hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman. Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma. Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin. Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh
setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual. Nyepi Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka
Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantramantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin). Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur. Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani
tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas. Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Sukusuku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat. Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara). Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu. Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat
(India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi. Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat. Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi. Tujuan Hidup Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135. Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III,
10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita). "Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani." Artinya: Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk. "Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha." Artinya: Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha. Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb: "Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan." Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja. Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuhtumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup,
yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan. Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut: Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana. Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam. Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah: Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara. Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengahtengah samudra. Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia. Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:
"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan." Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian." Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi. Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha. Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan. Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia.
Pengertian ini
dilontarkan
mengingat kata
"tawur"
berarti
mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan
mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu. Pelaksanaan Upacara Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata." Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya. Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah. Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah
mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala. Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu. Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu: -Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa). - Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria. - Amati lelungan (tidak bepergian). - Amati lelanguan (tidak mencari hiburan). Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melaksanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan
terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan. Anggara Wage Wuku Gumbreg bertepatan Sasih Kapitu (Selasa, 23 Januari 2001), merupakan hari suci bagi umat Hindu. Hari tersebut dikenal dengan nama Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri berarti malam (gelap). Dan bahkan malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya "peteng pitu". Pada hari Siwaratri umat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata, meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau Agama. Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu 24 Januari 2001. Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya, sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal. Dari pandangan mata secara awam saja, tentu perbuatan membunuh, menghilangkan nyawa mahluk lain di luar tujuan yadnya, adalah berdosa. Misteri kematian dan perjalanan arwah Lubdhaka tidak banyak yang mengetahuinya.
Pemburu tersebut dalam mitologi HIndu meniggal beberapa hari setelah Siwaratri lantaran menderita suatu penyakit. Istri dan anak-anaknya merasa kehilangan. Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah mati? Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional. Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di hutan, padang perburuannya seorang diri. Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motip lain, bertahan di hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon dekat telaga yang airnya sangat bening. Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan. lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang, antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan kantuknya tangan memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam payogan Hyang Siwa. Dimana dibawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki itu tpat mengenai patung Siwa tersebut. karena takut jatuh otomatis laki-laki tetap terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.
Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Di Khayangan rohnya sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial. Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang melakukan pembunuhan terhadap sarwa buron ini mendapatkan pengampunan hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk. Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung. Arti Kata Sarasvati, Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam. Sarasvati dalam Veda Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan Sarasvati. Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti
halnya
dengan
menggunakan
sarana
banten
(persembahan).
Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut : Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama
rupini,
siddhirambha
karisyami,
siddhir
bhavantu
mesada.
Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati (n) namamy aham. Sarasvati 1-2.) Hanya Engkaulah yang
menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada. Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu Om Sarasvati namotubhyam varade kama rupini, siddhirambha karisyami siddhir bhavantu mesada Sarasvatistava I) Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu Pendahuluan Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Makna Penggambaran Dewi Saraswati Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38). Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan
kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..Penutup Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang memberikan inspirasi
dan
kahirnya
ia
dipuja
sebagai
dewi
ilmu
pengetahuan.
Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam. Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa inspirasi, kejernihan pikiran
serta
kerahayuan
yang
didambakan
oleh
setiap
orang.
Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid duhkh bhag bhavet. Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.
25. KONSEP
KEPEMIMPINAN.
EKONOMI,
PENDIDIKAN
DAN
KEBUDAYAAN AGAMA HINDU Kepemimpinan Hindu Dalam kehidupan manusia didunia ini banyak ditemui usaha kerjasama untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Keseluruhan proses
kerjasama itu dinamakan organisasi. Dengan kata lain organisasi adalah proses atau rangkaian kegiatan kerja sama sejumlah orang, untuk mencapai tujuan
tertentu
(Nawawi
da
Handari,
1995:8).
Setidaknya ada dua jenis organisasi yaitu Organisasi formal dan non formal. Organisasi formal memiliki struktur yang relatif permanen, prosedur dan mekanisme yang statis, pasti dan teratur. Sedangkan Organisasi non formal memiliki struktur yang semi permanen, prosedur dan mekanismenya mudah berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusannya cenderung ditentukan oleh kesepakatan bersama. Baik organisasi formal maupun non formal, pasti memeriukan seseorang untuk menempati posisi pemimpin (leader). Seorang pemimpin didalam sebuah organisasi mengemban tugas melaksanakan kepemimpinan. Dengan kata lain pemimpin adalah orangnya dan kepemimpinan adalah kegiatannya. Sehubungan dengan itu maka kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan / kecerdasan mendorong sejumiah orang agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Nawawi dan Handari, 1 995:9). Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan. Kepemimpinan juga berarti aktivitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Dengan kata lain kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang diinginkan untuk dikerjakan oleh orang lain. Konsep demikian kelihatanya sederhana, tetapi pada kenyataannya sering kali sangat kompleks, karena didalam kepemimpinan hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi tugas-tugas
yang
berhubungan
dengan
kegiatan
antar
kelompok.
Dari uraian diatas ada empat implikasi penting, yaitu 1) Kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikutnya. Dengan keinginan mereka untuk menerima pengarahan dari pimpinan, maka status pemimpin menjadi jelas dan membuat
proses
kepemimpinan
memungkinkan-
tanpa
ada
yang
mengarahkan, semua kualitas kepemimpinan dari seorang manajer akan tidak
relevan. 2) Kepemimpinan melibatkan sebuah pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok. Seorang pemimpin harus mempunyai kekuatan lebih dari kelompok yang dipimpin. 3) Kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku-perilaku pengikut dalam sejumlah cara. 4) Aspek gabungan dari ketiganya yang mengakui bahwa kepemimpinan adalah sebuah nilai (value). Ini adalah sebuah catatan berharga bahwa meskipun kepemimpinan
dihubungkan
dalam
kepetingan
dalam
manajemen,
kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang sama. Politik Hindu Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi, Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai cara mencari, dan mempertahankan kekuasaan, melainkan adalah bagi penegakkan Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam percakapan antara Bhagawan Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha, yaitu dalam Santi Parwal LXIII, hal 147, sebagai berikut:"manakala politik telah sirna, veda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan". Dalam bab yang lain dijelaskan pula bahwa: "ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politikiah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan"
Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut mengisyaratkan bahwa antara Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu politik Hindu adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan berakibat pada kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah). Antara politik dan kepemimpinan merupakan sebuah mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang rat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Dalam Kautilya Arthasastra dijelaskan pula bahwa "apa yang menjadikan raja senang bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah kesenangan seorang raja". Kalimat ini menunjukkan bahwa sasaran pokok dalam politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada kebahagiaan tertinggi, kemuliaan adalah pasti ("sang sura menanging ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan"). Selayang
Pandang
Kepemimpinan
di
Era
Hindu
Indonesia
Tanda-tanda tentang adanya pengaruh agama Hindu, dapat dibaca pada batu tertulis (Prasasti) di Kalimantan dan di Jawa Barat. Dari peninggalan itu dapat disimpulkan bahwa gaya huruf dari tulusan ini yang digolongkan sebagai huruf Pallawa dan bila diperhitungkan umurnya kira-kira abad keempat Masehi. Kerajaan pribumi pada waktu itu, menjalin hubungan dengan perdagangan dengan kerajaan India dan mengadopsi konsep-konsep Hindu, baik untuk mengatur negara maupun kerohanian. Yang sangat mencolok adalah pengaruh kepada organisasi negara, yang diatur sangat Hirarkis, berorientasi ke atas, sebagai aktualisasi dari konsepsi "raja adalah keturunan Dewa". Melalui konsep "raja adalah keturunan Dewa" maka kekuasaan raja menjadi
absolut.
Para pemimpin waktu itu berusaha dengan bantuan para Pendeta Hindu, untuk
menarik garis keturunan kepada Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa dan Dewa lainnya) pada dirinya guna melegitimasi kekuasaanya. Waktu itu diyakini, bahwa hanya keturunan Dewa bisa menjadi pemimpin. Tetapi yang terjadi tidak selalu demikian. Pemimpin yang ingin diakui oleh masyarakat adalah mereka yang berhasil "Mbrojol selaning Garu" (Iolos dari seleksi yang ketat). Kepemimpinan
dalam
Sastra-Sastra
Hindu
Dalam ajaran Agama Hindu banyak sekali ditemukan ajaran tentang kepemimpinan. Ia tersebar mulai dari Weda sampai pada berbagai sastra Hindu. dalam kitab Atharva Veda: 3.4.1 dijelaskan tentang tugas seorang pemimpin
sebagai
berikut:
Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang utama, seluruh penjuru mamanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujian dalam
negara
ini.
Disamping sebagai pelindung rakyat, pemimpin juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam kutipan sebagai berikut:
Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan menyebarkan dharma kepada masyarakat luas (Atharva Veda: 3.4.2).
Bila seorang pemimpin memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat serta mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka rakyatpun akan melindungi pemimpin itu sendiri ibaratnya Singa dan hutan yang saling melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang dipimpinnya.
Pemimpin yang tidak terkalahkan, melindungi rakyatnya dengan selalu meminta perlindungan Tuhan, sebaliknya rakyatpun akan selalu menghormati, dan melindungi pemimpin tersebut. (Rg Veda: 4.50.9) Bila seorang pemimpin yang pemarah dengan kesombongannya ingin menghancurkan dan menghina para Brahmana yang ahli Veda, maka negara tersebut akan hancur. (Atharva Veda: 5.19.6)
Dalam
Nitisastra
1.
1
1
disebutkan
bahwa
:
Orang tidak boleh tanpa Asraya (tempat mohon bantuan) namun usahakanlah Mahasraya. Lihatlah itu si ular naga yang mencari tempat berlindung pada Bhatara Siwa karena Baktinya ia dijadikan kalung oleh Bhatara Siwa. Ketika burung Garuda datang (musuh ular) terpaksa ular itu dihormati pula. Dalam Tantri Kamandaka, si gajah yang besar dan kuat namun angkuh, mati dibunuh oleh persekutuan si burung siung, lalat dan katak. Persekutuan dan persatuan merupakan suatu kekuatan yang maha besar sehingga akan mampu menumbangkan kekuatan sebesar apapun. Penguasa-penguasa di Bali jaman dahulu rupa-rupanya memaklumi hal ini sehingga beliau melaksanakan strategi menggalang persatuan rakyat dalam wilayahnya. Warga-warga disatukan, dipersaudarakan dengan menyatukan pura kawitannya dalam satu kompleks pura dengan pura raja dan menyebut mereka wargi sang raja. Pada hari-hari tertentu wargi-wargi itu bertemu di Pura, yang menggalang rasa kelompok dan rasa bakti kepada raja. Namun dalam hal ini raja harus cerdik melaksanakan segala upaya mempersatukan rakyatnya. Dalam sastra Jawa Kuno dikatakan bahwa Raja harus melaksanakan taktik Catur Upaya Sandhi, yaitu Sama, Beda, Dana dan Danda. Diatas pundak seorang pemimpin terletak tanggung jawab yang berat. Ditangan pemimpin tergenggam nasib segenap rakyat atau kelompok yang dipimpinnya. Nasehat Rama kepada Wibhisana dalam Kekawin Ramayana (XXIV, 51-61) yang disebut Asta Brata merupakan cerita pemimpin yang
ideal. Asta Brata itu sesungguhnya ajaran dari Manawa Dharmasastra VII.3-4 yang digubah dalam bentuk yang indah sehingga menjadi populer di Indonesia. Adapun terjemahan isi dari Astabrata dalam Kekawin Ramayana adalah: "Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena Ida Bhatara ada pada dirinya, delapan banyaknya berkumpul pada diri sang Prabhu, itulah sebabnya ia amat kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya, beliau-beliau itulah sebagai pribadi
sang
raja,
itulah
sebabnya
disebut
Asta
Brata"
1. Indra brata, Sang Hyang Indra usahakan pegang, Ia menjatuhkan hujan menyuburkan bumi, inilah hendaknya engkau contoh lndrabrata, sumbangansumbanganmu
itulah
bagaikan
hujan
membanjiri
rakyat.
2. Yamabrata menghukum segala perbuatan jahat, ia memukul pencuri sampai mati, demikianlah engkau ikut memukul perbuatan jahat, setiap yang merintangi
usahakan
musnahkan.
3. Bhatara Surya selalu menghisap air, tiada rintangan, pelan-pelan olehnya, demikianlah engkau mengambil penghasilan, tiada cepatcepat demikian Surya Brata. 4. Sasi Brata adalah menyenangkan rakyat semuanya, perilaku lemah lembut tampak, senyummu manis bagaikan amerta, setiap orang tua dan pendeta hendaknya
engkau
hormati.
5. Bagaikan anginiah engkau waktu mengamati perangai orang, hendaklah engkau mengetahui pikiran rakyat semua, dengan jalan yang baik sehingga pengamatanmu tidak kentara, inilah Bayu brata, tersembunyi namun mulia. 6. Nikmatilah hidup dengan nikmat, tidak membatasi makan dan minum, berpakaian dan berhiaslah, yang demikian disebut Dhanabrata patut diteladani. 7. Bhatara Baruna memegang senjata yang amat beracun berupa Nagapasa yang membelit, itulah engkau tiru Pasabrata, engkau mengikat orang-orang jahat. 8. Selalu membakar musuh itu perilaku api, kejammu pada musuh itu
usahakan, setiap engkau serang cerai berai dan lenyap, demikianlah yang disebut
Agnibrata.
Dari uarian-uraian diatas jelas menunjukkan bahwa tujuan raja memimpin negaranya ialah untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Tuntunan Niti dan hukum menjadi pedoman bagi sang pemimpin. "sakanikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksa ya, Ksaya nikang papa nahan prayojana, Jananuragadi tuwi kapangguha. Artinya: Tiang negaralah engkau jika bisa mengikuti Petunjuk-petunjuk hukum Manu (Manawa dharmasastra) usahakan pegang Hilangnya penderitaan itulah tujuannya Cinta orang tentu akan kita jumpai. Petunjuk-petunjuk seperti ini sangat banyak dijumpai dalam sastra sastra Jawa Kuna, yang memberikan petunjuk bahwa seorang pemimpin tidak boleh bertidak sesuka hatinya ketika ia memegang kekuasaan. Dari semua hukumhukum yang harus dipedomani oleh seorang pemimpin, disimpulkan dalam dharma yang mengandung pengertian segala sesuatu yang mendukung orang untuk mendapatkan kerahayuan. Dalam kakawin Ramayana, Bhismaparwa dan lain-lain dijumpai uraian dharma sebagai pedoman raja (pemimpin) dalam memimpin negaranya. Ika ta prassidha dharma ulahaning kadiKita prabhu, si mangraksa rat juga, Mtangian mangkana,asihning wwang ringSarwa bhuta marikang dharma mangkana ngaranyaKotamaning asih ika pagawenta piratrana ring rat,ika ta sang prabu, Makambek mangakana Terjemahan:
Demikianlah dharma yang sempurna engkau kerjakan sebagai raja melindungi negara, sebabnya demikian,sayangmu pada semua makhluk dharma namanya,penampilan kasih sayang itulah kamu kerjakan, untuk melindungi negara, demikianiah sang prabhu (pemimpin) seharusnya bertingkah laku. Kutipan diatas diambil dari Bhismaparwa,yang merupakan nasehat Bhagawan Bhisma kepada Prabhu Yudistira. Apabila sang Prabhu tidak melaksanakan tugas-tugasnya sebagai raja yang melindungi rakyat dan negara, tidak menjadi panutan yang dipimpinnya, maka ia akan kehilangan kekuasaannya karena ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat diketahui dari kutipan berikut: "Laku bhrtya matinggal ratunya, yan hana ratu akeras mapanas ing gawe, byakta sira tininggal ing wadwa nira, leheng ikang ratu makeras swapadi ngrutu makumed tar paradanda, yan hana ratu mangkana tininggal kawulanira, ya leheng makumed paradanda swapadi ratu awisesa, awisesa ngaranya manarub, ya hana wwang kulina janma sinoraken, yang hana wang adhahjati dinuhuraken, yeka anarub ngaranya, yan hana ratu mangkana tininggal sira de ning janma wwang kulina janma, (slokantara 40) Terjemahan : Pelayan dapat meninggalkan rajanya, bila raja kejam dan bengis tindakannya. Raja yang demikian tentu akan ditinggalkan rakyatnya. Lebih baik raja yang kejam daripada raja yang kikir dan sewenang-wenang. Raja yang kikir dan sewenang-wenang lebih baik daripada raja awisesa, yaitu raja yang mencampurbaurkan persoalan. Orang-orang yang arif bijaksana direndahkan dan orang yang hina dimuliakan, itulah mencampur-baurkan namanya. Bila ada raja yang demikian akan ditinggalkan oleh orang-orang arif. Kutipan ini menunjukkan beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang pemimpin agar tak ditinggalkan oleh para pengikutnya. Seorang pemimpin yang baik menurut ajaran Hindu haruslah memperhatikan masalah
kesejahteraan para pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat dilihat pada nasehat Rama kepada Wibisana berikut ini: Dewa kusala salam mwang dharma ya pahayun,Mas ya ta pahawreddhin bhaya ring hayu kekesan, Bhukti akaharepta wehing bala kasukan, Dharma kalawan artha mwang kama ta ngaranika. (Kakawin Ramayana III, 54) Terjemahan: Pura-pura (tempat suci), rumah sakit dan pedarman supaya diperbaiki, supaya diperbanyak untuk biaya pembangunan disimpan baik-baik. Nikmatilah apa yang kamu ingini berilah kesejahteraan. Dharma, artha, dan kama namanya demikian itu. Santasih nitya thaganan Kasih sayang hendaknya engkau selalu lakukan. (Ramayana III, 65) Kutipan ini juga mengandung makna bahwa raja atau pemimpin harus mengembangkan nilai kejujuran (satya ta sira mojar) dan karena itu semua rakyat akan segan terhadap raja atau pemimpinnya. Kepemimpinan Yang Paripurna Menurut Hindu "Gunamanta Sang Dasarata Wruh Sira Ring Weda Bhakti Ring Dewa Tarmalupueng Pitra Puja Masih Ta Sireng Swagotra Kabeh" Kutipan bait Ramayana di atas, menegaskan bahwa seorang pemimpin yang sempurna dalam konsep Hindu adalah seorang Rajarsi atau satria pandita. Artinya, seorang pemimpin harus memiliki kedua sifat dalam dirinya, yaitu sifat seorang Ksatria yang gagah berani dalam menegakkan dharma, dan seorang pandita yang arif bijaksana, selalu dalam kesucian, dan penuh cinta kasih.
26. KERAGAMAN RITUAL
ritual Hindu adalah representasi dari Upanishad yang melanjutkan pekerjaan Brahmana dan Aranyakas dalam menafsirkan makna dari ritual srauta. With these texts the increasing importance of knowledge of esoteric correspondences are observed as compared to ritual action. Dengan teks-teks ini semakin pentingnya pengetahuan esoterik korespondensi diamati dibandingkan dengan tindakan ritual. The sections on knowledge (jnanakanda) take precedence over sections on ritual (karmakanda). Bagian bagian pada pengetahuan (jnanakanda) didahulukan dari bagian pada ritual (karmakanda). The earlier Upanisads continue the magical speculations of the Brahmanas, which maintained that knowledge of the correspondences between ritual and cosmos is a kind of power. The Upanisads sebelumnya melanjutkan spekulasi magis dari Brahmanas, yang berpendirian bahwa pengetahuan tentang korespondensi antara ritual dan kosmos adalah semacam kekuasaan. desa-kala-patra (tempat-waktu-suasana) adalah konsep kerja dalam kerifan lokal di Bali memang mendasari proses bekerja di Mandiri. Denga cara kerja Bertolak Dari Yang Ada, tak ada yang bisa menghalangi apa yang ingin dikerjakan, asalkan mengadaptasi desa-kala-patra secara kreatif. Bahkan konsep pun bila perlu akan kami langgar dan tolak sendiri, kalau memang sudah tidak sesuai/terbukti tidak benar lagi dari sudut desa-kala patra. Apakah itu berarti tidak punya pendirian? Entahlah, kami hanya ingin tumbuh, berkembang dan hidup yang wajar, tidak terkekang oleh dogmadogma yang salah atau kedaluwarsa. 27. APLIKASI WEDA DI KALTENG Sebelum datangnya agama-agama tradisi besar dan resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak memiliki kitab suci dan ajarannya hanya disampaikan secara lisan dan turun-temurun.
Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak mempercayai banyak dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang menguasai tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dari dewa-dewa tersebut, terdapat dewa yang tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda antara Sub suku Dayak satu dengan yang lainnya, misalnya Dayak Ot Danum menyebut dewa yang tertinggi Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya Ranying Mahatalla Langit. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu pekerjaan harus meminta ijin terhadap dewa-dewa yang bersangkutan agar tidak terjadi bencana, kesialan, sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga mengenal isyarat-isyarat alam apabila hendak bepergian jauh, seperti arah terbang burung, suara burung burung tertentu, ada ular yang melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini bukan karena orang Dayak tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya adanya Tuhan, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung kepada manusia, melainkan dengan perantara alam atau isyarat-isyarat alam tersebut. Suku Dayak sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar, termasuk di antaranya kehadiran agama-agama tradisi besar. Dengan keterbukaannya tersebut, maka dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk menyebarkan agamanya. Islam telah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh kaum pendatang yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Suku Dayak yang tinggal di daerah pesisir dan banyak berhubungan dengan para pendatang dari suku-suku lain, banyak yang kemudian memeluk agama Islam. Sedangkan kegiatan misionaris agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan dan berjalan dengan gencar sejak abad ke-19. Dalam upaya Kristenisasi dan Katholikisasi terhadap Suku Dayak di pedalaman, mereka banyak menggunakan media pelayanan sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, dan pelayanan kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama tradisi besar ini cukup berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya sehingga pada saat ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama Islam, Kristen, maupun Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap
bertahan pada kepercayaan Kaharingan. Kedatangan agama-agama tradisi besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk terhadap kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan agama-agama tradisi besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan di luar mereka sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus diluruskan sesuai dengan ajaran agama mereka. Seorang Dayak yang sudah menganut Islam akan merasa malu mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia akan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu Menurut pandangan mereka, orang Melayu dengan agama Islamnya identik dengan kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang Dayak dengan kepercayaan Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan dan kekolotan. Sementara itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga tidak mendukung pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak upacara Suku Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan roh nenek moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan yang dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan Katholik, seperti upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya. Dengan hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan normanorma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya. Pada jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan Budha. Hal ini mengakibatkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Pada akhirnya para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu Dharma sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Suku Bali sebagai penganut agama Hindu Dharma mayoritas di Indonesia.
Persamaan antara kepercayaan Kaharingan dengan ajaran Hindu Dharma adalah sebagai berikut 1) Percaya Reinkarnasi, yaitu percaya bahwa roh yang telah meninggal dapat lahir kembali, baik ke dalam tubuh manusia, binatang, tumbuhan, atau bersemayam pada benda-benda mati, misalnya batu besar, pertemuan
sungai,
puncak-puncak
gunung,
dan
sebagainya.
2) Upacara kematian dan pemujaan terhadap arwah leluhur. Orang-orang Dayak memiliki tradisi yang beraneka ragam dalam memperlakukan jenazah dengan tiga cara, yaitu dikubur di dalam tanah, disemayamkan di atas tanah atau diatas pohon di dalam hutan, dan dikremasi. Sedangkan Dayak Ngaju menguburkan jenazah di dalam tanah terlebih dahulu, setelah beberapa tahun kemudian digali kembali dan tulang-tulangnya dibakar. Upacara ini mempunyai persamaan dengan di Bali, di mana jenazah orang yang meninggal ada yang dikremasi dikubur di dalam tanah, atau disemayamkan di atas tanah. Arwah leluhur yang telah meninggal pada masyarakat Dayak dipercayai bersemayam di puncak-puncak pegunungan atau di hutan-hutan dan mempunyai kekuatan untuk melindungi keturunannya. Sedangkan di Bali arwah
leluhur
dipuja
di
mrajan
(pura
milik
keluarga).
3) Upacara yang berkaitan dengan pemujaan kepada lingkungan alam. Lingkungan alam yang paling dekat dengan Suku Dayak adalah lingkungan hutan.
Manfaat
hutan
bagi
orang
Dayak,
antara
lain:
a. berkaitan dengan kepercayaan hutan sebagai tempat tinggal dewa penguasa hutan
dan
arwah
nenek
moyang
yang
melindungi
manusia.
b. berkaitan dengan sumber mata pencaharian : hutan sebagai sumber kehidupan karena merupakan tempat untuk berburu binatang dan mencari makanan. Di Bali praktik upacara-upacara yang berhubungan dengan lingkungan alam masih berjalan lestari sampai saat ini, seperti upacara Tawur Agung, Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, dan sebagainya Setelah bergabung dengan agama Hindu Dharma, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu Dharma. Konsekuensi logis dan bergabungnya mereka ke dalam
agama Hindu Dharma adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu Dharma di Indonesia. Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan bergulir semangat reformasi, maka timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian dari mereka menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma dengan tetap mengakui PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu yang resmi diakui oleh pemerintah. Sebagian lagi menyatakan bahwa Hindu Kaharingan sebagai agama yang berdiri sendiri, terpisah dari agama Hindu Dharma. Pada saat ini mereka tengah memperjuangkan kepada pemerintah agar agama Hindu Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah, sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI. Namun tampaknya juga belum ada kesepakatan bersama dalam membentuk “PHDI Tandingan” ini. Hal ini terlihat dari beberapa nama majelis yang ditawarkan sebagai wadah umat Hindu Kaharingan, antara lain BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia) dan Majelis Hindu Kaharingan. Dari uraian di atas, dapat diketahui permasalahannya, yaitu mengapa umat Hindu Kaharingan terpecah menjadi dua? Di satu pihak menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma, di lain pihak menginginkan Hindu Kaharingan berdiri sebagai agama tersendiri, lepas dari agama Hindu Dharma, dan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Kebijakan apa yang sebaiknya
ditempuh
pemerintah
untuk
mengatasi
hal
ini?
Antara umat Hindu Kaharingan yang tetap ingin bergabung dan yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma tersebut tentu memiliki pemahaman yang berbeda mengenai ajaran Hindu Dharma itu sendiri. Pihak yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma menganggap ajaran Hindu Dharma tidak cocok diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Di pihak lain, sebagian dari mereka menganggap ajaran Hindu Dharma cocok dan relevan untuk diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Untuk itu perlu dibahas satu demi satu aspek-aspek ajaran Hindu Dharma yang relevan dengan kepercayaan Kaharingan.
Konsep-Konsep Upacara dalam Ajaran Hindu Dharma Di dalam ajaran agama Hindu Dharma, upacara-upacara keagamaan terbagi dalam lima kelompok besar, atau sering disebut dengan Panca Yadnya. Kelima
kelompok
hesar
tersebut
adalah:
a) Dewa Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan beserta seluruh manifestasinya
(perwujudan
Tuhan
dalam
bentuk
dewa-dewa);
b) Rsi Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para rsi, pandita, nabi atau kaum ulama, karena berjasa sebagai perantara dalam menjalin hubungan antara manusia dengan Tuhan dan untuk memberikan ajaranajaran suci kepada manusia c) Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para leluhur atau orang tua yang sudah meninggal sebagai perantara kelahiran manusia d) Manusa Yadnya, yaitu upacara yang berkaitan dengan daur hidup manusia, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian e) Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk menjalin keharmonisan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta, seperti gunung, laut, sungai, dan sebagainya. Termasuk pula di dalamnya kehidupan yang lebih rendah dan manusia, yaitu makhluk halus, binatang dan tumbuhan. Di samping konsep Panca Yadnya, ajaran Hindu Dharma juga mengenal konsep Tri Hita Karana, yaitu konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Upacara adalah sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan elemen-elemen yang ada di dalam Tri Hita Karana tersebut. Dalam hal ini upacara Dewa Yadnya adalah untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan manusia; sedangkan Bhuta Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta. Dengan demikian jenisjenis upacara tradisional pada agamaagama tradisi kecil sebenarnya telah tercakup di dalam konsep Panca Yadnya dan Tri Hita Karana. --------------
Suksma
--------------