Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hal: 461
Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, .. hal: 462
Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, ..Hal: 459
Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat.. hal: 459
Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat... hal: 460
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2,(Bandung: Sinar baru algensindo, 2000). Hal:554
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal: 554
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal: 555
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal: 555
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal: 556
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal:556
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2.. hal:557
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2..hal:557
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2,(Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000). Hal: 244
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2.. hal: 244
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2.. hal: 244
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2.. hal: 248
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2.. hal: 459
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2... hal: 460
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2... hal: 460
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2... hal: 462
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2... hal: 463
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 12,(Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000), hal: 512
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 12,.. hal: 513
1
Musyawarah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah "Ulumul Tafsir 2"
Disusun Oleh:
S. Maimunah Lestari
Uswatun Nihayah
STAI Khozinatul Ulum
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.
Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, Al-quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Memang sangat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan.
Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci Al-quran menyangkut hal ini sangat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengertian musyawarah ?
Apa sajakah Ayat yang menerangkan tentang musyawarah ?
Bagaimana penafsiran al-quran tentang ayat-ayat tersebut ?
Tujuan Penulis
Untuk mengetahui pengertian musyawarah
Untuk mengetahui ayat yang menerangkan musyawarah
Untuk mengetahui penafsiran tentang ayat tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Musyawarah
Kata musyawarah terdiri dari akar kata sy-, w-, r-, yang ada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Madu bisa menjadi obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di manapun dan oleh siapapun.
Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang dan hasilnya madu. Di manapun hingga, lebah tidak merusak. Ia tak akan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannyapun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi SAW menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Ayat-ayat tentang Musyawarah
Ada empat ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang musyawarah.
Dalam Al-Qur'an surat Al-baqarah (2): 233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Menurut tafsir Ibnu Katsir Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa penyusuan tidak dapat menjadikan mahram kecuali bila si bayi yang disusui berusia di bawah dua tahun. Untuk itu seandainya ada anak yang menyusu kepada seorang wanita, sedangkan usianya di atas dua tahun, maka penyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya. Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa penyusuan ddak menjadikan mahram pada diri seorang anak kecuali bila usianya di bawah dua tahun, Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bindl Munzir, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Persusuan tidak menjadikan mahram kecuali susuan yang dilakukan langsung pada tetek lagi mengenyangkan perut dan terjadi sebelum masa penyapihan.
Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan di kalangan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan lainlainnya. Yaitu bahwa penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila dilakukan dalam usia di bawah dua tahun, sedangkan penyusuan yang dilakukan sesudah usia genap dua tahun, hal ini tidak menjadikan
mahram sama sekali. Fatimah bintil Munzir ibnuz Zubair ibnul Awwam adalah istri
Hisyam ibnu Urwah. Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang mengetengahkan
riwayat hadis ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain. Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "lila ma kana fis sadyi,'"' ialah kecuali susuan yang dilakukan pada tetek sebelum usia dua tahun.
Seperti yang terdapat di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Waki' dan Gundar, dari Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa kedka Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:
Sesungguhnya anak lelakiku meninggal dunia dalam usia persusuan, sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam surga.
Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Syu'bah. Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian dada lain karena putra beliau yang bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua puluh dua bulan. Karena itulah beliau Saw. bersabda:
sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya.
Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya. Pengertian ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui jalur Al-Haisam ibnu Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan kecuali yang dilakukan sebelum usia dua tahun.
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang menyandarkannya kepada Ibnu Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi Al-Haisam orangnya siqah lagi hafiz (hafal hadis).
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Imam Darawardi meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut:
Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua tahun tidak mempunyai pengaruh apa pun.
Riwayat ini lebih sahih.
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan, dan tiada status yatim sesudah usia balig.
Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan:
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku. (Luqman: 14)
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15)
Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah usia dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ibnul Musayyab, dan Ata serta jumhur ulama. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, AS-Sauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu riwayatnya.
Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga disebutkan bahwamasa persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut riwayat yang lainnya lagi yaitu dua tahun tiga bulan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan adalah dua setengah tahun. Zufar ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak masih mau tetap menyusu, maka batas maksimalnya adalah dga tahun;
pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Al-Auza'i.
Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang anak telah disapih dari penyusuan sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita menyusukannya setelah disapih, maka penyusuan kali ini tidak menjadikan mahram, karena persusuan saat itu disamakan kedudukannya dengan makanan." Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat lain dari
Al-Auza'i.
Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Menurut tafsir al-mishbah kata musyawarah terambil dari akar syawara yang pada mulanya bermakna "mengeluarkan madu dari sarang lebah". Pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. Untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia menghiasi diri Nabi saw. Dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
Pertama, berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras.
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalamnya posisi pemimpin, yang pertama harus ia hindari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh pengawalan awal ayat di atas sampai firman-Nya: wa lau kunta fazhzhan galizhal qalbi lanfadhdhu min haulik.
Kedua, memberi maaf, dan membuka lembaran baru. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati hati akibat pelaku pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiaada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir, Muhammad Rasyid Ridha, ketika menyatakan bahwa," Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan masyarakat, dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpadang yang kita percayai, guna menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... kita seringkali mengikat diri kita sendiri dengan berbagai ikatan yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama, namun pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita sendiri." Demikian komentarnya ketika menafsirkan QS. An-Nisa'(4): 59.
Dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' (4): 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut tafsir al-mishbah ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya, berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak, dan lain-lain. Perintah-perintah itu mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat kepada Allah dan Rasul, tunduk kepada ulil amr, menyelesaikan perselisihan berdasar nilai-nilai yang dianjurkan al-quran dan sunah, dan lain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat mendatang, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus, dapat dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat di atas memerintahkan kaum mukmin agar mentaati putusan dari siapapun yang berwewenang menetapkan hukum.
Perintah taat kepada rasul saw. Adalah perintah tanpa syarat, dan ini menunjukkan bahwa tidak ada perintah rasul yang salah atau keliru, tidak ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah swt. Karena jika ada, maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan perintah taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.
Pendapat ulama' berbeda tentang makna kata ulil amr.dari segi bahasa, ulil adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguwasai. Sedangkan al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian ulil amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim.
Di sisi lain, bentuk jamak kata uli dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni satu badan atau lembaga yang berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu.
Ulama berpendapat bahwa ayat ini mengandung informasi tentang dalil-dalil hukum syariat, yaitu: 1) Al-qur'an; 2) Sunnah yang ditunjuk oleh perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul; 3) Ijma' atau kesepakatan, yang diisyaratkan oleh kata ulil amri minkur; 4) Analogi atau qiyas yang dipahami dari perintah mengambilkan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam al-quran dan as-sunah, dan ini tentunya dilakukan dengan berijtihad.
Ayat ini mengisyaratkan berbagai lembaga yang hendaknya diwujudkan ummat islam untuk menangani urusan mereka, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Sementara ulama memahami bahwa pesan utama ayat ini adalah menekankan perlunya mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan rasul-Nya, khususnya jika muncul perbedaan pendapat. Ini terlihat jelas pada pernyataan, maka jika kamu tarik menarik pendapat menyangkut sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-quran)dan Rasul (sunnah), dan ayat-ayat sesudahnya yang mengecam mereka yang ingin mencari sumber hukum selain Rasul saw., lalu penegasan bahwa rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati, dan penafian imam bagi yang tidak menerima secara tulus ketetapan rasul saw.
Dalam Al-Qur'an surat Asy-Syura (42): 38
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Kata syura terambil dari kata syaur. Kata syura bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan mendapatkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al-'asal yang bermakna : Saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti persamaan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun dia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyamaikannya. Untuk jelasnya rujuknya ada QS. Ali Imran (3): 159.
Kata amruhum / urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mabdhab/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan.
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk syura yang dianjurkan. Ini untuk memberi kesematan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk syura yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain belum terbentuknya negara Madinah di bawah iminan Rasul saw. Turunnya ayat yang menguraikan syura ada periode Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah adalah anjuran al-Qur'an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
Firman-Nya: wa mimma razaqnahum yunfiqun, mengisyaratkan bahwa kaum yang beriman itu bekerja dan berkarya sebaik mungkin hingga daat memeroleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka pendek dan menengah mereka sehingga daat membantu orang lain.
Sementara ulama menggarisbawahi, bahwa kendati semua yang berada dalam genggaman tangan seseorang dia nafkahkan untuk siapa pun, ada hakikitnya ia juga masih baru memberi sebagian dari rezeki yang dianugerahkan Allah keadanya. Betapa tidak, bukankah masih banyak rezeki lainnya yang diperoleh misalnya rezeki kehiduan, udara segar dan pemandangan yang indah dan lain sebagainya, yang tidak luput sesaat pun dari manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Musyawarah adalah segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Ayat yang menerangkan tentang musyawarah adalah :
Surah Al- Baqarah (2) ayat 233
Surah Ali- Imron (3) ayat 159
Surah An- Nisa' (4) ayat 59
Surah As- Syura (42) ayat 38
Menurut tafsir al-mishbah kata musyawarah terambil dari akar syawara yang pada mulanya bermakna "mengeluarkan madu dari sarang lebah".
Bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun dia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyamaikannya. Untuk jelasnya rujuknya ada QS. Ali Imran (3): 159.
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk syura yang dianjurkan. Ini untuk memberi kesematan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk syura yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain belum terbentuknya negara Madinah di bawah iminan Rasul saw. Turunnya ayat yang menguraikan syura ada periode Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah adalah anjuran al-Qur'an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan, 1996).
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 2,(Ciputat: Penerbit Lentera Hati).
Al- Imam Abdul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-dimasyqi, TAFSIR IBNU KASIR Juz 2,(Bandung: Sinar baru algensindo, 2000)
Dr. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Volume 12,(Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000)