PENGARUH KEKUATAN PERSAINGAN TERHADAP BISNIS INTERNASIONAL
RESUME MATERI UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Bisnis Internasional Yang dibina oleh bapak Drs. Djoko Dwi Kusumojanto, Msi
Oleh : Lailatul Qudsiah 150413601160 Mochammad Febri Andrian 150413604270 Weny Ferinda Setyadi 140413601934
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN November 2017
Negara-negara maju merupakan lebih dari 60% perdagangan internasional dunia dan hampir 90% dari investasi asing secara langsung. Untuk bersaing di pasar dunia, sebuah perusahaan internasional harus ada paling tidak di dua dari tiga serangkaian atau lebih baik di semua tiga serangkai tersebut yang terdiri dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Tiga serangkai tersebut mencakup hampir seluruh negara maju di dunia, yang bukan hanya merupakan pasar yang jauh lebih besar (sekitar 80% dari produk domestik bruto dunia). Persaingan antara Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang kawasan ini mencakup mayoritas Produk Nasional Bruto (PNB) dan perdagangan yang sangat besar. Oleh karena itu, negara-negara tersebut akan mewakili fokus utama dalam bab ini.
1. Persaingan di Tingkat Makro
Negara-negara tentu saja tidak saling bersaing satu sama lain, tetapi perusahaan dari negara-negara tersebutlah yang bersaing. Namun, karena kebanyakan kondisi ekonomi dan sosial maupun tindakan politik memengaruhi kemampuan dari seluruh perusahaan di negara tersebut untuk bersaing di pasar dunia, maka akan dibahas mengenai daya saing nasional (nation competitiveness) kemampuan dari produsen suatu negara untuk bersaing dengan berhasil di pasar dunia dan dengan impor di pasar domestiknya sendiri. A. Amerika Serikat
Setelah Perang Dunia II, infrastruktur ekonomi kuat yang dikembangkan oleh usaha peperangan, ekspansi domestik berikutnya, serta usaha pemulihan internasional menimbulkan kemakmuran dan daya saing yang berkelanjutan bagi perusahaan AS pada tahun 1950-an dan 1960-an. Bagaimanapun, rasa puas di antara para manajer Amerika bersama-sama dengan pembangunan ekonomi di negara-negara lain menimbulkan kemunduran yang substansial dalam daya saling relatif AS di perekonomian dunia. -
Menurunnya Daya Saing pada Tahun 1970-an dan 1980-an Pada tahun 1970-an, kemunduran dalam daya saing nasional mulai tampak ketika impor memperoleh bagian yang lebih besar dari pasar domestik AS. Meskipun demikian, tingkat kemunduran daya saing Amerika tidak terlihat sepenuhnya. Pertumbuhan pangsa pasar ekspor dicapai oleh perusahaan-
perusahaan Amerika karena dolar AS yang nilainya relatif turun dibandingkan dengan mata uang utama lainnya pada tingkat rata-rata tahunan sebesar 2,5%. Sepanjang tahun-tahun penuh tantangan antara tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan Amerika mengalami persaingan yang semakin ketat di dalam negerinya. Perusahaan-perusahaan Eropa dan Jepang membeli perusahaan-perusahaan AS karena nilai dolar yang murah membuat harga dari perusahaan-perusahaan itu menjadi tidak mahal dalam mata uang negara-negara itu. Ketika nilai dolar jatuh lagi pada akhir tahun 1980-an, perusahaan perusahaan asing yang masih memasok pasar ini dengan barang ekspor mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produk domestik dalam hal harga, sehingga akhirnya perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan hal tersebut juga melakukan produksi di AS. Perusahaan yang tidak melakukan hal tersebut mengalami kehilangan penjualan atau, jika melakukan pemotongan harga untuk tetap kompetitif, melihat labanya dari AS menurun. Walaupun nilai dolar yang terlalu tinggi merupakan salah satu alasan utama dari kemunduran daya saing Amerika pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, hal ini bukanlah alasan satu-satunya. Sejumlah faktor nonharga, seperti mutu, waktu pengantaran, layanan purna jual, keandalan pasokan, serta hambatan perdagangan terhadap ekspor AS, juga berpengaruh. Pada tahun 1991, Council on Competitiveness (COC) yang berkedudukan di Washington menerbitkan suatu studi yang menguji daya saing AS. -
Meningkatkan Daya Saing AS Mulai pertengahan tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 1990-an, AS memfokuskan usahanya pada peningkatan situasi keuangan (misalnya, membahas
masalah
industri
simpan
pinjam,
pengurangan
defisit
anggaran), perampingan peraturan, pembukaan pasar-pasar global, dan peningkatan kualitas, pengurangan biaya, investasi dalam teknologi teknolog i informasi dan komputer, serta pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk memasarkan suatu produk.
Peningkatan daya saing Amerika pada awal tahun 1990-an diikuti dengan peningkatan lebih lanjut. Produktivitas manufaktur AS dari tahun 1979 sampai tahun 1990 berada di bawah banyak pesaingnya yang adalah negara-negara
maju
terkemuka,
dan
produktivitas
ini
mengalami
kemunduran yang cukup subsatansial pada akhir tahun 1990-an. Namun, pada akhir tahun 1990-an, AS meningkatkan posisi relatifnya dengan mencapai tingkat pertumbuhan produktivitas rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan pesaing utamanya selama periode tahun 1995-2000. -
Memeringkat Daya Saing Amerika Selain studi yang dilakukan oleh COC, terdapat indikasi-indikasi lainnya bahwa
AS
sedang
memperoleh
kembali
daya
saingnya
secara
internasional. International Institute for Management Development (IMD), dalam
World
Competitive
Yearbook yang
terbit
setahun
sekali,
memeringkat 30 anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan 19 negara industri dan ekonomi pasar yang
baru. Peringkat Peringk at tersebut tersebu t didasarkan d idasarkan pada lebih le bih dari dar i 300 kriteria daya saing sain g di 4 bidang utama, yaitu kinerja ekonomi (74 kriteria), efisiensi pemerintahan (84 kriteria), efisiensi bisnis (66 kriteria), dan infrastruktur (90 kriteria). AS secara konsisten berada di peringkat pertama sepanjang periode 1994-2002. Sampai tahun 2002, Singapura tetap berada di peringkat kedua, tetapi tet api negara itu turun ke k e peringkat lima pada pad a tahun 2002. Peringkat dari negara-negara lainnya bervariasi dari tahun ke tahun. Perubahan yang paling signifikan dalam hal penurunan peringkat daya saing adalah Jepang, yang telah tersingkir dari peringkat ketiga pada tahun 1994 menjadi peringkat ke-30 pada tahun 2002. Penentuan peringkat daya saing internasional lainnya adalah Global Competitiveness Report (GCR), yang diterbitkan oleh World Economic Forum. Forum. Penentuan peringkat GCR didasarkan pada “kemampuan suatu
negara untuk mecapai tingkat pertumbuhan tinggi yang berkesinambungan dalam PDB per kapita. Pada tahun 2002 Finlandia berada di urutan pertama, mengungguli AS selama dua tahun tah un berturut-turut. berturut-turu t. -
Tantangan yang Berlanjut terhadap Daya Saing AS
Bagian yang tidak seimbang dari pertumbuhan ekonomi dan ekspor Amerika pada tahun 1990-an dihasilkan oleh relatif sejumlah kecil industri, terutama yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). ICT meliputi beragam sektor yang berkaitan dengan teknologi digital, seperti komputer peranti keras dan perangkat lunak, sistem telekomunikasi kabel dan nirkabel, serta internet. Bukti-bukti pendahuluan menunjukkan bahwa ICT merupakan 75 persen dari peningkatan pertumbuhan produktivitas selama paruh kedua tahun 1990-an di AS. Sebagian analis telah menandai munculnya perkembangan ekonomi yang didorong oleh ICT pada akhir tahun 1990-an sebagai sesuatu yang setara dengan revolusi industri sebelumnya, seperti munculnya mesin tenaga uap atau lini perakitan. Walaupun kinerja ekonomi AS tampak begitu mengesankan, terutama selama paruh kedua tahun 1990-an ketika AS mengalami pertumbuhan mantap yang terkait dengan ekspansi ekonomi selama masa damai yang terpanjang dalam sejarahnya, pernyataan bahwa perubahan yang didorong ICT menandai munculnya suatu “ekonomi baru” mungkin adalah terlalu optimistis.
Meskipun terdapat peningkatan dalam daya saing selama tahun 1990-an, AS menghadapi tantangan terhadap usahanya untuk mempertahankan daya saing internasional. Bagian ini mengidentifikasikan beberapa tantangan kunci terhadap daya saing yang berkelanjutan dari industri AS dan terhadap peningkatan ekspor Amerika, serta beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah, bisnis, dan tenaga kerja untuk meningkatkan daya saing AS. a) Kapabilitas Inovatif dan Investasi dalam Penelitian dan Pengembangan Inovasi teknologi memainkan peranan sentral dan diakui dalam peningkatan produktivitas, produktivita s, pertumbuhan per tumbuhan ekonomi jangka panjang, dan peningkatan standar hidup suatu negara. Menurut sejarah, terdapat pemahaman umum bahwa negara-negara negara-nega ra industri merupakan sumber inovasi sementara negara yang kurang maju menyediakan bahan baku serta tenaga kerja maupun sistem manufaktur yang berbiaya rendah.
Economic Creativity Index dari World Economic Forum pada tahun
2000
memeringkat
AS
sebagai
negara
terdepan
baik
secara
keseluruhan maupun untuk setiap dimensi yang menyusun indeks ini, yaitu kreativitas, teknologi, dan pendirian. Investasi di AS dalam dasar-dasar yang fundamental dari kapasitas inovasi mencapai puncaknya pada tahun 1985. Sejak tahun 1985, AS telah mengalami penurunan dalam laju pertumbuhan dari pendanaan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) serta ketenagakerjaan, pengeluaran biaya pendidikan yang tetap atau menurun sebagai persentase produk pengeluaran biaya pendidikan yang tetap atau menurun sebagai persentase produk domestik bruto (PDB), dan penurunan dalam keterbukaan
internasional
secara
relatif,
dan
lingkungan
yang
mendasari bagi inovasi teknologi di AS menjadi relatif kurang mendukung. Sebagian besar dari kepemimpinan AS yang berkesinambungan dalam bidang penelitian dan pengembangan dapat ditelusuri ke infrastruktur inovasi yang didukung oleh pemerintah, yang muncul dengan sangat kuat selama perang dingin. Internet adalah hasil dari usaha yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan untuk mengembangkan sistem komunikasi terdesentralisasi bagi para agen pemerintah dan peneliti universitas yang dapat tetap beroperasi meskipun mendapatkan serangan besar dari Uni Soviet. Sebagai persentase dari PDB, pengeluaran secara keseluruhan untuk R&D di AS lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya dan berjumlah lebih dari dua kali lipat jumalah yang dikeluarkan oleh negara pesaingnya yang terdekat, yaitu Jepang. Walaupun AS memimpin semua negara dalam hal pengeluaran untuk R&D sebagai persentase dari kekayaan negara adalah lebih rendah pada akhir tahun 1990-an dibandingkan dengan pada awal tahun 1980-an b) Kekurangan Tenaga Kerja Berpengetahuan Meningkatnya persaingan global telah menciptakan premium yang semakin meningkat bagi para pekerja terampil, terutama dalam
aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknis. Namun, proporsi pekerja R&D dari total tenaga kerja AS telah menurun sejak akhir tahun 1980-an. Semakin pentingnya teknologi informasi dan munculnya ekonomi yang didominasi oleh sektor jasa telah menciptakan permintaan akan tenaga kerja berpengatuhan yang tidak terpenuhi dan membuat pengetahuan akan koomputer menjadi suatu kebutuhan dasar bahkan untuk banyak posisi di tingkat karyawan baru. Dalam industri, para manajer telah menemukan bahwa investasi di bidang pendidikan dan pelatihan akan terbayar dengan produktivitas yang lebih tinggi dan kenaikan gaji yang bersifat noninflasi. Suatu studi yang dilakukan oleh peneliti Sandra Black dan Lisa Lynch menemukan bahwa meningkatnya tingkat pendidikan dari pekerja di suatu pabrik selama satu tahun menaikkan produktivitas tenaga kerja sebesar 8 persen. Dalam hal pendidikan, pengeluaran AS melebihi smua negara industri lainnya dan memimpin dunia dalam persentase jumlah siswa lulusan universitas. Meskipun demikian, nilai ujian siswa tingkat menengah telah gagal untuk membuktikan adanya peningkatan yang substansial sejak tahun 1985 dan nilai tersebut adalah lebih buruk jika dibandingkan dengan nilai siswa di banyak negara pesaing lainnya. Jumlah pendaftaran baru ke perguruan tinggi di bidang teknik dan ilmu fisika bersifat statis atau bahkan menurun. Kecenderungan
ini
menunjukkan
adanya
ancaman
terhadap
kemampuan AS untuk mempertahankan perannya sebagai pemimpin global dalam inovasi, dengan implikasi yang berpotensi merusak kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan negara itu sejalan dengan berlalunya waktu. Untuk menghadapi tantangan ini, AS harus memprakarsai perubahan dan investasi yang signifikan dalam pendidikan dasar dan menengah, serta melakukan usaha-usaha usaha-usah a yang disepakati bersama guna membangun kembali pendidikan universitas untuk disiplin teknik pada tingkat sarjana dan pascasarjana. c) Lingkungan Pengaturan yang Lebih Kondusif
Adalah sektor swasta, dan bukannya pemerintah atau universitas, yang merupakan penggerak utama bagi transformasi pengetahuan dan gagasan-gagasan baru menjadi teknologi, produk, dan jasa yang menghasilkan kekayaan. Namun, kebijakan pemerintah dan institusi seperti universitas dapat menciptakan suatu lingkungan yang dapat meningkatkan, atau menghambat, kemampuan inovasi peusahaan. Masyarakat Amerika Serikat dan negara-negara OECD lainnya semakin menyadari apa yang diklaim oleh manajer-manajer industri selama
bertahun-tahun:
memperbaiki
kondisi
yang
membentuk
lingkungan bisnis adalah suatu kebutuhan kunci untuk menciptakan daya aing industri. Suatu aspek yang signifikan dari lingkungan ini adalah penciptaan kerangka ekonomi makro yang lebih kondusif oleh pemerintah pusat. Upaya-upaya pembukaan pasar. Inisiatif kunci lainnya yang diambil oleh pemerintah AS adalah memperbarui aktivitas kepemimpinan historisnya dalam hal pembukaan pasar baik domestik maupun di seluruh dunia. Dalam hal ini, tindakan yang telah diambil oleh pemerintah AS adalah mengancam akan melakukan tindakan balasan jika
pemerintah
negara
lain
gagal
menghapuskan
hambatan
perdagangan terhadap ekspor Amerika. Selain Jepang, AS telah memusatkan perhatiannya pada pembukaan pasar di negara-negara lain, terutama Cina. Meskipun telah dicapai beberapa kemajuan, usaha ini harus dipertahankan dan mungkin diperluas untuk memungkinkan perusahaan Amerika bersaing secara efektif dan membantu mengatasi defisit perdagangan yang sangat tinggi yang pernah dihasilkan oleh AS sejak akhir tahun 1990-an dan terus berlanjut sampai pada awal tahun 2000-an. Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual. Pemerintah AS juga telah menggunakan men ggunakan ancaman tindakan balasan balas an untuk meingkatkan perlindungan terhadap t erhadap hak atas kekayaan intelktual i ntelktual dan menghapuskan hambatan lainnya terhadap ekspor Amerika di pasar internasional,
terutama di Asia- yaitu persaingan dengan tiruan ilegal produk-produk AS. Penetapan Target Industri. Pemerintah juga dapat berbuat lebih untuk mendukung
perusahaan-perusahaan
Amerika
yang
menghadapi
persaingan dari industri-industri industri-indu stri yang ditargetkan. Penetapan target industri, yaitu praktik dimana pemerintah membantu industri-industri tertentu untuk tumbuh melalui di berbagai cara, merupakan hal yang lazim dilakukan di Eropa dan Jepang, maupun di banyak negara berkembang lainnya.
B. Uni Eropa
Ketika Economic Community – EEC [Masyarakat Ekonomi Eropa] pertama kali dibentuk pada akhir tahun 1950-an, diciptakanlah suatu pasar yang terdiri atas 6 pasar yang sudah ada. Pasar yang lebih besar itu tidak hanya menarik pesaing baru dari luar Eropa, tetapi juga memberikan akses yang mudah kepada perusahaan-perusahaan perusahaan-perusah aan yang selama ini hanya menjual ke satu negara anggota menjadi ke lima negara lainnya. Persaingan semakin ketat dengan diterimanya Denmark, Irlandia, dan Inggris pada tahun 1973 dan semakin meningkat dengan masuknya Yunani pada tahun 1981 serta Spanyol dan Portugal pada tahun 1986. Para produsen produk-produk industri, namun bukan produk pertanian, dihadapkan pada persaingan dari negara-negara anggota EFTA [ Kawasan Perdagangan Bebas Eropa] ketika EEZ [ Zona Ekonomi Eropa] dibentuk pada tahun 1984. Pada bulan Oktober 1991, suatu perjanjian baru antara kedua kelompok tersebut tercapai, di mana perjanjian itu mengubah Zona Ekonomi Eropa menjadi Kawasan Ekonomi Eropa. Dengan masuknya bekas anggotaanggota EFTA, yaitu Austria, Swedia, dan Finlandia ke Uni Eropa pada tanggal 1 Januari 1995, hanya tiga anggota EEA, yaitu Norwegia, Eslandia, dan Liechtenstein yang tidak menjadi bagian dari Uni Eropa. Pada bulan Mei 2004 Uni Eropa yang beranggotakan 15 negara ituakan menambahkan 10 anggota lagi. Proses perluasan Uni Eropa ini diperkirakan pada akhirnya akan menggabungkan 28 negara atau lebih ke dalam kawasan dagang “Eropa yang lebih besar”, dengan
populasi lebih dari 555 juta. Perkembangan semacam ini dapat menciptakan
peluang-peluang baru yang penting bagi dunia usaha, serta menciptakan tantangan-tantangan persaingan baru.
-
Daya saing Eropa Adalah sulit untuk membandingkan daya saing suatu negara dengan daya saing 15 negara, bahkan ketika kelima belas negara tersebut merupakan pasar bersama. Tetapi, terdapat beberapa indikasi bahwa daya saing Uni Eropa secara keseluruhan telah menurun relatif terhadap AS meskipun terdapat fakta bahwa beberapa negara anggota telah meningkatkan posisi daya saing internasionalnya pada tahun-tahun belakangan ini.
Selama tahun 1990-an, tingkat pertumbuhan dari volume ekspor Uni Eropa tertinggal dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan yang dicapai oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Amerika Utara.
Impor Uni Eropa juga tumbuh dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan kebanyakan negara lain di dunia selama dasawarsa ini.
Pada tahun 2001, Uni Eropa mengalahkan sebagian besar negara di dunia dalam hal pertumbuhan ekspor maupun impor, tetapi hasil ini tampaknya sebagian besar diakibatkan oleh perlambatan ekonomi yang tertunda di Uni Eropa relatif terhadap kawasan lainnya. Uni Eropa memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dalam PDB riil dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan AS setiap tahunnya dari tahun 1992 sampai tahun 2000. Meskipun terdapat pertumbuhan ekonomi yang kuat pada tahun1999 dan 2000, manffat anggaran tidak digunakan untuk menghasilkan anggaran yang seimbang atau surplus untuk jangka menengah. Malahan, neraca yang disesuaikan secara siklis menunjukkan situasi yang lebih buruk selama beberapa tahun terakhir, yang semakin diperparah dengan adanya pemotongan pajak di beberapa beb erapa negara anggota.
Indikasi OECD untuk rasio cakupan perdagangan ekspor/impor bagi semua
tingkatan
industri
mengungkapkan
bahwa
perusahaan-
perusahaan Eropa tampaknya melakukan spesialisasi pada produk produk berteknologi b erteknologi rendah untuk ekspor, ek spor, yang kemudian diikuti oleh
produk-produk
berteknologi
menengah
lalu
produk-produk
berteknologi tinggi.
Pengeluaran Eropa untuk R&D sebagai presentase dari PDB secara konsisten lebih rendah dibandingkan dengan Jepang dan AS. Selain itu, pembelanjaan pemerintah untuk R&D sedang menurun di negaranegara utama Eropa sejak awal tahun 1980.
Karena adopsi teknologi telah bergerak dengan lebih lambat di Eropa dibandingkan dengan di AS atau Jepang, Eropa menjadi semakin tertinggal.
Kurangnya fleksibilitas sering kali dikemukakan sebagai alasan utama mengapa Uni Eropa telah tertinggal dari AS dalam beberapa penerapan ICT
-
Berbagai Hambatan terhadap Daya Saing Eropa a)
Biaya Tenaga Kerja dan Produktivitas Biaya tenaga kerja adalah faktor utama yang mempengaruhi daya saing Eropa. Upah, gaji, dan tunjangan di 11 negara Eropa adalah lebih tinggi dibandingkan dengan di Jepang. Keluhan umum yang biasa muncul di Eropa adalah bahwa para pekerja Eropa dibayar terlalu tinggi, terlalu dilindungi, serta memperoleh terlalu banyak hari libur dibandingkan di Jerman, AS, maupun Jepang. Biaya tenaga kerja yang tinggi di Uni Eropa diperparah oleh produktivitas yang tertinggal dibandingkan dengan produktivitas AS dan para pesaing lainnya. Menurut pendapat para analisis, para manajer Eropa membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mengadaptasikan operasi mereka terhadap persaingan jasa global yang ketat dan untuk menandingi peningkatan yang agresif dari para produsen kelas dunia. Konsultan manajemen, McKinsey & Co, merilis sebuah studi yang mengklaim bahwa beribu-ribu pekerjaan mungkin harus dihilangkan jika industri-industri industri-indus tri seperti industri otomotif, telekomunikasi, dan perbankan di Jerman J erman dan Prancis ingin seefisien seperti di Jepang Jep ang dan AS. Analisis atas enam industri menyiratkan bahwa peraturan
pemerintah di kedua k edua negara Eropa tersebut te rsebut menghalangi pertumbuhan p ertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pengangguran. Pengaturan pasar produk, keterlibatan dan kepemilikan publik yang luas dalam operasi bisnis, hambatan terhadap kewirausahaan, dan kebijakan tenaga kerja yang restriktif adalah sebagian dari faktorfaktor yang mungkin menyebabkan munculnya persepsi bahwa pilihan-pilihan investasi i nvestasi di Uni Eropa kurang menarik. menar ik. b) Pendidikan Banyak negara Eropa telah mencapai standar prestasi yang tinggi dalam sistem pendidikan dasar dan menengahnya, yang sering kali lebih unggul dibandingkan dengan AS. Tetapi, presentase populasi AS yang mengenyam pendidikan di universitas adalah lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa. Pendidikan universitas di Eropa juga cenderung lebih teoritis, lebih kaku, dan kurang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri yang berubah dibandingkan dengan As, dan hal ini dapat merugikan daya saing bisnis Eropa lebih lanjut. c) Posisi negara-negara anggota bertentangan Suatu faktor kendala dalam upaya meningkatkan daya saing keseluruhan dari Uni Eropa adalah berlanjutnya perselisihan di antara negara-negara anggota mengenai masalah-masalah kunci. Uni Eropa masih memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam hal kemakmuran ekonomi relatif antara negara-negara anggota, sehingga memperumit usaha untuk mencapai konsensus mengenai kebijakan moneter dan perpajakan, pembangunan ekonomi dan subsidi industri, perluasan Uni Eropa melalui penerimaan negara anggota baru, dan prakarsa-prakarsa lainnya. la innya. d) Bias budaya Satu alasan bagi ketertinggalan teknologi Eropa adalah penolakan untuk menggunakan alat-alat yang terlalu berbau “Amerika”. Manajer Eropa dari Intel mengamati bahwa CEO dari beberapa perusahaan komputer pribadi Eropa tidak memiliki komputer di kantor mereka. Di banyak perusahaan Eropa, yang menjadi tujuan adalah meningkatkan
jenjang karier k arier sampai ke posisi pos isi yang cukup cu kup tinggi tin ggi di mana Anda tidak harus menggunakan PC. Bias yang seperti ini dan bias-bias budaya lainnya dapat merintangi usaha Uni Eropa untuk meningkatkan daya saingnya di dunia yang semakin dipacu oleh pengetahuan. e) E-commerce International di Eropa Langkah-langkah besar telah dilakukan untuk meningkatkan daya saing Eropa dalam hal teknologi internet pada tahun-tahun belakangan ini. Di sektor perdagangan mobile yang sedang muncul, di mana bisnis dilakukan dengan alat-alat nirkabel seperti telepon mobile, Eropa telah mengambil posisi memimpin, terutama di negara-negara Nordik seperti Finlandia dan Swedia. Namun, kemajuan ini tidaklah terbagi rata di seluruh Eropa, dan banyak negara masih ketinggalan. Selain kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh beragamnya tingkat penetrasi internet, pengembangan E-business Uni Eropa terhambat oleh kurangnya budaya kewirausahaan dan pasar modal risiko yang belum berkembang.
-
Tanda-tanda Peningkatan dalam Daya Saing Eropa Meskipun
kinerjanya
relatif
tertinggal
dibandingkan
dengan
AS,
belakangan ini terdapat tanda-tanda adanya daya saing yang kuat dan sering kali meningkat di antara beberapa negara Eropa.
Dalam laporan Daya Saing Global, 4 dari 10 negara pada tahun 2002 berasal dari Uni Eropa atau EFTA, dibandingkan dengan hanya 3 negara dari 10 negara teratas pada tahun1996.
Demikian juga pada Papan Nilai Daya Saing Dunia tahun 2002, mendaftarkan 6 negara Eropa di antara 10 teratas.
Faktor pendorong lainnya berkaitan dengan daya saing Eropa adalah rendahnya tingkat korupsi yang dianggap ada di banyak negara Eropa. Hal ini dapat memengaruhi daya saing dalam bekerja dengan atau melawan perusahaan-perusahaan Eropa di Uni Eropa dan di negara lainnya.
Dalam hal daya saing di bidang inovasi, COC menemukan bahwa beberapa negara Eropa, terutama Denmark, Finlandia, dan Irlandia,
telah menciptakan kemajuan utama dalam kapasitas inovatifnya selama bertahun-tahun belakangan ini, sehingga memungkinkan untuk memperoleh posisi relatif terhadap AS dan Jepang. Pergeseran yang menguntungkan dalam kebijakan pengaturan serta peningkatan investasi dalam R&D dan pendidikan telah memosisikan negaranegara Skandinavia sebagai pusat inovasi terkemuka, terutama dalam hal telekomunikasi nirkabel, dalam hal mana negara-negara tersebut berada di antara para pemimpin pe mimpin dunia.
Satu langkah yang oleh banyak perusahaan Eropa, terutama perusahaan
internasional
yang
lebih
besar,
diambil
untuk
meningkatkan efisiensi produksinya adalah menutup pabrik yang lebih tua dan mengonsentrasikan produksinya pada fasilitas-fasilitas yang paling efisien.
Meskipun Uni Eropa mengalami kinerja ekonomi yang lebih rendah dan tingginya tingkat pengangguran secara berkelanjutan pada periode tahun
1991-1996,
kawasan
tersebut
mengaami
peningkatan
pertumbuhan ekonomi sejak se jak saat itu.
Pengembangan
suatu
kebijakan
moneter
tunggal,
termasuk
pengenalan euro pada tahun 1999, telah membantu menyediakan peningkatan stabilitas ekonomi makro di d i Uni Eropa, terutama teru tama melalui penghapusan risiko nilai tukar bagi arus keuangan antara sebagian besar negara Uni Eropa.
-
Persaingan dari Jepang Walaupun perekonomian Jepang telah menghadapi tantangan-tantangan ekonomi yang signifikan sejak tahun 1990, ekspansi internasional dari perusahaan-perusahaan perusahaan-peru sahaan multinasional Jepang telah berlanjut dan beberapa faktor industri Eropa telah merasakan dampak dari usaha ini. Kendaraan bermotor hanyalah han yalah merupakan satu segi ekspansi Jepang J epang ke Eropa. Erop a. Seperti di AS, impor Jepang hampir melenyapkan industri sepeda motor Eropa. Uni Eropa menjalani defisit perdagangan yang besar dalam produk elektronik. Kamera dan jam tangan Jepang adalah pemimpin pasar, dan setiap tabung TV warna kecil yang digunakan di Eropa dibuat oleh
perusahaan elektronik Jepang dengan fasilitas produksi lokal. Investasi yang ekstensif oleh produsen mobil Jepang, membantu perusahaan perusahaan tersebut untuk membuat kemajuan yang pesat dalam pangsa pasar. Perusahaan jasa Jepang juga telah berinvestasi di pasar-pasar Eropa dan bersaing dengan perusahaan lokal dalam bidang ritel, periklanan, hotel, distribusi, pariwisata, dan asuransi. Banyak perusahaan yang datang karena produsen Jepang sering kali lebih suka membawa penyedia jasanya sendiri daripada menggunakan penyedia jasa lokal. Kalangan produsen Eropa prihatin bahwa produsen Jepang akan membeli perusahaan distribusi lokal. Di Jepang, produsen elektronik besar melakukan hal ini untuk mengendalikan pemasaran dan penetapan harga. Distributor-distributor pembeli di Eropa mungkin membantu mereka dalam mempertahankan harga yang tinggi dan mempersulit para pesaing kecil dalam mendapatkan distribusi.
Eropa pada akhirnya akan
menghadapi situasi oligopoli, di mana harga-harga naik dan para pesaing Eropa yang lebih miskin semakin jauh dari pasar.
-
Persaingan dari AS Perusahaan-perusahaan
Eropa
menghadapi
persaingan
dari
ekspor
Amerika sebagaimana dengan ekspor Jepang. Tetapi, tidak seperti Jepang, banyak perusahaan AS telah lama memiliki fasilitas manufaktur yang berbasis di Eropa. Mobil-mobil General Motors dan Ford produksi Eropa bersaing di pasar otomotif; merek-merek seperti Heinz, Kodak, dan Coca Cola adalah nama-nama rumah tangga, Microsoft mendominasi pasar software komputer; sementara produsen komputer Dell dan HewlettPackard memimpin dalam hal pangsa pasar dan PC profesional. Mungkin karena ikatan politik dan budaya jangka panjang ditambah dengan fakta bahwa perusahaan multinasional Eropa bebas untuk melakukan investasi di AS dengan hambatan minimum, perusahaan-perusahaan Amerika pada umumnya diterima dengan baik di Eropa. Tetapi, pemerintah negara-negara Eropa berupaya untuk membantu perusahaan-perusahaan perusahaan-peru sahaan nasional bersaing dengan perusahaan-perusahaan perusahaan-p erusahaan
Amerika. Pemerintah negara-negara tersebut menolong Airbus dalam persaingannya melawan Boeing dan telah mengeluarkan miliaran dolar untuk program R&D guna mendukung industri Eropa.
-
Persaingan dari negara-negara Asia Perusahaan dari negara-negara Asia yang dahulunya menerima investasi dari perusahaan-perusahaan Eropa yang mengambil keuntungan dari biaya tenaga kerja yang lebih rendah sekarang melakukan investasi di Eropa. Investasi perusahaan-perusahaan tersebut pada pabrik-pabrik otomotif dan elektronika Eropa berjumlah miliaran dolar. Meskipun perusahaan dari negara-negara macan Asia memiliki fasilitas produksi di Eropa, para konglomerat industri Korea Selatan – chaebol - telah memimpin gerakan investasi Asia ke Eropa. Serupa dengan kasus Jepang, para chaebol mempunyai preferensi yang jelas untuk suatu negara. Pada tahun-tahun belakangan ini Inggris telah t elah menerima dua du a pertiga perti ga investasi inv estasi baru Korea di Eropa. Akan tetapi, huru-hara ekonomi Asia yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan hampir runtuhnya ekonomi Korea akibat beban utang luar negeri yang bermiliaran. Perkembangan ini telah turut ambil bagian dalam memperlambat serangan gencar dari Korea dan para pesaing asal Asia lainnya ke Eropa, tetapi situasi ini tampaknya hanya sementara saja karena perbaikan dalam situasi ekonomi yang dihadapi Korea dan perusahaanperusahaan perusahaannya perusahaann ya terus meningkat men ingkat dan d an memberikan fondasi bagi b agi usaha-usaha usaha -usaha pembaruan internasinalisasi. internasin alisasi.
-
Persaingan dari Negara Pasifik Sebuah perjanjian preferensial yang dikenal sebagai Cotonou Agreement, yang ditandatangani di Cotonou, Benin, pada bulan Juni2000, adalah suatu sumber persaingan dari negara-negara berkembang untuk sebagian produsen Eropa. Perjanjian Cotonou adalah kesepakatan perdagangan 20 tahun yang berkaitan dengan perdagangan, bantuan, dan pembangunan yang berkesinambungan antara Uni Eropa dan 77 negara Afrika, Karibia, dan Pasifik. Perjanjian ini mencerminkan kerangka keuangan dan politik terbesar di dunia dalam hal kerja sama Utara-Selatan.
Untuk menghadapi keprihatinan ini, perjanjian Cotonou menekankan pada suatu pendekatan kolaboratif guna membahas kemiskinan, meningkatkan pembangunan yang berkesinambungan berkesinambung an dan bekerja menuju integrasi negara-negara AKP dalam perekonomian global secara bertahap. Negaranegara AKP akan menerima manfaat perdagangan nonresiprokal atau bukan timbal balik, termasuk ekspor ke Uni Eropa secara tidak terbatas untuk 99 persen barang industri dan produk-produk lainnya.
-
Apakah Industri-industri Pengetahuan dan Informasi akan Mengubah Eropa? Terdapat beberapa usaha yang ditujukan untuk reformasi struktural dan peningkatan suatu perekonomian yang didasarkan pada pengetahuan, termasuk privatisasi, reformasi terhadap pasar tenaga kerja dan keuangan, serta adopsi atas teknologi-teknologi baru. Permintaan domestik adalah kuat, persaingan di Uni Eropa semakin intensif, harga-harga telah merosot, dan banyak negara sudah memulai usaha untuk mereformasi sistem perpajakan. Guna mencapai potensinya, kawasan tersebut harus mencoba untuk menghindari terulangnya kembali penurunan yang terus-menerus terjadi dalam nilai relatif euro, mengelola perbedaan dalam kebijakan dan pertumbuhan ekonomi antara negara-negara negara-negar a anggota, dan menghindari guncangan utama akibat peristiwa-peristiwa ekonomi makro seperti resesi di AS atau di tempat lainnya. Jika hal ini tercapai, Uni Eropa mungkin akan berada pada posisi yang mencapai peningkatan produktivitas, pertumbuhan noninflasi yang berkesinambungan dan kesempatan untuk mulai menutup kesenjangan dalam daya saingnya dengan AS.
C. Jepang
Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan antara tahun 1960 dan 1985, tetapi pada tahun 1980-an perekonomian Jepang telah melakukan ekspansi yang berlebihan dan modalnya tidak dialokasikan dengan benar. Suatu kecenderungan yang menurun secara berkelanjutan terjadi akibat runtuhnya ga saham, real estate, dan properti lainnya “perekonomian gelembung” dimana har ga turun secara drastis. Sebagai akibatnya, tahun 1990-an adalah periode yang sulit
bagi Jepang dengan rata-rata pertumbuhan tahunan dalam PDB rill kurang dari 1% dari tahun 1992 sampai tahun 2002 dan pertumbuhan diproyeksikan akan sama dengan nol sampai setidaknya tahun 2004. Tingginya tingkat utang perusahaan dan permintaan domestik yang yang stagnan mengakibatkan banyaknya jumlah perusahaan yang bangkrut. Pengangguran meningkat setiap tahunnyasejak tahun 1990-2002 meningkat dari 2,1% jumlah tenaga kerja menjadi 5,3%. Di masa lalu, perusahaan-perusahaan Jepang mampu mengekspor guna mengatasi perekonomian negaranya dengan relatif mudah, tetapi devaluasi besar besaran atas mata uang Asia Tenggara dan Korea Selatan pada tahun 1997 dan 1998 mengurangi ekspor otomotif, elektronik dan mesin-mesin Jepang sehingga surplus perdagangan Jepang dengan negara-negara tersebut turun tajam. Penurunan
dalam
syarat-syarat
perdagangan
telah
menyebabkan
banyak
perusahaan Jepang memindahkan investasinya ke luar negeri, terutama ke negara berbiaya rendah seperti Cina. -
Penurunan Peringkat Daya Saing Pengalaman pada tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an memiliki suatu dampak yang negatif pada peringkat daya saing Jepang. Faktor-faktor yang menjadi penyebab merosotnya daya saing Jepang selama dasawarsa yang lalu adalah sebagai berikut : a) Penurunan Produktivitas Perusahaan-perusahaan multinasional Jepang telah menerima banyak pujian untuk efisiensi operasionalnya. Sistem pendidikan p endidikan jepang telah menghasilkan siswa-siswi yang prestasinya hampir mendekati puncak dalam perbandingan tingkat dunia. Akan tetapi bisnis Jepang banyak mengalami penurunan pada tahun belakangan ini. Untuk penurunan produktivitas Jepang adalah keengganan pemberi kerja Jepang tradisional untuk memecat karyawan yang setia. Tenaga kerja Jepang merupakan tenaga kerja dengan mobilitas terendah diantara negaranegara ekonomi maju sebagai akibat dari praktik “pekerjaan seumur hidup” gaji berdasarkan senioritas, stigma sosial yang luas terhadap
kehilangan
pekerjaan
dan
portabilitas
pensiun
yang
terbatas.
Akibatnya, perputaran tenaga kerja di Jepang hanya sekitar separuh
dari tingkat perputaran di Jerman dan Prancis. Hal ini telah mengakibatkan terlalu banyaknya karyawan yang dipekerjakan dan menurunnya
perekrutan
menciptakan
tidak
atas
sepadannya
pekerja-pekerja keterampilan
muda yang
sehingga
ada
akibat
ketidakmampuan untuk merekrut pekerja baru dan muda dengan basis pengetahuan yang yan g baru. b) Penurunan Investasi dalam Penelitian dan Pengembangan Research and Development
Jepang merupakan negara terkemuka dalam hal tingkat inovasi di kancah internasional. Dan memang banyak perusahaan Jepang melakukan investasi yang sangat besar dalam R&D sepanjang tahun 1990-an dan awal 2000-an meskipun terdapat masalah ekonomi secara keseluruhan
di
Jepang,
dan
perusahaan-perusahaan
itu
telah
membangun posisi internasional yang kuat sebagai hasil dari tingkat inovasinya. c) Hambatan terhadap Inovasi dan Kewirausahaan Pembentukan bisnis baru memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi, eksploitasi gagasan-gagasan gagasan-gag asan baru untuk produk dan jasa yang inovatif, dan penggunaan tenaga kerja dan sumber daya lainnya secara efisien. Menurut standar internasional, Jepang mempunyai tingkat pembentukan bisnis baru yang rendah. Hal ini mencerminkan adanya hambatan yang substansial terhadap prakarsa kewirausahaan di Jepang. Biaya mendirikan fasilitas manufaktur baru di Jepang 5 sampai 10 kali lebih mahal dibandingkan di negara-negara seperti AS, Jerman, Perancis serta Inggris dan bahkan jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara industri baru (NIC) dan perekonomian industri baru (NIE) di Asia. Biaya yang lebih tinggi ini dapat mendorong para pelaku bisnis untuk memulai atau memperluas perusahaan di negara-negara lain, sehingga semakin merugikan usaha Jepang untuk mengurangi pengangguran dan mendorong aktivitas ekonomi. -
Keterbatasan Penetrasi Teknologi Komunikasi dan Informasi
Walaupun Jepang mewakili sumber penting untuk mengembangkan produl-produk teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology – ICT) dan merupakan pasar terkemukan
untuk banyak teknologi seluler yang canggih, masih banyak terdapat banyak ruang untuk peningkatan dalam peran ICT. Berdasarkan pada sebagian
besar
ukuran,
penggunaan
ICT
di
Jepang
melampaui
penggunaan ICT di kawasan Eropa secara keseluruhan. Penetrasi dan akses internet ke PC diantara konsumen, penggunaan internet di bidang pendidikan, dan penggunaan perdagangan elektronik di Jepang masih masih jauh di bawah AS dan negara-negara terkemuka lainnya. Walaupun biaya akses internet adalah serupa dengan di AS, biaya telekomunikasi yang tinggi di Jepang meningkatkan total biaya akses menjadi 200 sampai 300 persen dari biaya yang sama di AS. Dalam sektor bisnis, survei yang dilakukan oleh METI pada tahun 2001 menemukan bahwa investasi ICT di Jepang cenderung dipusatkan pada peningkatan efisiensi dari transaksi trans aksi da operasi yang sudah ada, dan bukan hanya berorientasi ke arah perubahan yang memiliki jangkauan yang lebih luas dalam struktur dan operasi perusahaan. Kenyamanan dan keakraban para eksekutif Jepang dengan internet dilaporkan berada pada tingkat 15%, dibandingkan dengan 64% untuk para eksekutif Amerika Serikat. -
Menurunnya Peran Investasi Asing Langsung Setelah liberalisasi pengendalian modal pada awal tahun 1980-an, Jepang muncul sebagai sumber investasi asing langsung foreign (foreign direct ). Pertumbuhan dalam FDI mencerminkan baik kuatnya investment ). pertumbuhan ekonomi di Jepang dan diluar negeri maupun pesatnya apresiasi yen, yang mendorong perusahaan-perusahaan Jepang untuk merelokasi produksinya ke luar negeri guna mempertahankandaya saing dalam hal biaya. Pada awalnya, sebagian besar dari modal tersebut diarahkan ke AS, terutama di sektor real estat, jasa, keuangan, dan asuransi. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan yang dramatis dalam tingkat investasi ke pasar Asia yang sedang muncul, dengan fokus pada sektor industri.
-
Regulasi dan Restrukturisasi Meskipun terdapat tekanan yang terus menerus untuk meningkatkan restrukturisasi dan deregulasi, namun kemajuan yang dicapai oleh Jepang pada tahun 1980-an dan d an awal tahun 1990-an relatif rel atif terbatas. Keiretsu terus ter us memiliki pengaruh yang kuat, sektor keuangan telah diisolasi dari daya saing internasional, tidak efisien, serta seiring kali praktik-praktik korupsi menandai banyak proyek pekerjaan umum. Dalam suatu kondisi budaya yang tidak mengizinkan terjadinya kegagalan perusahaan atau bank, masalah hanya ditutupi dan tidak dipecahkan, sehingga memperpanjang krisis
pasca-ekonomi
gelembung
dan
memungkinkan
timbulya
ketidakpercayaan yang kronis. Ditekan
oleh
pengakuan
yang
luas
bahwa
penyakit
ekonomi
berkepanjangan tidak akan hilang dengan sendirinya, pemerintah Jepang baru-baru ini mulai mempromosikan sejumlah perubahan institusional, upaya-upaya dilakukan untuk merestrukturisasi sektor bisnis. Untuk menghadapi kredit macet, suatu situasi yang diperparah dengan kemunduran yang tajam di bursa saham sehingga meningkatkan keprihatinan lebih lanjut mengenai kecukupan modal bank, sektor perbankan direstrukturisasi. direstrukturis asi. Perubahan-perubahan tersebut mencakup sejumlah merger dan penjualan bank yang sebelumnya bangkrut serta konsolidasi
diantara
konglomerat-konglomerat
perbankan
utama,
walaupun sektor ini terus diwarnai dengan pinjaman yang macet dan neraca yang lemah. - Keitersu Jepang Salah satu institusi Jepang adalah keiretsu, sekelompok perusahaan yang terkait secara keuangan dan cenderung melakukan bisnis antara sesamanya dibandingkan dengan perusahaan lain. Sistem keiretsu adalah suatu kekuatan penting dalam pemulihan Jepang setelah Perang Dunia II dan dianggap sebagai sumber kekuatan persaingan industri Jepang. Keiretsu berada di pusat suatu lingkaran pengaturan yang melibatkan pemerintah,
perbankan,
industri,
dan
masyarakat.
Pemerintah
memberitahukan kepada bank untuk menanam modal di perusahaan-
perusahaan
tertentu.
Perusahaan-perusahaan
terutama
yang
besar,
memberikan jaminan pekerjaan seumur hidup kepada karyawannya. Karyawan kemudian menabung sebagian besar dari pendapatan mereka, dan menyimpan di bank, yang kemudian menginvestasikannya kembali sebagaimana diperintahkan oleh pemerintah. Sebagai imbalan untuk menaati perintah pemerintah, perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan istimewa dalam hal pemberian p emberian izin perusahaan. perusahaan . -
Meningkatkan Daya Saing Jepang Sebagai respon terhadap daya saing dan tekanan-tekanan lainnya, porsi manufaktur dalam PDB Jepang secara keseluruhan turun dari 24,7% pada tahun 1991 menjadi 22,4% pada tahun 1999. Perusahaan-perusahaan Jepang telah mencoba untuk meningkatkan operasi manufakturnya melalui tindakan-tindakan seperti melakukan reorganisasi terhadap pabrik-pabrik domestik, memusatkan perhatian secara strategis pada produk-produk tertentu, melakukan spesialisasi dalam bidang-bidang yang memberikan nilai tambah yang tinggi seperti perancangan semikonduktor, teknologi
dan
informasi
meningkatkan untuk
efisiensi
meningkatkan
melalui
penggunaan
pengembangan
dan
produktivitas. -
Persaingan dari AS dan Eropa Perekonomian Jepang telah berada pada siklus yang berulang selama 25 tahun terakhir dimana pemerintah membiarkan yen jatuh terhadap dollar untuk mendorong ekspor sementara juga membatasi pertumbuhan domestik untuk mengurangi laju impor. Surplus perdagangan Jepang meningkat, kemudian AS menuntut agar pemerintah Jepang membiarkan yen naik terhadap dolar, mengurangi batasan terhadap impor AS, memberikan kebebasan yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan AS dalam
menjalankan
bisnisnya
di
Jepang
dan
merangsang
perekonomiannya untuk meningkatkan permintaan. Tanggapan Jepang adalah membuat beberapa konsesi atas impor AS, mengurangi beberapa pembatasan terhadap perusahaan-perusahaan perusahaan-p erusahaan AS yang yan g berbisnis b erbisnis di negeri Jepang, dan mendorong peningkatan nilai yen.
-
Persaingan dari Negara-negara Asia Banyak persaingan di Jepang dari negara-negara Asia merupakan akibat dari perusahaan Jepang yang memindahkan produksinya ke negara-negara tersebut pada pertengahan tahun 1990-an guna menghindari biaya buruh yang tinggi di dalam negeri dan meningkatkan atau memulihkan daya saing
internasionalnya.
Industri-industri
kunci,
seperti
produsen
elektronik dituduh melakukan hollowing out, yaitu menutup fasilitas produksi lokal mereka dan menjadi organisasi pemasaran pemas aran untuk produsenprodus en produsen lain yang pada umumnya berasal dari luar negeri. Perusahaan perusahaan yang terus melakukan produksinya produksin ya sendiri s endiri beralih ke negaranegara lain yang biaya produksinya lebih rendah. Strategi Jepang yang baru ini menciptakan men ciptakan kelompok-kelompok kelo mpok-kelompok regional yang mampu bersaing bers aing di tingkat dunia dan juga mengaitkan negara-negara Asia dengan perekonomian Jepang. Jepan g.
2. Negara-negara Negara-negara Berkembang dan Perekonomian Perekonomian Industri Baru (NIE)
Salah satu faktor yang menonjol dalam analisis dari kekuatan-kekuatan kompetitif ini adalah banyaknya produk yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan Asia yang bersaing ketat dengan output para produsen yang lebih tua dan lebih berpengalaman dari Eropa, AS, dan Jepang. J epang. - Krisis Ekonomi Menghantam Kawasan Asia Negara-negara industri in dustri baru (NIC), perekonomian industri baru (NIE), dan Cina telah berkembang dengan pesat selama dua dasawarsa terakhir. Selain itu, faktor utama yang mendorong pertumbuhan dari negara-negara ini adalah perdagangan internasional. Tetapi, pertumbuhan yang pesat pada tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an disertai dengan kelebihan kapasitas, tingginya tingkat utang, serta pesatnya inflasi dalam real estate dan nilai aktiva lainnya. Pada tahun 1997, suatu krisis keuangan di Thailand menyebar dengan cepatke negara-negara Asia lainnya, sehingga menyebabkan penurunan mata uang lokal sampai 80 persen terhadap dolar AS. Banyak dari negara-negara ini mengalami kemunduran yang serupa dalam harga sahamnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) datang membantu banyak negara yang terkena krisis, dengan memberikan komitmen sebesar lebih dari $110 miliar dalam pinjaman jangka pendek hanya kepada Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Untuk memperoleh pinjaman ini, negara-negara peminjam harus terlebih dahulu menyetujui sejumlah tindakan, termasuk deregulasi ekonomi, reformasi perbankan, dan kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang ketat. -
Pemulihan Adalah Lebih Cepat Daripada yang Diharapkan Terdapat tanda-tanda bahwa banyak perekonomian Asia yang mulai bangkit dari keterpurukan. Untuk pertama kalinya dalam banyak kasus, manajemen
dari
perusahaan-perusahaan
Asia
berkonsentrasi
pada
perolehan laba dan bukannya pada pemecahan rekor produksi dengan harga berapa pun. Pada tahun 1999, terlihat adanya pemulihan ekonomi yang substansial di kebanyakan negara Asia. Banyak dari negara-negara tersebut memilih untuk melakukan ekspor sebagai alat guna menghadapi permasalahan keuangannya. Strategi ini telah difasilitasi dengan meningkatnya perekonomian Amerika. Jatuhnya mata uang negara-negara negara-ne gara Asia menyebabkan barang-barang dari negara-negara tersebut menjadi lebih murah dibandingkan dengan sebelum krisis, sehingga memungkinkan negara-negara itu untuk mengirimkan sejumlah besar barang dagangan, terutama komputer dan barang-barang elektronik. - E-Commerce Memiliki Masa Depan yang Menjanjikan Meskipun NIE dan NIC Asia serta Cina sekarang ini tertinggal dari AS, Eropa, dan Jepang dalam hal akses internet dan E-commerce, kesenjangan itu diharapkan akan menyempit pada tahun-tahun mendatang. Jumlah pengguna
internet
di
kawasan
Asia
Pasifik
secara
keseluruhan
diproyeksikan akan meningkat dari 73 juta pada tahun 2000 menjadi 233 juta pada tahun 2005. Akan tetapi, tindakan pemerintah dapat menjadi penghalang di beberapa negara sebagai akibat dari sikap restriktif terhadap internet dan E-commerce. Sebagai contoh, pada tahun 2000, pemerintah pusat Cina memperkenalkan m emperkenalkan peraturan mengenai kepemilikan
portal
internet
asing,
dan
tindakan
tersebut
dapat
menghambat
pengembangan Web di negeri neger i itu. -
Pertanyaan yang Tersisa Mengenai Masa Depan Sejak pertengahan tahun 1997, tingkat utang luar negeri jangka pendek sudah semakin terkendali, meskipun jumlahnya masih setara dengan 20 persen dari total output kawasan tersebut, dan cadangan devisa telah tumbuh di kebanyakan negara Asia. Meskipun usaha-usaha pemerintah untuk menyediakan paket stimulus telah membantu untuk mempercepat tingkat pemulihan ekonomi, akibatnya beberapa negara kini mengalami defisit anggaran sekitar 5 sampai 6 persen dari PDB. Di beberapa negara, laju reformasi struktural lebih lambat dibandingkan dengan apa yang diantisipasi dan masih terlalu banyak bank dan perusahaan yang lemah dengan pinjaman yang bermasalah. Di banyak negara, tingkat output masih tetap berada di bawah tingkat sebelum krisis. Lambatnya pertumbuhan di AS, terutama di sektor berteknologi tinggi yang dipasok oleh perusahaan-perusahaan Asia, dan berlanjutnya berbagai kesulitan kesulita n ekonomi di Jepang J epang mungkin saja saj a membatasi efektivitas efektivit as dari strategi pembangunan ekonomi nasional tradisional yang berdasarkan pertumbuhan yang didorong didor ong oleh ekspor.
-
Cina, Sebuah Kasus bagi Negerinya Sendiri Cina adalah negara yang paling padat penduduknya, dengan lebih dari 1,3 miliar jiwa. Selama lebih dari 20 tahun yang lalu, Cina telah memiliki pertumbuhan yang kuat dan d an berkesinambungan, bahkan jika dibandingkan dibandi ngkan dengan NIC dan NIE Asia. Bagian Cina dalam PDB dunia naik dari 1,8 persen pada tahun 1990 menjadi 3,4 persen pada tahun 1999. Negara tersebut telah mencapai rata-rata pertumbuhan dalam ekspor barang dagangan sebesar 15
persen setiap tahunnya sejak tahun 1990, dan
kontribusinya terhadap ekspor dunia meningkat dari 1,8 persen pada tahun 1990 menjadi 4,0 persen pada tahun 2000. Cina memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi barang-barang yang padat karya, seperti msinsn, pakaian, dan tekstil. Selain itu, Cina juga telah mengalami pertumbuhan yang kuat dalam ekspor produk-
produk mekanik seperti sepeda motor, komputer, peralatan, dan suku cadang elektronik. Cina telah muncul sebagai basis manufaktur kunci bagi para produsen Amerika, Eropa, dan Jepang. Selain itu, perusahaan dan merek-merek
Cina
sudah
mulai
memusatkan
perhatiannya
pada
peningkatan mutu dan dengan agresif melakukan ekspansi ke luar negeri, n egeri, termasuk ke pasar Amerika Utara dan Asia. Kinerja Cina dalam perdagangan internasional dan sebagai tujuan dari arus investasi asing langsung yang besar telah membantu negara itu untuk lepas baik dari krisis ekonomi Asia tahun 1997 yang melanda kebanyakan negara tetangganya maupun dari kemunduran ekonomi yang terjadi kemudian sejak akhir tahun 2000. Pada tahun 2002 Cina berhasil diterima di WTO (World Trade Organization), tetapi keanggotaannya itu mengharuskan Cina untuk
menghapuskaan berbagai hambatan perdagangan berupa tarif dan nontarif, serta praktik-praktik lainnya yang selama ini melindungi banyak sektor bisnisnya, terutama yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah, dari para pesaing asing. Dalam jangka menengah sampai jangka panjang, keanggotaan Cina di WTO diperkirakan akan mendorong serangkaian reformasi ekonomi yang akan meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan Cina dan meningkatkan ekspor Cina. Kemungkinan besar Cina akan semakin bersaing dengan negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara dalam memperebutkan modal asing dan pasar ekspor.
3. Pemalsuan dan Pembajakan
Sejenis persaingan khusus yang dihadapi oleh konsumen dan perusahaan internasional yang tak waspada baik di negara maju maupun berkembang adalah pemalsuan. (counterfeiting ). ). Kamar dagang internasional memperkirakan bahwa 8% dari perdagangan dunia terdiri dari produk-produk palsu. Selain memproduksi tiruan dari barang-barang bermerek, jenis pemalsuan lainnya termasuk membuat tiruan yang sangat mirip dengan nama yang berbeda, tiruan yang agak berbeda, dan imitasi yang merupakan tiruan murah dan sangat
terlihat. Pembajakan ( piracy piracy) sejenis pemalsuan adalah peniruan kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan yang dilindungi oleh hak paten, hak cipta, dan merek dagang. Meskipun
terdapat
tekanan
dari
kelompok-kelompok
bisnis
dan
dikeluarkannya hukum-hukum baru di berbagai negara yang merupakan sumber utama dari barang-barang palsu, masalah pemalsuan dan pembajakan tampaknya terus berkembang. Business Software Alliance (Aliansi Perangkat Lunak Bisnis) melaporkan bahwa lebih dari 40% peranti lunak di seluruh dunia dibajak, dan kawasan yang tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi merupakan kawasan dengan tingkat pembajakan yang tertinggi. Pemalsuan sangat umum di negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Cina, Hong Kong, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Taiwan telah menjadi salah satu sumber utama dari produk-produk palsu. Federal Bureau of Investigation (FBI) menganggap pemalsuan dan bentuk pencurian kekayaan intelektual lainnya sebagai “kejahatan abad ke-21.”
-
Cina Pelanggar Terbesar Di seluruh dunia, Cina telah memperoleh status sebagai sumber terbesar dari barang-barang palsu di seluruh dunia. Cina memproduksi tiruan murah dari peranti lunak Microsoft yang mahal, kaleng Coca-Cola palsu, restoran hamburger McDonald’s gadungan, dan bahkan satu versi palsu
dari Jeep yang diproduksi oleh usaha patungan Chrysler di Cina. -
Produk-produk Palsu dapat Membahayakan Produk-produk yang mudah ditiru dengan markup yang tinggi, seperti barang-barang
mewah (Gucci, Vuitton, dan Cartier) telah lama
dipalsukan. Pemalsuan ini menyebabkan produsen resmi kehilangan penjualan, barang-barang barang-baran g palsu tersebut terkadang membawa tragedi trag edi bagi para pengguna ketika barang tersebut gagal berfungsi seperti barang aslinya. -
Spionase Industri Biasanya seorang pemalsu dapat meniru suatu desain yang sudah dipatenkan dengan cara rekayasa terbalik (reverse engineering ) yaitu menguraikan
barang
yang
sudah
jadi
sampai
komponen-
komponennya.tetapi bila hal itu tidak mungkin dilakukan, seorang peniru bisa memperoleh cetak biru atau informasi mengenai proses melalui spionase industri (industrial espionage ) yaitu memata-matai pesaing untuk mempelajari rahasia perdagangan dan produksinya. Selama bertahun-tahun perusahaan mencari informasi mengenai satu sama lain dengan cara mempekerjakan karyawan pesaing, berbicara dengan para pelanggan pesaing dan seterusnya. Dewasa ini, persaingan yang semakin ketat telah memotivasi perusahaan-perusahaan untuk menjadi semakin canggih bahkan sampai melakukan tindakan-tindakan yang ilegal.
4. Analisis Kekuatan Kompetitif
Satu-satunya masalah terbesar dalam perencanaan internasional adalah kurangnya informasi kompetitif yang efisien dan baik. Masih banyak perusahaan yang tidak memiliki pendekatan yang terorganisasi terhadap penilaian persaingan global. Apa pun yang dilakukan tersebar di antara berbagai bagian dari perusahaan itu.
-
Analisis pesaing Sumber-sumber informasi Terdapat 5 sumber informasi utama mengenai kekuatan, kelemahan, dan ancaman dari pesaing suatu perusahaan: 1) Di dalam Perusahaan Wakil-wakil penjualan dari suatu perusahaan adalah sumber yang terbaik untuk jenis informasi ini. Para pustakawan, apabila perusahaan memilikinya, juga dapat menyediakan input bagi CIS. Sumber lainnya adalah orang-orang di bagian R&D dan teknis, yang ketika menghadiri pertemuan-pertemuan profesional atau membaca jurnal jurnal profesional mereka, sering kali mengetahui perkembangan sebelum hal tersebut menjadi pengetahuan umum. Secara tidak sengaja,
agen-agen
intelijen
pemerintah
dari
seluruh
negara
berlangganan dan menganalisis menga nalisis jurnal-jurnal jur nal-jurnal teknis dari d ari negara-negara negara -negara lain.
2) Bahan-bahan publikasi, termasuk Basis Data Komputer Selain jurnal-jurnal teknis, terdapat jenis-jenis lain dari bahan publikasi yang menyediakan informasi berharga. Basis data seperti Compuserve, Dialog, Dow Jones News/Retrieval, Lexis-Nexis, dan NewsNet memungkinkan para analisis untuk memperoleh intelijen dasar mengenai penjualan, pendapatan, laba, pasar, dan data-data lainnya yang diperlukan untuk menyiapkan profil yang rinci dari para pesaing. Jasa ini juga memungkinkan para pengguna menciptakan folder-folder kliping berdasarkan kata-kata kunci seperti nama pesaing, pelanggan, dan pemasok utama atau kata-kata yang menjelaskan teknologi suatu produk. Jumlah informasi berharga yang terdapat
di
internet
terus
berkembang.
Perusahaan-perusahaan
Amerika dan para pesaing asingnya dapat memperoleh informasi mengenai perusahaan-perusahaan lain dari dokumen-dokumen publik. 3) Para Pemasok / Pelanggan Perusahaan sering kali memberitahukan sebelumnya kepada para pelanggannya mengenai produk-produk baru untuk menjaga agar mereka tidak membeli dari tempat lain. Tetapi, sering kali pelanggan meneruskan informasi ini kepada pesaing. Seorang agen pembelian dari suatu perusahaan dapat menanyakan kepada para pemasoknya mengenai berapa banyak produksinya atau apa produk baru yang direncanakan untuk diproduksi. Karena para pembeli mengetahui berapa banyak yang dibeli oleh perusahaannya, perusahaann ya, maka tambahan kapasitas atau produk baru mungkin ditujukan untuk pesaing perusahaan. Agen tersebut juga dapat mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk memberikan bisnis baru kepada seorang pemasok jika wakil penjualan dari pemasok tersebut dapat membuktikan
bahwa
ia
sedang
mempertimbangkan
untuk
memberikan bisnis baru kepada seorang pemasok jika wakil penjualan dari pemasok tersebut dapat membuktikan bahwa perusahaan itu memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Tenaga penjualan sering kali tergiur dengan bisnis baru tersebut sehingga mereka membocorkan
informasi mengenai kapasitas total perusahaan dan pembelian pesaing untuk membuktikan bahwa perusahaan mereka dapat menangani pesanan tersebut. 4) Karyawan Pesaing Para karyawan pesaing, baik yang sekarang masih bekerja ataupun yang pernah bekerja di situ, dapat memberikan informasi. Orangorang yang berpengalaman dari bagian hubungan antar manusia memberikan perhatian khusus kepada para pelamar baru, terutama lulusan baru, yang menyatakan bahwa mereka telah magang bekerja. Mereka secara tidak sengaja atau tidak sadar mengungkapkan informasi rahasia. Perusahaan-perusahaan juga membajak karyawan pesaingnya, dan perusahaan yang nakal bahkan mengiklankan dan melakukan wawancara untuk lowongan pekerjaan yang sebenarnya tidak ada hanya untuk memperoleh informasi dari karyawan pesaing. 5) Observasi Langsung atau Menganalisis Bukti-bukti Fisik mengenai Aktivitas Pesaing Perusahaan Sumber-sumber tersebut dapat sangat membantu di negara-negara berkembang, diterbitkan.
yang biasanya
kurang
memiliki
informasi
yang
DAFTAR RUJUKAN
Ball. Donal A., Mcculloch H. Wendell. 2014. Bisnis Internasional. Buku 2 Jakarta : Salemba Empat