Politik Kebangsaan dan Potret Perda Syariah
di Indonesia: Studi Kasus Bulukumba dan Cianjur
Oleh: Syafuan rozi dan nina andriana
(Peneliti di Pusat Penelitian Politik, lipi, jakarta)
abstrak
A. Politik Kebangsaan dan Perda Syariah di Bulukumba: Syiar Islami atau
Modal Politik?
Kehadiran Indonesia sebagai sebuah Negara-bangsa merupakan sebuah
fenomena unik, terutama jika dilihat dari sisi kemajemukan yang
dimilikinya. Tidak saja karena demikian beragam etnis, bahasa dan
keyakinan, namun pula dalam hal adaptasi ekonomi, bentuk-bentuk komunitas,
sistem politik tradisional, maupun sistem kekerabatan menjadikan ke-
Indonesia-an sebagai gejala politik identitas yang menarik[1]. Dalam
situasi tersebut dua tantangan segera hadir manakala bangsa Indonesia itu
berdiri, yakni bagaimana menciptakan negara yang mampu merekat kemajemukan
di satu sisi dan di sisi lain, mampu mengakomodir kemajukan tersebut hingga
tahap yang harmonis namun dinamis. Nasion yang tegak dan berkiprah di atas
prinsip-prinsip solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesaling-percayaan dan
pluralitas.[2]
Sejak 1998 hingga 2003, Orde transisi reformasi pascaSoeharto, dalam
sudut pandang tertentu cenderung telah tumbuh lebih demokratis, egaliter
dan emansipatif dalam konteks hubungan pusat dan daerah, juga dalam
hubungan agama dan negara di Bulukumba. Ia telah menjadi elemen penting
faktor eksternal sistem politik yang telah memberi angin segar terhadap
tumbuhnya keragaman dan semangat keberagamaan, "syiar Islami", dan
kompetisi kendaraan politik pemilihan kepala daerah di tingkat lokal di
Indonesia, termasuk di Bulukumba, salah satu kabupaten di pesisir selatan
jazirah Sulawesi.
Sementara itu secara internal, kecenderungan menguatnya kesadaran dan
obsesi pencarian model alternatif bagi "pemerintahan sekular" ataupun model
kebijakan politik Orde Baru yang represif, terhadap kalangan keagamaan
tertentu, sebut saja kelompok muslim di berbagai daerah, juga di Bulukumba,
yang tampaknya secara hipotetik telah menjadi faktor bergulirnya
demokratisasi dan emansipasi politik yang tidak dapat diabaikan, dalam
melihat berkembangnya semangat menonjolkan identitas keagamaan dan dalam
beberapa kasus dianggap kebangkitan modal sosial di era pascaOrde Baru yang
monolitik.[3]
Suatu hal yang unik juga tampak ketika bangkitnya perda syariah,
menimbulkan gesekan kegelisahan akan makna keindonesiaan dan potensi
diskriminasi yang mengisyaratkan adanya perda syariah akan menjadi lawan
semangat kebhinekaan Indonesia, spirit toleransi, persamaan dan penghargaan
terhadap pluralisme dan multikultural, seolah berhadap-hadapan dengan upaya
bangkitnya semangat keagamaan semacam Perda bernuansa agama, hingga
anggapan ujung cerita perda ini adalah pendirian Negara agama, atau
bantahannya, syiar agama dan akhlakul karimah, tanpa pemaksaan apalagi
kekerasan fisik.
Formulasi Perda Syariah Bulukumba: Mengapa Perlu Formalisasi Syariah?
Luas wilayah Bulukumba sekitar 1.154,67 km2 yang terbagi dalam 10
Kecamatan, 125 desa/kelurahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Bulukumba
berlatar belakang maritim dan agraris. Bulukumba merupakan kabupaten paling
ujung selatan Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 153 km dari ibu kota
propinsi Sulawesi Selatan, dengan jumlah penduduknya pada tahun 2010 ada
sekitar 370.728 jiwa yang mayoritasnya beragama Islam, sebanyak 99,88
persen.
Hal yang tidak aneh jika wilayah yang berpenduduk secara relatif
kultural homogen atau sama, mayoritas Muslim ini memperjuangkan ada Perda
Syariah yang mengatur kehidupan kemasyarakatan mereka berbasis religio-
spiritual, setelah kehidupan sekuler di masa sebelumnya belum tuntas
menyelesaikan persoalan rasa aman akibat gangguan kriminalitas diantara
mereka sendiri. Berikut ini penjelasan beberapa perspektif tentang mengapa
di Bulukumba masyarakatnya memerlukan Perda bernuansa keagamaan:
Perspektif aktifis soal "keharusan sejarah"?
Setelah sekian puluh tahun isu penerapan Syari'at Islam cenderung
menghilang dari panggung politik nasional Orde Baru, maka pada era
reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998 dan bergulirnya proses demokratisasi di
Indonesia, gagasan dan upaya penerapan Syari'at Islam di Indonesia kembali
disuarakan oleh aktifis dan pemikir kaum Muslimin baik melalui parlemen
maupun di luar parlemen,[4] begitu pula yang terjadi di masyarakat dan DPRD
Bulukumba.
Lukman Ma'sa memberi catatan tentang kemunculan Perda Syariah Islam di
Bulukumba sebagai rangkaian dari peristiwa nasional yaitu adanya sidang
tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, dimana Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) kembali
memperjuangkan masuknya kembali 'tujuh kata' dalam Piagam Jakarta ke dalam
rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Namun usulan ini pun kembali mendapat penentangan dan pro-kontra di
kalangan anggota dewan, terutama dari kalangan nasionalis maupun
masyarakat secara umum yang pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang
kesekian kalinya. Tidak berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945
terutama ayat (1) tidak menyurutkan semangat kalangan pendukung Piagam
Jakarta untuk terus memperjuangkan penerapan Syari'at Islam baik dalam
forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat.[5]
Ada perspektif emik, soal "keharusan sejarah" yang dikemukakan
penggagas Syariah di Bulukumba soal mengapa mereka turut berjuang menuntut
penerapan Syari'at Islam di daerahnya. Sudah menjadi fakta historis bahwa
sejak abad ke-14, Islam di Sulawesi Selatan sudah menjadi anutan para raja
dan rakyatnya. Syari'at Islam menjadi dasar orientasi dan way of life, cara
pandang dan jalan hidup. Jika dilihat dari sisi filosofis, Islam di
Sulawesi Selatan telah menjadi sistem nilai kehidupan masyarakat.
Aktualisasi Islam sebagai nilai dasar filosofi kehidupan orang Bugis,
Makassar ataupun Mandar, sungguh banyak bertebaran dalam khasanah budaya
masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Dengan kata lain, kehadiran nilai-nilai Islam telah membudaya dan
secara turun temurun telah berasimilasi dalam sistem budaya lokal. Dari
sudut pandang sosiologis, daerah Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa
masyarakat disana mayoritas beragama Islam dan dikenal sangat religius.
Kondisi ini jelas merupakan argumentasi sosiologis untuk menegakkan
Syari'at Islam secara formal. Para ktifis syariah Islam ingin mengatakan
bahwa dilihat dari sisi historis, filosofis dan sosiologis, formalistik
penegakkan Syariah Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sebuah keharusan
sejarah.
Perspektif Modal Sosial dan Politik: Kriminalitas Turun Kemakmuran naik
Bangkitnya perda syariah seolah menjadi suatu fenomena puncak gunung
es yang menguatkan modal sosial masyarakat lokal berupa rasa aman yang
partisipatif dan hanya bisa terjadi di era demokratisasi pascaSoeharto,
namun hampir tidak dimungkinkan pada era otoritarinisme sebelumnya. Hal
yang menjadi pertanyaan misalnya apakah bangkitnya sentimen keagamaan
berupa penerapan Perda syariah cenderung berpotensi menyurutkan atau
berlawananan dengan semangat kebangsaan ataukah tidak, malah memperkuat
keindonesiaan kita.
Ada kecenderungan dalam konteks pemerintahan daerah bangkitnya
sentimen keagamaan cenderung tampak konsisten dengan semangat upaya
mengembalikan nilai-nilai religiositas lokal dan upaya mendapat dukungan
politik dalam pemilihan kepala daerah. Suatu kondisi ketika agama merupakan
salah satu elemen kuat di dalamnya. Lebih dari itu jika ditelaah lebih
dalam, semangat Perda-perda keagamaan yang kemudian disebut sebagai "Perda
Syariah", termaktub pula semangat untuk memberantas hal-hal negatif seperti
pemicu angka kriminalitas yang ada di masyarakat.
Untuk kasus kabupaten Bulukumba, pemicu kejahatan itu antara lain
semacam kebiasaan minuman keras, cara berbusana, prostitusi dan perjudian,
yang mendorong kejahatan dan pelanggaran susila di masyarakat. Tidak bisa
dengan mudah dituduhkan secara sederhana sebagai alat mencari kekuasaan
atau mendirikan negara agama yang monolitik. Benarkah begitu adanya? .
Analisisnya adalah baiknya rasa aman masyarakat, adalah modal sosial dan
menjadi modal politik ketika itu dijanjikan untuk dicapai jika terpilih
menjadi kepala daerah atau DPRD. Perda syariah akhirnya digunakan sebagai
isntrumen politik suka atau tidak suka untuk diakui oleh para politisi
lokal di Bulukumba.
Analisis terhadap pertanyaan mengapa identitas keagamaan yang
tercermin dari keberadaan Perda Syariah di Bulukumba tampak meningkat pada
saat Indonesia memasuki era keterbukaan dan demokratisasi, jawabannya
adalah perda syaraiah yang disahkan tahun 2003, seolah-oleh mendapatkan
momentum yang tepat untuk muncul di Bulukumba. Bukan dari kalangan partai
Islam seperti PPP, namun dipelopori oleh mantan remaja mesjid yang
berkiprah di Partai Golkar, Patabai Pabokari. Politisi yang mendapat
dukungan dari Komite Perjuangan Penerapan Syariat Islam (KPPSI), se-
Sulawesi Selatan. Hal itu ditambah lagi adanya suasana keterbukaan politik
pascaSoeharto.
Gagasan dibentuknya Perda Syariat Islam di Bulukumba diawali di era
reformasi pascaSoeharto melalui terbentuknya KPPSI (Komite Perjuangan
Penegakan Syariat Islam) dan keputusan Kongres Umat Islam I di Sulawesi
Selatan. KPPSI yang diketuai oleh Abdul Azis Kahar Muzakkar, putra Abdul
Kahar Muzakar pernah mendorong dan meminta para politisi di DPRD, terutama
Partai Golkar dan umat Islam di Bulukumba mengutamakan memilih kandidat
bupati yang pro penegakan syariat Islam di daerahnya. Selain itu, pemimpin
daerah apakah bupati atau gubernur yang akan dipilih hendaknya memiliki
track record yang bersih dari korupsi dan berkarakter amanah (terpercaya),
shiddiq (jujur), tabligh (menasehati, menyampaikan) dan fatonah (cerdas).
Di era reformasi, elemen-elemen muda seperti Forum Ukhuwah Islamiyah
(FUI) Sulawesi Selatan mengadakan seminar dan dialog terbuka Syari'at Islam
sebagai respon terhadap dinamika politik tanah air dan besarnya animo
masyarakat untuk pemberlakuan Syari'at Islam secara legal formal. Dari
dialog ini kemudian merekomendasikan pelaksanaan kongres Umat Islam se-
Sulawesi Selatan di Makassar.[6]
Maka pada tanggal 19-21 Oktober 2000, FUI Sulawesi Selatan menggelar
Kongres Umat Islam Pertama se-Sulawesi Selatan yang bertempat di Asrama
Haji Sudiang Makassar, yang melahirkan beberapa keputusan dan pembentukan
suatu wadah perjuangan penegakan Syari'at Islam yang di sebut Komite
Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan.
KPPSI diberi amanat memperjuangkan pemberlakuan Syari'at Islam di Sulawesi
Selatan melalui otonomi khusus secara konstitusional, demokratis dan tetap
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KPPSI dalam kiprahnya melaksanakan amanah kongres telah berhasil
membentuk KPPSI daerah di 24 Kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan.
Pemerintah/DPRD propinsi pun memberikan respon yang sangat baik dengan
adanya kesepakatan bersama anggota DPRD Sulawesi Selatan untuk melegal-
formalkan pemberlakuan Syari'at Islam di Sulawesi Selatan, dengan
rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001 dan
ditandatangani langsung pimpinan DPRD, serta seluruh ketua fraksi.
Terbentuknya panja RUU Perda Bernuansa Agama di DPRD Bulukumba sejak
tahun 2001 di pelopori oleh KPPSI, politisi dari Partai Golkar, dengan
dukungan PPP, PAN, PKS, yang oleh pemda disebut sebagai Crash Program
Keagamaan Bulukumba. Pembentukan panitia kerja (Panja) dan rapat dengar
pendapat umum berlangsung semarak dan hangat antara kurun waktu 2001-2003.
Lukman Ma'sa menjelaskan panjang lebar bagaimana proses awal mula
terbentuknya Perda Syariah di Bulukumba. Berawal dari terbentuknya Komite
Persiapan Penegakan Syari'at Islam atau KPPSI yang diberi amanat
memperjuangkan pemberlakuan Syari'at Islam di Sulawesi Selatan melalui
otonomi khusus secara konstitusional, demokratis dan tetap dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KPPSI dalam kiprahnya melaksanakan amanah kongres telah berhasil
membentuk KPPSI daerah di 24 Kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan.
Pemerintah/DPRD propinsi pun memberikan respon yang sangat baik dengan
adanya kesepakatan bersama anggota DPRD Sulawesi Selatan untuk melegal-
formalkan pemberlakuan Syari'at Islam di Sulawesi Selatan, dengan
rekomendasi DPRD Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001 dan
ditandatangani langsung pimpinan DPRD, serta seluruh ketua fraksi.
Rekomendasi tersebut diantar dan dijelaskan langsung kepada pimpinan
DPR-RI pada tanggal 25 April 2001 oleh wakil ketua DPRD Sulawesi Selatan
beserta seluruh ketua fraksi dan pengurus KPPSI. Untuk selanjutnya,
rekomendasi di sampaikan kepada Presiden RI dengan surat No. 309/DPRD/2001
tanggal 24 April 2001. Kesepakatan di atas ternyata juga mendapat respon
baik oleh Paguyuban lintas fraksi Sulawesi Selatan DPR-RI. Ini terlihat
dengan dibentuknya kelompok kerja (pokja) dengan SK tanggal 18 Mei 2001
yang antara lain bertugas melakukan pengkajian terhadap konsep Syari'at
Islam dan rancangan operasionalnya secara akademis, komprehensif dan
konstitusional.
Pada tanggal 29-31 Desember 2001, masyarakat Islam Sulawesi Selatan
kembali mengadakan Kongres Umat Islam yang kedua di Makassar, sebagai
penegasan atau penajaman dan mengkristalisasikan penegakan Syari'at Islam
menuju pembentukan otonomi khusus di daerah Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 26-28 Maret 2005, KPPSI kembali memprakarsai Kongres Umat
Islam Sulawesi Selatan ketiga di Kabupaten Bulukumba yang melahirkan
beberapa rekomendasi yang pada intinya meminta dan mendesak pemerintah/DPRD
Sulawesi Selatan untuk terus menyuarakan otonomi khusus pemberlakuan
Syari'at Islam di Sulawesi Selatan. Sambil menunggu (perjuangan)
pemberlakuan UU otonomi khusus tersebut, KPPSI terus melakukan langkah-
langkah konkrit dalam upaya menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif
agar siap menerima pemberlakuan Syari'at Islam.
Langkah-langkah tersebut menurut narasumber adalah: Pertama,
Melaksanakan sosialisasi secara intensif dan menyeluruh tentang pengertian
Syari'at Islam, untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya kewajiban
menegakkan Syari'at Islam. Kedua, Memanfaatkan UU No. 22/1999 tentang
Otoda, dengan mendesak pemerintah, DPRD kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan
untuk menerbitkan perda tentang keagamaan dan anti maksiat. Ketiga, Para
ulama, cendikiawan muslim, muballig/da'i dan tokoh umat agar mendorong
masyarakat untuk mengamalkan secara optimal ajaran Islam dengan da'wah bî
al-hal atau contoh tauladan.
Selanjutnya, Keempat, Para pakar hukum Islam, ulama ahli fiqh menyusun
konsep rancangan kitab undang-undang syari'ah yang dirumuskan bersama
sehingga merupakan ijtihad jamâ'i. Kelima, Mendirikan shalat lail dan witir
setiap malam untuk memohon pertolongan Allah SWT, berupa petunjuk,
bimbingan dan membuka hati umat, para pemimpin untuk berjuang menegakkan
Syari'at Islam secara kaffah atau sempurna.
Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, KPPSI mendapat dukungan dan
respon yang cenderung sangat baik dari masyarakat Bulukumba khususnya yang
masyoritas muslim dan Sulawesi Selatan umumnya. Hal itu dapat dilihat dari
respon beberapa pemerintah Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menyatakan
kesiapannya untuk menerapkan Syari'at Islam di daerahnya masing-masing, dan
kemudian ditindak lanjuti dengan pembuatan perda-perda keagamaan.
Adanya Perda bernuansa semangat keagamaan di Bulukumba, langsung atau
tidak langsung cenderung tampaknya akan terkait dengan Kongres Umat Islam I
Sulawesi Selatan19-21 Oktober 2000,[7] KPPSI dan Ketua Lajnah Tanfidziyah-
nya Abdul Azis Kahar Muzakkar. Abdul Azis juga telah terpilih menjadi salah
satu wakil dari Dewan Perwakilan Daerah asal Sulsel di MPR RI. Hal yang
sangat penting adalah meski memiliki tujuan yang sama dengan sang ayah,
yakni menegakkan Syariat Islam, Darul Islam Indonesia/Negara Islam
Indonesia, namun langkah lelaki kelahiran Palopo, 15 Desember ini tidak
sama dengan sang ayah.
Jika ayahnya cenderung menggunakan cara kekerasan dan membentuk milisi
bersenjata, yang dikenal dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan, Aziz, lebih memilih langkah yang konstitusional dengan
memperjuangkan Otonomi Khusus penegakan Syariat Islam melalui KPSI dan
pendukungan kepala daerah lewat pilkada tidak langsung sebelum reformasi
maupun pilkada langsung pascareformasi.
Berikut ini ada data kejadian penting sebelum lahirnya Perda bernuansa
agama dan syiar Islam di Bulukumba:[8] hal itu diawali dialog terbuka di
Hotel Berlian tentang pelaksanaan syariat Islam, Juli 1999. Hadir sebagai
pembicara dalam acara tersebut: Prof. Dr. Achmad Ali, Prof Dr Mattulada,
dan Gubernur Berkuasa Penuh Negara Bagian Malaysia Trenggano, Tuan Guru
Haji Abdul Hadi Awang. Keberadaan para tokoh ini bisa bermakna
kecendikiawanan dan keserumpunan peradaban Melayu Nusantara.
Pada tanggal 19 Oktober 2000, berlangsung Tabliq Akbar di Masjid Al-
Markaz Al-Islami. Hadir dalam acara tersebut da`i kondang berhaluan Islam
garis keras KH Husain Alhabsyi. Pada saat itu, Alhabsyi tampil mengajak
penegakan syariat Islam di Indonesia. Salah satu kendalanya, menurut ulama
yang pernah ditahan karena terlibat peledakan Candi Borobudur tersebut,
karena ulama dan aktifis Islam masih banyak yang tergiur mengejar kursi
atau jabatan politik, sehingga saling bermusuhan, bertikai, "gontok-
gontokan" dan susah bersatu, "ikatan Ukhuwah Islamiyyah" masih lemah. Ada
kecenderungan ajakan dan dakwah Ukhuwah Basyariyah (Persaudaraan
kemanusiaan) kurang atau cenderung tidak ditonjolkan dalam pertemuan
tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 19-21 Oktober 2000, berlangsung Kongres Umat
Islam Sulsel I di Asrama Haji Sudiang, Makassar. Acara yang mengambil tema
" Otonomi Khusus Untuk Tegakkan Syariat Islam di Sulsel" tersebut dihadiri
perwakilan aktivis Islam se-Sulawesi Selatan.
Tanggal 29-31 Desember 2001 di Asrama Haji Sudiang, telah digelar
kongres Umat Islam se-Sulsel II. Acara itu dihadiri 2.800 peserta, wakil
dari seluruh ummat Islam Sulsel. Dalam acara itu disepakati dasar-dasar
pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Seperti dasar historis,
kultur, hukum dan politik, rancangan undang-undang tentang otonomi khusus
pemberlakuan syariat Islam, program perjuangan, dan sejumlah rekomendasi.
Kongres ini juga menyepakati perubahan nama KPPSI menjadi Komite Penegakan
Syariat Islam (KPSI).
Tanggal 12 Januari 2002, KPSI menggelar acara Silaturrahmi dan Temu
Kaji RUU Otonomi Khusus Penegakan Syariat Islam di Sulsel, di Hotel
Berlian. Hadir sebagai penceramah dalam acara tersebut, Menteri Kehakiman
dan HAM Yusril Ihza Mahendra, dan Hakim Agung RI Rifyal Ka`bah.
Ketua Lajnah Tanfidziyah KPSI Sulsel Abdul Aziz Kahar Muzakkar,[9]
menjelaskan bahwa masing-masing Kongres Umat Islam Sulsel I, II dan III
mempunyai tingkatan urgensi yang berbeda. Kongres I tahun 2000, waktu itu
untuk membuat deklarasi berisi kesepakatan untuk membuat KPPSI ke penegakan
Syariat Islam. Kongres I juga untuk membuat struktur kelembagaan KPSI di
semua kabupaten, dan itu cenderung rampung selama satu tahun. Kongres ke
II, untuk mengupayakan konsolidasi program. Tapi sepanjang dari kongres ke
II, KPSI mengalami ujian-ujian.
Di kongres II Umat Islam Sulsel, ada bom, lalu Agus Dwikarna
ditangkap, kemudian terjadi bom Makassar. Alhasil menurut Abdul Aziz
sepanjang dari kongres ke II , waktu dan energi habis mengurusi isu
terorisme. Makanya KPSI merasa perlu untuk kongres ke III dengan tujuan
recovery dan konsolidasi program kembali. Dalam hal ini satu kabupaten di
Sulsel yang sudah menelurkan empat perda yang bernuansa syariat Islam,
kemudian kita jadikan pilot project. Kita sengaja membuat kongres III di
situ sehingga di samping bisa menjelaskan produk-produk perda di Bulukumba,
juga peserta dari daearah-daerah bisa menyaksikan langsung.
Abdul Aziz Kahar Muzakar menjelaskan bahwa pada saat Kongres Umat
Islam Sulsel, ada tiga komisi yang dibantuk: komisi organisasi,
rekomendasi, dan program. Jadi sebetulnya bukan hanya rekomendasi tapi juga
program. Di rekomendasi itu ada hal-hal aktual. Misalnya soal pilkada, kita
merokemendasikan bahwa KPSI terlibat secara aktif dalam pilkada. KPSI tidak
menjadi penonton terhadap prosesi pilkada itu, karena itu adalah hal yang
sangat strategis untuk kepentingan politik KPSI.
Salah satu rekomendasi KPSI menurut Abdul Aziz Kahar Muzakar adalah
meminta pemerintah dan DPRD untuk memberikan syariat Islam di Sulsel. Itu
memang target KPSI sejak didirikan. Jadi itu akan terus jadi perjuangan
politik KPSI karena sejak awal kita menyatakan itu sebagai target politik
KPSI. Karena kita melihat bahwa kesempurnaan pelaksanaan syariat Islam di
NKRI mesti dengan otonomi khusus. Abdul Aziz Kahar Muzakar juga melihat
bahwa otonomi khusus itu adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam UUD 1945.
Perda Syariah: Modal Politik atau Alat Kesejahteraan Publik?
Apakah yang dimaksud sebagai Perda Syariah atau perda yang bernuansa
agama? Pertama, ada pandangan bahwa jenis Perda yang isi pengaturannya
terkait dengan perasaan moralitas masyarakat secara umum. Meski menyangkut
moral, namun Perda jenis ini sebenarnya menjadi kepedulian semua agama.
Perda jenis ini terutama diwakili oleh Perda anti pelacuran, perzinaan yang
ada hampir di semua daerah yang istilah generiknya Perda "anti
kemaksiatan". Memang di sini ada "konotasi Islam" seperti penggunaan
istilah "maksiat" yang sangat tipikal Islam, namun isunya bukan tipikal
Islam, bisa juga kepedulian agama non-Islam.
Terkait Perda-Perda jenis ini ada pandangan sebagian bahwa ia tidak
bisa dikritik atau ditolak mentah-mentah hanya karena mempermasalahkan
aspek istilah yang berkonotasi dengan nilai–nilai keislamannya atau
berbahasa Arab. Untuk Perda jenis ini sudut permasalahannya bukan terletak
di situ, tapi apakah Perda jenis ini bisa menyelesaikan problem di tingkat
lokal seperti rasa aman, perbaikan perekonomian, atau justru menambah
masalah; apakah bisa menjamin keadilan atau justru membuka peluang
kesewenang-wenangan.
Kedua, jenis Perda yang terkait dengan fashion dan mode pakaian
lainnya seperti keharusan memakai jilbab dan jenis pakaian lainnya di
tempat-tempat tertentu. Perda jenis ini juga banyak sekali muncul di
berbagai daerah. Berbeda dengan yang pertama, Perda fashion ini jelas
sangat tipikal Islam sehingga orang akan dengan mudah mengidentifikasi
sebagai Perda SI. Siapapun akan mengatakan bahwa dalam jilbab ada
kepentingan untuk menunjukkan identitas keislaman.
Ketiga, jenis Perda yang terkait dengan "keterampilan beragama",
seperti keharusan bisa baca tulis Al-Qur'an sebagaimana terdapat di
Indramayu, Bulukumba (Sulsel) dan sebagainya. Pada tingkat tertentu, Perda
keharusan belajar di Madrasah Diniyah Awwaliyah dapat digolongkan sebagai
Perda "ketrampilan beragama".
Perda jenis ini juga sangat tipikal Islami, sehingga pihak yang kontra
dengan perda syariah akan mengatakan tampak sekali kepentingan Islam
mendominasi munculnya Perda tersebut. Perda keterampilan baca tulis Al-
Qur'an dan diniyah ini dikaitkan dengan dengan aktifitas lain. Ketrampilan
baca tulis Al-Qur'an menjadi syarat untuk nikah, naik pangkat bagi PNS,
bahkan untuk memperoleh pelayanan publik. Sedangkan ijazah diniyah
dijadikan sebagai syarat untuk dapat meneruskan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Anak SD yang akan melanjutkan ke SMP harus menyertakan ijazah
diniyah.
Latar belakang lahirnya Perda Bernuansa Agama di Bulukumba, menurut
beberapa narasumber bukan karena alasan politis untuk mendirikan Negara
Islam atau alat politik mendapatkan kekuasaan. Untuk kasus Bulukumba,
perda bernuansa agama dimunculkan untuk mengatasi akar kriminalitas di
daerah tersebut akibat beredar luasnya minuman keras yang memicu kejahatan
dan perkelahian. Perda tersebut muncul pada pasca Bupati Andi Partabai
Pobokori yang berasal dari partai Golkar dipilih secara tidak langsung oleh
DPRD.[10]
Implikasi Perda Syari'ah Bulukumba: Negara Islam, Syiar Islam atau Modal
Politik?
Mereka yang menggugat Perda Syariah mengkhawatirkan pemberlakuan perda
yang bernuansa agama Islam akan mengarah dan menimbulkan praktik
diskriminasi dan tindakan pemaksaan syariah Islam terhadap mereka yang
beragama non muslim. Bahkan ada anggapan dan dugaan bahwa hal tersebut akan
mengarahkan Indonesia ke Negara agama atau Negara Islam Indonesia (NII).
Hal ini lah yang dibantah oleh beberapa pihak yang merancang Perda Islam di
Bulukumba. Rancangan Perda bernuansa Islam dibuat di DPRD Bulukumba dan
diusulkan oleh bupati yang berasal dari Partai Golkar. [11] Dalam tinjauan
ontologi, apa saja yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah sebagai
berukut:
PERDA NOMOR 2 TAHUN 2003, TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT PROFESI,
INFAQ DAN SHADAQAH.
PERDA NOMOR 3 TAHUN 2002, TENTANG LARANGAN, PENGAWASAN,
PENERTIBAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL.
PERDA NOMOR 5 TAHUN 2003, TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN
MUSLIMAH.
PERDA NOMOR 6 TAHUN 2003, TENTANG PANDAI BACA AL-QUR'AN BAGI
SISWA DAN CALON PENGANTIN.
PERDA NOMOR 2 TAHUN 2003: PENGELOLAAN ZAKAT PROFESI, INFAQ DAN SHADAQAH.
Bupati Patabai Pabokari yang menjadi pencetus Perda Syariat Islam di
Bulukumba tahun 2003 menjelaskan bahwa salah satu alasan penyusunan RUU
pengelolaan zakat karena regulasi sebelumnya belum mengatasi dan
memaksimalkan potensi zakat. Pengelolaan zakat belum terarah dan terpadu.
Aspek kerangka hukum, kebijakan, dan implementasi belum terlaksana dengan
baik. Kondisi Sebelum Lahirnya Perda Tentang Pengelolaan Zakat Profesi,
Infaq,dan Shadaqah di Kabupaten Bulukumba Tingkat Kesadaran Ummat Islam
Bulukumba memenuhi Kewajiban membayar Zakat, Infaq dan Sadaqah masih
rendah. Berikut ini petikan wawancara dengan penggagas Perda bernuansa
agama di Bulukumba:
"….Berdasarkan hasil perhitungan potensi zakat Kab. Bulukumba adalah
delapan kali lipat dari PAD (pendapatan asli daerah). PAD hanya Rp 12
miliar, sedangkan perhitungan potensi zakat hingga Rp 98 miliar.
Daerah ini bisa hidup dari zakat meski hanya 30 persen dari potensi
zakat. Tidak perlu pajak dan retribusi. Akhirnya, kami membentuk desa
pelopor zakat di tiap kecamatan yang diberi wewenang penuh mengelola
zakat. Kunci pelaksanaan program adalah komitmen pemimpin. Dengan
komitmen tinggi pasti berhasil. Pemimpin harus menjadi contoh dan
teladan. Selain itu efektivitas pembayaran zakat bisa sukses dengan
payung hukum maupun sanksi bagi mereka yang melanggar. Kunci
pengelolaan (zakat) adalah transparansi…" [12]
Dulu saat perda ini masih kencang berjalan bupati, asisten, dan pejabat
wajib menghitung zakat di depan umum setiap tahun. Pengumpulan dan
penggunaan zakat di umumkan ke masyarakat luas melalui masjid. Namun saat
penelitian ini dilakukan, di bawah kepemimpinan bupati pengganti ada gejala
semangat membayar zakat cenderung kian terkikis. Salah satu alasannya pihak
Bazisda (Badan Amil Zakat Infak dan Sadaqah Daerah) sebagai pengelola
dinilai kurang transparan dan tidak optimal memasyarakatkan dan melaporkan
pemanfaatan zakat.[13]
Sekretaris Provinsi Sulsel, berinisial AM menjelaskan pandangannya
tentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan zakat di Bulukumba
pascakepemimpinan Bupati Patabai Pabokari. AM mengatakan tingkat kemiskinan
di Sulsel mencapai 1 juta jiwa. Pemerintah daerah Bulukumba cenderung
mampu untuk menurunkan hingga 10 persen per tahun jika ada dana yang bisa
dialokasikan untuk mendorong penciptaan usaha bagi kaum dhuafa. Untuk itu,
peraturan mendasar mengenai operasionalisasi penanganan zakat sangat
diperlukan. Konsep untuk jaminan sosial, infaq dan sedekah bisa digunakan
untuk program alih profesi para penjual Ballo, minuman semacam tuak,
penjual kupon dan bandar judi kecil, preman pasar dan preman pesisir,
menjadi pedagang, supir angkutan, penarik becak, wirausaha perbengkelan dan
seterusnya.
Perda Syariat Islam diawali di era reformasi melalui terbentuknya
KPPSI. Kemudian berlanjut dengan lahirnya Perda Syariat Islam di Bulukumba
yang menjadi daerah pertama. Namun, Muallim justru menyesalkan karena
implementasi perda tersebut pasca kepemimpinan Bupati Patabai Pabokari
justru semakin kendor. Padahal di awal kelahirannya, nafas tersebut mewabah
hingga kebeberapa kabupaten bahkan tingkat provinsi. Pemprov Sulsel sudah
melahirkan Perda Zakat No 7 tahun 2005. Berikut ini penjelasannya:
"…Saat menjadi bupati Bulukumba, Andi Patabai Pabokari cukup berhasil
menghidupkan semangat membayar zakat dikalangan PNS Pemda. Ia telah
mengawal Bulukumba ke gerbang Syariat Islam yang sekarang. Bupati di
kabupaten lain pun ikut-ikut membuat perda, termasuk saya yang kala
itu menjabat pejabat bupati sementara (Luwu Utara). Tetapi setelah
pejabat selanjutnya, justru hingga sekarang semangat membayar zakat
lewat BAZ semakin mengendor..."
Hal senada dikatakan Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Bulukumba, berinisial
AT. AT mengatakan bahwa di zaman bupati Bulukumba Patabai Pabokari,
pembayaran zakat profesi dari instansi relatif lancar masuk ke BAZ.
Termasuk bentuk zakat lain setelah banyak bersosialisasi wajib zakat banyak
berdatangan di kantor BAZ untuk menyerahkan sendiri. Hanya saja lewat
periode beliau, masa bupati Sukri Sappewali, pengelolaan zakat profesi
mulai "dikaburkan" dan menurun semangatnya.
Ada kondisi bahwa pembayaran zakat sangat tergantung oleh keinginan
dan kesadaran pegawai negeri. Pembayaran zakat oleh profesi non PNS
seperti supir, pengusaha, polisi, TNI, dan lainnya belum terkelola dan
tersosialisasikan dengan optimal.
Awal bulan Mei 2010, pengurus BAZ Bulukumba berupaya bertemu lagi dengan
Sukri Sappewali ,bupati pengganti Patabai Pabokari. Hasilnya, bupati
merespon untuk kembali merealisasikan zakat profesi ini. Namun ketika
ditanyakan kepada masyarakat, narasumber masih mempertanyakan transaparansi
dan peruntukkan zakat tersebut perlu diumumkan secara garis besar melalui
media masa dan radio lokal.
Strategi Penegakan Perda Nomor 2 Tahun 2003
Humas Pemda Bulukumba menjelaskan ada beberapa strategi penegakkan
Perda Zakat Profesi, antara lain lewat sosialisasi di beberpa Seminar
lokal, membentuk desa pelopor Zakat (Percontohan), pembentukan Unit
Pengelola Zakat (UPZ) di masing-masing Desa/Kelurahan dan Instansi.
Kondisi Setelah Lahirnya Perda Nomor 2 Tahun 2003
Anggota masyarakat dan narasumber wartawan lokal, Radar Bulukumba
memberikan pandangan bahwa tingkat kesadaran masyarakat, pegawai Negeri,
pengusaha untuk melaksanakan kewajibannya membayar Zakat, Infaq dan Sadaqah
mengalami peningkatan pada masa bupati Patabai, dan menurun pada periode
bupati penggantinya. Pada masa Bupati Patabai telah terbentuk 12 Desa
Pelopor Zakat/Desa Muslim, Pemberian bantuan kepada siswa – siswi kurang
mampu melalui dana Bazkab, Bantuan kepada Sarana Peribadatan, Ekonomi
Lemah, TPA/TKA dan Madrasah. Berikut ini petikan wawancara terkait
pelaksanaan Perda Zakat Profesi di Bulukumba:
"…Sejak bupati yang baru, PNS Bulukumba tampaknya tidak lagi antusias
membayar pajak profesi. Beberapa alasannya antara lain masalah
transparansi penggunaan pajak. Selain itu belum ada inovasi untuk
memancing orang membayar zakat. Kalangan non PNS pun tidak dipancing
dengan cara yang menarik mereka untuk membayar zakat profesi…".[14]
PERDA MINUMAN BERALKOHOL NOMOR 3 TAHUN 2002
Perda Nomor 3 Tahun 2002 berisi tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol . Perda minuman
beralkohol ini antara lain mengatur jarak penjualan terhadap tempat ibadah,
sekolah dan perkantoran pemda, TNI dan Polri, minimal satu kilometer. Juga
diatur bahwa yang boleh menjual miras itu hanya tempat-tempat daerah obyek
wisata yang memiliki hotel yang didatangi orang asing, seperti di kawasan
wisata Pantai Bira dan Bonto Bahari.
Sebelum tahun 2002 banyak pedagang menjual minuman keras dan
pembelinya para pemuda setempat. Setelah adanya perda minuman beralkohol
hanya diperbolehkan di kawasan hotel di tempat obyek wisata tidak di
pemukiman apalagi sekolah dan perkantoran. Pihak Biro Hukum dan Humas
menjelaskan sebagai berikut:
"…Sebenarnya Perdanya tidak bernuansakan keagamaan juga. Hal yang
diatur adalah yang bersifat umum, misalnya pengaturan penjualan. Hanya
pola pendekatannya menggunakan sektor dan pedekatan keagamaan. Jadi
perda itu tidak bisa dikatakan sepenuhnya perda syariah Islam, karena
yang diatur adalah perilaku yang bersifat umum dan semua pihak
menyetujui bahwa misalnya penyalahgunaan minuman keras itu dilarang.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa agama Islam melarang minuman
keras, di penduduk mayoritas muslim bagaimana cara melarangnya, maka
dibuatlah perda pegaturan minuman beralkohol…".[15]
Hal yang diatur adalah bukan pelarangan total, hanya pengaturan
dimana saja tempat miras boleh dan dilarang diperjualbelikan. Kalau
dikatakan ini terkait dengan keagamaan, bukan sepenuhnya demikian, tapi ini
menyentuh. Pada prinsipnya pemerintah melarang penyalahgunaan alkohol
secara umum bukan pada tempatnya. Hanya pola pendekatannya secara
keagamaan.
Kondisi Sebelum Lahirnya Perda Nomor 3 Tahun 2002
Sebelum lahirnya perda pengaturan minuman beralkohol, diceritakan
adanya keadaan maraknya minuman keras (Miras) yang beredar di kalangan
masyarakat Bulukumba. Keadaan itu terkait dengan perilaku kriminal yang
meningkat sebagai dampak minuman keras. Stabilitas ketertiban dan keamanan
terganggu dengan banyaknya pemabuk yang melakukan tindakan perkelahian,
pencurian, perjudian, pembunuhan.
Strategi Penegakan Perda Nomor 3 Tahun 2002
Pemda beserta jajarannya seperti Kesbangpolinmas dan Satpol Pamong
Praja melakukan upaya sosialisasi dan pendekatan persuasif terhadap pemuda
pemakai Miras dan pedagang penjual Miras, termasuk jenis minuman local
yang bernama Ballo di Bulukumba; Melakukan tindakan tegas terhadap
pelanggaran Perda; Membentuk Tim Buserda (Buru dan Sergap Daerah);
Melakukan Operasi Pengawasan dan Penenindakan Moras di lapangan;
Mengembangkan Majelis – Majelis Taklim untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaan warga Bulukumba; Pemberian Bantuan modal usaha untuk pengalihan
profesi yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam; Membuka jaringan
pengaduan bagi masyarakat tentang peredaran Miras sehingga bisa ditangani
lebih lanjut.
Bagaimana pengalaman menjalankan Perda Miras di Bulukumba. Apa
hambatan dalam mengendalikan peredaran Miras. Berikut ini penjelasan
narasumber terkait hal tersebut:
"…Sebelum lahirnya perda pengaturan minuman beralkohol, adanya
keadaan maraknya minuman keras (Miras) yang beredar di kalangan
masyarakat Bulukumba. Keadaan itu terkait dengan perilaku kriminal
yang meningkat sebagai dampak minuman keras. Stabilitas ketertiban dan
keamanan terganggu dengan banyaknya pemuda dan orang dewasa yang
menjadi pemabuk yang melakukan tindakan perkelahian, pencurian,
perjudian dan bahkan pembunuhan karena emosinya naik setelah minum
ballo atau jenis minuman dari luar seperti brendy, whisky, topi
miring, guiness, dan lainnya. Pedagang menjualnya di warung-warung dan
dibeli di mana saja ada…'.[16]
Dampak Setelah Perda Nomor 3 Tahun 2002
Ada kecenderungan indikasi positif secara bertahap sebagai implikasi
sosial akibat adanya Perda pengendalian minuman keras di Kabupaten
Bulukumba, hasilnya adalah angka kejadian kejahatan yang dapat menjadi
parameter tingkat kriminalitas cenderung menurun secara drastis sekitar
80%, antara kurun waktu 2002 hingga 2005.
DATA KRIMINALITAS DI KABUPATEN BULUKUMBA PERIODE 2002 S/D 2005
"No."Jenis "2002 "2003 "2004 "
" "Tindak " " " "
" "Pidana " " " "
" "Yang " " " "
" "menonjol" " " "
" " "TKA "TPA " " "
"1. "2000 "1.130 "2.125 "3.255 " "
"2. "2001 "1.661 "2.714 "4.375 " "
"3. "2002 "2.542 "3.633 "6.175 " "
"4. "2003 "3.683 "4.467 "8.175 " "
"5. "2004 "3.730 "6.326 "10.056 " "
"6. "2005 "4.712 "8.313 "13.025 " "
" " "17.458 "27.578 "45.036 " "
Sumber: Humas Pemda Bulukumba, 2010.
Selain itu Humas Pemda Bulukumba melaporkan bahwa tingkat kesadaran
masyarakat dalam mempelajari, membaca, mendalami dan mengamalkan Al-Qur'an
meningkat dengan berkembangnya TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an/TKA (Taman
Kanak-kanak Al Qur'an) sebanyak 648 buah, Majelis Taklim 143 buah).
D.Analisis Politik Kebijakan Publik: Substansi dan Implementasi Perda
Syar'iah
Perda Syar'iah bernuansa agama dan Syiar Islam dituangkan dalam
bentuk "CRASH PROGRAM PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA DI BIDANG KEAGAMAAN"
dan menurut penjelasan pihak Humas Pemda telah diturunkan dalam sejumlah
kegiatan berikut:
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PEMUDA REMAJA MASJID.
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN TKA – TPA (Taman Kanak-kanak Al Qur'an-Taman
Pendidikan Al Qur'an).
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HIFDSIL QUR'AN.
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN MAJELIS TAKLIM.
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN MASJID.
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SENI BERNUANSA ISLAMI.
PEMBERDAYAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH.
PELESTARIAN KELUARGA SAKINAH, BAHAGIA DAN SEJAHTERA.
Secara kualitatif keadaan atau hasil yang dicapai dan menjadi dampak
Crash Program Keagamaan di Kabupaten Bulukumba, beberapa narasumber
menerangkannya sebagai berikut:
"….Ada kecenderungan setelah lima tahunan pemberlakuan perda bernuansa
syiar Islam di Bulukumba ada suasana tingkat keimanan dan ketakwaan
masyarakat Bulukumba semakin meningkat , antara lain tampak dari
maraknya pemberangkatan dan sambutan kepulangan bagi jemaah haji,
suasana masjid semakin hidup, ramai dan makmur tidak hanya pada hari
besar Islam tapi juga pada shalat berjamaah lima waktu. Selain itu
terasa sekali tingkat buta aksara Al-Qur'an makin menurun, Majelis
Taklim berkembang di setiap desa dan yang paling penting terciptanya
stabilitas ketertiban dan keamanan akibat perkelahian pemuda antar
kampong menurun, tingkat kriminalitas akibat perilaku pemabuk menurun
drastis. Semangat Ukhuwah Islamiah, persatuan dan kesatuan,
kekeluargaan dan kebersamaan tercipta dengan makin membaik …."
Narasumber wartawan lokal menjelaskan bahwa berkembangnya Syiar Islam
di Bulukumba tidak terjadi dengan cepat jika tidak melalui kerjasama radio-
radio FM setempat. Siaran mereka banyak mengangkat tema bagaimana caranya
agar terwujudnya keluarga sakinah, mawadah dan warahmah, keluarga yang
tenang, penuh cinta dan kasih sayang. Pemakaian busana muslim (Jilbab)
semakin memasyarakat dan tidak menjadi hal yang aneh untuk dipersoalkan
bagi warga muslim, namun tidak ada pemaksaan atau tekanan terhadap warga
yang non-muslim. [19]
Narasumber yang merupakan staf ahli Bupati Bulukumba menjelaskan Islam
mengajarkan perdamaian dan kasih sayang dan tidak ada pemaksaan apalagi
kekerasan. Itulah keindahan Islam kata narasumber. Kesenian yang
bernafaskan keagamaan seperti rabana, marawis, barzanji, nasyid kitan
meningkat dan diterima dengan kegembiraan. Hifzil atau penghapal al- Qur'an
kian berkembang. Pemuda Remaja Masjid semakin berperan dalam aktivitas
sosial keagamaan. TPA/TKA kian tumbuh berkembang. Sektor pendidikan dan
kesenian itu juga membuka lapangan kerja atau usaha produk barang dan jasa
yang terkait dengan pelaksanaan Perda. [20]
Pemda juga peduli untuk meningkatnya kuantitas dan kualitas da'i-
muballigh lewat pelatihan, beasiswa pendidikan pascasarjana dan
rekruitmen kepegawaian daerah. Selain itu diupayakan pengadaan honor untuk
meningkatkan kesejahteraan guru mengaji, imam masjid dan dai-muballigh.
Kesadaran masyarakat untuk membumikan Al-Qur'an meningkat melalui gerakan
Wakaf Al-Qur'an, yaitu pemberian cinderamata atau hadiah dalam bentuk
Qur'an dan tafsir. Kesadaran pegawai negeri sipil (PNS) membayar Zakat,
infaq dan Sadaqah mulai tumbuh walupun mengalami pasang-surut
pascakepemimpinan Bupati Patabai Pabokari. Pengajian rutin pegawai, tukang
becak, agen dan sopir angkot, IPHI dan Aisyiah di Rumah Jabatan dan Kantor
Bupati.
Hubungan Muslim dan Non-Muslim Bulukumba
Umat non Islam di Bulukumba jumlahnya kurang dari 1% penduduk. Mereka
ini adalah suku Tionghoa, suku Manado, suku Papua dan NTT. Perda-perda
bernuansa Syariah Islam di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, cenderung didukung
umat non muslim yang minoritas tersebut. Salah satu bentuknya, warga non
muslim ketika ada Kongres Umat Islam di Bulukumba, mereka ikut
membentangkan spanduk dukungan. Dalam prakteknya Pemda sengaja tidak
membentuk Polisi Syariah, atau Wilayatul Hasbah seperti di Nangroe Aceh
Darrussalam (NAD).[21] Berikut ini wawancara dengan warga non muslim, Ayin
dan Kristina di Bulukumba:
"…Saya pernah dengar soal perda pakain muslim, namun itu tidak berlaku
bagi yang non muslim. Jadi kami biasa-biasa saja. Selama tidak
keterlaluan tentu tidak ramai disorot orang. Jadi kita tahu dirilah
sebagai perantau. Kita ni cari uang buat hidup, jadi perlu pandai-
pandai menempatkan diri di mana saja berada…"[22]
"…..Kami maklum ada perda itu. Namanya pemerintah memang berhak
mengatur daerahnya. Soal pakaian atau miras, itu memang ramai
dibicarakan orang sini tahun 2000-an dulu. Pernah juga ada dukungan
dari kami yang non muslim, maksudnya agar tidak ada pemaksaan atau
kekerasan yang kami alami. Kami ini cari hidup, pinginnya aman dan
usaha lancer. Jadi kami menyesuaikan diri saja sebagai perantau di
Bulukumba ini. Belum pernah ada sweeping miras atau pemaksaan berbusana
muslim kepada kami yang non muslim.."[23]
Dari penjelasan lapangan di atas, peneliti menangkap kecenderungan tidak
ada pemaksaan perda kepada pihak non Muslim, sehingga kekhawatiran bahwa
akan terjadi dampak negatif sejauh ini belum atau tidak terjadi.
Indikasi Angka Kriminalitas dan Syiar Kegembiraan Beragama
Ada kecenderungan dengan diterapkannya nuansa Syariah Islam di
Bulukumba pada tahun 2001-2005, tingkat kriminalitas, turun 85 persen.
Tidak ada lagi warung yang berani dan mau menjual minuman keras, peredaran
Miras secara ketat hanya diperbolehkan di daera pariwisata seperti pantai
Bira dan sekitarnya. Tidak ada lagi perkelahian pemuda atau pelajar yang
disebabkan karena emosi akibat mabuk-mabukan. Ada ketentuan dalam radius
500 meter dari sekolah, tempat ibadah dan perkantoran dilarang keras
diperjualbelikan minuman keras. Bukan hanya himbuan tapi ada penindakan
yang dilakukan polisi pamong praja dan POLRI.
Setelah pemberlakuan empat perda tersebut tahun 2003 lalu, Bulukumba
di tahun 2010 saat penelitian ini dilakukan cenderung telah menunjukan
perkembangan yang sangat pesat dimana masjid-masjid kian hidup oleh
ramainya jama'ah, beberapa fasilitas perkantoran serta sekolah lebih
bernuansa Islami karena dilengkapi dengan kaligrafi al-Qur'an, seluruh
siswa-siswi beserta guru-guru yang beragama Islam memakai busana muslim dan
muslimah.
Berdasarkan informasi dari narasumber,[24] setidaknya hingga Maret
2005 sudah terbentuk 12 desa percontohan muslim, salah satunya adalah Desa
Padang, yang diresmikan sendiri oleh Bupati Bulukumba, H.A. Patabai
Pabokori pada tanggal 11 Agustus 2004. Desa Padang yang berjarak sekitar 12
km dari kota Bulukumba ini adalah desa yang sangat pro-aktif melaksanakan
empat perda yang telah dikeluarkan pemerintah Kabupaten itu.
Bahkan untuk melancarkan pemberlakuan empat perda tersebut, Kepala
Desa Padang, Andi Rukman Jabbar bersama jajarannya mengeluarkan peraturan
desa tentang hukuman cambuk bagi pelanggaran hukum Syari'at seperti pelaku
perzinaan, peminum minuman beralkohol, judi dan penganiayaan. Keadaan ini
menjadi semacam penggentar (deterance) bagi anggota masyarakat yang
melakukan perilaku menyimpang atau tindakan kriminalitas. Walaupun tindakan
hukuman rotan tentu mendapatkan reaksi protes dan penolakan bagi mereka
yang menganggap hal tersebut melanggar HAM, namun bukankah tindakan
kriminalitas oleh para pelaku kekerasan akibat mabuk juga melanggar HAM
warga desa lainnya.
Dengan diberlakukannya Perdes ini sejak awal 2006, penduduk desa
Pandang tampak cenderung merasa aman dan tentram, karena tidak ada lagi
pemabuk, penjudi dan pencurian, bahkan kesadaran beragama masyarakat pun
semakin meningkat, terlihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti
majelis ta'lim yang semakin semarak. Dalam konteks ini bisa dikatakan
secara relatif bahwa Perda Syariah telah menjadi semacam modal sosial bagi
Bulukumba.
Pemberlakuan Perda Syariah: Studi Kasus Desa Padang Bulukumba[25]
Ada baiknya kita mempelajari konteks lokal pemberlakuan perda Syariah
di sebuah desa yang penelitiannya sudal dilakukan oleh Lukman Masa. Ia
menjelaskan bahwa Desa Padang adalah salah satu dari 20 desa/kelurahan yang
ada di kecamatan Gantarang kabupaten Bulukumba, berjarak kurang lebih 12 km
dari ibu kota Kabupaten Bulukumba. Jumlah penduduk Desa Padang mencapai
3621 jiwa dan tersebar di empat dusun yang ada di Desa Padang yaitu: Dusun
Palimassang 914 jiwa (243 KK), Dusun Borongcinranae 972 jiwa (271 KK),
Dusun Bontobulaeng 697 jiwa (181 KK), Dusun Mattoangin 678 jiwa (246 KK).
Hampir semua warga Desa Padang hidup dengan mata pencaharian sebagai
petani atau pekebun karena sebagian besar lahan di Desa Padang adalah areal
persawahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Desa Padang yang mayoritas
suku Bugis, Makassar, masih sangat kental dengan semangat kebersamaan dan
kekeluargaan. Satu sama lain saling menolong dan memperhatikan sehingga
hampir tidak ada masalah yang tidak diselesaikan bersama. Hampir seluruh
warga Desa Padang satu dengan yang lainnya saling kenal dan sikap
kepedulian terhadap sesama masyarakat sangat tinggi. Mereka dengan suka
rela akan membantu, baik itu berupa materi, tenaga, maupun pikiran.
Kondisi pendidikan warga Desa Padang masih sangat rendah. Rata-rata
mereka hanya mengenyam pendidikan tingkat SD, SLTP sampai SMU. Sedangkan
yang menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi hanya beberapa orang saja.
Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pun masih rendah.
Ini dapat diketahui dengan banyaknya anak usia sekolah yang tidak lagi
sekolah dengan berbagai alasan.
Sejak dulu Desa Padang dan Kabupaten Bulukumba secara umum dikenal
sebagai daerah yang memiliki nuansa religius yang kental. Sentuhan ajaran
Islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatra yang bergelar Dato' Tiro di
daerah Bulukumba telah menanamkan kesadaran religius kepada masyarakat
Bulukumba berupa keyakinan untuk hidup zuhud, suci lahir batin, selamat
dunia akhirat, dalam kerangka tauhid 'appasseuang (meng-Esakan Allah SWT).
Sebelum adanya perda syaria'at Islam yang diterapkan Pemda Kabupaten
dan sebelum ditetapkannya Desa Padang sebagai salah satu desa percontohan
Muslim, kondisi pemahaman masyarakat terhadap ajaran agamanya sangat
memperihatinkan walaupun warga Desa Padang 100 persen beragama Islam.
Kondisi sebagian besar warga Desa Padang dari kaum wanita muslimah umumnya
tidak memakai hijab ketika keluar rumah.
Sementara itu terdapat banyak warga yang belum bisa membaca Al-Qur'an,
pencurian dan mabuk-mabukan di jalan maupun dirumah-rumah penduduk masih
bisa disaksikan setiap hari, dan kemauan warga untuk hadir di masjid
mengerjakan shalat berjama'ah sangat minim, bahkan majelis ta'lim dan dan
TPA pun sangat jarang ditemui.
Setelah adanya perda ini, pemahaman masyarakat akan ajaran agamanya
dan kemauan menjalankan perintah syari'at serta meninggalkan hal-hal yang
dilarang oleh agama semakin meningkat. Sekarang kita dapat menyaksikan
kondisi sebaliknya di mana TPA anak-anak maupun TPA orang tua ada disetiap
masjid. Tidak ada lagi kaum wanita yang menghadiri suatu keramaian atau
keluar rumah dalam keadaan tidak memakai hijab. Majelis-majelis ta'lim
dibentuk sendiri oleh warga kemudian mencari guru atau ustadz. Jama'ah
masjid pun semakin ramai melaksanakan shalat lima waktu.
Larangan mengkonsumsi minuman beralkohol dalam Islam yang telah diatur
melalui perda dan telah diterapkan di Desa Padang. Tentunya memiliki
kelebihan atau kemudahan dalam menerapkannya di Desa Padang, antara lain
sebagai berikut: Pertama, Pemerintah Desa Padang punya otoritas untuk
menerapkan peraturan ini di masyarakat. Sudah dimaklumi bahwa ketika sebuah
peraturan ditetapkan atau diberlakukan oleh pihak yang berwenang, maka
peraturan tersebut akan mudah dilaksanakan dan akan sangat sedikit
kemungkinan adanya penentangan atau penolakan dari masyarakat, ditambah
lagi aturan tersebut legal baik menurut agama maupun hukum positif, serta
memiliki landasan filosofis di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, Pemerintah Desa Padang dapat menjatuhkan sanksi terhadap warga
yang melakukan pelanggaran. Sudah diketahui bersama bahwa suatu peraturan
yang tidak ada sanksinya tidak akan dapat berjalan dengan baik. Maka dengan
dijadikannya larangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol ini
sebagai hukum positif, memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau
mentaati larangan tersebut dapat dilakukan, tanpa takut akan adanya
penentangan dan perlawanan dari masyarakat. Sebab selain menjadi larangan
dalam agama yang mesti ditaati oleh setiap muslim, larangan ini juga sudah
menjadi larangan terhadap warga Desa Padang sebagai warga negara.
Kepala Desa Padang, Andi Rukman menjelaskan bahwa sejak tahun 2005
telah diterapkan sanksi terhadap warga yang melanggar aturan ini, yaitu
hukum cambuk sebanyak 40 kali bagi warga yang ketahuan mengkonsumsi minuman
beralkohol. Selama rentang waktu 2005 hingga sekarang (2006) sudah ada lima
warga yang mendapat hukuman tersebut. Selain hukuman cambuk, mereka yang
melakukan pelanggaran terhadap perda ini juga akan mendapatkan sanksi
berupa sanksi moral. Sebab ketika ada warga yang dihukum, semua warga desa
tahu.
Ketiga, Pemerintah Desa Padang dapat membuat aturan-aturan baru yang
dapat mendukung dan memperkuat perda yang sudah ada. Kadang suatu peraturan
daerah yang dibuat oleh Pemda kabupaten tidak secara detail menyebutkan
teknis pelaksanaannya di suatu daerah (tingkat desa), maka diperlukan
perangkat-perangkat aturan lainnya yang dapat mendukung terlaksananya perda
tersebut dengan baik serta sesuai untuk dilaksanakan di daerah setempat.
Dalam hal ini Kepala Desa Padang, Andi Rukman, mengakui telah membuat
aturan-aturan berupa peraturan desa (perdes) yang dapat mendukung penerapan
perda ini di desanya.Adapun peraturan desa yang dibuat berkenaan dengan
perda larangan peredaran dan penjualan miras adalah perdes No. 05 Th. 2006
tentang pelaksanaan hukum cambuk. Dimana dalam perdes ini dimuat aturan
yang mempertegas dan lebih merinci apa yang telah diatur dalam perda
larangan peredaran dan penjualan minuman keras serta menetapkan sanksi
terhadap pelanggaran perda tersebut.
Dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh perda bernuansa agama
tersebut antara lain: Pertama, Tidak ada lagi warga yang mabuk-mabukan di
jalan-jalan. Sudah menjadi pemandangan yang lazim di Desa Padang sebelum
diberlakukannya perda larangan peredaran dan penjualan minuman keras,
banyak pemuda-pemuda desa yang nongkrong di jalan-jalan sambil mabuk-
mabukan.
Namun ada fakta setelah perda tentang larangan peredaran, penertiban
dan penjualan minuman beralkohol di Bulukumba diterapkan di Desa Padang,
serta diberlakukannya hukum cambuk terhadap pelanggaran perda ini, maka
tidak ditemukan lagi ada pemuda-pemuda desa yang nongkrong di jalan-jalan
sambil mabuk-mabukan. Bahkan menurut H. Andi Umar, jangankan di jalan-
jalan, kios atau dirumah-rumah warga yang biasa dipakai untuk pesta minuman
keras pun sudah tidak ada lagi.
Kedua, warga merasa aman dalam beraktivitas, hal ini hampir dirasakan
oleh semua warga Desa Padang, dimana sebelumnya warga sangat merasa
terganggu dengan ulah beberapa warga yang suka mabuk-mabukan baik di jalan-
jalan maupun rumah dan warung-warung. Hal ini diungkapkan oleh Lilis
Henrika Utami, salah seorang pelajar di Desa Padang, demikian pula beberapa
warga lainnya yang diwawancarai, bahwa sejak diberlakukannya perda minuman
keras ini mereka sudah merasa aman dalam beraktivitas, tidak ada lagi
gangguan dari preman-preman desa yang suka mabuk-mabukan.
Ketiga, berkurangnya warga, ataupun kios dan warung-warung yang
menjual minuman keras. Jenis minuman keras yang banyak dijumpai di Desa
Padang sebelum adanya perda yang melarang peredaran dan penjualan minuman
keras adalah jenis tuak, hal ini disebabkan karena hampir semua warga yang
memiliki pohon aren bisa membuatnya, dan harganya pun relatif lebih murah
dibandingkan minuman keras lainnya.
Kalaupun ada warga yang menjual minuman keras, itu sangat sedikit dan
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. "…Ada semacam lelucon yang beredar di
tengah masyarakat Desa Padang, janganlah kita meminum minuman keras (tuak,
ballo), karena itu minuman setan. Kalau kita minum itu nanti setan dan
keluarganya akan minum apa?". Lelucon itu adalah pengembangan dari ayat al
Qur'an yang melarang meminum munuman keras saat mau shalat dan
penjelasannya bahwa minuman keras adalah minuman yang digunakan keturunan
Iblis untuk melenakan keturunan Nabi Adam agar akal sehatnya runtuh
sehingga mudah melakukan kejahatan.
Keempat, tingkat kriminalitas menurun drastis hingga 99%. Dampak
positif yang paling dirasakan warga Desa Padang dengan diterapkannya perda-
perda Syari'at Islam di Desa Padang adalah menurunnya tingkat kriminalitas.
Dimana sebelumnya warga desa sangat merasa tidak nyaman dengan maraknya
kejahatan di Desa Padang seperti pencurian, penganiayaan, perkelahian dan
tindak kriminal lainnya. Bahkan menurut H. Abdul Malik, bahwa bukan hanya
warga Desa Padang yang merasa aman dengan semakin terciptanya ketentraman
dan keamanan di Desa Padang, tetapi desa tetangga pun merasa aman, karena
sebelumnya Desa Padang dikenal dengan banyak pencuri.
Kendala dan kelemahan senantiasa menyertai penerapan suatu aturan yang
ingin diberlakukan di suatu masyarakat tertentu. Demikian halnya
pemberlakuan perda tentang larangan peredaran dan penjualan minuman keras
di Desa Padang kabupaten Bulukumba. Bahwa dalam pelaksanaan perda di tengah-
tengah masyarakat Desa Padang, mengalami beberapa kendala ataupun
kelemahan.
Kepala Desa Padang Andi Rukman, bahwa penegakan perda minuman keras
ini menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, diataranya adalah: Pertama,
Pemahaman masyarakat tentang keharaman dan bahaya minuman beralkohol masih
sangat minim. minimnya pengetahuan mereka akan keharaman dan bahaya minuman
beralkohol. Bahkan ada sebagian warga yang menjadikannya sebagai mata
pencaharian, dengan memproduksi tuak dari nira aren.
Kedua, Sanksi yang diberlakukan belum sepenuhnya hukum Islam.
Walaupun pemerintah Desa Padang telah membuat peraturan desa (perdes) yang
mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran perda minuman keras ini,
tetapi sanksi tersebut belum sepenuhnya sesuai hukum hudud dalam Syari'at
Islam, sebab warga yang melakukan pelanggaran terhadap perda, boleh memilih
hukuman yang diterimanya antara hukuman cambuk (Hukum hudud) atau
dilimpahkan kepada kepolisian yang kemudian diproses sesuai hukum KUHP
(Hukum Positif).
Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI), Perda Syariah dan Kompetisi Elit
Politik
Selain terkait dengan soal syiar Islam dan modal social, perda syariah
juga terkait dengan persoalan siapa mendapat apa kapan dan bagaimana. Soal
kompetisi dan kontestasi politik di tingkat lokal. Ada beberapa indikasi
untuk menjelaskan fenomena kekuatan politik dibalik Perda Syariah yang
dipergulirkan.
Tajuk berita di harian Tribun Makasar memberitakan adanya kompetisi
elit dan aktifis terkait posisi politik, KPPSI dan perda syariah. Ada
diberitakan bahwa pesona Tokoh Bupati Pangkep Syafrudin Nur, misalnya,
posisinya di kalangan aktivis Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) semakin
menguat. Dia sukses menerapkan sejumlah perda bernuansa syariat Islam di
Pangkep. Hal ini membuat daerah Pangkep disebut-sebut daerah percontohan
syariat Islam pasca-merosotnya posisi Bulukumba sepeninggal Patabai
Pabokori dalam penerapan syariat Islam. Posisi Syafrudin sebagai Ketua
Umum Panitia Kongres Umat Islam IV kian menaikkan pamornya di KPPSI.
Apalagi, ia sekaligus menjadi tuan rumah kongres setelah sebelumnya sukses
menjadi tuan rumah rapat kerja KPPSI, 2006 silam. Wajar, jika publik
menilai ia berpeluang menggantikan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar di
KPPSI.[26]
Tokoh Bahar Ngitung. Pascakongres Umat Islam III di Bulukumba, di KPSI
setelah Kongres Umat Islam III di Bulukumba, aktifis politik bernama Bahar
Ngitung, cenderung tiba-tiba menjelmakan dirinya menjadi aktivis KPPSI.
Kerap kali dia mengenakan sorban ketika muncul di depan publik. Termasuk
ketika ia mendaftar sebagai calon anggota DPD RI di KPU, 2008 lalu, Bahar
datang mengenakan baju kurung khas Arab lengkap dengan sorban ala Yasser
Arafat, Palestina. Menjelang Kongres Umat Islam IV, posisi Bahar semakin
"menguat" di KPPSI. Apalagi dia ditetapkan sebagai ketua panitia dalam
struktur kepanitiaan. Bahar disebut-sebut salah satu kandidat Ketua Lajnah
Tanfidziyah KPPSI mendatang.
Tokoh Aswar Hasan. Duaperiode menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen)
KPSI menjadi modal kuat Aswar Hasan menduduki posisi ketua lajnah
tanfidziyah di lembaga pejuang syariat Islam ini. Ketua Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID) Sulsel ini disebut-sebut calon potensial
menggantikan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar di KPPSI dalam Kongres Umat Islam
IV mendatang.
Tokoh Aswar, ia sudah lama dikenal sebagai aktivis Islam. Dia bahkan
sudah melakukan studi banding perbandingan syariat Islam di Malaysia,
Prancis, dan Inggris. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas
kelahiran Luwu, 17 Agustus 1963, ini dinilai pantas menakhodai KPPSI Sulsel
periode selanjutnya.
Tokoh Patabai Pabokori. Namanya mulai mencuat sebagai calon Ketua
Lajnah Tanfidziyah KPPSI dalam Kongres Umat Islam III di Bulukumba, 2005
silam. Kesuksesannya menyulap Bulukumba menjadi kabupaten percontohan
penerapan syariat Islam saat ia memimpin daerah ini menjadi nilai tawar
paling menggiurkan di kalangan aktivis KPSI. Kepala Dinas Pendidikan
Nasional Sulsel ini ditetapkan sebagai Duta Syariat Islam oleh KPSI. Dia
sekaligus duduk sebagai dewan pakar dalam struktur kepengurusan KPPSI.
Kongres Umat Islam III mengamanatkan kepadanya untuk banyak keliling daerah
"menjajakan" konsep syariat Islam seperti yang ia lakukan di Bulukumba.
Apakah kader KPPSI benar-benar tergiur dengan pesona pria kelahiran Bone, 1
Juni 1952 ini.
Tokoh Nunding Ram. Namanya mulai bersinar di KPPSI dalam Kongres Umat
Islam III, 2005. Mantan Dekan Fakultas Sastra Unhas ini pun dipercaya
sebagai Sekjen KPSI menggantikan Aswar Hasan. Nunding bukan nama baru dalam
blantika perjuangan penerapan syariat Islam di daerah ini. Posisi ini mulai
ia geluti tatkala masih menjadi aktivis mahasiswa. Banyak yang melirik
Nunding untuk menggantikan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar di KPSI, namun ini
masih butuh proses dalam Kongres Umat Islam IV di Pangkep, mendatang.
Perda Syariah Bulukumba dan Konteks Keindonesiaan
Dalam sejarah pergumulan politik hubungan Islam dan bentuk negara di
Indonesia, setidaknya ada lima tingkatan atau level penerapan hukum Islam.
Lima level ini seperti dosis orang minum obat. Semakin tinggi levelnya,
semakin tinggi dosisnya. Jika digunakan lima level atau tingkatan sampai
pada tingkatan apa Perda syariah diterapkan di Bulukmba berdasarkan 5
kriteria Daniel E. Price, maka ditemukan faktai berikut:
Level pertama, penerapan masalah-masalah hukum keluarga, seperti
perkawinan, perceraian dan kewarisan. Di Bulukumba ada aturan Perda Baca
Tulis Al Qur'an yang wajib lulus sebelum melaksanakan aqad nikah
perkawinan.
Level kedua, urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan
Islam dan zakat. Untuk evel ini kita bisa melihat adanya Perda Pengelolaan
Zakat Profesi, Infaq, Sadaqah, namun ada kecenderungan penurunan kualitas
dan kuantitas pelaksanaan pascakepemimpinan Bupati Patabai Pabokari.
Level ketiga, praktik-praktik (ritual) keagamaan, seperti kewajiban
mengenakan jilbab bagi wanita Muslim, ataupun pelarangan resmi hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol, perjudian, melalui Perda
Alkohol dan Perda Busana Muslim.
Level keempat, penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian
dengan jenisjenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar. Belum
diberklakukan secara meluas, baru dicobakan di 12 Desa Muslim Percontohan,
salah satunya Desa Padang, Kec. Gantarang Bulukumba Sulawesi Selatan.
Eksperimen syariah di Bulukumba menembus desa. Sebanyak 12 desa tadi
menjadi percontohan penerapan syariat Islam sejak awal 2005. Nama Bulukumba
begitu dikenal oleh para pendukung syariah dan Kongres Umat Islam Sulawesi
Selatan III, Maret 2005, pun digelar di sana. Elit Desa Padang berani
menerapkan pidana hudud melalui Peraturan Desa (Perdes). Isinya, aturan
tentang delik perzinaan (cambuk 100 kali), qadzaf alias menuduh zina
(cambuk 80 kali atau dilimpahkan ke polisi), minuman keras (cambuk 40
kali), dan pidana qishash (balasan setimpal) bagi tindak penganiayaan. [27]
Level kelima, penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem
pemerintahan. Level ini merupakan puncak tertinggi dari ideologi Islamisme
yang senantiasa menjadi impian pengusung ideologi ini. Hal ini dibantah
oleh Deputi Bupati, Perda ini bukan persiapan pendirian Negara Islam, namun
merupakan Perda Syiar Islam dan instrumen hukum/kebijakan publik untuk
mengatasi persoalan lokal Bulukumba yang di masa lalu diwarnai angka
kriminalitas yang tinggi akibat minuman keras, perjudian, tata cara
berbusana dan rendahnya pemahaman beragama.
Perda Syariah dan Syiar Islam Bulukumba: Modal Sosial dan Modal Politik?
Fenomena bangkitnya perda syariah yang menguat dan terjadi di era
demokratisasi dalam tingkatan tertentu dewasa ini belum atau tidaklah dalam
tingkatan berpotensi menyurutkan atau berlawananan dengan semangat
kebangsaan atau keindonesiaan, apalagi berjuang untuk mendirikan Negara
Islam. Ia malah memperkuat modal sosial dan sangat konstitusional, di luar
penggunaan cara kekerasan dan pemaksaan.
Ada kecenderungan dalam konteks pemerintahan daerah bangkitnya
sentimen keagamaan cenderung tampak konsisten dengan semangat upaya
mengembalikan nilai-nilai religiositas lokal dan upaya mendapat dukungan
politik dalam pemilihan kepala daerah. Suatu kondisi ketika agama merupakan
salah satu elemen kuat di dalamnya. Lebih dari itu jika ditelaah lebih
dalam, semangat Perda-perda keagamaan yang kemudian disebut sebagai "Perda
Syariah", termaktub pula semangat untuk memberantas hal-hal negatif seperti
pemicu angka kriminalitas yang ada di masyarakat. Pemicu itu semacam
minuman keras, cara berbusana, prostutusi dan perjudian, yang mendorong
kejahatan dan pelanggaran susila di masyarakat.
Bupati Bulukumba Patabai Pabokari dan penggantinya dalam
mensosialisasikan Syari'at Islam di daerahnya memprioritaskan pada enam
segmen keagamaan yang terbingkai dalam "Crash Program Keagamaan", yaitu:
(1) Pembinaan dan Pengembangan Pemuda Remaja Masjid, (2) Pembinaan dan
Pengembangan Taman Kanak-Kanak al-Qur'an, (3) Pembinaan dan Pengembangan
Majelis Taklim, (4) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Masjid, (5)
Pembinaan dan Pengembangan Hifz al-Qur'ân, (6) Pembinaan dan Pengembangan
Seni Berbusana Islami. Selain itu, yang juga menjadi perhatian Bupati
adalah pembembentukan desa percontohan muslim. Melalui desa percontohan ini
diharapkan bisa menjadi pelopor pemberlakuan Syari'at Islam dalam sikap-
perilaku sehari-hari, dan jadi desa pelopor zakat.
Identitas keagamaan yang tercermin dari keberadaan Perda Syariah di
Bulukumba tampak meningkat pada saat Indonesia memasuki era keterbukaan dan
demokratisasi. Bangkit karena adanya keterbukaan politik, bangkit sebagai
instrumen atau alat dalam mencari dukungan dan kemenangan calon kepala
daerah (Bupati). Bangkit dan mendapat dukungan, karena adanya janji untuk
menerapkan syariah di daerah yang mayoritas muslim dan relatif homogen.
Penerapan perda syariah di Bulukumba bisa jadi merupakan pertanda
telah meredanya ketegangan antara umat Islam, elit lokal dan negara
sekuler di tingkat nasional di masa Orde baru dan menjadi lebih
emansipatoris dan saling ketergantungan antar Islam dan negara untuk
menjadikannya sebagai modal sosial menuju keamanan dan kemakmuran di
tingkat lokal. Pemberlakuan perda syariah di Bulukumba merupakan bentuk
akomodasi negara Indonesia terhadap pluralisme dan bentuk penghormatan
terhadap kearifan kehendak umum masyarakat lokal. Bisa jadi pengizinan atau
pembiaran pemberlakuan perda syariah bisa mencegah desintegrasi nasional,
karena suasana ketegangan dan represi pusat terhadap daerah menjadi
berkurang.
Perda bernuansakan Syariah di Bulukumba sampai pada tingkatan level
keempat, penerapan hukum pidana Islam. Bukan, belum atau tidak pada level
khilafah atau Negara Islam, tingkatan penggunaan Islam sebagai dasar egara
dan sistem pemerintahan. Pengetahuan masyarakat terhadap substansi perda
syariah di Bulukumba ada pada tingkatan standar minimum untuk tidak terang-
terangan berani melanggar dan tidak pula bersikat represif dan
diskriminatif.
Nuansa penerapan perda Syariah ada cenderung belum bertentangan
dengan hak sipil dan politik bagi warga yang non-muslim dan kaum perempuan.
Perda syariah di Bulukumba tidak diberlakukan apalagi dipaksakan bagi non
muslim. Pemda pun sengaja tidak membentuk polisi syariah atau wilayutl
hasbah seperti di Aceh, karena mereka ingin menampilkan wajah Islam yang
teduh dan indah. Perda syariah adalah perda syiar keindahan Islam di
Bulukumba.
Pendapat parapihak terhadap keadaan sosial politik sebelum dan setelah
diberlakukannya Perda Syariah di Bulukumba cenderung positif, lebih aman
dan lebih semarak dalam menjalan kegembiraan beribadah kepada Tuhan dan
hubungan baik dengan egara umat manusia.
Akhirnya egarai pertanyaan dan jawaban egaraive, seperti seberapa
besar fenomena perda syariah di Bulukumba ini berimplikasi bagi kehidupan
kebangsaan dan di sisi lain mampu mendukung atau menghambat keberadaan
egara-bangsa seperti Indonesia. Ia biasa menjadi alat politik dan akan luar
biasa bila menjadi modal sosial dan modal politik dalam membangun
kebangsaan dan sifat keutamaan akhlak yang mulia. Perda syariah berpotensi
memperkuat rasa keindonesiaan dan perlindungan hak sipil dan politik kaum
minoritas non muslim dan kaum perempuan, tidak hanya di Bulukumba, tapi
juga di Nusantara pada waktunya.
B. Kebangsaan dan Perda Syariah di Cianjur: Wacana, Gerakan Sosial atau
Kontestasi Politik Simbolik?
Menguatnya sentimen keagamaan di Indonesia setelah bergulirnya
reformasi layaknya air bah yang tumpah kedaratan dan tidak bisa dibendung
lagi. Ditinjau dari sejarah, usaha – baik yang diprakarsai oleh suatu
kelompok maupun daerah – untuk melakukan formalisasi hukum agama khususnya
Islam di Indonesia telah berlangsung sejak zaman awal kemerdekaan republik
ini. Pada tahun 1945 hingga penghujung tahun 1998 berbagai perjuangan dari
kelompok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara terus
bergulir. Meskipun dengan intensitas dan wujud yang saling berbeda.
Kelompok yang lebih memilih Islam sebagai ideologi negara berdasarkan
penggambaran yang disampaikan oleh Bachtiar Affendy, memiliki beberapa
alasan dan pertimbangan sebagai berikut : "...kelompok Islam pada dasarnya
menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka
kemukakan pada masa pra-kemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-
jelas beragama Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi
negara berdasarkan argumen-argumen mengenai: (1) watak holistik Islam; (2)
keunggulan Islam atas semua ideologi lain; dan (3) kenyataan bahwa Islam
dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia….".[28]
Sedangkan kalangan yang menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara
karena mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara
sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai
pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Sementara itu,
Pancasila betapun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar
ideologi bersama seluruh rakyat Indonesia. Kalangan Islam lainnya lagi
menolak Islam sevagai dasar negara dengan alasan bahwa mereka khawatir
kalau-kalau hukum Islam akan diterapkan kepada seluruh warga Indonesia[29].
Pertentangan ini sangat tampak pada saat Piagam Jakarta yang hendak
diberlakukan sebagai dasar negara dikoreksi oleh beberapa pihak yang
keberatan dengan keberadaan tujuh kata pada sila pertama, yaitu "dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi para pemeluknya". Pertentangan
berakhir dengan mengalahnya kelompok Islam demi menjaga persatuan bangsa
kala itu, walaupun banyak pihak yang menilai sikap ini bukanlah sikap
mengalah dalam artian sesungguhnya tetapi lebih kepada mengalah untuk
sementara, karena dalam sidang BPUPKI disepakati bahwa permalasalahan itu
akan dibicarakan lagi pada Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955. Ketika
hasil pemilu 1955 keluar, didapatkan peta kekuatan politik yang hampir
berimbang antara Partai Politik Islam dan Partai Politik yang Sekuler[30].
Peta kekuatan partai politik yang hampir berimbang dalam dewan
konstituante tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh tarik ulur
kepentingan yang cukup alot di dalam dewan. Hampir tiga tahun lebih lamanya
Majelis Konstituante bersidang untuk membahas mengenai masalah penambahan
tujuh kata pada sila (1) Pancasila. Pertentangan pun tidak juga menemukan
kesepakatan, hingga pada akhirnya Presiden Soekarno menghentikan perdebatan
dikonstituante dengan mengeluarkan Dekrit Presiden Soekarno Tahun 1959 yang
bekerjasama dengan militer untuk menyelesaikan polemik tersebut[31]. Di
dalam dekrit tersebut ditegaskan bahwa Indonesia kembali kepada Pancasila
dan UUD 1945.
Dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno tersebut memberikan pukulan
kekalahan yang sangat dalam bagi kalangan pendukung ideologi Islam sebagai
dasar negara. Sehingga memunculkan sentimen negatif dari kalangan pro-
syariah terhadap negara. Walaupun pada tahun 1966 Orde Lama telah runtuh,
namun tidak serta merta pertentangan dan konflik itu ikut melebur bersama
kehancuran orde lama.
Bahkan dimasa orde baru pun, keinginan dan ketegangan terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan syariah Islam sebagai dasar negara terus
berlangsung.Orde baru tidak menjanjikan apapun terhadap perjuangan kelompok
yang ingin terus melakukan restorasi Piagam Jakarta. Konflik antara negara
dan kelompok pro-syariah masih saja berlangsung. Sehingga menimbulkan
sebuah stereotip yang melekat pada pemerintah bahwa umat Islam adalah anti-
Pancasila, anti-kemajemukan dan persatuan nasional. Sementara disisi lain
umat Islam selalu merasa bahwa pemerintah memiliki agenda terselubung untuk
meminggirkan dan memarjinalkan kekuatan Islam dan dihantui oleh ketakutan
akan bangkit dan liarnya kekuatan Islam tersebut[32].
Konteks Reformasi, Demokratisasi dan Timbulnya Perda Syariah
Teriakan reformasi pun berdengung pada tahun 1998 direpublik ini yang
membawa tuntutan untuk menghapus sentralisasi kekuasaan dalam bidang apapun
dan kehidupan yang lebih demokratis lebih dari sebelum reformasi bergulir.
Zaman perubahan, itulah makna dari penyebutan reformasi tersebut. Indonesia
mengalami perubahan yang tidak sedikit namun dalam waktu yang singkat.
Kebebasan bersuara dan beridentitas dengan nyata sebagai wujud dari
demokratisasi dan perlawanan terhadap sentralisasi terus melanda hampir
diseluruh pelosok negeri ini.
Dalam aspek pemerintahan prinsip demokratisasi diwujudkan dengan
pembentukan azas penyelenggaran pemerintahan daerah yang lebih bersifat
desentralis atau yang lebih dikenal dengan sebutan otonomi daerah. Sesuai
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32
Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: "Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan."
Dengan demikian tiap wilayah memiliki kewenangan penuh mengatur
wilayahnya sendiri, terkecuali dalam bidang lain yang masih mengalami
sentralisasi, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional serta agama. Berbagai identitas lokal pun
semakin menguat seiring dengan pembolehan ekspresi karakteristik lokal
lewat diberlakukannya Undang Undang otonomi daerah.
Hal tersebut menimbulkan penguatan nilai-nilai lokal yang semakin
memperjelas batasan dan perbedaan setiap wilayah, suku dan agama ditiap-
tiap daerah. Tanpa disadari masyarakat daerah mengabaikan keindonesiaan
ketika mereka mencoba untuk menggali karakteristik lokal dan keagamaan yang
mereka miliki. Pengkotak-kotakan daerah pun menjadi hal yang lazim untuk
ditemukan saat ini. Pembauran masyarakat yang didasarkan atas prinsip
kebersamaan di atas perbedaan yang ada menjadi hal yang semakin terkikis
dari masyarakat Indonesia.
Sentimen-sentimen primordial dan keagamaan bak jamur yang muncul
ketika hujan reformasi turun di bumi Indonesia. Identitas keagamaan yang
tadinya terkungkung oleh berbagai kebijakan represif penguasa sebelumnya,
dengan lantang memulai perjuangannya kembali. Jika pada masa orde lama dan
orde baru, perjuangan lebih bersifat skala nasional, namun dengan adanya
otonomi daerah, perjuangan ditingkat daerah justru lebih menjanjikan.
Sehingga kemunculan perda-perda bernuansa Syariah Islam dibeberapa daerah
tidak dapat lagi dibendung oleh negara.
Perda Syariah Cianjur: Gerakan Sosial atau Politik Simbolik?
Satu hal yang menarik adalah ketika ditemukannya sebuah Peraturan
Daerah disebuah Kabupaten yang juga bernuansakan Syariah Islam di salah
satu kabupaten Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Cianjur mengesahkan sebuah
peraturan daerah yang memiliki nama sangat kental dengan nuansa Islami,
yaitu Perda Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Akhlakul Qorimah). Perda
ini menjadi perhatian penting dalam penelitian ini, karena pada umumnya
beberapa peraturan daerah yang ada tetap menggunakan bahasa yang bersifat
umum. Bahasa yang juga digunakan umat di luar Islam dan tidak berbahasa
Arab.
Selain itu substansi perda-nya pun umumnya hanya mengatur satu per
satu bagian kehidupan di dalam masyarakat. Seperti adanya perda pekat
(penyakit masyarakat), SK Bupati tentang penggunaan jilbab bagi kaum
muslimah, lalu Perda tentang larangan atau ketentuan jam malam bagi kaum
perempuan di luar rumah seperti yang terjadi di Padang dan Tangerang. Namun
kesemua peraturan tersebut tidak berada dalam 'satu payung' perda yang utuh
seperti yang terjadi di Kabupaten Cianjur.
Untuk itu akan menjadi suatu sangat menarik secara ontologis dan
epistemologis bila kita dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya substansi
dan proses formulasi kebijakan publik dari Perda Gerbang Marhamah yang
hadir di Cianjur. Penjelasn tentang bagaimana proses, aktor dan peristiwa
apa saja yang turut mengiinisiasi hadirnya perda ini sangat menarik untuk
diperbincangkan. Disamping itu adalah hal yang penting untuk mengetahui
opini dari kalangan minoritas ketika sebuah perda lahir dengan lebih
mempertimbangkan pemahaman kaum mayoritas.
Selanjutnya akan dilakukan telaah mengenai hubungan antara kelahiran
perda ini dengan peristiwa-peristiwa politik di Cianjur dan tentu saja
perkembangan konsistensi penegakan aturan-aturan yang tertuang di dalam
perda tersebut sejak disahkan pada tahun 2006 hingga saat ini (tahun 2010).
Kemudian, perbincangan terakhir adalah berkenaan dengan bagaimana posisi
paham kebangsaan dalam proses hadirnya perda-perda bernuansa syariah Islam
seperti yang terjadi di Cianjur.
Politik Kebijakan Publik: Proses Kelahiran Perda Gerbang Marhamah.
Secara demografi politik dan geopolitik, kabupaten Cianjur adalah satu
dari sekian kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang disebut-sebut sebagai
salah satu daerah yang memiliki nuansa kehidupan Islam yang sangat kental
di kalangan masyarakatnya. Hal ini sangat wajar jika dilihat pada konteks
sejarah terbentuknya daerah ini. Dimana, pada sekitar tahun 1677 daerah ini
dibuka dan dibangun oleh seorang Waliyullah[33].
Kehidupan yang Islami itupun diperlihatkan dengan banyaknya jumlah
pondok pesantren yang tersebar di wilayah Cianjur, dan juga masih tingginya
persentase elit yang berasal dari kalangan pesantren di tingkat
pemerintahan maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan. Kenyataan bahwa
sekitar 99,23% penduduk Kabupaten Cianjur memeluk agama Islam,[34] semakin
memperkuat identitas kemusliman Cianjur itu sendiri.
Namun dengan berjalannya waktu dan diiringi perkembangan peradaban di
berbagai belahan bumi, arus modernitas pun berhasil menyusup dan mengakar
dinegeri ini, baik nilai-nilai modernitas yang dibawa oleh pemerintahan
kolonial Belanda, maupun ketika bangsa ini telah berada pada masa
kemerdekaan dimana terdapat sebuah konsekuensi dari semakin berkembangnya
teknologi informasi yang menyebarkan nilai-nilai modernitas dinegara-negara
maju melalui media komunikasi dan informasi.
Hal ini disebut-sebut oleh para tokoh Islam di Cianjur sebagai
penyebab timbulnya penyelewengan dan tidak hormatnya masyarakat Cianjur
terhadap nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Terutama nilai-nilai yang
berkaitan dengan moralitas. Pola-pola hidup masyarakat yang Islami seperti
kesopanan dalam berpakaian bagi kaum perempuan semakin memudar. Wilayah
Cianjur dengan posisi sebagai pendukung dua kota metropolitan, yaitu
Jakarta dan Bandung, memberikan beberapa konsekuensi yang cukup besar bagi
daerah ini.
Disamping dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat Cianjur yaitu
semakin mudahnya akses transportasi dan juga lebih cepatnya informasi yang
masuk ke negeri mereka atas perkembangan dua daerah tersebut, namun tanpa
mereka sadari, proses penerimaan informasi yang sangat cepat tersebut pun
memberikan tidak sedikit dampak negatif yang harus dibayar mahal oleh salah
satu negeri Pasundan ini.
Berkembang pesatnya pusat pariwisata berupa penginapan dan tempat
hiburan di Cianjur dianggap sebagai penyumbang degradasi moral yang
mengajarkan kehidupan metropolis yang jauh dari syariat agama (Islam).
Tingkat perjudian yang tinggi dan praktek-praktek kemaksiatan seperti
pelacuran semakin marak dan tidak terlalu sulit ditemukan di wilayah ini.
Tentunya hal ini sangatlah kontras jika dihubungkan dengan fakta-fakta
identitas ke-Islam-an yang dimiliki Cianjur.
Kekhawatiran-kekhawatiran seperti di atas lah yang pada umumnya muncul
dikalangan tokoh agama Islam Cianjur, baik yang berasal dari Pondok
Pesantren, Majelis Ulama, Organisasi Mayarakat Islam ataupun Lembaga
Swadaya Masyarakat. Sehingga memunculkan sebuah keinginan kuat untuk dapat
mengembalikan kebaikan moral masyarakat muslim Cianjur kepada Syariat Islam
yang sebenarnya.
Pada awalnya perjuangan untuk melakukan perbaikan moral masyarakat
Cianjur ini hanya berputar pada poros kelompok Ulama, MUI (Majelis Ulama
Indonesia) dan sekitar 30 Ormas Islam didaerah tersebut, dan keseriusan ini
mereka buktikan dengan mendeklarasikan komitmen untuk menegakkan syariat
Islam dalam suatu perayaan Hari Besar Islam, yaitu peringatan Tahun Baru
Islam pada 1 Muharram 1422 atau 26 Maret 2001[35].
Deklarasi ini mereka namakan dengan "Gerakan Membangun Akhlaqul
Karimah" yang disingkat dengan Gerbang Marhamah. Ternyata perjuangan
perbaikan moral ini tidak hanya berhenti pada deklarasi yang disampaikan
oleh para ulama tersebut, perjuangan pun bergerak menuju suatu ide untuk
dapat memformalisasikan deklarasi atau program tersebut dalam suatu
peraturan daerah, dan tentu saja hal ini akan meminta perhatian yang lebih
besar pada pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di Cianjur.
Ada ungkapan pepatah yang mengatakan "Pucuk di cinta, ulam pun tiba",
itulah pepatah yang menggambarkan kondisi dimana ketika deklarasi ini
didengungkan sangat bertepatan dengan peristiwa suksesi kepemimpinan di
Cianjur. Salah satu calon Bupati yang mengikuti bursa pemilihan bupati pada
masa itu, yaitu Ir. H. Wasidi Swastomo tidak menyia-nyiakan begitu saja
moment berharga ini. Dengan sigap ia langsung mengusung isu 'gerbang
marhamah' ini sebagai isu utama dalam kampanye politik yang ia gelar.
Dimana pun ia berada, ia selalu menyebut bahwa akan dengan sekuat tenaga
mengusahakan agar gerbang marhamah akan mendapatkan posisi yang tinggi
dalam struktur peraturan didaerah yaitu Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten
Cianjur.
Pemilihan Bupati kala itu belum menggunakan sistem pemilihan langsung
yang telah ada setelah UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 disahkan.
Sehingga usaha pendekatan terhadap DPRD lah yang menjadi sasaran pasangan
Ir. H. Wasidi Swastomo dan H. Dadang Rachmat, S.E., M.Si, dan tentu saja
dengan memanfaatkan isu gerbang marhamah menjadi "jalan tol" yang sangat
menjanjikan bagi pasangan ini. Mengapa demikian? Hal ini mengingat "warna
politik aliran" dari anggota DPRD pada periode 1999-2004 masih diwarnai
oleh individu-individu dengan latar belakang pesantren dan ulama di
Cianjur.
Mereka lah yang merupakan bagian inti dari kelompok yang
mendeklarasikan gerbang marhamah tersebut, maka tidaklah heran jika
masyarakat Cianjur menganggap bahwa perda gerbang marhamah adalah sebuah
produk kompromi politik (political bargaining) antara anggota DPRD masa itu
dengan Cabup/Cawabup Wasidi-Dadang. Seperti yang disampaikan oleh Ati
Fahriyati yang merupakan anggota dari Muslimat NU dan juga MUI Kab.
Cianjur. Hal itu terbukti dengan kemenangan Wasidi-Dadang sebagai Bupati
dan Wakil Bupati Cianjur periode 2001-2006.
Permintaan formalisasi ini dianggap wajar oleh pihak-pihak yang
mendukung, karena mereka beranggapan bahwa hal ini seiring dengan prinsip
demokratisasi dan desentralisasi tata pemerintahan yang telah berlaku di
Indonesia. Dimana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan
masyarakat dalam wujud pembangunan fisik dan mental masyarakat di daerah
tersebut. Tuntutan formalisasi ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk
diwujudkan.
Meskipun pemerintahan eksekutif Cianjur memperlihatkan sikap
akomodatif terhadap tuntutan formalisasi Gerbang Marhamah, namun hal ini
tidak serta merta menunjukkan bahwa dukungan yang sama akan didapatkan dari
jajaran legislatif Cianjur. Sejak isu ini digulirkan, pertentangan antara
sesama anggota legislatif dan juga antara legislatif dan eksekutif di
Kabupaten itu semakin tajam menanggapi isu formalisasi syariah Islam ini.
Berdasarkan struktur keanggotaan legislatif pada masa itu (periode
1999-2004), jumlah anggota legislatif yang berasal dari partai politik yang
nyata-nyata berasaskan pada Islam dan merupakan pendukung utama gerakan
formalisasi ini memiliki jumlah yang tidak lebih banyak dibandingkan dengan
anggota legislatif yang memiliki "azas sekuler" atau Pancasila. Sebagai
gambaran struktur politik di DPRD Cianjur, yaitu dengan formasi jumlah
kekuatan kontra formalisasi syariat Islam Cianjur adalah Golkar 17 kursi
dan PDI Perjuangan 8, sedangkan yang pro formalisasi adalah PPP 3 kursi,
PKB 3 kursi dan PBB 2 kursi[36].
Jika dilihat secara kasat mata berdasarkan perbandingan azas parpol
yang berkuasa dilegislatif pada masa itu, maka tentunya akan sulit untuk
meluluskan tuntutan formalisasi syariah Islam yang digulirkan oleh kalangan
Ulama dan Kyai di Cianjur tersebut. Namun demikian, berdasarkan keterangan
yang didapatkan dari beberapa narasumber dalam penelitian ini, sesungguhnya
formasi kekuatan partai politik di DPRD yang seperti ini bukanlah sebuah
jaminan bahwa akan terdapat kesulitan untuk dapat melancarkan usaha
formalisasi Syariat islam di Cianjur.
Alasannya, karena meskipun partai sekuler lebih mendominasi struktur
keanggotaan legislatif, namun secara individu keanggotaan partai politik
yang sekuler sekalipun diisi oleh orang-orang yangg notabene juga merupakan
kalangan dengan latar belakang santri ataupun ormas Islam yang cenderung
mendukung usaha formalisasi Syariah Islam tersebut.
Kekuatan formasi partai politik yang tadinya tidak terlalu
dikhawatirkan oleh para pendukung formalisasi Gerbang Marhamah ternyata
berbalik arah ketika Pemilu dilaksanakan pada tahun 2004. Hadirnya partai-
partai politik baru dengan berbagai kekuatannya seperti Partai Demokrat
yang juga merupakan partai sekuler, memberikan warna yang cukup berarti
dalam keanggotaan DPRD Kab. Cianjur. Proses lobby panjang yang tidak hanya
menghabiskan tenaga tetapi juga uang terus berlangsung selama proses
formalisasi.
Meskipun pertentangan formalisasi ini masih terus berlangsung di tubuh
legislatif Kab. Cianjur, namun beberapa kebijakan yang merupakan
implementasi dari gerakan pembangunan akhlakul karimah ini terus dilakukan.
Diantaranya adalah kebijakan mengenai pakaian muslim bagi siswi sekolah dan
pegawai perempuan dikalangan pemerintah. Ketentuan berpakaian muslimah ini
diiringi dengan himbauan lewat selebaran dan spanduk-spanduk di sepanjang
jalan utama Cianjur[37]. Disamping itu terdapat sebuah kebijakan memberikan
insentif dana pada beberapa pondok pesantren dan ormas Islam yang mendukung
berjalannya program penerapan syariah Islam ini[38].
Gerbang marhamah ini justru disahkan sebagai peraturan daerah melalui
tangan bupati terpilih Kabupaten Cianjur untuk periode tahun 2006-2011,
yaitu Bupati Tjeptjep Muchtar Soleh. Pengesahan ini menjadi hal yang mutlak
untuk dilakukan oleh sang Bupati karena pada tahun 2006 tersebut gelombang
tuntutan dari kelompok ulama yang dimotori oleh MUI Kab Cianjur sangat
deras, disamping ada kecaman terhadap Bupati terpilih bahwa jika Gerbang
Marhamah tidak segera dijadikan perda maka itu adalah sebagai bukti bahwa
Bupati baru tidak berakhlaqul karimah[39].
Namun sayangnya, ketika gerbang marhamah telah dijadikan perda, justru
berbagai kebijakan yang dibuat oleh Bupati Cianjur sebelumnya sebagai
bentuk implementasi dari perda gerbang marhamah itu sendiri menjadi
termentahkan dan mengendur kekuatannya. Kondisi ini sangat kontras ketika
gerbang marhamah baru sebatas isu dan wacana dalam bentuk gerakan-gerakan
yang diinisiasi oleh ulama dan diakomodasi oleh pemerintah daerah.
Diinstansi-instansi pemerintah sudah mulai terlihat adanya perempuan-
perempuan muslimah yang tidak menggunakan kerudung, begitupun disekolah-
sekolah umum.
Hal yang paling nyata dikeluhkan oleh para penggerak gerakan ini
adalah ketika Gerbang Marhamah disahkan menjadi perda, insentif bagi
fasilitator yang mensosialisasi substansi perda gerbang marhamah pada
masyarakat, menjadi sedikit demi sedikit berkurang sejak tahun 2006.
Selanjutnya hingga pada tahun 2008 sudah tidak ada sama sekali. Dengan
alasan bahwa APBD Kabupaten Cianjur mengalami defisit.
Kurangnya konsistensi pemerintah eksekutif dalam mengimplementasikan
pasal-pasal dalam Perda Gerbang Marhamah pada akhirnya menimbulkan anggapan
bahwa Perda Gerbang Marhamah memiliki ketidawajaran dalam prosesnya
kelahirannya. Salah satunya adalah karena proses keberadaan Perda Gerbang
Marhamah lebih kepada suatu bentuk perjanjian politik antara calon bupati
dan beberapa anggota dewan ketika fase suksesi kepemimpinan eksekutif
berlangsung di Cianjur.
Hal itu bukan atas dasar sebuah aspirasi yang lengkap dan menyeluruh
dari masyarakat Cianjur yang diperlihatkan dengan kesetujuan seluruh
anggota DPRD Cianjur. Selain itu terdapat keterpaksaan dari Bupati Tjetjep
untuk mensahkan Perda Gerbang Marhamah akibat desakan dari kelompok ulama
dan beberapa anggota dewan dan Bupati Tjetjep kala itu dituduh tidak
berakhlak seandainya tidak segera mensahkan perda tersebut.
Selanjutnya proses inisiasi perumusan perda ini juga tidak melibatkan
semua kalangan dan golongan yang ada di Cianjur. Salah satu aktivis
perempuan di Cianjur yang saat ini telah menjadi anggota DPRD Kab.
Cianjur[40] pun menyebutkan hal yang sama. Meskipun umat non muslim
dihadirkan dalam berbagai diskusi selain yang diadakan oleh LPPI seperti
FKUB Cianjur, tetapi mereka lebih diposisikan sebagai pendengar semata dan
mereka pun tidak memiliki keberanian dan kesempatan untuk menyampaikan
keberatannya.
Umat non muslim dan kaum perempuan diposisikan sebagai kelompok
minoritas yang mau tidak mau ketika berada dikalangan mayoritas, mereka
harus menerima perda ini tanpa mampu mengartikulasikan ketidaksetujuannya
secara verbal didepan para ulama, khususnya pada kelompok Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kab. Cianjur. Sehinga perasaan-perasaan diskriminatif pun
muncul dan berkembangan pada kelompok minoritas ini.
Disamping beberapa hal di atas yang disebut sebagai hal-hal yang
membuat kahadiran perda gerbang marhamah ini menjadi tidak wajar dan kurang
memiliki kekuatan hukum dalam penerapannya juga didukung oleh beberapa
faktor, seperti ketidakjelasan dalam hal substansi dari perda tersebut,
baik dalam hal untuk siapa perda ini ditujukan. Kemudian juga, tidak adanya
sanksi terhadap pelanggaran nilai-nilai moral yang tertuang di dalam
akhlakul karimah. Berikut akan dijelaskan bagaimana gambaran substansi dari
perda gerbang marhamah tersebut.
Substansi Perda Gerbang Marhamah: Lemahnya Indikator Terukur?
Secara garis besar, dalam Perda Gerbang Marhamah, Gerbang Marhamah
itu sendiri didefinisikan sebagai "upaya bersama yang dilakukan secara
sistematis dan terus menerus dalam rangka mengamalkan nilai-nilai akhlaqul
karimah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang merupakan tahapan
sekaligus bagian tak terpisahkan dari upaya jangka panjang masyarakat
Kabupaten Cianjur untuk melaksanakan serta mewujudkan Islam sebagai agama
yang rohmatan lil'alamin."[41]
Selanjutnya prinsip-prinsip dari akhlak itu di dalam renstra tersebut
disebutkan meliputi tiga bidang pokok garapan, yaitu:
Bidang akhlak manusia terhadap Allah. Intinya, bahwa apapun yang dilakukan
oleh seorang muslim harus bertitik tolak dari sebuah komitmen dan kesadaran
tital (ikrar) bahwa tiada Tuhan kecuali Allah – Lailaha illallah. Firman
Allah dalam Al-qur'an surat Muhammad ayat 19: Terjemahnya: "maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah" peningkatan
aqidah, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT adalah inti dari akhlak
manusia kepada Allah sebagai khaliknya.
Bidang akhlak manusia terhadap sesama manusia, yakni sikap dan
perilaku seorang muslim dalam hubungannya dengan sesama manusia lainnya
dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Termasuk dalam lingkup ini
adalah akhlak berpemerintahan, akhlak berdagang, akhlak berpolitik, akhlak
berdakwah, akhlak berlalu lintas dan akhlak dalam bidang sosial
kemasyarakatan lainnya.
Bidang akhlak manusia terhadap alam dan lingkuangannya. Intinya,
bagaimana seorang muslim harus bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan
dan sekitar diluar manusia. Termasuk dalam bidang ini adalah akhlak dalam
bidang kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan, kenyamanan dan
pelestarian lingkungan.
Jika dilihat dari tiga aspek di atas, secara sepintas sebenarnya
bidang akhlak yang tertuang di sini sudah cukup menjelaskan pada tataran
apa saja akhlaqul karimah itu diterapkan. Namun jika dilihat lebih teliti,
penjelasan secara substansi dan indikator dari masing-masing aspek ini
belum ditemukan. Bahkan di dalam buku pedoman renstra yang diterbitkan oleh
LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengambangan Islam) Cianjur sendiri, indikator-
indikator yang dijelaskan dalam hal ciri-ciri akhlaqul karimah[42] tidak
disertai dengan penjelasan secara substansial apa-apa saja yang harus
dipedomani dalam menerapkan akhlaqul karimah tersebut.
Hampir sebagian besar ciri-ciri yang dituangkan di dalam buku pedoman
tersebut merupakan penafsiran dari nilai-nilai aqidah dan juga nilai-nilai
yang bersifat sangat normatif dalam agama Islam dan berada pada ruang
private seorang individu. Seperti (1) taat kepada Allah dan Rasulullah SAW;
(2) memelihara keluarga untuk senantiasa taat, patuh kepada Allah dan
Rasulnya; (3) sabar dalam menghadapi segala cobaan dalam melaksanakan
kewajiban; (4) bersikap jujur dan benar dalam bertindak; (5) setia dan
saling tolong menolong terhadap sesama; dan beberapa ciri lainnya.
Penafsiran ketiga aspek akhlaqul karimah dengan beberapa ciri yang ada
memang sangat relevan, namun menurut salah satu anggota DPRD Kab. Cianjur,
indikator dari beberapa ciri ini tidak dapat diturunkan dengan mudah dan
juga dengan nilai-nilai yang dapat terukur. Berikut ini petikan wawancara
dengan narasumber anggota DPRD:
"….Di dalam Perda Gerbang Marhamah itu secara substansi menurut saya
masih kabur. Saya katakan begitu karena yah.. tidak mengatur yang
definisi berkakhlaqul karimah itu yang seperti apa. Lalu ukuran
keberhasilan dari akhlakul karimah itu seperti apa, apakah tingkat
korupsi pejabatnya menurun misalnya? Apakah tingkat kejahatannya
menurun, seperti tingkat perkosaannya menurun misalnya. Juga apakah
misalnya yang dimaksud pendidikan yang ber-ahlakuk karimah itu misalnya
tidak ada lagi pelajar dan mahasiswa yang nyontek, atau misalnya guru
yang memberikan bocoran pada saat UAN misalnya.. tetapi kan ini masih
terjadi. Lalu juga dalam bidang kesehatan. Perlakuan pelayanan
kesehatan yang berakhlakul karimah terhadap masyarakat itu yang seperti
apa sih, itu juga kabur. Tidak ada sesuatu pasal yang sangat jelas dan
gamblang yang menyebutkan ukuran atan tanda tercapainya akhlakul
karimah...". [43]
Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksudkan
masyarakat dalam hal ini adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di
Kabupaten Cianjur. Sedangkan di dalam ayat (7) disebutkan bahwa akhlaqul
karimah adalah tabi'at, sifat, sikap dan perilaku atau kebiasaan sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yakni akhlah yang bersumber dari Al
Quran dan Assunah.
Beberapa narasumber yang ditemui, yaitu dari Ketua FKUB Kab Cianjur (H.
Muchrodin) dan salah satu anggota dewan pendukung Gerbang Marhamah
menyebutkan bahwa perda ini bukan hanya ditujukan bagi umat muslim tetapi
juga seluruh masyarakat Cianjur. Hal yang membingungkan dari kedua hal ini
adalah bagaimana mungkin pedoman tentang akhlaqul karimah ini dapat
dijalankan oleh pemeluk agama lain di Cianjur yang merupakan bagian dari
masyarakat Cianjur itu sendiri, apabila hukum yang berlaku tersebut
bersumber pada ajaran Islam semata.
Pengetahuan yang masih rendah tentang Syariah Islam dikalangan
masyarakat Cianjur harusnya juga menjadi perhatian yang amat penting.
Dimana hal ini sebenarnya juga diakui sepenuhnya oleh LPPI Cianjur. Dalam
Renstra Gerbang Marhamah disebutkan juga bahwa tantangan terbesar untuk
menerapkan Perda ini adalah belum adanya komitmen kuat yang didukung oleh
seluruh komponen masyarakat.
Inti dalam sebuah gerakan selayaknya berdasarkan keterlibatan dan
kebersamaan diantara banyak pihak. Kondisi ini diperburuk oleh masih adanya
penilaian dan kecurigaan berlebihan pihak luar yang muncul akibat masih ada
kekeliruan mereka dalam mempersepsikan konsep pelaksanaan syariat Islam
yang akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur.
Secara umum hambatan tersebut meliputi potensi umat yang ada di
Kabupaten Cianjur masih berada pada posisi yang secara umum masih lemah.
Hal ini juga ditambah dengan masih rendahnya rata-rata angka melanjutkan
pendidikan, rendahnya derajat kesehatan serta rendahnya rata-rata angka
pendapatan dan masih banyaknya muncul sikap dan perilaku sebagian umat yang
kadang-kadang berseberangan dengan nilai-nilai luhur Islam yang dianutnya.
Perda Gerbang Marhamah dan Reaksi Publik
Perda gerbang marhamah ini bisa dikatakan mendapatkan dukungan yang
cukup banyak dari masyarakat Kabupaten Cianjur. Pada umumnya landasan
berpikir yang mereka gunakan adalah pertimbangan bahwa hukum-hukum normatif
yang telah ada selama ini belum juga mampu menyelesaikan permasalahan moral
umat yang semakin rusak. Kemudian, mayoritas penduduk Cianjur beragama
Islam dengan jumlah yang mencapai hampir 98 persen lebih dari total
keseluruhan penduduk di Kabupaten tersebut.
Perda gerbang marhamah merupakan benteng bagi perbaikan moral bangsa.
Dengan kebaikan umat di daerah inipun akan memberikan dampak yang baik pula
bagi kehidupan bangsa. Ketertiban akan dapat dicapai ketika masyarakat
muslim benar-benar dapat menjalankan syariah agama nya dengan benar, dan
menurut kalangan ulama di Cianjur hal ini juga harus diikuti dengan
pengawasan dari pemerintah.
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan salah satu
tokoh ulama terkemuka di Cianjur yang juga merupakan Ketua MUI Cianjur,
bahwa perda ini semata-mata ditujukan sebagai himbauan moral kepada
masyarakat terutama pemimpin di Cianjur agar lebih memperhatikan
permasalahan akhlak. Ketika ditanyakan kenapa tidak langsung saja
menerapkan sanksi agar pasal-pasal di dalam perda menjadi lebih efektif,
mereka menganggap hal itu tidaklah diperlukan. Mengingat ini adalah gerakan
moral, maka cukup dengan pemberian moral dan pengawasan dari Allah saja
untuk membuat perda ini menjadi berdaya guna.
Di sini dapat terlihat bahwa ulama telah lupa, ketika sebuah gerakan
moral telah diposisikan sebagai hukum positif dan dilegalkan oleh
pemerintah daerah, maka mau tidak mau pemerintah eksekutif maupun
legislatif memiliki kewajiban untuk mengawal penerapan dari perda tersebut.
Jika demikian, maka hal ini sangat kontras dengan pernyataan mereka yang
menyatakan "cukup teh Allah saja yang menghukum".
Dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya politisasi agama oleh
pemerintahan daerah tidak dapat dihindarkan.Namun tidak sedikit juga
masyarakat dan beberapa tokoh di Cianjur yang mencomooh kehadiran perda
ini. Pesimistis kalangan yang mengkritik perda ini dilatarbelakangi oleh
beberapa alasan, diantaranya adalah:
1. Kelompok nasionalis
Kalangan yang menamakan dirinya kelompok nasionalis dan menjunjung
tinggi paham kebangsaan Indonesia menyuarakan selalu ketidaksetujuan mereka
terhadap perda ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa semangat
dari hadirnya perda Gerbang Marhamah dapat mengancam keutuhan NKRI. Bagi
mereka pengkhususan suatu peraturan pada satu golongan agama saja tidak
perlu dilakukan. Indonesia didirikan bukan hanya atas perjuangan kelompok
Islam saja ataupun satu suku bangsa saja. Sehingga adalah hal yang sangat
egois ketika Islam hendak dijadikan suatu dasar pembuatan peraturan daerah.
Keberatan ini senada dengan salah satu asas pembentukan peraturan
daerah yang disampaikan oleh S. Bambang Setyadi, bahwa setiap muatan perda
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip kesatuan Republik Indonesia.[44]
Ditambah lagi pengkhususan terhadap salah satu golongan agama saja dalam
peruntukkan perda gerbang marhamah ini juga bertentangan dengan asas
kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap materi muatan Perda
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status
sosial.
Disamping itu, mereka juga menyebutkan bahwa ukuran dari akhlaqul
karimah yang tertuang dalam perda ini sama sekali tidak dijelaskan dengan
baik. Sehingga indikator-indikator yang digunakan untuk menilai suatu
kelompok atau individu dari masyarakat Cianjur telah memiliki akhlaqul
karimah pun menjadi sangat bias. Adanya kenyataan multi tafsir dalam hal
penerapan beberapa peraturan yang menjadi implementasi dari perda gerbang
marhamah ini juga menjadi hal yang dikeluhkan oleh masyarakat yang kontra-
syariah. Contohnya saja pemakaian pakaian muslim bagi perempuan, yaitu
dengan menggunakan kerudung tetapi ada juga yang menyebutnya dengan jilbab.
Kategorisasi dan batasan-batasan jilbab serta kerudung itu sendiri sangat
beragam di dalam Islam, dan hal ini tidak ditegaskan dengan rinci di dalam
penjelasan pasal-pasal perda itu sendiri.
Hal ini juga dianggap oleh kelompok perempuan yang menentang
pemberlakuan syariat Islam di Cianjur sebagai usaha negara yang terlalu
jauh mencampuri urusan privat dari kaum perempuan. Seharusnya jika
pemerintah memang memperhatikan nasib kaum perempuan, justru sektor
pendidikan dan kesehatannya lah yang harus mendapatkan perlindungan. Sebuah
analogi sederhana disampaikan oleh salah satu tokoh perempuan Cianjur[45],
bahwa sesungguhnya tanggung jawab pembinaan akhlak itu sendiri berada
dipundak orang tua terutama ibu, karena ia lah yang paling terlibat
langsung dalam tumbuh kembang seorang anak.
Namun bagaimana seorang ibu dapat dengan baik menjalankan peran mereka
jika keterbatasan kesehatan dan kesejahteraan mereka tidak memberikan
mereka ketenangan untuk terus berada disamping anak-anaknya. Ekonomi yang
lemah selama ini telah membawa perempuan-perempuan Cianjur sebagai salah
satu kaum perempuan di provinsi Jawa Barat yang paling banyak memilih
pekerjaan diluar rumah dan bahkan diluar negeri sebagai Tenaga Kerja
Indonesia (TKI/TKW). Sehingga menyebabkan mereka harus berada diluar
wilayah keluarganya.
Jika pemerintah lebih mengedepankan penerapan nilai-nilai normatif
dibandingkan peningkatan kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat Cianjur,
hal ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat menjadi acuh tak acuh dengan
berbagai prinsip dasar peraturan yang terdapat dalam pasal-pasal Perda
Gerbang Marhamah. Pemahaman masyarakat Cianjur terhadap syariah Islam itu
sendiri masih rendah seperti yang diakui oleh tim dari LPPI[46], meskipun
kenyataan jumlah penduduk Cianjur yang memeluk agama Islam mencapai 98
persen
Dilihat dari sisi ekonomi, kalangan nasionalis menganggap bahwa perda
ini menimbulkan ketakutan investor untuk mengembangkan usahanya di Cianjur.
Seperti tempat hiburan keluarga sangat sulit untuk didirikan. Sehingga pada
akhirnya penduduk Cianjur justru menyumbangkan pendapatan retribusi tempat
hiburan kepada wilayah-wilayah tetangga.
2. Kelompok Religious Muslim
Kelompok yang menolak keberadaan perda ini memiliki dua pandangan yang
jauh berbeda. Kelompok pertama (salah satunya dari Hizbut Tahrir Kab.
Cianjur) menentang dengan alasan bahwa perda ini tidaklah sesuai jika
hendak disebut sebagai perda syariah Islam. Karena dalam setiap pasalnya
tidak secara total mengadopsi nilai-nilai yang terdapat di dalam Al Quran
dan Assunah yang disebut sebagai sumber hukum dari syariah Islam itu
sendiri.[47]
Pemerintah daerah Cianjur seharusnya memasukkan sanksi-sanksi atas
pelanggaran nilai moral yang terjadi dan merujuk kepada hukum Islam. Karena
jika ingin menerapkan sikap yang berkahlaqul karimah tentu saja semua
landasan, isi serta sanksi harus secara kaffah berkiblat kepada hukum-hukum
Islam yang tertuang di dalam kitab suci Al Qur'an.
Bagi kelompok hizbut tahrir dengan terus menerus mempertimbangkan
hukum Islam dibawah hukum negara Indonesia (Pancasila dan UUD 1945), sama
saja dengan melecehkan kehormatan Islam itu sendiri. Seharusnya hukum Islam
tidak menjadi subordinat hukum lain. Seperti nilai-nilai demokrasi yang
menjadi referensi berbagai hukum yang dijalankan oleh Indonesia selama ini.
Nilai demokrasi bagi kelompok ini merupakan nilai-nilai sekuler, bukan
nilai-nilai yang berdasarkan pada Al Quran dan Assunah.
Kelompok lain yang menentang substansi di dalam perda tersebut justru
berpendapat sebaliknya. Bagi mereka di dalam perda tersebut tidak ada
ketegasan atas pelanggaran yang akan terjadi. Pada prinsipnya mereka tidak
menentang keberadaan perda gerbang marhamah, karena maksud dan tujuan dari
perda ini adalah untuk kebaikan masyarakat Cianjur sendiri. Dengan catatan
bukan hukum Islam yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Hanya saja mereka menyangkan ketidaktegasan pemerintah dalam memilah-milah
syariah Islam seperti apa yang hendak diterapkan.
Kemudian, mereka juga menyebutkan bahwa perda ini tidak boleh
menciptakan diskriminasi terhadap kebebasan menjalankan ibadah pemeluk
agama diluar Islam. Karena itulah secara redaksional di dalam perda juga
harus disebutkan pengecualian-pengecualian pemberlakuan pasal-pasal yang
ada terhadap pemeluk agama di luar Islam. Penciptaan suatu produk hukum
harus lebih ditekankan pada prinsip humanis, yang mengedepankan keadilan
yang sesuai dengan porsinya masing-masing.
3. Kelompok minoritas non muslim
Tidak semua umat non muslim pada dasarnya menolak kehadiran perda
gerbang marhmah yang sangat identik dengan pemihakan terhadap kelompok
mayoritas di Cianjur. Pelaksanaan perda itu sendiri dianggap tidak
mengganggu apalagi mengancam kebebasan pemeluk agama lain untuk menjalankan
ajaran-ajaran agama mareka.
Namun perasaan nyaman ini sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh
belum terlihatnya perubahan-perubahan dari sikap dan perilaku keseharian
baik dari pemerintah Kab. Cianjur dan masyarakat Muslim Cianjur sendiri
sebagai implikasi dari penerapan perda gerbang marhamah.
Namun demikian keberatan-keberatan pun menyuara dari kalangan minoritas
ini.
Pada umumnya mereka merasakan perasaan sebagai kelompok yang mendapat
perlakuan diskriminatif dengan keberadaan perda ini. Hal pertama yang
mereka soroti sebagai tindakan diskriminatif tersebut adalah penggunaan
bahasa dan kata-kata yang tertuang di dalam perda tersebut. Kecenderungan
bahasa pada bahasa-bahasa Al Quran sangat mendominasi Perda Gerbang
Marhamah.
Bagi mereka, jika perda ini memang ditujukan bagi pembangunan dan
perbaikan akhlak masyarakat Cianjur secara keseluruhan, mereka
mempertanyakan penggunaan bahasa yang dipilih lebih mengkonotasikan pada
umat Islam. Hal ini disampaikan oleh salah seorang rohaniwan, pendeta di
kabupaten Cianjur, sebagai berikut:
"...Pada tataran awam pastinya yaaa.. terjadi diskriminasi. Orang awam
ketika ada kata yang bukan bagian dari hidupnya, itu bisa dikatakan
diskriminasi. Walaupun mungkin isinya substansinya tidak begitu, tapi
dari penamaannya.. penamaan kata-katanya yang eee.. bukan menjadi
milik semua orang. Itu membuat nuansa itu selalu ada, nuansa hukum
yang berpihak itu akan selalu ada. Dalam penerapan akhirnya lalu tidak
berjalan, menurut saya.. ketika ada perasaan didiskreditkan.. itu
menurut saya.. itu sesuatu yang diluar persamaan hak ya.. dalam
penyebutan, penamaan, sesuatu yang tidak membuat orang merasa
didiskriminasikan. ..."[48]
Prinsip kesamaan dalam perlakuan hukum dan pemerintah, inilah yang
hendak ditekankan oleh narasumber dalam pernyataannya tersebut. Terdapat
sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan dari kalangan Nasrani di Cianjur,
bahwa sebenarnnya secara umum mereka merasakan diskriminasi pemerintah
daerah terhadap kelompok agama mereka, namun mereka tidak mampu
mengartikulasikannya.
Selain itu, ditambah lagi mereka memiliki pandangan bahwa jika memang
perda ini untuk kebaikan masyarakat Cianjur, meskipun itu mengorbankan
mereka sebagai golongan minoritas, penolakan pun akan mereka simpan dihati
mereka saja. Tidak perlu mengartikulasikannya secara langsung dan
sedemikian rupa kepada pemerintah daerah.
Perda Syariah Gerbang Marhamah Cianjur dan Konteks Keindonesiaan
Ketika kita berbicara tentang keindonesiaan maka hal yang akan
langsung terbayang oleh kita adalah paham nasionalisme, nasionalisme
sendiri disarikan oleh Firman Noor[49] sebagai, Kemauan untuk rela bersatu
atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa
depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara spesifik
dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan,
keadilan dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan dan
persatuan.
Masyarakat Cianjur pada umumnya tidak mengalami kesulitan ketika
diminta untuk mendefinisikan makna dari paham kebangsaan atau nasionalisme
bagi bangsa Indonesia. Di mana pada umumnya mereka meletakkan kebersamaan,
persatuan dan toleransi sebagai nilai-nilai utama dari keindonesiaan itu
sendiri dan hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
Firman Noor sebelumnya.
Namun ketika nasionalisme atau kabangsaan itu dihubungkan dengan rasa
kerelaan untuk berkorban ( mengabaikan kepentingan pribadi dan golongan)
demi persatuan, secara umum tikoh-tokoh masyarakat Cianjur justru lebih
mengedepankan kepentingan kelompok atau golongannya.
Ernest Renand ketika mendefinisikan apa itu nation ia lebih menekankan
pada suatu perasaan rela berkorban yang harus dimiliki oleh sekelompok yang
mengaku sebagai satu bangsa, berikut kutipannya: "A nation is therefore a
large-scale solidarity, constituted by the feeling of the sacrifices that
one has made in the past and of those that one is prepared to make in the
future". Nation bagi Renand tidak hanya berbicara tentang romantisme masa
lalu, tetapi lebih kepada bagaimana masa lalu dapat membangun masa depan
yang lebih baik.
Selanjutnya dapat disimpulkan sementara di sini bahwa nasionalisme
adalah suatu perasaan yang meletakkan kesadaran rela berkorban dan
solidaritas dengan selalu berpegang kepada perjuangan dimasa lalu demi
tercapainya cita-cita masa depan sebagai hadiah dari perjuangan tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kebersamaan dan keadilan
bagi semua warga, dengan latar belakang agama, status, suku dan golongan
apapun, seharusnya menjadi perhatian yang sangat penting ketika kita hendak
menciptakan sebuah produk yang lebih mengedepankan kepentingan golongan
kita semata.
Beberapa narasumber yang ditemui di Cianjur, khususnya yang pro-
gerbang marhamah, justru mengalami kesulitan ketika perda diposisikan
dengan keindonesiaan. Mereka selalu menggunakan pertimbangan bahwa perda
ini hanya bersifat gerakan moral dan dengan tidak memasukkan sanksi ke
dalam perda maka tidak tercipta suatu produk hukum yang bertentangan dengan
hukum di atasnya, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Kenyataan bahwa produk hukum yang mereka gagas ini lebih mengedepankan
kepentingan satu golongan agama saja tidak terlalu mereka perhatikan.
Bahkan kalaupun ada ketidaksetujuan dari daerah lain dengan adanya perda
gerbang marhamah, bukan menjadi hal yang harus mereka pertimbangkan. Karena
pembuatan perda adalah hak bagi suatu daerah yang dilindungi oleh Undang
undang, yaitu UU Otonomi Daerah.
Perda yang pada prinsipnya mengatur tentang kehidupan beragama dan
bagaimana masyarakat menjalankan ajaran agamanya, sesungguhnya dalam
kategori jenis hukum dikategorikan sebagai hukum yang mengatur tentang
agama. Ketika daerah dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang berhubungan
dengan agama, justru seharusnya perda tersebut bersifat inkonstitusional.
Selanjutnya jika mengacu pada UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Otonomi
Daerah sendiri pada pasal 10 ayat (3) disebutkan bahwa yang menjadi urusan
pemerintah (pusat) adalah (a) politik luar negeri, (b) pertahanan, (c)
keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional serta (e)
agama.[50] Dalam lembaran penjelasan poin (e), telah disebutkan bahwa
penyelenggaraan masalah kehidupan keagamaan menjadi urusan pemerintah pusat
bukan kewenangan dari pemerintah daerah. Inipun diyakini oleh pendukung
gerbang marhamah, bahwa gerbang marhamah tidak inkonstitusional karena
mereka hanya menggali karakteristik daerahnya demi kelancaran pembangunan
karakter manusia di daerah itu. Secara demografi politik, Cianjur bagi
mereka adalah daerah yang memiliki karakteristik Islam yang sangat kuat,
sehingga sangat cocok jika itu dijadikan sebagai karakteristik landasan
pembangunan daerahnya.
Dalam hal ini pemerintah pusat juga terlihat sangat lemah. Pembenaran
terhadap lahirnya perda-perda bernuansa syariah Islam yang sesungguhnya
melanggar kewenangan pemerintah daerah itu sendiri berdasarkan aturan UU
Otonomi Daerah, membuat pemerintah pusat seperti tidak punya taring untuk
meredam gejolak ini. Prinsip demokratisasi dan kebebasan bereskpresi
sebagai kompensasi dari termarjinalnya masyarakat muslim pada masa orde
baru, dianggap sebagai suatu hal yang wajar.
Pemerintah dalam hal ini melupakan bahwa demokratisasi yang tidak
didasarkan pada rasa persatuan atau keindonesiaan yang kokoh, bukan tidak
mungkin akan mengancam kebersamaan dan kesatuan bangsa ini. Karena seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsep nasionalisme itu sendiri
dalam prakteknya ditengah-tengah masyarakat Indonesia masih berada dalam
tataran konsep, belum mengakar dalam pola pikir dan tingkah laku masyarakat
khususnya di daerah. Konsep menghargai perbedaan dan mengedepankan
kebersamaan untuk keadilan hanya dipahami oleh orang-orang yang dianggap
sebagai islam pembaharu ditingkat nasional.
Perda Syariah antara Kontestasi politik dan Wacana Simbolik?
Beberapa kesimpulan dasar dari hasil penelitian keindonesiaan dan
Perda Gerbang Marahamah di Kabupaten Cianjur adalah perda syariah cenderung
masih dalam tahapan politik kebijakan simbolik berupa visi dan wacana
publik, tanpa indikator atau alat ukuran capaian serta pelibatan dan
penerimaan kalangan nasionalis dan non-muslim, sehingga lebih cenderung
merupakan upaya politik simbolik atau formalisasi perda Syariah, belum
instrumental, dan belum juga pada capaian gerakan sosial yang sangat
mengakar dan berdampak nyata di kabupaten Cianjur.
Pemahaman pada umat layaknya menjadi tumpuan penting bagi penerapan
perda syariah Islam ini. Karena bukan hal yang mustahil jika dimasa yang
akan datang, perda-perda dengan ciri dan karakteristik yang berlatar
belakang agama tertentu seperti ini, menjadi potensi untuk tumbulnya
konflik yang bersifat horizointal diantara umat muslim dan umat non-muslim.
Umat muslim akan menggunakan perda ini sebagai legalitas tindakan-
tindakan mereka yang mencoba untuk melakukan gerakan penertiban terhadap
hal-hal yang cenderung mereka anggap identik dengan perusakan akhlak dan
moral. Hak kaum perempuan disini diabaikan. Keterlibatan perempuan dalam
perumusan Perda ini dirasakan sangatlah tawar atau minimalis. Disamping
itu, perempuan juga selalu berada pada posisi subordinat dari substansi
yang terdapat di dalam Perda ini. Keindonesiaan pada masyarakat akar rumput
berada pada tataran konsep belum mengakar dan bertransformasi dalam bentuk
pola pikir bahkan tindakan dalam kesehariannya.
Penutup: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Perda Syariah di Bulukumba telah bertransformasi menjadi Perda
Crash Program Bidang Keagamaan dan Perda Syiar Islam yang indah
dan tanpa paksaan terhadap yang non-muslim. Suatu program yang
memiliki tahapan capaian dan pendekatan untuk memecahkan problem
sosial ekonomi kemasyarakatan dengan pendekatan keagamaan,
bernuansa Islami. Pelaksanaannya mengikuti kaedah hukum nasional
dan penegakkannya tanpa polisi syariah, seperti di Aceh
(waliyatul hasbah). Namun menggunakan perangkat elit desa dan
polisi pamong praja dalam koordinasi Dinas Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas).
Bangkitnya sentimen keagamaan dengan penerapan Perda syariah di
Bulukumba dan Cianjur cenderung tidak berpotensi menyurutkan
semangat nasion atau kebangsaan, karena tidak ada gagasan atau
tindakan pemda atau masyarakat di kedua daerah itu untuk keluar
dari "rumah Keindonesiaan".
Di Bulukumba dan Cianjur, dibuatnya Perda syariah dalam batas
tertentu merupakan modal sosial yang dijadikan modal politik
bagi politisi untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan politik,
yang berbuah dukungan terhadap jabatan politik kepala daerah dan
DPRD setempat.
Di Bulukumba yang penduduknya homogen, mayoritas Muslim, ada
kecenderungan keluarga besar dari pihak yang tadinya berniat
membangun Negara Islam Indonesia dan membentuk Tentara Islam
Indonesia, pada generasi selanjutnya cenderung bertransformasi
dan berjuang dengan cara yang damai, melalui proses parlemen
lokal dan lewat kompetisi politik pilkada lokal, dalam mencapai
tujuan membangun masyarakat dan pemda yang Islami.
Di Cianjur yang penduduknya relatif heterogen, lahirnya perda
bernuansa Islami terdorong karena peristiwa pelanggaran moral
kesusilaan yang mengguncangkan. Sehingga politisi di DPRD
merespon hal tersebut dalam bentuk Perda Gerakan Membangun
Masyarakat Berakhlakul Karimah (Gerbang Marhamah).
Perda Syariah dalam batas tertentu merupakan kendaraan politik,
dengan memanfaatkan Perda Syariah sebagai instrument memperoleh
dukungan politik lewat visi dan cara dalam mengendalikan
kriminalitas akibat lemahnya regulasi peredaran minuman keras
yang memicu pelanggaran moral dan kejahatan pembunuhan,
perkelahian, pencurian, perzinahan, prostitusi dan pemerkosaan.
Perda Syariah Zakat Profesi, Infak dan Sedekah di Bulukumba,
terlepas dari pro dan kontra dalam mewajibkannya, berpotensi
menjadi sumber alternatif pembiayaan daerah dalam mengatasi
problem sosial-ekonomi yang daerah ini hadapi.
Perda Gerbang Marhamah di Cianjur cenderung merupakan reaksi
terhadap gejala moralitas masyarakat, yang disambut oleh
sebagian anggota DPRD menjadi kebijakan publik. Namun praktiknya
cenderung bersifat simbolik dan dalam perumusannya kurang
melibatkan kaum rentan, minoritas dan non muslim sehingga
terkesan kurang demokratis.
SARAN-SARAN
Para pihak baik Negara dan masyarakat di tingkat pusat atau
Jakarta disarankan tidak terlalu mengkhawatirkan berlakunya
Perda Syariah di Bulukumba yang penduduknya mayoritas beragama
muslim, karena ada kecenderungan perda yang bernuansa agama dan
syiar Islam tersebut cenderung memiliki manfaat di tingkat lokal
berupa hasil rasa aman dan pendanaan alih profesi bagi pedagang
Miras ke pekerjaan lain yang halal dan terhormat. Pengelolaan
zakat yang transparan, akuntabel dan tepat sasaran cenderung
menjadi dana pelengkap untuk membangun daerah dan menyelesaikan
persoalan lokal secara mandiri.
Keberadaan Perda Syariah yang tidak diskriminatif, rasional dan
terukur lewat indikator pencapaian sebaiknya diperbolehkan
berkembang secara alamiah. Ia berpotensi menjadi modal sosial
dan modal politik dalam menyelesaikan problem lokal. Karenanya,
Perda Syariah seyogyanya dihormati sebagai bagian kebhinekaan
dan Keindonesiaan, sejauh praktiknya tidak melalui jalan
kekerasan fisik dan pemaksaan sosio-kultural.
Perda syariat atau regulasi lokal yang bernuansa semangat
keagamaan disarankan agar dalam pelaksanaannya tidak dilakukan
lewat cara-cara pemaksaan apalagi diskriminasi dan tindakan
pengerahan massa untuk melakukan operasi "sweeping" oleh
penguasa lokal dan elit lokal. Hal itu tentu tidak sesuai dengan
nilai syariat Islam itu sendiri yang menganut azas "tidak ada
paksaan dalam beragama". Berpotensi konflik rasial dan
horisontal, serta menjatuhkan posisi Indonesia sebagai bangsa
yang ramah dan mencintai perdamaian dunia, sesuai konstitusi dan
asas negara yang ber-bhineka tunggal ika dan semangat Islami
yang menghargai bahwa perbedaan yang ada adalah suatu rahmat
Illahi.
Daftar Pustaka
Ali-Fauzi, Ihsan dan Saiful Mujani, eds,. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi
dan Advokasi atas Perda Syariah. Jakarta: Nalar, 2009.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam, Dari
Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004.
Anwar, M. Syafi'i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina,
1995.
Azra, Azzyumardi. "Fundamentalisme Islam, Survey Historis dan Doktrinal",
Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post
Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Azra, Azyumardi dan Salim, Arskal. Syari'a and Politics in Modern
Indonesia. Pasir Panjang: ISEAS, 2003.
Benedict Anderson. Available Light: Anthropological Reflections on
Philosophical Topics. New Jersey: Princeton University Press. 2000.
Benedict Anderson. Imagined Communites: Reflecitions on the Origin and
Spread of nationalism . London: Verso, 1983.
Bertrand, Jacques. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge:
Cambridge University Press, 2004.
Borgu, Aldo dan Greg Fealy. Local Jihad: Radical Islam and Terrorism in
Indonesia. Canberra: ASPI, 2005.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan,
1999.
Geertz, Hildreed, "Indonesian Cultures and Communities" dalam Ruth McVey
(ed), "Indonesia", Cornell, 1967, hal.24, dalam Max Lane, Bangsa Yang
belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform
Institute, 2007.
Iman Santoso dan Inayatullah Hasyim. "Syariat Islam", dalam Jurnal Politik
Akses: Otonomi Daerah Selamat Datang Syariat Islam, Vol.1, No.1,
Februari 2001.
Jamhari and Jajang Jahroni, eds., Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Koswara, E.. Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Masyarakat.
Jakarta: Sembrani Aksara Nusantara, 2001.
Lane, Max. Bangsa Yang belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah
Soeharto, Jakarta: Reform Institute, 2007.
Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui Peraturan Daerah" (Studi
Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan),
Jakarta. Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir. 2007.
Masoed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
LP3ES, 1989.
Noor, Firman, ed., Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme
di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007.
Robert D . Putnam,. "Bowling Alone: America's Declining Social Capital".
Journal of Democracy 6. 1995.
Rumadi. "Perda Syariat Islam: Jalan Menujur Negara Islam", dalam "Jurnal
Tashwirul Askar", Edisi 20 2006.
Soebhan, Syafuan Rozi. "Membentang Hakekat Kegamaan dalam Keindonesiaan",
dalam Firman Noor, ed, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas
Primordialisme di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Politik, LIPI,
2007.
Soekarno. "Revolusi Berjalan Terus", dalam Herbert Feith dan Lance Castles,
eds, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965. Jakarta: LP3ES, 1990.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 1998.
Tambunan, Edwin Martua Bangun. Nasionalisme Etnik. Kashmir dan Quebec.
Semarang: Intra Pustaka Utama.
Upe, Ambo. Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalitas
Perilaku Politik Pemilih di Era Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008.
Sumber bacaan lain:
Majalah Tempo, 24 Mei 2005.
Majalah Gatra 6 Mei 2006.
Majalah Gatra edisi 24, beredar Senin, 1 Mei 2009.
Harian Tribun, Makasar, Sulsel,
http://scriptintermedia.com/view.php?id=4614
http://koran.republika.co.id/berita/20687/Abdul_Azis_Kahar_Muzakkar_Hukum_Be
landa_Saja_Bisa_Apalagi_Hukum_Islam.
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/66588
Lampiran:
Jika kita melakukan analisis politik soal sebaran kebijakan publik
bernuansa syari'ah di Indonesia untuk periode waktu 1999-2009, maka kita
juga akan menemukan data sebagai berikut:
Ada sekitar 151 Peraturan Daerah/SK Bupati yang bernuansa agama
(Islam, Kristen) dan atau Syariah/Injili.
Jumlah provinsi di Indonesia yang tidak memiliki Perda Syariah/Injili
(9) atau 27,27% yaitu Jambi, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Maluku (Amboina), Papua (timur), DKI
Jakarta, Bali.
Untuk Bali, tampaknya belum/tidak ada Perda yang bernuansa agama
Hindu, namun ada kasus awig-awig di Klungkung, Bali Timur yang
mengatur agar warga Bali membeli bakso buatan orang Bali karena lebih
"Sukla".
Untuk wilayah Sumatera dari 10 Provinsi, hanya 1 provinsi yang tidak
mengadakan Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa agama,
yaitu provinsi Jambi.
Untuk wilayah Kalimantan dari 4 Provinsi, hanya 1 provinsi yang yang
tidak mengadakan Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa
agama yaitu Kalimantan Timur.
Untuk wilayah Sulawesi dari 6 Provinsi, hanya 2 provinsi yang yang
tidak mengadakan Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa
agama yaitu :Sulawesi Utara dan Tengah.
Untuk wilayah Maluku dari 2 Provinsi, kedua-duanya Maluku dan Maluku
Utara, yang tidak mengadakan Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang
bernuansa agama
Untuk wilayah Papua dari 2 Provinsi, hanya satu yang tidak mengadakan
Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa agama yaitu Papua,
Papua Barat, Manokwari, memiliki Perda Injili.
Untuk wilayah Bali, 1 Provinsi, Bali relatif tidak mengadakan
Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa agama.
Untuk wilayah Jawa dari 6 Provinsi, hanya 1 yang tidak mengadakan
Peraturan Daerah/SK Gubernur/Bupati yang bernuansa agama, yaitu DKI
Jakarta.
Peringkat Empat Besar Provinsi di Indonesia
(Jumlah kota dengan Perda Nuansa Agama SI) –
"Jumlah Tempat yang "Jumlah kota "
"Memberlakukan Perda Bernuansa " "
"Agama " "
"Jawa Barat "11 kota "
"Sumatera Barat "11 kota "
"Jawa Timur "10 kota "
"Sulawesi Selatan "9 kota "
Sumber: dari berbagai sumber, 2010.
Kita juga akan menemukan paling tidak selama sepuluh tahun antara
kurun waktu 1999-2009, sekitar kurang lebih ada sebanyak 24 provinsi atau
72,72% yang menerbitkan Perda Bernuansa Agama: SI (Syariah Islam) dan
Injili. Gambaran lengkapnya adalah sebagai berikut:
"Tahun 1999 " (1) Provinsi Jawa barat: Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 "
"Jumlah 3 "tentang prostitusi. "
" "(2) Provinsi Kalimantan Selatan: HSU Perda Kab. Hulu "
" "Sungai Utara No. 6/1999 tentang Miras. "
" "(3) Provinsi NTT: Kupang Peraturan Daerah Kotamadya "
" "Daerah Tingkat II Kupang nomor 39 Tahun 1999 tentang "
" "Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang. "
"Tahun 2000 "-Provinsi Aceh: "
"Jumlah 7 "(1) NAD Peraturan Daerah/Qanun Provinsi Daerah "
" "Istimewa Aceh nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan"
" "Syariat Islam "
" "(2) NAD Perda NAD No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan "
" "Kehidupan Adat "
" "-Provinsi Bengkulu: "
" "(3) Bengkulu Peraturan Daerah kota Bengkulu Nomor 24 "
" "Tahun 2000 tentang larangan Pelacuran dalam kota "
" "Bengkulu. "
" "-Provinsi Jawa barat: "
" "(4) Tasikmalaya Peraturan Daerah Kab. Tasikmalaya No. "
" "28 Tahun 2000 tentang perubahan pertama peraturan "
" "daerah No. 1 tahun 2000 tentang pemberantasan "
" "Pelacuran "
" "(5) Garut Perda Kabupaten No. 6/2000 tentang "
" "kesusilaan. "
" "(6) Cirebon Perda kabupaten Cirebon No. 05/2000 Tentang"
" "Larangan Perjudian, Prostitusi dan Minuman Keras "
" "-Provinsi Kalimantan Selatan: "
" "(7) HSU Perda Kab. Hulu Sungai Utara No. 7/2000 tentang"
" "Perjudian. "
"Tahun 2001 "-Provinsi Sumatra Barat: "
"Jumlah 20 "(1) Tanah datar Surat Himbauan Bupati Tanah Datar No. "
" "451.4/556/Kesra-2001 Perihal Himbauan/ Berbusana "
" "Muslim/Muslimah Kepada Kepala Dinas Pendidikan dan "
" "Tenaga Kerja. "
" " "
" "(2). Provinsi Sumbar Peraturan Daerah provinsi Sumatera"
" "Barat No. 11/2001 Tentang Pemberantasan dan Pencegahan"
" "Maksiat. "
" "(3). Solok Perda Kab. Solok No. 10/2001 tentang Wajib "
" "Baca Al-Qur'an untuk Siswa dan Pengantin "
" "-Provinsi Lampung: "
" "(4) Way Kanan Perda Kabupaten Way Kanan nomor 7 tahun "
" "2001 tentang larangan perbuatan prostitusi dan Tuna "
" "Susila dalam daerah Kabupaten Way Kanan "
" "-Provinsi Jawa Barat: "
" "(5) Bandung Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 6 "
" "Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pelacuran. "
" "(6) Tasikmalaya Surat Edaran Bupati Tasikmalaya No. "
" "451/SE/04/Sos/2001 tentang Upaya Peningkatan "
" "Kualitas Keimanan dan Ketaqwaan. "
" "(7) Tasikmalaya Perda Kab. Tasikmalaya No. 3/2001 "
" "tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang "
" "Berdasarkan lepada Ajaran Moral, Agama, Etika, dan "
" "nilai-nilai budaya daerah "
" "(8) Tasikmalaya Keputusan Bupati Tasikmalaya No. "
" "421.2/Kep. 326 A/Sos/2001 tentang Persyaratan "
" "Memasuki Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) "
" "dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan "
" "Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Tasikmalaya "
" "(9) Tasikmalaya Himbauan Bupati Tasikmalaya No. "
" "556.3/SP/03/Sos/2001 tentang Pengelolaan "
" "Pengunjung Kolam Renang "
" "(10) Indramayu Surat Edaran Bupati Indramayu (Tahun "
" "2001) Tentang wajib busana Muslim dan Pandai "
" "Baca Alquran untuk siswa sekolah "
" "(11) Cianjur Keputusan Bupati no. "
" "451/2712/ASSDA.I/2001 tentang kewajiban memakai "
" "Jilbab di Cianjur. "
" "(12) Cianjur SE Bupati Kab. Cianjur No. 451/2719/ASSDA"
" "I (Sept 2001), tentang Gerakan "
" "Aparatur Ber-ahlaqul Karimah dan Masyarakat Marhamah "
" "(13) Cianjur Keputusan bupati Kabupaten Cianjur No. "
" "36/2001 tentang Pembentukan Lembaga Pengkajian dan "
" "Pengembangan Islam (LPPI). "
" "(14) Cianjur Surat Bupati Cianjur No. 551/2717/ASSDA "
" "tertanggal 1 September 2001 tentang Pelayanan Publik "
" "yang berasaskan Moral Islam dan Masyarakat Islam. "
" "(15) Indramayu Peraturan Daerah KabupatenTingkat II "
" "Indramayu No. 4 Tahun 2001 tentang Perubahan "
" "Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II "
" "-Provinsi Jawa timur "
" "(16) Jember Peraturan Daerah Kabupaten Jember nomor 14"
" "Tahun 2001 tentang penanganan Pelacuran dan Penyakit "
" "Masyarakat. "
" "(17) Pasuruan Peraturan daerah Kabupaten Pasuruan "
" "nomor 10 Tahun 2001 tentang Pemberantasan "
" "Pelacuran "
" "-Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(18) Provinsi Kalimantan Selatan Surat Edaran Gubernur"
" "Kalimantan Selatan Nomor "
" "065/02292/ORG tanggal 19 Desember 2001 tentang "
" "Pemakaian Seragan dinas pada jam kerja "
" "(19) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 10/2001 tentang "
" "Membuka Restoran, Warung, Rombong dan yang sejenisnya "
" "serta Makan, Minum, atau merokok di tempat umum pada "
" "Bulan Ramadhan "
" "-Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(20) Maros Perda Kab. Maros No. 9/2001 tentang "
" "Larangan Pengedaran, Memproduksi, Mengkonsumsi "
" "Minuman Keras Beralkohol, Narkotika, dan Obat "
" "Psikotropika "
"Tahun 2002 "-Provinsi Sumatra Barat "
" "(1) Solok Perda kota Solok No 6 Tahun 2002 Tentang "
"Jumlah 15 "wajib berbusana Muslimah "
" "-Provinsi Sumatera Selatan "
" "(2) Lahat Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor Tahun "
" "2002 Tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan "
" "Tunasusila dalam Kabupaten Lahat "
" "-Provinsi Riau "
" "(3) Batam Peraturan Daerah Kota Batam No. 6 tahun 2002 "
" "tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam "
" "-Provinsi Lampung "
" "(4) Bandar Lampung Peratutan daerah kota Bandar "
" "Lampung No. 15 Tahun 2002 tentang larangan "
" "Perbuatan Tunasusila Dalam wilayah kota Bandar Lampung "
" "-Provinsi Jawa barat "
" "(5) Bekasi Peraturan daerah Kabupaten Bekasi No 10 "
" "Tahun 2002 tentang perubahan Keempat atas "
" "Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Bekasi "
" "nomor 17/Hk-Pd/Tb.013.1/VIII/1984 Tentang "
" "Larangan Perbuatan Tuna Susila "
" "(6) Cianjur Perda. No. 08/2002 tentang Rencana "
" "Strategis Kabupaten Cianjur tahun 2001-2005 "
" "-Provinsi Jawa timur "
" "(7) Sumenep Perda Kabupaten Sumenep No 3 tahun 2002 "
" "tentang Larangan tempat maksiat. "
" "(8) Gresik Peraturan Daerah Kebupaten Gresik No. 07 "
" "Tahun 2002 tentang pelacuran dan Perbuatan "
" "Cabul "
" "(9) Pamekasan Surat Edaran Bupati Pamekasan "
" "(Madura) No. 450/2002 tentang Pemberlakuan Syariat "
" "Islam. "
" "-Provinsi Kalimantan Tengah "
" "(10) Palangkaraya Perda kota Palangkaraya nomor 26 "
" "Tahun 2002 tentang penertiban dan rehabilitasi Tuna "
" "Susila daerah kota Palangkaraya "
" "-Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(11) Bulukumba Perda No. 3/2002 tentang Pelarangan "
" "Penjualan Minuman Keras. "
" "-Provinsi NTB "
" "(12) Lombok Timur Perda Kab. Lombok Timur No. 8/2002 "
" "tentang Minuman Keras. "
" "(13) Lombok Timur Perda Kab. Lombok Timar No. 9/2002 "
" "tentang zakat. "
" "(14) Bima Perda Kab. Bima No. 2/2002 tentang Jum'at "
" "Khusyu'. "
" "(15) Bima Perda Kab. Bima No. 9/2002 tentang zakat. "
"Tahun 2003 "-Provinsi Aceh NAD: "
" "(1) Perda NAD No. 12/2003 tentang Minuman Khamar dan "
"Jumlah 29 "sejenisnya. "
" "(2) NAD Perda NAD No. 13/2003 tentang Maisir "
" "(perjudian). "
" "(3) Aceh Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Qanun) "
" "Istimewa Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat "
" "(Mesum) "
" "-Provinsi Sumatera Utara: "
" "(4) Medan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun "
" "2003 Tentang larangan Gelandangan dan Pengemisan serta "
" "Praktek Susila di Kota Medan "
" "-Provinsi Sumatra Barat: "
" "(5) Padang Perda Kota Padang no. 6/2003 tentang Pandai "
" "baca Tulis Al-Qur'an "
" "(6) Padang Perda no 3 tahun 2003 tentang kewajiban "
" "membaca Al-quran di Padang. "
" "(7) Solok Perda Kab. Solok No. 13/2003 tentang "
" "Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh "
" "(8) Bukittinggi Peraturan Daerah Kota Bukittinggi No. "
" "20Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas peraturan daerah "
" "Kota Bukuttinggi Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Penertiban"
" "dan Penindakan Penyakit Masyarakat "
" "(9) Sawahlunto Perda Kab. Sawahlunto No. 1/2003 tentang"
" "Pandai Baca Tulis Al-Qur'an "
" "(10) Sawahlunto Peraturan Daerah Kabupaten "
" "Sawahlunto/Sijunjung nomor 2 Tahun 2003 tentang "
" "berpakaian Muslim dan Muslimah "
" "(11) Pasaman Perda Kab. Pasaman No. 21/2003 tentang "
" "Pandai Baca Tulis Al-Qur'an "
" "(12) Pasaman Perda Kabupaten Pasaman No. 22 Tahun 2003"
" "Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi bagi para "
" "siswa, Mahasiswa dan Karyawan "
" "(13) Pesisir Selatan Perda Kab. Pesisir Selatan No. "
" "31/2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan "
" "Sahadaqoh. "
" "(14) Limapuluh Kota Perda Kab. Limapuluh Kota No. "
" "6/2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur'an. "
" "-Provinsi Jawa Barat: "
" "(15) Tasikmalaya Perda No. 13/2003 tentang Revisi "
" "Renstra Kab. Tasikmalaya (memuat visi religius "
" "Islami). "
" "(16) Indramayu Perda. Kab. Indramayu No. 2/2003 tentang"
" "Wajib Relajar Madrasah diniyah Awaliyah "
" "(17) Garut Perda Kab. Garut No. 1/2003 tentang "
" "Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. "
" "-Provinsi Jawa Tengah: "
" "(18) Cilacap Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No. 21 "
" "Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah"
" "Kabupaten tingkat II Cilacap nomor 13 Tahun 1989 "
" "Tentang Pemberantasan Pelacuran "
" "-Provinsi Kalimantan Barat: "
" "(19) Ketapang Perda kabupaten Ketapang No.11 tahun "
" "2003 tentang pelarangan prostitusi "
" "-Provinsi Kalimantan Selatan: "
" "(20) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 9/2003 tentang "
" "Pengelolaan Zakat. "
" "(21) HSU Perda Kab. Hulu Sungai Utara No. 23/2003 "
" "tentang Ramadhan. "
" "-Provinsi Sulawesi Selatan: "
" "(22) Bulukumba Perda Kabupaten Bulukumba No. 5 Tahun "
" "2003 tentang berpakaian Muslim dan Muslimah di "
" "Kabupaten Bulukumba. "
" "(23) Bulukumba Perda No. 6/2003 tentang Pandai baca "
" "Al- Qur'an bagi Siswa dan Calon Pengantin dalam "
" "kabupaten Bulukumba. "
" "(24) Bulukumba Perda No. 02/2003 tentang Zakat Profesi,"
" "Infaq, dan Shadaqoh dalam kabupaten Bulukumba. "
" "(25) Makasar Perda Kota Makassar no. 2/2003 tentang "
" "Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqoh "
" "(26) Gowa Perda Kabupaten Gowa No. 7 tahun 2003 tentang"
" "Memberantas buta aksara Al-Qur'an pada tingkat dasar "
" "sebagai persyaratan untuk tamat Sekolah Dasar dan "
" "diterima pada tingkat pendidikan selanjutnya "
" "-Provinsi Gorontalo: "
" "(27) Gorontalo Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo "
" "Nomor 10 Tahun 2003 tentang pencegahan Maksiat. "
" "-Provinsi NTB: "
" "(28) Lombok Timur Instruksi Bupati Lombok timur No. "
" "4/2003 tentang Pemotongan Gaji PNS/Guru 2,5 % setiap "
" "bulan untuk Zakat harta. "
" "(29) Dompu Surat Himbauan Bupati No. "
" "451.12/016/SOS/2003 tentang Infaq dan Zakat bagi "
" "seluruh PNS di Dompu. "
"Tahun 2004 "Provinsi Aceh" "
" "NAD Perda NAD No. 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat "
"Jumlah 18 " "
" "Provinsi Sumatra Barat "
" "(2) Padang Pariaman Peraturan daerah Kabupaten Padang "
" "Pariaman nomor 02 Tahun 2004 Tentang "
" "Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat "
" " "
" "(3) Padang Panjang Peraturan Daerah Padang Panjang "
" "No.3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan "
" "Penindakan Penyakit Masyarakat. "
" "(4) Bukittinggi Perda Kab. Bukit Tinggi No. 29/2004 "
" "tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh "
" "(5) Pesisir Selatan Perda Kab. Pesisir Selartan No. "
" "8/2004 "
" "tentang Pandai Baca Tilis Al-Qur'an "
" " "
" "Provinsi Bengkulu "
" "(6) Bengkulu Instruksi Walikota Bengkulu No. 3/2004 "
" "tentang Program Kegiatan Peningkatan Keimanan. "
" " "
" "Provinsi Lampung "
" "(7) Lampung selatan Peraturan Daerah Kabupaten "
" "Lampung Selatan No. 4 Tahun 2004 Tentang "
" "Larangan Pebuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan "
" "Perjudian sertra pencegahan perbuatan masksiat dalam "
" "Wilayah Kabupaten Lampung Selatan "
" " "
" "Provinsi Banten "
" "(8) Banten Perda No. 4/2004 tentang Pengelolaan Zakat "
" "(9) Pandeglang SK Bupati Kab Pandeglang No. 09 Tahun "
" "2004 tentang seragam sekolah SD,SMP, SMU. "
" " "
" "Provinsi Jawa barat "
" "(10) Sukabumi Instruksi Bupati Sukabumi Nomor 4 Tahun"
" "2004 tentang pemakaian Busana Muslim "
" "bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi. "
" "(11) Cirebon Perda Kab. Cirebon No. 77/2004 tentang "
" "Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah "
" " "
" "Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(12) Banjarmasin Perda Kota Banjarmasin No. 31/2004 "
" "tentang Pengelolaan Zakat "
" "(13) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 5/2004 tentang "
" "Ramadhan (Perubahan Perda Ramadhan No. 10 tahun 2001)"
" "(14) Banjarmasin Surat Edaran Bupati Kabupaten "
" "Banjarmasin No. 065.2/00023/ORG Tentang "
" "pemakaian Jilbab bagi PNS Perempuan di Lingkungan "
" "Pemerintah Kabupaten Banjarmasin Tertanggal 12 Januari "
" "2004 "
" "(15) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 4/2004 tentang "
" "Khatam Al-Qur'an bagi Peserta Didik pada "
" "Pendidikan Dasar dan Menengah. "
" " "
" " "
" "Provinsi NTB "
" "(16) Dompu SK. Bupati Dompu No. "
" "Kd.19.05./HM.00/1330/2004, Tentang Pengembangan "
" "Perda No. 1 Tahun 2002. Isinya nebyebutkan tentang : "
" "(1) Kewajiban membaca Alquran (ngaji) bagi PNS yang "
" "akan mengambil SK/Kenaikan pangkat, Calon "
" "pengantin, Calon siswa SMP dan SMU, dan bagi siswa yang"
" "akan mengambil ijazah ; (2) Kewajiban "
" "memakai busana Muslim (Jilbab); (3) Kewajiban "
" "mengembangkan budaya Islam (MTQ, qosidah dll) "
" "(17) Dompu SK BUpati Dompu Kd.19./HM.00/527/2004, "
" "tanggal 8 Mei 2004 tentang Kewajiban Membaca Al-Qur'an "
" "oleh seluruh PNS dan Tamu yang menemui Bupati. "
" "(18) Dompu Perda Kab. Dompu No. 11/2004 tentang Tata "
" "Cara Pemilihan Kades (materi muatannya mengatur "
" "keharusan calon dan keluarganya bisa membaca Al- Qur'an"
" "yang dibuktikan dengan rekomendasi KUA). "
"Tahun 2005 "Provinsi Sumatra Barat "
" "(1) Pesisir Selatan Perda Kabupaten Pesisir Selatan "
"Jumlah 25 "No. 4/2005 tentang berpakaian Muslim dan Muslimah. "
" "(2) Agam Perda Kabupaten Agam nomor 6 Tahun 2005 "
" "Tentang berpakaian Muslim. "
" "(3) Agam Perda Kab. Agam No. 5/2005 tentang Pandai "
" "baca Tulis Al-Qur'an "
" "(4) Provinsi Sumbar Perda Prov. Sumatra barat No. "
" "7/2005 tentang Pandai baca Tulis Al-Quran. "
" "(5) Provinsi Sumbar Surat Himbauan Gubernur Sumatera "
" "Berat Nomor 260/421/X/PPr-05 Perihal-perihal: "
" "Menghimbau Bersikap dan Memakai Busana Muslimah Kepada "
" "Kepala Dinas/Badan/Kantor/Biro/Instansi/Walikota "
" "sumatera Barat "
" "(6) Padang Instruksi walikota Padang nomor "
" "451.422/Binsos-III/2005 Tentang pelaksanaan Wirid "
" "Remaja didikan subuh dan Anti Togel / Narkoba serta "
" "Berpakaian Muslim / Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, "
" "SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di Kota Padang "
" "(7) Padang Instruksi walikota padangpada tanggal 7 "
" "Maret 2005 tentang pemakaian busana Muslimah "
" " "
" "Provinsi Banten "
" "(8) Tanggerang Perda Tenggerang No. 7/2005 tentang "
" "menjual, mengecer, dan menyimpan minutan keras, "
" "mabuk-mabukan. "
" "(9) Tanggerang Peraturan Daerah Kota Tenggerang nomor 8"
" "Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran "
" " "
" "Provinsi Jawa barat "
" "(10) Bandung Perda Kab. Bandung No. 9/2005 tentang "
" "Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. "
" "(11) Sukabumi Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. "
" "11/2005 tentang Penertiban Minuman Beralkohol. "
" "(12) Sukabumi Peraturan Daerah Kabupaten sukabumi No. "
" "12/2005 tentang Pengelolaan Zakat "
" " "
" "Provinsi Jawa timur "
" "(13) Probolinggo Perda No. 5 Tahun 2005 Tentang "
" "Pemberantasan Pelacuran di Kabupaten Probolinggo "
" "(14) Malang Peraturan Daerah Kota Malang No. 8 Tahun "
" "2005 Tentang Larangan Tempat Pelacuran dan perbuatan "
" "Cabul. "
" "(15) Sidoarjo Perda. Kab. Sidoarjo No. 4/2005 tentang "
" "Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. "
" " "
" "Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(16) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 8/2005 tentang "
" "Jum'at Khusyu'. "
" "(17) HSU Perda Kab. Hulu Sungai Utara No. 19/2005 "
" "tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh "
" "(18) Banjarmasin Perda No. 4/2005 tentang Perubahan "
" "Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 13/2003 "
" "tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan. "
" " "
" "Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(19) Maros Perda Kabupaten Maros No. 16 / 2005 tentang "
" "berpakaian muslim dan muslimah "
" "(20) Maros Perda Kab. Maros No.15/2005 tentang Gerakan"
" "Buta Aksara dan pandai Baca Al-Qur'an "
" "dalam Wilayah Kabupaten Maros. "
" "(21) Maros Perda Kab. Maros No. 17/2005 tentang "
" "Pengelolaan Zakat. "
" "(22) Enrekang Perda Kabupaten Enrekang No. 6 /2005 "
" "Tentang Busana Muslim "
" " "
" " "
" "Provinsi Gorontalo "
" "(23) Gorontalo Perda Prov. Gorontalo No. 22/2005 "
" "tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran bagi siswa yang "
" "beragama Islam. "
" " "
" "Provinsi Sulawesi Tenggara "
" "(24) Kendari Perda Kota Kendari No. 17/2005 tentang "
" "Bebas Buta Aksara Al-Qur'an pada Usia Sekolah dan Bagi "
" "masyarakat Islam di Kota Kendari. "
" " "
" "Provinsi NTB "
" "(25) Dompu SK Bupati Dompu No. 140/2005 tanggal 25 Juni"
" "2005 tentang Kewajiban Membaca Al-Qur'an "
" "bagi PNS Muslim. "
"Tahun 2006 "Provinsi Sumatra Barat "
" "(1) Sawahlunto Peraturan Daerah Kabupaten "
"Jumlah 13 "Sawahlunto/Sijunjung nomor 19 Tahun 2006 Tentang "
" "Pencegahan Dan Penanggulangan Maksiat "
" " "
" "Provinsi Riau "
" "(2) Kampar Perda Kab. Kampar No. 2/2006 tentang "
" "Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh "
" " "
" "Provinsi Bangka Belitung "
" "(3) Bangka Perda Kab. Bangka No. 4/2006 tentang "
" "pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh "
" " "
" "Provinsi Banten "
" "(4) Serang Perda Kota Serawng No.1/2006 tentang "
" "Madrasah diniyah Awwaliyah "
" " "
" "Provinsi Jawa barat "
" "(5). Cianjur Perda Bupati Cianjur No. 15/2006 Tentang "
" "Pemakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan "
" "Pemerintahan Kabupaten Cianjur. "
" "Provinsi Jawa timur "
" "(6) Pasuruan Perda Kab. Pasuruan No. 4/2006 tentang "
" "Pengaturan Membuka Rumah Makan, Rombong dan sejenisnya "
" "pada Bulan Ramadhan "
" "Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(7) Banjarmasin Perda Kab. Banjar No. 5/2006 tentang "
" "Penulisan Identitas dengan Huruf Arab Melayu (LD Nomor"
" "5 tahun 2006 Seri E Nomor 3) "
" "(8). Banjarbaru Perda Kab. Banjarbaru No. 5/2006 "
" "tentang Larangan Minuman Beralkohol "
" "Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(9) Makassar Perda Kota Makassar No. 5/2006 tentang "
" "Zakat. "
" "(10) Pangkep Perda Kab. (Pangkajene dan Kepulauan) "
" "Pangkep No. 11/2006 tentang Larangan Pengedaran "
" "Minuman Beralkohol. "
" "(11). Polewali Mandar Perda Kab. Polewali Mandar no. "
" "14/2006 tentang Gerakan Masyarakat Islam Baca Al-Qur'an"
" "(12) Provinsi Sulawesi Selatan Perda Prov. Sulawesi "
" "Selatan No. 4/2006 tentang Pendidikan Al-Qur'an "
" "(13) Peraturan Desa Padang: Peraturan Desa Muslim, "
" "Padang Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba No. 05 "
" "Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk. "
" " "
"Tahun 2007 "Provinsi Jogjakarta "
" "(1) Bantul Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No. 5 "
"Jumlah 3 "tahun 2007 tentang larangan Pelacuran di Kabupaten "
" "Bantul. "
" " "
" "Provinsi Jawa timur "
" "(2) Lamongan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan No.5 "
" "Tahun 2007 tentang pemberantasan Pelacuran di Kabupaten"
" "Lamongan. "
" " "
" "Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(3) Banjarmasin Perda kabupaten Bankar No. 10/ 2007 "
" "tentang keteriban sosial. "
"Tahun 2008 "Provinsi Sumatra Barat "
" "(1) Padang Panjang Perda Kab. Padang Panjang no. "
"Jumlah 5 "7/2008 tentang Zakat "
" " "
" "Provinsi Riau "
" "(2) Riau SK Gubernur Riau No. 003.1/UM/08.1 tentang "
" "penggunaan nama Arab Melayu. "
" " "
" "Provinsi Banten "
" "(3) Tanggerang Surat Edaran Walikota Tanggerang "
" "(Agustus 2008) tentang Penutupan Sementara "
" "Usaha Jasa Hiburan selama Bulan Suci Ramadhan dan Idul"
" "Fitri 1429 H "
" " "
" "Provinsi Jawa Tengah "
" "(4) Semarang Surat Edaran Walikota Semarang "
" "No.435/4687 tertanggal 27 Agustus 2008 (yang "
" "Memuat materi tempat hiburan seperti bar, pub, mandi "
" "uap, biliar, karaoke, diskotik, panti pijat, klub "
" "malam, kafe, dan sejenisnya harus membatasi jam "
" "pengelolaannya) "
" " "
" "Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(5) Bone Surat Edaran No. 44/1857/VIII, Humas Infokom "
" "Bone tertanggal 22 Agustus 2008 tentang Larangan di "
" "Bulan Ramadhan, antara lain meminta rumah makan, "
" "restoran, cafe, dan warung tidak beroperasi selama "
" "Bulan Ramadhan dan menghimbau hotel-hotel dan tempat "
" "penginapan agar tidak menerima tamu berpasangan yang "
" "bukan muhrim. "
"Tahun 2009 "Provinsi Jawa barat "
" "(7) Majalengka Perda Kabupaten tentang Prostitusi (14 "
"Jumlah 1 "Maret 2009) "
"Perda Injil "Provinsi Papua Barat "
" "(1) Manokwari Penerapan hukum berdasarkan Injil, yang "
"Jumlah 1 "secara spesifik menjelaskan mengenai pelarangan "
" "minuman beralkohol dan kegiatan prostitusi, peraturan "
" "mengenai busana dan persekutuan, termasuk pelarangan "
" "penggunaan dan pemakaian simbol-simbol agama, dan "
" "pelarangan pembangunan rumah-rumah ibadah agama lain "
" "di dekat Gereja. (2007) "
"Perda Syariah "Provinsi Jawa barat "
"yang tidak ada "(1) Sukabumi Surat Ederan Dinas Pendidikan Kabupaten "
"keterangan tahun "Sukabumi Nomor 450/2198/TU "
" "tentang Pemakaian Busana Muslim Bagi Siswa Sekolah dan "
"Jumlah 10 "Mahasiswa. "
" "(2) Cianjur Surat edaran Bupati Cianjur No. 025/364/Org"
" "dan Surat edaran No. 061.2/2896/Org. Tentang Jam kerja"
" "dan Anjuran Pemakaian Seragam Kerja Muslim/Muslimah) "
" "Pada Hari-hari kerja. "
" "(3) Depok Peraturan daerah tentang pelarangan terhadap "
" "penyakit masyarakat. "
" "(4) Karawang Peraturan daerah tentang pungutan biaya "
" "buruh dan migran. "
" " "
" "Provinsi Jawa timur "
" "(5) Jombang Peraturan Daerah tentang Pelarangan "
" "Prostitusi. "
" " "
" "Provinsi Kalimantan Selatan "
" "(6) Banjarmasin Peraturan daerah tentang Pelarangan "
" "Pornografi dan Pornoaksi "
" " "
" "Provinsi Sulawesi Selatan "
" "(7) Makassar Peraturan daerah Provinsi Sulawesi Selatan"
" "tentang Himbauan Amar Ma'ruf Nahi Munkar "
" "mengenai peraturan Zakat, Penerapan Hukum Qur'an, "
" "Penggunaan Busana Muslim, Pelarangan Perjudian, "
" "Minuman Beralkohol, Narkoba, dan Prostitusi "
" "(8) Gowa Perda Gowa tentang kewajiban semua Perempuan"
" "memakai jilbab dan mengikuti bimbingan agama Islam "
" "setelah jam kerja. "
" "(9) Kab. Sinjai Peraturan daerah Provinsi Sulawesi "
" "Selatan tentang Himbauan Amar Ma'ruf Nahi Munkar "
" "mengenai peraturan Zakat, Penerapan Hukum Qur'an, "
" "Penggunaan Busana Muslim, Pelarangan Perjudian, Minuman"
" "Beralkohol, Narkoba, dan Prostitusi. "
" "(10) Kab. Takalar Peraturan tentang Berbusana Muslim. "
"Perda yang tidak "Provinsi Bengkulu Kab/kota Bengkulu "
"secara langsung "(1) Argamakmur: Peraturan daerah No.1/2005 tentang "
"memberikan "Perlindungan Korban Kekerasan . (Dari sumber yang "
"keterangan "diperoleh subtansi hukumnya adalah hanya membela korban"
"subtansi hukum "tindak kekerasan yang beragama Islam). "
"Syariah " "
" " "
"Jumlah 1 " "
" " "
"Jumlah "151 Perda "
"Keseluruhan : " "
Keterangan: Diolah dari berbagai sumber, 2010.
-----------------------
[1] Lihat lebih jauh karya-karya Clifford Geertz. Available Light:
Anthropological Reflections on Philosophical Topics (New Jersey: Princeton
University Press, 2000); Anderson, Benedict. Imagined Communites:
Reflections on the Origin and Spread of nationalism (London: Verso, 1983),
Hildreed Geertz, "Indonesian Cultures and Communities" dalam Ruth McVey
(ed), "Indonesia", Cornell, 1967, hlm.24, dalam Max Lane, Bangsa Yang
belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto, (Jakarta: Reform
Institute, 2007), hlm.1.
[2] Lihat Mochtar Pabttingi, Lima Palang Demokrasi, satu Solusi.
Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utam. Jakarta: PPW-LIPI,
Jakarta 22 Juni 2000.
[3] Modal sosial digambarkan oleh Robert Putnam sebagi "nilai kolektif
dari semua 'jaringan sosial' dan kecenderungan-kecenderungan yang muncul
dari jaringan-jaringan ini untuk melakukan sesuatu untuk sesama yang
bermanfaat untuk mereka. Menurut Putnam, modal sosial adalah sebuah
komponen penting dalam pembangunan dan pemeliharaan demokrasi. Lihat
Putnam, Robert D. (1995). "Bowling Alone: America's Declining Social
Capital". Journal of Democracy 6 (1): 65–78.
[4] Ormas-ormas Islam di panggung politik nasional seperti, Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad Al Islamiyah, Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam Indonesia (PII). Serta
masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da'wah yang turut menyuarakan
penerapan Syari'at Islam.
[5] Lihat naskah Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui
Peraturan Daerah" (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba
Sulawesi Selatan), yang disidangkan pada 11 April 2007. Karya ilmiah
setebal 142 halaman ini diajukan oleh Lukman (Lukman Bin Ma'sa) di Sekolah
Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta, untuk memenuhi sebagian
syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Da'wah. Karya aslinya dapat dibaca
melalui www.scribd.com.
[6] Sumber: Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui Peraturan
Daerah" (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi
Selatan, April 2007).
[7] Pada tanggal 19-21 Oktober 2000, berlangsung Kongres Umat Islam
Sulsel I di Asrama Haji Sudiang, Makassar. Acara yang mengambil tema "
Otonomi Khusus Untuk Tegakkan Syariat Islam di Sulsel" tersebut dihadiri
perwakilan aktivis Islam se-Sulsel. Pada tanggal 20 Oktober 2000, peserta
kongres umat Islam se-Sulsel menyepakati satu memorandum penting, yakni:
persetujuan dan dukungan terhadap upaya penegakan syariat Islam di Sulsel.
Memorandum itu ditandatangani tiga tokoh ulama Sulsel, masing-masing: KH
Sanusi Baco Lc mewakili DPW NU Sulsel, Prof Dr H Abdurahman Basalah
mewakili Forum Ukhuwah Islamiyah, dan KH Jamaluddin Amin dari PW
Muhammadiyah Sulsel. Kongres tersebut juga menyepakati terbentuknya Komite
Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI).
[8] Sumber: harian Tribun, Makasar, Sulsel,
http://scriptintermedia.com/view.php?id=4614
[9]http://koran.republika.co.id/berita/20687/Abdul_Azis_Kahar_Muzakkar_
Hukum_Belanda_Saja_Bisa_Apalagi_Hukum_Islam
[10] Wawancara dengan N, aktifis remaja mesjid di Bulukumba, Agustus
2010.
[11] Wawancara dengan AM, Staf ahli dan Deputi Bupati Bulukumba, di
Kantor Bupati Bulukumba, September 2010.
[12] Wawancara dengan PP, mantan Bupati Bulukumba, saat ini Kadis
Pendidikan Sulsel.
[13] Wawancara dengan SA, staf bagian hukum, Pemda Kab. Bulukumba,
Agustus 2010.
[14] Wawancara dengan S, wartawan Radar Bulukumba, Agustus 2010.
[15] Wawancara dengan sdr. Afriadi, bag hukum dan perundang-undangan,
diPemda Kab. Bulukumba, 24/8/2010.
[16] Wawancara dengan narasumber: B, staf Satpol PP Bulukumba. 25/8/2010.
[17] Narasumber dalam FGD di kantor bupati: Syamsul, Nuriana, Afriadi,
bag hukum dan perundang-undangan, dan Daeng Daud Humas Pemda Kab.
Bulukumba, 24/8/2010.
[18] Wawancara dengan N dan A, bag hukum dan perundang-undangan, juga D,
Humas Pemda Kab. Bulukumba, 24/8/2010.
[19] Wawancara dengan wartawan Radar Bulukumba, September 2010.
[20] Wawancara dengan AM, Asisten Bupati Bidang Kesra di Kantor Bupati
Bulukumba, September 2010.
[21] Ibid,- wawancara dengan AM.
[22] Wawancara dengan narasumber: Ayin, kapster salon rambut dan
kecantikan di sekitar pasar Sentral, Bulukumba, 28/8/2010.
[23] Wawancara dengan narasumber: Kristina, pedagang toko pakaian, di
sekitar pasar Sentral, Bulukumba, 28/8/2010.
[24] Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui Peraturan Daerah"
(Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi Selatan,
April 2007).
[25] Lihat karya Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui
Peraturan Daerah" (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba
Sulawesi Selatan, April 2007).
[26] http://www.tribun-timur.com/read/artikel/66588
[27] Lihat liputan Majalah Gatra edisi 24 beredar Senin, 1 Mei 2006 dan
tulisan karya Lukman Ma'sa, "Penerapan Syari'at Islam Melalui Peraturan
Daerah" (Studi Kasus Desa Padang Kec. Gantarang Kab Bulukumba Sulawesi
Selatan, April 2007).
[28] Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107
[29] Ibid., Effendy, Islam dan Negara, hlm. 109.
[30] Hasil pemilihan umum memperlihatkan konfigurasi riil kekuatan
politik di mana enam partai Islam memperoleh jumlah total suara 45%, Partai
Nasional Indonesia (PNI) memperoleh 22% dn Partai Komunis Indonesia 15%.
Sisa suara perolehan suara lainnya diperoleh oleh beberapa partai kecil
yang lebih dekat pada haluan sekuler (13%). Dalam Alfian, Hasil Pemilihan
Umum 1955 untuk DPR (Jakarta: Leknas, 1971).
[31] Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim (ed). Syariah Islam dan HAM:
Dampak perda syariah terhadap kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan non-
muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah. 2007), hlm. 104.
[32] Ibid,.Kamil(ed), Syariah Islam dan HAM, hlm. 105.
[33]Profil Kabupaten Cianjur, www.cianjurkab.go.id. Tanggal akses 3
Juni 2010.
[34] Penerapan Syariah Islam di Cianjur. Dalam risalah No. 6 Th 41
September 2003.
[35] Ibid,-
[36] Lihat Dundin Zaenuddin, et all. Budaya Kewargaan, Komunitas Islam
di Daerah Aman dan Rentan Konflik. ( Jakarta: LIPI Press Jakarta), hlm. 120-
121.
[37] Wawancara dengan D, Koresponden Majalah TEMPO untuk wilayah
Kabupaten Cianjur.
[38] Wawancara dengan Ibu TF, warga masyarakat Cianjur.
[39] Wawancara dengan istri Bupati Cianjur, TMS.
[40] Wawancara dengan SL, anggota DPRD Kab Cianjur. Dalam wawancara
yang dilakukan, menyebutkan bahwa dalam berbagai pembicaraan perumusan
Perda Gerbang Marhamah yang dimediasi oleh LPPI(Lembaga Pengkajian dan
Pengambangan Islam). Ia bersama teman-teman kelompok yang cenderung
berpaham nasionalis, tidak pernah mendapatkan undangan DPRD untuk
didengarkan aspirasinya, berkenaan dengan perumusan Ranperda Gerbang
Marhamah.
[41] Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 03 Tahun 2006 Tentang
gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah.
[42] Rencana Strategis Mewujudkan Masyarakat Cianjur Sugih Mukti Tur
Islami. 2002. Cianjur : LPPI Cianjur. Didalam buku renstra ini disebutkan
36 ciri-ciri dari akhlaqul karimah.
[43] Wawancara denga SL Ia adalah anggota DPRD Kabupaten Cianjur
Periode 2009-2014 dari Fraksi PDI Perjuangan
[44] S. Bambang Setayadi, Pembentukan Peraturan Daerah. Dalam
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/73545939-7894-49AC-8533-
4C73C8E6DC5E/8051/PembentukanPerdaDrsSBambangSetyadiMSi1.pdf.
[45] Hal ini dilontarkan oleh Istri Bupati Cianjur yaitu Hj. Yana Rosdiana,
SH pada salah satu wawancara dengan penulis.
[46] Terdapat dua kelemahan yang ditemukan oleh LPPI untuk bisa menerapkan
pasal-pasal dalam perda gerbang marhamah, diantaranya adalah Secara
kualitatif, potensi umat yang ada di Kabupaten Cianjur masih berada pada
posisi yang secara umum masih lemah. Masih rendahnya rata-rata angka
melanjutkan pendidikan, rendahnya derajat kesehatan serta rendahnya rata-
rata angka pendapatan adalah merupakan tantangan berat tersendiri yang
perlu mendapatkan perhatian utama.
[47] Wawancara dengan Bapak Muhammad Musa, beliau adalah salah satu dari
pengurus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kabupaten Cianjur.
[48] Wawancara dengan pendeta H, yang merupakan Ketua Majelis Jemaat
GKI Cianjur Periode 2010-2011.
[49] Firman Noor (ed), Nasionalisme, Demokratisasi, dan Identitas
Primordialisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007, hlm. 14.
[50] Undang Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi daerah
-----------------------
[i] Wawancara dengan H, supir angkutan umum antar kota Bulukumba,
23/8/2010.