MAKALAH KETEKNIKAN PANGAN II FRYING
Oleh: Alfano Yehezkiel / 6103015038 Meyrisca Regina / 6103015040 Christine Amadea / 6103015045 Irene Novita / 6103015046 Yashinta Wisnata / 6103015047 Anika Yanuar / 6103015048 Johan Putra / 6103015057 6103015057 Theresia Irene / 6103015058 Vanya Amanda / 6103015106 Maria Feronica / 6103015121 Gizka Eki / 6103015125 Hana Cathrina / 6103015136 Mediatrix / 6103015143 Dionisius Reyhan / 6103015148 Agnes Petronela / 6103015151 Yuanita Santoso / 6103015161
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2017
1. DEFINISI Proses penggorengan merupakan proses pengolahan makanan dengan cara merendam bahan makanan dalam minyak pada temperatur di atas titik didih air. Proses penggorengan dilakukan untuk meningkatkan citarasa dan tekstur bahan yang spesifik sehingga bahan menjadi kenyal dan renyah. Proses penggorengan terjadi pada suhu
minyak antara 130-190°C tetapi pada umumnya suhu penggorengan mencapai 170190°C. Penggorengan merupakan proses yang komplek yang melibatkan transfer panas secara simultan dan transfer massa yang berlawanan antara minyak dan air di permukaan dan di dalam bahan dan terjadi secara difusi. Proses ini akan terus berlangsung selama penggorengan hingga proses pendinginan bahan dan minyak akan menempati ruang yang ditinggalkan oleh air tersebut. Penggorengan memiliki tujuan utama yaitu untuk pemasakan bahan pangan disamping juga berfungsi untuk pengawetan bahan pangan. Sedangkan tujuan lain dari proses penggorengan adalah untuk mendapatkan citarasa yang spesifik, menginaktivasi enzim, menurunkan aktivitas air pada permukaan atau di dalam produk pangan serta membunuh bakteri terutama bakteri patogen yang ada pada bahan pangan, sehingga penggorengan juga berfungsi untuk mengawetkan makanan. Namun demikian, umur simpan produk hasil penggorengan ditentukan oleh kandungan minyak pada produk yang digoreng. Produk yang banyak mengandung minyak umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek misalnya donat, produk ikan maupun produk ternak. Produk yang dikeringkan melalui proses penggorengan misalnya keripik kentang, akan memiliki umur simpan hingga 12 bulan pada penyimpanan suhu ruang terlebih jika didukung dengan kemasan yang baik. Proses penggorengan menggunakan minyak sebagai penghantar panas. Bahan yang dimasukkan ke dalam minyak yang panas, suhu permukaan akan meningkat dengan cepat dan air yang ada pada bahan akan berubah menjadi uap air. Bagian permukaan bahan akan mengering dan bidang penguapan akan semakin ke dalam sehingga membentuk lapisan kerak pada bahan. Suhu permukaan bahan meningkat hingga suhunya sama dengan suhu minyak dan suhu dalam bahan akan meningkat hingga 100 °C.Kecepatan transfer panas yang terjadi dipengaruhi oleh suhu antara minyak dengan bahan serta dipengaruhi oleh koefisien transfer panas permukaan bahan. Kecepatan penetrasi panas ke dalam bahan dipengaruhi oleh tingkat konduktivitas bahan. Proses penggorengan dilakukan dengan beberapa metode tergantung dari bahan dan tujuannya. Pada dasarnya, teknik/metoda penggorengan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
1.1. Shallow Frying
Shallow frying adalah metode memasak makanan dalam jumlah sedikit, dengan lemak atau minyak yang dipanaskan terlebih dahulu dalam pan dangkal (shallow pan) atau ceper.Jumlah lemak yang digunakan untuk menggoreng hanya sedikit yaitu dapat merendam sekitar 1/3 bagian makanan yang digoreng. Metode memasak yang menggunakan wajan datar tidak hanya shallow frying tetapi masih ada tiga metode lainnya yang serupa yaitu: sauté, griddle, dan stir fry. Shallow frying merupakan metode memasak yang lebih lambat dari stir frying. Memasak dengan teknik shallow frying dilakukan dengan cara, menggoreng makanan dengan sedikit minyak dalam wajan datar. Sisi makanan yang telah berwarna kecoklatan kemudian dibalik hingga kedua sisinya matang dengan sempurna.Sauté memasak potongan daging atau ayam sampai masak dalam sauté atau pan penggoreng. Setelah selesai masak, lemak dibuang dan pan dituangi dengan kaldu atau wine (deglazed) untuk membuat saus. Hasil masakan yang disaute diselesaikan dengan saus. Sauté juga dikombinasikan dengan metode memasak lain, misalnya pada saat menumis bawang Bombay, bawang tersebut disaute sampai berwarna coklat keemasan. Griddle juga merupakan metode memasak yang dilakukan dalam pan datar. Makanan yang dimasak dengan metode ini misalnya hamburgers, dimana ketika membuatnya, bahan burger tersebut ditempatkan pada plate (wajan d atar) yang telah diisi sedikit minyak kemudian dipanaskan dahulu. Selama proses memasak, burger dibolak – balik. Stir fry merupakan metode memasak dengan caramenggoreng cepat bahan makanan dalam wajan atau pan penggoreng yang telah diberi sedikitlemak atau minyak.
Gambar 1. Teknik Memasak Shallow Frying
Memasak makanan dalam pan datar memiliki beberapa kelemahan dan keuntungan. Keuntungan yang dapat diperoleh antara lain: memasak dengan cepat, tidak kehilangan zat gizi yang larut dalam air dan warna makanan yang dimasak tetap bagus.
Beberapa kelemahan yang ditemukan adalah hanya cocok untuk jenis masakan yang menggunakan potongan daging kecil-kecil yang mahal harganya; makanan sulit dikunyah karena hanya dimasak dalam waktu sebentar; dan selama proses memasak, perlu ditunggui terus menerus karena masakan harus tetap diaduk-aduk. Pemanasan lemak sangat penting dalam metode shallow frying, karena apabila lemak belum panas, makanan yang digoreng dengan cara ini kurang bagus dan lemak akan terserap oleh makanan. Apabila lemak terlalu panas, hal ini juga dapat menyebabkan asap dan sisi luar masakan menjadi terbakar (gosong). Shallow frying adalah metode yang ideal untuk produk makanan yang cepat masak, berukuran kecil dan memerlukan waktu memasak yang singkat seperti: membuat steak, menggoreng fillet daging, ikan, ayam, ikan utuh yang berukuran kecil atau sedang, sosis, sayuran dan omelettes telur. 1.2. Deep F at Frying
Deep fat frying merupakan proses penggorengan di mana suatu bahan makanan yang umumnya mengandung air, diproses dalam minyak goreng panas dalam jumlah yang besar. Hal ini akan membuat seluruh permukaan bahan pangan terendam dalam minyak goreng. Perpaduan antara penggunaan minyak dalam jumlah besar dan suhu tinggi membuat air di permukaan bahan pangan dengan cepat tertarik ke luar dan bergabung dengan minyak, menghasilkan suatu lapisan tipis yang kering yang disebut crust. Sementara itu, suhu di dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga mencapai suhu 100 oC. Tujuan dari penggunaan proses deep fat frying adalah (1) pemanasan bahan pangan; (2) pemasakan; (3) pengeringan. Pada proses deep fat frying , terjadi pemanasan terhadap bahan pangan pada suhu yang tinggi. Pemanasan pada suhu tinggi akan memberikan efek destruksi panas yang mampu membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Selain itu, pemanasan dengan penggorengan juga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada bahan pangan, yang secara langsung juga memberikan efek terhadap penurunan ketersediaan air dalam bahan pangan untuk digunakan oleh mikroba perusak dan
pembusuk.Imbasnya,
umur
simpan
produk
yang
diproses
oleh deep
fat
frying cenderung lebih panjang. Sifat khas dari produk yang diolah dengan deep fat frying adalah terbentuknya flavor khas gorengan serta rasa yang lezat. Selain itu, tekstur produk deep fat frying yang umumnya renyah di luar dan lembut di dalam (untuk produk tertentu) merupakan ciri khas yang sangat disukai oleh konsumen.
Di dalam industri, proses penggorengan dengan metode deep fat frying dapat berlangsung dengan sistem batch dan sistem kontinyu. Pada sistem batch, minyak goreng dan bahan pangan ditempatkan dalam wadah tertentu dalam kondisi diam, hanya mengalami agitasi atau pengadukan terbatas. Setelah proses penggorengan selesai, sejumlah bahan pangan yang digoreng harus segera diangkat. Sementara itu, untuk proses penggorengan yang dilakukan secara kontinyu, bahan pangan akan mengalami proses penggorengan dalam keadaan bergerak, yaitu sambal mengalami transportasi sepanjang jalur penggorengan melalui conveyor . Selain sistem batch atau kontinyu yang diterapkan di industri, biasanya metode deep fat frying sering digabungkan dengan metode lain seperti metode vacuum. Penggabungan kedua metode ini membuat proses penggorengan dapat dilangsungkan pada suhu dan tekanan yang lebih rendah, sehingga beberapa komponen nutrisi dalam bahan pangan seperti vitamin tidak rusak dan dapat dipertahankan di dalam produk.
Gambar 2. Sistem deep fat frying, kiri : batch; kanan : kontinyu Secara teknis, kandugan gizi di dalam produk hasil deep fat frying cenderung menurun dibandingkan bahan mentahnya. Hal ini umumnya disebabkan oleh suhu tinggi yang digunakan dalam proses penggorengan. Beberapa zat gizi yang tidak tahan panas akan segera mengalami kerusakan, contohnya adalah vitamin B1, vitamin C, vitamin A, vitamin E, dll. Selain itu, beberapa komponen larut lemak juga dapat keluar dari bahan pangan saat proses penggorengan. Hal ini terjadi karena perpindahan massa yang terjadi tidak hanya dalam bentuk pengeluaran air dari bahan pangan, tetapi juga pemasukan minyak ke dalam bahan pangan yang kemudian membawa komponen larut minyak keluar bahan pangan.
1.3.Vacuum F rying
Mesin penggoreng hampa (Vacum Frying) adalah mesin produksi untuk menggoreng berbagai macam buah dan sayuran dengan cara penggorengan hampa. Penggorengan vakum merupakan cara pengolahan yang tepat untuk menghasilkan kripik buah dengan mutu tinggi. Alat penggorengan vakum ini memiliki prinsip kerja vacum frying adalah menghisap kadar air dalam sayuran dan buah dengan kecepatan tinggi agar poripori daging buah-sayur tiak cepat menutup, sehingga kadar air dalam buah dapat diserap dengan sempurna. Prinsip kerja dengan mengatur keseimbangan suhu dan tekanan vakum. Untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang bagus dalam artian warna, aroma, dan ras buah-sayur tidak berubah dan renyah pengaturan suhu tidak boleh melebihi 90˚C dan tekanan vakum antara 65 – 76 cmHg. Sebaiknya air dalam bak penampung pada vacuum frying tidak mengandung partikel besi karena dapat menyebabkan air keruh dan dapat merusak pompa vakum yang akhirnya mempengaruhi kerenyahan keripik . Pada kondisi vakum, suhu penggorengan dapat diturunkan menjadi 70- 85°C karena penurunan titik didih air. Dengan sistem penggorengan semacam ini, produk-produk pangan yang rusak dalam penggorengan (seperti buahbuahan dan sayur-sayuran) akan bisa digoreng dengan baik, menghasilkan produk yang kering dan renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti halnya yang terjadi pada penggorengan biasa. Umumnya, penggorengan dengan tekanan rendah akan menghasilkan produk dengan tekstur yang lebih renyah (lebih kering),warna yang lebih menarik. Hal penting lain dari produk hasil penggorengan vakum adalah kandungan minyak yang lebih sedikit dan lebih porous (lebih ringan) dan umumnya mempunyai daya rehidrasi yang lebih baik
2.
NERACA MASSA DAN ENERGI
Selama penggorengan, panas dipindahkan dari media penggoreng kepermukaan bahansecara konveksi, dan dari permukaan bahan ke bagian dalam bahan secara konduksi.Perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya aliran yang melalui bahan dengansuhu yang berbeda. Perpindahan panas secara konveksi biasanya diikuti dengan perpindahan panas secarakonduksi, setelah terjadinya kontak antara bahan dengan cairan maupun gas pada suhu yangberbeda(Isochenko, 1969). 2.1. Perpindahan Massa dan Panas
Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yangmemerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai media panghantar panas.
Menurut Supriyanto et. al., (2007), perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara,pertama transfer massa air terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap ke lingkungan, dan kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan. Selama penggorengan produk menyerap minyak dan kadar minyak dalam produk biasanya dihubungkan dengan kadar air awal bahan (Gamble, Rice, dan Selman, 1987;Moreira, Palau, Sweat dan Sun, 1995). Minyak sebagai medium pemanas dan penghantar panas memiliki sifat yang tidak dapat menyatu dengan air padahal buah-buahan banyak mengandung air, karena sifat alami air dan minyak yang tidak dapat menyatu, keduanya memegang peranan penting dalam proses penggorengan. Temperatur penggorengan yangtinggi menyebabkan air dalam bahan makanan menjadi panas dan terpompa keluar ke dalam minyak disekitarnya dalam bentuk uap air. (Varela, dkk, 1988) Sebagian air akan menguap dari ruang kosong yang semula diisi air kemudian diisi oleh minyak Menurut Pinthus dan saguy,(1993) mekanisme absorbsi minyak pada bahan makanan disebabkan oleh tekanan kapiler,dan sebagian lainnya disebabkan oleh kondensasi uap pada saat memindahkan produk dari penggorengan. Sun dan Moreira (2002) menjelaskan bahwa penyerapan minyak merupakan fenomena kompleks yang terjadi ketika produk diangkat atau dipindahkan dari penggorengan selama periode pendinginan. Jumlah kandungan minyak yang diserap oleh bahan setelah digoreng dapat menentukan penerimaan dan kenampakan produk (Krokidaet. al., 2000). Supriyanto, et. al., (2007) menyatakan massa minyak masuk ke dalam bahandengan cara difusi karena adanya perbedaan konsentrasi minyak pada bagian permukaandengan bagian dalam bahan.
PANAS
BAHAN
MINYAK
FRYING
UAP AIR
MAKANAN
Rumus : Q bahan + Q panas + Q minyak = Q makanan + Q uap air
3. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP BAHAN PANGAN
Menggoreng merupakan perlakuan panas terhadap bahan untuk mematangkan bahan. Proses utama yang terjadi selama proses penggorengan adalah perpindahan panas dan massa dengan minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas (Suyitno,1991; Moreira, 1999) . Panas yang diterima bahan akan dipergunakan untuk berbagai keperluan antara lain penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein, pencoklatan dan karamelisasi. Tujuan utama dari pemanasan untuk mengembangkan karakteristik warna, rasa, aroma, citarasa pembentukan kulit dan denaturasi atau koagulasi pada protein. Secara sensori, produk yang digoreng bermutu baik akan memiliki warna kuning keemasan, aroma dan citarasa khas produk gorengan dan tekstur yang renyah. Misalnya pada ubi jalar yang
mengalami proses penggorengan, proses ini dipilih karena produk makanan yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang lebih gurih dan nikmat dan memiliki warna yang lebih menarik pula. Berikut adalah skema penggorengan ubi jalar.
Dalam perlakuan ini, sebagian air akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi dengan minyak (Weiss, 1983). Proses yang komplek ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu produk. Salah satu pengendalian adalah mengatur waktu dan suhu penggorengan ( Suyitno, 1991; Moreira, 1999; 2004). Faktor utama untuk control perubahan warna dan aroma saat bahan pangan di goreng : 1. Tipe minyak untuk menggoreng 2. Umur dan proses pemanasan minyak 3. Tegangan permukaan antar minyak dan produk 4. Suhu dan waktu penggorengan 5. Ukuran, kadar air dan karakteristik permukaan makanan 6. Perlakuan setelah penggorengan Masing-masing faktor, bersama-sama dengan perlakuan awal, seperti perendaman air panas atau pengeringan parsial, juga mempengaruhi jumlah minyak . banyak makanan gorengan, minyak dapat menghitung hingga 45% dari produk. (Saguy and Pinthus,1995). Dimana makanan gorengan dari membentuk sebagian besar dari diet, mengonsumsi kelebihan lemak dapat sumber penting dari kesehatan yang buruk, dan kunci konstribusi obesitas, jantung koroner, dan mungkin semacam tipe kanker (Browner et al ., 1991). Tekstur dari makanan gorengan adalah produk dari perubahan protein, lemak, dan polimeri karbohidrat yang mirip dengan produk yang pembakaran. Perubahan dari kualitas protein terjadi sebagai akibat dari reaksi mailard dengan asam amino di lapisan kulit. Kehilangan karbohidrat dan mineral sbagian besar tidak diketahui tetapi cenderung mengecil. Kadar lemak dari makanan meningkat karena penyerapan minyak, tetapi signifikan gizi ini sulit untuk menentukan karena itu bervariasi sesuai dari sejumlah faktor meliputi tipe dan proses pemanasan minyak, dan jumlah
di makanan.
Efek penggorengan pada nilai gizi dari makanan tergantung pada tipe proses penggunaan. Minyak dengan suhu tinggi cepat menghasilkan pembentukan lapisan kulit dan tanda permukaan makanan. Ini mengurangi tingkat perubahan missal dari makanan dan oleh karena itu mempertahankan proporsi yang tinggi dari gizi. Sebagai tambahan, makanan ini biasanya di konsumsi tak lama setelah penggorengan dan ada beberapa kerugian selama
penyimpanan. Sebagai contoh 17% hilangnya lisin yang tersedia di ikan goreng, meskipun ini meningkat 25% ketika kerusakan termal pada minyak yang digunakan (Tooley,1997). Operasi penggorengan yang dimaksudkan untuk mengeringkan makanan dan memperpanjang penyebab kerugian umur simpan jauh lebih tinggi nutrisi, terutama vitamin yang larut dalam lemak. Contohnya vitamin E, yang diserap dari minyak oleh keripik selama penggorengan, di oksidasi selama penyimpanan selanjutnya. Bunnel et al (1965) menemukan 77% rugi setelah 8 minggu suhu lingkungan. Proses oksidasi pada tingkat yang sama yaitu suhu rendah dan kentang French-fried kehilangan 74% vitamin E periode yang
sama
dibawah penyimpanan beku. Panas atau oksigen sensitive vitamin larut dalam air juga hancur dengan penggorengan dibawah kondisi ini. Deep fat frying merupakan proses pemasakan dan pengeringan yang terjadi melalui kontak dengan minyak panas dan ini meliputi perpindahan panas dan massa secara simultan. Minyak mempunyai fungsi ganda dalam penyiapan makanan karena minyak berfungsi sebagai media transfer panas antara makanan dan penggorengan dan minyak juga sebagai pemberi kontribusi pada tekstur dan cita rasa bahan gorengan. Kecepatan dan efisiensi proses penggorengan tergantung pada suhu dan kualitas minyak goreng. Suhu minyak yang biasa dipergunakan adalah 150-190 (Moreira, 1999;2004; Dunford, 2006) Proses Penggorengan Pada Daging Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan alami seperti sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng yang berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Titik asap minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas.Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya muncul senyawa aminaamina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak
buruk lainnya. Apabila minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan. Minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula. Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985). Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran. Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng. Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diinginkan memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak. Menurut Muchtadi (2008) berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan juga dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik, bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum. Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan
konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200 °C. Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang mampu menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi pada suhu yang juga lebih tinggi. Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 90°C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi. Bahan pangan seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya juga lembek dan liat karena tidak banyak melepaskan air yang dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi vakum, suhu penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan yang baik, serta tekstur yang renyah. Anatomi Makanan Goreng Penyerapan minyak oleh makanan dapat diketahui dari anatomi makanan tersebut. Menurut Robertson (1967 ) dalam Djatmiko (1985) makanan goreng umumnya mempunyai struktur yang sama, yaitu terdiri dari “inner zone” (core), “outer zone” (crust) dan “outer zone surface”. Menurut (Robertson 1967) “Outer zone surface” adalah bagian paling luar dari makanan goreng yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Warna coklat merupakan hasil reaksi kimia yang disebut Browning reaction atau Maillard reaction. Warna bagian ini dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, suhu dan lama penggorengan. Pengaruh lemak terhadap warna hasil tidak begitu besar. “Outer zone“ atau “crust ” adalah bagian luar makanan goreng yang merupakan hasil dehidrasi pada waktu penggorengan. Kadar air “crust ” yang merupakan hasil penguapan air akan diisi oleh minyak. Jumlah minyak yang diserap oleh “crust ” tergantung pada perbandingan “crust ” dan “core”. Makin tebal “crust ” , makin banyak jumlah minyak yang diserapnya. Bagian makanan goreng yang disebut “inner
zone” (core) adalah bagian makanan yang masih mengandung air. Pada makanan yang tipis bagian “core” hampir tidak ada, yang ada hanya bagian “crust ” saja. Oleh karena itu makanan goreng yang tipis mempunyai daya serap minyak yang lebih besar daripada makanan goreng yang tebal. Fungsi dari minyak yang diserap makanan ialah untuk mengempukkan “crust ” dan membasahi makanan goreng tersebut.
4. APLIKASI 4.1. Aplikasi deep fr ying
Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying ,saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan bahan akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust ). Suhu permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga suhu 100°C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak sekitar 180°C-200°C. Pada umumnya kriteria buah pisang dikatakan telah matang atau siap dipanen dilihat pada sudut-sudut buah sudah tumpul atau tidak tegas. Buah pisang yang telah tidak memperlihatkan sudut-sudut buah dengan jelas diartikan bahwa proporsi antara daging buah dengan kulit sudah tinggi. Kondisi seperti ini dicapai saat buah dalam tandan belum berwarna kuning. Bila pisang dipetik pada keadaan seperti ini, proses pemasakan membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk masing-masing jenis (varietas) pisang, yaitu berkisar 7 – 15 hari. Kripik pisang merupakan salah satu diversifikasi hasil olahan pisang. Produk ini berbentuk irisan tipis dari buah pisang yang digoreng dengan minyak sehingga menjadi produk dengan kadar air yang rendah. Kripik pisang mempunyai daya simpan yang lama. Produk ini dapat dibuat dari semua jenis pisang khususnya pisang seperti buah pisang raja nangka dan pisang kepok.
4.2.Aplikasi Shallow F rying
Proses shallow frying dapat menggunakan minyak dengan titik asap yang lebih rendah, karena suhu pemanasan yang digunakan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep-frying . Ciri khas dari proses shallow frying ialah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak. Minyak yang digunakan pada sistem ini adalah minyak kelapa, mentega, margarin, minyak olive, dan lemak ayam, khususnya mentega dan margarin, menghasilkan cita rasa yang enak pada bahan pangan yang digoreng. Contoh bahan pangan yang menggunakan metode shallow frying adalah telur. Ketika meggoreng telur, baik telur dadar maupun telur mata sapi, maka akan menggunakan pan penggorengan dan minyak yang sedikit. Secara umum, shallow frying lebih tepat digunakan apabila jumlah makanan yang dimasak
berjumlah
sedikit
dan
menggunakan shallow frying adalah
bahan makanan lebih
berukuran
praktis, minyak
kecil. Keuntungan
yang diperlukan lebih
sedikit sehingga waktu pemanasan minyak lebih pendek. Kelemahan menggunakan sedikit
minyak dalam metode shallow frying adalah lebih sulit mengatur suhu
minyak. Kehilangan kelembaban dan peningkatan pencoklatan dapat memberi manfaat atau merugikan tergantung pada bahan
yang dimasak dan persiapannya.
(Mulyatiningsih, 2007)
4.3.Aplikasi Vacuum F rying
Vacuum Frying diterapkan dalam upaya mempertahankan nilai gizi serta memperoleh kualitas yang baik dari produk sayuran dan buah-buahan kering. Penggorengan vakum (Vacuum Frying ) menggunakan prinsip menggoreng dengan tekanan yang diturunkan dalam upaya menurunkan kadar minyak pada produk yang dihasilkan (Setyawan dan Widianingrum, 2013). Vacuum Frying dapat digunakan untuk meemproduksi sayuran dan buah-buahan yang didehidrasi tanpa mengalami reaksi pencoklatan (browning ) atau produk menjadi hangus. Pada vacuum frying, bahan pangan mentah dipanaskan pada kondisi tekanan rendah (<60 Torr – 8 kPa) yang dapat menurunkan yang dapat menurunkan titik didih minyak dan kadar air bahan pangan tersebut (Shyu dkk, 1998). Pada tekanan 66 cmHg vakum, minyak sudah mendidih pada suhu ±82-85 oC (Buletin Fakuktas Pertanian Universitas Lampung, 2006) sehingga bahan pangan tidak perlu digoreng pada suhu tinggi ±160 oC yang merupakan titik didih minyak. Keuntungan penggorengan vacuum
frying dibandingkan dengan penggorengan konvensional adalah warna buah atau sayur relatif tidak berubah, lebih renyah, tampil lebih menarik dan rasa lebih enak (Setyawan dan Widianingrum, 2013). Produk hasil olahan yang banyak dihasilkan dari vacuum frying adalah keripik sayuran dan buah-buahan. Salah satu bahan pangan yang dapat dihasilkan dengan metode vacuum frying adalah keripik wortel. Wortel tergolong jenis sayuran yang merupakan produk holtikultura yang mudah rusak atau busuk. Kondisi ini menuntut usaha penanganan pascapanen wortel untuk memperpanjang masa simpan, menekan kehilangan hasil, tetapi tetap menjaga kualitas gizinya. Keripik wotel merupakan hasil diversifikasi produk olahan wortel, serta merupakan upaya dalam memperpanjang masa simpan wortel dengan metode pengeringan. Keripik wortel diproduksi dengan merode vacuum frying pada tekanan 72 cmHg dan suhu 6090oC (Setyawan dan Widianingrum, 2013). DAFTAR PUSTAKA
Djatmiko B, R Somaatmadja, Goutara. 1974. Sifat Kimia Minyak dan Lemak . Bogor : Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta IPB. Himitepa.2016. Di Balik Teknologi Deep Fat Frying . http://himitepa.lk.ipb.ac.id/di-balikteknologi-deep-fat-frying/ (Diakes 8 April 2017) Jamaluddin,dkk., 2008. Model Matematik Perpindahan Panas Dan Massa Proses Penggorengan Buah Pada Keadaan Hampa. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008 .Yogyakarta (18-19 November 2008) Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Muchtadi, T.R. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan . 3rd ed. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Mulyatiningsih, Endang. 2007. Teknik-Teknik Dasar Memasak, Diktat , Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Penggorengan Vakum: Berpotensi Untuk Berkembangya Bisnis Keripik Sayuran dan BuahBuahan. Buletin Fakultas Pertanian Universitas Lampung. No. 1/Tahun III/Mei 2006. Sartika Ratu Ayu Dewi. 2009. Pengaruh Suhu Dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans . Makara Sains 13 (1) : 23-28. Setyawan, N., Widianingrum. 2013. Pengaruh Suhu Penggorengan dan Cara Pembumbuan Terhadap
Karakteristik
Keripik
Wortel .
Bogor:
Balai
Besar
Penelitian
dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Shofiyatun,N.F. 2012. Proses Penggorengan Dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisikokimia Daging .Bogor:ITB.http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55759/3/BAB %20II.%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf (Diakses pada tanggal 3 April 2017) Shyu, S., Hau, L., Hwang, L.S. 1998 . Effect of Vacuum Frying on the Oxidative Stability of Oils. Journal of the American Oil Chemists’ Society; (75):1393-1398.