MAKALAH KESEHATAN LINGKUNGAN
Aspek Kesehatan Penanggulangan Bencana
“
”
Oleh : Kelompok 5
Diana Novita Elissa Oktavia
(163110162) (163110163)
Kelas : II A Dosen Pembimbing : Hj. Murniati Muchtar,SKM,M.Biomed Muchtar,SKM,M.Biomed
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG D-III KEPERAWATAN PADANG 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ ASPEK KESEHATAN KESEHATAN PENANGGULANGAN PENANGGULANGAN BENCANA ”. Dalam meyelesaikan makalah ini kami telah berusaha untuk mencapai hasil yang maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan, pengalaman, kemampuan dan waktu yang kami miliki, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan teman yang bekerjesama untuk menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Padang , 1 Nopember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
............................................................... ............................................. ..................................... .............. i KATA PENGANTAR ......................................... .................................................................... ............................................. ............................................. ......................... .. ii DAFTAR ISI ............................................. BAB I PENDAHULUAN ............................................. ................................................................... ............................................ ........................................ .................. 1
A. Latar Belakang ...................................... ............................................................ ............................................. .............................................. ......................... .. 1 B. Tujuan ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................ ................................. ........... 2 C. Rumusan Masalah ........................................... .................................................................. ............................................. .................................... .............. 2 BAB II PEMBAHASAN ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................ ...................... 3
A. Pengertian Bencana ......................................... ............................................................... ............................................. ..................................... .............. 3 B. Aspek Kesehatan Penanggulangan Bencana ....................................................... .............................................................. ....... 9 C. Partisipasi Masyarakat Penanggulangan Bencana ........................................... ................................................. ......26 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................... ................................................................. ............................................. ............................................. ......................... .. 28 B. Saran .......................................... ................................................................. ............................................. ............................................ .................................... .............. 28 DAFTAR PUSTAKA .......................................... ................................................................. ............................................. .................................... .............. 30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terletak pada posisi posisi silang antara dua benua besar dan dan dua samudera besar, Indonesia juga berada di atas lempeng benua yang masih aktif serta Indonesia adalah negara yang masih dijejeri oleh barisan gunung api yang masih aktif, sehingga Indonesia sering sekali disapa dengan negara yang sangat akrab dengan bencana. Kondisi geografis Negara Indonesia itulah yang merupakan faktor penyebab kerentanan Indoensia terhadap bencana. Adapun kerentanan Indonesia terhadap bencana dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Ramli, 2010:4). 1. Faktor Geografis Wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang tersebar diantara benua Asia dan Australia dan di tengah dua samudera mengakibatkannya rawan terhadap bencana. Pengaruh iklim, badai tropis, dan arus laut akan berpengaruh terhadap kerentanan bencana.Pantai-pantai yang memanjang sepanjang samudera menjadikan daerah Indonesia rawan terhadap bahaya gelombang pasang dan tsunami. 2. Faktor Geologi Dari sisi geologi, Indonesia juga merupakan kawasan yang rawan terhadap berbagai bencana. Posisi geografis Indonesia terutama aspek geologi berpengaruh besar. Indonesia tempat bertemunya ber temunya lempeng Australia, lempeng Asia, lempeng Pasifik, yang masing-masing mempunyai gerakan sendiri dengan arah berbeda dan saling bergeser. Kondisi ini mengakibatkan penumpukan energi yang jika tidak bisa ditahan lagi akan menimbulkan gempa. 3. Faktor Hidometeorologi
Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dialiri oleh sungai-sungai yang besar dan beraliran deras. Curah hujan di Indonesia sebagai suatu kawasan tropis juga
tergolong
tinggi,
khusunya
dimusim
penghujan.
Kondisi
ini
menimbulkan kerawanan untuk menimbulkan bahaya banjir, tanah longsor, atau galodo.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian bencana?
b.
Bagaimana aspek kesehatan penanggulangan bencana
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui Pengertian Bencana. b. Untuk mengetahui aspek kesehatan penanggulangan bencana
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. PENGERTIAN BENCANA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabka n oleh alam . Menurut UndangUndang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana merupakan hasil dari kombinasi: pengaruh bahaya (hazard), kondisi kerentanan (vulnerability) pada saat ini, kurangnya kapasitas maupun langkah- langkah untuk mengurangi atau mengatasi potensi dampak negative.
Berikut ini adalah macam-macam bencana : a.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau ser angkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam al am antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
b. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Adapun kerentanan Indonesia terhadap bencana dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Ramli, 2010:4). 1. Faktor Geografis Wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang tersebar diantara benua Asia dan Australia dan di tengah dua samudera mengakibatkannya rawan terhadap bencana. Pengaruh iklim, badai tropis, dan arus laut akan berpengaruh terhadap kerentanan bencana.Pantai-pantai yang memanjang sepanjang samudera menjadikan daerah Indonesia rawan terhadap bahaya gelombang pasang dan tsunami. 2. Faktor Geologi Dari sisi geologi, Indonesia juga merupakan kawasan yang rawan terhadap berbagai bencana. Posisi geografis Indonesia terutama aspek geologi berpengaruh besar. Indonesia tempat bertemunya ber temunya lempeng Australia, lempeng Asia, lempeng Pasifik, yang masing-masing mempunyai gerakan sendiri dengan arah berbeda dan saling bergeser. Kondisi ini mengakibatkan penumpukan energi yang jika tidak bisa ditahan lagi akan menimbulkan gempa. 3. Faktor Hidometeorologi Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dialiri oleh sungai-sungai yang besar dan beraliran deras. Curah hujan di Indonesia sebagai suatu kawasan tropis juga
tergolong
tinggi,
khusunya
dimusim
penghujan.
Kondisi
ini
menimbulkan kerawanan untuk menimbulkan bahaya banjir, tanah longsor, atau galodo.
Permasalahan mengenai bencana yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas tentunya akan menimbulkan kerugian-kerugian, entah kerugian berupa korban jiwa maupun kerugian yang berupa kerusakan infrastruktur. Sehingga dalam penanggulangan
bencana peran yang dilakukan pemerintah yang menyangkut kebijakan dan administrasi publik sangatlah besar. Bencana alam yang terjadi pada masa dekade ini bukan dilihat dari apa penyebab dari bencananya namun dilihat dari apakah dampak yang ditimbulkannya.
Bencana dapat terjadi karena faktor alam ataupun faktor manusia. Yang termasuk bencana karena faktor alam (bencana alam) di antaranya adalah banjir, gempa bumi, tanah longsor. Bencana alam seringkali tidak dapat dihindari dan tidak dapat dicegah terjadinya sehingga dapat menimbulkan banyak korban. Sedangkan yang termasuk bencana karena faktor manusia di antaranya adalah kebocoran bahan kimia dan kebocoran nuklir. Akan tetapi adakalanya sulit untuk membedakan apakah suatu bencana terjadi karena faktor alam ataukah manusia. Contohnya, banjir maupun tanah longsor yang sering terjadi akhir-akhir ini diduga disebabkan banyaknya penebangan liar hutan oleh masyarakat. Bencana alam seringkali berakibat rusaknya lingkungan di sekitar tempat tinggal manusia sehingga mempercepat berjangkitnya penyakit menular. Penyebaran penyakit menular tersebut dapat terjadi dengan mudah melalui air yang kotor (water borne diseases) atau persediaannya sangat terbatas (water washed diseases), melalui udara pada penampungan pengungsi yang sangat padat (air borne diseases), melalui makanan pengungsi (food borne diseases), dan lain-lain. Kesehatan lingkungan merupakan mer upakan faktor resiko kemungkinan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular di tempat pengungsian. Dengan kata lain bencana alam dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius bila kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya tidak segera ditangani dengan baik. Datangnya gelombang besar pengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman atau tempat penampungan seringkali merupakan awal dari keadaan darurat. Pengungsian juga dapat terjadi akibat konflik di suatu daerah. Pada keadaan darurat ini biasanya terjadi hal-hal yang serba mendadak dan di luar perkiraan. Tanggapan darurat yang cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah masalah tersebut.
Tanggapan Darurat dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mendesak dan tepat untuk menyelamatkan nyawa, menjamin perlindungan dan memulihkan kesejahteraan para pengungsi. Dengan demikian penanganan korban tidak saja dilakukan pada saat bencana terjadi, t erjadi, tapi juga pada pasca bencana untuk memulihkan kesehatan, pendidikan, sarana dan prasarana yang rusak, serta kehidupan sosial lainnya. Tanggapan darurat bidang kesehatan lingkungan akan sangat terkait dengan upaya pencegahan penularan penyakit menular. Data awal mengenai sarana sanit asi yang rusak, tidak rusak, perlu perbaikan, dan perlu penambahan sangat diperlukan untuk upaya ini. B. ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN
Siklus managemen disaster (bencana) terdiri dari pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaaan; tanggap darurat; rehabilitasi dan rekonstruksi 1.Pencegahan dan Mitigasi Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencan. Proses mitigasi adalah beberapa tindakan yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu bencana dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi
dengan
menggunakan
system
pengembangan
yang
berkelanjutan
/sustainable development (Haifani).Penanggulangan bencana alam bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangannya harus memperhatikan prinsip-prinsip penanggulangan bencana alam.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang t entang Penanggulangan Bencana disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan yaitu: a. Cepat dan Tepat Yang
dimaksud
dengan
prinsip
cepat
dan
tepat
adalah
bahwa
dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan
tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa. b. Prioritas Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. c. Koordinasi dan Keterpaduan Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung. d. Berdaya Guna dan Berhasil Guna
Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. e. Transparansi dan Akuntabilitas Yang dimaksud dengan prinsip transparansi adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum. f.
Kemitraan
Penanggulangan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara anta ra pemerintah dengan masyarakat mas yarakat luas termasuk Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM)
maupun
dengan
organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri termasuk dengan pemerintahannya.
g. Pemberdayaan Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami dan melakukan langkah- langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar mengurangi dampak dari bencana. h.Non Diskriminatif Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminatif adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras dan aliran politik apapun. i. Non Proletisi
Yang dimaksud dengan prinsip proletisi adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Badan Penanggulangan Bencana dan Daerah yang selanjutnya disebut BPBD adalah merupakan unsur pendukung dan pelaksana tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang penanggulangan bencana dan perlindungan masyarakat terhadap bencana alam, non alam dan sosial. 2. Kesiap siagaan Menurut Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, kesiap siagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (Presiden Republik Indonesia, 2007). Adapun kegiatan kesiapsiagaan secara umum adalah : (1) kemampuan menilai resiko; (2) perencanaan siaga; (3) mobilisasi sumberdaya; (4) pendidikan dan pelatihan; (5) koordinasi; (6) mekanisme respon; (7) manajemen informasi; (8) gladi atau simulasi.
Kesiap siagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Sebaiknya suatu kabupaten kota melakukan kesiap siagaan. Kesiap siagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi bencana. Kesiap siagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen bencana secara terpadu. Kesiap siagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi bencana dan apabila bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik adalah menghindari resiko yang akan terjadi, tempat tinggal, seperti jauh dari jangkauan banjir. Kesiap-siagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Perubahan paradigma penanggulangan bencana yaitu tidak lagi memandang penanggulangan bencana merupakan aksi pada saat situasi tanggap darurat tetapi penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase pra bencana yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana sehingga se mua kegiatan yang berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Priyanto (2010) bahwa pada masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih mampu dalam mengurangi risiko, meningkatkan kemampuan dan menurunkan dampak terhadap kesehatan sehingga akan berpartisipasi baik sebagai individu atau masyarakat dalam menyiapkan diri untuk bereaksi terhadap bencana. Aktifitas pendidikan disamping untuk penyediaan informasi adalah mempelajari keterampilan dan pemberdayaan diri sedemikian rupa sehingga mampu melakukan tindakan yang memungkinkan untuk mengurangi resiko bahaya bencana. Perkembangan baru kebijakan penanggulangan bencana dalam dekade terakhir adalah memberikan prioritas utama pada upaya pe ngurangan resiko bencana seperti kegiatan
pencegahan,
kegiatan
mengurangi
dampak
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana (Bappenas, 2006).
bencana
(mitigasi)
dan
Pada tingkat pengembangan dan pemeliharaan kesiapsiagaan, berbagai usaha perlu dilakukan untuk mengadakan mengadakan elemen-elemen penting seperti: a. Kemampuan koordinasi semua tindakan (adanya mekanisme tetap koordinasi) b. Fasilitas dan sistim operasional c. Peralatan dan persediaan kebutuhan dasar atau supply atau supply d. Pelatihan e. Kesadaran masyarakat dan pendidikan
f. Informasi g. Kemampuan untuk menerima beban yang meningkat dalam situasi darurat atau krisis.
3. Tahap Tanggap Darurat Tahap ini telah selesai dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BNPB, BPBD serta LSM dan masyarakat baik lokal maupun internasional juga beberapa instansi terkait di pusat. Tahap ini bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana. Pada tahap ini berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk dari bencana. Contoh-contoh kegiatan pada tahap ini adalah: a. Pembuatan waduk untuk mencegah terjadinya banjir dan kekeringan kekeringan b. Penanaman pohon bakau atau mangrove di sepanjang pantai untuk menghambat gelombang tsunami c. Pembuatan tanggul tanggul untuk menghindari banjir d. Pembuatan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah e. Reboisasi untuk mencegah terjadinya terjadinya kekeringan dan banjir
Pada tahap tanggap darurat, hal yang paling pokok yang sebaiknya dilakukan adalah penyelamatan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan tanggap darurat. Selain itu, tanggap darurat bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal. Para korban juga perlu dibawa ke tempat sementara yang dianggap ama n dan ditampung di tempat penampungan sementara yang layak. Pada tahap ini dilakukan pula pengaturan dan pembagian logistik atau bahan makanan yan cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana. Secara operasional, pada tahap tanggap darurat ini diarahkan pada kegiatan: a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur korban meninggal dan menangani korban yang luka-luka b. Penanganan pengungsi c. Pemberian bantuan darurat d. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih e. Penyiapan penampungan sementara f. Pembangunan
fasilitas
sosial
dan
fasilitas
umum
sementara
serta
memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban
4. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini
adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan
sasaran
utama
tumbuh
dan
berkembangnya
kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Tahap ini bertujuan membangun kembali daerah bencana dengan melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian tata ruang (apabila diperlukan) di tingkat kabupaten terutama di wilayah rawan gempa (daerah patahan aktif). Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali masyarakat dan kawasan wilayah bencana.
Gambar 2.1 Siklus managemen disaster Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. 16
Selain upaya yang bersifat preventif, perlu juga ada upaya-upaya yang sifatnya represif. Tentunya upaya-upaya tersebut harus dikoordinasikan secara baik dengan pemerintah. Beberapa contoh upaya-upaya tersebut adalah: a. Melaksanakan tindakan darurat dengan mengutamakan keselamatan manusia dan harta bendanya b. Segera membentuk posko-posko penanggulangan bencana, regu penyelamat, dapur umum, dan lain-lain c. Melakukan pendataan terhadap faktor penyebab timbulnya bencana alam maupun besarnya kemungkinan korban yang diderita untuk bahan tindakan selanjutnya serta berkoordinasi dengan instansi- instansi terkait. d. Sesuai dengan situasi dan perkembangan bencana alam serta kemajuan yang dicapai dari upaya-upaya penanggulangan darurat, segera menetapkan program rehabilitasi baik bidang fisik, sosial, dan ekonomi. e. Perlunya melaksanakan sebuah program pemantapan terhadap semua faktor kehidupan yang realisasinya dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan demi terwujudnya konsolidasi dan normalisasi secara penuh.
Disaster kesehatan (health disaster) adalah penurunan status kesehatan masyarakat secara keseluruhan yang tidak sanggup diatasi. Ilmu kedokteran disaster disebut juga humanitarian medicine yang merupakan cabang ilmu kedokteran dalam artian bantuan kesehatan segera (emergency) dan aktivitas kesehatan pada penanggulangan bencana tanpa memandang ideologi politik maupun kenegaraan. Patofisiologi atau mekanisme kejadian disaster selalu selalu dimulai dengan hazard untuk menimbulkan bencana (event (event ) dan apabila bencana tersebut mengalami kontak dengan masyarakat dan lingkungan di tempat kejadian (impact ( impact ) akan berakibat kerusakan (damage (damage)) seperti pada algoritma berikut. Manifestasi hazard akan berdampak pada kehidupan dan lingkungan yang disebut bencana. Hazard dapat diartikan sebagai isyarat bahaya sebelum terjadi bencana seperti turunnya binatang buas dari puncak gunung Merapi akibat temperatur di daerah tersebut meningkat sebagai tanda gunung itu mulai aktif. Hazard dapat juga diartikan sesuatu yang
berakibat negatif terhadap kesehatan manusia, perumahan, aktivitas dan lingkungan atau sesuatu yang membahayakan sehingga dapat digolongkan sebagai berikut. Dengan koondisi lingkungan, kelelalahan fisik, serta kecemasan psikologis, pada saat terjadi banjir ataupun setelah banjir surut, umumnya akan muncul berbagai jenis penyakit yang bisa menghinggapi masyarakat korban bajir. Penyakit-penyakit tersebut,
seperti:
Diare,
Cholera,
Psikosomatik,
Penyakit
Kulit,
Penyakit
Leptospirosis, Penyakit saluran Napas, dan banyak lagi lainnya. a. Diare,Diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi saat bencana banjir datang. Diare dapat menjangkit semua orang, baik anak-anak, remaja, dewasa, bapak-bapak, ibu- ibu, dan orang tua. Gejala diare diantaranya adalah mulut kering, mata cekung, perut kram dan kembung, mual dan muntah, sakit kepala, keringat dingin dan demam. Jika ada diantara keluarga korban yang menderita penyakit diare, sebaiknya sebaikn ya segera dilakukan Pertolongan Pertama Pada Diare, Me mberikan cairan gula dan garam agar dapat mengatasi dehidrasi. Memberikan suplemen makanan yang dapat membantu stamina dan mengembalikan fungsi organ-organ tubuh secara maksimal, Memberikan obat anti diare yang dapat membantu. Menormalkan pergerakan saluran pencernaan pada saat diare, melawan dehidrasi dan mencegah terjadinya kram perut, obat yang biasa digunakan, misalnyha immudium, dan antibiotik.
b. Psikosomatik Kondisi lingkungan yang berubah tiba-tiba dan merasakan kecemasan orangtua. Demikian pula trauma karena kehilangan orang yang dicintai, atau harta benda yang diperjuangkan dengan susa payah, meyebabkan perasaan pilu yang luar biasa. Selanjutnya kondisi kecemsan itu akan menekan alam bawah sadar maryakat, sehingga senantiasa merasa banjir akan datang lagi, dan berbagai kondisi psikologis sebagai pencetus penyakit ini. Pencegahan dan pengobatan gangguan ini dapat diatasi dengan pemberian makanan dan minuman sehat yang cukup, serta istrihat yang cukup. Demikian pula dapat diberikan obat anticemas, misalnya: Valium, Diazepam, dan berbagai suplemen lainnya.
c. Penyakit Kulit Pada umumnya menghinggapi atau menjangkiti para korban banjir. Pen yakit
kulit ini disebabkan oleh: Infeksi kulit karena bakteri, virus atau jamur. Demikian pula dapat diakibatkan oleh Parasit, kutu, larva dan Alergi kulit.Pencegahannya
dapat
dilakukan
dengan:
Seminimal
mungkin
menghindari kontak langsung dengan air dengan menggunakan sepatu boot. Jagalah kebersihan dan selalu gunakan pakaian yang kering. d. Leptospirosis Penyakit
ini diakibatkan oleh parasit
bernama
Leptospyra
Batavie.
Penyebarannya melaui air yang tergenang dan bersumber dari air kencing tikus, babi, anjing, kambing kuda, kucing, kelelawar dan serangga tertentu. Penyakit ini terkenal dengan penyakit kencing tikus, parasit ini berbentuk seperti cacing spiral yang sangat kecil. Gejala Leptospirosis Stadium awal, demam tinggi, badan menggigil (kedinginan), mual, muntah, iritasi mata, nyeri otot betis dan sakit bila tersentuh. Stadium dua, parasit membentuk antibodi ditubuh sehingga mengakibatkan jantung berdebar debar dan tidak beraturan, bahkan jantung bisa mengalami pembengkakan dan gagal jantung. Pembuluh darah dapat mengalami perdarahan ke saluran pernapasan dan pencernaan hingga bisa mengakibtkan kematian. Parasit dapat masuk melalui bagian tubuh yang terbuka seperti luka. Pengobatan penyakit Leptospirosis dengan pemberian antibiotik, misalya: doksisiklin, cephalosporin, dan obat-obat antibiotik turunan quinolon. Demikian pula dapat diberikan penisilin, ampisilin atau antibiotik lainnya yang serupa. Pemberian antibiotik sebaiknya secara intrevena (infus ( infus.) .)
e. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ISPA juga sangat banyak diderita oleh masyarakat korban bencana banjir. Kondisi lingkungan yang buruk dan cuaca yang tak menentu, membuat sejumlah pengungsi korban banjir mulai terserang penyakit. Gangguan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), berupa: flu, demam, dan batuk. Hal ini terjadi karena
asupan makanan, kurangnya air bersih, dan masih tingginya aktivitas pengungsi guna mengecek rumah sekaligus mengambil barang-barang yang tertinggal membuat daya tahan tubuh mereka cepat turun. Pada saat terserang penyakit ISPA, sebaiknya penderita mengusahakan kondisi dalam keadaan yang hangat, serta makan- makanan yang banyak mengandung energi, serta perlu diberikan beberapa obat lainnya seperti : Parasetamol, Antihistamin, dan antibiotik jika terjadi infeksi bakteri.
f.
Demam Berdarah Saat musim hujan, terjadi peningkatan tempat perindukan nyamuk aedes aegypti karena banyak sampah seperti kaleng bekas, ban bekas, dan tempattempat tertentu terisi air sehingga menimbulkan genangan, tempat berkembang biak nyamuk tersebut.
g. Penyakit Saluran Cerna Lain Penyakit yang dimaksud misalnya misal nya seperti demam tifoid. Dalam hal ini,faktor i ni,faktor kebersihan makanan memegang peranan penting. h. Memburuknya penyakit kronis Hal ini hanya terdapat pada korban yang mempunyai penyakit ya ng sebelumnya sudah diderita. Hal ini terjadi karena penurunan daya tahan tubuh akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi bila banjir yang terjadi selama berhari-har i . Aspek Penanggulangan Lingkungan:
1. Tempat Pengungsian Saat bencana terjadi tempat pengusian darurat akan menjadi tujuan semua korban bencana. Untuk mengantisipasi masalah kesehatan lingkungan yang akan timbul maka dalam memilih, melengkapi, atau memperbaiki tempat pengungsian darurat sebaiknya melibatkan tenaga kesehatan dan ahli teknik pengairan. Di samping itu, ketika merencanakan lokasi pengungsian darurat semestinya dipertimbangkan juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang di sekitar area tersebut (Wisner & Adams, 2002).
Tidak semua penduduk akan mengungsi ke tempat pengungsian bersama. Kadangkadang penduduk korban bencana mengungsi ke rumah saudara atau tetangganya. Pada kondisi seperti ini perlu diinformasikan pada mereka bahwa suplai air mungkin terkontaminasi dan air permukaan mungkin terkontaminasi kotoran. Informasi mengenai metode sederhana penyaringan, sedimentasi, penyimpanan, dan disinfeksi seharusnya diberikan. Perlu juga dilakukan pendistribusian tablet klorinasi atau pemutih air untuk disinfeksi air di rumah. Hal yang sangat penting pula adalah mengamankan air minum yaitu mulai dari penyaringan, perebusan, disinfeksi, menyimpan dalam air tertutup, dan sebagainya. Juga menginstruksikan pada mereka tentang pembuangan sampah yang aman, tempat buang air besar, dan terapi rehidrasi oral bagi anak yang terkena diare (Wisner & Adams, 2002). 2. Suplai Air Prioritas utama di tempat pengungsian adalah menyediakan jumlah air yang cukup, walaupun kualitasnya buruk, dan mencegah sumber air dari kontaminasi. Suplai air seharusnya dilakukan dengan atau sebagai bagian dari program promosi kesehatan yang bekerja sama dengan penduduk yang terkena dampak (Wisner & Adams, 2002). Kebutuhan dan ukuran kedaruratan suplai air jangka pendek mungkin berbeda menurut komunitas desa atau semikota, situasi perkotaan dimana pusat layanan air tersedia, populasi di pemindahan lokasi atau penampungan sementara. Komunitas pedesaan biasanya kurang rentan terhadap terganggunya suplai air saat bencana daripada komunitas perkotaan karena suplai air umumnya terdesentralisasi dan menggunakan teknologi yang sederhana, dan seringkali sumber alternatifnya ada. Namun bencana tertentu seperti banjir dan kekeringan akan berdampak lebih besar pada area pedesaan dibandingkan area perkotaan. Pada area perkotaan, prioritas seharusnya diberikan pada area kota yang suplai airnya terganggu atau terkontaminasi, tapi tidak punya sumber alternatif (Wisner & Adams, 2002). Jumlah minimum air yang diperkenankan untuk perorangan untuk minum, masak, dan kebersihan ditentukan oleh United Nations High Commisioner for Refugees (1992a) sebanyak 7 liter per hari per orang selama periode darurat jangka pendek. Pada
kebanyakan situasi, kebutuhan air mungkin lebih banyak yaitu : 15-20 liter per hari per orang untuk penduduk umum, 20-40 liter per hari per orang untuk beroperasinya sistem pembuangan kotoran, 20-30 liter per hari per orang untuk dapur umum, 40-60 liter per hari per orang untuk rumah sakit terbuka atau pusat pertolongan pertama, 5 liter per pengunjung untuk masjid, 30 liter per hari per sapi atau unta untuk hewan ternak, dan 15 liter per hari per kambing atau hewan kecil lainnya. Tambahan 3-5 liter per orang per hari dibutuhkan untuk minum dan masak, suplai air yang cukup penting untuk mengontrol penyebaran penyakit yang ditransmisikan karena kurangnya kebersihan (water washed diseases) bahkan jika suplai air tidak memenuhi petunjuk kualitas air minum yang ditetapkan
WHO
atau
standard
nasional
(Wisner
&
Adams,
2002).
Air yang diduga terkontaminasi mikroorganisme harus direbus minimal 10 menit sebelum penggunaan. Air yang terkontaminasi bahan kimia, minyak atau gasoline tidak dapat ditreatment dengan perebusan atau klorinasi. Karena itu jika polusi air karena bahan kimia atau minyak terjadi terj adi sebaiknya air tidak digunakan lagi, dan harus disediakan air dari sumber lain (Koren dan Bisesi , 2003). Sesudah bencana, penilaian kerusakan sumber air yang tersedia dan kebutuhan yang belum terpenuhi akan memudahkan tenaga kesehatan mengatur sumber-sumber yang dibutuhkan. 3. Sanitasi Feses manusia mengandung banyak organisme yang menyebabkan penyakit meliputi virus, bakteri, dan telur atau larva dari parasit. Mikroorganisme yang ada pada feses manusia mungkin masuk ke tubuh melalui makanan, air, alat makan dan masak yang terkontaminasi atau melalui kotak dengan benda-benda yang terkontaminasi. Diare, kolera, dan typhoid tersebar dengan cara ini dan penyebab utama kesakitan dan kematian dalam bencana dan kedaruratan. Sedangkan urin relatif kurang berbahaya, kecuali di area dimana
schistosomiasis
karena
urin
terjadi
(Wisner
&
Adams,
2002).
Sullage (sampah cair dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian) mengandung organisme yang menyebabkan penyakit, khususnya dari pakaian kotor, tapi bahaya kesehatannya terjadi terutama ketika berkumpul di daerah dengan pembuangan limbah
yang buruk dan menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Culex. Tikus, anjing, kucing, dan binatang lain yang mungkin adalah carrier (reservoir) bagi organisme penyebab penyakit tertarik pada makanan, pakaian, pembalut medis dan komponen lain sampah padat. Kumpulan air hujan yang sedikit pada sampah padat dapat menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes Aedes (Wisner & Adams, 2002). Hubungan antara sanitasi, suplai air, dan kesehatan secara langsung dipengaruhi oleh perilaku kebersihan. Aspek perilaku ini penting sekali dipertimbangkan saat memilih tehnik-tehnik yang ada sehingga fasilitas yang disediakan dalam darurat dapat diterima dan digunakan dan dipelihara kebersihannya oleh pengguna (Wisner & Adams, 2002). Penyimpangan atau penampungan sampah hendaknya 1 tanki 100 L per 10 keluarga atau 50 orang. Untuk transportasi sampah dianjurkan 1 gerobak per 500 orang atau 1 tenaga pembuang sampah untuk 5000 orang. Sedangkan untuk pembuangan akhir sampah 1 lubang (2m x 5m dan dalam 2 m) dan 1 pembakaran digunakan untuk 500 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn). 4. Sistem Pembuangan Karena rusaknya sistem pembuangan limbah maka sangatlah potensial terjadi outbreak suatu penyakit. Dua jenis teknik yang dibutuhkan dalam situasi darurat ini. Pertama, mengoperasikan kembali sistem pembuangan limbah sesegera mungkin dan mendisinfeksi seluruh area dengan chlorine dimana buangan mungkin sudah kontak dengan material dan struktur yang berhubungan dengan manusia. Kedua, menyediakan privies sementara, toilet portable, dan holding tanks untuk individual selama dan setelah s etelah bencana (Wisner & Adams, 2002). Jumlah kakus, sebagaimana dianjurkan PBB, adalah 1 kakus per keluarga. Namun apabila tidak memungkinkan bisa 1 kakus per 20 keluarga, bahkan 1 kakus per 100 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn) 5. Penguburan Jasad Sebelum dilakukan pemakaman maka sedapat mungkin semua jasad diidentifikasi dan dicatat hasilnya. Tingkat kematian saat bencana mungkin sekali lebih tinggi
dibanding dalam keadaan normal. Penguburan jasad merupakan cara yang paling sederhana
dan
terbaik
yang
sejauh
ini
dapat
diterima
dan
dimungkinkan.
Saat menangani jasad, pekerja harus melindungi dirinya dengan sarung tangan, penutup muka, sepatu lars dan baju kerja terusan. Sesudahnya pekerja harus membersihkan diri mereka sendiri dengan sabun dan air (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn).
6. Keamanan Makanan Makanan kemungkinan akan sulit didapat pada keadaan darurat atau setelah bencana. Panen mungkin rusak di sawah, ternak tergenang, dan suplai makanan terganggu, dan penduduk terpaksa menyelamatkan diri ke area dimana tidak ada akses ke makanan. Lebih lanjut, keamanan semua makanan berakibat besarnya risiko epidemi foodborne disease (Wisner & Adams, 2002). Putusnya pelayanan vital, seperti suplai air atau listrik, juga sangat mempengaruhi keamanan pangan. Kekurangan air minum dan sanitasi yang aman menghambat penyiapan makanan secara higienis dan meningkatkan risiko kontaminasi makanan. Makanan khususnya rentan terhadap kontaminasi ketika disimpan dan disiapkan di luar atau di dalam rumah yang rusak dimana jendela dan dinding mungkin tidak lagi utuh (Wisner & Adams, 2002). Menyusul terjadinya bencana, penilaian mengenai efek bencana pada kualitas dan keamanan makanan harus dibuat sebagai upaya untuk mengonttrol makanan. Besarnya dan jenis kerusakan makanan harus dinilai, dan sebuah keputusan dibuat mengenai pemisahan dan pengkondisian ulang makanan yang berhasil diselamatkan (Wisner & Adams, 2002). Jika panen sawah terkontaminasi kotoran manusia, seperti setelah banjir atau kerusakan sistem pembuangan, penilaian harus dibuat segera untuk menilai kontaminasi panen dan menetapkan tindakan, seperti menunda panen dan memasak secara sepenuhnya, untuk mengurangi risiko transmisi patogen fekal (Wisner & Adams, 2002).
WHO (1991) menetapkan Aturan Baku Penyiapan Makanan Secara Aman sebagai berikut : a. Masak makanan mentah sampai benar-benar matang b. Makan makanan yang dimasak segera mungkin. c. Siapkan makanan hanya untuk sekali makan d. Hindari kontak antara makanan mentah dan makanan matang e. Pilih makanan yang diproses untuk keamanan f. Cuci tangan berulang-ulang g. Jaga semua penyiapan makanan tetap bersih h. Gunakan air bersih i.
Waspada dengan makanan yang dibeli di luar.
j.
Berikan ASI pada bayi dan anak kecil.
Pada kondisi bencana biasanya didirikan banyak dapur umum. Penyiapan makanan secara massal mempunyai banyak kekurangan yang meliputi transmisi food borne disease. Karena itu penting bagi pengelola makanan dan supervisor untuk ditraining pengolahan makanan secara aman dan Hazard Analysis Anal ysis Critical Control Point (HACCP). ( HACCP). Adalah penting sekali bahwa tenaga masak dan sukarelawan yang menyiapkan makanan tidak menderita gejala berikut : jaundice (kuning) , diare, muntah, demam, sakit tenggorokan (dengan demam), luka kulit yang tampak terinfeksi (borok, luka, dan lain lain) atau ekskreta dari telinga, mata atau hidung (Wisner & Adams, 2002). Fasilitas yang dibutuhkan untuk dapur umum antara lain : suplai air, toilet untuk staf dan pengguna, fasilitas cuci tangan, fasilitas untuk mengelola sampah cair dan padat, meja, fasilitas untuk mencuci peralatan dapur, d apur, bahan yang cukup dan sesuai untuk makan, kontrol terhadap rodent dan pes yang lain, serta informasi keamanan makanan (Wisner & Adams, 2002). Makanan beku yang tidak dibekukan lagi sebaiknya dibuang. Makanan yang disimpan di lemari es yang disimpan di bawah 41° F dan belum terkontaminasi air sungai atau yang lain atau bahan yang potensial berbahaya dapat digunakan (Koren dan Bisesi , 2003)
7. Kontrol Pest dan Vektor Selama situasi darurat dan periode sesudahnya, insekta dan rodent mungkin meningkat dengan kecepatan tinggi. Peluang penyebaran penyakit meningkat tajam. Karena sistem pembuangan rusak, rodent meninggalkan area ini dan mencari sumber makanan lain. Yang jelas, setelah bencana, sampah padat yang meliputi bahan-bahan yang bisa menjadi sumber makanan rodent berkumpul (Koren dan Bisesi , 2003). Bahaya infeksi yang serius mungkin meningkat ketika migrasi massal membawa penduduk secara bersama-sama dari asal yang berbeda ke tempat penampungan sementara yang sudah ada vektor penyakitnya. Pada kondisi demikian, penduduk yang relatif carrier imun terhadap parasit dapat memulai siklus penyebaran penyakit pada penduduk yang lemah le mah dan penduduk yang jadi ja di korban tapi tidak kebal. Contoh outbreak penyakit yang diobservasi pada kondisi demikian meliputi malaria (oleh nyamuk Anopheles), epidemic typhus (oleh kutu), dan demam dengue (oleh nyamuk Aedes). Malaria adalah salah satu dari lima penyebab kematian pada situasi darurat, dan di area endemik kontrolnya mungkin menjadi salah satu prioritas kesehatan utama (Wisner & Adams, 2002). Banjir dan hujan yang deras menimbulkan banyak genangan air yang berakibat meningkatnya jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk yang pada akhirnya dapat menyebabkan outbreak penyakit. Karena menghilangkan genangan air adalah sesuatu hal yang tidak mungkin maka perlu dilakukan program penyemprotan secara massal (Koren dan Bisesi , 2003) 8. Kontrol Penyakit Menular dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa Lima penyakit penyebab kematian terbanyak saat keadaan darurat dan bencana adalah diare, ISPA, measles, malnutrisi, dan malaria (pada daerah endemik). Kepadatan penduduk, sanitasi dan higiene yang buruk, air minum yang terkontaminasi, banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk merupakan faktor risiko lingkungan terjadinya beberapa penyakit tersebut (Wisner & Adams, 2002). Training bagi petugas kesehatan sebelum bencana terjadi dalam mengidentifikasi dan menatalaksana penyakit tertentu, persiapan stok lokal bahan dan alat untuk diagnosis dan
terapi penyakit yang mungkin terjadi, perbaikan sistem surveillans kesehatan, dan kesadaran penduduk yang terkena bencana terhadap penyakit menular, dan rujukan segera ke fasilitas kesehatan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol penyakit menular dan mencegah kejadian luar biasa (Wisner & Adams, 2002). C. PARTISIPASI MASYARAKAT
Pelibatan masyarakat (terutama korban bencana) penting untuk menurunkan kerentanan terhadap bencana, untuk memfasilitasi pemulihan setelah bencana, dan untuk menstimulasi organisasi masyarakat yang merupakan basis untuk pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat
hendaknya
didorong
untuk
ambil
bagian
dalam
mengidentifikasi hazard yang mereka hadapi, dalam menilai kerentanan mereka sendiri, dan dalam merencanakan jalan untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam bencana (Wisner & Adams, 2002). Masyarakat pada umumnya lebih mengenal situasi dan kondisi lingkungan setempat, mengetahui bagaimana perilaku dan kebiasaan, serta kebutuhan masyarakat setempat korban
bencana.
Dengan
melibatkan
masyarakat
setempat
maka
penanggulangan bencana yang yang ada akan lebih tepat sasaran, efektif, dan efisien.
program
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. 2. Siklus managemen bencana terdiri dari pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaaan; tanggap darurat; rehabilitasi dan rekonstruksi
3. Prinsip penanggulangan bencana antara lain cepat dan tepat; prioritas; koordinasi dan keterpaduan; berdaya gunna dan berhasil guna; transparansi dan akuntabilitas; kemitraan; pemberdayaan; non diskrimatif; non prolitisi 4. Beberapa aspek kesehatan lingkungan yang terkait dengan tanggap darurat bencana alam adalah tempat pengungsian, suplai air, sanitasi, sistem pembuangan, penguburan jasad, keamanan makanan, kontrol pest dan vektor, dan kontrol penyakit menular serta kejadian luar biasa. 5. Pemilihan tehnik-tehnik yang akan dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah kesehatan lingkungan yang ada hendaknya juga memperhatikan aspek perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga upaya yang dilakukan menjadi efektif dan efisien. Untuk itu masyarakat perlu melibatkan dalam menangani masalah yang mereka hadapi.
B. SARAN
1. Dalam penaggulangan dan pencegahan bencana sangat dibutuhkan sinergi dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, bahkan pihak swasta agar tercapainya tujuan dari pencegahan dan penaggulangan bencana tersebut 2. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus benar-benar terealisasi dan dilakukan sebaik-baiknya supaya dapat mengembalikan keadaan korban bisa seperti semula, sebelum terjadinya bencana. Dan bahkan bisa menjadikan korban menjadi pribadi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wisner & J. Adams. Environmental Health in Emergencies and Disasters. A Practical Guide. Geneva. WHO. 2002 Koren, Herman. dan Bisesi, Michael. Handbook of Environmental Health. Pollutant Interactions in Air, Water, and Soil. Dalam : Environmental Health Volume 2.Boca Raton : Lewis Publishers. 2003. Amir, A . 2013. “Penanggulanagan bencana” . Makalah pada Universitas Sumatera Utara: Medan Buku Pegangan Kedaruratan Edisi Kedua. Komisi Tinggi PBB untuk Urus a Pengungsi.