TUGAS PPKN
" KLIPING
Tentang BIOGRAFI PAHLAWAN "
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
ALVINA NUR AZIZAH (04)
ARISKA JUITANINGRUM (06)
ASIH DWI P. (07)
MIRA WATI (24)
SALSA PRISTI S (32)
KELAS : VIII F
SMP N 1 JEPON
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Biografi Sultan Hasanuddin
Nama : Sultan Hasanuddin
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Ibu : I Sabbe To'mo Lakuntu
Ayah : Sultan Malikussaid
Pasangan: I Bate Daeng Tommi (m. 1654), I Mami Daeng Sangnging (m. 1645), I Daeng Talele
Anak: Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali
Keluarga Dan Masa Kecil Sultan Hasanuddin
Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang merupakan raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To'mo Lakuntu yang merupakan putri bangsawan Laikang. Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 januari 1631 dan wafat pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir Sultan Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin memiliki saudara perempuan bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia juga memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol dibanding dengan saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak hanya di lingkungan istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid Bontoala membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur, dan rendah hati.
Wafatnya Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) Dan Pengangkatan Ayahnya Sebagai Raja Gowa
Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang merupakan raja Gowa ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah kakeknya meninggal sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja yang dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering diajak untuk menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar Hassanudin belajar tentang ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang. Setelah pandai pada bidang tersebut, Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk mewakili sang ayah mengunjungi kerajaan nusantara terutama daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa. Saat hendak memasuki usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya untuk menjabat urusan pertahanan Gowa dan membantu ayahnya mengatur pertahanan untuk melawan Belanda.
Diangkat sebagai Raja Gowa-16
November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari sang ayah sebelum wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng Pattingaloang.
Melawan VOC
Sultan Hasanuddin memerintah kerajaan saat Belanda hendak menguasai rempah-rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia, Belanda melarang orang Makassar berdagang dengan musuh belanda seperti Portugis atau yang lainnya. Keinginan Belanda yang ingin melakukan monopoli perdagangan melalui VOC ditolak keras oleh Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin masih berpendirian sama seperti kakek dan ayahnya bahwa tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama-sama.
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan Gowa merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC berusaha mengahncurkan Kerajaan Gowa.
Perang Melawan Belanda Dan Sultan Hasanuddin Turun Tahta
Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman berusaha menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun usaha mereka untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur Indonesia untuk melawan Belanda. Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut merugikan Kerajaan Gowa. Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa semakin lemah dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa yang merasa sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya perang kembali pecah. Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda yang dibantu dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng Sombaopu yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah tidak akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda. Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin turun tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang bergelar Sultan Amir Hamzah.
Sultan Hasanuddin Wafat
Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau dimakamkan di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.
Penghargaan Sultan Hassanudin
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973 atas jasa-jasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
Biografi Pangeran Diponegoro
Nama Lengkap: Bendoro Raden Mas Ontowiryo
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : 11 November 1785
Warga Negara : Indonesia
Wafat : 8 Januari 1855 di Sulawesi
Ayah : Hamengkubuwana III
Ibu : R.A. Mangkarawati
Gelar : Pahlawan Nasional
Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah tokoh sentral di dalam Perang Diponegoro. Lalu, seperti apa sosok tokoh Pahlawan Nasional yang satu ini? Kita akan membahasnya untuk anda. Diponegoro lahir pada 11 November 1785 di Jogja. Setelah melakukan perjuangan sekian lama, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Januari 1855 di Sulawesi. Saat itu ia sudah menginjak usia 69 tahun. Diponegoro adalah putra dari tokoh yang disegani bernama Hamengkubuwana III.
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah Pacitan. Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang Ayah sempat punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar bahwa ia hanya putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya, Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal sangat merakyat dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan pemberontakan terhadap keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah pemerintahan Hamengkubuwana V (1822). Ia saat itu bertindak sebagai anggota perwalian. Ia tidak menyukai prosedur perwalian tersebut. Diponegoro adalah sosok pejuang luar biasa. Ia tidak suka dengan Belanda sejak mereka berani memasang patok di tanah miliknya yang berlokasi di Tegalrejo. Itu tidak lain adalah karena Belanda dinilai semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan ketidaksukaannya secara terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Sang paman Pangeran Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari Tegalrejo untuk memikirkan strategi melawan kaum kafir. Ia menamai perjuangan tersebut sebagai Perang Sabil. Semangat tersebut tidak hanya menyulut semangat orang-orang terdekatnya saja, namun mleluas hingga ke Kedu dan Pacitan. Bahkan tokoh agama penting seperti Kyai Maja juga turut serta di dalam perjuangan tersebut.
Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan banyak prajurit, bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka pun membuat sayembara dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta dalam perburuan tersebut. Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal de Kock di Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi serangan lagi. Ia pun menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke Ungaran, kemudian Semarang, dan terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali dipindahkan beberapa kali dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
Kutipan Pangeran Diponegoro
"Gusti Allah menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan,"
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.
Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram
Nagarining Jawi Dodot Iro
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Nagli
Sumimpin Kawicaksanane Sayidina Kasan
Sumimpin Kekendelane Sayidina Kusen
Den seksenono..Hing Wanci Suro
Londo bakal den siro sirnake soko tanah Jowo
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Muhammad yoiku
Ngali, Kasan, Kusen
Siro podho lumaksanane yudho kairing Takbir lan Sholawat
Yen Siro gugur ing bantala..Cinondro guguring sakabate Sayidina Kusen
Ing Nainawa...
Terjemahannya :
Wahai ksatria negeri Mataram,
negeri di Jawa tempat aku pegang teguh,
bersama sifat kepemimpinan Sayidina Ali yg tegas,
bersama sifat sayidina Hasan yang bijak,
bersama sifat kepemimpinan sayidina Husein yang gagah berani,
Wahai saksikanlah.
Tunggulah nnti di bulan Muharam,
Belanda akan kita lenyapkan di tanah jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
jika kita gugur di medan perang,
itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa
Biografi Sultan Ageng Tirtoyoso
Nama: Sultan Ageng Tirtayasa
Lahir: Banten, 1631
Meninggal: Jakarta, 1695
Memerintah: 1651–1683
Orang Tua:
Ratu Martakusuma (Ibu)
Abdul Ma'ali Ahmad (Ayah)
Anak:
Sultan Abu Nashar Abdulqahar (Haji dari Banten)
Pangeran Purbaya
Tubagus Abdul
Tubagus Rajaputra
Tubagus Husaen
Tubagus Ingayudadipura
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Sugiri
Raden Muhammad
Tubagus Rajasuta
Raden Muhsin
Arya Abdulalim
Tubagus Muhammad Athif
Tubagus Wetan
Tubagus Kulon
Raden Mesir
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yaitu Sultan Banten periode 1640-1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan Banten pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya. Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad wafat, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat ayahnya wafat, Beliau belum menjadi sultan karena kesultanan Banten saat itu kembali dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
Menjadi Sultan dan Kesultanan Banten Mengalami Kejayaan
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultanb Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan dan kemegahannya. Ia memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan berhasil menyusun armada perangnya. Selain itu, kesultanan Banten juga menjadi memiliki hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan, pelayaran dan juga diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark dan Perancis. Hubungan tersebut membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang saat itu ditahan di Mataram karena hubungan baiknya dengan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda semakin meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepadanya dan saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu mengepung pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan Saint-Martin yang dikirim Belanda datang membantu Sultan Haji.
Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan dipenjara. Pada tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Sultan Ageng Tirtayasa dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.
Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970 Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, untuk menghargai jasanya, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Biografi Iman Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Biodata Tuanku Imam Bonjol
Nama : Muhamad Shahab
Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
Kebangsaan : Minangkabau
Agama : Islam
Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Biografi Patimura
Nama lengkap : Thomas Matulessy
Julukan : Pattimura
Lahir : Hualoy, Seram selatan, Maluku 8 Juni 1783
Wafat : Ambon, Maluku 16 Desember 1817
Orang tua : Frans Matulesi (Ayah) Fransina Silahoi (Ibu)
Biografi Lengkap Pattimura
Berdasarkan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M.Sapija menuliskan "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan pendapat dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy (dalam bahasa Maluku "Mat Lussy"), lahir di lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah).
Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia. Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan Ambon selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk. Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan penduduk, pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah Siri Sori Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.
Hukuman Dan Kematian Pattimura
Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan, Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai "Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan" oleh pemerintah Republik Indonesia.
Biografi Sultan Agung Hanyakrakusuma
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo,
lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593
wafat: Kerta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645)
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Wafatnya Sultan Agung
Pintu Masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Biografi Pangeran Antasari
Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari adalah putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja, Pangeran Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.
Profil Singkat Pangeran Antasari
Nama : Pangeran Antasari
Lahir : Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan , 1797 atau 1809
Meninggal : Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862
Ibu: Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman
Ayah : Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir
Pangeran Antasari Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir dan Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda Pangeran Antasari bernama Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki seorang adik perempuan bernama Ratu Antasari atau Ratu Sultan Abdul Rahman yang meninggal dahulu setelah melahirkan anaknya yang bernama Rakhmatillah yang merupakan pewaris kesultanan banjar, dan saat masih bayi anaknya pun meninggal.
Pangeran Antasari tidak hanya sebagai pemimpin Suku Banjar, namun juga pemimpin Suku kutai, Maanyan, Bakumpai, Siang, Murung, Ngaju, Sihong, Pasir dan beberapa suku lain yang ada di wilayah dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah pengasingan Sultan Hidayatullah ke Cianjur oleh Belanda, perjuangan rakyat banjar diteruskan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, untuk menguatkan posisi Pangeran Antasari sebagai pemimpin perjuangan untuk melawan penjajah di kawasan bagian utara Banjar, di depan rakyat, pejuang, bangsawan, panglima dayak serta alim ulama Banjar, Pangeran Antasari ditunjuk sebagai Petinggi kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembah Amiruddin Khalifatul Mukminin. Penguatan posisi tersebut dimulai dengan seruan
"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!".
Perjuangan Pangeran Antasari Melawan Belanda
Pada 25 April 1859, Pangeran Antasari bersama 300 prajuritnya menyerang pertambangan batu bara milik Belanda yang ada di Pengaron dengan dimulainya penyerangan tersebut Perang Banjar pun pecah. Peperangan demi peperangan terus terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari yang dibantu para panglima dan pengikut setianya menyerang pos-pos milik Belanda yang ada di Martapura, Riam Kanan, Hulu Sungai, Tabalong, Tanah Laut, Sepanjang sungai Barito hingga Puruk Cahu.
Peperangan yang terjadi antara pasukan Pangeran Antasari dengan Belanda semakin sengit. Belanda yang dibantu oleh pasukan Batavia dan juga persenjataan canggih, berhasil mendesak Pangeran Antasari dan pasukannya dan Pangeran Antasari akhirnya memindahkan benteng pertahanannya ke Muara Taweh.
Belanda terus membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun Pangeran Antasari tetap teguh pada pendiriannya. Pihak Belanda pernah menawarkan hadiah imbalan sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yang dapat menangkap lalu membunuh Pangeran Antasari, namun tidak ada yang mau menerima tawaran tersebut.
Meninggalnya Pangeran Antasari
Setelah lama berjuang, pada 11 Oktober 1862 di kampung Bayan Begok, Sampirang Pangeran Antasari wafat ditengah pasukannya di Usia sekitar 75 tahun tanpa menyerah, tertangkap ataupun tertipu oleh Belanda. Pangeran Antasari meninggal akibat penyakit paru-paru dan juga cacar yang dideritanya setelah perang dibawah kaki Bukit Begantung, Tundukan. Sepeninggalan Pangeran Antasari, perjuangan di teruskan oleh putranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 november 1958 atas keinginan Banjar dan juga persetujuan keluarga, setelah terkubur selama sekitar 91 tahun di daerah Hulu sungai Barito, kerangka Pangeran antasari dipindah makamkan ke Taman Makam Perang Banjar yang ada di Kelurahan Surgi Mufti, Banjarasin. Bagian tubuh Pangeran Antasari yang masih utuh dan dipindah makamkan adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan juga beberapa helai rambut.
Penghargaan Untuk Pangeran Antasari
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan. Untuk mengenang jasa beliau, nama beliau di abadikan pada Korem 101/Antasari dan juga nama beliau dipakai sebagai nama julukan Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.
I Gusti Ngurahrai
Nama : I Gusti Ngurah Rai
Lahir : Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda " 30 Januari 1917
Meninggal : Marga, Tabanan, Bali " 20 November 1946 (umur 29)
Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana Bali
Agama : Hindu
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia
Biografi I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa kecil. I Gusti Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali, Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah colonial. Setelah pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah kepulangannya dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya. Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia (sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.
Pendidikan I Gusti Ngurah Rai
HIS, Denpasar
MULO, Malang
Prayodha Bali, Gianyar, Bali
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
Pendidikan Artileri, Malang
Karir I Gusti Ngurah Rai
Brigjen TNI (anumerta)
Letnan Kolonel
Letnan II
Penghargaan I Gusti Ngurah Rai
Bintang Mahaputra
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975
I Gusti ketut Jelantik
Biografi I Gusti ketut Jelantik
Pertengahan abad 19, Belanda berusaha mewujudkan wilayah kekuasaannya di seluruh nusantara. Untuk itu, Belanda berupaya menguasai seluruh wilayah Bali. Pada tahun 1843, Belanda telah mampu memengaruhi beberapa raja di Bali untuk bekerja sama dengannya, termasuk meminta penghapusan Hukum Tawan Karang. Saat itu, Raja Buleleng pun terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut.
Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai wilayah Buleleng. Belanda memaksa raja mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas kekuasaan Belanda. I Gusti Ketut Jelantik sebagai patih kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat marah. I Gusti Ketut Jelantik pun menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan Belanda selama masih hidup. Pada tahun 1845, kembali sebuah kapal terdampar di wilayah Buleleng. Penolakan tegas I Gusti Ketut Jelantik untuk mengembalikan kapal tersebut karena sikap Belanda yang tidak menghargai Kerajaan Buleleng memicu perang. Memang, Belanda sebenarnya mempermasalahkan kapal yang terdampar ini hanya sebagai dalih untuk melakukan serangan. Tepat pada Juni 1846, Belanda mengerahkan pasukan besar untuk menyerang Buleleng. Di akhir Juni, benteng Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Raja dan Patih Jelantik kemudian mundur ke daerah Jagaraga untuk menyusun pertahanan. Permintaan Belanda untuk menyerah tidak diabaikan.
Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van der Wijk. Dua kali serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang dibantu pasukan dan kerajaan lain di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda mengerahkan kembali pasukan besar yang dipimpin Jenderal Michels. Berbekal pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan pertempuran sebelumnya, Belanda berhasil memenangi pertempuran. I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Pegunungan Batur Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju Perbukitan Bale Pundak. Belanda yang terus mengejar kembali menyerang sisa pasukan I Gusti Ketut Jelantik yang melawan hingga beliau gugur dalam pertempuran.
Tempat/Tgl. Lahir : Bali, Tidak diketahui
Tempat/Tgl. Wafat : Bali, April 1849
SK Presiden : Keppres No. 077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993
Gelar : Pahlawan Nasional
Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada masa silam dan sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau masyarakat wilayah pesisir untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di wilayahnya. Tujuan hukum ini adalah menjaga wilayah kekuasaan dari masuknya musuh asing.
Sisingamangaraja
Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18 Februari 1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907 dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah Tapanuli selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara kolonial versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pasukan Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu tentara Belanda terus merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya. Pertempuran kembali terjadi di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian atas lengan. Ia kembali harus mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan Belanda. Taktik berpindah tempat ini berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga pada 1989 Belanda mengetahui pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong. Pasukan Sisingamangaraja XII kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus mundur dan bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak ada pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin banyak sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah, pada masa ini banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda. Sampai akhirnya Belanda tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat dari pengaruh Sisingamangaraja XII.
Belanda pun menawarkan "perdamaian" dengan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan Batak, namun Sisingamangaraja XII menolak. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengirim pasukan Marsose di bawah komando Hans Christoffel ke Tapanuli. Dairi dikepung hampir selama tiga tahun, sampai akhirnya pada 17 Juni 1907, terjadi pertempuran hebat yang menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta kerabatny ditawan, tahun ini menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda.
Wahidin Sudirohusodo
Dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun, EYD: Wahidin Sudirohusodo) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di Jawa mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang "dana pelajar" untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, gagasan ini kurang mendapat tanggapan.
Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak orang. Dari pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai salah satu cara yang bisa dilakukannya untuk sedikit membantu meringankan penderitaan adalah dengan memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat, Sudirohusodo sama sekali tidak memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang nantinya digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat sambutan.
Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu, Sudirohusodo menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo ini mendapat sambutan baik dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya nasib rakyat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.
Nama Lengkap : Wahidin Soedirohoesodo
Alias : No Alias
Profesi : Pahlawan Nasional
Tempat Lahir : Mlati, Sleman, Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 7 Januari 1852
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan Sekolah Dasar di Yogyakarta, Europeesche Lagere School di Yogyakarta, Sekolah Dokter Jawa di Jakarta
Sutomo
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an. Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
Gelar : Pahlawan Nasional
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!"
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
Dr. Cipto Mangunkusuma
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai "een begaald leerling" atau murid yang berbakat. Cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya kehilangan pekerjaan.
Cipto menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Namun, Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara dirinya dan pengurus BU lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana Belanda merayakannya di Indonesia.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul "Ais ik Nederlands Was" (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan bahwa keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, sikap Cipto Mangunkusumo tidak berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto Mangunkusumo bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda, termasuk oleh Sukarno.
Tempat/Tgl. Lahir : Jepara, 4 Maret 1886
Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 8 Maret 1943
SK Presiden : Keppres No. 109/TK/1964, Tgl. 2 Mei 1964
Gelar : Pahlawan Nasional
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik bagi kesehatan beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943.
K.H. Samanhudi
Nama Lengkap : Samanhudi
Alias : Kyai Haji Samanhudi " KH Samanhudi " Wiryowikoro " Sudarno Nadi
Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Laweyan,Surakarta,Jawa Tengah
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Samanhudi tokoh yang terkenal sebagai pejuang dan pendiri Sarekat Dagang Islam ini lahir di Laweyan, Surakarta Jawa Tengah pada tahun 1868. Masyarakat sekitarnya sering memanggilnya dengan panggilan Kyai Haji Samanhudi. Dia juga memiliki nama kecil Sudarno Nadi, pemberian kedua orang tuanya dari sejak lahir. Latar belakang pendidikan Samanhudi hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, akan tetapi walaupun Samanhudi tidak melanjutkan pendidikannya, dia tetap belajar mendalami ilmu Agama Islam di kota Surabaya.
Belajar sambil bekerja, itulah kegiatan Samanhudi semenjak tamat dari Sekolah Dasar. Samanhudi mulai kegiatan di luar belajar Agama Islam dengan berdagang batik di Surabaya. Setelah terjun dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasa jiwa dagang semakin melekat pada dirinya, cara berpikirnya pun dapat diterima di masyarakat pada saat itu. Wawasan dalam dunia dagang pun semakin luas, dan Samanhudi mulai melihat ada perlakuan berbeda yang dilakukan pengusaha Hindia Belanda antara pedagang pribumi yang beragama Islam dengan pedagang Tionghoa.
Dari pandangan Samanhudi ini, maka dia mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 tepatnya di kota Solo. Awalnya organisasi ini merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta yang bertujuan untuk membela kepentingan pedagang Indonesia.
Samanhudi menjabat sebagai ketua organisasi Sarekat Dagang Islam yang berubah menjadi Sarekat Islam pada tanggal 10 September 1912 - 1914. Kesehatan Samanhudi mulai terganggu sejak tahun 1920 yang mana menjadikan dia tidak aktif lagi dalam organisasi tersebut.
Kesehatan menurun tidak menghalangi Samanhudi untuk terus menginspirasi ide-ide cemerlangnya terhadap Pergerakan Nasional. Samanhudi dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 590 tahun 1961 pada tanggal 09 November 1961 setelah wafatnya pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten. Dan Oemar Said Tjokroaminoto adalah pengganti Samanhudi dalam kepemimpinan Sarekat Islam.
Riset dan analisa oleh Eko Setiawan
KARIR
Pendiri Sarekat Dagang Islam
PENGHARGAAN
Gelar Pahlawan Nasional
H. O.S. Cokroaminoto
Nama Lengkap: Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Tempat Lahir : Ponorogo, Jawa Timur
Tanggal Lahir : 16 Agustus 1882
Wafat : 17 Desember 1934
Ayah : R.M. Tjokroamiseno
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Zodiac : Leo
Gelar : Pahlawan Nasional
Biografi H.O.S Cokroaminoto
HOS Cokroaminoto adalah salah satu Pahlawan Nasional yang sangat dikenal di Tanah Air. Nama lahirnya adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Pria hebat ini dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Keluarga Cokroaminoto adalah keluarga besar yang terdiri atas 12 bersaudara. Sang ayah R.M. Tjokroamiseno berprofesi sebagai pejabat pemerintahan pada masanya. Sementara itu, sang kakek juga merupakan sosok penting sebab ia pernah menjadi Bupati Ponorogo.
Cokroaminoto dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam upaya Pergerakan Nasional. Ia juga memiliki beberapa murid yang tidak kalah disegani, diantaranya adalah Musso, Kartosuwiryo, dan Soekarno. Namun rupanya pemikiran yang tak sejalan membuat ketiga orang muridnya ini berselisih paham. Kemudian pada tahun 1912 tepatnya bulan Mei, Tjokroaminoto menerjunkan diri dalam kepengurusan Organisasi Sarekat Islam.
Semasa hidupnya, ia pernah menjalani pendidikan di OSVIA, dimana ia menamatkan pendidikan disana pada tahun 1902. Segera setelah lulus, ia mengabdi sebagai juru tulis di Ngawi. Tak berselang lama, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan perusahaan dagang di Surabaya. Dari sini ia mulai tertarik dengan dunia politik. Sarekat Dagang Islam atau SDI pernah ia masuki, yang akhirnya berubah menjadi SI dan ia yang menjadi ketuanya pada 10 September 1912. Dengan kepemimpian yang baik, organisasi itu pun menunjukkan perkembangan yang signifikan, bahkan sempat membuat Belanda khawatir.
Selama bergabung disana, ia getol memperjuangkan penegakan hak-hak manusia dan kehidupan masyarakat. Perjuangan ini dilakukannya sekitar tahun 1912-1916, dan di akhir tahun tersebut Dewan Rakyat dibentuk. Ia pun mengungkapkan beberapa gagasan penting, salah satunya adalah pembentukan pemerintahan sendiri. Puncaknya adalah kemunculan mosi Cokroaminoto pada 25 November 1918. Inti dari mosi ini adalah meminta kepada Belanda supaya mereka mau mendirikan parlemen yang berisi anggota pilihan rakyat.
Hanya saja, tuntutan tersebut dinilai tidak masuk akal. HOS Cokroaminoto adalah toko besar yang menjadi inspirasi bagi banyak tokoh muda yang juga punya visi yang sama dalam pergerakan nasional. Ia dikenal sebagai sosok yang pintar bertutur kata dan suka melemparkan kritikan pedas kepada pemerintah Belanda yang dianggap sewenang-wenang. Akibat usahanya tersebut serta dipercaya terlibat dalam usaha penggulingan pemerintah Belanda, ia dimasukkan ke dalam penjara pada 1920.
Hanya 7 bulan berselang, ia dibebaskan kembali dan didaulat menjadi anggota Volksraad, namun ia tidak bersedia. HOS Cokroaminoto juga berjasa terhadap perjalan karir seorang Soekarno yang merupakan presiden pertama RI. Ia hidup cukup lama sebelum akhirnya meninggal pada 17 Desember 1934 di Surabaya.
Kutipan H.O.S Cokroaminoto
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator."
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
Ir. Soekarno
Ir Soekarno
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Dimakamkan: Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan: Indonesia
Anak-anak:
Putra: Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Totok Suryawan,
Putri: Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno,
Pasangan/Istri:
Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Pendidikan:
Sekolah Dasar Bumi Putera
HBS (Hoogere Burger School)
Technische Hoogeschool, sekarang ITB
Penghargaan:
Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)
Bintang Kehormatan Filipina (1965)
Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel - 2005)
Orangtua: Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu)
Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional
Biografi Ir. Soekarno Lengkap
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Ir. Soekarno adalah Presiden RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun 1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat membangkitkan semangat rakyat. Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau. Pada Desember 1929, Soekarno dan tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri dibubarkan dan berganti menjadi Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan, tetapi pada Agustus 1933, Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, lalu dipindahkan ke Bengkulu.
Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak berjuang untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika posisinya dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan BPUPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara yang disebut Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian Jepang memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam, untuk menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi. Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang. Satu hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah selama 22 tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Ki Hajar Dewantara
Nama : Ki Hadjar Dewantara
Lahir : 2 Mei 1889, Kota Yogyakarta, Indonesia
Meninggal : 28 April 1959, Kota Yogyakarta, Indonesia
Makam : Taman Wijaya Brata
Pendidikan : School tot Opleiding van Indische Artsen
Warga Negara : Indonesia
Zodiac : Taurus
Agama : Islam
Biografi Ki Hadjar Dewantara
Ki Hajar Dewantara lebih dikenal sebagai Bapak pendidikan Indonesia. Nama asli ki hajar dewantara adalah Raden Mas suwardi suryaningrat. Beliau merupakan keturunan dari keraton Yogyakarta. Pada umur 40 tahun, beliau merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Beliau tidak memakai gelar nama kebangsaannya lagi dikarenakan beliau ingin lebih dekat dengan layar secara fisik maupun hatinya. Biografi Ki hajar dewantara memang penuh pengabdian kepada Indonesia. Sudah banyak sekali hal bermanfaat yang dilakukan oleh beliau.
Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda. Selanjutnya beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter untuk bumiputera. Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Hal ini juga banyak diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau juga pernah bekerja menjadi wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti mideen java, sedyotomo, De ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja timoer. Tulisan beliau diberbagai media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga dapat meningkatkan semangat rakyat pada masa itu.
Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya. Ada banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif sebagai pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi sendiri bersama Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan Dr Cipto Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada tanggal 25 desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di Indonesia yang beraliran nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin mendaftarkan partai ini, mereka di tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan nasionalisme pada rakyat.
Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan untuk membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk pemeritahan Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out adalah Douwe Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin merayakan kemerdekaan, di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena tulisannya itu beliau di buang ke pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh pemerintahan Belanda. Cerita ini banyak ditemukan di buku-buku biografi ki hajar dewantara.
Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau akhirnya mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan dan halangan dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman siswa mendapatkan ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa mengunjungi museum yang didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang biografi Ki Hjar Dewantara, semoga dapat memberikan informasi untuk anda.
Karir Ki Hajar Dewantara
Pendiri perguruan Taman Siswa
Penghargaan Ki Hajar Dewantara
Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959
Muh. Hatta
Nama : Dr. Drs. H. Mohammad Hatta
Lahir : Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902
Meninggal : Jakarta, 14 Maret 1980 (umur 77)
Makam : Taman Makam Proklamator Bung Hatta
Zodiac : Leo
Hobby : Membaca " Menulis
Kebangsaan : Indonesia
Istri : Rahmi Rachim
Anak : 3
Agama : Islam
Biografi Mohammad Hatta
Siapa yang tidak kenal dengan Bung hatta. Beliau adalah wakil presiden pertama republik Indonesia. Bung hatta atau Mohammad hatta lahir di bukit tinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Beliau mulai kenal dengan berbagai pergerakan sejak tinggal di MULO kota padang. Selain itu beliau juga masuk di organisasi Jong Sumatranen Bond. Beliau juga pernah menempuh sekolah di Belanda yaitu di sekolah Handels Hoge School Roterdam pada tahun 1921. Dalam beberapa buku biografi Mohammad Hatta, beliau juga pernah ikut bergabung dalam organisasi pergerakan yaitu Indische Vereniging. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang menolak kerjasama dengan Belanda. Mohammad Hatta lulus dari handles economis atau bisa disebut dengan ekonomi perdagangan pada tahun 1923. Awalnya beliau akan menempuh pendidikan doctor di bidang ekonomi tetapi pada tahun tersebut juga dibuka jurusan baru yaitu hukum Negara dan hukum administrasi. Akhirnya beliau lebih memilih untuk melanjutkan ke jurusan tersebut dibandingkan ke jurusan doctoral. Karena masalah perpajangan studinya ini, beliau akhirnya menjadi ketua PI (perhimpunan Indonesia). Beliau juga pernah menyampaikan pidato tentang struktur ekonomi dunia dan juga tentang pertentangan kekuasaan. Pidato ini banyak sekali diceritakan di berbagai buku biografi Mohammad Hatta. Dari tahun 1926 sampai tahun 1930, Mohammad hatta selalu menjadi ketua di perhimpunan Indonesia. Sampai beberapa waktu akhirnya Perhimpunan Indonesia berbuah menjadi sebuah organisasi politik. PI awalnya Cuma perhimpunan mahasiswa Indonesia. Perhimpunan Indonesia dapat mempengaruhi pergerakan politik di Indonesia pada waktu itu. Sampai akhirnya pemufakatan perhimpunan politik Indonesia mengakui PI sebagai salah satu gerakan pergerakan politik Indonesia yang berasal dari Eropa. Dalam buku Biografi Mohammad hatta diceritakan bahwa Pi melakukan berbagai propaganda di luar Belanda. Setiap melakukan perkumpulan di eropa, selalu Mohammad hatta sendiri yang menjadi delegasi dari PI. Pada tahun 1923, Mohammad hatta pulang ke tanah air Indonesia. Pada saat di Indonesia beliau lebih banyak disibukkan dengan menulis artikel politik yang di muat di surat kabar daulat ra'jat. Selain itu beliau juga mengadakan berbagai kegiatan politik dan juga melatih kader-kader politik dari partai Pendidikan nasional Indonesia. Pada saat penahan Soekarono di ende flores, Mohammad hatta banyak menuliskan artikel pertentangan keras terhadap penahannya tersebut. Pada bulan februari, pemeritahan Belanda akhirnya menahan semua pemimpin dari partai pendidikan nasional Indonesia. Ada 7 orang anggota partai yang ditahan di daerah Boven Digoel. Pada biografi Mohammad Hatta, dituliskan ketika beliau dipenjara beliau sempat menulis buku yang berjudul krisis ekonomi dan kapitalisme. Beliau dan teman-temannya mengalami pembuangan ke berbagai hal. Tetapi selama mengalami masa tersebut Mohammad Hatta tetap menulis berbagai artikel tentang politik dan juga ekonomi. Pada masa pemerintahan Jepang, Mohammad Hatta sempat ditawarin untuk menjadi penasehat pemerintahan Belanda. Pada masa pambacaan teks proklamasi, beliau diminta oleh Soekarno untuk menyusun teks proklamasi.
Pendidikan Mohammad Hatta
Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Karir Mohammad Hatta
Ketua Panitia Lima (1975)
Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
Wakil Presiden RI pertama (1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Partai Nasional Indonesia
Organisasi Mohammad Hatta
Club pendidikan Nasional Indonesia
Liga menentang Imperialisme
Perhimpunan Hindia
Jong Sumatranen Bond
Penghargaan Mohammad Hatta
Pahlawan Nasional
Bapak koperasi Indonesia
Doctor Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965
Proklamator Indonesia
The Founding Father's of Indonesia
Ernest Douwer Dekker
Nama Lengkap: Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker
Alias : Danudirja Setiabudi
Tempat Lahir : Pasuruan, Jawa Timur
Tanggal Lahir : 8 Oktober 1879
Warga Negara : Indonesia
Wafat : 28 Agustus 1950 di Bandung
Ayah : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker
Ibu : Louise Bousquet
Gelar : Pahlawan Nasional
Biografi Ernest Douwes Dekker
Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang Pahlawan Nasional yang berkontribusi dalam pergerakan nasional Indonesia. Ia lahir pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, meninggal di usia yang ke-70. Ia meninggal pada 28 Agustus 1950 di Bandung. Bersama rekan-rekannya, Dekker dikenal sebagai pribadi yang kritis. Ia punya pendirian tegas dan sering melontarkan kritik terhadap pemerintahan Belanda saat itu. Selain dikenal sebagai penulis, ia juga adalah seorang aktivis politik dan wartawan. Bahkan ia adalah orang yang berjasa di dalam pemberian nama Nusantara pada Tanah Air kita.
Namanya dikenal sebagai satu dari 3 tokoh penting perjuangan Indonesia. Mereka adalah Tiga Serangkai, beranggotakan dirinya, Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Pria kelahiran pasuruan, Jawa Timur ini sempat mendaftar di Universitas Zurich pada tahun 1913. Sang ayah, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker punya posisi yang cukup penting sebab ia adalah agen dari bank Nederlandsch Indisch Escomptobank saat itu.
Darah belanda mengalir di dalam tubuhnya, begitu pula dengan sang adik yang bernama Jan. Sementara ibunya Louise Bousquet juga memiliki darah campuran Jerman-Jawa. Sang ibu lahir di Tanah Air, tepatnya di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia masih punya 2 saudara lain, bernama Adeline (1876) dan Julius (1878). Perjalanan karir politiknya dimulai dari Pasuruan. Disini ia menghabiskan masa kecilnya untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Setelah tamat, ia kemudian masuk ke HBS di Surabaya. Sempat juga ia berpindah sekolah ke Gymnasium Koning Willem III School.
Setamatnya dari sana, ia lantas mendapatkan pekerjaan di sebuah kebun kopi di Malang, bernama Soember Doeren. Ada banyak hal yang ia saksikan disana, salah satunya adalah perlakuan tidak layak kepada pekerja kebun. Ia berusaha membela mereka, sehingga membuat banyak orang tidak suka. Puncaknya adalah konflik dengan sang manager, ia pun akhirnya dipindahtugaskan ke perkebunan tebu "Padjarakan". Disana ia kembali menemui konflik yang membuatnya dipecat. Setelah kematian ibunya, Nest pergi ke Afrika Selatan untuk turut serta dalam perang Boer. Namun naas, ia berhasil ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara di Ceylon.
Dari sini ia mulai sadar akan perlakuan pemerintah Kolonial yang dirasa semena-mena. Pada 1903 ia menikah dengan Clara Charlotte Deije, namun sayangnya harus berpisah di tahun 1919. Pernikahan berikutnya adalah dengan Johanna Petronella Mossel, berlangsung pada 1927. Pernikahan ini pun juga berakhir setelah Dekker dibuang ke Suriname, namun ini justru mempertemukannya dengan Nelly. Mereka pun akhirnya menikah. Sebagai seorang nasionalis, namanya sangat melekat di hati masyarakat Indonesia. Terbukti banyak tempat dan jalan di Indonesia dinamai Setiabudi, yang diambil dari namanya.
K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia pendiri organisasi Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. K.H Ahmad Dahlan adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Ahmad Dahlan Wafat pada 23 Februari 1923 di Yogyakarta pada usia 54 Tahun.
Profil Singkat K.H Ahmad Dahlan
Nama : K.H. Ahmad Dahlan
Lahir : Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Wafat : Yogyakarta, 23 Februari 1923
Pasangan :
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak :
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
Latar Belakang Dan Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Nama K.H. Ahmad Dahlan kecil adalah Muhammad Darwisy, Ia adalah anak ke 4 dari 7 bersaudara. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Berikut adalah Silsilah tersebut Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada saat Ahmad Dahlan berumur 15 tahun, Ia pergi melaksanakan ibadah haji lalu selama 5 tahun ia menetap di Mekkah. Masa ini, K.H. Ahmad Dahlan memulai interaksi dengan pemikiran pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan Ia yang bernama asli Muhammad Darwisy berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1903 dan Ia tinggal selama 2 tahun, masa ini Oa sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari yaitu pendiri NU.
Setelah pulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan Menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah (Nyi Ahmad Dahlan) yaitu putri dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahan ini, mereka dianugrahi 6 orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Abdullah yaitu janda H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik dari Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah yang merupakan adik Adjengan Penghulu Cianjur dan dari pernikahan ini Ahmad dahlan memiliki putra Dandanah. Serta Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Masuk Organisasi Budi Utomo dan Mendirikan Muhammadiyah juga Organisasi lainnya
Pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan disana Ia mengajarkan agama dan pelajaran yang diperlukan anggota. Pelajaran yang diberikan K.H. Ahmad Dahlan dirasa sangat berguna bagi para anggota Budi Utomo, lalu mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sekolah yang ditata rapi serta didukung organisasi permanen.
Pada 18 November 1912 (8 Djulhijah 1330), K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Dengan mendirikan Organisasi ini, Ia berharap dapat memajukan pendidikan dan membangun masyarakat islam. Ahmad Dahlan mengajarkan Al-Qur'an dengan terjemah juga tafsirnya agar masyarakat memahami makna yang ada dalam Al-Qur'an dan tidak hanya pandai membaca dan melagukannya saja.
Pada bidang pendidikan, Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu. Ia mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa belanda. Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur'an. Ia memasukan pelajaran agama di sekolah umum pula. Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Selain sekolah semasa hidupnya Ia juga mendirikan masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
Pada bidang organisasi, tahun 1918 Ia mendirikan organisasi Aisyiyah untuk para kaum wanita. untuk para pemuda, Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu (sekarang Pramuka) bernama Hizbul Wathan. Pada organisasi tersebut para pemuda belajar baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, bertopi, berdasi, untuk seragam yang mereka pakai mirip dengan seragam pramuka sekarang.
Pada saat itu, karena semua pembaharuan yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan agak menyimpang dengan tradisi, Ahmad dahlan sering diteror seperti rumah yang dilempari batu dan kotoran binatang bahkan pada saat dahwah di Banyuwangi, Ahmad dahlan dituduh sebagai kyai palsu dan Ia diancam akan dibunuh. Namun dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan mulai menerima perubahan yang diajarjan oleh Ahmad Dahlan.
Semua yang di lakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama kemajuan yang dapat mengangkat derajat umat ke taraf yang lebih tinggi dan itu terbuti membawa dampak positif bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pemuda dan golongan Intelektual banyak yang tertarik dengan metode yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan sehingga mereka banyak yang bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang merupakan organisasi beramal dan menjalankan ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan sanga menarik perhatian para pengamat islam dunia. Bahkan para pengarang dan sarjana dari timur memusatkan perhatian pada Muhammadiyah.
K.H Ahmad Dahlan banyak mendapatkan ilmu dari banyak kyai di berbagai bidang ilmu seperti K.H Muhsin di bidang ilmu tata bahasa (Nahwu-Sharaf), K.H. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih, Kyai Mahfud dan Syekh K.H. Ayyat di bidang Ilmu Hadist, K.H. Raden Dahlan di bidang ilmu falak atau astronomi, Syekh Hasan di bidang pengobatan dan racun binatang, serta Syekh Amin dan sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Qur'an.
Wafatnya K.H Ahmad Dahlan
Pada 23 Februari 1923, pada usia 54 tahun K.H. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian beliau dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan,Yogyakarta. Pada 27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI No.657 Tahun 1961 atas jasanya negara memberi beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
K.H. Hasyim Asy'ari
Nama : KH Hasyim Asy'ari
Tempat Lahir : 10 April 1875, Kabupaten Jombang, Jawa Timur
Meninggal : 25 Juli 1947, Kabupaten Jombang, Jawa Timur
Makam : Tebu Ireng, Jombang
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Biografi KH Hasyim Asy'ari
KH Mohammd Hasyim Asy'ari atau lebih dikenal dengan KH Hasyim Ashari lahir di Jombang, 10 April 1875. Berdasarkan biografi KH Hasyim Ashari, Beliau adalah pendiri sebuah organisasi besar Islam yang ada di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Beliau dilahirkan dari orang tua yang bernama Kyai Asyari dan Halimah. Keluarga beliau memang memegang teguh dasar-dasar ajaran Islam. Hal itu disebabkan ayahnya yang merupakan keturunan kedelapan Jaka Tingkir adalah seorang pemimpin Pesantren Keras di bagian selatan Jombang. Dengan demikian KH Hasyim Asy'ari dibekali ilmu agama yang kuat.
Sejak kecil KH Hasyim Asahri telah terlihat jiwa kepemimpinannya. Beliau juga sudah membantu ayahnya dalam mengajar santri di pesantren. Kemudian pada umur 15 tahun, beliau memperdalam ilmunya dengan nyantri di beberapa pesantren. Beliau mengawalinya dari pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian ke Pesantren Langitan Tuban. Namun beliau tidak puasa hanya disitu, beliau melanjutkan ke beberapa pesantren seperti Pesantren Trenggilis, Kedamengan dan bangkalan. Selain menuntut ilmu di Jawa, beliau juga menuntut ilmu hingga ke Makkah berguru kepada imam masjid besar dan terkemuka di Makkah. Dalam biografi KH Hasyim Ashari, menyebutkan bahwa beliau merupakan ahli dalam hadits Bukhari Muslim. Sehingga dalam waktu tertentu beliau sering mengadakan kajian rutin tentang hadist Bukhari Muslim tersebut.
Makam K.H. Hasyim Asy'ari
Kisah kehidupan KH Hasyim Ashari, pada tahun 1899 beliau mendirikan pesantren yang bernama tebu ireng. Awalnya santri yang belajar di pesantren tersebut hanyalah 8 santri. Kemudian berkembang menjadi 28 hingga akhirnya banyak sekali santri yang belajar di pesantren beliau. Berdasarkan biografi KH Hasyim Asy'ari, beliau merupakan seorang guru serta seorang petani dan pedagang yang baik hati dan sukses. Belanda merasa kewalahan dengan posisi KH Hasyim Ashari. Hal itu dikarenakan beliau sempat membuat fatwa bahwa perang melawan Belanda merupakan perang syahid. Dengan demikian banyak sekali santri dan umat islam yang menyerang Belanda. Tidak hanya itu beliau juga melarang umat Islam melakukan haji jika menggunakan kapal Belanda. Dengan demikian Belanda merasa terganggu dan dirugikan.
Akibat dari fatwa dan larangan beliau, belanda memenjarakan KH Hasyim Ashari selama 3 bulan pada tahun 1942. Belanda juga sempat melakukan politik adu domba terhadap beliau. Namun beliau tidak pernah mau untuk bekerjasama dengan Belanda. Pada tahun selanjutnya, Belanda terusir dari tanah air, Jepang melakukan pendekatan terhadap umat muslim. Jepang tidak terlalu menekan pergerakan dan aktivitas umat muslim namun dengan syarat umat muslim, termasuk KH. Hasyim Asahri harus untuk melakukan seikerei suatu penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan Dewa Matahari. tentu dengan keras beliau menolak hal tersebut. Konsekuensinya beliau ditangkap dan diasingkan dari jombang ke mojokerto dan akhirnya ke penjara di Surabaya, di Bubutan. Dalam biografi KH Hasyim Ashari, beliau memang sangat taat terhadap Allah dan ajaran Islam.
Terlepas dari penjajahan yang terjadi di tanah air beliau terus mensyiarkan ajaran agama Islam. Pda tanggal 16 Rajab 1344 H, beliau mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama' yang artinya sebuah kebangkitan ulama. Organisasi keagamaan ini masih tetap menjadi organisasi besar di Indonesia. Perjuangan KH Hasyim Asy'ari merupakan suatu teladan yang mulia yang sangat menjunjung tinggi nilai nilai agama dan mencintai tanah air. demikian biografi KH Hasyim Ashari, semoga dapat dijadikan renungan dan memberi manfaat.
Karir KH Hasyim Asy'ari
Pendiri Nahdlatul Ulama
Pendiri Pesantren Tebu Ireng
Penghargaan KH Hasyim Asy'ari
Pahlawan Nasional
Tokoh Pahlawan Nasional lainnya:
Tuanku Imam Bonjol "Seorang Guru Agama Dari Tanah Bonjol"
Abdul Wahid Hasyim, Sang Kiai Muda Nasionalis
Ir. Soekarno "Presiden Pertama Republik Indonesia"
Mohammad Hatta "Sang Proklamator Indonesia"
Ki Hajar Dewantara "Bapak Pendidikan Indonesia"
Wr. Supratman
Biografi Singkat
Nama : Wage Rudolf Supratman
Lahir: Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903
Meninggal: Surabaya, 17 Agustus 1938
Kebangsaan: Indonesia
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Orang tua: Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, Siti Senen
Saudara Kandung :
Roekijem Soepratijah,
Roekinah Soepratirah,
Rebo,
Gijem Soepratinah,
Aminah,
Ngadini Soepratini,
Slamet,
Sarah.
Biografi dan Profil Lengkap
Kehidupan Pribadi W.R Soepratman
W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik.
Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur n20 tahun, Ia dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein Ambtenaar.
Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang. Kemudian, Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu itu, Soepratman mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak senang dengan penjajahan namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali pulang ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik, banyak karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain biola, kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan membaca buku musik.
W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.
Menciptakan Lagu "Indonesia Raya"
Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya. W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung.
Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang hadir terpukau mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi terkenal , apabila ada partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan. Lagu Indonesia Raya merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka.
Wafatnya W.R. Soepratman
Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul "Matahari Terbit", pada awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan tersebut.
Wolter Monginsidi
Nama : Robert Wolter Monginsidi
Alias : Wolter Monginsidi
Lahir : Malalayang, Manado
Sabtu, 14 Februari 1925
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan
Hollands Inlandsche School (HIS)
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)
Sekolah Pertanian Jepang di Tomohon
Sekolah Guru Bahasa Jepang.
Karir
Guru bahasa Jepang di Malalayang
Liwutung dan Luwuk Banggai
Penghargaan
Bintang Gerilya (tahun 1958),
Bintang Maha Putera Kelas III
(tahun 1960),
Ditetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional (1973)
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga. Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang posisi Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga.
Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang posisi Belanda.
Pada tanggal 28 Februari 1947 Monginsidi ditangkap tentara Belanda, namun berhasil melarikan diri pada 27 Oktober 1947 bersama Abdullah Hadade, HM Yosep dan Lewang Daeng Matari setelah hampir 8 bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari kemudian Monginsidi kembali tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Penghargaan
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi.
Chairil Anwar
Biodata Chairil Anwar
Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Pekerjaan : Penyair
Kebangsaan : Indonesia
Orang tua : Toeloes (ayah) dan Saleha (ibu)
Biografi Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal dari Situjug, Limapuluh Kota Ia masih punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik. Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti : Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol antara lain "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi, mereka berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Puisi "Aku"
Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943. Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling terkenal.
"Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Akhir Hayat"
Karya-karya yang Membahas Mengenai Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972)
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006)
Soenario Sastrowardoyo
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten, lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia."
Riwayat
Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari 13 bersaudara dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran dan Suyati Kartokusumo.
Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928.
Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan berlangsung.
Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.
Kemudian diputarlah lagu "Indonesia Raya" sebagai penghormatan kepada kedua calon mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima orang anak.
Sunario wafat pada tahun 1997 di RS Medistra, Jakarta. Sementara istrinya tiga tahun lebih awal, 1994. Sunario dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan
Pada tahun 1908, Sunario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan Mejuffrouw Tien.
Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 – 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota Jong Java.
Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.
Karier
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Sunario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai.
Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 – 1961. Setelah itu Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.
Biodata Sunario Sastrowardoyo
Jabatan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-7
Masa jabatan: 9 April 1957 – 10 Juli 1959
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke-2
Masa jabatan: 1960 – 1963
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke-3
Masa jabatan: 1960 – 1972
Informasi pribadi
Lahir: 28 Agustus 1902 Madiun, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal: 18 Mei 1997 (umur 94) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Profesi: Diplomat
Agama: Islam
Mu. Yamin
Nama : Prof. Mohammad Yamin, S.H.
Tanggal Lahir : 24 Agustus 1903
Tempat Lahir : Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda
Zodiac : Virgo
Meninggal : Jakarta, 17 Oktober 1962 (umur 59)
Makam : Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.
Agama : Islam
Ayah : Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib
Ibu: Siti Saadah
Profil Mohammad Yamin
Mohammad Yamin merupakan pahlawan yang memperjuangakan persatuan dan kesatuan pemuda melalui Sumpah Pemuda tahun 28 Oktober 1928. Beliau adalah seorang sastrawan, politikus dan ahli hukum yang disegani sebagai Pahlawan nasional Indonesia. Beliau Lahir di Sawah Lunto Sumatera Barat pada tanggal 24 Agustus 1903. Biografi Mohammad Yamin dimulai dari Riwayat pendidikan Mohammad Yamin di awali dengan pendidikan dasar d Palembang, kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Yogyakarta yaitu Sekolah AMS. Disana ia juga mempelajari sejarah purbakala dan beberapa bahasa di dunia seperti latin, kael dan Yunani. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan hukum di Batavia. Ia memperoleh gelar Messter in de Rechten/Sarjana Hukum dari Rechtshoogeschool te Batavia. Kisah hidup Mohammad Yamin pada masa penjajahan pemerintahan Belanda, di isi dengan bergabung dengan beberapa organisasi kepemudaan. Salah satu organisasi yang ia ikuti saat beliau masih kuliah adalah Jong Sumateranen Bond. Bersama organisasinya ini Beliau terlibat dalam panitia Sumpah pemuda. Setelah mendapatkan gelar S 1 nya ia juga bergabung menjadi anggota PARTINDO yang tidak bertahan lama. Biografi Mohammad Yamin dilanjutkan keikutsertaan Mohammad Yamin mengikuti organisasi Gerinda bersama kapau Gani, Amir Syarifuddin dan Adenan. Pada saat pemerintahan penjajah jepan Mohammad Yamin masih tetap bergerak untuk mencapai kemerdekaan melalui Pusat Tenaga Rakyat bentukan Jepang. Selain itu ia juga terpilih sebagai anggota dalam badan bentukan pemerintahan jepang yaitu badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan dan kekuasaan negara dipimpin oleh Soekarno Hatta, beliau diangkat sebagai pemangku jabatan penting dalam sebuah negara. Biografi Mohammad yamin mencatat beliau pernah menjabat sebagai anggota DPR dari tahun 1950. Cerita hidup Mohammad Yamin dilanjutkan dengan menjadi menteri kehakiman pada tahun 1952 hingga 1952. Dilanjutkan dari tahun 1953 hingga 1955 Beliau menjadi menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau juga sempat menjabat ketua Dewan perancang Nasional pada tahun 1962. Beliau juga menjadi pengawas IKBN Antara (1961-1962) dan menjadi menteri penerangan (1962-1963). Terlepas dari biografi Mohammad Yamin yang mencatat keberhasilan karier nya di bidang politik, beliau juga merupakan seorang sejarahwan dan sastrawan. Beliau juga dikenal sebagai perintis puisi Modern di Indonesia. Beliau sering menulis dan menerbitkan tulisan-tulisannya dalam journal berbahasa belanda maupun berbahasa melayu. Karyanya yang telah diterbitkan adalah puisi Tanah Air dan Tumpah Darahku. Karyanya tersebut sebagian besar berbentuk sonata. Tidak hanya terbatas pada puisi, beliau juga menerbitkan esai, drama dan terjemahan karya Shakespeare dan Rabindranath Tagore. Pahlawan Nasional Indonesia ini mengakhiri Biografi Mohammad Yamin dengan tutup usia di Jakarta pada tanggal 17 oktober 1962 di usia nya 59 tahun. Berdasarkan perjuangan hidup Mohammad Yamin kepada Indonesia, beliau mendapat penghargaan Bintang Mahaputra RI dari Presiden, Penghargaan Corps Polisi Militer atas jasanya telah menciptakan lambang gajah mada dan Panca Darma corps, dan penghargaan panglima Kostrad.
Pendidikan Mohammad Yamin
Hollands Indlandsche School (HIS)
Sekolah guru
Sekolah Menengah Pertanian Bogor
Sekolah Dokter Hewan Bogor
AMS
Sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta
Karir Mohammad Yamin
Ketua Jong Sumatera Bond (1926-1928)
Anggota Partai Indonesia (1931)
Pendiri partai Gerakan Rakyat Indonesia
Anggota BPUPKI
Anggota panitia Sembilan
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Menteri Pendidikan
Menteri Kebudayaan
Menteri Penerangan
Ketua Dewan Perancang Nasional (1962)
Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962)
Penghargaan Mohammad Yamin
Gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973
Bintang Mahaputra RI
Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps
Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat
Amir Syarifudin
Amir Sjarifuddin lahir di Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907 adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri, dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir memulai jenjang pendidikannya di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Kemudian atas tawaran saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, Amir meneruskan sekolahnya di Leiden.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem dan selama itu pula Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Salah satunya di kelompok CSV-op Java yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Namun Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Leiden, karena pada September 1927 setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke Medan karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, bersama dengan senior satu sekolahnya Mr. Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, ini disebabkan karena rekan-rekan Amir sesama aktivis masih belum pulih kepercayaannya terhadap Amir akibat polemik yang terjadi di awal tahun 1940-an dan mereka tidak paham akan strategi Amir melawan Jepang.
Pada bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah menuduh PKI berupaya untuk membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap PKI. Amir sebagai salah seorang tokoh PKI yang pada saat terjadi peristiwa Madiun sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) juga ditangkap beserta beberapa orang temannya.
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin tewas ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer. Sebelumnya beberapa orang penduduk desa setempat telah diperintahkan untuk menggali sebuah lubang besar. Dari sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu.
Riwayat karir Amir Sjarifuddin:
Menteri Penerangan Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945 - 14 November 1945)
Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946)
Menteri Penerangan (ad interim) Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 3 Januari 1946)
Menteri Pertahanan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
Djoko Marsaid
Djoko Marsaid. Merupakan wakil ketua pada saat Kongres Pemuda berlangsung. Djoko mewakili organisasinya, Jong Java. Tidak banyak informasi mengenai Djoko Marsaid ini. Meskipun begitu, namanya tetap tercantum sebagai tokoh penting dalam perumusan Sumpah Pemuda.
R.M. Djoko Marsaid merupakan wakil ketua panitia kongres, sekaligus ketua organisasi Jong Java.
Rajiman Widyodiningrat
Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
Tanggal Lahir: 21 April 1879
Tempat lahir:
Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal : 20 September 1952 (73 th)
Ngawi, Jawa Timur, Indonesia
Ayah: Sutodrono
Penghargaan: Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Beliau adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan bangsa yang dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKl).
Dr Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat, lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879. Ia berasal dari keluarga rakyat biasa. Bapaknya, Sutodrono, hanya seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta.
Pendidikan
Pendidikan Radjiman dimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.
Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang meninggal karena melahirkan.
Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.
Boedi Oetomo sampai BPUPKI
Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915.
Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.
Pada tanggal 29 Mei 1945 yakni pada sidang BPUPKI, ia mengajukan pertanyaan "apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?" Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat meninggal di Ngawi, Jawa Timu pada 20 September 1952 pada umur 73 tahun. Oleh pemerintah Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia yang diberikan bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada 10 November 2013 melalui Keppres No. 68/TK/2013 bersama kedua pahlawan lainnya yakni: Lambertus Nicodemus Palar dan Tahi Bonar Simatupang.
Soegondo Djoyopuspito
Sugondo Djojopuspito (lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1905 – meninggal di Yogyakarta, 23 April 1978 pada umur 73 tahun) adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda, dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.
Biodata Soegondo Djojopoespito:
Lahir : 22 Februari 1905, Tuban, Jawa Timu
Meninggal : 23 April 1978, Yogyakarta
Pendidikan:
HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di kota Tuban, mondok di Cokroaminoto Surabaya, mondok di rumah HOS Cokroaminoto bersama Soekarno, lulus MULO, tahun 1922, AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B - paspal - 3 tahun) di Yogyakarta tahun 1922-1925, melalui HOS Cokroaminoto dititipkan mondok di rumah Ki Hadjardewantoro di Lempoejangan Stationweg 28 Jogjakarta (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada, Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan bea siswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - didirikan tahun 1924 - cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang), Kuliah di RHS hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1).
Pekerjaan:
Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan)
Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP)
Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim. Pada masa RIS, dalam Negara Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat.