AYAT EKONOMI
TENTANG
ETIKA EKONOMI
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu : Ali Amin Isfandiar, M. Ag.
Oleh :
Ratih Budiaryati
NIM. 2013114364
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BUNYI AYAT
(Surat Al-Baqarah:188)
TERJEMAHAN
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
TAFSIR AYAT
Dalam menguraikan ayat tersebut, penulis menggunakan tafsir Al-Maraghi, Al-Qurthubi, dan Al-Azhar.
الاكل (Al-Akl)
'makan' disini ialah mengambil atau menguasai. Di dalam ayat ini digunakan kata al-akl karena arti kata ini mencakup segalanya dan yang paling banyak membutuhkan biaya. Makan ini memang kebutuhan pokok dan terpenting. Dan makan dapat juga mempengaruhi keadaan yang baik.
الباطل (Batil-Al)
Artinya adalah kecurangan atau merugikan. Mengambil harta dengan cara batil berarti mengambil dengan cara tanpa imbalan sesuatu yang hakiki. Syari'at islam melarang mengambil harta dengan tanpa imbalan dan tanpa kerelaan dari orang yang memilikinya. Bisa juga diartikan menginfakkan harta di jalan yang tidak bermanfaat dan yang tidak sebenarnya.
الادلاء (Idla-Al)
Menurunkan timba guna mengambil air. Sedangkan makna yang dimaksud disini adalah menyuap penguasa untuk membebaskan beban si penyuap.
بها (Biha) : artinya dengan harta benda.
الفرىق (Al-Fariq) : Kelompok atau golongan.
الاثم (Al-Ism) : Perbuatan dosa. Yang dimaksud disini adalah kesaksian palsu atau sumpah semu dan yang sejenis.
PENJELASAN
Tidak diperkenankan kalian makan sebagian harta yang lain. Di dalam ungkapan ayat ini digunakan kata harta kalian, hal ini merupakan peringatan bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Juga sebagai peringatan, bahwa menghormati harta orang lain berarti menghormati harta sendiri. Sewenang-wenang terhadap harta orang lain, berati melakukan kejahatan kepada seluruh umat, karena salah seorang yang diperas merupakan salah satu anggota umat. Dan ia tentu akan terkena akibat negatif lantaran seseorang yang memakan harta orang lain berarti memberikan dorongan kepada orang lain untuk berbuat hal yang serupa, dan terkadang menimpa dirinya jika keadaanya memang dimikian, sehingga menjadi bumerang bagi dirinya.
Diantara bentuk memakan (harta orang lain) dengan jalan yang batil adalah bila sorang qadhi memberikan keputusan yang menguntungkanmu, sementara engkau adalah orang yang berbuat bathil.
Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnul Mundzir, bahwa Ibnu Abass menafsirkan ini, ialah bahwa ada seorang laki-laki memegang harta orang lain, tetapi tidak ada cukup keterangan dari empunya harta, maka orang itu pun memungkiri dan berkata bahwa harta itu adalah kepunyaan dirinya sendiri. Yang empunya hendak mengadu kepada hakim, dia bersitegang mempertahankan bahwa milik dia, sehingga yang sebenarnya berhak menjadi teraniaya.
Janganlah kalian memberikan harta kepada hakim sebagai Risywah (Suap) kepada mereka.
Menurut satu pendapat, makna (yang terkandung dalam firman Allah ini adalah) , janganlah kalian gunakan harta kalian untuk para penguasa dan menyogok mereka, agar mereka memberikan keputusan untuk kalian yang memubuat harta itu menjadi bertambah banyak.
Ibnu Athiyah berkata, "Pendapat ini lebih diunggulkan. Sebab para penguasa itu diduga banyak menerima suap, kecuali mereka yang dilindungi (Allah), namun jumlah mereka amat sedikit. "selain itu, juga karena dua lafadz tersebut dimana kata tudluu berasal dari irsaal ad-dalwi (mengulurkan ember), sedangkan kata Risywah (suap) berasal dari kata Ar-Rasyaa, seolah ia mengulurkan ember tersebut untuk menutupi keperluannya.
Untuk mengambil harta orang lain dengan cara sumpah bohong atau kesaksian palsu dan lain-lainnya yang dipakai sebagai cara kalian untuk membuktikan kebenaran, padahal hatimu mengakui bahwa kamu berbuat salah dan berdosa. Meminta bantuan kepada hakim didalam rangka memakan harta orang lain dengan cara bathil adalah haram. Pada hakekatnya, keputusan hakim itu sama sekali tidak merubah kebenaran, sekalipun didalam hati hakim itu sendiri. Dan bukan berarti hakim telah menghalalkan untuk pihak yang menyogok. Fungsi hakim hanya melaksakan keputusan secara lahiriyah, tetappi pada hakekatnya ia bukan seorang yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
KORELASI AYAT DENGAN FENOMENA EKONOMI KONTEMPORER.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 188, terdapat kaitan dengan fenomena ekonomi kontemporer yaitu:
Praktik risywah, gratifikasi, dan kick back
Persekongkolan jahat para penegak hukum
Terkait dengan Praktik risywah, gratifikasi, dan Kick back. MUI memutuskan dan menetapkan hukum guna memberikan peringatan dan pengertian terkait hal tersebut.
Pertama : Pengertian
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari'ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan / atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari'at Islam.
Kedua : Hukum
1. Memberikan risywah dan menerimanya hu-kumnya adalah haram.
2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jus II, Terj. Bahrun Abubakar, (Semarang: Karya Toha,1987), hlm. 140.
Ibid
Syaikh Imam Al-Quthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj.Fathurrahman,(Jakarta: Pustaka Azzam,2007), hlm.766-767
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Citra Serumpun Padi, 2002), hlm.147
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jus II, Terj. Bahrun Abubakar, (Semarang: Karya Toha,1987), hlm.142
Syaikh Imam Al-Quthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj.Fathurrahman,(Jakarta: Pustaka Azzam,2007), hlm.770-771
Tafsir Ibnu Athiyah (2/123) dalam Syaikh Imam Al-Quthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), hlm.771
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jus II, Terj. Bahrun Abubakar, (Semarang: Karya Toha,1987), hlm.142
Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi'ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Suap (Risywah), Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat.