Andre Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional (Jakarta:Bina Cipta, 1999)hlm 17
Kosasih, Ahmad. HAM Dalam Perspektif Islam. (Jakarta:Salemba Diniyah, 2003), hlm 24
Rohidin, "Perspektif Hukum dan HAM terhadap Eksistensi Aliran Keagamaan di Indonesia", Pandecta. Vol. 6 No. 1, Januari 2011, 19.
Gerung, Rocky. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. (Depok: Filsafat UI Press. 2006). Hlm 37
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 31
William James, Perjumpaan dengan Tuhan, Raga, Pengalaman Religius Manusia, (Jakarta: Citra Manggala, 2004) hlm 23
Wasisto Raharjo Jati. "kearifan local sebagai resolusi konflik keagamaan" walisongo. Vol.21, No.2. November 2013, 405-407
Jeroen Temperman, "Religion & Human Rights" Brill Nijhof. Vol.10 No. 3 summer 2015. 34
Dadang Sudiadi, "menuju kehidupan harmonis dalam Masyarakat yang majemuk. Suatu pandangan tentang pentingnya pendekatan multikultur dalam pendidikan di Indonesia". Jurnal kriminologi Indonesia Vol.5 No.1 Februari 2009, 36
MAKALAH
PERAN PEMUKA AGAMA DALAM DUKUNGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Dosen Pembimbing:
Ridwan Arifin, S.H,. Ll.m.
Rombel 1
Di susun oleh:
Dzulfikar Fauzi 8111416255
Idhar Dhani 8111415123
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa selesaikan makalah ilmiah mengenai limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ilmiah sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.Akhir kata kami meminta semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini bisa memberi ma mafaat utaupun inpirasi pada pembaca.
Semarang, Oktober 2017
Dzulfikar Fauzi & Idhar Dhani
DAFTAR ISI
Halaman Sampul…………………………………………………………………………………………
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………
Daftar Isi………………………………………………………………………………….......................
Daftar Tabel/Gambar……………………………………………………………………………………
Daftar Putusan/Kasus……………………………………………………………………………………
BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………………………
Latar Belakang……………………………………………………………………………………
Rumusan Masalah………………………………………………………………………………..
Metode Penulisan………………………………………………………………………………...
BAB II Pembahasan……………………………………………………………………………………
Sub Pembahasan 1………………………………………………………………………………
Sub Pembahasan 2………………………………………………………………………………..
Sub Pembahasan 3………………………………………………………………………………..
BAB III Kesimpulan……………………………………………………………………………………...
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal HAM 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB.
Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara. Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengatur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.
Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu. Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari itu makalah ini akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam.
Bukan hanya dari agama Islam namun agama lain juga, Agama yang diberikan kepada umat manusia adalah sebagai pemberi perasaan aman dan sejahtera bagi pemeluk agama tersebut. Semua agama diberikan kepada manusia agar mereka dapat menjalani hidup dengan lebih baik dalam kebesaran Tuhan. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk menjaga, memelihara, membina akhlak moral manusia sehingga seluruh umat beragama di alam semesta ini dapat hidup berdampingan secara aman dan damai sehingga tercipta suasana yang harmoni.
Namun, jika agama diturunkan dengan tujuan untuk harmonisasi bumi, mengapa masih terjadi konflik antar manusia terlebih antar umat beragama? Mereka seakan-akan menjadikan agama sebagai sebuah tameng kebersamaan. Padahal pada hakikatnya agama termasuk dalam hak yang paling asasi yang ada dalam setiap umat manusia. Mereka bebas untuk memilih dan mengamalkan ajaran agamanya sendiri. Tetapi, dalam kehidupan agama belum bisa menjadi alat harmonisasi. Setidaknya belum sampai manusia mengerti tentang toleransi.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana hubungan Agama dan HAM?
Bagaimana peran pemuka agama dalam penegakan HAM di Indonesia
METODE PENULISAN
Penulis menggunakan metode penulisan Penelitian Kepustakaan. Penelitian Kepustakaan merupakan jenis penelitian kualitatif yang pada umumnya tidak terjun ke lapangan dalam pencarian sumber datanya. Penelitian Kepustakaan merupakan metode yang digunakan dalam pencarian data, atau cara pengamatan (bentuk observasi) secara mendalam terhadap tema yang diteliti untuk menemukan 'jawaban sementara' dari masalah yang ditemukan di awal sebelum penelitian ditindaklanjuti. Jadi Penelitian Kepustakaan merupakan metode dalam pencarian, mengumpulkan dan menganalisi sumber data untuk diolah dan disajikan dalam bentuk laporan Penelitian Kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN HAM
Pengertian HAM dijelaskan pada banyak sumber tidaklah bersifat statis atau jalan ditempat dan tidak mengalami perubahan. Pengertian HAM akan selalu mengalami perubahan atau bersifat dinamis. Hak asasi manusia yang awalnya merupakan kepedulian akan perlindungan setiap individu dalam menghadapi kekuasaan negara yang semena mena, kemudian berkembang kepada hak asasi di berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya
Istilah istilah yang dikenal dengan HAM di negara lain seperti Droit de l'home dari Prancis, human right dari inggris dan mensen rechten dari Belanda. Dalam salah satu dokumen PBB dapat kita temukan tentang pengertian HAM yaitu "Human rights could be generally define as those rights which are inherent in our nature and without it we cannotlive as human beings".
Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial. Pada masa ini munculnya Piagam PBB. Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam (intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya.
Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan "commitment" moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia .
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap seorang Wanita.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak.
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Sedangkan agama adalah suatu cara pandang dunia atau serangkaian kepercayaan, berkaitan dengan perwujudan dan ungkapan sistem nilai dan jalan hidup dari kepercayaan-kepercayaan tersebut.Dari sudut pandang psikologis, agama diartikan sebagai segala perasaan, tidakan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai yang ilahi.
Untuk melihat keterkaitan antara agama dan HAM, kita perlu melihat dua kepentingan agama:
Kepentingan Tuhan
Dalam hal ini yang ditekankan adalah keluhuran dan kemuliaan Tuhan. Misi agama adalah mengajak umat manusia untuk memuliakannya, menghormatinya dan meluhurkannya, baik dengan kata-kata maupun tindakan (Al Andang, Agama yang Berpijak dan Berpihak, Yogyakarta, 1998:103).
Kepentingan Umat Manusia
Dalam hal ini, agama memberikan manusia jalan menuju kebahagiaan jika manusia mau mendengarkan dan menerimanya.
Dari dua kepentingan agama di atas, sayangnya manusia sering menekankan kepentingan yang satu dari pada yang lain. Pada saat dia menekankan kepentingan kepada Tuhan saja, manusia bisa rela menghukum manusia lain atas nama Tuhan. Di lain sisi, agama jatuh pada kepentingan manusia saja. Agama dijadikan alat bagi manusia yang menguntungkan dirinya sendiri.
Dalam hal ini pembersatuan agama dan HAM dibutuhkan agar agama tidak jatuh dalam ego agama itu sendiri. Ego agamis merupakan penyakit laten dalam beragama. Demi agamanya, umat yang satu menindas dan memaksa yang lain memeluk agamanya. Dengan dalih agama, penguasa dapat memerintahkan rakyatnya berperang atau menghambat praktik agama tertentu. Maka di sinilah paradoks terjadi: Tuhan dimuliakan dengan amarah, murka, kecurigaan, kebencian, penindasan dan bahkan pembunuhan.
Jika agama dikuasai oleh ego agamis, maka keberadaanya telah gagal sebagai pemberi perasaan aman dan sejahtera kepada pemeluknya. Semua agama sesungguhnya diturunkan oleh Tuhan agar manusia bisa lebih baik menjalankan hidupnya dalam kebesaran Tuhan. Menjaga, memelihara dan membina akhlak moral mereka sesuai wahyu Tuhan. Sehingga berbagai umat beragama dapat hidup dengan harmoni dan saling menghormati hak-hak masing-masing.
Namun, ada kalanya manusia sering kali didorong oleh hasrat duniawinya untuk memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi. Seperti kasus manipulasi bantuan jemaat Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami Aceh dan Nias. Enam puluh satu jemaat GKST, yang tingkat ekonominya tergolong sangat rendah, berhasil mengumpulkan Rp 27.538.450 dan diserahkan kepada Majelis Sinode. Tapi hingga akhir 2005 bantuan tersebut belum diserahkan. Tim Pemeriksa BPKP GKST menemukan bahwa dana tersebut ternyata "dipinjam" oleh GKST dan sisanya berada di tangan Bagian Keuangan Badan Pekerja Sinode GKST (BPS GKST).
Di sinilah HAM dan agama saling mendukung satu sama lain. HAM bisa menjadi pengingat bahaya laten agama. Sangat jelas bahwa ego agamis tadi berlawanan dengan semangat asli agama dan semangat yang ditanamkan dalam HAM. Jika pengertian HAM yang telah diuraikan di atas dipegang teguh sebagai amanat pada tiap individu, maka toleransi agama dengan sendirinya akan muncul.
Apabila tiap-tiap individu menyadari bahwa agama merupakan kebutuhan asasi tiap umat manusia dan juga merupakan hak asasi tiap manusia, maka dia dengan sendirinya akan menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi apa yang menjadi hak orang lain. Dengan sendirinya hak-haknya pun akan dilindungi. Dengan begini kesadaran untuk bersatu akan terpupuk. Toleransi muncul. Harmonisasi dalam kehidupan akan terjaga.
Peran Pemuka Agama dalam Penegakan HAM
Agama merupakan lembaga yang menawarkan kebahagiaan dan keselamatan melalui pengajaran dan pelaksanaan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para peletak dasar agama, dimana ajaran tersebut kemudian dituliskan dalam Kitab Suci masing-masing. Agama sebagai sebuah lembaga tentu menuntut adanya suatu susunan hierarki atau kepengurusan yang mendampingi dan melayani jemaat dalam usahanya mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Para pengurus atau pimpinan jemaat dalam agama inilah yang kemudian disebut sebagai pemuka agama. Jadi pemuka agama adalah orang yang karena kualitas pribadinya dipercaya dan diberi tugas khusus untuk memimpin umat beragama.
Setiap agama memiliki sebutan yang khas untuk pemuka agamanya. Dalam agama Islam, yang disebut pemuka agama misalnya: kyai, imam, dai, ustad, dan ustadzah; dalam agama Kristen, yang disebut pemuka agama misalnya: pendeta, penatua, majelis gereja, biblepro; dalam agama Katolik, yang disebut pemuka agama misalnya: Uskup, imam atau pastor atau romo, diakon, katekis; dalam agama Hindu, yang disebut pemuka agama misalnya: pedanda, pemangku, sulinggih; dalam agama Buddha, yang disebut pemuka agama misalnya: Bikhu, Bikhuni, samanera, upasika, upasaka; dan pemuka agama dalam agama Khonghucu misalnya: Haksu, Bunsu, kausing, dan Tiangloo. Adapun para pemuka agama tersebut dalam agamanya masing-masing memiliki suatu lembaga yang menyatukan dan memberi garis besar dalam pengajarannya. Adapun lembaga-lembaga tersebut adalah:
MUI : Majelis Ulama Indonesia
PGI : Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
PHDI : Parisadha Hindu Dharma Indonesia
WALUBI : Wali Umat Buddha Indonesia
MATAKIN : Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
Para pemuka agama memiliki tugas dan peran yang khas yaitu:
Menjadi panutan atau memberi teladan bagi umatnya, khususnya di tengah situasi bangsa Indonesia yang sedang mengalami intoleransi dalam pluralisme.
Menyejahterakan umat Tuhan,
Mendampingi umat dalam persatuan dengan Tuhan, dan memimpin ibadat, mengajar, mempersatukan, serta mendampingi dalam perwujudan iman.
Sebagai seorang pemuka agama tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain: memiliki kualitas pribadi yang baik, memiliki karisma, yaitu bakat dan kemampuan luar biasa dalam kepemimpinan. Karisma ini adalah anugerah dari Tuhan. Memahami tentang ajaran agama, memiliki kehidupan pribadi dan sosial yang baik, dan dipercaya oleh umat atau diberi mandat oleh umat.
Selain syarat-syarat umum diatas, menjadi pemuka agama juga dituntut untuk mampu memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam masing-masing agama. Dan yang terpenting, mereka harus menyadari bahwa menjadi pemuka agama merupakan panggilan dari Tuhan untuk melayani umatNya. Maka menjadi pemuka agama bukanlah untuk mencari prestise atau kedudukan dan kehormatan melainkan pertama-tama untuk melayani masyarakat.
Karena menjadi pemuka agama merupakan panggilan dan pilihan dari Tuhan, maka kita sebagai orang yang percaya kepada Tuhan hendaknya menghormati dan menghargai keberadaan pemuka agama dari agama manapun dan berusaha untuk memberi dukungan terhadap tugas dan pelayanan pemuka agama.
Berikut ini pemaparan beberapa pandangan dari berbagai agama dan kepercayaan tentang pemuka agama, karisma dan pelayanannya
Agama Buddha
Dharma Duta atau juru penerang agama buddha adalah orang-orang yang dapat bertindak sebagai Bhikku, Samanera, Pandita, dan Upasika-Upasaka. Dharma Duta bertindak menjadi penunjuk jalan yang baik terhadap umatnya.
Agama Kristen
menjadi pemimpin dalam agama kristen berarti menjadi pelayan. Dalam perjalanan sejarah gereja ada beberapa sistem pemerintahan gerejawi, yaitu:
Sistem papal: gereja dipimpin oleh paus untuk gereja katolik roma dan batrik untuk gereja ortodok timur.
Sistem caesaro papal: gereja dipimpin oleh kaisar, raja, atau ratu. Misalnya ada dalam gereja Anglikan di Inggris.
Sistem Episkopal atau Sinodal: gereja dipimpin oleh seorang pendeta sebagai pimpinan sinode, misalnya dalam gereja Lutheran, HKBP.
Sistem Colegial atau Conggregasial: gereja dipimpin oleh rapat anggota gereja, misalnya dalam gereja pantekosta, dan Babtis
Sistem Presbiterial: gereja dipimpin oleh majelis yang menggambarkan sebagai imam, nabi, dan raja.
Agama Islam
Pemuka agama merupakan kelanjutan dari pengambil alihan tugas Nabi Muhammad sebagai imam, nabi dan pemimpin pemerintahan. Sebagai imam tugas ini dilakukan oleh seseorang yang memimpin dalam sholat berjamaah. Nama lain untuk imam adalah amir. Sebagai nabi, Nabi Muhammad tidak tergantikan karena Nabi Muhammad merupakan nabi yang terakhir, dan sebagai pemimpin pemerintahan, tugas itu diberikan kepada khalifah.
Agama Hindu
Pemuka dalam agama Hindu dilaksanakan oleh pedanda yaitu imam untuk golongan Brahmana, Pemangku yaitu imam yang diambil selain dari kasta Brahmana, dan Sengguhu adalah imam untuk kasta rendah.
Agama Katolik
Melalui Baptisan seseorang menerima imamat umum, yaitu sebagai imam, nabi, dan raja. Selain adanya imamat umum, juga ada yang secara khusus menerima imamat khusus, yaitu Uskup, imam atau pastor atau romo, dan diakon. Mereka semua adalah para rohaniwan yang hidupnya selibat atau tidak menikah. Sedangkan dari kaum awam, tugas pengajaran diemban oleh katekis.
Agama Khonghucu
Dalam agama Khonghucu yang disebut sebagai pemuka agama adalah Haksu (pemimpin badat), Bunsu (guru agama), Kausing (Penebar agama), dan Tiangloo (sesepuh). Parapemuka agama tersebut memiliki tugas masing-masing yang saling mendukung dan terkait.
Namun pernah terjadi di Indonesia terjadi konfilik karena pergesekan agama. Konflik tersebut merupakan konflik poso yang tepatnya di Ambon, Sulawesi utara. Konflik horizontal antar umat beragama Islam dengan umat beragama Kristen diawali dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Yang diawali dengan perkelahian pemuda keturunan Bugis yang beragama Islam dengan pemuda asal Mardika beragama Kristen. Pemuda asal Mardika yang bekerja sebagai supir angkot ini dimintai uang oleh pemuda keturunan Bugis tadi yang dikenal sebagai preman, kejadian ini terjadi di terminal Batu Merah. Karena pemuda asal Mardika tersebut tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis tadi. Kejadian ini terjadi berulang sampai tiga kali dan tetap pemuda asal Mardika ini tidak dapat memenuhi keinginan pemuda keturunan Bugis sehingga menimbulkan amarah dan perkelahian diantara mereka.
Mereka adu pukul dan ingin membunuh satu sama lain. Pemuda asal Mardika ini merasa terancam dan dia pulang kerumah mengambil parang dan kembali lagi ke terminal Batu Merah untuk menemui preman tersebut. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejaran dimana preman tersebut berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. Kemudian preman tersebut ditahan oleh warga Batu Merah dan ia ditanyai tentang permasalahan yang terjadi, maka preman tersebut menjawab dengan jawaban bahwa "ia akan dibunuh oleh orang Kristen". Jawabannya ini kemudian memicu terjadinya kerusuhan yang terjadi di Ambon yang dimana antara warga Muslim dengan warga Kristen saling menyerang. Warga Muslim menyerang warga Kristen dan sebaliknya warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri. Awalnya masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika yang merupakan tetangga Desa Batu Merah dengan menggunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan lain-lain dengan menggunakan ikat kepala warna putih yang seragam. Mereka sempat melukai dan membakar rumah-rumah warga Kristen.
Demikian pula pada saat yang bersamaan beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale, dan Waihaong serta mendengar bahwa gereja Silale telah dibakar maka bangkitlah amarahnya dan kemudian melalukan penyerangan balik ikut diserang oleh kelompok Muslim yang menyebabkan beberapa warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja di kawasan Silale dirusak dan kemudian ikut dibakar.
Warga Kristen yang mendiami Batu Gantung, Kudamati dan sebagainya setelah mendengar penyerangan warga Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, kawasan Silale, dan Waihaong Konflik berkembang dengan sangat pesat dengan sebab-sebab yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat setempat. Konflik tersebut meluas dan disertai dengan aksi-aksi pembakaran rumah-rumah warga dan tempat ibadah, pembunuhan serta penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Konflik ini menjadi semakin meluas dan banyak terjadi kerusuhan dimana-mana hal ini disebabkan karena adanya isu SARA yang disebarkan oleh orang-orang yang berkepentingan.
Konflik ini menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dari kedua kubu. Dan puluhan kepala keluarga kehilangan tempat tinggalnya akibat dari konflik tersebut.
Menurut Pickering, terdapat lima gaya mengelola konflik, yaitu kolaborasi, mengikuti kemauan orang lain, mendominasi, menghindari, dan kompromi. Setelah memahami karakteristik gaya masing-masing, maka kita harus memilih salah satu gaya yang paling tepat untuk diimplementasikan, karena setiap konflik tentunya mempunyai perbedaan dalam cara mengelolanya. Gaya yang cukup ideal untuk digunakan dalam mengelola konflik antarumat beragama adalah dengan berkompromi dan berkolaborasi. Kompromi berarti membagi perbedaan atau bertukar konsesi. Gaya ini berorientasi pada jalan tengah karena setiap orang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan diterima. Sedangkan, kolaborasi adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang disepakati semua pihak. Gaya kolaborasi ditandai dengan adanya ungkapan seperti "Tampaknya ada perbedaan pendapat di sini, mari kita cari bersama sumber perbedaan itu" atau "Sebaiknya kita ajak beberapa orang lagi dari departemen lain untuk bersama-sama mengupas pemecahannya".
Sebenarnya, kedua gaya penyelesaian konflik tersebut telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1967 hingga sekarang melalui dialog antaragama. Upaya tersebut kemudian dikenal sebagai "Musyawarah Antaragama" yang melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Namun, mengapa konflik antarumat beragama masih terus terjadi?
Sekurang-kurangnya terdapat tiga tantangan yang dihadapi setiap agama: pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua, soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Persoalan-persoalan tersebut sulit untuk diatasi karena beerapa faktor, di antaranya adalah karena adanya sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain, adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalahartikan, serta adanya kepentingan eksternal (politik, ekonomi) yang mengintervensi persoalan agama. Namun, jika faktor-faktor tersebut dapat diatasi, maka tantangan-tantangan tersebut juga dapat disingkirkan.
Dalam rangka menjawab persoalan pluralisme agama di Indonesia, Tanja menganjurkan diadakannya reorientasi misi dan dakwah yang mempunyai tujuan untuk menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian, bukan untuk menambah kuantitas umat. Dari upaya tersebut, diharapkan para pemuka agama dapat membentuk umat yang berkualitas, yaitu umat yang tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang mengatasnamakan agama namun terdapat kepentingan nonagama di dalamnya yang dapat memicu terjadinya perpecahan. Ketegangan agama yang selama ini terjadi adalah karena pelaku dakwah (da'i, muballigh, misionaris) mencintai agamanya tanpa memiliki pengetahuan agama secara mendalam, sehingga dakwah cenderung propagandis dan kadang provokatif. Oleh karena itu, diperlukan keterbukaan antarumat beragama melalui dialog-dialog segar dan penyejuk umat yang ditindaklanjuti dengan kerja konkret.
Menurut Mudji Sutrisno, menegaskan bahwa membangun dialog antara gama hanya dengan dialog-dialog logika rasional saja tidak cukup, namun logika psikis juga harus disertakan. Artinya, dialog-dialog tersebut juga harus dibarengi dengan pendidikan psikologis, seperti mencairkan prasangka atau rasa saling curiga antarumat beragama. Suatu konflik antarumat beragama dapat diawali oleh adanya prasangka, stereotip, jarak sosial atau diskriminasi. Namun, proses mengurangi prasangka tidaklah semudah yang dibayangkan.
Strategi utama untuk mengurangi prasangka antarumat beragama adalah dengan memahami hakikat komunikasi antarumat beragama. Nilai-nilai agama bukan untuk direduksi dengan menempatkannya sebagai alat legitimasi aktivitas politik, sementara substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap akhlaqul karimah dilupakan. Sesungguhnya setiap agama mengajarkan kerukunan dan cinta kasih, menyerukan kebajikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar), sehingga pada hakikatnya, komunikasi antarumat beragama harus dilakukan dalam rangka menggalang kerukunan.
Cara pertama hanya dapat sedikit menolong untuk memperkaya komunikasi antarumat beragama dan tidak selalu mengatasi prasangka. Oleh karena itu, dibutuhkan cara kedua berupa strategi untuk membatasi ekskalasi yang bertujuan untuk menantang. Komunikasi yang baik, meski sederhana, harus dapat menunjukkan rasa saling menghargai dua pihak.
Cara ketiga untuk mengurangi prasangka adalah berkomunikasi dalam tindakan yang ramah tamah terhadap sesama, seperti menjunjung toleransi antarumat beragama, khususnya ketika mendekati isu-isu moral. Cara ini dapat mengintegrasikan sistem bagi kesamaan nilai, sehingga dapat memahami nilai-nilai transdental antaragama.
Konflik antar umat beragama sangat penting untuk terus dibina, karena apabila kita perhatikan kitab suci, sebetulnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat, di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Sesungguhnya pluralisme agama bisa menjadi bagian khazanah jika dipahami sebagai anugerah Allah dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antar umat beragama itu sendiri demi terwujudnya kemakmuran dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Agama merupakan pandang dunia atau serangkaian kepercayaan, berkaitan dengan perwujudan dan ungkapan sistem nilai dan jalan hidup dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Dari sudut pandang psikologis, agama diartikan sebagai segala perasaan, tidakan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai yang ilahi. Peran pemuka agama sangat penting bagi keutuhan Indonesia. Karena Agama merupakan Suatu Hak manusia yang paling sensitive. Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan kebudayaan dan masyarakatnya. Yang menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik sangat besar. Konflik antar umat beragama sangat penting untuk terus dibina, karena apabila kita perhatikan kitab suci, sebetulnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat, di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Sesungguhnya pluralisme agama bisa menjadi bagian khazanah jika dipahami sebagai anugerah Allah dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antar umat beragama itu sendiri demi terwujudnya kemakmuran dunia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Sudjatmoko Andre. 1999. Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional Jakarta:Bina Cipta.
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM Dalam Perspektif Islam. Jakarta:Salemba Diniyah.
Ariestandi Irmansyah Rizky. 2013. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi Yogyakarta: Graha Ilmu.
Gerung, Rocky. 2006. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press.
William Jeams. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan, Raga, Pengalaman Religius Manusia, Jakarta: Citra Manggala.
JURNAL
Rohidin. 2011 "Perspektif Hukum dan HAM terhadap Eksistensi Aliran Keagamaan di Indonesia", Semarang: Pandecta. Vol. 6 No. 1:16-25
Sudiadi Dadang. 2009 "menuju kehidupan harmonis dalam Masyarakat yang majemuk. Suatu pandangan tentang pentingnya pendekatan multikultur dalam pendidikan di Indonesia". Jakarta: Jurnal kriminologi Indonesia Vol.5 No.1:33-42
Raharjo Jati Wasisto. 2013 "kearifan local sebagai resolusi konflik keagamaan" walisongo. Vol.21, No.2:405-407
Temperman Jeroen. 2015. "Religion & Human Rights" Brill Nijhof. Vol.10 No. 3:59-83