22MANAJEMEN TANAH PERKOTAANMANAJEMEN TANAH PERKOTAAN
2
2
MANAJEMEN TANAH PERKOTAAN
MANAJEMEN TANAH PERKOTAAN
Pengelolaan kawasan Hutan Berbasis Masyarakat
(Desa Ekowisata Kalibiru Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo)
I. Pendahuluan
Latar belakang
Makalah ini akan membahas tentang pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat di Kalibiru Kabupaten Kulonproggo. Pengelolaan kawasan hutan di Kalibiru dilakukan untuk mengoptimalkan peluang ekonomi melalui kegiatan wisata alam yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan warga, dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan sebagai hutan lindung dan produksi yang merupakan daerah tangkapan air bagi Waduk Sermo. Selain berusaha menyeimbangkan fungsi ekologis dan ekonomis, pengelolaan kawasan hutan di Kalibiru juga dilakukan melalui model pemberdayaan masyarakat yang melibatkan masyarakat secara aktif sebagai subyek dan obyek pengelolaan kawasan. Lahan yang semula kurang bernilai ekonomi, oleh masyarakat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang dapat menarik wisatawan. Pengembangan kegiatan wisata ini dilakukan dengan tetap mempertahankan fungsi lahan sebagai daerah penyangga dan tangkapan air bagi kawasan di bawahnya.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi, pada umumnya merupakan masyarakat miskin. Hal ini terjadi karena pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan hutan secara ekonomi masih terbatas. Mereka sebatas mengambil hasil hutan seperti kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa berfikir untuk memaksimalkan potensi pemanfaatan hutan yang diijinkan bagi peningkatan pendapatan. Kemiskinan akan mengakibatkan masalah lain seperti penjarahan hutan yang berdampak pada rusaknya lingkungan, urbanisasi yang berdampak pada tumbuhnya masalah sosial dan ekonomi di kota, serta masalah lain seperti kesehatan dan rendahnya pendidikan warga.
Desa Wisata Kalibiru adalah sebuah contoh sukses pengelolaan hutan yang berhasil meningkatkan pendapatan warga dengan tetap mempertahankan fungsi kawasan sebagai kawasan lindung. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, kawasan Desa Kalibiru yang semula merupakan lahan kritis karena penjarahan hutan oleh warga dapat berubah menjadi tempat wisata alam yang banyak diminati pengunjung. Transformasi dari lahan kritis menjadi tempat wisata ini memberikan dampak positif baik bagi
pendapatan warga, ekonomi daerah secara keseluruhan, maupun bagi fungsi ekologis kawasan. Adanya nilai positif pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat inilah yang menjadi latar belakang kajian ini. Nilai positif tersebut diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pengelolaan lahan di wilayah lain.
Urgensi Topik
Pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat di Kalibiru merupakan topik yang layak untuk dikaji. Meskipun tidak berlokasi di perkotaan yang mencerminkan dinamika permasalahan lahan kota, tetapi secara langsung berkaitan dengan isu ekonomi tanah perkotaan. Permasalahan lahan kota tidak berdiri sendiri sebagaimana fungsi kota yang saling terkait dengan daerah lain. Kota dan daerah sekitarnya dilihat sebagai sebuah sistem dengan keseimbangan peran untuk mendukung aktivitas manusia di atasnya. Ketika peluang kehidupan yang lebih baik antara kota dan daerah sekitarnya tidak sama, maka memicu perpindahan penduduk dari desa ke kota yang dipersepsikan memiliki peluang kehidupan lebih baik yang akan merusak keseimbangan sistem yang ada.
Manajemen lahan perkotaan tidak hanya dilakukan melalui tindakan kuratif atas permasalahan lahan di perkotaan, tetapi juga dapat dilakukan melalui tindakan preventif pada tatanan sumber masalah. Salah satu langkah preventif dalam manajemen lahan di perkotaan adalah melalui penciptaan peluang kehidupan ekonomi yang lebih baik di desa dengan harapan dapat mengurangi perpindahan penduduk ke kota yang menjadi sumber masalah di perkotaan. Pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat di Desa Kalibiru merupakan wujud kongkret peningkatan peluang ekonomi warga di desa yang dapat mengurangi potensi urbanisasi warga.
Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah tingginya urbanisasi yang memberikan tekanan bagi kehidupan kota dan disisi lain menurunkan produktivitas desa. Urbanisasi memicu masalah sosial dan ekonomi di perkotaan karena banyak SDM non terampil yang bermigrasi ke kota karena tidak ada peluang ekonomi di desa. Tenaga kerja non terampil akan mengisi sektor informal yang memiliki dampak negatif bagi kehidupan kota. Kelompok masyarakat ini akan bertempat tinggal dan mengembangkan aktivitas ekonomi di lahan-lahan yang strategis tetapi murah. Mereka akan menempati tanah kosong dan aset-aset negara seperti bantaran sungai, ruang publik dan fasilitas umum yang rawan konflik. Bagi desa yang ditinggalkan, urbanisasi mengakibatkan kegiatan ekonomi berjalan lambat. Lahan menjadi terlantar karena tidak ada yang menggarap. Nilai tanah di desa juga sangat rendah dan timpang jika dibandingkan dengan kota.
Pemerataan kesempatan penghidupan yang lebih baik antara desa dan kota menjadi urgen dalam pengembangan wilayah agar konsentrasi pertumbuhan dan kegiatan tidak menumpuk di kota. Kalibiru yang merupakan daerah penyangga di Kabupaten Kulonprogo sukses mengembangkan perannya sebagai kawasan lindung bagi daerah sekitarnya, tetapi dapat mengoptimalkan peluang ekonomi melalui kegiatan pariwisata alam yang dikelola secara partisipatif oleh warganya. Hal ini dapat mengurangi perpindahan penduduk dari desa ke kota dan dapat mengoptimalkan nilai ekonomi lahan yang ada di desa. Alasan-alasan inilah yang menjadikan topik ini layak untuk dikaji sebagai best practice pengelolaan lahan di Indonesia.
Pengelolaan kawasan Hutan Berbasis Masyarakat
(Desa Ekowisata Kalibiru Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo)
II. Kajian Teori
2.1 Hutan Kemasyarakatan
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, di samping Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
2.2 Peraturan terkait Hutan kemasyarakatan
Program Hutan Kemasyarakatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat setempat. Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan ini didasarkan pada peraturan sebagai berikut :
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan;
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan;
Peraturan Pemerintah Kehutanan No. 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan; dan
Peraturan Menteri Kehutanan No. : P. 18/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan.
HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. IUPHKm pada Hutan Lindung meliputi :
Pemanfaatan kawasan meliputi (budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak.
Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon.
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu meliputi penanaman untuk vegetasi non-kayu seperti rotan, bambu, madu, getah, buah, jamur.
Sedangkan IUPHKm pada Hutan Produksi pemanfaatannya meliputi:
Pemanfaatan kawasan, dengan pemanfaatan untuk tanaman budidaya tanaman obat; budidaya tanaman hias; budidaya jamur; budidaya lebah; penangkaran satwa; dan budidaya sarang burung walet.
Penanaman tanaman hutan kayu,
Pemanfaatan jasa lingkungan, dengan pemanfaatan untuk jasa aliran air; pemanfaatan air; wisata alam; perlindungan keanekaragaman hayati; penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon.
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, dengan pemanfaatan untuk tanaman rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil; getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran.
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu dan
Pemungutan Hasil Hutan Kayu.
Pada Hutan Produksi pemungutan Hasil Hutan Kayu diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kebutuhan masyarakat setempat dengan ketentuan maksimal 50 (lima puluh) meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan, dikerjakan paling lama 1 (satu) tahun.
Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.
Pelaksanaan HKm dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); dan ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.
2.3 Azaz dan Prinsip Hutan kemasyarakatan
Dalam pelaksanaannya Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan dengan berpedoman kepada tiga asas, yaitu:
manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
musyawarah mufakat, dan
keadilan.
Selain itu, penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan juga berpedoman kepada prinsipprinsip berikut:
tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,
pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman,
mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,
menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa,
meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,
memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,
adanya kepastian hukum,
transparansi dan akuntabilitas publik,
partisipatif dalam pengambilan keputusan.
2.4 Wisata Alam
Wisata alam adalah bentuk kegiatan rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam, baik dalam keadaan alami maupun setelah ada usaha budidaya, sehingga memungkinkan wisatawan memperoleh kesegaran jasmaniah dan rohaniah, men-dapatkan pengetahuan dan pengalaman serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Anonymous, 1982 dalam Saragih, 1993).
Wisata alam merupakan kegiatan rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi alam untuk menikmati keindahan alam baik yang masih alami atau sudah ada usaha budidaya, agar ada daya tarik wisata ke tempat tersebut. Wisata alam digunakan sebagai penyeimbang hidup setelah melakukan aktivitas yang sangat padat, dan suasana keramean kota. Sehingga dengan melakukan wisata alam tubuh dan pikiran kita menjadi segar kembali dan bisa bekerja dengan lebih kreatif lagi karena dengan wisata alam memungkinkan kita memperoleh kesenangan jasmani dan rohani. Dalam melakukan wisata alam kita harus melestarikan area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat sehinga bias menjadi Desa wisata, agar desa tersebut memiliki potensi wisata yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti alat transportasi atau penginapan (anonimous).
Sedangkan pengertian Wisata Alam menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Sedangkan kawasan konservasi sendiri adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai sistem penyangga kehidupan, peng-awetan keaneka-ragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 31 dari Undang-undang No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa dalam taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan wisata alam. Pasal 34 menyebutkan pula bahwa pengelolaan taman wisata dilaksanakan oleh Pemerintah.
2.5 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi, sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara umum dan luas. Partisipasi adalah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena, di antara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM. Dalam pengertian ini, partisipasi adalah suatu tujuan dalam dirinya sendiri; artinya, partisipasi mengaktifkan ide HAM (Hak Asasi Manusia), hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan untuk memperkuat demokratif deliberatif. Sebagai suatu proses dalam pengembangan masyarakat, partisipasi berkaitan dengan HAM dengan cara lainnya. Paul berpendapat bahwa dalam partisipasi harus mencakup kemampuan rakyat untuk memengaruhi kegiatan-kegiatan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraanya. Arti partisipasi sering disangkut pautkan dengan banyak kepentingan dan agenda yang berbeda yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dan pembuatan keputusan secara politis. Dalam lain hal, Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban warga Negara untuk memberikan konstribusinya kepada pencapaian tujuan kelompok. Sehingga mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya.
III. Deskripsi Kasus
Gambaran Umum Kawasan
Kawasan Kalibiru merupakan salah satu kawasan hutan di Kabupaten Kulonprogo. Hutan di Kabupaten Kulonprogo memiliki luas 856,5 hektar yang mencapai sekitar 1,5% dari total luas wilayah kabupaten (58.627 Ha). Hutan di wilayah ini terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu hutan lindung dengan luas 254,9 Ha dan hutan produksi 601,6 Ha. Hutan lindung sebagian besar berlokasi pada daerah berkontur curam, sedangkan hutan produksi pada kawasan relatif landai.
Deliniasi kawasan hutan di Kabupaten Kulonprogo sudah dilakukan sejak jaman kolonial. Awalnya kawasan hutan negara merupakan permukiman penduduk yang oleh pemerintah kolonial dirubah fungsinya sebagai hutan. Hingga saat ini masih dapat ditemukan bekas baturan permukiman penduduk di kawasan hutan. Pada tahun 1930-an desa-desa pada lokasi yang saat ini menjadi hutan, dipindah oleh Pemerintah Kolonial dengan restu dari Kasultanan Yogyakarta melalui peraturan Sultan mengenai tanah domein yaitu Sultanaatsdomeingronden ddo. 22 Juni 1928 No. 6/1 H. Adanya peraturan sultan tersebut menunjukkan bahwa tanah yang dimaksud diklaim sebagai Sultan Grond disamping Pakualam Grond yang juga banyak terdapat di Kabupaten Kulonprogo. Pemindahan penduduk untuk dijadikan sebagai hutan terjadi antara tahun 1938-1942.
Jumlah desa di pinggiran hutan mencapai sepertiga dari total desa di Kabupaten Kulonprogo. Jumlah penduduk Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2014 sebanyak 459.231 Jiwa (129.789 KK). Penduduk yang masuk kategori keluarga miskin sebanyak 45.025 KK (37,5%) yang sebagian besar berada di sekitar kawasan hutan negara. Hal itu berarti, hampir seluruh kawasan hutan di Kulonprogo sebenarnya merupakan lingkungan alami penduduk desa. Mereka umumnya bekerja sebagai petani lahan kering di perbukitan, peternak sapi, pedagang kecil, dan sebagian merupakan pegawai.
Secara spesifik, wisata alam Kalibiru berlokasi di Dusun Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo yang merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Kulonprogo terletak di bagian Barat-Laut Provinsi DIY dengan topografi berbukit (bagian dari rangkaian Perbukitan Menoreh yang melingkupi daerah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang) dengan ketinggian 450 Dpl. Suhu rata-rata kawasan ini adalah 23 derajat celcius. Kalibiru berada sekitar 40 km dari Kota Yogyakarta dan 10 km dari Kota Wates. Lokasi Kalibiru dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Sumber: Vitasurya dkk, 2015.Sumber: Vitasurya dkk, 2015.
Sumber: Vitasurya dkk, 2015.
Sumber: Vitasurya dkk, 2015.
Wisata alam Kalibiru terletak di kawasan hutan negara. Secara administratif, Dusun Kalibiru berbatasan dengan Dusun Clapar di sebelah Utara, di sebelah Selatan dan Timur dusun ini berbatasan dengan Kecamatan Pengasih sedangkan di sebelah Barat dusun ini berbatasan dengan Dusun Sermo Lor. Jumlah warga di dusun Kalibiru sampai tahun 2013 yaitu 387 warga.
Jarak antara rumah warga di Dusun Kalibiru masih saling berjauhan sekitar 50 - 100 meter, karena jumlahnya sedikit. Akses jalan menuju ke Dusun Kalibiru sedikit terjal namun sudah beraspal sehingga dapat dilalui oleh mini bus berukuran sedang. Tidak ada transportasi publik yang langsung menuju kesana. Namun biasanya kelompok tani hutan pengelola Desa Wisata Kalibiru bekerja sama dengan para supir angkut mini bus untuk menjemput wisatawan sesuai dengan tempat yang dijanjikan.
Sebagian besar masyarakat Dusun Kalibiru bekerja sebagai petani dan peternak, sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil, karyawan swasta dan pedagang. Sebagian besar masyarakat Kalibiru bergantung kepada hutan negara yang ada. Hasil andalan hutan negara di daerah Kalibiru adalah tanaman hutan kayu, jati adalah yang paling banyak ditanam dahulunya, namun karena banyaknya pembalakan liar oleh warga yang menyebabkan kegundulan hutan maka dibuatlah cara agar hutan tetap lestari dan masyarakat tetap bisa mengambil keuntungannya, yaitu pertama dengan reboisasi hutan. Kemudian setelah hutan mulai lebat kembali masyarakat berinisiatif memanfaatkan hutan sebagai wisata alam.
Tanaman jati dan palawija sekarang sudah jarang ditemui dikawasan hutan kemasyarakatan Kalibiru, kebanyakan petani sekarang menanam pohon buah seperti rambutan, durian, pete, melinjo, mangga, cengkeh dan sejenisnya. Masyarakat juga memanfaatkan lahan dengan menanam empon-empon (tanaman jamu-jamuan) seperti lengkuas, temulawak, kunyit dan jahe. Kemudian ada ide baru untuk menanam cabe jamu dan merica. Pemanfaatan hutan juga digunakan bukan hanya untuk tanaman tapi juga untuk budi daya lebah madu hutan yang akan segera dibangun yang nantinya juga dapat menjadi salah satu atraksi wisata Dusun Kalibiru.
3.2 Sejarah Pengusaan Tanah
Kawasan hutan di Kalibiru memiliki sejarah panjang sejak jaman kolonial. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kawasan hutan ini awalnya merupakan desa permukiman penduduk yang diubah fungsinya menjadi hutan. Menurut ingatan kolektif masyarakat desa, pengambilan manfaat atas tanah tersebut bukan merupakan pengambialihan hak milik atas tanah mereka itu untuk selama-lamanya namun untuk hak sewa selama 25 tahun. Hal ini dipahami atas nilai ganti-rugi tanaman tersebut dan bukan ganti-rugi ataupun pembelian tanah. Jadi sebenarnya, selama proses ganti-rugi tersebut, mereka masih menganggap bahwa tanah-tanah itu adalah masih tanah-tanah mereka yang sedang disewa selama 25 tahun oleh Pemerintah Kolonial. Hal inilah yang menjadi bibit terjadinya konflik lahan di Kalibiru. Pengembangan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang mampu meningkatkan pereknomian warga Kalibiru, dianggap mampu meredam potensi konflik lahan tersebut. Secara garis besar sejarah penguasaan lahan di Kalibiru dapat dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut.
Sebelum tahun 1930
Hutan merupakan perkampungan penduduk yang dihuni secara turun-temurun. Penduduk rata-rata menguasai 1 – 2 hektar yang selain digunakan sebagai tempat tinggal atau rumah juga digunakan sebagai pekarangan dan tegalan. Sebagian penguasaan lahan oleh penduduk yang tercatat dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Sumber: Aji dkk, 2015.
Tahun 1930 – 1945
Penduduk mulai dipindahkan dan kawasan dirubah fungsinya sebagai hutan. Dalam pengelolaan kawasan penduduk dilibatkan sebagai tenaga harian yang diupah dalam program reboisasi antara lain pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Hubungan antara Pemerintah Kolonial dengan penduduk pada masa ini adalah antara buruh dan penguasa kawasan hutan. Hal ini memunculkan ironi karena penduduk yang awalnya merupakan pemilik lahan, setelah pengambilalihan menjadi tidak memiliki akses atas tanah tersebut. Kawasan hutan kemudian dikenal sebagai "alas tutupan" yang terlarang bagi masyarakat bahkan sekedar untuk mengambil kayu bakar.
Tahun 1945 – 1949
Status kawasan tutupan yang tadinya dikuasai Pemerintah Kolonial diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, yang kemudian ditetapkan sebagai Hutan Negara. Secara keseluruhan Hutan Negara yang ada di Kabupaten Kulon Progo adalah seluas 1.047 Ha, dan sebagian besar merupakan lahan berbukit di sepanjang Perbukitan Menoreh.
Tahun 1949 – 1964
Pada masa ini pemerintah berhasil melakukan reboisasi di kawasan Hutan Negara, sehingga kawasan ini mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Kawasan hutan mampu menjadi daerah tangkapan air yang baik. Mata air mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, sehingga pemukiman di sekitar kawasan ini tidak pernah mengalami kekeringan. Keawetan tanah juga lebih terjaga, tanah longsor hampir tidak pernah terjadi. Demikian juga bencana banjir dapat dicegah. Di sisi lain, keanekaragaman hayati baik berupa tanaman maupun satwa juga terjaga dengan baik. Pada era ini masyarakat merasa nyaman tinggal di sekitar kawasan huan karena kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari lahan-lahan pertanian mereka.
Tahun 1964 – 2000
Pada periode ini kondisi Hutan Negara mulai mengalami kerusakan. Secara perlahan-lahan kualitas hutan semakin menurun akibat pengrusakan hutan. Berawal pada sekitar tahun 1964 – 1965, dimana pada waktu itu situasi politik Indonesia berada dalam kekacauan akibat adanya pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini secara sosial dan ekonomi berdampak pada masyarakat yang khawatir terhadap situasi yang berkembang. Kekhawatiran ini juga terjadi pada masyarakat di sekitar Hutan Negara.
Karena desakan kebutuhan ekonomi, masyarakat memilih jalan pintas dengan cara mencuri kayu di Hutan Negara. Peluang untuk menebang pohon hutan ini semakin terbuka karena penjagaan keamanan hutan tidak begitu ketat seperti waktu-waktu sebelumnya. Oknum penjaga hutan (Mandor Hutan) yang mestinya bertugas mengamankan hutan, justru bertindak sebaliknya. Mereka juga terlibat dalam pembalakan hutan tersebut. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga kondisi hutan yang dulunya lebat dan bagus, semakin hari semakin berkurang tanamannya.
Puncak dari kerusakan hutan terjadi pada saat terjadi krisis global (1997 – 2000), di mana kontrol pemerintah terhadap sumberdaya hutan betul-betul lemah, sehingga banyak pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk melakukan pembalakan liar. Akibatnya terjadi penebangan secara besar-besaran di kawasan ini, dan hanya menyisakan sebagian kecil tanaman kayu hutan.
Tahun 1999 – 2008
Memuncaknya pembalakan hutan yang terjadi antara tahun 1997 – 2000 telah membuat beberapa warga yang peduli terhadap hutan merasa prihatin. Hal ini juga menjadi alasan bagi salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Yayasan Damar, untuk masuk ke masyarakat di sekitar Hutan Negara tersebut.
Pada akhir tahun 1999, melalui pendekatan terhadap orang-orang yang dianggap peduli terhadap hutan, LSM ini mulai melakukan identifikasi penyebab permasalahan yang mengakibatkan pembalakan hutan tersebut. Kehadiran LSM ini di tengah masyarakat sempat menimbulkan kecurigaan warga. Namun setelah mereka memahami maksud dan tujuannya, perlahan-lahan warga bisa menerima keberadaan LSM ini. Hal ini didukung oleh cara pendekatan yang dilakukan oleh LSM dinilai bisa menjembatani permasalahan yang sedang mereka hadapi berkaitan dengan kondisi Hutan Negara.
Pada pertengahan tahun 2000 dimulailah pendampingan secara intensif oleh Yayasan Damar terhadap masyarakat "perambah" Hutan Negara. Pendampingan dilakukan terhadap 7 Kelompok Tani, yang berada di 3 Desa, 2 Kecamatan. Setelah melalui proses pendampingan yang cukup intensif baik berupa pertemuan warga, pelatihan-pelatihan, diskusi, studi banding, maupun kegiatan partispatif lainnya, masyarakat mengalami beberapa perubahan yang cukup mendasar, antara lain:
Tumbuhnya kembali kesadaran kolektif masyarakat terhadap kelestarian hutan;
Tumbuhnya kesadaran masyarakat atas hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dalam pengelolaan Hutan Negara;
Terpeliharanya norma-norma dan kearifan lokal masyarakat.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts-II/1998 yang kemudian berganti menjadi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 31 tahun 2000, tentang Hutan Kemasyarakatan, ketujuh Kelompok Tani secara resmi mengajukan izin pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada Pemerintah. Pada tahun 2003 terbit surat Izin Sementara Pengelolaan HKm kepada kelompok masyarakat melalui Surat Keputusan Pemberian Izin Sementara Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada 7 Kelompok Tani Hutan (KTHKm) tersebut, untuk jangka waktu 5 tahun oleh Pemerintah melalui Bupati Kulon Progo tanggal 15 Februari 2003.
Pada tahun 2006 terbentuk Badan Hukum Koperasi di masing-masing kelompok. Sehingga pada tahun 2007 terbit izin tetap HKm melalui Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 437/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Bupati Kulon Progo mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada 7 Koperasi/KTHKm di Kulon Progo.
Tahun 2009 - sekarang
Pengembangan wisata alam di Kalibiru mulai dirintis pada tahun 2008 oleh Komunitas Lingkar. Pengembangan wisata alam ini awalnya merupakan upaya untuk mencegah pembalakan liar di kawasan hutan. Pembalakan liar dikhawatirkan terjadi karena adanya kekecewaan kelompok masyarakat atas aturan bahwa di hutan Lindung tidak boleh ada penebangan pohon dan bagi hasil kayu seperti di Hutan Produksi.
Pemanfaatan jasa lingkungan melalui rencana pembangunan wisata alam oleh kelompok masyarakat mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten. Pada akhir tahun 2008, pemerintah menyetujui pencairan anggaran yang diusulkan oleh Komunitas Lingkar. Sesuai dengan usulan, pelaksanaan pembangunan dilakukan secara swakelola, sehingga penggunaan anggaran dapat dioptimalkan. Pembangunan dilakukan dengan melibatkan anggota KTHKm sebagai tenaga kerja. Pada pertengahan tahun 2009 pembangunan tahap awal ini selesai dilaksanakan. Sejak saat itulah banyak pihak dari berbagai tempat yang berkunjung ke Kawasan Kalibiru.
3.3 Kelembagaan Pengelolaan Kawasan
Pengelolaan kawasan hutan Kalibiru dilakukan dengan melibatkan beberapa pihak. Pihak tersebut adalah:
Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah desa, kecamatan, kabupaten maupun Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian LHK) yang merupakan pengampu urusan kehutanan. Pemerintah bertugas memastikan hutan yang ada dapat berfungsi sebagaimana mestinya baik sebagai hutan produksi maupun hutan lindung.
LSM Yayasan Damar
LSM ini merupakan kelompok peduli hutan yang menjembatani kepentingan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola hutan. LSM ini mengembangan pendekatan kolaboratif dan partisipatif melalui metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Peranan LSM ini diantaranya:
Pendampingan terhadap kelompok tani
Pengembangan forum komunikasi kelompok tani hutan (fkkth)
Mencari solusi hukum pengembangan skema hutan desa
Penguatan kapasitas kelembagaan melalui pembentukan koperasi yang kemudian berkembang menjadi hutan kemasyarakatan (HKm)
Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan
Terdapat tujuh kelompok tani hutan yang mengelola kawasan hutan di Kalibiru. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 437/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Bupati Kulon Progo mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada 7 Koperasi/KTHKm di Kulon Progo sebagai berikut:
Model Pengelolaan Kawasan
Pengelolaan kawasan hutan di Kalibiru dilakukan dengan mengaitkan aspek perlindungan lingkungan alam dan pengelolaan hutan lindung berpadu dengan pengembangan atraksi wisata bermuara pada pelestarian lingkungan hutan. Pengelolaan dilakukan dengan model hubungan sebagai berikut.
Sumber: Vitasurya dkk, 2015.
Kegiatan pemanfatan kawasan hutan melalui jasa lingkungan di kelola dalam bingkai produk berupa wisata alam Kalibiru yang telah menjadi ikon baru tujuan wisata di Kabupaten Kulonprogo. Wisata alam Kalibiru dikelola oleh kelompok pemuda desa yang menjadi mitra dari Kelompok Tani Hutan Mandiri. Pada awalnya objek wisata tersebut dimulai dengan pembangunan berbagai sarana prasarana, dengan bantuan pembiayaan dari pihak pemerintah daerah Kabupaten Kulonprogo. Berbagai fasilitas pendukung kegiatan wisata alam (ekowisata) yang tersedia antara lain pendopo, penginapan (cottage dan homestay) dan flying fox. Paket wisata yang ditawarkan di Kalibiru diantaranya adalah flying fox, tracking, fotografi, hingga outbound dan pelatihan.
Kelompok mengelola karcis masuk, sewa penginapan (cottage), sewa pendopo, kegiatan flying fox dan foto berlatar belakang Waduk Sermo di tempat awal pemberangkatan flying fox. Kegiatan lain yang berkembang sebagai dampak pengembangan wisata alam Kalibiru, yaitu dagang dan pengelolaan area parkir.
Objek wisata alam Kalibiru secara tidak langsung telah mendorong kegiatan ekonomi masyarakat walau dalam skala kecil, akan tetapi bila dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah dapat dikatakan belum signifikan. Kegiatan wisata alam memang tidak dapat dipungkiri memberikan dampak bagi Dusun Kalibiru, karena kegiatan wisata alam tersebut telah menyerap tenaga kerja lokal yang sebelumnya merantau. Pemuda yang awalnya merantau, kemudian kembali ke desa dan terlibat dalam pengelolaan wisata secara penuh.
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa partisipasi masyarakat juga menjadi elemen penting dalam pengelolaan kawasan Kalibiru. Partisipasi warga bersifat swadaya dan swakelola. Keberadaan kelompok desa wisata dalam bentuk Kelompok Tani Hutan yang dikoordinir warga sendiri mengakibatkan pelestarian lingkungan tetap terjaga dan memudahkan penyediaan sarana dan prasarana secara mandiri. Warga juga melakukan koordinasi terkait pemeliharaan lingkungan dengan melakukan pembagian zona wilayah pengawasan. Petugas yang tergabung dalam kelompok "marshall" (istilah untuk pemandu dan pengawas lapangan) melakukan pembagian tugas secara bergiliran untuk mengawasi wilayah hutan agar terjaga kelestariannya. Gambaran pembagian wilayah koordinasi dan aksesibilitas pengunjung dapat dilihat melalui gambar berikut ini.
Sumber: Vitasurya, 2015.
3.4 Perubahan Ekonomi Masyarakat
Pengelolaan hutan kemasyarakatan di Kalibiru memberikan dampak positif bagi perekonomian warga. Median pendapatan rumah tangga per bulan di Kalibiru relatif tinggi yaitu Rp. 2.014.791,67 dengan kontribusi terbesar bagi pendapatan bersumber dari komponen di luar pertanian. Secara terperinci golongan pendapatan dan komponen pendapatan Kalibiru dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Sumber: Aji dkk, 2015.
Sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga perbulan berdasarkan jenis pendapatannya di Kalibiru antara peserta Hutan Kemasyarakatan dan Bukan peserta Hutan Kemasyarakatan dapat dilihat pada tabel. Selain berdampak pada peningkatan pendapatan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga meningkatkan penguasaan lahan oleh warga. Akses terhadap lahan juga dapat menjadi parameter kesejahteraan penduduk. Perubahan penguasaan lahan di Kalibiru dapat dilihat pada tabel berikut.
Sumber: Aji dkk, 2015.Sumber: Aji dkk, 2015.
Sumber: Aji dkk, 2015.
Sumber: Aji dkk, 2015.
Keberhasilan pengelolaan kawasan hutan Kalibiru juga dapat dilihat dari perubahan desa yang tadinya terisolir menjadi desa yang banyak dikunjungi wisatawan. Kunjungan wisatawan ini tentunya akan menggerakkan perekonomian warga terutama dalam hal penyediaan akomodasi wisata. Sebagai gambaran jumlah pengunjung wisata Kalibiru tahun 2010 – 2012 adalah sebagai berikut.
Sumber: Vitasurya dkk, 2014.
Secara spesifik dari sektor pariwisata, terjadi peningkatan pendapatan warga baik yang terlibat secara langsung sebagai tenaga kerja dalam pengelolaan kawasan maupun penduduk lainnya. Pendapatan dari pengelolaan wisata sebagian akan dibagi kepada anggota KTH Mandiri sebagai bentuk bagi hasil kegiatan koperasi. Selain itu, pengembangan pariwisata dapat menumbuhkan peluang usaha lain seperti dalam hal industri kerajian souvenir dan perdagangan.
IV. Pembahasan
4.1 Kelebihan dan Kekurangan
Pengelolaan kawasan hutan Kalibiru oleh masyarakat sebagai objek wisata memberikan hasil yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Tetapi pada kenyataannya sedikitnya masyarakat yang ikut terlibat menyebabkan keuntungan materi dari pariwisata hanya dikuasai oleh kelompok tertentu, yaitu pengelola Wisata Alam Kalibiru. Pariwisata memang membawa dampak positif dalam hal menyediakan alternatif pekerjaan bagi masyarakat lokal. Bahkan dari segi lingkungan, pariwisata membantu masyarakat Kalibiru menjaga kelestarian hutan dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup tempat tinggal mereka.
Pada dasarnya tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pariwisata di Kalibiru. Dilatarbelakangi faktor keterbatasan informasi dan sumber daya masing-masing individu. Keterbatasan kesempatan berpartisipasi juga dipengaruhi oleh organisasi koperasi yang memilih beberapa warga Kalibiru untuk mengelola pariwisata. Pemilihan yang dilakukan oleh pengurus koperasi menjamin kelangsungan pariwisata, tetapi juga membatasi partisipasi masyarakat lokal. Pada prakteknya, semakin banyak keterlibatan seseorang dalam pengelolaan pariwisata semakin besar keuntungan ekonomi yang didapat. Sedangkan penjual makanan hanya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan dagangan mereka. Masyarakat Kalibiru yang belum terlibat dalam pariwisata tidak mendapatkan keuntungan pendapatan ekonomi. Hal ini menyebabkan timbulnya kecemburuan sosial yang ditunjukan dengan rasa tidak puas warga yang belum mendapat kesempatan berpartisipasi, tetapi tidak sampai menimbulkan konflik.
4.2 Lesson Learned
Pariwisata di Kalibiru muncul sebagai cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik oleh masyarakat disekitar kawasan hutan. Pada awalnya berpotensi menimbulkan konflik besar karena warga merasa masih memiliki tanah yang hanya disewa oleh belanda selama 20 tahun. Manakala menjadi tanah tutupan yg tidk bisa diakses warga maka kmungkinan konflik besar, tetapi ketika warga d beri akses secara ekonomi maka resiko konflik akn mnurun. Proses terbentuknya pariwisata dilakukan oleh masyarakat untuk masyarakat, sehingga munculah pariwisata berbasis masyarakat. Diawali dengan banyaknya konflik manyangkut pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, maka LSM Damar melakukan edukasi serta pendampingan dalam pemanfaatan potensi kawasan hutan yang ada. Masyarakat Kalibiru terdorong untuk membentuk kelompok tani HKm yang menjadi batu loncatan munculnya pariwisata di Kalibiru. LSM Damar memiliki peran besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pariwisata.
Pariwisata juga menyebabkan perubahan kultural terhadap masyarakat Kalibiru, terutama dalam hal pemaknaan hutan. Masyarakat Kalibiru pada awalnya merupakan masyarakat yang memaknai hutan sebagai sebuah simpanan. Masyarakat akan menebang pohon didalam hutan ketika mereka membutuhkan uang dalam jumlah besar. Tetapi setelah disadarkan oleh LSM Damar, mereka merubah pemikiran tersebut dan memikirkan cara lain untuk memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Pariwisata di Kalibiru adalah hasil dari kreatifitas lokal yang terbentuk sebagai tanggapan terhadap perubahan lingkungan. Masyarakat Kalibiru mengalami perubahan pola pikir dalam memanfaatkan hutan, tidak lagi mengambil hasil hutan tetapi memfungsikan hutan sebagai atraksi pariwisata. Masyarakat menyadari bahwa hutan tersebut secara legal bukan merupakan hak milik mereka. Namun, tentunya mereka perlu turut diberdayakan untuk berpartisipasi dalammenjaga hutan yang semakin menarik untuk dieksploitasi. Sehingga sekarang sudah tidak mmpermasalahkan lagi status tanah yang penting mendapat manfaat ekonomi dari hutan yang ada di sekitar lingkungan namun tetap lestari.
Kesimpulan
Manajemen lahan tidak terlepas dari pemanfaatan dan pengendalian lahan. Pemanfaatan lahan di Kawasan hutan sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata di Kalibiru sudah dapat mengurangi dampak negatif dari penyalah gunaan hasil hutan yang pada akhirnya bisa berakibat terhadap perubahan pemanfaatan lahan.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat menjadi win-win solution bagi pemerintah dan masyarakat yang memberi nilai positif secara ekologi, ekonomi dan kejelasan status tanah.
Partisipasi masyarakat Kalibiru dalam pengelolaan kawasan hutan sebagai wisata alam merupakan model ideal dalam pemanfaatan kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan menjadi Objek dan Daya Tarik Wisata di Kalibiru dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Disisi lain peningkatan kesejahteraan masyarakat, secara tidak langsung ikut menahan laju perpindahan penduduk ke Kota khususnya Kota Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Aji, Gutomo Bayu, Rusida Yulianti, Joko Suryanto, Andini Desita Ekaputra, Tanjung Saptono, dan Hasriani Muis. 2015. Sumbangan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa terhadap Pendapatan dan Pengurangan Kemiskinan. Jakarta: PPK LIPI
Vitasurya, V. Reni, Anna Pudianti, Anna Purwaningsih, dan Anita Herawati. 2015. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Desa Wisata Kalibiru di DIY. Laporan Penelitian Pusat Studi Kewirausahaan Tidak Dipublikasi: Universitas Atma Jaya
http://jogja.tribunnews.com/2016/07/14/menteri-lingkunga-hidup-kunjungi-kalibiru-kulonprogo, diakses tanggal 30 Oktober 2016.
http://kalibiru.blogspot.com/ diakses tanggal 30 Oktober 2016.
http://www.slideshare.net/ameliapuspasari52/manajemen-lahan-dalam-pengelolaan-dan-pendayagunaan-lahan-perkotaan
http://swa.co.id/swa/trends/marketing/desa-wisata-kalibiru-bisnis-sampingan-petani-kulonprogo diakses tanggal 30 Oktober 2016.