S
elama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari
kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat Iedul fitrinya. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184 surat al-Baqarah al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama kemudian, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula, tepatnya 2 hari menjelang Iedul fitri di tahun itu, mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin. (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh at-Tirmidzi, at-Tirmidzi , III:278; Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, Al-Maraam, III:371) Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha, Al-Muwatha, I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, Al-Kubra, II:25, No. 2282, Al-Hakim, AlAl-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain , I:569, No. hadis 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Al-Kubra, IV:161, No. hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, Khuzaimah, IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Hibban, VIII: 94, No. hadis 3301) Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari (Shahih (Shahih Al-Bukhari, Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1433), Ahmad (Musnad (Musnad Ahmad, Ahmad, II:137, No. hadis 6214), Abu Dawud (Sunan ( Sunan Abu Dawud, Dawud, II:112, No. hadis 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan (Sunan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi, III:61, No. hadis 676) dengan sedikit perbedaan redaksi. Zakat ini dinamakan zakat fitri, zakat Ramadhan, atau zakat Shaum. Meskipun begitu, yang lebih popular di masyarakat kita sebutan zakat fitrah.
1
Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri A.Pengertian Zakat Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Kata itu mengacu pada kesucian diri yang diperoleh setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai harta kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri. Sedangkan secara istilah para ulama fikih telah menjelaskan pengertian zakat sebagai berikut:
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya”. Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah Swt.:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.s. AtTaubah: 103 Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka. B. Pengertian Fitrah atau Fitri Meski di dalam hadis-hadis Nabi Saw. penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah zakat fitri, namun terkadang digunakan pula istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini yang lebih populer di kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.
2
(a) Zakat Fitrah Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14 di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" Q.s. Al- A’raf: 172 Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi saw. bersabda:
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:465, No. hadis 1319) Berdasarkan pemaknaan kata Fitrah di atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini disebut zakat fitrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badannya dan kefitrahan pada jasadnya. (Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh AlMaraam, juz 4, hlm. 135)
3
(b) Zakat Fitri Kata fitr makna asalnya adalah robek atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara Naabul Ba’iir , artinya terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam firman Allah Swt.
“Apabila langit terbelah.” ( QS. Al-Infithar : 1 ) Berdasarkan pemaknaan kata Fitri di atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat fitri karena seakan-akan orang yang shaum “merobek atau membelah” masa shaumnya dengan makan. Dengan demikian, zakat ini disebut zakat fitri karena yang menjadi sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum pada bulan Ramadhan, penisbatan zakat kepada kata fitri merupakan bentuk penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab). (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam , III:371) Ketentuan Zakat Fitrah Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain menyebut istilah, Nabi saw. pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut: Pertama, Muzakki Zakat Fitrah/yang terkena kewajiban Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya. Di dalam hadis diterangkan: :
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk
4
ditunaikan sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. (HR. Al-Bukhari, Shahih AlBukhari, II:547, No. hadis 1432) Dalam riwayat lain diterangkan oleh Al-Hasan Al-Bishri:
“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang-orang pada akhir bulan Ramadhan, lalu ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-Thawil) berkata, ‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya.’ Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah, ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak, orang merdeka, laki-laki dan wanita pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha' kurma. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadis 3291) Pada riwayat yang lain dengan redaksi:
Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitri atas anak kecil dan orang dewasa, yang merdeka dan hamba sahaya, lelaki dan perempuan, sebanyak setengah Sha' gandum atau satu Sha' kurma atau sya'ir (jenis gandum)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, III:190, No. hadis 1580, V:52, No. hadis 2515, As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2292; Ad-Daraquthni, Sunan AdDaraquthni, II:152, No. hadis 65) Kata Ash-Shagiir (anak kecil) mencakup di dalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan. Sehubungan dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi anak kecil, orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah
“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432, No. 10.737)
5
Demikian pula dengan para sahabat lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Abu Qilabah.
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan. (HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf , III:319, No. hadis 5788) Kedua, Besaran minimal yang diwajibkan Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’), sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432) Perlu diketahui bahwa Shaa’ itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, seperti halnya liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg, karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya. Adapun shaa' yang dimaksud di dalam hadis di atas ialah shaa' nabawi, yaitu shaa' yang berlaku di zaman Nabi saw. Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan sama. Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat jenis, maka hasilnya dapat beragam. Dalam konteks inilah kita dapat memahami apabila para ulama berbeda pendapat tentang ukuran satu shaa’ sebagai berikut: Menurut satu pendapat, satu shaa' nabawi sebanding dengan 480 mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul Mumti' , VI:176)
6
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam, satu shaa' nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram, III:178) Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (Lihat, At-Tafsirul Muniir , juz 2, hlm. 141). Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu shaa’ berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg). Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masingmasing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya. Karena itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang ratarata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita. Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah (satuan harga) maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu. Ketiga, apakah makanan pokok menjadi syarat sah zakat fitrah? Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan). Adapun hadis-hadis itu sebagai berikut:
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. (HR. Al-Bukhari, Shahih AlBukhari, II:548, No. hadis 1439)
7
Dari hadis-hadis di atas kita dapat mengetahui bahwa bahwa Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum. Apabila hadis-hadis diatas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata Tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan terperinci) pada hadis-hadis di atas. Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu , maka zakat fitrah dengan beras atau jagung pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang). Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum? Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi muzakki (wajib zakat) dan mustahiq (penerima zakat) di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: Pertama, dari sisi Muzakki Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut: :
:
:
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. ketika mewajibkan zakat fitrah, beliau bersabda, ‘Satu sha' kurma, atau satu shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu Umar Ra. bila berzakat tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun ketika kurmanya rusak ia mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti kurma.” HR. Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440)
8
Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibnu Umar Ra. dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma kecuali satu kali, ia mengeluarkan gandum.” HR. Malik, Al-Muwatha :222, No. 778)
“Ibnu Umar Ra. bila berzakat dia memberikannya dengan kur ma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu Umar mengeluarkan gandum.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:549, No. 1440; As-Sunan al-Kubra, IV:160, No. 7467) Dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan redaksi:
“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma pada suatu tahun, kemudian ia memberikan gandum.” (Lihat, Sunan Abu Dawud, II:113, No. 1615; As-Sunan al-Kubra, IV:164, No. 7468) Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam al-Baji berkata: ,
,
,
“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluar kan yang lain selain kurma,’ karena kurma adalah makanan pokoknya dan makan pokok penduduk Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa zakat fitri itu tidak memadai dengan yang lain selain kurma, dan ia membatasi zakat fitri hanya pada kurma. Dan dapat dimaknai pula bahwa, ia mengeluarkan kurma—padahal gandum pun berkedudukan sebagai makanan pokoknya—karena ia berpendapat bahwa kurma lebih utama daripada gandum, meskipun dengan gandum memadai pula. Sungguh Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk dikeluarkan di Madinah.’ Dan aspek pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok mereka yang lebih utama, karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan 9
gandum. Adapun makanan pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.” (Lihat, alMuntaqa Syarh al-Muwatha, II:45) Dari sini dapat diambil kesimpulan, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar, bahwa mereka (para sahabat) dalam berzakat fitri mengeluarkan jenis makanan pokok yang paling utama, dan kurma lebih utama daripada yang lainnya. (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III:376) Pertimbangan bahwa kedua jenis makanan: kurma dan gandum, pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum lebih diperkuat dengan sejumlah data faktual yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang “ditetapkan” oleh Nabi saw. Ibnu Umar menjelaskan:
"Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan AlKubra, II:28, No. hadis 2295) Abu Said al-Khudriy menjelaskan:
“Kami mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439) Dalam redaksi lain
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa' kurma, s atu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. AnNasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2518) Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
10
“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439) Sehubungan dengan itu, meskipun Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum, namun bila muzakki berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan aqith (keju) maka penyerahan zakat mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan: -
-
“Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan zakat fitrah atas anak kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa' kurma atau satu shaa’ syair (gandum). Dan diserahkan kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap menerimanya.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:175, No. 7528) Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:
Para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),
Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Kedua, dilihat dari sisi mustahiq Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan. Dalam hadis diterangkan:
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin .” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1) Para ulama menjelaskan:
“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan perkataan lain, thu’matan adalah makanan mudah saji dan siap santap. (Lihat Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam, II:172) 11
Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit tanshish (keterangan penjelas atau prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1 sha’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id al-Khudriyi mengatakan:
“Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitri selamanya kecuali sebesar 1 sha’.” Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi ukuran itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490) Atas dasar pertimbangan di atas, hemat kami, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat, Mushannaf Ibnu AbiuSyaibah, II:398) Keempat, Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60) Menurut Imam al-‘Aini, “Kata shadaqaat pada ayat di atas maksudnya zakat.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII:238)
12
Menurut Syekh ‘Athiyyah Muhammad Salim, pada ayat di atas menggunakan kata shadaqaat (bentuk jamak), bukan shadaqah (bentuk tunggal) karena dihubungkan kepada ragam harta yang wajib dizakati, seperti zakat ternak, uang simpanan, dan perdagangan. (Lihat, Syarh Bulugh al-Maram, II:383) Dengan demikian, karena zakat fitrah termasuk salah satu jenis dari shadaqaat di atas, maka mustahiqnya pun meliputi salah satu di antara delapan ashnaf di atas. Petunjuk Ayat Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat. A. Kriteria Ashnaf 1. Fuqara (Fakir) orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer). 2. Masakin (Miskin) orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer). 3. Amilin orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Mu'allaf a) orang kafir yang ada harapan masuk Islam b) orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah 5. Riqab orang yang memerdekakan hamba sahaya. 6. Gharimin orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya. 7. Sabilillah orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak) 8. Ibnu Sabil orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.
13
B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran Dalam mengungkap sasaran zakat di atas Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li dan fie. Huruf laam mengiringi kata
al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan huruf fie mengiringi kata
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua). Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri. Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan sematamata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian: Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu arriqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil. Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk 14
memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum. Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka? Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari, VI : 404).
Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir ......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabrani, Ibid.,)
Abu Tsawr berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana di antara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Lihat, Fiqh azZakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667).
15
Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan: ,
,
,
,
,
,
,
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.” (Lihat, Al-Mughni, V:223) Sedangkan hadis yang menyatakan:
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1) Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis (dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu. Adapun hadis yang menyatakan:
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
16
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, (Lihat, Bulugh AlMaraam Min Jam’I Adilla h Al-Ahkaam, hlm. 131; Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-
Hidaayah, IV:364) Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah Zakat fitrah adalah ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa'id Al-Khudriy berkata:
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439) Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari. Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman dari instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya). (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438) Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan AlKubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359) 17
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat
“memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66) Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fitri:
“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri” (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadis 2423) Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa (Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadis 69) Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
"Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya)". (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677) Berdasarkan
keterangan
Ibnu
Umar
diatas—dengan
berbagai
bentuk
redaksi—
maka semakin jelaslah makna yawmal fitri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat. Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
"(maksud) sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh." (Lihat, Fathul Bari, III : 439) Kemudian Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang mendahulukan zakatnya pada "hari raya fitri" di hadapan salatnya, karena Allah telah berfirman:
'Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat'." (Lihat, Fathul Bari, III : 439) Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai
18
salat 'ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami' zakat). Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu 'illah (alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadis yang menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu”. (lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993 : 144) Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah. Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
"Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II: 549, No. hadis 1440) Dalam riwayat lain dengan redaksi:
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610)
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421) 19
“Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Al-Baihaqi, AsSunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3299) Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan sebagai berikut: Riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil? Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri. (HR. Malik, AlMuwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No. 7161) Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata: :
,
:
:
,
:
,
"Aku bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, 'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).' Aku bertanya lagi, 'Kapan amil itu di bentuk?' Ia menjawab, 'Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri'." (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadis 2397) Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa "mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari raya) lil jam'i (untuk dikumpulkan) laa lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin)." (Lihat, Fathul Bari, III : 440-441) Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq, tapi kepada jami zakat sebagai 20
amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya. Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah—setelah salat subuh hingga selesai salat ied setempat—adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu. Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah saw., tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu. Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu A'lam.
21
Sumber: https://sites.google.com/site/aminsaefullahmuchtar/pedoman-zakat-fitrah-bagian-i https://sites.google.com/site/aminsaefullahmuchtar/ pedoman-zakat-fitrah-bagian-ii https://sites.google.com/site/aminsaefullahmuchtar/ pedoman-zakat-fitrah-bagian-iii https://sites.google.com/site/aminsaefullahmuchtar/pedoman-zakat-fitrah-bagian-iv-tamat
22
BIOGRAFI PENULIS
Nama
: Amin Saefullah Muchtar
TTL
: Bandung, 21 Januari 1973
Status Merital
: Menikah (1 istri dan 4 anak)
Alamat
: Jl. Maleer V, No. 220/118, Bandung
Pendidikan: 1. Sekolah Dasar tahun 1986 di Bandung 2. Tsanawiyyah (SLTP) tahun 1990 di Bandung, 3. Mu’alimin (SLTA) tahun 1993 di Bandung 4. Mu’alimin (SLTA) tahun 1994 di Garut 5. Takhasus (pendidikan spesialis) bidang hadis dan ilmu hadis tahun 1994-1996 di Pesantren Tahdzibul Washiyyah, Bandung.
Pekerjaan: 1. Konsultan Hadis & Manajemen Syariah 2. Dewan Syariah Jembar Panalar (Forum Studi & Analisa Sosial) 3. Dewan Syariah Bani Muchtar Management 4. Dewan Pengawas Mataholang Center (Lembaga Riset Keagamaan, Pendidikan & Sosial) 5. Direktur Hadith Institute (Lembaga ilmiah transformasi sunnah) 6. Editor Ahli di penerbit buku & Al-Quran
Pengalaman Organisasi: 1. Forum Pengkajian Hadis “Ibnu Hajar” Bandung tahun 1996-1999, sebagai Ketua. 2. IMN (International Media Network) tahun 1995, sebagai anggota. 3. Dewan Syariah FITRAH (Forum Ilmiah Transformasi Sunnah) tahun 1995, sebagai ketua 4. Departemen Kajian Ekonomi Syariah KUBE (Kelompok Usaha Bersama Ekonomi) tahun 1995, sebagai ketua 5. Eskplorasi Dinamika dan Analisa Sosial (EDAS) tahun 1996, sebagai anggota. 6. Dewan Syariah Mihdan Corporation tahun 1995 – 2008, sebagai Ketua. 7. Dewan Syariah CV Karsa Mandiri Utama tahun 2005 – 2006, sebagai Ketua. 8. Dewan Syariah CV Inter Buana Indonesia tahun 2005 – 2008, sebagai Ketua. 9. Dewan Syariah Bani Muchtar Management 2006 – sekarang, sebagai ketua. 10.Lembaga Studi Ilmiah “Ibn Hajar”, 2006 – sekarang, sebagai ketua 23
11. Pesantren Tahdzibul washiyyah, 1996 – 2005, sebagai Bendahara & pelaksana Teknis Majalah al-Qudwah, 2000-2006, sebagai Sekretaris 12. Yayasan Tahdzibul washiyyah, 2006, sebagai Sekretaris Dewan Pengurus
Pengalaman Organisasi Internal Persis: 1. Organisasi kesantrian (RG) Pesantren Persatuan Islam tahun 1991, sebagai Ketua Bidang Dakwah. 2. Organisasi kesantrian (RG) Pesantren Persatuan Islam tahun 1992, sebagai Ketua Bidang Tarbiyyah. 3. Pimpinan Jama’ah Pemuda Persatuan Islam Cabang Batununggal tahun 1993, sebagai Ketua. 4. Pimpinan Cabang (PC) Pemuda Persis Batununggal, Bandung (Masa Jihad 1990-1993), sebagai Ketua Bidang Pendidikan 5. Pimpinan Cabang (PC) Pemuda Persis Batununggal, Bandung (Masa Jihad 1993-1996), sebagai Ketua II (Bidang Tarbiyyah) 6. Pimpinan Cabang (PC) Pemuda Persis Batununggal, Bandung (Masa Jihad 2009-2011), sebagai Penasehat 7. Pimpinan Daerah (PD) Pemuda Persis Kota Bandung (Masa Jihad 2005-2008), sebagai Penasehat 8. Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam tahun 2000-2005, sebagai Ketua Bidang Pendidikan 9. Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam tahun 2005-2007, sebagai sebagai Wakil Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) 10.Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam tahun 2005-2007, sebagai staf ahli sekretariat. 11. Pimpinan Cabang Persatuan Islam Batununggal tahun 2011-sekarang, sebagai Sekretaris Forum Mubalig
Riset dan Karya ilmiah A. Makalah/Artikel 1. Metodologi Imam as-Syafi'I (Risalah: 1993) 2. Kehujjahan Hadis Ahad (Risalah: 1994) 3. Menimbang Shahih al-Bukhari (Risalah: 1994) 4. Abu Thalib: Mukminkah? (Risalah: 1994) 5. Telaah Hadis: Nabi Isa Turun (Risalah: 1994) 6. Hadis Mua'allaq Versi al-Bukhari (Risalah: 1994) 24
7. Telaah Hadis: Mayit Tersiksa Karena Ditangisi (Risalah: 1994) 8. Telaah Hadis: Haji Satu Kali Sa'i (Risalah: 1995) 9. Telaah Konsep: Kullu Shahabah 'Udul (Risalah: 1995) 10. Telaah Hadis: Merapatkan Tumit Ketika Sujud (Risalah: 1995) 11. Telaah Masalah: Di Mana Imam Wanita Mesti Berdiri (Risalah: 1995) 12. Telaah Status Rawi:Ashim bin Kuleb Dhaifkah? (Risalah: 1996) 13. Hadis Mu’alaq Versi al-Bukhari (Bina Dakwah: 1996) 14. Telaah Hadis: Isyarat Telunjuk Waktu Tasyahud (Risalah: 1997) 15. Telaah Hadis: Nabi Musa dan Malakal Maut (Risalah: 1997) 16. Telaah Status Rawi: Yahya bin Ayyub: Hasankah? (Risalah: 1997) 17. Telaah Hadis: Hadis al-Gharaniq: Antara Ibnu Hajar dan Jumhur Ulama (Risalah: 1997) 18. Telaah Hadis: Salat Istighatsah (Risalah: 1998) 19. Telaah Hadis: Salat Tasbih (Risalah: 1998) 20. Sababul Wurud Hadis Maudhu (Telaah Kritis Hadis Palsu) (Risalah: 1998) 21. Tadwin al-Hadis (al-Qudwah: 2000) 22. Ilmu hadits Dirayah dan Riwayah (al-Qudwah: 2000) 23. Kriteria hadits Nabawi (al-Qudwah: 2000) 24. Kriteria Hadits Qudsi (al-Qudwah: 2000) 25. Tadwinul Hadits (Proses Kodifikasi Hadis) (al-Qudwah: 2000) 26. Al-Kutubus Sittah (Sumber Primer Ajaran Islam) (al-Qudwah: 2000) 27. At-Thuruq fi Thalabil Hadits (Metode Pencarian Hadis) (al-Qudwah: 2000-2001) 28. Riwayatul Hadits (al-Qudwah: 2001-2002) 29. Kedudukan Hadis Burukul Ba'ir (Diskusi Cililin: 2001) 30. Pemalsuan Quran Via Internet (Kiblat: 2001) 13. Status Hukum Salat Tahajud Berjama’ah (al-Qudwah: 2001) 14. Kedudukan Qunut Pada Salat Witir (al-Qudwah: 2001) 15. Hukum Melabuhkan Pakaian (Isbal) (al-Qudwah: 2001) 16. Jumlah Takbir dalam Adzan dan Iqamah (al-Qudwah: 2001) 17. Shaum Atas Orang Yang Meninggal (al-Qudwah: 2001) 18. Thabaqatur Ruwah (Stratifikasi Generasi Periwayat Hadis) (al-Qudwah: 2002-2006) 19. Kedudukan Hadis Doa Kafaratul Majlis (Diskusi Kota Bandung: 2002) 20. Kedudukan Hadis Ahad Dalam Persoalan Akidah (Diskusi Kota Bandung: 2002) 21. Perbandingan Teologi Sunnah dan Syi'ah (Diskusi Majalengka: 2002) 22. Kedudukan Hadis Salat Tasbih (al-Qudwah: 2002) 23. Status Hukum Zakat Profesi (al-Qudwah: 2002) 24. Isyarat Telunjuk Pada Duduk di antara Dua Sujud (al-Qudwah: 2002) 25
25. Kesalahkaprahan Muhasabah (al-Qudwah: 2002) 26. Permasalahan di Seputar Kaifiyat Shalat (Diskusi Subang: 2003) 27. Tantangan Terhadap Sunnah: Dahulu, Sekarang, dan akan Datang (Diskusi Kab Bandung: 2003) 28. Kapan Qunut Nazilah dilaksanakan? (al-Qudwah: 2003) 29. Kedudukan Berdoa Waktu Thawaf (al-Qudwah: 2003) 30. Beberapa Masalah Sekitar Zakat Tijarah (Perdagangan) (al-Qudwah: 2003) 31. Kedudukan Salawat Munfarijah (al-Qudwah: 2003) 32. Kedudukan Milad, Maulid, Ultah, dan Natal (al-Qudwah: 2003) 33. Masbuq Berjama’ah (al-Qudwah: 2003) 34. Berdoa Saat Berbuka Shaum (al-Qudwah: 2003) 35. Kornetisasi Daging Kurban Menyalahi Sunnah (al-Qudwah: 2003) 36. Mengangkat Tangan pada Salat Ied (al-Qudwah: 2003) 37. Makmum Masbuq (al-Qudwah: 2003) 38. Hukum Calon Legislatif Wanita (al-Qudwah: 2003) 39. Perbandingan Manhaj Salaf Antara Syekh al-Albani dan Dewan Hisbah Persatuan Islam (Diskusi Subang: 2004) 40. Studi Kritis Atas Shahih al-Bukhari (Daurah Du'at Kab. Bandung: 2004) 41. Salafi dan Manhajnya (Kajian Tematis Kab. Bandung: 2004) 42. Nilai Sebuah Sumpah (al-Qudwah: 2004) 43. Arti Sebuah Jabatan (al-Qudwah: 2004) 44. Mengangkat Tangan Ketika Hendak Sujud dan Bangkit dari Sujud (al-Qudwah: 2004) 45. Status Hukum Bisnis Melalui MLM (Multi Level marketing) (al-Qudwah: 2004) 46. Bid’ah-bid’ah Seputar Ied (al-Qudwah: 2004) 47. Gema Syariah (Diskusi Masjid PT PLN Kota Bandung: 2004) 48. Kedudukan Hadis Shaum Syawwal (Diskusi Masjid PT INTI Kota Bandung: 2004) 49. Sunnah Tasyri'iyyah dan Ghair Tasyri'iyyah (Kajian Tematis Kota Bandung: 2005) 50. Hukum Memperingati Tahun Baru Hijriah (al-Qudwah: 2005) 51. Makmum Masbuq Mendapatkan Ruku Imam (al-Qudwah: 2005) 52. Perempuan Itu Salat Dzuhur, Tidak Jumat (al-Qudwah: 2005) 53. Miqat Syarat Ibadah Haji (al-Qudwah: 2005) 54. Pendekatan Kebahasaan dalam Memahami Alquran dan as-Sunnah (Seminar Universitas Pendidikan Indonesia: 2005) 55. Shaum Bagi Yang Tidak Mendapatkan Hadyu (al-Qudwah: 2005) 56. Nabi Isa Sudah Wafat? (al-Qudwah: 2005)
26
57. Metodologi Ijtihad dalam Perspektif Madzhab (Training Muballigh Gorontalo: 2005)
B. Kontribusi tulisan 1. Skripsi Dewi Kartika, S.Ag. Kedudukan Hadis-hadis Tentang Imam Mahdi (1994) 2. Skripsi Agus Muslim, S.Ag, Hadis Mu’allaq Versi al-Bukhari dalam Perspektif Ibn Hajar alAsqalani (1995) 3. Skripsi Ahmad Gunawan, S. Ag. Pemahaman Hadis Antara Tekstual dan Kontekstual (1998). 4. Tesis Magister Irma Yulianti, M. Ag. Takhrij Hadis tentang Kepemimpinan Wanita (1997); 5. Tesis Magister Drs. Zarkasyi Chumaidi, M. Ag, Konsepsi Wanita dalam Perspektif Sunnah: Pendekatan Historis-Sosiologis (2004). 6. Tesis Magister Agus Suyadi Raharusun, Lc. MA, Sistematika Penyusunan Hadis dalam Jami’ al-Shahih al-Bukhari (Relevansi judul dengan Kandungan Matan) (2004)
C. Hasil Riset 1. Status Abu Thalib dalam Perspektif Sunnah (1994) 2. Tela’ah Hadis Isyarat Telunjuk Waktu Tasyahhud (1997) 3. Sababul Wurud Hadis Maudhu’ (1998). 4. Takhrij Hadis Tentang Salat Tasbih (1999) 5. Ilmu al-Takhrij: Metode Praktis Penelitian Hadis (2000-2001) 6. Tadwinul Hadis: Telaah Kronologis dan Metodologis Kodifikasi Hadis (2000) 7. Fiqhul Hadis tentang Niyabatul Hajj (2001) 8. Kedudukan Hadis Tentang Shaum Sunnat Enam Hari Pada Bulan Syawwal (2001) 9. At-Thuruq fi Thalibil Hadits (Metode-metode Pencarian Hadis) (2001) 10. Riwayatul Hadits: Proses Periwayatan Hadis (2001-2002); 11. Thabaqatur Ruwah: Telaah Kriteria Lapisan Generasi Periwayat Hadis (2002-sekarang) 12. Metodologi Pembelajaran Hadis (2002- sekarang) 13. Tautsiq Shahih al-Bukhari (Autentikasi Shahih al-Bukhari): Penelitian Litografi (2000-2004) 14. Status Bunga dalam Lembaga Keuangan Konvensional (2002- sekarang) 15. Imam Mahdi Tokoh Fiktif: Telaah Kritis atas Hadis-hadis Mahdawiyyah (2004) 16. Kedudukan Riwayat Syiah dalam Shahih al-Bukhari (2004 - sekarang) 17. Fiqih Manhaji dan Istibathi Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram (2004 – sekarang)
D. Buku 1. Imam al-Bukhari Dalam Sorotan (CV Andika, Bandung, 1994). 2. Keajaiban al-Qur’an & Tantangan Zaman (KORPRI, 1997). 3. Salah Kaprah Muhasabah (Humaniora, Bandung, 2007) 27
4. Emosi Oknum Salafiy (Puslitbang PP Pemuda Persis, 2008) 5. Koperasi Syariah: Dari Teori Hingga Praktik (2008, siap terbit) 6. Tautsiq Shahih al-Bukhari (Autentikasi Shahih al-Bukhari): Penelitian Litografi (2004, siap terbit) 7. Panduan Praktis Penelitian Hadis (2005, siap terbit) 8. Lutut Ataukah Tangan? Telaah Hadis Kaifiyat Turun Untuk Sujud (2006, siap terbit) 9. Dakwah Salafyyah: Antara Cita dan Realita (2007, siap terbit) 10. Metode Belajar-Mengajar Hadis (2007, siap terbit) 11. Fiqih Duit: Sejarah, Konsep, dan Daya Tarik Uang dalam Pandangan Islam (2007, siap terbit) 12. Harta Kita Bukan Milik Kita (2008, siap terbit) 13. Anugrah Safinah (2008, siap terbit)
Buku terbaru sudah terbit: 1. Miracle the Reference (Sygma Publishing, Nopember 2010) 2. Al-Qur'an Arafah (dilengkap Usul Fiqih) (Sygma Publishing, Maret 2011) 3. Al-Quran Qordoba The Amazing (Cordoba Internasional, Juni 2012) 4. Panduan Praktis Penelitian Hadis (versi e-book, Juni 2012) 5. Emosi Oknum Salafiy (versi e-book, Juni 2012) 6. Metode Belajar Hadis (versi e-book, Juni 2012)
Buku terbaru siap terbit tahun ini: Miracle of Quran (Sygma Publishing, 2012) Mushaf Al-Quran disertai Mukhtashar Tafsir Ath-Thabari & Asbabnun Nuzul karya Imam AlWahidi.
28