MAKALAH KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
RUFINA ARISTYANI
39111113
2DB14
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia
mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh
Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian
dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan
penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang
berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi,
beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai
peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya
penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan
yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi
produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan
mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga
disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah
dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi
pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan
serta menjamin keamanan distribusi pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi
pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal
melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan
kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi
seimbang. PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi
pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping
itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi,
perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan
melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan
pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja
tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor,
sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci
keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah membentuk
Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri
Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk
Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-
hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim Ahli
Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT), Tim Teknis
dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan pasal 9
menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan, dan budaya
lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat1
dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan
teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan prrinsip gizi
berimbang.
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia baru-baru ini secara
langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan.
Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir serta bencana alam
lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra produksi
pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman bijian-bijian
lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan tersebut
untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2010
mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya
investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun
terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya
kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan
tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari
Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty and
extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan
merupakan basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia
memandang kebijakan pertanian baik di tingkat nasional, regional dan global
perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian
harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan
global. Oleh karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang
upaya bersama mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif
mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood security
sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani kecil
dari dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi
dari negara maju, melalui mekanisme special products dan special safeguard
mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas
ketahanan pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of
Intent (LoI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan
Indonesia terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan
pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya. terutama dalam
kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama
teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs.
Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran
Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara
berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah
berjalan sejak tahun 1980.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengutarakan ada
sembilan masalah terkait ketahanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menjadi 235-240 juta
pascasensus penduduk 2010.
Permasalahan itu diantaranya sinergi dan sistem yang terintegrasi
diperlukan untuk dapat mengelola keamanan makanan, energi dan air sehingga
tidak menimbulkan masalah di masa kini dan mendatang. Selain itu upaya
untuk meningkatkan sejumlah komoditas unggulan pertanian --beras, jagung,
kedelai, gula dan daging sapi-- menuju swasembada dan swasembada
berkelanjutan. Juga sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan dan
logistik nasional yang efisien.
Masalah lainnya adalah kekurangan produksi di sejumlah daerah. Dan
terpenting adalah stabilitas harga. Sementara koordinasi antara peneliti
dan kalangan industri sehingga permasalahan lainnya yaitu penganekaragaman
konsumsi pangan serta mekanisme pasar pasokan pangan.
ARAH PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN 2013
Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui
sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti yang terjadi
pada 2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013. Untuk mencegah krisis pangan
di Indonesia, ketahanan pangan mutlak diperkuat. Beberapa komoditas seperti
kedelai dan daging tergolong rawan.
Menurut FAO, krisis pangan terjadi karena komoditas pangan tidak terkelola
dengan baik. Setiap negara mengupayakan penyelamatan sendiri. Negara-negara
yang dikenal pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai
mengamankan terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Mencermati fenomena
ini, pemerintah Indonesia patut melakukan peningkatan produksi pangan
secara berkelanjutan. Kemandirian pangan dan surplus produksi beras
sebanyak 10 juta ton tahun 2014 harus dicapai.
Belum Mantap
Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin memahami dan memaknai
pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional, meskipun
pemerintah kerap mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai swasembada
pada beberapa komoditas pangan tertentu. Namun harus diakui pencapaian
swasembada belum mantap karena amat riskan digoyang krisis ekonomi.
Untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang menjadi alasan penting
menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013. Yaitu: Pertama, pangan
adalah bagian dari basic human need yang tidak ada substitusinya. Kedua,
pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, disadari atau tidak, mendorong
terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap pangan (growing demand). Selain
itu, peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada peningkatan
konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan yang
diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi
dan produktivitas pangan nasional. Keempat, kompetisi antara sumber energi
(bio fuel) dan sumber pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima,
pentingnya kemandirian pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan
dan kerawanan (baca krisis) pangan di berbagai daerah.
Kelima hal mendasar itu mengindikasikan pentingnya sinergi antara
pemerintah pusat, daerah dan pelaku usaha untuk peningkatan produksi
komoditas pangan. Jika hanya mengandalkan peningkatan produksi untuk
pencapaian surplus beras sebanyak 10 juta ton, setidaknya sektor pertanian
membutuhkan tambahan 2 juta hektare (ha) lahan baru. Namun pencetakan sawah
baru untuk mengembangkan tanaman pangan dan menjamin ketahanan pangan di
masa depan adalah pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan biaya besar.
Saat ini kondisi lahan pertanian, termasuk persawahan, sangat
mengkhawatirkan karena terus dikonversi atau beralih fungsi menjadi
nonpertanian, seperti permukiman, perdagangan, industri, dan jalan.
Berkurangnya lahan sudah pasti akan berpengaruh pada aktivitas sektor
pertanian dan berkorelasi positif pada defisit kebutuhan tenaga kerja. Yang
dapat melahirkan lebih banyak lagi pengangguran karena lahan pertanian
semakin sempit yang memaksa pelaku sektor ini meninggalkan pertanian.
Di setiap provinsi belakangan ini penggunaan kenderaan bermotor roda empat
yang jumlahnya meningkat secara signifikan membutuhkan penambahan jalan
untuk kelancaran lalu lintas. Setiap membuka jalan baru, akan ada konversi
lahan berkali lipat. Pembangunan jalan tol misalnya yang memakan lahan
sawah akan diikuti pembangunan lainnya di sepanjang jalan tol, antara lain
untuk permukiman, pusat perdagangan dan perkantoran. Selain itu,
kepemilikan lahan sawah juga sangat kecil, rata-rata di bawah 0,5 ha per
petani. Akibatnya, sampai kapan pun tidak akan membuat petani sejahtera.
Bahkan, kondisi ini memacu penjualan lahan sawah untuk keperluan
nonpertanian. Lahan pertanian yang dikonversi diperkirakan mencapai 100.000
ha per tahun. Meski pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Undang-Undang
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun
penerapannya tidak mudah. Tata ruang di daerah yang sering berubah-ubah dan
tidak konsisten berdampak pada pembangunan sektor pertanian.
Di sisi lain, petani mewariskan lahan kepada anak-anaknya dalan luasan yang
semakin kecil sehingga tidak efisien, yang akhirnya dijual karena tidak
menguntungkan. Pemerintah patut memikirkan solusi agar keluarga petani
tidak membagi-bagi lahan tetapi membagi penghasilan.
Upaya penambahan lahan untuk pencetakan sawah baru guna mengatasi laju
konversi lahan yang kian masif belakangan ini patut menjadi program kerja
pemerintah. Data yang tersedia di BPN (Badan Pertanahan Nasional) lahan
tidur yang tersedia saat ini di seluruh Tanah Air ada sekitar 7,3 juta ha
yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kementerian Pertanian
dapat juga bekerja sama dengan PT Perhutani untuk memanfaatkan lahan di
bawah kendali Perhutani untuk penguatan di sektor hilir. Di Pulau Jawa saja
BUMN ini memiliki lahan seluas 2,4 juta ha. Jika pemerintah bisa
memanfaatkan paling tidak 500.000 ha tanaman hutan milik Perhutani untuk
dikombinasikan dengan tanaman pangan akan dapat memperkuat ketahanan pangan
nasional
Kinerja Semakin Baik
Kita menyayangkan kenyataan masih sempitnya perspektif para kepala daerah
di sejumlah kabupaten/kota terkait dengan ketahanan pangan. Mereka belum
memaknai ketahanan pangan untuk kepentingan nasional. Namun baru sekedar
untuk kepentingan daerahnya semata sehingga penganggaran biaya program
kerja penguatan ketahanan pangan sering dalam jumlah yang relatif kecil.
Sebagai negara agraris yang dikenal dengan jargon gemah ripah loh jinawi,
Indonesia sesungguhnya menjanjikan surplus produksi beras dan pangan
lainnya yang dapat diandalkan untuk penguatan ketahanan pangan berbasis
kedaulatan pangan. Sejak ratusan tahun lalu petani di negeri ini sudah
mengenal pertanian padi dan membangun lumbung padi untuk menjaga
ketersediaan pangan manakala ada bencana. Dengan program kerja Badan
Ketahanan Pangan Kementan yang belakangan ini menunjukkan kinerja yang
semakin baik, kini lumbung pangan tidak hanya ada di Pulau Jawa, di luar
Jawa pun sudah banyak dibangun lumbung pangan guna mengawal ketahanan
pangan berkelanjutan dan mencegah kerentanan dan kerawanan pangan di
berbagai daerah.
Sayangnya pembangunan lumbung pangan yang sudah banyak menyedot anggaran
belanja negara belum berfungsi dengan baik karena petani kini tidak
terbiasa lagi menyimpan hasil panennya di lumbung yang dibangun pemerintah.
Padi (beras) sebagai makanan pokok tingkat konsumsinya ditengah warga masih
tetap tinggi sehingga tidak sempat lagi disimpan dalam lumbung. Sebaliknya,
pangan berbasis umbi-umbian belum dapat berkembang secara optimal baik dari
segi budi dayanya maupun teknologi pengolahan untuk mengatrol citranya di
tengah masyarakat. Pembudidayaan tanaman pangan masih terkonsentrasi pada
beberapa komoditas strategis dan umbi-umbian kerap dianaktirikan. Lima
pangan strategis tetap berpusat pada beras, kedelai, jagung, gula dan
daging, diikuti dengan laju konsumsi produk olahan gandum yang meningkat
secara signifikan sehingga harus diimpor dalam jumlah banyak setiap tahun.
Gandum sebagai pangan subtropis kini semakin menjadi tren konsumsi warga
Indonesia.
Untuk memperkuat arah pembangunan ketahanan pangan 2013, wajib hukumnya
pemerintah kembali memperhatikan berbagai pangan potensial wilayah sehingga
kita bisa lebih berdaulat di bidang pangan. Pemerintah juga harus melakukan
perubahan paradigma pembangunan pertanian dari orientasi produksi ke
orientasi petani. Sudah lama petani dibelenggu oleh pemerintah - mulai Orde
Lama hingga Orde Reformasi - hanya sekedar obyek kebijakan yang perumusnya
kerap belum mengenal dan memahami seluk beluk pertanian. Sekedar menyebut
contoh kreativitas petani dikebiri melalui undang-undang, hak dan
kedaulatan petani tergerus atas sumber daya produktif. Yang paling
menyedihkan adalah petani dibiarkan bersaing di pasar bebas tanpa
pendampingan.
Solusi instan tidak dikenal untuk pembangunan pertanian. Guna mengawal
penguatan ketahanan pangan dan mengingat krisis pangan akan bisa berulang
pada tahun-tahun mendatang maka perencanaan pembangunan pertanian
membutuhkan political will pemerintah. Tidak sekedar wacana dalam pidato-
pidato politik partai tetapi harus ada aksi nyata yang membutuhkan kerja
keras dan program kerja yang masuk akal dan pro petani. Pahlawan ketahanan
pangan ini harus ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan pertanian yang
akan menyelamatkan kita dari krisis pangan di masa datang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan
pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru mengadopsi
ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian
definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7 ada pada tahun
1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi,
ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi
dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi,
dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan
apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu
difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi
program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara
efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan,
distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan
daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan agribisnis
jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi pangan.
Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi
teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas
teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan
komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja
secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan
pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya pemerintah lebih
memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia. Karena masih
banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi yang
baik guna menjaga ketahanan pangan mereka.