PROJECT BASED LEARNING
TYPHOID
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Blok Sistem Dygestive
Disusun Oleh :
YULVIANA DWI OKTAVIA
145070200131007
Kelas 1 A
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. (Olsen, 2004)
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010)
KLASIFIKASI
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis:
Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung.
Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.
(WHO, 2003)
ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dari spesies Salmonella enteric. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013)
EPIDEMIOLOGI
Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk. (Elisabeth et all, 2016)
Penyakit Demam Typhoid merepukan penyakit menular dengan kasus sebanyak 22 juta/tahundi dunia yang menyebabkan 216.000-600.000 kematian. (Elisabeth et all, 2016)
FAKTOR RESIKO
Kurangnya kebersihan lingkungan
Penduduk yang padat
Sanitasi yang rendah
Makanan dan minuman yang tercemar/ kurang higienis
Remaja dan anak-anak
Imun yang rentan
Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya.
(Soedarno et al, 2008).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama Universitas Sumatera Utara dengan tinja atau urine.
Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
PATOFISIOLOGI
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Berdasarkan masa dapat diambil kesimpulan :
Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala influenza, berupa : anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut. (Parry et al, 2002)
Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual , muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak, sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita 12 ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2011).
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo et al, 2010).
Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam (Kemenkes, 2006). Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala toksemia (adanya protein dalam urin) semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono, 2011).
Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami takipnea dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer's patch mungkin dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis (Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Asdie, 2005).
Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap (Soedarmo et al, 2010). Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Supriyono, 2011).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. (Sudoyo, 2010)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan demam tifoid secara garis besar digolongkan dalam tiga kelompok yaitu:
Isolasi kuman penyebab demam tifoid, S.typhi, melalui biakan kuman dari spesimen seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum
Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari S.typhi
Pemeriksaan pelacak DNA kuman S.typhi
(Retnosari dan Tumbelaka, 2000).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin ditemukan trombositopenia. Dengan adanya leucopenia dan limfositis relative menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo, 2006).
Pemeriksaan Bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Pada awla penyakit, bakteri akan mudahh ditemukan dalam darah dan susum tulalang pada awal penyakit. Dan stadium berikutnya pada urin dan feses (Hardi et al, 2002)
Kultur organismepenyabab merupakan prosedur paling efektif dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua per tiga dari kasus septicemia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit. (Wain dan Hosoglu, 2008)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu :
- Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh kuman )
- Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman )
- Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simapi kuman
PENATALAKSAAN MEDIS
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006).
Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama
Selain dilakukan pencegahan juga dilakukan pengobatan demam tifoid terdiri dari 3 bagian yaitu:
Perawatan Tatalaksana
Penderita baru dengan kemungkinan demam tifoid sebaiknya dirawat inap. Rawat inap perlu bagi penderita komplikasi, bila pemasukan makanan atau cairan kurang. (Soedarmo dkk, 2002).
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. (Juwono, 2004).
Diet
Kadang pula makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan (Soedarmo dkk, 2002).
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secaradrastis(1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Co trimoxazol
Ampisilin
Amoksisilin
Seftriakson
Sefiksim
DAFTAR PUSTAKA
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke-2. 2008. UK Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta
WHO (World Health Organization). Background Doc: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever 2003. Geneva, Swizerland
Tumbelaka AR, Retnosari S. 2000. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI.
Parry CM, Hien TT, Dougan G White NJ, Farrar JJ. 2002. Typhoid fever. N Eng J Med.
Olsen SJ. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Tests for Typhoid Fever. J Clin Microbiol.
Darmowandowo D. 2006. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club.