DASAR HUKUM TENTANG PENGAKUAN AGAMA DI INDONESIA Secara formal, tidak ada undang-undang yang secara khusus mengakui satu atau lebih agama di Indonesia, satu-satunya undang-undang yang menyebut keberadaan adanya agama–agama adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU 1/PNPS/1965”). Dalam Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 disebutkan bahwa terdapat enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, atau Taoism dilarang di Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan(“UU Adminduk”) khususnya Pasal 64 ayat (1) juga tidak melarang agama–agama lain selain yang secara faktual dan sosiologis dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Namun, dalam ketentuan Pasal 64 ayat (2) UU Adminduk dinyatakan bahwa: “Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.” Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (2) UU Adminduk, maka Kepercayaan Sunda Wiwitan dan lainnya tidak dapat diisi dalam kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP).
Artikel Pendukung Dalam UU Adminduk yang disetujui paripurna DPR-RI pada Selasa (26/11/2013) disebutkan, setiap warga harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui Pemerintah, menurut Kementerian Agama adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Zubaidi mengakui, di luar keenam agama tersebut,di Indonesia masih ada agama-agama lain. Tetapi ia menegaskan, bukan berarti lantas penganut agama diluar enam agama itu diperlakukan secara diskiriminatif. “Tidak ada perlakukan seperti itu, mereka tetap bebas dapat menjalankan ibadahnya,” tegasnya.
Bisa Jalankan Ibadah Hanya saja, lanjut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag itu, pelayanan Pemerintah terhadap penganut di luar agama yang sudah diakui itu tentu tidak bisa disamakan dengan agama yang pemeluknya lebih besar. Namun, mereka tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan baik, sebagaimana pemeluk agama Konghuchu, meski tidak sebanyak umat Islam atau pun Kristen, mereka tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan baik. Diakui Zubaidi, di Kementerian Agama hingga saat ini tidak ada Dirjen Konghuchu. Namun untuk melayani umat terhadap agama yang penganutnya besar, seperti Islam ada Dirjen Pendidikan Islam (Pendis), Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam. Demikian juga untuk Hindu, ada Bimas Hindu, seterusnya Bimas Buddha dan Kristen. Kenapa? Alasannya, karena belum cukup efisien jika punya Dirjen Konghuchu. Tapi, untuk pelayanan tetap ada. “Yang penting soal pelayanan. Tidak ada diskriminasi soal ini,” tegas Zubaidi. Terkait dengan pencantuman agama sebagai identitas dalam KTP, Zubaidi menyatakan, dari dulu hingga kini harus disikapi hati-hati. Agama adalah wilayah sensitif, namun patut disyukuri bahwa dengan adanya UU Adminduk akan memberikan kepastian hukum dan kejelasan jati diri seseorang. Semua perjalanan hidup seseorang tercatat mulai lahir hingga meninggal. Hal itu erat kaitannya juga dengan kepentingan seseorang ketika menikah, tentu dilakukan dengan tuntutan agama apa. Ketersediaan buku nikah. Juga, pada hal lain seperti pembuatan akte kelahiran, pembuatan paspor dan urusan dokumen lainnya.*
Sumber: http://hidayatullah.com