137
Gambar 3. Distribusi porositas
Gambar 5. Model reservoir
3.2.2 History Matching
History Matching dilakukan dari tahun 1964 - 2007 dengan mengubah beberapa parameter seperti permeabilitas, tekanan kapiler, transmisibility, dll. Parameter yang diubah adalah yang mempunyai tingkat error yang cukup besar. Dalam history matching ini menggunakan model aquifer berupa Carter Tracy. Hasil history matching dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8.
Gambar 4. Distribusi permeabilitas
3.2 Model Reservoir
Pembuatan simulasi ini dibuat berdasarkan peta yang telah tersedia yaitu: peta struktur, peta porositas, peta permeabilitas, dan peta iso saturasi yang menjadi acuan dalam pembuatan model reservoir dengan menggunakan software Petrel yang menjadi input pada software Eclipse untuk melakukan simulasi reservoir. Jumlah grid yang digunakan utnuk memodelkan reservoir ini sebesar 244224 grid cell dan berukuran 48 x 48 x 106 dengan skala 1 grid = 7,18 m (23,55 ft). Model reservoir dapat dilihat pada Gambar 5.
3.2.3 Prediksi
tahun 1964 dengan rate produksi sekitar 200 stb/d. Untuk mengoptimalkan produksi, pada tahun 2009 dilakukan waterooding dan dilakukan prediksi sampai tahun 2037. Waterooding dilakukan dengan menambah empat sumur injeksi dan membuka kembali empat belas sumur produksi
Tabel 1-Nilai OOIP Tipa Zona
3.2.1 Inisialisasi Model
Per hi tu ng an inisialisasi model menghasilkan Original Oil In Place (OOIP) yang mempunyai perbedaan sebesar 0,7 % dari perhitungan OOIP model geologi. Hasil ini sudah cukup re-presentative dalam validasi model reservoir.
Lapangan X sudah mulai berproduksi dari
138 Tabel 2. Daftar Schedule Untuk Prediksi
Gambar 6. History matching untuk eld liquid production rate (FLPR)
Gambar 7. History matching untuk eld oil production rate (FOPR)
Gambar 9. Bubble map cummulative oil production (Np)
Gambar 8. History matching untuk eld water production rate (FWPR)
dengan Remaining Recoverable Reserves (RR) yang masih cukup besar. Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11 memperlihatkan nilai cumulative oil production (Np) dan Remaining Recoverable Reserves (RR) dari tiap-tiap sumur produksi. Zona reservoir yang mungkin dilakukan waterooding adalah zona dengan jumlah minyak tersisa yang masih cukup banyak, yaitu pada zona 1 (grid k=1 sampai k=30) dengan nilai Sor = 0,78. Daftar schedule untuk prediksi dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan letak sumur produksi dan injeksi dapat dilihat pada Gambar 12. Dalam melakukan prediksi ini dibuat empat skenario yaitu: 1.
Skenario 1 Waterooding dilakukan dengan cara menya pu minyak sejajar dengan pay zone, yaitu injeksi pada grid k=1 sampai k=30. Constraint
Gambar 10. Bubble map recoverable remaining (RR)
Gambar 11- Bubble map Np vs RR
2.
yang digunakan adalah control rate pada sumur injeksi. Skenario 2 Waterooding dilakukan dengan menginjeksi
139
Gambar 15. Field reservoir pressure untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d) Gambar 12. Letak sumur produksi dan injeksi
Gambar 16. Field oil production rate untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d) Gambar 13. Field oil production rate untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)
Gambar 17. Filed oil production total untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d) Gambar 14. Field oil production total untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)
3.
4.
air dari bawah pay zone yang masih mempunyai nilai Sor cukup banyak, yaitu pada grid k=32 sampai k=37. Constraint yang digunakan adalah control rate pada sumur injeksi. Skenario 3 Waterooding dilakukan dengan cara menya pu minyak sejajar dengan pay zone, yaitu injeksi pada grid k=1 sampai k=30. Constraint yang digunakan adalah control BHP pada sumur injeksi. Skenario 4 Waterooding dilakukan dengan menginjeksi air dari bawah pay zone yang masih mempunyai nilai Sor cukup banyak, yaitu pada grid k=32 sampai grid 37. Constraint
Gambar 18. Field reservoir pressure untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)
yang digunakan adalah control BHP pada sumur injeksi. Skenario dilakukan pada rate injeksi dan BHP yang berbeda-beda untuk kemudian dicari titik optimumnya. Rate injeksi dilakukan dari 50 stb/d sampai 400 stb/d. Sedangkan untuk BHP dilakukan dari tekanan sebesar 1200 psia sampai 400 psia.
140
Gambar 19. Field oil production rate untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 23. Field oil production total untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 20. Field oil production total untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 24. Field reservoir pressure untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 21. Field reservoir pressure untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 22. Field oil production rate untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)
Grak yang menunjukkan produksi kumulatif, rate produksi, serta prol tekanan dari masing-masing skenario optimum dapat dilihat pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 24. Sedangkan plot grak keempat skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27, dan Gambar 28.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa skenario paling optimum adalah skenario 3 karena memberikan nilai recovery factor yang paling besar. Pada skenario 3 ini dapat dilihat bahwa ketika BHP diturunkan, maka nilai recovery factor semakin meningkat sampai pada titik optimumnya. Untuk nilai optimum terletak pada control BHP = 800 psia karena pada nilai tersebut nilai recovery factor memberikan nilai yang paling maksimal yaitu 9,55 % dengan total kumulatif produksi minyak sebesar 4.893.410
Gambar 25. Grak hasil prediksi skenario 1
Gambar 26. Grak hasil prediksi skenario 2
141
Gambar 27. Grak hasil prediksi skenario 3
Gambar 28. Grak hasil prediksi skenario 4
STB, dan setelah BHP diturunkan terus nilai recovery factor sudah tidak akan meningkat lagi. Tekanan yang diperlukan untuk menginjeksi air sebesar 1400 psia, lebih tinggi sedikit daripada initial pressure. Hasil yang diperoleh dari skenario 4 tidak terlalu berbeda jauh dari skenario 3, yaitu nilai recovery factor sebesar 9.45 % dan perbedaannya hanya 0.1 % saja. Hal ini menunjukan bahwa ketika dilakukan waterooding pada zona sejajar dengan pay zone dibandingkan dengan waterooding pada zona di bawah pay zone, nilai recovery factor nya tidak berbeda secara signikan. Akan tetapi hasil paling optimum tetap dihasilkan pada waterooding yang dilakukan sejajar dengan pay zone (sweep injection).
total kumulatif produksi liquid ( FOPT ) naik, maka sebenarnya yang terproduksi lebih banyak adalah air dan bukan minyak. Hal inilah yang menyebabkan produksi minyak menurun sehingga nilai recovery factor-nya pun menurun. Selain itu pada dua skenario ini, tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikan air di permukaan sangat besar dan melebihi dari initial pressure. Hal ini menyebabkan untuk skenario ini diperlukan fasilitas permukaan yang cukup mahal, karena untuk menginjeksikan air diperlukan tekanan yang cukup besar untuk dapat menginjeksikan air ke dalam sumur. Akibatnya tekanan kompresor yang diperlukan juga cukup besar. Hasil nilai recovery factor yang diperoleh pada skenario 1 dan skenario 2 tidak terlalu berbeda jauh yaitu hanya berbeda 0,04 % saja. Trend ini sama seperti pada scenario 3 dan scenario 4, yaitu bahwa hasil waterooding tidak akan berbeda jauh jika injeksi diletakkan sejajar dengan pay zone ataupun jika diletakkan di bawah pay zone. Nilai optimum setiap skenario yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3. IV. Sensitivity 4.1. Sensitivity Analysis
Karena pada studi ini ditujukan untuk menentukan korelasi baru dalam menentukan recovery factor dan selanjutnya hasil yang didapat akan dibandingkan dengan metode Guthrie and Greenberger, maka sensitivity dilakukan pada parameter-parameter yang memSkenario 1 dan skenario 2 memberikan bentuk persamaan tersebut, diantaranya adahasil dengan trend yang sama, yaitu semakin lah permeabilitas, porositas, saturasi air awal, besar rate injeksi, maka nilai recovery factor ketebalan, dan viskositas minyak. akan semakin menurun. Hal ini kemungkinan Sensitivity tersebut dilakukan dengan diakibatkan karena mobilitas air yang diinjeksikan menggunakan simulasi reservoir dengan kasus lebih besar daripada mobilitas minyak karena rate optimum yang telah didapat pada prediksi injeksinya terlalu besar. Oleh karena itu meskipun dengan beberapa skenario, yaitu waterooding dengan skenario 3. Parameter-parameter Tabel 3. Hasil nilai RF optimum setiap skenario yang berpengaruh terhadap metode Guthrie and Greenberger tersebut diubah tiap-tiap nilainya pada input simu- lasi reservoir untuk kemudian dilihat perbedaan nilai recovery factor yang dihasilkan. Sensitivity permeabilitas dilakukan dengan mengubah faktor pengali pada input
142
Gambar 29. Grak sensitivity RF vs permeabilitas
k yang terdapat dalam grid. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai k maka nilai produksi kumulatif minyak ( Np) akan semakin naik. Dapat dilihat pada Gambar 29 bahwa perubahan permeabilitas dari 1,3 md sampai 1,6 md (kenaikan sebesar 0,3 md) menyebabkan kenaikan recovery factor sebesar 0,32 %. Sedangkan pada permeabilitas sebesar 2,6 md, recovery factor naik sebesar 3,8 % Akan tetapi pada nilai tertentu, yaitu pada nilai di atas 2,6 md, Np akan mengalami penurunan meskipun permeabilitasnya semakin besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas air telah melebihi mobilitas minyak sehingga meskipun permeabilitas semakin besar dan produksi kumulatif liquid semakin besar, tapi yang mengalir sebagian besar adalah air karena terjadi bypass oleh air injeksi. Untuk sensitivity k ini tidak akan mempengaruhi nilai IOIP sehingga tidak perlu lagi dilakukan inisialisasi data ketika merubah faktor pengali k. Hal yang sama juga dilakukan pada sensitivity viskositas minyak dengan mengubah nilai-nya pada input data PVT. Dari hasil yang didapat dapat dilihat bahwa semakin kecil nilai viskositas, maka Np akan semakin besar. Dapat dilihat pada Gambar 30 bahwa kenaikan nilai viskositas dari 7,04 cp menjadi 17,6 cp, RF menurun seba-nyak 3 %. Sedangkan untuk
Gambar 30. Gark sensitivity RF vs viskositas minyak.
Gambar 31. Grak hasil sensitivity RF vs porositas
kenaikan viskositas selanjutnya per 10 cp mengakibatkan penurunan RF sebesar kurang lebih 1 %. Hal ini diakibatkan karena dengan menurunnya viskositas, maka minyak akan semakin encer dan semakin mudah terambil dari reservoir daripada minyak dengan viskositas yang tinggi, sehingga akan menambah recovery factor . Pada sensitivity viskositas minyak ini juga tidak dilakukan inisisalisasi terhadap IOIP karena perubahan viskositas tidak akan mempengaruhi nilai IOIP . Sensitivity porositas dilakukan dengan mengubah faktor pengali pada input porositas yang terdapat pada grid. Setelah dilakukan perubahan pada faktor pengali porositas tersebut, dilakukan inisialisasi terhadap IOIP karena perubahan porositas akan mempengaruhi nilai IOIP . Inisialisasi dapat dilakukan dengan mengalikan pore volume agar IOIP kembali menjadi nilai awal. Dari hasil sensitivity dapat dilihat bahwa semakin besar porositas maka Np akan semakin meningkat karena semakin besar pori-pori batuan maka akan meningkatkan jumlah perolehan minyak. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 31 pada kenaikan nilai porositas dari 10,7 % ke 12,4 %, kenaikan RF sebesar 4,7 %. Akan tetapi pada nilai sebelum dan sesudah porositas tersebut nilai
Gambar 32. Grak hasil sensitivity RF vs ketebalan
143
Gambar 33. Grak hasil sensitivity RF vs Swi
porositas berbanding terbalik dengan RF. Hal ini kemungkinan disebabkan karena mobilitas air telah melebihi mobilitas minyak sehingga terjadi bypass oleh air dan mengakibatkan minyak yang terproduksi lebih sedikit. Sensitivity ketebalan dilakukan dengan mengubah nilai Net to Gross (NTG) kemudian dilakukan inisialisasi sama seperti pada porositas. Net to Gross merupakan presentase reservoir setelah dikurangi dengan kandungan shale dan mempunyai satuan persen atau desimal. Dari Gambar 32 dapat dilihat bahwa semakin besar nilai NTG maka Np juga akan semakin besar. Kenaikan ketebalan sebesar 50 ft mengakibatkan kenaikan RF sebesar 0,1 %. Sensitivity Sw dilakukan dengan mengTabel 4. Hasil sensitivity analysis terhadap beberapa parameter
ubah nilai Pc pada input data SCAL. Dapat dilihat pada Gambar 33 bahwa semakin besar nilai Sw maka nilai Pc juga akan semakin besar sehingga mengakibatkan Np menurun. Kenaikan Sw sebesar 0,05 % mengakibatkan RF turun sebesar 1 %. Pc yang terlalu besar akan membuat minyak di reservoir sulit untuk bergerak. Dalam sensitivity Pc juga dilakukan inisialisasi terhadap IOIP . Hasil dari sensitivity pada berbagai parameter dapat dilihat pada Tabel 4. 4.2. Pengembangan Korelasi Baru Recovery Factor
Gambar 34. Grak RF simulasi vs RF korelasi
Pengembangan korelasi baru untuk recovery factor reservoir dengan waterooding dilakukan dengan menggunakan software statistik XLSTAT yang dapat menentukan suatu korelasi dari multi variabel. Input data berupa hasil sensitivitas dari lima parameter yang berpengaruh yaitu permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan viskositas minyak. Pengembangan persamaan ini adalah dengan menggunakan nonlinear regression. Input data untuk dependent variables (y) yaitu recovery factor (RF) dan input data untuk explanatory variables (x) berupa k, ф, Swi, h, dan µ o. Input data pada software XLSTAT dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil dari persamaan usulan dari software tersebut adalah: = −7.94 + 0.0764k − 0.0788mo + 568.01f − 0.57h − 95.55S w + 9.94 × 10−3 k 2 + 2.168 × 10−4 mo 2 − 1990.42f 2 + 9.838× 10−3 h 2 + 116.83S w 2
RF
(4) Plot antara recovery factor hasil persamaan di atas dengan hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar
144 Tabel 5. Perbandingan RF simulasi dengan RF korelasi
Tabel 6. Perbandingan RF simulasi dengan RF Guthrie
34 dan menunjukkan hasil yang cukup baik yaitu pada Lapangan X dapat dilihat pada Tabel 7. dengan R 2=0,87. 4.3. Batasan Untuk memvalidasi persamaan penentuan Batasan yang harus dipenuhi untuk recovery factor di atas, dilakukan dengan berlakunya persamaan ini adalah cakupan data memasukkan salah satu data hasil simulasi yang digunakan untuk input penentuan persamaan reservoir yang kira-kira data tersebut berada di tersebut, yaitu: tengah selang data persamaan. Untuk itu dibuat suatu model dengan nilai permeabilitas 10 md, 1. Permeabilitas kecil (<50 md) viskositas minyak 10 cp, porositas 10 % ketebalan 2. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cp 30 ft, dan saturasi air 30 %. Dari perhitungan 3. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft) recovery factor dengan menggunakan persamaan 4. Porositas tidak lebih dari 20 % di atas didapat hasil RF = 2,82 % sedangkan 5. Initial water saturation tidak lebih dari 50 % dari hasil simulasi didapat RF sebesar 3,02 %. 6. Berlaku pada reservoir dengan waterooding Perbedaan yang didapat adalah 7 %. Sedangkan untuk perbandingan hasil nilai recovery factor 4.4. Perbandingan Recovery Factor Hasil Korelasi dan Metode Guthrie and Tabel 7. Perbandingan Hasil RF Greenberger Dari korelasi baru yang diperoleh dilakukan perbandingan nilai recovery
145 V. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan
Gambar 35. Perbandingan RF Guthrie vs RF Korelasi
factor jika dilakukan dengan metode Guthrie and Greenberger dan dengan metode simulasi. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6, dan Gambar 35. Dari gambar dan table tersebut dilihat bahwa nilai recovery factor untuk RF Guthrie menunjukkan hasil berbeda jika dibandingkan dengan RF Korelasi. Perhitungan RF dengan metode Guthrie and Greenberger dilakukan pada reservoir dengan water drive sedangkan RF korelasi dilakukan pada reservoir dengan waterooding. Perbedaan hasil RF antara kedua metode tersebut diduga karena pada skenario yang dilakukan pada prediksi, waterooding yang dilakukan pada reservoir ini tidak terlalu berpengaruh besar dalam usaha meningkatkan perolehan produksi kumulatif minyak sehingga memberikan nilai RF yang lebih kecil dari yang diharapkan.
1. Didapatkan suatu korelasi bar u yang lebih akurat untuk penentuan RF pada reservoir waterooding untuk cakupan data yang digunakan menjadi batasan bagi berlakunya korelasi tersebut. 2. Pada umumnya perhitungan RF dengan menggunakan korelasi baru mempunyai nilai yang lebih kecil daripada RF dengan metode Guthrie and Greenberger. 3. Korelasi baru dapat memperbaiki korelasi Guthrie and Greenbergur sebesar 15.29 %. 4. Korelasi baru tersebut dapat digunakan untuk menentukan nilai RF pada reservoir dengan batasan sebagai berikut: a. Permeabilitas kecil (<50 md) b. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cp c. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft) d. Porositas tidak lebih dari 20 % e. Initial water saturation tidak lebih dari 50 % f. Berlaku pada reservoir dengan waterooding Saran
Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan data hasil simulasi yang lebih banyak agar korelasi yang dihasilkan dapat mencakup range data yang lebih luas.
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada Acknowledgement penentuan recovery factor pada lapangan ini, Penulis mengucapkan rasa syukur dan terima korelasi baru memberikan hasil yang lebih kasih kepada Allah SWT, kedua orang tua, dan mendekati dengan hasil simulasi dibandingkan keluarga atas doa dan dukungannya. Penulis dengan metode Guthrie and Greenberger. RF juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. yang dihitung dengan menggunakan persamaan Tutuka Ariadji selaku dosen pembimbing tugas Guthrie menghasilkan nilai sebesar 12,76 %, akhir dan juga kepada Dedy Irawan, ST, MT sedangkan jika dihitung dengan menggunakan selaku pembimbing kedua, atas segala bantuan dan korelasi baru sebesar 7,8 %. Hasil tersebut bimbingannya selama ini. Terima kasih tak lupa dibandingkan dengan RF yang diprediksi jika diucapkan kepada Kosdar Gideon Haro, ST, atas dilakukan pada model simulasi base case sebesar segala bantuan dan dukungannya sehingga tugas 9,55 %. Perbedaan nilai RF antara Guthrie dan akhir ini dapat diselesaikan, Nurriffar Kritia simulasi sebesar 33,64 %, sedangkan perbedaan Audhy, sahabat yang selalu mendukung dalam antara korelasi baru dengan simulasi sebesar masa-masa sulit, Bapak dan Ibu Tata Usaha 18,36 %. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Teknik Perminyakan ITB yang selalu memberi korelasi baru dapat memberikan perbaikan nilai semangat, dan juga kepada seluruh teman – RF sebesar 15,29 %. teman teknik perminyakan ITB angkatan 2005, teman – teman HMTM PATRA ITB, dan semua orang yang tidak bisa disebutkan namanya satu
146 per satu, terima kasih banyak atas bantuan dan doanya.
Daftar Simbol
Rs Bo
= =
μo RF k h φ Swi Np
= = = = = = =
IOIP =
Kadar gas terlarut, SCF/STB Faktor volume formasi minyak, res bbl STB Viskositas minyak, cp Recovery factor , % Permeabilitas, md Pay zone, ft porositas, % Saturasi air awal, % Produksi kumulatif minyak, STB/D Initial Oil In Place, STB
Daftar Pustaka
Guthrie, R.K., and Greenberg-er, M.H., March, 1955: "Ihe Use of Multiple Correlation Analyses for Inter-preting Petroleum Engineering Data," API Paper 901-31-G, New Orleans, La. Arps, J. J., and Roberts, T. G.:"The Effect of the Relative Per-meability Ratio, the Oil Gravity, and the Solution Gas-Oil Ratio on the Primary Recovery from a Depletion Type Reservoir," Trans.AlME (1955)204,120 Aprs, J.J., 1986: Estimation of Primary Oil Reserves," Petroleum Transactions, T.P. 4331 Vol. 207. Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir I. Bandung. Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir II. Bandung. Carcoana, A. 1992. “Applied Enhanced Oil Recovery”, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Siregar, S. 2000. “Teknik Peningkatan Perolehan”, Departemen Teknik Perminyakan ITB.
Aplikasi Inside Gravel Packing Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan Electrical Submersible Pump Sebagai Metode Sembur Buatan Oleh: Dwi Hermanto S, Alvianti Dwi P Jurusan Teknik Perminyakan, UPN “Veteran” Yogyakarta, Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condong Catur Yogyakarta 55283 Telp: +6285715480251 email:
[email protected],
[email protected]
Sari
Permasalahan produksi yang berhubungan dengan terproduksinya pasir serta partikel-partikel halus formasi lainnya merupakan hal yang sering terjadi pada sumur-sumur produksi di lapangan minyak manapun. Masalah ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi sumur dan kehilangan produksi sumur bila terjadi kerusakan pada peralatan produksi dan penyumbatan pada daerah perforasi. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah masalah tersebut adalah dengan menurunkan laju produksi dibawah laju alir kritis kepasiran pada formasi, namun hal tersebut akan menyebabkan produksi sumur yang tidak optimum dan tidak menjadi jaminan pasir formasi tidak akan ikut terproduksi dengan terjadinya peningkatan produksi air dan penurunan tekanan pada reservoir selama waktu produksi. Oleh karena itu upaya penanggulangan untuk mengatasi masalah kepasiran harus dilakukan sedini mungkin dengan memperhatikan karakteristik formasinya. Inside gravel packing (IGP) adalah salah satu metode yang diterapkan sebagai sand control (pengendalian pasir). Hal ini dilakukan karena dapat memperbaiki kestabilan formasi, namun penerapan IGP akan menurunkan produktitas sumur sehingga diterapkan electrical submersible pump (ESP) untuk memperbaiki produktitas sumur. Hasil tes produksi menunjukkan IGP efektif untuk mencegah terproduksinya pasir dan menghindarkan sumur dari kerusakan yang akan mengganggu produksi sumur meskipun diterapkan ESP sebagai metode sembur buatan untuk meningkatkan produktitas sumur akan berakibat pada meningkatnya biaya operasi. Kata Kunci: inside gravel packing , kepasiran, ESP, laju alir optimum
Abstract
Problems associated with sand and ne particles production often occur in oil eld. This problem caused declining and even losing of production rate in the event of damage to production equipment and blockage of the perforation area. Effort to minimize sand production by reducing production rate below sand critical ow rate, will lead to un-optimum production and there is no guarantee that sand will not be reproduced again if water production increase and reservoir pressure decrease during production life. Therefore, preventive efforts to overcome sand problem should be done as early as possible with due regard to the characteristics of the formation. Inside gravel packing (IGP) is one method of sand control. It can improve stability of the formation, but the application of the IGP will reduce productivity so electrical submergible pump (ESP) is applied to improve the well productivity. Production test indicated that application IGP is effective to prevent sand production and prevent well from damage that would disrupt production although when ESP is applied as a method of the articial lift it will increase operating cost. Keywords: inside gravel packing, sand problem, ESP, optimum production rate
147
148 Pendahuluan
Masalah Kepasiran Di sumur “X”
Sumur X adalah salah satu sumur Beberapa kecenderungan yang diamati produksi pada lapangan Y. Dimana pada sumur pada sumur X yang menyebabkan ikut ini memiliki formasi produktif Talang Akar dan terproduksinya pasir kepermukaan adalah: Baturaja. Hasil uji kandung lapisan (DST) yang dilakukan pada akhir tahun 1975 pada sumur 1. Karakteristik Formasi: Dari beberapa parameter yang dianalisa dari ini diperoleh 32 barrel minyak dari formasi keadaan formasi pada sumur X diketahui Baturaja dan 7650 barrel dari formasi Talang bahwa formasinya sedikit tersementasi Akar. Pada awal produksinya pertengahan tahun sehingga menyebabkan kekompakan formasi 1976 produksi dilakukan secara commingle dari cukup lemah. Hal ini terjadi karena memiliki kedua formasi tersebut dengan menerapkan ESP faktor sementasi sebesar 1,7 pada formasi sebagai metode sembur buatan tanpa ada metode batu pasir yang memiliki porositas lebih pencegahan kepasiran. Awal sumur ini diproduksi besar dari 20% (Tabel 1). Formasinya juga diperoleh laju produksi minyak 5100 BOPD. memiliki kandungan lempung yang cukup Seiring waktu produksi maka pada awal tahun tinggi sebesar 18% dimana range 5% 1977 sumur tersebut mulai mengalami masalah 20% sangat beresiko terjadinya kepasiran terutama kepasiran, hal ini sebenarnya telah namun formasi tersebut memiliki kekuatan teridentikasikan saat penggantian ESP akibat formasi yang cukup baik sehingga formasi kepasiran pada waktu awal diproduksikan namun dapat menjaga kestabilannya selama proses kepasiran mulai mengganggu produktitas sumur produksi meskipun pasir ikut terproduksi. sejak awal tahun 1977 karena terjadi kerusakan ESP yang berulang hanya dalam waktu singkat 2. Laju Alir Produksi: sekitar 7 – 12 hari. Pada sumur X diterapkan ESP sebagai metode Penanggulangan awal yang dilakukan sembur buatannya dimana penerapan metode untuk mengatasi kepasiran tersebut adalah Tabel 1. Deskripsi sementasi batuan (Econo-mides, M.J, dengan melakukan pembersihan disekitar daerah 1993) perforasi. Pada bulan Mei 1977 sumur mengalami penurunan produktitas karena kepasiran Cementation menjadi 1000 BOPD dengan water cut 20% Rock Description Factor, m sehingga dilakukan kerja ulang mengkonsolidasi pasir dengan metode kimia menggunakan sand consolidation pada bulan Agustus 1977. Namun Unconsolidated Rocks 1.3 (loose sand, oolitic, limestone) metode sand consolidation tersebut rusak pada Juli 1978 sehingga pada akhir Agustus 1978 dilakukan kerja ulang. Pekerjaan ini menurunkan Very Slightly Cemented produktitas sumur dari 2000 BFPD menjadi (Gulf coast type sand, except 1.4-1.5 Wilcox) 500 BFPD. Untuk menanggulangi kehilangan produktitas sumur maka dilakukan pekerjaan pekerjaan pengasaman (acidizing ) untuk Slighly Cemented (most sands with 20% porosity 1.6-1.7 memperbaiki plugging (penyumbat) disekitar or more) zona perforasi. Oktober 1978 dilakukan penutupan pada zona perforasi Baturaja karena tidak memberikan kontribusi yang signikan Moderately Cemented (highly consolidated sands of 1.8-1.9 terhadap produksi berdasarkan data Drill Stem 15% porosity or less) Test (DST) terakhir yang dilakukan pada sumur tersebut. Hingga pada April 1979 dilakukanlah pemasangan IGP untuk menanggulangi kepasiran Highly Cemented (low-porosity sands, quartzite, dan secara bersamaan diterapkan ESP untuk 2.0-2.2 limestone, dolomite of meningkatkan produktitas sumur. intergranular porosity, chalk)
149 tersebut diterapkan untuk mendapatkan laju alir yang maksimum dimana terkadang laju alir produksi aktualnya melebihi nilai dari sand critical rate (laju alir kritis kepasiran) sumur itu sendiri, dimana besar laju alir kritis dari formasi Talang Akar pada sumur tersebut adalah 2303 BFPD. Nilai tersebut didapatkan berdasarkan metode berikut:
K N G A Q Z = 0 ,025 x10 −6 Z Z Z Z B Z µ Z At
................ (1)
Dimana: Qz Kz Nz Gz Bz µz Az At
: : : : : : :
Laju alir tanpa kepasiran, stb/day Permeabilitas formasi, mD Jumlah Lubang Perforasi Modulus geser, psi FVF, bbl/stb Viskositas minyak, cp Luas kelengkungan butir pasir saat pengamatan, ft2 : Luas kelengkungan butir pasir saat test, ft2
yang menjaga perlapisan dari formasi akan menghilang. Hal tersebut akan meningkatkan stress pada formasi tersebut dimana kondisi inisial formasi tersebut mengimbangi tekanan overburden dari lapisan diatasnya sehingga saat sumur diproduksikan maka terjadi pengurangan tekanan formasi untuk mengimbangi tekanan overburden tersebut sehingga stress terhadap formasi tersebut akan lebih besar daripada sebelumnya sehigga akan mempengaruhi kestabilan formasi. Pada saat bersamaan butiran pasir formasi akan pecah dan terlepas dari matrik atau mungkin hancur, sehingga menyebabkan nes (partikel kecil) akan ikut terproduksi bersama uida produksi. Bila pasir formasi tidak terkontrol dan ikut berproduksi maka akan menyebabkan beberapa hal, antara lain: a. Terakumulasinya pasir diperalatan permukaan; b. Terakumulasi pasir dilubang sumur; c. Erosi pada peralatan dipermukaan dan dibawah permukaan; d. Keruntuhan pada formasi.
Bila laju alir aktual sumur tersebut melebihi besar laju alir kritisnya maka pasir formasi dan Penerapan IGP dan ESP partikel kecil formasi akan ikut terproduksi Pada sumur X pada awalnya digunakan bersamaan dengan uida produksi karena besarnya gaya seret yang diterima oleh metode sand consolidation untuk menanggulangi butir pasir formasi. Hal ini terjadi pada awal terjadinya kepasiran pada sumur tersebut. sumur diproduksi karena tidak menerapkan Metode ini diterapkan pada interval formasi metode untuk mengontrol kepasiran dan laju produktifnya. Metode ini diterapkan untuk alir aktualnya yang lebih besar dari laju alir meningkatkan kestabilan dan pengepakan dari formasi dengan memperbaiki konsolidasi butiran kritisnya. dan sementasi batuan. Namun metode ini tidak 3. Meningkatnya produksi air: efektif diterapkan karena hanya tergantung Bertambahnya produksi air maka akan pada kerekatan resin antara butir-butir pasir, meningkatkan total uida produksi untuk sehingga saat sumur diupayakan mendapat menjaga produksi minyak atau gas sehingga akan meningkatkan gaya seret yang melalui pasir sehingga akan mempengaruhi kestabilan butir pasir formasi dan peningkatan produksi pasir akan menyebabkan lempung sebagai penyemen pada pasir formasi akan mengembang dan melunak sehingga menyebabkan pasir terlepas. 4. Pengaruh Tekanan Formasi: Selama masa produksi maka tekanan formasi akan semakin menurun sehingga tekanan
Gambar 1. Laju produksi sumur X saat penerapan sand consolidation tahun 1977-1978
150 produksi yang besar maka hal tersebut memberikan seragam karena besar nilai d40/d90 kurang dari 5 gaya seret yang besar terhadap kerekatan butir- (berdasarkan Schwartz), sehingga didapatkan butir pasir. Sehingga menyebabkan butiran pasir ukuran gravel yang akan digunakan adalah 20/40 formasi terlepas sehingga menurunkan kestabilan US Mesh dan ukuran screen yang digunakan formasi. Metode ini diterapkan pada Agustus yang sesuai dengan komplesi sumur (Gambar 3) 1977 dan gagal pada Juli 1978 karena tidak cukup adalah 0,012 in – 0,016 in dengan diameter luar kuat untuk menahan butiran pasir saat sumur maksimum adalah 5 1/2 in. diupayakan untuk mendapatkan laju alir yang Penempatan gravel dilakukan dengan cara besar, sehingga pasir terakumulasi pada interval crossover . Tujuan utama yang ingin dicapai dari perforasi dan merusak ESP (Gambar 1). penerapan IGP adalah untuk mencegah runtuhnya Sehingga untuk menanggulangi masalah formasi, mencegah kerusakan peralatan produksi, kepasiran pada sumur X maka diterapkan IGP, karena metode ini merupakan penanggulangan kepasiran secara mekanis sehingga selain meningkatkan kestabilan butir-butir formasi juga lebih stabil terhadap gaya seret yang terjadi antara uida dan butir-butir pasir formasi saat diupayakan mendapatkan laju alir yang lebih besar (diatas laju alir kepasirannya), meningkatkan kestabilan formasi dan lebih tahan terhadap gaya seret dari uida produksi. Untuk mendapatkan hasil yang optimum dari penerapan IGP maka dilakukan analisa terhadap butir pasir formasi dengan sieve analysis sehingga didapatkan distribusi pasir formasi (Tabel 2 dan Gambar 2). Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa pemilahan ukuran butir pasir formasi adalah Tabel 2. Hasil analisa butir pasir formasi sumur X
Gambar 3. Komplesi sumur X (Data Internal, 1979)
Gambar 2. Distribusi kumulatif pasir formasi
Gambar 4. Skema inside gravel packing (Kermit E.Brown, 1984)
151 mencegah ikut terproduksinya pasir setelah terjadinya penurunan tekanan formasi dan peningkatan produksi air. Pemasangan IGP sangat berpengaruh terhadap penurunan produktitas formasi karena memperbesar penurunan tekanan yang melalui komplesi tersebut karena terjadi penghambatan dari formasi menuju lubang sumur (Gambar 4).
Gambar 5. ΔP Komplesi sumur X
Sehingga diperlukan pemasangan ESP sebagai metode sembur buatan untuk memperbaiki masalah itu. Pada awal penerapan IGP diterapkan juga ESP G2700-83 stages, 120 HP pada kedalaman 4100 MD sehingga didapatkan laju alir optimum 1200 BFPD dengan penurunan tekanan didaerah komplesi sebesar 20 psi sehingga tekanan laju alirnya manjadi 430 psi pada saat water cut 50% (Gambar 5). Sejak awal penerapan IGP, sumur X tidak
Gambar 6. Sejarah produksi sumur X
pernah mengalami problem akibat kepasiran meskipun pada periode 1991-1994 produksi sumur X diatas laju alir kritis kepasirannya (Gambar 6). Pekerjaan perawatan pada sumur X
hanya seputar penggantian ukuran ESP untuk mendapatkan laju alir yang optimum tanpa harus khawatir ESP akan mengalami kerusakan akibat kepasiran. Diskusi
Masalah kepasiran pada sumur X menyebabkan banyak sekali masalah operasi. Hal utama yang disebabkan adalah sulitnya mempertahankan laju alir yang tinggi. Secara mekanis kepasiran dapat diatasi oleh penerapan IGP sehingga kekhawatiran terhadap runtuhnya formasi dapat dihindarkan. IGP tidak mengalami kerusakan sejak awal diterapkannya 1979 hingga 2010 (akhir analisa), meskipun mengalami uktuasi laju alir produksi saat diatas laju alir kepasirannya tahun 1991-1994. IGP akan memberikan produktitas yang lebih baik bila pada komplesi diterapkan densitas perforasi yang besar dan penggunaan ESP yang optimum, karena hal ini akan menurunkan penurunan tekanan didaerah komplesi dan meningkatkan produktitas sumur. Penerapan IGP menyebabkan masa pakai peralatan produksi menjadi lebih lama dari pada sebelum penerapan IGP dan memperbaiki kestabilan dari formasi. Kesimpulan
1. Berdasarkan evaluasi dari karakteristik formasinya sumur X berpotensi terjadinya masalah kepasiran. 2. Hasil analisa butir pasir formasi diketahui pasir formasi memiliki keseragaman yang baik, didapatkan ukuran gravel yang digunakan 20-40 US Mesh dan ukuran celah screen yang digunakan 0,012 in – 0,016 in/ OD. 5 ½ in. 3. IGP sangat efektif untuk menanggulangi masalah kepasiran pada sumur X, sejak 1979-2010. 4. Metode IGP lebih tahan terhadap gaya seret uida produksi dibandingkan dengan metode sand consolidation. 5. Setelah penerapan IGP, kepasiran yang terjadi saat laju alir aktual diatas laju alir produksi kritis tidak berdampak kurang baik terhadap proses produksi. 6. Penerapan IGP menyebabkan terjadinya penurunan tekanan 20 psi dengan laju alir optimum 1200 BFPD.
152 7. Densitas perforasi pada sumur X mempengaruhi besar penurunan tekanan, semakin besar densitas maka semakin kecil penurunan tekanannya. Acuan
Data internal perusahaan. Economides, M.J., Hill, A.D. and Economides C.E.,1993. Petroleum Production System. Prentice Hall PTR, New Jersey, h.119-132. Kermit E.Brown. et al. 1984. Technology of Articial Lift Methods, Vol.4. Tulsa, Oklahoma. PennWell Books. Syahrani. dkk. 2001. Aplikasi Slotted Liner Completion sebagai Sand Control pada Sumur-sumur Horizontal Dilapangan Attaka Unocal Indonesia, Proceeding Simposium Nasional IATMI, Yogyakarta 3-5 Oktober. Sparlin D.D.1993. Sand Control, Internationnal Training and Development, Houston. William K. and Joe D.W. 2003. World Oil-Modern Sandface Completion Practices Handbook. 2nd Ed. Gulf Publishing, Houston, Texas.
Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for Developing Oil in Monobore Well Completion Ari Tauq Kramadibrata(1), Pahala Panjaitan (1), Sumaryanto (1) (1) Production Engineers in VICO Indonesia. Wisma Mulia, Lt.48-49. Jl. Jendral Gatot Subroto No.42, Jakarta-12710 Telp: +62215236000, email:
[email protected] Abstract
VICO Indonesia is an oil and gas company that has operated the Sanga-Sanga PSC in East Kalimantan, Indonesia, since 1968. The continues focus on optimizing production and maximizing reserves recovery has resulted in opportunities today to further develop the proportionally smaller number of oil reservoirs. Based on reservoir studies, the oil recovery factor today is in the range of 10-15% indicating that signicant opportunities still remain. To recover the oil zone gas lift system has been established, one particular challenge of which is how to apply gas lift into monobore wells which cannot house gas lift mandrel like any other conventional tubing installation. An improvised method to overcome this challenge has been applied. This method does not require wells to be re-completed with a rig leading to a signicant cost benet. Within VICO this application is known as “permanent coil tubing gas lift” or PCTGL. The results up to present date indicate that this method is very successful in delivering incremental oil production at a much lower cost compared to retrotting the tubing with gas lift valves using a work-over rig. As an example, well N-254L was a well not capable of owing naturally. However, after PCTGL installation, its production has been re-established at an initial rate of 345 BOPD. This paper discusses VICO’s PCTGL program and some of its example result to date including details of design, actions taken to overcome the implementation’s challenges, and the overall results. Keywords: permanent coil tubing gas lift, monobore well, absence of mandrel, cost efciency
Sari
VICO Indonesia adalah perusahaan minyak yang telah beroperasi di Wilayah Kerja SangaSanga Kalimantan Timur Indonesia sejak 1968. Fokus secara kontinu dalam mengoptimisasi dan meningkatkan perolehan telah menghasilkan beberapa potensi untuk mengembangkan beberapa reservoar minyak. Berdasarkan kajian reservoar, tingkat perolehan minyak saat ini masih berada di angka 10-15% yang mengindikasikan bahwa potensi minyak masih ada. Untuk memperoleh zona minyak tersebut suatu sistem pengangkatan buatan dengan gas telah dibuat. Salah satu kendala dalam mengapli-kasikan sistem pengangkatan gas (gas lift) konvensional pada sumur monobore adalah tidak bisa dipasangnya mandrel seperti di sumur konvensional. Untuk mengatasi hal te rsebut suatu improvisasi pada metode pengangkatan gas konvensional telah diaplikasikan. Metode ini tidak mengharuskan dilakukannya kerja ulang (workover) dengan menggunakan menara bor sehingga dapat menghemat biaya. Di VICO metode ini disebut sebagai “permanent coil tubing gas lift” atau PCTGL. Sebagai hasilnya, metode ini mampu meningkatkan produksi minyak dengan biaya lebih rendah dibandingkan dengan pemasangan mandrel setelah kerja ulang sumur. Sebagai contoh, sumur N-254L yang pada awalnya tidak mampu mengalir secara alami, setelah dilakukan pemasangan PCTGL mampu untuk mengalirkan 345 BOPD. Tulisan ini menyajikan program PCTGL di VICO, desain secara detail, kiat-kiat yang diambil dalam mengatasi masalah, dan hasil yang didapat secara keseluruhan. Kata Kunci: permanent coil tubing gas lift, monobore, ketiadaan mandrel, esiensi biaya 153
154 I. INTRODUCTION
Geologically, oil deposits are usually found in D and E Sands at depth approximately 8,000 – 11,000 feet. Much of oil properties are light oil with API degrees of 32 – 35.
VICO Indonesia is one of major oil and gas companies in Indonesia. It has been operating in Sanga-sanga Block East Kalimantan since 1968. Currently, there are 7 elds operated by VICO: II. COMPLETION TYPE AND ARTIFICIAL Badak, Semberah, Nilam, Lampake, Mutiara, LIFT METHOD Pamaguan, and Beras. Current overall production As the largest gas producer for VICO Indonesia, is 430 MMSCFD and 15,000 BOPD including Nilam Operations owns 304 wells (active and condensate (VICO Indonesia, 2010a, 2010b). non-active) within the Nilam area, and 9 wells Nilam is one of the elds that contribute oil. There within the Lampake area. These wells can be are 16 strings which produce approximately 1,700 categorized into the following BOPD. Nilam Field covers up 85 km2 area (Figure 1). Monobore Wells Due to its swampy terrain and overstretched area, A monobore well is a well that uses a large Nilam has 5 Satellites. Each Satellite has separator production casing. Most applications use a test and some have compressor to transport gas to production casing with a diameter of 3-1/2” Central Plant. and 4-1/2”. The philosophy used in the monobore well is to obtain an extreme under balanced condition during the initial perforation. Other than that, the monobore well method may achieve a higher gas ow, due to the restriction factor caused by the small production tubing diameter. Unfortunately however, monobore wells have no mandrel to house the gas lift valve. Thus, it is impossible to inject gas lift gas. Conventional Wells
Conventional wells typically utilize production tubing of diameter 2-7/8” or 3-1/2”. Within one casing, two production tubing systems may be installed, namely the upper (short string) and the lower (short string) system. The advantage of using this system is the exibility to obtain production from potential zones. In addition, if in fact the zone turns out to contain oil with insufcient natural pressure, a side pocket mandrel (SPM) can be placed through which gas lift is injected to assist the liquids lifting within the well. Oil Well Articial Lift
The basic concept of gas lift is to decrease pressure gradient along wellbore. By decreasing pressure gradient, well owing pressure (Pwf ) will be lower. The intersection between inow and outow in the inow performance relationship Figure 1. Nilam area – VICO Indonesia (VICO Indonesia, (IPR) result in higher ow rate (Begg, 1991). 2010a) The equation of pressure gradient inside tubing
155 can be written (Begg, 1991):
dp dp = + dL dL el dL f dp
Where
dp + dL acc
(Eq. 1)
dp dL is the pressure gradient due to ele el dp is due to viscous shear and dL f
vation change,
dp is due to kinetic energy dL acc
mandrel in which we can introduce gas lift gas into the production tubing. Monobore has no annulus to transport gas downward and PCTGL is applied to deliver the lifting gas into the bottom hole. PCTGL is essentially steel tubing with one inch in diameter and has a nozzle at the end of its tail. A special well head is put through which we can inject gas lift into the swab valve and produce the string through wing valve.
Figure 2 shows the bottom hole assembly (BHA) with PCTGL joint. It consists of nozzle, change. Assuming there is kinetic energy change, centralizer, check valves, nipple, and coil tubing (CT) connector. Equation 1 can be rewritten: 2 Flapper is housed inside check valve to prevent Cf ρ m ( qL + q g ) (Eq. 2) dp back ow from annulus into coil tubing. A nipple = ρ L H L + ρ g (1 − H L ) + 2 dL d is placed above check valves where a special tool There are several factors affecting pressure called ‘dart’ (Figure 3) can be inserted when the PCTGL is to be pulled out from the wellbore. gradient inside tubing; friction loss and
Liquid Flow Rate Increasing ow rate means increasing uid velocity. This resulted in increasing friction factor and Hold Up factor. Gas/Liquid Ratio (GLR) GLR has the most effect on two-phase owing pressure gradient because it decreases HL. Water Cut Water cut may affect liquid density thus increasing friction loss. Liquid Viscosity Liquid viscosity can increase HL and shearing stress. Tubing Diameter and Slippage Increasing tubing size means to decrease pressure drop. Gas lift aims to change GLR by injecting gas into the wellbore at certain depth. This method increases GLR and lowering P wf . III. PERMANENT COIL TUBING GAS LIFT (PCTGL) APPLICATION
One constraint in performing gas lift in monobore is that we do not have gas lift valve or side pocket
Figure 2. 1.5” coil tubing BHA (VICO Indonesia, 2010a)
156
Figure 4. Result of pressure gradient survey (VICO Indonesia, 2010b) Figure 3. Dart that will be inserted inside nipple for pulling out PCTGL (VICO Indonesia, 2010a)
in order to optimize and control the gas lift operation. Reactivation of N-254 was performed by these steps: 1. choke wing valve with 11/16 and open well to burn pit 2. Inject PCTGL with gas lift pressure 1,750 psig 3. gradually open the choke, and 4. put wing valve back to production system
Well N-254L was chosen as an ideal PCTGL test case due to its distinctive rate history and completion (VICO Indonesia, 2010b). After perforating D-59 zone, the rate was 3,900 BOPD, 0 BWPD, and 4 MMSCFD associated gas. After 5 days of production, water cut increased up to 17% after which the well died. Static gradient shows column of oil from depth 0 to 12,000 feet Nodal analysis was also made to model the well’s (Figure 4). After assessing D-59 reserve and IPR and gas lift performance curve (GLPC). N-254L’s 3.5 inch monobore, it is concluded that After reactivation and put into test production of performing gas lift is economical. Construction 345 BOPD, 1,610 BWPD (82.3% watercut), 0.3 of 2” gas lift line and installation of PCTGL was MMSCFD of associated gas was obtained after therefore initialized. injection of 0.9 MMSCFD gas lift gas. To calculate the injection depth, nodal analysis Optimization is at present still being carried (Baker Hughes, 2010) was carried out supported on with result of 127 BOPD, 0.2 MMSCFD by the use of PROSPER™ software package associated gas, and 87% water cut after 4 months (PROSPER, 2010). Pressure vs. depth plot is of production using PCTGL. Following this shown in Figure 5. success, VICO plans to add further 15 PCTGL Well sketch conguration in N-254L is depicted in Figure 6 (presented at the end of the paper).
installations, four of them are suited to 4.5’’ monobores.
Coil tubing is inserted into swab valve and connected into 2’’ gas lift line. The conguration Safety Consideration of surface can be seen in Figure 7 (presented at To ensure safety operation at the surface the back of the paper) production system, two ball valves with ANSI Pressure control valve (PCV) was also installed 1500 and one PCV ANSI 1500 were utilized.
157
Coiled Tubing Data Maximum Gas Available Maximum Gas During Unloading Flowing Top Node Pressure Unloading Top Node Pressure Operating Injection Pressure Kick Off Injection Pressure Desired dP Across Valve Maximum Depth of Injection Water Cut Static Gradient of Load Fluid Total GOR Maximum Liquid Rate Check Rate Conformance with IPR Use IPR for Unloading Orifice Sizing Surface Equipment Correlation Vertical Lift Correlation Coiled Tubing Design Results Design Liquid Rate Design Oil Rate Actual Injected Gas Rate Actual Injection Pressure Orifice Size Kick-Off Injection Depth Maximum Operating Depth
4 4 150 30 1750 1800 250 6000 80 0.37 1600 6000 yes yes Calculated dP@Orifice Beggs and Brill Petroleum Experts 2
1684 337 1.755 1750 14 5663.2 6000
MMscfd MMscfd psig psig psig psig psig feet percent psi/ft scf/STB STB/day
Inflow Type Completion Type Sand Control Gas Coning Reservoir Model M&G Skin Model Compaction Permeability Relative Permeability Formation PI Absolute Open Flow (AOF) Reservoir Pressure Reservoir Temperature Water Cut Total GOR Reservoir Permeability
STB/day STB/day MMscfd psig 64ths inch feet feet
Figure 5. Pressure vs. depth plot during unloading and PCTGL operation (PROSPER, 2010)
Single Branch Cased Hole None No Darcy Skin by Hand No No 10.43 11094 2600 220 88 1500 294
STB/day/psi STB/day psig deg F percent scf/STB md
158
Figure 6. Well N-254L sketch conguration (Vico Indonesia, 2010a)
159
(a)
(b)
Figure 7 (a) Surface conguration of PCTGL consisting of (A) block X-mast tree supports tee-spool; (B) CT hanger; (C) PCTGL gripped by donut; and (D) CT slip. (b) PCTGL surface picture of well N-254L. (VICO Indonesia, 2010a)
160
Challenges
The challenge of using PCTGL is that PCTGL depth must be optimized in terms of liquid level. Declining reservoir pressure may result in lower liquid level with a consequence that gas lift operation must be set lower. PCTGL can still be retrieved using coil tubing unit. However, possibility of scale plugging in the nozzles must be taken into consideration in case that there is no pressure communication between PCTGL and annulus. Special attention has to be taken to understand the nature of scales in the wellbore and the most appropriate manner to prevent their generation. IV. SUMMARY
1. PCTGL is proven method of gas lifting in monobore wells. In Nilam case, 345 BOPD is gained from a dead monobore oil well and subsequently the well still produced 127 BOPD after four months of PCTGL installation. 2. Flow restriction occurs when nozzle get plugged by scale because of which the PCTGL unit has to be retrieved and serviced/cleaned. 3. Continuous optimization of PCTGL depth has to be carried out due to continuous decline of reservoir pressure. ACKNOWLEDGEMENTS The authors would like to thank Pak Bambang Ismanto and Mr. Bill Turnbull from VICO Indonesia for encouraging the writing of this paper. NOMENCLATURE r L = liquid density r g =
gas density
H L = Hold-up factor C = Constant f = friction factor r
m
= density of mixture
q L = liquid rate q g = gas rate
d = diameter of pipe REFERENCES
Baker Hughes (2010). Coil Tubing Solutions, Baker Hughes Manual Handbook, Houston, Texas. Beggs, D. (1991). Optimization using Nodal Analysis, OGCI and Petroskills Publications, Tulsa, Oklahoma. Prosper (software) (2010), Petroleum Experts, Edinburgh, United Kingdom. Vico Indonesia (2010a). Nilam Field Database. Unpublished meterial. Vico Indonesia (2010b). Production Rate Data base 2010. Unpublished material.
INDEKS
A absence of mandrel 153 air formasi 113,114,115,116,117,118,119,120 ,121,122 articial intelligence 127 C core sintetik 113,115 cost efciency 153 E esiensi biaya 153 ESP 147,148,149,150,151
G Guthrie and Greenberger Method
133
I inside gravel packing 147,150 K kecerdasan semu 127 kepasiran 113,114,120,147,148,149,150,151 ketiadaan mandrel 153
147,151
M Metode Guthrie and Greenberger 141,144,145 monobore well 153,154,160 O optimum production rate P permanent coil tubing gas lift peta saturasi air 127
113,114,115,116,120
S sand consolidation 113,148,149,151 sand problem 113,114,147 saturasi air 113,115,116,117,118,119,120,127 ,133,134,136,141,143,145 seismic 127,128,129,130,131,132 seismik 127 synthetic core 113 T tahanan jenis formasi 127
F formation true resistivity 127 formation water 113,130
L laju alir optimum
resin epoxy
133,134,
147
153,155
R Recovery factor 133,134,135,139,140,141, 142,143,144,145,153
W Waterooding 133,134,135,137,138,140, 141,143,144,145 water saturation 113,127,128,129,130,131, 132,133,144,145 water-saturation map 127,128
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI PEDOMAN PENULISAN ISI DAN KRITERIA UMUM
Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan ( review) tentang minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dia jukan pada majalah/jurnal lain. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Sari dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan ditolak oleh redaksi dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut.
FORMAT Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul sari, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar acuan diketik satu setengah spasi pada electronic-le dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf ( font ) Times New Roman berukuran 12 point.
Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel. Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut: Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termas uk nomor tele pon dan faks serta alamat e-mail jika ada. Sari. Sari/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sari berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu terperinci dari setiap bab. Sari paling banyak terdiri dari 250 kata. Kata kunci/ keywords ditulis di bawah sari/abstract dan terdiri atas empat hingga enam kata. Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan. Pendahuluan harus berisi latar belakang, maksud dan tujuan, permasalahan, metodologi, serta materi yang diteliti. Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun gam bar. Hindarkan penggunaan grak secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Batasi penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel secara berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan. Pembahasan atau Diskusi . Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan. Kesimpulan dan Saran . Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan. Ucapan Terima Kasih. Dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan untuk memberikan penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian dan atau penulisan laporan. Acuan. Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan: Jurnal
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI PEDOMAN PENULISAN Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20. Buku Abramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications, Inc., New York. Bab dalam Buku Costa, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris ow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J. (eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317. Sari Barberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F., Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983. Mag matic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano, island of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49. Peta Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Prosiding Marhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the Evaluation of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8. Skripsi/Tesis/Disertasi Marhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound ed Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX. Informasi dari Internet Cantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http:// www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006] Software ECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997. Naskah sedapat mungkin dilengkapi dengan gambar/peta/grak/foto. Pemuatan gambar/peta/grak/foto selalu dinyatakan sebagai gambar dan le image yang bersangkutan agar dilampirkan secara terpisah dalam format image (*.jpg) minimal resolusi 300 dpi, Corel Draw (*,cdr), atau Autocad (*,dwg). Gambar dan tabel diletak kan di bagian akhir naskah masing-masing pada halaman terpisah. Gambar dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan bila mendapat persetujuan dari penulisnya.
PENGIRIMAN
Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya ( le) di dalam compact disk (CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama dokumen. Naskah akan ditolak tanpa proses jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar dikirimkan ke pada: Redaksi Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi d.a. Patra Ofce Tower Lt. 1 Ruang 1C Jln. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34 Jakarta 12950 – Indonesia Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi ( corre sponding author ) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk suratmenyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis korespondensi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh seluruh anggota penulis dengan pernyataan secara tertulis.