A. Charles Jencks pada Postmodern Architecture
(Dari Jencks, Post-Moder Jencks, Post-Modernism: nism: The New New Clasisism Clasisism di Art dan dan Architecture) Jencks berpendapat bahwa arsitektur postmodern "bertentangan dengan aturan klasik yang merupakan gagasan yang lebih tua dalam dalam hal pemahaman yang relatif dibandingkan sesuatu yang absolut, respons terhadap dunia fragmentasi, pluralisme dan inflasi dibandingkan sebuah formula yang diterapkan tanpa pandang bulu." (1987: 330) 1. D i sharmoni (ketidakselarasan yang harmonis) sharmonious ous har har mony (ketidakselarasan Konvensi (protokol) baru yang paling jelas adalah menyangkut keindahan dan komposisi. Dibandingkan harmoni seperti era Renaissance dan integrase pada era Modern, pada PostModern terdapat ketidakselarasan yang harmonis. Dalam masyarakat baru yang pluralis, sebuah unity yang unity yang disederhanakan merupakan satu diantara dua hal; palsu atau tidak menantang. Penjajaran Penjajar an selera dan pandangan dunia yang saling salin g kontras satu sama lain lebih terasa nyata dibandingkan apa yang Modernisme mungkinkan/izinkan. Nilai-nilai klasik berasal dari keyakinan bahwa alam semesta adalah pada keadaan yang statis dan hamonis. Bentuk post-modern telah mencerminkan alam semesta yang dinamis dan harmonis.
2. Pluralism Pluralisme dalam arsitektur adalah radikal eclecticism — pencampuran pencampuran beberapa bahasa seni untuk menarik berbagai budaya yang berbeda dengan fungsi yang beragam. Karakter dasar postmodernism adalah keragaman gaya, penonjolan perbedaan, keunikan dan heterogenitas. Berbagai Bahasa seni dan arsitektur dicampur untuk spesifikasi fungsi dan maksud yang simbolik. Ambiguitas sering diangkat untuk membebaskan pemaknaan oleh khalayak luas.
3. Ur U r bane bane urba ur bani nism sm Arsitek postmodern mencoba untuk mencapai urbane urbanisme. Bangunan baru harus masuk ke dalam dan memperluas konteks urban; menggunakan kembali jalan, arcade dan piazza, namun disaat yang sama juga mengakui teknologi baru dan sarana transportasi. 4. Anthrop Anthropo ormo rmophism Banyak arsitek postmodern menggabungkan ornamen dan cetakan sugestif dari tubuh manusia.
5. Anam Anamnesis nesis Anamnesis adalah kelangsungan sejarah dan hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam arsitektur post-modern ada parodi, nostalgia, dan bunga rampai. Contohnya adalah elemenelemen pada bangunan post-modern yang dapat menimbulkan kenangan masa lalu 6. D i ver ver gent gent signi si gnifi fica catti on
Ada semacam kembali ke lukisan di post-modernisme, meskipun kembali yang tidak hanya meniru pencarian modernis untuk formulir. Ada kembali kekonten.Tidak ada perasaan bahwa kita sedang mencari bentuk murni "spiritual", melainkan kita bermain dengan gambar masa lalu, tanpa narasi dari masa lalu. 7. Double coding Post-modernisme menggunakan double-coding, ironi, ambiguitas, dan kontradiksi. Double coding merupakan satu bangunan yang berbicara dalam logat lokal, tetapi juga membuat komentar ironis atas bahasanya sendiri. Double Coding menciptakan kode- kode yang dapat “dibaca” lebih dari satu cara. Dalam hal ini double coding dipandang sebagai metode komunikasi terhadap berbagai komunitas masyarakat. Double Coding secara teknis berarti mencampur dua unsur arsitektur yang berbeda. Singkatnya, gabungan dari beberapa aliran yang masih mencerminkan arsitektur setempat,resistensi modern. 8. Multivalence Multivalence secara harfiah berarti memiliki bermacam nilai. Nilai tersebut daapat berupa bentuk, fungsi dan estetika bangunan. Hal ini berkebalikan dengan Modernism yang berfokus pada nilai fungsional dengan mengesampingkan estetika. Multvalence adalah ketika beberapa prinsip diterapkan secara bersamaan, mereka menghasilkan kualitas yang lain dan berbeda. Sebuah karya atau bangunan univalen mencoba untuk merujuk atau berfokus hanya pada dirinya sendiri. Sedangkan sebuah bangunan multivalen menjangkau ke seluruh lingkungan dan membuat asosiasi yang berbeda. Hal ini memastikan bahwa pekerjaan akan memiliki beberapa resonansi dan pemaknaan yang berbeda terhadap setiap asosiasinya. 9. Tradition reinterpretation Multivalence melibatkan perpindahan dari konvensi dan reinterpretasi tradisi. Bentuk-bentuk klasik dapat dirombak menjadi sesuatu yang baru dan mungkin terlihat aneh dan asing pada awalnya tetapi akan masuk akal setelah memahami referensi budayanya. Post-modern menggunakan elemenelemen dari masa lalu dan menanamkannya pada desain sebagai katalis untuk inovasi yang baru.
10. Return to the absent center Ini menunjukkan post-modern yang memiliki permulaan, tetapi tidak punya arah tujuan yang jelas. Post-modern memiliki naratif yang sederhana.
B.
Semiotika Arsitektur Post-Modern
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006). Jencks melihat bahwa tanda arsitektur seperti tanda-tanda yang lain adalah satu entitas yang memiliki dua wajah, yaitu memiliki ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Penanda adalah bangunan itu sendiri, dan petanda adalah isi dari bentuk (Tanujaya, 1998: 6). Penanda biasanya termanifestasi dalam sebuah bentuk, ruang, permukaan, volume. Sementara petanda dapat berupa satu ide atau sekumpulan gagasan. Hubungan antara penanda dan petanda itulah yang menurut Jencks, memunculkan, signifikansi arsitektural (Jencks, 1980: 74). Arsitektur adalah penggunaan penanda formal (material dan pembatas) untuk mengartikulasikan petanda (cara hidup, nilai, fungsi) dengan menggunakan cara tertentu (struktural, ekonomis, teknis, mekanis). (Jencks, 1980: 75 ). Barthes menjelaskan bahwa ada relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda. Rumah mengandung makna denotasi sebagai tempat berteduh. Konotasi menjadi sebuah interpretan yang dipengaruhi oleh subyektif dari penafsir dan obyek. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dalam nilai-nilai kultural. Rumah mengandung konotasi sebagai sebuah bangunan, gaya hidup, alamat, identitas, kepribadian,struktur, dan sejarah.