LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI MUSCULOSKELETAL 2 BLOK 14
KELOMPOK C Julius 102006072 Stefany 102008111 Feby Leilina 102008126 Ade Frima Segara Manurung 102008141 Elsa Gabriella Latupeirissa 102008149 Hendry Sangapta Christian 102008202 Gary Glint Susilo 102008216
Pendahuluan
Praktikum farmakologi pada blok 14 yaitu blok musculoskeletal, adalah praktikum tentang obat-obatan yang menghilangkan rasa nyeri. Dimana obat-obat tersebut meliputi obat analgesic, obat non steroid anti inflamasi (NSAID), analgesic opioid, obat urikosurik, dan disease modifying rheumatoid arthritis drugs (DMRAD). Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efek obat-obatan tersebut dan pengaruhnya dalam menahan rasa nyeri. Selain itu, dengan adanya praktikum ini, kami, mahasiswa dapat lebih mengerti dan mendalami cara kerja obat-obatan ini karena kami melakukan, mengamati dan melaporkan sendiri efek dari obat yang akan digunakan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode tersamar ganda atau double blind clinical trial. Dimana pada praktikum ini yang dimaksudkan dengan metode tersamar ganda adalah orang yang memberikan obat yaitu dokter atau pengamat, dan pasien atau orang percobaan (OP) tidak mengetahui obat apa yang digunakan oleh pasien atau OP tersebut. Tujuan dipakainya metode double blind clinical trial ini adalah untuk menghilangkan subjektivitas dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sehingga hasil yang diperoleh diharapkan lebih maksimal karena tidak adanya subjektivitas tersebut.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah: 1. Tensimeter 2. Stetoskop 3. Termometer kulit 4. Termometer kimia 5. Penggaris 6. Baskom plastik 7. Bongkahan es 8. Air 9. Obat-obatan analgesik, meliputi: a. Parasetamol, dosis: 600 mg b. Kodein, dosis: 30 mg c. Ibuprofen, dosis: 600 mg d. Tramadol, dosis: 50 mg e.
Plasebo
Semua jenis obat-obatan dan placebo dibungkus dalam kapsul degan ukuran yang sama, warna yang sama, dan bentuk yang sama. Semuanya diberi kode berbeda-beda setiap kapsul dan kode tersebut dipegang oleh instruktur.
Persiapan
1. Setiap kelompok menyediakan dua OP yang siap dalam keadaan puasa 4 jam sebelum percobaan dimulai. Hal ini dilakukan supaya absorbsi obat lebih sempurna, maka sebaiknya lambung dalam keadaan kosong. Untuk praktikum analgesk, tidak ada kontra indikasi khusus, hanya berhati-hati bagi OP yang mempunyai riwayat khusus seperti ulkus peptikum dan gastritis kronis. 2. Obat-obat yang akan digunakan diberi kode tertentu, dicatat dan disimpan oleh instruktur. Karena praktikum ini adalah praktikum tersamar ganda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana OP dan pemeriksa tidak mengetahui obat apa yang dimakan oleh OP. 3. Tiap kelompok menyiapkan barang yang diperlukan saat praktikum.
Tatalaksana
1. OP berbaring di meja praktikum.
2. Lakukan pengukuran tanda vital, yaitu tekanan darah, denyut nadi permenit, frekuensi nafas permenit, suhu kulit, dan diameter pupil mata, serta gejala subyektif seperti adanya pusing, demam, mual, dan sebagainya. a.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan stetoskop dan tensimeter.
b. Denyut nadi dihitung per menitnya. c.
Frekuensi nafas dihitung per menitnya.
d. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer kulit yang diletakkan di daerah flushing . Yaitu di sekitar leher dan dagu OP. e.
Diameter pupil diukur menggunakan penggaris dengan posisi mata OP melihat lurus ke atas dan dalam keadaan berbaring.
Seluruh pengukuran dilakukan dua kali dan diambil reratanya. 3. Untuk membangkitkan rasa sakit, dilakukan: a.
OP pertama, dalam keadaan duduk, mencelupkan tangan dalam baskom yang berisi air dan es dan diukur suhunya berkisar 2-3 o celcius. Tangan dalam keadaan mengepal atau terbuka, dimasukkan dalam air sampai sebatas pergelangan tangan. Catat waktu sampai timbulnya rasa sakit seperti ditusuk jarum halus.
b. OP kedua dengan keadaan duduk, dilakukan pemasangan manset tensimeter pada lengan kanan atas. Dipompa sampai terjadi oklusi vena, yaitu pada 180 mmHg. Jari-jari digerakkan fleksi dan ekstensi untuk mempercepat terjadinya rasa sakit. Catat waktunya. 4. Minta obat yang sudah diberi kode oleh instrukur, setelah itu, minta OP untuk meminum obat tersebut. 5. OP berbaring selama 60 menit. Pemeriksa tetap mengamati apakah dalam 60 menit tersebut timbul efek samping dari obat tersebut. 6. Setelah 60 menit, lakukan lagi pengukuran tanda-tanda vital. 7. Lakukan kembali perendaman dalam air es atau oklusi dengan tensimeter pada OP. Catat waktu timbulnya rasa nyeri. 8. Tanyakan apa saja efek samping yang dirasakan OP setelah meminum obat. 9. Berdasarkan hasil observasi, diskusikan obat apa yang diminum OP tadi. Tebak, obat apa yang diminum dan cocokkan dengan kode obat yang dipegang oleh instruktur. 10. Tanyakan apa saja efek samping yang dirasakan oleh OP selama 24 jam setelah pemberian obat.
SEBELUM MINUM OBAT
Kelompok TD/
N/
T kulit
RR/
Diameter pupil
Dgn es
1 menit
IA
120/70
60
35.99
16
0.2
IB
110/80
67
35.57
19
0.2
IIA
120/90
88
35.8
19
0.6
IIB IIIA
130/80 110/60
84 64
35.8 35.6
28 21
0.6 0.47
IIIB
110/60
71
25.2
25
0.45
IVA
110/60
80
35.4
18
0.6
IVB VA
120/70 100/70
80 66
34.7 35.5
18 18
0.6 0.5
VB VIA
110/80 110/70
68 68
35.1 35.38
14 12
0.5 0.6
VIB
120/70
82
34.89
15
0.6
VIIA VIIB VIIIA
110/70 110/70 110/80
70 78 66
35.85 36.19 35.53
20 19 15
0.5 0.4 0.5
VIIIB IXA
110/70 120/80
98.5 78
36.27 33.8
24 18
0.45 5mm
IXB
110/60
80
35.3
16
4mm
XA
110/80
86
36.7
15
0.5
XB XIA XIB XIIA XIIB XIIIA XIIIB
110/80 100/60 110/80 120/80 110/70 120/70 110/60
85 70 70 63 62 74 78
36.24 35.5 35.6 35.6 35.54 35.7 35.5
16 10 16 25 12 22 26
0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.3 0.4
Dgn sfigmomanometer
1 menit 40detik
19.4 detik 39 detik 21.2 detik 1 menit 35detik
25.15 detik
1 menit 27 detik 38.5 detik 1 menit 20detik 30.65 detik 26.5 detik 20.5 71.5 detik 2 menit 12.5 detik 65 detik 20 detik
75 detik 55 detik
2 menit 9detik 16 detik 1 menit 57detik 62 detik 1 menit 42detik 38 detik 2 menit 55detik
EFEK OBAT
Perih ulu hati, MEngantuk Mengantuk, mual, pusing Mual pusing Mengantuk Mengantuk, demam, batuk, gatal Pusing, mual, mengantuk, panas Mengantuk, pusing Pusing Mengantuk, pusink Mengantuk, mual Pusing Mengantuk
Sangat pusing, dingin pada ekstremitas Gatal, pusing Megantuk, lambung perih Gatal-gatal -
SESUDAH MINUM OBAT KELOMPOK TD/
N / 7 5 5 7 6 4 8 4 7 9 6 8 6 6 7 0 7 1 7 4 6 8 8 6 8 0 7 0 6 8
IA
120/80
IB
110/75
IIA
120/80
IIB
120/70
IIIA
110/60
IIIB
110/70
IVA
110/60
IVB
110/70
VA
110/70
VB
100/80
VIA
110/80
VIB
120/80
VIIA
100/60
VIIB
110/70
VIIIA
100/80
VIIIB
100/65 8 0 120/80 7 3 90/60 6 5 130/90 3 0
IXA IXB XA
T KULIT 35.26
RR/
35.09
16
DIAMETER DGN PUPIL ES 0.3 32 detik 0.3
36
16
0.5
36
26
0.5
35.7
15
0.7
36.3
18
0.5
36
24
0.5
35.8
14
0.6
33.9
15
0.4
35.6
20
0.6
34.9
8
0.5
35.8
13
0.5
36.07
25
0.5
36.57
18
0.4
35.87
17. 5
0.5
35.78
0.5
32.28
23. 5 11
34.7
15
5mm
36.25
12
0.5
12
6
DGN NAMA SFIGMOMANOMETER OBAT Ibuprofen
1 menit 30 detik
24.3 detik
27 detik
22.5 detik
Paracetamol Paracetamol
1 menit 54 detik 48.65 detik
Paracetamol Kodein
2 menit 19 detik 30.5 detik
Tramadol Kodein
1 menit 40 detik 30.2 detik
Ibuprofen Tramadol
30 detik 22 detik
Ibuprofen Kodein
1 menit 8 detik 1 menit 20 detik
Kodein Ibuprofen
75 detik 22 detik
Ibuprofen Tramadol
99 detik 2 menit
Kodein
Tramadol Plasebo
34 detik XB XIA XIB XIIA XIIB XIIIA
XIIIB
125/80 8 8 105/70 6 8 110/60 6 7 110/70 5 6 110/70 5 9 100/70 7 0
36.16
10
0.5
34.9
13
0.4
33.7
16
0.5
35.27
25
0.5
36
16
0.5
36.3
22
5mm
120/80 7 6
36
24
4mm
1 menit 47 detik 19.5 detik
Placebo 1 menit 37 detik
91 detik
paracetamol Plasebo
73 detik 3 menit 15 detik
Paracetamol Ibuprofen
2 menit 75 detik
Hasil
Tramadol
Plasebo
OP pertama: Gary Glint Susilo Keadaan awal atau basal Tekanan darah
: 130/80
Frekuensi nadi
: 84kali/menit
Suhu
: 35.8o celcius
Frekuensi nafas
: 28 kali/menit
Diameter pupil
: 0,6 cm
Dengan sfigmomanometer
: 39 detik
60 menit setelah minum obat Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Frekuensi nadi
: 84 kali/menit
Suhu
: 36 o celcius
Frekuensi nafas
: 26 kali/menit
Diameter pupil
: 0,5 cm
Dengan sfigmomanometer
: 27 detik
Tebakan obat
: Plasebo
Jawaban
: Parasetamol
Efek setelah 60 menit
: -
OP kedua: Ade Frima Segara Manurung Keadaan awal atau basal Tekanan darah
: 120/90 mmHg
Frekuensi nadi
: 88 kali/menit
Suhu
: 35.8 o celcius
Frekuensi nafas
: 19 kali/menit
Diameter pupil
: 0.6 cm
Rendam dengan es
: 19.4 detik
60 menit setelah minum obat Tekanan darah
: 120/80mmHg
Frekuensi nadi
: 64 kali/menit
Suhu
: 36 o celcius
Frekuensi nafas
: 16 kali/menit
Diameter pupil
: 0,5 cm
Rendam dalam es
: 24.3detik
Tebakan obat
: Tramadol
Jawaban
: Tramadol
Efek setelah 60 menit : mual dan pusing Pembahasan
Kesalahan dalam menebak obat dapat terjadi karena: •
Puasa OP tidak sempurna, atau tidak lebih dari 4 jam.
•
OP tidak mengalami efek samping khusus.
•
Kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan yang digunakan dalam praktikum.
•
Efek samping obat-obat yang digunakan hampir sama, satu dengan yang lain.
•
Ketidak telitian pemeriksa.
•
OP terlalu menahan rasa sakit.
1. Parasetamol Paracetamol 500mg Tablet
Pengertian
Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral.
Cara Kerja:
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.
Sifat
antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi. Komposisi:
Tiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg. Indikasi:
Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Serta menurunkan demam pada influenza dan setelah vaksinasi. Efek Samping:
Efek samping adalah efek yang tidak diinginkan dari pemberian suatu obat dalam dosis terapi. Pengaturan dosis yang tepat dan penggunaan obat sesuai aturan dapat meminimalkan terjadinya efek samping. Efek samping parasetamol jarang kecuali ruam kulit, kelainan darah, pankreatitis akut dilaporkan setelah pengunaan jangka panjang kerusakan hati (dan lebih jarang kerusakan ginjal). Dosis:
Dibawah 1 tahun: 1 sendok teh atau 60 – 120 mg, tiap 4 – 6 jam. 1 – 5 tahun: 1 – 2 sendok teh atau 120 – 250 mg, tiap 4 – 6 jam.
6 – 12 tahun: 2 – 4 sendok teh atau 250 – 500 mg, tiap 4 – 6 jam. Diatas 12 tahun: 1 g tiap 4 jam, maksimum 4 g sehari. Kontraindikasi:
-
Hentikan penggunaan parasetamol bila demam berlangsung lebih dari 3 hari atau nyeri semakin memburuk lebih dari 10 hari, kecuali atas saran dokter.
-
Bagi ibu hamil dan menyusui.
-
Orang dengan penyakit gangguan liver sebaiknya tidak menggunakan obat ini.
-
Konsultasikan dengan dokter sebelum mengkombinasi parasetamol dengan obat-obat NSAID, antikoagulan (warfarin), ataupun kontrasepsi oral.
2.
-
Penggunaan parasetamol bersama alkohol dpat meningkatkan toksisitas.
-
Konsumsi vitamin C dosis tinggi dapat meningkatkan kadar parasetamol dalam tubuh.1
Ibuprofen Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.1
Ibuprofen merupakan obat antiinflamasi nonsteroid yang sering digunakan dengan frekuensi penggunaan berulangkali dalam sehari sehingga dapat menyebabkan resiko lupa meminum obat pada pasien. Selain itu efek samping yang dimiliki oleh ibuprofen adalah gangguan saluran cerna dimana efek samping ini dapat meningkat dengan penggunaan obat yang berulangkali. Oleh karena itu banyak penelitian yang dikerjakan untuk memperoleh sistem pelepasan ibuprofen yang terkontrol. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelepasan
1
Gunawan G.Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: balai Penerbit FKUi; 2005. hlm. 225-8
ibuprofen secara in vitro dari matriks xanthan gum yang dikombinasikan dengan suatu crosslinking agent, yaitu locust bean gum atau kalsium sulfat.2
3. Tramadol Tramadol 50 mg Tablet
Pengertian:
Tramadol
adalah
analgesik
kuat
yang
bekerja
pada
reseptor
opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem syaraf pusat sehingga memblok sensasi rasa nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari syaraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Komposisi:
Tiap kapsul mengandung 50 mg tramadol hydrochloride. Indikasi:
Efektif untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, termasuk nyeri pasca pembedahan, nyeri akibat tindakan diagnostik.
Cara Kerja:
2
Sumber: http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/cetak.php?id=84
Tramadol
adalah
analgesik
kuat
yang
bekerja
pada
reseptor
opiat.
Tramadol mengikat secara stereospsifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu TRAMADOL menghambat pelepasan neutrotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibatny impuls nyeri terhambat. Efek Samping:
- Sama seperti umumnya analgesik yang bekerja secara sentral, efek samping yang dapat terjadi: mual, muntah, dispepsia, obstipasi, lelah, sedasi, pusing, pruritus, berkeringat, kulit
kemerahan,
mulut
kering
dan
sakit
kepala.
- Meskipun Tramadol berinteraksi dengan reseptor apiat sampai sekarang terbukti insidens ketergantungan setelah penggunaan Tramadol, ringan. Dosis:
Terapi oral Dewasa dan anak di atas 14 tahun. Dosis umum: dosis tunggal 50 mg. Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 30 – 60 menit. Dosis maksimum: 400 mg sehari. Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita. Penderita gangguan hati dan ginjal dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit: 50 – 100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari. Terapi parenteral Dosis yang diberikan sebaiknya disesuaikan dengan intensitas rasa nyeri. Bila tidak ada petunjuk lain dari dokter, dosis yang diberikan adalah sebagai berikut :
Dewasa atau anak di atas 14 tahun : intravena: 100 mg (1 ampul), diinjeksikan secara lambat atau dilarutkan dalam larutan infus, kemudian diinfuskan. intraamuskular: 100 mg (1 ampul) subkutan: 100 mg (1 ampul) Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri. Bila masih terasa nyeri, dapat ditambahkan 1 kapsul tramadol 50 mg atau 50 mg tramadol injeksi (1 ml) setelah selang waktu 30 – 60 menit. Pada penderita gangguan fungsi hati atau ginjal, perlu dilakukan penyesuaian dosis. Dosis maksimum 400 mg/sehari.1 4. Kodein Kodein adalah sejenis obat golongan opiat yang digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga
berat,
batuk
(antitusif),
diare,
dan
irritable
bowel
syndrome.
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah menjadi bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida. Sekitar 5-10% kodein akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang bebas, atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina (10%), hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein dapat menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila dibandingkan dengan senyawa golongan opiat lainnya. Pengubahan kodein menjadi morfin berlangsung di hati, dan dikatalisis oleh enzim sitokrom P450 dan CYP2D6, sedangkan enzim CYP3A4 akan mengubah kodein menjadi norkodeina. Efek samping yang umumnya terjadi akibat menggunakan kodein meliputi eforia (perasaan senang/bahagia), gatal-gatal, mual, muntah, mengantuk, mulut kering, miosis, hipotensi ortostatik,
penahanan
urin,
depresi,
dan
sembelit.
Efek samping yang mengancam jiwa, seperti halnya senyawa opiat lainnya adalah depresi saluran pernafasan. Depresi saluran pernafasan ini tergantung pada jumlah dosis yang diberikan, dan berbahaya bila overdosis. Oleh karena kodein dimetabolisme menjadi morfin, hal ini menyebabkan morfin dapat disalurkan melalui air susu ibu kepada bayinya dalam
jumlah yang mematikan, karena mengakibatkan depresi saluran pernafasan bayi yang disusui.3,5
EFEK SAMPING OBAT
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh. Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui. Beberapa contoh efek samping misalnya: - reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik) - hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan) - osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama) - hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat withdrawal syndrome) - fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik) Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: - Kegagalan pengobatan
- Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien - Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik) - Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.
Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.
Efek farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien pasien tertentu.
Gejala penghentian obat
Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya: - agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol - krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid - hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin - gejala putus obat karena narkotika, dsb. Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga
umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.
Efek samping yang tidak dapat diperkirakan
a. Reaksi alergi Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu: - gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya - seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek - reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat - reaksi hilang bila obat dihentikan - keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni: •
Tipe I.
Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi
alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung yodium.
•
Tipe II.
Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll. •
Tipe III.
Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum). •
Tipe IV.
Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal. Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi: 1. Demam. Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari. 2. Ruam kulit (skin rashes). Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll. 3. Penyakit jaringan ikat.
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat. 4. Gangguan sistem darah. Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang. 5. Gangguan pernafasan. Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.
b. Reaksi karena faktor genetik Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya: - Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan. - Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin. Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya: - neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat, - sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.
c. Reaksi idiosinkratik Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya: - Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan. - Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali. - Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid. - Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan. - Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA EFEK SAMPING OBAT
Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi: 1. Faktor bukan obat Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah: a) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup. b) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika. 2. Faktor obat a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping. b) Pemilihan obat.
c) Cara penggunaan obat. d) Interaksi antar obat.
EFEK SAMPING SUATU OBAT DITEMUKAN
Dalam pengembangan suatu obat, calon obat mengalami serangkaian uji/penelitian yang sistematis dan mendalam, untuk mendukung keamanan dan kemungkinan kemanfaatan kliniknya sebelum digunakan pada manusia. Dalam tahap praklinik ini, penelitian-penelitian toksikologik, farmakokinetik dan farmakodinamik mutlak harus dilakukan secara mendalam, untuk menangkap setiap kemungkinan efek samping yang dapat terjadi. Bila efek samping terlalu berat relatif terhadap manfaat yang diharapkan, maka calon obat ini dibatalkan. Efek samping yang terdeteksi pada uji praklinik dan dalam batas yang masih bisa ditolerir, merupakan pegangan pada waktu melakukan uji klinik. Namun pada waktu melakukan uji klinik, masih ada kemungkinan untuk menemukan efek samping lain, yang tidak dapat terdeteksi pada uji sebelumnya, misalnya keluhan mual, gangguan konsentrasi, dll mungkin tidak akan bisa terdeteksi dari hewan percobaan.
Upaya pencegahan efek samping obat
Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut: - Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktuwaktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri. - Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non farmakoterapi. - Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus. - Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran. - Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi.
- Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat.
Penanganan efek samping
Tidak banyak buku-buku yang memuat pedoman penanganan efek samping obat, namun dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini: 1. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu. 2. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan), dll.4,5
4
Goodman dan Gilman. Dasr Farmakologi terapi / editor, Joel G. Hardman, Lee E. Limbird ; konsultan editor, Alfred Goodman Gilman ; alih bahasa, Tim alih bahasa sekolah Farmasi ITB ; editor edisi bahasa indonesia, Amalia Hanif . Edisi 10 . jakarta : EGC, 2007. 5
http://medicadtore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_nyeri .htm
KESIMPULAN Parasetamol atau Asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal, sakit ringan, dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Obat ini aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, Pa rasetamol tak memiliki sifat antiradang. Jadi Parasetamol tidak tergolong dalam obat jenis NSAID. Dalam dosis normal, Parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau menggangu penggumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Tramadol diindikasikan untuk mengobati dan mencegah nyeri yang sedang hingga berat, seperti nyeri akut dan kronik yang berat dan nyeri pasca bedah. Efek samping dari Tramadol sama seperti umumnya analgesik yang bekerja secara sentral, efek samping yang terjadi: mual muntah, dispepsia, obstipasi, lelah, sedasi, pusing, pruritus, berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering dan sakit kepala. Meskipun Tramadol berinteraksi dengan reseptor apiat sampai sekarang terbukti insiden ketergantungan setelah penggunaan Tramadol, ringan.