Nama: Wardatul Jannah NIM: 17712251052 17712251052 Kelas: DIKDAS C
BIOGRAFI “KARTINI” Siapa yang tak mengenal Raden Ajeng Kartini. Kartini merupakan tokoh yang dikenal sebagai tokoh pejuang hak perempuan, kesetaraan gender dan nasionalisme indonesia. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1979 di Jepara. Raden ajeng kartini berasal dari kalangan priyai atau kelas bangsawan jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati dan ibunya M. A ngarsih yang merupakan istri pertama dari ayahnya. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Orang tua kartini adalah orang tua yang sadar akan pendidikan, meski pada akhirnya ayahnya tetaplah orang yang patuh terhadap tradisi. Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) yang setara dengan sekolah dasar, yang merupakan sekolah yang diperuntukkan untuk anak keturunan belanda, pribumi-belanda, dan anak pribumi bangsawan. Kartini dikenal sebagai anak yang aktif dan cerdas, terbuki pada saat salah seorang inspektur belanda menyuruh murid disekolah itu menulis karangan dalam bahasa belanda, dari hasil penilaiannya, karangan kartinilah yang paling bagus. Selepas menyelesaikan studinya di ELS, kala itu tahun 1892 Kartini meminta kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School Semarang tetapi ayahnya tidak mengizinkan, karena Kartini harus menjalankan tradisi pingitan tepat saat ia berusia 12 tahun 6 bulan, yakni tradisi jawa yang mengharuskan seorang gadis yang dianggap telah dewasa (12 ke atas) untuk dipingit sebelum akhirnya ada yang meminang. Bahkan nyonya Marie Ovink Soer, istri asisten Residen Jepara Ovink (sahabat keluarga Kartini), yang mulai bertugas di Indonesia tepat sebelum kartini masuk pingitan juga membantu membujuk ayahnya agar ia tak di pingit namun tak berhasil. Setelah 4 tahun masa pingitan baru kemudian 2 adiknya Roekmini dan Kardinah menyusul Kartini dalam masa pingitan. Meskipun kartini menjalani masa pingitan, ayahnya membebaskannya dengan pendidikan rumah, ia mengizinkan kartini membaca buku,koran, bahkan berlangganan majalah yang membahas politik, sosial dan sastra. Hal ini juga
didukung oleh kakanya RMP Sosrokartono yang sering membawakannya buku bacaan soal pengetahuan dunia moderen dengan topik emansipasi dan revolusi prancis hingga novel-novel populer yang membuka pengetahuan kartini mengenai politik dan sosial. Selama masa pingitan, kartini justru mulai menuliskan gagasan-gagasan mengenai kecamannya terhadap berbagai polemik pada saat itu yang ditulis melalui surat-surat yang dikirim kepada sahabat penanya dibelanda. Ia juga mendobrak pintu tradisi. Ia mengizinkan adiknya untuk tak berbahasa kromo dan tak merangkak ketika mendahuluinnya. Mereka berdiskusi banyak hal termasuk ide mereka untuk membangun sekolah yang kemudian diceritakan kepada sahabat penanya. Korespondensi kartini dengan sejumlah tokoh belanda dibuka lewat Marie Ovink. Marie ovink yang kartini panggil dengan panggilan Moedertje (ibu tersayang) memberikan saran kepada kartini untuk menulis surat kepada Johan Van Woude pengasuh majalah De Hollandsche Lile (majalah langganan keluarga Kartini yang sering Kartini baca selama masa pingitan) untuk memuat iklan yang berisi RA kartini mencari seorang sahabat pena (15 Maret 1899). Estelle Zeehandelaar, aktivis feminis yang lima tahun lebih tua dari kartini menjawab iklan tersebut dan dimulailah korespondensi di antara dua gadis ini. Surat pertama kartini kepada stella pada tanggal 25 Mei 1899, yang memperkenalkan dirinya sebagai anak Bupati Jepara keluarga yang sadar pendidikan tapi terkurung dalam pingitan. Surat-surat yang dikirmkan kartini kepada Stella membahas berbagai hal seperti kecamannya terhadap tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya mendirikan sekolah, dan keinginannya beserta kedua adiknya untuk bersekolah di belanda. Selain kepada stella, Kartini juga sering mengirim surat kepada Marie Ovink, Rosa Abendanon dan suaminya J.H. Abendon Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda yang merupakan sahabat dari ayahnya, serta Henri Hubert Van Kol sahabat pena yang dikenalnya melalui Stella. Enam tahun berselang, pada tanggal 2 Mei 1898, Raden Ario Sosioningrat akhirnya membebaskan Kartini dan kedua adiknya dari pingitan atas bujukan residen Semarang Pieter Sijthof dan Nyonya Marie Ovink Soer. Kegembiraan ini Kartini ungkap melalui surat yang dikirimkan kepada stella.
Selepas dari masa pingitannya kartini menyalurkan bakatnya dengan menulis berbagai tulisan atas dukungan Roekmini dan Kardinah, Ayah dan Marie Ovink, orang pertama yang Kartini tunjukkan hasil menulisnya. Beberapa tulisan yang dituliskan kartini yaitu Het Huwelijk Kodja’s, artikel seni batik, pengajaran bumiputra untuk anak perempuan, dan lain-lain. Kartini bersama adiknya Roekmini dan Kardinah melakukan jurnalistik menelusuri kehidupan masyarakat di Jepara, mereka membantu kesejahteraan masyarakat dengan mencari jalan untuk kemajuan pengerajin pahat dan batik di Jepara. Mereka juga membangun sekolah bagi gadis pribumi pertama pada Juni 1903. Tak sampai disitu, Kartini juga tetap berusaha untuk meminta izin ayahnya untuk bersekolah lagi, dan diizinkan. Kemudian diketahui bahwa stella berhasil mencarikan beasiswa bagi kartini untuk bersekolah di Belanda. Namun mendadak Kartini membatalkan keberangkatannya ke Belanda karena pengaruh dari Jacquest Henrij Abendanon yang dengan beberapa alasan yang disampaikan meyakinkan kartini bahwa pergi ke Belanda sama sekali tidak menguntungkan, bahkan merugikan cita-citanya dan menyarankan kartini melanjutkan sekaloh kebatavia. Ditengah kegundahan menunggu jawaban atas permohonannya kepada gubernur jendral hindia belanda untuk melanjutkan sekolah ke Batavia, datang utusan yang membawa lamaran dari bupati Rembang yang sekali lagi menghadapkan kartini pada subuah persimpangan. Lamaran itu seketika membuat kartini tertekan, ia meminta 3 hari untuk merenung. Kartini limbung dan kehilangan arah sama seperti saat berhadapan dengan Abendanon ketika dibujuk mengurungkan niatnya ke Belanda. Tapi yang paling memberatkan Kartini adalah keinginannya untuk membahagiakan ayahnya yang sangat ingin melihatnya menikah, serta kejadian tepat dihari ketiga untuk menimbang, yaitu datang utusan lain yang membawa lamaran dari orang lain (tak disebutkan secara terang si pelamar gelap itu ) dengan surat yang isinya menyatakan ancaman akan menebar guna-guna apabila lamarannya ditolak. Kejadian tersebut membuat kartini langsung menerima lamaran Bupati Remang, namun dengan mengajukan syarat, yaitu pertama menyangkut upacara; kartini tak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria, dan kedua ia akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko bukan kromo inggil. Semua syarat tersebut diterima Djojoadiningrat. Selain karena pandangan modernnya, juga karena Djojodiningrat terlanjur menganggap kartini sebagai wasiat. Karena Kartini adalah perempuan yang dikagumi mendiang istrinya, Sukarmilah. Selang 10 bulan setelah menikah, pada tanggal 17 September 1904 Kartini wafat pada usia 25 tahun, tepat empat hari setelah ia melahirkan putra tunggalnya
Raden Mas Soesalit. Ia wafat karena keram perut yang dialaminya pasca menikah. Kartini kemudian dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada sahabatsahabat penanya di Eropa terutama Stella. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Sumber: Tim Tempo. 2014. Gelap Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.