BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sendi Temporomandibula Sendi temporomandibula (STM) yang terletak di antara mandibula dan
kranium adalah salah satu sendi dalam tubuh yang paling kompleks.1 STM dapat melakukan gerakan rotasi seperti suatu sendi ginglymoid, namun pada saat yang sama dapat melakukan gerakan meluncur seperti suatu sendi arthrodial. Dengan demikian secara teknis sendi temporomandibula adalah suatu ginglymoarthrodial.7 Bagian-bagian dari STM adalah kondilus, fosa mandibula, dan diskus artikularis. 2.1.1
Kondilus Kondilus mandibula (kapitulum mandibula) terletak di atas leher ramus
mandibula.8 Pada orang dewasa, bentuk kondilus seperti tabung elips dengan lebar 20 mm pada dimensi mediolateral dan 10 mm pada dimensi anterior-posterior.9 Jarak rata-rata antara kedua kondilus kiri dan kanan yang dihitung dari titik tengahnya berkisar 100 mm.10,11 Bentuk kondilus apabila dilihat dari anterior (aspek frontal) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori yaitu konveks, datar, bersudut, dan bulat.12 Kondilus memiliki kapsula sendi, tuberkulum medialis, dan tuberkulum lateralis. Tuberkulum didukung oleh perlekatan pada bagian lateral dan medial dari ligamen kolateral. Bagian kondilus yang berartikulasi dilapisi oleh jaringan fibroelastik tebal, mengandung fibroblas dan kondrosit. Pada kondilus yang menua ditemukan sedikit kartilago dan terjadi kalsifikasi. Pada keadaan ini, trauma akibat beban kunyah berlebihan dapat menyebabkan penyakit sendi degeneratif. 2.1.2
Fosa Mandibula Kondilus berartikulasi dengan bagian skuamosa dari tulang temporal yang
membentuk basis cranium. Komponen tulang temporal tersebut terdiri dari fosa mandibula yang berbentuk konkaf serta eminensia artikularis yang berbentuk
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
4
konveks dan terletak di anterior fosa mandibula. Fosa mandibula memiliki permukaan artikulasi (bagian fungsional) dan non-artikulasi atau bagian nonfungsional. Bagian posterior permukaan non-artikulasi dibatasi oleh tulang timpani yang menyusun dinding anterior meatus akustikus eksternus.13
Gambar 2.1. Pandangan lateral tulang tengkorak dengan kondilus yang tertarik keluar dari fosa mandibula. Kondilus mandibula (a), eminensia artikularis (b), atap dari fosa mandibula (c), prosesus postglenoid (d), tulang timpani (e), dan tuberkulum artikularis (f). Sumber : Sarnat BG, Laskin DM. The Temporomandibular Joint : A Biological Basis For Clinical Practice 4th ed. Philadelphia. W.B. Saunders Co. 1992. p. 61
Antara fosa mandibula (bagian lateral) dengan tulang timpani terdapat fissure squamotympanic14 yang berjalan dari arah medial dan bercabang menjadi 2, yaitu anterior (petrosquamosa fissure) dan posterior (petrotympanic fissure). Bagian lateral dari petrotympanic fissure dilalui oleh ganglion saraf korda timpani dan pembuluh darah timpani.7
Gambar 2.2. Pandangan basal dari sisi kiri tulang tengkorak. Meatus akustikus eksternus (a), fosa mandibula (b), eminensia artikularis (c), petrosquamous fissure (d), tegmen timpani (e), petrotympanic fissure (f), tympansquamous fissure (g), preglenoid plane (h). Sumber : Sarnat BG, Laskin DM. The Temporomandibular Joint : A Biological Basis For Clinical Practice 4th ed. Philadelphia. W.B. Saunders Co. 1992. p. 62
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
5
Eminensia artikularis (permukaan artikulasi) berada pada bagian anterior dan inferior dari fosa mandibula dan terdiri dari lereng yang menurun, atau disebut dengan ridge transversal (ekstensi medial dari tuberkulum zygomatikum), dan lereng yang naik. Bagian ini dilapisi oleh jaringan ikat fibrosa yang menandakan bagian fungsional dari sendi saat mengunyah.
2.1.3
Diskus Artikularis Diskus artikularis merupakan bagian dari STM yang memisahkan kondilus
dengan fosa mandibula serta eminensia. Diskus artikularis terdiri dari jaringan pengikat fibrosa (kolagen tipe 1) yang padat dan sebagian besar strukturnya tidak dilalui oleh pembuluh darah dan saraf. Berdasarkan ketebalan penampangnya bila dilihat dari penampang sagital, diskus artikularis dibagi menjadi 3 bagian. Bagian tengahnya merupakan bagian yang paling tipis dan dikenal dengan intermediate zone. Sedangkan di kedua bagian tepinya, yaitu anterior dan posteriornya, memiliki penampang yang lebih tebal dibandingkan bagian tengahnya serta dilalui oleh serabut saraf halus. Daerah tepi ini sering disebut dengan anterior band dan posterior band.1 Anterior band dari diskus artikularis akan melekat pada ligamen kapsula, baik pada bagian superior maupun inferiornya. Ligamen kapsula merupakan serat kolagen. Selain perlekatan dengan ligamen kapsula, di antara kedua perlekatan tersebut, pita anterior juga melekat dengan serabut tendon dari otot superior pterigoideus lateral. Sementara itu, posterior band akan meluas ke arah posterior dan disebut sebagai bilaminar zone. Bilaminar zone kemudian akan terbagi menjadi 2, yaitu bagian superior yang tersusun dari lapisan fibroelastin serta melekat pada prosesus postglenoid dari fissure squamotympanic, dan bagian posterior yang tersusun dari lapisan fibrosa serta melekat pada bagian posterior leher kondilus di bawah permukaan artikulasinya. Kedua bagian tersebut dipisahkan oleh jaringan ikat longgar yang melekat pada dinding posterior dari kapsul sendi yang disebut dengan retrodiscal tissue.14
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
6
Gambar 2.3. Potongan parasagital STM. Kondilus mandibula (c), prosesus postglenoid (p), meatus akustikus eksternus (eam), eminensia artikularis (ea), upper joint compartment (1), intermediate zone (2), posterior band (3), bilaminar zone (4), upper portion of bilaminar zone (5), retrodiscal tissue (6), ligamen kapsula posterior (7), lower joint compartment (8), lower portion of bilaminar zone (9), ligamen kapsula anterior (10), anterior band (11), dan otot pterigoideus lateral superior. Sumber : Sarnat BG, Laskin DM. The Temporomandibular Joint : A Biological Basis For Clinical Practice 4th ed. Philadelphia. W.B. Saunders Co. 1992. p. 62
Bagian lateral dan medial diskus artikularis tidak melekat pada kapsul sendi (ligamen kapsula), namun melekat ke kutub medial dan lateral kondilus mandibula oleh ligamen kolateral. Perlekatan tersebut menyebabkan diskus artikularis bergerak mengikuti kondilus mandibula.
2.1.4
Otot-Otot STM Pergerakan sendi temporomandibula dilakukan oleh otot-otot mastikasi yaang
meliputi : otot maseter, temporalis, pterigoideus medialis, pterigoideus lateralis, dan otot suprahioideus yang mencakup otot digastrikus15.
2.1.4.1 Otot maseter Otot ini memiliki origo pada arkus zigomatikum dengan arah serabut ke bawah dan melekat pada ramus mandibula. Insersionya pada ramus mandibula mulai molar kedua sampai ke angulus mandibula. Otot ini memiliki dua bagian kepala yaitu superfisial yang terdiri dari serat-serat otot yang arahnya turun dan ke belakang dan bagian dalam (deep portion) yang arahnya vertikal. Otot maseter adalah otot mastikasi yang sangat kuat, berfungsi untuk menutup mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
7
2.1.4.2 Otot temporalis Otot temporalis memiliki bentuk seperti kipas yang memenuhi fosa temporalis. Memiliki origo pada fosa temporalis dan fascia temporalis. Sedangkan insersionya pada permukaan anterior prosesus koronoideus dan di sepanjang ramus mandibula, mendekati gigi molar terakhir. Otot ini berfungsi menaikkan mandibula dan menarik atau mendorong mandibula ke arah posterior. Pergerakan menarik dan mendorong mandibula meliputi perpindahan kondilus ke arah posterior pada tuberkulum artikularis tulang temporalis dan kembali ke fosa mandibularis. Dengan kata lain, otot temporalis berpartisipasi dalam gerakan mandibula dari sisi ke sisi (side-to-side movement)15.
2.1.4.3 Otot pterigoideus Medial Otot ini berbentuk segi empat dan memiliki kepala superfisial (superficial head) dan kepala dalam (deep head). Deep head melekat di atas permukaan lamina lateralis medial dari prosesus pterigoideus, dihubungkan oleh permukaan prosesus piramidalis tulang palatinus, lalu turun secara oblique ke bagian medial ligamen sphenomandibularis, untuk melekat pada permukaan medial ramus mandibula yang kasar, dekat dengan angulus mandibula. Sedangkan Superficial head mempunyai origo di tuberositas maksilaris dan prosessus palatinus menyatu dengan deep head masuk ke mandibula. Fungsi utama otot ini menutup mulut, tetapi karena melewati secara oblique ke belakang masuk ke mandibula, otot ini juga membantu otot pterigoideus lateralis melakukan gerakan protrusif
2.1.4.4 Otot pterigoideus Lateralis Otot ini merupakan otot yang berbentuk segitiga dan memiliki dua kepala, yaitu :
Upper head mempunyai origo di atap fosa infratemporalis (permukaan inferior “greater wing” sphenoideus dan puncak infratemporalis) lateralis terhadap foramen ovale dan foramen spinosum. Insersio di kapsula artikularis, diskus artikularis, dan leher kondilus.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
8
Lower head lebih lebar dari upper head, mempunyai origo di permukaan lamina pterigoideus lateralis dan insersio di leher kondilus. Serat otot pterigoideus lateralis dari masing-masing kepala menyatu agar
dapat masuk ke fovea pterigoideus leher mandibula dan kapsula STM. Tidak seperti otot pterigoideus medialis yang serat-seratnya cenderung berorientasi secara vertikal, serat-serat otot pterigoideus lateralis cenderung horisontal. Ketika otot pterigoideus lateralis berkontraksi, akan mendorong diskus artikularis dan kondilus mandibula ke depan menuju tuberkulum artikularis. Dengan demikian fungsi utamanya adalah melakukan gerak protrusif pada mandibula. Ketika otot pterigoideus lateralis dan medialis berkontraksi pada satu sisi, dagu bergerak ke arah yang berlawanan. Saat terjadi pergerakan berlawanan pada kedua STM yang terkoordinasi, terjadilah gerakan mengunyah
2.1.4.5 Otot Digastrikus Otot digastrikus memiliki dua belly yang dihubungkan oleh tendon yang melekat pada tulang hyoideus, yaitu :
Posterior belly, berasal dari insisura mastoideus pada prosesus mastoideus medialis tulang temporalis.
Anterior belly, berasal dari fosa digastrikus bagian bawah dalam mandibula. Tendon di antara kedua belly melekat pada tulang hioideus adalah titik
insersio masing-masing belly. Karena hal tersebut, otot ini memiliki banyak kegunaan tergantung pada tulang yang difiksasi, yaitu :
Ketika mandibula pada posisi stabil, otot digastrikus menaikkan tulang hioideus
Ketika tulang hioideus di fiksasi, otot digastrikus membuka mulut dengan menurunkan mandibula.15
2.2
Sistem Persarafan Umum Manusia merupakan organisme yang fenomenal dan rumit. Tubuh manusia
merupakan sistem muskuloskeletal yang dibungkus oleh jaringan kulit dan juga struktur lainnya seperti mukogingival.4 Sistem tersebut terdiri dari otot, tulang, dan ligamen
(tendon)
termasuk
di
dalamnya
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
sistem
mastikasi.
Struktur
ini
9
memungkinkan individu untuk melakukan pergerakan. Sedangkan jaringan kulit dan mukogingival berguna untuk menyediakan masukan bagi tubuh seseorang akan kondisi lingkungannya. Selain itu dibutuhkan pula sistem transportasi seperti pembuluh darah, sistem pernafasan, dan pencernaan untuk menopang sistem muskuloskeletal serta jaringan pembungkusnya. Fungsi dari sistem-sistem tersebut sangat kompleks, sehingga dibutuhkan sistem komunikasi untuk mengkoordinasikan seluruh aktivitas dari organisme. Sistem komunikasi tersebut adalah sistem saraf yang dibagi menjadi 3 bagian fungsional, yaitu sistem saraf tepi, pusat, dan otonom. Sistem saraf tepi terutama berperan untuk membawa informasi dari struktur muskuloskeletal serta kutan untuk diolah di dalam sistem saraf pusat dan sebaliknya. Sedangkan sistem saraf otonom berperan untuk mengatur aliran darah, pernafasan dan pencernaan. Struktur dasar sistem saraf adalah sel saraf atau neuron. Sel saraf tersebut tersusun atas kumpulan masa protoplasma atau badan sel saraf, dan tonjolan protoplasma dari badan sel saraf itu sendiri atau disebut dengan dendrit. Badan sel saraf umumnya terletak di dalam SSP, yakni pada substansi abu-abu dari korda spinalis dan otak. Sementara badan sel saraf yang terletak di luar SSP bersatu membentuk ganglia. Berdasarkan lokasi dan fungsinya, sel saraf (neuron) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :4
Neuron aferen Neuron aferen berguna untuk membawa impuls ke Sistem Saraf Pusat (SSP). Di ujung perifernya, sebuah neuron eferen memiliki reseptor4,16 sehingga disebut juga dengan neuron sensorik.
Neuron eferen Neuron eferen merupakan neuron motorik yang menghantarkan impuls respon yang sesuai dengan stimulus yang telah diolah oleh SSP.
Anterneuron Antarneuron
sepenuhnya
terletak
di
dalam
SSP
dan
berguna
untuk
menghubungkan antara neuron aferen dengan SSP dan neuron aferen dengan eferen.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
10
Informasi dari sistem saraf tepi (saraf eferen) akan dibawa ke SSP (batang otak dan korteks) untuk diinterpretasikan dan dievaluasi. Sesudah informasi tersebut dievaluasi, maka SSP kemudian akan mengirimkan jawaban atas stimulus ke korda spinalis dan keluar untuk menuju organ yang mendapat persarafan eferen berupa respon yang sesuai. Impuls yang dibawa oleh neuron aferen ke SSP melalui dorsal root ganglia akan bersinapsis dengan antarneuron di tanduk dorsal korda spinalis.1,4 Dorsal root ganglia merupakan kumpulan badan sel saraf aferen. Impuls kemudian dibawa oleh anterneuron tersebut melintasi korda spinalis dan menuju substansi alba dari korda spinalis. Substansia alba tersebut mengandung traktus atau berkas seratserat saraf (akson) dari antarneuron yang panjang dengan fungsi serupa. Jalur yang ditempuh melalui traktus-traktus ini akan berakhir pada daerah tertentu di otak.16
Gambar 2.4. Grafik yang menggambarkan jalur penghantaran impuls dari tepi ke SSP. Neuron aferen (primary afferent) membawa impuls ke tanduk dorsal dan bersinaps dengan antarneuron. Kemudian Antar neuron akan melintasi korda spinalis dan berjalan ke atas menuju pusat yang lebih tinggi. Antarneuron pendek yang menghubungkan neuron aferen dengan neuron eferen (primary efferent neuron) akan menghasilkan refleks. Dorsal root ganglia mengandung badan sel saraf neuron aferen. Sumber : Okeson, JP. Bell’s Orofacial Pain. Chicago. Quintessence Publ Co. 1995. p. 16.
Terdapat banyak sekali jalur anterneuron yang terlibat dengan penghantaran impuls ke talamus dan korteks. Ada pula jalur antarneuron, terletak di tanduk dorsal, bersinaps secara langsung dengan neuron eferen. Neuron eferen tersebut akan keluar dari korda spinalis melalui ventral root untuk menuju organ tubuh tertentu yang dipersarafinya. Jalur saraf ini dikenal dengan lengkung refleks. Akan tetapi jalur refleks tidak semudah seperti yang dibayangkan karena melibatkan beberapa atau bahkan banyak jalur antarneuron dengan respon yang beragam pula.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
11
Lalu bagaimana dengan sistem persyarafan dari STM dan sistem mastikasi lainnya yang mencakup otot-otot dan ligamen?
2.3
Persarafan STM dan Otot-Otot Mastikasi Mekanisme penghantaran impuls beserta jalur-jalur persarafan yang baru
disebutkan di atas merupakan jalur umum yang terjadi di mana stimulus yang diterima oleh tubuh akan dihantarkan ke SSP, namun stimulus yang berasal dari wajah dan struktur di dalam rongga mulut tidak dihantarkan ke korda spinalis melalui jalur-jalur saraf spinal tadi. Sebagai gantinya, impuls akan dibawa oleh saraf aferen dari sistem saraf trigeminal (saraf kelima dari 12 saraf kranial). Badan sel saraf aferen trigeminal terletak di ganglion gasserian. Impuls yang dibawa oleh saraf aferen akan dihantarkan ke dalam batang otak (kompleks nukleus sensorik trigeminal) untuk bersinapsis dengan antarneuron pada daerah trigeminal spinal tract nucleus.1,4 Daerah ini memiliki kesamaan dengan tanduk dorsal dari korda spinalis.
Gambar 2.5. Grafik yang menggambarkan jalur sistem persarafan trigeminal. Neuron aferen memasuki batang otak untuk bersinaps dengan antarneuron di trigeminal spinal tract nucleus (STN of V). Trigeminal Spinal tract nucleus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu subnucleus oralis (nso), subnucleus interpolaris (sni), dan subnucleus caudalis (snc). Kompleks batang otak sistem persarafan trigeminal terdiri pula dari motor nucleus (MN of V) atau nukleus motorik, dan main sensory nucleus (SN of V) atau nukleus utama sensorik. Badan sel saraf neuron aferen trigeminal terletak di ganglion gasserian (GG). Antarneuron akan membawa impuls ke talamus (Th) untuk diinterpretasikan. Sumber : Okeson, JP. Bell’s Orofacial Pain. Chicago. Quintessence Publ Co. 1995. p. 30.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
12
Kompleks nukleus sensorik trigeminal terdiri dari main sensory nucleus (nukleus sensorik utama), yang menerima masukan dari neuron aferen yang mempersarafi jaringan pulpa serta periodontal dan trigeminal spinal tract nucleus. Spinal tract nucleus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu subnukleus oralis, subnukleus interpolaris, dan subnukleus kaudalis. Subnukleus kaudalis merupakan daerah di batang otak yang menerima dan mengintegrasikan masukan nosiseptif (nyeri) yang dibawa oleh saraf aferen trigeminal.17,18 Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya dibahas persarafan STM dan sistem mastikasi lainnya berdasarkan anatomis, jenis persarafan, dan fungsinya (fisiologis).
2.3.1
Anatomi Persarafan STM dan Otot-Otot Mastikasi Seperti yang sudah disebutkan bahwa sistem saraf aferen berguna untuk
mengirimkan informasi mengenai keadaan lingkungan internal dan eksternal ke SSP untuk diolah menjadi sebuah persepsi (sensasi). Sensasi yang muncul pada STM dan otot-otot mastikasi, baik itu disadari maupun tidak disadari, memegang peranan penting untuk menjaga kesehatan sistem stomatognati.14 STM dan otot-otot mastikasi dipersarafi oleh sistem saraf trigeminal, terutama divisi mandibula dengan beberapa cabangnya dan memiliki fungsi sensorik maupun motorik. Bagian lateral dan posterior dari kapsul sendi (ligamen kapsular) dipersarafi oleh saraf aurikulotemporal dan bagian anteriornya oleh cabang-cabang kecil saraf aurikulotemporal, saraf temporalis posterior dalam, dan saraf maseter. Sedangkan bagian medialnya dipersarafi oleh percabangan saraf maseter dan aurikulotemporal.14 Sementara itu, otot-otot mastikasi dipersarafi oleh serat-serat saraf, baik aferen maupun eferen, yang sesuai dengan letak dan anatomi dari otot-otot tersebut, seperti saraf maseter, saraf temporalis posterior, pterigoideus lateral dan medial, milohioid, digastrikus anterior, dan sebagainya. Keseluruhan unit neuron motorik tersebut berasal dari divisi mandibula sistem saraf trigeminal.4
2.3.2
Fisiologi Persarafan STM dan Otot-Otot Mastikasi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
13
Pada dasarnya neuron aferen dan eferen sama-sama berguna untuk menghantarkan impuls. Yang membedakannya adalah neuron aferen memiliki reseptor yang terdapat di ujung-ujungnya sedangkan neuron eferen tidak. Sebaliknya, neuron eferen memiliki akson yang berfungsi untuk menggerakkan organ tubuh tertentu. Fungsi reseptor adalah untuk menerima berbagai jenis stimulus atau modalitas (tekanan, panas, dan perubahan kimiawi) menjadi energi listrik. Lalu, apa saja reseptor yang terdapat di STM serta otot-otot mastikasi dan bagaimana fungsinya? Secara garis besar, jenis reseptor beserta fungsinya yang terdapat di STM dan otot-otot mastikasi adalah sebagai berikut : Tabel 1. Jenis dan Fungsi Reseptor Pada STM dan Otot-Otot Mastikasi. Jenis Reseptor
Fungsi Reseptor 21
Letak
Ruffini
Mendeteksi tekanan dan suhu
Ligamen Kapsula
Korpus Pacini
Mendeteksi tekanan
STM, kulit
Badan Golgi
Mendeteksi tekanan, suhu, dan tension pada
Ligamen
otot
tendon.
Mendeteksi peregangan (length) pada otot
Serat
Muscle Spindle
STM
dan
intrafusal
otot
mastikasi Free ending
Mendeteksi nyeri
STM dan otot mastikasi
Fokus bahasan adalah pada reseptor free ending (nosiseptor) yang berguna untuk menerima berbagai jenis stimulus (tekanan, suhu, dan kimia) untuk diinterpretasikan sebagai rasa nyeri.14 Tidak ada nosiseptor yang memiliki struktur khusus, mereka semua adalah ujung-ujung saraf telanjang.16 Perlu diketahui bahwa free nerve ending dan beberapa pleksusnya dapat dijumpai di seluruh bagian STM dan otot mastikasi.
2.3.3
Peran SSP Bagi Otot-Otot Matikasi Setiap stimulus yang diterima oleh reseptor, baik mengenai kondisi pada
sendi STM maupun otot mastikasinya, dan dihantarkan oleh neuron aferen yang bersangkutan ke SSP (batang otak), bertujuan untuk menghasilkan pergerakan otot-
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
14
otot kepala dan leher yang dinamis. Dengan kata lain, kontrol atas setiap gerakan motorik bergantung pada masukan akan kondisi tubuh ke SSP yang pada akhirnya akan menghasilkan pula masukan yang sesuai bagi neuron motorik pada unit motorik spesifik.16 Sebagai contoh, ketika otot-otot elevator mandibula secara pasif tertarik oleh gaya gravitasi, muscle spindle akan mendeteksi perubahan panjang otot dan membawa informasi tersebut kepada SSP (nukleus mesensefalik) melalui neuron aferen. Kemudian, neuron aferen akan bersinaps dengan antarneuron atau neuron eferen di trigeminal motor nucleus sehingga mendorong terjadinya kontraksi otot.7 Mekanisme ini disebut dengan refleks miotatik. Selain itu, stimulus terhadap reseptor STM dapat menyebabkan refleks pada pergerakan mandibula. Studi yang dilakukan oleh Kawamura (1967) menunjukan bahwa aktivitas eksitasi dan inhibisi pada neuron motorik dari otot levator (otot maseter) dapat terjadi setelah menerima impuls dari reseptor di STM.20 Dari contoh yang disebutkan di atas terlihat jelas bahwa SSP berperan penting untuk mengatur setiap impuls yang datang agar dapat menghasilkan respon bagi otot-otot mastikasi yang sesuai. Struktur di dalam SSP yang mengambil peran tersebut adalah batang otak dan korteks. Walaupun korteks merupakan penentu dan pengatur utama dari setiap gerakan, batang otak juga dapat mengambil peran untuk mengatur jalannya fungsi-fungsi tubuh yang tidak disadari. Di dalam batang otak terdapat kumpulan sel-sel saraf (nukleus) yang mengatur aktivitas seperti bernafas, berjalan, dan mengunyah (aktivitas fungsional). Kumpulan neuron ini disebut central pattern generator (CPG)1,7 dan merupakan bagian dari formasio retikularis. Selain itu, nukleus mesensefalik di otak tengah juga berperan untuk mengatur aktivitas refleks otot mastikasi. Lalu, bagaimana dengan aktivitas non-fungsional? Siapa yang berperan untuk menghasilkannya? Selain korteks dan batang otak, terdapat sistem saraf pusat lain yang dapat mempengaruhi setiap pergerakan otot-otot yang diatur oleh CPG dan nukleus mesensefalik tanpa mendapat masukan dari sistem saraf tepi akan kondisi sendi dan otot terlebih dahulu, yaitu sistem limbik. Sistem limbik merupakan bagian dari serebrum yang berperan untuk mengatur aktivitas emosional dan perilaku seseorang.4 Peran sistem ini dapat akan semakin terlihat pada saat seseorang mengalami stres
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
15
karena mencetuskan terjadinya peningkatkan tonus otot-otot mastikasi sehingga dapat mengubah aktivitas otot tersebut. Sebagai contoh, stres yang dibangkitkan oleh sistem limbik dapat mengaktifkan neuron eferen gamma yang terletak di trigeminal motor nucleus. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tonus otot sehingga menjadi lebih peka terhadap stimulus regangan yang intensitasnya lebih kecil.1 Masukan dari sistem limbik juga dapat mempengaruhi CPG sehingga dapat menciptakan aktivitas otot-otot mastikasi yang tidak relevan (non-fungsional) seperti pada penderita clenching atau bruxism.1,7
2.4
Etiologi Gangguan STM dan Sistem Mastikasi Penyebab gangguan STM sangat kompleks dan multifaktor. Seperti yang
sudah disebutkan bahwa gangguan pada temporomandibula meliputi perubahan morfologi atau fungsi permukaan artikulasi sendi rahang dan perubahan fungsi sistem neuromuskular. Menurut Cooper, gangguan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai gangguan intrinsik apabila menampilkan perubahan patologis, atau gangguan ekstrinsik apabila menunjukkan gangguan sistem neuromuskular.2 Etiologi gangguan intrinsik adalah internal derangements, rheumatoid arthritis, kelainan pertumbuhan, ankilosis sendi rahang, dan lain sebagainya. Sedangkan gangguan ekstrinsik biasanya disebabkan oleh penggunaan otot yang berlebihan.1,14 Titik berat pembahasan saat ini adalah pada gangguan ekstrinsik atau dikenal juga dengan myofascial pain and dysfunction syndrome.14,21 Untuk memudahkan penjelasan mengenai terjadinya gejala gangguan ekstrinsik, maka formula berikut disajikan.1 Fungsi ++ Normal
Kejadian (Event)
>
Toleransi fisiologis
→ →
Gejala gangguan STM
Kadang-kadang fungsi dari sistem neuromuskular terganggu oleh beberapa kondisi. Apabila kondisi tersebut cukup berat dan melampaui toleransi fisiologis dari sistem neuromuskular, maka akan menimbulkan gejala gangguan STM. Untuk menjelaskan formula, maka masing-masing faktor akan dijelaskan lebih rinci, kecuali untuk gejala gangguan STM akan dijelaskan kemudian.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
16
2.4.1
Kejadian (Event) Kondisi yang dapat mengganggu fungsi sistem neuromuskular terdiri dari
lokal dan sistemik. Kondisi lokal meliputi setiap perubahan pada struktur wajah dan leher yang dapat memberikan masukan sensorik bagi SSP. Sebagai contoh, trauma pada jaringan periodontal akibat kontak prematur antara gigi dengan mahkota tiruan yang tidak tepat dapat memberikan masukan sensorik ke SSP dan mencetuskan respon refleks bagi otot mastikasi.1 Masukan sensorik tersebut akan menghambat kerja otot elevator sehingga mencegah pergerakan menutup rahang lebih lanjut dan bertujuan untuk menghindari kontak prematur tersebut. Kondisi sistemik meliputi faktor psikososial yang dialami oleh pasien.1,6,14 Seperti yang sudah disebutkan bahwa stres dapat mempengaruhi kerja otot mastikasi melalui peningkatan tonus otot dan peningkatan aktivitas otot yang berlebihan (muscle hyperactivity). Peningkatan tonus otot terjadi karena stres yang dibangkitkan oleh sistem limbik dapat mengaktifkan neuron eferen gamma yang terletak di trigeminal motor nucleus. Sedangkan muscle hyperactivity akibat stres biasanya berhubungan dengan aktivitas parafungsi.14 Menurut Carlsson, aktivitas parafungsi merupakan aktivitas otot-otot mastikasi yang tidak memiliki tujuan fungsional.25 Aktivitas parafungsi mampu menghasilkan kekuatan yang sangat berbahaya karena terjadi kontraksi otot secara isometrik* dengan interval yang lebih lama dari biasanya. Hal ini didukung oleh Chong yang melakukan penelitian terhadap posisi istirahat dan aktivitas parafungsi dari otot-otot mastikasi dengan menggunakan EMG.5 Hasilnya yaitu terjadi peningkatan aktivitas listrik otot dari posisi istirahat ke aktivitas parafungsi yang menunjukkan peningkatan rekrutmen unit motorik* (serat otot dan neuron eferen) dengan durasi yang lebih singkat. Selain itu, kontak yang terjadi pada aktivitas parafungsi adalah kontak eksentrik pada posisi rahang yang tidak stabil dan pasien biasanya tidak menyadari bila sedang melakukan aktivitas parafungsi tersebut. Aktivitas parafungsi terdiri dari 2 macam, yaitu aktivitas parafungsi yang terjadi saat pagi hari (diurnal) dan malam hari (nocturnal).1,6 Contoh aktivitas * Isometrik adalah mempertahankan keseragaman panjang otot. * Unit motorik adalah beberapa serat otot yang dipersarafi oleh satu neuron eferen (motorik).
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
17
parafungsi diurnal adalah clenching. Definisi clenching menurut American Academy of Orofacial Pain adalah suatu aktivitas parafungsi yang dilakukan pada pagi hari (diurnal) dan dikenal juga dengan bruxism dalam posisi sentrik.6 Dahulu para ahli berpendapat bahwa occlusal interference merupakan faktor presipitasi dari clenching. Namun dalam laporan terbaru dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara occlusal interference dengan clenching. Rugh melaporkan bahwa clenching dan bruxism diatur oleh SSP dan stimulasi terhadapnya dapat membangkitkan aktivitas tersebut. Faktor seperti stres emosional memberikan kontribusi besar bagi terjadinya aktivitas tersebut.1,6,14 Akan tetapi, stres emosional bukan satu-satunya faktor penyebab dari clenching dan bruxism. Faktor lain yang bisa merupakan etiologi adalah alergi, obat penenang, dan alkohol. Selain itu, Klineberg menyatakan bahwa faktor genetik juga merupakan salah satu etiologi terjadinya clenching.6
2.4.2
Toleransi Fisiologis Toleransi fisiologis merupakan kemampuan individu dalam menghadapi
setiap kondisi dan masing-masing individu tidak berespon sama terhadap kondisi yang mengancam. Faktor ini dipengaruhi oleh genetik, jenis kelamin, pola makanan, ada tidaknya penyakit akut atau kronis yang diderita, dan kemampuan SSP untuk memodulasi impuls nyeri.1
2.5
Gejala dan Tanda Gangguan STM Gangguan ekstrinsik meliputi seluruh gangguan sistem muskuloskeletal di
daerah kepala dan leher. Gejala dan tanda yang sering dilaporkan adalah :1,14,22
Nyeri otot (mialgia). Nyeri otot yang dirasakan bersifat tumpul, dalam, persisten, sumber nyeri sulit untuk ditentukan, dapat menimbulkan efek eksitasi sentral, dan terjadi di satu sisi (unilateral). Pasien kadang-kadang melaporkannya sebagai nyeri tumpul di daerah sekitar telinga yang dapat menyebar sampai daerah temporal, frontal, mata, servikal, dan oksipital. Intensitas nyeri tersebut berhubungan secara
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
18
langsung dengan aktivitas dari otot mastikasi, atau dengan kata lain akan bertambah nyeri bila menjelang pagi dan siang hari.
Muscle tenderness. Gejala ini jarang dilaporkan oleh pasien dan dapat diketahui melalui pemeriksaan klinis dengan palpasi. Menurut Laskin, muscle tenderness menggambarkan keadaan otot-otot mastikasi yang kejang.
Keterbatasan pergerakan mandibula. Secara klinis dapat dilihat sebagai keterbatasan membuka mulut lebar-lebar atau deviasi mandibula saat membuka mulut. Keterbatasan pergerakan tersebut adalah upaya pasien untuk mengurangi rasa sakit pada otot elevator atau depresor akibat kontraksi atau peregangan ketika berfungsi.
Bunyi sendi.
Telinga berdengung (Tinnitus). Menurut Laskin, gejala gangguan ekstrinsik merupakan manifestasi dari
keadaan otot yang kejang (myospasm). Myospasm dapat digambarkan sebagai otot yang berkontraksi secara tiba-tiba, tidak disadari, dan disertai dengan gejala seperti nyeri dan mengganggu pergerakan mandibula.4 Wajar jika dikatakan bahwa otot yang kejang membutuhkan masukan terus-menerus dari neuron eferen yang mempersarafinya. Namun, dari hasil penelitian menggunakan EMG tidak ditemukan adanya aktivitas listrik otot yang terus-menerus tersebut.1,14 Dari kasus-kasus yang sering dilaporkan, penyebab myospasm adalah kelelahan otot akibat penggunaan otot yang berlebihan (muscle hyperactivity) yang dibangkitkan oleh stres. Kelelahan otot (muscle fatigue) adalah ketidakmampuan mempertahankan kontraksi otot pada tingkat tertentu walaupun rangsangan dilanjutkan.16 Faktor yang mencetuskan kelelahan otot adalah kondisi iskemia* yang terjadi selama otot-otot berkontraksi secara berlebihan. Seperti yang sudah disebutkan bahwa pada aktivitas parafungsi terjadi kontraksi otot secara isometrik yang dapat mengurangi aliran darah ke jaringan otot untuk menyokong kebutuhan oksigen. Selain itu, aliran darah yang tidak normal tersebut juga menyebabkan penimbunan asam laktat sehingga menghambat kerja enzim penghasil energi.16 Lalu, apakah ini menandakan bahwa serat otot mastikasi rentan terhadap kelelahan? Studi * Iskemia adalah kondisi kurangnya pasokan darah pada jaringan tubuh tertentu.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
19
secara histologi dan fisiologi menunjukkan bahwa sebagian besar otot mastikasi mengandung serat otot yang tidak tahan terhadap kontraksi otot yang berkepanjangan (fast twitch).14,21 Penimbunan asam laktat menyebabkan nyeri otot yang timbul sebelum atau sesudah kelelahan otot terjadi. Gejala nyeri yang timbul biasanya hanya berlangsung sementara. Namun, bila dilihat dari gejala gangguan ekstrinsik (nyeri otot) yang bersifat menetap sepertinya bukan disebabkan oleh kelelahan otot yang berlangsung terus-menerus.14 Ada beberapa alasan untuk menjelaskan hal tersebut. Alasan pertama, berdasarkan analisis menggunakan EMG, menunjukkan bahwa aktivitas otot pada subyek dengan gejala gangguan ekstrinsik tidak lebih aktif dari subyek yang normal, yaitu ketika mandibula dalam keadaan istirahat.14 Kedua, dari hal di atas, tidak beralasan jika dikatakan bahwa asam laktat akan dihasilkan terus-menerus kecuali otot-otot tersebut dalam kondisi aktif berkontraksi secara permanen. Sedangkan pada otot yang lelah, aktivitas kontraksi otot yang normal tidak dapat dipertahankan.14 Jadi dapat disimpulkan bahwa kelelahan otot tidak dapat menjelaskan terjadinya gejala gangguan ekstrinsik (nyeri otot) yang menetap. Sebagai alternatif, Christensen melaporkan bahwa gejala nyeri otot yang menetap disebabkan oleh kerusakan struktural beberapa jaringan otot akibat penggunaan otot yang berlebihan.14 Cedera pada jaringan otot dapat mencetuskan reaksi inflamasi sehingga meningkatkan tekanan jaringan otot akibat proses edema. Hal ini yang menimbulkan konsekuensi bagi menetapnya gejala nyeri otot pada pasien dengan gangguan ekstrinsik daripada proses yang terjadi pada kondisi kelelahan otot. Akibat lain yang ditimbulkan dari reaksi inflamasi adalah peningkatan temperatur di regio otot yang mengalami kerusakan. Bila hal ini berlangsung lama, distrofi* otot ringan akan terjadi.1,14 Pada tahun 1952, Travell dan Rinzler menyebut kejadian tersebut dengan myofacial pain.1 Okeson kemudian mengklasifikasikan myofacial pain sebagai gangguan kronis sistem neuromuskular.1,4 Definisi myofacial pain adalah nyeri otot regional disertai dengan daerah otot yang tegang dan hipersensitif, disebut juga * Distrofi otot adalah proses degeneratif unsur-unsur kontraktil otot yang kemudian digantikan oleh jaringan ikat.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
20
dengan trigger point. Nyeri otot yang dirasakan berasal dari regio otot yang hipersensitif dan dari studi secara histologi dilaporkan bahwa pada regio tersebut terjadi perubahan struktural jaringan otot ringan (distrofi otot). 1,4 Bagaimana terjadinya trigger point masih diperdebatkan dan dianggap bahwa perubahan kondisi jaringan tersebut mengakibatkan pelepasan substansi algogenik, seperti bradikinin, substansi P, dan prostaglandin. Senyawa tersebut dapat merangsang merangsang nosiseptor free nerve ending dan menurunkan potensial ambangnya (sensitisasi) sehingga menghasilkan daerah yang lebih sensitif dari sekitarnya (zone of hypersensitivity).1 Selain menimbulkan gejala nyeri otot regional, trigger point juga dapat menyebabkan nyeri alih (referred pain) dan sering dilaporkan oleh pasien sebagai nyeri kepala. Sebagai contoh, pasien yang menderita myofacial trigger point pain pada regio otot trapesius akan merasakan nyeri alih pada daerah temporal atau disebut juga dengan tension type headache.1,4
Gambar 2.6. Penyebaran referred pain dan lokasi trigger point (x) di otot trapesius. Sumber : Okeson, JP. Bell’s Orofacial Pain. Chicago. Quintessence Publ Co. 1995. p. 278.
2.6
Mekanisme Nyeri Kepala (Tension Type Headache) Tension type headache merupakan salah satu gejala dari gangguan sistem
neuromuskular. Gejala tersebut merupakan nyeri alih, yaitu nyeri yang timbul pada
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
21
daerah lain yang bukan sumbernya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai mekanisme nyeri alih. Seperti yang sudah disebutkan bahwa kondisi iskemia dan reaksi inflamasi akibat kerusakan jaringan otot (kondisi myofacial pain) dapat memacu pengeluaran mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin, substansi P, dan lain sebagainya. Bradikinin merupakan mediator kimia yang memiliki potensi paling besar untuk mengaktifkan free ending (nosiseptor). Senyawa ini berperan untuk menghasilkan nyeri tumpul dan menetap karena berhubungan dengan jalur nyeri lambat. Selain sebagai stimulus nyeri, bradikinin juga dapat menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kapiler (reaksi inflamasi).14 Mediator kimia lain seperti prostaglandin (PGE2) dapat menurunkan potensial ambang dari nosiseptor (sensitisasi). Senyawa ini akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih peka baik terhadap stimulus nyeri maupun stimulus yang dianggap normal sekalipun. Jadi dengan kata lain, akan terasa lebih nyeri apabila ada prostaglandin.4,16 Prostaglandin tidak dapat mengaktifkan nosiseptor secara langsung, tetapi perlu bekerjasama dengan bradikinin. PGE2 dan bradikinin dikeluarkan ketika jaringan tubuh mengalami kondisi iskemia. Selain itu, free nerve ending juga dapat mengeluarkan substansi P yang dapat mengaktifkan nosiseptor lain yang berada di dekatnya. Hal-hal inilah yang mendasari peristiwa hiperalgesia (trigger point) yang merupakan gejala dan tanda myofacial pain.1,4,22 Free nerve ending yang diaktifkan oleh senyawa-senyawa tersebut akan menghantarkan impuls nyeri ke dalam kompleks batang otak sistem persarafan trigeminal (lihat gambar 2.5). Kemudian neuron aferen tersebut akan menuruni kompleks tersebut menuju subnukleus kaudalis untuk bersinaps dengan antarneuron sebelum menuju sistem pusat yang lebih tinggi.4 Hampir sebagian besar free nerve ending yang bersinaps di subnukleus kaudalis akan mengalami konvergensi. Konvergensi adalah peristiwa dimana beberapa neuron aferen akan bersinaps dengan satu antarneuron. Menurut beberapa penelitian, implus yang berasal dari organ dalam (seperti otot-otot mastikasi) memiliki peluang yang besar untuk berkonvergensi.14 Konvergensi sentral dapat menyebabkan bercampurnya berbagai muatan impuls sehingga kadang-kadang nyeri pada bagian tubuh tertentu akan dirasakan
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
22
juga pada bagian tubuh yang lain (lihat gambar 2.7). Efek dari konvergensi ini akan semakin nyata bila impuls nyeri yang dihantarkan oleh free nerve ending bersifat dalam dan konstan, seperti sifat nyeri pada gejala gangguan ekstrinsik.1,4
Gambar 2.7. Cedera otot trapesius menyebabkan kerusakan jaringan. Stimulus nyeri yang berasal dari servikal tersebut akan dihantarkan sesuai dengan jalurnya ke SSP untuk diinterpretasi. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka menimbulkan efek eksitasi sentral pada jalur neuron didekatnya yang berkonvergensi. Akibatnya, antarneuron akan membawa impuls tambahan ke SSP sehingga korteks sensorik akan menerima dua lokasi nyeri. Yang pertama adalah otot trapesius dan merupakan sumber nyeri (primary pain). Daerah yang kedua adalah STM dan merupakan nyeri alih (referred pain) yang dirasakan oleh pasien. Sumber : Okeson, JP. Bell’s Orofacial Pain. Chicago. Quintessence Publ Co. 1995. p. 66.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
23
2.7
Kerangka Teori
Genetik
Muscle Tenderness
Nyeri Stres Marah Konsentrasi Penuh
Nyeri Otot
Clenching
Gangguan STM
Gejala Gangguan
Kepala
Mandibular Movement Limitation
STM
Obat-Obatan
Bunyi Sendi
Alkohol
Tinnitus
24
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia