PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG NILAI KERUGIAN KEUANGAN KEUANGAN NEGARANYA NEGARANYA KECIL KECIL
OLEH : DR. R. ONGGAL SIAHAAN, SH, S.Sos, MH KEPALA PUSAT LITBANG KEJAKSAAN AGUNG RI 2014
Pusat Litbang 2015 /1
LATAR BELAKANG PENELITIAN
1. Penelitian ini ini pd prinsipnya prinsipnya dilatarbelakangi dilatarbelakangi dengan adanya keinginan Jaksa Agung Agung utk melakukan kajian ulang thd SE Jampidsus No. B-1113/F/Fd.1/05/2010 Tgl l 8 Mei 2010 perihal Prioritas dan Pencapaian Dalam Penanganan Perkara TIPIKOR Pusat Litbang 2015 / 2
2. ISI SE JAMPIDSUS NO. B-1113/F/Fd.1/05/2010: a. Diprioritaskan Dipriorit askan penanganan penangan an Tipikor yg bersifat B ig F ish ish (berskala besar dilihat dari pelaku/nilai kerugian keuangan negara) dan st sti ll g oi ng on (dilakukan terus menerus/ berkelanjutan) b. Thd pelaku Tipikor yg dgn kesadarannya kesadaran nya telah mengembalikan kerugian keuangan negara (asse sset re r ecove coverr y ) terutama perkara yg nilai kerugian negaranya relatif kecil, perlu dipertimbangkan utk tdk ditindaklanjuti, tdk membawa ke ranah hukum.
Pusat Litbang 2015 / 3
Dasar pertimbangannya: Nilai kerugian keuangan negaranya tdk sebanding dgn besarnya biaya penanganan perkara Tipikor dlm DIPA Kejaksaan “akan lebih baik dikembalikan uang yang dikorupsi dan tidak perlu ditindaklanjuti karena anggaran yang dikeluarkan lebih besar”
Pusat Litbang 2015 / 4
3. Pd prinsipnya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku Tipikor jauh lbh bermanfaat dr pd menghukum pelaku 4. SE tersebut merupakan bentuk diskresi Kejaksaan yg lbh mengutamakan pengembalian kerugian negara krn dpt bermanfaat utk APBN melalui jalur PNBP Kejaksaan
Pusat Litbang 2015 / 5
5. SE JAMPIDSUS menimbulkan polemik: a. Eksternal ICW : - Melemahkan upaya pemberantasan Tipikor - Berpotensi jual beli perkara - Melecehkan hukum b. Internal Belum ada keseragaman dlm memahami SE dikalangan Jaksa ttg: - Blm ada batasannya nilai kerugian negara kecil, tergantung pd interpretasi Kajati/Kajari - Pemahaman terhadap “restorative jus tice” dikaitkan dengan Tipikor.
Pusat Litbang 2015 / 6
PERMASALAHAN 1. Apa tolok ukur nilai kerugian keuangan negara yang kecil, untuk menentukan standar yg dapat dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar pengadilan (out of court
s ettlement). 2. Apakah penyelesaian perkara TPK dengan nilai kerugian negara kecil di luar pengadilan (out of court s ettlement ) dapat meningkatkan optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam rangka mendukung APBN melalui PNBP Kejaksaan RI. Pusat Litbang 2015 / 7
Untuk menginventarisir pendapat dari responden terhadap penerapan penyelesaian perkara di luar pengadilan Tujuan Penelitian (out of court s ettlement ) sebagai implementasi dari keadilan restoratif terhadap perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negaranya kecil
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menitikberatkan pd pentingnya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku TPK sebagai upaya penyelamatan keuangan negara yang dianggap lebih bermanfaat daripada menghukum pelaku TPK, sementara kerugian keuangan negara tdk bisa dikembalikan secara maksimal
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan sampel penelitian meliputi 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu: Kejati NAD, Kejati Bangka Belitung, Kejati Jambi, Kejati Jawa Timur, Kejati Kalimantan Barat, Kejati Papua
Responden
Pengumpulan data dengan wawancara kepada 360 responden yang terdiri dari unsur: Kejaksaan (Wakajati, Aspidsus dan 3 Kasi, Kajari dan Kasi Pidsus, Jaksa fungsional), Hakim (Hakim Tipikor dan Hakim PN), Kepolisian, Akademisi / Dosen, Pengacara, Anggota DPRD Tk I & Tk II, LSM
Karekteristik Responden: 1. Jenis Kelamin 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Laki-laki
78
Perempuan 56 35
39
33
24 9
Ke jaksaan
Hakim
15
36
21 3
Ke polisian Akade misi
5
2 DPRD
Pe ngacar a
4 LSM
Laki-laki
17.22%
Perempuan
82.78%
Pusat Litbang 2015 / 10
2. Pendidikan Terakhir Responden 60.00%
54.17%
50.00% 40.00% 26.11%
30.00% 20.00%
pendidikan
12.22%
10.00%
5.28%
2.22%
0.00% SLTA
D-3
S-1
S-2
S-3 Pusat Litbang 2015 / 11
Data yang diperoleh dilapangan diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan teori: 1. Penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 2. Pengembalian aset dalam Tindak Pidana Korupsi 3. Tujuan pemidanaan dan keadilan restoratif
Pusat Litbang 2015 / 12
Hasil wawancara dgn responden dari permasalahan apa tolok ukur nilai kerugian keuangan negara yang kecil, untuk menentukan standar yg dapat dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar pengadilan (out of court s ettlement) adalah:
A. Batas Kerugian Keuangan Negara Yang Kecil 33.89%
<50 jt
35.00%
51jt s.d 100jt 26.67%
101jt s.d 200jt
30.00%
201jt s.d 300jt 25.00%
301jt s.d 400jt 20.00%
16.39%
15.00%
>400jt tdk menjwb
11.39%
=/
5.00% 3.05%
3.33%
5.00%
0.28%
0.00% <50 jt
51jt s.d 101jt s.d 201jt s.d 301jt s.d 100jt 200jt 300jt 400jt
>400jt
tdk menjwb
=/
Pusat Litbang 2015 / 14
Batas
nilai kerugian keuangan negara yang dikategorikan kecil adalah berkisar dari Rp 50 juta sampai dengan Rp, 300 juta. Dalam arti secara otomatis setiap ada perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya di bawah Rp 50 juta, tidak akan ditindak lanjuti oleh penegak hukum (jaksa/polisi) sepanjang sudah ada pengembalian nilai kerugian keuangan negara oleh pelaku, dengan pengecualian untuk kasus-kasus yang menyangkut hajat hidup masyarakat seperti misalnya dana Bos dan Beras raskin.
Sedangkan
untuk kerugian keuangan negara di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 300 juta, tidak otomatis dapat dihentikan karena tetap harus dilakukan secara hati-hati, seksama dan cermat dengan memperhatikan kearifan lokal daerah terjadinya kasus korupsi. Kewenangan untuk menghentikan perkara korupsi yang kerugian keuangan negaranya kecil (batas Rp 50 juta sampai dengan Rp 300 juta) diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan Kajari/Kajati setempat Pusat Litbang 2015 /15
Hasil wawancara dgn responden dari permasalahan Apakah penyelesaian perkara TPK dengan nilai kerugian negara kecil di luar pengadilan (out of court settlement ) dapat meningkatkan optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam rangka mendukung APBN melalui PNBP Kejaksaan RI.
B. Setuju Atau Tidak Kerugian Keuangan Negara Yang Kecil Dihentikan/Tidak Diproses Secara Hukum. 60.00% 50.00%
55.83%
43.61%
Setuju
40.00% Tdk Setuju 30.00% Tdk Menjwb
20.00% 10.00% 0.56% 0.00% Setuju
Tdk Setuju
Tdk Menjwb
Pusat Litbang 2015 /17
Dari
360 responden, 201 responden (55,83%) menyatakan setuju terhadap kebijakan penghentian perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya kecil, dengan tetap berpegang pada klausul bahwa penghentian diterapkan terhadap perkara yang tidak langsung berdampak dan merugikan masyarakat banyak, seperti misalnya dana Bos dan beras Raskin; sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jampidsus yang menggarisbawahi penghentian terhadap perkara korupsi tidak untuk perkara yang berkelanjutan (s till g oing on) , berskala besar (big fish ) dan tidak menyangkut kepentingan hidup masyarakat luas.
Dari
360 responden, 201 responden (55,83%) menyatakan setuju terhadap kebijakan penghentian perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya kecil, dengan tetap berpegang pada klausul bahwa penghentian diterapkan terhadap perkara yang tidak langsung berdampak dan merugikan masyarakat banyak, seperti misalnya dana Bos dan beras Raskin; sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jampidsus yang menggarisbawahi penghentian terhadap perkara korupsi tidak untuk perkara yang berkelanjutan (s till g oing on) , berskala besar (big fis h ) dan tidak menyangkut kepentingan hidup masyarakat luas.
C. Penghentian Perkara Korupsi Yang Nilai Kerugian Keuangan Negaranya Kecil, Setelah Tersangka Mengembalikan Kerugian Keuangan Negaranya; Lebih Tepat Dilakukan Pada Tahap Penyelidikan Atau Penyidikan Tahap penyelidikan
70.00% 60.00% 50.00%
61.67%
40.00%
Tahap Penyidikan
23.89% 14.44%
30.00%
Tdk setuju pd thp lid & dik
20.00% 10.00% 0.00% Tahap penyelidikan
Tahap Penyidikan
Tdk setuju pd thp lid & dik
Dari 360 responden, 222 responden (61,67%) menyatakan penghentian perkara korupsi dimaksud paling tepat dilakukan pada tahap penyelidikan, karena akan memberi ruang pada penyidik tindak pidana korupsi (jaksa/polisi) untuk merampas harta benda pelaku dari hasil korupsi untuk dikembalikan ke kas negara. Dari
sisi kemanfaatan, pada tahap penyelidikan belum banyak anggaran penanganan perkara korupsi yang dicairkan dibandingkan kalau sudah masuk tahap penyidikan (biaya yang dikeluarkan akan lebih besar) sehingga akan mengurangi beban keuangan negara/penghematan untuk biaya penanganan perkara korupsi yang bersifat big fis h.
Dan dari sisi kepastian hukum, pada tahap penyelidikan belum ada upaya paksa kepada pelaku seperti penahanan dan penyitaan dan belum ada status tersangka sehingga belum ada proses pro yustisia, sehingga masih mudah untuk dihentikan perkaranya. Hal ini menunjukkan ada kepastian bagi pelaku apakah perkaranya akan dihentikan atau ditindaklanjuti.
Bila
penghentian dilakukan pada tahap penyidikan, maka akan bertentangan dengan Pasal 4 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidananya.
Dengan demikian suatu tindak pidana korupsi dihentikan pada tahap penyelidikan, adalah disamping menghemat anggaran negara, juga proses/waktu penyelesaiannya lebih mudah dan singkat/cepat, serta tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
Sedangkan
86 responden yang lain (23,89%) menyatakan penghentian dimaksud sangat tepat bila dilakukan pada tahap penyidikan, karena pada tahap penyidikan telah diketahui secara rinci berapa sebenarnya kerugian negaranya dan menjadi dasar pertimbangan penyidik yang akan menentukan apakah tepat dilakukan penghentian atau tidak, karena pada tahap penyidikan ini, penyidik telah memeriksa semua alat bukti (saksi, saksi ahli dan tersangka) dan barang bukti.
Penghentian
pada tahap penyidikan juga akan lebih memberikan kepastian hukum baik bagi penyidik maupun tersangka. Karena pada tahap penyidikan, tingkat kepastian seseorang melakukan suatu kejahatan sudah lebih dibandingkan pada tahap penyelidikan sehingga untuk salah sasaran lebih sedikit kemungkinannya dan biaya yang dikeluarkan oleh negara belum besar serta penghitungan kerugian negaraya sudah dilakukan dengan tepat dan benar.
D. Penerapan ”Out Of Court Settlement” Untuk Perkara Korupsi Yang Kerugian Keuangan Negaranya Kecil
70.00% 60.00%
Setuju
66.67%
50.00% 32.78%
40.00%
Tdk Setuju
30.00% 20.00% 0.55%
10.00% 0.00% Setuju
Tdk Setuju
Tdk Menjwb
Tdk Menjwb
Dari 360 responden, 240 responden (66,67%) setuju utk diterapkan penyelesaian di luar pengadilan ( out of court s ettlement) terhdp perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya kecil.
Hal
ini sejalan dengan asas Constante Yustitie, yaitu penerapan sistem peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan; terutama bila dihubungkan dengan biaya operasional penanganan perkara korupsi yang tercantum dalam DIPA (Kejaksaan dan Kepolisian) dan letak geografis wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang menempatkan Pengadilan Negeri Tipikor berada jauh dari wilayah dimana perkara korupsi terjadi. Jadi ada efisiensi biaya penanganan perkara, krn disamping biaya yg dikeluarkan lebih hemat shg dpt bermanfaat bagi masyarakat, jg dpt lebih difocuskan utk penanganan perkara tipikor yg berskala besar/berkelanjutan .
Merupakan alternatif penyelesaian tipikor yg berkepastian hukum dalam penyelamatan asset negara.
Dari 360 responden, 118 responden (32,78%) tidak setuju terhadap penerapan penyelesaian di luar pengadilan, mengingat penyelesaian di luar pengadilan tidak dikenal dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan didasari tolok ukur kerugian keuangan negara kategori kecil. Perbuatan melawan hukum harus dipertanggungjawabkan di depan hukum karena akan menimbulkan efek jera sesuai dengan tujuan pemidanaan retributive. Disamping itu sampai saat ini belum ada payung hukumnya.
E. Penghentian Perkara Korupsi Yang Kerugian Keuangan Negara Kecil Apakah Mencederai Rasa Keadilan Masyarakat 60.00% 50.00%
42.78%
Mencederai rasa keadilan masya
53.61%
40.00%
Tdk mencederai rasa keadilan masy
30.00%
Tdk Menjwb
20.00% 3.61%
10.00% 0.00% Mencederai rasa keadilan masya
Tdk mencederai rasa keadilan masy
Tdk Menjwb
Dari
360 responden, 193 responden (53,61%) menyatakan bahwa penyelesaian di luar pengadilan bisa diterapkan karena dianggap tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Pertimbangannya adalah bahwa perkara korupsi tidak langsung bersentuhan dengan kondisi perorangan, artinya secara langsung tidak ada yang tersakiti.
Hal
itu berbeda dengan perkara tindak pidana umum yang langsung bersentuhan dengan perorangan. Dengan demikian penanganan perkara korupsi berada dalam lingkup kepentingan kebijakan pemerintah, karena sekalipun pelaku korupsi tidak dipidana penjara, namun pelaku harus mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan mereka.
F. Persyaratan Lain Untuk Penghentian Perkara Korupsi Dengan Kerugian Keuangan Negaranya Kecil 70.00%
60.55%
60.00%
Perlu
50.00%
35.28% Tdk Perlu
40.00% 30.00%
Tdk Menjwb
20.00%
4.17%
10.00% 0.00% Perlu
Tdk Perlu
Tdk Menjwb
60, 55% responden menambahkan persyaratan lain disamping persyaratan yang telah ditetapkan dalam SE Jampidsus Nomor: B-1113/F/F.d/05/2010 tanggal 18 Mei 2010
Harus ada kesepakatan para pihak yakni korban, pelaku dan penegak hukum untuk menghentikan perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya kecil;
Harus ada pernyataan yang ditandatangani di atas meterai bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, bila tidak dilakukan maka akan diproses secara pidana;
Harus terlampir tanda bukti pengembalian kerugian keuangan negara pada kas negara dan dipublikasikan melalui media nasional, dengan tujuan untuk menerapkan budaya malu;
Kepada
pelaku disamping mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsinya, juga diwajibkan untuk membayar denda dua kali lipat dari besaran nilai kerugian keuangan negara yang telah dikorupsinya;
Kepada
pelaku dikenakan wajib lapor ke Kejaksaan Negeri setiap bulan selama satu tahun dan atau melakukan aktifitas yang bersifat sosial yang ditetapkan Pengadilan Negeri atas usulan dari Kejaksaan Negeri.
Surat Edaran Jampidsus No.B-1113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010, belum tersosialisasikan secara menyeluruh di daerah terutama dikalangan ekternal kejaksaan.
Belum
ada keseragaman atau tolok ukur tentang batasan nilai kerugian keuangan negara yang kecil, sehingga selama ini penentuannya tergantung pada intrepretasi Kajati/Kajari setempat.
G. Kendala/ Hambatan
Kesulitan
penyidik untuk menentukan perbuatan melawan hukum yang terjadi karena penghitungan keuangan negara tidak dilaksanakan oleh BPKP
Biaya
penanganan perkara yang besar, khususnya didaerah yang secara geografis ditempuh dengan sarana transportasi udara (biaya operasional dalam DIPA tidak dapat mengcover seluruhnya, dengan demikian tidak dapat menerapkan asas cepat, sederhana dan biaya murah).
KESIMPULAN
1. Batas nilai kerugian keuangan negara yg dikategorikan kecil menurut sebagian besar responden adalah berkisar dari Rp.50 juta sampai dgn 300 juta. Dalam arti secara otomatis sepanjang ada Tipikor yg kerugiannya dibawah 50 juta tdk akan ditindaklanjuti oleh penegak hukum sepanjang sudah ada pengembalian nilai kerugian keuangan negara oleh pelaku dgn pengecualian utk kasus-kasus yang menyangkut hajat hidup masyarakat seperti misalnya dana Bos dan beras Raskin, perkara tetap dilanjutkan. Sedangkan utk kerugian keuangan negara di atas Rp 50 juta sampai dgn Rp 300 juta tdk otomatis dpt dihentikan karena tetap harus dilakukan secara hati-hati, seksama dan cermat dgn memperhatikan kearifan lokal daerah dimana terjadinya kasus korupsi (locus delicti).
2. Sepanjang tdk bertentangan dgn rasa keadilan dan asas kemanfaatan dalam masyarakat serta peraturan perundang-undangan yg berlaku, maka penerapan penyelesaian di luar pengadilan ( out of court s ettlement) thd perkara korupsi yg nilai kerugian keuangan negaranya kecil, menurut sebagian besar responden (240/66,67%) sdh selaras/ sesuai dgn kebijakan/ policy SE Jampidsus No: B-1113/F/Fd.1/05/2010 dan merupakan salah satu alternatif penyelesaian yg perlu dipertimbangkan krn disamping terciptanya kepastian hukum bg para pencari keadilan, jg memberikan alternatif dlm upaya mengembalikan/ menyelamatkan aset negara ( as s et recovery ). Jadi penyelamatan keuangan negara melalui penerapan penyelesaian di luar pengadilan merupakan tujuan ditetapkannya SE Jampidsus No: B-1113/F/Fd.1/10/2010, yg tdk bertentangan dgn keadilan restorative (res torative jus tice) .
Kerugian keuangan negara hasil korupsi yg bisa diselamatkan melalui penyelesaian di luar pengadilan dgn berpedoman kpd SE Jampidsus No: B-1113/F/Fd.1/10/2010 adalah merupakan salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yg berlaku pd Kejaksaan R.I.
SARAN
1. a. Sebaiknya KPK, Kejaksaan dan Kepolisian melalui pemerintah mengajukan revisi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang batasan nilai kerugian keuangan negara yang masuk kategori kecil, dan penghentian perkara korupsi sepanjang kerugian keuangan negaranya kecil dan sudah dikembalikan oleh pelaku, dengan tetap mencerminkan rasa keadilan masyarakat, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat dan negara (Mengingat Surat Edaran jampidsus Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 hanya berlaku untuk internal Kejaksaan saja maka perlu payung hukum dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain yang dapat menjadi dasar diterapkannya penyelesaian perkara korupsi di luar pengadilan).
b. Perlu sosialisasi dan kesepahaman antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian agar selaras dan sejalan terhadap penanganan perkara korupsi yang kerugian keuangan negaranya kecil dan sudah dikembalikan.
2. Dalam menerapkan penyelesaian di luar pengadilan ( out of court s ettlement ) terhadap perkara korupsi yang kerugian keuangan negaranya kecil harus benar-benar diperhatikan dalam berbagai aspek, yakni aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, serta dilihat dari segi subyektifitas tersangka apakah yang bersangkutan sudah pernah terlibat kasus korupsi atau belum. Penegakan hukum lebih menitikberatkan pada asas kemanfaatan sesuai dengan teori res torative jus tice . Dimungkinkan untuk penyelesaian perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negaranya kecil melalui penyelesaian di luar pengadilan ( out of court s ettlement ) asalkan minimal ada pendapat hukum dari dua orang akademis/pakar hukum pidana yang melihat kasus tersebut secara obyektif layak untuk dihentikan (dilakukan kajian dalam perspektif ilmu hukum).
REKOMENDASI
1.
Perlu dibuat Surat Edaran Jaksa Agung pengganti SE Jampidsus No: B-1113/F/Fd.1/05/2010 tgl 18 Mei 2010 sbg payung hukum bagi para jaksa di daerah , dgn menambahkan redaksi: Nominal kerugian keuangan negara yang kecil (Rp 50 juta sampai dengan Rp 300 juta). persyaratan tambahan untuk dapat dilakukan penghentian perkara korupsi yang kerugian keuangan negaranya kecil, yaitu: a). “mewajibkan kpd pelaku utk membayar kerug ian keuang an negara yang telah dikorupsinya dua kali lipat”. Tujuannya adalah disamping untuk menyelamatkan keuangan negara, juga untuk memberikan efek jera.
b)“membuat pernyataan yang ditandatang ani di atas meterai bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya”. c) “Pelaku dikenakan wajib lapor ke Kejaksaan Negeri setiap bulan selama satu tahun”(seperti yang berlaku pada
perkara tindak pidana umum).
2. Perlu diterbitkan tata cara/mekanisme atau SOP penyelesaian perkara korupsi di luar pengadilan ( out of court s ettelement ) yang kerugian keuangan negaranya kecil.