Bacaan Liar di Hindia Belanda, 1912-26 Hilmar Farid dan Razif Jaringan Kerja Budaya
ABSTRACT: This paper examines the Malay-language publications of the early 20th century that the Netherlands East Indies government called “wild books” (bacaan liar). The first part discusses the way the activists of the nationalist movement used publications as a means of resisting colonialism. They established their own newspapers and publishing houses and also managed the distribution. In criticizing colonial rulers and plantation owners, the nationalist journalists were led to a fundamental question: what was the identity of the nation? Ideas of class, religion, and ethnicity overlapped in the formation of discourse about the nation. With an anlysis of several important texts, such as Babad Tanah Djawa by Mas Marco Kartodikromo, we wish to to show how the nationalists defined national identity and envisioned the future of the nation. Their “wild books” had great influence on the radical nationalist movement until it began to be severely repressed by the colonial government in 1926.
Catatan: T ulisan ini pernah dipresentasikan di T rawas, Malang pada tahun 2003 atau 2004 (dicek lagi) pada Konfrensi Cultural Studies. Juga, telah terbit dalam bahasa Inggris dalam Jurnal Post Colonial Studies 2008, dengan judul: Batjaan liar in the Dutch Indies: a colonial antipode. Bangkitnya kesadaran nasional dalam masyarakat kolonial sering dianggap sebagai produk sekaligus reaksi, atau semacam dialectical opposite dari kolonialisme. Industrialisasi memperluas penderitaan penduduk jajahan tapi sekaligus menyediakan sarana bagi mereka untuk mengungkapkan penderitaan dan perlawanan dengan cara baru. Salah satu sarana yang memegang peranan kunci di sini adalah penerbitan. Sejak awal abad ke-20 dengan meluasnya penggunaan alat cetak di tanah jajahan, kalangan terpelajar menggunakan barang cetakan sebagai senjata melawan kekuasaan kolonial. Dari tangan mereka lahir teks-teks yang mengkritik dan memblejeti kebobrokan kolonialisme dan sekaligus mencerminkan kesadaran baru sebagai bangsa. Sebagian besar adalah pegawai pemerintah yang berpikir dan menulis dalam ruang serta sarana yang disediakan oleh tatanan kolonial. Namun ada juga yang bergerak bebas sebagai orang partikelir dan bertolak sepenuhnya dari mass politics seperti gerakan serikat buruh dan organisasi petani. Dalam penulisan sejarah Indonesia kelompok elite terpelajar jauh lebih dikenal dan karyakarya mereka umumnya dianggap sebagai tonggak-tonggak perjalanan bangsa. Sebaliknya pikiran dan tindakan aktivis pergerakan massa, yang umumnya berasal dari kelas-kelas rendahan, hampir tidak mendapat perhatian. Ketimpangan ini terkait dengan perkembangan gerakan nasionalis dan wujud akhirnya: negara Indonesia yang merdeka. Dalam upaya memantapkan posisi politiknya, kalangan elite terpelajar membuat narasi sendiri mengenai asal-usul ‘bangsa Indonesia’ dan secara selektif menetapkan apa yang
disebut sejarah. Dalam banyak hal mereka mengadopsi pikiran para sarjana dan birokrat kolonial yang secara sistematis menyingkirkan tokoh-tokoh pergerakan kelas bawah dari ingatan kolektif dengan mengasingkan mereka dan mengabaikan karya-karyanya. Kesadaran nasional kemudian digambarkan sebagai kekuatan magis yang tiba-tiba bangkit sebagai kesatuan utuh melawan kolonialisme, di bawah kepemimpinan intelektual kalangan elite terpelajar. Ketimpangan ini lebih jauh memperlihatkan bahwa nasion dan nasionalisme tidak bersifat tunggal. Ada bermacam-macam nasionalisme dan bayangan tentang nasion yang disusun orang dalam sejarah. Kecenderungan untuk menonjolkan salah satu bayangan tentang bangsa ini sesungguhnya merupakan dominasi dari satu kalangan terhadap yang lain, dalam konteks Indonesia dan negeri jajahan lainnya, dari kalangan elite dan kelas atas terhadap kelas-kelas rendahan yang tertindas. Lagi-lagi di sini kita melihat titik temu antara pikiran kolonial dan elite pasca-kolonial, yang sama-sama menganggap kelas-kelas rendahan pada dasarnya tidak mampu bergerak atas kehendaknya sendiri. Sementara penguasa kolonial menganggap mereka sebagai “ obyek agitasi dan propaganda kaum nasionalis”, para pemimpin politik sendiri melihat mereka sebagai “ massa rakyat yang menunggu kepemimpinan”; sejajar dengan konsep floating mass yang dominan dalam politik Indonesia hingga sekarang. Makalah ini memusatkan perhatian pada bacaan liar yang diproduksi oleh gerakan nasionalis pada awal abad ke-20. Istilah ini digunakan oleh penguasa kolonial untuk mendiskreditkan bacaan orang pergerakan dari kelas rendahan yang bergabung dalam organisasi massa. Jumlahnya mencapai ratusan judul berupa novel, syair, pamflet politik, suratkabar dan jurnal. Dengan penerbitan ini aktivis dari kelas-kelas rendahan di Hindia Belanda mengembangkan kritik mereka terhadap kolonialisme dan sekaligus merumuskan identitas serta bayangan tentang bangsa. Pandangan dan penggunaan bahasanya secara signifikan berbeda dan bahkan bertentangan dengan teks-teks yang sekarang dianggap klasik dan diklaim sebagai peletak dasar nasionalisme Indonesia, seperti kumpulan surat RA Kartini atau tulisan Soekarno dan Hatta. Analisis dan perbandingan dengan beberapa teks ‘klasik’ itu memperlihatkan bahwa gerakan nasionalis pada dasarnya adalah wilayah penuh gejolak, di mana konfigurasi kekuatan kelas dan praktek sosial-politik memainkan peran penting. Bacaan liar dalam hal ini adalah bagian dari sebuah power bloc yang mendominasi gerakan nasionalis pada awal abad ke-20 sampai kemudian dihancurkan oleh penguasa kolonial pada 1926 dan kemudian disingkirkan oleh kalangan intelektual dan pemimpin politik Indonesia sendiri. Produksi dan Pe nye baran Bacaan Liar Para penulis tentang nasionalisme seperti Anderson dan Gellner menekankan peran literacy dan kapitalisme cetak (print capitalism) dalam pembentukan nasionalisme. Namun dalam konteks tanah jajahan yang terjadi sesungguhnya adalah print colonialism di mana alat-alat cetak hampir seluruhnya dipegang oleh para penguasa kolonial untuk kepentingan mereka sendiri. Penguasa kolonial mendirikan percetakan negara di Batavia pada 1812 yang menerbitkan suratkabar Bataviaasch Koloniale Courant dan lembaran resmi pemerintah seperti Staatslad van Nederlandsch Indie dan Regeerings Almanak. Penerbitan buku sastra dan ilmu pengetahuan baru mulai dilakukan 1835 dan umumnya merupakan cetak ulang karya yang ditulis di Belanda. Beberapa penerbit swasta mulai bermunculan pertengahan abad ke-19 dan mulai meluas saat para pemilik perkebunan
besar memerlukan terbitan berkala guna mengetahui perkembangan bisnisnya. Salah satu yang terkemuka adalah CGT van Dorp yang memiliki kantor di Semarang, Batavia dan Surabaya. Sampai akhir abad ke-19 barang cetakan praktis hanya menjadi konsumsi para pegawai pemerintah kolonial, pemilik dan staf perkebunan dan segelintir intelligentsia bumiputra yang berpendidikan Belanda. Hampir tidak ada penulis bumiputra yang giat menulis di luar lingkungan kolonial dan dengan sendirinya tidak pernah melontarkan kritik terhadap tatanan tersebut. Kemungkinan itu baru terbuka saat berdirinya percetakan milik orang T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa pada akhir abad ke-19. Menjelang pergantian abad puluhan percetakan dan penerbit baru didirikan di beberapa kota besar yang menerbitkan buku-buku pelajaran, roman petualangan dan tulisan-tulisan para pemimpin revolusi di T iongkok. Para penulis Indo-Eropa sementara itu mulai membuat cerita-cerita yang berlatar Hindia Belanda, termasuk kehidupan di perkebunan swasta dan masalah-masalah sosial yang muncul di atasnya. Buku biasanya diproduksi dengan harga sangat murah dan dipecah ke dalam beberapa bagian (seperti cerita bersambung) yang sesuai dengan pendapatan pegawai rendahan dan orang partikelier saat itu. Berbeda dengan percetakan Belanda yang hanya menggunakan orang bumiputra sebagai buruh kasar, penerbit dan percetakan swasta ini mempekerjakan mereka sebagai pembantu editor dan kadang memberi kesempatan untuk ikut menulis dalam suratkabar seperti Soerat Chabar Betawie dan Slompret Melajoe. Beberapa tokoh penting dalam produksi bacaan liar seperti RM T irtoadhisoerjo, Mas Marco Kartodikromo, Mohammad Sanoesi memulai karirnya sebagai orang magang pada perusahaan penerbitan T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa. Di samping menulis dan menyunting mereka juga mempelajari cara mengelola penerbitan yang kemudian menjadi landasan untuk mengembangkan bacaan sendiri yang sepenuhnya independen dari kekuasaan dan modal kolonial. Penggunaan bahasa Melayu Rendah menciptakan perbedaan signifikan dengan produk penerbit Belanda. Bahasa Belanda adalah alat yang digunakan penguasa kolonial untuk berbicara kepada sesama dan menyampaikan perintah, aturan serta hukuman kepada orang jajahan. Saat interaksi dengan orang bumiputra semakin meningkat akibat ekspansi kapitalisme dan penaklukan daerah-daerah baru pada akhir abad ke-19, muncul kepentingan baru mencari bahasa pengantar yang dapat dimengerti di satu pihak tapi mengikuti aturan tata bahasa yang jelas. Pilihannya kemudian jatuh kepada bahasa Melayu di wilayah Riau Kepulauan yang kemudian dikenal dengan sebutan Melayu T inggi. Namun, seperti halnya bahasa Belanda, aturan dan kosakata dipelihara dengan ketat sehingga mayoritas orang bumiputra tidak dapat menggunakannya secara fasih, dan tetap saja menjadi bahasa pemerintah dan tata aturan yang asing. Suratkabar dan buku dari penerbit T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa menerobos kebuntuan ini dengan menggunakan Melayu Rendah yang tidak mengenal aturan baku dan juga tidak melekat pada tatanan sosial tertentu. Bahasa inilah yang selanjutnya digunakan aktivis pergerakan untuk menjungkir-balikkan citra tatanan kolonial yang berlanjut pada pembentukan identitas baru. Kehadiran penerbit dan percetakan T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa ini mengakhiri dominasi kolonial dalam produksi dan peredaran barang cetakan. Informasi yang sangat terbatas mengenai pendapatan perkebunan, masalah anggaran negara atau upacara resmi di negeri induk, kini bersaing dengan hasil penyelidikan mengenai skandal dan kebobrokan
perkebunan, roman percintaan yang melabrak norma-norma kolonial sampai pada berita tentang perang Rusia-Jepang dalam perspektif “ kekuatan Asia”. Perkembangan itu semakin pesat ketika jurnalis bumiputra yang semula menjadi tenaga magang mulai membuka penerbit dan percetakannya sendiri pada awal abad ke-20. Pada 1907 RM T irtoadhisoerjo membuka percetakan dan penerbit Medan Prijaji yang menerbitkan suratkabar dengan nama yang sama. Di Solo, HM Misbach mendirikan penerbit Insulinde yang berperan besar dalam produksi bacaan liar selama kurun 1910-an. Serikat buruh kereta api, VST P, yang bermarkas di Semarang kemudian juga mendirikan percetakannya sendiri dan menerbitkan suratkabar dengan tiras terbesar sepanjang sejarah pergerakan, Si Tetap. Dengan basis yang relatif independen dari kekuasaan kolonial, para penulis dan pengelola suratkabar segera memulai perang suara dengan penguasa kolonial dengan gaya tulisan yang militan dan memikat. Militansi dan radikalisme semakin meningkat ketika para jurnalis, penulis dan penerbit mulai terlibat dalam organisasi pergerakan nasionalis seperti Sarekat Islam, Insulinde dan serikat-serikat buruh. Keterlibatan dalam organisasi itu makin memperkuat basis keuangan dan kelembagaan bacaan liar. Anggota organisasi biasanya diwajibkan membeli suratkabar dan barang cetakan lainnya yang diproduksi oleh para penerbit ini, yang mendatangkan pemasukan cukup besar bahkan melampaui penerbit kolonial sendiri. Dari segi isi, tulisan mereka semakin terarah pada persoalan konkret yang dihadapi organisasi, perseteruan dengan pemerintah kolonial dan ketimpangan serta ketidakadilan yang dihadapi mayoritas pembacanya. Para jurnalis menyadari betul posisi mereka yang sepenuhnya berhadaphadapan dengan penguasa kolonial. Seperti dikatakan Mas Marco Kartodikromo, “ Sungguhpun amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah, lihatlah adanya pemogokan yang berulang-ulang diwartakan dalam Sinar [suratkabar] ini. Di situ sudah menunjukkan bilangannya berpuluh-puluh korban itu pemogokan, inilah memang sudah seharusnya. Sebab melawan kaum yang mempunyai pabrik itu sama ertinya dengan melawan pemerintah yang tidak adil... Lantaran hal ini, maka di situ timbullah peperangan suara (surat kabar), yaitu fehaknya pemerintah dan fehaknya rakyat... Apakah di Hindia sini ada surat kabar yang dibantu oleh kaum uang, supaya itu suratkabar bisa melawan surat kabarnya rakyat? Ada! T etapi nama surat kabar itu pembaca bisa mencari sendiri. Lain dari itu, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, janganlah suka membaca sembarang surat kabar, pilihlah surat kabar yang betul-betul memihak kepada kamu orang, tetapi yang tidak memihak kepada kaum uang. Sebab kalau tidak begitu, sudah boleh ditentukan, akhirnya kita orang Hindia tentu akan terjerumus di dalam lobang kesengsaraan yang amat hina sekali.” Radikalisasi ini pada gilirannya semakin meningkatkan pertumbuhan bacaan liar. Gelombang pemogokan buruh yang melanda Hindia Belanda pada 1918-23 menjadi saat penting bagi aktivis pergerakan dan massa pendukungnya mengenal tatanan kolonial lebih menyeluruh. Berbeda dengan masa sebelumnya, bacaan kini menjadi alat kelas-kelas rendahan untuk mempelajari, mengkritik dan sekaligus menyerang kekuasaan kolonial. Sementara bacaan dalam bahasa Belanda dan Melayu T inggi yang dikuasai oleh pemerintah kolonial mengajar orang bumiputra mengenai hukum, aturan dan orde kolonial yang membungkus ketimpangan, bacaan liar justru mulai dengan melihat ketimpangan dan menggunakan pengertian-pengertian baru yang diperoleh dari berbagai sumber: tradisi perlawanan rakyat Jawa, Revolusi T iongkok dan Rusia dan gagasan sosial-
demokrat Belanda. Pada paruh kedua 1910-an ratusan buku dan puluhan suratkabar yang tergolong bacaan liar sudah diterbitkan dan menjadi bagian penting dari pergerakan nasionalis. “ Perang suara” tidak hanya dilakukan terhadap penguasa kolonial dan pendukungnya, tapi juga di antara aktivis pergerakan sendiri. Polemik dan perdebatan mengenai persoalan sehari-hari atau kebijakan pemerintah mengisi halaman suratkabar atau pamflet, dan menjadi unsur penting dalam pembentukan wacana mengenai bangsa. Istilah “ bacaan liar” sendiri sebenarnya digunakan oleh penguasa kolonial untuk menyebut semua bacaan yang diterbitkan oleh orang particulier, khususnya aktivis gerakan nasionalis. Sejak awal abad ke-20 para sarjana-cum-birokrat kolonial seperti Snouck Hurgronje sudah menaruh perhatian pada “ bacaan yang berbahaya bagi orang bumiputra yang kecerdasannya rendah”. Untuk memerangi bacaan semacam itu pemerintah kemudian mendirikan Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka pada 1908. T ujuannya secara eksplisit dinyatakan, “ agar rakyat bumiputra yang terpelajar memiliki bacaan yang pantas”. Mereka merekrut beberapa bumiputra terpelajar sebagai penyunting, yang tidak sekadar meluruskan penggunaan bahasa Melayu sesuai standar yang ditetapkan pemerintah kolonial, tapi juga memastikan bahwa isinya sesuai dengan kepentingan penguasa kolonial. Buku dan majalah yang diterbitkan oleh lembaga ini umumnya bermaksud memperkenalkan dunia modern kepada pembacanya. Sebuah tugas yang sulit dan dilematis, karena pada saat bersamaan bacaan itu ingin mencegah tumbuhnya pikiran mengenai kebebasan dan hak individu yang menjadi persoalan pokok modernisme. Bukubuku mereka biasanya dibagikan kepada perusahaan perkebunan, kantor pemerintah dan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Untuk mengimbangi penyebaran bacaan liar yang masuk sampai ke kampung dan desa-desa, Balai Pustaka membuka perpustakaan keliling di beberapa daerah. Kehadiran Balai Pustaka justru semakin memacu militansi orang pergerakan untuk menerbitkan bacaan mereka sendiri. Perang suara yang terbuka dilancarkan oleh berbagai suratkabar yang bukan hanya menguliti isi buku-buku yang diterbitkan lembaga itu tapi sekaligus menjelaskan kepentingan politik yang ada di baliknya. Semaoen, salah seorang pemimpin serikat buruh mengatakan, “ kaum tertindas haruslah membaca buku-bukunya sendiri yang ditulis oleh orang dari kelasnya sendiri. Begitulah kelas yang tertindas di sini nanti jadi insyaf betul akan nasibnya.” Moesso, pemimpin PKI lainnya secara langsung mengarahkan kritiknya kepada produk Balai Pustaka, “ Volksalmanak-volksalmanak dan almanak-almanak tani itu sudah tentu memuat hal-hal wetenschappenlijk (scientific), yang kelihatannya tidak bersangkutan dengan politik. T etapi orang yang mengerti sedikit tentang politik mengerti juga, bahwa buku-buku dan almanak-almanak itu nomer satu dibikin tidak membuat mendidik Rakyat, tetapi buat menyesatkan pikiran Rakyat. Sistematis, dengan cara yang halus sekali buah-buah pikiran pihak sana dimasukkan dalam kepala Rakyat. Sudah waktunya kewajiban kita melawan pengaruh Balai Pustaka. Kita harus menerbitkan buku yang perlu, buku cerita sendiri, agar Rakyat tidak lepas dari pergerakan. Rakyat tidak terikut arus nasehat-nasehat baik dalam buku dari Volkslectuur, karena bacaan tersebut tidak baik bagi rakyat jajahan.” Pertentangan itu semakin tajam dengan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Belajar dari pengalaman Iskra dan Pravda di Rusia, para pemimpin partai itu kemudian membentuk badan khusus yang bertugas menerbitkan “ literatuur socialistisch”. Soekindar
yang menjadi pejabat penting dalam partai itu mengatakan, “ Memang wetenschap itu ada begitu lebar, kadang-kadang ia melampaui lanjutnya daripada bukti-bukti yang ada pada alam. Dari itu perlu sekalilah untuk menerangi perkataan-perkataan yang sulit itu dengan kacamata wetenschap. Begitu juga pergerakan kita haruslah jangan melalaikan ilmunya... T etapi di Hindia sini yang masih dikecewakan, ialah masih amat kurang sekali adanya socialistisch literatuur, yang sesungguhnya berguna sekali bagi pergerakan kita. Pada hemat kami, maka wetenschapplijke literatuur itu ada kami umpamakan sebagai hati dan otak pergerakan. Maka tiada dengan itu, susahlah dapatnya tersebar ilmu pergerakan dalam hati Rakyat... Kepada saudara kawan bergerak, kami berseru, sukalah kiranya bekerja sekeras-kerasnya menyalin kitab-kitab sosialisme dalam bahasa Melayu atau membikin orisinal sendiri. T erutama pula kami berseru pada hoofdbestuur PKI sukalah mengumpulkan adanya kitab-kitab dalam bahasa Belanda yang sudah ada dan supaya mengikhtiarkan dapatnya kitab-kitab dalam bahasa Melayu atau bikinan orisinal. Sekarang ini sebagian besar Rakyat masih penuh dengan geest kapitalisme, karena ia itulah yang sekarang mempunyai wetenschap baru ini, kita bisa menanam dalam geest Rakyat, niscayalah dunia baru akan lekas lahir.” Di Semarang kemudian berdiri Komisi Bacaan Rakyat PKI yang antara lain menerbitkan terjemahan pertama Manifesto Komunis karya Marx dan Engels pada 1923. Dalam kongres PKI 1924 para pemimpinnya berkesimpulan bahwa “ zaman agitasi untuk menyatukan hati” sudah berlalu, dan partai perlu sesegera mungkin meningkatkan kualitas pengetahuan kader dan anggotanya. Di satu sisi keputusan ini memperlihatkan penguatan lembaga-lembaga yang memproduksi bacaan liar di bawah satu atap, tapi di sisi lain sebenarnya terjadi penyempitan power bloc dalam gerakan rakyat dengan mulai menetapkan perbedaan di dalam gerakan sendiri. Kebebasan menulis yang sangat dianjurkan pada masa awal kini mulai dibatasi oleh tema-tema yang sejalan dengan garis pikiran partai, seperti disiplin organisasi, internasionalisme dan proletarianisme. Para pemimpin partai sendiri mulai lebih sering mengacu pada keputusan Komintern dan memperjuangkan “ garis kelas” dalam pergerakan. Ketegangan seperti ini senantiasa mewarnai pembentukan wacana mengenai nasion dan identitas nasional di zaman kolonial. Dalam bagian-bagian selanjutnya kami akan memperlihatkan dinamika ketegangan ini. Kritik Te rhadap Kolonialisme Hampir semua pemimpin dan aktivis yang membentuk power bloc pergerakan pada awal abad ke-20 berasal dari kalangan buruh, pegawai rendahan dan pedagang kecil. Pengalaman hidupnya berbeda dari kalangan priyayi atau mahasiswa kritis yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan membuat perspektifnya mengenai kolonialisme pun berbeda. Kalangan priyayi umumnya menahan diri untuk tidak melancarkan kritik secara terbuka, apalagi mengejek atau mengecam kekuasaan kolonial. Gagasan mereka biasanya berkisar pada reformasi sistem kolonial agar lebih menghargai penduduk bumiputra dan mulai memperhatikan kesengsaraan rakyat yang semakin menjadi-jadi. Mereka biasanya menempatkan diri di antara kesengsaraan dan kekuasaan, berbicara atas nama rakyat kepada pemerintah kolonial dalam terminologi yang lebih dimengerti oleh
penguasa ketimbang rakyat yang mereka “ wakili”. Kalangan priyayi dalam kebimbangannya menetapkan posisi terhadap kekuasaan kolonial dan kungkungan bahasa Belanda atau Melayu T inggi yang menjadi alat utamanya untuk berkomunikasi dengan cepat kehilangan pamor dan justru menjadi sasaran kritik. Kegagalan kalangan ini untuk berperan dalam lapangan ekonomi juga membuat mereka semakin tenggelam dalam kebudayaan aristokrat Jawa yang memperkuat kebimbangan itu. Para aktivis dan penerbit bacaan liar sebaliknya jauh lebih terus terang dan tidak segan mengejek kekuasaan yang mereka anggap tidak sah. Banyak dari mereka mengalami langsung kesengsaraan sebagai buruh industri atau perkebunan dan mengenal kehidupan dalam tatanan kolonial lengkap dengan segala skandal dan kebobrokannya dengan baik. Mereka tidak merasa perlu “ mewakili” orang lain dan biasanya berbicara sebagai orang pertama kepada pembaca yang umumnya berasal dari kelas-kelas rendahan. Berbeda dengan tulisan kalangan priyayi terpelajar yang nampak ragu mengemukakan pendapatnya, para aktivis pergerakan seperti menuliskan pernyataan lisan yang lebih akrab, lincah tapi sekaligus bisa menusuk dengan tajam. Ironi dan sindiran dengan meminjam ungkapan dari berbagai bahasa – yang tidak dimungkinkan dalam bahasa Belanda kolonial atau Melayu T inggi – mengalir dengan lancar dan jauh lebih tepat menggambarkan suasana kehidupan masyarakat kolonial. Seperti diperlihatkan kutipan berikut, “ Kasihan betul yang kena perkataan itu! Siapakah kiranya itu? Si Jilat Pantat. Jilat pantat itu dua perkataan jilat + pantat. Jilat = mengesutkan lidah, pantat – je weet wel. Brrrr, afschuwelijk, he! Akan tetapi ada banyak sekali orang yang suka mengerjakan dia, buat bangsa Jawa, yang paling banyak: Priyayi. Lain bangsa hampir semua orang tahu, yang Priyayi-Jawa ada banyak yang suka likken. Dari itu maka nyata sekali, yang sebagian besar dari bangsa kita belum tahu ajinya (de waarde) bekerja sungguh-sungguh, ataupun tidak atau kurang percaya kepada pekerjaan diri sendiri, sebab mereka itu harganya pekerjaan diri sendiri, mesti malu menjilat-jilat begitu.” Sebagian aktivis pergerakan menggunakan bahasa Melayu Rendah ini secara sadar sebagai bentuk perlawanan terhadap tatanan kolonial. Semaoen, pemimpin suratkabar Si Tetap milik serikat buruh kereta api misalnya mengatakan bahwa bahasa itu digunakan karena dimengerti oleh mayoritas penduduk Hindia Belanda, tidak seperti Melayu T inggi maupun Belanda yang menjadi milik segelintir orang saja. Kalangan intelektual didikan Belanda umumnya lebih tajam mengkritik kekuasaan kolonial ketimbang kalangan priyayi. Beberapa di antaranya seperti mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia bahkan sangat radikal dan mengadopsi pikiran sosialis dan komunis yang mereka jumpai dalam pengembaraan di Eropa. Mereka umumnya berbicara tentang prinsip-prinsip kebebasan secara umum, tentangnya persatuan nasional dan solidaritas dengan rakyat tertindas. Bagaimanapun analisis tentang situasi konkret sangat jarang dilakukan, dan sebagai gantinya mereka berbicara dalam kerangka perjuangan warna kulit, antara Asia melawan Eropa yang kadang tumpang-tindih dengan perjuangan sosialisme melawan kapitalisme. Keengganan atau ketidakmampuan mengembangkan analisis yang tajam mengenai perbedaan kelas diperkuat oleh latar belakang sebagai bagian dari elite tradisional dan keyakinan akan menjadi penguasa baru setelah Belanda berhasil diusir dari Indonesia. Nasionalisme mereka karena itu lebih
bersandar pada perbedaan warna kulit ketimbang ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem kolonial. Aktivis pergerakan dari kelas-kelas rendahan sebaliknya selalu berkutat dengan pengalaman konkret di tanah jajahan dan membuat laporan jurnalistik yang menguraikan keganasan kolonialisme dalam praktek. Kritik terhadap kenaikan pajak di daerah tertentu, penculikan perempuan yang akan dijadikan budak oleh perkebunan dan kelaparan sering mengisi halaman suratkabar dan menjadi contoh dalam berbagai pamflet, novel dan syair untuk menjelaskan tatanan kolonial kepada pembacanya. Gambaran itu biasanya sangat konkret dan masuk kepada detail-detail yang menunjukkan pengetahuan penulisnya mengenai situasi yang ada. Pencaplokan tanah oleh perkebunan dan pemungutan pajak paling menjadi sasaran kritik. Di samping itu adalah keterlibatan aristokrasi lokal dalam mempertahankan tatanan tersebut, seperti yang diuraikan artikel mengenai aturan sembah-jongkok yang diberlakukan bagi pegawai bank di Pati, Jawa T engah. Di kalangan pergerakan sendiri sering terjadi perdebatan mengenai fakta-fakta dan cara menafsirkannya yang semakin memperlihatkan perbedaan pandangan di antara mereka sendiri. Proyek yang mungkin paling ambisius adalah upaya menyusun kembali sejarah Jawa oleh Mas Marco Kartodikromo, yang dimuat bersambung dalam majalah Hidoep pada 1924. T ujuan menulis ulang Babad Tanah Jawa, naskah klasik dalam khazanah kebudayaan Jawa, adalah untuk “ mengambil kembali masa lalu orang Jawa yang selama ini berada di tangan orang Belanda”. Ia menyadari bahwa kolonialisme tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam kenyataan hidup sehari-hari tapi juga merenggut kesadaran kolektif orang jajahan mengenai masa lalunya sendiri. Kritiknya terarah tidak hanya pada sistem kolonial yang kemudian berkembang di Jawa, tapi juga pada tindakan penguasa kolonial yang bekerjasama dengan pujangga bumiputra untuk menghapus masa lalu orang jajahan. Babad itu suatu pengetahuan (wetenschap), tetapi tidak sedikit tukang-tukang babad yang sama memalsu karangannya. Perkara ini ternyata seperti kata orang Cekoslovak: “ Di antara orang-orang juru babad, ada juga memalsu babad yang dibikinnya. Babad mana yang seharusnya ditulis dengan sebetul-betulnya apa yang telah terjadi. Begitu juga orang bangsa T urki ada pepatah, ‘jang menulis atau membikin babad itu bukan tempat tinta’.” Di sini Marco membedakan dirinya dengan pujangga Jawa yang mendasarkan tulisannya pada cerita-cerita lisan. Ia mempelajari tulisan-tulisan sarjana kolonial seperti Veth dan Raffles mengenai Jawa dan mengungkapkan kritiknya baik mengenai fakta-fakta maupun tafsirannya. Buku itu sendiri dibagi ke dalam enam bagian mengenai asal-usul nama Jawa, kedatangan agama Hindu, sampai pada kedatangan orang Portugis dan Belanda. Bagi Marco Babad Tanah Jawa yang ada selama ini pada dasarnya mencerminkan kekalahan kebudayaan Jawa. Karena itu ia merasa perlu memberi landasan ilmiah untuk memahami mengapa kekalahan itu terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Berbeda dengan pujangga istana yang tidak mengakui kekalahan kerajaan dan kebudayaan Jawa, Marco justru menyoroti kelemahan watak dan sikap para raja Jawa sendiri sebagai penyebab utama kemunduran kerajaannya. Bahkan sejak masuknya agama Hindu raja-raja Jawa tidak pernah menunjukkan perlawanan. Di tangannya babad bukan sekadar usaha menulis kembali sejarah Jawa, tapi menyusun kembali sejarah yang berguna bagi kepentingan pergerakan. Pandangannya mengenai masa lalu juga dipegang oleh banyak
aktivis pergerakan sezamannya, walaupun Marco adalah satu-satunya yang membuat studi semacam itu. Hal penting lain adalah cara Marco dan penulis bacaan liar lainnya menangani masalah ras di Hindia Belanda. Sejak akhir abad ke-19 penguasa kolonial memberlakukan segregasi dengan membagi masyarakat kolonial ke dalam tiga strata, orang Belanda dan Eropa lainnya di tempat teratas (belakangan orang Jepang juga termasuk strata ini), orang T imur Jauh seperti T ionghoa dan Arab di tempat kedua, dan orang bumiputra di strata paling bawah. Sekalipun menyadari bahwa persoalan pokoknya adalah kapitalisme yang menciptakan kesengsaraan, para penulis ini seringkali mencampur-aduk masalah ras dan etnik dengan sebutan “ babah kapitalisten”. Kecenderungan seperti ini kerap memancing perdebatan antara orang T ionghoa dan penulis bumiputra. Saat Marco menerbitkan Mata Gelap, sebuah novel tentang kehidupan sosial di tanah jajahan yang antara lain mengungkapkan perilaku pedagang T ionghoa yang disebutnya lintah darat. Sebuah suratkabar milik orang T ionghoa menyampaikan kritik tajam, “ Ini hari kita terima satu buku cerita, yang pakai nama Mata Gelap, terkarang oleh M. Marco, redaktur Doenia Bergerak di Solo. Sebetulnya itu buku ada begitu rendah derajatnya, hingga bermula kita tidak ada ingatan buat bicarakan isinya di ini surat kabar. T etapi sebab di situ penulisnya sudah terlalu nyatakan ia punya perasaan rendah pada orang T ionghoa, kita merasa terpaksa juga tulis ini resensi, dengan permintaan, supaya tuan Marco, kalau di belakang hari menulis lagi satu buku, janganlah ia bikin orang T ionghoa jadi sakit hati seperti sekarang ia sudah bikin, antara mana di dalam kalimat: “ Bah! Minta stroop ijs.” Ingatlah, bangsa T ionghoa ada satu bangsa manusia juga, hingga tidak pantas kalau tuan Marco pandang begitu rendah pada mereka. Orang T ionghoa merasa dan mengaku, di ini jajahan ia orang ada seperti orang menumpang dan memang ingin hidup rukun dan damai dengan orang Bumiputra. T etapi orang Bumiputra, seperti tuan rumah, juga harus unjuk itu kehormatan dan perendahan pada orang T ionghoa, seperti orangorang sopan, tuan rumah memang wajib unjukkan pada tetamunya. Marco kemudian menjawab, Itu perkataan tidak saja dulu telah lazim buat sebutan atau memanggil bangsa Cina... kalau kami bercampur gaul dengan orang Cina, itu sebutan selalu kami gunakan, dan toh tidak ada seorang yang menyangkal. Apakah kurang cukup orang Jawa menghormati tetamunya? Apakah orang Jawa kurang cukup menunjukkan kerukunan kepada tetamunya? Apakah orang Jawa kurang rendah dan mengalah? Kalau kami menyebut Babah atau Bah atau menyebut orang Cina dikata megnhina itu bangsa, sesungguhnya kami tidak mengerti. Apa sebabnya di kaart (atlas) masih selalu ditulis: Cina? Kalau betul-betul tuan tamu tidak mengharap perselisihan dengan tuan rumah, kami harap ini perkara jangan dibikin panjang. Ingatlah, ini waktu, waktu yang kurang baik di seluruh dunia... Lain rupa kalau tuan tamu cari-cari perkara dengan tuan rumah, itu lain perkara. Kalau tuan tamu tidak dapat hidup rukun dengan tuan rumah, seharusnya kami tuan rumah menjalankan bagaimana adilnya. Persoalan ras, etnik dan kelas kerap tumpang-tindih dalam kritik para penulis bacaan liar mengenai kolonialisme. Beberapa penulis seperti T jokroaminoto dan Abdul Muis juga
sering menyelipkan masalah agama dalam analisis mereka dan berbicara tentang zondig kapitalisme [iniquituos/evil capitalism?] sambil mendukung kapitalisme yang dipegang oleh orang bumiputra. Me mbayangkan Bangsa Dalam kritik terhadap kolonialisme inilah para aktivis pergerakan dan penulis bacaan liar berhadapan dengan pertanyaan dasar mengenai identitas mereka sendiri. Pada masa awal para penulis biasanya berbicara tentang “ bangsa yang terperintah” yang tumpang-tindih dengan penamaan “ bangsa Jawa” dan “ bangsa Hindia”. Sekalipun ada unsur etnik dan ras di dalamnya, pembedaan biasanya dibuat berdasarkan nasib dan kehidupan sosialnya. Karena itu mereka biasanya gencar menyerang “ bangsa Jawa” yang menjual dirinya kepada penguasa kolonial atau perkebunan. Pengertian “ bumiputra” atau “ bangsa Hindia” sendiri baru muncul pada pergantian abad ke-20 mungkin sebagai respons atas pembedaan masyarakat berdasarkan ras yang dibuat oleh pemerintah kolonial beberapa tahun sebelumnya. Seperti diuraikan Marco dalam Matahariah, “ Sekarang saja sudah sama bermufakat akan membikin perkumpulan yang kita kasih nama Kromo Bergerak, maksudnya perkumpulan berdaya upaya bangsa kita anak Hindia bisa rukun menjadi satu hati, supaya kita tidak selalu diperas oleh bangsa-bangsa buas. Lagipula kita anak Hindia bisa rukun jadi satu, di situlah waktunya kita bisa mengilangi laku sewenang-wenang. Sekarang saja sudah menjadi orang particulier sudah tentu saja akan berusaha keras supaya kita anak Hindia bisa naik derajatnya seperti bangsa Eropa yang ada di tanah kita. Saudara-saudara tahu sendiri, bahwa kita anak Hindia selalu dihina oleh bangsa Eropa yang ada sama di sini.” Keinginan untuk sederajat dengan “ bangsa Eropa” adalah tema sentral dalam nasionalisme sejak 1930-an (bahkan sampai hari ini). T api dalam power bloc pergerakan yang menghidupi bacaan liar tema itu cepat bergeser karena kesederajatan hanya mungkin dicapai dengan menghapus sistem yang menciptakan ketimpangan, yakni kapitalisme. Seperti diungkapkan Darsono, “ Sekarang ini di Hindia timbul dua golongan manusia, yaitu satu golongan yang mempunyai pabrik-pabrik, maatschappij-maatschappij spoor en tram, toko-toko dan sebagainya; dan yang kedua golongan kaum buruh macam-macam bangsa atau orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaannya golongan yang kesatu itu. Ini golongan kaum buruh ialah asalnya dari orang-orang tani, tukang membatik, tukang menenun, saudagar kecil-kecil macam-macam bangsa dan sebagainya. Mereka menjual tenaga kerjanya karena terdesak oleh pabrik atau mesin dan oleh perdagangan besar.” Dalam teks-teks bacaan liar sering nampak kebimbangan dalam menetapkan batas yang jelas mengenai bangsa. Beberapa penulis cenderung menghindari pembicaraan tentang bangsa yang satu dan menggunakan istilah “ kromo”, “ kaum buruh” atau “ rakyat”. Ada juga di antaranya, terutama aktivis PKI, yang mengedepankan prinsip internasionalisme yang tidak mengenal perbedaan bangsa. T an Malaka, salah seorang pemimpin PKI yang terkemuka, pada 1930-an mengemukakan ide membentuk perhimpunan sosialis AsiaAustralia, mungkin berdasarkan pengalamannya berkeliling Asia dan pengamatannya
terhadap kecenderungan gerakan buruh yang cukup kuat di Australia saat itu. Sekalipun tidak memiliki rumusan yang jelas mengenai bangsa, power bloc pergerakan ini berusaha memastikan bahwa masalah perbedaan kelas dan ketimpangan di antara orang bumiputra sendiri masuk dalam setiap pembicaraan mengenai “ Indonesia”. Gagasan sosialisme mulai mendesak masuk pada awal 1920-an dan membuat proses membentuk identitas kebangsaan semakin rumit. Para pemimpin PKI berulangkali mengutip perdebatan Lenin dan Bukharin dalam Komintern mengenai nasib perjuangan bangsa-bangsa dan cenderung mengikuti “ garis kelas” yang dikedepankan oleh organisasi tersebut. Komisi Bacaan Hoofdbestuur PKI menekankan pentingnya pemahaman mengenai sosialisme dalam perjuangan pembebasan dan sebaliknya mengecam pemikiran yang mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan kelas. Perdebatan berulangkali terjadi di kalangan pergerakan sendiri, karena tidak semua orang menyetujui prinsip-prinsip tersebut. Namun sebaliknya mereka yang tidak setuju juga tidak memiliki dasar cukup kuat untuk menetapkan satu jenis nasionalisme. Usaha beberapa priyayi untuk mengedepankan nasionalisme Jawa pada 1917-18 tidak mendapat sambutan dan justru dikecam sebagai usaha mengecilkan arti pergerakan. Demikian halnya dengan nasionalisme T ionghoa yang sempat berkembang menyusul Revolusi 1911 di T iongkok dan Gerakan Empat Mei 1919, bahkan ditolak oleh sebagian orang T ionghoa sendiri. Nasionalisme berdasarkan perbedaan agama mungkin kecenderungan yang paling populer dengan berdirinya Sarekat Islam, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya. Perdebatan sengit berulangkali terjadi antara aktivis sekuler seperti Mas Marco, Semaoen, dan Darsono yang juga menjadi anggota Sarekat Islam dengan mereka yang menjunjung panji-panji Islam seperti T jokroaminoto dan Abdul Muis. Dengan kata lain tidak ada kekuatan yang cukup besar untuk menetapkan satu jenis nasionalisme di masa ini. Bacaan liar yang menjadi bagian dari gerakan kiri pun menghadapi berbagai dilema dalam merumuskan identitas kebangsaan seperti yang ditunjukkan beberapa teks di atas. Hal terpenting bagi pergerakan sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan mereka adalah pembentukan organisasi rakyat, seperti serikat buruh, perkumpulan petani dan partai politik. Sebagian besar waktu mereka sejak awal 1920-an tercurah pada persoalan teknis mengembangkan organisasi dan konfrontasi dengan penguasa kolonial. Pengalaman itu yang nampaknya jauh lebih berperan dalam pembentukan identitas kebangsaan ketimbang resolusi atau pernyataan resmi dari organisasi yang sering berubah-ubah sikap. Jika membaca teks-teks dari masa itu maka terlihat bahwa “ bangsa” sesungguhnya identik dengan sikap melawan ketidakadilan. Siapapun, terlepas dari latar belakang etnik maupun agamanya, yang tergabung dalam pergerakan melawan kolonialisme adalah bagian dari “ bangsa”. Pembedaan dan definisi pun berubah-ubah mengikuti konjungtur politik, seperti saat pergerakan mulai mendiskusikan prinsip kooperasi dan non-kooperasi. Pemerintah kolonial yang menyadari tekanan terhadap mereka semakin meningkat mulai membuka jalan bagi orang bumiputra untuk bersuara melalui semacam dewan perwakilan dan menyarankan agar organisasi bumiputra menempuh jalan kerjasama dengan penguasa untuk membuat perubahan. Sebagian besar aktivis pergerakan, terutama para penulis bacaan liar dan suratkabar radikal menolak tawaran itu sebagai tipu daya politik kolonial. Perdebatan di kalangan pergerakan sendiri kadang menajam dan masing-masing mengklaim diri sebagai wakil sah dari bangsa sementara lainnya tidak. Aktivis PKI misalnya kerap dituduh mewakili kepentingan “ bangsa Rus” karena membayangkan perlawanan terhadap kolonialisme sebagai perjuangan kelas terhadap negara kolonial seperti halnya perjuangan kelas di Rusia melawan T sar. Sebaliknya mereka yang
mendukung kooperasi dianggap sebagai “ antek bangsa Belanda”. T ema lain yang penting di samping kolonialisme adalah perlawanan terhadap tradisi. Dalam bacaan liar cukup jelas bahwa “ bangsa” (yang belum bernama) harus bersandar pada prinsip kehidupan dan pikiran modern. Semua bentuk tradisi yang sifatnya melemahkan pergerakan selalu dianjurkan agar ditinggalkan. Pemikiran semacam ini sudah berkembang sejak awal pergerakan tapi menjadi makin kuat ketika berkembangnya gagasan sosialisme mengenai persamaan semua orang. Hal itu nampak dalam pembahasan mengenai tempat perempuan dalam pergerakan, seperti yang ditulis oleh Rangsang dalam novel Kaoem Merah, “ Menurut keadaan dunia pada ini waktu, seharusnya kita kaum perempuan menolong pekerjaan kaum lelaki, yaitu pekerjaan menuju keperluan umum. Sudah berabad-abad lamanya kita kaum perempuan boleh dikata tidur pulas, tidak pernah melihat sinar matahari. Sebab mulai jaman dulu sampai sekarang kita kaum perempuan dipandang seperti perhiasan rumah tangga, dan menjadi kepalanya koki. T etapi buat ini jaman itu aturan harus diubah. Buat kaum kita perempuan yang memang ada kewajiban rumah tangga dan lelaki boleh melakukan itu pekerjaan, tetapi buat kaum perempuan yang tidak mempunyai itu kewajiban, harus sekali menolong pekerjaan kaum lelaki yang menuju kegunaan umum. Kita tahu ada banyak orang perempuan yang memilih duduk diam sambil makan angin, meski perempuan yang terpelajar juga, ada yang suka melakukan itu tabiat. Sekarang kita kira sudah waktunya kita orang turut bergerak bersama-sama dengan saudara kita kaum lelaki. Kita tahu juga, bangsa kaum kolot tentu mesem mendengar perkataan ini. Baiklah kaum yang tidak menyetujui itu kita sisihkan saja.” T okoh-tokoh perempuan dalam bacaan liar umumnya berbeda dari citra kolonial maupun priyayi Jawa. Para penulis biasanya menggambarkan karakter perempuan aktivis yang berpengetahuan luas, sering membuat penilaian dan kadang berbantahan dengan laki-laki; sesuatu yang tidak lazim ditemukan dalam novel Balai Pustaka. Kedudukan nyai juga digambarkan berbeda dari karya sastra sezaman, sebagai perempuan yang memiliki watak kuat sekalipun nasibnya sangat bergantung pada pemilik perkebunan yang mengangkatnya. Masalah besar bagi gerakan nasionalis pada masa ini adalah tidak adanya bayangan tentang negara, sehingga semua perlawanan terhadap kolonialisme dan perjuangan hak-hak orang jajahan dianggap bagian dari pergerakan. Gagasan internasionalisme a la Komintern atau Pan-Islamisme mendapat sambutan cukup luas justru karena para pengemukanya mengkritik batas-batas negara kolonial sebagai produk penindasan. Dalam bacaan liar para penulis pun tidak pernah mempersoalkan masalah itu. Persaingan di antara power blocs dalam pergerakan untuk sementara tertunda karena adanya persatuan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penguasa kolonial. Menjelang pertengahan 1920-an situasi politik di Hindia Belanda semakin tegang. Penguasa kolonial yang menyadari bahwa pergerakan tidak dapat dihadapi dengan bukubuku Balai Pustaka maupun aturan hukum, mulai menggunakan kekerasan dan provokasi untuk menghancurkannya. Pada 1921 jumlah tahanan politik mencapai 3,638 orang dan meningkat menjadi 6,118 orang pada 1925. Beberapa pemimpin pergerakan seperti HM
Misbach dan T jipto Mangunkusumo ditangkap lalu dibuang ke luar Jawa. Kalangan pergerakan pun semakin terdesak untuk meningkatkan kegiatan dan sekaligus mempertajam perbedaan “ pihak sana” dan “ pihak sini”. Ketegangan tidak hanya terjadi di antara aktivis kelas rendahan melawan priyayi atau kalangan terpelajar, tapi juga terjadi di dalam power bloc itu sendiri. Para propagandis PKI menyatakan perjuangan melawan kolonialisme adalah perjuangan kelas seperti halnya kelas buruh di Rusia yang menggulingkan T sar pada 1917. Beberapa pemimpin PKI pun berkunjung ke Uni Soviet untuk berbicara dengan pemimpin Komintern yang kemudian mengusulkan agar partai itu mempertajam perspektif mereka mengenai kelas-kelas di tanah jajahan. Hasilnya antara lain ditunjukkan oleh Axan Zain dalam kutipan berikut, “ Siapakah yang bekerja di pabrik-pabrik dan membikin barang-barang yang macam-macam itu? Yang bekerja di situ yaitu golongan manusia lain. Golongan manusia ini kita namakan kaum buruh atau dinamakan juga kaum proletar. Juga di Indonesia banyak orang proletar, yaitu orang yang bekerja di pabrik-pabrik gula, pabrik-pabrik kopi, teh, kina, karet yang bekerja di bengkel-bengkel, pelabuhan, spoor, trem, yang bekerja di rumah-rumah percetakan dan lain-lainnya.” Di sisi lain ada tokoh-tokoh seperti Mas Marco, Darsono dan pemimpin Sarekat Rakyat yang tidak setuju pada pendekatan kelas yang tajam semacam itu. Dalam konperensi PKI di Kota Gede Desember 1924, salah seorang teoretikus partai Ali Archam mengusulkan agar SR ‘yang borjuis kecil’ dibubarkan dan konsentrasi sepenuhnya diarahkan pada pengorganisasian buruh ke dalam serikat-serikat yang revolusioner. Usulan itu ditentang oleh Darsono dan Mas Marco yang menekankan pentingnya taktik persatuan di antara semua kalangan yang menentang kekuasaan kolonial. Mengutip Schrieke, seorang sarjana kolonial terkemuka, ia mengatakan bahwa bangsa di Nusantara pada dasarnya terdiri atas berbagai suku dan klan yang sudah lama tercerai-berai. Perbedaan pandangan ini terus meningkat seiring dengan bertambah kuatnya represi kolonial. Pembahasan mengenai kelas, agama dan etnik sebagai komposisi bangsa diganti oleh pembedaan berdasarkan sikap berani-takut, militan-moderat yang kadang tumpang-tindih. Seperti tercermin dalam artikel di Medan Moeslimin, “ Untuk mendatangkan kemerdekaan itu tidak cukup pula kita hanya berteriak dalam vergadering, bikin mosi, minta-minta, kirim urusan (deputatie), protes, bikin kritik di suratkabar dan belajar komunisme sampai rambutnya botak, tetapi kita harus atur kita punya kekuatan menurut teori, dengan organisasi dan disiplin (bukan disiplin foya-foya!)” Menjelang 1926, teks-teks pergerakan umumnya berbicara tentang pentingnya militansi, disiplin dan sikap tegas. Kemerdekaan bagi mereka adalah pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial, dan bangsa Indonesia adalah mereka yang mendukung pemberontakan tersebut. Perpecahan, kehancuran organisasi dan pengucilan aktivis yang tidak mendukung gagasan itu berulangkali terjadi di dalam pergerakan. Dalam kegamangan dan di bawah tekanan hebat dari kader-kadernya sendiri inilah PKI dan Sarekat Rakyat kemudian memutuskan untuk melancarkan pemberontakan pada November dan Desember 1926. Penguasa kolonial membalas dengan represi yang hebat. Ribuan orang ditangkap, lima di antaranya dijatuhi hukuman mati sementara 1.308 orang lainnya dibuang ke Boven Digul di tengah hutan pulau Papua. Bersamaan dengan itu sebuah episode sejarah “ kebangkitan nasional” pun berakhir.
Catatan Pe nutup Kegagalan melancarkan pemberontakan membawa akibat mendalam. Pertama, adalah tersingkirnya barisan penulis-aktivis dari kelas-kelas rendahan yang membentuk power bloc dominan dalam pergerakan 1920-an. Mereka yang dibuang ke Boven Digul tidak pernah kembali sampai kedatangan Jepang 1942, dan beberapa di antaranya seperti Mas Marco dan Ali Archam menemui ajalnya di sana. T okoh lain seperti Darsono dan Semaun sudah lebih dulu menyingkir ke Moskow, bekerja pada Komintern, dan tidak pernah berpengaruh lagi dalam pergerakan 1930-an. Kedua adalah porak-porandanya jaringan penerbit, penyalur dan pembaca dan organisasi yang menopang bacaan liar selama sekurangnya 15 tahun. Percetakan milik serikat buruh, partai komunis dan orang particulier yang mendukung penerbitan bacaan liar ditutup atau disita. Pemerintah kolonial selanjutnya menetapkan kontrol dan aturan lebih ketat terhadap produksi dan peredaran barang cetakan, dan dengan begitu merestorasi print colonialism. Ketiga, dan mungkin yang terpenting adalah menguatnya kekhawatiran menulis sesuatu secara terus terang. Hal terakhir nampak misalnya dalam uraian Hatta mengenai program Perhimpunan Indonesia di hadapan pengadilan Belanda pada 1928. Berbeda dengan program organisasi itu pada 1923 yang sangat radikal, uraian itu nampak jelas menghindari konfrontasi dengan penguasa kolonial dan bahkan tidak menyatakan tujuan kemerdekaan. Para pemimpin nasionalis 1930-an ini pada umumnya adalah mahasiswa yang belajar di dalam maupun luar negeri, pegawai pemerintah dan beberapa tokoh yang berhasil selamat dari represi kolonial. T ak seorang pun dari mereka berpengalaman membangun gerakan dari bawah dan mengungkapkan keresahan dan ketidakadilan yang konkret dalam tulisan. Mereka umumnya berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda (bahkan dalam Melayu T inggi pun tidak), yang hanya dimengerti segolongan kecil orang. Dalam banyak hal mereka lebih fasih berdebat dengan lawan politiknya yang orang Belanda ketimbang menjelaskan pikirannya kepada orang “ sebangsanya” sendiri. Kalaupun berbahasa Melayu, maka segala spontanitas, ironi dan kekurangajaran yang melekat pada bacaan liar, sudah lenyap. Nada bicara pun lebih mencerminkan otoritas dan petuah yang kadang terdengar angkuh. Mereka biasanya menempatkan diri sebagai calon pemimpin bangsa yang modern, maju dan terpelajar, yang tidak ada persamaan dengan mayoritas penduduk Hindia Belanda. Gagasan nasionalisme selanjutnya pun sangat terpengaruh oleh situasi ini. Bayangan tentang pemberontakan rakyat atau kelas-kelas tertindas terhadap penguasa kolonial dan menciptakan masyarakat baru yang tidak mengenal hirarki ditinggalkan karena akan menempatkan para pemimpin baru ini pada situasi sulit. Satu dari sedikit cara untuk memobilisasi perlawanan adalah dengan menonjolkan perbedaan yang kasat mata tanpa perlu mempersoalkan perbedaan di kalangan mereka sendiri. Pada akhir 1920-an muncul gagasan membentuk “ front sawo matang” (het bruine front) yang memperjuangkan “ negara dalam negara”, yakni membentuk semacam sistem pemerintahan di dalam tatanan negara kolonial. Kritik terhadap kapitalisme dan cita-cita sosialisme selanjutnya menjadi persoalan Barat dan T imur, pribumi dan asing yang di masa selanjutnya menimbulkan masalah-masalah serius. Kegagalan pemberontakan komunis menjadi dasar untuk mengakhiri diskusi tentang hubungan antarkelas di dalam bangsa, walau tak berhasil menyelesaikan ketegangannya sampai hari ini.