BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bioteknologi inseminasi buatan merupakan cara yang tepat untuk mendeposisikan
spermatozoa
kedalam
organ
reproduksi
betina
dengan
menggunakan teknik inseminasi buatan untuk meningkatkan mutu genetik ternak (Ismaya, 2014). Inseminasi buatan didefinisikan sebagai suatu proses pemasukan atau deposisi semen kedalam saluran reproduksi betina dengan bantuan alat. Penggunaan semen dapat dalam bentuk segar, semen yang telah diencerkan dan semen beku. Dalam praktiknya, pelaksanaan IB tidak sesederhana seperti yang disebutkan di atas, tetapi jauh lebih kompleks yang meliputi seleksi pejantan, penampungan semen, evaluasi spermatozoa, pengenceran semen, pelaksanaan IB, recording dan evaluasi hasil inseminasi buatan (Ismaya, 2014). Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul sebanyak-banyaknya. Inseminasi Buatan ini sangat kontras dengan keberhasilan Transfer Embrio didalam perbaikan mutu genetik. Perbaikan mutu genetik menggunakan menggunakan IB pada sapi perah dapat digunakan sebagai progeni tes untuk menghasilkan pejantan unggul yang dapat dimanfaatkan menghasilkan spermatozoa salah satunya berdasar pada seleksi ukuran testisnya. Sebagai salah satu teknologi reproduksi, Inseminasi Buatan memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu genetik ternak, mengurangi resiko penyebaran p enyakit kelamin menular, meningkatkan populasi dam produksi ternak dan menjanjikan perbaikan pendapatan petani peternak. Pelaksanaan IB yang lege artis artis akan memberikan hasil yang baik sesuai tujuan program IB, namun akan menjadi boomerang jika pelaksanaan IB tidak lege artis karena artis karena akan meningkatkan penyakit kelamin menular, apabila recording tidak dilakukan dengan baik dapat menyebabkan penyebaran sifat ternak yang tidak diinginkan mudah meluas.
Kekurangan lain dari pelaksanaan IB adalah membutuhkan tenaga lapangan terampil dan pelaksana IB di lapangan harus memahami betul status reproduksi ternak, apabila terjadi kesalahan diagnosa status reproduksi ternak maka sapi yang telah bunting dapat abortus karena dilakukan IB (Hardijanto, dkk., 2010). Teknik atau metode Inseminasi Buatan ada 2 macam yaitu Rektovaginal dan transservikal. Pada sapi adalah dengan metode rektovaginal yaitu tangan dimasukkan kedalam rektum kemudian memegang bagian servik yang paling mudah diidentifikasi karena mempunyai anatomi keras, kemudian insemination gun dimasukkan melalui vulva, ke vagina hingga ke bagian ser vik. Sedangkan pada Babi, kambing dan domba adalah dengan metode transervikal. Pada kambing dan domba dapat menggunakan spikulum untuk melihat posisi servik, kemudian insemination gun dimasukkan hingga mencapai servik, sedangkan pada babi menggunakan cattether dan dimasukkan hingga kedalam uterus (Kusumawati, 2014). Inseminasi Buatan (IB) pada sapi merupakan yang pertama kali berkembang dan hingga saat ini banyak diaplikasikan pada masyarakat dan terbukti dapat meningkatkan produktifitas sapi. Selain pada sapi IB juga telah dilaksanakan pada beberapa ternak yang lain yaitu kuda, kambing, babi dan berbagai jenis unggas. Keberhasilan Inseminasi Buatan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: (1) Kualitas semennya (2) Manusianya (Inseminator dan peternaknya) adalah hal ketepatan waktu IB dan penempatan semen (deposisi semen) (3) Fisiologi uterus betinanya (Kusumawati, 2014). Pegenceran sperma bertujuan untuk menambha volume sperma dan menambah za nutrisi untuk memperpanjang daya hidup spermatozoa sehingga sperma yang telah diencerkan dapat disimpan dalam waktu yang lama, disamping dapat digunakan untuk menginseminasi betina lebih banyak dan mempermudah pembagian dosis. Bahan yang yang bisa digunakan untuk untuk pengencer harus isotonis, tidak beracun, melindungi spermatozoa, bersifat buffer, sebagai sumber energi dan mampu memeprtahankan kulatas air mani. Bahan pengencer yang dapat digunakan ada beberapa macam musalnya air kelapa, susu skim, telur sitrat, madu, sari buah dan NaCl fisiologis berdasarkan tujuan penggunaannya penggunaannya (Hardijanto, dkk., 2010). 2010).
Pada kegiatan praktikum di eks laboratorium inseminasi buatan ini, kami memilih 5 bahan pengencer untuk dilakukan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bahan mana yang terbaik untuk pengenceran semen sehingga mendukung keberhasilannya program inseminasi buatan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara penampungan semen menggunakan vagina buatan?
2.
Bagaimana cara pemeriksaan semen?
3.
Bagaimana cara pengenceran semen?
4.
Apa saja bahan yang digunakan sebagai pengencer semen?
5.
Berapa lamakah daya tahan bahan pengencer untuk kehidupan sperma?
6.
Bagaimana cara membuat semen beku tipe pellet?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh bahan pengencer semen terhadap daya hidup dan dan motilitas sperma.
1.4 Manfaat
Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bahan pengencer semen yang dapat mempertahankan viabilitas dan motilitas sperma untuk dilakukan Inseminasi buatan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akal cerdikya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya. Tampon tersebut kemudian dimasukkan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB at au penelitian ke arah penggunaan teknik tersebut (Toelihere, 1993). Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Kedokteran Hewan Bogor dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) didirikanlah beberapa satsium IB di beberapa daerah di Jawa Tengah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasium IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan 4 pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat (Toelihere, 1993). Inseminasi buatan adalah proses pemasukan atau penyampaian semen ke dalam kelamin betina dengan menggunakan alat buatan manusia, jadi bukan secara alam (Feradis, 2010). Program IB tidak hanya mencakup pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan. Tujuan dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang ampuh yang diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere, 1981).
Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai akseptor IB, keterampilan tenaga pelaksana (inseminator)
dan
pengetahuan
zooteknis
peternak.
Keempat
faktor
ini
berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere, 1993). Penampungan semen bertujuan untuk memperoleh semen yang jumlah volumenya banyak dan kualitasnya baik untuk diproses lebih lanjut untuk keperluan inseminasi buatan (Kartasudjana, 2001).Metode vagina buatan adalah metode penampungan semen yang dilakukan dengan vagina buatan. Vagina buatan adalah alat yang digunakan untuk menampung spermatozoa dimana alat tersebut akan dikondisikan sebagaimana vagina asli dari ternak tersebut. Pejantan akan menaiki betina pemancing dan akan berejakulasi pada waktu penis dimasukkan ke dalam vagina buatan.Pada domba, sekali penampungan dapat dikumpulkan dari 2-3 kali ejakulasi.Volume
semen
setiap
ejakulasi
sekitar
0,3-1,2
ml.
Kepadatan
spermatozoa yang aman untuk keberhasilan IB sekitar 100-200 juta/ml. Sedangkan, kepadatan spermatozoa semen domba per ejakulasi berkisar 2-4,5 milyar/ml. Maka pengenceran dapat dilakukan 10-15 kali dan dosis inseminasi 0,25-0,5 ml(Garner, 2000) Saat teknik inseminasi buatan, deposisi semen yang paling baik adalah di uterus, dengan menggunakan spikulum vaginoscope dimasukkan ke dalam vagina dioles dengan vaselin steril, IB dilakukan dengan memasukkan cateter dari tabung penyemprot semen, semen disemprotkan secara perlahan, jika menggunakan semen beku alat penyemprot dapat menggunakan gun IB seperti pada sapi. Setiap kali melakukan kawin suntik, 12-20 ekor betina bisa memperoleh pelayanan secara bersamaan di waktu yang sama (Puslitbangnak, 2012). 2.2
Semen Beku
Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan dengan suhu -196 0C. Semen beku tersebut berasal dari pejantan terpilih dimana pejantan tersebut sudah melewati seleksi pejantan unggul berdasarkan kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny test)
atau garis keturunannya (Direktorat Perbibitan, 2000). Peningkatan kualitas semen dapat dipengaruhi oleh penanganan semen mulai dari penampungan, pengenceran sampai dengan pembekuan. Semen beku yang baik tergantung dari kualitas semen pejantan, proses pengambilan dan proses pembuatan semen beku, harus esuai dengan ketentuan yang ada. Penampungan semen dilakukan dengan vagina buatan yang terdiri atas dari tabung karet yang berlubang pentil karet inner liner, karet pengikat, corong karet, dan tabung penampung berskala. Dalam proses penampungan semen harus dilaksanakan yang baik dan dipilih pejantan yang memiliki kualitas genetic yang baik, agar dapat menghasilkan semen beku yang baik pula kualitasnya. Semen dapat dibekukan dalam bentuk ampul, straw, dan pellet. Pada bentuk straw terdapat proses printing starw, printing starw adalah proses pemberian tanda / identifikasi starw untuk membedakan antara pejantan, bangsa, dan jenis ternak. Telah disepakati untuk masing-masing bangsa dan jenis ternak dibedakan melalui warna straw dan nomer kode. Warna yang biasa digunakan abu-abu untuk sapi Frisian Holstein, Pink untuk sapi limousine, ttransparant untuk simental, Hijau muda untuk sapi bali, dsb. Metode thawing yang tidak tepat dapat menurunkan kualitas spermatozoa dan mempengaruhi kualitas IB sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap semen yang telah di-thawing Proses thawing yang terlalu lama peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid merupakan kerusakan
dapat menyebabkan sel/jaringan akibat
serangan radikal bebas. Jika semakin banyak, peroksidasi lipid akan mengubah struktur spermatozoa pada membran dan akrosom yang dapat metabolisme dan pelepasan komponen intraseluler sehingga kematian
spermatozoa.
Selain itu, pengambilan
mengganggu menyebabkan
semen dari container
menggunakan tangan juga dapat menurunkan kualitas karena perubahan suhu dari -1960C ke tubuh manusia menjadi 37 0C menyebabkan metabolisme spermatozoa menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan produksi asam laktat yang bersifat toxic meningkat sehingga menyebabkan penurunan daya gerak spermatozoa hingga menyebabkan kematian. 2.3
Bahan Pengencer Kuning Telur
Kuning telur mempunyai komponen berupa lipoprotein dan lesitin yang dapat mempertahankan dan melindungi spermatozoa dari cold shock . Kuning telur umumnya ditambahkan ke dalam pengencer semen sebagai sumber energi, agen protektif dan dapat memberikan efek sebagai penyangga terhadap sperma (Susilawati, 2002). Kuning telur juga mengandung glukosa, vitamin yang larut dalam air dan larut dalam lemak sehingga menguntungkan spermatozoa (Kulaksiz et al., 2010). Bahan pengencer spermatozoa yang paling umum digunakan yaitu kuning telur. Manfaat kuning telur terletak pada lipoprotein dan lesitin yang terkandung didalamnya yang bekerja mempertahankan dan melindungi integritas selubung lipoprotein dari sel spermatozoa (Toelihere, 1993). Kuning telur juga mengandung glukosa yang lebih suka dipergunakan oleh sel-sel sperma sapi untuk metabolismenya daripada fruktosa yang terdapat di dalam semen (Toelihere, 1993).
Tabel 2.1 Komposisi telur
Sumber : Winarno dan Koswara (2002) 2.4
Bahan Pengencer Susu Skim
Susu skim adalah susu dengan kadar lemak yang telah dikurangi hingga berada pada batas maksimal 1% yang telah ditetapkan. Susu skim merupakan bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim digunakan sebagai pengencer semen karena dapat melindungi sel spermatozoa dari cold shock selama proses pembekuan dan penyimpanan. Komponen dalam susu yang berperan sebagai pelindung spermatozoa dari cold shock adalah protein kasein (Toelihere, 1993). Protein kasein pada susu skim merupakan protein konjugat yang mudah berikatan dengan senyawa laiin. Protein
tersebut mampu berikatan dengan molekul-molekul spesifik pada membran spermatozoa dan membentuk lapisan perlindungan spermatozoa (membrane coating ) (Lahnsteiner et al , 2004). Pembuatan susu skim sebagai bahan pengencer semen adalah dengan pemanasan terlebih dahulu. Pemanasan susu di atas 80 0C akan melepaskan gugus sulfhydril (-SH) sebagai zat reduktif yang dapat menetralisasi pengaruh toksik laktenin. Di samping itu, pemanasan susu ditujukan untuk mematikan mirkoorganisme. Pada pemakaian susu skim, perbandingan susu skim berkisar antara 8-10% dari jumlah pelarut (Susilowati dkk, 2010). 2.5
Bahan Pengencer Tomat
Tomat merupakan buah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indoneisa. Biasanya digunakan untuk jus, hingga sebagai pelengkap untuk bumbu masakan. Buah tomat mudah untuk mendapatkannya, buah tomat tumbuh subur di semua tanah Indonesia, dan buah ini memiliki nutrisi yang banyak sekali. Sumardiono et al. (2009) menjelaskan bahwa buah tomat mengandung berbagai nutrisi seperti karbohidra, protein, vitamin A, vitamin C, dan likopen yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan karbohidrat dan antioksidan sari buah tomat dapat berfungsi sebagai sumber energy dan berpotensi menghambat radikal bebas yang dapat merusak sel ( Maulida et al. 2010). Berikut kandungan nutrisi tomat hijau dan tomat merah :
Gambar 2.1 Kandungan nutrisi tomat hijau dan matang ( Jones JB: Boca Raton: CRC Press., 2015)) 2.6
Bahan Pengencer Buah Semangka
Bahan pengencer buah semangka memiliki komposisi yang lengkap seperti protein, lemak, yang cukup dan juga mengandung beberapa vitamin yang merupakan unsur Penting bagi kehidupan spermatozoa. Semangka atau tembikai (Citrullus lanatus, suku ketimun-ketimunan atau Cucurbitaceae) adalah tanaman merambat yang berasal dari daerah setengah gurun di
Afrika bagian
selatan.Kandungan karbohidrat mencapai 6-8 gram per 100 gram berat semangka dengan kadar gula sekitar 80-9-% yang mana lebih tinggi dari kunong telur yang hanya memiliki kandungan karbohidrat sebanyak 0,6 gram per 100 gram beratnya, sehingga harapannya buah semangka dapat menjadi sumber energy bagi spermatozoa (Fila et al.2013). Tabel 2.2 Kandungan nutrisi dalam 100g buah se mangka
(Jhonson et al. (2013); Fila et al. (2013); USDA (2015))
2.7. Bahan Pengencer Nanas
Nanas ( Ananas comosus (L.) Merr.) adalah buah yang kaya akan karbohidrat terdiri atas beberapa gula sederhana seperti sukrosa, fruktosa, dan glukosa, serta enzim gromelin yang dapat merombak protein menjadi asam amino agar mudah diserap, nanas merupakan buah yang terdiri dari sebagian besar daging buah yang banyak mengandung gula,vitamin A, vitamin C dan mengandung mineral yang diperlukan tubuh. Nanas merupakan satu-satunya sumber bromelain, yaitu enzim proteolitik yang banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Bromelain merupakan golongan enzim protease yang mampu memecah protein rantai panjang menjadi fragmen protein yang lebih kecil bahkan sampai ke bentuk asam amino (Ali, Milala, dan Gulani 2015) Tabel 2.3 Kandungan nutrisi dalam 100g buah nanas masak
.
Sumber : Wirakusumah, E. S., (2000).
BAB 3 MATERI DAN METODE
3.1
Penampungan dan Pemeriksaan Semen
3.1.1 Persiapan Alat dan Bahan
Vagina Buatan
Cover Glass
Termos Panas
Pipet tetes
Temperatur Batang
Mikroskop
Object Glass
3.1.2 Persiapan Hewan Coba dan Bahan yang Dibutuhkan
Domba Jantan
Eosin Negrosin
Vaselin
NaCl 1%
Alkohol 70%
Aquadest
3.1.3 Penampungan Semen Domba
Siapkan domba betina pemancing dan dijepit dengan kedua kaki salah satu operator.
Dekatkan domba jantan yang akan diambil semennya pada betina pemancing, tapi dicegah dulu agar tidak menaiki. Lakukan gerakan mendekat dan menjauhkan pejantan dari betina pemancing 2-3 kali agar merangsang libidonya lebih besar dan volume semennya bertambah.
Operator yang lain memeriksa suhu vagina buatan antara 41-45 oC sekaligus diberi vaselin pada bibir luar vagina buatan dan ambil posisi dibelakang sebelah kanan betina pemancing. Gunakan tangan kanan memegang vagina buatan miring ke atas dengan kemiringan sekitar 45 o dengan garis horizontal.
Pegang preputium domba tepat dipangkal penis dengan tangan kiri dan arahkan masuk ke dalam vagina buatan saat pejantan naik dan melakukan ejakulasi.
Lepaskan tabung gelas penampung dari corong karet vagina buatan dan simpan dalam termos di atas pemecahan es yang
beralaskan handuk pada suhu sekitar 5 oC atau pada suhu kamar dengan rak tabung reaksi. Diusahakan terlindung dari sinar matahari langsung.
3.1.4
Pemeriksaan Semen Domba
1.
Pemeriksaan Makroskopis
Volume, dengan melihat pada skala tabung yang digunakan untuk menampung semen, maka dapat ditentukan volumenya.
Konsistensi, dilakukan di tempat terang dengan memiringkan dan menegakkan kembali tabung koleksi semen.
Bau, mencium bau air mani yang tertampung pada tabung koleksi semen.
Warna, dengan melihat warna air mani yang tetampung pada tabung koleksi.
2.
Derajat keasaman dengan menggunakan kertas lakmus.
Pemeriksaan Mikroskopis
Gerakan massa, dengan cara letakkan satu tetes ai r mani di atas gelas objek, kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesar 100x.
Gerakan individu, dengan cara letakkan satu tetes NaCl fisiologis di atas gelas objek, tambahkan satu tetes kecil air mani dan diaduk hingga homogen, tutuplah dengan gelas penutup lalu periksa dengan mikroskop pembesaran 400x.
Penentuan konsentrasi air mani.
Cara Rusia, di atas gelas objek diletakkan satu tetes air mani, lalu tutup dengan cover glass kemudian dilihat di bawah mikroskop. Perhatikan jarak antara kepala sel spermatozoa satu dengan yang lainnya.
Cara Spektrofotometer, pasang kabel fitting spektrofotometer ke stop kontak tunggu kurang lebih 10 menit, atur jarum supaya menunjukkan angka 0 di skala sebelah kiri, masukkan tabung kuvet yang berisi NaCl 2% dengan volume 10 ml (sebagai standar) ke
dalam spektrofotometer atur jarum supaya menunjukkan angka 0 di skala sebelah kanan, kemudian angkat tabung tsb, masukkan tabung kuvet lain yang berisi air mani 0.05 + NaCl 2% 10 ml l alu masukkan ke dalam spektrofotometer, kemudian lihat jarum menunjukkan angka berapa lalu konversikan menggunakan tabel konversi.
Penentuan persentase spermatozoa hidup dilakukan dengan meletakkan setetes semen di atas object glass, kemudian setetes eosin negrosin di sebelah tetesan semen, kemudian dicampur hingga homogen dan dilakukan preparat ulas, kemudian dikeringkan. Pekerjaan ini dilakukan kurang dari 15 detik. Pemeriksaan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x.
Menghitung sel spermatozoa yang abnormal bentuknya, dengan cara seperti dalam penentuan presentase sperma hidup sekaligus dapat dihitung jumlah persentase sel spermatozoa yang abnormal. Biasanya kelainan terdapat pada kepala, leher, ekor, dan adanya protoplasmik droplet.
Melakukan uji keutuhan membran, sebanyak 0.1 ml semen ditambah dengan 0.9 ml medium HOST, selanjutnya diinkubasi dalam inkubator CO2 selama satu jam pada suhu 37 oC. Semen yang telah diinkubasi dievaluasi dengan menggunakan mikroskop pembesaran 400X. Jumlah spermatozoa dengan membran utuh dihitung dalam bentuk persen. Semen akan memperlihatkan perubahan morfologik bila diinkubasi pada medium hipotonik. Perubahan yang terjadi antara lain pembengkokan pada ujung ekor, ekor yang pendek dan tebal atau pembengkokan pada sebagian atau seluruh bagian dari lengkungan yang dibentuk oleh ekor spermatozoa.
3.
Pemeriksaan Biologis menggunakan Uji Ketahanan. Pipet air mani 0,02 ml dan masukkan ke dalam gelas erlenmeyer/beker, tambahkan 10 ml NaCl 1% dan aduk pelan-pelan hingga merata. Ambil satu tetes, letakkan di atas gelas objek, periksa dengan mikroskop dengan pembesaran 10x. Bila terdapat gerakan dari sel spermatozoa,
tambahkan lagi 10 ml NaCl 1% secara bertahap sampai gerakan sel spermatozoa oscilatoris/berputar atau tinggal 40%. 3.2
Pengolahan Semen Domba
3.2.1
Persiapan Alat, Bahan, dan Hewan Coba
3.2.2
Beker glass
Batang gelas pengaduk
Termometer batang
Kompor listrik
Timbangan
Susu skim
Aquadest
Antibiotika (penicillin dan Streptomycin)
Vaselin
Mikroskop
Dry ice
Domba jantan dan betina
Pengencer Air Susu Masak
Timbang susu skim sebayak 3 gram, masukkan ke dalam baker glass.
Tambahkan aquadest sampai 30 ml, aduk hingga homogen, kemudian panaskan di atas penangan sampai suhu 92-95 oC selama 10 menit.
Dinginkan suhu perlahan-lahan hingga suhu kamar (20-27 oC) sampai 32 oC sesuai suhu air mani yang akan diencerkan.
Buang kepala susu bila ada dengan cara disaring menggunakan kain kasa.
Tambahkan 100 IU/ml pengencer dan sreptomycin sebanyak 1 mg/ml pengencer, kemudian aduk hingga rata.
Campur air mani yang memenuhi syarat pemeriksaan dengan pengencer air susu masak dengan perbandingan 1:10.
Periksa gerakan individu progresif (motilitas progresif) dan persentase hidup air mani yang sudah ditambah pengencer tersebut di bawah mikroskop. Bila masih baik, simpan di dalam lemari es pada suhu 3-5 o
C.
Lakukan pemeriksaan secara rutin setiap hari untuk mengetahui kualitas air mani yang masih memungkinan dapat digunakan sampai gerakan individu progresif tinggal 40%.
3.2.3
Pengencer Kuning Telur Sitrat
Buat laurtan sitrat dengan cara timbang Na sitrat 2,9 gram + sulfanilamid 0,3 gram + aquades 100 ml, aduk panaskan, kemudian dinginkan.
Persiapan kuning telur dengan cara buka cangkang. Kuning telur disaring dengan kertas saring.
Pencampuran kuning telur + Na Sitrat dengan perbandingan 1:1 sampai 1:4.
Tambahkan penicillin 1000 IU/ml pengencer dan streptomycin 1 mg/ml pengencer, aduk hingga rata.
Campurkan air mani yang memenuhi syarat pemeriksaan dengan pengencer kuning telur sitrat dengan perbandingan 1:10.
Periksa motilitas persentase hidup di bawah mikroskop. Lakukan setiap hari untuk mengetahui kualitas air mani yang masih memungkinkan dapat digunakan sampai gerakan individu progresif tinggal 40%.
Bila kuning telur sitrat masih baik, simpan dalam lemari es pada suhu 3-5 oC.
3.2.4
Pengencer Sari Buah (Pisang, Jambu, Tomat)
Buah ditimbang sebanyak 30 gram, kemudian gerus dengan mortir dengan penambahan aquadest 30 ml. Jika buah mengandung banyak air, maka tidak perlu ditambah aquadest.
Saring dengan kasa steril, kemudian ukur pH ±5.
Pencampuran sari buah + larutan sitrat dengan perbandingan 1:1 sampai 1:4.
Tambahkan penicillin 1000 IU/ml pengencer dan streptomycin 1 mg/ml pengencer, aduk hingga rata.
Campur air mani yang memenuhi syarat pemeriksaan dengan perbandingan 1:10, kemudian periksa pH (harus berkisar 6-7).
Periksa motilitas persentase hidup di bawah mikroskop. Lakukan setiap hari untuk mengetahui kualitas air mani yang masih memungkinkan dapat digunakan sampai gerakan individu progresif tinggal 40%.
3.2.5
Bila masih baik, simpan dalam lemari es dengan suhu 3-5 oC.
Perhitungan Antibiotik
Penicillin
Sediaan = 3.000.000 IU/10 ml, Kebutuhan 1000 IU/ml diluter Diluter 30 ml = 30.000 IU Volume Penicillin yang dibutuhkan = 0.1 ml
Streptomycin
Sediaan = 1000 mg/5 mL, Kebutuhan = 1 mg/ml diluter Diluter 30 ml = 30 mg Volume Streptomycin yang dibutuhkan = 0.15 ml 3.3 Pembuatan Semen Beku Tipe Pelet 3.3.1 Proses pembuatan semen beku tipe pelet
1.
Pembuatan diluter A dan B
Larutan Utama
Timbang susu skim 3 gram, masukkan ke dalam baker glass, tambahkan aquadest sampai 30 ml, aduk hngga homogen, dan panaskan di atas penangas sampai suhu 92-95 oC selama 10 menit.
Dinginkan air susu perlahan-lahan hingga suhu kamar (20-27
o
C)
sampai 32 oC, sesuai suhu air mani yang akan diencerkan. Buang kepala susu bila ada dengan menyaring menggunakan kain kasa.
Masukkan kuning telur 1 ml ke dalam gelas ukur.
Tambahkan Fruktosa 0,1 gram
Tambahkan Penicillin 1000 IU/ml pengencer dan Streptomycin 1 mg/ml pengencer,
Tambahkan susu skim masak ad 20 ml, aduk hingga merata.
Larutan A
Tuang Larutan Utama sebanyak 10 ml ke dalam erlenmeyer sebagai larutan A
Biarkan pada suhu ruangan
Setelah semen didapatkan, lakukan pemeriksaan makros dan mikros
berupa motilitas dan konsentrasi Masukkan semen kedalam diluter A sama banyak (0,8 ml semen + 0,8
ml diluter A) , (diluter A1)
Hitung dosis dan diluter yang dibutuhkan untuk pengenceran seme n
Setelah didapatkan hasil diluter yang dibutuhkan, bagi diluter yang dibutuhkan sama banyak (diluter A dan diluter B) Diluter A1 ditambahkan dengan diluter A hingga mencapai separuh
diluter yang dibutuhkan. Campur hingga merata, masukkan kedalam water jacket yang
dilengkapi dengan termometer Masukkan kedalam kulkas hingga suhu mencapai 5 oC
Larutan B
Masukkan glycerol 10% (1 ml untuk 10 ml diluter B) pada gelas ukur
Tambahkan glukosa 2% (0,2 gram untuk 10 ml diluter B)
Tambahkan larutan utama ad 10 ml, aduk merata dan pindahkan kedalam erlenmeyer
Masukkan erlenmeyer ke dalam water jacket, letakkan termometer
Masukkan ke dalam lemai es
Masukkan kedalam kulkas hingga suhu mencapai 5 oC
Ambil 2 ml Larutan B, masukkan ke lemari es hingga suhunya mencapai 5 oC, kurang lebih membutuhkan waktu 1-1,5 jam.
Campurkan Larutan B ke Larutan A. Dalam waktu 1 jam, yaitu dengan jalan menuangkan ¼ bagian kemudian ditunggu 15 menit, lalu tambahkan lagi ¼ bagian, tunggu lagi 15 menit, dan seterusn ya sampai Larutan B habis. Dinamakan proses gliserolisasi.
Diamkan pada suhu 5
o
C selama 1 jam, disebut sebagai waktu
equilibrasi.
Buat lubang-lubang kecil pada dry es. Teteskan mani yang sudah mengalami equilibrasi ke dalam lubang-lubang dry ice dengan menggunakan pipet.
2.
Pengenceran semen dengan diluter A a. Semen yang didapatkan dilakukan pengamatan makros dan mikros -
Makros = volume, warna, bau, kekentalan, pH
-
Mikros = Motilitas dan konsentrasi
Konsentrasi semen diukur dengan menggunakan spektofotometer b. Hitung volume yang didapatkan tambahkan diluter A sama banyaknya Untuk semen 0,8 ml dengan dengan konsentrasi 2.100 juta/ml dan motilitas 80 % didapatkan: Dosis IB
= volume x konsentrasi x motilitas =0,8 ml x 2.100 juta/ml x 0,8 =1.344 juta
Untuk setiap pelet yang digunakan harus mengandung konsentrasi spermatozoa sebanyak 100 juta, sehingga: Jumlah pelet = jumlah dosis Ib : 100 juta
= 1.344 juta : 100 juta = 13 pelet Setiap pelet memiliki volume 0,25 ml, sehingga: Diluter yang dibutuhkan : 13 x 0,25 ml = 3,36 ml Hasil 3,36 ml diluter yang dibutuhkan dibagi sama banyak menjadi diluter A (diluter A1 + semen) dan B. 3.
Gliserolisasi Setelah diluter A dan B mencapai suhu 5 oC, dilakukan gliserolisasi. Penambahan diluter B kedalam diluter A secara bertahap (4x) dengan pembagian masing-masing 15 menit sehingga waktu yang dibutuhkan untuk gliserolisasi adalah 1 jam.
4.
Equilibrasi
5.
Setelah dilakukan gliserolisasi, lakukan equilibrasi selama 1 jam pada suhu 5oC
6.
Pre Freezing Motility
Setelah dilakukan equilibrasi, lakukan pemeriksaan mikros berupa motilitas dan viabilitas. 7.
Jika motilitas tidak kurang dari 70%, maka dapat dilakukan proses selanjutnya yaitu pembekuan dengan dry ice. Buat cetakan kecil-kecil pada dry ice untuk tempat mencetak semen beku. Teteskan 0,25 ml semen pada dry ice yang sudah dibentuk cetakan. Tunggu hingga semen membeku.
8.
Lakukan thawing, dengan mengambil semen beku letakkan pada objek glass pada suhu ruangan 32-37 oC selama 15-30 detik.
9.
Lakukan pemeriksaan post thawing motility di bawah mikroskop. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan viabilitas dan motilitas spermatozoa.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pemeriksaan Semen Domba Segar
Pemeriksaan semen domba segar dilakukan di laboratorium IB FKH UNAIR baik secara makroskopis maupun mikroskopis dan didapatkan hasil seperti pada tabel 4.1 dan tabel 4.2. Tabel 4.1 Pemeriksaan Makroskopis Parameter Volume Konsistensi Bau
Hasil
Warna
1 Kental Khas domba Putih krem
PH
6-7
Normal 0,5-2 ml kental Khas domba
Krem/putih susu
6,4-6,8
Kelainan <0,5 Encer Busuk, amis, bau feses Merah, kecoklatan, hijau kekuningan, putih kotor Alkalis
Keterangan normal normal normal
normal
normal
Tabel 4.2 pemeriksaan mikroskopis Parameter
Hasil
Normal
Kelainan
Keterangan
Gerakan massa
+++
++ s/d +++
+
Normal
Gerakan individu
80%/3
50%-80%/3
<40%
Normal
Konsentrasi
Densum
SD-D
azoosperma
Normal
3.840 jt/ml
1,5 – 3
(Rusia) Konsentrasi
Normal
juta/mm3
(spektrofotometer) Viabilitas
85%
80-100%
<80%
Normal
Abnormalitas
5%
2-5%
>10%
Normal
Uji resistensi
500
500-5000
<500
Normal
Hasil pemeriksaan makroskopis pada semen domba segar menujukkan bahwa semen domba memiliki kualitas yang bagus karena didapatkan hasil yang normal pada semua pemeriksaan yang dilakukan. Secara mikroskopis semen domba segar menunjukan hasil yang baik, gerakan massa semen domba menunjukkan penilaian +++ yang berarti gerakan
semen membentuk gelombang besar dan banyak serta cepat. Pada gerakan individu menunjukkan penilaian 70%/3 yang menujukkan bahwa sprematozoa yang bergerak progresif (maju) sebesar 70% dengan kecepatan 3 (gerakan spermatozoa cepat). Viabilitas menujukkan hasil 87% artinya dari 100 sampel yang diamati, ada 87 spermatozoa yang hidup. Konsentrasi semen dengan spectrofotometer menunjukkan hasil normal dengan batas konsentrasi 1,5 – 3 juta/mm3.. Pada uji resistensi semen domba didapatkan angka resistensi 500, dimana angka resitensi normal pada domba berkisar 500 – 5.000. 4.2
Pemeriksaan Berbagai Bahan Pengenceran Semen
Pemeriksaan pengenceran semen dilakukan dengan menggunakan 5 bahan pengencer yang berbeda yaitu : susu masak, kuning telur, nanas, tomat dan semangka. Pemeriksaan dilakukan setiap hari sampai gerakan individu progresif tinggal 40%. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Tabel 4.3. Diluter
Hari 1
Hari 2
Hari 3
M
V
M
V
M
V
Susu
70%
85,5%
20 %
84%
5%
47 %
K. Telur
60%
89%
30 %
88%
25 %
40 %
Pisang
80%
82,4%
25 %
81%
10 %
20 %
Tomat
90%
94,4%
40 %
92%
30 %
52 %
Jambu
70%
91,5%
60 %
89%
40 %
60 %
Keterangan : M= motilitas, V= viabilitas
Pada pemeriksaan motilitas semen
dengan berbagai bahan pengencer
selama 3 hari yang menunjukkan hasil baik yaitu bahan pengencer tomat dimana sampai hari ke 3 motilitas semen masih 40%. Gerakan individu dari setiap spermatozoa penting, sebab bila tidak ada gerakan dari sel spermatozoa tidak mungkin sel spermatozoa dapat mencapai sel telur (ovum) yang terdapat di tuba falopii. Presentase motilitas spermatozoa di bawah 40% menunjukkan nilai semen yang kurang baik. Pemeriksaan motilitas spermatozoa merupakan satu-satunya cara penentuan kualitas semen sesudah pengenceran. Tingginya persentase motilitas spermatozoa pada kelompok perlakuan penambahan sari buah tomat, kemungkinan disebabkan dalam sari buah tomat banyak terkandung vitamin C, vitamin E dan
likopen yang bersifat sebagai anti oksidan. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Sumardiono et al (2009) bahwa dalam 1 kg buah tomat mengandung kadar vitamin C sebanyak 142,1 mg dan likopen sebanyak 66,72 mg. Penggunaan semen beku sangat terbatas berhubungan dengan kapasitas waktu fertilitas yang rendah. Kerusakan oksidasi pada semen selama penyimpanan dalam suhu rendah berpotensial menyebabkan penurunan motilitas dan fertilitas gamet jantan. Terjadinya penurunan motilitas spermatozoa setelah tiga hari penyimpanan menunjukkan bahwa selama proses pengolahan dan penyimpanan terjadi perubahan fisik dan biokimia dari spermatozoa yang digunakan. Pada proses pengolahan sperma, masalah yang sering timbul biasanya rusaknya membran plasma spermatozoa akibat terbentukan peroksidasi lipida. Rusaknya membran plasma akan menyebabkan penurunan motilitas spermatozoa dan akhirnya dapat berpengaruh terhadap daya hidup spermatozoa (Dwitarizki, dkk., 2015). Kualitas sperma untuk ineminasi buatan sangat ditentukan oleh jenis bahan pengencernya. Daya fertilitasi optimum spermatozoa harus dipreservasi atau diawetkan untuk beberapa lama setelah penampungan untuk mempertahankan motilitas dan viabilitasnya agar penggunaan penjantan yang bebas penyakit dan bermutu genetik tinggi secara maskimal dapat tercapai dalam program IB. Sperma perlu dicampur dengan larutan pengencer yang menjamin kebutuhan fisik dan kimiawinya serta disimpan pada suhu dan kondisi tertentu yang mempertahankan kehidupan spermatozoa selama waktu yang diinginkan untuk kemudian dipakai sesuai kebutuhan (Dwitarizki, dkk., 2015). Kuning telur sebagai bahan krioprotektan ekstrasekuler berfungsi sebagai media penyedia makanan, sumber energi, dan pelindung ekstraeluler spermatozoa dari cold shock karena mengandung lipoprotein dan lesitin. Umumnya yang digunakan sebagai bahan pengencer dalam pengenceran sperma adalah telur ayam (Dwitarizki, dkk., 2015). Kuning telur mengandung lipoprotein dan lesitin yang dapat melapisi membran plasma sel. Kandungan tersebut mampu mempertahankan dan melindungi integritas selubung lipoprotein sel spermatozoa dan melindungi dari cekaman dingin (Yohana, dkk., 2014). Susu skim mengandung protein dan glukosa yang digunakan sebagai nutrisi bagi spermatozoa, akan tetapi di dalam protein susu mengandung albumin berupa
lactenin, suatu zat anti-streptococcus pada air susu dan dapat menurunkan kualitas sperma, sehingga perlu pemanasan pada suhu 92-98 0C selama 10 menit. Penggunaan susu skim pada pengencer memberikan hasil yang kurang baik terhadap motilitas, bahwa presentase permatozoa hidup pada pengencer susu skim lebih rendah karena kandungan laktosa yang tinggi mempercepat metabolisme spermatozoa dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan spermatozoa mati, selain itu lemak pada susu skim juga menghambat gerak spermatozoa. Pada pemeriksaan viabilitas semen, banyaknya spermatozoa yang hidup atau mati dan yang abnormal menentukan nilai suatu semen. Penurunan persentase viabilitas spermatozoa yang terjadi sedikit demi sedikit dikarenakan rusaknya spermatozoa
diawali
dengan
hilangnya
motilitas,
terganggunya
aktivitas
metabolisme sel, rusaknya membran plasma, dan terakhir viabilitas spermatozoa yang rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa penurunan viabilitas spermatozoa merupakan efek terakhir dari kerusakan spermatozoa (Dwitariz ki, dkk., 2015). 4.2
Semen Beku Tipe Pellet
Semen beku (mani beku) memiliki pengertian sebagai semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku antara -79°C sampai -196°C. Berdasarkan tempat penyimpanannya, semen beku dibagi menjadi 3 yaitu: straw, pellet dan ampul. Keuntungan semen beku tipe pellet adalah lebih ringkas dan hemat tempat saat penyimpanan (Susilowati, 2010). Semen beku tipe pellet pertama kali diperkenalkan oleh Nagase dan Miwa pada tahu 1946, semen akan membeku dengan kecepatan kurang dari 2,5 menit dan menghasilkan persentase spermatozoa hidup yang tinggi. Semen yang dibekukan, diencerkan dalam perbandingan yang rendah, sehingga semen masih dalam keadaan sangat kental. Larutan bahan pengencer sebagian dicampur sewaktu pengenceran kembali, sehingga semen tipe ini lebih ringkas dan lebih menghemat ruang penyimpanan (Hardijanto, dkk., 2010). Pellet akan dicairkan kembali ketika akan digunakan, yaitu dengan menambahkan 0,9 – 1 ml diluter bersuhu 3-40°C yang biasa dipakai dalam inseminasi buatan, seperti kuning telur sitrat dengan perbandingan 4:1, bahan pengencer susu yang sudah dimasak, bahan pengencer buffer glucose milk (BGM) yang dicampur dengan susu dengan perbandingan 1:1, larutan NaCl fisiologis, atau
dapat pula diinseminasikan langsung ke dalam kanalis servikalis. Persentase spermatoza yang hidup sangat tergantung pada proses pencairan semen beku dan kecepatan penurunan suhu pada waktu proses pembekuan. Pembentukan es disekeliling butir-butir semen beku pada waktu pencairan kembali harus dicegah. Pada saat Thawing pellet suhu tidak boleh lebih dari 5°C, agar diperoleh persentase spermatozoa yang lebih tinggi (Hardianto, dkk., 2010). Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen domba Makroskopis
Mikroskopis
Volume: 0,8 ml Konsistensi: Kental Bau: Khas Warna: Putih krem
Konsentrasi: 3060 juta/ml Gerak massa: +++ Individu: 80% Viabilitas: 92%
pH: 6-7
Abnormalitas: 10%
Semen
domba
biasanya
berwarna
putih
krem,
volume
dan
konsentrasinya sangat bervariasi tergantung cara pengambilan. Bila semen diambil dengan memakai vagina buatan, maka volumenya antara 0,5-2 ml dengan konsentrasi 1,5 juta/mm3, dan umumnya 90% dari jumlah tersebut adalah hidup. Besarnya abnormalitas spermatozoa domba antara 5-15%, dan bila dijumpai lebih dari 25% menunjukkan bahwa semen tersebut fertilitasnya rendah. Derajat keasaman semen domba yang subur adalah 6,4-6,8, sedangkan domba yang tidak subur memiliki derajat keasaman yang lebih basa. Lama hidup spermatozoa domba bila disimpan dalam bahan pengencer pada suhu 4 °C adalah ± 12 hari, jika kualitas sangat baik dapat disimpan sampai 21 hari (Hardijanto, dkk., 2010). Setiap satu kali IB pada domba diperlukan 50-60 juta spermatozoa yang hidup (Hardijanto, dkk., 2010). Volume semen yang berhasil dikumpulkan sebanyak 0,8 ml, dengan konsentrasi 3060 juta/ml, serta motilitas 80%, maka didapatkan 2448 juta spermatozoa yang dapat digunakan untuk inseminasi buatan. Jumlah pellet yang bisa dibuat sebanyak 41 butir dengan volume setiap butir adalah 0,25 ml. Sebelum semen dibekukan, dilakukan pemeriksaan motilitas dan viabili tas. Motilitas menunjukkan hasil 80%, sedangkan viabilitas menunjukkan hasil 92%. Hasil pemeriksaan setelah semen dibekukan dan dicairkan kembali menunjukkan
bahwa spermatozoa mengalami kerusakan dengan motilitas 30% dan viabilitas 27%. Pencairan kembali semen menggunakan dua metode, yaitu dibiarkan hingga mencair, serta dicairkan dengan penambahan NaCl fisiologis. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan pencairan kembali dilakukan pada suhu ruangan, bukan pada suhu 5 oC.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A.A., Milala, M.A., and Gulani, I.A., 2015, Antimicrobial Effect of Crude Bromelain Extracted from Pineapple Fruit (Ananascomosus(Linn.) Merr.), Advances in Biochemistry, 3, 1-4. Andrianto F,2017.Pengaruh Sari Kulit Dan Buah Semangka Merah (Citrullus Lanatus) Sebagai Bahan Pengencer Terhadap Motilitas Dan Viabilitas Spermatozoa Domba. Fakultas Kedokteran Hewan.Universitas Airlangga. Surabaya Dwitarizki, N.D., Ismaya., Widya Asmarawati. 2015. Pengaruh Pengenceran Sperma Dengan Air Kelapa Dan Aras Kuning Telur Itik Serta Lama Penyimpanan Terhadap Motilitas Dan Viabilitas Spermatozoa Domba Garut Pada Penyimpanan 5°C. Yogyakarta Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Foote, R.H. 2001. The history of artificial insemination: Selected notes and notables. American Society of Animal Science. Garner, D. L. and E. S. E. Hafez. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In Reproduction In Farm Animals. Edited by E. S. E. Hafez. 7th Edition. Lippincott Wiliams and Wilkins. Maryland. USA. Hafez, E. S. E. 2000. Semen Evaluation. In: Reproduction In Farm Animals. 7 th Edition. Lippincott Wiliams and Wilkins. Maryland. USA. Hardijanto, Suherni, S., Tatik, H., Trilas, S., Tri, W.S., 2010. Buku Ajar : Inseminasi Buatan, Cetakan pertama. Airlangga University Press, Surabaya. Ismudiono, P. Srianto, H. Anwar, S. P. Madyawati, A. Samik, E. Safitri. 2010. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya. hal : 11-25. Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan Pada Sapi dan Kerbau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Johnson, J. T., J.A. Lennox, U.P. Ujong, M.O. Odey, W.O. Fila, P.N. Edem, K. Dasofunjo. 2013. Comparative Vitamins Content of Pulp, Seed and Rind of Fresh and Dried Watermelon (Citrullus lanatus). International Journal of Science and Technology. Vol. 2 No. 1: 100-103
Kartasudjana R.2001. Teknik Inseminasi Buatan Pada Ternak. Jakarta; Departemen Pendidikan Nasional Lahnsteiner, F., N. Mandour. 2004. Seminal Plasma Proteeins Prolong the Viability of Rainbow Trout (Oncorynchus mykiss) Spermatozoa. Theriogenology 62:801-808 Maulida,Dewi dan Naufal, Zulkarnain. (2010). Ekstraksi Antioksidan (Likopen) Dari Buah Tomat Dengan Menggunakan Solven Campuran, N – Heksanan, Aseton, Dan Etanol. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang Puslitbangnak. 2012. Inseminasi Buatan pada Kambing atau Domba. Teknologi Balitnak: Bogor. Sumardiono, Siswo, Basri, Mohamad, P. Sihombing dan Rony. 2009. Analisis Sifat-sifat PSIKO-KIMIA Buah Tomat (Lycopersicon esculentum) Jenis Tomat Apel, Guna
Peningkatan Nilai Fungsi Buah Tomat sebagai
Komoditi Pangan Lokal. Prosiding Seminar Tugas Akhir S1. Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro 2009. Sumardiono, Siswo, Basri, Mohamad, P. Sihombing dan Rony. 2009. Analisis Sifat-sifat PSIKO-KIMIA Buah Tomat (Lycopersicon esculentum) Jenis Tomat Apel, Guna
Peningkatan Nilai Fungsi Buah Tomat sebagai
Komoditi Pangan Lokal. Prosiding Seminar Tugas Akhir S1. Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro 2009. Susilowati, S, Hardijanto,, Tri, W.S., Trilas, S., Tatik, H. 2010.
Buku
Penuntun Praktikum Inseminasi Buatan. Airlangga University Press. Surabaya. Susilowati, S., Hardijanto., T.W. Suprayogi., T. Sardjito dan T. Hernawati. 2010. Penuntun Praktikum Fisiologi dan Teknologi Reproduksi (IB). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. 8-18. Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Winarno, F. G. dan S, Koswara, 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.