Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press, cetakan pertama 1990) hal 1
Ibid, hal 3
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Penerbit P.T.Alumni edisi kedua cetakan keempat tahun 2013) hal16
J. Samuel Barkin, International Organization : Theories and Institutions, (New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal 2
Dewi Triwahyuni, "Doktrin Kedaulatan Negara dalam Pelaksanaan Kerjasama Internasional" Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 14, No. 4, hal 4 ditemukan pada laman http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-14-babxiv-%29.pdf diakses pada Kamis, 24 September 2015 pukul 20.00
Hata S.H, Hukum Internasional, (Penerbit : Malang Press, 2012) hal 275
For extended consideration of this value and its projection by the US, see Section II(2)(ii) in Chapter6
Tim Dunne & Brian C Schimdt, ( dalam John Baylis and
Steve Smith The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (Third Edition), "Realism", New York: Oxford University Press. Hal. 162-181
Dan Sarooshi, dalam (Jean Monnet Working Paper 4/03. The Jean Monnet Program) "Some Preliminary Remarks on The Conferral by States of Power on International Organization". Artikel ditemukan dalam laman http://centers.law.nyu.edu-/jeanmonnet/archive/papers/03/030401.pdf diakses pada 25 September 2015 pukul 14.00
Ibid
Ibid
Ibid, hal 7
The Problem with Sovereignty : The Modern State's Collison with IO and NGO-Driven Cosmopolitanism, The International Relations and Security Network (ISN ETH Zurich), 4 januari 2012
Sumaryo Suryokusumo, op.cit hal 112
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam hubungan internasional, setiap negara pasti akan saling berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dipenuhi oleh negara tersebut. Oleh karena itu, setiap negara perlu mengadakan kerjasama dengan negara lain agar kepentingan-kepentingan tersebut dapat terpenuhi. Kerjasama antar negara yang telah melembaga lazimnya dikenal sebagai Organisasi Internasional.
Dalam membentuk suatu organisasi internasional, negara-negara yang tergabung dalam organisasi internasional tersebut berusaha untuk mencapai tujuan serta kesepakatan yang telah menjadi masalah dan kepentingan bersama dimana kepentingan tersebut menyangkut kepentingan banyak negara. Organisasi-organisasi internasional yang terbentuk mempunyai banyak kesamaan karena hal tersebut dipengaruhi oleh adanya faktor politik dalam hubungan internasional. Selain itu, isu-isu hubungan internasional yang terjadi sejalan dengan tujuan dibentuknya organisasi internasional tersebut. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa negaralah yang menjadi anggota organisasi internasional itu sendiri.
Artinya, negara-negara berhak untuk memilih serta menentukan apakah negara tersebut ikut bergabung dalam organisasi internasional atau tidak. Tidak ada yang dapat memaksakan kehendak kepada negara untuk ikut bergabung Hal ini dikarenakan setiap negara mempunyai kedaulatan.
Dengan adanya kedaulatan, setiap negara mempunyai kekuasaan dan hak penuh dalam mengatur kehidupan warga negaranya tanpa adanya intervensi dari negara lain. Akan tetapi, seiring dengannya perkembangan dunia, peran negara semakin tergeser dan tergantikan oleh organisasi internasioal dimana seperti yang kita ketahui bahwa keanggotaan organisasi internasional bersifat secara sukarela. Namun, pada kenyataannya keberadaan organisasi internasional dan negara anggota yang bergabung tidak selamanya dilakukan secara sukarela. Hal ini disebabkan oleh adanya paksaan untuk tunduk dan patuh terhadap organisasi internasional yang dibentuk atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic constrain. Disinilah kedaulatan negara berfungsi untuk melindungi hak-hak negara agar kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh organisasi internasional. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa negara lebih powerfull daripada organisasi internasional karena negara mempunyai kedaulatan sedangkan organisasi internasional tidak mempunyai kedaulatan.
Rumusan Masalah
Apakah pengertian doktrin kedaulatan dalam organisasi internasional?
Bagaimanakah pentingnya kedaulatan negara dalam organisasi internasional?
Bagaimanakah doktrin kedaulatan dalam organisasi internasional?
Bagaimanakah kaitan antara kedaulatan dan globalisasi serta pandangan tradisi realisme, universalisme, internasionalisme dalam organisasi internasional?
Bagaimanakah hubungan antara kedaulatan dengan organisasi internasional dalam memformulasikan kepentingan nasional?
Bagaimanakah upaya organisasi internasional dalam mengharmonisasikan kedaulatan dalam pencapaian kesepakatan bersama?
Tujuan Penulisan
Mengetahui apakah pengertian doktrin kedaulatan dalam organisasi internasional
Mengetahui pentingnya kedaulatan negara dalam organisasi internasional
Mengetahui doktrin kedaulatan dalam organisasi internasional
Mengetahui kaitan antara kedaulatan dan globalisasi serta tradisi realisme, universalisme, internasionalisme dalam organisasi internasional
Mengetahui hubungan antara kedaulatan dengan organisasi internasional dalam memformulasikan kepentingan nasional
Mengetahui upaya organisasi internasional mengharmonisasikan kedaulatan dalam pencapaian kesepakatan bersama
BAB II
PEMBAHASAN
1.2.1 Pengertian Doktrin Kedaulatan dalam Organisasi Internasional
Menurut sejarah, kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus yang berarti teratas. Negara dikatan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.
Menurut Jean Bodin, kedaulatan negara diartikan sebagai kekuatan yuridis formal yang mutlak dan tertinggi berada diatas hukum. Dengan adanya pengertian tesebut, maka memang benar adanya jika negara-negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara itu sendiri.
Namun pengertian dari kedaulatan negara ini sendiri berubah dari waktu ke waktu. Pada sekitar abad 17 dan 18 kedaulatan bukanlah dimiliki oleh negara, namun oleh para putra mahkota pemimpin kerajaan. Memasuki abad 19 dan 20 pengertian kedaulatan tidak lagi dimiliki oleh putra mahkota kerajaan namun telah menjadi milik rakyat, sehingga rakyat dianggap memiliki kekuasaan tertinggi.
Doktrin kedaulatan negara kemudian mempertanyakan bahwa apakah tindakan dari negara berdaulat dimana tidak ada kekuasaan lain diatasnya dapat diuji oleh hakim dari negara lain? Prinsip act of state doctrine klasik menjawab bahwa negara tidak dapat mengintervensi urusan negara lain. Artinya negara harus menghormati kedaulatan dari negara tersebut dengan tidak ikut campur dalam masalah yang terjadi di dalam teritori negara itu sendiri.
Dalam hal ini, dari beberapa pengertian mengenai doktrin kedaulatan negara dalam organisasi internasional dapat dimengerti bahwa negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur kehidupan negaranya sehingga tidak ada negara manapun yang dapat mengintervensi urusan dalam negara lain. Oleh karena itu, setiap negara harus menghormati dan menghargai tiap-tiap kedaulatan yang dimiliki negara lain.
1.2.2 Pentingnya Kedaulatan Negara dalam Organisasi Internasional
Pada dasarnya kedaulatan negara menjadi penting karena negara merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam proses pengambilan kebijakan, yang dalam hal ini berarti pula bahwa negara dalam proses pemberlakuan hukum internasional menjadi hukum domestik ataupun keputusan negara untuk terikat dengan hukum internasional bergantung kepada kepentingan nasional dari negara tersebut. Negara merasa perlu untuk mengikuti aturan internasional ataupun organisasi internasional selama hal tersebut dianggap memberi manfaat terhadap national interest negara tersebut, begitu pula sebaliknya negara bebas meninggalkan atau mengacuhkan aturan internasional apabila hal itu bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Hal yang demikian dapat dilakukan atas dasar kehendak negara untuk membuat keputusan, dimana negara akan cenderung lebih mementingkan kepentingan nasionalnya terlebih dahulu dibanding kepentingan internasional.
Kedaulatan negara menjadi semakin penting mengingat bahwa dengan adanya kedaulatan, negara dapat bertindak sesuai kehendaknya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Amerika Serikat dapat dijadikan contoh real bagaimana suatu negara bisa memilih untuk tidak mengikuti aturan hukum dalam organisasi internasional dengan alasan kehendak negara menjadi otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Amerika Serikat seringkali tidak menjalankan peraturan yang telah ditetapkan oleh PBB bahkan menentangnya, seperti contohnya saja yaitu hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (self defence). Secara tekstual pasal 51 piagam PBB memberikan hak pada Negara secara individual ataupun kolektif untuk melakukan pertahanan diri sendiri (self defence) jika terjadi serangan militer terhadap anggota PBB. Namun jika belum ada serangan militer negara tidak diberikan hak untuk melakukan self defence, hal ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat, karena faktanya negara adidaya ini telah memanfaatkan instrument hukum dalam PBB dalam memperoleh kepentingan nasionalnya. Amerika menafsirkan self defence dalam piagam PBB sebagai pre emtive self defense yang berarti penggunaan kekuatan senjata digunakan bukan untuk menangkal serangan musuh melainkan suatu tindakan militer terhadap pihak yang berpotensi menjadi lawan mendahului serangan yang diperkirakan akan terjadi.
Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa negara memang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi sehingga negara dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendak negara tersebut karena pada dasarnya setiap negara diperbolehkan mengikuti atau tidak mengikuti setiap hukum dalam organisasi internasional yang berlaku atas dasar kedaulatan negara merupakan hal tertinggi yang harus dijunjung dan dipertahankan eksistensinya.
1.2.3 Doktrin Kedaulatan dalam Organisasi Internasional
Kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak dan berada diatas hukum, kedaulatan juga merupakan kekuasaan absolut atas suatu wilayah tertentu dimana kekuasaan absolut inilah yang menjadi dasar pembentukan negara dan pemahaman inilah yang menjadi acuan dalam mengamati dan mengevaluasi kedudukan negara dalam konteks hubungan internasional yang selalu mengalami perkembangan. Dalam pelaksanaan hubungan internasional, pengakuan terhadap kedaulatan dan kesederajatan negara-negara yang saling berhubungan juga merupakan salah satu dasar bagi pelaksanaannya yang didasarkan pada hukum internasional. Dalam konteks organisasi internasional sendiri kedaulatan negara menjadi suatu hal yang mulai diperdebatkan. Apakah benar setiap negara dalam organisasi Internasional memiliki dan menerapkan kedaulatan negaranya seutuhnya? Dalam beberapa organisasi internasional seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) negara-negara maju atau yang memiliki "power" lebih besar seperti USA memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai kepentingan nasional mereka dibanding negara-negara berkembang yang juga merupakan anggota organisasi internasional tersebut.
Kedaulatan negara ketika menjadi anggota sebuah organisasi internasional otomatis akan mengalami suatu pengurangan, dimana negara harus melaksanakan peraturan tersebut walaupun negara tersebut tidak secara ikhlas melaksanakannya. Lalu apakah ini berarti bahwa negara memiliki posisi yang lebih rendah daripada organisasi internasional, padahal jika kita meninjau pengertian sistem anarki dimana tidak ada kekuasaan tertinggi diatas negara maka sesungguhnya negara tidak perlu mematuhi perintah yang ada di dalam organisasi internasional. Namun, Jika dilihat dari sisi realis, terdapat pandangan bahwa "negara memiliki kekuasaan tertinggi dalam negeri dan saling ketergantungan internasional" maka sesungguhnya organisasi internasional tidak dapat mengintervensi kepentingan domestik suatu negara, namun dalam beberapa kasus yang terjadi seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) sebagai organisasi "Atoms for Peace" dunia pada 1957 yang juga merupakan salah satu organisasi dari PBB. Keberadaannya mempengaruhi kebijakan domestik negara anggotanya untuk tidak mengembangkan senjata nuklir.
Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut Dan Sarooshi menjelaskan bahwa cara utama negara mengkonversikan kedaulatannya dalam organisasi internasional adalah dengan membentuk dan menyepakati sebuah perjanjian internasional, dimana pihak-pihak yang bersangkutan membuat peraturan-peraturan terkait hubungan mereka dalam organisasi internasional untuk mengkonversikan kekuatan mereka dalam organisasi. Dengan cara ini maka power negara dapat terkonversikan ke dalam organisasi internasional sehingga terciptalah hubungan yang saling berkaitan antara negara dan organisasi internasional, dimana kedaulatan negara tetap menjadi yang tertinggi karena tanpa adanya power dari negara organisasi internasional tidak dapat mengatur negara-negara anggotanya, dan tanpa adanya organisasi internasional sebagai wadah untuk menyalurkan kepentingan nasional suatu negara dalam dunia internasional negara harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk tercapainya hal tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya doktrin kedaulatan negara dalam organisasi internasional dimana tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatas negara, negara tidak dapat mengintervensi urusan negara lain.
1.2.4 Kaitan Kedaulatan dan Globalisasi serta Pandangan Tradisi Realisme, Universalisme dan Internasionalisme dalam Organisasi Internasional
Kedaulatan dalam organisasi internasional adalah hal yang sangat penting mengingat dengan adanya kedaulatan, negara merupakan pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengatur kehidupan warga negaranya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks, negara tidak lagi dapat memainkan perannya dengan baik. Salah satu hal yang membuat negara tidak lagi dapat memainkan perannya dengan baik adalah adanya globalisasi yang membatasi kedaulatan suatu negara.
Kedaulatan itu sendiri juga melihat kondisi politik dunia sebagai ajang perebutan kekuasaan oleh negara-negara berdaulat. Dari pernyataan tersebut, muncul pertanyaan "Is globalization undermining the sovereign state system? If so, what role do IOs play in the process?"
Dengan adanya globalisasi, banyak perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam bidang teknologi, komunikasi, maupun ekonomi yang membuat negara-negara saling bergantung satu sama lain. Dengan kata lain, peran negara dalam membuat kebijakan semakin dibatasi oleh pilihan kebijakan-kebijakan negara lain. Selain itu, globalisasi juga memperlemah dan menggeser peran negara sehingga peran negara tergantikan oleh aktor-aktor baru yaitu organisasi internasional.
Sebagai contoh, negara-negara yang bergabung dalam World Trade Organization (WTO). Negara-negara bergabung dalam WTO bukan karena keinginan mereka pribadi tetapi mereka bergabung karena adanya kepentingan-kepentingan tersendiri yang ingin mereka capai. Tidak hanya itu, negara bergabung dalam WTO karena adanya "ketakutan" jika mereka tidak bergabung ke dalam organisasi internasional tersebut. Hal ini dikarenakan karena perasaan takut untuk diabaikan dalam masyarakat internasional dan transnasional corporations (TNs).
Dalam hal ini, Hedley Bull dalam artikel The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics melihat ada tiga tradisi dalam organisasi internasional. Ketiga tradisi tersebut dikenal dengan tradisi realisme, internasionalisme, dan universalisme. Tradisi realisme memandang negara berada dalam kondisi anarki dimana untuk bertahan dalam kondisi anarki, negara membutuhkan power untuk bertahan.
Realisme juga mamandang peranan organisasi internasional secara skeptis. Karena, realisme percaya bahwa negara adalah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Tidak ada aktor lain yang dapat menggantikan posisi dan peranan negara. Negara disebut sebagai satu-satunya aktor karena memiliki power yang paling kuat. Seperti contoh, negara dapat mengendalikan kekuatan militer, memiliki kemampuan untuk menarik pajak yang tidak dapat dilakukan oleh lembaga lain, memiliki kekuatan untuk menegakkan aturan dan merupakan penerbit mata uang dunia.
Berbeda dengan realisme, tradisi internasionalisme memandang negara dengan masyarakat domestik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat domestik diatur oleh negara dan masyarakat domestik hidup dibawah aturan negara. Tradisi internasionalisme tetap memandang negara sebagai aktor internasional tetapi, internasionalisme tidak meragukan keberadaan organisasi internasional. Hal ini dikarenakan organisasi internasional juga mengatur hubungan antar negara. Internasionalisme melihat bahwa organisasi internasional dianggap ada keberadaannya tergantung apa apakah organisasi internasional tersebut membuat aturan ataukah hanya sekedar mengawasi aturan yang ditetapkan oleh perjanjian antar negara.
Universalisme melihat suatu negara sebagai norma-norma yang memaksa. Dalam tradisi ini, organisasi internasional dianggap lebih penting karena organisasi internasional merupakan bagian dari pengganti negara dan bukan hanya sekedar mediator antar negara-negara. Sebagai contoh, keberadaan dan kebijakan organisasi internasional dalam bidang perdagangan World Trade Organization (WTO). Ditinjau dari tradisi realisme, negara yang mempunyai power lebih kuat akan lebih mudah mencapai kepentingannya dari pada negara dengan power yang lemah. Sedangkan menurut tradisi internasionalisme, setiap negara melakukan kerjasama untuk mencapai kepentingannya masing-masing dengan cara mentaati serta mematuhi aturan yang diberlakukan di WTO. Dari segi universalisme dapat dilihat bahwa WTO dipandang sebagai pengganti negara dalam menyelesaikan isu-isu perdagangan internasional.
Contoh lain dari ketiga tradisi ini adalah seperti adanya penyelenggaraan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dilihat dari tradisi realisme, negara yang lebih siap dalam menghadapi MEA adalah negara yang akan lebih diuntungkan daripada negara yang tidak siap menghadapi MEA. Dari segi tradisi internasionalisme, aturan main berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap anggota MEA. Dan dilihat dari segi universalisme, Asean menjadi pengganti negara dalam membuat kebijakan.
1.2.5 Hubungan antara Kedaulatan dengan Organisasi Internasional dalam Memformulasikan Kepentingan Nasional dan Upaya dalam Mencapai Kesepakatan Bersama
Seperti yang telah dijelaskan pada rumusan-rumusan sebelumnya bahwa seiring dengan berkembangnya zaman, objek kajian Hubungan Internasional (HI) juga semakin berkembang. Semakin berkembangnya objek kajian dalam HI, diiringi pula dengan bertambahnya jumlah organisasi internasional yang muncul. Contohnya adalah United Nation (UN) atau yang lebih dikenal dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan sebagai organisasi internasional dengan tujuan memelihara perdamaian dunia, hingga organisasi Internasional Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang menangani isu-isu ekonomi.
Semakin banyaknya organisasi internasional yang ada, peran kedaulatan negara semakin terkikis dan tergantikan oleh adanya organisasi internasional. Organisasi internasional menjadi semakin mengintervensi peran kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan. Padahal, negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.
Hal yang perlu ditekankan adalah negara berhak untuk memutuskan apakah negara tersebut akan ikut bergabung ke dalam organisasi internasional atau tidak karena negara mempunyai kedaulatan untuk memutuskan hal tersebut. Dalam hal ini, organisasi internasional sebenarnya juga tidak berhak memaksa negara untuk tunduk dan patuh terhadap organisasi internasional karena organisasi internasional tidak mempunyai kedaulatan dan power yang kuat seperti negara. Selain itu, adanya sistem hukum internasional yang anarki dimana tidak ada otoritas politik dan institusi penegak hukum semakin memperkuat pernyataan bahwa organisasi internsional tidak dapat memaksa negara untuk tunduk dan patuh terhadapnya.
Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan kembali muncul tentang bagaimanakah posisi organisasi internasional dalam kaitannya dengan hubungan internasional serta kedudukan organisasi internasional terhadap kedaulatan negara?
Kebijakan yang dibuat oleh sebuah organisasi internasional mampu memberikan pengaruh terhadap formulasi kebijakan sebuah negara berdaulat dengan syarat negara berdaulat tersebut telah memberikan organisasi internasional untuk memberikan regulasi sebagian kecil sendi kehidupan negara. Kerelaan negara untuk memberikan otoritasnya kepada organisasi internasional dapat tercemin dari keputusan negara untuk menjadi anggota dari organisasi internasional.
Oleh karenanya, upaya yang seharusnya dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama antara negara dan organisasi internasional adalah dengan menandatangani perjanjian dimana dalam perjanjian tersebut terdapat pasal-pasal yang harus dipatuhi semua negara sebagai anggota dari organisasi internasional.
Organisasi internasional yang dibentuk melalui perjanjian, negara-negara anggotanya harus berusaha untuk mencapai tujuan bersama dalam berbagai aspek kehidupan internasional bukan untuk mencapai tujuan masing-masing negara ataupun tujuan dimana hal tersebut tidak dapat menjadi kesepakatan bersama. Maka dari itu, untuk dapat mencapai tujuan bersama yang diinginkan, organisasi internasional harus mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang beratasnamakan kepentingan semua negara anggota.
Hal yang harus digarisbawahi disini adalah pembentukan perjanjian antara negara dan organisasi internasional dibentuk sebagai suatu upaya bersama agar negara dapat terlindungi kedaulatannya dan organisasi internasional juga dapat mengadakan kegiatannya sesuai dengan persetujuan bersama negara-negara anggota.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yang dipegang negara untuk mengatur kehidupan warga negaranya. Dengan adanya kedaulatan, negara mempunyai power yang kuat untuk memberikan regulasi terhadap negaranya tanpa ada intevensi dari negara lain.
Namun seiring dengan kompleksnya isu-isu yang berkembang dalam hubungan internasional, muncul aktor-aktor baru yang perannya dapat memperlemah kedaulatan negara. Aktor-aktor baru tersebut adalah organisasi internasional seperti United Nation (UN) atau yang lebih dikenal dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencetuskan organisasi internasional bertujuan untuk membina perdamaian dunia. Selain itu juga ada organisasi internasional yang bergerak dalam bidang ekonomi seperti World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF).
Dalam hal ini, seharusnya negara mempunyai kedaulatan untuk bergabung ataupun tidak bergabung dalam organisasi internasional karena sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak ada pihak manapun yang boleh memaksaan kehendak kepada negara. Namun, keberadaan organisasi internasional sebenarnya juga dibutuhkan oleh negara untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai oleh negara itu sendiri.
Oleh karena itu, upaya untuk mengharmonisasikan kedaulatan negara dan organisasi internasional agar tercapai kesepakatan bersama adalah dengan membuat perjanjian internasional dimana pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut membuat peraturan berupa pasal-pasal yang isinya harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya perjanjian yang terlah disepakati tersebut, kedaulatan negara akan berjalan sebagaimana mestinya dan organisasi internasional akan dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh negara anggota.
DAFTAR PUSTAKA
Barkin, J. Samuel. International Organization : Theories and Institutions. New York : Palgrave MacMillan, 2006
Dunne, Tim, dkk. Realism. New York : Oxford University Press, 2005
Hata. Hukum Internasional. Malang Press, 2012
Kusumaatmadja, Mochtar, dkk. Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Penerbit P.T. Alumni edisi kedua cetakan keempat, 2013
Sarooshi, Dan. Some Preliminary Remarks on The Conferral by States of Power on International Organization. Jean Monnet Working Paper 4/03
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI Press, cetakan pertama, 1990
Triwahyuni, Dewi. Doktrin Kedaulatan Negara dalam Pelaksanaan Kerjasama Internasional. Jurnal Hubungan Internasional, Vol.14, No.4
The Problem with Sovereignty : The Modern State's Collison with IO and NGO-Driven Cosmopolitanism. The International Relations and Security Network, 2012