KONSEP KEPERAWATAN KOMUNITAS CONTOH AREA KEPERAWATAN KOMUNITAS : KESEHATAN PEDESAAN Untuk memenuhi tugas kelompok Blok Community Health Nursing I
KELOMPOK 1 Kamelia
135070200131008
Fidya Lestari P. A
135070207131008 135070207131008
Alifia Rahma H.
145070200111021
Vindry Mercuryanita Mercuryanit a D
145070201111001
Tri Khusniyatul M
145070201111025 145070201111025
Stephanie Stephani e Dwi H
145070200131001
Yulviana Dwi O
145070200131007 145070200131007
Krismaya Ismayanti
145070201131003
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kesehatan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah segalanya, akan tetapi tanpa kesehatan segalanya itu tiada artinya. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek. Menurut WHO, pengertian dari kesehatan merupakan suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Sedangkan kesehatan masyarakat merupakan semua hal yang berhubungan
dengan
upaya
untuk
mencegah
terjadinya
penyakit,
promosi
kesehatan, dan cara untuk memperpanjang kehidupan suatu populasi. Kesehatan masyarakat berfokus pada seluruh aspek, bukan hanya ada penyakit yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Semakin bertambahnya hari, masalah kesehatan yang terjadi semakin meningkat, tanpa terkecuali hal tersebut dirasakan oleh semua masyarakat. Kawasan pedesaan bisa diartikan sebagai daerah dimana masyarakatnya masih kurang pengetahuan dan informasi sehingga masalah kesehatan masyarakat masih menjadi masalah yang cukup besar. Masalah-masalah yang sering dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diantaranya adalah masalah penggunaan air, dan masalah kotoran. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah yang dialami masyarakat pedesaan adalah dengan desa siaga. Desa siaga yang dimaksud merupakan strategi baru pembangunan kesehatan, dengan membangun suatu sistem di suatu desa yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara kesehatan dari masyarakat itu sendiri di bawah bimbingan dan interaksi dengan kader-kader desa dan tenaga kesehatan yang terkait. Tujuan dari pengembangan desa siaga sendiri antara lain adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan masyarakat desa itu sendiri tentang pentingnya kesehatan.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kesehatan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah segalanya, akan tetapi tanpa kesehatan segalanya itu tiada artinya. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek. Menurut WHO, pengertian dari kesehatan merupakan suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Sedangkan kesehatan masyarakat merupakan semua hal yang berhubungan
dengan
upaya
untuk
mencegah
terjadinya
penyakit,
promosi
kesehatan, dan cara untuk memperpanjang kehidupan suatu populasi. Kesehatan masyarakat berfokus pada seluruh aspek, bukan hanya ada penyakit yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Semakin bertambahnya hari, masalah kesehatan yang terjadi semakin meningkat, tanpa terkecuali hal tersebut dirasakan oleh semua masyarakat. Kawasan pedesaan bisa diartikan sebagai daerah dimana masyarakatnya masih kurang pengetahuan dan informasi sehingga masalah kesehatan masyarakat masih menjadi masalah yang cukup besar. Masalah-masalah yang sering dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diantaranya adalah masalah penggunaan air, dan masalah kotoran. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah yang dialami masyarakat pedesaan adalah dengan desa siaga. Desa siaga yang dimaksud merupakan strategi baru pembangunan kesehatan, dengan membangun suatu sistem di suatu desa yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara kesehatan dari masyarakat itu sendiri di bawah bimbingan dan interaksi dengan kader-kader desa dan tenaga kesehatan yang terkait. Tujuan dari pengembangan desa siaga sendiri antara lain adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan masyarakat desa itu sendiri tentang pentingnya kesehatan.
Perawat yang merupakan tenaga kesehatan terbesar di tim pelayanan kesehatan yang bekerja selama 24 jam merupakan tenaga yang seharusnya diperhitungkan untuk kesuksesan program ini. Maka perawat dengan mengacu dari prinsip-prinsip praktik keperawatan perawat komunitas yaitu : kemanfaatan, prinsip otonomi, keadilan harus dapat menerapkan perannya sebagai pemberi pelayanan, pendidik, pengelola, konselor, advokat/pembela pasien, dan sebagai peneliti. 1.2.
Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Tujuan
dari
penulisan
makalah
ini
adalah
untuk
mengetahui
pembahasan keperawatan komunitas mengenai kesehatan masyarakat di lingkungan pedesaan 1.2.2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi Mengidentifikasi karakteristik pedesaan b. Mengetahui isu-isu yang berkaitan dengan populasi pedesaan c. Mengidentifikasi Mengidentifikasi program program kesehatan pedesaan di Indonesia Indonesia (Desa Siaga) d. Menganalisa pelaksanaan program kesehatan pedesaan di Indonesia (Desa Siaga).
BAB 2 TEORI dan KONSEP
2.1.
Karakteristik Pedesaan Wilayah perdesaan pada umumnya masih diasosiasikan sebagai daerah yang berlokasi di daerah pedalaman, jauh dari lingkungan perkotaan, dan memiliki
keterikatan
yang
kuat
terhadap
kehidupan
tradisional.
Dalam
masyarakat desa berlaku keteraturan kehidupan sosial yang mencakup kegiatankegiatan ekonomi, keagamaan, politik, dan hukum yang sesuai dengan lingkungan hidup setempat. Dilihat dari karakteristik wilayahnya, kawasan perdesaan masih lebih bersifat alamiah, belum banyak tersentuh oleh teknologi modern dan perkembangan pembangunan. Selain sebagai lahan permukiman penduduk, sebagian wilayah desa terdiri atas lahan pertanian, perkebunan, atau tertutup oleh hutan alami, baik itu wilayah desa yang terletak di wilayah pantai, dataran rendah, maupun dataran tinggi. Kehidupan masyarakat perdesaan dicirikan oleh kegiatan yang pada umumnya bercorak agraris. Aktivitas kesehariannya masih didominasi oleh pengaruh lingkungan alam. Dengan kata lain, pengaruh lingkungan atau kondisi alam setempat masih sangat kuat mewarnai tatanan dan pola hidup penduduk desa. Hubungan antarwarga masyarakat desa sangat erat, saling mengenal, dan gotong royong. Penderitaan seseorang di perdesaan pada umumnya menjadi derita semua pihak. Menurut para ahli sosiologi, hubungan masyarakat semacam ini dikenal dengan istilah gemeinschaft (paguyuban). Menurut Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (DITJEN BANGDES), ciri-ciri desa antara lain sebagai berikut. -
Perbandingan manusia dengan lahan (man and land ratio) cukup besar, artinya lahan-lahan di perdesaan masih relatif luas dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menempatinya sehingga kepadatan penduduknya masih rendah dan lapangan pekerjaan penduduk masih bertumpu pada sektor agraris.
-
Hubungan antarwarga masyarakat desa masih sangat akrab dan sifat-sifat masyarakatnya masih memegang teguh tradisi yang berlaku.
-
Sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan sebagian besar masih sangat sederhana, seperti berupa jalan batu, jalan aspal sederhana, tidak
beraspal,
bahkan
jalan
setapak.
Sarana
perhubungan
atau
transportasi yang umum dijumpai antara lain angkutan perdesaan, ojeg,
alat transportasi perairan, seperti perahu sederhana atau rakit, bahkan di beberapa tempat masih ada yang menggunakan kuda dan sapi.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat pedesaan yaitu : -
Perilaku
homogency
,
yakni
perilaku
yang
dilandasi
konsep
kekeluargaan dan kebersammaan. -
Kehidupan didesa masyarakatnya masih memegang teguh keagamaan atau adat dari leluhur mereka.
-
Warga pedesaan lebih condong saling tolong-menolong tidak hidup individualisme.
-
Warga pedesaan mayoritas memiliki pekerjaan sebagai petani.
-
Fasilitas-fasilitas masih sulit ditemukan dipedesaan.
-
Warganya masih sulit untuk menerima hal baru atau mereka tertutup dengan hal-hal yang baru.
2.2.
Isu Populasi Pedesaan a. Populasi Penduduk Pedesaan Perkembangan penduduk di Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia setelah China, India, dan AmerikaSerikat. Jumlah penduduk Indonesia dari hasil Sensus 2010 mencapai 237.641.326 penduduk. Data perkembangan penduduk Indonesia berdasarkan Profil Kesehatan Kemenkes RI tahun 2015 sebesar Hasil estimasi jumlah penduduk pada tahun 2015 sebesar 255.461.686 jiwa, yang terdiri atas 128.366.718 jiwa penduduk laki-laki dan 127.094.968 jiwa penduduk perempuan. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia tahun 2010 hingga 2015. Dari tahun 2010-2014 pertumbuhan penduduk per tahun terus meningkat, dari 3,54 juta per tahun menjadi 3,70 juta per tahun. Tahun 2015 pertumbuhan penduduk sedikit menurun dibandingkan tahun 2014 menjadi 3,34 juta per tahun. Pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia paling banyak di Pulau Jawa yang terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebesar 46.709.569 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah terdapat di Kalimantan Utara dengan jumlah penduduk sebesar 641.936 jiwa. Jumlah penduduk yang semakin meningkat juga berpengaruh pada faktor kehidupan lainnya, seperti pada tingkat ekonomi masyarakatnya.
Penyebaran penduduk Indonesia tidak merata antara di daerah perkotaan dan pedasaan. Pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat ekonomi masih sangat terlihat, hal itu dengan masih tingginya tingkat kemiskinan pada masyarakatnya. Data dari statistik tentang persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2015 yaitu sebesar 8,22% dan turun menjadi 7,79% pada Maret 2016. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 14,09% pada September 2015 menjadi 14,11% pada Maret 2016 (Badan Pusat Statistik, 2016). Tingkat ekonomi dari masyarakat juga dapat berpengaruh pada kesehatan setiap penduduknya yang bisa menggangu kualitas hidup seseorang. b. Pendidikan Rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 tahun ke atas cenderung meningkat, yaitu 7,85 tahun pada tahun 2011 menjadi 8,32 tahun pada tahun 2015. Namun begitu angka ini belum memenuhi tujuan program wajib belajar 9 tahun. Pada tahun 2015, terlihat kecenderungan rata-rata lama sekolah di perkotaan (9,61 tahun) lebih besar dibandingkan di perdesaan (6,98 tahun). Hal ini terkait dengan keberadaan fasilitas sekolah yang lebih banyak di perkotaan dibandingkan di perdesaan (KEMENKES RI, 2015).
Umumnya
masyarakat
pedesaan
kurang
begitu
sadar
akan
pentingnya pendidikan, walaupun kini sudah banyak sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA yang tersebar hingga di daerah pedesaan. Akibat kesadaran masyarakat pedesaan yang masih kurang tentang pentingnya pendidikan, kebanyakan orang tua lebih suka mengajak anaknya bekerja
dari
pada
menyekolahkan
anaknya.
Banyak
faktor
yang
melatarbelakangi hal tersebut. Banyaknya anak dalam keluarga akan meningkatkan kebutuhan ekonomi jika harus menyekolahkan anak. Program sekolah gratis dari pemerintah tidak membuat para orang tua, khususnya di pedesaan
dapat
menyekolahkan
anaknya.
Disamping
itu,
adanya
kesenjangan dan ketidakadilan dalam mengakses pendidikan, serta kurang memadainya fasilitas pendidikan di pedesaan terpencil membuat masyarakat tidak dapat menyekolahkan anak mereka. Alhasil, banyak dari masyarakat pedesaan yang buta tulis dan hitung. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan juga akan berdampak pada rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan. c. Lingkungan Pedesaan 1. Kesehatan Lingkungan
Permasalahan yang terjadi di daerah pedesaan salah satunya adalah
permasalahan
kesehatan
lingkungan.
Permasalahan
pada
lingkungan di daerah pedesaan juga dapat dikarenakan kurangnya pengetahuan dan keperdulian masyarakat desa tentang pentingnya menjaga lingkungan serta melakukan pola hidup bersih dan sehat. Menurut RISKESDAS tahun 2013 kesehatan lingkungan meliputi air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan perumahan. Pemasalahan lingkungan yang berhubungan dengan pemakaian air untuk minum di daerah pedesaan dengan karakteristik air bersih (tidak berwarna, tidak berbau, tidak keruh, tidak berasa, dan tidak berbusa) masih kurang (92%) dibandingkan dengan daerah perkotaan (96%). Kesehatan lingkungan selain meliputi air minum adalah sanitasi rumah tangga. Fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) menggunakan kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik. Berdasarkan kriteria dari WHO diatas, rumah tangga di daerah pedesaan masih banyak yang tidak menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (67,3%) dibandingkan dengan perkotaan (84,9%), selain itu untuk karakteristik
pembuangan
akhir
tinja
jenis
tangki
septik
didaerah
pedesaan juga masih rendah (52,4%) dibandingkan dengan perkotaan (79,4%). Proporsi akses kesehatan lingkungan terendah di Indonesia adalah NTT (30,5%), Papua (30,5%), NTB (41,1%), Sulawesi Barat (42,9%), dan Gorontalo (45,9%).Namun semakin tahun, pengembangan desa yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai upaya peningkatan penyehatan lingkungan, terus mengalami peningkatan. Sedangkan untuk permasalahan pengolahan sampah, masyarakat pedesaan lebih cenderung mengolah sampah rumah tangga
dengan
dibakar daripada diangkut oleh petugas. Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan dibakar adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%), Riau (66,4%), Kalimantan Barat (64,3%).Porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas lebih tinggi di perkotaan (46,0%) dibandingkan di perdesaan (3,4%), sedangkan proporsi rumah tangga yang mengelola
sampah dengan cara dibakar di perdesaan (62,8%) lebih tinggi dibanding perkotaan (37,7%). 2. Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Hidup sehat merupakan suatu hal yang seharusnya memang diterapkan oleh setiap orang, mengingat manfaat kesehatan yang sangat penting bagi setiap manusia, mulai dari konsentrasi dalam bekerja dan beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari tentu memerlukan kesahatan, baik kesehatan pribadi maupun kesehatan anak serta keluarga untuk mencapai keharmonisan keluarga (Nunun, 2014). Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma sehat khususnya yang berkaitan dengan promosi kesehatan di Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia membuat Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu Nomor:269/MENKES/PER/XI/2011 yang mengatur upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat atau disingkat PHBS di seluruh Indonesia.Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator meliputi : 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI eksklusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktivitas fisik setiap hari; dan 10) tidak merokok di dalam rumah. Menurut hasil RISKESDAS (2013), permasalahan tentang pola hidup sehat dan bersih di masyarakat masih kurang, meskipun beberapa rumah tangga telah melakukan PHBS.Proporsi rumah tangga dengan PHBS yang baik lebih tinggi terjadi di daerah perkotaan (41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%).Proporsi nasional rumah tangga dengan PHBS baik adalah 32,3%, dengan proporsi tertinggi pada DKI Jakarta (56,8%) dan terendah pada Papua (16,4%).
2.2.1. Isu Masalah Kesehatan Permasalah yang umumnya terdapat di pedesaan tidak jarang terkait dengan isu kesehatan. Berbagai faktor penyebab masalah kesehatan di pedesaan adalah sebagai berikut: 1. Rendahnya Kualitas Kesehatan
Pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan berdasarkan Darmawan (2009), meninjau kebijakan KEMENKES RI, jumlah Poskesdes yang beroperasi mengalami peningkatan dari tahun 20102013 yaitu sebanyak 54.731 Poskesdes. Dari pencapaian tersebut, masih
terdapat
sekitar
18.75%
Poskesdes
belum
beroperasi.
Berkurangnya ketersediaan Poskesdes yang aktif beroperasi akan berdampak
pada
masalah
kesehatan
penduduk
desa,
seperti
rendahnya penerimaan penyuluhan kesehatan dan penduduk yang kesulitan untuk pergi berobat. Hal yang membuat tidak maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan di pedesaan adalah kapasitas promosi kesehatan. Berdasarkan laporan Rifaskes tahun 2011, diketahui bahwa jumlah tenaga penyuluh kesehatan masyarakat di Puskesmas hanya 4.144 orang di seluruh Indonesia. Tenaga tersebut tersebar di 3.085 Puskesmas
(34,4%).
Rata-rata
tenaga
promosi
kesehatan
di
Puskesmas sebanyak 0,46 per Puskesmas. Itu pun hanya 1% yang memiliki basis pendidikan/pelatihan promosi kesehatan. Artinya tidak semua Puskesmas memiliki tenaga penyuluhan kesehatan yang memiliki basis pendidikan promosi kesehatan. Hal ini akan menambah faktor berkurangnya kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat pedesaan, terutama penyuluhan kesehatan. Pada Puskesmas non rawat inap, minimal jumlah dokter yaitu satu orang, sedangkan pada Puskesmas rawat inap minimal jumlah dokter dua orang, baik pada wilayah perkotaan, perdesaan, maupun kawasan terpencil dan sangat terpencil. Diketahui bahwa di Indonesia pada tahun 2015 masih terdapat 25,57% Puskesmas umumnya di pedesaan
yang
kekurangan
dokter
(KEMENKES
RI,
2015).
Kurangnya jumlah tenaga kesehatan yang memadai untuk mengobati pasien akan memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan. Tingkat kesehatan masyarakat akan menurun mengingat kendala masyarakat tidak bisa mendapatkan pengobatan yang optimal. Di lain pihak, masyarakat yang mengetahui tentang selukbeluk dan manfaat obat generik, masih sangat sedikit, yakni 17,4% di pedesaan
dan
46,1%
di
perkotaan.
Pengetahuan
masyarakat
pedesaan tentang obat secara umum juga masih belum baik, terbukti sebanyak 35% rumah tangga melaporkan menyimpan obat termasuk
antibiotik tanpa adanya resep dokter (Riskesdas 2013). Rendahnya persentasi pengetahuan masyarakat pedesaan terhadap penggunaan obat
dapat
meningkatkan
insiden
penyalahgunaan
obat atau
penggunaan obat yang tidak sesuai aturan hingga berdampak pada hal yang fatal seperti keracunan obat dan kematian. Untuk itu sangat diperlukan penyuluhan kesehatan terkait penggunaan dan konsumsi obat-obatan. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) sebagai
salah
satu
strategi
pemerintah,
akan
lebih
mungkin
diupayakan di tingkat rumah tangga di desa mengingat masih kurangnya pengetahuan penduduk desa terkait kualitas kesehatan. 2. Program Keluarga Berencana (KB) Kurangnya pemahaman tentang program keluarga berencana (KB), menyebabkan dalam satu keluarga memiliki anak yang melebihi 2. Kurangnya paparan informasi dan pemantauan program KB serta rendahnya kesadaran masyarakat pedesaan untuk menjalankan program
KB
menyebabkan
pertumbuhan
jumlah
penduduk
di
pedesaan mengalami peningkatan. Hal ini akan berpengaruh pada perekonomian keluarga dan ketersediaan fasilitas berupa fasilitas kesehatan, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Banyaknya jumlah anggota
keluarga
akan
meningkatkan
kebutuhan
sehari-hari,
termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Peningkatan jumlah penduduk pedesaan dan terbatasnya fasilitas
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari
menyebabkan
sejumlah masyarakat pedesaan memutuskan untuk pindah ke perkotaan. Dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup. Baik itu dari segi ekonomi, pendidikan dan kesehatan. 3. Penyakit yang Banyak Terjadi di Pedesaan Menurut Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Studi Diet Total 2014 karakteristik, tingkat kecukupan protein sangat kurang, lebih banyak terjadi pada perempuan dan penduduk yang tinggal di pedesaan.
Hal
tersebut
berhubungan
dengan
staus
ekonomi
masyarakat pedesaan sehingga kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan asupan makanan yang bergizi. Hasil penelitian Riskesdas 2010 menyatakan gambaran bahwa konsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi, garam tinggi dan lemak tinggi, baik pada
masyarakat
perkotaan
maupun
perdesaan,
masih
cukup
tinggi
(KEMENKES RI, 2014). Masyarakat pedesaan yang masih kurang paham mengenai pemenuhan gizi seimbang cenderung menyediakan makanan seadanya. Makanan yang sesuai dengan status ekonomi yang kadang tidak mengandung kadar gizi seimbang yang di dalamnya. Akibatnya, masih banyak masyarakat pedesaan yang kurang gizi, terutama kurang energi protein. Ditunjukkan dengan karakteristik kecukupan protein sangat kurang lebih tinggi di daerah pedesaan yaitu 41.2% dibandingkan perkotaan (KEMENKES RI, 2015). Alhasil banyak penyakit yang muncul akibat kurangnya gizi seimbang. -
TBC (Tuberkulosis) Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang bersifat menular yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosis (Andareto, 2015). Karakteristik wilayah pedesaan menjadi determinan tersendiri pada kejadian penyakit TB.dalam penelitian Suharyo (2013) menunjukan sebagian besar penderita TB paru berpendidikan menengah, dalam masa usia produktif, dan dalam kategori kurang mampu dari sisi ekonomi (Infodatin, 2016). Tempat tinggal sebagian besar penderita TB paru belum memenuhi kriteria rumah sehat terkait kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, dan kelembaban. Penerapan PHBS yang masih kurang pada masyarakat pedesaan menyumbangkan faktor yang mempermudah penularan TB paru (Andareto, 2015). Pada tahun 2011, pada triwulan pertama terdapat 20 penderita TB paru di pedesaan. Kumulatif penderita dari triwulan pertama sampai triwulan ke empat tahun 2010 dan triwulan pertama tahun 2011 berjumlah 61 penderita sehingga mengindikasikan penyakit ini masih banyak ditularkan didaerah pedesaan dan perlu penanganan intensif(Suharyo, 2013). Peningkatan kejadian TB paru menunjukkan perlunya penanganan khusus terkait pencegahan penularan TB paru, khususnya
pada
masyarakat
pedesaan
yang
sangat
beresiko
terjadinya kejadian TB paru. -
Hipertensi Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%) (Riskesdas, 2013). Pola
konsumsi makanan yang kurang bergizi menjadi faktor resiko tertinggi
kejadian
hipertensi
pada
masyarakat
pedesaan.
Kurangnya pengetahuan terkait penyakit ini dan kurangnya kesadaran untuk berobat membuat prevalensi hipertensi di pedesaan cukup tinggi. -
Penyakit Jantung Koroner Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak
bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi terdiagnosis
lebih
tinggi
dokter
dan
di
perkotaan,
gejala
lebih
namun tinggi
berdasarkan di
perdesaan
(Riskesdas, 2013). Tingginya kejadian dan gejala PJK di pedesaan dihubungkan dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah terkait pola hidup sehat dan konsumsi makanan sehat. Terlebih prevalensi PJK lebih t inggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja yang menunjukkan masyarakat pedesaan lebih berisiko terkena PJK. Rendahnya fasilitas pelayanan kesehatan turut meningkatkan kejadian dan gejala PJK di pedesaan.
-
Penyakit Persendian Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang
didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah, baik yang didiagnosis nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau gejala
(45,7%).
petani/nelayan/buruh
Prevalensi baik
yang
tertinggi
pada
didiagnosis
nakes
pekerjaan (15,3%)
maupun diagnosis nakes atau gejala (31,2%). Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (13,8%) lebih tinggi dari perkotaan (10,0%), demikian juga yang diagnosis nakes atau gejala di perdesaan (27,4%), di perkotaan (22,1%) (Riskesdas, 2013). Penyebab tingginya angka kejadian penyakit sendi di daerah rural/pedesaan dikaitkan dengan aspek status sosial ekonomi pada kategori kelompok miskin (Nainggolan, 2009). Kemungkinan bahwa masyarakat pedesaan memiliki akses
terbatas terhadap informasi dan pelayanan bagaimana cara mencegah
maupun
mengobati
rematik,
sehingga
mereka
cenderung membiarkan keluhan yang dirasakan. Penduduk perkotaan yang memiliki akses lebih mudah terkait informasi dan pelayanan
kesehatan,
mereka
akan
segera
mendapat
pengobatan lebih awal, sehingga penyakit sendi tidak memburuk. 4. Angka Kejadian Kematian Ibu dan Anak Angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah pedesaan terutama di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan (KEMENKES RI, 2015). Salah satu strategi untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak adalah dengan penyebaran tenaga kesehatan terutama bidan di seluruh wilayah Indonesia. Indikator untuk melihat penurunan angka kematian ibu dan anak dapat dilihat melalui persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (Pn). Faktor yang menpengaruhi capaian indikator Pn adalah jumlah, kualitas, dan distribusi tenaga bidan penolong persalinan yang tidak merata. Jumlah bidan desa di Indonesia sebanyak 113.493 bidan dengan 62.447 (55%) bidan tinggal di desa (KEMENKES RI, 2015). Dengan demikian masih banyak bidan desa yang tidak tinggal di desa, yang berdampak pada pelayanan Pn. Berkurangnya jumlah tenaga
bidan
desa
dapat
memengaruhi
proses
pemantauan
kehamilan dan penanganan kelahiran bayi.
2.3.
Progam Kesehatan Pedesaan di Indonesia : Konsep Desa Siaga a. Program dan Kegiatan 1. Program obat dan berbekalan kesehatan Tujuan: Menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkau obat dan berbekalan kesehatan termasuk obat tradisional, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika Kegiatan Pokok: -
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan
-
Monitoring, evaluasi dan pelaporan
2. Program Upaya Kesehatan Masyarakat
Tujuan: Meningkatkan jumlah, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan melalui Puskesmas dan jaringannya, meliputi Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Bidan Desa. Kegiatan Pokok: -
Operasional P3K dan Safe Community (Patroli Ambulance Advance RS)
-
Upaya Kesehatan Kerja
-
Peningkatan Kesehatan dasar
-
Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin
-
Peningkatan Kesehatan masyarakat
3. Program Pengawasan Obat dan Makanan Tujuan:
Terawasinya
mutu,
keamanan
dan
kasiat
produk
terapetik/obat, obat tradisioanl (OT), kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRK), produk komplemen (PK) dan makanan serta produk hasil olahannya. Kegiatan Pokok: -
Pengawasan dan Pengendalian pelayanan kefarmasian
-
Peningkatan pengawasan keamanan pangan berbahaya
-
Peningkatan mutu pelayanan farmasi
4. Program Pengembangan Obat Asli Indonesia Tujuan : Pelayanan pengobatan tradisional yang aman dan dapat dipertanggungjawabkan Kegiatan Pokok: -
Revitalisasi dan pembinaan Pengobatan Tradisional
-
Pembinaan TOGA
-
Pelayanan Pengobatan Tradisional
5. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Tujuan
:
Meningkatnya
kelompok
dan
kemampuan
masyarakat
untuk
individu, hidup
keluarga, sehat
dan
mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat serta
terciptanya
lingkungan
yang
kondusif
untuk
mendorong terbentuknya kemampuan tersebut 6. Program Perbaikan Gizi Masyarakat Tujuan
: Meningkatnya status gizi masyarakat secara optimal sehingga
dapat
meningkatkan
produktifitas sumberdaya manusia
intelektualitas
dan
Kegiatan Pokok: -
Peningkatan pendidikan gizi masyarakat
-
Penanggulangan dan perbaikan gizi masyarakat
7. Program Pengembangan Lingkungan Sehat Tujuan : Mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat agar dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit berbasis lingkunganmelalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan untuk menggerakan pembangunan berwawasan Kesehatan 8. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Tujuan : Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular 9. Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan Tujuan : Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memenuhi standar. 10. Program Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin Tujuan
: Terlayaninya penduduk miskin dalam pelayanan kesehatan
Kegiatan Pokok
: Pelayanan kesehatan masyarakat miskin melalui Jamkesmas
11. Program Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas/Puskesmas Pembantu dan Jaringannya Tujuan
: Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dalam memberikan
pelayanan
kesehatan
di
Puskesmas,
Puskesmas Pembantu dan jaringannya. Kegiatan Pokok : Peningkatan Puskesmas menjadi Puskesmas rawat inap 12. Program Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit/Rumah Sakit Jiwa/ Rumah Sakit Paru/Rumah Sakit Mata Tujuan
: Meningkatnya ketersediaan pelayanan kesehatan melalui Rumah Sakit/Rumah Sakit Jiwa/ Rumah Sakit Paru/Rumah Sakit Mata
13. Program Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit/Rumah Sakit Jiwa/ Rumah Sakit Paru/Rumah Sakit Mata
Tujuan
: Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit/Rumah
Sakit
Jiwa/
Rumah
Sakit
Paru/Rumah Sakit Mata 14. Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Masyarakat Tujuan
: Terlindunginya kesehatan masyarakat dengan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan
Kegiatan Pokok: -
Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat miskin
-
Kemitraan asuransi kesehatan masyarakat melalui JKSB
15. Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita Tujuan : Meningkatkan pelayanan kesehatan anak balita Kegiatan Pokok: -
Deteksi dini tumbuh kembang anak
-
Pendidikan dan pelatihan perawatan anak balita
-
Monitoring dan evaluasi
16. Program Peningkatan Pelayanan Kesehaan Lansia Tujuan
: Meningkatkan pelayanan kesehatan lansia
Kegiatan Pokok: -
Revilatisasi Posyandu lansia
-
Pengembangan posyandu lansia
17. Program Pengawasan dan Pengendalian Kesehatan Makanan Tujuan
:Terawasinya mutu dan keamanan makanan serta produk hasil olahannya.
Kegiatan Pokok: -
Peningkatan pengawasan dan pengendalian keamanan dan kesehatan makanan
-
Peningkatan pemberdayaan konsumen / masyarakat
-
Bimbingan dan Pengendalian
18. Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan Anak Tujuan : Meningkatkan pelayanan dan keselamatan ibu melahirkan anak Kegiatan Pokok: -
Pertolongan persalinan ibu hamil dari keluarga kurang mampu
-
Bimbingan dan pengendalian
19. Program Pendidikan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Aparatur Tujuan: Meningkatnya kemampuan, ketrampilan dan profesionalisme pegawai dan calon pegawai negeri sipil yang berkaitan
dengan kesehatan dalam pelaksanaan tugas kedinasan yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal. Kegiatan Pokok: -
Pelatihan dan pendidikan formal
-
Pembinaan dan penyebarluasan tenaga kesehatan
-
Perencanaan dan pendataan tenaga kesehatan
Program Transisi Sesuai dengan Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota, maka sampai tahun 2013 program pengembangan kesehatan dititikberatan pada: 1. Program peningkatan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan. 2. Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut 3. Peningkatan dan pemeliharaan mutu, efisiensi akuntabilitas lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medis, mutu serta ketersediaan obat yang terjangkau oleh masyarakat. 4. Peningkatan hubungan kerjasama dan koordinasi antara daerah baik antar kabupaten/kota maupun antar provinsi dengan k abupaten/kota. 5. Pengembangan Jaminan Sosial Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Pengawasan obat dan makanan serta pemantapan manajemen pembangunan kesehatan dengan konsep paradigma sehat secara sinergis lintas sector
b. Konsep Desa Siaga 1. Pengertian Konsep Desa Siaga Sesuai dengan SK Menkes No.564 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Desa Siaga, yang dimaksud Desa Siaga adalah: Desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalahmasalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan, secara mandiri. Desa yang dimaksud disini dapat berarti kelurahan atau istilah-istilah lainbagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan yang diakui dan dihormati dalam Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depkes RI, 2008). Desa Siaga digerakkan dengan melibatkan seluruh warga desa yang dimotori oleh kader-kader terlatih untuk mendeteksi berbagai masalah kesehatan dan ancaman bahaya potensial yang mengancam warga desa. Desa Siaga bertujuan untuk mewujudkan masyarakat desa yang sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat
desa
tentang
pentingnya
kesehatan,
Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap risiko dan bahaya yangdapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah, kegawat-daruratan dan sebagainya), meningkatnya
keluarga
yang
sadar
gizi
dan
melaksanakan
perilakuhidup bersih dan sehat, meningkatnya kesehatan lingkungan di desa, dan meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong dirisendiri di bidang kesehatan. Menurut Depkes RI (2008), Desa Siaga merupakan desa yang mempunyai/memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan, dengan demikian Desa Siaga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
-
Memiliki pemimpin atau tokoh masyarakat yang peduli terhadap masalah kesehatan.
-
Memiliki
organisasi kemasyarakatan yang peduli terhadap
masalah kesehatan.
-
Mempunyai
berbagai
Upaya
Kesehatan
Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM).
-
Mempunyai Poskesdes.
-
Memiliki sistem surveilans penyakit.
-
Mempunyai
sistem
pelayanan
kegawat-daruratan
(safe
community).
-
Mempunyai sistem pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat.
-
Warga desa menerapkan PHBS Dalam upaya mengembangkan Desa Siaga, perlu melibatkan
berbagai unsure pimpinan masyarakat.Unsur pimpinan masyarakat merupakan
pendukung
utama
Program
Desa
Siaga.
Untuk
mempermudah strategi intervensi, sasaran pengembangan Desa Siaga dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
Sasaran Primer Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu melaksanakan hidup sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
Sasaran Sekunder Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku tersebut,seperti tokoh masyarakat. Termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda, kader serta petugas kesehatan.
Sasaran Tersier Pihak-pihak kebijakan,
yang
peraturan
diharapkan
memberikan
perundang-undangan,
dana,
dukungan tenaga,
sarana dan lain-lain,seperti Kepala Desa, Camat, para pejabat terkait, LSM, swasta, para donatur danpemangku kepentingan lainnya. Dalam
Kepmenkes
RI
No.
564/Menkes/SK/VIII/2006
tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga dicantumkan indikator keberhasilan yang terdiri dari indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran dan indicator dampak. Yang termasuk dalam Indikator Masukan adalah:
-
Ada/tidaknya Forum Masyarakat Desa
-
Ada/tidaknya Poskesdes
-
Berfungsi/tidaknya UKBM dan sarana bangunan sertapelengkapan atau peralatannya
-
Ada/tidaknya UKBM yang dibutuhkan masyarakat
-
Ada/tidaknya tenaga kesehatan (minimal bidan)
a. Indikator proses adalah indikator untuk mengukur seberapa aktif upaya yang dilaksanakan di suatu Desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga.Indikator proses terdiri atas hal-hal berikut:
-
Frekuensi pertemuan Forum Masyarakat Desa
-
Berfungsi / tidaknya Poskesdes
-
Berfungsi / tidaknya UKBM yang ada
-
Berfungsi / tidaknya Sistem Kegawatdaruratan dan Penanggulangan Kegawatandan bencana
-
Berfungsi / tidaknya System Surveilance berbasis masyarakat
-
Ada / tidaknya kegiatan kunjungan rumah untuk Kadarzi dan PHBS
b. Indikator Keluaran adalah indikator untuk mengukur seberapa besar hasil kegiatanyang dicapai di suatu Desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga. Indikator keluaran terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
-
Cakupan pelayanan kesehatan dasar Poskesdes
-
Cakupan pelayanan UKBM-UKBM lain
-
Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB dilaporkan
-
Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk Kadarzi dan PHBS
c. Indikator Dampak adalah indikator untuk mengukur seberapa besar dampak darihasil kegiatan di Desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga. Indikator Dampak terdiri atas hal-hal berikut:
-
Jumlah penduduk yang menderita sakit
-
Jumlah penduduk yang menderita gangguan jiwa
-
Jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia
-
Jumlah bayi dan balita yang meninggal dunia
-
Jumlah balita dengan gizi buruk
2. Pengembangan Desa Siaga Tujuan utama Desa Siaga adalah untuk memeratakan pelayanan kesehatandasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, pada tahap pertama pengembangan Desa Siaga prioritas pengembangan diutamakan kepada desa-desa yang sama sekali tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Namun pada tahun 2007, prioritas pengembangan ditambah ke desa-desa yang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan tetapi sarana tersebut dalam keadaan rusak atau kurang berfungsi (Depkes,2006) Diamanatkan dalam SK Menkes no.564 tahun 2006, Sebagaimana pembentukan Desa Siaga tidak harus mempunyai gedung tersendiri namun dapat memanfaatkan berbagai potensi yang ada di masyarakat seperti gedung Posyandu,Poskesdes dan UKBM lainnya. Sebuah desa layak membentuk Desa Siaga jika mempunyai beberapa syarat seperti: minimal mempunyai satu tenaga kesehatan yang menetap (Bidan Desa), mempunyai salah satu bentuk bangunan UKBM dan peralatannya serta mempunyai alat komunikasi ke masyarakat dan puskesmas. Pembentukan pemberdayaan
Desa
masyarakat,
Siaga
dimulai
dilanjutkan
dengan
dengan
pergerakan
survey
mawas
dan diri,
musyawarah masyarakat desa (MMD) dan rencana kegiatan dan tindak lanjut. Pada tahap pergerakan masyarakat, kegiatan yang dilakukan adalah melatih kader desa agar mampu melaksanakan survey mawas diri. Kader desa perlu diberikan pengetahuan tentang tata cara surveikesehatan yang meliputi kesehatan lingkungan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat(PHBS), Kesehatan Ibu dan Anak, status gizi dan lain-lain. Hasil survei adalah gambaran desa dan permasalahannya, yang akan dibicarakan pada tahap Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Secara operasional pembentukan Desa Siaga dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : a. Pemilihan Pengurus dan Kader Desa Siaga Pemilihan pengurus dan kader Desa Siaga dilakukan melalui pertemuan khusus para pimpinan, pengelola dan tokoh masyarakat serta beberapa wakil masyarakat. Pemilihan dilakukan secara musyawarah mufakat, sesuai dengan tatacara dan kriteria yang berlaku, dengan difasilitasi oleh puskesmas. b. Orientasi/Pelatihan Kader Desa Siaga Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengelolaan dan kader Desa Siaga terpilih perlu diberikan orientasi atau pelatihan.Orientasi / pelatihan dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai dengan pedoman orientasi / pelatihan yang berlaku. Materi orientasi / pelatihan mencakup kegiatan yang akan dikembangkan di Desa Siaga, antara lain pengelolaan Desa Siaga, pengelolaan Polkesdes, kehamilan dan persalinan sehat, Siap-Antar-Jaga, gizi, Posyandu, kesehatan lingkungan, pencegahan penyakit menular, penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB-PLP),kegawat-daruratan
sehari-hari,
bencana,
warung
kejadian
diversifikasi
luar
pertanian
biasa, tanaman
pangan
kesiap-siagaan
obat dan
desa
(WOD),
pemanfaatan
perkarangan melalui Taman Obat Keluarga (TOGA), kegiatan surveilans, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan materi lain
yang
diperlukan.Pada
waktu
menyelenggarakan
orientasi/pelatihan ini sekaligus juga disusun Rencana Kerja (Plan of Action) Desa Siaga yang akan dibentuk, lengkap denganwaktu dan tempat penyelenggaraan, para pelaksana dan pembagian tugas serta saranadan prasarana yang diperlukan. c. Pembangunan Polkesdes
Dalam hal ini rencana pembangunan Polkesdes sudah harus dibahas dandicantumkan dalam Rencana Kerja. Dengan demikian sudah diketahui bagaimanaPolkesdes tersebut akan diadakan
membangun
baru
dengan
fasilitas
dari
Pemerintah,membangun baru dengan bantuan dari donatur, membangun baru dengan swadaya masyarakat, mengembangkan bangunan Polindes yang ada, atau memodifikasi bangunan lain yang ada. d. Penyelenggaraan Kegiatan Desa Siaga Setelah Desa Siaga resmi dibentuk, dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatanDesa Siaga secara rutin, berpedoman pada panduan yang berlaku. Kegiatan DesaSiaga utamanya dilakukan oleh kader kesehatan yang dibantu tenaga kesehatan profesional (bidan plus, tenaga gizi, dan sanatarian). Secara berkala kegiatan Desa Siaga dibimbing dan dipantau oleh Puskesmas,yang hasilnya dipakai sebagai masukan untuk perencanaan dan pengembangan Desa Siaga selanjutnya secara lintas sektoral (Depkes RI, 2008).
3.
Kegiatan Pokok Desa Siaga. Desa Siaga mempunyai beberapa kegiatan pokok antara lain adalah:
-
Menggerakkan PHBS Adalah masyarakat yang dapat menolong diri sendiri untuk mencegah dan menanggulagi masalah kesehatan, mengupayakan lingkungan sehat, memanfaatkan pelayanan kesehatan serta mengembangkan UKBM. Yang dimaksud dengan upaya mencegah : adalah mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dengan mempraktikkan gaya hidup sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat termasuk pola makan dengan gizi seimbang, menjaga kebersihan pribadi , berolah raga, menghindari kebiasaan yang buruk, serta berperan aktif dalam
pembangunan
kesehatan
masyarakat.(promotif
-
preventif). Yang dimaksud dengan menanggulangi : adalah mengupayakan agar yang terlanjur sakit atau mengalami gangguan gizi tidak menjadi semakin parah, tidak menulari orang lain dan bahkan dapat disembuhkan, sertadi pulihkan kesehatannya dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada(kuratif – rehabilitatif). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ini terdiri dari ratusan praktik kehidupan sehari hari, tidak hanya terbatas pada indikator yang biasa di gunakan untuk mengukur kinerja program kesehatan (Depkes RI, 2007)
-
Pengamatan Kesehatan Berbasis Masyarakat. Adalah pengamatan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat terhadap: a. Gejala atau penyakit menular potensial KLB, penyakit tidak menular termasuk gizi buruk serta faktor risikonya. b. Kejadian lain di masyarakat. dan segera melaporkan kepada petugas kesehatan setempat untuk di tindak lanjuti, Contoh penyakit : •
Penyakit menular : TBC, Frambusia, HIV /AIDS, Kusta
•
Penyakit Menular Potensial KLB antara lain : Diare,
Typhus, Diphteri,Hepatitis, Polio / AFP, Malaria, Campak, DBD, Flu Burung, dan lain-lain. c. Faktor risiko antara lain :
Adanya penolakan masyarakat terhadap imunisasi
Adanya kematian unggas
Adanya tempat-tempat perindukan nyamuk
Adanya migrasi penduduk (in / out)
d. Perilaku yang tidak sehat.
Faktor risiko tinggi ibu hamil, bersalin , menyusui dan bayi baru lahir
Kejadian lain di masyarakat seperti keracunan makanan, bencana, Kerusuhan
Bentuk
pengamatan masyarakat
(anggota keluarga,
tetangga, kader) disesuaikan dengan tatacara setempat, misalnya pengamatan terhadap tanda penyakit, batuk yang tidak sembuh dalam waktu 2 minggu bercak putih dikulit yang mati rasa
Ibu hamil yang mempunyai faktor risiko tinggi (4 terlalu, kedaruratan pada kehamilan sebelumnya,dan lain-lain)
Bayi baru lahir yang kuning, tidak bisa menetek,dan lainlain
Balita yang tidak naik berat badannya
Bentuk laporan adalah lisan atau menggunakan alat
komunikasi yang ada di desa (telepon, telepon seluler ataupun
Handy
kepadapetugas
Talkie
)
kesehatan
dan
segera
setempat
disampaikan
atau
Petugas
Pembina Desa (Depkes RI, 2007).
-
Penyehatan Lingkungan Lingkungan yang bebas polusi, tersedia air bersih, sanitasi lingkungan memadai, perumahan pemukiman sehat, yaitu : •
Terpeliharanya kebersihan tempat-tempat umum dan institusi yang ada didesa, antara lain : pasar, tempat ibadah, perkantoran dan sekolah.
•
Terpeliharanya kebersihan lingkungan rumah : lantai rumah
bersih,
sampahtak
berserakan,
saluran
pembuangan air limbah terawat baik •
Membuka jendela setiap hari.
•
Memiliki kecukupan akses air bersih (untuk minum, masak, mandi dan cuci)dan sanitasi dasar.
•
Mempunyai pola pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk pemenuhan sanitasi dasar (ada jamban, mandi cuci di tempat khusus)
-
Kesehatan Ibu dan Anak Salah satu penetrasi pada aspek Kesehatan Ibu dan Anak
adalah
Program
Perencanaan
Persalinan
dan
Pencegahan Komplikasi (P4K).P4K dengan stiker merupakan upaya terobosan percepatan penurunan angka kematian ibu. Melalui P4Kdengan stiker yang ditempel di rumah ibu hamil, maka setiap ibu hamil akan tercatat, terdata dan terpantau secara tepat. Stiker P4K berisi data tentang nama ibu hamil,taksiran
persalinan,
penolong
persalinan,
tempat
persalinan, pendamping persalinan, transport yang digunakan dan calon donor darah. Dengan
data
dalam
stiker
tertera
nama
suami,
keluarga, kader, dukun, bersama bidan di desa dapat memantau
secara
intensif
keadaan
dan
perkembangan
kesehatan ibu hamil, untuk mendapatkan pelayanan yang
sesuai standar pada saat hamil,persalinan dan nifas, sehingga proses persalinan sampai dengan nifas termasuk rujukannya dapat berjalan dengan aman dan selamat, tidak terjadi kesakitan dan kematian ibu serta bayi yang dilahirkan selamat dan sehat. Manfaat P4K ini adalah terjalinnya kemitraan antara tenaga kesehatan, dukundan masyarakat yang tinggal di sekitar ibu hamil.Dengan demikian maka komplikasi dapat tertangani secara dini, terpantaunya kesakitan dan kematian ibu serta yang paling penting adalah menurunnya kejadian kesakitan dan kematian ibu. Pelaksanaan di tingkat desa :
Memanfaatkan pertemuan bulanan tingkat desa antara bidan
desa,
kader,
dukun,
kepala
desa,
tokoh
masyarakat untuk mendata jumlah ibu hamil yang ada diwilayah desa serta membahas dan menyepakati calon donor
darah,
transport
danpembiayaan
(asuransi
kesehatan masyarakat miskin, tabungan ibu bersalin).
Bidan di desa bersama kader dan/atau dukun melakukan kontak dengan ibu hamil, suami dan keluarga untuk sepakat dalam pengisian stiker termasuk pemakaian KB pasca salin.
Pemasangan stiker di rumah
Suami, keluarga, kader dan dukun memantau secara intensif keadaan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan sesuai standar.
Bidan melakukan pencatatan pada buku KIA sebagai pegangan ibu hamil dan di kartu kohort ibu untuk disimpan di polindes/puskesmas, memberikan pelayanan dan
memantau
ibu
hamil
serta
melaporkan
hasil
pelayanan kesehatan ibu diwilayah desa (termasuk laporan
dari
dokter
dan
bidan
praktek
swasta
di
desatersebut) ke puskesmas setiap bulan termasuk laporan kematian ibu, bayi lahirhidup dan bayi lahir mati.
Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan P4K, maka dibentuk wadah forum komunikasi yang bersifat lintas program dan lintas sektor di berbagai tingkatan dan melibatkan masyarakat setempat (Depkes RI, 2007).
-
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Kadarzi (Keluarga Sadar Gizi) adalah keluarga yang seluruh
anggota
keluarganya
melakukan
perilaku
gizi
seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkahlangkahuntuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh anggota keluarganya. Untuk kegiatan
mencapai
pemberdayaan
Kadarzi di
diperlukan
berbagai
serangkaian
tingkat
mulai
dari
keluarga, masyarakat dan petugas yang diarahkan untuk meningkatkan kepedulian terhadap perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan Nasional.Tahap awal strategi pemberdayaan kadarzi dimulai dari melibatkan secara aktif keluarga dalam pemetaan kadarzi untuk identifikasi masalah perilaku dan gizi keluarga.Dan
identifikasi
masalah
perilaku
dan
gizi
keluarga.Hasil pemetaan dibahas bersama masyarakat untuk merencanakan tindak lanjut. Apabila masalah tersebut bisa diselesaikan langsung oleh keluarga maka perlu dilakukan pembinaan, akan tetapi apabila ditemui masalah kesehatan dan masalah lain maka perlu dirujuk ke petugas kesehatan dan petugas sektor lain. Strategi yang dilakukan dalam mewujudkan Kadarzi adalah:
Pemberdayaan keluarga dengan menitikberatkan pada peningkatanpengetahuan, seimbang,
misalnya
sikap
dan
perilaku
melaluipengembangan
gizi
konseling
dan KIE sesuai kebutuhan setempat
Melakukan advokasi dan mobilisasi para pengambil keputusan,
pejabat
pemerintah
di
berbagai
tingkat
administrasi, penyandang dana dan pengusaha dengan tujuan meningkatkan kepedulian atau komitmen terhadap masalah gizi ditingkat keluarga
Mengembangkan jaring kemitraan dengan berbagai perguruan
tinggi,
tokoh
masyarakat,
organisasi
masyarakat, tokoh agama, media massa, kelompok profesi lainnya untuk mendukung tercapainya tujuan Kadarzi
Menerapkan
berbagai
teknik
pendekatan
pemberdayaan petugas ditujukan untuk mempercepat perubahan
perilaku
dalam
mewujudkan
kadarzi
(Hardinsyah, 2006).
-
Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan dan kesiapsiagaan bencana Suatu tatanan yang berbentuk kemandirian masyarakat dalam
kesiapsiagaan
menghadapi
situasi
kedaruratan
(bencana, situasi khusus, dan lain-lain). Masyarakat sudah dipersiapkan apabila terjadi situasi darurat maka :
Mereka tahu harus berbuat apa
Mereka tahu tempat untuk mencari maupun memberi informasi kemana.
Masyarakat diharapkan memperhatikan gejala alam pada lingkungan
setempat
mampu
mengenali
tanda
akan
timbulnya bencana dan selanjutnya melakukan kegiatan tanggap darurat sebagaimana pernah dilatihkan untuk menghindari /mengurangi jatuhnya korban.
Informasi mengenai tanda tanda bahaya tersebut berasal dari sumber yang bisa dipercaya, misalnya dari perangkat desa (yang memperolehnya dari kecamatan),berita resmi di TVRI , RRI atau telepon dari Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota.Penyebaran informasi mengikuti tata cara setempat, misalnya menggunakan titir/kentongan, pengeras suara dari musholla atau dari mulut ke mulut (Depkes RI, 2007).
-
Pengelolaan Obat Kegiatan
di
atas
memerlukan
dana
yang
besar
sehingga untuk pengadaan seluruh kebutuhan sarana dan prasana
diatas
menjadi
tanggung
jawab
pemerintahbekerjasama dengan lembaga donor, LSM dan peminat
masalah
kesehatan.
Implementasi
strategi
pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa
hal
pokok
yakni;
kesinambungan
pembiayaan
program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan
secara
tunai
perorangan
(out
of
pocket
funding),
menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas
pelayanan
yang
memadai
dan
dapat
diterima
pengguna jasa (Kasni, 2009).
2.4.
Analisis Pelaksanaan Progam a. Forum Masyarakat Desa Forum masyarakat desa yang dimaksud adalah kelompok yang dibentuk oleh masyarakat desa sebagai pengurus dalam program desa siaga. Hal yang perlu dianalisa dari forum masyarakat desa antara lain: Rutinitas pelaksanaan aktivitas kegiatan forum, jika tidak terlaksana maka
-
perlu dianalasis penyebab tidak terlaksananya aktivitas tersebut.
-
Pertemuan terakhir yang telah dilaksanakan oleh forum.
-
Struktur kepengurusan desa siaga serta mekanisme pembentukannya.
-
Kontribusi setiap pengurus dalam program desa siaga, jika kontribusi kurang maka perlu dianalisis pula penyebab kurangnya kontribusi. Informasi mengenai kontribusi ini dapat diperoleh melalui informaninfroman yang dapat dipercaya di desa siaga tersebut. Laporan keuangan
-
(termasuk pemasukan
dan pengeluaran)
untuk
pelaksanaan program desa siaga. b. Pos Kesehatan Desa/Pondok Kesehatan Desa/Pondok Bersalin Desa Pos kesehatan desa (Poskesdes) merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka menyediakan
pelayanan
kesehatan
dasar
bagi
masyarakat
dengan
melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya. Sedangkan ponkesdes adalah unit pelayanan kesehatan yang berada di desa atau kelurahan, yang merupakan perpanjangan tangan dari puskesmas. Perbedaannya adalah ponkesdes
adalah
kepanjangan
tangan
dari
puskesmas
sedangkan
poskesdes adalah sebuah UKBM yang berarti masyarakat sendiri yang harus menjadi motor utama dan berperan aktif dalam menggerakkan poskesdes. Beberapa fungsi poskesdes yaitu: -
Wahana pelayanan kesehatan dasar
-
Wahana peran aktif masyarakat
-
Wahana kewaspadaan resiko dan masalah kesehatan
-
Wahana jejaring UKBM
Beberapa hal yang perlu dianalisis dalam hal ini adalah:
-
Ada atau tidaknya poskesdes/ponkesdes/polindes
-
Kesesuaian
fungsi
poskesdes/ponkesdes/polindes
dengan
realita
pelaksanaannya. Kesadaran masyarakat sekitar terhadap fungsi dan pemanfaatan
-
poskesdes/ponkesdes/polindes. c. Pembinaan Dari PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar) Puskesmas
PONED
diharapkan
membina
desa
siaga
agar
masyarakat mau dan mampu untuk mengenali masalah resiko tinggi pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir sehingga masyarakat dapat mengetahui secara tepat dan cepat apa yang harus diperbuat jika menjumpai kasus
resiko
tinggi.
Dari
pembinaan
PONED,
desa
siaga
dapat
mencanangkan program-program sebagai berikut:
-
Pendataan golongan darah dan pendataan ibu hamil
-
Program tabulin dan dasolin
-
Program jimpitan atau iuran warga
Hal yang harus dianalisis yaitu:
-
Program kerja apa saja yang dicanangkan desa siaga
-
Program kerja apa saja yang belum dicanangkan oleh desa
-
Pelaksanaan program kerja yang telah dicanangkan, jika tidak terlaksana
dengan
baik
maka
perlu
dianalisis
alasan
tidak
terlaksananya program kerja tersebut.
-
Tenaga kesehatan yang bertanggungjawab untuk membina desa siaga.
-
Ada atau tidaknya pelatihan bagi perwakilan tenaga kesehatan yang bertanggungjawab dalam pengembangan desa siaga.
d. Sistem Kegawatdaruratan Dan Penanggulangan Bencana Dalam indikator ini, perlu dianalisis beberapa hal:
-
Bencana yang memiliki resiko paling tinggi di desa siaga
-
Program kesiapsiagaan bencana yang dicanangkan desa siaga sesuai dengan resiko bencana yang ada. Apabila belum ada, maka perlu dianalisis upaya masyarakat desa dalam menanggapi bencana tersebut.
-
Program
kegawatdaruratan
yang dicanangkan
dalam kejadian
kecelakaan, misalnya ambulance desa. Perlu dianalisis apakah program ambulance desa tersebut telah berfungsi dengan baik atau tidak.
-
Pengembangan program-program kreatif yang berorientasi untuk memecahkan permasalahan kegawatdaruratan desa siaga.
e. Surveillance Masyarakat Melalui sistem surveillance masyarakat diharapkan mau mengamati dan
mengidentifikasi
hal-hal
penting
yang
dapat
mengancam
atau
menimbulkan masalah kesehatan serta melaporkannya kepada petugas kesehatan. Sistem surveillance merupakan salah satu elemen penting untuk merealisasikan indikator keluaran desa siaga berupa desa bebas Kejadian Luar Biasa (KLB). Dalam pengembangan sistem surveillance diperlukan edukasi dan pendampingan dari tenaga kesehatan guna memahamkan masyarakat akan pentingnya sistem surveillance dan kemudian berinovasi membuat sistem surveillance sesuai dengan potensi yang dimiliki desa siaga. Hal-hal yang perlu dianalisis antara lain:
-
Pelaksanaan program surveillance di desa siaga.
-
Rencana pengembangan sistem surveillance.
- Hambatan
dalam
pelaksanaan
dan
pengembangan
program
surveillance. f.
Penyuluhan Kadarzi Dan PHBS Penyuluhan Kadarzi dan PHBS dilakukan secara berkala oleh tenaga kesehatan dari puskesmas maupun ponkesdes dan polindes. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi permasalah gizi yang menjadi salah satu permasalahan pada balita. Hal-hal yang perlu dianalisis yaiu:
-
Kondisi gizi di desa siaga.
-
Implementasi PHBS di desa siaga.
-
Pengetahuan tentang gizi dan pola asuh serta pentingnya PHBS pada masyarakat desa siaga.
-
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi pemenuhan gizi dan PHBS pada masyarakat desa siaga.
-
Efektifitas penyuluhan Kadarzi dan PHBS dari tenaga kesehatan yang bertanggungjawab.
BAB 3 PENUTUP
3.1.
Kesimpulan Wilayah perdesaan pada umumnya masih diasosiasikan sebagai daerah yang berlokasi di daerah pedalaman, jauh dari lingkungan perkotaan, dan memiliki
keterikatan
yang
kuat
terhadap
kehidupan
tradisional.
Dalam
masyarakat desa berlaku keteraturan kehidupan sosial yang mencakup kegiatankegiatan ekonomi, keagamaan, politik, dan hukum yang sesuai dengan lingkungan hidup setempat. Perkembangan penduduk di
Indonesia terus
mengalami peningkatan. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika. Di Indonesia sendiri banyak terjadi perbedaan populasi antara perkotaan dengan pedesaan, dimana tingkat ekonomi menjadi masalah yang terlihat perbedaannya antara perkotaan dengan pedesaan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat juga berpengaruh pada faktor kehidupan lainnya, seperti pada tingkat ekonomi masyarakatnya. Penyebaran penduduk Indonesia tidak merata antara di daerah perkotaan dan pedasaan. Pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat ekonomi masih sangat terlihat, hal itu dengan masih tingginya tingkat kemiskinan pada masyarakatnya. Masalah yang dihadapi masyarat pedesaan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah pendidikan, kesehatan lingkungan serta berbagai masalah kesehatan lainnya. Dalam rencana meningkatkan kesadaran masalah yang berada di pedesaan, dibuatlah bebrapa progam yang bermanfaat untuk membantu penanganan masalah yang terjadi di pedasaan yang disebut dengan desa siaga. Sesuai dengan SK Menkes No.564 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Desa Siaga, yang dimaksud Desa Siaga adalah: Desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan,
secara
mandiri.
Konsep
desa
siaga
sendiri,
pemerintah
mencanangkan 19 progam dan kegiatan sebagai upaya dalam membentuk masyarakat pedesaan sebagai masyarakat desa siaga. Pada progam transisi yang sesuai dengan Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota, maka sampai tahun 2013 program pengembangan kesehatan dititikberatan pada:
-
Program
peningkatan
kualitas
dan
pemerataan
pelayanan
kesehatan.
-
Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut
-
Peningkatan dan pemeliharaan
mutu,
efisiensi
akuntabilitas
lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medis, mutu serta ketersediaan obat yang terjangkau oleh masyarakat.
-
Peningkatan hubungan kerjasama dan koordinasi antara daerah baik antar kabupaten/kota maupun antar provinsi dengan kabupaten/kota.
-
Pengembangan
Jaminan
Sosial
Kesehatan
Masyarakat
(Jamkesmas), Program Pengawasan obat dan makanan serta pemantapan
manajemen
pembangunan
kesehatan
dengan
konsep paradigma sehat secara sinergis lintas sector Sebagai Analisis pelaksanaan progam desa siaga yang dilakukan pemerintah, ada beberapa kegiatan yang dapat mendukung dan dapat dijalankan antara lain Forum Masyarakat Desa, Pos Kesehatan Desa/Pondok Kesehatan Desa/Pondok Bersalin Desa, Pembinaan Dari PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar), Sistem Kegawatdaruratan Dan Penanggulangan Bencana, Surveillance Masyarakat serta Penyuluhan Kadarzi Dan PHBS yang diharapkan Indonesia mampu memberdayakan setiap desa menjadi desa siaga.
3.2.
Saran Menurut penulis ada beberapa hal dalam pembuatan makalah ini yang perlu ditambahkan. Diharapkan pembaca dapat mencari sumber lain yang mendukung dalam rangka menambah pengetahuan dalam masalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andareto, Obi. 2015. Penyakit Menular di Sekitar Anda. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta. Badan Pusat Statistik RI. 2016. Data Sensus Penduduk Miskin 2016, (online) https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1229 diakses pada tanggal 20 Juni 2017 Darmawan, Ede S. 2009. Tinjauan Kebijakan Terkait Pengelolaan Posyandu sebagai Masukan dalam Perumusan Peran dan Tanggung Jawab Departemen Kesehatan dalam Pengelolaan Posyandu. Disampaikan sebagai makalah pembahas dalam Lokakarya Perumusan Peran dan Tanggung Jawab Departemen Kesehatan dalam Pengelolaan
Posyandu.
Bogor,
23
Maret
2009.
(online)
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/edesurya/material/kebijakanpengelolaanposyand u.pdf diakses pada tanggal 18 Juni 2017. Infodatin. 2016. Tuberkulosis: Temukan Obat Sampai Sembuh. Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang . Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015 . Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI. 2015. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Nainggolan, Olwin. 2009. Prevalensi dan Determinan Penyakit Arthritis di Indonesia . Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DEPKES
Republik
Indonesia.
https://kucrietzlophbatman.files.wordpress.com/2013/10/kel-6-rematik.pdf
(onlilne) diakses
pada tanggal 18 Juni 2017. Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, KEMENKES RI. (online) http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pd f diakses pada tanggal 18 Juni 2017. Suharyo. 2013.Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang .Semarang DINKES BALI. 2016. “Program Keseatan Desa”. (Online) http://www.diskes.baliprov.go.id/id/ Program-Kerja-dan-Kegiatan2. Diakses tanggal 29 April 2016 Depkes RI, Jakarta , 2006. Panduan Manajemen PHBS Menuju Kabupaten/Kota Sehat . Depkes RI, Jakarta , 2006. Pedoman Pengembangan Desa Siaga. Depkes RI, Jakarta , 2006. Kebijakan Desa Siaga Mendukung Masyarakat Mandiri untuk Hidup Sehat . Depkes RI, Jakarta. Depkes RI, Jakarta ,2007, Buku Paket Pelatihan Kader Kesehatan dan Tokoh dalam Pengembangan Desa Siaga.