BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tuna terbesar di dunia.
Ikan tuna pada umumnya diekspor dalam bentuk segar utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted); produk beku utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak beku (frozen steak); serta produk dalam kaleng (canned tuna). Produk-produk tuna tersebut sebagian besar diekspor ke manca negara dan hanya sebagian kecil yang dipasarkan di dalam negeri. Dalam kurun waktu 1999-2004, volume ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 per tahun yakni dari 87.581 ton menjadi 94,221 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Ikan tuna merupakan salah satu ikan ekonomis penting. Ikan tuna pada umumnya dimanfaatkan untuk produksi pengalengan dan pembekuan. Produk beku dalam bentuk utuh maupun dalam bentuk loin beku. Produk perikanan merupakan produk yang mudah busuk (perishible food). Oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik untuk mempertahankan mutunya, melalui pengawetan dan pengolahan (Agus Irawan 1995). Adapun salah satu cara untuk pengawetan dari ikan tuna yaitu dengan melakukan pendinginan dan pembekuan pada ikan tuna tersebut, dan itu yang dilakukan hampir sebagian besar perusahaan – perusahaan distributor dan ekspor ikan tuna. Oleh karena itu, penulis mengambil tugas makalah yang berhubungan dengan pendinginan dan pembekuan ikan tuna yang diproduksi berupa tuna loin. Dengan menggunakan sistem pendinginan dan pembekuan untuk industri penyimpanan ikan tuna, maka banyak memberikan keuntungan bagi berjalannya proses penyimpanan sampai dengan pendistribusian produk kepada distributor dan konsumen. Misalnya, ikan tuna yang disimpan dengan sistem refrigerasi atau pembekuan tersebut dapat terjaga kualitas dan kesegarannya sampai beberapa minggu hingga saat disalurkan ke berbagai daerah.
1
1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain: 1. Mengetahui karakteristik pendinginan dan pembekuan dari tuna loin. 2. Mengetahui proses dan alat yang digunakan pada pendinginan dan pembekuan tuna loin. 3. Mengetahui pendistribusian pendinginan dan pembekuan tuna loin. 1.3 Manfaat Adapun Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ilmu keterampilan dalam proses pembekuan dan pendinginan, penurunan mutu, pemeliharaan produk, alat yang digunakan serta pendistribusian produk tuna loin.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Karakteristik Tuna Loin Beku Menurut SNI 01-4104-2006, bahan baku Tuna Loin Beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa Tuna Loin Beku. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus berasal dari perairan yang tidak tercemar serta secara organoleptik bahan baku tersbut harus mempunyai karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut : Rupa dan warna
: bersih, warna daging spesifik jenis tuna
Bau
: segar spesifik jenis, dan berbau rumput laut segar
Rasa
: manis spesifik jenis ikan tuna
Konsistensi
: elstis, padat dan kompak
Tuna loin beku adalah tuna yang telah mengalami perlakuan sehingga suhu pusatnya maksimum -18oC, merupakan produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan. Standar mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik sanitasi dan higiene, syarat mutu dan keamanan pangan, pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna loin beku. Karakteristik tuna loin segar Penanganan terhadap proses ikan tuna berbeda dengan komoditi hasil laut lainnya. Bahan baku tuna tidak boleh dibersihkan dengan cara dicuci atau disiram air, terutama dagingnya. Daging ikan tuna akan rusak apabila dicuci dengan air. Untuk mencegah penurunan mutu tuna loin, maka setiap tahap proses produksi tidak pernah 3
terlepas dari sistem rantai dingin. Es yang digunakan dalam proses produksi tidak langsung bersentuhan dengan daging tuna. Menurut SNI 01-0222-1995 bahan penolong dan bahan tambahan yang digunakan tidak merusak, mengubah komposisi dan sifat khas tuna. Dalam hal ini bahan penolong yang dipakai dalam proses produksi tuna loin adalah air dan es. Air yang digunakan sebagai bahan penolong untuk kegiatan di unit pengolahan memenuhi persyaratan kualitas air minum. Es yang digunakan dibuat dari air yang memenuhi persyaratan sesuai SNI 01-4872.1-2006. Dalam penggunaannya, es ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari kontaminasi. Grade A
B
C
D
E
Kenampakan
Bau
Daging berwarna merah cerah, serat daging kuat merekat sesamanya, potongan daging rapi, tidak terikut tulang/kulit, tidak ada daging merah Daging berwarna merah cerah, serat daging merekat kuat sesamanya, potongan daging tidak rapi, tidak terikut tulang/kulit, tidak ada daging merah Daging berwarna merah cerah, serat daging merekat kuat sesamanya, potongan daging tidak rapi, sedikit terikut tulang/kulit, tidak ada daging merah Daging berwarna merah cerah, serat daging memisah, potongan daging tidak rapi, sedikit terikut tulang dan kulit, sedikit terdapat daging merah Daging berwarna merah kusam, serat
4
Tekstur
Sangat segar, spesifik jenis
Elastis, padat, dan kompak
Segar, spesifik jenis
Elastis, padat, kurang kompak
Kurang segar, ada sedikit bau tambahan
Elastis, kurang padat, dan kurang kompak
Bau busuk mulai jelas
Kurang elastis, kurang padat, dan kurang kompak
Bau busuk sangat
Tidak elastis, sangat lunak
daging memisah, potongan daging tidak rapi, terdapat tulang/kulit cukup banyak, banyak terdapat daging merah.
tajam
2.2 Proses Pengolahan Pendinginan dan Pembekuan Tuna Loin Berdasarkan SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin beku dibedakan menjadi dua berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan, yaitu bahan baku tuna segar dan bahan baku tuna beku 2.2.1 Bahan Baku Tuna Segar Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C. Menurut Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan lendir atau kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna, kemudian disortasi menurut ukuran dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk pengolahan tuna loin adalah yang berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat diterima sebagai bahan baku loin adalah Warna daging kemerah-merahan seperti merah semangka untuk jenis Yellowfin tuna sedangkan untuk jenis Big eye tuna merahnya seperti bunga rose (dihindarkan warna daging ikan yang pucat/putih), Elastis atau daging masih kenyal tidak boleh pecah atau mudah hancur, dan kecerahan tuna bila diusap seperti kaca. Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya ikan. Pada umumnya ikan dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20 cm, sedangkan ikan dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm. Ukuran panjang keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung mulut ikan sampai dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).
5
Pemotongan Kepala, Sirip dan Ekor Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C. Pemotongan dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada bagian samping kiri kanan daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan pembelahan dari pangkal kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah dengan linea literalis sehingga bisa lepas (Ditjenkan, 1993). Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus masih aktif. Jika usus dan alat pencernaan yang banyak mengandung enzim tidak dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran pencernaan dan menghancurkan dinding perut (Junianto, 2000). Pencucian Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4.4°C. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. Pencucian bahan pangan yang ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya. Pencucian dilakukan dalam air mengalir, bersih dan sudah didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto, 2008). Pembuatan Loin Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4°C.
6
Pembuatan loin ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen Pengulitan dan Perapihan Tahap berikutnya yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan bentuk loin dan membuang lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan daging guna mencegah terjadinya kontaminasi. Sortasi Mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C. Menurut Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang seragam. Pemisahan ini akan menjaga mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan baku bermutu baik akan dapat dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif sama. Menurut Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam ruang pengolahan bahan baku harus diperiksa dan disortir dengan cara saniter hanya bahan baku yang memenuhi syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah. Pembungkusan (Wrapping) Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4°C. Pembekuan Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18°C dalam waktu maksimal 4 jam. Pembekuan adalah cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah hasil perikanan. Keunggulan paling utama dibanding cara pengolahan yang lain adalah kemapuan pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau produk hasil perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan 7
adalah pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku. Kondisi ini menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku, sehingga dapat memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan adalah suatu cara pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal sampai mencapai -180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah menjadi es (Soen’an, 2002). Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. Tujuan dari penimbangan ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label. 2.2.2 Bahan Baku Tuna Beku Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal -18°C. Dengan demikian akan didapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis. Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal -18°C. Penyiangan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
8
ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen. Pembuatan Loin Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C Pengulitan dan Perapihan Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. Okada (1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80% hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna. Pembekuan Loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat pembeku (Freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimum -18°C secara cepat. Bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk. Menurut Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang diambil diikuti dengan turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian kadar air yang terkandung dalam produk menjadi es.
9
Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. tujuannya adalah untuk mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal ini bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label. Penyimpanan Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran. Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap
upaya pencegahan
rekontaminasi (Afrianto, 2008). 2.2.3 Fasilitas Produksi dan Peralatan Mengingat produksi (processing) tuna loin hanya memerlukan teknologi pengolahan secara sederhana, maka fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan juga tidak terlalu rumit. Fasilitas dan peralatan minimal yang diperlukan dalam pengolahan tuna loin skala kecil meliputi : a) Ruang proses (processing room), ukuran 6 x 10 m2
10
b) Meja potong stainless steel (1 buah) c) Meja trimming stainless steel (1 buah) d) Pisau fillet stainless steel (1 buah) e) Pisau trimming stainless steel (3 buah) f) Sterofoam kapasitas 80 kg AG 150 (10 buah) g) Cutting board ukuran 1 x 2 meter (1 lembar) h) Sepatu boot (4 pasang) i) Basket (keranjang) biru (4 buah) j) Basket (keranjang) merah (2 – 3 buah) k) Blong plastik (2 buah) l) Ruang pembuangan sirip, insang, isi perut ukuran 3 x 3,5 meter m) Ruang pemotongan kepala ukuran 3 x 5 meter n) Pisau potong stainless steel (1buah) o) Talenan ukuran 0,5 x 1 meter ( 10 buah) p) Timbangan manual kapasitas 100kg q) Baju lab warna biru penutup kepala celemek, sarung tangan (20 pasang) r) Timbangan digital 30 kg. s) Alat penyentik CO Meskipun usaha pengolahan tuna loin ini menggunakan teknologi sederhana, namun tidak demikian dengan peralatan yang digunakannya. Peralatan yang digunakan dalam usaha pengolahan ini cukup mahal dan spesifik. Persyaratan peralatan menurut Standart Nasional Indonesia (SNI) 01-4104.3-2006 adalah semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan tuna loin beku mempunyai permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak dan mudah dibersihkan. Semua peralatan dalam keadaan bersih, sebelum, selama dan sesudah digunakan.
11
2.3 Penurunan Mutu Produk Pada pendinginan penyebab bahaya penurunan mutu yang mungkin terjadi yaitu peningkatan suhu ruang pendingin loin. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu ikan di atas 3oC dan akan berdampak pada pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamine sehingga terjadi penurunan mutu produk. Bahaya ini termasuk dalam bahaya keamanan pangan, namun peluang terjadinya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki dampak yang serius apabila tidak dilakukan sesuai GMP dan SSOP. Tahapan pencegahan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu ruang pendingin pada kisaran 0o – (-2)oC dengan pengawasan suhu ruang pendinginan setiap jam. Sedangkan pada Pembekuan (Freezing) penyebab bahaya yang mungkin terjadi yaitu peningkatan suhu ruang ABF. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu ikan di atas 3oC dan akan berdampak pada pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang terjadinya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tahapan pencegahan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu ruang pendingin pada suhu 35oC dengan pengawasan suhu ruang pendinginan setiap jam. Sehingga penurunan mutu produk dapat terhambat. Penurunan mutu lainnya yang mungkin terjadi yaitu dehidrasi fisik tuna loin yang diakibatkan oleh waktu pembekuan yang terlalu lama. 2.4 Pemeliharaan Produk
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran. Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis
12
bahan pengemas, dan kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan rekontaminasi (Afrianto, 2008). Sedangkan Penyimpanan ikan pada kondisi refrigerasi sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Public Health Divisin, 2002 dalam Widiastuty, 2007). Selama pendinginan kadar histamin tidak mengalami perubahan, tetapi pada waktu pendinginan karena suatu hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka kadar histaminnya akan meningkat, demikian juga jumlah bakteri akan meningkat 100 kali lebih banyak, tetapi bila pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24 jam tidak berpengaruh terhadap kadar histamin (Winarno,1993). Menurut Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin telah terbentuk selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau dimasak pada suhu tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap potensial membahayakan manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah (1990) dalam penelitiannya, bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang bervariasi sesuai dengan asalnya pada tubuh tuna dan lama penyimpanan. 2.5 Distribusi Produk
Pendistribusian produk atau ekspor produk harus dilakukan dengan sesegera mungkin dan hati-hati untuk mencegah produk dari kerusakan, peningkatan suhu dan terkena sinar matahari secara langsung. Tahap pendistribusian ini harus diterapkan sistem FIFO atau First In, First Out yaitu barang yang pertama masuk harus segera didistribusikan sesegera mungkin untuk mencegah kemunduran mutu dan kualitas produk. Tuna loin beku yang siap ekspor selanjutnya diangkut ke dalam kontainer dengan sesegera mungkin dan hati-hati untuk mencegah produk dari kerusakan fisik dan peningkatan suhu. Pengangkutan ini perlu penerapan GMP agar tidak membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya. Suhu kontainer merupakan faktor penting dalam menjaga suhu pusat ikan selama transportasi, maka dari itu pada pengangkutan dilakukan
13
monitoring suhu kontainer pada saat awal pengangkutan hingga kontainer berangkat. Selain itu pada pengangkutan dilakukan monitoring kondisi kemasan (karton dan perekat) dan sanitasi dari kontainer.
14
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Adapun karakteristik dari produk tuna loin segar dan beku yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus berasal dari perairan yang tidak tercemar. Fasilitas dan peralatan minimal yang diperlukan dalam pengolahan tuna loin skala kecil meliputi: ruang proses, meja potong, meja trimming, Pisau fillet, Pisau trimming, sterofoam, cutting board, sepatu boot, basket, blong plastic, ruang pembuangan sirip, insang, isi perut, ruang pemotongan kepala, pisau potong stainless, talenan, timbangan manual, baju lab warna biru penutup kepala celemek, sarung tangan, timbangan digital, alat penyentik CO Berdasarkan SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin beku dibedakan menjadi dua berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan, yaitu bahan baku tuna segar dan bahan baku tuna beku. Pada pendinginan penyebab bahaya penurunan mutu yang mungkin terjadi yaitu peningkatan suhu ruang pendingin loin. Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C. Pendistribusian produk atau ekspor produk harus dilakukan dengan sesegera mungkin dengan menggunakan container yang dilengkapi dengan refrigerant. Tahap pendistribusian ini harus diterapkan sistem FIFO atau First In, First Out. 3.2 Saran Harus ada praktek agar mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam tentang produk tuna loin segar dan tuna loin beku.
15
DAFTAR PUSTAKA Asean Canada Fisheries Post Harvest. 1997. Improved Quality Control For The Handling and Processing of Fresh and Frozen Tuna at Sea and On Shore. Southeast Asian. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1996. Laporan Tahunan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. 1994. Penanganan dan Pengolahan Udang Kupas Mentah Beku. SNI 01-3467-1994. Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. Direktorat Jendaral Perikanan 1996/1997. Petunjuk Teknik Sanitasi dan Hygiene. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan. 1999/2000. Pedoman Penerapan PMMT Berdasarkan Konsepsi HACCP. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty. Yogyakarta. Hariadi, S. 1992. Pengolahan Udang Beku. PT. Karya Anda. Surabaya. Lautan Bahari Sejahtera. 2005. Pabrik Pembekuan Ikan Tuna. Jakarta. Murniati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kasinius, Yogyakarta.
16