TANTANGAN PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Oleh: H. Nur Hasyim, S.pd. Majelis Dikdasmen Dikdasmen Muhammadiyah Bancar
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai mempunyai sejarah pendidikan yang beragam. beragam. Hal ini dikarenakan banyak organisasi – organisasi organisasi yang juga mencantumkan pendidikan sebagai sarana pergerakan maupun komitmen. Dari sekian banyak organisasi tersebut dapat kita ketahui Muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang sampai saat ini masih menunjukkan eksistensinya, dan bahkan berkembang dengan sangat pesat seiring perkembangan zaman. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah merintis pendidikan modern yang yang memadukan antara pendidikan Ba Barat rat yang hanya mengajarkan “ ilmu-ilmu ilmuilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu -ilmu agama”.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang takut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang. Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran karena terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern, di pihak lain sekolah model barat bersifat sekuler dan a-nasional mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena dijauhkan dari agama dan budaya negerinya.
B. Sejarah Pendidikan Muhammadiyah Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya “Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis”” mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua Modernis faktor, yaitu faktor internal dan faktor f aktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sistem pendidikan, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok- pondok pondok pesantren dengan Kurikulum “ Sorogan “mengacu pada rujukan kitab tertentu. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode sorogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa bahasa Arab disebut metode “Halaqah” “Halaqah” dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, sedangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama. Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah mencoba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian mencoba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat. Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah, mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir ya yang ng mengedepankan “tajdid dan atau tanjih tanj ih”” dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang “ say yes” yes” pada pada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut mencoba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
C. Tantangan Pendidikan Muhammadiyah Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama“ulama-intelek” atau “intelek -ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah sekolah-s ekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-se kolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik integralisti k yang mampu melahirkan melah irkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang mesti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan, metodologi pendidikan dan atau psikologi perkembangan pendidikan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolah – sekolah yang beliau dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika keti ka Kyai menjelaskan surat al-Ma’un al- Ma’un kepada santri-santrinya santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang mestinya dikembangkan oleh para pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala AlAl-Ma’un Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan waktu itu. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaharuan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional “gagasan Abdul Mukti Ali” Ali ” menarik disimak. Menurutnya, sistem
pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti “sistem pondok pesantren” pesantren” karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah. Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul unggul Muhammadiyah, Muhammadiyah, Misalnya untuk kawasan Jawa Timur saja, di Surabaya ada SD Muhammadiyah 4 Pucang, SMAM 2 Surabaya, di Sidoarjo ada SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo, SMK Muhammadiyah Sidoarjo, di Malang ada SMK Muhammadiyah Kepanjen dan Universitas Muhammadiyah Malang dan hampir merata untuk setiap daerah Kabupaten atau kota kota di Jawa Timur berdiri sekolah Muhammadiyah Muhammadiyah unggulan. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak pada pendidikan tersebut. Apabila Muhammadiyah Muhammadiyah benar-benar mau membangun membangun sekolah – sekolah – sekolah sekolah unggulan maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri mesti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model “P “Pondok ondok Pesantern Gontor ” bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul. “Perkembangan Filsafat Dalam Pendidikan Muhmmadiyah, Syhyan Rasyidi” Jika menengok sekolah Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materimateri umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini. “Perkembangan Filsafat Dalam Pendidikan Muhmmadiyah, Syhyan Rasyidi” Perhatian dan komitmen Muhammadiyah dalam memperbarui system pendidikan tidak pernah surut, hal ini nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalam setiap muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa ada agenda pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat bahwa Muhammadiyah senantiasa memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program pendidikan dalam setiap keputusan-keputusan Muktamarnyam, akan tetapi perubahan itu masih belum menyentuh pada sekolah- sekolah Muhammadiyah di pedesaan secara merata. Inilah yang menjadi tugas PR bagi Muhammadiyah Muhammadiyah kedepan.
.Penutup Secara ideal, seharusnya pendidikan Muhammadiyah, bersinergi dengan program kelembagaan Muhammadiyah Muhammadiyah lainnya, bertumpu pada pada landasan filosofis pemikiran keislaman. Sebagaimana telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan PPI (Pengembangan Pemikiran Islam) sebagai think-tank Muhammadiyah. Sebagaimana dimaklumi, kerangka pemikiran Muhammadiyah saat ini secara metodologis bertumpu pada tiga keyword yakni: yakni: bayani, burhani dan „irfani. Pendekatan bayani bayani lebih mengacu pada pemahaman keislaman yang bersifat tekstualnormatif. Paradigma ini mengandaikan adanya keterikatan yang “rigid” dengan Al-Quran-Hadis Al -Quran-Hadis yang cenderung kurang memberikan ruang gerak ijtihad secara agak lebih luas. Pendekatan bayan bayanii ini bisa juga disebut dengan model pendekatan doktriner-tekstual-normatif. Secara burhani, Secara burhani , pendidikan di Indonesia selama ini – termasuk di dalamnya berbagai lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah – disinyalir memiliki berbagai kelemahan. Misalnya, kurangnya keterkaitan organik antara skill yang dimiliki alumni pendidikan dengan kebutuhan riil di masyarakat khususnya dengan dunia lapangan kerja (paradigma link and match). Lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan output ketimbang outcome. Selain itu, efektivitas pengajaran agama terasa kurang relevan dengan kondisi sosial yang dihadapi dihadapi umat. Secara irfan irfani, i, lembaga pendidikan Muhammadiyah – boleh jadi karena background modernitasnya yang bercirikan rasionalitas dan materialitas-birokratik – dirasakan dirasakan secara sistemik (secara personal bisa saja muncul kreativitas guru/dosen) kurang menyentuh pada wilayah-wilayah spiritualitas (yang supra-rasional dan immaterial). Pola pendidikan yang serba bayani menyebabkan model pengajaran menjadi terasa “kering”, mengingat paradigma pergerakan Muhammadiyah yang modernistik di atas sudah barang tentu berimplikasi pada amal usaha di bidang pendidikan. Apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanjih. Demikianlah beberapa refleksi penulis tentang masa depan dari sistem pendidikan Muhammadiyah Muhammadiyah pada umumnya umumnya,, Mudah-m Mudah-mudahan udahan tulisan ini membe memberikan rikan inspirasi dan menjadi bahan diskusi bagi munculnya renaisans kedua pendidikan Muhammadiyah abad 21 nantinya. Wallahu a‟lam bisshawab………
Sumber: - Makalah “ Tantangan Sekolah Sekolah Muhammadiyah” Muhammadiyah” UMY 2012 - Makalah “ Sistem Pendidikan Pendidikan MUhammadiyah MUhammadiyah “ UNY UNY 2012 - Suara Muhammadiyah edisi 15 th 2004 - Drs. Muhammad Azhar, Azhar, MA.” Renaisans ke ke 2 Pendidikan Pendidikan Muhammadiyah”
- Syhyan Rasyidi “Perkembangan Filsafat Dalam Pendidikan Muhmmadiyah” - Prof. Azyumardi Azra “ Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi , -
Sumber lainnya.