ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)
MAHDIANTO S1. KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG ACUTE KIDNEY INJURY (AKI) Definisi AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba -tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 µmol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008). Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalamjam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjalakut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan ke pentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003) Atas dasar hal tersebut, tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative(ADQI) Initiative(ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidneydiharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injurydianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan gan gguan ginjal.Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Rusli, 2007). Klasifikasi Etiologi Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama b erdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angkakejadian pen yebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.
Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tab el 1. Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Sinto, 2010) AKI Prarenal I. Hipovolemia - Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular - Kerusakan jaringan (pankreatitis), (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi - usus - Kehilangan darah - Kehilangan cairan ke luar tubuh - Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran - kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), osmotik), melalui kulit - (luka bakar) II. Penurunan curah jantung - Penyebab miokard: infark, kardiomiopati kardiomiopati - Penyebab perikard: tamponade - Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal - Aritmia - Penyebab katup jantung III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik - Penurunan resistensi resistensi vaskular perifer
-
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) antihipertensi) Vasokonstriksi ginjal Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, - amphotericin B - Hipoperfusi ginjal lokal - Stenosis a.renalis, a.renalis, hipertensi maligna IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasiginjal - Kegagalan penurunan resistensi resistensi arteriol arteriol aferen AKI Renal I. Obstruksi Obstruksi renovaskular - Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, aterosklerosis, trombosis, emboli, - diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis(trombosis, - kompresi) II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal - Glomerulonefritis, vaskulitis III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) - Iskemia (serupa AKI prarenal) - Toksin - Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, - pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, - asam urat, oksalat, mieloma) IV. Nefritis interstitial - Alergi (antibiotik, (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, - viral, jamur), infiltasi (limfoma, (limfoma, leukemia, sarkoidosis), - idiopatik V. Obstruksi dan deposisi intratubular - Protein mieloma, asam asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida VI. Rejeksi alograf ginjal AKI pascarenal I. Obstruksi ureter - Batu, gumpalan darah, papila ginjal, ginjal, keganasan, kompresi eksternal II. Obstruksi leher kandung kemih - Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah III. Obstruksi uretra - Striktur, katup katup kongenital, fimosis Klasifikasi AKI ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli, 2007). Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >6 jam Injury >2,0 >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >12 jam Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, mL/kg/jam, >24 jam Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari dari 3 Bulan Patofisiologi Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini: Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008) Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan v asokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Denganpeningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksipembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi. Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dankembali terjadi kebocoran filtrate glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit (Bonventre, 2008). Pendekatan Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronikdan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal to ksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandun g kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Sinto, 2010). 2. Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukanpada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; castleukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004). Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Kelainan analisis urin (Sinto, 2010) Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkanAKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuaiindikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasiendengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady, 2005). Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dantelah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut: Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008) 2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obatyang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan d opamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan den gan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubahkeadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penangananketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008) A. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. B. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretiktidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengandosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010). Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitianlain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidakmemperbaiki prognosis pa sien (Sja’bani, 2008). Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/kgBB/menit) secara historis digunakan da lam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasipembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaanklinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna,gangrene digiti, dan la in-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahanklinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010). 3. Dialisis Menurut Workeneh (2012), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai berikut: 1. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik 2. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia 3. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis 4. Parah azotemia (BUN> 80-100) 5. Uremia Komplikasi dan Penatalaksanan Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Sinto, 2010) Teori Asuhan Keperawatan AKI
1. Fokus Pengkajian (Efendy, 2008) Sistem Pernafasan (B1) a. Gejala : nafas pendek b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ). Sistem Kardiovaskuler (B2) Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan. Sistem Persyarafan (B3) a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”.
b. Tanda :Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/asama basa, kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang. Sistem Perkemihan (B4) a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria 2-6 liters / day (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria12-21 hari (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari). Sistem Pencernaan (B5) a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunanberat badan (dehidrasi), mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati. b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah). 2. Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien AKI adalah: 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan bebanjantung yang meningkat. 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O. 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah. 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik. 5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun. Intervensi 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan : Penurunan curah jantung tidak terjadi Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: a. Auskultasi bunyi jantung dan paru R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur b. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan p ada sistem aldosteron-renin angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Nadan H2O Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital b. Batasi masukan cairan R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan e. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil Intervensi: a. Awasi konsumsi makanan / cairan R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi b. Perhatikan adanya mual dan muntah R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi c. Berikan makanan TKTP R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial e. Berikan perawatan mulut sering R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 c. Atur posisi senyaman mungkin R/ Mencegah terjadinya sesak nafas d. Batasi untuk beraktivitas R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga Kriteria hasil : - Mempertahankan kulit utuh - Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor,vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. b.Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan c. Inspeksi area tergantung terhadap udem R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek d. Ubah posisi sesering mungkin R/ Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia e. Berikan perawatan kulit R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit f. Pertahankan linen kering R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit PENDAHULUAN AKI adalah umum pada pasien yang berada di rumah sakit terutama pada orang tua dan orangorang di unit perawatan intensif (ICU). AKI menyebabkan penumpukan produk limbah dalam darah dan membuat sulit ginjal menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. Ini juga dapat mempengaruhi organ-organ lain seperti otak, jantung, dan paru-paru. AKI ditemukan melalui darah dan tes urine sederhana. AKI dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis (CKD), atau bahkan gagal ginjal yang memerlukan dialisis (penyakit ginjal stadium akhir). Hal ini juga dapat menyebabkan penyakit jantung atau kematian. Bahkan AKI ringan atau
yang tampaknya “pemulihan lengkap” dari AKI mungkin memiliki beberapa masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. Di Amerika Serikat, AKI adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius dan umum. Hal ini terjadi hingga 1 dari 5 pasien di rumah sakit, dan dua kali lebih sering dalam pengaturan perawatan kritis. Cara terbaik untuk menurunkan kemungkinan memiliki kerusakan ginjal dan menyelamatkan fungsi ginjal untuk mencegah AKI, atau untuk menemukan dan memperlakukan AKI sedini mungkin. Pasien sakit parah dengan AKI yang berada di rumah sakit memiliki kesempatan tertinggi kematian, hingga 50%. Sekitar 1 dari 10 pasien yang memiliki AKI membutuhkan dialisis: Sejumlah besar pasien akan meninggal di rumah sakit dan sekitar 20% dari korban akan terus membutuhkan dialisis setelah mereka dipulangkan dari rumah sakit. Di antara korban yang membutuhkan dialisis setelah AKI, beberapa akan perlu untuk tetap di dialisis permanen. Sekitar sepertiga dari pasien yang memiliki AKI akan mengembangkan CKD dalam waktu 2 sampai 5 tahun memiliki AKI. Meningkat risiko ini dengan episode yang lebih parah dan berulang AKI. PENGERTIAN Sindrom yang menghasilkan penurunan mendadak dalam fungsi ginjal atau kerusakan ginjal dalam beberapa jam atau beberapa hari. PEYEBAB Penyebab utama AKI meliputi: 1. Penurunan aliran darah ke ginjal. Ini dapat hasil dari: Hipotensi (tekanan darah rendah) atau sengatan o Darah atau kehilangan cairan (misalnya, perdarahan, diare berat) o Serangan jantung, gagal jantung, dan kondisi lain yang menyebabkan fungsi o jantung menurun Kegagalan organ (misalnya, jantung, hati) o Penggunaan NSAID (misalnya, ibuprofen, naproxen) o Parah alergi (anafilaksis) reaksi o Luka bakar o Cedera o Operasi besar o 2. Kerusakan langsung pada ginjal. Beberapa contoh termasuk: Glomerulonefritis akut (peradangan dan kerusakan pada membran glomerulus o ginjal) seperti lupus nefritis Nefritis interstitial akut (reaksi alergi yang dapat disebabkan oleh beberapa obat) o Akut tubular nekrosis (peradangan dan kerusakan pada tubulus ginjal dari o memiliki aliran darah yang rendah ke ginjal untuk waktu yang lama atau efek beracun dari obat, logam berat, atau pewarna kontras yang digunakan dalam studi pencitraan)
Vaskulitis (radang pembuluh darah) seperti granulomatosis dengan polyangiitis (penyakit pembuluh darah yang langka) Sepsis (Total respon tubuh terhadap infeksi yang dapat menyebabkan fungsi o organ miskin atau aliran darah yang buruk) Mikroangiopati trombotik (kerusakan pada sel-sel yang melapisi pembuluh darah o terkecil dari ginjal) Multiple myeloma (kanker sel plasma) o Scleroderma (penyakit jaringan ikat) o 3. Penyumbatan saluran kemih. Penyumbatan dapat hasil dari: Kandung kemih, prostat, atau kanker serviks o Pembesaran prostat o Kandung kemih neurogenik (masalah dengan sistem saraf yang mempengaruhi o kandung kemih dan buang air kecil) Batu ginjal o Pembekuan darah di saluran kemih o o
FAKTOR RISIKO
Faktor Usia African American / Etnis hitam Sepsis berat Dehidrasi, Penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit hati, penyakit paru-paru, diabetes, Penyakit arteri perifer ( aliran darah rendah ke lengan dan kaki karena arteri menyempit), Batu ginjal, Kanker,
TANDA DAN GEJALA 1. 2. 3. 4.
Penumpukan produk limbah dalam darah Gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh Sesek nafas, lemah, Gejala gagal jantung atau kegagalan resipratory
PENATALAKSANAAN Jika berada di rumah sakit, tim medis akan menguji seberapa baik ginjal bekerja setiap hari. Hal ini penting untuk berbicara dengan tim kesehatan dan pastikan pasien memahami status kesehatan ginjal dan rencana tindak lanjut setelah meninggalkan rumah sakit. Pasien harus menindaklanjuti dengan penyedia perawatan primer atau spesialis ginjal dalam 6 sampai 12 minggu setelah dikirim pulang dari rumah sakit. Tes yang akan memberitahu apakah ginjal lebih baik setelah AKI termasuk serum (darah) kreatinin, estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), dan jumlah protein dalam urin. Pelajari lebih lanjut tentang tes ginjal. Jika memiliki AKI dan masih perlu dialisis, dokter ginjal akan bertanggung jawab atas rawat jalan perawatan dialisis. Dokter akan terus memeriksa apakah fungsi ginjal semakin baik. Jika
fungsi ginjal meningkatkan dan perlu dialisis lagi, pasien masih harus menindaklanjuti dengan dokter ginjal dalam waktu 4 sampai 8 minggu setelah menghentikan pengobatan dialisis. Setelah kunjungan pertama follow-up setelah AKI, dokter akan memberitahu seberapa sering harus terus melihat seorang spesialis ginjal dan menguji fungsi ginjal. Ini akan didasarkan pada fungsi ginjal dan kesehatan secara keseluruhan. Ginjal yang jelas dengan beberapa obat, sehingga penyedia layanan kesehatan akan meninjau semua obat yang diresepkan dan over-thecounter produk yang kita pakai. Kadang-kadang dosis obat biasanya akan memperngaruhi baik meningkat atau menurun berdasarkan perubahan fungsi ginjal. Pasien juga harus menghentikan atau menghindari semua obat-obatan yang tidak perlu yang lebih lanjut bisa merusak ginjal. Ini termasuk NSAID. Setelah AKI, kemungkinan lebih tinggi untuk masalah lain kesehatan (misalnya, CKD, stroke, penyakit jantung) atau memiliki AKI lagi di masa depan. Peluang untuk CKD dan gagal ginjal meningkat setiap kali AKI terjadi. Untuk melindungi melindungi harus: 1. Menindaklanjuti dengan penyedia perawatan primer atau dokter ginjal setelah AKI untuk mengevaluasi pemulihan fungsi ginjal dan risiko komplikasi pasca-AKI 2. Diskusikan dengan dokter jika obat yang diresepkan yang tepat untuk fungsi ginjal 3. Hindari menggunakan obat yang beracun untuk ginjal seperti NSAID atau obat herbal atau suplemen 4. Bekerja dengan tim kesehatan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan mencegah episode berulang dari AKI ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian Pengkajian mengacu domain NANDA-I Promosi Kesehatan
Menunjukan penolakan terhadap perubahan status kesehatan Gagal mencapai pengendalian yang optimal Gagal melakukan tindakan yang mencegah masalah kesehatan terutama factor pencetus AKI Meminimalkan perubahan status kesehatan
Nutrisi
Asupan berlebihan dibanding output Tekanan darah berubah, tekanan arteri pulmonalis berubah, peningkatan CVP Perubahan pada pola nafas, dyspnoe/sesak nafas, orthopnoe, suara nafas abnormal (Rales atau crakles), kongestikemacetan paru, pleural effusion
Hb dan hematokrit menurun, perubahan elektrolit, khususnya perubahan berat jenis Oliguria/ poliguri, anuria Perubahan status mental, kegelisahan, kecemasan Azotemia Anasarka
Eliminasi dan Pertukaran
Gangguan pola urinary Gangguan produksi urine Sering berkemih Anyang-anyangen
Aktifitas dan Istirahat
Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas. Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktifitas Menyatakan merasa letih Menyatakan merasa lemah
Persepsi dan Kognisi
Keterbatasan pengentahuan dengan sakitnya Tidak familier dengan sumber informasi
Persepsi diri
Penurunan selera hidup Putus asa Gelisah, cemas dengan sakitnya
Hubungan peran
Dirawat di RS Perubahan persepsi peran Perubahan kapasitas melaksanakan peran Perubahan pada pola tanggung jawab yang biasa Ketidakberdayaan Bingung peran
Seksualitas
Keterbatasan aktual akibat penyakit Keterbatasan aktual akibat terapi Perubahan minat terhadap diri sendiri
Mengungkapkan masalah Mencari konfirmasi tentang kemampuan mencapai hasrat seksual
Koping dan toleransi stress
Mengekspresikan kekawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup dan sakitnya Gelisah Kesedihan yang mendalam Berfokus pada diri sendiri Peningkatan ketegangan
Prinsip Hidup
Marah karena vonis AKI Stress
Keamanan dan perllindungan
Fluktuasi suhu tubuh diatas dan dibawah kisaran normal Hipertensi Peningkatan suhu tubuh diatas normal Peningkatan frekuensi pernafasan Sedikit menggigil Takhikardia Pucat sedang
Kenyamanan
Laporan secara verbal atau non verbal tentang nyeri pinggang, nyeri abdmen Posisi antalgic untuk menghindari nyeri Perubahan dalam nafsu makan dan minum Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) Pertumbuhan atau Perkembangan
Sesuai usia
Diagnosa Keperawatan Perilaku Kesehatan cenderung Berisiko NOC :
Kepercayaan kesehatan ; persepsi kemampuan NIC
:
Pendidikan kesehatan ; penyakit Pendidikan kesehatan individu Pendidikan proses penyakit Kelebihan volume cairan NOC : Hidrasi Keseimbangan cairan Status gizi ; asupan makanan dan cairan NIC
:
Manajemen cairan Manajemen cairan dan elektrolit Manajemen Hipervolemia Monitor cairan Terapi hemodialisa Gangguan eliminasi urine NOC : Eliminasi urin Kontinensia urin NIC
:
Perawatan Inkontinesia urin Manajemen Eliminasi Urin
Bantuan perawatan diri ; eliminasi Intoleransi aktifitas NOC : Toleransi aktifitas Penghematan energy Perawatan diri ; aktifitas sehari-hari NIC
:
Terapi aktivitas Manajemen energy Terapi latihan ; mobilitas Defisiensi pengetahuan NOC : Pengetahuan ; Proses penyakit Pengetahuan ; program terapi NIC
:
Pendidikan kesehatan ; penyakit Pendidikan kesehatan ; Pengobatan Pendidikan kesehatan Ketidakefektifan performa peran NOC : Performa peran NIC
:
Peningkatan peran
Fasilitasi tanggung jawab diri Dukungan keluarga Disfungsi seksual NOC : Fungsi seksual Kesejahteraan personal NIC
:
Pendidikan kesehatan ; seks aman Pendidikan kesehatan ; seksualitas Ansietas NOC : Tingkat ansietas Pengendalian diri terhadap ansietas Koping NIC
:
Peningkatan Koping Dukungan emosional Reduksi cemas Ketidakefektifan termoregulasi NOC : Termoregulasi Status vital sign Hidrasi
NIC
:
Monitoring Tanda vital Pengaturan suhu Perawatan demam Regulasi suhu Nyeri akut NOC : Level nyeri Level nyaman Kontrol nyeri Istirahat NIC
:
Manajemen Nyeri Terapi relaksasi sederhana Distraksi Administrasi analgesic Pemberian analgesic Manajemen medikasi Evaluasi Menngacu pada nilai indicator dan skala pada NOC. Daftar Pustaka 1. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiologi dan hasil dari cedera ginjal akut jurnal Clinical dari American Society of Nephrology.. CJASN Mei 2008; 3 (3): 844861.
2. Bellomo R, Kellum JA, cedera ginjal akut C. Ronco Lancet 25 Agustus 2012; 380 (9843):.. 756-766. 3. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. Awal cedera ginjal akut dan sepsis: evaluasi multisenter Crit Perawatan 2008; 12 (2):.. R47. 4. Cerda J, Liu KD, Cruz DN, dkk. Mempromosikan fungsi ginjal Pemulihan pada pasien dengan AKI Membutuhkan RRT jurnal Clinical dari American Society of Nephrology.. CJASN 2 Juli 2015. 5. Chawla LS, Kimmel PL. .. Cedera ginjal akut dan penyakit ginjal kronis: sindrom klinis yang terintegrasi Ginjal internasional Sep 2012; 82 (5): 516-524. 6. Heung M, Chawla LS. Cedera ginjal akut. Gerbang ke penyakit ginjal kronis Nefron. Praktek klinis 2014; 127 (1-4):. 30-34. 7. Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Akut episode cedera ginjal dan risiko penyakit ginjal kronis pada diabetes melitus jurnal Clinical dari American Society of Nephrology.. CJASN Nov 2011; 6 (11): 2567-2572. 8. Chawla LS, Amdur RL, Amodeo S, Kimmel PL, Palant CE. Tingkat keparahan cedera ginjal akut memprediksi perkembangan penyakit ginjal kronis ginjal internasional Jun 2011; 79 (12):.. 1361-1369. 9. Coca SG, Singanamala S, Parikh CR. Penyakit kronis ginjal setelah cedera ginjal akut:.. Review sistematis dan meta-analisis Ginjal internasional Mar 2012; 81 (5): 442-448. 10. Wald R, Quinn RR, Adhikari NK, dkk. Risiko dialisis kronis dan kematian berikut cedera ginjal akut Jurnal Amerika kedokteran Jun 2012; 125 (6):.. 585-593. 11. Lafrance JP, Miller DR. Cedera ginjal akut rekan dengan peningkatan mortalitas jangka panjang Journal of American Society of Nephrology.. JASN Feb 2010; 21 (2): 345-352. 12. Wu VC, Wu CH, Huang TM, et al. Risiko jangka panjang dari kejadian koroner setelah AKI Journal of American Society of Nephrology.. JASN Mar 2014; 25 (3): 595-605. 13. Wu VC, Wu PC, Wu CH, dkk. Dampak dari cedera ginjal akut pada risiko jangka panjang stroke Journal of American Heart Association Agustus 2014;.. 3 (4). 14. NKF, 2015 dalam http://www.nkf.com/aki 15. NANDA-I, Nursing diagnosis, Definitions and Classification 2015-2017. Tenth Edition, 2015
Askep Gagal Ginjal Akut
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicablediseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit g i n j a l k r o n i k , s u d a h
m e n g g a n t i k a n p e n y a k i t m e n u l a r ( c o m m u n i c a b l e d i s e a s e s ) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan
fungsi
ginjal
vaskuler sehingga dapat
dapat
menggambarkan
membantu upay a pencegahan
kondisi
sistem
penyakit leb ih dini
sebelum pasienmengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jant ung ko rone r, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Gagal ginjal atau acute kidney injury (AKI) yang dulu disebut injury acuterenal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah padafungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasikreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN (blood Urea Nitrogen).Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. Angka
kematian
di
AS
akibat
gagal
ginjal
akut
berkisar
antara
20-
90%.Kematian di dalam RS 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%. Kenaikan 0,3 mg/dL kreatinin serum merupakan prognostik penting yang signifikan. Peningkatan kadar kreatinin
juga
bisa
disebabkan
oleh
obat-obatan
(misalnya
cimetidin
d a n t r im eh op ri m) ya ng m en gh am ba t se kr es i tu bu la r gi nj al . P e ni ng ka ta n
nilai BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa
atau
sal ura n
p enc er naa n,
pen ggu naa n
s ter oid ,
pem asu kan
p r o t e i n . O l e h k a r e n a i t u d ip er lu ka n p en gk aj i an y a ng h at i -h at i d al am m en en tu ka n ap aka h ses eo ra ng te rk en a kerusakan ginjal atau tidak.
B. Tujuan 1. Tujuan umum Mendapatkan gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada klien dengan GGA 2. Tujuan khusus a.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan GGA
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan c.
Mahasiswa mampu membuat intervensi untuk klien GGA
d. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan yang t elah dibuat e.
Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan GGA
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Gagal ginjal akut adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah( Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 ). Gagal ginjal akut merupakan sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat disertai azotemia (kelebihan urea atau senyawa nitrogen lainnya dalam darah) diikuti dengan peningkatan BUN dan kreatinin serum serta oliguri.
B. Etiologi 1. Pre renal Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan te rjadinya hipoperfusi renal adalah :
Penipisan volume
Hemoragi
Kehilangan cairan melalui ginjal(diuretik, diuresis osmotik)
Kehilangan cairan melalui saluran GI(muntah, diare, selang nasogastrik)
Gangguan efisiensi jantung
Infark miokard
Gagal jantung kongestif
Disritmia
Syok kardiogenik
Vasodilatasi
Sepsis
Anafilaksis
Medikasi antihipertensi atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
2. Intra renal Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
Cedera akibat terbakar dan benturan
Reaksi transfusi yang parah
Agen nefrotoksik
Antibiotik aminoglikosida
Agen kontras radiopaq
Logam berat(timah, merkuri)
Bahan kimia dan pelarut
Obat NSAID
Proses infeksi
Pielonefritis akut
Glomerulonefritis akut
3. Pasca renal Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
Obstruksi traktus urinarius
Batu
Tumor
Hiperplasia prostat jinak
Striktur
Bekuan darah
C. Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal, obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat ditangani. Terdapat Stadium
awal
Stadium
Oliguria.
4
tahapan
dengan Volume
awitan urine
klinik awal 75
dari dan %
gagal diakhiri
jaringan
ginjal dengan yang
akut
yaitu
terjadinya
berfungsi
telah
:
oliguria. rusak.
Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kali pada waktu malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon terhadap kegelisahan atau minum yang berlebihan. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita m ulai terganggu. Stadium III. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri
(pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus m eskipun proses penyakit mulamula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
D. Manifestasi Klinis
Haluaran urine sedikit, Mengandung darah,
Peningkatan BUN dan kreatinin,
Anemia,
Hiperkalemia
Asidosis metabolic
edema
Anoreksia,nause,vomitus
Turgor kulit jelek,gatal-gatal pada kulit
Kelemahan otot
Perubahan pola berkemih (oligouri/poliuri)
Perubahan suhu tubuh : demam (dehidrasi)
Nafas bau amoniak
E. Pemeriksaan Diagnostik a. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein b. Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum. c. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi . d. Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. e. Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstraskular, massa. f. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,refluks ureter,retensi
g. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas. h. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menetukan sel jaringan untuk diagnosis histologis i. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif j. EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.
F. Komplikasi Komplikasi
metabolik
berupa
kelebihan
cairan,
hiperkalemia,
asidosismetabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru,yang dapat menimbulkan keadaan gawat.
G. Penatalaksanaan 1. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka. 2. Penanganan hiperkalemia Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema. 3. Mempertahankan keseimbangan cairan Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien.
Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
H. ASKEP TEORITIS
a.
Data dasar Pengkajian
1. Keadaan umum : 2. Identitas : nama, usia, alamat, telp, t ingkat pendidikan, dll. 3. Riwayat Kesehatan : Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama tidak bisa kencing, kencing sedikit, sering BAK pada malam hari, kelemahan otot atau tanpa keluhan lainnya.
Riwayat Penyakit Dahulu Adanya penyakit infeksi, kronis atau penyakit predisposisi terjadinya GGA serta kondisi pasca akut. Riwayat terpapar toksin, obat nefrotik dengan pengunan berulang, riwayat tes diagnostik dengan kontras radiografik. Kondisi yang terjadi bersamaan : tumor sal kemih; sepsis gram negatif, trauma/cidera, perdarahan, DM, gagal jantung/hati.
Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat penyakit polikistik keluarga, nefritis herediter, batu urinarius atau yang lainnya. 4. Pola kebutuhan Aktivitas dan istirahat Gejala : keletihan, kelemahan, malaise Tanda : Kelemahan otot, kehilanggan tonus
Sirkulasi
Tanda : Hipotensi/hipertensi, disritmia jantung, jantung, nadi lemah/halus, hipotensi hipotensi orthostatik (hipovolemia), hipervolemia (nadi kuat), oedema jaringgan umum, pucat, kecenderungan perdarahan
Eliminasi Gejala : Perubahan pola kemih : peningkatan peningkatan frekuensi, poliuria (kegagalan dini) dini) atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir), disuria, ragu-ragu berkemih, dorongan kurang, kemih tidak lampias, retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung, diare atau konstipasi, Riwayat Hipertropi prostat, batu/kalkuli Tanda : Perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap, merah, coklat, berawan, Oliguria (bisanya 12-21 hari); poliuria (2-6 l/hari)
Makanan/cairan Gejala : Peningkatan berat badan (edema), penurunan penurunan berat badan (dehidrasi), (dehidrasi), mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, riwayat penggunaan diuretik Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema
Neurosensorik Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom ‘kaki ge lisah” Tanda : Gangguan status mental, penurunan penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanggan
memori,
kacau,
penurunan
tingkat
kesadaran
(azotemia,
ketidakseimbanggan
elektrolit/asam/basa); kejang, aktivitas kejang
Nyeri/Kenyamanan Gejala : nyeri tubuh, tubuh, sakit kepala Tanda : Prilaku berhati-hati, distraksi, gelisah gelisah
Pernafasan Gejala : Nafas pendek Tanda : Tachipnea, dispnea, peninggkatan frekuensi frekuensi dan kedalaman pernafasan (kussmaul), (kussmaul), nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru) Keamanan Gejala : ada reakti tranfusi
Tanda : Demam (sepsis, dehidrasi), dehidrasi), ptechie, echimosis kulit, pruritus, pruritus, kulit kering 5. Pengkajian keluarga
Anggota keluarga
Pola komunikasi
Pola interaksi
Pendidikan dan pekerjaan
Kebudayaan dan keyakinan
Fungsi keluarga dan hubungan
6. Pemeriksaan penunjang Urine Volume , 400 ml/24 jam, terjadi 24-48 jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, Myoglobin. Porfirin. Berat jenis < 1,020 menunjukkan penyakit ginjal, contoh Glumerulonefritis, pyelonefritis demam kehilangan kemampuan untuk memekatkan, BJ 1,020 menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH Urine > 7,00 menunjukkan ISK, NTA dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine.serum sering 1 : 1 Creatinin clearance : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan ceatinin serum meningkat secara bermakna Natrium biasanya menurun, tetapi dapat lebih dari 40mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium Bikarbonat meningkat bila ada asidosis met abolik
Darah Hb menurun/tetap, SDM sering menurun, pH kurang dari 7,2 (asidosis metabolik) dapat terjadi karenan penurunan fungsi ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme. BUN/Kreatinin sering meningkat dengan proporsi 10 : 1. Osmolaritas serum lebih dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular (asidosis) atau penggeluaran jaringan (hemolisis SDM). Natrium biasanya meningkat. PH, Kalsium dan bicarbonat menurun. Clorida, Magnesium dan Fosfat meningkat.
b. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko kurangnya volume cairan (intravaskuler) b/d retensi Na dan H2O , edema dan efek diuretik
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi sodim dan air 3.
Risti penurunan curah jantung berhubungan dengan kelebihan cairan, ketidakseimbangan elektrolit, efek uremik pada otot jantung
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, vomitus, nausea. 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, keletihan. 6. Kecemasan berhubungan dengan ketidak tahuan proses penyakit.
c.
Intervensi
1. Resiko kurangnya volume cairan (intravaskuler) b/d retensi Na dan H2O , edema dan efek diuretik Tujuan : cairan tubuh seimbang dengan kriteria hasil : Mukosa mulut lembab Turgor kulit bagus Tanda vital stabil
a.
monitor intake dan output evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentu tindakan
b. Monitor tanda-tanda vital perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan kadar kehilangan cairan, hipotensi postural menunjukkan penurunan volume sirkulasi
c.
Anjurkan tirah baring atau istirahat aktivitas berlebih dapat meningkat kebutuhan akan cairan.
d. Kaji membran mukosa mulut dan elastisitas turgor kulit mengevaluasi sejauh mana pasien mengalami kekurangan caiaran e.
Berikan cairan sesuai indikasi penggantian cairan tergantung dari berapa banyaknya cairan yang hilang atau dikeluarkan.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi sodium dan air Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil:
tidak
a.
ada
edema,
keseimbangan
antara
input
dan
output
Kaji keadaan edema Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permebilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat hingga 4,5 kg
b. Kontrol intake dan out put per 24 jam. Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan. c.
Timbang berat badan tiap hari Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.
d. Beritahu keluarga agar klien dapat mem batasi minum Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis. e.
Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik. Obat anti diuretic dapat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
f.
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal. Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
a.
Auskultasi bunyi jantung dan paru Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c.
Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, vomitus, nausea. Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
a.
Observasi status klien dan keefektifan diet. Membantu dalam mengidentifikasi dan kebutuhan diet, kondisi fisik umum, gejala uremik dan pembatasan diet mempengaruhi asupan makanan.
b.
Berikan
dorongan
hygiene
oral
yang
baik
sebelum
dan
setelah
makan.
Higiene oral yang tepat mencegah bau mulut dan rasa tidak enak akibat mikroorganisme, membantu mencegah stomatitis. c.
Berikan makanan TKRGR Lemak dan protein tidak digunakan sebagai sumber protein utama, sehingga tidak terjadi penumpukan yang bersifat asam, serta diet rendah garam memungkinkan retensi air kedalam intra vaskuler.
d.
Berikan
makanan
dalam
porsi
kecil
tetapi
sering.
Meminimalkan anoreksia, mual sehubungan dengan status uremik. e.
Kolaborasi pemberian obat anti emetic. Antiemetik dapat menghilangkan mual dan muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, keletihan. Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
a.
Kaji kebutuhan pasien dalam beraktifitas dan penuhi kebutuhan ADL Memberi panduan dalam penentuan pemberian bantuan dalam pemenuhan ADL.
b. Kaji tingkat kelelahan. Menentukan derajat dan efek ketidakmampun. c.
Identifikasi factor stess/psikologis yang dapat memperberat. Mempunyai efek akumulasi (sepanjang factor psykologis) yang dapat diturunkan bila ada masalah dan takut untuk diketahui.
d. Ciptakan lingkungan tengan dan periode istirahat tanpa gangguan. Menghemat energi untuk aktifitas perawatan diri yang diperlukan. e.
Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan. Memungkinkan berlanjutnya aktifitas yang dibutuhkan memberika rasa aman bagi klien.
f.
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium darah. Ketidak seimbangan Ca, Mg, K, dan Na, dapat menggangu fungsi neuromuscular yang memerlukan peningkatan penggunaan energi Ht dan Hb yang menurun adalah menunjukan salah satu indikasi terjadinya gangguan eritopoetin
6. Kecemasan berhubungan dengan ketidak tahuan proses penyakit. Tujuan : klien mengerti tentang penyakit yang diderita dengan kr iteria hasil : Klien tidak cemas, klien tidak bingung, klien kooperatif
a.
Kaji tingkat kecenmasan klien. Menentukan derajat efek dan kecemasan.
b. Berikan penjelasan yang akurat tentang penyakit. Klien dapat belajar tentang penyakitnya serta penanganannya, dalam rangka memahami dan menerima diagnosis serta konsekuensi mediknya. c.
Bantu klien untuk mengidentifikasi cara memahami berbagai perubahan akibat penyakitnya. Klien dapat memahami bahwa kehidupannya tidak harus mengalami perubahan berarti akibat penyakit yang diderita.
d.
Biarkan
klien
dan
keluarga
mengekspresikan
perasaan
mereka.
Mengurangi beban pikiran sehingga dapat menurunkan rasa cemas dan dapat membina kebersamaan sehingga perawat lebih mudah untuk melaksanakan intervensi berikutnya.
d. Implementasi Merupakan penerapan dari rencana tindakan yang telah disusun dengan prioritas masalah dan kegiatan ini dilakukan oleh perawat untuk membantu memenuhi kebutuhan klien dan mencapai tujuan yang diharapkan.
e.
Evaluasi Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan untuk menentukan hasil yang diharapkkan dari tindakan yang telah dilakukan dan sejauh mana masalah klien teratasi. Perawat jaga melakukan pengkajian
ulang
untuk
menentukan
tindakan
selanjutnya
bila
tujuan
tidak
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC. Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Acute Kidney Injury (AKI) Smart Nurse --- Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Disini akan dibahas tentang penyebab AKI, tanda dan gejala, pengobatan yang sering dilakukan dan juga diagnosa keperawatan yang dipilih berikut rasionalisasinya. Mari sharing bareng untuk menjadi “smart nurse” disini : AKI.doc
KLASIFIKASI AKI A. Kriteria RIFLE, ADQI (Acute Dialysis Quality Initiative) Revisi 2007 KATEGORI
P↑ KREATININ SERUM
P↓ LFG
KRITERIA OU
Risk
≥ 1.5 x nilai dasar (ND)
> 25 % ND
<0.5 ml/kg/jam ≥6 jam
Injury
≥2.0 x nilai dasar (ND)
>50% ND
<0.5 ml/kg/jam ≥12jam
Failure
≥3.0 x nilai dasar atau ≥ 4 mg/dl
>75% ND
Dengan kenaikan akut ≥ 0.5 mg/dl
<0.3 ml/kg/jam ≥24 jam atau anuria ≥ 12 jam
Loss
p↓ fungsi ginjal menetap lebih dari 4 minggu
End Stage
p↓ fungsi ginjal menetap lebih dari 3 bulan
B. Kriteria AKIN (Acute Kidney Injury Network) Tahap
1
P↑ KREATININ SERUM
KRITERIA OU
≥ 1.5 x nilai dasar (ND) atau p ↑ 0.3 mg/dl
<0.5 ml/kg/jam ≥6 jam
2
≥2.0 x nilai dasar (ND)
<0.5 ml/kg/jam ≥12jam
3
≥3.0 x nilai dasar atau ≥ 4 mg/dl
<0.3 ml/kg/jam
Dengan kenaikan akut ≥ 0.5 mg/dl atau inisiasi terapi pengganti ginjal
≥24 jam atau anuria ≥ 12 jam
ETIOLOGI
AKI PRE RENAL
PENYEBAB
KETERANGAN
Hipovolemia
Kehilangan cairan pada ekstravaskuler Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbumin, obstruksi usus Kehilangan darah Kehilangan cairan ke luar tubuh, melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, dieresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)
Penurunan curah jantung
Penyebab miokard : infark, kardiomiopati Penyebab perikard : tamponade Penyebab vascular pulmonal : emboli pulmonal Aritmia Penyebab katup jantung
Perubahan rasio resistensi
p↓ resistensi vascular perifer : sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis
vaskular ginjal sistemik
berlebihan (barbiturat), vasodilator (nitrat, OAH) vasokonstriksi ginjal : hiperkalemia, norepineprin, epinefrin hipoperfusi ginjal local : stenosis a.renalis, hipertensi maligna
Hipoperfusi ginjal dengan
kegagalan p↓ resistensi arteriol aferen. Perubahan structural (lansia,
gangguan autoregulasi ginjal
aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK, HT maligna) kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen penggunaan penyekat ACE, ARB stenosis a.renalis
Sindrom hiperviskositas
AKI RENAL
myeloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia
PENYEBAB
KETERANGAN
Obstruksi
Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, thrombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis),
renovaskular
obstruksi v.renalis (thrombosis, kompresi)
Penyakit
Glomerulonefritis, vaskulitis
glomerolus/ Mikrovaskular ginjal Nekrosis tubular
Iskemia
akut Toksin Acute Tubular
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotic, kemoterapi, pelarut organic, asetaminofen)
Necrosis
Endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)
Nefritis interstitial
Alergi (antibiotic, OAINS, diuretic, kaptopril) Infeksi (bakteri, viral, jamur) Infiltrasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis ), idiopatik
Obstruksi dan
Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, sulfonamide
deposisi intratubular
AKI POST RENAL
PENYEBAB
KETERANGAN
Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi eksternal
Obstruksi leher
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
Kandung kemih Obstruksi uretra
Striktur, katup congenital, fimosis
PEMERIKSAAN KLINIS PENYEBAB
GEJALA
AKI
Gejala haus, penurunan OU, penurunan BB, hipotensi ortostatik, takikardia, penurunan JVP,
PRERENAL
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik, hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis
AKI RENAL
Penggunaan obat nefrotoksik, gejala thrombosis, glomerulonefritis akut, hipertensi maligna
AKI POST
Nyeri pada kostovertebra atau suprapubik, distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal atau kandung
RENAL
kemih, nyeri pinggang kolik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
INDEKS DIAGNOSIS
AKI PRERENAL
AKI RENAL
Urinalisis
Silinder hialin
abnormal
Gravitasi Spesifik
>1,020
-1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH2O)
>500
-300
Kadar natrium urin (mmol/L)
<10 (<20)
>20 (>40)
Fraksi ekskresi natrium (%)
<1
>1
Fraksi ekskresi urea (%)
<35
>35
Rasio Cr urin/Cr plasma ()
>40
<20
Rasio urea urin/urea plasma
>8
<3
TERAPI FARMAKOLOGI
Dalam pengelolaan AKI terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun, namun kesahihan penggunaannya bersifat controversial. Obat-obatan tersebut antara lain :
1. Diuretik Diuretik yang bekerja menghambat Na/K, ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebuutuhan energy sel thick limb Ansa Henle. Penelitian melaporkan bahwa prognosis pasien AKI non-oligurik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligurik. Atas dasar hal tersebut banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligurik menjadi AKI non oligurik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialysis. Namun penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretic untuk pengobatan AKI, bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas. Meskipun demikian pada keadaan tanpa fasilitas dialysis, diuretic dapat menjadi satu pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretic sebagai bagian dari tatalaksana AKI adalah :
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin lakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonic 250 – 300 cc dalam 15 – 30 menit. Bila jumlah urin bertambah lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretic tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretic masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oliguria kurang dari 12 jam)
Pada awalnya dapat diberikan dosis furosemid iv bolus 40 mg. jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan 100 – 250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 1020mg/kkBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara itu tidak berhasil harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.
2. Manitol Secara hipotesis manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oliguria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi aritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negative tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa walaupun dapat meningkatkan produksi urine tapi tidak memperbaiki prognosis pasien.
3. Dopamine Dopamine dosis rendah (0,5 – 3 mcg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamine DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na/K, ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena ada dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respon tubuh terhadap pemberian dopamin juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respon dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (hipertensi, DM, aterosklerosis) sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada ‘dopamin dosis renal’. Dalam penelitian penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait efek samping serius seperti iskemik miokard, takiaritmia, iskemik mukosa saluran cerna, ganggren digiti dll. Jika tetap akan dicoba pemberian dopamin harus dilakukan pemantauan respon selama 6 jam. Jika tidak ada respon klinis dianjurkan dihentikan untuk mencegah toksisitas. Dopamin tetap d pat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.
TATA LAKSANA KONSERVATIF KOMPLIKASI
TATA LAKSANA
Kelebihan cairan
Batasi garam (1-2gr/hari) dan air (< 1L/hari)
intravaskuler Penggunaan diuretik
Hiponatremia
Batasi caoran (< 1L/hari) Hindari pemberian infuse cairan hipotonik
Hiperkalemia
Batasi asupan K (< 40 mmol/hari) Hindari suplemen K dan diuretik hemat K Beri resin potassium binding ion exchange Beri dextrose 50% 50cc + insulin 10 IU Beri Natrium bikarbonat 50 – 100 mmol Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0.5-1 mg iv Kalsium glukonat 10% (10cc dalam 2-5 menit)
Asidosis metabolic
Batasi asupan protein (0.8 – 1g/kgBB/hari)
Beri Natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat plasma> 15 mmol/L dan PH arteri > 7,2)
Hiperfosfatemia
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari) Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia
Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc)
Hiperurisemia
Terapi jika kadar asam urat > 15 mg/dl
DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Gangguan pola nafas Gangguan pola nafas terjadi bila terjadi edema paru sehingga terjadi gangguan pada pengembangan paru. Gangguan proses inspirasi dan ekspirasi tentunya akan mengganggu pola nafas.
B. Gangguan pertukaran gas Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal yang telah jatuh pada keadaan asidosis metabolic akan mengalami gangguan keseimbangan pH. pH yang terlalu asam dalam darah ditandai dengan peningkatan ion bikarbonat atau HCO3- dalam darah. Peningkatan ion HCO3- ini menyebabkan tubuh melakukan defek mekanisme dengan banyak menahan ion CO2 sehingga pH dalam darah normal. Namun banyaknya ion CO2 yang ada dalam tubuh mempunyai batasan tertentu, karena apabila ion CO2 terlalu banyak akan menimbulkan masalah baru.
C. Gangguan sirkulasi renal Gangguan sirkulasi renal ini lebih banyak terjadi pada kasus AKI pre renal misalnya pada kasus hipovolemik (perdarahan, hilangnya output cairan berlebih). Pada kasus hipovolemik sirkulasi darah pada intravaskuler menurun hal ini menyebabkan sirkulasi darah ke semua system organ juga berkurang. Pada sirkulasi darah, sirkulasi ke ginjal dianggap kurang vital dibandingkan dengan sirkulasi ke otak dan jantung sehingga gangguan hipovolemik pertama kali akan menyebabkan terganggunya sirkulasi ke ginjal.
D. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : kurang dari kebutuhan Gangguan kurangnya keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi pada kasus pre renal yaitu pada kasus hipovolemik. Ditandai dengan menurunnya output urine tapi saat dilakukan rehidrasi cairan maka output akan bertambah. Pemberian diuretik tidak diperbolehkan pada kasus hipovolemik
E. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : lebih dari kebutuhan Pada kasus AKI renal dimana renal tidak berfungsi sebagaimana mestinya (fungsi ekskresi, sekresi, dan filtrasi ginjal) akan terjadi penumpukan cairan di dalam tubuh. Ginjal yang semestinya menjalankan fungsi ekskresi dengan mengeluarkan Na dan K akan terhambat sehingga terjadi penumpukan ion dalam tubuh. Penumpukan K berlebih akan menyebabkan hiperkalemia sedangkan penumpukan Na akan menyebabkan hipernatremia. Natrium menurut sifatnya akan menarik cairan dan menahan cairan di sekitarnya sehingga akan menyebabkan edema. Pada kasus AKI akan menyebabkan gangguan filtrasi ginjal sehingga ginjal tidak dapat melakukan filtrasi pada molekul besar seperti protein. Pada fisiologis ginjal protein tidak dikeluarkan melalui urine tetapi direabsorbsi kembali oleh ginjal. Saat ginjal mengalami gangguan filtrasi maka protein akan dikeluarkan melalui urine dan hal ini menyebabkan tubuh kekurangan protein. Protein dalam tubuh mempunyai fungsi yang essential, salah satu akibat dari kekurangan protein adalah gangguan permeabilitas pembuluh darah. Gangguan permeabilitas PD ditandai dengan kebocoran cairan dari intravaskuler menuju ekstravaskuler sehingga akan menyebabkan ‘edema’ di tempat tertentu terutama pada ekstremitas bawah dan apabila terjadi kebocoran berlebih akan menyebabkan edema di semua bagian tubuh “edema anasarka”
F. Syok hipovolemik Kebocoran cairan intravaskuler yang berlebih tentunya akan mengganggu sirkulasi ke ginjal, ke jantung dan juga otak. Bila hal ini terjadi akan mengakibatkan syok. Syok ditandai dengan penurunan kesadaran, akral dingin, gangguan pada capillary refill time, warna pucat pada ekstremitas bahkan sampai sianosis, penurunan TD, peningkatan HR pada fase awal sampai terjadi penurunan HR.
G. Risiko cidera Risiko cidera ini berhubungan dengan gangguan biokimia tubuh karena ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan zat sisa. Pada kasus AKI terjadi penumpukan serum creatinin & nitrogen yang seharusnya terbuang melalui urine. Pada kasus syndrome uremik dimana terjadi penumpukan urea pada tubuh menyebabkan gangguan penurunan kesadaran dan bahkan menyebabkan kematian.
H. Problem Kolaboratif Anemia
Pada kasus AKI biasanya menyebabkan penurunan hemoglobin. Hal ini dikarenakan karena ginjal sebagai organ yang melepaskan hormon eritropoeitin juga mengalami gangguan sehingga hormon eritropoeitin tidak dilepaskan dan menyebabkan sumsum tulang tidak mempunyai stimulus untuk memproduksi eritrosit.
ASKEP Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang brkembang cepat. Laju filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Criteria oliguria tidak mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang amerika mengandung sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urine maksimum sekitar 1200 mOsm /L air, maka kehilangan air obligat dalam urine adalah 500 ml. oleh karna itu ,bila keluaran urine menurun hingga kurang dari 400 ml/hari, penambahan jat terlarut tidak bisa dibatasi dengan kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF. Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh kasus ARF,keluaran urine melebihi 400 ml /hari.dan dapat mencapai hingga 2L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau disebut non-ologurik. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi, eksresi, dan endokrin ginjal. Namun demikian , osteodistrofi ginjal dan anemiabukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitanya akut. 1.2. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan dari makalah ini ialah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Dengan adanya makalah asuhan keperawatan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami serta mampu menjelaskan tentang konsep penyakit gagal ginjal akut serta asuhan keperawatan gagal ginjal akut. 2. Tujuan Khusus a. Mampu mengetahui definisi dari Gagal Ginjal Akut. b. Mampu memahami anatomi dari ginjal. c. Mampu mengetahui etiologi serta patofisiologi dari Gagal Ginjal Akut. d. Mampu mengidentifikasi manifestasi klinis dari Gagal Ginjal Akut. e. Mampu menjelaskan tentang penatalaksanaan dari Gagal Ginjal Akut. f. Mampu menyebutkan komplikasi dari Gagal Ginjal Akut. g. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan Gagal Ginjal Akut meliputi pengkajian, analisa data, diagnose keperawatan, intervensi serta evaluasi. 1.3. Manfaat Penulisan
1.
2.
3.
4.
Bagi Penulis Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit Gagal Ginjal Akut agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik. Bagi Pembaca Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang Gagal Ginjal Akut lebih dalam sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit Gagal Ginjal Akut. Bagi Petugas Kesehatan Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan Gagal Ginjal Akut sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang baik. Bagi Institusi Pendidikan Dapat menambah informasi tentang Gagal Ginjal Akut serta dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini.
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.
Definisi Gagal Ginjal Akut Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. (Davidson 1984). Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan hiperkalemia. ( D. Thomson 1992 : 91 )
2.2.
Anatomi Fisiologi Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan tubuh/ekstraselular. Ginjal merupakan dua buah organ berbentuk seperti kacang polong, berwarna merah kebiruan. Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang peritoneum atau di luar rongga peritoneum. Ketinggian ginjal dapat diperkirakan dari belakang di mulai dari ketinggian vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena letak hati yang menduduki ruang lebih banyak di sebelah kanan. Masing-masing ginjal memiliki panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm dan tebal2,5 cm.. Berat ginjal pada pria dewasa 150170 gram dan wanita dewasa 115-155 gram. Ginjal ditutupi oleh kapsul tunikafibrosa yang kuat, apabila kapsul di buka terlihat permukaan ginjal yang licin dengan warna merah tua. Ginjal terdiri dari bagian dalam, medula, dan bagian luar, korteks. Bagian dalam (interna) medula. Substansia medularis terdiri dari pyramid renalis yang jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya menghadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansahenle, vasa rekta dan duktuskoli gensterminal. Bagianluar (eksternal) korteks. Subtansia
kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa, melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, dan bagian dalam di antara pyramid dinamakan kolumnarenalis. Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens. Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal. Kedua ginjal bersama-sama mengandung kira-kira 2.400.000 nefron. Setiap nefron bias membentuk urin sendiri. Karena itu fungsi dari satu nefron dapat menerangkan fungsi dari ginjal. 2.3.
Etiologi Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut(Muttaqin,arif.2011). 2.3.1. Kondisi Pre Renal (hipoperfusi ginjal) Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi renal adalah : a) Penipisan volume b) Hemoragi c) Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik) d) Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang n asogastrik) e) Gangguan efisiensi jantung f) Infark miokard g) Gagal jantung kongestif h) Disritmia i) Syok kardiogenik j) Vasodilatasi k) Sepsis l) Anafilaksis m) Medikasi antihipertensif atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi 2.3.2. Kondisi Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal) Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini : a) Cedera akibat terbakar dan benturan b) Reaksi transfusi yang parah c) Agen nefrotoksik d) Antibiotik aminoglikosida e) Agen kontras radiopaque f) Logam berat (timah, merkuri) g) Obat NSAID h) Bahan kimia dan pelarut (arsenik, etilen glikol, karbon tetraklorida) i) Pielonefritis akut j) glumerulonefritis 2.3.3. Kondisi Post Renal (obstruksi aliran urin) Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut : a) Batu traktus urinarius b) Tumor c) BPH d) Striktur
e) Bekuan darah. 2.4. Patofisiologi Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal, obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat ditangani. Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut(Dongoes): 1. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. 2. Stadium Oliguria. Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kalipada waktu malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap kegelisahan atau minum yang berlebihan. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutamam menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan farahm tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu. 3. Stadium III. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setip sisitem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis
a) b) c) d) e)
Menurut Price, (1995) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi gmnjal, yaitu sebagai berikut : Obstruksi tubulus. Kebocoran cairan tubulus. Penurunan permeabilitas glomerulus. Disfungsi vasomotor. Glomerolus feedback . Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan deskuamasi sel-sel tubulus yang nekrotik dan materi protein lainnya, yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan selular akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan tubulus meningkat sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal, tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat terlihat pada NTA yan g berat. Pada ginjal normal, 90% aliran darah didistribusi ke korteks (tempat di mana terdapat glomerulus) dan 10% pada medula. Dengan demikian, ginjal dapat memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA, perbandingan antara distribusi korteks dan medula menjadi terbalik sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi dan arteriol aferen merupakan dasar penurunan laju flitrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar ginjal setelah hilangnya rangsangan awal. Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung jawab terjadinya GGA, dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk melakukan vasodilator sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Ada kemungkinan iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat ginjal untuk menyintesis prostaglandin. Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan aliran darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA. Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksin atau iskemia gagal untuk menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus distal dan merangsang peningkatan produksi renin dan sel jukstaglomerulus, Terjadi aktivasi angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi ateriol aferen sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. 1. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. 2. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi. 3. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat. 4. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
2.5.
Pathway Iskemia atau nefrotoksin Penurunan aliran darah Kerusakan sel tubulus Kerusakan glomerulus Penurunan aliran darah Pe Pelepasan NaCl ke makula densa Obstruksi tubulus Kebocoran filtrat Penurunan ultrafiltrasi glomerulus Penurunan GFR Gagal ginjal akut Penurunan produksi urine azotemia Kecemasan pemenuhan informasi Respons psikologsi Diuresisi ginjal Ekskresi kalium menurun Peningkatan metabolit pada jaringan otot Peningkatan metabolit pada gastrointestinal Edema paru asidosis metabolik Defisit volume cairan Ketidakseimbangan elektrolit Peningkatan kelelahan otot kram otot Bau amonia pada mulut mual, muntah, anoreksia Pola napas tidak efektif Hiperkalemi Kelemahan fisik respon nyeri Intake nutrisi tidak adekuat Penurunan pefusi serebral Kerusakan hantaran impuls saraf Perubahan konduksi elektrikal jantung Nyeri gangguan ADL Pemenuhan nutrisi Defisit neurologik risiko tinggi kejang Risiko aritmia Curah jantung Retensi cairan interstisial dan pH Penurunan pH pad aciaran serebro spinal
Sumber : Asuhan Keperawatan Gangguan System Perkemihan(Muttaqin,2011)
2.6. Manifestasi Klinis a) Perubahan haluaran urine (haluaran urin sedikit, mengandung darah dan gravitasinya rendah (1,010) sedangkan nilai normalnya adalah 1,015-1,025) b) Peningkatan BUN, creatinin c) Kelebihan volume cairan d) Hiperkalemia e) Serum calsium menurun, phospat meningkat f) Asidosis metabolik g) Anemia h) Letargi i) Mual persisten, muntah dan diare j) Nafas berbau urin k) Manifestasi sistem syaraf pusat mencakup rasa lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang 2.7. Pemeriksaan Penunjang 1. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein. 2. Arteriogram ginjal 3. Biopsi ginjal 4. Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum. 5. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi . 6. Pielografi retrograde
7. 8. 9. 10.
2.8. 1.
a.
b.
c. 2. a.
b.
c.
d.
e.
2.9. 1. 2. 3. 4. 5.
Sistouretrogram berkemih Ultrasono ginjal Endoskopi ginjal nefroskopi EKG
Penatalaksanaan Penatalaksanaan secara umum adalah: Kelainan dan tatalaksana penyebab. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada pembesaan prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya. Penatalaksanaan gagal ginjal Mencapai & mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi. Komplikasi Jantung : edema paru, aritmia, efusi pericardium Gangguan elektrolit : hyperkalemia, hiponatremia, asidosis Neurlogi : iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang Gastrointestinal : nausea, muntah, gastritis, ulkus, peptikum, perdarahaan gastrointestinal Hematologi : anemia, diathesis hemoragik
6.
Infeksi : pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT 1. Pengkajian Anamnesis Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun,khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius,terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria disebabkan oleh hipertrofi prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran kemih yang berulang, serta pada wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita. 2. Riwayat Kesehatan 2.1. Keluhan Utama Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi. 2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dnegna predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar nluas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal. 2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan. 2.4.Riwayat psikososialcultural Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang berat akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien. 3. Pemeriksaan Fisik 3.1.Keadaan umum dan TTV Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat. 3.2.Pemeriksaan Pola Fungsi 3.2.1. B1 ( Breathing ). Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul. 3.2.2. B2 ( Blood ).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adan ya peningkatan. 3.2.3. B3 ( Brain). Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia. 3.2.4. B4 ( Bladder ). Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap. 3.2.5. B5 ( Bowel ). Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. 3.2.6. B6 ( Bone). Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi. 3.3. Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1. Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung. Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal. 4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka. 2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal. 3. Terapi cairan 4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat 5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis 5. Analisa Data symptom Etiologi Problem fase diuresis dari Defisit volume cairan DS:pola gagal ginjal akut DO:- perubahan kemih,warna urin pekat,penurunan urine output <400 ml/hari. penurunan pH pada Aktual/risiko tinggi DS:ciaran serebrospinal, pola napas tidak efektif DO: pernapasan kussmaul,fetor uremik, perembesan cairan, DS:DO:klien gelisah,Terdapat papiledema,deficit neurologis,kadar kalium serum meningkat. DS:DO: peningkatan suhu tubuh,penglihatan kabur,kram otot,azotemia. DS:DO:kehilangan kemampuan konsentrasi,kehilangan memori,penurunan lapang pandang. DS:DO:muntah,anoreksia,lemah.
gangguan konduksi Aktual/risiko elektrikal efek aritmia. sekunder dari hiperkalemi
tinggi
kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. gangguan transmisi sel-sel saraf sekunder dari hiperkalsemi
tinggi
intake nutrisi yang tidak adekuat sekunder dari anoreksi, mual, muntah edema ekstremitas, DS:fisik DO:lemah,ada edema,terlihat kelemahan sakit berat. secara umum
Aktual/risiko kejang
Aktual/risiko tinggi defisit neurologis
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Gangguan ADL ( Activity Daily Living)
DS:DO: bingung dengan kondisinya,peningkatan TTV,ketidakmampuan berkonsentrasi,
prognosis penyakit, cemas ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan
6. Diagnosa keperawatan 1. Defisit volume cairan b.d. fase diuresis dari gagal ginjal akut 2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif b.d penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik 3. Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia 4. Aktual/risiko penurunan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik 5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hipe rkalemi 6. Aktual/risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. 7. Aktual/risiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel-sel saraf sekunder dari hiperkalsemi 8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat sekunder dari anoreksi, mual, muntah 9. Gangguan ADL ( Activity Daily Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik secara umum 10. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan 7. Intervensi Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko komplikasi. Dia gno se
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasional
Tujuan : defisit
Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output) Auskultasi TD dan timbang berat badan. Programkan untuk dialysis. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur. Kolaborasi Pertahankan
Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik. Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemik. Perubahan berat badan sebagai parameter dasar terjadinya
volume
cairan
dapat teratasi Kriteria evaluasi : Klien
tidak
mengeluh pusing, membran mukosa lembab,
turgor
kulit normal, TTV
batas pemberian cairan secara intravena normal, CRT < 3 dalam
detik, urine > 600 ml/hari Laboratorium : nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/Kreatinin menurun
Tujuan:tidak terjadi perubahan pola napas Kriteria evaluasi: Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 1620 x/menit. Pemeriksaan gas
Kaji faktor penyebab asidosis metabolic. Monitor ketat TTV. Istirahatkan klien dengan posisi fowler. Ukur intake dan output. Manajemen lingkungan : lingkungan tenang dan batasi pengunjung. Kolaborasi
Berikan cairan ringer laktat secara 0,005, HCO, 24 ± intravena. 2 mEq/L, dan Berikan bikarbonat. Pantau data PaCO, 40 mmHg laboratorium analisis gas darah berkelanjutan arteri pH 7.40 ±
defisit cairan. Program dialisis akan mengganti fugnsi ginjal yang terganggu dalam menjaga keseimbangan cairan tubuh. Mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan tahanan perifer. Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan secara cepat dan memudahkan perawat dalam melakukan kontrol intake dan output cairan Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic. Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output. Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. Larutan IV ringer laktat
Tujuan:tidak terjadi aritmia Kriteria : Klien gelisah, mengeluh
tidak tidak mual-
mual dan muntah GCS 4, 5, 6 tidak terdapat papiledema. TTV dalam
batas
normal. Klien
tidak
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktorfaktor hiperkalemi. Manajemen pencegahan hipokalemia Beri diet rendah kalium Memonitor tandatanda vital tiap 4 jam. Monitoring ketat kadar kalium darah dan EKG. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi. Monitoring klien yang mendapat infus
biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini. Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida. Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebabsebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor penyebab. Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer, gula dan
mengalami defisit cepat yang mengandung kalium neurologis, kadar Manajemen kalium serum kolaborasif koreksi hiperkalemi: dalam batas Pemberian kalsium glukonat. normal Pemberian glukosa 10%. Pemberian natrum bikarbonat. .
madu. Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien hipokalemi. Upaya deteksi berencana untuk mencegah hiperkalemi. Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada halhal lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan latrogenik. Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi. Dilakukan penghambatan terhadap efek jantung dengan kalsium, disertai redistribusi K+ dari ECF ke ICF. Tiga metode yang digunakan dalam penangan kegawatan dari hiperkalemia berat (>8 mEq/L atau perubahan EKG yang lanjut)
Tujuan : perfusi jaringan dapat
otak tercapai
secara optimal. Kriteria evaluasi : Klien
tidak
gelisah, tidak ada keluhan
nyeri
kepala,
mual,
kajang,
GCS
4,5,6,
pupil
isokor,
refleks
cahaya (+). Tanda-tanda vital normal (nadi 60100
kali/menit,
suhu : 36-36,70C,
Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit. Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam. . Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam. Monitor tanda-tanda Dapat mengurangi kerusakan status neurologis otak lebih lanjut. dengan GCS. Pada keadaan normal, Monitor tanda-tanda autoregulasi vital seperti TD, nadi, mempertahankan keadaan suhu, respirasi, dan tekanan darah sistemik yang hati-hati pada dapat berubah secara hipertensi sistolik. fluktuasi. Kegagalan Bantu klien untuk autoreguler akan membatasi muntah menyebabkan kerusakan dan batuk. Anjurkan vaskular serebral yang dapat klien untuk dimanifestasikan dengan mengeluarkan napas peningkatan sistolik dan apabila bergerak atau diikuti oleh penurunan berbalik di tempat tekanan diastolik, sedangkan tidur. peningkatan suhu dapat Anjurkan klien untuk menggambarkan pejralanan menghindari batuk infeksi. dan mengejan Aktivitas ini dapat berlebihan meningkatkan tekanan Ciptakan lingkungan intrakranial dan yang tenang dan batasi intraabdomen. Mengeluarkan pengunjung. napas sewaktu bergerak atau Monitor kalium mengubah posisi dapat serum melindungi diri dari efek valsava.
pernapasan 16-20 kali/menit), serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti : lemas, agitasi, iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas
dapat
terjadi
hingga
akhirnya
timbul
koma, kejang Tujuan
:
perawatan kejang
risiko
berulang
tidak terjadi Kriteria evaluasi : -Klien tidak mengalami kejang
Kaji dan catat faktorfaktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi. Kaji stimulus kejang. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi. Kolaborasi pemberian terapi
Garam kalsium parenteral Vitamin D Tingkatan masukan diet kalsium. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum
Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang. Rangsangan aktivitas yang meningkatkan dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketegangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasusu stroke hemoragik/perdarahan lainnya. Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel. Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia hebat. Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh. Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus dipertimbangkan. Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan menginfiltrasi Terapi vitamin D dapat dilakukan untuk meningkatkan absorpsi ion kalsium dari traktus GI Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar) Menilai keberhasilan intervensi
8. Evaluasi Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut: 1. Defisit volume cairan teratasi 2. Pola napas kembali efektif 3. Tidak terjadi penurunan curah jantung 4. Peningkatan perfusi serebral 5. Tidak terjadi aritmia 6. Tidak terjadi kejang 7. Pasien tidak mengalami defisit neurologis 8. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi 9. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari 10. Kecemasan berkungan.
BAB III PENUTUP
1. 2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
3.1. Kesimpulan Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal. 3.2. Saran Bagi Penulis Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit Gagal Ginjal Akut agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik. Bagi Pembaca Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang Gagal Ginjal Akut lebih dalam sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit Gagal Ginjal Akut. Bagi Petugas Kesehatan Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan Gagal Ginjal Akut sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang baik. Bagi Institusi Pendidikan Dapat menambah informasi tentang Gagal Ginjal Akut serta dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer,Arif,dkk.2001. Kapita Selekta Kedokteran.edisi 3,jilid 1. Jakarta : Salemba Medika Muttaqin,Arif,Kumala Sari.2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC. Wilkinson,Judith M,dkk.2013. Buku Saku NIC,criteria Hasil NOC,edisi 9.Jakarta :EGC
Diagnosis
Keperawatan.NANDA,Intervensi
MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN II “PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GGA (GAGAL GINJAL AKUT)”
Oleh: Kelompok 3 1. Ayu Martha Indriana
(101.0011)
2. Erma Eka Agustina
(101.0039)
3. Fetriana Ayu Dwitanti
(101.0041)
4. Ni Putu Ika Oktavia
(101.0077)
5. Rahayu Aprilia Wilujeng
(101.0089)
6. Rista Ria Puspita
(101.0097)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2002). Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (GFR), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin). Laju filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Gagal ginjal akut adalah sindrom yang terdiri dari penurunan kemampuan filtrasi ginjal (jam sampai hari), retensi produk buangan dari nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Gagal ginjal akut sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi ureum dan kreatinin. Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang karena usia pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya. Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu (Djoko, 2008). Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008). Di indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGA, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas kedokteran. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit GGA terabaikan. Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa fisik tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan darah, serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah
yang normal bila menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein dalam jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5 liter). (Djoko, 2008).
1.2 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Rumusan Masalah Apa definis dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa etiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa sajakah klasifikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa manifestasi klinis GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Bagaimana WOC dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Bagaimana patofisiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa sajakah pemeriksaan penunjang dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa sajakah pemeriksaan dignostik dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Bagaimana penatalaksanaan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Apa sajakah komplikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ? Bagaimana asuhan keperawatan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara menyusun asuhan keperawatan pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal baik yang bersifat akut. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Agar mahasiswa mengerti tentang definisi dari gagal ginjal akut. 2. Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi dari gagal ginjal akut. 3. Agar mahasiswa mengetahui tentang klasifikasi dari gagal ginjal akut. 4. Agar mahasiswa mengetahui tentang manifestasi klinis dari gagal ginjal akut. 5. Agar mahasiswa dapat memahami tentang WOC dari gagal ginjal akut. 6. Agar mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dari gagal ginjal akut. 7. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal akut. 8. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal akut. 9. Agar mahasiswa mengetahui tentang penatalaksanaan dari gagal ginjal akut. 10. Agar mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut. 11. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal akut. 1.4 Manfaat Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan gagal ginjal akut dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut secara tepat dan benar, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan. BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010). Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000). Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebab penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006). Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea). 2.2 Etiologi Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga kategori meliputi : a. Prarenal Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih) 2) Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis) 3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli paru) 4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis) b. Renal Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan
ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan – lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adala : 1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan renjatan hemoragik. 2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal. 3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan. 4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria. 5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif. 6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif. c. Pascarenal / Postrenal GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut : 1) Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma 2) Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).
2.3 Klasifikasi
Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 20 07). Peningkatan Kadar Penurunan Laju Kriteria Urine Kategori Serum Cr Filtrasi Glomerulus Output
Risk Injury Failure Loss End stage
<0,5 mL/kg/jam, >6 jam <0,5 mL/kg/jam, >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar >12 jam <0,3 mL/kg/jam, >24 >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar jam Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 Minggu Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 Bulan >1,5 kali nilai dasar
>25% nilai dasar
2.4 Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam. a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. b. Stadium oliguria Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3 – 5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik. c. Stadium diuresis Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat. 1) Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari 2) Berlangsung 2-3 minggu 3) Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih 4) Tingginya kadar urea darah 5) Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air 6) Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin menin gkat terus d. Stadium penyembuhan Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium akan kembali normal. Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu: 1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi. 2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan). 4) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki. 5) Tremor tangan. 6) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi. 7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya pneumonia uremik. 8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang). 9) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml) 10) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus. 11) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
2.6 Patofisiologi Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute), tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenitas penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai faktor-faktor penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan renalis. Menurut Price, (2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu sebagai berikut : a. Obstruksi tubulus b. Kebocoran cairan tubulus c. Penurunan permeabilitas glomerulus d. Disfungsi vasomotor e. Umpan balik tubulo-glomerulus Tidak satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute) yang bervariasi itu (schrier, 1986). Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian membentuk silindersilinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting
pada ARF (acute renal fallure) yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan. Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA (necrosis tubular acute) yang berat, yang merupakan dasar anatomic mekanisme ini. Meskipun sindrom NTA (necrosis tubular acute) menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan penurunan ultrafiltasi glomerulus. Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah dari pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal (merriill, 1971). Dengan demikian hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian, terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke korteks (glomeruli) dan 10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi korteks dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative pada korteks ginjal. Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF (acute renal fallure) pada hewan maupun manusia (schrier, 1996). Beberapa penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan NTA (necrosis tubular acute) (Harter, martin, 1982). Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus kea rah distal tidak mencukupi, kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu TGF merupakan mekanisme protektif. Pada NTA (necrosis tubular acute), kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorbs tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR (glomerular filtration rate) pada keadaan NTA (necrosis tubular acute) dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontriksi mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurun
kan permeabilitas dan tekanan kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.
2.7 Pemeriksaan Penunjang a. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas b. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis. c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat. d. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik. e. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia. f. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak. g. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin. h. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh: glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat. i. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik. j. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering. k. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna. l. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium. m. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik. n. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF. o. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal. p. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik a. Elektrokardiogram (EKG) Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung. b. Kajian foto toraks dan abdomen Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan. c. Osmolalitas serum Lebih dari 285 mOsm/kg d. Pelogram Retrograd Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter e. Ultrasonografi Ginjal Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif g. Arteriogram Ginjal Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular 2.9 Penatalakasanaan a. Penatalaksanaan secara umum adalah: Kelainan dan tatalaksana penyebab. 1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin. 2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal. 3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya b. Penatalaksanaan gagal ginjal 1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi. 2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis. 3) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan h idrasi yang adekuat terjadi oliguria. 4) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan. 5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi. 7) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin. 8) Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. 2.10 a. b. c. d. e. f.
Komplikasi Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian a. Pengkajian Anamnesis Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita. b. Riwayat Kesehatan 1. Keluhan Utama Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi. 2. RiwayatPenyakit Sekarang Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat
NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga. c. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan TTV Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat. 2. Pemeriksaan Pola Fungsi a) B1 (Breathing). Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul. b) B2 (Blood). Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adan ya peningkatan. c) B3 (Brain). Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia. d) B4 (Bladder). Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap. e) B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi. d. Pemeriksaan Diagnostik 1. Laboratorium Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1. Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung. Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal. e. Penatalaksanaan Medis Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka. 2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal. 3. Terapi cairan 4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat 5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis 3.2 Diagnosa Keperawatan a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase d iuresis dari gagal ginjal akut. b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik. c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder d ari hiperkalemi
3.3 Intervensi a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase d iuresis dari gagal ginjal akut. Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit volume cairan dapat teratasi Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun \ Intervensi: 1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output) R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik. 2. Kaji keadaan edema R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg 3. Kontrol intake dan output per 24 jam. R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan. 4. Timbang berat badan tiap hari. R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat. 5. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum. R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis. 6. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik. R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide. 7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal. R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola nafas Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit Intervensi: 1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik. R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic. 2. Monitor ketat TTV. R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis. 3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menu runkan tekanan darah. 4. Ukur intake dan output. R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output. 5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena. R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini. 6. Berikan bikarbonat. R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida. 7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan. R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi Kriteria: klien tidak mengalami kejang Intervensi: 1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi. R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia 2. Kaji stimulus kejang. R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh. 3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus dipertimbangkan. 4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi. R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine 5. Garam kalsium parenteral R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan menginfiltrasi 6. Tingkatan masukan diet kalsium. R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar) 7. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum. R: Menilai keberhasilan intervensi
d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang. Intervensi: 1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut. 2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati -hati pada hipertensi sistolik. R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi. 3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava. 4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang. 5. Monitor kalium serum R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel. f. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sek under dari hiperkalemi Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia. Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal. Intervensi: 1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu da n faktor-faktor hiperkalemi. R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor penyebab. 2. Beri diet rendah kalium R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gulagula (permen), root beer, gula dan madu. 3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien hipokalemi. 4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan latrogenik. 5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi. 6. Pemberian kalsium glukonat. R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit. 7. Pemberian glukosa 10%. R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam. 8. Pemberian natrum bikarbonat. R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam.
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. b. Stadium oliguria Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3 – 5 hari. Terdapat gejala – gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik. c. Stadium diuresis Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat. 1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 40 0 ml/hari 2. Berlangsung 2-3 minggu