Penatalaksanaan HIV pada anak.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan HIV disertai dengan pemberian obat Antiretroviral (ARV), yang kini tersedia makin meluas dan mengubah dengan cepat perwatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Di Indonesia yang sumber dayanya terbatas dianjurkan orang dewasa dan anak yang teridentifikasi infeksi HIV, harus segera memulai ART. Kriteria memulai ART didasari pada criteria klinis dan imunologis serta menggunakan pedoman pengobatan baku yang sederhana yaitu Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Indonesia. Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua mengenai infeksi HIV, evaluasi dan tata laksana infeksi oportunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan tumbuh kembang, dan imunisasi. Pencegahan infeksi oportunistik 1. Pneumonia Pneumocystis carinii Pengobatan lain yang perlu diberikan adalah profilaksis dan pengobatan terhadap infeksi Pneumocystis carinii. Profilaksis ini diberikan kepada semua anak yang terinfeksi HIV dan pengobatan diberikan jika sudah terdiagnosis PCP. Obat yang diberikan adalah kotrimoksazol.Pemberian kotrimoksasol 4-6 mg/kg/hari satu kali sehari, diberikan setiap hari. Yang terindikasi untuk mendapatkan kotrimoksasol profilaksis adalah bayi terpapar umur <12 bulan yang statusnya belum diketahui, umur 1-5 tahun bila CD4 kurang dari 500 (<15%), umur 6-11tahun bila CD4 <200 (<15%), dan yang pernah didiagnosis terkena PCP. Obat pengganti adalah Dapson 2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg/hari). 2. Tuberkulosis Anak yang menderita infeksi HIV/AIDS sering disertai dengan infeksi tuberkulosis. Infeksi HIV/AIDS yang diderita anak dapat diperberat oleh infeksi tuberkulosis. Walaupun demikian, angka penularan TBC dari anak yang menderita HIV adalah sama dengan anak yang tidak menderita HIV. Jika penyakit TBC didiagnosis terlebih dahulu maka obat antituberkulosis diberikan terlebih dahulu, minggu kemudian baru diberikan obat antiretrovirus agar tidak terjadi inflamatory immune reconstitution syndrome (IRIS). Obat yang diberikan sesuai dengan petunjuk WHO tahun 2006. Pengobatan TBC pada anak terinfeksi HIV minimal selama 6 bulan sama seperti pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Obat yang digunakan adalah rifampicin, ethambutol, isoniazid, pyrazinamide dan streptomycin. Selain itu, anak yang menderita HIV perlu mendapat profilaksis antituberkulosis bila di tempat tinggal mereka terdapat orang yang menderita penyakit tuberkulosis paru aktif. Bila perlu anak harus dipisahkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis paru aktif. Secara aktif mencari kemungkinan kontak erat dengan penderita TB aktif dan
melakukan uji tuberkulin bila terdapat kecurigaan. Pemberian profilaksis INH masih diperdebatkan untuk negara endemis TB. Pemenuhan nutrisi dan pemantauan tumbuh kembang Infeksi HIV meningkatkan enteropati, karenanya asupan makro dan mikronutrien perlu diperhatikan. Pada stadium lanjut dan sudah terjadi emasiasi, perbaikan nutrisi harus dilakukan dengan hati-hati, secara individual. Perbaikan nutrisi terjadi lebih lambat dibandingkan dengan penderita malnutrisi tanpa infeksi HIV. Setelah manajemen awal nutrisi dan penanganan infeksi oportunistik, penilaian dan stimulasi diperlukan untuk tumbuh kembang optimal. Penilaian menyeluruh diperlukan untuk mengetahui apakah stimulasi mampu diberikan oleh orangtua atau penggantinya karena pada kasus HIV dalam keluarga, masalah stigmatisasi dan sosial dapat menyebabkan pemberian stimulasi perkembangan terganggu. Terapi ARV memberi manfaat
klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa. 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia: 1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC). 2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV). 3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), danLopinavir/ritonavir (LPV/r). Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah : Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B Kolom A Kolom B Nevirapine (NVP) AZT + ddl Nelfinavir (NVF) ddl+3TC d4T + ddl AZT + 3TC d4T + 3TC Tabel Regimen ART yang diusulkan di Indonesia
Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimen nonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.
Tatalaksana anak terinfeksi HIV pada satu negara berbeda dengan negara lain. Hal itu tergantung dari tersedianya fasilitas. Anak terinfeksi HIV dapat dirawat di rumah sakit, tetapi umumnya dirawat di rumah sendiri. Segera setelah anak diketahui terinfeksi HIV maka tahaptahap berikut harus dilakukan: 1) Melakukan pencatatan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Riwayat penyakit pada anak dan keluarga harus dicatat dengan lengkap. Pencatatan juga dapat dilakukan tanpa terburu-buru, dan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan terhadap keluarga terlebih dahulu. Rawat inap juga memberi keuntungan, karena dokter dan perawat dapat mengamati dinamika sosial keluarga penderita, dan juga dapat mengamati dan membimbing cara pemberian obat antiretrovirus kepada penderita.Harus diperhatikan gejala klinis yang biasa muncul pada penderita infeksi HIV seperti gagal tumbuh, perkembangan yang terlambat, limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, infeksi candidiasis, dan lain-lain. 2) Pengobatan Antiretrovirus
Yang paling penting dalam pengobatan adalah menentukan kapan saat yang paling tepat untuk mulai memberikan antiretrovirus. Saat yang tepat untuk memulai obat antiretrovirus masih menjadi perdebatan. Apakah diberikan sesudah CD4+ menjadi rendah atau masih tinggi. Hal tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut. Biasanya keputusan untuk memulai memberikan obat atau mengganti obat adalah dengan memantau gejala klinis penderita secara ketat dan melakukan pemeriksaan hitung CD4+ dan PCR-RNA. Umumnya pengobatan antiretrovirus mulai diberikan kepada anak terinfeksi HIV, bila sudah muncul gejala klinis AIDS, tidak tergantung pada hasil hitung sel CD4. Pemberian obat ARV tidak tergantung status gizi penderita. Akan tetapi,
beberapa ahli mengatakan sebaiknya obat antiretrovirus diberikan sedini mungkin sebelum gejala penyakit menjadi berat.
Tatalaksana anak terinfeksi HIV saat ini sudah menggunakan obat antiretrovirus seperti zidovudin, yang merupakan pengobatan standar pada anak gejala yang jelas. Sayangnya tidak ada studi efikasi obat tersebut pada anak, tetapi beberapa ahli mengatakan obat tersebut memberikan keuntungan pada anak dengan gejala infeksi HIV yang jelas, terutama dengan ensefalopati. Obat antiretrovirus lain yang sedang digunakan saat ini adalah didanosine (ddI), dideoxycytidine (ddC).
Obat antiretrovirus biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dari dua nucleoside analog dan satu protease inhibitor, merupakan protokol standar untuk memulai pengobatan anak yang baru didiagnosis dengan sel CD4+ rendah dan muatan virus yang tinggi. Pemberian ARV pada bayi usia di bawah 12 bulan dimulai bila jumlah sel CD4+ <25-30% dan muatan virus >10 6/mL, sedangkan untuk anak yang berusia >12 bulan bila jumlah partikel RNA >250.000 salinan/mL. Saat ini disarankan untuk memberikan pengobatan ARV secepat mungkin kepada bayi berusia kurang dari 12 bulan bila diagnosis HIV sudah dapat ditegakkan. Bila obat ARV diberikan sebelum usia 3 bulan akan menurunkan insiden AIDS dan kematian.
Tujuan pengobatan antiretrovirus adalah untuk mem-perpanjang masa hidup penderita, menahan perkembangan penyakit, dan menjaga serta memperbaiki kualitas hidup penderita.32 Berdasarkan pengetahuan tentang dinamika vi-rus dan patogenesis penyakit, cara yang terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menekan replikasi HIV serendah mungkin. Jika replikasi virus tetap ada dalam fase pengobatan, maka munculnya virus resisten terhadap obat tidak dapat dihindari.Oleh karena itu tujuan jangka pendek pengobatan adalah untuk menekan seluruh virus yang bereplikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka diagnosis dini pada bayi dan anak adalah sangat penting, agar obat dapat diberikan secepat mungkin.
Prinsip pemberian obat antiretrovirus pada bayi dan anak adalah sebagai berikut:
1) Disarankan untuk memberikan obat antiretrovirus kepada seluruh bayi di bawah usia 12 bulan sedini mungkin, bila infeksi HIV sudah terdignosis. Walaupun data keberhasilan pengobatan pada anak masih terbatas, tetapi bukti memperlihatkan bahwa pengobatan dini yang agresif pada orang dewasa dapat mempertahankan fungsi sistem imun serta mengurangi replikasi virus. Juga berdasarkan hasil studi, bila obat tidak diberikan dengan cepat pada wanita hamil, maka penyakit akan berkembang lebih cepat. Dengan demikian maka bayi perlu diberi obat sedini mungkin.
2) Semua anak yang terinfeksi HIV dengan gejala klinik (kategori A, B, atau C) dan bukti terjadinya penekanan sistem imun (kategori imun 2 atau 3) harus diobati tanpa memandang usia dan muatan virus. Disarankan kepada seluruh anak terinfeksi HIV dengan kelainan imunologis dan gejala klinik yang jelas untuk diberi obat anti-retrovirus secepat mungkin.
3) Pengobatan antiretrovirus harus dimulai pada anak terinfeksi HIV yang berusia >1 tahun tanpa memandang usia dan status gejala penyakit. Satu pendekatan yang lebih disukai adalah memulai pengobatan pada seluruh anak yang terinfeksi HIV tanpa memandang usia dan gejala penyakit. Dengan demikian kerusakan sistem imun oleh HIV dapat dihambat lebih dini.
4) Walaupun pemberian obat antiretrovirus lebih dini lebih baik, tetapi menunda pemberian obat antiretrovirus dalam keadaan tertentu dapat dipertimbangkan. Misalnya, anak usia >1 tahun tanpa gejala penyakit, status imun masih baik, muatan virus rendah, perkembangan klinis penyakit diperkirakan lambat.Faktor yang lain misalnya tidak ada orang tua yang dapat memberi obat sehingga timbul masalah keamanan obat dan kepatuhan untuk berobat, maka pemberian obat dapat dipertimbangkan untuk ditunda. Jika pengobatan antiretrovirus ditunda, pemberian obat ARV selanjutnya dapat dimulai bila a). Kadar RNA HIV meningkat secara bermakna (>0,7 log pada anak berusia di bawah 2 tahun dan >0,5 log pada anak yang berusia lebih 2 tahun; b). CD4+ menurun menjadi kategori 2; c). Berkembangnya gejala HIV; d). RNA HIV >10 5 salinan/mL untuk
setiap usia; e). Pada anak yang berusia lebih dari 30 bulan dengan kadar RNA HIV >104 salinan/mL.
5) Obat antiretrovirus yang diberikan harus efektif agar dapat menekan virus secara terusmenerus dan efek samping yang terjadi harus minimal karena obat antiretrovirus akan diberikan kepada penderita selama bertahun-tahun, mungkin seumur hidup. Pemilihan obat pertama harus betul-betul dipertimbangkan. Sebagai persyaratan dalam pemilihan obat berikutnya harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya resisten silang.
6) Indikasi pemberian Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Bila ada indikasi pemberian obat antiretrovirus maka harus diberikan highly active antiretroviral therapy. Obat yang disarankan adalah 2 nucleoside re-verse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan 1 protease.
Penatalaksanaan Anak dengan HIV Anak-anak dengan infeksi HIV dan keluarga nya harus menjaga kebersihan diri yang ketat dengan seperti sering mencuci tangan dan menghindari kontak langsung antara anak dan siapa saja yang memiliki infeksi pernafasan untuk mencegah anak tertular infeksi oppurtunistic berbahaya. Hal ini penting untuk menilai rongga mulut anak-anak dengan AIDS untuk herpes dan lessions sariawan. Ketika infeksi memang terjadi, antiviral dan pengobatan antijamur harus cepat dan agresif. Untuk melawan infeksi dibutuhkan obat antiretroviral khusus untuk mencegah kerusakan progresif dari sistem kekebalan tubuh dan memberikan tindakan pencegahan terhadap infeksi opportuistic. Ada beberapa kelas obat terapi utama yaitu: a. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) NRTI dirancang untuk memblokir DNA virus, membatasi kemampuan virus untuk menginfeksi sel-sel. Contoh: zidofudine. b. Inibitors Nonnucleoside Transcriptase (NNRTI) NNRTI juga menghambat sintesis DNA virus tapi bertindak di lokasi yang berbeda pada enzim virus. Contoh: nefirapine dan efavirenz. c. Protease Inhibitor PI menghentikan kemampuan virus untuk produk protease, membatasi metastasis. Contoh: amprenavir, nelvinavir, atazanavir, dan ritonavir. Anak-anak diresepkan resimen melibatkan beberapa obat, seperti salah satu protease inhibitor ditambah dua NRTI. Di samping itu, banyak anak-anak diberi terapi profilaksis untuk P.carinii pneumonia (trimetoprim / sulfaamethoxazole) dimulai pada usia 6 bulan. Anak-anak dengan infeksi HIV lebih rentan terhadap TB dibandingkan anak-anak lain, sehingga mereka juga harus dijaga. Jika seorang anak mengembangkan TB, kombinasi
obat antituberkulosis, seperti isoniazid atau rifampn, digunakan. Mencegah TB telah menjadi resisten terhadap obat yang biasa. Anak-anak dengan infeksi HIV harus menerima imunisasi rutin dengan vaksin virus yang dibunuh, termasuk vaksin pneumococcus baru, sesuai dengan jadwal yang biasa. Anak dengan gejala tidak harus menerima vaksin varicela, dan orang-orang dengan jumlah CD4 rendah juga seharusnya tidak menerima MMR. Jika seorang anak terkena varicela, intravena varicela zoster globuline kekebalan tubuh (PZIG) diresepkan dalam upaya untuk mencegah penyakit ini. Vaksinasi influenza tahunan harus dimulai pada usia 6 bulan.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Penatalaksanaan pada anak sesuai dengan menggunakan 3 parameter yaitu status kekebalan, status infeksi, dan status klinik. Selain mengendalikan perkembangan penyakit pengobatan ditujukan terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti candidiasis dan pneumonia interstisial. Azidotinidin, Videks, dan Zalcitabin adalah obat-obatan infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah. Pemberian imunoglobuin secara intravena setiap bulan sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan ineksi HIV. Sebagai ganti vaksin poliovirus oral atau OPV, anak-anak diberi vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV).
Intervensi yang bisa di lakukan pada kasus HIV pada anak : 1. Lindungi anak dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa dari orang tidak menularkan HIV, sejumlah saran dibuat untuk anak-anak dengan HIV. 2. Cegah Penularan HIV a.
Bersihkan bekas darah atau cairan tubuh lain dengan larutan khusus (rasio 10:1) antara ain berbanding pemutih.
b. Pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah atau cairan tubuh c.
Pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan tubuh.
d. Cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan sesudah melepas sarung tangan
e.
Letakkan jarum tanpa penutup yang dikaitkan ke spuit (benda tajam yang lain) dalam kotak tertutup yang tahan tusukan, dengan diberi label sebagai limbah berbahaya/infeksius.
f.
Tempat sampah yang terkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah khusus
3. Lindungi anak dari kontak infeksius jika tingkat kekebalan anak rendah a.
Skreening infeksi
b. Tempatkan anak bersama anak yang non infeksius c.
Batasi pengunjung dengan penyakit aktif
4. Kaji pencapaian perkembangan anak dan status nutrisinya a.
Berikan aktivitas stimulasi yang sesuai usia anak
b. Pantau pola pertumbuhan (tinggi, berat badan, lingkar kepala) dan rujuk ke ahli gizi untuk mendapatkan intervensi nutrisi 5. Libatkan pekerja sosial dn anggota tim kesehatan lain untuk membantu anak dan keluarga mengatasi krisis dan stres terhadap penyakit kronis dan fatal a.
Dorong anak dan keluarga untuk mengekspresikan perasaannya
b. Rujuk ke rohaniwan untuk mendapatkan dukungan spiritual c.
Diskusikan kemungkinan kematian anak dengan orang tua dan anak
d. Dorong anggota keluaga untuk mendiskusikan diantara mereka, dengan keluarga lain, dengan teman-teman tentang kemungkinan meninggalnya si anak 6. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat kepatuhan terhadap rencana pengobatan a.
Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang resiko ketidakpatuhan
b. Bantu keluarga menetapkan jadwal yang mengoptimalkan efek terapeutik dari pengobatan dan sesuai dengan gaya hidup keluarga
7. Dorong anak untuk berperan aktif dalam aktivitas bersama anak-anak lain. a.
Bantu anak dan keluarga dalam mengidentifikasi kekuatan pribadi masing-masing
b. Ajarkan pada karyawan sekolah dan teman-teman sekelas atau perawat harian tentang infeksi HIV c.
Berkolaborasi dengan perawat sekolah sehubungan dengan kondisi anak
Penatalaksanaan HIV pada Anak antara lain : 1.
ART Therapi
2.
Imunisasi
3.
Konseling dan dukungan psikososial
4.
Perawatan Nutrisi
Intervensi pada Perencanaan Pulang dan Perawatan di Rumah : 1.
Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tandatanda atau gejala infeksi
2.
Ajarkan pada anak dan keluarga untuk mengamati respon terhadap pengobatan dan memberi tahu dokter tentang adanya efek samping
3.
Ajarkan anak dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan tindak lanjut a.
Nama dan nomer telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai
b. Tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut. Tata Laksana Setelah Diagnosis Infeksi HIV Ditegakkan 1) Kaji status nutrisi dan pertumbuhan, dan kebutuhan intervensinya. 2) Pemberian vitamin A berkala 3) Kaji status imunisasi.
4) Kaji tanda dan gejala infeksi oportunistik dan pajanan TB. Bila dicurigai terdapat infeksi oportunistik (IO), lakukan diagnosis dan pengobatan IO sebelum pemberian ART. 5) Lakukan penilaian stadium penyakit HIV menggunakan kriteria klinis (Stadium klinis WHO 1 sampai 4) 6) Pastikan anak mendapat kotrimoksazol. 7) Identifikasi pemberian obat lain yang diberikan bersamaan, yang mungkin mempunyai interaksi obat dengan ARV. 8) Lakukan penilaian status imunologis (stadium WHO dari mulai tidak ada supresi hingga supresi imunologis berat) a) Periksa persentase CD4 (pada anak < 5 tahun) dan nilai absolut CD4 (pada anak ≥ 5 tahun). b) Nilai CD4 dan persentasenya memerlukan pemeriksaan darah tepi lengkap. 9) Kaji apakah anak sudah memenuhi kriteria pemberian ARV. 10) Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya a) Identifikasi orang yang mengasuh anak ini dan kesediaannya untuk mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya. b) Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga. c) Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada penyakit yang lain. Catatan: Keberhasilan pengobatan ARV pada anak memerlukan kerjasama pengasuh atau orang tua, karena mereka harus memahami tujuan pengobatan, mematuhi program pengobatan dan pentingnya kontrol. Bila ada banyak orang yang mengasuh si anak, saat akan memulai pengobatan ART maka harus ada satu yang utama, yang memastikan bahwa anak ini minum obat. Pemantauan dan pengobatan harus diatur menurut situasi dan kemampuan keluarga. Bila keluarga sudah siap dan patuh baru mulai berikan ARV. Bimbingan dan konseling terus menerus perlu diberikan bagi anggota keluarga yang lain agar mereka memahami penyakit HIV dan mendukung keluarga yang mengasuh anak HIV. Umumnya orangtua dan anak lain dalam keluarga inti tersebut juga terinfeksi HIV, maka penting bagi manajer program untuk memfasilitasi akses terhadap terapi untuk anggota keluarga lainnya. Kepatuhan berobat umumnya didapat dengan pendekatan terapi keluarga.
1.
Nilai status nutrisi dan pertumbuhan.
Berikan kotrimoksazol untuk mencegah pneumonia Pneumocystis jiroved , juga malaria, diare bacterial dan pneumonia. 2.
Nilai tanda dan gejala infeksi HIV. Bila ada dan konsisten dengan infeksi HIV yang berat, pertimbangkan untuk memberi ART. 3.
4.
Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik.
Nilai situasi keluarga dan beri bimbingan, dukungan dan terapi untuk keluarga dengan infeksi HIV atau yang berisiko. 5.
6.
Lakukan uji antibody HIV mulai usia 9-12 bulan.
Anak dengan infeksi HIV sering merasa tidak nyaman, sehingga perawatan paliatif menjadi sangat penting. Buatlah semua keputusan bersama ibunya dan komunikasikan secara jelas kepada petugas yang lain (termasuk yang dinas malam). Pertimbangkan perawatan paliatif di rumah sebagai alternatif dari perawatan di rumah sakit. Beberapa pengobatan untuk mengatasi rasa nyeri dan menghilangkan kondisi sulit (seperti kandidiasis esofagus atau kejang) dapat secara signifikan memperbaiki kualitas sisa hidup anak. Beri perawatan fase terminal jika:
penyakit memburuk secara progresif
semua hal yang memungkinkan telah diberikan untuk mengobati penyakitnya. Perlu dijamin bahwa keluarga mendapat dukungan yang tepat untuk menghadapi kemungkinan kematian anak, karena hal ini sangat penting sebagai bagian dari perawatan fase terminal dari HIV/AIDS. Orang tua harus didukung dalam upaya mereka memberi perawatan paliatif di rumah, sehingga anak tidak perlu lagi dirawat di rumah sakit. Mengatasi nyeri Tatalaksana nyeri pada anak dengan infeksi HIV mengikuti prinsip yang sama dengan penyakit kronis lainnya seperti kanker. Perhatian khusus perlu diberikan dengan menjamin bahwa perawatannya tepat dan sesuai dengan budaya pasien, yang pada prinsipnya adalah:
Memberi analgesik melalui mulut, jika mungkin (pemberian IM menimbulkan rasa sakit) Memberi secara teratur, sehingga anak tidak sampai mengalami kekambuhan dari rasa nyeri yang sangat, untuk mendapatkan dosis analgetik berikutnya
Memberi dosis yang makin meningkat, atau mulai dengan analgetik ringan dan berlanjut ke analgetik yang kuat karena kebutuhan untuk mengatasi nyeri meningkat atau terjadi toleransi
Atur dosis untuk tiap anak, karena anak mempunyai kebutuhan dosis berbeda untuk mendapatkan efek yang sama. Gunakan obat berikut ini untuk mengatasi nyeri secara efektif:
Anestesi lokal: untuk luka kulit atau mukosa yang nyeri atau pada saat melakukan prosedur yang menimbulkan rasa sakit.
o
Lidokain: bubuhkan pada kain kasa dan oleskan ke luka di mulut yang nyeri sebelum makan (gunakan sarung tangan, kecuali jika anggota keluarga atau petugas kesehatan sudah Positif HIV dan tidak membutuhkan pencegahan terhadap infeksi); dan akan mulai memberi reaksi setelah 2–5 menit.
o
TAC (tetracaine, adrenaline, cocaine): bubuhkan pada kain kasa dan letakkan di atas luka yang terbuka, hal ini terutama berguna saat menjahit luka.
Analgetik: untuk nyeri yang ringan dan sedang (seperti sakit kepala, nyeri pasca trauma, dan nyeri akibat kekakuan/spastik).
o
parasetamol
o
obat anti-inflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen.
Analgetik yang kuat seperti opium: nyeri yang sedang dan berat yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan dengan analgetik.
o
morfin, merupakan analgetik yang murah dan kuat: beri secara oral atau IV setiap 46 jam, atau melalui infus
o
petidin: beri secara oral setiap 4-6 jam
o
kodein: beri secara oral setiap 6-12 jam, dikombinasikan dengan obat non opioid untuk menambah efek analgetik. Catatan: Pantau hati-hati adanya depresi pernapasan. Jika terjadi toleransi, dosis perlu ditingkatkan untuk mempertahankan bebas nyeri.
Obat lain: untuk masalah nyeri yang spesifik. Termasuk di sini diazepam untuk spasme otot, karbamazepin atau amitriptilin untuk nyeri saraf, dan kortikosteroid (seperti deksametason) untuk nyeri karena penekanan pada syaraf oleh pembengkakan akibat infeksi.
Tatalaksana anoreksia, mual dan muntah
Hilangnya nafsu makan pada fase terminal dari penyakit, sulit ditangani. Doronglah agar pengasuh dapat terus memberi makan dan mencoba:
memberi makan dalam jumlah kecil dan lebih sering, terutama pada pagi hari ketika nafsu makan anak mungkin lebih baik
makanan dingin lebih baik daripada makanan panas
menghindari makanan yang asin atau berbumbu. Jika terjadi mual dan muntah yang sangat, beri metoklopramid secara oral (1–2 mg/kgBB) setiap 2–4 jam, sesuai kebutuhan. Pencegahan dan pengobatan dari luka akibat dekubitus Ajari pengasuh untuk membalik badan anak paling sedikit sekali dalam 2 jam. Jika timbul luka tekan, upayakan agar tetap bersih dan kering. Gunakan anestesi lokal seperti TAC untuk menghilangkan nyeri. Perawatan mulut Ajari pengasuh untuk membersihkan mulut setiap kali sesudah makan. Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan dibasahi dengan air bersih atau larutan garam. Bubuhi gentian violet 0.25% atau 0.5% pada setiap luka. Beri parasetamol jika anak demam tinggi, atau rewel atau merasa sakit. Potongan es dibungkus kain kasa dan diberikan kepada anak untuk diisap, mungkin bisa mengurangi rasa nyeri. Jika anak diberi minum dengan botol, nasihati pengasuh untuk mengganti dengan sendok dan cangkir. Jika botol terus digunakan, nasihati pengasuh untuk mencuci dot dengan air setiap kali akan diminumkan. Jika timbul thrush, bubuhi gel mikonazol pada daerah yang sakit paling sedikit 3 kali sehari selama 5 hari, atau beri 1 ml larutan nistatin 4 kali sehari selama 7 hari, dituang pelan-pelan ke dalam ujung mulut, sehingga dapat mengenai bagian yang sakit.
Jika terdapat nanah akibat infeksi bakteri sekunder, beri salep tetrasiklin atau kloramfenikol. Jika ada bau busuk dari mulut, beri Benzilpenisilin (50 000 unit/kg setiap 6 jam) IM, ditambah metronidazol oral (7.5 mg/kgBB setiap 8 jam) selama 7 hari. Tatalaksana jalan napas Jika orang tua menghendaki anaknya meninggal di rumah, tunjukkan pada mereka cara merawat anak yang tidak sadar dan cara menjaga agar jalan napas tetap lancar. Jika terjadi gangguan napas saat anak mendekati kematian, letakkan anak pada posisi duduk yang nyaman dan lakukan tatalaksana jalan napas bila perlu. Memprioritaskan agar anak tetap nyaman, lebih baik daripada memperpanjang hidupnya. Dukungan psikososial Membantu orang tua dan saudaranya melewati reaksi emosional mereka terhadap anak yang menjelang ajal, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam perawatan fase terminal penyakit HIV. Cara melakukannya bergantung pada apakah perawatan diberikan di rumah, di rumah sakit atau di rumah singgah/penampungan. Di rumah, sebagian besar dukungan dapat diberikan oleh keluarga dekat, keluarga dan teman.
Mereka perlu tahu cara menghubungi kelompok konseling HIV/AIDS dan program lokal perawatan rumah yang berbasis masyarakat. Pastikan apakah pengasuh mendapat dukungan dari kelompok ini. Jika tidak, diskusikan sikap keluarga terhadap kelompok tersebut dan kemungkinan menghubungkan keluarga ini dengan mereka.
Penatalaksanaan 1. Perawatan Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain: a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution) 2. Pengobatan a. Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak. b. Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita. c. Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
Dapus: Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Ikatan Dokter Indonesia. Middelkoop K, Bekker LG, Myer L, Dawson R, Wood R. 2008. Rates of Tuberculosis Transmission to Children and Adolescents in a Community with a High Prevalence of HIV Infection among Adults. Clin Infect Dis.(47:349-55). WHO. 2006. Management of HIV Infection and Antiretroviral Therapy in Infants and Children. A Clinical Manual. Regional office for South-East Asia New Delhi . Grimwade K, Swingler GH. 2008. Cotrimoxazole prophylaxis for opportunistic infections in children with HIV infection (Review). The Cohcrane Collaboration Published by John Wiley & Sons, Ltd. Havens PL, Mofenson LM. 2009. The Committee on Pediatrics AIDS. Evaluation and Management of the Infant Exposed to HIV-1 in the United States. Pediatrics (123:175-87).
Made,I. 2009. Tatalaksana HIV/AIDS pada Bayi dan Anak. Maj Kedokt Indon (59): 69. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/702/697 (Dunduh: 23 November 2016 pukul 21.00 WIB)
Made,I.2009.Tatalaksana HIV/AIDS pada Bayi dan Anak. Maj Kedokt Indon (59): 69. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/702/697(Dia kses: 23 November 2016 pukul 19.00 WIB) Pillitteri Adele. 2010. Maternal & Child Health Nursing Care of The Childbearing & Childrearing Family.China: the Point
Betz Cecily L., Sowden Linda A. 1996. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC Betz, Cecily L.2002.Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIVpada-Anak.pdf diakses pada 24 November 2016 pukul 14.40 http://www.edukia.org/web/kbanak/9-7-perawatan-paliatif-dan-fase-terminal/ diakses 24 November 2016, pukul 14.00.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta whoindonesia.healthrepository.org http://www.edukia.org/web/kbanak/9-2-pengobatan-antiretroviral-antiretroviral-therapyart/ diakses 25 November 2016, pukul 15.00.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak pada http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/PedomanPenerapan-Terapi-HIV-pada-Anak.pdf diakses pada 24 November 2016 pukul 14.40 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak pada http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/PedomanPenerapan-Terapi-HIV-pada-Anak.pdf diakses pada 24 November 2016 pukul 14.40 http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=550 diakses 28 November 2016 pukul 10.30.
Betz, Cecily L. 2002. Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC http://www.alodokter.com/komunitas/topic/sudah-arv-2
Jawaban:
aya akan mencoba menjawab pertanyaan dari Siti Solihah Efek samping akibat antiretrovirus bisa timbul seperti bercak kemerahan disertai kulit yang kering dan rasa gatal yang ringan sampai berat. Untuk mengurangi efek samping antiretrovirus ini maka Anda bisa melakukan : 1.
Hindari mandi dengan air panas.
2.
Gunakan produk sabun dengan bahan kimia yang ringan
3.
gunakan baju yang longgar dan berbahan katun
4.
pemberian lotion calamin
5.
menggunakan pelembab tanpa parfum yang hipoallergenik
6.
Minum cukup cairan
7.
Penggunaan salf/ cream yang menggunakan zinc oxide seperti cream khusus ruam popok bayi yang tersedia di pasaran.
Biasanya efek samping ini akan berkurang dengan sendirinya dan kemudian menghilang seiring lama perjalanan terapi. Namun jika kondisi gatal sangat mengganggu maka penggantian antiretrovirus bisa dipertimbangkan. Namun ingat, sekali Anda minum antiretrovirus maka Anda harus kontinue meminumnya tanpa jeda. Jadi konsultasikan dulu ke dokter sebelum Anda menghentikan obat atau mengganti dengan obat yang lain.
N o 1.
2. 3.
1.
2.
3.
Kelompok Obat
Dosis Obat dan Usia
Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Nevirapine (Viramun) 15-30 hari: 5 mg/kg/dosis 1x/hari selama 2 minggu, kemudian 120 mg/m2 /dosis 2x/hari selama 2 minggu, kemudian 200 mg/m2 /dosis 2x/hari. >30 hari - 13 tahun: 120 mg/m2/dosis 1x/hari selama 2 minggu, kemudian 120-200 mg/m2 /dosis 2x/ hari. Dosis maksimum: .13 tahun:200mg dosis 1x/harii 2 minggu pertama, kemudian 200 mg dosis 2x/hari. Delavirdine (Rescriptor)® Efavirenz (Stoerin)® 10-15 kg: 200 mg (270 mg=9 ml) 1x/hari. 15- <20 kg: 250 mg (300 mg=10 ml) 1x/hari. 20-<25 kg: 300 mg (360 mg=12 ml 1x/hari). 25 - <33 kg: 350 mg=15 ml 1x/hari. 33-<40 kg: 400 mg (510mg=17 ml) 1x/hari. Dosis maksimum >40 kg:600 mg1 x/hari Nucleoside Analogues Zidovudine; AZT/ZDV (retrovir)® Usia <6 mgg: 4 mg/kg dosis 2x/hari Usia 6 minggu sampai 13 tahun: 180240mg/ m2, dosis 2x/hari. Dosis maksimum: usia >13 tahun 300mg, dosis 2x/hari Lamivudine 3TC (Epivir)® Usia :30 hari 2 mg/kg dosis 2x/hari. >30 hari atau <60kg: 4 mg/kg, dosis 2x/hari. Dosis maksimum: >60kg: 150 mg, dosis 2x/hari Didanosine; DDI (Videx)® <3 bulan: 50mg/m2, dosis 2x/hari. 3 bulan - <13 tahun: 90-120 mg/m2, dosis 2x/hari atau 240 mg/m2, dosis 1x/hari.
4.
Stavudine; D4T (Zerif)®
5. 6.
Zalcitabin; DDC (Hivid)® Abacavir (ABC)®
1.
Saquinavir SQV (Invirase)®*
2.
Nelvinavir NFV (Viracept)®
3. 4. 5.
Indinavir (Crixivan)®* Amprenavir (Agenerase)® Lopinavir LPV (Kaletra)®
Dosis maksimum: >13 tahun atau >60 kg: 200mg/dosis 2x/hari atau 400 mg 1x/hari <30kg: 1 mg/kg, dosis 2x/hari. 30-60 kg:30 mg dosis 2x/hari. Doksis maksimum: >60 kg: 40 mg, dosis 2x/hari. Agar tidak terjadi toksisitas mitokondria sebaiknya diberikan 30mg 2x/hari. <16 tahun atau <37,5 kg: 8 mg/kg, dosis 2x/hari. Dosis maksimum: >16 tahun atau >37,5 kg: 300mg dosis 2x/hari Protease Inhibitor Dosis yang diijinkan pada orang dewasa: SQV 1000 mg/RTV 100 mg 2 x/hari. Tidak ada data untuk anak.Untuk anak >25 kg, dapat diberikan dosis dewasa yang sudah diijinkan.Bila mungkin pantau SQV. <1 tahun: 50mg/kg, dosis 3x/hari atau 75 mg/kg, dosis 2x/hari. >1 tahun – 13 tahun: 55-65 mg/kg dosis 2x/hari. Dosis maksimum: ≥13 tahun:1250 mg/dosis 2x/hari.
* Tidak diijinkan untuk digunakan pada anak.
Penatalaksanaan HIV pada Anak : 1.
ART Therapi Tujuan pemberian terapi ART : menekan replikasi virus memperbaiki dan memulihkan sistim imun
Ritonavir r (Norvir)® >6 bulan-13 tahun: 225 mg/m2 LPV/57,5 mg/m2 ritonavir 2 x/hari atau dosis berdasarkan berat:7-15 kg: 12 mg/kg LPV/ 3 mg/kg ritonavir/dosis 2 x/hari. 15-40 kg: 10 mg/kg lopinavir/5 mg/kg ritonavir 2 x/hari. Dosis maksimum:>49 kg: 400 mg LPV/100 mg ritonavir (3 kapsul atau 5 ml)
mencegah resistensi mengurangi morbiditas dan mortalitas pertumbuhan dan perkembangan optimal memperbaiki kualitas hidup 2.
Imunisasi Bayi dan anak dengan HIV seharusnya menerima vaksin sesuai jadwal imunisasi nasional. Vaksin BCG seharusnya diberikan di awal kelahiran. Vaksin pneumokokus, hemofilus influenza: harus ditunda jika anak menderita immunocompromised
3.
Konseling dan dukungan psikososial : Anak dengan suspect HIV atau status HIV tidak diketahui. Petugas kesehatan seharusnya merekomendasikan keluarga dan menawarkan tes untuk HIV- provider initiated testing and counseling (PITC). a.
Konseling berdasarkan usia untuk anak-anak dan dukungan untuk pengasuh
b. Mendukungan anak-anak untuk mengungkapkan perasaan dan memberikan informasi c.
Pengakuan dan rekomendasi untuk mengatasi depresi, keterlambatan perkembangan dan masalah lainnya
d. Mendukungan untuk praktek perawatan keluarga baik yang secara langsung mempengaruhi awal pengembangan usia anak (seperti dukungan pengasuhan dan pendidikan, bermain dan stimulasi). 4. Perawatan Nutrisi
a.
Konseling terkait dengan pemilihan makanan bayi
ASI eksklusif selama 6 bulan, setelah 6 bulan MP-ASI, ASI dapat lanjut hingga 2 tahun
Bagi ibu dengan HIV positif yang memilih untuk tidak memberikan ASI dapat memberikan susu formula sepanjang memenuhi kriteria AFASS (Acceptable : diterima, Feasible : terlaksana, Affordable : terjangkau, Sustainable : berkesinambungan, dan Safe) menggunakan cup feeding.
Dianjurkan untuk tidak mixed feeding
b. Pada anak pemilihan bentuk dan cara makan dilakukan berdasarkan kemampuan oral dan adanya faktor lain yang mungkin menghambat c.
Diusahakan untuk senantiasa memberi makanan melalui oral, bila tidak dapat dipenuhi melalui oral dapat digunakan pipa oro/ nasogastrik (nutrisi enteral)/ parenteral.
d.
Monitoring pertumbuhan : BB dan TB
Proses konseling HIV pada anak adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama: a. Dimulai dari membina hubungan baik dan membina kepercayaan, dengan menjaga rahasia dan mendiskusikan keterbatasan rahasia, melakukan ventilasi permasalahan, mendorong ekspresi perasaan, diutamakan dapat menggali masalah, terus mendorong klien menceritakannya. b. Upayakan dapat memperjelas harapan klien dengan mendeskripsikan apa yang konselor dapat lakukan dan cara kerja mereka serta memberi pernyataan jelas bahwasanya komitmen konselor akan bekerja bersama dengan klien. 2. Tahap kedua: a. Mendefinisikan dan pengertian peran, memberikan batasan dan kebutuhan untuk mengungkapkan peran dan batasan hubungan konseling, mulai dengan memaparkan dan memperjelas tujuan dan kebutuhan klien, menyusun prioritas tujuan dan kebutuhan klien, mengambil riwayat rinci – menceritakan hal spesifik secara rinci, menggali keyakinan, pengetahuan dan keprihatinan klien 3. Tahap ketiga: a. Proses dukungan konseling lanjutan yakni dengan meneruskan ekspresi perasaan / pikiran, mengidentifikasi opsi, mengidentifikasi ketrampilan, penyesuaian diri yang telah ada, mengembangkan keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut, mengevaluasi opsi dan implikasinya, memungkinkan perubahan perilaku, mendukung dan menjaga kerjasama dalam masalah klien, monitoring perbaikan tujuan yang terindentifikasi, rujukan yang sesuai. 4. Tahap empat: a. Untuk menutup atau mengakhiri hubungan konseling. Disarankan kepada klien dapat bertindak sesuai rencana klien menata dan menyesuaiakan diri dengan fungsi seharihari, bangun eksistensi sistem dukungan dan dukungan yang diakses, lalu mengidentifikasi strategi untuk memelihara hal yang sudah beruhah baik. b. Untuk pengungkapan diri harus didiskusikan dan direncanakan, atur interval parjanjian diperpanjang, disertai pengenalan dan pengaksesan sumber daya dan rujukan yang tersedia, lalu pastikan bahwa ketika ia membutuhkan para konselor senantiasa bersedia membantu. c.
Menutup atau mengakhiri konseling dengan mengatur penutupan dengan diskusi dan rencana selanjutnya, bisa saja dengan membuat perjanjian pertemuan yang makin lama makin panjang intervalnya. Senantiasa menyediakan sumber dan rujukan yang telah dikenali dan dapat diakses – memastikan klien dapat mengakses konselor jika ia memilih untuk kembali ketika membutuhkan
Tujuan Konseling HIV
1. Dukungan psikologik misalnya dukungan emosi, psikologi sosial, spiritual sehingga rasa sejahtera terbangun pada ODHA dan yang terinfeksi virus lainnya . 2. Pencegahan penularan HIV melalui informasi tentang perilaku berisiko (seperti seks tak aman atau penggunaan alat suntik bersama) dan membantu orang untuk membangun ketrampilan pribadi yang penting untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek aman. 3. Memastikan terapi efektif dengan penyelesaian masalah dan isu kepatuhan Jika kita mulai terapi ARV (ART), kita mungkin mengalami sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak. Lambat laun, gejala ini biasanya membaik dan hilang. Kelelahan: Pasien sering melaporkan kadang-kadang merasa lelah. Mengetahui penyebab kelelahan dan menanganinya adalah penting. Anemia dapat menyebabkan kelelahan. Anemia meningkatkan risiko menjadi lebih sakit dengan infeksi HIV. Tes darah berkala dapat mengetahui adanya anemia, dan anemia dapat diobati. Masalah pencernaan: Banyak obat dapat menimbulkan rasa nyeri pada perut. Obat dapat menyebabkan mual, muntah, kembung, atau diare.
Perut kembung dapat dikurangi dengan menghindari makanan seperti buncis, beberapa macam sayuran mentah, dan kulit sayuran.
Diare dapat berkisar antara gangguan kecil hingga berat. Periksa ke dokter jika diare berjalan terlalu lama atau menjadi berat. Banyak minum.
Lipodistrof termasuk kehilangan lemak pada lengan, kaki dan wajah; penambahan lemak pada perut atau di belakang leher; dan peningkatan lemak (kolesterol) dan gula (glukosa) dalam darah. Perubahan ini dapat meningkatkan risiko serangan jantung atau serangan otak. Tingkat lemak atau gula yang tinggi dalam darah, termasuk kolesterol, trigliserida dan glukosa. Masalah ini dapat meningkatkan risiko penyakti jantung. Masalah kulit: Beberapa obat menyebabkan ruam. Sebagian besar bersifat sementara, tetapi dapat menimbulkan reaksi berat. Periksa ke dokter jika mengalami ruam. Masalah kulit lain termasuk kulit kering dan rambut rontok. Pelembab kulit dapat membantu masalah kulit. Neuropati adalah penyakit yang sangat nyeri disebabkan oleh kerusakan saraf. Penyakit ini biasanya mulai pada kaki dan tangan. Toksisitas mitokondria adalah kerusakan rangka dalam sel. Penyakit ini dapat menyebabkan neuropati atau kerusakan pada ginjal, dan dapat meningkatkan asam laktik dalam tubuh. Osteoporosis sering terjadi pada pasien. Mineral tulang dapat hilang dan tulang menjadi rapuh. Kehilangan aliran darah dapat menyebabkan masalah pinggul. Pastikan konsumsi cukup zat kalsium dalam makanan dan suplemen. Olahraga angkat beban atau berjalan kaki dapat membantu.
Kriteria Pemberian ARV 1. Kriteria Klinis Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV Klinis Stadium Klinis WHO Asimtomatik 1 Ringan 2 Sedang 3 Berat 4 2. Penetapan kelas imunodefisiensi Kelas imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, terutama nilai persentase pada anak umur < 5 tahun. Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4 Imunodefisiensi Nilai CD4 menurut umur < 11 bulan (%) 12-35 bulan 45-59 bulan > 5 tahun (%) (%) (sel/mm3) Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500 Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499 Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349 Berat < 25 < 20 < 15 < 200 atau < 15% Keterangan: a) CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. b) Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4 dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. c) Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. d) Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4. Bila ≥ 5 tahun, nilai CD4 absolut dapat digunakan. e) Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4 yang tinggi. 3. Indikasi ARV
Umur < 5 tahun > 5 tahun
Kriteria Klinis
Kriteria Imunologis Terapi ARV tanpa kecuali
Terapi
Stadium 3 dan 4 a Stadium 2 Stadium 1
Terapi ARV b <25% pada anak Jangan obati bila 24-59 bulan tidak ada <350 pada anak <5 pemeriksaan CD4 tahun Obati bila CD4 < nilai menurut umur a. Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus didahulukan b. Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila memungkinkan dilakukan Catatan: a) Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4, sehingga harus segera dimulai terapi ARV. b) Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4 normal. c) Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai. d) Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4 setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. 4. Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis presumtif 1) Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV. 2) Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan. Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit secara klinis berhubungan dengan HIV Klinis Asimtomatik Ringan
Stadium Klinis 1 2
Keterangan Asimtomatk, limfadenopati generalisata persisten 1) Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan 2) erupsi pruritik papular 3) infeksi virus wart luas 4) angular cheilitis
Sedang
3
5) moluskum kontagiosum luas 6) ulserasi oral berulang 7) pembesaran kelenjar parotis persisten yang tak dapat dijelaskan 8) eritema ginggival lineal 9) herpes zoster 10) infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsilitis) 11) infeksi kuku oleh fungus 1) Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara 2) Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a 3) Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a 4) Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan) 5) Oral hairy leukoplakia 6) Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut 7) TB kelenjar 8) TB Paru 9) Pneumonia bakterial yang berat dan berulang 10) Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik 11) Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis 12) Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)
Berat
4
1) Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standar 2) Pneumonia pneumosistis 3) Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) 4) Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun) 5) TB ekstrapulmonar 6) Sarkoma Kaposi 7) Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) 8) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus) 9) Ensefalopati HIV 10) Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan 11) Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis 12) Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) 13) Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea) 14) Isosporiasis kronik 15) Infeksi mikobakteria nontuberkulosis diseminata 16) Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik 17) Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral 18) Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan: a. Tidak dapat dijelaskan berarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab yang lain b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori ini