Laporan Praktikum Biokimia Umum
Hari/Tanggal : Kamis/ 11 April 2018 dan 18 April 2018 Waktu : 12.00 – 12.00 – 15.00 15.00 WIB PJP : Puspa Julistia Puspita, MSc Asisten : Suci Hermita Silvi Octavia Mirta Ardi L
ENZIM Kelompok 18 Adinda Rana Fauziah Jurnila Sari Tanjung Rendi Pratama Mukti
B04170130 B04170035 B04170144
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018
PENDAHULUAN Enzim adalah biomolekul protein yang terdiri dari satu atau lebih rantai polipeptida. Enzim mengubah senyawa dan mempercepat proses reaksi dengan mengubah molekul awal yang dikenali dan diikat secara spesifik oleh enzim (substrat) menjadi molekul lain (produk). Kerja enzim dipengaruhi beberapa faktor, yaitu suhu , pH, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan aktivator. Pada kondisi optimum, laju reaksi enzimatik akan bekerja secara optimum sehingga produk yang dihasilkan lebih banyak (Sutresna 2009). Enzim bersifat katalis dalam reaksi tubuh makhluk hidup, sehingga sering disebut biokatalis. Enzim yang digunakan harus sesuai dengan polisakarida yang akan dihidrolisis. Enzim memiliki fungsi mendasar yaitu menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi dapat berlangsung dalam suhu atau kondisi normal (Samsuri et al. 2008). Enzim dapat diklasifikasikan menjadi oksidoredutase, transferase, hidrolase, liase, isomerasi dan ligase (Setyono dan Soetarto 2008). Oksidoredutase adalah enzim-enzim yang mengkatalisis oksidoreduksi antara substrat melalui molekul oksigen, yang termasuk adalah enzim yang mengkatalisis oksidoreduksi dari gugus CH-OH, C=O, CH-NH 2, dan CH=NH. Terdapat dua jenis enzim yang paling utama yaitu oksidase dan dehidrogease. Transferase adalah enzim yang mengkatalisis pemindahan suatu gugus antara sepasang substrat. Transferase mengkatalisis pemindahan gugus satu karbon, residu aldehida, dan gugus yang mengandung asil, alkil, glikosil, fosfor atau sulfur. Hidrolase mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat atau pemecahan substrat dengan bantuan molekul air. Transferase mengkatalisis ikatan-ikatan ester, eter, peptida, glikosil, anhidrida asam, C-C, C-halida atau P-N. Liase merupakan enzim yang mengkatalisis pembuangan gugus dari substrat tanpa molekul air, dan meninggalkan ikatan rangkap. Liase meliputi enzim yang bekerja pada ikatan C-C, C-O, C-N, C-S, dan C-halida. Isomerase mengkatalisis interkonversi isomer-isomer optik, geometrik atau posisi. Ligase merupakan enzim yang mengkatalisis penggabungan dua senyawa diikuti pemecahan ikatan pirofosfat pada ATP atau senyawa yang sejenis (Indah 2010). 2010). Amilase adalah enzim yang mengkatalisis pemecahan pati menjadi gula. Enzim amilase terbagi menjadi α-Amilase, ββ-Amilase, dan γ-Amilase. γ-Amilase. Enzim Amilase merupakan komponen yang sangat penting pada proses pencernaan makanan. Enzim ini mengubah karbohidrat menjadi gula yang pada akhirnya diubah menjadi ATP (Sumardjo 2008). Enzim amilase yang terkandung dalam saliva dapat menghidrolisis ikatan 1,4-glikosidik yang terdapat dalam amilum menghasilkan dextrin, maltosa, dan sejumlah kecil glukosa dengan konfigurasi gula (Endah dan Nafizah 2011). Saliva merupakan cairan yang terdiri dari sekresi kelenjar ludah dan cairan krevikular gingiva. Terdapat 90% saliva diproduksi oleh kelenjar ludah mayor, antara lain kelenjar parotis dengan sekresi cairan serosa, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual dengan sekresi cairan seromukosa. Sekitar 10% saliva diproduksi oleh kelenjar ludah minor yang terdapat pada mukosa rongga mulut di bagian lingual, labial, bukal, palatinal, dan glossopalatinal. Rongga mulut yang sehat, volume saliva setiap harinya berkisar antara 500 ml hingga 1,5 liter. Saliva mengandung beberapa elektrolit (Na +, K +, Cl -, HCO3-, Ca 2+, Mg 2+, HPO42-, SCN-,
dan F-), protein (amilase, musin, histatin, cystatin, peroxidase, lisozim, dan laktoferin), immunoglobulin (sIgA, Ig G, dan Ig M), molekul organik (glukosa, asam amino, urea, asam uric, dan lemak) (Saputri et al. 2010). Praktikum ini bertujuan dapat menunjukkan sifat enzim pencernaan, menentukan sifat dan susunan air liur, menentukan sifat dan susunan getah lambung.
METODE Waktu dan Tempat Praktikum Biokimia Umum berjudul Enzim dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 11 April 2018 dan 18 April 2018 pukul 12.00-15.00 WIB di Laboratorium Pendidikan Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, gelas piala, pipet tetes, pipet mohr, glass wool, gegep tabung ta bung reaksi, sudip, corong, dan penangas air. Bahan-bahan yang digunakan adalah air liur, akuades, asam asetat encer, lakmus PP, lakmus MO, pereaksi biuret, pereaksi Millon, pereaksi Molisch, klorida, sulfat, fosfat, pereaksi yodium, pereaksi benedict, dan larutan kanji 1%.
Prosedur Percobaan Air liur (saliva) diproduksi oleh praktikan dengan berkumur berkali-kali untuk membersihkan rongga mulut dan kemungkinan sisa-sisa makanan yang tertinggal. Kertas saring yang telah diberi asam asetat encer dimasukkan ke dalam mulut di bawah bagian lidah. Saliva disimpan dan disaring dengan glass wool. Sifat Fisik dan Susunan Air Liur Terdapat 7 pengujian yang dilakukan. Uji pertama saliva diuji keasamannya dengan kertas lakmus. FF dan MO. Saliva yang telah disaring diteteskan ke plat tetes. Kemudian saliva diberi kertas lakmus FF dan MO untuk diukur dan diamati. Uji kedua mengetahui kandungan gula pereduksi dengan uji biuret. Sebanyak 1,5 mL saliva dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan pipet ukur. NaOH 10% 1,5 mL ditambahkan lalu dikocok. Satu tetes larutan CuSO 4 1% ditambahkan lalu dikocok. Perubahan warna diamati. Uji ketiga yaitu uji millon. Air liur 1,5 mL m L dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah 3 tetes pereaksi millon. Larutan dipanaskan selama 5 menit. Perubahan warna diamati. Uji keempat yaitu uji molisch. Saliva 2,5 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah dengan 2 tetes pereaksi molisch. Larutan dikocok agar homogen. Larutan H 2SO4 1,5 mL pekat dimasukkan melalui dinding tabung. Perubahan warna diamati.
Uji kelima yaitu uji klorida. Saliva 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Larutan ditambahkan 1 mL larutan HNO 3 10%. Kemudian 1 mL larutan AgNO 3 10% ditambahkan perlahan sampai terlihat endapan. Uji keenam yaitu uji musin. Uji ini dilakukan dengan 2 mL saliva ditambah tetes demi tetes CH3COOH sampai terlihat endapan. Uji ketujuh yaitu sulfat. Sebanyak 2 mL saliva ditambahkan dengan 1 mL m L HCl 10%. Ditambahkan larutan BaCl 2 tetes demi tetes sampai terlihat endapan putih. Uji kedelapan yaitu uji fosfat. Sebanyak 1 mL la rutan urea 10% dimasukkan ke dalam 2 mL saliva. Pereaksi molibdat khusus dimasukkan dan campur hingga homogen. Perubahan warna biru diamati. Pengaruh Suhu pada Aktivitas Amilase Air Liur Tabung reaksi sebanyak 4 diisi 2 mL saliva dan 2 mL akuades lalu dikocok hingga homogen. Tabung 1 diletakkan pada penangan es yang bersuhu 10 °C, tabung 2 diletakkan pada suhu kamar ±25°C, tabung 3 diletakkan pada penangas es yang bersuhu 37 °C, dan tabung 4 diletakkan pada suhu 100 °C. Masing-masing tabung diletakkan selama 15 menit. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Amilase Air Liur Empat tabung reaksi yang telah berisi 2 mL saliva dan 2 mL larutan pati disiapkan. Masing-masing tabung diisi 2 mL HCL, 2 mL asam asetat, 2 mL Na-Karbonat 0,1%, dan 2 mL akuades. Kocok dengan baik agar rata. r ata. Tiap tabung diukur dengan indikator universal. Tabung diletakkan pada penangas air pada suhu 37°C selama 15 menit. Isi tabung dibagi menjadi dua bagian untuk melakukan uji iod dan uji benedict. Uji iod dilakukan dengan 1-2 tetes larutan larut an diteteskan pada papan uji. Sebanyak 1 tetes larutan iod ditambahkan dan perubahan warna diamati . Uji benedict 2,5 mL, pereaksi benedict dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 4 tetes larutan ditambahkan dan dikocok hingga homogen. Larutan didihkan selama 5 menit. Endapan yang terbentuk diamati. Hidrolisis Pati oleh Amilase Air Liur Saliva 1 mL hasil uji di atas dimasukkan pada larutan pati, dan dikocok. Larutan disimpan pada suhu 37 °C. Setiap selang 1 menit dipindahkan 1 tetes ke papan uji dan teteskan pereaksi yodium. Tahap ini dilakukan hingga larutan tidak mengalami perubahan warna. Selanjutnya 2,5 mL pereaksi benedict dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 4 tetes larutan ditambahkan dan dikocok hingga merata. Larutan didihkan selama 5 menit. Endapan diamati Hidrolisis Pati Mentah oleh Amilase Air Liur Tepung pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian 5 mL akuades ditambahkan dan dikocok. Larutan dibubuhi 10 tetes sali va dan disimpan pada suhu 37°C selama 20 menit. Larutan disaring dan diuji filtratnya terhadap produk hidrolisis pati oleh amilase. Uji benedict dengan 2,5 mL pereaksi benedict dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 4 tetes larutan ditambahkan dan dikocok hingga homogen. Larutan didihkan selama 5 menit. Endapan diamati.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini menggunakan air saliva praktikan, sebagai enzim amilase yang diamati. Amilase adalah enzim yang mengkatalisis pemecahan pati menjadi gula dan dekstrin-dekstrinnya. Saliva adalah cairan kental yang diproduksi oleh kelenjar ludah. Kelenjar-kelenjar ludah tersebut terletak di bawah lidah, daerah otot pipi dan di daerah dekat langit-langit. Saliva mengandung 99,5% air dan 0.5% bermacam-macam yaitu ada zat-zat seperti kalsium (zat kapur), fosfor, natrium, magnesium dan lain-lain. Mucyn adalah bahan yang dapat menyebabkan sifat air menjadi kental dan licin. Sedangkan amylase adalah enzim yang dapat memecah zat tepung menjadi zat tepung lainnya yang lebih halus dengan tujuan mencernanya, sehingga nantinya dapat diserap oleh di dinding usus halus. Enzim adalah bahan yang dapat atau memang bertugas untuk mempercepat suatu reaksi bahan seperti halnya memecah bahan lain, tetapi kandungan dan sifat dari enzim itu sendiri tidak berubah dari aslin ya (Venturi 2009). Penentuan sifat asam atau basa saliva ditentukan dengan cara pengujian indikator. Indikator yang digunakan adalah Penolftalein dan Methyl Orange. PP merupakan pereaksi yang tak berwarna pada pH asam, sedangkan MO merupakan pereaksi yang berwarna orange pada pH asam. Fenolftalein (PP) memiliki me miliki rentang pH 8,0 – 10 dengan perubahan warna dari tak berwarna menjadi merah muda. Sementara itu, metil orange (MO) memiliki rentang pH 3,1 – 4,4 dengan perubahan warna dari merah mer ah menjadi kuning . Air liur yang telah ditetesi ditet esi pereaksi PP dan MO masing-masing menghasilkan tak berwarna dan warna orange. Tidak berubahnya warna pereaksi setelah dicampur air liur menunjukkan bahwa air liur memiliki pH asam. Kisaran pH air liur antara 6,2 hingga 7,6 dengan rata-rata 6,7 (Suratri 2017). Uji Biuret dan Millon bertujuan untuk melihat ada tidaknya protein dalam saliva yang diuji, uji Biuret memiliki hasil reaksi positif berupa larutan berwarna ungu ketika ditambahkan CuSO 4, sedangkan uji Millon dinyatakan positif apabila terbentuk warna merah. Hasil negatif Biuret yang dilakukan oleh praktikan menunjukkan hasil negatif, namun seharusnya uji biuret ini memiliki hasil positif, hal ini dapat dikarenakan kurangnya ketelitian praktikan dalam menghitung volume larutan. Uji Millon yang dilakukan oleh praktikan menunjukkan hasil positif yang berarti bahwa sampel saliva yang diuji mengandung protein. Pereaksi CuSO4 pada uji Biuret berfungsi untuk menyediakan ion Cu 2+ yang akan bereaksi dengan ikatan peptide dalam rantai polipeptida pada suasana basa, hasilnya adalah kompleks warna ungu yang terbentuk (Putri 2016). Uji Molisch adalah uji yang paling umum untuk menyatakan ada atau tidaknya karbohidrat karena memberikan uji positif (cincin ungu) kepada semua karbohidrat yang lebih besar daripada tetrosa. Berdasarkan Uji Molisch oleh praktikan terhadap saliva menunjukkan reaksi yang positif, namun sebenarnya menurut Yusrin (2010), saliva tidak mengandung karbohidrat. Karbohidrat dalam air liur yang dihasilkan probandus disebabkan oleh masih adanya sisa-sisa makanan yang terkandung dalam air liur.
Tabel 1 Sifat Fisik dan Susunan Air Liur uji Fenoftalein
Hasil PP pH : 8,3-10
Jingga metil
MO pH : 3,1-4,4
Biuret
-
Millon
+
Molisch
+
Musin
+
Klorida
+
Sulfat
-
Fosfat
-
Gambar
Keterangan : Uji biuret dan Uji millon :
(+) : Mengandung protein (-) : Tidak mengandung protein Uji molisch : (+) : Mengandung karbohidrat (-) : Tidak mengandung karbohidrat Uji musin, uji klorida, uji sulfat, uji fosfat : (+) : Mengandung Mengandung garam anorganik anorganik (-) : Tidak mengandung garam anorganik
Uji adanya garam anorganik dalam saliva s aliva ditunjukkan oleh uji musin, klorida, uji sulfat, dan uji fosfat. Komponen anorganik saliva yaitu sodium, kalium, magnesium, bikarbonat, klorida, rodania, thicynate, fosfat, potassium, dan nitrat (Hashim 2010). Identifikasi klorida dalam saliva dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat (AgNO3). Penambahan reagen perak nitrat ke dalam sampel akan menimbulkan endapan putih perak klorida yang tidak larut dalam asam sehingga digunakan HNO 3 untuk mengasamkan sampel. Endapan putih hasil uji klorida merupakan AgCl yang terbentuk dari hasil reaksi Cl dengan AgNO 3. Hal ini menunjukkan adanya Cl yang terkandung di dalam saliva (Aziz 2014). Uji sulfat dilakukan dengan cara menambahkan larutan BaCl 2 dalam suasana asam. Penambahan BaCl 2 dalam suasana asam ke dalam larutan sampel akan menimbulkan endapan berwarna putih (Aziz 2014). Pada uji musin digunakan buffer asetat dengan pH 4,5. Hal ini bertujuan untuk mengendapkan musin yang ada pada saliva. Protein memiliki pH isoelektrik berkisar antara pH 4-4,5. Keadaan saat pH isoelektrik, molekul protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama, sehingga saling menetralkan dan protein akan mengalami pengendapan (Rahmawati 2012). Berdasarkan data hasil percobaan pada tabel 1, uji musin, dan uji klorida terhadap saliva menunjukkan reaksi positif karena saliva mengandung musin dan garam-garam anorganik yang ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Keberadaan fosfat dan sulfat di dalam air liur tidak mutlak adanya. Hal tersebut bergantung pada makanan yang kita konsumsi, konsumsi, oleh karena itu uji sulfat dan fosfat menunjukkan hasil negatif. Prinsip uji Klorida adalah mencampurkan saliva dengan AgNO3 dalam suasana asam sehingga terbentuk endapan putih. Endapan putih pada hasil pencampuran uji Klorida merupakan AgCl yang mengendap. Praktikan menggunakan HNO 3 untuk membuat suasana menjadi asam. Hasil yang diamati praktikan ini sudah sesuai dengan literatur yang dirujuk, bahwa air liur mendapat sedikit sumbangan Cl yang berasal dari cairan gigi. Ketika larutan uji dicampurkan dengan AgNO 3 dalam suasana asam akan membentuk endapan putih atau AgCl. Tabel 2 Pengaruh Suhu pada Aktivitas Amilase Suhu (°C) (°C)
Setelah + Pati
Uji Iod
Uji Benedict
10° 10°
Keruh
Keruh (-)
Hijau (+)
25° 25°
Keruh
Keruh (-)
Hijau (+)
37° 37°
Keruh
Keruh (-)
Hijau (+)
100° 100°
Keruh
Biru (+)
Biru (-)
Keterangan : Uji Iod : Uji Benedict :
(A)
(B)
(+) (-) (+) (-)
: Mengandung amilum : Tidak mengandung amilum : Mengandung gula pereduksi : Tidak mengandung gula pereduksi
(C)
(D)
Gambar 1 Uji Iod Suhu (A) 10° 10 °C (B) 25° 25°C (C) 37° 37 °C (D) 100° 100°C
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 2 Uji Benedict Suhu (A) 10° 10 °C (B) 25° 25°C (C) 37° 37°C (D) 100° 100°C Pengaruh suhu terhadap aktivitas amilase air liur dilakukan untuk menentukan seberapa besar suhu ketika enzim amilase masih dapat menghidrolisis pati. Enzim amilase menghidrolisis pati menjadi maltosa kemudian hidrolisis akhir maltosa menjadi glukosa (Hastuti et al. 2012). Uji iod digunakan untuk mengetahui kandungan pati dalam saliva. Iod memberikan warna kompleks dengan polisakarida. Amilum memberikan warna biru pada iod, sedangkan glikogen dan tepung yang sudah dihidrolisis sebagian (eritrodekstrin) memberikan warna merah sampai coklat dengan iodium (Damin dan Sumardjo 2009). Suhu 10 – 10 – 37° 37°C, uji iod menunjukkan hasil yang negatif, artinya pati telah terhidrolisis oleh enzim amilase, sedangkan pada suhu 100° 100 °C, uji iod menunjukkan hasil yang positif, artinya pati belum terhidrolisis. Hal ini menunjukkan aktifitas enzim amilase menurun pada suhu 100 °C.Uji benedict digunakan untuk menentukan adanya gula pereduksi (Sastrohamidjo 2008). Proses pemanasan pada pati matang membuat molekulnya sudah tidak kokoh lagi sehingga semakin mudah dihidrolisis oleh enzim amilase air liur. Ketika larutan dipanaskan, struktur spiral akan hilang sehingga molekul pati tidak dapat lagi mengikat iodium (Almatsier 2010). Berdasarkan data pada tabel 2, uji
benedict memiliki hasil positif positi f pada rentan suhu 10 – 37° 37°C dan menunjukkan hasil negatif pada suhu 100° 100 °C. Suhu 37° 37 °C, warna larutan cenderung lebih hijau lapisan atasnya dibandingkan dengan suhu lain, artinya gula yang terkandung konsentrasinya paling tinggi. Berdasarkan data, enzim amilase bekerja optimum pada suhu 37° 37°C, hal tersebut sesuai dengan literatur bahwa amilase bekerja secara optimum pada suhu tubuh (36-37° (36-37 °C) dan pH sekitar 6.80 (Trismilah dan Wahyuntari 2009). Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pH, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, inhibitor, dan waktu inkubasi (Susanti 2010). Enzim akan mengalami kerusakan struktur bila berada di suasana pH ekstrem atau mengalami denaturasi. Struktur enzim yang rusak akibat pH bersifat irreversible sehingga enzim tidak dapat beraktivitas lagi. Selain itu, perlakuan pH ini dapat digunakan untuk mengetahui nilai pH optimal bagi enzim amilase. Uji iod digunakan untuk mengetahui kandungan pati dalam saliva. Iod memberikan warna kompleks dengan polisakarida. Amilum memberikan warna biru pada iod, sedangkan glikogen dan tepung yang sudah dihidrolisis sebagian (eritrodekstrin) memberikan warna merah sampai coklat dengan iodium (Damin dan Sumardjo 2009). Tabel 3 Pengaruh pH pada Aktivitas Enzim Amilase Tabung 1 2 3 4
pH 1 5 7 9
Keterangan : Uji Iod : (+) (-) Uji Benedict (+) (-)
(A)
Uji Iod Biru tua (+++) Kuning (-) Putih kehijauan (+) Tidak berwarna (--)
Uji Benedict Biru (-) Biru (-) Biru kehijauan (+) Biru kehijauan (++)
: Mengandung amilum : Tidak mengandung amilum : Mengandung gula pereduksi : Tidak mengandung gula pereduksi
(B)
(C)
(D)
Gambar 3 Uji Iod pada pH (A) 1, (B) 5, (C) 7, (D) 9
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 4 Uji Benedict pada pH (A) 1, (B) 5, (C) 7, (D) 9
Hasil pengamatan pengaruh pH terhadap aktivitas enzim pada uji Iod menunjukkan bahwa larutan HCl 0,1%, dan Na-karbonat 0,1% dengan nilai pH sebesar 1, dan 9 bernilai positif, namun pada akuades dan asam asetat 6% dengan pH 7 dan 5 bernilai negatif. Reaksi positif dengan pereaksi HCl dan asam asetat ditandai dengan timbulnya warna biru larutan yang disebabkan pati belum terhidrolisis sempurna karena amilase tidak dapat beraktivitas pada suasana pH dibawah 4 (Pratama 2012). Data hasil percobaan uji iod tidak sesuai literatur. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan pada praktikan. Kesalahan dapat berupa kurangnya ketelitian praktikan dalam mengukur volume tiap larutan, atau larutan telah terkontaminasi oleh zat pengotor. Percobaan dengan uji Benedict menunjukkan hasil negatif pada larutan HCl 0,1%, dan asam asetat 6% dengan pH 1 dan 5, sedangkan pada akuades dan Na-karbonat 0,1% menunjukkan hasil positif yang berarti tidak mengandung gula pereduksi. Hasil positif pada uji Benedict ditandai dengan timbulnya warna hijau kebiruan yang disebabkan glukosa yang tidak terhidrolisis akan berikatan dengan pereaksi Benedict (Poedjadi dan Supriyanti 2009).
Tabel 4 Hidrolisis Pati oleh Enzim Amilase Waktu(Menit) 1
Uji Iod Ungu (+)
Uji Benedict (-)
2
Ungu (+)
(-)
3
Ungu (+)
(-)
4
Ungu (+)
(-)
5
Ungu (+)
(-)
6
Ungu (+)
(-)
7
Kuning (-)
Hijau (+)
Keterangan : Benedict : Uji Iod :
(A)
(+) : Mengandung gula pereduksi (+) : Mengandung amilum (-) : Tidak mengandung amilum
(B)
Gambar 5 (A) Uji Iod (B) Uji Benedict Menit ke-7
Hidrolisis adalah mekanisme reaksi penguraian suatu senyawa oleh air atau asam dan basa (Mastuti dan Setywardhani 2014). Pati atau amilum tergolong ke dalam kelompok polisakarida sehingga pati atau amilum tersebut dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang merupakan monosakarida. Pada hidrolisis ini memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai berupa enzim amilase. Hidrolisis pati matang dengan enzim amilase air liur dilakukan untuk mengetahui kemampuan enzim amilase air liur dalam menghidrolisis pati matang. Enzim amilase berfungsi untuk memecah amilum yang merupakan polimer dari glukosa menjadi monomernya, yaitu glukosa. enzim amilase dapat diperoleh dari sekresi air liur atau saliva. Mekanisme kerja dari enzim α amilase adalah dengan memecah ikatan α 1-4 1 -4 glikosidikrantai glukosa pati sebelah dalam sehingga dalam mulut karbohidrat akan dipecah menjadi menjadi rantai yang lebih pendek disebut dekstrin (Poedjiadi dan Supriyanti 2009). Hidrolisis pati ditandai dengan adanya titik akhromatik. Titik akhromatik merupakan suatu keadaan ketika pereaksi iod tidak lagi positif atau tidak memperlihatkan perubahan warna (Panil 2009). Prinsip hidrolisis pati matang oleh enzim amilase air liur yaitu amilosa dalam pati matang dengan bantuan enzim amilase menghasilkan D-glukosa pada hidrolisis sempurna dan maltose pada hidrolisis sebagian. Kemampuan hidrolisis enzim amilase lebih lambat pati mentah, karena pati mentah memiliki struktur yang saling berikatan lebih kuat dibandingkan dengan pati matang sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk enzim amilase agar dapat menghidrolisis pati mentah (Nisa et al. 2013). Struktur pati mentah memiliki bentuk yang kompleks dan saling berikatan dengan kuat sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat dihidrolisis oleh enzim amilase dibandingkan dengan pati yang telah matang (Poedjiadi dan Supriyanti 2009). Percobaan dilakukan pada sampel saliva yang dipanaskan dan dicampur dengan pati matang dalam penangas air dengan suhu 37 °C. Hal tersebut dilakukan karena hampir semua enzim mempunyai aktivasi optimal pada suhu 30-40 °C dan mengalami denaturasi pada suhu 45 °C (Samsuri et al. 2009). Proses pemanasan pada pati matang membuat molekulnya sudah tidak kokoh lagi sehingga semakin mudah dihidrolisis oleh enzim amilase air liur. Ketika larutan dipanaskan, struktur spiral akan hilang sehingga molekul pati tidak dapat lagi mengikat iodium (Almatsier 2010). Setelah pemanasan pada sampel, dilakukan uji iod dan uji benedict. Uji iod berfungsi sebagai indikator terhadap proses terjadinya reaksi yang ditandai dengan perubahan warna, sedangkan uji benedict digunakan untuk menentukan adanya gula pereduksi (Sastrohamidjo 2008). Hasil percobaan menunjukkan bahwa titik akhromatik diperoleh pada menit ke tujuh ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada uji iod. Pada percobaan benedict menunjukkan hasil positif dengan perubahan warna larutan menjadi hijau. Data hasil percobaan sesuai dengan literatur bahwa pati matang lebih cepat terhidrolisis karena strukturnya sudah lebih sederhana dibanding struktur pati mentah yang masih kompleks sehingga waktu terhidrolisisnya menjadi lebih lama (Poedjiadi dan Supriyanti 2009).
Tabel 5 Hidrolisis Pati Mentah oleh Enzim Amilase Sampel
Uji Iod
Uji Benedict
(-)
(+)
Saliva + Pati Mentah
Keterangan: (+) Mengandung amilum dan gula pereduksi pada menit ke -15 (-) Tidak mengandung amilum dan gula pereduksi pada menit ke -15 Pati mentah merupakan pati yang sebelumnya tidak mengalami proses pemanasan. Pengujian terhadap pati mentah dilakukan untuk mengidentifikasi titik akhromatik dan melihat perbedaan titik akhromatik pati mentah dan pati matang. Prinsip hidrolisis pati mentah oleh enzim amilase air liur sama dengan prinsip hidrolisis pada pati matang. Perbedaannya hanya pada struktur atau komposisi pati mentah dan pati matang sehingga memiliki titik akhromatik yang berbeda. Berdasarkan hasil percobaan hidrolisis pati mentah memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan pada pati matang. Titik akhromatik pada pati mentah diperoleh pada menit ke lima belas yang ditunjukkan dengan berubahnya warna dari bitu kehitaman menjadi kuning pada uji iod (Panil 2009). Percobaan dilakukan sampel saliva dipanaskan dan dicampur dengan pati mentah dalam penangas air dengan suhu 37 °C. Hal tersebut dilakukan karena hampir semua enzim mempunyai aktivasi optimal pada suhu 30-40 °C dan mengalami denaturasi pada suhu 45°C (Samsuri et al. 2009). Hasil menunjukkan bahwa enzim amilase telah menghidrolisis pati menjadi maltosa kemudian hidrolisis akhir maltosa menjadi glukosa (Hastuti et al. 2012). Perbedaan titik akhromatik pada pati mentah dan pati matang disebabkan struktur pati mentah yang masih kokoh sehingga sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk dihidrolisis oleh enzim amilase, sedangkan pati matang telah mengalami proses pemanasan dan penambahan pelarut air pada pembuatannya sehingga struktur pati matang tidak sekokoh pati mentah yang mengakibatkan pati matang lebih mudah dihidrolisis (Nisa et al. 2013). Berdasarkan data pada tabel 5, uji benedict menunjukkan hasil positif pada menit ke-15, warna hijau yang dihasilkan tidak sepekat seperti pati matang karena pati mentah molekulnya masih kokoh. Uji iod menunjukkan hasil negatif pada menit ke-15 karena sudah mencapai titik akhromatik. Hal tersebut sesuai dengan literatur, hanya saja waktu yang diperlukan lebih lama jika dibandingkan dengan pati matang. Pengaplikasian uji enzim pada bidang medis salah satunya digunakan untuk pengukuran aktivitas enzim dalam plasma atau jaringan pada orang-orang yang mengalami gangguan fisiologis. Hal tersebut terlihat dari perubahan aktivitas enzim secara signifikan yang menandakan kemungkinan terjadi kelainan metabolisme di dalam jaringan tubuh (Cazzola et al. 2009).
SIMPULAN Air liur mengandung enzim amilase. Saliva memiliki rentan pH 8,0 – 10, mengandung bahan anorganik seperti klorida, fosfat, dan sulfat, serta komponen organik seperti musin dan komponen anorganik saliva yaitu sodium, kalium, magnesium, bikarbonat, klorida, fosfat, potassium, dan nitrat. Enzim amilase mengubah amilum menjadi glukosa dan maltosa. Kerja enzim amilase spesifik. Kerja enzim dipengaruhi beberapa faktor di antaranya suhu dan pH. Enzim amilase pada saliva bekerja optimum pada suhu 37 C. °
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Aziz NB. 2014. Analisis kandungan mineral dalam air zam-zam yang beredar di kota semarang [skripsi]. Semarang (ID): Institut Agama Islam Negeri Walisongo. Cazzola M, Blasi F, Ewig S. 2009. Antibiotics and the lung. European Respiratory Monograph. Monograph . 9(43): 242-246. Damin, Sumardjo. 2009. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioeksata. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Endah R, Nafizah Z. 2011. Aktifitas immobilized β -amilase dan free β-amilase β-amilase dari Zoogloearamigera ABL 1 dalam medium pati cair dengan perlakuan faktor lingkungan. Jurnal Biota. 16(1) : 95-98. Hashim AB. 2010. Saliva sebagai media diagnosa [skripsi]. Medan(ID): Universitas Sumatera Utara. Hastuti W, Agustien A, Nurmiati. 2012. Screening and characterization of amylo-thermophylic bacteria from semurup hot springs, Kerinci, Jambi. Jurnal Biologi Universitas Universit as Andalas. 1(2) : 150-155. Indah M. 2010. Biokimia. Medan (ID): USU Digital Library. Mastuti E, Setywardhani DA. 2014. Pengaruh variasi temperatur dan konsentrasi katalis pada kinetika reaksi hidrolisis tepung kulit ketela pohon. Nisa K, Wuryanti, Taslimah. 2013. Isolasi, Isolasi, karakterisasi dan amobilisasi α-amilase dari Aspergillus niger fnnc 6018. Chem Info. 1(1) : 141-144. d an Praktek Biokimia Bio kimia Dasar Medis. Jakarta (ID): Panil Z. 2009. Memahami Teori dan Buku Kedokteran EGC Bi okimia. Jakarta (ID): Universitas Poedjiadi A, Supriyanti T. 2009. Dasar-Dasar Biokimia Indonesia.
Prasetya B, Naskin M. 2008. Pemanfaatan sellulosa bagas untuk produksi ethanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xynalase. Jurnal Makara, Teknologi. 11(1): 17-24. Pratama AP. 2012. Pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas enzim. Jurnal Kimia Indonesia. 1(1): 22-27. Putri, Bakar AA .2016. Analisis kadar albumin ikan sidat ( Anguilla marmorata dan Anguilla bicolor ) dan uji aktivitas penyembuhan luka terbuka pada kelinci (Oryctolagus cuniculus). Galenika Journal of Pharmacy. 2(2): 90-95. Rahmawati VM. 2012. Penetapan kadar protein dan non protein nitrogen (NPN) pada ulat kidu ( Rhynchophorus ferrugineus) dan hasil olahannya dengan metode kjeldahl [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Samsuri M, Gozan M, Mardias R, Baiquni M, Hermansyah H, Wijanarko A, Saputri TO, Zala HQ, Arnanda BB, Ardhani R. 2010. Saliva as an early detection tool for chronic obstructive pulmonary disease risk in patients with Ind onesia. 17(3): 87-92. periodontis. Journal of Dentistry Indonesia. Sastrohamidjo. 2008. Kimia Organik . Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Setyono P, Soetarto ES. 2008. Biomonitoring degradasi ekosistem akibat libah CPO di muara Sungai Mentaya Kalimantan Kali mantan Tengah dengan metode Biodiversitas . 9(3): 232-236. elektromorf isozim esterase. Jurnal Biodiversitas. Sumardjo D. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta (ID): EGC. Suratri, Made AL. 2017. Pengaruh (pH) Saliva terhadap Terjadinya Karies Gigi pada Anak Usia Prasekolah .Buletin Penelitian Kesehatan. 45(4): 241-248. Susanti D. 2010. Amobilisasi enzim α-amilase α -amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan menggunakan karboksil metil selulosa (CMC) [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung. Sutresna N. 2009. Kimia. Bandung (ID): Grafindo. Trismilah, Wahyuntari B. 2009. Pemanfaatan berbagai jenis pati sebagai sumber karbon untuk produksi α-amilase α -amilase ekstraseluler Bacillus sp. SW2. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 11(3): 169-174. Venturi S. 2009. Iodine in evolution of salivary glands and in oral health. Nutrition and Health. 20(2): 119-134. Yusrin, Mukaromah AH. 2010. Proses hidrolisis onggok dengan variasi as am pada pembuatan ethanol. Jurnal Unismus. 1(1): 20-25.