ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 2, Oktober 2013
JURNAL ARSITE ARSITEKTUR KTUR & PERENCA PERENCANAAN NAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 2, Oktober 2013
JURNAL ARSITE ARSITEKTUR KTUR & PERENC PERENCANAAN ANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP) (JOURNAL OF ARCHITECTURE AND PLANNING STUDIES)
Editorial Board: Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. Diananta Pramitasari, ST., M.Eng., Ph.D.
Managing Director: Syam Rachma Marcillia, ST., M.Eng., Ph.D.
Editorial Assistant: Nadia Aghnia Fadhillah
Editorial and Distribution Address: Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No.2, Yogyakarta, 55281, Indonesia Telp.: +62 274 902320/902321 Fax.: +62 274 580854 Website: www.archiplan.ugm.ac.id E-mail:
[email protected],
[email protected]
i
ii
CONTENTS
Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacked A rch Dome (SAD) __ 01 Agus Hariyadi, Kurnia Widiastuti Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali di Yogyakarta______ 11 Ahmad Saifullah Malangyudo , T.Yoyok Wahyu Subroto Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang____________________ 20 Arief Fadhilah, Titien Woro Murtini, Bambang Supriyadi Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan Sungai Code Yogyakarta_____________ 28 Ashri Amalia Hadi
Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air_____________ _ 35 di Kota Depok Hendro Pratikno, Mussadun Adaptive Reuse Design of Historic Context___________________________________________ 44 Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan Kurnia Widiastuti, Atsushi Deguchi
iii
iv
Stacked d Ar ch D ome (SAD) Model Perancangan Parametrik Struktur Beton dengan Sistem Stacke
Agus Hariyadi1, Kurnia Widiastuti Widiastuti1, Zaqi Fathis2, Zuardin Akbar 2, Dhoni Yudhant Yudhanto o2, Atika Nur Fitriana2, Rovinida Fitriana2, Dea Mahsa Talitha 2 1
Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Mahasiswa, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2
Abstract Structure and construction plays an important role in architecture, particularly at the introduction of a variety of structural systems, one of them was stacked arch dome (SAD). However, in architectual research, there was a new modelling system, called parametric, which is used to create high level of complexity architectural design. It design. It could be used to create create varoius varoius complexity form, which couldn’t couldn’t be build by coventional modelling system. This research present the potential of a new modelling system, called parametric to build a stacked arch dome structural system creatively. The aim of this research is to design a prefabrication parametric structure structure by using SAD structural system using concrete materials. Parametric Parametric modelling system is used to obtain the best design from several alternatives. Then, selected design is fabricated to analize structural performance. performance. Keywords : stacked arch arch dome, dome, parametric, prefabri prefabrication, cation, concret concretee
I. Latar Belakang 1.1. Sta Stacked cked Ar ch D ome (SAD) Sistem SAD merupakan sistem struktur yang terdiri atas beberapa baris tumpukan unit lengkung penyangga struktur yang membentuk segi banyak sisi pada denahnya [Moussavi, 2009]. Pada prinsipnya sistem ini dimulai dari bagian atas yang berupa cincin yang menjadi penyangga unit lengkung teratas. Masing-masing unit lengkung penyangga saling bertum pu dan berotasi b erotasi sehingga unit bertumpu pada tepat di titik puncak tengah unit. Di bagian terbawah, sistem ini diakhiri dengan elemen/batu pengunci pada bagian dasarnya.
Sistem SAD menghasilkan efek yang terkesan menyerupai pola jaring atau jala. Oleh karena itu, sistem ini merupakan desain struktur yang berfungsi pula secara estetik pada ruang di dalamnya. Pada kasus lain, struktur ini juga bermanfaat untuk menciptakan efek akustik dari pola langit-langit yang dibentuknya. Sistem ini memiliki fleksibilitas dalam desainnya dan sangat dekat dengan kemungkinan prefabrikasi karena dibangun dari unit-unit kecil terpisah. Unit-unit kecil ini memungkinkan efisiensi bahan dengan tetap mempertahankan kekuatan. Fleksibilitas desainnya terlihat dalam hal skala, kedalaman, profil dan efek optis. Skala ukuran polygon dapat memiliki bermacam ukuran. Kedalaman area di bawah dan di antara unit lengkung dapat dirancang dengan bermacam variasi, sementara profil SAD dapat membentuk pola kurva konsentris maupun horisontal. Efek optis SAD pun dapat menciptakan kesan dan pola tumpukan, lengkung, rotundity rotundity (kubah), facet (seperti pola potongan pada berlian) , , stellatedness (pola bintang bersegi banyak), dan conical (kerucut). (kerucut).
Gambar 1 Prinsip Dasar Sistem Struktur SAD SAD [2] Agus Hariyadi --- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Tel: 08156895532 E-mail:
[email protected] Kurnia Widiastuti --- Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Tel: 08562892575 E-mail: E-mail:
[email protected]
Gambar 2 Variasi Sistem Struktur SAD [2] SAD [2]
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
1
Prinsip perancangan SAD yang cukup sederhana dan matematis ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam perancangan berbasis parametrik untuk menghasilkan konfigurasi baru dalam model SAD. 1.2. Permodelan Parametrik Permodelan parametrik merupakan hasil dari kemajuan teknologi komputer dalam perancangan. Perancangan parametrik dilakukan dengan memindahkan, memahami dan membentuk elemen perancangan dengan mendasarkan pada analisis. Permodelan parametrik umumnya dilakukan dengan plug-in GrasshopTM per pada software Rhino . Dengan piranti lunak ini pengembangan geometri dapat dilakukan sekaligus dengan memasukan banyak variabel dan batasan teknis, material, lingkungan dan lain-lain [3]
Gambar 3 Model Karton Kubah Parametrik [7]
Schumacer (dalam [4]) menyatakan beberapa lima penggunaan perancangan perancangan parametrik, yaitu (a) interartikulasi parametrik dalam subsistem, (b) aksentuasi parametrik, parametrik, (c) representasi ( figuration) figuration) parametrik, (d) responsifitas parametric, dan (e) urbanisme parametrik. Jenis penggunaan pertama adalah identifikasi aspek dalam desain dalam keterkaitan dengan faktor keruangan lainnya, sementara jenis kedua menekankan pada kesan terhadap integrasi organik dalam penataan ruang. Jenis ke tiga adalah penggunaan dalam menguji konfigurasi permodelan yang kompleks, sedang jenis keempat adalah keterkaitan elemen lingkungan (faktor eksternal) dengan kriteria penataan keruangan. Jenis terakhir mengidentifikasi elemen perancangan dan keterkaitannya dalam konteks kota. Pada penelitian ini, sistem parametrik yang digunakan cenderung pada jenis ketiga, yaitu representasi parametrik. II. Metode Penelitian 2.1 Bahan atau material penelitian Pada permodelan analog, peneliti menggunakan berbagai bahan untuk model dan cetakan. Untuk model, tim menggunakan plastisin (pembentukan dengan tangan dan cetak) dan gips (cetak/casting), sedangkan untuk cetakan, tim menggunakan bahan lasercutting akrilik, resin, silikon, dan gips. 2.2 Alat penelitian TM Penelitian ini menggunakan piranti Rhino dan plug-in Grasshopper Gr asshopper,, mesin lasercutter , dan peralatan pencetakan pencetakan plastisin, akrilik, resin, silikon, dan gips. gips.
2
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
2.3 Prosedur pelaksanaan pelaksa naan Penelitian ini direncanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama (1) menggunakan computer dan piranti TM lunak Rhino dan plug-in Grasshopper untuk menciptakan alternatif desain. Tahap kedua (2), berupa permodelan fisik, dan ketiga (3) berupa analisis performa pabrikasi dan konstruksi. Pada pelaksanaannya, pelaksanaannya, tahap pertama dan kedua dilakukan secara bersamaan/simultan untuk mendapatkan alternatif sekaligus menguji kelayakan secara geometri. Dari hasil tersebut kemudian diuji pada tahap (tiga) pabrikasi menggunakan bahan gips, sebelum dicetak dalam skala 1:1 menggunakan menggunakan material beton. 2.4 Analisis hasil Model fisik yang dihasilkan penelitian ini akan dianalisis dari sisi perancangan dan pabrikasi-konstruksinya. Analisis perancangan dilakukan dengan mencermati kesesuaian dalam prinsip SAD, meliputi formula matematis strukturnya. Sementara analisis pabrikasi-konstruksi pabrikasi-konstruksi dilakukan dengan perbandingan proses pada sistem struktur yang lain, terutama pada sistem interlock sambungan dan kekakuan sistem stacking . III. Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian ini terdiri atas empat bagian, yaitu: (1) brief (tor/guideline) rancangan, (2) alternatif-alternatif pada eksperimen rancangan (proses, hasil dan perbandingan), (3) permodelan fisik (unit), dan (4) skema rencana pabrikasi dan konstruksi. 3.1. Brief (tor/guideline (tor/guideline rancangan) Brief perancangan disusun untuk memberi batasan dan mendorong kreatifitas dalam pembentukan alternatif desain. Brief tersebut terdiri dari beberapa kriteria. Kriteria dalam brief ini disusun dari landasan-landasan teori, batasan teknis, biaya riset, serta kebutuhan diseminasi lebih lanjut. Kriteria perancangan : - SAD konvensional memiliki 3 tipe hubungan antar unit: unit menempel, unit berpotongan, unit ber jarak - Model dirancang bisa dengan cara Form to Unit , atau Unit to Form - Uji bentuk simetri dan asimetri - Unit mudah disimpan (ringkas/multifungsi (bench)) - Portable Unit (berat <15 kg, bentuk mudah dipindah) - Unit individual vs unit tipikal - Skala Pavillion (1-2 orang) 3.2. Alternatif Alternatif 1 : Bucks Ball a. Eksperimentasi Eksperimentasi Perancangan (Dijital) SAD Konsep Konsep berawal dari sebuah bola, yang mempunyai elemen hexagon dan pentagon. Elemen ini yang dijadikan dasar sebagai unit pembentuk dome. dome. Geo-
Agus Hariyadi
desik paling atas berbentuk segi lima/pentagon yang kelima sisinya dikelilingi bentuk segi enam/hexagon.
Gambar 4 Elemen hexagon dan pentagon
Gambar 7 Definisi grasshopper bucks ball
b. Permodelan Fisik [Analog] SAD Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin untuk model percobaan. Kelebihan dalam menggunakan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da pat mempermudah mempermudah dalam pembuatan unit ini serta menjadikan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran. Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk tiap unit. Dome Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat dari plastisin akan lebih mudah runtuh. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan material plastisin membentuk octahedron octahedron dengan dimensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 6 cm x 6 cm.
Gambar 5 Jusifkasi ukuran dan bentuk
Gambar 8 Model Plastisin Bucks Ball
Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alternatif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Berdasarkan hasil percobaan, bentuk simetris terbukti lebih rigid dibandingkan dengan yang alternatif. Hal ini dikarenakan bentuk unit yang simetris, dan sistem tumpuk yang hanya bertumpu pada tiga sisi. Gambar 6 Model rhino bucks ball
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
3
Gambar 12 Proses Pencetakan mal dengan resin Gambar 9 alternatif bentuk simetris
c. Analisis Fabrikasi dan Konstruksi Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetakan agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mudah untuk dilepaskan dari cetakan.
Gambar 10 Alternatif bentuk asimetris Gambar 13 Proses pencetakan mal dengan silikon
Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan resin. Cetakan ini berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk membuat unitya menggunakan gypsum. Ketika hasil cetakan degan menggunakan resin ini mengering dan sudah dapat digunakan, ternyata cetakan ini terlalu kaku. Sehingga gypsum yang terbentuk tidak mudah untuk dikeluarkan. Hasilnya, gypsum yang sudah tercetak akan pecah.
Gambar 14 Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan silikon
3.3. Alternatif 2 : The Eye
a. Eksperimentasi Perancangan
Gambar 11 Proses Pencetakan/casting
4
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Konsep Dasar bentuk diperoleh dari bentuk kotak. Saat bentuk kotak disusun saling bertumpu akan memiliki kestabilan yang baik. Namun hanya dapat bertumpu secara vertikal saja. Untuk dapat bertumpu secara vertikal maupun horizontal secara bersamaan diperlukan manipulasi dari bentuk dasar tersebut. Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matematika).
Agus Hariyadi
tiap unit. Dome yang dibentuk dari unit yang terbuat dari plastisin akan lebih mudah runtuh. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan material plastisin membentuk bentuk octahedron dengan dimensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 5 cm x 3 cm. Gambar 15 Justifikasi matematis The Eye
Gambar 18 Model Plastisin
Percobaan dilakukan untuk menemukan dua alternatif, yaitu bentuk simetris dan asimetris. Kelemahan unit ini untuk dijadikan sebagai bentuk yang simetris atau dome adalah ketika unit ini ditumpuk, bagian atasnya tidak bisa tertutup secara sempurna. Karena bentuk dari setiap unintnya akan terus saling menum puk ke atas dan tidak bisa melengkung ke dalam untuk menghasilkan dome yang tertutup.
Gambar 16 Model Rhino dan Grasshopper The Eye
Gambar 19 Alternatif dengan bentuk simetris/dome
Gambar 17 Sistem Stacking
b. Permodelan Fisik Penelitian pertama dengan menggunakan plastisin untuk model percobaan. Kelebihan dalam menggunakan plastisin ini mudah pembuatan unitnya. Dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari polyfoam da pat mempermudah pembuatan unit ini serta menjadikan ukuran tiap unit mempunyai modul yang sama. Permodelan unit ini menggunakan satu modul ukuran. Kekurangan penggunaan plastisin ketika semua unit ditumpuk untuk membentuk sebuah dome. Sifat plastisin yang lunak menyulitkan proses menumpuk
Alternatif berikutnya dengan melakukan percobaan membuat bentuk yang asmetris. Bentuk berawal dari 2 kurva melengkung yang digabungkan dengan cara melengkungkan bidang yang terbentuk dari 2 kurva itu ke atas. Alternatif ini lebih memungkinkan untuk dikembangkan karena semua sisi dari setiap unitnya saling menumpu. Kelemahan dari bentuk ini ketika volume tiap unitnya terlalu berat, struktur stacking da pat melemah dan mudah runtuh. Ol eh karena itu, setiap unitnya diberi elemen void untuk memperingan volume setiap unitnya.
Gambar 20 Alternatif dengan bentuk asimetris
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
5
Percobaan berikutnya membuat cetakan dengan akrilik. Cetakan ini berukuran 9 cm x 18,5 cm. Cetakan ini menggunakan sisi negatif dari model the eye. Untuk membuat unitnya menggunakan gypsum. Akrilik ini dipotong tiap lembarnya dengan menggunakan lasercutting dan ditumpuk secara contouring . Dengan ketebalan setiap lembarnya 0,5 cm.
Gambar 25 Studi Model
Gambar 21 Model penumpukan akrilik secara contouring
Gambar 22 Proses Pencetakan mal pada lasercutting akrilik
Akrilik merupakan bahan yang bersifat kaku dan keras. Dengan bentuk unit yang asimetris ini, penggunakan bahan akrilik sebagai cetakan membuat hasil cetakan gypsum tidak mudah dilepas dari cetakan dan mudah pecah karena modelnya yang saling mengunci akibat bentuk yang asimetris ini. c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetakan agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mudah untuk dilepaskan dari cetakannya.
Gambar 23 Proses Pencetakan mal pada silikon
Gambar 24 Hasil unit gysum yang dicetak menggunakan silikon
6
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Gambar 26 Studi Sistem Stacking
3.4. Alternatif 3 : Octahedron a. E ksperimentasi Perancangan Konsep Ide awal diperoleh dari bentuk dasar segitiga. Bentuk dasar segitiga sama sisi dipilih agar setiap unitnya dapat bertumpu dan berhubungan pada sisi-sisinya ketika disusun dalam bentuk dome. Namun, bentuk segitiga sama sisi cederung tidak stabil ketika disusun saling bertumpu membentuk struktur SAD. Oleh karena itu, bentuk dasar segitiga sama sisi kemudian dikem bangkan pada sumbu x, y, dan z. Model unit yang terbentuk adalah octahedron. Octahedron adalah bentuk tiga dimensi yang memiliki delapan permukaan, bentuk solid yang teratur dengan delapan permukaan triangular yang sama sisi. Bentuk ini memungkinan unitnya disusun dan bertum pu satu sama membentuk struktur SAD. Secara umum, prinsip struktur SAD dengan satuan unit bentuk octahedron menyerupai prinsip struktur pemecah ombak yang umum digunakan di area pantai. Pada sistem pemecah ombak, unitnya adalah tetrahed-
Agus Hariyadi
ron yang disusun menumpu satu sama lain. Struktur ini cenderung stabil dan tidak mudah runtuh ketika mendapatkan tekanan horisontal yang disebabkan oleh ombak.
Gambar 27 Konsep Breakwater
Dimensi unit octahedronnya adalah 60 cm x 60 cm x 60 cm. Dimensi ini ditentukan berdasarkan pertim bangan fungsi. Setiap unit octahedron akan dapat difungsikan sebagai unit furniture. Pertimbangan/justifikasi ukuran, bentuk (matematika).
Gambar 31 Sistem Stacking octahedron
Gambar 28 Justifikasi Matematis octahedron
b. Permodelan Fisik Model Plastisin Permodelan fisik pertama menggunakan material plastisin. Material plastisin dipilih karena mudah di bentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Namun, material plastisin memiliki kelemahan dalam beberapa hal, bentuknya tidak kaku, bentuknya tidak presisi, dan volumenya ringan sehingga kurang sesuai dalam merepresentasikan model fisik asli yang terbuat dari beton. Setiap unit modelnya dibuat menggunakan material plastisin membentuk bentuk octahedron dengan dimensi yang relatif sama. Dimensi modelnya adalah 4 cm x 4 cm x 4 cm.
Gambar 29 Model Rhino octahedron
Gambar 30 Model Grasshopper octahedron
Gambar 32 Model Plastisin Bentuk Asimetris
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
7
Struktur SAD dibentuk dari setiap unit octahedron. Unit octahedron saling bertumpu satu sama lain dan mampu disusun menjadi bentuk dome yang asimetris dengan prinsip struktur SAD. Model gypsum Material gypsum digunakan untuk menghasilkan model fisik yang mampu merepresentasikan model fisik asli yang terbuat dari beton. Proses pembuatan model fisik unit octahedronnya harus dicetak dengan menggunakan cetakan. Cetakan pertama dibuat dari material gypsum dengan dimensi sama seperti model plastisin, yaitu 4 cm x 4 cm x 4 cm. Namun pada pelaksanaannya, konsep pembuatan model dengan cetakan gypsum tidak ber jalan dengan baik. Cetakan yang terbuat dari gypsum tidak sesuai untuk djadikan sebagai cetakan karena sifat bahan yang sama-sama kaku. Hal ini menyulitkan proses pelepasan model dari cetakan.
Gambar 35 Proses pencetakan unit dengan silikon
Gambar 36 Studi Model yang dilakukan Gambar 33 Proses Pencetakan/casting gypsum
Cetakan kedua dibuat dari material akrilik dengan dimensi lebih besar dari model plastisin, yaitu 20 cm x 20 cm x 20 cm. Cetakan dibuat untuk mencetak setengah dari unit octahedron. Proses pencetakan model unitnya cukup sulit dilaksanakan. Model unit yang ter buat dari gypsum cukup sulit dilepaskan dari cetakan karena sifat akrilik dan gypsum yang sama-sama kaku. Hampir seluruh bagian model menempel pada cetakan akrilik. Gambar 37 Skenario Furniture
Gambar 34 Proses Pencetakan mal dengan lasercutting
c. Analisis Pabrikasi dan Konstruksi Selanjutnya membuat cetakan dengan bahan yang lebih lentur, yaitu menggunakan silikon sebagai cetakan agar model unit yang terbentuk oleh gypsum mudah untuk dilepaskan dari cetakannya.
8
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
3.5. Analisis Hasil Tiga alternatif rancangan SAD diuji dan dibandingkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan untuk menilai dan menentukan alternatif yang terbaik. Kriteria tersebut dipilih berdasarkan batasan perancangan yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria tersebut antara lain, symetry, stability, artistic, weight/volume, bench, portability, dan casting . Kriteria stability menunjukan tingkat kestabilan struktur model SAD. Kriteria artistic menunjukkan tingkat kualitas estetika bentuk model keseluruhan. Kriteria Weight/Volume menunjukkan tingkat volume dan berat model keseluruhan. Kriteria bench menun jukkan tingkat kemungkinan satuan unitnya dimanfaatkan sebagai tempat duduk. Kriteria portability menunjukkan tingkat kemudahan portabilitas. Kriteria casting menunjukkan tingkat kemudahan pabrikasi dan konstruksi unit.
Agus Hariyadi
Tabel 1. Perbandingan Tiga Alternatif Rancangan SAD
Alternatif Rancangan SAD
y r t e m m y S
y t i l i b a t S
t e c / i h m t s g u i i t r e l o A W V
h c n e B
y t i l i b a t r o P
g n i t s a C
r o k S
Alt_1 Bucks Ball
Sym
4
2
1
2
3
2
12
Asym
1
3
1
2
3
2
10
Alt_2 Eye
Sym
3
4
3
4
3
3
17
Asym
1
4
3
4
3
3
15
Alt_3 (octa)Hedr on
Sym
3
4
3
3
4
2
17
Asym
3
4
3
3
4
2
17
Dengan data tersebut di atas, skor yang paling tinggi adalah pada alternatif ketiga, octahedron, diikuti dengan alternatif kedua dan kesatu. Octahedron memiliki keunggulan pada fleksibilitas terutama bentuk simetri maupun asimetri, kemudahan pabrikasi (modul), serta kemudahan portabilitas. Namun model ini memiliki titik lemah pada berat model dan bentuk cetakan yang cukup rumit.
Gambar 38. Hasil jadi model octahedron dengan material beton
dalam menghasilkan bentuk SAD. Dengan sistem ini, SAD yang terbentuk dapat berupa bentuk SAD yang simestris dan asimetris. Perhitungan unit meliputi banyak dimensi, yaitu: kurva vertikal, kurva horizontal, modul derajat segmen, dan sistem kunci antar unit. Logika bahan moden dan bahan konstruksi agak sedikit meleset. Pada percobaan dengan menggunakan plastisin, model fisik kurang representatif karena sifat plastisin cenderung lunak dan mempunyai volume yang ringan. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat cetakan (logika casting ) adalah bahan pembentuk cetakan. Akan lebih mudah jika bahan pembentuk cetakan merupakan bahan yang elastis, sehingga memudahkan untuk melepaskan unit yang akan dicetak. Dalam percobaan yang telah dilakukan, bahan yang paling mudah digunakan dalam mencetak adalah silikon. Proses perancanganya memadukan antara metode analog (kreatifitas spontan) dan permodelan dijital (presisi). Kedua metode tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam prosesnya, sehingga rancangan yang dihasilkan tidak hanya mengedepankan nilai ketepatan tetapi juga kreatifitas perolehan bentuk. Rekomendasi Penelitian ini diharapkan bermanfaat umumnya untuk mata kuliah Struktur Konstruksi 4 dan Studio Desain Arsitektur 4, terutama dalam hal prinsip rancangan dan performa pabrikasi dan konstruksi arch dome sebagai materi tambahan dan pengayaan pada SK 4, serta menghasilkan alat peraga untuk kepentingan perkuliahan. Pada jangka panjang, cara pandang penelitian ini yang mengintegrasikan cara pandang struktur-konstruksi dan perancangan diharapkan dapat menjadi jembatan dan solusi dalam pembelajaran struktur dalam studio, maupun sebaliknya, pembelajaran perancangan dalam berfikir struktur. SAD memiliki potensi untuk dikembangkan dalam desain industrial menjadi sebuah sistem pabrikasi pada konstruksi off-site. Praktis yang bisa diproduksi masal, sehingga menekan biaya produksi dan trans portasi karena merupakan kesatuan unit-unit yang berukuran relatif kecil. Sementara perancangan parametrik memungkinkan perancangan SAD dengan tiap unit yang berbeda ukuran atau tidak identik, sehingga batasan industrial tidak lagi membatasi. Referensi [1] Khabazi, Zubin, 2010, Generative Algorithms using Grasshopper (Manual), diterbitkan secara dijital pada http://www.grasshopper 3d.com/page/tutorials-1 (diakses pada 1/11/2012)
Gambar 39. Model unit octahedron sebagai furniture
[2] Moussavi, Farshid (Author), 2009, Function of Form, Actar and Harvard Graduate School of Design, Massachusett [3] http://en.wikipedia.org/wiki/Generative_Design (diakses pada 5/11
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Berdasarkan sistem stacking yang menunjukkan octahedron merupakan alternatif yang paling fleksibel
/2012) [4] http://en.wikipedia.org/wiki/Parametricism
(diakses 5/11/2012)
[5] Sven Havemann, DieterW. Fellner, 2003, Generative Parametric Design of Go thic Window Tracery (Technical Report), Institute of
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
9
Computer Graphics, TU Braunschweig, Jerman [6] Zhi-Hua CHEN, Hong-Bo LIU, 2009, Design Optimization and Structural Property Study on Suspendome with Stacked Arch in Chiping Gymnasium,
Proceedings of the International Associa-
tion for Shell and Spatial Structures (IASS) Symposium 2009, Valencia, Spanyol [7] http://www.flickr.com/photos/51678540@N07/7168898347/in/pho tostream (diakses pada 14/11/12)
10
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
[8] http://www.behance.net/gvoudouri/frame/1484405 (diakses pada 14/11/12) [9] http://oxforddictionaries.com/definition/english/octahedron (diakses pada 14/01/13) [10] http://bldgblog.blogspot.com/2010/08 /pallet-house.html
(diakses
pada 28/12/12) [11]http://www.zigersnead.com/current/blog/post/blobwall-the-curse-of -customization/09-03-2008/1582/ (diakses pada 02/01/13)
Agus Hariyadi
Eksistensi Konsep Natah pada Tata Ruang Rumah Tinggal Orang Bali di Yogyakarta
Ahmad Saifullah Malangyudo 1, T.Yoyok Wahyu Subroto1 1
Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Abstract
It is identified that most Balinese houses in Yogyakarta have own their performance appearance different from their origin one in Bali. In addition, the visual existence of natah bale does not appear as an open space and the point of orientation of the house as well. The goal of this research is directed to see the existence of the concept of natah in some types to include the natah bale of Balinese houses in Yogyakarta. This research used observation method and questionnaires in collecting the data. Meanwhile the rationalistic paradigm is also used as the basic approach in understanding the phenomenon which is followed by the descriptive analysis and statistic correlational analysis. The data analysis consist of (1) the identification of the inhabitant’s perception toward natah in their houses, (2) the identification of the types of natah within 25 Balinese houses in 8 district of Yogyakarta that refer to the characteristic of the natah’s setting pattern and (3) the identification of the relationship between the inhabitant’s perception and the characteristic of the natah’s setting pattern. The research result can be formulated as follows, (1) the inhabitants have a positive perception toward the natah , (2) there are 3 (three) zoning-patterns of natah in the system of setting on the Balinese houses in Yogyakarta and its surrounding yard, (3) there is a significant relationship between the inhabitant’s perception (mainly in spatial treatment) within in the system of setting on the Balinese houses in Yogyakarta. It is concluded that the existence of the concept of natah has been implemented by the principal of nawasanga of Balinese houses in Yogyakarta. It is developed by inhabitants in some modifications of spatial setting pattern according to the limitation of their lands. Keywords : houses, natah, Balinese culture, perception, nawasanga , the pattern of natah’s zoning
I. Pendahuluan Penduduk asli Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawa. Keberadaan masyarakat Bali yang jumlahnya relatif kecil dibandingkan penduduk asli Yogyakarta, merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda namun satu cikal bakal, merupakan suatu hal yang cukup menarik sehingga mendorong Yogyakarta digunakan sebagai lokasi penelitian. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta merupakan rumah dengan lahan terbatas dan mempunyai KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang cukup besar. Hal tersebut sesuai sebagai ciri rumah tinggal di daerah urban. Apabila dilihat dari aspek visual appearence, sebagian besar rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta tdak jauh berbeda dengan rumah tinggal penduduk Yogyakarta, dan sebagian kecil yang lain, di antaranya masih menampakan berbagai ragam hias khas Bali. Ahmad Saifullah Malangyudo --- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected] Phone: 081328557040 T. Yoyok Wahyu Subroto --- Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta, apabila di bandingkan dengan rumah tinggal orang Bali yang tinggal di pulau Bali tampak agak jauh berbeda. Rumah tinggal orang Bali di Pulau Bali tampak sebagian besar masih menggunakan prinsip-prinsip tata ruang berdasar konsep arsitektur Bali baik ornamen, material bangunan maupun prinsip zoning (konsep Nawa Sanga) dan tata letak ruangnya. Dalam sistem ruang rumah tinggal orang Bali terdapat empat jenis Natah yaitu: Natah Merajan, Natah Bale, Natah Penunggun Karang dan Natah Paon/Lebuh. Ruang Natah Bale sebagai ruang terbuka dan aplikasi titik nol ( pralina) dalam konsep Catuspatha, berfungsi sebagai pusat sistem tata ruang rumah sesuai budaya Bali (I Nengah Sudata, 2002). Hasil pengamatan dan wawancara dengan I.M.A.Gumbara, tokoh masyarakat Bali di Yogyakarta pada Desember 2012, menjelaskan bahwa masyarakat Bali di Yogyakarta masih cukup taat untuk tetap melestarikan budaya dan tradisinya yang erat berkaitan dengan aspek religi yang dianut yaitu agama Hindu Bali. Hal tersebut tampak pada aktivitas memperingati berbagai peringatan hari besar baik yang berhubungan dengan agama/kepercayaan maupun tradisi. Tingkat ketaatan seseorang (individu) terhadap sesuatu, merupakan cerminan dari tingkat persepsinya, dan tingkat persepsi merupakan Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
11
embrio bagi perilaku mereka memperlakukan sesuatu, termasuk menciptakan ruang yang mereka perlukan. Untuk itulah persepsi penghuni terhadap Natah pada rumah tinggal dan tapaknya merupakan faktor yang penting karena berhubungan dengan perlakuannya terhadap tapak dan bangunan rumah. Fakta la pangan yang lain menunjukkan bahwa Natah Bale sebagai ruang terbuka dan pusat orientasi dalam sistem tata ruang rumah tinggal orang Bali, secara visual tampak kurang eksis (kurang terlihat keberadaannya) di sebagian besar rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta. Untuk itu tepatlah ji ka keberadaan/eksistensi konsep Natah pada rumah tinggal masyarakat Bali yang tinggal di Yogyakarta digunakan sebagai objek kajian utama dalam penelitian ini.
Gambar 1 Natah Penunggun Karang dan Natah Bale (Sumber: Survey 2012)
Gambar 2 Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)
Gambar 3 : Sanggah Natah Penunggun Karang (Sumber: Survey 2012)
Tujuan penelitian ini adalah melihat eksistensi konsep Natah di rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta. Eksisitensi Konsep Natah dapat dijelaskan me-
12 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
lalui kajian terhadap: (1) bentuk persepsi penghuni terhadap Natah, (2) karakteristik pola Natah dalam sistem tata ruang rumah tinggal, (3) hubungan antara persepsi penghuni terhadap Natah dengan karakteristik pola Natah dalam sistem tata ruang rumah tinggal. II. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan dasar dalam perumusan landasan teori sebagai basis perumusan hipotesis, penyusunan alat ukur persepsi, dan sebagai alat untuk mengidentifikasi karakteristik pola ruang Natah. Teori yang dikaji adalah sebagai berikut: a. Teori Ruang terdiri atas teori ruang, fungsi dan bentuk (DK. Ching, 1983. Louis I. Khan, 1957. Cornelis van de Ven, 1987), teori tempat, teori ruang fisik geometris, dan teori ruang intuisi metafisik (Cornelis van de Ven, 1987). Prinsip Arsitektur, secara substansial akan selalu berorientasi dan tersusun dari tiga aspek utama yaitu: bentuk (form), ruang ( space) dan susunan (order ). Ruang menjadi salah satu bagian yang penting dalam arsitektur. Arsitektur berarti penciptaan ruang melalui cara yang benar-benar direncanakan dan dipikirkan. Kepastian eksistensi ruang secara filosofis dalam lingkup arsitektur dapat dimaknai dan dipahami bahwa ruang tersebut pada dasarnya selalu ada (exist ). Logika selanjutnya adalah bagaimana membaca dan berusaha mengerti atau memahami, kalau ruang tersebut ada, maka pertanyaan selanjutnya ialah di mana ruang tersebut ? Selanjutnya secara filosofis tempat dan objek pada dasarnya merupakan unsur pembentuk ruang, walaupun mungkin dalam arti kata yang bersifat abstrak, karena tem pat adalah nir – bentuk dan nir-wujud. Dengan kata lain konsep filosofis ruang bisa bermakna ruang non fisik walaupun pada dasarnya ruang tersebut tetap eksis dengan batas/lingkup tertentu. Eksistensi ruang maya berada di pikiran penggagasnya. Eksistensi ruang fisik bisa diperjelas melalui prinsip ruang geometri tiga demensional, atau dengan kata lain dimungkinkan ruang merupakan realitas wadaqi yang eksis. Ruang bukan hanya sekadar sesuatu yang em pirik bersifat fisik tiga demensional, tetapi juga ruang yang berada dalam konsep pemikiran atau tataran intuitif manusia. b. Teori Fungsi dan Bentuk (Cornelis van de Ven, 1987. Suwondo B. Sutedjo, 1982). Kompleksitas fungsi selalu dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu fungsi ruang dalam konteks budaya masyarakat selalu tidak bisa dilepaskan oleh tuntutan-tuntutan budaya masyarakat baik yang berkaitan dengan aspek spiritual (religi dan kepercayaan), tradisi dan kultural, juga tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan aspek sosial dan ekonomi masyarakatnya. Bentuk menjadi fungsional ketika ia dapat memenuhi tuntutan fungsi baik fungsi fisik maupun fungsi non-fisik.
Ahmad Saifullah Malangyudo
c. Teori Tempat Tinggal/ Rumah dan Halaman (Jatman, 1983 mengutip Maslow. Puspowardoyo, 1982. Blaang, 1986. Richard Unterman, et al, 1981 dikutip Vincent, 1983. Lang, 1987 mengutip Pastalan, 1970). Posisi rumah dalam hirarkhi motif-motif berada di level pertama dari kebutuhan dasar manusia. Hakikat rumah pada dasarnya haruslah selalu dihubungkan dengan karakteristik manusia yang menempatinya, sehingga hubungannya bukanlah sekadar instrumen, tetapi merupakan hubungan struktural, artinya rumah merupakan pengejawantahan diri pri badi manusia penghuninya. Rumah dalam pengertian makna sepenuhnya bersifat multi dimensional. Seperti halnya bangunan rumah, maka halaman rumah pun dapat berperan seperti halnya rumah yaitu sebagai media untuk mengekspresikan jati diri pemiliknya. Perlakuan terhadap halaman oleh pemiliknya dapat berupa pemberian simbol – simbol, pengolahan permukaan lahan sesuai tuntutan fungsionalnya, serta pemberian batas fisik. d. Persepsi (Robert A. Baron, et al, 1991. Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2000. Desiderato, 1979 dalam Rakhmat, 1996. Kenneth E. Anderson, 1972. Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat 1996. Walgito, 2000). Persepsi individu terhadap lingkungan di sekitarnya, merupakan cerminan persepsi keadaan lingkungan tersebut dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh apa yang terdapat di dalam individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan as pek-aspek lainnya yang ada di dalam diri individu akan ikut berperan. Dalam konteks persepsi terhadap ruang fisik, maka dapat dilakukan melalui tanda-tanda visual dari ruang. Sifat stimuli ruang yang bersifat fisik, memorinya lebih berstruktur, sehingga perseptor lebih bisa merekam fakta-fakta dan menggunakan pengetahuannya tentang fakta-fakta tersebut untuk membimbing perilakunya. Dalam konteks (ruang) non fisik, perseptor dapat mempersepsikan tentang nila – nilai, pengertian, dan pemahamannya berdasar pengalaman. e. Karakteristik Orang Bali, Perubahan Tradisi (Sudata, 2002. Aldo Rossi, dalam Malcolm Miles et al, 2000. Gaston Bachelard, dalam Malcolm Miles et al, 2000). Masyarakat Bali pada dasarnya merupakan gambaran masyarakat yang religius, yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu Bali. Dasar ajaran agama Hindu adalah filsafat, etika, dan ritual. Keyakinan ini melandasi sikap dan perilaku masyarakat Bali dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang berhu bungan dengan lingkungan maupun rumah tinggalnya. Apabila memori diaplikasi ke dalam ruang privat, maka akan sangat bergantung kepada pola kehidupan dan memiliki nilai kolektifitas (dimensi kolek-
tif). Oleh sebab itu memori yang terkumpul dapat digunakan untuk menilai persepsi masa kini. f. Konsep Zonasi Ruang ( Natah) dalam Budaya Bali (I Nyoman Galebet, 2002. Ida Bagus Mantra, 1996. Purnawan, 2009, mengutip Galebet, 1982. Gusti Ayu Made Suartika, 2010. Sudata, 2002). Konsep Desa Kala Patra sebagai salah satu Landasan Kebudayaan Bali, merupakan konsep ruang yang menyesuaikan diri dengan keadaan tempat dan waktu dalam menghadapi permasalahan. Konsep ini memberi landasan yang fleksibel dalam komunikasinya, baik ke luar maupun ke dalam, dan menerima perbedaan serta variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan. Secara spasial konsep zona dalam budaya Bali didasari oleh kombinasi antara konsep hirarki Tri Angga, Konsep keseimbangan Tri Hita Kharana dan Konsep Perbedaan Rwa Bhineda. Zona dibagi dalam tiga tingkatan mikro zona yang diorientasikan dari utara selatan (orientasi kosmik) dan timur barat (orientasi alamiah). Dalam skala rumah tangga, pekarangan sebuah rumah tradisional, zona yang dianggap paling sakral (utama=kepala) adalah lokasi pura rumah tangga ( sanggah/merajan) berada. Area di tem pat anggota keluarga tinggal diklasifikasikan sebagi zona madya (badan), dan area tempat pembersihan diklasifikasikan sebagai zona nista (kaki). Dalam skala yang lebih besar, di level Bali sebagai sebuah pulau secara keseluruhan, zona utama adalah tempat gunung (arah utara, area tertinggi) sedangkan area permukiman adalah zona madya dan area pembersihan direpresentasikan tempat air atau laut (arah selatan) berlokasi. Natah sesuai konsep ruang budaya Bali merupakan ruang terbuka baik dalam skala makro (kota), meso (desa) maupun mikro (tapak/ rumah). Secara filosofis konsep ruang terbuka Natah sebagai pencerminan hubungan antara unsur langit (akasa) dan unsur bumi ( pertiwi). Terdapat 4 (empat) jenis Natah dalam skala rumah tinggal, keempatnya berada di zona hirarkis yang sudah ditentukan sesuai prinsip Sanga Mandala. Lihat Tabel 1 (Andhika, 1994, dalam Sudata, 2002 yang dimodifikasi oleh penulis). Tabel 1. Berdasar Sumbu Matahari : Matahari terbenam NISTA
Matahari terbit MADYA
UTAMA
Tabel 2. Berdasar Sumbu Kaja Kelod (Gunung-Laut) : KAJA (Gunung)
UTAMA
DATARAN
MADYA
KELOD (Laut)
NISTA
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
13
Melalui superposisi antara konsep sumbu matahari dengan sumbu Kaja Kelod , didapatlah Konsep Sanga Mandala ( Nawa Sanga) seperti tersebut di bawah ini. Pada sistem ruang ( Natah) Bali, Nawa Sanga merupakan zona hirarkhis Natah. Tabel 3.
Zona Hirarkhis Natah / Konsep Nawa Sanga
Utamaning Nista (D)
Utamaning Madya
Utamaning Utama (A)
Madyaning Nista
Madyaning Madya (B)
Madyaning Utama
Nistaning Nista (C)
Nistaning Madya
Nistaning Utama
Notasi : (A) : Natah Merajan, (B): Natah Bale, (C): Natah Paon/Lebuh dan (D): Natah Penunggun Karang
Sanggah/Merajan dgn Natar/ Natah Merajan
Natah sebagai salah satu unsur penting dalam tatanan ruang rumah orang Bali. Hirarki, zoning dan layout-nya sangat ditentukan oleh prinsip Sanga Mandala atau Nawa Sanga. Hirarki Natah tertinggi adalah Natah Merajan, kemudian berturut – turut Natah Bale, Natah Paon/Lebuh dan Natah Penunggun Karang . Natah Bale sebagai pusat orientasi sistem ruang rumah tinggal orang Bali. Persepsi terhadap Natah pada prinsipnya mengandung pengertian bagaimana perseptor mempersepsi Natah dalam berbagai konteks meliputi aspek non-fisik (pengertian, nilai filosofis, dan fungsi), dan aspek fisik (aktifitas, bentuk, tata letak, pengadaan/perlakuan, dan aspek lahan), sesuai dengan nilai-nilai dan tata cara budaya Bali. Persepsi terhadap Natah pada dasarnya merupakan embrio bagaimana perseptor bersikap untuk memperlakukan Natah khususnya dalam hubungannya dengan pola ruang, zoning dan hirarkhi yang ter bentuk, di mana Natah berada.
Natah Bale
Natah Penunggun Karang
Natah Paon/Lebuh
Angkul
Gambar 1 : Tipikal Rumah Bali (Sumber: Source Book, by Alfred A.K.Inc, 1997, dengan tambahan keterangan oleh penulis)
III. Landasan Teori Secara teoritik ruang dapat dipahami sebagai ruang fisik/visual dan ruang non fisik/maya. Ruang maya atau ruang imaginer merupakan ruang kosong tanpa batas visual tetapi diyakini keberadaannya dan dipahami tempat kedudukannya ( place) berdasar prinsip-prinsip nilai dan kualitas ruang yang ada dalam pikiran pengamat. Ruang maya mempunyai tingkat relatifitas dan subyektifitas yang tinggi, tergantung bagaimana pengamat mempersepsikannya. Oleh karena itu persepsi terhadap ruang maya adalah sebuah keniscayaan. Ruang fisik merupakan ruang yang secara fisik/visual dapat ditangkap oleh panca indera dan eksistensinya dapat dilihat secara nyata melalui keberadaannya pada locus tertentu, sehingga persepsi terhadap ruang fisik menjadi lebih mudah dilakukan. Eksistensi konsep ruang maya maupun konsep ruang visual dapat dilihat dari signifikansi hubungan antara ruang visual maupun maya sebagai stimulus dengan persepsi terhadap nilai-nilai ruang yang dipahami. Ruang fisik secara visual eksistensinya dapat diidentifikasi secara jelas apabila mempunyai batas dan mempunyai kemampuan untuk mengakomodir aktifitas dengan fungsi tertentu.
14 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
IV. Hipotesis Berdasar latar belakang, tinjauan pustaka dan la pangan serta landasan teori, maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Terdapat bentuk persepsi penghuni terhadap Natah melalui variabel tematik meliputi: definisi Natah, kosmologi /filosofi Natah, fungsi Natah, bentuk Natah, letak Natah, lahan terbatas Natah, dan perlakuan terhadap Natah , di mana sebagian besar mampu memberikan gambaran persepsi yang cukup mendukung terhadap prinsip Natah, sehingga mampu mendukung eksistensi Natah dalam tingkatan konsepsual. 2. Terdapat berbagai karakteristik pola zoning Natah yang sesuai budaya Bali (konsep Nawa Sanga) pada sistem tata ruang rumah orang Bali dan halamannya, dimana hal tersebut cukup mampu untuk menunjukkan eksistensi prinsip Natah pada rumah tinggal masyarakat Bali di Yogyakarta. 3. Terdapat hubungan yang posistif antara persepsi penghuni terhadap Natah dengan karaktersitik pola zoning Natah pada sistem tataruang rumah dan halaman orang Bali di Yogyakarta. Kekuatan/ signifikansi hubungan mampu menunjukkan eksistensi prinsip Natah pada rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta. V. Metode Penelitian a. Metoda Metoda yang digunakan ialah metode observasi dan kuisioner dengan paradigma rasionalistik dan cara analisis diskriptif dan korelasional dengan menggunakan statistik (SPSS versi 12) dan analisis superposisi, sebagai alat bantu analisis. Sumber acuan literasi dan fakta empirik lapangan baik hasil observasi di pekarangan/tapak dan rumah dan hasil persepsi pemilik rumah terhadap Natah, merupakan hal
Ahmad Saifullah Malangyudo
yang sangat penting sebagai input analisis. Hasil analisis terhadap persepsi pemilik rumah, observasi fisik terhadap sistem tata ruang ( Natah) di tapak dan bangunan rumah tinggal, dan hubungan keduanya, da pat memberikan gambaran eksistensi konsep Natah rumah tinggal orang Bali di Yogyakarta. b. Lokasi Lokasi sampel penelitian tersebar di 8 (delapan) kawasan di wilayah Yogyakarta, meliputi kawasan: Nogotirto, Sidoarum, Sariharjo, Berbah, Bantul, Kasihan, Giwangan, dan Kalongan. Penentuan sampel responden dipilih secara purposive sebanyak 25 sam pel, dengan kriteria: (a) responden merupakan kepala keluarga dari unit rumah yang di- survey (b) res ponden adalah pemilik rumah tinggal beserta halamannya (tapak) (c) responden merupakan anggota masyarakat Bali yang beragama Hindu (d) responden telah tinggal di Yogyakarta relatif lama (5 th sd 20 th). c. Tahapan penelitian dan teknik analisis Tahap 1, pengumpulan data sistem ruang rumah dan halaman melalui observasi lapangan, serta angket persepsi Natah dengan variabel tematik persepsi meliputi: (subtema 1) persepsi tentang pengertian Natah pada rumah tinggal, (subtema 2) persepsi tentang kosmologi/filosofi Natah, (subtema 3) persepsi terhadap fungsi Natah di rumah tinggal, (subtema 4) persepsi terhadap bentuk Natah pada rumah tinggal, (subtema 5) persepsi terhadap tata letak Natah, (subtema 6) persepsi tentang Natah jika lahan terbatas, dan (subtema 7) persepsi tentang perlakuan terhadap Natah. Uji validitas dan reliabilitas butir angket persepsi. Uji validitas menggunakan teknik korelasi Pearson. Uji Reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha (CA), dengan ketentuan jika nilai CA > nilai product moment pada N-2 maka angket dinyatakan reliabel. Tahap 2, penyebaran angket persepsi pasca uji validitas dan reliabilitas, analisis dengan scoring Lickert Scale, di mana hasil angket persepsi digunakan untuk melihat bentuk kecenderungannya terhadap prinsip Natah (pembuktian hipotesis ke1). Tahap 3, melakukan analisis verifikatif dengan teknik superposisi antara pola ruang/zoning eksisting hasil observasi lapangan dengan pola ruang/zoning berdasar konsep Nawa Sanga, untuk melihat karakteristik pola Natah dalam sistem ruang rumah tinggal (pembuktian hipotesis ke 2) Tahap 4, Melakukan analisis dengan teknik analisis korelasional Chi Square antara persepsi terhadap Natah dengan karakteristik pola Natah pada sistem ruang rumah tinggal. Hal ini untuk melihat kekuatan hubungan keduanya (pembuktian hipotesis ke 3)
VI. Hasil dan Pembahasan a. Hasil 1) Hasil uji validitas dan Reliabilitas. Hasil uji validitas angket persepsi dengan teknik korelasi Pearson secara keseluruhan, menunjukkan dari 29 butir/construct (+) dan (-) pada 7 subtema persepsi, dinyatakan valid pada 24 butir/construct dan 5 butir tidak valid. Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach’s Alpha (CA), dengan ketentuan jika nilai CA> nilai product moment pada N2 maka angket dinyatakan reliabel, hasilnya semua butir angket dinyatakan reliabel. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas dapat disimpulkan bahwa angket persepsi layak untuk digunakan sebagai alat ukur persepsi. 2) Analisis Hasil angket persepsi: Analisis hasil angket persepsi pada keseluruhan butir angket yang telah dinyatakan valid dan reliabel dengan menggunakan kriteria jumlah responden sesuai Lickert Scale dapat dijelaskan sebagai berikut: Subtema1 : persepsi terhadap definisi/pengertian Natah pada rumah menunjukkan sebagian besar res ponden (14 responden = 56% dari 25 responden) berkeyakinan bahwa pengertian tentang Natah merupakan ruangan yang berada di tengah/pusat di antara ruangan-ruangan lain yang ada di bangunan rumah, sehingga Natah bisa berada di dalam atau di luar rumah yang berfungsi sebagai pusat orientasi dan sirkulasi serta wadah aktifitas yang bersifat madya. Sedang sisanya 11 responden berkeyakinan bahwa Natah tetap harus berada di luar rumah dan merupakan pusat orientasi. Subtema 2: sebagian besar responden (20 orang atau 80%) masih memegang prinsip filosofis Natah sesuai budaya Bali. Subtema 3: sebagian responden (8 responden) berpendapat bahwa tidak setuju apabila fungsi kultural dan ritual Natah lebih dominan dibanding fungsi sosialnya, 8 responden tidak berpendapat (abstain) dan 9 responden menyatakan setuju. Subtema 4: sebagian responden bisa menyetujui (dalam tataran yang ideal) dengan menilai bahwa bentuk Natah Bale pada rumah tinggal terbentuk oleh bangunan – bangunan yang mengelilinginya (bale sikepat, bale sikenam, bale tiang sanga, dll). Namun sebagian responden dengan score yang lebih kecil menyetujui konsep Natah harus berbentuk kotak dan sebagian yang lain bahkan lebih luwes dengan menyetujui bahwa Natah bisa berupa ruang abstrak yang ada dan diyakini dalam pikiran sesuai kepercayaan mereka. Subtema 5: sebagian responden (21 orang atau 84%) berpendapat menentukan letak Natah pada bangunan rumah harus mengikuti ketentuan-ketentuan kultur/budaya Bali ( Asta Bumi) ialah arah dua sumbu ialah sumbu timur barat dan utara selatan (kaja kelod dan kangin kauh). Pada score yang lebih
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
15
rendah di bawahnya, dengan selisih yang tidak terlalu banyak dengan score tertinggi, sebagian responden menyetujui konsep Natah yang cukup lentur, moderat terhadap prinsip-prinsip kepercayaan. Subtema 6: responden meyakini (19 orang atau 76%) bahwa Natah dalam bentuk apapun tetap harus ada (eksis), walaupun lahan pekarangan yang ada sangat terbatas. Serta (21 orang atau 84%) berpenda pat bahwa sekecil apapun ruang luar yang ada di tengah antara bangunan – bangunan rumah tinggal bisa disebut sebagai Natah. Sebagian responden (11 orang atau 44%) berpendapat bahwa teras, halaman, bisa difungsikan sebagai area Natah, dan sebagian yang lain bahkan (10 orang atau 40%) setuju dengan konsep Natah secara abstrak/maya, di mana eksistensinya diyakini dalam alam pikiran mereka. Subtema 7: responden (12 orang atau 48%) meyakini bahwa agar nyaman (tidak kepanasan atau kehujanan) secara visual natah boleh ditutup dengan atap yang bersifat sementara. Sebagian kecil responden (5 orang atau 20%) berpendapat bahwa konsep Natah bisa bersifat abstrak/maya, ada dalam penghayatan pikiran mereka, dan sebagian besar (16 orang atau 64%) menyatakan tidak setuju. Analisis persepsi dengan menggunakan kriteria score sesuai Likert Scale, rangkuman score dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 6. Rangkuman Hasil Scoring Persepsi Terhadap Natah Sub Tema
Skor Aitem Butir Persepsi
Persepsi
a.Definisi/ pengertian Natah b.Kosmologi /filosofis Natah c.Fungsi/ Aktifitas pada Natah d.Bentuk Natah e.Tata letak Natah f.Keberadaan Natah pd lahan terbatas g.Perlakuan thd Natah
1 -
2
3
4
5
62
77
73
74
Skor
Skor
Total
Rata-rata
286
71,50
d. Persepsi thd bentuk Natah
16 %
52 %
32 %
100 %
e. Persepsi thd tata letak Natah
4%
56 %
40 %
100 %
f. Persepsi thd keberadaan Natah jika lahan terbatas g. Persepsi ttg perlakuan thd Natah
0%
84 %
16 %
100 %
32 %
56 %
12 %
100 %
Score Persepsi Natah secara Keseluruha
0%
84 %
16 %
100 %
Sumber: Analisis, 2012
Dilihat hasil persepsi parsial (per subtema) mayoritas mempunyai berbagai variasi, namun dengan kecenderungan score katagori sedang/moderat dan baik yang lebih besar dibanding score persepsi dengan katagori kurang. Untuk score keseluruhan terlihat kecenderungan persepsi Natah pada rumah tinggal berada pada posisi moderat/sedang: 84% dan baik (taat azas): 16%. Secara keseluruhan tidak ditemukan persepsi yang negatif (0%). 3) Analisis karakteristik pola Natah pada sistem ruang rumah dan halaman Identifikasi terhadap 25 unit rumah orang Bali, dilakukan berdasar kondisi eksisting ruang di rumah dan halaman dengan melihat pada aspek: KDB serta orientasi rumah dan pekarangan. Identifikasi dilakukan dengan metoda superposisi antara pola Nawa Sanga dengan denah eksisting. Variabel Kontrol meliputi: KDB (A:< 60%, B:60%-80%, C:81%100%) dan orientasi bangunan (barat, timur, selatan, dan utara). Tabel 8 menjelaskan identifikasi dengan superposisi: Tabel 8. Identifikasi Karateristik Pola Natah pada sistem tata ruang rumah dan halaman No
101
101
83
-
58
73
60
93
-
-
75
99
70
78
68
94
94
Superposisi Denah & Tapak Eksisting dengan Pola Zoning Nawa Sanga
285
95
-
191
63,66
Natah Merajan
80
248
82,67
Natah Bale /Rg.Kelg
247
82.30
388
77,6
1
72
-
79
53
64
Keterangan : (-) = Gugur
136
A
KDB B
C
Orien tasi ba ngun an
Barat
Natah Paon Natah Penunggun Karang
68
Sumber: Analisis, 2012
2
Lt.1 Lt.1
Lt.2 Lt.2
Lt.3
Timur
Dari rangkuman hasil score persepsi Natah di atas, kemudian dilakukan analisis regresi (dengan mengubah score persepsi menjadi katagori) hal ini untuk melihat bentuk/kecenderungan persepsi Natah pada rumah tinggal secara keseluruhan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 7. Klasifikasi Bentuk Persepsi Terhadap Natah Pada Rumah Tinggal. Sub Tema Persepsi Natah
Kurang
Sedang
Bai k
Total
a. Persepsi terhadap Definisi Natah
28 %
36 %
36 %
100 %
b. Persepsi thd Kosmologi/Filosofi Natah
4%
28 %
68 %
100 %
c. Persepsi thd Fungsi/Aktifitas
0%
44 %
56 %
100 %
pada Natah
16 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Natah Bale
Natah Paon
Natah Natah Merajan Penunggun 3 Karang 4 5 6 7 Dengan cara superposisi yang sama (analog), maka 8 9 10 11 12
gambar denah eksisting dengan superposisi pola Nawa Sanga karena keterbatasan halaman, tidak ditampilkan.
Timur Selatan Selatan Timur Selatan Selatan Timur Utara Timur Utara
Ahmad Saifullah Malangyudo
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Barat Selatan Barat Timur Barat Utara Utara Utara Timur Utara Timur Timur Barat
Sebagian besar rumah orang Bali yang diteliti mempunyai KDB yang cukup besar ialah KDB 60% s/d 80% sebanyak 6 unit rumah (24%) dan KDB 80% s/d 100% sebanyak 12 unit rumah (48%). Hanya ada 7 unit (28%) dengan KDB<60% (fakta menunjukkan masih di atas 50%). Hal ini menunjukkan sebagian besar rumah (72%) berada di lahan terbatas, di mana keberadaan ruang terbuka sangat minimal. Hasil identifikasi pola Natah di bangunan rumah dan halaman menghasilkan tiga karakteristik pola Natah dan beberapa varian yang berada di dalamnya. (Lihat tabel 9, 10, dan 11). Tabel. 9 Klasifikasi Pola Natah type I Karakteristik Pola Natah Dalam Sistem Tataruang Rumah Tinggal
1 (D)
4
7 (A)
2
5 (B)
8
3 (C)
6
9
Notasi Zona Nawa Sanga : 1: Nistaning Utama 2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista 4: Madyaning Utama 5: Madyaning Madya 6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama 8: Utamaning Madya 9: Utamaning Nista
Natah Pamera jan (A)
Posisi di ruang terbuka zona 7 Wujud: San gah (Catatan: Letak: lt.1 atau lt.2 atau lt. 3 dan tetap berada di zona 7, tergantun g luasan lahan)
Eksistensi Natah Natah Natah Bale Panung (B) gun Karang (C) Posisi di Posisi di ruang ruang ruang terbuka tertutup zona 5, di zona 5, Wujud: Wujud: Sanggah Sanggah (Catatan: (Catatan: Letak di hanya seluruh terdapat 1 zona (satu) nista, sampel zona (resp. no 3,6,9 ) 25) di ruang terbuka .
No Natah Paon / Lebuh (D)
Posisi di ruang tertutup, zona 1, keberadaa nnya ditunjukk an oleh adanya Sanggah atau signage yang cukup signifikan menunjuk kan kebera daannya.
1, 2, 3, 7, 9, 11, 13, 14, 15, 20, 25
Tabel. 10 Klasifikasi Pola Natah type II. Karakteristik Pola Natah Dalam Sistem Tataruang Rumah Tinggal
1
4
7 (A)/ (C)
2
5 (B)
8
3 (D)
6
9
Notasi Zona Nawa Sanga : 1: Nistaning Utama 2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista 4: Madyaning Utama 5: Madyaning Madya 6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama 8: Utamaning Madya 9: Utamaning Nista
Natah Pameraj an (A)
Posisi di ruang terbuka zona 7 dengan Sanggah (catatan: Letak di lt.1 atau lt.2 tergantun g ketersedia an lahan. Catatan sebagai varian: Natah Pameraja n juga terda pat di zona 8 dan 9 .
Eksistensi Natah Natah Natah Bale Panunggun (B) Karang (C) Posisi di Posisi di ruang ruang zona 7 tertutup dengan Sang di zona 5 gah (Catatan dengan : berada satu Sang gah zona dengan atau Sanggah signage Mera yang jan.) Sebagai cukup varian : signifi Letak di kan zona 8 dan menun 9. jukkan keberadaa n Natah Bale secara visual.
No Natah Paon / Lebuh (D) Posisi di ruang ruang tertutup pada zona 3, dengan signage yg cukup signifi kan menun jukkan keberadaa nnya. Catatan: Letak di zona 1 dan zona 2.
10, 12, 17, 18, 19, 22, 21, 23 dan 24
Tabel. 11 Klasifikasi Pola Natah type III Karakteristik Pola Natah Dalam Sistem Tataruang Rumah Tinggal
1
4
7 (A)
2
5 (B)
8
3
6
9 (C)
Notasi Zona Nawa Sanga : 1: Nistaning Utama 2: Nistaning Madya 3: Nistaning Nista 4: Madyaning Utama 5: Madyaning Madya 6: Madyaning Nista 7: Utamaning Utama 8: Utamaning Madya 9: Utamaning Nista
Natah Pamera jan (A)
Posisi di ruang terbuka di zona 7. Letak Di lt.1 atau lt.2 tergan tung ketersedia an lahan nya. Catatan: Sebagai varian posisi Natah Pameraja n berada di zona 4 dan 8)
Eksistensi Natah Natah Natah Bale Panung (B) gun Karang (C) Merupaka Posisi di n ruang ruang tertutup , terbuka berupa keberadaa Sanggah nnya di atau tunjukkan signage oleh Sang yang gah cukup (Catatan: signifikan sebagai menun varian jukkan Natah keberadaa Panunggu n Natah n Karang Bale. berada di zona 6,9 dan 1 )
No Natah Paon / Lebuh (D)
Pada ruang terbuka maupun ruang tertutup tidak ditemu kan sanggah atau signage yang signifi kan mendu kung keberadaa n Natah Paon pada type ini.
4,5, 6,8 dan 16
4). Analisis korelasi persepsi penghuni terhadap Natah dengan klasifikasi karakteristik pola Natah Untuk melihat korelasi/hubungan kedua variabel tersebut, maka perlu uji korelasi Chi Square antara Karakteristik Pola Natah dengan Persepsi terhadap Natah. Tabel 14. Korelasi persepsi terhadap Natah dengan karakteristik pola Natah Pola Natah (Kor)
Asymp.Sig.
*Persepsi Natah
(2-sided)
2
χ
hitung
2
χ
tabel
Tema a
0,246
5.432
9.488
Tema b
0,289
4.980
9.488
Tema c
0,979
0,043
5.991
Tema d
0,296
4.913
9.488
Tema e
0,699
2.202
9.488
Tema f
0,879
0,259
5.991
Tema g
0,048
9.574
9.488
Persepsi Total
0,879
0,259
5.991
Keterangan: Asymp.Sig. (2-sided) : nilai signifikansi korelasi χ 2 hitung : nilai Chi Square hitung 2 χ tabel :nilai Chi Square tabel (α = 5 %) Jika nilai signifikansi > α dan χ 2 hitung < χ 2 tabel maka Ho diterima Jika nilai signifikansi < α dan χ 2 hitung > χ 2 tabel maka Ho ditolak
Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui terdapat satu korelasi yang signifikan yaitu antara karakteristik pola Natah dengan persepsi terhadap Natah pada tema G (Perlakuan terhadap Natah), dengan nilai signifikansi 0,048. Atau dengan kata lain karakteristik pola Natah yang terdiri atas tiga klasifikasi pola tersebut dipengaruhi dengan kuat oleh bagaimana penghuni memperlakukan Natah.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
17
Pembahasan Sebagian besar responden dalam mempersepsi Natah (khususnya Natah Bale) mempunyai pandangan cukup moderat dalam kaitan pemahaman prinsip filosofis, fungsi, bentuk, maupun letak dan perlakuan terhadap Natah. Moderat diartikan mudah menyesuaikan terhadap kondisi lingkungan dan tidak t erlalu kaku menerapkan Natah Bale sesuai prinsip ruang terbuka dan titik nol ( pralina) sesuai konsep Cathus patha. Konsep ruang terbuka sebagai cerminan hu bungan unsur akasa (langit) dengan pertiwi (bumi) disikapi oleh persepsi yang cukup moderat, bahwa untuk menjamin aktifitas di Natah Bale dari gangguan cuaca, terjaminnya kenyamanan aktifitas dan antisipasi dari keterbatasan ruang terbuka, maka sangat dimungkinkan diletakkannya Natah Bale di ruang tertutup (ruang di bawah atap, misal: ruang keluarga). Persepsi moderat ini sangat sesuai dengan konsep Desa Kala Patra yang menjadi salah satu pedoman kehidupan masyarakat Bali. Dalam kaitan teori, maka pandangan persepsual orang Bali terhadap Natah di lahan terbatas dan minimnya ruang terbuka, sangat sesuai dengan konsep lokus dan konsep ruang intuitif imajiner. Keberadaan tempat ( place) sebagai locus menjadi prioritas utama di sam ping ruang sebagai cerminan bidang atas dan bidang bawah. Orientasi menjadi pedoman tegas penerapan konsep zoning Nawa Sanga. Hasil klasifikasi pola Natah di rumah orang Bali mencerminkan gambaran konsep diri penghuni rumah yang menerapkannya dalam konsep rumah sesuai hirarkhi motif Maslow. Hasil analisis terhadap karakteristik pola Natah yang menghasilkan 3 (tiga) tipe klasifikasi pola Natah, lebih memperjelas moderasi pemikiran orang Bali di Yogyakarta terhadap aplikasi berbagai tipe Natah (khususnya Natah Bale) dalam sistem tataruang rumah tinggalnya. Dari varia bel kontrol yang menggambarkan sebagian besar KDB cukup tinggi dan ketersediaan ruang terbuka sangat minimal, mendorong penerapan aplikasi ruang untuk Natah menjadi sangat fleksibel, namun tetap mengikuti pedoman prinsip zoning Nawa Sanga. Keterbatasan lahan terpaksa memindahkan Sanggah Pamerajan di lantai bangunan di atasnya. Secara spiritual Sanggah Pamerajan mempunyai kedudukan tertinggi dibandingkan Natah/Sanggah lainnya, sehingga konsep letak di atas bisa dilakukan. Sebagian besar Natah Bale berada di ruang tertutup (ruang keluarga, ruang tamu dan ruang tidur) ditandai oleh keberadaan Sanggah sebagai signage yang berkaitan dengan fungsi Natah Bale sebagai fungsi sosial dan kultural dalam skala terbatas (keluarga/ kerabat). Hubungan aspek persepsi penghuni terhadap Natah dengan 3 (tiga) klasifikasi pola Natah masih kurang kuat mencerminkan hubungan keseluruhan subtema persepsi tentang Natah, kecuali subtema perlakuan terhadap Natah. Dari substansi butir per-
18 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
sepsi terdapat 2 katagori dalam perlakuan terhadap Natah, yaitu: perlakuan untuk menjamin kenyamanan aktifitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip Natah yang berada dalam tataran konsep berpikir mereka (ruang maya). Kedua kalimat kunci ini yang mendasari pemikiran moderat perseptor. Tuntutan kenyamanan kemungkinan diorientasikan untuk mengatasi kendala kendala berupa: keterbatasan lahan dengan minimnya ruang terbuka, rumah dengan ruang yang bersifat given (khususnya rumah-rumah KPR) dan suasana lingkungan yang mungkin sangat berbeda dengan daerah asalnya di Bali, sangat mendominasi pikiran persepsual mereka. VII. Kesimpulan. Secara persepsual eksistensi Konsep Natah pada rumah tinggal orang Bali berada di posisi moderat, ialah fleksibel dalam konteks menyesuaikan dengan kendala kendala yang ada berupa keterbatasan lahan dengan minimnya ruang terbuka. Secara aplikatif eksistensi konsep Natah sebagai ruang fisik tampak melalui klasifikasi pola Natah yang mencerminkan upaya yang moderat dan win win solution, ialah menerapkan prinsip Natah melalui upaya mengatasi kendala keterbatasan lahan dan minimnya ruang terbuka di satu sisi dengan keinginan untuk tetap memenuhi prinsip zoning Nawa Sanga. Korelasi persepsi dengan pola Natah melalui kekuatan hubungan perlakuan terhadap Natah dengan 2 kategori perlakuan untuk menjamin kenyamanan aktivitas di Natah dan diakuinya eksistensi prinsip Natah yang berada dalam tataran konsep berpikir orang Bali di Yogyakarta (ruang maya), hal ini mencerminkan eksistensi Konsep Natah yang cukup moderat. Wawancara dan Diskusi 1)
2) 3)
Ketua LPD yang juga Ketua Jero Bendesa Desa Pedungan, Drs. I Wayan Sumartha, 29 Oktober 2011 di Kantor LPD desa Pedungan,Denpasar Bali. Wawancara dengan I Ketut Adhimastra, 29 dan 30 Oktober 2011 , Desa Pedungan , Denpasar Bali. Wawancara dengan I Made Arjana Gumbara, Desember 2012, Yogyakarta.
References 1) 2)
3)
4) 5)
Blaang, Djemabut.C.(1986) Perumahan Dan Pemukiman Sebagai Kebutuhan Pokok , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Cornelis Van de ven, Space In Architecture, Van Gorcum & Comp.B.V.,P.O.Box 43,9400 AA Assen, The Netherlands, third revised edition published 1987 Gusti Ayu Made Suartika (2010), Substansi Budaya Dalam kebijakkan Tata Ruang Di Bali. Humaniora, Volume 22, No.3 Oktober 2010. Ida Bagus Mantra (1996), Landasan Kebudayaan Bali,Yayasan Dharma Sastra , Denpasar. I Nyoman Galebet(2002), Arsitektur Tradisional Bali, Badan Pengembangan Budaya dan Pariwisata Deputi Bidang pelestarian dan pengembangan Budaya Bagian Projek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali.
6)
Jatman, Darmanto (1983) Mendiami Rumah Susun, Makalah Seminar, Jurusan Arsitektur Unika Sugijapranata, 22 Nopember 1983
7)
Lang, Jon.( 1987) Creating Architectural Theory, The Role of The Behaviour Science In Environmental Design, Van Nostrand ReinholdCo.,New York.
Ahmad Saifullah Malangyudo
8)
Poespowardojo (1982), Beberapa Pokok Pikiran Fundamental Dalam Rangka Perencanan Perumahan, Jurnal IAI , Nomor Perdana, Oktober 1982. 9) Rakhmat, Jalaluddin (1991) Psikologi Komunikasi, Bandung: Penerbit PT.Remaja Resda karya. 10) Robert a.Baron et al, (1991) Understanding Human Relations ,a Practical Guide to People at Work. 11) I Nengah Sudata(2002) Persepsi Masyark at Bali Terhada p Sistem Nilai Ruang Terbuka Tradisional di Kota Den Pasar , Penerbit PPS, UNDIP, Semarang.
12) Suwondo, Sutedjo Bismo , Peran, Kesan Dan Pesan Bentuk Bentuk Arsitektur , Penerbit Djambatan, 1982 13) Vincent (1983) Perencanan Tapak Untuk Perumahan ( Terjemahan dari : Site Planning For Cluster Housing by Richaed Untermman et.al) 14) Walgito, Bimo (1989) Psikologi Sosial, Penerbit: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
19
Morfologi Kampung Kalengan Kelurahan Bugangan Kota Semarang
Arief Fadhilah1, Titien Woro Murtini2, Bambang Supriyadi2 1
Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi Perancangan Kota, Universitas Diponegoro 2
Dosen, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro
Abstract The existence of the city as a space where people do various activities was being object of discussion that is never completed. Likewise Kampung Kalengan, an urban village in Bugangan Semarang City which is known as home industry area for can or metal craft. This is interesting due to its special historical reconstruction phenomenon which industrial activities were performed at daily home environment. This research made to know the morphological development phenomenon of Kampung Kalengan, through historical approach, by using qualitative method. Space reconstruction analysis showed that the morphology development of Kampung Kalengan can be divided into 5 (five) phases, with indication of industrial units development into the east side, along pre-post construction of Barito Street. Spatial integration between the home environment and industrial units initially was a unity, then become two sides of spatial, but still can’t be separated. It was found that there are external and internal aspects which are taking a part in the morphological formation of Kampung Kalengan, they are accessibility, government’s policy, local wisdom, and adaptability of Bugangan own residents. Keywords : morphology, urban village, industry, qualitative, Kampung Kalengan
I. Pendahuluan Arsitektur dan urban design banyak dipandang sebagai hal-hal yang berkaitan dengan keindahankeindahan bangunan dan desain perkotaannya. Memang tidak salah, namun pandangan tersebut belum menyeluruh (Budihardjo, 1994). Bernard Rudolsky (1965) juga menyatakan bahwa karya lingkungan atau bangunan yang terbentuk secara spontan oleh mereka yang tidak memiliki pendidikan formal arsitektur, ternyata tidak kalah nilainya sebagai karya arsitektur. Indonesia adalah wadah di mana isu ‘kampung kota’ (sebutan untuk kampung-kampung rakyat yang masih berada di wilayah perkotaan) menjadi wacana perkotaan dan ‘arsitektur populis’ yang menarik, dengan 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota (398 kabupaten dan 93 kota serta 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) (KOMPAS, 2011). Zahnd (2006) menjelaskan pernyataan Hanan (1996) bahwa 60-70% populasi penduduk di kota-kota Indonesia tinggal di kampung kota mengindikasikan kampung kota memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan kota. Selain menjadi potensi, tentu juga memberikan masalah terhadap kotanya. Kajian tentang kampung kota mau tidak mau harus Arief Fadhilah -- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur Konsentrasi Perancangan Kota Universitas Diponegoro Jl. Hayam Wuruk No. 5 Gedung Teknik Lt. 1 dan 3 Peleburan, Semarang Hp: 085265361225 Telp: 024 8312418 Fax: 024 8312418 e-mail:
[email protected]
20
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
tetap dilakukan, guna perbaikan dan perkembangan kota tersebut. Kampung Kalengan adalah kampung kota di Semarang, yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur. Sebutan ‘Kampung Kalengan’ memang tidak terdaftar seca ra administratif, namun sudah dikenal oleh masyarakat sebagai sebuah kumpulan industri rumah tangga dengan kerajinannya yang berbahan kaleng/logam (Suara Merdeka, 2012). Unit-unit usaha industri Kam pung Kalengan berkembang dari lingkungan rumah tinggal dan terjadi dalam rentang waktu tertentu, sekaligus menjadi refleksi kekhasannya. Perkembangan ruang dan dinamika aspek lain yang mengikutinya dapat dipelajari dengan sebuah kajian morfologi ruang. Dari rumusan di atas, maka saya membuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimanakah perkembangan morfologi Kam pung Kalengan Bugangan Semarang? - Apakah yang melatarbelakangi perkembangan morfologi tersebut? II. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bugangan Semarang yang terjadi dalam be berapa fase secara kontekstual, dengan sasaran: - Rekonstruksi perkembangan ruang - Analisis keruangan kampung - Penggalian hal yang melatarbelakangi perkembangan morfologi yang terjadi
Arief Fadhilah
III. Morfologi Kampung Kota Kampung kota didefinisikan sebagai bentuk permukiman perkotaan khas Indonesia dengan ciri ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan, dan ber bagai permasalahan lainnya (Suryandari, 2007). Kam pung kota biasanya terbentuk secara organis dan tanpa arahan formal. Kostov (1991) memandang fenomena pembentukan ruangnya bercirikan organic pattern, melalui alur waktu dan kehidupan keseharian, fungsi dan bentuk menjadi satu kesatuan bersama, tidak da pat dipisahkan secara jelas antara kepentingan individu/privat maupun kepentingan umum/publik. Menurut Rossi (1982), morfologi adalah usaha dalam mendeskripsikan suatu urban artefak, dengan penggambaran perkembangannya. Menurut Shultz dalam Zahnd (1999), melakukan kajian morfologi akan berkaitan dengan kualitas figurasi melalui penghubungan pola-pola, hirarki ruang maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya. Mengkaitkan antara ruang kampung dengan pembahasan morfologi ternyata sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Carmona et.al. (2003), di mana kajian morfologi didefinisikan sebagai kajian tentang bentuk dan proses terbentuknya suatu permukiman atau perkampungan, yang menekankan pada analisis evolusi perubahan permukiman. Beberapa elemen pembentuk morfologi ruang, yaitu:
- Land use (penggunaan lahan) Elemen ini bersifat temporer, dapat dijadikan dasar untuk membangun kembali dan merencanakan fungsi baru dari suatu bangunan yang akan dibuat. - Building structures (tipe dan massa bangunan) Massa bangunan memiliki peran yang kuat da-
lam membentuk struktur kawasan dan jaringan jalan, dan sering menjadi refleksi dari kawasan itu sendiri. - Plot pattern (pola kapling) Pola kapling dapat berubah karena adanya aktivitas jual beli kapling. Pengurangan akibat pem bagian kapling, atau penambahan akibat pengga bungan kapling biasa terjadi dalam suatu kawasan. - Street pattern (pola-pola jalan/sirkulasi) Jaringan jalan merupakan elemen morfologi yang cukup mudah terlihat perkembangannya, baik melanjutkan pola yang sudah ada, atau terbentuk pola baru melalui suatu proses. Selain keempat elemen tersebut, perubahan dominasi aktivitas industri ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan morfologi sebuah kampung (Priyatmono, 2009). IV. Materi dan Metode Penelitian dilakukan di kawasan Kampung Kalengan dengan luas ±7,5 Ha, terletak di dalam wilayah Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Cakupan penelitian membahas ruang kampung dalam lingkup meso. Setelah melakukan mini-tour dan dengan memperhatikan sasaran penelitian, diperoleh rumusan unit analisis sebagai pengarah penelitian dan dasar pembentuk garis besar pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara. Dirumuskan bahwa kajian tentang ruang kampung tidak hanya membicarakan elemen fisik, namun juga aspek nonfisik seperti sosial, budaya, dan ekonomi, sesuai keadaan kontekstual. Berikut yang menjadi unit analisis penelitian. - Elemen perkembangan ruang kampung skema sirkulasi penggunaan lahan massa bangunan • • •
Gambar 1. Lokasi Penelitian dilihat dari Kawasan Kota Semarang (Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang – CAD Kota Semarang, 2013) Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
21
-
Komponen Fisik penyusun ruang kawasan kam pung ruang halaman/lapangan ruang jalan - Komponen Non Fisik penyusun ruang aspek sosial ekonomi aspek sosial budaya • •
• •
Kajian morfologi dilakukan melalui pendekatan historis dengan metode kualitatif, di mana objek penelitian tidak akan dilepaskan dari konteksnya dan dilihat dalam kerangka holistik (Muhadjir, 1996). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: 1. Observasi Observasi di lapangan dilakukan dengan mendata objek fisik spasial, aktivitas beserta pelaku pengisi ruang kampung di waktu dan hari yang berbeda (pagi, siang, malam, weekday, weekend ) sehingga tidak hanya gambaran fisik ruang kam pung yang diperoleh, namun juga pola kehidupan warga kampung yang mengisinya. 2. Wawancara wawancara terstruktur, memperoleh informasi yang sama untuk setiap responden, seperti datadata kepemilikan ruang dan unit usaha, jumlah unit usaha, dan lain-lain. wawancara terbuka, dilakukan secara lebih mendalam dengan pedoman garis-garis besar pertanyaan yang ingin disampaikan. Hasil wawancara dituangkan dalam catatan lapangan. Catatan lapangan, menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000), adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dikumpulkan dan diberi kode-kode untuk mempermudah pengelompokkan informasi. Teknik wawancara dilakukan dengan bantuan recorder sehingga proses penggalian informasi bisa lebih fokus, tanpa harus banyak terbagi dengan aktivitas mencatat jawaban dari informan. Target yang akan dicapai adalah terkumpulnya informasi mengenai perkembangan kampung dan berbagai aspek non fisik. 3. Dokumentasi Dengan foto-foto lapangan, sketsa suasana lingkungan, rekam audio dan video, dan penggalian dokumen-dokumen instansi pemerintahan dan informan. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut: Daftar pertanyaan wawancara terstruktur Daftar acuan pertanyaan wawancara terbuka Alat tulis dan kelengkapannya Kamera foto Recorder Alat ukur ruang (meteran) Foto udara objek penelitian Peta •
•
Gambar 2. Format Catatan Lapangan Penelitian Morfologi Kampung Kalengan Bugangan (Sumber: Rumusan Peneliti, 2013).
V. Sejarah Kampung Kalengan Cikal bakal Kampung Kalengan ini bermula ketika Mbah Pon dan Mbah Saleh, warga lingkungan rumah tinggal Bugangan, membuat produk kebutuhan rumah tangga seperti ember, angklo, dan kompor sumbu yang berbahan dasar seng di tahun 1950-an. Penduduk sekitar sebagian tertarik untuk belajar membuat produk yang sama, dan akhirnya menjadi pengrajin perkalengan dengan membuka usaha mandiri. Rentang waktu hingga 1980-an, perkembangan pesat Kampung Kalengan terdengar sampai ke ibukota, ditandai dengan kunjungan wakil presiden Adam Malik tahun 1982 sekaligus memprakarsai pameran produk pengrajin Kampung Kalengan. VI. Keadaan Sosial Budaya Kampung Kalengan memiliki hubungan sosial budaya yang cukup terjalin, baik sesama pengrajin perkalengan, atau antar pengrajin dengan penduduk permukiman Bugangan. Keberadaan paguyuban pengrajin Kampung Kalengan, BINA WARGA, hadir sebagai simbol budaya guyub dalam kehidupan bersosial antar pengrajin, dengan kegiatan rutin arisan setiap bulan secara bergilir di rumah anggota pengrajin. Di arisan tersebut, biasanya membicarakan kegiatan keseharian di Kampung Kalengan, dan kelangsungan ko perasi BIWA KOPIN yang dibentuk oleh anggota paguyuban.
• • • • • • • •
22
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Gambar 3. Aktivitas Pengrajin membuat Produk Perkalengan (Sumber: Survai Lapangan, 2012)
Arief Fadhilah
1970
1970-an 1971 1971-1972 1971 1972 1974
Gambar 4. Berbagai Produk Pengrajin Berbahan Dasar Kaleng (Sumber: Survai Lapangan, 2012).
1975 1976 1977-1978 1978-an 1980 1982
1982-an
1982-an 1987-1988 1990 1990-an 1992
Gambar 5. Rumah Asli di antara Rumah-Rumah Modern (Sumber: Survai Lapangan, 2013).
1992-1993 1994-1998
Bapak Mulyoto datang Bapak Marino ikut kerja dengan pengrajin (usia 18 tahun) Masalah rob dan genangan air Pembongkaran kios-kios di dekat pasar Regol Perbaikan kali dan tanggul kanal Bekas benteng di bantaran Banjir Kanal Timur Bapak Mulyoto menikah Mulai pembangunan Jalan Barito Peresmian Jalan Barito Pengrajin memulai usaha mandiri Pembongkaran tanah pemakaman Pengrajin mulai mendirikan ‘emplek -emplek’ PT. Djamin membuat LIK Pindahnya sebagian unit usaha ke LIK Bugangan Baru Pameran Kampung Kalengan diprakarsai wakil presiden RI Adam Malik Pendirian ‘emplek -emplek’ oleh pengrajin Pelebaran Jalan Barito, Pembangunan SDN Bugangan 02 Pembangunan jalan arteri di selatan Mulai ada kios-kios unit usaha di Jalan Barito Penertiban sesuai perda oleh panitia (pembagian kapling dan pembuatan batas trotoar) Perbaikan jalan (KIP) oleh pemerintah daerah Pembangunan jalan arteri Soekarno-Hatta
3.2.a 1.1.g 3.5.b, 4.3.f 3.3.j 3.3.k 3.5.l 3.2.b 1.2.g, 1.2.h, 3.3.o 3.3.o 1.2.c 4.4m, 6.4.c 1.2.j 3.3.q 3.4.c, 3.4.e, 3.4.g, 4.2.c, 4.2.g, 7.2.l 3.4.n, 3.4.o, 7.3.d 1.2.j, 3.5.c, 3.5.d, 4.5.h 4.4.m 3.3.p 1.3.d, 3.5.c 4.2.n, 4.5.j, 7.1.d 4.4.h 3.4.p
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
Gambar 6. Arisan Paguyuban BINA WARGA Kampung Kalengan (Sumber: Survai Lapangan, 2013).
VII. Hasil dan Pembahasan Dari fakta dan informasi yang diperoleh, dilakukan penyusunan runtutan peristiwa berkaitan dengan Kam pung Kalengan sebagai berikut (bagian yang diblok menandakan peristiwa yang cukup penting). Tabel 1 Urutan Peristiwa terkait Perkembangan Kampung Tahun Pra 1950-an 1950-an
1960-1963 1966
Peristiwa Mbah Pon dan Mbah Saleh sudah memiliki pengalaman kerajinan Ayah Bapak Soleman sudah membuat kerajinan ember, dalam satu masa dengan Mbah Pon dan Mbah Saleh Pemindahan pasar Regol Pembongkaran rumah-rumah tepi Banjir Kanal Timur, Jalan Bugangan Raya sudah ada
Kode 3.2.m 3.2.m
3.3.h 3.1.i
Data di atas kemudian dikelompokkan dalam dua tipe yaitu peristiwa fisik keruangan dan non-fisik keruangan. Diperoleh bahwa perkembangan Kampung Kalengan dapat dibagi ke dalam 5 fase yang memiliki kekhasan dan pertimbangan masing-masing, yaitu: - Fase I, sebagai masa embrio lahirnya Kampung Kalengan (1950an-1965) - Fase II, sebagai masa pertumbuhan pertama Kampung Kalengan (1966-1973) - Fase III, sebagai masa perkembangan Kampung Kalengan (1974-1987) - Fase IV, sebagai masa penstabilan Kampung Kalengan (1988-1994) - Fase V, sebagai masa eksisting Kampung Kalengan saat ini (1995-2013) Perkembangan ruang Kampung Kalengan direkam kemudian dituangkan dalam bentuk rekonstruksi ruang kampung dengan beberapa analisis sketsa untuk menggambarkan kondisi pada tiap fase. Rekonstruksi tersebut menjadi modal utama dalam analisis morfologi ruang yang dipaparkan dalam uraian berikut. a) Morfologi Kampung Kalengan Morfologi Fase I Fase I adalah fase embrio Kampung Kalengan di
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
23
dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan, di mana Mbah Pon dan Mbah Saleh sebagai perintisnya. Lingkungan rumah tinggal Bugangan masih sangat alami, dengan kerapatan bangunan yang jarang dan kondisi lingkungan buruk. Semakin ke barat, kondisi lingkungan semakin baik karena dekat dengan Jalan Citarum Raya sebagai akses paling utama, sedangkan semakin ke timur, kondisi lingkungan semakin buruk karena faktor topografi dan masih belum a danya ruang jalan di tepi sungai (masih berupa rumah-rumah penduduk). Morfologi Fase II Fase II diawali dengan pembongkaran rumah-rumah di tepi Banjir Kanal Timur Semarang yang menyebabkan berubahnya struktur keruangan, walaupun belum diikuti dengan perubahan fungsi yang signifikan. Dalam masa ini, unit-unit usaha Kampung Kalengan semakin bertambah di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan mengingat banyaknya pengrajin yang membuka usaha mandiri dan mulai munculnya para pendatang dari luar Kota Semarang untuk bekerja di Bugangan. Morfologi Fase III Pembangunan Jalan Barito (1974) mulai mengubah struktur aktivitas penduduk dan pengrajin sehingga tidak sepenuhnya bertumpu pada Jalan Citarum Raya di sebelah barat, melainkan mulai memanfaatkan Jalan Barito sebagai jalur alternatif aktivitas ( supplay and demand ). Jalan dan pembagian bentuk ruang terbukti menjadi penentu arah perkembangan sebuah place/ tempat, termasuk dalam aspek sosial dan ekonominya (Scheer-Ferdelman, 2001). Kampung Kalengan semakin berkembang hingga dikenal sampai keluar Kota Semarang. Puncaknya tahun 1982, wakil presiden Adam Malik berkunjung untuk meresmikan pameran produk perkalengan di Kam pung Kalengan Bugangan. Mulai tahun 1980-an PT. Djamin (developer ) membuat LIK (Lingkungan Industri Kecil) Bugangan Baru sebagai tempat usaha alternatif bagi pengrajin.
Gambar 7. Sketsa Lingkungan Tepi Kanal pada Fase Awal (Sumber: Analisis, 2013).
Gambar 8. Kondisi Fisik Ruang Jalan Lingkungan pada Fase I-II (Sumber: Analisis, 2013).
Gambar 9. Sketsa Tipe Rumah pada Fase I-II (Sumber: Analisis, 2013).
Tabel 2 Perkembangan Keruangan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Survai Lapangan, 2013)
24
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Arief Fadhilah
Tabel 3 Perkembangan Sirkulasi dan Penggunaan Lahan Kampung Kalengan Fase I - V
(Sumber: Analisis, 2013)
Sebagian pengrajin mencoba untuk membuka usaha di LIK, namun selang beberapa bulan, mereka kembali ke Bugangan karena berbagai faktor baik ekonomi, aksesibilitas, dan sosial. Morfologi Fase IV Fase IV, banyak dilakukan perbaikan dan pelebaran jalan dan lingkungan Bugangan oleh pemerintah. J alan Barito menjadi jalan utama dan jalur alternatif bagi kendaraan-kendaraan bermotor dari arah utaraselatan atau sebaliknya. Tahun 1992, terjadinya penertiban unit-unit usaha Kampung Kalengan sesuai Perda Semarang dengan melakukan pembagian kapling usaha dan pembuatan trotoar sebagai batas kapling usaha dengan jalan. Perkembangan unit usaha di Jalan Barito semakin pesat, tetapi masih banyak menyisakan lahan kosong di kanan dan kiri unit usaha sekaligus sebagai usaha penggalakkan taman untuk mendukung Semarang Adipura.
di tepi Jalan Barito berevolusi menjadi tempat-tempat unit usaha, selaras dengan perkembangan industrialisasi. Fakta tersebut dipandang sebagai tradisi lokal (Dufaux, 2000). Ruang terbuka biasanya dibuat untuk TPS (Tempat Pembuangan Sementara) berukuran sekitar 5x7 m di beberapa lokasi. Terbentuknya gang-gang kecil di setiap seberang gapura Jalan Bugangan I-V menuju ke arah sungai sebagai jalur sirkulasi ke sungai. b) Untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, di perlukan pembahasan mengenai latar belakang yang mempengaruhi perkembangan morfologi tersebut. Penulis mencoba menganalisis pola perkembangan ruang jalan, persebaran penggunaan bangunan dan tempat usaha, peristiwa-peristiwa yang sering diingat-dibicarakan warga kampung yang disesuaikan dengan fakta dokumen-peta, sehingga dirumuskan dua aspek hal yang melatarbelakanginya perkembangan morfologi Kampung Kalengan, yaitu sebagai berikut:
Morfologi Fase V Pada fase V, unit-unit usaha tumbuh sampai memenuhi tepi Jalan Barito dengan menyisakan beberapa ruang terbuka untuk beberapa fungsi. Rumah-rumah
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
25
Aspek Eksternal Aksesibilitas Aspek aksesibilitas menjadi penting terhadap morfologi Kampung Kalengan fase III, IV, dan V. Jalan Barito yang mulai dibangun tahun 1974 (fase III) mempengaruhi pengrajin untuk memanfaatkan akses tersebut sebagai akses utama aktivitas industri perkalengan, baik produksi, pemasaran, maupun supplay and demand . Ditambah lagi pelebaran Jalan Barito tahun 1988 (fase IV) yang membuat semakin banyaknya unit-unit usaha perkalengan di tepi Jalan Barito. Kebijakan pemerintah, Kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah beberapa kali memberikan dampak terhadap morfologi Kampung Kalengan, terutama pada fase III, IV, hingga ke-V. (i) Kunjungan wakil presiden Bapak Adam Malik difase III ke Bugangan menjadi bentuk nyata dukungan pemerintah pusat untuk pengembangan Bugangan sebagai kampung industri. Momen terse but menggugah semangat pengrajin untuk membuka unit-unit usaha baru di lingkungan rumah tinggal Bugangan. (ii) Keluarnya peraturan daerah dari walikota Semarang pada tahun 1992 (fase IV) yang memberikan izin kepada pengrajin Kampung Kalengan untuk membuka unit usaha di tepi Jalan Barito. (iii) Pada fase ke-V, Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah mempatenkan lokasi industri perkalengan tersebut se bagai “Sentra Industri Perkalengan Bugangan Semarang”. •
•
dan akhirnya diikuti oleh penduduk lainnya. Hal ini menyebabkan tumbuhnya unit-unit usaha perkalengan di dalam lingkungan rumah tinggal Bugangan. Kemampuan adaptasi penduduk, Sejak fase I-III, sekitar 30 tahun lamanya unit-unit usaha Kampung Kalengan berkembang dan bertahan di dalam lingkungan rumah tinggal. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan adaptasi penduduk Bugangan sendiri atas segala aktivitas usaha perkalengan yang mungkin bagi orang lain tidak mudah diterima, misalnya terhadap kebisingan suara produksi dan adanya toleransi keluwesan keruangan. Kemampuan ini sekaligus menjadi nilai dan kekuatan kampung untuk tum buh dan bertahan sebagai kampung kota yang terus melakukan aktivitas kekhasannya, yakni usaha perkalengan. •
VIII. Kesimpulan a) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan Bugangan (dapat dibagi dalam 5 fase) erat kaitannya dengan lingkungan rumah tinggal Bugangan. Perkembangan unit-unit usaha Kampung Kalengan dari fase I – V mengindikasikan perkembangan ke arah timur, seiring dengan pra-pasca pembangunan Jalan Barito. Pada Fase I-II, unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal. Pada fase III, sebagian unit usaha Kampung Kalengan berada di dalam lingkungan rumah tinggal dan se bagian di tepi J alan Barito, dan sebagian lagi mencoba membuka usaha di LIK Bungangan Baru. Fase IV-V, hampir seluruh unit usaha Kampung Kalengan berada di sepanjang Jalan Barito. Integrasi keruangan antara lingkungan rumah tinggal Bugangan dan unit usaha Kampung Kalengan awalnya adalah kesatuan, kemudian menjadi dua sisi keruangan, namun tetap tidak dapat dipisahkan. •
•
•
•
Fase I
Gambar 10. Plang Identitas Kampung Kalengan (Sumber: Analisis, 2013)
Aspek Internal Kearifan lokal, Inisiatif penduduk Bugangan sendiri sangat menentukan dimulainya perkembangan Kampung Kalengan, terutama pada fase I dan II. Pada fase tersebut kondisi lingkungan Bugangan masih buruk, dan didominasi oleh penduduk berekonomi menengah ke bawah. Namun karena tuntutan ekonomi, sebagian penduduk berkreativitas membuka usaha perkalengan,
Fase I
Fase II
Fase II
Fase III
•
26
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Gambar 11. Perkembangan Integrasi Keruangan Kampung Kalengan (Sumber: Analisis, 2013)
b) Perkembangan morfologi Kampung Kalengan dilatarbelakangi oleh beberapa aspek yang dirangkum ke dalam dua bagian, yaitu:
Arief Fadhilah
Aspek Eksternal Aksesibilitas, perkembangan Jalan Barito berkaitan dengan peningkatan aktivitas supplay and demand kampung. Kebijakan pemerintah, intervensi terhadap eksistensi Kampung Kalengan. Aspek Internal Kearifan lokal, keberanian warga menciptakan jatidiri kampung lewat aktivitas industri. Kemampuan adaptasi penduduk, memperkuat karakter kampung sebagai kampung industri rakyat. •
•
•
•
IX. Rekomendasi a) Rekomendasi prosedural: Pengembangan Kampung Kalengan Bugangan harus memperhatikan perjalanan morfologinya agar eksistensi sebagai kampung beridentitas industri rakyat tetap terjaga. Kampung Kalengan Bugangan memiliki ke mampuan adaptasi penduduk yang baik, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kampung mix use activities. Kegagalan LIK Bugangan Baru dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi pemerintah bahwa ada beberapa industri (berbasis kampung) yang harus tetap bersinergi dengan kehidupan masyarakatnya. b) Rekomendasi substansial: Penelitian ini difokuskan pada morfologi ruang dengan pendekatan history, sehingga celah pembahasan seperti peran policy pemerintah dalam pembentukan ruang kampung masih dapat diteruskan untuk dikaji lebih dalam. Dapat dilakukan penelitian mendalam tentang tipologi bangunan-bangunan di Kampung Kalengan yang mungkin dipengaruhi sekaligus mengalami adaptasi terhadap aktivitas industri. Kampung Kalengan memiliki indikasi dengan teori genius loci, sehingga dapat dilakukan penelitian fenomenologi lingkungan rumah tinggal Bugangan sebagai ‘raga’ dari aktivitas industri perkalengan sebagai ‘ jiwa’-nya.
Ucapan Terima Kasih Saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat dan pengrajin Kampung Kalengan Bugangan Semarang, terutama pada Bapak Soleman dan Mulyoto selaku kepala dan mantan kepala paguyuban ka mpung atas segala informasi yang diberikan, yang sangat membantu dalam proses penelitian ini. Daftar Referensi 1)
Budihardjo, E (1994), Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gadjah Mada Univ ersity Press: Yogyakarta.
2)
Carmona, M. et al. (2003), Public Places-Urban Architectural Press: Oxford.
3)
Dufaux, F (2000), A New World from Two Old Ones: the Evolution of Montreal’s Tenements. 1850-1892, Jurnal Internasional: Urban Morp hology 4 hal. 9-19.
4)
Kostof, S (1991), The City Shaped , London Press.
5)
LOK (2011), Jumlah Kota di Indonesia Meningkat 57 Persen Lebih: Pemekaran Daerah, Kompas: 12 Oktober.
6)
Moleong, L. J. (1996), Metode Penelitian Kualitatif , PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
7)
Muhadjir, N (1998), Metode Penelitian Kualitatif , Rake Sarasin, Yogyakarta.
8)
Priyatmono, A. F. (2009), Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta, Jurnal Arsitektur dan Perencanaan Vol. 1 No. 1 April ha l. 15-21.
9)
Rossi, A (1982), The Architecture of The City, Cambridge Mass MIT Press.
Spaces,
10) Rudofsky, B (1965), Architecture Without Architect , Doubleday & Company, Inc., Garden City, New York. 11) Scheer, B.C. dan Daniel Ferdelman (2001), Inner-city Destruction and Survival: the Case of Over-the-Rhine, Cincinnati, Jurnal Internasional: Urban Morp hology 5 hal. 15-27. 12) Suryandari, P (2007), Geliat Nafas Kampung Kota sebagai Bagian dari Permukiman, Jurnal Program Kajian Teknik Arsitektur Fakultas Teknik - Universitas Budi Luhur Vol. 3 No. 1 hal. 54 -72. 13) Syukron, M (2012), Bugangan Lebih Dikenal dengan Kampung Kalengan, Menjadi Pusat Produksi Kerajinan dari Kaleng , Suara Merdeka: 19 Juli, hal 21&27. 14) Zahnd, M (1999), Perancangan Kota secara Terpadu, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.Zahnd, M (2006), Traditional Urban Quarters in Semarang and Yogyakarta, Indonesia, PhD-Research Publication, University of Stuttgart, Germany.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
27
Aspek Visual Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan Sungai Code Yogyakarta
Ashri Amalia Hadi1 1
Mahasiswa, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro
Abstract Development of rental house flats is one of Indonesian Government's program to reorganize slums area, so that the resident can live properly and the area visual can be better. But that goal are not achieved maximum because of the implementation of the construction of buildings has less attention to the facade and exterior look of the buildings, so they looks dirty and innevective in improving regional visual. These problems occured in the region of Jogoyudan Yogyakarta on the flats Jogoyudan rental house flats, where the existence of the flats gives the impact to regional visual of residents that located in the centre of the city. From the analysis of the visual system (optic, place, content) and visual quality (alignment, proportion, scale, balance, rhythm, and color), it is known that the visual aspect of the facade at Jogoyudan flats are influenced by the form of buildings, building functions, the quality of building materials, and social culture. Keywords : visually, facade, rental house flats, the area I. Pendahuluan Permasalahan di bidang perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah munculnya pemukiman yang padat, tidak teratur, kotor, dan memberikan pengaruh yang negatif terhadap visual ruang kota (Budiharjo,1994). Permasalahan tersebut timbul dikarenakan berkembangnya permukiman padat penduduk tidak ditunjang dengan infrastruktur lingkungan yang baik, serta kualitas fisik bangunan yang tidak memenuhi standar bangunan rumah tinggal. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk menanggulangi permasalahan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta menata kem bali lingkungan permukiman kumuh sehingga warga dapat hidup dengan layak dan visual kawasan dapat menjadi lebih baik. Sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, tujuan dari pembangunan rumah susun adalah sebagai upaya untuk meremajakan daerahdaerah kumuh agar tertata menjadi sebuah lingkungan yang sehat, serta mendorong pembangunan permukiman yang berkepadatan tinggi. Menurut Yudohusodo (1991) rumah susun dapat menjadi suatu alternatif dalam peremajaan lingkungan terutama di perkotaan Ashri Amalia Hadi -- Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur UNDIP Alamat: Jalan Hayam Wuruk No.5 lantai 1 dan 3 Semarang 50241, Jawa Tengah Tel: 024 8312418 Fax: 024 8312418 e-mail:
[email protected]
28 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
dengan mengubah struktur fisik lingkungan permukiman sehingga memberi dampak positif terhadap visual kawasan. Menurut Pedoman Penyiapan Pengelola dan Penghuni Rusunawa Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling Kementerian PU, permasalahan kekumuhan pada rumah susun terjadi karena masalah kepenghunian dan pengelolaan yang kurang baik. Dalam beberapa tahun pascahuni bangunan rumah susun terlihat kurang terawat, kotor, banyak jemuran pakaian yang tidak pada tempatnya, dan rusaknya elemen bangunan. Kondisi tersebut terlihat dari tampilan luar bangunan rumah susun, terutama fasad bangunan bangunan rumah susun Dalam kajian arsitektur, fasad menjadi bagian yang penting untuk mengkomunikasikan fungsi dan nilai dari suatu bangunan. Menurut Prijotomo (1987) fasad merupakan bagian yang pertama kali mendapat apresiasi baik atau buruk dari dari subjek pengamat. Fasad dari bangunan-bangunan yang terdapat pada sebuah kawasan dapat memberi kesan visual bagi kawasan tersebut. Adanya kondisi ini mendorong timbulnya urgensi untuk mempertanyakan bentuk penerapan aspek visual fasad bangunan rumah susun dalam sebuah lingkungan permukiman padat penduduk. Di Kota Yogyakarta langkah peremajaan telah dilakukan dengan membangun 3 (tiga) rumah susun di bantaran Sungai Code. Salah satunya rumah susun Jogoyudan. Lokus pada rumah susun Jogoyudan dikarenakan pertimbangan karakter visual dan perannya dalam membentuk wajah kota Yogyakarta cukup besar. Berlandaskan rumusan masalah tersebut, peneliti mengkaji mengenai aspek visual fasad rumah
Ashri Amalia Hadi
susun Jogoyudan dengan memfokuskan suatu tujuan penelitian sebagai berikut: a. untuk mengetahui aspek visual fasad rumah susun dalam memberikan pengaruh yang positif atau negatif terhadap visual kawasan peremajaan permukiman di desa Jogoyudan Yogyakarta b. Mengetahui elemen dari fasad yang paling mem pengaruhi visual kawasan permukiman Jogoyudan Yogyakarta. II. Materi dan Metode Burden (1990) mengemukakan bahwa fasad bangunan adalah, “external face or elevation of a build ing, es pecially the principal front”. Hal ini berarti fasad bangunan merupakan wajah utama atau tampak depan dari sebuah ekterior bangunan sehingga dapat dilihat dari jalan atau area publik lainnya. Dengan kata lain fasad merupakan bagian eksterior dari keseluruhan bangunan, bagian depan, bagian samping, ataupun belakang. Pendapat tersebut didukung oleh Krier (1992) yang mengungkapkan bahwa fasad memiliki peran penting dalam visual kawasan karena berperan dalam mengomunikasikan fungsi dan nilai suatu bangunan, menyampaikan keadaan budaya kawasan tersebut saat bangunan itu dibangun, dan memberikan identitas terhadap suatu atau komunitas pada kawasan tersebut.
Sebagai wajah dari sebuah bangunan, terdapat elemen-elemen yang membentuk sebuah fasad, yaitu: a. Selubung Bangunan (atap, dinding, lantai, struktur) b. Bukaan (jendela, pintu, boven, rooster) c. Sistem Pelindung Bukaan Untuk menampilkan fasad bangunan yang baik, elemen-elemen pada fasad seharusnya memiliki kriteria bentuk untuk mendapatkan visual yang baik. Menurut DK. Ching (1979) sebuah elemen bentuk sebaiknya mempertimbangkan kriteria visual sebagai berikut: a. Wujud e. Orientasi b. Dimensi f. Posisi c. Warna g. Skala d. Tekstur h. Proporsi Keberadaan fasad dalam suatu kawasan akan mem-pengaruhi sistem visual dan kualitas visual pada suatu kawasan. Menurut Cullen (1961) menambahkan bah-wa terdapat 3 hal penting yang mendukung sistem visual antara lain rangkaian pandangan ( optic), reaksi pengamat dengan tempat ( place), dan elemen-elemen ruang didalamnya (content ). Rangkaian 3 elemen tersebut menjadi poin penting yang menentukan pemandangan kawasan:
pergerakan ini disebut dengan istilah serial visions. Serial visions didapat dari kesatuan antara pemandangan elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya (existing view) dan pemandangan elemen-elemen baru yang muncul (emerging view) dalam satu tem pat. b. Place (Tempat) Place adalah reaksi posisi pengamat dengan ruang dalam lingkungannya. Reaksi posisi pengamat terse but membantu pengamat dalam mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan, pengalaman visual pengamat saat melewati kawasan, keterlingkupan, pemandangan elemen yang menonjol atau dominan. c. Content (Elemen Pengisi Kawasan) Content adalah beragam elemen yang ada dalam suatu ruang, dalam hal ini yaitu kawasan. Content berkenaan dengan bentuk elemen ruang kawasan se perti warna, tekstur, skala, style, karakter, personalitas dan keunikan.
Untuk mengetahui pengaruh fasad bangunan rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta dibutuhkan suatu kajian secara menyeluruh dengan penjabaran data dan analisa secara kualitatif melalui observasi, wawancara yang dilakukan terhadap responden yang mengetahui kondisi visual kawasan rumah susun Jogoyudan sebelum dan sesudah dibangun, dan dokumentasi baik fisik kawasan, maupun aktivitas masyarakat yang mempengaruhi visual kawasan. Untuk memenuhi tujuan penelitian digunakan analisis visual yang mengkaji objek penelitian berdasarkan sistem visualnya (optic, place, content ) dan kualitas visual (keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna). III. Hasil dan Pembahasan a. Area Studi Kawasan kampung Jogoyudan terletak di Kelurahan Gowangan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Wilayah yang didominasi oleh perumahan 1 hingga 2 lantai sehingga dibangunnya rumah susun Jogoyudan yang memiliki ketinggian 4 lantai menjadi bangunan yang paling tinggi hingga fasad bangunan tersebut dapat terlihat dari 4 sudut pandang : a. Dari arah tenggara yaitu jalan Kleringan b. Dari arah barat daya yaitu jalan lingkungan kam pung Jogoyudan c. Dari arah barat laut yaitu jalan Poncowinatan d. Dari arah timur laut yaitu jalan lingkungan kam pung Kota Baru Visual fasad rumah susun Jogoyudan, dapat dijelaskan dengan peta dan gambar di bawah ini.
a. Optic (Pemandangan) Optic adalah pemandangan kawasan yang diungkapkan dalam suatu rangkaian pandangan dalam sebuah pergerakan. Rangkaian pemandangan dalam
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
29
Diagram di atas menunjukkan bahwa responden menilai sistem visual optic pada fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan memiliki pengaruh positif. Res ponden menilai positif sebanyak 53,33%, yang menilai memiliki pengaruh negatif 23,33%, responden yang menilai ada sisi positif dan negatif sebanyak 15%, dan responden yang netral sebanyak 8,33%. Pendapat responden dalam menentukan penilaian didasarkan pada berbagai alasan. Peneliti mengklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu mengenai wu jud bangunan, kualitas material bangunan, fungsi bangunan, serta sosial budaya.
a. Wujud Bangunan Bangunan rumah susun didesain dengan tampilan yang lebih menarik pandangan masyarakat baik penghuni maupun warga yang tinggal di rumah susun tersebut. Bangunan rumah susun tersebut terlihat kontras dengan bangunan rumah tinggal lain yang berada pada kawasan Jogoyudan. Dibangunnya rumah susun dapat memperbaiki kekumuhan yang terjadi pada kampung Jogoyudan.
Gambar 1 . Peta Lokasi Kawasan Penelitan dan Tampak Bangunan Rumah Susun dari 4 Sudut Pandang (sumber: Survai dan Analisa, 2013)
b. Optic (Pemandangan) Fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta menjadi elemen emerging view yang memberkan pemandangan baru di kawasan permukiman terse but. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, didapatkan tanggapan responden mengenai tampilan fasad rumah susun di kawasan Jogoyudan Yogyakarta sebagai berikut.
b. Fungsi Bangunan Pada fasad rumah susun Jogoyudan terlihat bahwa bangunan tersebut mengikuti fungsi dan modul ruang yang ada di dalamnya. Perancang bangunan rumah susun tersebut telah mendesain sebuah ruang jemur pada setiap unit tinggal pada rumah susun Jogoyudan, supaya penghuni tidak menjemur pakaian sembarangan di luar jendela. Namun fungsi ruang jemur tersebut masih kurang maksimal, karena pada fasad rumah susun Jogoyudan elemen bukaan seperti jendela dan kisikisi besi sering dipergunakan untuk menggantung sesuatu benda yang seharusnya tidak digantung di tem pat tersebut, misalnya gantungan pakaian.
Wujud Bangunan
30
Kualitas Bangunan
25 Fungsi Bangunan Sosial Budaya
20
Wujud dan Kualitas Bangunan
15 Wujud dan Fungsi Bangunan
10
Wujud Bangunan dan Sosial Budaya Kualitas dan Fungsi B angunan
Gambar 3. Penggunaan Elemen Bangunan Tidak Sesuai Fungsi (sumber: Survai, 2013)
5 Kualitas Bangunan dan Sosial Budaya
0 Pengaruh Positif
Pengaruh Negatif
Fungsi Bangunan dan Sosial Budaya
Gambar 2. Grafik Hasil Wawancara Mengenai Tampilan Fasad Rumah Susun di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)
30 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
c. Kualitas Material Bangunan Perbaikan wujud bangunan yang disertai dengan perbaikan material bangunan rumah susun menjadi material permanen menunjang perbaikan visual fasad bangunan rumah susun. Namun jika dianalisa lebih dalam lagi ternyata terdapat kekurangan.
Ashri Amalia Hadi
Rumah susun Jogoyudan dibangun dalam 2 tahap pembangunan dengan jangka waktu yang berbeda. Terdapat perbedaan kualitas antara material yang digunakan pada rumah susun Blok A dan B dengan rumah susun blok D dan E. Pada elemen dinding dan struktur yang terlihat pada fasad rusun blok D dan blok E terdapat kerusakan kolom sebagai hasil dari kualitas material yang kurang bagus.
(a)
(b)
Gambar 4. (a) Kerusakan pada Kolom Blok D dan Blok E (b) Kolom Asli pada Bangunan Blok A dan Blok B (sumber: Survai, 2013)
d. Sosial Budaya Kawasan permukiman Jogoyudan memiliki beberapa fase pembangunan, yaitu fase rumah sosial, kemudian didirikan bangunan asrama buruh 2 lantai, dan saat ini telah dibangun rumah susun Jogoyudan 4 lantai. Seiring peremajaan permukiman yang dilakukan, jumlah pendatang semakin bertambah, khususnya yang tinggal di rumah susun. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan tatanan sosial masyarakat terutama dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan warga, didapatkan keterangan bahwa warga pendatang kurang dapat mem baur dengan penduduk yang telah lama tinggal pada permukiman Jogoyudan. Permasalahan ini berdampak pada kurangnya sense of belonging warga terhadap kawasan Jogoyudan. Perawatan bangunan rumah susun serta lingkungan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada paguyuban rumah susun. Sedangkan pihak paguyuban tidak memiliki cukup dana untuk melakukan perawatan dan kebersihan secara berkala dan rutin. Sehingga kerusakan-kerusakan bangunan tidak dapat segera ditanggulangi dan kondisi bangunan rumah susun menjadi kurang terawat. c. Place (Tempat)
Gambar 5. Hasil Wawancara Mengenai Fase Peremajaan di Kawasan Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)
Aspek place merupakan reaksi pengamat dalam mengidentifikasi lingkungannya, sehingga terdapat rasa memiliki atau kecocokan. Pengalaman visual pengamat dapat terjadi pada saat pengamat berada pada suatu kawasan, atau pengamat melihat pemandangan elemen yang menonjol dan dominan. Pada Kawasan Jogoyudan terjadi beberapa fase peremajaan kawasan yang mempengaruhi pengalaman visual warga permukiman Jogoyudan. Pada diagram di atas menunjukkan bahwa responden responden menyukai fase I sebanyak 50%, fase II 0%, fase III sebanyak 40%, dan responden yang memilih netral sebanyak 10%. Sebagian besar responden memilih fase I yaitu fase dimana kawasan kampung Jogoyudan masih berupa rumah tinggal sendiri-sendiri dan rumah sosial. Pada saat fase peremajaan I mereka merasa nyaman dengan tinggal dan beraktivitas di rumah milik pribadi. Kebersihan dan perawatan rumah juga ditunjang oleh pemilik masing-masing rumah. Pada Fase II, tidak ada responden yang memilih, karena pada fase tersebut bangunan asrama buruh 2 lantai merupakan bangunan dengan material yang tidak permanen, menggunakan papan tripleks, dan atap berupa seng yang tidak di- finishing. Sedangkan bangunan rumah susun yang saat ini mereka huni merupakan bangunan tempat tinggal bersama. Penghuni rumah susun masih membawa kebiasaan-kebiasaan lama saat masih tinggal di rumah pribadi dulu. Keterbatasan yang terdapat pada rumah susun membuat mereka melakukan hal-hal yang melanggar peraturan rumah susun. Belum ada kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam perawatan dan kebersihan bangunan rumah susun. d. Content (Elemen Kawasan)
Gambar 6. Hasil Wawancara Mengenai Warna dan Material pada Fasad Rumah Susun Jogoyudan (sumber: Analisa, 2013)
Berdasarkan wawancara dengan warga didapatkan identifikasi bahwa aspek content yang berperan pada fasad rumah susun Jogoyudan terhadap kawasan permukiman adalah elemen warna dan material. Diagram di atas menunjukkan bahwa responden menyukai warna yang diterapkan pada fasad bangunan rumah susun Jogoyudan. Penerapan warna yang terang yaitu warna krem, memberikan kesan visual yang baik. Terbukti responden yang menilai warna fasad rumah susun Jogoyudan positif sebesar 88,33%,
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
31
responden yang menilai negatif sebanyak 10%, sedangkan sebanyak 1,67% responden memilih Netral. Hasil wawancara dengan warga mengenai material bangunan menunjukkan bahwa banyak responden yang memilih netral. Hal ini dikarenakan pengerhauan warga Jogoyudan mengenai material bangunan kurang begitu baik. Sehingga mereka cenderung menerima apa adanya bangunan rumah susun yang mereka huni. Hal ini terbukti pada warga yang menilai positif sebesar 31,67%, responden yang menilai negatif 10%, responden yang menilai netral 26,67%, dan 21,67% responden memiliki pendapat positif dan negatif mengenai aplikasi material pada fasad bangunan rumah susun. e. Elemen Fasad yang Berpengaruh
Gambar 7. Grafik Hasil Wawancara Mengenai Elemen Fasad yang Berpengaruh (sumber: Analisa, 2013)
(a)
(b)
adalah elemen dinding, yaitu dengan angka responden yang memilih sebanyak 27 orang dengan prosentase 45%. Elemen dinding memiliki pengaruh dalam mem bentuk massa bangunan rusun yang berbentuk menyerupai balok, dan memberi tampilan desain bangunan yang lebih baik dari fase bangunan sebelumnya yaitu asrama buruh dua lantai. Tabel 1. Unsur Bentuk pada Elemen Dinding Unsur Bentuk Keterangan Bentuk geometris persegi Wujud panjang, menggunakan material yang solid sehingga lebih kokoh Krem, difinishing dengan cat Warna dinding eksterior berwarna terang Halus, karena pasangan batako Tekstur telah ditutup dengan acian Sejajar dengan bidang datar, merupakan bidang terletaknya elePosisi men-elemen fasad yang lain seperti bukaan, Sun Shading , dll. Menggunakan skala manusia yaitu ukuran dan proporsi yang Skala dan Proporsi secara fungsional mewadahi aktivitas sesuai dengan tubuh manusi Sumber: Analisa, 2013
Penerapan warna terang pada dinding juga menjadi faktor yang mempengaruhi elemen tersebut sehingga bangunan rumah susun Jogoyudan terlihat menonjol dan kontras dari bangunan rumah tinggal di sekitarnya. Selain itu dinding menggunakan elemen material yang permanen tidak seperti fase pembangunan sebelumnya sehingga tampilan fasad bangunan terlihat lebih kokoh. Kondisi tersebut berbedda dengan fase pembangunan sebelumnya yaitu asrama Ledok Code yang hanya menggunakan material triplek atau papan tanpa finishing. Sedangkan elemen yang memiliki pengaruh negatif dari hasil wawancara warga adalah jendela dan bukaan dinding samping, dengan jumlah responden yang berpendapat bahwa elemen yang memiliki pengaruh buruk pada fasad rumah susun sebanyak 15 orang dengan prosentase 25%.
Gambar 8. (a) Rekonstruksi Potongan Kawasan Asrama Buruh Ledok Code, (b) Modelling Kawasan Rusun Jogoyudan (sumber: Survai, 2013)
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada warga penghuni rumah susun Jogoyudan, elemen yang memiliki pengaruh positif terhadap fasad rumah susun
32 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Gambar 9. Detail Jendela dan Pemanfaatan Jendela yang Tidak Sesuai dengan Fungsinya oleh Penghuni (sumber: Analisa, 2013)
Ashri Amalia Hadi
Aktivitas penghuni rusun yang menjemur pakaian di jendela mengganggu pemandangan orang sekitar yang melihat. Apalagi bangunan rumah susun memiliki 4 lantai sehingga jemuran penghuni semakin terlihat jelas. Bahkan terdapat penghuni yang melakukan penambahan pada unitnya dengan membuat atap tritisan kecil untuk menaungi pakaian yang dijemur. Selain jemuran pakaian, banyak penghuni yang menggantung antena pada jendela unit yang mereka tem pati. Sehingga membuat pemandangan pada fasad rumah susun kurang baik.
Gambar 10. Potongan Elemen Sun Shading pada Rusun serta Jendela yang Ditutup oleh Penghuni (sumber: Analisa, 2013)
Jika dilihat dari gambar potongan di atas, pelindung bukaan hanya memiliki panjang 40 cm, sehingga ukuran tersebut kurang maksimal dalam menaungi bukaan yang berada di bawahnya. Sinar matahari masih dapat masuk ke dalam ruangan karena tidak ternaungi. Kondisi tersebut membuat penghuni harus membuat teknik pengendalian sinar secara internal dengan memasang tirai tambahan pada jendela. IV. Kesimpulan Berdasarkan analisa sistem visual kawasan yang meliputi aspek optic (pemandangan), place (tempat), dan content (isi), serta analisa kualitas visual meliputi keterpaduan, proporsi, skala, keseimbangan, irama, dan warna, fasad rumah susun Jogoyudan memiliki pengaruh yang positif terhadap visual kawasan kam pung Jogoyudan Yogyakarta. Dari hasil wawancara responden diklasifikasikan aspek visual fasad rumah susun Jogoyudan dipengaruhi oleh aspek-aspek sebagai berikut : a. Wujud Bangunan Konfigurasi wujud massa bangunan rumah susun Jogoyudan didesain lebih baik sehingga terlihat menonjol di antara bangunan-bangunan rumah tinggal lain, sehingga memberi dampak visual yang baik bagi kawasan permukiman Jogoyudan b. Fungsi Bangunan Terjadi penyimpangan fungsi ruang jemur menjadi dapur atau ruang lain dalam unit rumah susun. Sehingga jendela yang terletak pada ruang dapur
dimanfaatkan penghuni untuk menjemur pakaian. Terdapat juga penghuni yang menutup elemen bukaan yaitu jendela dan kisi-kisi besi dengan kardus, triplek, atau kertas karena gangguan silau, dan masuknya binatang karena lubang bukaan yang terlalu besar c. Kualitas Material Bangunan Pada fase peremajaan ketiga yaitu pembangunan rumah susun Jogoyudan, dilakukan perbaikan material bangunan. Karena pada fase kedua yaitu asrama buruh Ledok Code bangunan menggunakan material yang tidak permanen. Namun material bangunan rusun blok D dan E memiliki kualitas material yang kurang baik jika dibandingkan dengan bangunan rusun blok A dan B, sehingga ter jadi kerusakan pada beberapa elemen fasad. d. Sosial Budaya Sebagian besar penghuni rumah susun Jogoyudan masih membawa budaya atau kebiasaan tinggal pada rumah landed house. Keadaan tersebut diper parah dengan bertambahnya penghuni dari warga pendatang yang belum bisa berinteraksi sosial dengan penduduk asli setempat mengakibatkan menurunnya kepedulian masyarakat dalam hal perawatan serta kebersihan lingkungan rumah susun. Berdasarkan analisa unsur bentuk pada elemen pembentuk fasad rumah susun Jogoyudan, serta analisa hasil wawancara warga dan observasi pada lokasi penelitian, diketahui bahwa elemen yang berpengaruh terhadap fasad rumah susun Jogoyudan adalah sebagai berikut: a. elemen dinding sebagai elemen yang berpengaruh positif Dalam analisa unsur bentuk, dinding memiliki peran dalam membentuk massa bangunan dan wujud tampilan luar bangunan rumah susun. Hal tersebut didukung oleh finishing yang dilakukan pada elemen dinding dengan cat berwarna cerah yaitu krem dan merah bata. Penerapan warna dinding tersebut disukai oleh sebagian besar warga permukiman Jogoyudan. b. elemen bukaan yang memiliki pengaruh negatif Kebiasaan penghuni rumah susun menjemur pakaian pada elemen jendela merupakan tindakan pemanfaatan elemen yang tidak sesuai dengan fungsinya. Selain itu, elemen bukaan tidak didukung dengan sistem pengendalian sinar kurang baik, sehingga sebagian besar penghuni menutup jendela ada unit rumah susun mereka. Referensi 1) Budihardjo, Eko. 1994. Sejumlah Masalah Permukiman Kota, Penerbit Bandung 2) Burden, Ernest, 1995, Elemen of Architectural design, a Visual Resource, Van Nor strand, Reinhold, New York. 3) Ching, Francis D. K, 1991, Arsitektur, Bentuk, Ruang dan Tatanan, Penerbit Erlangga, Jakarta 4) Cullen, Gordon. 1961. The Concise Townscape, Butterworth
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
33
Heinemann, University Press, Cambridge 5) Krier, Rob.1992., Elements of Architecture, The Academy Group Ltd, London 6) Kukreja, C.P., 1978, Tropical Architecture, Tata McGraw-Hill Publishing, New Delhi. 7) Nurmasari, Shofiyah. 2008. Hubungan Media Ruang Luar (Menggunakan Pencahayaan Buatan) dengan Kualitas Visual Koridor di Malam Hari Menurut Persepsi Masyarakat (Studi Kasus Koridor Ja lan Pahlawan Semarang). Tesis Ma gister Teknik Arsitektur. Universitas Diponegoro.Semarang 8) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
34 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
9) Prijotomo, 1987. Ideas and Forms of Javanese Architecture. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta 10) Yudohusodo, Siswono. 1991. Rumah Untuk Seluruh Rakyat . Jakarta: INNKOPPOL 11) Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Rusun 12) Pedoman Penyiapan Pengelola dan Penghuni Rusunawa Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman Puslitbang Sosekling Kementerian PU 13) www.jogjakota.go.id, Peta administrasi, peta pola struktur, peta kawasan strategis, peta rencana pengembangan kawasan provinsi Yogyakarta. Diakses pada 6/12/12 pukul 19:30
Ashri Amalia Hadi
Konservasi Lahan Sebagai Upaya Melindungi Kawasan Resapan Air di Kota Depok
Hendro Pratikno1, Mussadun2 1
Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro 2
Dosen, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro
Abstract Recharge area gives protection to its area and the areas beneath it. The high growth of settlements and population has led to decrease of water absorption ability. This study aims to formulate land conservation efforts to protect water recharge areas by improving and maintaining water absorption ability. The analyzis methods used in this study are land use change analysis, analysis of potential water recharge areas, analysis of actual water recharge areas, analysis of changes in water absorption capacity, and analysis of land conservation studies. From this study it can be seen that formulation of land conservation efforts are carried out by the method of vegetative and mechanical conservation through (1) improving the ability of water absorption by making biopori holes in residential areas, improving drainage, creating green space such as RT parks, RW parks, city parks, green lane road, and the green line riparian, and (2) maintaining the ability of water absorption by protecting agricultural and dry land use and so as not to turn the function into non-agricultural land use, using recharge and absorption wells in residential areas, planting trees in the yard, improving the quality of existing green space, and controlling the growth of settlements with low KDB settings. Keywords : Recharge Area, Land Conservation
I. Pendahuluan 1.1. Latar B elakang Kawasan resapan air pada hakikatnya merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi dan peran dalam menjaga daya dukung lingkungan khususnya sumber daya air untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup dan aktivitas perekonomian wilayah. Kelestarian fungsi kawasan resapan air hanya akan terwujud jika ekosistem kawasan tetap terjaga dan terpelihara. Penggunaan lahan kawasan harus selalu diarahkan untuk tidak menyebabkan perubahan ekosistem atau penurunan fungsi kawasan. Pembangunan Kota Depok memunculkan sifat dilematis di mana pada satu sisi, sebagian besar wilayah Kota Depok menyandang fungsi kawasan resapan air, sementara sebagian wilayah lainnya menyandang fungsi sosial ekonomi akibat adanya tekanan pertum buhan ekonomi dan perkembangan penduduk yang sangat tinggi, yang memerlukan kapasitas lahan dalam jumlah yang cukup besar. Dari data BPS Kota Depok Dalam Angka diketahui bahwa Kota Depok berkembang sangat pesat yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dimana laju pertumbuhan penduduk Kota Depok dari tahun 2000 sampai dengan 2010 adalah sebesar 4,27% Hendro Pratikno --- Mahasiswa, Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro Tel: 08129543708 E-mail:
[email protected]
yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk secara nasional sebesar 1,49%. Selain itu konversi penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman dari tahun 2000 sampai dengan 2010 mengalami penambahan yang cukup pesat yakni sebesar 1.108,72 Ha. Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan tingginya konversi penggunaan lahan non-permukiman menjadi permukiman di Kota Depok menyebabkan semakin berkurangnya lahan yang dapat menyimpan ketersediaan air tanah yang akan ber pengaruh terhadap terjadinya penurunan kemampuan resapan air. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Untuk mengatasi permasalahan terjadinya penurunan kemampuan resapan air di Kota Depok diperlukan delineasi yang jelas batasan kawasan resapan air secara fisik dan pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kemampuan resapan air sehingga dapat diketahui upaya konservasi lahan yang dapat melindungi keberadaan kawasan resapan air. 1.2. Tujuan dan Sasaran Penelitian Penelitian ini bertujuan merumuskan upaya konservasi lahan untuk melindungi kawasan resapan air dengan cara meningkatkan dan mempertahankan kemampuan resapan air di Kota Depok. Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
35
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di Kota Depok tahun 2000 dan 2010. 2. Mengidentifikasi kondisi fisik lahan (geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng) di Kota Depok. 3. Menganalisis karakteristik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2010 di Kota Depok. 4. Menganalisis kawasan resapan air potensial di Kota Depok. 5. Menganalisis kawasan resapan air aktual tahun 2000 dan 2010 di Kota Depok. 6. Menganalisis perubahan kemampuan resapan air tahun 2000 – 2010 di Kota Depok. 7. Menganalisis upaya konservasi lahan di kawasan resapan air Kota Depok. II. Metode Penelitian Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif meru pakan metode yang menggunakan data terukur dan dianalisis dengan cara statistik (Cresswell, 2003). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah distribusi frekuensi, interpretasi data tabel, dan analisis spasial dengan teknik tumpang susun (overlay). Distribusi frekuensi dan interpretasi data tabel digunakan untuk menganalisis kecenderungan dari suatu data, sedangkan analisis spasial digunakan sebagai media analisis untuk mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki atribut keruangan dan mendapatkan gambaran keterkaitan di dalam permasalahan antar wilayah dalam wilayah penelitian. Alat analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan penggunaan lahan, mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air potensial berdasarkan kondisi fisik (geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng), dan mengidentifikasi dan menganalisis kawasan resapan air aktual berdasarkan kondisi fisik dan penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil analisis kemampuan resapan air, serta merumuskan kajian upaya konservasi lahan untuk meningkatkan dan mempertahankan kemampuan resapan air di wilayah penelitian berdasarkan hasil analisis kawasan resapan air potensial, perubahan kemampuan resapan air, dan perubahan penggunaan lahannya. Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 2.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis perubahan penggunaan lahan bertujuan untuk mengidentifikasi laju serta kecenderungan pertumbuhan dan perubahan penggunaan lahan di wilayah penelitian. Data penggunaan lahan yang digunakan adalah data time series (tahun 2000 dan tahun 2010) yang digunakan untuk menggambarkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan dalam 2 (dua) periode waktu yang berbeda. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui perubahan dari jenis, sebaran, dan besaran perubahan penggunaan lahannya.
36
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
2.2 Analisis Kawasan Resapan Air Potensial Analisis kawasan resapan air potensial didapat dengan melakukan tumpang susun (overlay) menggunakan Software ArcGis 10.0 berupa data spasial kondisi fisik lahan yang meliputi geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Data-data kondisi fisik lahan dijadikan variabel yang menentukan kawasan resapan air potensial. Masing-masing variabel (geologi, curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap resapan air ke dalam tanah yang dibedakan dengan pemberian bobot dan masing-masing variabel tersebut lalu dikelaskan dan diberi skoring/nilai. Kemudian untuk menentukan tingkat kesesuaian sebagai kawasan resapan air potensial dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian antara bobot dan nilai pada tiap variabel, dengan menggunakan rumus :
Nilai total = (Gb*Gp) + (Pb*Pp) + (Sb*Sp) + (Lb*Lp) Dengan : G = Geologi P = Curah hujan rata-rata tahunan S = Jenis Tanah L = Kemiringan Lereng b = Bobot p = Nilai variabel Berdasarkan rumus tersebut maka akan diperoleh nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Semakin besar nilai totalnya maka semakin besar potensi untuk meresapkan air ke dalam tanah dengan kata lain semakin sesuai sebagai kawasan resapan air. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5 (lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah yang pengkelasannya berdasarkan range nilai terendah dan tertinggi di wilayah penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air potensial di Kota Depok. 2.3 Analisis Kawasan Resapan Air Aktual Analisis kawasan resapan air aktual didapat dengan melakukan tumpang susun (overlay) menggunakan Software ArcGis 10.0 antara hasil analisis kawasan resapan potensial (berupa peta zona kawasan resapan air potensial di Kota Depok) dengan data spasial penggunaan lahan, di mana data spasial penggunaan lahan tersebut dikelaskan dan diberi skoring/nilai. Data spasial penggunaan lahan Kota Depok dipakai data tahun 2000 dan 2010. Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) terse but maka akan diperoleh nilai total dari setiap tempat di wilayah penelitian. Semakin besar nilai totalnya maka semakin besar kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah. Untuk mengklasifikasikannya dibagi menjadi 5 (lima) kelas yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah yang pengelasannya berdasar-
Hendro Pratikno
kan range nilai terendah dan tertinggi di wilayah penelitian sehingga didapatkan hasil berupa peta zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok pada tahun 2000 dan 2010. 2.4 Analisis Perubahan Kemampuan Resapan Air Analisis perubahan kemampuan resapan air didapat dari perubahan zona kawasan resapan air yang terjadi dari peta zona kawasan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) zona seperti berikut : a. Zona Penurunan Resapan Air Tinggi merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 sebanyak 3 - 4 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat rendah kelas sangat tinggi menjadi kelas rendah kelas tinggi menjadi kelas sangat rendah b. Zona Penurunan Resapan Air Sedang merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 sebanyak 2 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas sangat sedang kelas tinggi menjadi kelas rendah kelas sedang menjadi kelas sangat rendah c. Zona Penurunan Resapan Air Rendah merupakan perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010 sebanyak 1 tingkat, yakni : kelas sangat tinggi menjadi kelas tinggi kelas tinggi menjadi kelas sedang kelas sedang menjadi kelas rendah kelas rendah menjadi kelas sangat rendah d. Zona Resapan Air Tidak Berubah merupakan tidak adanya perubahan penurunan resapan air aktual tahun 2000 ke tahun 2010. 2.5 Analisis Perumusan Strategi Konservasi Lahan Analisis perumusan strategi konservasi lahan dida pat dengan meng-overlay peta kawasan resapan air potensial dengan peta perubahan kemampuan resapan air, serta melihat perubahan penggunaan lahannya. Analisis perumusan strategi konservasi lahan dilakukan dengan mekanisme pengelolaan kawasan resapan air dan pengendalian penggunaan lahan untuk mem pertahankan dan meningkatkan kemampuan resapan air. III. Konservasi Lahan Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan dalam konteks melindungi sistem tata air merupakan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan utama, yaitu metoda konservasi secara vegetatif, metoda konservasi secara mekanis, dan metode konservasi secara kimia. Pada penelitian ini digunakan metoda secara vegetatif dan metoda konservasi secara mekanis. 3.1. Konservasi secara Vegetatif Upaya konservasi tanah dan air dapat dilakukan
melalui upaya konservasi secara vegetatif (Utomo, 2001). Konservasi tanah secara vegetatif pada lahan non-pertanian dilakukan penanaman pada seluruh lahan sepanjang waktu. Jika pada upaya konservasi tanah dengan cara mekanis hanya dapat diperoleh manfaat dengan adanya penurunan laju erosi, maka dengan cara vegetatif diperoleh dua manfaat sekaligus yaitu penurunan laju erosi dan peningkatan kemam puan resapan air. Penurunan laju erosi yang diperoleh dari cara vegetatif terjadi karena adanya penurunan energi hujan (sebagai akibat adanya intersepsi oleh tajuk daun) yang sampai ke permukaan tanah, dan sekaligus adanya penurunan volume serta kecepatan limpasan permukaan. Penurunan volume limpasan permukaan ini terjadi karena adanya perbaikan sifat fisik tanah, dalam hal ini struktur dan ruang pori tanah, sehingga jumlah air yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi) menjadi besar. Pada dasarnya semua jenis tanaman dapat digunakan untuk pekerjaan konservasi tanah dan air, namun pemilihan jenis tanaman akan sangat menentukan ke berhasilan upaya konservasi. Jika dalam konservasi tanah juga diharapkan terjadi konservasi air, maka penggunaan tanaman akan mempunyai laju evapotranspirasi tinggi (misalnya pinus) supaya dihindari. Persyaratan pemilihan tanaman bagi metode konservasi ini antara lain : - Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas sehingga membentuk jaringan akar yang rapat - Pertumbuhannya cepat sehingga mampu menutup tanah dalam waktu singkat - Mempunyai nilai ekonomis baik kayu maupun hasil sampingannya - Dapat memperbaiki kualitas/kesuburan tanah 3.2. Konservasi secara Mekanis Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi (Kodoatie, 2003): Memperlambat aliran permukaan Menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak tanah Memperbesar kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah Menyediakan air bagi tanaman Sedangkan usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam metode mekanis antara lain: Pengolahan tanah Pengolahan tanah menurut garis kontur Pembuatan teras Pembuatan saluran air (waterways) IV. Hasil dan Pembahasan Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan Kota Depok selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000 – 2010 ditunjukkan oleh peningkatan jenis penggunaan lahan permukiman padat. Permukiman padat mengalami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha, diikuti
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
37
Gambar 1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Depok Tahun 2000 dan 2010 Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2013
oleh peningkatan jenis penggunaan lahan perumahan developer/formal sebesar 1.019,03 Ha. Sedangkan jenis penggunaan lahan yang mengalami penyusutan adalah permukiman renggang dengan tingkat penyusutan sebesar 3.151,60 Ha, diikuti oleh penyusutan jenis penggunaan lahan pertanian dan tegalan sebesar 1.526,19 Ha.
4.1. Kawasan Resapan Air Potensial Zona kawasan resapan air di Kota Depok yang memiliki resapan air potensial sangat tinggi terdapat di bagian selatan Kota Depok meliputi Kecamatan Tapos sebesar 2.647,28 Ha, Kecamatan Cilodong sebesar 1524,48 Ha, Kecamatan Sukmajaya sebesar 618,26 Ha, dan Kecamatan Cipayung sebesar 275,21 Ha.
Gambar 2 Peta Zona Kawasan Resapan Air Potensial di Kota Depok Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
38
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Hendro Pratikno
Zona resapan air potensial tinggi terdapat di bagian tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian selatan Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Tapos. Zona kawasan resapan air potensial sedang terdapat di bagian tengah Kota Depok dan sebagian kecil di bagian utara Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Beji, Cimanggis, Limo, dan Cinere. Zona kawasan resapan air potensial rendah dan sangat rendah terdapat di bagian utara Kota Depok meliputi Kecamatan Limo dan Cinere.
Secara umum wilayah Kota Depok terdapat pada zona kawasan resapan air potensial sedang sampai dengan sangat tinggi dengan luasan sebesar 17.767,41 Ha atau 88,58% dari luas wilayah Kota Depok. 4.2. Kawasan Resapan Air Aktual Pada tahun 2000, zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok sebagian besar berada pada zona kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi yakni sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah Kota Depok. Kecamatan yang berada pada zona kawasan resapan air sangat tinggi yang memiliki luasan
Gambar 3 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2000 Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Gambar 4 Peta Zona Kawasan Resapan Air Aktual Kota Depok Tahun 2010 Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013 Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
39
paling besar adalah Kecamatan Tapos yakni sebesar 1.153,18 Ha. Pada tahun 2010, zona kawasan resapan air aktual di Kota Depok yang sebagian besar berada pada zona kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah kawasan resapan air sedang sampai sangat tinggi luasannya semakin menurun di mana pada tahun 2000 sebesar 18.659,22 Ha atau 93,02% dari luas wilayah Kota Depok, pada tahun 2010 berkurang menjadi 15.049,36 Ha atau 75,03% dari luas wilayah Kota Depok. 4.2. Penurunan Kemampuan Resapan Air Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) zona kawasan resapan air yang mengalami penurunan resapan air tinggi terdapat di seluruh kecamatan di Kota Depok. Kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling besar terdapat di Kecamatan Beji sebesar 586,90 Ha atau 40,05% dari luas kecamatannya. Sedangkan untuk kecamatan yang mengalami penurunan tinggi paling kecil terdapat di Kec. Bojongsari sebesar 1,49 Ha atau 0,08% dari luas kecamatannya. Secara ekologis Kota Depok memiliki fungsi sebagai kawasan resapan air terutama di bagian tengah hingga selatan. Berdasarkan overlay peta zona kawasan resapan air potensial dengan peta zona penurunan kemampuan resapan air dapat terlihat bahwa penurunan resapan air tinggi terjadi di bagian tengah dan selatan Kota Depok di mana secara fisik lahan merupakan wilayah resapan air potensial tinggi. Wilayah Kota Depok yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan konservasi lahannya adalah Kecamat-
an Cipayung, Sukmajaya, Cilodong dan Tapos. Keem pat kecamatan tersebut mengalami penurunan resapan air tinggi, padahal secara fisik lahan merupakan kawasan resapan air potensial. Akibat terus mengalami penurunan dalam kemam puan peresapan air sehingga Kota Depok memerlukan penanganan untuk meningkatkan dan mempertahankan kemampuan resapan air dengan cara melakukan upaya-upaya konservasi lahan. Upaya-upaya konservasi lahan dilakukan dengan melihat tipologi resapan air secara potensial dan aktual di wilayah Kota Depok. Berdasarkan kajian konservasi lahan di Kota Depok didapatkan 5 (lima) tipologi konservasi lahan yang masing-masing tipologi terdiri dari 4 (empat) sub tipologi seperti tabel berikut: Tabel 1 Matrik Tipologi Kawasan Resapan Air
No
Kawasan Resapan Air Potensial
1
Perubahan Kemampuan Resapan Air
Penurunan Tinggi
Penurunan Sedang
Penurunan Rendah
Tetap
Sangat Tinggi
A1
A2
A3
A4
2
Tinggi
B1
B2
B3
B4
3
Sedang
C1
C2
C3
C4
4
Rendah
D1
D2
D3
D4
5
Sangat Rendah
E1
E2
E3
E4
Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Gambar 5 Peta Perubahan Kemampuan Resapan Air Di Kota Depok Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
40
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Hendro Pratikno
4.3. Tipologi Kemampuan Resapan Air Wilayah Tipologi A merupakan daerah yang harus dijaga dan dikendalikan pembangunannya karena merupakan zona resapan air potensial sangat tinggi. Tipologi A terdapat di bagian selatan dari wilayah Kota De pok yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung. Pada beberapa tempat t ersebut telah mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yang meliputi Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya. Wilayah Tipologi B merupakan zona resapan air potensial tinggi yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bo jongsari, Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis. Wilayah Tipologi C merupakan zona resapan air potensial sedang yang terdapat di bagian tengah dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Bojongsari, Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis. Wilayah Tipologi D merupakan zona resapan air potensial rendah yang terdapat di bagian utara dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere.
Wilayah Tipologi E merupakan zona resapan air potensial sangat rendah yang terdapat di bagian utara dari wilayah Kota Depok meliputi Kecamatan Beji, Limo, dan Cinere. 4.4. Kajian Konservasi Lahan Kajian konservasi lahan di Kota Depok dilakukan berdasarkan 5 (lima) tipologi, di mana wilayah Tipologi A, B, dan C merupakan wilayah yang harus mendapatkan prioritas dalam upaya mengonservasi lahan dikarenakan wilayah tipologi tersebut termasuk ke dalam kawasan resapan air potensial sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Konservasi lahan dilakukan dengan metode konservasi vegetatif dan mekanis. Pada masingmasing tipologi tersebut dibagi lagi menjadi 4 sub ti pologi dimana sub tipologi 1 sampai dengan 3 (A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3) dilakukan upaya konservasi lahan melalui meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara pembuatan lubang biopori pada kawasan permukiman, perbaikan drainase, pem buatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai. Sedangkan sub tipologi 4 (A4, B4, C4, D4, E4) dilakukan upaya konservasi lahan melalui mempertahankan kemampuan resapan air dengan cara melindungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non-
Gambar 6 Peta Tipologi Kemampuan Resapan Air di Kota Depok Sumber : Hasil Analisis Penyusun, 2013
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
41
pertanian, pembuatan sumur resapan dan bi opori pada kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarangan, meningkatkan kualitas RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah. Untuk Tipologi D dan E walaupun termasuk ke dalam kawasan resapan air potensial rendah dan sangat rendah, namun tetap harus dilakukan upaya konservasi lahan dengan cara meningkatkan dan mempertahankan kemampuan resapan air sebagai pendukung upaya konservasi lahan di wilayah Tipologi A, B, dan C. Secara umum wilayah Kota Depok sebagian besar merupakan kawasan resapan air potensial terutama di wilayah bagian tengah dan selatan dari Kota Depok. V. Kesimpulan 1. Penggunaan lahan Kota Depok pada tahun 2010 sebagian besar berupa permukiman (permukiman padat, permukiman renggang, dan perumahan developer/formal) sebesar 13.858,08 Ha atau seluas 69,09% dari total seluruh wilayah Kota Depok. Perubahan penggunaan lahan Kota Depok dari tahun 2000 – 2010 yang mengalami perkembangan paling pesat berupa permukiman padat yang mengalami peningkatan sebesar 3.408,16 Ha. 2. Kota Depok secara kondisi fisik memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air, terutama di bagian selatan yang meliputi Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Wilayah ini harus dikendalikan perkembangannya untuk melindungi fungsinya sebagai kawasan resapan air. 3. Dampak dari adanya perubahan penggunaan lahan adalah perubahan kemampuan resapan air di Kota Depok, di mana dari tahun 2000 – 2010 kemam puan resapan air semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya luasan kawasan resapan air aktual sangat rendah sebesar 3.413,82 Ha. 4. Berdasarkan kajian konservasi lahan dapat diketahui bahwa Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi, telah banyak mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi yaitu Kecamatan Cilodong sebesar 344,81 Ha atau 21,31% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Sukmajaya sebesar 213,48 Ha atau 13,25% dari luas wilayah kecamatannya, Kecamatan Tapos sebesar 280,23 Ha atau 8,43% dari luas wilayah kecamatannya, dan Kecamatan Cipayung sebesar 31,98 Ha atau 3,25% dari luas wilayah kecamatannya. 5. Rumusan upaya konservasi lahan diprioritaskan pada Kecamatan Tapos, Cilodong, Sukmajaya, dan Cipayung yang termasuk kedalam zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi. Upaya konservasi pada empat kecamatan tersebut meliputi : a. Meningkatkan kemampuan resapan air dengan
42
JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
cara memperbaiki kondisi permukaan tanah untuk mendukung terjadinya peresapan air yang lebih baik dan mengurangi limpasan permukaan pada lokasi yang telah mengalami penurunan kemampuan resapan air yang tinggi. Peningkatan kemampuan resapan air di antaranya berupa pembuatan biopori pada kawasan permukiman, perbaikan drainase, pembuatan RTH seperti taman RT, taman RW, taman kota, jalur hijau jalan, dan jalur hijau sempadan sungai. b. Mempertahankan kemampuan resapan air pada lokasi yang belum mengalami penurunan kemampuan resapan air dengan cara melindungi penggunaan lahan pertanian dan tegalan agar tidak berubah fungsi menjadi penggunaan lahan non pertanian, pembuatan sumur resapan dan biopori pada kawasan permukiman, penanaman pohon di pekarangan, meningkatkan kualitas RTH yang sudah ada, dan mengendalikan pertumbuhan permukiman dengan pengaturan KDB rendah. VI. Rekomendasi 1. Kawasan resapan air merupakan kawasan lindung yang melindungi kawasan bawahannya, yang artinya selain melindungi kawasan setempat (di Kota Depok) namun juga melindungi kawasan-kawasan bawahannya di bagian hilir (Provinsi DKI Jakarta) sehingga diperlukan kerjasama antara Pemerintah Kota Depok dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan kawasan resapan air. 2. Perlu adanya pedoman pengelolaan ruang kawasan resapan air di Kota Depok yang bertujuan untuk menentukan arahan kebijakan pengelolaan pemanfaatan ruang kawasan resapan air dan membuat kriteria-kriteria teknis pemanfaatan ruang kawasan resapan air. 3. Perlu adanya kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang yang terkait pengendalian pemanfaatan kawasan resapan air dengan cara menyusun peraturan zonasi kawasan resapan air yang dilegalkan dalam bentuk peraturan daerah sehingga pemerintah daerah dapat memiliki landasan yang berkekuatan hukum dan peraturan zonasi ini merupakan perangkat utama dalam pengendalian terkait perizinan, mekanisme insentif dan disinsentif, serta mekanisme pengenaan sanksi. 4. Perkembangan permukiman padat yang sangat pesat di Kota Depok perlu dibatasi khususnya pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi yang kemampuan resapan air aktualnya belum mengalami penurunan. Sedangkan untuk permukiman padat yang telah berada pada zona kawasan resapan air potensial sangat tinggi perlu diatur agar tidak bertambah dan dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan resapan air dengan cara membuat sumur resapan dan biopori.
Hendro Pratikno
5. Perumusan kajian konservasi lahan untuk melindungi (mempertahankan dan meningkatkan) kemampuan resapan air perlu ditinjaklanjuti dari arahan menjadi kajian yang sifatnya teknis dan detail, serta adanya kebijakan yang mengatur rencana pengembangan penggunaan lahan di kawasan resapan air Kota Depok.
15) Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekjur). Jakarta. 16) Presiden Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014. Jakarta.
Daftar Pustaka 1)
17) Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Nomor
Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029. Jawa Barat.
2)
BPS Kota Depok, Depok Dalam Angka 2011.
3)
Budiharjo, Eko dan Sujarto, Joko. 1999. Planning Local Economic
18) Pemerintah Kota Depok. 2009. Identifikasi Potensi, Masalah, dan
Development : Theory and Practice. Sage Publication. Lingkungan
Jabodetabek-Punjur.
Pusat
Lingkungan
Geologi Badan Geologi. Bandung. 5)
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 2009.
Api dan Karst Di Indonesia. Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung.
Sosial
No.
P.04/V-SET/2009
tentang
Pedoman
21) Rayes, M. Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan.
Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
22) Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D.R. 2007. Perencanaan
Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
8)
Penerbit ANDI, Yogyakarta. dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor. 23) Rustiadi, E., and T. Kitamura. 1998. Analysis of Land Use Change
Kodoatie, Robert J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur.
in City Suburbs. Journal of Rural Planning Association. 17 (1), pp
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
20-31.
Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Bogor.
9)
(RTRW) Kota Depok 2011 - 203 1. 20) Puridimaja, Deny Juanda. 2006. Hidrogeologi Kawasan Gunung
Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
7)
19) Pemerintah Kota Depok tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan 6)
Penjaringan Issue RTRW Kota Depok. Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok. Depok, Jawa Barat.
4} Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Profil Geologi
22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nugroho, Sutopo Purwo. 2002. Evaluasi Pembangunan Wilayah Pengembangan Selatan DKI Jakarta Sebagai Kawasan Resapan Air. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 3 No. 1 Tahun 2002. J akarta.
10) Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta. 11) Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah
24) Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit CV. Pustaka Buana. 25) Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. 26) Utomo, Wani Hadi. 2001. Menuju Pertanian Berkesinambungan. Makalah disampai-kan pada Pelatihan Pengelolaan dan Konservasi Lahan. PPLH Universitas Brawijaya Malang. 27) Waryono, Tarsoen. 20 03. Peranan Kawasan Resapan Dalam
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan
Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah pada diskusi profesi
Tanah. Jakarta.
perairan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Fakultas Teknik UI
12) Pemerintah Republik Indonesia. 20 08. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Jakarta. 13) Presiden Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta. 14) Presiden Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999 Tentang Penataan
Depok. 28) Wibowo, Mardi. 2006. Model Penentuan Kawasan Resapan Air Untuk Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Lingkungan. Jurnal Hidrosfir Vol. 1 No. 1 Hal. 1-7 Tahun 2006. Jakarta. 29) Zain, A.M, Mukaryanti, dan Diar Shid diq. 2006. Evaluasi Kemampuan
Alami
Wilayah
Dalam
Konservasi
Air
dan
Pengendalian Banjir. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 7 No. 1 Tahun 2006. Jakarta.
Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Jakarta.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
43
Adaptive Reuse Design of Historic Context Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan Kurnia Widiastuti1, Atsushi Deguchi2 1
Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia 2 Professor, Kyushu University, Japan
Abstract The adaptive reuse design of two different historic contexts characteristic, Yame City and Daimyo Area, Fukuoka, Japan, are discussed, stressed on physical and social aspects. Measurement of physical changes was carried by assessing structure and material changes of the present building interiors. Method used was visual observation and rapid interviews. In Yame case, building preservation by house owners tend in keeping the original structural frame; while the most changed elements is openings (windows and doors) material. Never had any preservation encouragement, Daimyo has strong atmosphere of old time buildings traces/revivals. This phenomenon could be understood by analyzing the social aspect. While Yame’s preservation is strictly carried by government; Daimyo built its strong identity informally, using neighborhood bound. In these cases, there are two types of approaches in building preservation system, one is by force which brings slight discomfort for occupants, but very effective in protecting the preserved environment. The other one is by passive persuasion using neighborhood bound, which has loose control, but not less strength in establishing the identity of local environment. Keywords: adaptive reuse, historic context, yame city, daimyo
I. Introduction 1.1 Background ‘Change’ is a part of growth. Japan has a very long history of development. There’s no doubt that Japan faced un-escapable change in economic-social political aspect along its long history. This aspect influenced many dimension, especially in the physical context, urban form and architecture. The faith and longing for old tradition versus the force of new developments. Many historical building were gone in developmental process, causing fade of historical context. Inability to adapt to recent demand and condition made them disappear or lost its identity. Yame City and Daimyo represent two different points of view in understanding the change of historical contexts, beside its similar characteristics. Each two cases were placed inside ancient Edo era castles, which make the locations itself has strong historical context. But the contents of the historical context, such as the building, road, etc., are different. Unlike original road pattern and width which still remained in both cases, number of old buildings in DaKurnia Widiastuti --- Lecturer, Gadjah Mada University, Indonesia
Ph: 08562892575 e-mail:
[email protected] Atsushi Deguchi --- Professor, Kyushu University, Japan
44 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
imyo is much less than in Yame City. This related to their contrast characteristic of location. Yame city and Daimyo have different potentials of location. Daimyo is placed in urban area, where the economic growth is highly paced, while Yame City is placed in rural quiet area, where the growth is relatively slow. The two cases also have different system of preservation. Yame City has been strictly preserved by local government, while Daimyo has no support or encouragement to do such pr eservation. There’s uniqueness in both cases. Therefore it is clear that understanding these two cases stands served important contribution for the efforts of historic context preservation. 1.2 Objectives This study goal is to understand, analyze and redefine the adaptive reuse design of two historic contexts, which are Yame City and Daimyo, including the physical and social aspect. 1.3 Method Firstly, physical changes data of the sample buildings are collected and analyzed to establish the typology of the changes. Second, non- physical (socialeconomic) data were collected to understand the factors under the physical changes. Conclusion was made after analyzing all findings. And finally a new definition of adaptive reuse design was established.
Kurnia Widiastuti
II. Adaptive Reuse of Yame City’s Historic Context 2.1 General Profile
Figure 1. Old Castle Map of Yame Fukushima
[1]
In the old time, Yame City’s was an area inside a castle. Like other Japanese castle, this castle is characterized by the trace of its surrounding canal. There were used to be a multi layer ditches surrounds the inner castle, but now its only small partial ditches left.
being carried out, especially those which related to façade or elevation changes. In tolerance, government was also set some building design guidelines to help resident to adapt their building interior layout to the recent occupant needs (such as garage, etc.) while also preserving façade. Government also distributes subsidy for building occupants to assure adequate building maintenance. The typical original house existed in Yame City is 2 machiya type . This house characterized by doma, earthen floor which runs along the house from the front (mote-street side) to back yard (ura-garden side). Kitchen can be found along this doma. In front part of the house, there’s a shop space called mise (shop) no ma (room). The shop might be a real shop, a working place, or a meeting room (which merchants used to discuss business).
Figure 3. Examples of Machiya in Yame City Figure 2. Map of Present Yame City th
[1]
In the late of 19 century, in the middle of Meiji Era, many machiya were constructed. The most of present traditional buildings of Yame were built in this time. The Yame City’s building is now about 100 years old. The common type of architecture in Yame City, Dozo Zukuri (Dozo-storage, Zukuri-style), built in the year of 1838. In June 2001, Ordinance of Yame Cultural Landscape was established. The base of mechanism was also being set since then. In May 2002, Yame Fukushima was designated as an important preservation area of traditional buildings. This new ordinance force building-owners to preserve their building’s façade. Restoration, renovation or other physical change must be authorized by local government before
Yame city is planned by government for a comercial use surrounded by residential area (yellow zone). Machiya (the house) itself also has commercial function, represented by its shop space. Zoning policy encourages this potential. 2.2 Samples There were about 30 building samples surveyed in this study. These samples were selected by choosing the machiyas concentrated in main road that still has commercial function, but changed their interiors. The spread of samples is shown in figure below. Most commercial type found were shops, followed by restaurant/café. In table 1, result of physical change is shown.
Figure 4. Map of Yame Building’s Function
[1]
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
45
Figure 5. Building Samples of Yame City
Table 1.Yame City Building Samples Physical Change
Function/ Description
Code
w w e o d o m d n i n a r i F W W
s r o o D
e m a r F r o o D
g n i l i e C
f o o R
•
•
•
•
•
#
n o i t a d n u o F
e r u t c u r t S
• • •
•
•
• • • • •
e r r u e t p c p u r U t S
r o o l F
s l l a W
Shops (12) 1-k62 2-k61 5-k42 c e-k0 i-k24 j-k21/23 k t h-k22 o
Shop (sweets, food) Buddhist Shop Garage Antique shop Cigarette shop Shop & Cafe Perfume shop Buddhist shop Grocery Shop Shop (craft & bread) Shop & Gallery Grocery shop
*
•
#
Café and Restaurant (6) m 8-k37a 9 d-k5 f l-k1
Soba-restaurant cafe Restaurant
Restaurants Restaurant Restaurant
*
•
• • •
#
#
Production (3) p b 3-k51
Tea Shop & Factory (…)Factory Bamboo workshop
• • •
Printing Service (2) n a
Printing Company Printing Company
• •
•
Information Facility (7) 8-k37b g-k4 a 6 7 8-k37d 8-k37c g-k4 b
gallery Gallery Machiya Gallery Culture center (?) Machiya library Information center
Index : original partially new
46 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
•
•
.
• •
•
•
•
•
•
new not known
not
exist # color change
* mixed with additional element ^ partially missing
Kurnia Widiastuti
2.3 Typology and Pattern of Physical & Functional Change From the data of physical analyses of data, typology of physical change can be categorized into four types: a. Old/Original Renovation back to Origin This type let big part of change, but then rechanges into original change. For example, a shop changed its façade into modern concrete structure; but then re-changed into original style by replacing concrete wall with wooden wall, etc. b. Old/Original Preservation This type didn’t let any change. The physical condition remains, but only let slight reparation. For example, some shops that are well maintained physically until recently. c. Old/Original New Structure This type let total change to new structure. For example, the one that was demolished completely and replaced by ware house. d. Old/Original Remain Original, but changed partially This type didn’t let any changes, but only small part which contrasts to the whole. For example, display window of old machiya changed, using concrete and wide glass window; but the rest façade still remains original.
From the rapid tracing of machiya’s functional change, it can be categorized in to four types: a. Houses and Commercial (Machiya) Houses and (different type) Commercial This type is showed by those machiyas which still functioned as residential and commercial, but the type of commercial is changed. b. Houses and Commercial (Machiya) Commercial Only This type is showed by those machiyas which no longer have residential use, but only shops/other commercial use instead. c. Houses and Commercial (Machiyas) House This type is showed by those machiyas which no longer have commercial use, but only residential use remains. d. Houses and Commercial (Machiya) Vacant building This type is showed by those machiyas which abandoned or no longer occupied. 2.4 System and Stakeholders There’s a clear system of how preservation are carried in Yame City. There are many stake holders plays in this system; that is the residents of Yame. Principally, this system is mainly centered in the community based promotion organization, named Community of Yame Fukushima Traditional Townscape Agreement. This organization delivers
service and information to local Yame residents who need consultation about preserving their building. This promotion organization is supported by five (5) city planning groups as well as cooperated with them. A project team established by city government (majoring in 4 sections: Tourism and Commerce; Welfare & Cultural Asset; Construction; Finance and Planning Section) also cooperates with this promotion organization. In case of there’s a project proposal promoted by this project team, they have to consult the proposal to the inquiry organization organized by City Government, Yame Cultural Landscape Board, which will give advices and a pproval. Yame Government takes part in managing all institutional components, which are Information Provider, Yame Cultural Landscape Board, Traditional Townscape Project Team, Community of Yame Fukushima Traditional Townscape Agreement and Business Company Association. III. Adaptive Reuse Context 3.1 General Profile
of
Daimyo’s
Historic
daimyo
Figure 7. Map of Daimyo in Edo Era
[1]
In the past, Daimyo area was located near the Fukuoka Castle. Now, only ruins of the castle left, and Daimyo now situated in the center of Fukuoka City, near the crowds of Tenjin business district. Daimyo area is shaped as a small block with strong atmosphere of old neighborhood, with its narrow streets and alleys. The streets and alleys in Daimyo network are shaped in Edo Era. Some form of street junction is represented old defense technique of samurai. In the Edo Era, Daimyo was functioned as residential area, while Tenjin was commercial one. Daimyo’s Japanese traditional buildings were built in this era. Unlike other part of Fukuoka City, this area suffered less damage from World War II. But these buildings could not survive long, in 1960 -1970; many traditional buildings were replaced by new apartments. Since then, most of Daimyo’s buildings are apartments.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
47
residents Part of Residents (Building Owner who Support the Actions)
[INQUIRY ORGANIZATION] Yame Cultural Landscape Board 15 persons Experts : - Professors - Represent atives of Community - Represent atives of
[CITY GOVERNMENT] Traditional Townscape Project Team Consist of 4 section 1. Tourism & Commerce Section 2. Welfare & Cultural Asset Section 3. Construction Section (City Planning, Civil Engineering) 4. Finance and Planning Section
[INFORMATION PROVIDER] Machiya Information
Exchange Representatives
Community Based Organization
[CITY PLANNING GROUPS] Organization and Community Based Planning
[COMMUNITY BASED PROMOTION ORGANIZATION] Community of Yame Fukushima Traditional Townscape Agreement 30 persons Member : - Head community (12 person) - Representatives of Supporting Residence - Representatives of Organization
Group of Yame Main
Street Lovers (50 persons) Yame Hometown (School) (40 persons) NPO Yame Machiya Regeneration Supporters (15 persons) Activities : - Event/Promotion by local residents to utilize the traditional townscape - Plan & Execution of events
NPO
: Yame Townscape Design Study Group Consist of : professionals (architect offices and small construction company) Activities : 1. Building repairs and restorations 2. Constructions 3. Guide Group 4. Consultation for Machiya repair/re-construction
Legend Yame Government
information and service line consultation line cooperate and support line cooperate line answer and reply line question inquiry line
[Yame Commerce Chamber] Business Company Association Union
of Retailer 233 Persons 13 Retailer Organization
Figure 6. System for Promoting Community Based Planning in Yame Fukushima 3
In 1989, due to increasing economic value of Tenjin and Daimyo area, these apartments were being converted into commercial uses. That time, Tenjin was a main commercial center for popular culture, and Daimyo, next beside Tenjin, was a center for sub culture. Daimyo served as a place where alternative genre of fashion and music was developed. Lower rental rate of Daimyo and its strategic location provide suitable location for small capital business to grow. Daimyo was a leading area which well known in its sub cultural business. Although this old historic context of Daimyo has lost almost all its traditional building, but the shops owners of Daimyo like to apply old style touch to their building, interiors or façade. Many case of mixture between modern and old style building could be seen in Daimyo.
3.2 Samples There were six buildings samples surveyed in Daimyo. Some of the cases still have clear trace of machiya, but other cases were using old apartments. These samples were chosen by recommendation of
48 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
city government officer *. Location of these cases can be seen in map below. Most of buildings lots have narrow width but long length. This is the result of tax rate measurement in Edo era, which counts on the width of the lots. Nowadays, the tax rates are counted by 2 measuring total space area (per m ). The oldest building in Daimyo is Joukyou Soy Sauce Shop and Factory. It was built in Edo era.
66 5 3
4 1 2
1
Figure 3. Samples Map of Daimyo
[1]
Kurnia Widiastuti
Table 2. Daimyo’s Building Sample Analyse s Physical Change
Code
Function/ Description
1 2 3
Kids Bar Café Cafe Restaurant with doma
4 5
Merchandise Shop nd 2 story merchandise shop Joukyou Soy Sauce Shop and Factory Index : original partially new new • not known
n o i t a d n u o F
e r u t c u r t S
e r r u e t p c p u r U t S
r o o l F
s l l a W
w w e o o d d m n i n a r i F W W
s r o o D
r e o m o a r D F
g n i l i e C
f o o R
Café and Restaurant (3 )
• •
•
• •
•
•
^
Shops (3)
6
Sample 1. Kids Bar Café
not
exist # color change * mixed with additional element ^ partially missing
Sample 4 Cleaning Service and Merchandise Shop
Sample 2, café Sample 3. Restaurant
Sample 5, Merchandise Shops
Sample 6 Joukyou Soysauce
Figure 4. Samples of Daimyo
3.3 Typology and Pattern of Physical & Functional Change There are three types of physical-functional change in Daimyo: a. Japanese House Apartments/other Shop In this type, present shops were conversion of old apartments into shops. Example of this type is Kids Bar. b. Japanese House Preserved, commercial Facility Added This type represents the preserved old Japanese house which reused and added by new structure to support its commercial function. Example for this type is Joukyou Soy Sauce Shop and Factory. c. Japanese House Convert into shop This type represents old Japanese house which preserved and reused as shops with slight renovation. Examples for this type are the two merchandise shops. d. Japanese House Others new structures This type represent old Japanese house which converted into new apartments structures, and still remains until now.
3.4 System and Stakeholders Unlike Yame City, Daimyo has no formal system for preserving their environment. The friendship among the communities was served as major factor which unites their neighborhood identity. Twenty years ago, Daimyo emerged as a center for sub culture activities. This area facilitate informal ways to develop actions and networking for business purpose and entertainment. The common informal gatherings were parties, clubs, etc. It has to be remembered that the Old Daimyo served as a residential environment since long time ago. This kind of informal gathering probably was a newer form of old community gathering. It aimed mainly for safety and cleanliness of their environment. After new interest of sub culture activities started to develop in Daimyo, it influenced whole identity of Daimyo area. IV. Conclusion The most physical changes found in buildings in Yame City and Daimyo were the floors, walls and openings part of the buildings; while the most un-
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2013/2
49
changed part was structural frame. In general, Yame had fewer changes than Daimyo. Different pace of economic changes brought different level of changes. Daimyo faced higher pace of economic development for its strategic location, but Yame had slow pace of development, even Yame government has to involve actively in developing economic of this historic context. In this research, there are two approaches to maintain the social aspect of preservation, by active force and by passive persuasion. The Yame City case showed the first approach, the force came from the local government. This strong power might not very comfortable for the resident, but effectively carried. To balance this power, the system also involves participation of local community. Daimyo might had less meaning or historical traces, but the way it develop its identity without any formal system or institution brought the idea of preserving historical context by firstly establishing the spirit of the community. Combination of these two approaches explained above would bring better preservation method of such historic context. It must be noticed that changes are consequences of growth and sometimes cannot be avoided. The only matter’s that these changes must be maintained in harmony and be controlled well in order to prevent chaotic changes of environment. Re-defining the Adaptive Re-use Adaptive reuse was defined as the act of finding a new use for a building. It is often described as a “process by which structurally sound older bu ildings are developed for economically viable new uses” (Austin, Richard, 1988). It’s also accepted that
50 JAP Vol.6 No.2 Okt. 2013
Adaptive Reuse is a process that adapts buildings for new uses while retaining their historic features. From this research, there are some questions about definition above. In adaptive reuse design, targets that being studied most are the physical feature, functional change, or other tangible aspect, but not yet the intangible aspect. For example, a building can be 100 percent changed physically, but the spatial arrangement or basic concept might still remain. Vice versa, a building can be only changed less than 20 percent physically; but if it’s analyzed using the philosophical dimension, the building might loose its original concept. This is a possibility of other dimension or typology of adaptive reuse. Therefore, the definition of adaptive reuse can be redefined as followed: ‘Adaptive’ can be described as – adjective- ‘adjusted’, or ‘responsive’ to recent condition/context; ‘Re-use’ can be described a s – verb-,‘re’ = repeating, the ‘use’ = apply, etc. ‘Use’ in this ‘adaptive reuse’ term is often confused between ‘use’ as noun or ‘use’ as verb. This study proposed ‘use’ as verb, because it has more comprehensive point of view. In other words, ‘adaptive r euse’ is a technique which repeating the usage of certain past condition/context by responding to recent condition/context. Resources [1] Provided by Laboratory of Department of Architecture and Urban Design, Faculty of Human-Environment Studies, Kyushu University [2] Linam Jr., John E., Thesis : Machiya and Transition; A Study of Developmental Vernacular Architecture, 1999, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia [3] Translated from Building Guidelines documents of Yame City Government [4] Austin, Richard l, ASLA, Adaptive Reuse: Issues and Case Studies in Building Preservation, Van Nostrand Reinholdt Company, 1988, New York
Kurnia Widiastuti
PEDOMAN BAGI PENULIS Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan namanya, jurnal ini mempunyai misi sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota, sampai perencanaan lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP direncanakan terbit 2 kali dalam setahun.
Kriteria Tulisan JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria dengan tipe atau kualitas sebagai berikut: 1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang arsitektur dan perencanaan. 2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan yang sesuai dengan tujuan penulisannya. 3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga bila dikehendaki pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya. 4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping tidak mengandung unsur SARA. 5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan juga dimungkinkan untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Persiapan Tulisan Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas, serta mudah untuk diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh abstrak dan kata kunci yang representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis secara baik akan membantu mewujudkan tujuan ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia, seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah yang tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih efektif. Penyimpangan pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar seharusnya digunakan untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami keseluruhan tulisan. Penulis dituntut untuk s elalu berpikir bagi kepentingan pembaca. Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript ) juga harus mengikuti persyaratan aturan tulisan baku. Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan yang ditanggapi terbit.
Prosedur Review Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk menentukan review bagi tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang berkompeten di bidang yang menjadi fokus tulisan. Sistem yang dipakai adalah ”double blind” proses, di mana mitra bestari tidak akan mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra bestari. Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari sebuah tulisan, diterima dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau ditolak. Tulisan yang telah direview dan memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi tulisan yang diatur dalam proses review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan benar-benar diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah proses perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus menyerahkan pernyataan pengalihan hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review, menjadi tanggung jawab redaksi dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua
tulisan dan dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan. Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak sebagai penutur asli, sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke redaksi.
Biaya Penerbitan Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian, perubahan format dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada penulis. Untuk semua kontak penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.
Hak Cipta Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus orisinal, karya sendiri, belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi yang lain. Penulis akan diminta menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi penyerahan hak cipta ( copyright ) tulisan kepada penerbit, dalam hal ini redaksi JAP. Hak cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan, atau mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk memproduksi atau menggandakan tulisan, maka seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi, kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta persetujuannya. Penulis yang menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam tulisan, seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya dalam keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement ) dalam gambar yang digunakan. Izin tertulis hendaknya disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.
PEDOMAN FORMAT TULISAN Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS World, sementara Page Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4 (210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah 25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri) adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom adalah 82mm dan jarak antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur (lay-out ) masuk dalam tulisan. Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesiaa (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan dalam bahasa Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa mungkin atur spasi dalam area tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak. Jumlah halaman dihitung mulai halaman judul. Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan. Tulisan – dalam hal ini termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak diperkenankan melebihi 8 halaman. Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul tulisan, penulis (bisa perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat lengkap yang disertai nomer telpun, faksimili, dan e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter, termasuk spasi di antara judul. Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan isi tulisan, mulai permasalahan, metode, termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords) juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu secara mudah dalam pencariannya. Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian ( heading ) yang mencerminkan urutan sekaligus mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar belakang, motivasi, atau maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan sehingga pembaca bisa memahami dan mengikuti pekerjaan atau riset yang sa ma; Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan
secara jelas, sehingga bebas dari interpretasi. Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai aturan yang ada, misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2 orang, Williams, dkk. (1998). Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga penulis ( surname). Jika ada daftar pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus dibedakan dengan tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini seharusnya mengikuti contoh berikut: Referensi dalam bentuk buku Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), J udul, Edisi (jika bukan edisi pertama), Penerbit, Tempat diterbitkan Misalnya: Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Referensi dalam bentuk jurnal Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, J udul J urnal, Volume dan nomer jurnal, Penerbit, Halaman Misalnya: Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546, 207-214 Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun tetap harus mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses. . Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan, tetapi hendaknya dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan angka yang lebih kecil ( superscript ) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian akhir tulisan, sebelum daftar pustaka, dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point). Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan memperhatikan penulisan rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih kecil secara benar ( subscript atau superscript ). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI maka persamaan dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung. Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom sekaligus (170mm), sesuai kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel atau gambar adalah diurutkan dan menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun detil gambar sebisa mungkin harus tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan maupun resolusi gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar, tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber asli) harus disertakan. Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan biaya tambahan dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar tr ansparansi. Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model format ( template) yang telah disediakan dan dapat diunduh ( download ) di http://www.archiplan.ugm.ac.id/
GUIDELINES FOR WRITERS The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University. As the name implies, this journal has a mission as a medium for the development of science and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has broad topics of writing, ranging from technology of building, architecture, cit y design, to urban environmental planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from theories to practices, and they are well-writen according to t he correct scientific writing rules. J AP is planned to publish twice a year.
Writing Criteria JAP accepts and publishes scientific papers that meet requirements or criteria as follows: 1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and planning studies. 2. It gives brief and clear research of project framework, as well as an appropriate explanation due to the purpose of writing. 3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to verify its accurancy if it is needed. 4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the four elements of SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes). 5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible to publish, with terms and conditions applied.
Writing Preparation Papers should be written and arranged in a consice, clear, and understandable format. It is also should be informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords, plus a well-writen background or introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the rules on good and correct writing i n Indonesian should be applied. Furthermore, papers should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate terms and dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be used to clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding the whole text. The author is required to think for the benefit of the readers. Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard written rules. This type of writing should be submitted no later than 6 months after the paper responded is published.
Procedure Review The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review. Basically, every article submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert ( mitra bestari). The system used is “double blind” process, where the mitra bestari will not recognize the author, and the author will not recognize also the name of the mitra bestari. Based on the results of the first review, Editor Meeting will determine the continuation procedures of a paper, which are: accepted with minor revision, accepted with major revision, or rejected. Papers reviewed and in need of revision will be sent to the authors according to the listed contacts. The Editor has a right t o regulate the writing substance in review process and to request technical improvements, before the writing is actually published. The revision period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are declared to be ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer toward the writing distribution to the JAP Editor or Publisher. All writing in the review process becomes the responsibility of the Editor and the confidentiality of the writing contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will not be returned. The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include t he language review before it submitted to the Editor.
Publishing Cost The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for any format changes, the cost will be charged upon the author. For all copies made, please contact the Editor address.
Copyright The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in the process of publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped letter containing the writing copyright transfer to the Editor of J AP. This copyright will exclusively include the right to reproduce, translate, or take part/whole text (including tables, images, attachments) to interest of science development. If there is a third party who asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be contacted, then the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to publish illustrations or images will be used in his/her writing, should obtain the written permission from the related publisher, including put down the acknowledgement for images used. Written permission should be included in the final version writing before publication.
Guidelines for Writing Format The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while Page Maker and other software are not yet suggested). It is written in A4 size paper (210x297 cms), with top and bottom edge is 25 mms and the margin (right and left) is 20 mms. The writing is formatted in 2 columns with its column width is 82 mms and its inter-column width is 6 mms. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text. The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should use Times New Roman font with 10,5 point. Wherever possible, please arrange the space in the writing area to accomodate 59 lines of sentences from top to bottom. Handwriting will automatically be rejected. The number of page is calculated from the title page. The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A paper images, tables, references, and remained space – are not allowed to exceed 8 pages.
including
–
The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author ( could be individual or group of authors), position, affiliation, and author ’s contact contained of name, positions, affiliation, complete address with telephone number, fax, and email. The paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces between titles. The abstract and keywords/keyphrases are stated in the first page (the title page). The abstract is no more than 200 words and written in English. It must clearly describe the contents of writings, problem formulation, methods, and the conclusion. Keywords should be selected carefully, so that readers can be easily understood. The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion, for example: Introduction will describe the background, motivation, or the research aims; Methods will provide the necessary information so that readers can understand and follow the discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear explanation and interpretation free. The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited according to the rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more than two people: Williams, et al. (1998). References or bibliography should be arranged alphabetically in the end of text by displaying the author ’s family name/surname first. If there is a reference written by the same person in the same year, it must be distinguished by additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should go after example follows: References from B ooks Author s surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first edition), Publisher, Place of publication ’
For example: Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. References from J ournals Author s surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and number of journal, Publisher, Page For example: Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001), A typological analysis of houses and people gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmetal Engineering (Transactions of AIJ) No. 546, 207-214. ’
References from internet are used as little as possible. If it is used, the writing still follows the rules of referencing, plus the last data accessed. Footnote is still possible if the paper requires additional infornations, but it should be limited instead. Its format should be adjusted too, by using superscript format at the end of the sentence which needs additional notes. The description list is placed according to serial number at the end of the writing before bibliography, with a smaller size text (9 points). Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to the correct formula writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either subscript or superscript). The International Standard (SI) for measure should be used if it is required. If the measurement is not in the SI equation, thus it should be written using parentheses behind. Tables and images can be arranged using only one column (82 mms) or two columns at once (170 mms), according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or drawings are sorted by using Arabic numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2, and so on. The content of tables or detail images should be clearly readable as good as possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/ reduction can be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter of pictures using from others or original sources should be included when it is published. Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with additional fees charged to the author. Avoid transparency image technique. In preparing paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and can be downloaded at http://www.archiplan.ugm.ac.id/