TEMPER TANTRUM
MAKALAH
SMF JIWA RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
Disusun oleh : Kevin Anthony 16360196
Pembimbing : dr. Nauli Aulia Lubis, Sp.KJ
SMF JIWA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI TAHUN 2016
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul TEMPER TANTRUM. Makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai temper tantrum dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Jiwa Fakultas Kedo kteran Universitas Malahayati. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pembimbing dr. Nauli Aulia Lubis, Sp.KJ yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah ini hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Lubuk Pakam, 27 September 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………….……...……………………… 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Temper Tantrum…....…………………………………………... 4 2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Temper Tantrum…………………................... 5 2.3. Jenis Tantrum……..…..……………………………………..…………….... 6 2.4. Proses Terjadinya Temper Tantrum Pada Anak……………………………. 6 2.5. Penyebab Terjadinya Tantrum Pada Anak ……………………………..…... 7 2.6. Bentuk-Bentuk Perilaku Tantrum…………………………………….…...... 7 2.7. Kriteria Diagnosis Temper Tantrum………………………………………... 9 2.8. Cara Menghadapi Anak Temper Tantrum…………………………………... 9 2.9. Pencegahan Temper Tantrum………………………………...…………….. 10 2.10.
Hal Yang Perlu Dilakukan Dan Dihindar i Saat Terjadi Tantrum……...... 12
iii
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………….… 14 DAFTAR PUSTAKA …………………………………….…………….……… 15
iv
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
Hasil proyeksi sensus penduduk 2010, pada 2011 penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak, karena anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Usia kanak-kanak merupakan usia kelompok dimana anak sedang mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial. Setiap anak dapat mengalami masalah perilaku jika terdapat ketidaksesuaian, antara anak dan lingkungan. (1) Masalah perilaku di awal dan pertengahan masa kanak-kanak, tampak mencolok pada usia 18 bulan sampai 5 tahun bahkan lebih. Alasanya, karena anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. Salah satu tugas perkembangan yang paling sulit dilalui oleh anak adalah temper tantrum dengan tindakan yang berlebihan, perilaku tersebut dilakukan anak dengan mengejek, menangis, menjerit, memukul, menendang, menghentakkan kaki, murung, melakukan gerakan tubuh yang membahayakan diri sendiri dan orang lain serta membuang segala sesuatu yang ada disekitarnya. (1) Anak akan belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Dengan begitu anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang (oposisi) karena sedang mengembangkan kemandirian dan otonominya. Hambatan perkembangan anak dalam berhubungan ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam mengungkapkan keinginan dan harapan mereka pada orang lain
1
sehingga
sering
menyebabkan
ketidaksepahaman
dengan
orang
lain.
Ketidaksepahaman mereka dengan orang lain ini, menimbulkan perasaan stress, kecewa, cemas, marah, dan frustasi. (1) Perasaan bersalah, ansietas, dan takut juga bisa diakibatkan oleh pikiran yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan. Hal tersebut membuat anak menerima perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan dan bersedia dengan sabar menunda pemenuhan kebutuhannya. Perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan tersebut tidak akan meledak menjadi kemarahan, jika anak tersebut memiliki toleransi terhadap rasa kecewa, cemas, marah dan frustasi. Anak prasekolah sulit sekali menerima perasaan tidak menyenangkan tersebut, sehingga mereka akan melakukan hal yang negatif dan cenderung untuk melakukan kegiatan yang tidak disukai. (1) Anak biasanya akan melakukan hal negatif ini ketika mereka tahu ada larangan “tidak” untuk sesuatu yang dia ingin lakukan dan biasanya akan berhenti bila anak mendapat yang diinginkannya. Tingkat temper tantrum anak tergantung bagaimana besarnya energi. Tantrum pada anak yang berusia 4 dan 5 tahun jarang meledak menjadi keadaan yang sulit dikendalikan sebagaimana anak berusia 2 tahun. Pada usia ini anak sudah dapat berbicara mengenai amarah dan keputusasaanya dan berusaha
untuk
mengendalikannya
sehingga
dia
tidak
lagi
tantrum
untuk
menyalurkan emosinya tetapi menunjukkan ekspresi murung atau bertampang masam. (1) Indikator
penyebab
temper
tantrum
adalah
ketidaksesuaian
dengan
lingkungan, keluarga, disiplin yang tidak konsisten, mengkritik terlalu banyak, orang tua yang terlalu protektif atau lalai, anak-anak tidak memiliki cukup cinta dan perhatian dari orang tua mereka, gangguan bermain, baik untuk masalah emosional orang tua, pertemuan orang asing, persaingan dengan saudara atau saudari, stres maternal memiliki masalah dengan bicara, dan penyakit. Manifestasi temper tantrum berubah dengan bertambahnya umur, cenderung akan diulangi dengan intensitas yang semakin bertambah jika anak berhasil memenuhi kebutuhannya. Perilaku ini
2
merupakan bagian dari proses periode perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Tetapi, jika perilaku ini tidak ditangani dengan baik dan bertahap dampak yang ditimbulkan dapat membahayakan anak itu sendiri, membahayakan orang lain. (1)
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Temper Tantrum
Temper tantrum adalah suatu letupan amarah anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistic atau penolakan dengan keras. Temper tantrum terjadi pada anak karena anak belum mampu mengontrol emosinya dan mengungkapkan amarahnya secara tepat (2). Temper tantrum merupakan anak yang bermasalah terhadap perkembangan emosi, dengan ciri : a. Marah berlebihan seperti ingin merusak diri dan barang disekelilingnya b. Tidak dapat mengungkapkan keinginannya c. Takut yang sangat kuat sehingga mengganggu orang di sekitarnya d. Pemalu, hingga menarik diri dari lingkungannya e. Hipersensitif (sangat peka, sulit mengatasi perasaan tersinggung dan pandangan cenderung negatif) (2) Temper tantrum pada anak usia tiga sampai empat tahun meliputi menangis, menggigit, menjerit, memukul, menendang, melemparkan diri ke lantai, melengking, melengkungkan punggung, memukul secara membabi buta, menahan nafas, membenturkan kepala, melemparkan barang, menghentak-hentakkan kaki, berteriakteriak, meninju, membanting pintu, merengek, bahkan memecahkan. (2) Perilaku temper tantrum banyak terjadi pada anak. Perilaku ini harus segera dikurangi, jika tidak dikurangi maka akan mengakibatkan dampak kepada anak ketika dewasa. Jika temper tantrum tidak segera ditangani maka akan mengakibatkan : a. Anak akan menjadikan tantrum sebagai senjata untuk dipenuhi keinginannya, serta kurang dapat menunda keinginannya.
4
b. Perkembangan intelektual dan sosial anak temper tantrum kurang seimbang. (2)
Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting perkembangan, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan kepribadian, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan kepribadian tidak hanya kualitas dan kuantitas kontak dengan orang lain yang memberi pengaruh pada anak yang sedang berkembang tetapi luasnya rentang kontak penting untuk pembelajaran dan perkembangan kepribadian yang sehat. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa. (3) 2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Temper Tantrum
Adapun faktor-faktor tertentu yang dapat memacu dan mempengaruhi terjadinya temper tantrum pada anak, yaitu : a. Keinginan anak yang tidak dituruti b. Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan c. Kebutuhan yang tidak terpenuhi d. Pola asuh orang tua e. Perasaan lelah, lapar, sakit f. Keadaan stress dan rasa tidak nyaman pada diri anak (4) Beberapa anak menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara (hiperakusis) dan menutup telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara petasan, gonggongan anjing, atau sirine polisi. Anak yang lain mungkin justru lebih tertarik dengan suara jam tangan, atau remasan kertas. Sinar yang terang, termasuk sinar lampu sorot di ruang praktek dokter gigi, mungkin membuatnya
5
tegang, walau pada beberapa anak malah menyukai sinar. Mereka mungkin sangat sensitive terhadap sentuhan, memakai baju yang terbuat dari serat yang kasar, seperti wol atau baju dengan label yang masih menempel, atau berganti baju dari lengan pendek menjadi lengan panjang, semua itu dapat membuat mereka temper tantrum. (5) 2.3. Jenis-Jenis Tantrum
Temper tantrum pada anak memiliki dua jenis, yaitu : a. Tantrum amarah Tantrum amarah dengan ciri menghentakkan kaki, menendang, memukul, dan berteriak b. Tantrum kesedihan Tantrum kesedihan dengan ciri menangis terisak-isak, membantingkan diri, dan berlari menjauh. (4) 2.4. Proses Terjadinya Tantrum Pada Anak
Secara tipikal, tantrum mulai terjadi ketika anak membentuk sense of self. Pada usia ini, anak sudah cukup untuk memiliki perasaan “me” dan “my wants”, tetapi mereka belum memiliki keterampilan yang memadai bagaimana memuaskan keinginan mereka secara tepat. Tantrum puncaknya pada usia 2-4 tahun, yakni sekitar 23-80%. (6) Usia dan persentase anak mengalami tantrum. Anak usia 18-24 bulan sebanyak 87%, 30-36 bulan sebanyak 91%, dan usia 42-48 bulan sebanyak 59%. Durasi rata-rata tantrum berdasarkan usia adalah 2 menit untuk anak yang berusia 1 tahun, 4 menit untuk anak yang berusia 2-3 tahun, dan 5 menit pada anak berusia 4 tahun. Dalam seminggu terjadi 8 kali mengalami tantrum pada anak usia 1 tahun, 9 kali pada anak usia 2 tahun, 6 kali pada anak usia 3 tahun, dan 5 kali pada anak usia 4 tahun. Data ini diperkuat oleh Mireault dan Trahan dalam sebuah penelitiannya yang
6
menemukan bahwa dari 33 orang tua yang menjadi objek penelitian, terdapat 26 orang (79%) melaporkan anaknya sering mengalami tantrum dengan durasi berkisar 2 sampai 75 menit. (6) Data ini menunjukkan bahwa perilaku tantrum adalah sebuah peristiwa umum yang dialami oleh anak, sehingga orang tua tidak perlu terlalu risau jika menghadapi anak yang seperti ini. Terpenting adalah bagaimana orang tua atau pengasuh untuk dapat mengontrol emosi dan mengambil tindakan yang tepat. (6) 2.5. Penyebab Terjadinya Tantrum Pada Anak
Penyebab terjadinya tantrum pada anak adalah terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu, dan adanya keinginan yang tidak terpenuhi. Misalnya sedang lapar, ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan atau mengkomunikasikan diri dan keinginannya sehingga orang tua meresponnya tidak sesuai dengan keinginan anak. Pola asuh orang tua yang tidak konsisten juga menjadi salah satu penyebab tantrum, termasuk jika orang tua terlalu memanjakan atau terlalu menelantarkan anak. Saat anak mengalami stress, perasaan tidak aman (unsecure) atau ketidaknyamanan (uncomfortable) juga dapat memicu terjadinya tantrum. (6) Penyebab tantrum erat kaitannya dengan kondisi keluarga, seperti anak terlalu banyak mendapat kritikan dari anggota keluarga, masalah p erkawinan pada orang tua, gangguan atau campur tangan ketika anak sedang bermain oleh saudara yang lain, masalah emosional dengan salah satu orang tua, persaingan dengan saudara, dan masalah komunikasi, serta kurangnya pemahaman orang tua mengenai tantrum yang meresponnya sebagai sesuatu yang mengganggu dan distress. (6) 2.6. Bentuk-Bentuk Perilaku Tantrum
Bentuk tantrum berdasarkan proses pembentukannya yang dapat dibedakan dalam tiga tahapan, yakni tahap pemicu (trigger), tahap respon dan tahap pembentukan. Tahap pemicu tampak pada saat anak diserang, dikritik atau diteriaki 7
oleh orangtua atau saudara dengan sesuatu yang menyakitkan atau menjengkelkan. Kemudian, anak merespon kritikan tersebut secara agresif dan destruktif. Jika perilaku agresi yang dimunculkan oleh anak tersebut mendapatkan reward dari penyerang (attacker) dengan menjadi diam atau berhenti mengkritik, maka taktik ini dianggap berhasil. Disinilah anak akan mulai belajar membentuk perilaku tantrum sebagai senjata untuk melawan segala bentuk serangan dari lingkungannya. Sementara itu, bentuk perilaku tantrum berdasarkan kecenderungan bentuk perilaku yang dimunculkan anak berdasarkan usia, yakni usia kurang dari tiga tahun, usia tiga sampai empat tahun dan usia di atas lima tahun. Adapun bentuk perilaku tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. (6)
USIA < 3 TAHUN (A)
3-4 TAHUN (B)
>5 TAHUN (C)
Menangis
Selain perilaku A :
Selain perilaku A dan B, juga :
Menggigit
Mengentak-hentakkan kaki
Memaki
Memukul
Berteriak-teriak
Menyumpah
Menendang
Meninju
Memukul kakak/adik/temannya
Menjerit
Membanting pintu
Mengkritik diri sendiri
Memekik-mekik
Mengkritik
Memecahkan barang dengan sengaja
Melengkungkan punggung
Merengek
Mengancam
Melempar badan ke lantai Memukul-mukulkan tangan Menahan nafas Membentur-benturkan kepala Melemparkan barang
Perilaku tantrum berdasarkan arah agresivitasnya, yakni diarahkan keluar dan agresivitas yang diarahkan ke dalam dirinya. Perilaku agresivitas yang diarahkan keluar , misalnya anak menampilkan agresi dengan merusak objek disekitarnya seperti mainan, perabot rumah tangga, bendabenda elektronik dan lain-lain. Selain pada benda, agresivitas juga ditunjukan dalam bentuk kekerasan kepada orangtua, saudara, kawan maupun orang lain dengan cara mengumpat, meludahi, memukul, mencakar,
8
menendang serta tindakan lainnya yang bermaksud menyakiti orang lain. Perilaku agresif yang diarahkan kedalam diri, misalnya menggaruk kulit sampai berdarah, membenturkan kepala ke tembok atau ke lantai, membantingkan badan ke lantai, mencakar muka atau memaksa diri untuk muntah atau batuk dan sebagainya. (6) 2.7. Kriteria Diagnosis Temper Tantrum
Perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut : a. Perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan b. Kejam terhadap hewan atau sesama manusia c. Perusakan yang hebat atas barang milik orang lain d. Membakar e. Pencurian f. Pendustaan berulang-ulang g. Membolos dari sekolah dan berlari dari rumah h. Sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa i.
Perilaku provokatif yang menyimpang
j.
Sikap menentang yang berat dan menetap. (7) Masing-masing kategori ini apabila ditemukan, adalah cukup untuk menjadi
alas an bagi diagnosis ini, namun demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan alas an yang kuat.Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan di atas berlanjut selama 6 b ulan atau lebih. (7) 2.8. Cara Menghadapi Anak Dengan Temper Tantrum
Orangtua sering sekali merespon anak yang tantrum dengan cara yang tidak tepat, yakni 59 % mencoba menenangkan anak, 37 % mengacuhkan dan sebanyak 31 % menyuruh anak diam. Data ini menunjukan bahwa orangtua sering keliru ketika menghadapi anak yang mengalami tantrum. Padahal, sejatinya tantrum adalah sebuah kesempatan bagi orangtua untuk mengenalkan emosi marah pada anak dan bagaimana mengatasinya. Karena itulah penting sekali bagi orangtua untuk mengetahui cara merespon tantrum secara tepat. Bagaimana pencegahannya, tindakan
9
apa yang perlu dilakukan dan tindakan yang perlu dihindari saat tantrum berlangsung serta bagaimana orangtua mengenalkan anak mengenai manajemen marah paska tantrum. (6) 2.9. Pencegahan Tantrum
Mencegah terjadinya tantrum dapat dilakukan dengan mengenali kebiasaankebiasaan anak dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa tantrum terjadi pada anak. Misalnya, pada anak yang aktif bergerak dan gampang stres maka orangtua perlu mengatur kondisi agar anak tidak dibuat bosan agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil. Mendampingi anak mengerjakan tugas-tugas sekolah dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk. Hal lain yang bisa dilakukan adalah orangtua perlu memperlakukan anak secara tepat dengan tidak terlalu memanjakan dan tidak pula terlalu menelantarkan anak, hubungan anak adalah hubungan kasih sayang dan perhatian yang proposional. (6) Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah tantrum, yakni perlunya mengidentifikasi konsekuensi dari tantrum, maksudnya bahwa orang tua perlu mengetahui adakah perilaku dari orangtua atau orang lain disekitar anak yang justru mendorong dan memberi penguatan terhadap terjadinya tantrum. Jika ada maka perlu dihilangkan. Selain itu, perlu juga diwujudkan atau dibangun sebuah sistem reward (penghargaan) untuk menjaga anak tetap berperilaku terkontrol. Memberikan penghargaan atau hadiah pada saat tantrum terjadi adalah tidak tepat sebab akan mengkondisikan anak untuk selalu mengulanginya. Untuk anak yang usianya lebih tua perlu diajarkan dan dilatih dengan coping skill dalam menghadapi situasi yang dapat membuat dia tantrum. (6)
10
Mencegah terjadinya tantrum ketika akan melakukan perjalanan atau mengunjungi suatu tempat yaitu dengan cara sebelum berangkat penting sekali membangun kesepahaman dengan anak. Orangtua perlu menjelaskan apa yang akan dilakukan, di mana, dan berapa lama kegiatan tersebut, lalu minta persetujuan anak. Ceritakan perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan oleh orang tua. Tentu saja disampaikan dengan kalimat positif, lembut, dan menggunakan kata-kata yang meminta (mengharap) dan menggunakan ungkapan yang dapat dirasakan oleh anak. Jika sudah sampai di tempat yang dikunjungi dan anak melanggar kesepakatan tersebut, maka tugas orang tua untuk mengingatkan. Ini juga merupakan cara untuk mengajar nilai konsistensi pada anak. Jika anak tetap menuntut, maka ada satu cara yang dapat dilakukan orangtua, yang disebut making a game out of the child’s demand , yakni keterampilan berbahasa untuk keluar dari tuntutan anak. Sebagai contoh dapat dilihat percakapan berikut. (6) Anak : “Saya mau permen! Orangtua : “Mama mau roket untuk pergi ke bulan.” Anak : “beri saya permen!” Orangtua : “beri mama roket untuk pergi ke bulan.” Anak : “beri saya permen!” Orangtua : “mama akan memberi permen jika ade memberi roket .” Anak : “ini.” (seolah-olah memberi roket.) Orangtua :“ini.” (seolah-olah memberi permen.) Anak : “tapi ini Cuma boongan.” Orangtua : “ade juga memberi mama roket boongan.” Anak : “tapi saya tidak punya roket beneran!” Orangtua : “mama juga tidak punya permen beneran!” Beberapa panduan untuk orangtua guna mencegah terjadinya tantrum yakni; mengalihkan perhatian anak, mencoba menemukan alasan kemarahan, menghindari rasa malu kepada anak perihal rasa marah, ajarkan anak mengenai intensitas tingkat
11
kemarahan, atur secara jelas batasan harapan akan manajemen kemarahan sesuai dengan usia, kemampuan dan tempramennya, mengembangkan komunikasi terbuka dengan anak dan mengajarkan empati dengan memberikan pemahaman akan efek yang bias ditimbulkan dari sikap mereka terhadap orang lain. (6) 2.10. Tindakan Yang Perlu Dilakukan Dan Dihindari Saat Tantrum Terjadi
Ketika tantrum terjadi hal yang sangat penting bagi orangtua adalah segera mengambil tindakan yang tepat, sebab apapun tindakan yang dilakukan oleh orangtua akan berdampak pada perilaku dan respon anak pada masamasa yang akan datang, maka orangtua perlu memahami apa saja yang perlu dilakukan dan hal apa saja yang mestinya dihindari. Ada tiga hal yang perlu dilakukan sesegera mungkin saat tantrum terjadi, yakni memastikan segalanya aman, perlunya orangtua mengontrol emosinya, serta tidak ambil peduli terhadap pandangan sinis atau ucapan negative serta segala bentuk reaksi dari lingkungan. (6) Jika tantrum terjadi maka biarkanlah anak untuk melampiaskan emosinya tapi pastikan bahwa segala sesuatunya dalam keadaan aman, baik bagi anak, pengasuh, termasuk benda-benda yang kemungkinan bisa dirusak. Segera evakuasi anak pada tempat-tempat yang empuk seperti kasur atau sofa, jauhkan anak pada benda-benda yang rawan untuk dirusak seperti televisi, hand-phone, remote control dan lain-lain. Ada baiknya jika anak didekap atau dipeluk dengan penuh kasih sayang akan tetapi jika dia meronta-ronta, memukul atau bahkan mencakar orangtua atau pengasuhnya sebaiknya tindakan ini jangan dilakukan sebab hanya akan memicu dan memprovokasi orangtua untuk bertindak kasar pada anak. Orangtua harus tetap tenang serta berusaha mengontrol emosi untuk tetap stabil. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak. Jika terjadi pada tempat umum (ruang publik) seperti swalayan, pesawat, kendaraan umum, kemungkinan besar lingkungan akan memberikan reaksi negatif yang dapat memicu emosi orangtua, maka yang perlu dilakukan adalah jangan terpengaruh dengan reaksi tersebut tetap sabar dan kendalikan emosi. (6)
12
Tindakan yang perlu dihindari adalah membujuk, berargumen, memberikan nasihat-nasihat moral agar anak diam. Usaha menghentikan tantrum dengan cara-cara seperti itu ibarat “menyiram bensin dalam api”, anak ak an semakin kuat mengekspresikan kemarahannya dan intensitasnya meningkat. Meminta anak untuk diam dengan memberi hadiah atau menjanjikan hadiah juga merupakan tindakan yang perlu dihindari. Sebab, sama saja mengajarkan anak untuk menggunakan tantrum sebagai senjata untuk meluluskan keinginannya atau mendapatkan hadiah. Paling penting untuk dihindari adalah memaksa anak diam dengan kata-kata kasar atau menggunakan hukuman fisik dan kekerasan (mencubit, memukul, menjewer, mengurung dalam kamar mandi, mengikat), hal ini sama dengan mengajarkan anak menggunakan cara-cara kekerasan jika menghadapi satu masalah. (6) Salah satu tehnik yang dapat digunakan pada saat anak sedang tantrum adalah mengangkatnya ke kamar sesegera mungkin dan mengisolasinya selama 2 atau 3 menit. Hal ini juga memberi kesempatan kepada orangtua untuk mengontrol emosinya. Dua atau tiga menit sudah cukup untuk mencegah orangtua terprovokasi menggunakan kekerasan. Tidak perlu menasehati, tetapi sebelum meninggalkan kamar, orangtua hanya perlu mengemukan ungkapan seperti “mama akan meninggalkan ade di kamar ini sampai kamu tenang dan siap untuk bicara dengan tenang”. Cara ini akan membantu orangtua menjaga anak dan bisa tetap konsisten pada aturan, terutama kepada anak yang lebih tua dan anak usia sekolah. (6) Satu hal lagi yang perlu dihindari oleh orangtua, yakni meluluskan keinginan anak yang semula dilarang dengan harapan dia akan diam dan berhenti tantrum. Cara ini mungkin efektif untuk menghentikan tantrum anak pada saat itu tapi mungkin juga tidak. Hanya saja yang perlu ditekankan mengapa hal ini perlu dihindari sebab cara ini akan memberi efek negatif pada perkembangan anak dan pola relasi dengan orangtua dalam pengasuhan. Seperti juga dengan cara memberi hadiah cara ini memberikan penguatan kepada anak untuk menggunakan cara cara seperti meraungraung, mengamuk, mengumpat dan bentuk tantrum lainnya sebagai bentuk
13
“demontrasi” guna mendapatkan posisi tawar memuluskan keinginan dan harapannya yang terhalang oleh pertimbangan orangtua. Tentu saja ini dapat diterapkan pada anak yang relatif sudah lebih dewasa, sekitar usia 3-6 tahun. (6)
14
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak, karena anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang yang berulang dan menetap. Perilaku tantrum adalah perilaku yang bersifat universal dan normal terjadi pada anak. Hanya saja banyak orangtua yang meresponnya secara tidak tepat dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengganggu dan distress. Salah merespon anak yang tantrum akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Oleh karena itu, penting sekali bagi orangtua untuk memahami mengenai tantrum, bagaimana mencegahnya, bagaimana menghadapinya, serta pelajaran apa yang dapat diberikan oleh orangtua pada anak paska tantrum terkait dengan manajemen marah.
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
Yunianto, Joko. Pengaruh Senam Otak Terhadap Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah Di TK. Al Ikhlas Nglempongsari Ngaglik Sleman. STIK Aisyiyah : Yogyakarta. 2014.
2.
Marsela Wahyu Suzanti, Enggar Riyani, A. Istiqomah, Citra Ihtiar. Efektivitas Finger Painting Untuk Menurunkan Perilaku Temper Tantrum Pada Anak KB PK Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta. 2014
3.
Syam, Subham. Hubungan Pola Asuh Orang Terhadap Kejadian Temper Tantrum Anak Usia Toddler Di PAUD Dewi Kunti Surabaya. Universitas Airlangga : Surabaya. 2013.
4.
Kristiyanto, Almunawar. Strategi Penanganan Anak Temper Tantrum Melalui Terapi Permainan Puzzle Di TK Desa Jatingarang, Jatingarang, Weru, Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta. 2013.
5.
Silvia D. Elvira. Buku Ajar Psikiatri Ed.2 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013.
6.
Syamsuddin.
Mengenal
Perilaku
Tantrum
Dan
Bagaimana
Mengatasinya. Sulawesi Selatan. 2013. 7.
Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJIII. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta. 2003.
16