225 ha. Berdasarkan peta Zona Agroekologi Maluku skala 1: 250.000 (Balai Pengkajian Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Teknologi Pertanian Maluku 1999), areal sagu berada pada jenis tanah Hidraquent, Tropaquents, dan Fluvaquents. Jika diasumsikan seluruh luasan tersebut berpotensi untuk pengembangan sagu, karena memiliki karakteristik biofisik yang sama, maka luas lahan yang berpotensi untuk budi daya sagu di Maluku mencapai 649.938 ha. Lahan tersebar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat 948,54 ha, Maluku Tenggara 5.161,78 ha, Maluku Tengah 104.640 ha, Buru 34.887,50 ha, Seram Bagian Barat 36.871,20 ha, Seram Bagian Timur 114.497,19 ha, Kepulauan Aru 351.493,64 ha, dan Kota Ambon 1.436 ha (Susanto dan Bustaman 2006). Secara agroekologis, lahan yang sesuai untuk tanaman sagu berpotensi pula untuk tanaman pangan lahan basah dan hortikultura, sehingga sebagian lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi lahan sawah, bahkan pemukiman.
Potensi Panen Sagu Tanaman sagu biasanya dipanen menjelang pembentukan primordia bunga atau bila kuncup bunga telah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daundaun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda, lebih tegak dan ukurannya kecil. Ciri lainnya adalah pucuk agak menggelembung, duri makin berkurang, dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin. Umumnya petani sagu belum dapat menentukan umur panen tanaman sagu secara tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah tanaman yang dapat dipanen (masak tebang) dalam satu hektar lahan sagu bervariasi antara 10–38 pohon dengan rata-rata 20 pohon (Louhenapessy 1994), 24 pohon (Witwall 1954 dalam Louhenapessy 1994), atau 82 pohon (Alfons dan Bustaman 2005). Dengan memperbaiki sistem budi daya, Flach (1980) melaporkan jumlah pohon masak tebang bisa meningkat menjadi 134 pohon/ha. Periode pohon masak tebang pertama ke pohon masak tebang berikutnya dalam satu lokasi (blok) harus diperhatikan dalam upaya menciptakan sistem produksi berkelanjutan. Menurut Louhenapessy (2006), periode pohon masak tebang dalam satu blok yang sama berlangsung 2–3 tahun. Jika penebangan pohon sagu hanya didasarkan pada sifat fisik tanaman tanpa mempertimbangkan kandungan
tepung dalam batang, maka periode pohon masak tebang menjadi lebih lama, yaitu 6– 7 tahun. Tanaman sagu di Maluku biasanya dipanen sesuai dengan kebutuhan pangan pemilik atau permintaan pasar. Akibatnya sebagian pohon sagu ditebang lewat masa panen, yang ditandai dengan tumbuhnya bunga sehingga kandungan karbohidratnya rendah. Pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi Maluku mulai mengembangkan sagu dengan melibatkan petani, BPTP Maluku, dan Universitas Pattimura dalam bentuk proyek percontohan.
Produksi Ulat Sagu Alami Ulat sagu dapat diperoleh dari alam, yaitu dari limbah panen pohon masak tebang, kurang lebih 1−2 m pada bagian atas batang hingga pucuk. Panen ulat sagu secara alami dilakukan dengan mencari limbah pucuk atau batang sagu yang telah berumur 30−40 hari setelah ditebang. Untuk mengetahui dalam gelondongan (batang) sagu terdapat ulat, dilakukan dengan cara mendengar. Bila terdengar ada suara benda bergerak berarti di dalam gelondongan tersebut terdapat ulat sagu. Ulat diambil dengan cara membelah batang dan biasanya ulat terdapat pada alur makannya (Gambar 1). Pada tahun 2006, jumlah pohon sagu yang dimanfaatkan di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat pada empat sentra produksi sagu mencapai 7.236 pohon. Jika rata-rata potensi ulat 2,89 kg/m3 maka produksi ulat sagu di empat sentra produksi tersebut mencapai 2,56 t/ tahun. Ulat sagu memiliki berat 3,10−3,58 g/ekor dengan panjang 3,18−3,72 cm. Jumlah larva setiap batang 91−118 ekor. Menurut Alfons et al. (2004), Maluku saat ini memiliki areal sagu 31.360 ha, dengan rata-rata tanaman yang siap tebang 86,15 pohon/ha. Hal ini berarti akan ada 2.701.664 pohon siap tebang. Jika ratarata volume limbah pucuk sagu 0,14 m3/ pohon dan potensi ulat sagu 2,52 kg/m3 maka produksi ulat sagu Maluku mencapai 953,15 ton. Panen ulat sagu secara alami hanya dapat dilakukan satu kali pada tiap gelondong limbah sagu. Hal ini karena pada waktu memanen ulat sagu, media tumbuh (gelondong) batang sagu dirusak (dibelah). Waktu yang dibutuhkan untuk memanen ulat sagu dalam satu gelondongan rata-rata 1−2 jam, dengan hasil panen 51
Gambar 1. Ulat sagu berada pada alur makan yang dibuatnya.
300−400 g. Rata-rata petani sagu di Maluku memiliki 100−200 pohon sagu /ha. Jumlah ulat sagu yang dihasilkan setiap gelondong sagu, baik pucuk maupun batang, beragam. Variasi ini dipengaruhi oleh: 1) lamanya waktu pembusukan batang (gelondong) sagu untuk berkembangnya larva hingga dipanen, 2) volume batang atau gelondong yang mencerminkan kandungan karbohidrat sebagai sumber makanan larva, dan 3) faktor lain seperti jumlah kumbang betina yang meletakkan telur pada gelondong.
Periode larva berlangsung sekitar 2 bulan. Larva dapat tumbuh hingga panjang 5 cm dan lebar bagian tengah 2 cm. Saat akan menjadi pupa, larva membuat kepompong dari serat berbentuk silindris. Fase pupa berlangsung 2−3 minggu. Daur hidup kumbang kelapa lebih kurang 3,50−7 bulan. BPTP Maluku (Edrus et al. 2007) telah berhasil membudidayakan ulat sagu pada gelondongan (batang) sagu sebagai media penangkaran. Ke dalam alat penangkar (Gambar 2) dimasukkan induk kumbang
sebanyak 28 ekor secara bertahap. Gelondong disiram air 2 hari sekali agar lembap dan serat kayu cepat membusuk. Penangkaran dijaga sehingga tidak ada kumbang yang masuk dari luar. Budi daya ulat sagu hingga panen berlangsung 39−45 hari. Hasil panen ulat sagu melalui budi daya lebih banyak daripada secara alami, karena ulat sagu tidak ada yang berubah bentuk menjadi kumbang. Budi daya selama 42 hari menghasilkan ulat sagu dengan bobot rata-rata 3,27 g/ekor dan panjang 3,30 cm. Jumlah larva tiap batang 127 ekor (volume batang 0,15 m3) sehingga produktivitas 2,77 kg/m3. Panen ulat sagu secara alami produktivitasnya hanya 2,52 kg/m3. Menurut petani sagu, tidak ada musim khusus bagi kumbang merah kelapa untuk bertelur. Waktu kumbang bertelur berhubungan dengan regenerasi larva menjadi kumbang. Jumlah kumbang di alam meningkat seiring dengan banyaknya limbah pengolahan sagu. Dengan demikian, tersedianya limbah sagu memberikan kesempatan bagi kumbang merah kelapa untuk berkembang biak secara alami sepanjang tahun. Waktu panen ulat sagu berkaitan erat dengan siklus kumbang merah kelapa, yang dimulai dari telur, kemudian larva instar 1, 2, 3, 4, 5, 6, dilanjutkan dengan stadium kepompong sampai kemudian menjadi imago dan kumbang dewasa (Gambar 3). Waktu panen ulat sagu terbaik adalah pada larva instar 5 dan 6, atau
Produksi Ulat Sagu melalui Budi Daya Teknologi budi daya ulat sagu didasarkan pada daur hidup kumbang merah kelapa. Kumbang terbang pada siang hari dan biasanya tertarik pada batang sagu (juga batang tebu) yang telah ditebang dan agak membusuk. Pada waktu akan bertelur, kumbang betina membuat lubang dengan sungutnya pada bagian batang yang luka atau busuk (layu). Lubang sedalam 3 mm diisi 400−500 butir telur. Periode bertelur berlangsung 1−3 bulan. Telur akan menetas dalam 2−3 hari. Larva yang baru menetas masuk ke dalam pucuk batang dan memakan jaringan yang lunak serta membuang bagian yang berserat ke luar lubang, sehingga di luar lubang akan terlihat adanya getah dengan kotoran dan bekas makanan yang berbau tajam. 52
Gambar 2. Alat penangkaran ulat sagu. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Tabel 2. Kandungan asam amino ulat sagu dan pakan dari ulat sagu.
s
Asam amino (ppm)
D
E t
t s
C t s
t
B s
s
A
A = Masa bertelur tersedia, minimum 1 bulan dan maksimum 3 bulan, B = Masa telur menetas, 2−3 hari, C = Masa larva, 2 bulan, D = Masa pupa, 2−3 minggu, E = Masa imago dan kumbang dewasa.
Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistin Isoleusin Leusin Fenil alanin Lisin
Ulat sagu
Pakan
1,840 2,715 1,659 7,631 1,224 1,008 0,983 0,910 1,958 1,868 1,110 1,073 0,978 1,006 0,910 2,185 1,970
1,678 2,512 0,502 0,592 0,599 0,536 0,288 0,531 0,251 0,216 0,487 0,422 0,275 0,280 0,579 0,585 0,875
Gambar 3. Siklus hidup kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus).
berumur 39−45 hari sejak gelondong sagu yang ditemukan ada telurnya. Larva instar 5 dan 6 dengan umur 39− 45 hari memiliki bobot masing-masing 4,10–5 g dan 5,10–6 g. Larva instar 6 telah mendekati masa kepompong, sehingga waktu pertumbuhan lebih dari 45 hari merupakan saat kritis bagi pemanenan. Oleh karena itu, waktu panen yang baik adalah 39−45 hari setelah panen sagu.
PROSPEK PEMANFAATAN ULAT SAGU Penelitian dan pengkajian (litkaji) tentang pemanfaatan sumber daya lokal untuk pakan ternak telah banyak dilakukan guna memenuhi kebutuhan protein bagi ternak, seperti penggunaan rayap dan cacing tanah untuk pakan ayam buras atau bekicot (keong) untuk pakan itik (Tiro et al . 2002; Uhi dan Hetharia 2002; Usman et al. 2002; Matitaputty 2003). Hasil litkaji menunjukkan serangga dapat dimanfaatkan dalam membuat pakan unggas. Berdasarkan hasil analisis proksimat, ulat sagu mengandung protein 13,80%, lemak 18,09%, dan air 64,21% (Wikanta 2005). Ulat sagu juga mengandung berbagai asam amino esensial yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi alternatif sumber protein dalam pakan ternak. Masyarakat di desa sentra pengolahan sagu di Papua Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
dan Maluku telah terbiasa mengonsumsi ulat sagu dan tidak memberikan efek samping seperti alergi atau keracunan. Berdasarkan kandungan protein dan asam amino ulat sagu, BPTP Maluku telah membuat ransum pakan ikan dan ayam buras dengan menggunakan ulat sagu sebagai pengganti tepung ikan. Namun belum diperoleh persentase ulat sagu yang tepat pada ransum. Hasil analisis proksimat asam amino ulat sagu dan pakan dari ulat sagu sebagai sumber protein disajikan pada Tabel 1 dan 2. Informasi dan pemanfaatan ulat sagu sebagai sumber protein pada pakan ternak masih terbatas. Namun demikian, ulat sagu prospektif sebagai salah satu alternatif sumber protein pada pakan.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat ulat sagu dan pakan dengan ulat sagu sebagai sumber protein. Kandungan bahan (%) Karbohidrat Air Abu Protein Lemak
Ulat sagu1
Pakan 2
0,02 64,21 0,70 13,80 18,09
50,04 5,70 1,30 24,77 17,22
Analisis dilakukan di Laboratorium Pusat Pascapanen dan Sosial Ekonomi Perikanan, DKP. 2 Analisis dilakukan di Laboratorium BB Pascapanen, Badan Litbang Pertanian. 1
KESIMPULAN DAN SARAN Provinsi Maluku memiliki areal sagu 31.360 ha yang tersebar di tujuh kabupaten. Berdasarkan peta AEZ skala 1:250.000, lahan yang berpotensi menjadi areal sagu mencapai 649.938 ha. Tanaman sagu yang dapat dipanen dalam setahun mencapai 86 pohon/ha. Limbah hasil panen tanaman sagu, dalam bentuk gelondong batang hingga ke pucuk yang telah layu (busuk), merupakan habitat ulat sagu. Ulat sagu dapat diperoleh dari alam maupun melalui budi daya. Tingkat pemanfaatan pohon sagu di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat pada tahun 2006 mencapai 7.236 pohon, dengan produksi ulat sagu secara alami 2,56 ton (produktivitas 2,89 kg/m3). Potensi ulat sagu Maluku diasumsikan 953 ton, berdasarkan luas aktual tanaman sagu saat ini dan produktivitas rata-rata 2,52 kg/m3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku telah berhasil membudidayakan ulat sagu pada media gelondong (batang) sagu. Budi daya selama 42 hari menghasilkan ulat sagu dengan bobot 3,27 ± 1,30 g/ ekor, panjang 3,30 ± 0,75 cm, dan jumlah larva per batang 127 ekor (volume batang 0,15 m3 dengan produktivitas 2,77 kg/m3). Perkembangbiakan kumbang merah kelapa terjadi sepanjang tahun. Waktu panen ulat sagu yang tepat adalah pada umur 39−45 hari setelah tanaman sagu 53
ditebang atau saat larva pada fase instar 5 dan 6. Ulat sagu mengandung protein 13,80% serta sejumlah asam amino yang
relatif tinggi. Pemanfaatan ulat sagu saat ini masih terbatas, tetapi prospektif sebagai sumber protein pada pakan ternak. Namun, komposisinya yang tepat pada
ransum pakan unggas dan ikan perlu diteliti agar kualitas pakan setara dengan pakan komersial.
Symposium in Kuala Lumpur, Malaysia. Martinus Nijhoff Pub. The Hague/Boston/ London.
curvignathus, Holmgren) sebagai pakan ayam buras pada periode bertelur. hlm. 236− 242. Prosiding Seminar Regional Peran Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis pada Era Otonomi Khusus Papua, Papua, 7–8 Januari 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Alfons, J.B. dan S. Bustaman. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. 45 hlm. Alfons, J.B., R. Senewe, dan M. Pasireron. 2004. Potensi, kendala dan peluang pengembangan sagu di Maluku. hlm. 449−459. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pertanian. Jayapura, 5−6 Oktober 2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Anhar, A.N. 2004. Tepung ikan Indonesia butuh perhatian. Sinar Tani. No. 3067. hlm. 8. Antawidjaja, T., I.A.K. Bintang, Supriyati, A.P. Sinurat, dan I P. Kompiang. 1997. Penggunaan ampas kirai (Metroxylon sagu) dan hasil fermentasinya sebagai bahan pakan itik yang sedang tumbuh. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(3): 175–180. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. 1999. Peta Zona Agroekologi skala 1:250.000 Wilayah Provinsi Maluku (termasuk Maluku Utara). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Louhenapessy, J.E. 1994. Evaluasi dan Klasifikasi Kesesuaian Lahan bagi Sagu (Metroxylon spp). Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Louhenapessy, J.E. 2006. Potensi dan pengelolaan sagu di Maluku. Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku, 29–30 Mei 2006. Kerja Sama Universitas Pattimura, Bappeda Provinsi Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Matitaputty, P.R. 2003. Pengkajian Agribisnis Ternak Unggas (Pemeliharaan Itik Petelur). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Seri Agriwawasan. Penebar Swadaya, Jakarta. 417 hlm.
Edrus, I.N., A. Laetimia, H. Mahu, dan M. Tohulelu. 2007. Laporan Hasil Pengkajian Potensi dan Budi Daya Ulat Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2006. Data dan Informasi Sumber Daya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. 73 hlm.
Flach, M. 1980. The Main Moisture-Rich Starchy Staples, Sago. The Second International Sago
Tiro, B.M.W., S. Tarajoh, H.T. Uhi, dan Usman. 2002. Pemanfaatan rayap (Coptotermes
54
Uhi, H.T. dan L.F. Hetharia. 2002. Efektivitas suplementasi rayap Glyptotermes montanus Kemner terhadap perkembangan bobot organ dalam ayam Rokky-301. hlm 212− 219. Prosiding Seminar Regional Peran Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis pada Era Otonomi Khusus Papua, Papua, 7–8 Januari 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, Usman, S. Tarajoh, B.M.W. Tiro, dan H.T. Uhi. 2002. Penampilan pertumbuhan ayam buras dengan teknik pemberian cacing tanah (Lumbricus terrestris). hlm. 224−231. Prosiding Seminar Regional Peran Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis pada Era Otonomi Khusus Papua, Papua, 7–8 Januari 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Wikanta, T. 2005. Analisa Kimia Kandungan Gizi Larva Kumbang Merah Kelapa (Rhynchophorus ferrugineus Olivier). Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008