SUSUNAN PANITIA KEGIATAN LIVE IN SMA YAKOBUS 2 – 6 November 2015 Penanggung jawab Ketua Panitia Sekretaris Bendahara Koordinator wilayah Sukorejo Koordinator Lapangan Lapangan Sie.transportasi dan Sie.akomodasi Sie.perlengkapan Sie.konsumsi Sie.Acara Sie dokumentasi dan Sie P3K Koordinator wilayah Rawaseneng Koordinator Lapangan Lapangan Sie.transportasi dan Sie.akomodasi Sie.perlengkapan Sie.konsumsi Sie.Acara Sie dokumentasi dan Sie P3K
: : : :
Johannes Romiyono. Mpd. Sri Supatmi, SSi Fx. Probondaru, S.Pd. Jessica Rillanty, Spd Spd
KUMPULAN REFLEKSI LIVE IN SISWA SISWI SMA SANTO YAKOBUS TAHUN 2015
: Jessica Rillanty, S.Pd : Yohanes Panab, S.Pd. : : : :
Ludwig Sitompul, S.Pd Sri Supatmi, S.Si Ludwig Sitompul, S.Pd C. Ambar Febrianto, S.Pd
: Fx. Probondaru,S.Pd : Sri Sumardiyanto, S.Pd : : : :
Saryo, S.Pd Diana Siregar, S.Pd Anna Eminentia ElVi, S.Pd Saryo, S.Pd
ST YAKOBUS ●
SMA SANTO YAKOBUS Jl. Pegangsaan Dua KM 3,5 Kelapa Gading Jakarta Utara Telp. 021-46826446 Fax. 021 - 46825101
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang diberikan sehingga kami bias menyelesaikan buku kumpulan refleksi live in SMA Santo Yakobus 2015 ini Live In merupakan kegiatan rutin yang diadakan oleh SMA Santo Yakobus yang bertujuan memberikan proses pembelajaran kepada siswa–siswi. Kegiatan Live In memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ikut merasakan kehidupan sehari-hari orang lain dengan kondisi yang berbeda. Diharapkan dari proses tinggal bersama dan mengikuti kegiatan social dalam masyarakat, siswa-siswi mampu mengambil makna dan belajar nilai-nilai kehidupan yang seringkali tidak mereka dapatkan dalam kehidupan mereka sehari-hari di lingkungan tempat tinggalnya. Pada kegiatan Live In tahun ini kami mengambil dua lokasi yang berbeda, para siswa program IPA di dusun Pilangsari, Ngampel, Gebangan, Sekecer, dan Gemuh Singkalang, Sukorejo, Kendal, Jateng dan para siswa program IPS di dusun Ngasinan Ngasinan dan Setro, Rawaseneng, Temanggung, Jateng. Harapan kami dengan dipecah menjadi dua lokasi, siswa-siswi menjadi lebih focus dengan kegiatan dalam kelompokkelompok kecil. Sebagai laporan sekaligus kenangan kegiatan Live In tersebut, kami menyusun buku kumpulan refleksi Live In. Buku kumpulan refleksi Live In ini memuat refleksi siswa-siswi selama menjalani Live In di Sukorejo dan Rawaseneng. Karena keterbatasan waktu dan biaya maka kami tidak bisa menampilkan refleksi dari seluruh siswa, kami mengambil perwakilan refleksi dari masing-masing kelas dan menyusunnya. Kami atas nama panitia mengucapkan terima kasih atas partisipasi siswa-siswi dalam membuat refleksinya. Dalam penyusunan buku refleksi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada : 1) Drs. Yohanes Romiyono, selaku Kepala SMA Santo Yakobus atas segala bimbingan dan arahan sehingga Live In bias terselenggara dengan baik.
2) Seluruh panitia Live In yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, atas segala kekompakan dan kerja sama sehingga kegiatan Live In ini bisa berjalan dengan baik. 3) Seluruh guru dan karyawan SMA Santo Yakobus atas segala dukungan yang diberikan sehingga Live In ini bisa berjalan dengan baik. Sadar akan keterbatasan kami, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan buku ini. Semoga buku ini berguna bagi kami, siswa-siswi SMA Santo Yakobus dan pembaca secara umum. Jakarta, Desember 2015 Koordinator Live SMA Santo Yakobus Sri Supatmi, S.Si
Bahagiaku bersama kalian Live In SMA Santo Yakobus di Sukorejo
Stasiun Weleri, bersamamu kenanganku abadi Live In SMA Santo Yakobus di Rawaseneng
DAFTAR ISI
Bapakku di “pawon”
Perjamuan Suci
Cerianya Kesederhanaan Belajar Kehidupan dari Mbah Murah dan Desanya Pelajaran Hidup Sejenak Jauh dari Rutinitas Hariku Esok kan Bahagia Pengalaman Membantu Proses Pembelajaran di TK dan KB Santo Yakobus Perjalananku Desa Gemuh, Pembelajar Kehidupanku Pengalaman Live In di Desa Gemuh Live In Yang Kutunggu Kayla Desa Sekecer, Desaku Yang Takkan Kulupa Menumbuhkembangkan Karakter Melalui live In Mbah Simon dan Nilai Kehidupan Desa Sekecer Live In di Gebangan Sisi Pandang Yang Berbeda Dalam Kehidupan Bahagia itu Sederhana Live In dan Nilai Kehidupan Empat Hari Bersama Keluarga Widi Terima Kasih….. Semoga Suatu Saat Nanti Kami Dapat Bertemu Kembali Sepenggal Catatan Buku Harianku Indahnya Tinggal di Desa Setro Ibu Rahmini dan Kesederhanaannya Pak Sugito, Orang Tua Kedua Saya Live In di Ngasinan Pelajaran Hidup Belajar Hidup di Daerah Perkampungan Live In-Ku Sederhana itu Indah Belajar Arti Hidup dari Sebuah Keserderhaan Pedesaan Senyuman Hangat Desa Ngasinan
5 9 10 11 15 19 24 26 30 32 35 37 43 51 56 58 60 66 69 72 74 80 84 92 95 97 103 106 112 115 116 118 122
CERIANYA KESEDERHANAAN Tanggal 2-6 November 2015 kemarin, SMA Santo Yakobus baru saja mengadakan live in. Siswa IPA live in di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah sedangkan siswa IPS live in di Rawa Seneng, Temanggung. Jumlah peserta live in ada 161 siswa dengan 10 guru pendamping. Karena saya siswa IPA, saya mendapat wilayah live in di Sukorejo tepatnya di lingkungan Santo Yusup Pilangsari dengan guru pendamping Ibu Sri Supatmi. Di lingkungan saya ada 11 kelompok atau ada 22 anak. Lingkungan saya ini merupakan lingkungan dengan kelompok terbanyak. Teman serumah live in saya adalah Shania. Selama 3 hari 2 malam di sana, saya mendapat banyak pelajaran berharga. Tinggal di desa jelas berbeda dengan tinggal di kota. Di sana kehidupan jauh lebih sederhana dan seadanya. Dengan tinggal di sana, saya jadi lebih menghargai hidup. Ternyata saya masih lebih beruntung dibandingkan orang-orang di sana. Saat pertama kali datang dan melihat rumah disana, saya sedikit terkejut karena rumahnya jauh berbeda dengan rumah saya di kota. Rumah di sana hanya terbuat dari papan, lantainya pun masih dari tanah dan batu, hanya dialasi oleh terpal serta atapnya pun masih kelihatan gentingnya dari dalam rumah. Namun lama kelamaan saya merasa bahwa rumah yang saya dan Shania tempati tidak begitu buruk, saya mulai merasa nyaman tinggal disana, apalagi anggota keluarga asuh kami begitu baik. Kami berdua tinggal di rumah keluarga bapak Rohyadi. Sebagian besar penduduk di sini bekerja sebagai petani, termasuk keluarga bapak Rohyadi, namun di sana kami tidak dapat bertemu dengan bapak Rohyadi karena beliau sedang bekerja di Jakarta sebagai tukang bangunan dan beliau pulang 2 minggu sekali. Ja di, di sana kami hanya tinggal dengan istrinya yaitu ibu Sugiarni dan 2 orang anaknya. Sebenarnya beliau memiliki 3 orang anak laki-laki, yang pertama bernama Ari berumur 26 tahun, pendidikannya hanya sampai SMP. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Mas Ari, sekarang dia bekerja di pastoran sebagai pengikut Romo. Biasanya dia baru pulang 1 tahun sekali, jadi sangat kebetulan kami berdua dapat bertemu dengannya. Anaknya yang kedua bernama Lukas, sekarang dia kelas 1 SMP. Namun kami tidak dapat bertemu dengannya karena dia tinggal di
asuh kami, kami berpelukan sebagai tanda perpisahan dan berjanji untuk bertemu lagi di lain kesempatan. Dari pengalaman 4 hari saya berada di desa Ngasinan saya belajar banyak hal seperti hidup mandiri, mensyukuri apa yang ada dan rasa kekeluargaan yang harus diterapkan dalam kehidupan saya di masyarakat dan juga keluarga. Dari pengalaman yang saya dapatkan, saya ingin melakukan perubahan dalam hidup saya yaitu semakit giat dalam belajar agar menjadi orang yang sukses dan dapat kembali berkunjung ke desa tersebut seperti apa yang dikatakan oleh orang tua asuh saya, dan saya ingin lebih mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan di dalam kehidupan saya dan juga tidak menyia-yiakan waktu / kesempatan yang ada untuk berbuat baik, menolong orang yang membutuhkan uluran tangan dari saya. Marcella Octaviyanti /XI IPS 3 /16
Senyum polos adikku
selesai tanpa adanya hambatan. Setelah misa selesai kami kembali ke rumah masing masing untuk mempersiapkan malam kebersamaan dengan masyarakat setempat dan juga bersama orang tua asuh kami. Kebersamaan tersebut dilaksanakan di Kapel, setelah semua orang tua asuh dan anak anak berkumpul kami mulai menceritakan apa yang telah kami dapat selama 3 hari ini, dan orang tua asuh kami juga ikut menceritakan bagaimana perasaan mereka dengan kedatangan kami. Malam kebersamaan ini sekaligus menutup hari ke 3 ini dan juga merupakan malam terakhir kami ada di desa ini Pada hari ketiga ini saya sudah dekat dengan masyarakat di desa ini, telah mengikuti kegiatan, dan telah merasa bahwa saya adalah salah satu warga dari desa ini, saya sudah terbiasa dengan kehidupan yang ada di desa ini dan saya sudah mulai mengenal latar belakang kedua orang tua asuh saya bahwa mereka hanya menyelesaikan pendidikan hingga SMP/SMA, dan juga orang tua asuh saya sempat tinggal di Jakarta. Pengalaman yang berkesan pada hari ini adalah pada saat saya pergi ke sungai bersama teman teman saya, mengumpulkan kepiting dan berjalan jalan di sungai, di Jakarta kami tidak bisa merasakan hal seperti ini dan di hari ke 3 ini saya sangat merasakan bahwa masyarakat di desa ini sangat mensyukuri apa yang mereka telah miliki di desa ini, sedangkan saya yang telah hidup di kota yang bekebutuhan lebih kadang tidak dapat mensyukuri apa yang ada, dan juga pada malam terakhir ini kami sangat merasa sedih karena harus meninggalkan desa ini, karena itu pada malam hari ke 3 ini saya menghabiskan malam ini dengan berbincang dengan orang tua asuh saya sampai larut malam. Satu hal lagi yang sangat saya kagumi adalah rasa kekeluargaan yang mereka pelihara antar warga dengan warga yang lain, mereka tidak sombong dan sangat ramah terhadap satu sama lain Hari ini adalah hari terakhir kami ada di desa ini, kami sangat sedih karena harus meninggalkan tempat ini, tetapi kami telah bertukar informasi seperti alamat, no hp dan juga telepon, sehingga kami dapat tetap berkomunikasi walaupun jarak kami jauh. Pagi hari kami makan di rumah orang tua asuh kami, setelah itu kami diantar oleh orang tua asuh kami menuju kapel untuk berkumpul dan bersiap siap untuk pulang, setelah bus datang kami berpisah dengan orang tua asuh kami dan adik
asrama. Dan anaknya yang ketiga bernana Dani, dia masih kelas 6 SD, letak sekolahnya ada di Desa Ngampel. Jarak dari Desa Pilangsari ke Desa Ngampel lumayan jauh. Setiap hari dia pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Cukup melelahkan memang, namun dia tetap semangat pergi ke sekolah. Ia masuk sekolah jam 8 pagi. Jadi, setiap hari dia bangun jam 6 pagi dihitung lama perjalanan ke sekolah kurang lebih 1 jam. Orang-orang di sana sangat santun dan ramah satu sama lain, keakraban dan kerukunan di sana juga begitu terasa. Mereka semua menyambut kedatangan kami begitu baik dan ramah. Saat kami berdua tiba di rumah, kami langsung disajikan sarapan dan teh manis. Ibu Sugiarni begitu perhatian pada kami berdua. Meskipun makanannya sederhana, namun masakan Ibu Sugiarni sangat enak. Kami sangat senang dapat tinggal disana. Walaupun rumahnya hanya dari papan, kami dapat tinggal dengan nyaman dan tidur dengan nyenyak. Selama tinggal di sana, kami belajar hidup mandiri, hidup sederhana, dan saling membantu satu sama lain. Selama disana, kami membantu Ibu Sugiarni membersihkan rumah dan mencuci piring. Namun sayang, Ibu Sugiarni tidak pergi ke kebun maupun ladang karena sekarang sedang musim kering, beliau hanya mengurus rumah seharian. Daripada bosan di rumah, jadi kami pergi main ke rumah teman. Setiap jam 4 sore ada bimbingan belajar di Paroki desa, jadi kami dan teman-teman yang lain mengajar anak-anak disana. Yang ikut bimbingan belajar sebagian besar adalah anak SD. Kami mengajar pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA. Anak-anak di sana begitu semangat belajar. Mereka sangat senang karena kehadiran kami. Mereka sangat semangat dan antusias mengikuti bimbel, bahkan sebelum jam 4 saja mereka sudah menunggu di depan Paroki. Dari sekian banyak anak bimbel yang ada, saya, Shania, Dennys, dan Malvin dekat dengan Sukris, Dwi, Retno, Dani, dan teman-temannya. Kami berempat sering mengajak mereka bermain. Mereka anak-anak yang baik. Kami berempat sudah menganggap mereka seperti adik kami sendiri. Pernah suatu kali saya dan Shania ingin pergi lari pagi, namun di tengah jalan kami bertemu dengan Dennys, Malvin, serta Sukris dan temantemannya. Ternyata Dennys dan Malvin akan mengantar mereka ke
sekolah. Mereka pun langsung mengajak kami berdua ikut mengantar mereka ke sekolah. Akhirnya kami berdua minta ijin ke Ibu Sugiarni untuk mengantar anak-anak ke sekolah, sekalian kami mengantar Dani ke sekolah. Sekolah mereka ada di Desa Ngampel, jadi jarak yang ditempuh untuk ke sekolah cukup jauh. Mereka masuk sekolah jam 8 pagi namun kami berangkat j am 6 pagi karena untuk sampai ke sekolah butuh waktu cukup lama, apalagi kami pergi dengan berjalan kaki. Akhirnya kami berempat pergi mengantar mereka ke sekolah. Untuk menghemat waktu perjalanan, Sukris dan kawan-kawan mengajak kami melewati kebun-kebun sebagai jalan pintas. Meskipun sudah melalui jalan pintas, tetap saja jarak ke sekolah masih jauh. Kami berempat cukup kelelahan. Namun yang saya heran adalah anak-anak tetap semangat dan ceria berangkat sekolah meskipun harus menempuh perjalanan yang jauh. Di sini saya belajar bahwa anak-anak di desa punya semangat belaj ar yang jauh lebih besar daripada kami anak kota. Kami anak kota yang hidupnya serba mudah malah kadang malas belajar. Namun, saya begitu menikmati perjalanan ke sekolah, karena hal seperti ini tidak mungkin saya lsayakan dan temui di Jakarta. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya kami t iba di sekolah. Di sekolah, kami disambut hangat oleh anak-anak di sana, mereka begitu senang dengan kehadiran kami. Karena waktu belum menunjukan pukul 8, kami berempat mengajar anak-anak disana. Kami mengajar matematika, bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan bersama anak-anak desa. Setelah mengajar dan bermain bersama anak-anak di sana, kami memutuskan untuk pergi ke rumah saudara Ibu Sugiarni untuk beristirahat. Karena kebetulan rumah saudara Ibu Sugiarni juga berada di Desa Ngampel. Setelah beristirahat kami berempat pun pulang. Selama di sana, saya menemukan beberapa keprihatinan di desa ini, seperti jarak sekolah yang terlalu jauh dan jumlah sekolah yang terbatas, bantuan pemerintah yang tidak pernah sampai, serta kondisi rumah yang masih memprihatinkan. Saya harap pemerintah lebih memperhatikan lingkungan-lingkungan seperti ini, dan jangan hanya janji saja.
makan malam, teman teman kami juga banyak berkunjung, orang tua asuh mereka juga berkunjung untuk berbincang bersama kami. Pada hari kedua ini saya sudah mulai berbaur dengan masyarakat yang ada di desa tersebut dan juga terlibat dalam kegiatan mereka, saya sudah mulai dekat dengan orang tua asuh kami dan j uga adik asuh kami. Saya sudah mulai belajar hidup mandiri dan tidak bergantung dengan alat alat elektronik seperti hp. Saya sudah mulai terbiasa dengan hadirnya hewan ternak di kehidupan kami, dan banyak kebahagian yang saya dapatkan pada hari ini, dan pengalaman yang sangat berkesan pada hari ini adalah pada saat saya melihat proses pembuatan kopi, turun ke ladang, dan juga pada saat saya memegang anak ayam dan memberi makan mereka. Pada hari ini juga saya merasakan adanya ikatan kekeluargaan yang sangat erat antar warga dengan warga lain dalam masyarakat dibandingkan dengan ada yang di kota. Pada hari yang ketiga kami bangun pagi dan melakukan kegiatan kami yaitu posyandu untuk anak balita yang ada di desa ini. Kegiatan posyandu ini diikuti oleh banyak orang tua dan balita, selain menimbang berat badan dan mengukur ti nggi badan, ibu ibu dari tim posyandu juga mengadakan pengajaran untuk ibu ibu di desa untuk mengasuh anak dengan baik. Kegiatan ini sangat menarik dan menyenangkan karena banyak anak balita berkumpul dan bermain bersama. Setelah kegiatan posyandu saya bersama teman teman yang tinggal di desa itu pergi bermain ke sungai. Perjalanan dari posyandu ke sungai tidak terlalu jauh, tetapi jalan yang harus ditembuh sangat curam karena menurun. Di sungai kami mengumpulkan banyak kepiting kecil yang berkeliaran di sungai dan juga menangkap capung bersayap indah yang berterbangan di sekitar sungai. Setelah lama menghabiskan waktu di sungai kami kembali ke rumah kami masing masing, dan di rumah saya dan Riri, kami melanjutkan kegitan dengan membuat gula jawa dari awal hingga akhir gula jawa terbentuk setelah itu kami kembali ke salah satu rumah yang ada desa untuk mengadakan bimbingan belajar kepada anak anak yang ada di desa. Anak anak sangat antusias dan senang karena adanya program bimbingan belajar. Setelah bimbingan belajar berakhir kami pergi ke kapel untuk mengadakan misa yang dihadiri oleh anak anak dari dusun Setro, kami melakukan misa bersama sama sampai misa
asuh kami membeli sayur, pada saat kami keluar kami disambut oleh warga yang tinggal di desa itu dengan senyuman dan mengajak kami untuk berkunjung ke rumah mereka. Setelah kami membeli sayur, kami membantu ibu memasak sayur yang telah kami beli. Setelah dimasak dan makan pag, kami melanjutkan aktivitas dengan menemani orang tua asuh kami pergi ke ladang, selama perjalanan kami berbicara tentang kehidupan di kota dengan di desa dan bapak asuh kami menunjukan kebun kopi yang sedang dipelihara. Tidak terasa kami sampai ke ladang, tetapi untuk turun ke Ladang diperlukan kewaspadaan karena turunannya masih ditutupi dengan tanah liat, sehingga untuk turun sangat licin, kami berhasil turun sampai ditengah , tetapi untuk kebawah kami tidak bisa, lalu bapak asuh kami mengambil sekop untuk menghilangkan tanah yang menutupi turunan tersebut sehingga kami bisa turun. Di Ladang kami melihat berbagai macam pohon seperti pohon nangka, pohon labu, dan pohon singkong. Bapak asuh kami mengambil singkong yang berukuran besar untuk kami berdua, kami merasa senang sekali karena bapak sangat baik terhadap kami. Di ladang kami juga bertemu dengan ibunda bapak asuh kami, ibunda bapak asuh kami sangat baik dan ramah terhadap kami. Setelah mengambil singkong kami mampir ke rumah kakak ibu asuh saya, di sana kami memakan pisang yang sangat enak sekali lalu kami kembali ke rumah untuk istirahat sebentar sedangkan bapak masih mencari rumput untuk hewan ternaknya. Setelah kami mengambil waktu istirahat kami melanjutkan aktivitas dengan melihat proses pembuatan kopi dari biji kopi sampai bubuk kopi. Proses pembuatan ini memakan waktu yang cukup lama sehingga kami dapat melakukan aktivitas lain seperti bermain dengan anak anak yang ada di desa dan j uga memberi makan ayam. Setelah itu kami melakukan tugas kami yaitu bimbingan belajar untuk anak anak yang ada di desa tersebut, anak anak yang ada di desa sangat antusias mengikuti bimbingan belajar dari kami. Setelah itu kami pergi ke lapangan untuk melihat pertandingan olah raga dengan pemuda setempat, pemuda setempat sangat antusias dan murid murid dari Yakobus juga dapat membaur dengan baik. Hari mulai gelap sehingga kami kembali ke rumah orang tua kami untuk berbincang-bincang dan
Selama tinggal di keluarga Bapak Rohyadi dan lingkungan Desa Pilangsari, saya dapat merasakan rasa persaudaraan, kekeluargaan, kepedulian dan kerukunan itu begitu terasa. Ditambah lagi penduduk sekitar yang begitu ramah semakin membuat saya kagum dengan kebersamaan di kehidupan pedesaan. Contohnya saja seperti rumah Ibu Sugiarni yang setiap hari selalu ramai didatangi oleh tetangga sekitar, entah hanya untuk sekedar menyapa, menemani, atau membantu sama lain. Kemudian saat saya dan Shania serta teman-teman yang lain membantu Ibu Sugiarni mengupas kacang sampai malam hari. Hal itu juga tidak akan kami lupakan. Bagi saya, live in ini begitu berkesan apalagi ketika saya, Shania, Dennys, dan Malvin mengantar anak-anak ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh, melewati kebun-kebun, kemudian mengajar anak-anak di sekolah, dan bermain bersama. Hal ini tidak akan pernah saya lupakan karena melalui ini saya dapat mempelajari begitu banyak hal, dimulai dari semangat dan perjuangan mereka yang begitu besar, persaudaraan mereka, dan kepedulian satu sama lain. Dari situ saya bisa merasakan menjadi anak desa untuk sesaat yang tentunya tidak dapat saya rasakan di Jakarta. Kemudian saat saya dan Shania serta teman-teman yang lain membantu Ibu Sugiarni mengupas kacang sampai malam hari. Hal itu juga tidak akan kami lupakan. Ditambah lagi ketika acara perpisahan dan saat kami harus kembali ke Jakarta, mereka merasa sangat sedih. Terutama ibu asuh saya dan Shania serta anak-anak desa yang terus menangis ketika mengantar kami pulang. Dari situ saya melihat ketulusan mereka menerima kami, meskipun kami ini adalah orang luar yang hanya beberapa hari tinggal bersama mereka. Mereka juga memberikan kami oleh-oleh dari desa sebelum kami pulang ke Jakarta. Anak-anak desa juga memberikan surat kepada kami sebagai tanda perpisahan dan tanda terimakasih sebelum kami berangkat ke Jakarta. Saat hendak pergi, saya juga merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan mereka yang sudah begitu baik. Meskipun begitu, saya merasa senang dapat berbagi kebahagiaan kepada orang lain meski hanya sebentar. Saya tidak akan melupakan pengalaman berharga live in ini. Kevina Delicia XI IPA 1 / 15
BELAJAR KEHIDUPAN DARI MBAH MURAH DAN DESANYA SMA Santo Yakobus mengadakan kegiatan Live In pada tanggal 2–6 November 2015 di Sukorejo tepatnya di Desa Gebangan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kami berangkat dengan Kereta Api Tawangjaya dari Stasiun Senen dan tiba di Stasiun Weleri membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam. Setibanya di Stasiun Weleri, kami naik bus menuju Paroki Isidorus. Setelah tiba di sana, kami makan pagi bersama dan mendengarkan beberapa pengumuman. Setelah itu kami berkumpul dengan anggota desa masing-masing dan menuju desa tujuan menggunakan mobil pick up. Sesampainya di desa tujuan, kami melsayakan pembagian orang tua asuh lalu menuju ke rumah masing-masing. Saya tinggal bersama Mbah Murah. Rumah yang saya tinggali masih dari kayu tetapi masih layak untuk ditinggali. Mbah Murah adalah seorang ibu rumah tangga dan hanya tinggal seorang diri karena suaminya sudah meninggal dan anaknya tinggal berbeda rumah dengannya. Selama di sana saya membantu Mbah Murah dalam membersihkan rumah. Saya juga belajar hidup sederhana dan mandiri selama tinggal dirumah Mbah Murah. Keadaan Mbah Murah saat ini kurang baik karena sedang sakit dan saya sangat prihatin dengan keadaannya. Warga di Desa Gebangan sangat baik dan murah hati ter hadap saya dan teman-teman. Mereka mau menerima kami untuk tinggal di sana. Selama di sana saya terlibat dalam kegiatan seperti memberi makan sapi, membuat aktivator, memasukkan pupuk urea sapi ke dalam karung, dan pergi ke sawah. Setiap harinya kami mengadakan bimbingan belajar untuk anak-anak yang berada di Desa Gebangan. Mengajari anak-anak di desa sungguh menyenangkan karena kami dapat membagi ilmu dan bermain bersama mereka. Anak-anak di desa juga sangat baik dalam menerima kami tinggal di desanya. Kami juga belajar banyak bahasa jawa dari mereka. Selama tinggal di sana, banyak kesulitan yang saya hadapi. Saya harus berusaha hidup sederhana dan tidak mengeluh dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Saya sangat menyesal karena selama ini saya tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki. Kebahagiaan yang saya
kebutuhan terpenuhi berbeda dengan ada yang di desa, oleh karena itu jangan menjadi orang yang cepat puas dan mudah putus asa. Olivia Angelika Lanamana/Kelas: XI IPS 3/22 SENYUMAN HANGAT DESA NGASINAN Pada hari ini saya bersama teman saya Rielda berangkat menuju rumah orang tua asuh kami yang terletak di desa Ngasinan, Rawaseneng, selama di perjalanan kami disambut dengan senyuman hangat warga setempat yang tidak kami dapatkan pada saat saya berada di kota. Begitu sampai di tempat kami disambut oleh orang tua asuh kami yang bernama Pak Suyarto dan Bu Ana Ristiyani. Pak Suyarto memiliki 2 orang anak yang pertama bernama Ita Nanda Cahyaningrum kelas 5 SD berumur 10 tahun, sedangkan yang kedua bernama Erda Ananda Aristyan berumur 2 tahun, mereka semua beragama muslim sehingga kami harus menghormati agama mereka. Kami telah diberikan informasi oleh kedua orang tua asuh kami bagaimana mereka mencari nafkah dalam kesehariannya, bagaimana mereka menghidupi keluarganya. Setelah banyak berbicara bersama, kami memutuskan untuk pergi keluar rumah untuk mengenal masyarakat yang ada di sekitar saya, kami berkunjung ke tempat teman teman saya dan berbicara bersama dengan orang tua asuh mereka. Setelah itu kami kembali ke rumah untuk mengambil waktu istirahat, dan sisa waktu yang ada kami pakai untuk menghabiskan waktu kami bersama keluarga asuh kami. Pada hari pertama ini saya belum mengenal anggota masyarakat dengan baik dan juga masih belum dapat bersosialisasi. Kami juga belum te rbiasa dengan keadaan dimana adanya hewan ternak yang ada di sekitar rumah seperti kambing, ayam, tetapi saya mencoba untuk membiasakan diri saya. Saya juga merasa bahagia karena suasana di desa itu sangat damai, udaranya sangat sejuk dibandingkan di kota Jakarta. Dari pengalaman yang saya dapatkan hari ini, pengalaman yang sangat berkesan adalah pada saat kami disambut hangat dengan warga yang ada di desa tersebut. Pada hari kedua ini kami bangun di pagi hari untuk mengikuti aktivitas orang tua asuh kami, sebelum pergi kami pergi menemani ibu
Jakarta, dan kami juga sudah mempersiapkan 2 hadiah berupa selimut kepada orang tua asuh kami sebagai tanda terimakasih dan kenangkenangan. Sebagai tanda kenang-kenangan kami berfoto bersama orang tua asuh kami dan langsung menuju ke Posyandu (Rumah Pak Kades) sebagai tempat pelepasan kami bersama orang tua asuh. Setelah perwakilan dari sekolah dan perwakilan dari Desa Setra memberikan sambutan, kami pun langsung berpamitan dengan orang tua asuh kami masing-masing, air mata kami juga tidak bisa terbendung lagi, karena menurut kami saat live in di desa ini kami mendapat pelajaran yang berharga yang tidak bisa kami dapatkan di Jakarta. Setelah semua selesai berpamitan kami langsumg pulang menuju ke bus, dan langsung pulang menuju ke Restaurant Tiga Putri untuk makan si ang, setelah itu langsung ke Stasiun Weleri untuk balik ke Jakarta, dan tiba di Jakarta sekitar pukul 20.30 WIB. Sesampainya di sekolah orang tua kami sudah banyak menuggu kedatangan kami. Banyak hal-hal yang bisa kami ambil dari kegiatan live in ini, kita bisa lebih menghargai orang lain, bisa belajar mandiri, hidup sederhana, menjadi orang yang lebih berguna didalam keluarga. Tidak seperti di kota hanya memikirkan diri sendiri saja “Punya kamu ya punya kamu, punya saya ya punya saya”(Individualisme). Kalau di desa lebih mengutamakan kebersamaan, gotong royong, menolong sesama. Itulah yang saya sangat rindukan suasana di desa, sejuk dan bersih serasa semua beban yang ada di kota hilang semua terbayar dengan keadaan di desa yang sangat nyaman. Rindu canda tawa bersama anak-anak kecil, bersama orang tua asuh, bersama seluruh tetangga yang ada disana. Live in akan menjadi pengalaman berharga yang akan saya ingat terus sampai besar nanti. Semoga dengan pengalaman ini juga saya dapat merubah sikap menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi dan mau berubah ke arah yang lebih baik lagi sebagaimana pesan dari Pak Marno dan Ibu Ani. Sesampainya dirumah saya menceritakan pengalaman-pengalaman saya selama disana mulai dari naik mobil pick up, pergi ke ladang, mengikuti posyandu, mengajar bimbel, dan lainnya. Itulah pengalaman pengalaman yang tidak akan saya dapatkan di Jakarta. Dengan ini juga kita diajarkan untuk lebih bersyukur dengan apa saja yang sudah kita dapatkan sekarang ini, tempat tinggal enak, makanan enak, semua
peroleh selama tinggal di sana adalah dapat mengenal dan membantu mereka. Pengalaman yang sangat berkesan adalah saya dapat bermain bersama anak-anak dan bersosialisasi dengan warga di Desa Gebangan. Selain itu saya juga dapat merasakan mandi bersama ayam. Sektor ekonomi yang menjadi andalan dan penyangga hidup keluarga adalah menjadi koki dan petani. Taraf hidup warga di Desa Gebangan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Relasi antar generasi di masyarakat pun sangat baik. Yang menjadi agama mayoritas adalah Katolik namun masih ada beberapa yang muslim. Mereka pun saling menghormati satu sama lain walaupun berbeda agama. Setiap hari kamis, warga di Desa Gebangan mengadakan Pendalaman Alkitab yang di hadiri baik anak-anak maupun orang tua. Dari pengalaman Live In saya belajar untuk hidup sederhana dan mandiri. Dengan Live In saya juga merasa bersyukur karena sudah memiliki apa yang saya butuhkan dan inginkan. Saya ingin memperbarui hidup saya dengan hidup hemat dan tidak suka mengeluh. Pada malam terakhir kami mengadakan acara perpisahan dengan orang tua asuh. Kami menyanyikan beberapa lagu untuk mereka. Selain itu kami juga mengadakan makan bersama. Keesokan harinya kami bersiap-siap untuk pulang kembali ke Jakarta. Sebelum kami pulang, kami berfoto bersama dengan warga Desa Gebangan. Rasanya sangat sedih karena harus berpisah dengan mereka. Kami pun rasanya ingin kembali lagi dan tinggal di sana. Michelle Victoria XI IPA 1/ 18
PELAJARAN HIDUP Selama lima hari saya tinggal di rumah Pak Hendra, Bu Maria, dan Pak Juri yang berada di Gemuh Singkalang. Banyak hal yang saya peroleh selama di sana. Mereka secara tak langsung mengajari saya untuk lebih mensyukuri hidup yang Tuhan berikan pada saya melalui kegiatan sehari-hari. Saya jadi lebih bersyukur atas makanan yang saya peroleh karena Pa k Hendra berkata, “Kalau di sini apa yang kita dapat, ya itu yang kita makan”. Jadi, bila Pak Hendra dan keluarga hanya memiliki sambal dan nasi pada hari itu maka itulah yang dimakan. Saya
pun sadar harus lebih bersyukur atas makanan yang setiap hari dapat saya peroleh. Ketika saya berkata tidak yakin ingin menjadi desainer karena menurut saya tidak menjanjikan, Pak Hendra mengatakan bahwa semua pekerjaan memang tidak menjanjikan, tinggal bagaimana kita menekuninya. Kalau kita tekun, maka apa yang kita inginkan pasti tercapai. Lalu saya pun sadar, bila kita ragu kita tak akan bisa berhasil. Kita harus berani mengambil resiko bila ingin sukses. Setelah mendengar itu, saya merasa bertambah semangat. Saya lebih yakin dengan apa yang saya impikan. Menurut Pak Hendra, hidup butuh prinsip karena prinsip itu sendiri merupakan pondasi hidup kita. Misal rumah yang pondasinya lemah, takkan kuat bertahan. Namun, bila pondasi rumah kuat maka rumah akan tahan di setiap situasi. Begitu pula dengan hidup. Bila kita memiliki prinsip, kita akan lebih teguh dalam menjalani hidup. Kita takkan mudah terbawa arus yang ada. Saya sadar kalau saya tidak memiliki prinsip sehingga mudah terbawa teman. Saya akan mulai berpegang pada prinsip saya dan tidak akan terbawa oleh teman-teman. Saya senang bisa mengenal dan bertemu Pak Hendra, Bu Maria, dan Pak Juri dalam hidup saya. Mereka mengajari saya hal-hal baik yang kecil maupun besar yang tidak dapat saya tulis satu per satu disini. Saya berharap mereka selalu sehat dan semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Anastasia Aurellia XI IPA 1 / 3
SEJENAK JAUH DARI RUTINITAS HARIKU Lima hari meninggalkan rutinitas sehari-hari dan menjalani kehidupan di pedesaan membawa banyak pengalaman baru yang tak akan terlupakan dan menjadikan sebuah pelajaran berharga dalam kehidupanku. Banyak hal yang jarang kutemukan di kehidupan di Jakarta, tetapi sungguh melekat di kehidupan pedesaan. Sikap persaudaraan dan sopan santun yang ditunjukkan masyarakat pedesaan menegur sikap masyarakat perkotaan yang berdominan pada sikap individualisme.
diberikan pekerjaan lagi yaitu menyuir ayam goreng untuk dimakan bersama soto, kami pun makan pagi dis itu dengan menu soto. Posyandu pun dimulai , saya untuk pertama kalinya berhadapan la ngsung dengan orang banyak serta menimbang balita menggunakan timbangan dacin, tidak seperti di Jakarta menggunakan timbangan yang sudah canggih. Saat sudah menimbang kami pun membagikan bingkisan kepada anakanak tersebut berupa susu kotak, biskuit, serta bubur kacang hijau. Setelah posyandu selesai kami langsung pulang kerumah untuk mandi dan makan. Setelah sudah berberes, saya langsung pergi ke rumah Pak Yahman untuk persiapan bimbel, membeli roti bakar untuk anak-anak yang nantinya bisa menjawab soal dengan benar yang saya berikan. Saya tidak merasa lelah sama sekali karena sangat senang dan bangga melihat anak-anak begitu semangat mengikuti bimbel walaupun hanya sebentar. Kami pun membagikan alat-alat tulis serta bingkisan makanan-makanan ringan. Pulang dari bimbel, kami pulang untuk bersiap ke Kapel Ngasinan naik mobil pick up untuk misa. Setelah misa selesai kami kembali ke Desa Setra lagi untuk berberes pakaian serta mandi. Malam harinya pun kami melakukan malam keakraban di rumah Pak Yahman, disitu kami semua terharu mendengar pesan kesan teman-teman kami dan perwakilan orang tua asuh. Acara malam itu, dilanjutkan dengan makan malam dan kami semua bernyanyi sebagai persembahan terimakasih kepada orang tua asuh. Malam itu menjadi kesedihan yang mendalam menurut saya karena sangat berat untuk meninggalkan orang tua asuh kami dan anak-anak yang mengikuti bimbel. Saya teringat dengan satu anak bernama Riko, dia adalah anak yang sangat pintar, anak kelas 6 SD yang memiliki semangat sangat kuat untuk belajar, ia sampai meneteskan air mata karena Pak Ayem, ayahnya menceritakan kepada kami kalau ia besok tidak mau bersekolah hanya karena ingin mengantarkan kami pulang. Saya pun tidak kuasa menahan air mata karena terharu melihatnya. Saya berpesan kepada Riko bahwa ia besok harus sekolah tidak boleh bolos. Hari keempat, hari terakhir kami ada di Desa Setra ini, bangun pagi kami bergegas untuk mandi dan sarapan pagi dirumah. Orang tua asuh kami sudah menyiapkan sedikit oleh-oleh yang nantinya kita bawa ke
mobil pick up. Itu adalah pengalaman yang tidak terlupakan bisa naik pick up bersama teman-teman sambil bercanda. Sesampainya di Desa Setra, kami langsung ke posyandu sebagai tempat penyerahan pihak sekolah kepada orang tua asuh. Saya bersama Ivana, Jane, dan Joice langsung bertemu dengan orang tua asuh kita bernama Pak Marno dan Ibu Ani. Orang tua asuh kami memiliki 2 anak yang satu sedang bersekolah di Yogyakarta dan yang satu lagi sudah berkeluarga. Pak Marno bekerja sebagai petani di ladang tetapi saat malam hari terkadang bisa juga berburu hewan dan Ibu Ani hanya menjadi ibu rumah tangga. Kami pun langsung diajak kerumahnya untuk beristirahat. Hari pertama, kami belum melakukan aktivitas yang berat di rumah pak Marno, sebaliknya kita beristirahat tidur siang sebentar, lalu berberes pakaian, mandi serta makan sore yang telah disediakan oleh orang tua asuh kita. Malam harinya kami jalan-jalan ke rumah tetangga, dan melihat keadaan Desa Setra pada malam hari, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan kami pun pulang beristirahat dirumah. Hari kedua, kami bangun pagi langsung berkunjung kerumah teman-teman yang lain untuk main sejenak, lalu kembali ke rumah untuk sarapan pagi, setelah sarapan kami pun untuk pertama kalinya pergi ke ladang bersama Pak Marno untuk menanam pohon pisang dan menanam jagung. Pengalaman pertama kali memegang cangkul dan menanam tumbuhan di ladang. Sepulangnya dari ladang kami pun pulang ke rumah untuk mandi dan makan siang bersama peserta lain dirumah kami. Setelah makan siang saya beserta Ivana langsung pergi ke rumah Pak Yahman untuk persiapan bimbel. Saat bimbel pun mulai, rasa letih semua hilang terbayar melihat semua raut muka anak-anak yang mengikuti bimbel semua tersenyum manis dan senang. Saya sangat senang dapat mengajari mereka Bahasa Inggris, sebagai hadiahnya setelah bimbel kami memberikan bingkisan kecil untuk mereka. Sepulang bimbel kami balik kerumah untuk mandi serta makan. Malam harinya kami berkunjung lagi kerumah tetangga, makan malam, lalu pulang untuk beristirahat. Hari ketiga, kami bangun pagi pukul 05.30 WIB langsung bersiap ke Posyandu membantu Ibu Kadus (Kepala Dusun) mempesiapkan bubur kacang hijau untuk diberikkan saat posyandu. Set elah itu kami
Saat diberitahukan bahwa akan dilaksanakan kegiatan Live In, saya tak sabar menunggu hari itu tiba dan menantikan sebuah pengalaman baru. Segalanya sudah kupersiapkan untuk menjalani kehidupan di pedesaan dan akhirnya hari itu tiba juga. Dengan menggunakan bus kami menuju Stasiun Senen dan menuju Stasiun Weleri menggunakan kereta dan kembali menaiki bus dari Stasiun Weleri untuk sampai di Paroki Santo Isidorus Sukorejo. Hembusan angin yang menyambut kami menghapus segala keringat perjuangan kami untuk sampai di Sukorejo dengan selamat walaupun panas terik matahari juga ikut menyambut kami. Di Sukorejo kami dibagi menjadi beberapa kelompok wilayah dan saya sendiri termasuk dalam wilayah Santa Maria Sekecer, saya akan tinggal bersama dengan temanku, Agatha. Setelah makan pagi dan diberi pengarahan oleh guru kami pun pergi ketempat tujuan sesuai daerah masing-masing dengan menggunakan truk pick up. Perjalanan yang cukup jauh kami tempuh untuk sampai di dusun Sekecer. Kurang lebih 1 jam dan akhirnya kamipun sampai di dusun Sekecer. Sesampainya di sana kami disambut ketua lingkungan dan para keluarga yang nantinya akan menjadi orang tua asuh kami selama di Sekecer. Satu persatu nama anak dan keluarga disebutkan dan yang terakhir dipanggilah namsaya dan temanku, kami akan tinggal bersama Ibu Suryani dan keluarganya selama 4 hari kedepan. Tak lupa kami juga membawa sembako untuk diberikan kepada orang tua asuh kami. Kebetulan tempat tinggalku yang paling dekat dengan gereja di Sekecer yang nantinya akan menjadi tempat pertemuan kami. Setelah membawa sembako bersama Ibu Suryani kami pun segera membereskan barang bawaan kami di kamar yang telah disediakan, kemudian kami disuguhkan beberapa makanan ringan sambil berbincang-bincang dan berkenalan dengan Ibu Suryani. Ibu Sur, itulah panggilan orang tua asuh kami, memiliki 2 orang anak yang masih kecil. Yang satu sudah kelas 6 SD namanya Berlin, sedangkan yang masih umur 1 tahun namanya Allan. Sungguh keluarga yang sangat bahagia mendengarkan tawa anak kecil yang begitu riang tanpa mengenal beban meringankan segala penat. Walaupun masih kecil, Berlin juga sering membantu Ibunya merawat Allan dan menyiapkan makanan. Ibu Sur juga mempunyai seorang suami namun saat itu sedang merantau di Jakarta jadi kami
tidak dapat bertemu dengan beli au. Namun yang kami sangat sayangkan adalah saat itu sedang musim kemarau dan ladang sedang kering sehingga kami tidak dapat ikut Ibu Sur berladang seperti yang biasa beliau lsayakan. Jadi selama ladang mengering Ibu Sur hanya dapat menunggu datangnya hujan agar Ia bisa kembali berla dang. Karena tak ada pekerjaan akhirnya saya dan Agatha berkeliling di desa tempat kami tinggal. Awalnya kami hanya mencari udara segar sambil menikmati pemandangan alam di desa, namun di perjalanan kami bertemu dengan banyak penduduk desa yang bertegur sapa dengan kami. Banyak yang menanyakan dari mana, dalam rangka apa kami datang, ada juga yang mengajak kami masuk kerumahnya untuk mengobrol dan kami juga disuguhkan makanan. Saat itu yang mengajak kami masuk ke rumahnya dan mengobrol yaitu keluarga Bapak Fransiskus, karena Bapaknya sambil bekerja jadi kami berbincang bincang dengan Ibunya. Ibunya sangat menyayangkan karena kelompok kami sedikit sehingga ia tidak kebagian untuk menjadi orang tua asuh padahal ia sangat ingin sekali untuk menjadi orang tua asuh. Ia juga banyak bercerita mengenai keluarganya. Ia memiliki 2 orang anak, yang satunya bekerja di Selandia Baru sebagai seorang koki dan yang satunya tinggal di desa membantu ayahnya bekerja sedangkan Ia sendiri bekerja merantau ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Di rumah itu juga Ia tinggal bersama cucunya yang masih kelas 3 SD bernama Felice. Setelah cukup lama berbincang-bincang kami pun akhirnya meminta izin untuk pulang karena hari sudah semakin siang dan tsayatnya Ibu Sur menunggu kami di rumah untuk makan siang. Segera kami pulang namun di tengah jalan ternyata kami bertemu Ibu Sur yang ternyata mengira kami kesasar dan hendak mencari kami. Setelah itu akhirnya kami makan siang di rumah, Ibu Sur sudah menyajikan kami makananmakanan yang rasanya membuat kami serasa ingin nambah terus. Saya tidak merasakan adaptasi yang begitu sulit karena mereka menyambut kami dan membuat kami senyaman seperti di rumah sendiri apalagi masyarakat desa yang kami temui juga sangat ramah dan selalu tersenyum dan menyapa kami. Karena Ibu Sur juga tidak memiliki pekerjaan lain ja di kami hanya berdiam di rumah, mengobrol bersama ibunya, dan bermain dengan Allan, terkadang di saat bosan kami
terharu karena ia menuliskan surat yang berisi dia sangat senang dengan kedatangan kami. Dan ia sangat ingin berjumpa lagi dengan kami. Begitu pula dengan Erda yang sering mengajak saya bermain dan mencari kami. Kami diajarkan untuk tetap rendah hati saat besar nanti ketika sukses tetap lah sederhana dan bersaing dengan sehat. Saya belajar banyak dari mereka, mulai dari sapaan yang mereka berikan sampai cara hidup dan bersyukur dengan apa yang ada. Rielda Anjani XI IPS 3 / 22 BELAJAR ARTI HIDUP DARI SEBUAH KESEDERHANAAN PEDESAAN Kami seluruh siswa dan siswi kelas 11 IPA dan IPS SMA St.Yakobus serta guru pedamping mengadakan live in di Jawa Tengah. Sebelum kami berangkat, kami diberikan pembekalan terlebih dahulu barang-barang apa saja yang harus kami bawa pada saat live in. Tanggal 2 November pun tiba, kami semua berkumpul disekolah pukul 19.30 WIB untuk bersiap-siap berangkat ke Stasiun Senen, setibanya disana tanpa diduga kami pun diguyur hujan yang deras. Setelah jam menujukkan pukul 20.30 kami pun bersiap untuk naik ke kereta. Sesampainya di dalam kereta kami pun langsung beristirahat, ada yang tidur, ada yang bercanda bersama teman-teman yang lain, tetapi saya memutuskan untuk berisitrahat. Pagi harinya, kami tiba di Stasium Weleri pada pukul 05.30 WIB. Disanalah kami siswa siswi IPA dan IPS berpisah. Kami langsung naik bus ke daerah Rawaseneng, Temanggung. Kami pun menghabiskan waktu 3 jam dari stasiun untuk sampai tiba di lokasi live in. Sesampainya disana kami langsung mengantar 18 siswa ke Desa Ngasinan, selebihnya berada di Desa Setra. Setibanya di kapel Ngasinan,kami pun melakukan ser ah terima peserta live in dari sekolah ke pihak orangtua asuh, serta dilanjutkan dengan makan pagi bersama. Setelah itu kami langsung melanjutkan perjalanan kami ke kantor Kecamatan Kandangan untuk urusan administratif, kami pun langsung bertemu dengan Bapak Tri selaku camat dari Kecamatan Kandangan beserta para staff nya untuk penyerahan secara simbolik. Dari kantor tersebut menuju ke desa tempat kami tinggal, kami naik kendaraan yaitu
Pada hari ketiga, kami membantu Ibu Ana membuat gula jawa, kami juga mencoba menaruhnya dalam batok kelapa serta melepasnya. Ternyata tidak seperti apa yang saya pikirkan, semua kegiatan yang saya lakakan sangat menyenangkan dan mengesankan apalagi bersama dengan orang tua asuh saya. Erda, sangat aktif dan senang sekali menggambar. Kami menemaninya hingga larut malam. Saya senang sekali ada Erda yang masih berusia 2 tahun ini, sangat gembira dalam hidup kesederhanaan ini. Begitu pula dengan Ita, ia anak yang berprestasi tetapi ia seorang yang pemalu. Setiap saya berjalan dan melewati rumah rumah warga, baik orang tua maupun anak muda, semua warga Ngasinan sangat murah senyum dan baik hati, setiap kami mampir ke rumah warga, mereka selalu menawarkan untuk makan dan minum. Dan ternyata beberapa warga disini adalah satu keluarga dan saling memiliki keterkaitan. Kekeluargaan antar keluarga sangat erat dan harmonis. Saya tidak menemukan kesulitan dalam hidup bersama mereka dan lingkungan yang baru ini, saya malah merasa nyaman dengan udara yang sejuk setiap hari dan bisa memberi makan ayam. Kami juga menambah wawasan bagaimana dan seperti apa ladang singkong dan bagaimana cara pembuatan kopi. Saya sangat bahagia dan bersyukur bahwa masih banyak orang orang seperti mereka yang tiap hari nya hidup sederhana tetapi masih mau menerima kami yang hidup serba ada juga ramah terhadap semua orang. Keterbukaan mereka dalam menceritakan keluarga dan hidup mereka sangat berkesan, jarang orang jaman sekarang mau dan ingin berbagi dengan orang lain. Apalagi kami orang kota bagi mereka. Tetapi mereka menerima dan memberikan yang terbaik kepada kami. Saya sangat berterima kasih banyak kepada mereka semua, terutama orang tua asuh saya. Pak Yarto yang hanya lulusan SMP tetapi dapat memberikan saya banyak pelajaran mulai dari cara bicara dan bersikap kepada orang lain. Mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara berladang. Erda dan Ita juga berperan penting dalam keluarga i ni, selain mereka membawa kebahagiaan bagi keluarga ini, begitu pula dengan saya, saya merasa memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga mereka dan seperti memiliki adik kandung sendiri. Ita membuat saya
berkeliling desa kembali. Sore harinya seperti yang sudah dijadwalkan kami mengadakan bimbel yang lokasinya di gereja setempat. Banyak anak-anak yang sudah berkumpul. Tak kami sangka mereka begitu antusiasnya untuk belajar, tak seperti kami yang terkadang malas belajar. Itu menjadikan kami sebuah motivasi untuk semangat belajar, kalau anak kecil saja bisa mengapa kami tidak? Karena banyaknya anak yang berkumpul akhirnya kami membagi tugas dan saya mendapatkan bagian mengajarkan Bahasa Indonesia kelas 3 SD. Setelah selesai mengajar kami berkumpul dan merencanakan kegiatan untuk hari esok, kami berencana untuk melsayakan jalan pagi bersama dan kerja bakti disore harinya sebelum bimbel. Setelah berkumpul, semuanya kembali ke rumah masing-masing untuk makan malam dan kebetulan malamnya akan ada ibadat di rumah penduduk. Jadi setelah makan malam, kami dan Berlin pergi ke rumah penduduk yang mengadakan ibadat, tempat orang tua asuh Ivan dan Jonathan tinggal. Ibu Sur tidak ikut karena harus menjaga Allan jadi hanya kami dan Berlin saja yang ikut. Setelah semuanya datang, ibadat dimulai dengan bahasa Jawa, semua nyanyian dan pembukaannya menggunakan bahasa Jawa, suatu pengalaman baru dimana mengikuti ibadat menggunakan bahasa Jawa yang sama sekali kami tidak mengerti. Namun untuk menghargai kami, pada saat bacaan kitab suci menggunakan Bahasa Indonesia agar kami dapat memahaminya. Mungkin karena hari itu hari pertama saya di desa itu, rasanya lelah sehingga saya langsung pulang setelah ibadat dan makanmakan. Keesokan paginya kami dibangunkan oleh ayam yang berkokok. Setelah bersiap-siap kami pun ke luar rumah dan berjalan pagi bersama teman-teman lainnya, menyusuri sawah dan pergi ke tempat sumber air. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau memanjakan mata kami yang selama ini hanya melihat gedung-gedung dan asap kendaraan bermotor. Sehabis berjalan-jalan semuanya kembali ke rumah masingmasing untuk makan pagi. Dan karena tidak ada pekerjaan akhirnya saya dan Agatha hanya bisa berjalan-jalan atau bermain di rumah bersama Allan sambil menunggu sore tiba dan mengajar bimbel dan kembali ke rumah untuk makan malam dan keesokan harinya juga sama seperti itu.
Kamis malam adalah malam terakhir kami di desa, kami semua mengadakan perpisahan sederhana. Kami duduk berlesehan dengan penduduk setempat, bertukar pendapat dan juga tak tertinggal makan malam yang sudah disiapkan para penduduk setempat. Di sana kami memberikan kesan dan pesan selama berada di desa itu, begitupun sebaliknya wakil penduduk setempat memberikan pula kesan dan pesan terhadap kami selama berada di desa. Dan akhirnya tiba saatnya kami harus pulang dan meninggalkan keluarga baruku di desa. Memang perpisahan bukanlah suatu hal yang menyenangkan namun tetap harus dijalankan karena masih ada kehidupan yang harus kita jalani. Namun perpisahan bukan harus dilupakan, tetapi dijadikan sebuah kenangan indah. Jumat pagi akhirnya kami berangkat dari dusun Sekecer menuju Paroki Santo Isidorus dan disana kami misa penutupan dan makan siang kemudian menuju Stasiun Weleri untuk kembali ke Stasiun Senen menuju Jakarta. Kembali ke Jakarta, kembali ke kehidupan nyata yang harus dijalani mau tidak mau susah maupun senang. Namun yang berbeda adalah kini saya lebih memahami arti perjuangan hidup yang sebenarnya. Christie A. T. / XI IPA 1 / 05
ESOK KAN BAHAGIA Malam telah larut. Hujan menambah dinginnya malam. Stasiun Pasar Senen dipenuhi orang-orang yang hendak berpergian. Jam yang tergantung di dekat tempat pemeriksaan tiket menunjukkan waktu pukul 23.00 WIB. Dari sebuah pengeras suara terdengar sebuah pengumuman, “Kereta Tawang Jaya tujuan Semarang telah tiba. Bagi para penumpang yang telah memiliki tiket dimohon segera memasuki gerbong sesuai tiket anda.” Seluruh siswa SMA Santo Yakobus memasuki kereta sesuai gerbong yang telah ditentukan. Perjalanan menuju Sukorejo pun dimulai. Selama perjalanan, ada siswa yang ngobrol, ada yang tidur, dan ada yang mendengarkan musik. Kami semua menikmati perjalanan menuju Stasiun Weleri dengan cara kami masing-masing.
SEDERHANA ITU INDAH Pada hari senin 2 November 2014, saya dan siswa SMA Santo Yakobus lainnya berkumpul di sekolah sekitar pukul 19.00 WIB. Kami melakukan perjalanan menuju stasiun senen dengan bus kira kira menempuh 1,5 jam lamanya. Kemudian kami berangkat dengan kereta pukul 23.00 WIB. Selama perjalanan saya membayangkan bagaimana tempat yang akan saya tinggali nanti. Selama perjalanan yang panjang akhirnya sampai di stasiun Waleri kemudian kembali menaiki bus untuk menuju Rawaseneng. Setibanya di Ngasinan, kita semua berkumpul di kapel untuk makan bersama kemudian bertemu dengan orang tua asuh kami. Saya bersama Marcella akan tinggal di rumah Pak Suyarto dan Ibu Ana. Saat hari pertama kesan saya tidak begitu kaget, hanya rumah mereka dekat dengan kandang kambing dan banyaknya ayam yang berkeliaran. Rumah mereka sederhana dan apa adanya. Mereka sangat terbuka pada kami, mereka juga sering bercerita tentang keluarga mereka dan menceritakan pengalaman hidup mereka. Walaupun agama kami dengan keluarga Pak Yarto berbeda tapi kami sama sekali tidak memandang perbedaan tersebut, malah kami sangat nyaman bisa tinggal bersama mereka. Saya dan Marcella berusaha selalu membantu dan melaksanakan kewajiban kami disana. Hari pertama kami masih mengobrol dan mengenal satu sama lain, mereka memiliki anak perempuan yang bernama Ita dan anak laki laki bernama Erda. Pada hari kedua, kami bangun pagi dan i kut pergi bersama ibu Ana ke tukang sayur, kami membeli bahan bahan untuk masak nanti siang, kemudian kami pulang dan membantu ibu Ana dengan masakan yang akan dibuat. Setelah itu Pak Yarto pulang dan mengajak kami untuk pergi ke ladang singkong dan melewati kebun kopi miliknya. Perjalanan kami menanjak dan lumayan jauh. Awalnya kami tergesa gesa untuk ikut turun melihat ladang karena jalan yang kami lewati sulit dan terjal, kami sering tergelincir awalnya, tetapi Pak Yarto membantu kami dengan menggunakan cangkulnya membentuk tangga-tangga agar kami dapat turun. Kemudian kami pulang dan mulai melihat cara pembuatan kopi tersebut. Kemudian ikut dan melihat sendiri proses penggilingan biji kopi tersebut.
LIVE IN KU Rumah orang tua asuh saya sangat sederhana, alas rumahnya masih berupa tanah padat. Nama orangtua saya adalah Bu Mur dan Pak Sulis. Beliau memiliki 2 anak bernama Bima dan Siti. Bima kelas 5 dan Siti kelas 12. Kami tinggal bersama selama 3 hari 4 malam sebagai bagian dari kegiatan Live In yang diadakan sekolah kami, SMA Santo Yakobus. Saat itu hujan turun dan saya dapati atap rumahnya bocor, cukup mengenaskan dan memprihatinkan. Kegiatan sore itu kami habiskan dengan perkenalan dan keliling dusun. Pada hari kedua kami bangun lalu cuci muka dan sikat gigi, kemudian makan pagi. Kami pergi ke ladang milik kelurga Pak Sulis. Kami membantu mengikat pohon cabai agar tidak rubuh. Cuaca saat itu cukup panas. Pada saat saya bekerja diladang saya berpikir, terkadang kita harus bersyukur dengan hidup yang kita jalani sekarang. Setelah itu kami berkeliling kebun kopi sambil berfoto-foto. Kami pulang ke rumah lalu mandi. Setelah itu kami ke Ngasinan untuk melihat pertandingan voli yang diadakan para warga dan para siswa. Setelah itu kami makan malam. Pada hari ketiga kami mengikuti kegiatan di posyandu dan kerja bakti. Setelah itu kami bersih-bersih dan makan siang lalu sorenya kami pergi misa di Kapel Ngasinan. Saya dan teman saya mendapat tugas padus. Setelah itu kami kembali ke Dusun Setro. Pada malam terakhir kami mengadakan malam keakraban antara orangtua asuh dan muridmurid. Malam tersebut kami sungkem-sungkeman. Disana kami mengalami 2x mati lampu. Hampir seluruh kepala keluarga bekerja sebagai petani dan bekerja di ladang. Pada hari terakhir sangat menyedihkan bagi saya untuk meninggalkan orangtua saya yang sangat perhatian bagi saya. Sebelum saya pergi saya meneteskan air mata. Kesan dan pesan saya selama live in sangat mengesankan dan saya merasa bersyukur dengan apa yang saya punya, lebih menghargai apa yang orang lain punya, lebih rajin lagi, membantu orang yang kesusahan, tidak mudah mengeluh, lebih menyayangi orangtua sendiri. Fenny/ XI IPS3/ 7
Pukul 05.11 WIB. Kami tiba di Stasiun Weleri disambut oleh indahnya pemandangan terbitnya sang mentari. Kami berangkat menuju Gereja Paroki Santo Isidorus menaikki sebuah bis sela ma 1 jam. Sampai di Gereja Paroki Isidorus, kami melihat Romo Agung sedang memberikan berkat kepada anak-anak SMP yang hendak memulai sekolah. Anak-anak itu adalah anak-anak dari asrama yang terletak di belakang gereja. Mereka bersekolah di sekolah yang tidak jauh dari asrama tempat mereka tinggal. Setelah memberkati anak-anak tersebut, Romo Agung langsung memberikan sambutan kepada kami para perserta Live In. Setelah mendengarkan sambutan dari Romo Agung, kami pergi menuju dusun masing-masing menaiki sebuah truk bak terbuka. Saya dan temanku, Fico mendapatkan tempat di dusun Gemuh Singkalang. Kami berdua tinggal di rumah bapak Ngasmen dan ibu Kartini selama 4 hari 3 malam. Saat kami baru sampai, kami sudah disuguhkan teh manis. Kami sudah menaruh kesan yang baik terhadap keluarga ini. Rumah bapak Ngasmen dan ibu Kartini sebenarnya cukup besar. Namun, kami merasa kasihan. Mereka tidak memiliki kamar mandi. Sehingga ketika kami hendak mandi, kami harus pergi ke rumah ibu Sukinah yang merupakan saudara dari ibu Kartini. Di rumah ibu Kartini, tinggal pula dua orang teman kami, Sean dan Joshua. Saya dan Fico mencoba mengajak bapak Ngasmen ngobrol. Kami bertanya tentang pekerjaannya. “Bapak ini kerjaannya meladang. Tapi kalau musim kemarau begini, ya saya nganggur.”, kata Pak Ngasmen. Seketika kami merasa sedih. Setelah menjawab pertanyaan tersebut, Pak Ngasmen memati kan rokoknya dan meninggalkan kami. Beliau masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebenarnya kami cukup kecewa dengan perbuatan pak Ngasmen, namun kami bisa menerima perbuatan pak Ngasmen. Mungkin ia hanya sedang stres. Malam telah tiba. Kami pun tidur. Kami tidur di sebuah kamar yang cukup kecil. Meski begitu, kami tetap dapat tidur dengan pulas karena lelah akan perjalanan. Pagi telah tiba. Kami bangun pada pukul 04.30 WIB. Kami dibangunkan oleh suara dari pengeras suara Masjid yang berada tepat di seberang rumah Pak Ngasmen. Pukul 07.00, Pak Ngasmen dan bu
Kartini pergi ke pasar mengendarai sebuah sepeda motor. Kami berdua tinggal di rumah. Pak Ngasmen dan Ibu Kartini pergi dengan waktu yang sangat lama. Karena bosan menunggu, kami pun pergi mengunjungi rumah teman kami. Di rumah teman kami yang lain tinggal ternyata lebih bahagia. Mereka semua lebih diperhatikan daripada kami. Kami mulai merasa kecewa terhadap orang tua asuh kami. Semua orang tua mereka juga mengalami nasib yang sama. Memiliki ladang, namun kemarau yang panjang menyerang dan mereka tidak dapat bekerja. Kami pulang pada siang hari dan makan siang di rumah Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Kami makan hanya berdua karena Pak Ngasmen dan Ibu Kartini telah makan terlebih dahulu. Setelah makan siang, kami pergi ke rumah Pak Tikno untuk mengadakan bimbingan belajar anak-anak di dusun Gemuh Singkalang. Kami cukup prihatin terhadap pendidikan di dusun ini. Anak kelas 6 SD masih belum lancar operasi hitungan perkalian. Bahkan untuk anak kelas 4 SD, operasi hitung pertambahan masih belum lancar. Saya memikirkan, bagaimana mereka bisa menjadi tumpuan keluarga apabila pendidikan mereka seperti ini? Malam telah tiba. Kami kembali pulang ke rumah Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Kini kami pulang lebih cepat dengan harapan dapat makan bersama Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Namun kenyataannya sangat mengejutkan. Kami malah disuruh pergi untuk mandi terlebih dahulu. Kami pun mengikuti apa yang disuruh oleh Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Ketika kami kembali ke rumah setelah mandi, kami mendapati bahwa Pak Ngasmen dan Ibu Kartini telah makan terlebih dahulu. Kami kecewa. Kami merasa seperti kami hanyalah anak titipan dan tidak dianggap sebagai bagian dari mereka. Apa salah kami? Kami sudah berusaha seramah mungkin dan berusaha untuk mengajak ngobrol Pak Ngasmen dan Ibu Kartini, namun inikah balasannya? Dikatakan bahwa kami disini sebagai keluarga angkat dari mereka, namun apabila perlsayaan mereka terhadap kami seperti ini, bagaimana kami dapat berbuat kasih dengan mereka? Keesokan harinya, terjadi lagi hal yang sama. Kami sudah tak tahan dengan perlsayaan Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Kami pun pergi
Pada malam kebersamaan kami makan bersama orang tua asuh dan bercerita tentang pengalaman sel ama 2 malam yang te lah kami l ewati. Dan pak ayem di panggil maju untuk bercerita tentang saya dan teman– teman sekamar saya, saya tidak ingat dengan semua kalimat yang beliau katakan tetapi ada satu kalimat yang sangat melekat di hati saya, yaitu “pada saat kacang – kacang yang kami tanamkan tumbuh, Bapak akan selalu ingat kalian “. Itu adalah sebuah kalimat yang singkat tetapi sangat berarti buat saya. Akhirnya kami pulang ke rumah dan tidur untuk malam yang terakhir di rumah pak Ayem. Pada hari keempat dan merupakan hari terakhir kami disana, kami mengobrol dan saling bertukar nomor telepon dengan pak Ayem. Tak lupa kami juga berpamitan dengan bapak dan ibu serta meminta maaf jika kami punya sal ah. Dan air mata pun bercucuran dari saya, begitu juga dengan ibu Warsiti yang tak hentinya menangis. Riko sampai tidak mau berangkat sekolah hari itu karena dia mau berpamitan dengan saya dan teman-teman lainnya. Diapun menangis dan tidak mau bangun dari tempat tidur. Saya sangat terharu dengan sikap riko yang seperti itu, kami sudah dianggap seperti keluarga sendiri, dan ibu pun mengantar kami menuju ke posyandu tempat bus kami berkumpul. Ibu tidak berhenti menangis. Ibu pun memberikan kami oleh–oleh dan berkata jangan lupa sama mereka dan selalu memberikan kabar jika sudah sampai di kota. Saya pun semakin terharu. Pada saat bis kami yang terakhir jalan ibu terus melambaikan tangan sambil menangis. Kami pun berangkat stasiun weleri untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kami sampai di Jakarta pukul 8.30 malam dan sampai sekolah pukul 10 malam. Live In menurut saya adalah pengalaman yang sangat berharga yang akan saya ingat hingga saya besar dan tidak akan terlupakan. Ryan Angelo/ XI IPS 3 / 24
kacang kami pun pulang untuk makan siang dan menikmati lingkungan sekitar. Di kampung waktu bukan menjadi patokan, asalkan matahari masih bersinar itu artinya mereka masih bisa bertani atau berladang. Setelah kami makan siang, kami mandi. Hari pertama saya mandi, saya kaget begitu melihat bak mandi terdapat 2 ekor ikan yang besar kira-kira setengah jengkal, saya bingung ingin berkata apa, karena tidak enak untuk menanyakan hal tersebut maka saya mandi saya t idak memikirkan ikan tersebut. Air yang berada di kampung tersebut sangat dingin seperti mandi air es. Pada sore hari kami menyaksikan pertandingan futsal antara pemain yakobus dengan pemain futsal sekitar. Kemudian kami melanjutkan dengan kegiatan bimbel untuk murid murid sekitar. Mereka belajar bahasa inggris, matematika dan IPA. Pada hari ketiga, saya bangun kesiangan, seharusnya saya bangun pukul 7 tetapi saya bangun pukul 8 pagi untuk persiapan pemeriksaan kesehatan gratis. Untungnya, acaranya juga mundur dan dimulai pukul 8.30 WIB. Saya mendapat bagian penerima resep dari dokter untuk diberikan obat kepada pasien. Saya, Patrick, Vania, Adrian, dan Natasha sangat sibuk hari itu hinggal pukul 12 siang, dan menerima pasien sekitar 80-100 orang dengan berbagai macam obat dan jumlah yang berbeda–beda. Akhirnya pengobatan gratis selesai dan saya pulang untuk makan siang dan mandi serta berkumpul bersama teman–teman. Kami bermain dengan anak–anak kampung yang ada, mereka sangat iseng dengan melempari saya dengan serangga–serangga yang ada di sekitar. Pada saat magrip atau senja waktu sana kami pulang untuk mandi dan bersiap untuk malam kebersamaan di rumah pak Yahman yang jaraknya sangat dekat dari rumah saya. Sebelum itu kami mengadakan misa bersama di dusun Ngasinan. Karena saya dan teman– teman saya lama maka kami tertinggal rombongan. Kamipun meminjam 2 motor milik pak Ayem. Pak Ayem juga meminjam motor teta ngganya. Kami merasa tidak enak dengan pak ayem, lalu pak ayem berkata di kampung pinjam meminjam motor itu sudah hal yang wajar dan sering sekali terjadi, di kampung tidak usah takut tidak ada kendaraan karena mereka sangat baik terhadap sesama dan sikap kekeluargaan sangat di terapkan disini. Saya sangat kagum akan sikap tersebut dan tidak tahu harus berkata apa, saya hanya bisa berkata terima kasih.
bermain ke rumah teman kami yang lain dan pulang hanya untuk makan dan tidur. Mengapa kami masih kembali meskipun telah dikecewakan? Karena kami hanya ingin menghargai dan tidak ingin ada makanan yang terbuang sia-sia. Kami sengaja kembali tidak pada jam makan yang sebenarnya. Kami kembali pukul 09.00 untuk makan pagi, pukul 14.00 untuk makan siang, dan pukul 19.30 untuk makan malam. Tibalah malam terakhir kami berada di dusun Gemuh Singkalang. Pada malam itu diadakan acara malam perpisahan. Pada acara itu, semua peserta Live In hadir bersama orang tua asuh masing-masing. Lagi-lagi kami dikecewakan oleh Pak Ngasmen dan Ibu Kartini. Mereka tidak hadir pada saat acara. Pada momen ini, kami sudah benar-benar merasa kecewa. Kami menikmati acara bersama teman-teman yang lain tanpa bersama orang tua asuh. Namun, kami tidak semata-mata menilai orang-orang di dusun ini hanya dari satu keluarga saja. Selama kami berada di dusun ini, kami merasakan keramahan dari penduduk lain. Kami selalu disapa jika bertemu walaupun kami tidak saling kenal. Setiap kami memasuki rumah seseorang, kami selalu disuguhkan makanan dan minuman oleh pemilik rumah. Kami juga merasa kasihan terhadap para penduduk dusun Gemuh Singkalang. Mereka tidak dapat bekerja akibat kekeringan. Saya dapat merasakan stres yang mereka alami. Banyak penduduk yang terkadang tidak fokus saat diajak bicara. Kami juga merasa kasihan karena kami mengetahui bahwa banyak sumber daya alam mereka yang hanya dijual dengan harga yang sangat murah karena tekanan dari perusahaan. Dari Live In ini, kami belajar bahwa masih banyak orang yang memiliki kehidupan yang lebih sulit dibandingkan dengan kita. Kita yang setiap harinya hanya dipusingkan oleh tugas dan sekolah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka. Mereka dipusingkan oleh bagaimana mereka akan makan esok hari, bagaimana mereka akan hidup esok hari. Kami ingin merubah kehidupan kami menjadi lebih baik dengan cara mensyukuri apa yang kami miliki saat ini. Mungkin saat ini kami masih banyak mengeluh karena sulitnya pelajaran di sekolah, memiliki orang tua yang terlalu mengurusi kehidupan kita, belum memiliki
barang-barang mewah, dan sebagainya. Harus kita sadari bahwa pelajaran yang sulit adalah bekal bagi kita di masa depan. Orang tua kita mengurusi kehidupan kita karena mereka sayang kepada kita. Barang barang mewah dan seluruh kekayaan kita hanya bersifat sementara. Ketika kita meninggalkan dunia ini, kita akan meninggalkan semuanya. Dan semua masalah ini hanyalah bersifat sementara. Semua masalah akan berlalu pada waktunya. Stephanus Nico XI IPA 1/24
PENGALAMAN MEMBANTU PROSES PEMBELAJARAN DI TK DAN KB ST. YAKOBUS Tak terdefinisikan. Dua kata itu yang langsung muncul di benakku mewakilkan perasaanku saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam tempat itu. Menit demi menit kuhabiskan untuk menunggu, sekaligus berusaha menyingkirkan sedikit kekhawatiran yang muncul entah karena apa. Inilah saatnya. Bel berbunyi menandakan segala aktivitas dalam tempat itu akan dimulai. Anak-anak kecil seketika berhenti dari apapun yang sedang mereka lsayakan dan berlarian menuju ke depan perpustakaan. Sudah ada beberapa ibu guru yang memegang mic, menunggu mereka berbaris dan langsung bernyanyi mengikuti lagu yang telah diputar di loudspeaker. Anak-anak itu diajak untuk ikut bernyanyi, menepuk-nepuk tangan dan menari-nari mengikuti lagu. Setelah beberapa menit yang kami lewatkan untuk bersama-sama menyanyi, berdoa, dan hormat bendera, anak-anak itupun diarahkan untuk masuk ke kelas masing-masing dengan berbaris membuat kereta terlebih dahulu. Setelah mereka masuk, sayapun diperkenalkan oleh guru mereka. Dikatakan bahwa saya akan berada disini membantu proses belajar mengajar mereka dan ketika sang guru menyelesaikan kalimat perkenalanku, mereka bersorak gembira dan hal kecil itu membuatku turut bahagia.
BELAJAR HIDUP DI DAERAH PERKAMPUNGAN Pada tanggal 2 November 2015, Sekolah kami mengadakan kegiatan wajib yang bernama live in, saya tidak sabar untuk menantikan kegiatan tersebut, saya sudah memilih teman sekamar saya untuk disana yaitu Adrian, Evan, Sebastian. Saya mengambil peran dalam kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis dan dipercaya sebagai koordinatornya. Kami berkumpul di sekolah pukul 7 malam untuk berangkat menuju stasiun kereta senen menuju stasiun weleri pukul 11 malam. Perjalanan dari stasiun senen menuju ke stasiun weleri membutuhkan waktu selama 6 jam, dan kami sampai di stasiun weleri pukul 5 pagi. Dalam perjalanan di kereta saya sangat lelah dan mengantuk, namun tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sesampainya kami di stasiun weleri kami menunggu bus yang akan mengantarkan kami menuju dusun Setra. Perjalanan dari stasiun weleri menuju dusun setra sekitar 3 jam. Setelah sampai kami di pertemukan dengan ayah dan ibu asuh kami masing masing, lalu pergi menuju rumah mereka masing – masing, Nama bapak asuh saya adal ah Pak Ayem dan Ibu Warsiti. Beliau memiiki 4 anak yaitu Mas Eko, seorang anak perempuan dan sepasang adik kembarnya yang bernama Riko dan Riki. Kami di sambut dengan baik oleh bapak Ayem dan keluarganya. Kami membersihkan diri kemudian makan siang bersama. Kami berbincang–bincang mengenai kegiatan–kegiatan yang akan kami laksanakan keesokannya harinya. Setelah selesai makan siang, kami pun di persilahkan untuk istirahat di kamar yang telah di sediakan. Pada hari kedua saya bangun sekitar pukul 6.30 pagi. Saya pun mandi dan bersiap untuk kegiatan hari ini. Kami makan pagi bersama dengan pak Ayem dan keluarganya, sedangkan ibu sudah pergi ke ladang duluan. Setelah kami selesai makan kami langsung menuju ke ladang milik pak Ayem dengan berjalan kaki, yang jaraknya cukup jauh kurang lebih 15 menit jalan kaki dengan tanjakan dan turunan. Kami membantu pak Ayem menanam kacang tanah. Kami menemukan banyak hal seperti sarang rayap yang ada di dalam ta nah ada juga ular hutan yang kami temui. Kami juga belajar cara menanam jagung mencangkul tanaman pisang, dan lain–lain. Dari kejauhan kami melihat ivana dan Debby yang juga sedang berladang. Setelah kami menanam
Posyandu…Adik kecilku tersayang
Mari belajar……
Beberapa jam berada disitu mengikuti segala hal yang mereka kerjakan, perhatianku terpsaya pada satu hal. Mengertilah bahwa mereka masih anak-anak . Batinku. Saya membatin bukan tanpa alasan. Memerhatikan dan merasakan. Itulah dua dari beberapa hal yang kulsayakan disana. Dalam mendidik dan membimbing anak-anak, sang pembimbing harus pandai melihat kondisi dan pengertian mereka harus dalam tentang bagaimana membuat anak-anak itu tetap nyaman dan fokus ketika diajar. Pakailah cara-cara yang tepat pula melihat bahwa mereka masih kecil dan sedikit lebih susah mendapatkan perhatian mereka. Satu per satu kegiatan terselesaikan. Mendengar tawa mereka, tanpa sadar membuatku ingin tersenyum. Ternyata begini rasanya, ketika kita dapat menciptakan kebahagiaan untuk orang lain. Hal-hal kecilpun dapat membuat mereka bahagia dan juga membuatku bahagia. Dalam ruangan berukuran belasan meter persegi ini, saya menghabiskan waktu bersama anak-anak yang begitu antusias dan luculucu. Di sekolah ini, mereka mulai diajarkan untuk mensyukuri bahkan dari hal-hal terkecil, diajarkan untuk memimpin, berdoa sebelum memulai suatu kegiatan, dan hal-hal lain yang akan berguna di masa yang akan datang. Tanpa kusadari, waktunya telah tiba untuk pulang bagi anak-anak TK. Ini juga berarti tugas kedusaya akan dimulai. Membantu proses belajar mengajar anak-anak yang lebih kecil lagi “KB”. Saat memasuki ruang kelas mereka, saya tersadar, perbedaan umur menghasilkan banyak perbedaan. Dari frekuensi bicara mereka, tanggapan mereka atas suatu hal, dan lain-lain. Membantu mengajar anak-anak yang berbeda umur membuatku memahami bagaimana harus menempatkan diri dan melsayakan cara berkomunikasi yang berbeda, menyesuaikan dengan sifat dan tanggapan anak yang berbeda-beda pula. Hal-hal tersebut tak mudah untuk dilakukan. Tetapi ketika kita berusaha untuk menikmatinya, perlahan hal-hal yang sulit itu menjadi mudah dan menyenangkan.
Setelah tiga hari membantu dan habislah tugasku di sini, muncul perasaan senang dan sedih bersamaan. Kiranya apa yang kudapatkan di sini dapat berguna pada masa mendatang. Terima kasih KB & TK St. Yakobus! Angeline Putri Williamsto / XI IPA 1 / 04
Mari kita bergotong royong, membersihkan lingkungan
Stasiun Pasar Senen – Menunggu kereta Tawang Jaya
Solusi fitness di dusun
Banyak hal kecil yang menurut saya tidak terlalu penting namun sebenarnnya itu adalah suatu hal besar bagi orang lain. Toleransi beragama perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingin memperbarui diri saya meliputi antara lain yaitu saya lebih bertoleransi terhadap sesama, mensyukuri segala yang Tuhan berikan kepada saya, dan tidak takut atau tertutup terhadap ras lain, jangan takut di kucilkan jika anda tidak mau mencoba terlebih dahulu. Helena Aurellia/XI IPS2/16
“Pak Masinis…Mana keretaku…”
Olahraga, sehat jiwa dan raga
“Sabar ya nak….” Kata guruku tersayang
Suasana dalam kereta api
“Naik kereta api Tut……tut…….”
berbicara, saya takut jika salah sedikit saja akan menyakiti perasaan mereka. Saya merasa bahagia di sana karena saya merasa sangat spesial, saya merasa keluarga asuh saya mengaggap kami anak-anak mereka. Jika ada seseorang yang berkunjung mereka akan membuatkan macammacam gorengan, dan menggelar tikar, lalu kami juga tidak diperbolehkan terlalu capek dalam bekerja disana. Pengalaman yang berkesan adalah saat saya jatuh bersama Ivana naik sepeda dan bersamaan dengan sepeda ontel. Saat itu juga ke dua t eman saya jatuh dari motor. Orang tua asuh kami merasa sedih sekali melihat kami ber 3 jatuh. Dia merasa itu adalah kesalahan dia. Lalu saat malam kebersamaan dimana saya dan teman-teman saya menyalami keluarga asuh kami, dan mereka menangisi kita karena mereka tidak ingin berpisah, bahkan saat saya sudah pulang mereka tetap meng sms saya. Bahkan pak Yahman yang menyuruh kami pulang pada hari minggu. Saat beliau mengantarkan kami ke stasiun karena beliau tidak ingin berpisah dari kami. Relasi antar anggota keluarga mereka sangatlah dekat dibandingkan dengan mayoritas keluarga di kota yang jarang bertemu dengan anak mereka. Jangakan untuk mengerjakan pr bersama seperti keluarga pak Yahman, untuk mengambil rapot saja terkadang bentrok dengan waktu. Yang memegang peranan penting dalam keluarga adalah bapak Yahman karena beliau adalah tulang punggung punggung keluarga, walapun juga ibu yahman memiliki lahan yang cukup luas dari ke dua orang tua nya, tapi tetap sajah pak Yahman lah yang menggarapnya. Kedudukan perempuan sangat tinggi menurut saya, karena ibu yahman yang selagi hamil tidak diperbolehkan untuk bekerja terlalu berat begitu juga kami. Relasi antar generasi sangat erat ya, karena anak anak mereka bermain dengan segala umur. Begitu juga dengan ibu dan bapak-bapak disana, mereka saling membantu tanpa ada nya perbedaan. Kesenian disana masih banyak yang dipertahankan, hampir setiap malam mereka mengadakan latihan menari leyak yang di ikuti oleh anak muda disana. Toleransi beragama erat dalam kehidupan sehari-hari seperti saat magrib, orang tua asuh kami menyuruh kami tidak terlalu kencang kencang berbicara.
berkah, beda dengan kami yang yang hanya menanggap hal besar saja sebagai berkah. Antara lain hujan, kami mengaggap hujan adalah hal biasa dan mungkin merugikan kita karena jika hujan turun, maka make up dan segala dandanan kami luntur seketika. Di keluarga asuh saya mereka sangat bersyukur sekali jika hujan turun karena mereka tidak usah untuk bangun pagi pagi untuk menyirami ladang mereka. Mungkin anak kota juga akan senang menyambut hujan karena hujan akan mendatangkan banjir dan akhirnnya sekolah di liburkan, hanya hal itu saja yang terpikirkan oleh anak kota. Hidup keluarga asuh kami bisa dibilang cukup mapan karena mereka sudah memiliki banyak lahan ladang yang secara bergantian panen nya. Saya banyak mengenal keluarga masyarakat yang berada di sekitar kami berkat ibu Yahman yang membawa kami berkeliling ke seluruh tetangga untuk membagikan selebaran kegiatan live in. Antara lain saya mengenal keluarga pak Ayem, pak Primus, dan pak Tri Waluyo karena letak mereka yang berdekatan. Saya juga bersosialisasi dengan banyak keluarga yang berbeda agama antara lain bapak Bejo yang ber agama islam juga orang tua dari ibu Yahman yang berbeda agama dari keluarga pak Yahman. Mayoritas dari mereka kurang mengenyam pendidikan yang baik. Saya menangkap banyak keprihatinan di dalam masyarakat antara lain keluarga pak Ayem yang hanya memakai baju seadanya yang boleh kami katakan sedikit sobekan disana sini, makanan yang cukup sederhana serta bangunan rumah yang semi permanen. Lalu ada juga keluarga pak Tri Waluyo yang hanya memakai gorden sebagai pintu kamar, gorden pun hanya memakai kain bekas partai politik yang sudah kusam dan bangunan rumah nya yang memakai kayu dan bisa dillihat dari luar. Mereka hidup sederhana karena keterbatasan eknomi mereka, namun mereka tetap ingin menyenangkan kami sebagai tamu disana. Kesulitan di dalam live in saya adalah saat saya harus berbaur kepada seluruh lapisan masyarakat yang ada di sana, banyak karakter yang mungkin tidak sesuai dengan hati saya, namun saya juga harus menerima mereka dengan baik. Jalan keluarnya adalah saya mencoba ramah kepada mereka, dan melakukan segala yang di arahkan kepada kami. Kesulitan bersosialisasi dikeluarga kami adalah saat saya
PERJALANANKU Sekolah Santo Yakobus mengadakan Live In ke daerah Sukorejo. perjalanan dimulai dengan naik bus dari sekolah menuju Stasi un Senen dan dilanjutkan dengan naik kereta sekitar 7 jam. kami sampai di Stasiun Weleri pada jam 5 pagi . sedikit melelahkan karena saya tidak nyenyak saat tidur di kereta. dari Stasiun Weleri, dilanjutkan dengan naik bus menuju Gereja Isodorus. Disana kami bersiap- siap untuk pergi ke desa masing-masing dan mengumpulkan handphone. kami diminta untuk tidak membawa handphone agar lebih fokus kepada acara ini. dengan naik sebuah pick up, saya dan teman-teman berjalan cukup jauh untuk sampai ke desa Pilangsari. jalan yang ditempuh pun tidak begitu bagus, masih banyak batu-batuan dan jalan menanjak dan menurun. sampai di desa Pilangsari sekitar jam 10 pagi. kami disambut oleh warga setempat dan kami di perkenalkan kepada orang tua asuh kami masingmasing. Orang tua asuh saya bernama Pak Sudarno dan Ibu Wahyuni. mereka adalah orang yang baik. saat saya sampai dirumahnya saya disuruh untuk beristirahat sambil menunggu makan siang. Kami beristirahat sebentar, berberes tas dan berganti baju. Lalu saya dipanggil oleh ibu asuh saya untuk makan makan siang. setelah makan siang saya masuk ke kamar karena masih lelah dan tidak berniat untuk keliling kampung. sekitar 2 jam kemudian teman-teman saya datang dan membangunkan saya. mereka bermain sebentar lalu mengajak saya berjalan mengelilingi kampung. Pada sore hari saya dan teman-teman mengadakan acara bimbingan belajar bersama anak-anak disana hingga sore hari dan kembali ke rumah orang tua as uh saya Keesokannya pada pagi hari kami mengadakan acara bakti sosial kepada masyarakat disana. hingga siang hari banyak warga yang datang untuk ikut acara pemeriksaan gratis tersebut. Orang tua asuh saya berkata kepada saya bahwa masyarakat di desa ini merasa senang dengan diadakannya acara ini karena mereka untuk memeriksa kesehatan saja butuh waktu, uang dan tenaga yang cukup untuk pergi ke kota. Saat acara selesai saya di ajak untuk ikut rujakan bersama temanteman. Kami makan mangga bersama dan saat sore mengajar di kapel hingga petang dan kembali ke rumah orang tua asuh saya.
Hari kamis, dari pagi hingga jam dua siang saya hanya berkeliling desa dan mengobrol bersama orang tua asuh saya. Hari itu sangat panas dan matahari sangat terik. Biasanya saya akan masuk ke kamar dan menyalakan ac namun disini kami hanya bisa menyalakan kipas. Pada jam 2 siang kami kembali mengajar di kapel untuk hari terakhir. sa ya bermain sepeda bersama dan berfoto-foto. Anak-anak disana mengingatkan saya pada keadaan di Jakarta. Di Jakarta sudah tidak ada lagi waktu bermain bersama dengan tetangga, berlari, bermain sepeda atau berkeliling kampung. Saya terbiasa bermain dengan gadget dan seakan lupa bahwa kami memiliki tetangga yang dapat diajak bermain atau ngobrol. Pada malam hari kami mengadakan acara perpisahan bersama orang tua asuh saya. Kami bertukar kesan pesan bersama lalu dilanjutkan dengan makan bersama. Makan bersama kali ini terasa berbeda. Ini adalah maka malam terakhir kami disini. Biasanya saya makan sendiri sambil menonton tv dan tidak pernah makan di meja bersama dengan orang tua saya. Sedangkan di sini, saya terbiasa makan bersama sambil duduk di meja dan mengobrol sesuatu atau apa yang telah kami lakukan hari itu. Setelah makan kami bernyanyi untuk menghibur dan kembali ke rumah orang.tua asuh kami untuk tidur di hari terakhir. Keesokannya, saya dibangunkan oleh orang tua asuh saya untuk sarapan. Kami berberes sebentar, mandi dan sarapan. lalu saya meninggalkan rumah orang.tua asuh saya dan pergi ke kapel.untuk kembali ke jakarta bersama. Ada rasa sedih karena harus meninggalkan mereka. Orang tua asuh saya adalah orang yang sangat baik. mereka ramah dan juga sangat menyayangi saya. Saya banyak berbincang dengan mereka. saat hendak pergi untuk kembali ke Jakarta, saya berpelukan dengan orang.tua asuh saya dan bersalaman dengan semua orang tua asuh disana. dan kami kembali ke jakarta. Pelajaran yang saya dapat disana adalah saya harus memiliki rasa syukur atas apa yang kita sudah miliki. masih banyak orang yang lebih kurang dari kita. Jangan mengeluh atas apa yang kami miliki. Saling ramah dan peduli kepada orang lain juga pelajaran yang saya dapat. Belajar lah peka terhadap lingkungan dan orang lain. Saya belajar untuk mengenal satu sama lain dan memanfaatkan waktu luang untuk
kami telah sampai di stasiun Senen dan menlanjutkan dengan bus menuju SMA Santo Yakobus. Dari acara live in ini, saya dapat mengambil beberapa nilai yang sangat berharga dan hanya bisa didapat melalui pengalaman ini. Seperti masih banyak orang yang kurang beruntung dibandingkan dengan kita, dan kita harus selalu ingat untuk bersyukur atas segala sesuatu yang kita miliki. Warga disana juga jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan warga kota yang sama sekali tidak peduli dengan sesamanya, walaupun warga di kota lebih bercukupan. Gladys Mawarni/XI IPS 2 / 15 PELAJARAN HIDUP Anggota keluarga live in saya adalah bapak dan ibu Yahman, serta ke 2 anak mereka Jessica dan Fabian, dan juga calon bayi yang ada dalam kandungan ibu Yahman. Di live in saya dan teman-teman saya membantu membersihkan rumah orang tua asuh kami seperti menyapu, mengepel, mencuci piring dan membersihkan tempat tidur. Saya dan teman teman saya juga membantu orang tua asuh kami bekerja di ladang antara lain mengikat tanaman cabai ke kayu yang sudah disiapkan agar tidak terbawa angin jika ada hujan angin. Saya merasa hidup sangat sederhana dan mandiri, karena saya hidup tanpa alat komunikasi yang biasannya selalu berada di tangan saya tanpa batas, saya juga bangun pagi dengan tanpa dibangunkan dibangunkan oleh ibu asuh saya. Biasannya di di Jakarta saya selalu di bangunkan oleh mama saya. Saya juga membersihkan rumah tanpa disuruh oleh orang tua asuh saya. Saya juga tidak berfoyafoya hidup disana, saya hanya membeli sesuatu tanpa berlebihan sedikitpun. Bisa dibayangkan, saya membawa uang sebesar 700 rb namun saya hanya memakai 70rb dalam seminggu. Kalau saya di jakarta mungkin dalam waktu hanya 5 jam di mall saya akan menghabiskan uang tersebut tanpa sisa. Saya banyak mendapatkan nilainilai hidup keluarga asuh saya. Contoh sederhana adalah anak pak Yahman selalu mencium kedua tangan orang tua saat hendak berpergian. Di keluarga saya di jakarta, saya sudah tidak pernah lagi untuk mencium tangan orang tua saya jika hendak berpergian. Contoh besar lainnya adalah mereka menganggap semua hal kecil sebagai
Di kebun cabe, kami diceritakan bagaimana cara menanam cabe yang benar, berapa harga cabe di pasar, dan betapa susahnya menumbuhkan cabe. Setelah itu kami juga diberi kesempatan untuk memetik cabe. Setelah kami selesai memetik cukup banyak cabe, kami kembali ke dusun untuk beristirahat dan minum teh manis bersama. Kemudian kami semua berbincang bincang sampai mala m. Keesokan harinya, kami bertiga mengambil tugas pemeriksaan kesehatan gratis, sehingga kami bertiga pergi ke dusun setro menaiki mobil sekolah. Sesampainya di dusun Setro, kami diberi tugas di puskesmas selama kurang lebih 3 jam. Selesainya kami bekerja, saya pergi mengelilingi dusun Setro bersama teman-teman saya yang menetap disini. Kemudian kami berkumpul di suatu rumah dan berbincang–bincang bersama sampai akhirnya kami berkumpul kembali pergi ke dusun Ngasinan untuk mengikuti misa di kapel. Kami pergi ke dusun Ngasinan dengan mobil pick-up dan dalam waktu 10 menit kami sudah sampai di dusun Ngasinan. Sesampainya di sana, misa segera dimulai pada pukul 17.00 WIB dan selesai kurang lebih pukul 18.30 WIB. Seusainya misa, mereka semua kembali ke dusun Setro dan kami yang berada di dusun Ngasinan bersiap-siap untuk acara malam kebersamaan. Sesaat sebelum kami pergi ke kapel untuk acara tiba-tiba seluruh dusun mati listrik, untungnya tidak berlangsung dengan lama. Pada acara malam kebersamaan, seluruh peserta live in harus menceritakan tentang pengalamannya disini, setelah itu warga desa yang ingin bercerita juga diperbolehkan. Bapak asuh kami, Pak Tri bercerita tentang bagaimana ia sangat senang dengan adanya kehadiran kami di rumah nya, kami bertiga sangat terharu mendengar perkataan pak Tri untuk kami. Keesokan harinya, pada pukul 08.00 pagi kami sudah mengucapkan perpisahan kepada orang tua asuh masing-masing, ada diantara kami yang menangis, ibu asuh kami juga ikut meneteskan air mata, sungguh kejadian yang mengharukan. Setelah 3 jam berkendara di bus, dan setelah mampir di sebuah restaurant untuk makan siang, kami kembali berada di Stasiun Weleri dan siap untuk menaiki kereta pada pukul 14.38 WIB. Pada pukul 22.00
digunakan dengan sebaik-baiknya bukan hanya untuk bermain gadget atau yang lainnya. Jessica Presticia/XI A 2 / 14
DESA GEMUH, P EMBELAJAR KEHIDUPANKU Live in bagiku adalah sebuah pengalaman yang berharga. Mengapa demikian? Karena saya dapat merasakan sebuah kehidupan yang berbeda yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Pengalaman ketika saya dapat hidup bersama kedua orang tua asuh yang sangat menyayangi saya padahal saya belum pernah mengenal mereka sama sekali. Pak Riwanto begitulah saya memanggil bapak asuh ku, dan Ibu Remi itulah nama istri dari bapak asuhku, Bapak dan ibu memiliki seorang anak bernama Eni. Mereka adalah orang yang sangat ramah, baik, dan penyayang. Hidup nya sederhana tetapi mereka menikmati hidupnya sehari–hari. Mereka tinggal di Desa Gemuh Karanganyar atau lebih dikenal dengan Gemuh atas. Saya dan temanku, Alvin tinggal bersama mereka selama 4 hari 3 malam. Kami di perlakukan dengan baik disana. Intinya saya bersyukur dapat pengalaman diasuh oleh mereka. Sungguh begitu banyak perbedaan di kota dan desa. Bapak Riwanto adalah seorang petani. Ia memiliki ladang yang sangat luas, ladang itu ditanami jagung dan padi. Tetapi mayoritas memang jagung. Saat kesana, pekerjaan menanam dan memanen sedang tidak dapat dilsayakan akibat kemarau panjang, sehingga bapak melsayakan kerja sampingan yaitu menebang pohon – pohon yang mati untuk dijadikan arang, ada pula batang yang diambil untuk diolah menjadi bahan bangunan. Alvin dan saya pun ikut membantu bapak melsayakan tugasnya. Selain itu bapak juga merawat sebagian hutan jati milik negara, sebagai imbalannya, bapak boleh menanam jagung juga di hutan itu tetapi ia harus membersihkan hutan itu dari daun – daun yang rontok. Mungkin pekerjaan yang sederhana, hanya memungut daun dan membakarnya, tetapi bayangkan disaat bapak harus memungut daun di lahan yang sangat luas, dan daun – daun berserakan dimana – mana mungkin bila dihitung ada ribuan daun betebaran. Pekerjaan yang
mudah bila dipikirkan tetapi berat bila dilsayakan. Saya berani berkata demikian karena saya telah merasakan mengerjakan pekerjaan itu. Ibu Remi adalah seorang ibu rumah tangga, ia adalah seorang yang sangat rajin. Sejauh penglihatanku, ia selalu bekerja baik mencuci, memasak dan membersihkan rumah. Yang paling berkesan bagiku, adalah masakan ibu, masakannya sangat lezat. Bahkan harus kusayai bahwa ibu adalah seseorang yang ahli dalam memasak, dia tidak pernah menggunakan bumbu instan melainkan meracik bumbunya sendiri. Saya rasa jika harus memakan masakannya setiap hari saya tidak akan pernah bosan atau ingin makan masakan lain. Banyak hal yang saya dapatkan disana dan akan saya ceritakan satu per satu. Hal pertama yang saya dapatkan adalah “kekeluargaan”. Masyarakat di desa memiliki rasa kekeluargaan yang sangat erat. Bapak selalu mengajak temanku, Alvin dan saya untuk makan bersama baik pagi mau pun malam. Kami tidak langsung makan begitu saja, melainkan kami saling melayani satu sama lain dan yang terpenting kami selalu mengawali makan dengan doa bersama di meja makan. Bahkan di Jakarta, di dalam keluargsaya sendiri, kami tetap makan bersama tetapi jarang sekali untuk berdoa bersama. Itu adalah sat u hal kecil yang tidak dapat saya lupakan dari desa. Hal kedua yaitu “keramahan”. Keramahan masyarakat di desa sangat tinggi. Tidak kusangka, di desa tidak ada sifat individualisme sedikit pun. Bila di Jakarta, banyak orang yang saling bertemu tanpa menyapa satu sama lain. Tidak demikian bila di desa, baik orang yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal, mereka akan tetap menyapa kita. Sapaan pun diberikan dengan penuh kehangatan dan senyuman yang menunjukan keceriaan. Dengan demikian komunikasi antar satu orang dengan orang lainnya menjadi semakin sering sehingga sifat individualisme tidak akan pernah dapat muncul. Satu lagi contoh kecil yang dapat mengubah sesuatu yang besar di dalam kehidupan. Hal ketiga yaitu “murah hati”. Murah hati dalam memberikan apapun yang dimiliki secara iklas. Mereka dapat memberi apapun yang mereka miliki kepada tetangga yang membutuhkan tanpa menghitung bayaran atau meminta timbal balik. Contoh kecil yang saya lihat sendiri, yaitu ketiga hari siang hari, saat hari kedua saya tinggal di rumah bapak
kami diberi kamar pribadi dengan beberapa bantal dan selimut. Kamar mandinya juga cukup layak untuk dipergunakan. Setelah kami bertiga selesai membersihkan diri dan membereskan barang-barang kami, ibu Sesilia mengajak kami untuk makan cemilan dan minum teh manis. Kami bertanya tentang pekerjaan nya “Bapak mempunyai kebun kopi yang jaraknya cukup jauh, kira-kira 3 km. jika ingin mengunjungi harus menggunakan motor” kami pun bertanya apakah kami bisa mengunjungi kebun kopi tersebut besok pagi, dan Pak Tri menyetujuinya. Saat malam tiba, teman-teman kami yang menetap di dusun Ngasinan berkumpul di rumah kami untuk mengobrol, kami semua bercerita tentang rumah yang kami tempati, suasanan dusun ini yang sangatlah berbeda dengan suasana di Jakarta, dan tentang warga yang tinggal di dusun ini. Seusai kami puas bercerita dan bercanda tawa, mereka semua kembali ke rumah masing-masing dan kami pun bersiap untuk tidur. Ranjang kami memang sempit, tapi kami masih bisa tidur dengan pulas. Pagi telah tiba, kami dibangunkan dengan ketukan di pintu dan suara ibu Sesilia yang mengingatkan kami untuk bersiap pergi menuju ke kebun kopi. Kami segera bersiap-siap dan makan pagi. Saat kami sedang makan pagi mas Mario tiba tiba datang dan mengatakan bahwa kami tidak bisa pergi ke kebun kopi dikarenakan motor nya rusak. Kami sangat kecewa dan sedih karena telah menantikan berkunjung ke kebun kopi Pak Tri. Namun kami tetap berusaha untuk mencari kegiatan untuk hari ini. Teman kami, Kezia dan Rannie berencana untuk pergi ke kebun cabe milik orang tua mereka, kami memutuskan untuk mengikuti mereka berkunjung ke kebun cabe bersama dengan 2 teman lainnya Vincent dan Steven. Perjalanan menuju ke kebun cabe cukup jauh dan melelahkan karena menanjak, tapi pemandangannya sangat bagus dan udaranya sangat segar, berbeda sekali dengan udara di Jakarta yang sudah terpolusi dengan asap. Kami juga diberitahu berbagai macam pohon yang ada di dalam perjalanan. Setelah kurang lebih 10 menit kami sampai di kebun cabe.
atas pengalaman live in ini karena dengan pengalaman live in ini saya mendapatkan pelajaran baru serta keluarga baru. Melalui kegiatan live in ini saya diajarkan tentang beberapa hal yaitu: 1) sikap menghargai apa yang telah diberikan oleh Tuhan YME dan orang tua 2) sikap rendah hati dimana kita tidak boleh sombong tentang apa yang kita punya dan kita capai 3) 3. Keberanian untuk memulai pembicaraan sehingga suasana canggung pun dapat mencair menjadi suasana keakraban 4) Sikap kerelaan untuk melayani dan berkorban demi kebaikan bersama “ Semoga cita-citamu semuanya tercapai, menjadi anak yang pandai, dan menghargai apapun yang sudah diberikan oleh orang tua ” - Pak Sugito Andrew Renaldy /XI-IPS 2/ 4 LIVE IN DI NGASINAN Pada hari Senin, 2 November 2015 seluruh siswa sis wi SMA Santo Yakobus kelas 11 akan pergi mengikuti acara live in. Pukul 23.00 WIB kami semua telah tiba di Stasiun Senen dan menaiki kereta Tawang Jaya menuju Semarang. Dalam perjalanan selama 6 jam di dalam kereta, ada siswa yang mengobrol, ada siswa yang tidur, ada pula yang mendengarkan musik. Pukul 05.00 WIB kami telah sampai di tempat tujuan, Stasiun Weleri. Siswa IPS berangkat menuju dusun Ngasinan dengan bus selama 3 jam. Sesampainya di dusun Ngasinan kami semua dikumpulkan di dalam kapel untuk acara penyambutan dari Perwakilan SMA Santo Yakobus, bapak Probo dengan kepala dusun, Pak Tri. Seusai makan siang, siswa yang menetap di dusun Ngasinan berpisah dengan siswa yang menetap di dusun Setro. Saya, Priscillia, dan Sharon menetap di dusun Ngasinan. Kami bertiga tinggal di rumah Pak Tri dan Ibu Sesilia dengan putranya bernama mas Mario. Rumah Pak Tri dan Bu Sesilia tidak begitu besar, namun tidak sempit juga,
Riwanto dan Ibu Remi. Saat itu saya sedang duduk di meja makan menunggu giliran untuk mandi, tiba – tiba ada tetangga yang datang dan masuk ke dapur, berbicara bahasa Jawa kepada ibu, intinya tetangga itu meminta sayur untuk dimasak agar dia dapat makan siang, mungkin karena dia tidak memiliki penghasilan hari itu. Ibu langsung mengambil kangkung yang belum dimasak, lalu memasukannya ke dalam kantung plastik dan memberikan sayur itu kepada tetangga ta di. Tanpa meminta imbalan, ibu memberikannya dengan senyuman ceria, seperti ada kepuasan dari muka ibu saat dapat membantu orang lain. Setelah menerima sayur itu, sang tetangga pun mengucapkan terimakasih dan kembali ke rumah nya. Saya tercengang melihat kejadian ini. Lalu saya bertanya kepada ibu, untuk apa sayur itu ibu berikan kepada tetangga tadi. Lalu ibu menjawab dengan ringan “ya untuk dia makan siang”. saya makin tersentuh, padahal hari sebelumnya, bapak dan ibu bercerita kepadsaya bahwa mereka sedang tidak memiliki penghasilan karena kemarau panjang melanda desa mereka. Sudah tiga bulan tidak hujan. Tetapi tetap saja ibu rela memberikan sayur yang ia beli dengan uang seadanya akibat itdak memiliki penghasilan. Sungguh luar biasa hal yang saya pelajari. Jika kubandingkan dengan di Jakarta, menurutku ada satu sekat yang membatasi hal ini tidak mungkin terjadi, sekat ini berbunyi “Jika tidak ada uang sama dengan tidak makan”. Satu lagi hal yang dapat mengubah aspek hidup di masyarakat. Hal terakhir yang saya dapatkan yaitu “semangat menggereja”. Semangat menggereja masyarakat di desa Gemuh sangat tinggi. Kapel untuk melaksanakan Ekaristi terdapat di Gemuh bawah, jalannya cukup jauh dari Gemuh atas, tetapi masyarakat dari Gemuh atas selal u datang ke kapel tepat pada waktunya bahkan sebelum misa di mulai. Saya tidak melihat satu orang pun terlambat untuk hadir di misa. Bayangkan dengan keadaan di Jakarta, banyak orang memiliki mobil dan kendaraan tetapi banyak orang yang terlambat. Sedangkan disana masyarakat hanya memiliki motor atau ada juga yang hanya berjalan kaki tetapi tidak ada yang terlambat. Di dalam melaksanakan misa pun juga sangat jauh berbeda. Masyarakat Gemuh berdoa dengan sangat khusuk dan bernyanyi dengan sangat bersemangat, jika di Jakarta orang – orang
mungkin hanya berkomat – kamit saat bernyanyi atau mungkin sibuk dengan handphonenya saat misa berlangsung. Masih banyak hal – hal yang saya pelajari dari desa, tetapi setidaknya itu adalah empat hal yang sangat berkesan ketika saya ada disana. Walaupun sedemikian banyak hal baik di desa Gemuh, tentu tetap ada hal buruk yang masih ada disana. Hal buruk yang masih di pelihara disana adalah “Budaya Patriaki” yaitu budaya yang menganggap laki – laki lebih tinggi dan kuat dibandingkan perempuan. Disana Alvin dan saya tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah seperti membantu ibu memasak, kata ibu memasak adalah tugas seorang perempuan. Sebesar – besarnya kami hanya diizinkan untuk mencuci piring kami sendiri setelah makan atau gelas se telah minum, lebih dari itu kami tidak diizi nkan. Ibu juga tidak pernah makan bersama kami dan bapak, ibu akan makan setelah kami selesai makan, pernah satu kali saya berkata kepada bapak bahwa saya ingin mengajak ibu makan, tetapi bapak mengelak dengan menjawab “bagi ibu makan bukan sebuah keharusan, dia sudah sering kenyang soalnya nyium bau masakan”. Dari situ saya mengerti bahwa budaya patriaki masih sangat kental didalam masyarakat. Contoh lain adalah ketika misa, semua laki – laki duduk di barisan se belah kanan, sedangkan perempuan duduk di barisan sebelah kiri. Laki – laki boleh berpindah ke barisan kiri tetapi tidak ada perempuan yang berpindah ke barisan kanan. Saat salam damai, semua orang harus saling bersalaman satu sama lain, perempuan harus mendatangi semua laki – laki untuk bersalaman, tetapi laki – laki hanya perlu berdiam diri di tempat dan menunggu disalami. Berkaca dari pengalaman ku selama live in, saya menyadari bahwa kehidupan itu bukan sesuatu yang mudah. Tetapi berbagai masalah kehidupan dapat diatasi ketika kita saling membantu dan solidaritas yang tinggi. Langkah konkret yang ingin saya lsayakan adalah dengan menjadi orang yang ramah dan murah hati. Hanya dengan dua hal tersebut saya yakin saya dapat mengubah setiap aspek kehidupan yang saya miliki sekarang ini. Tentunya berubah menjadi lebih baik. Markus Aminius Gielbert/XI IPA 2 / 20
itu kami mengorbankan seluruh pikiran dan tenaga kami untuk melayani masyarakat sekitar baik dalam bidang kesehatan maupun kebersihan. Pengalaman yang paling berkesan bagi saya pada hari itu adalah kegiatan posyandu dan pemeriksaan kesehatan karena melalui kegiatan tersebut saya dapat kembali berkenalan dan mempererat hubungan dengan warga sekitar. Sedangkan untuk pengalaman yang kurang berkesan adalah kurang teraturnya kegiatan malam kebersamaan. 4. Jumat, 6 November 2015 Hari itu adalah hari yang cukup menyedihkan bagi kami karena kami harus berpisah dengan orang tua asuh kami dan kembali ke Jakarta. Suasana di pagi tersebut diwarnai dengan rasa kesedihan terutama oleh para orang tua asuh karena harus melepas kepergian murid-murid SMA Santo Yakobus yang sudah tinggal dengan mereka selama 4 hari. Sebelum berkumpul di posyandu kami berpamitan dengan orang tua asuh kami sekalihgus memberikan cinderamata berupa selimut sebagai rasa terima kasih kami kepada orang tua asuh kami. Sebelum berpisah Pak Sugito sempat berpesan kepada kami agar kami tidak sombong dan tetap rendah hati serta mendoakan kami. Terakhir beliau juga berpesan agar menemuinya ketika bapak dan ibu pergi ke Jakarta. Setelah itu kami pun berkumpul di posyandu untuk acara penutupan. Acara penutupan dimulai dengan perpisahan oleh perwakilan dari ketua lingkungan, kemudian dilanjutkan dengan beberapa patah kata dari kepala dusun dan terakhir adalah perpisahan terakhir antara orang tua asuh dengan murid-murid SMA Santo Yakobus. Pada perpisahan terakhir semua murid SMA Santo Yakobus pun menangis karena harus berpisah dengan orang tua asuh mereka masing-masing. Kami semua pun pergi ke bus kami masing-masing dan pergi menuju stasiun Waleri untuk pulang ke Jakarta. Pada hari ini saya merasakan bahwa orang tua asuh telah menjadi orang tua kami yang kedua karena mereka selalu membimbing kita dalam menjalani live in, menunggu kami padahal kami telah pulang malam, dan tentunya merawat kami dengan baik walaupun kami bukan anak kandungnya. Terkadang saya juga meminta maaf apabila kurang membantu tetapi beliau tetap saja tersenyum sambil berkata tidak apaapa tidak perlu ada yang dibantu. Oleh karena itu saya sangat bersyukur
mempelajari bahasa inggris. Kegitan ini pun berakhir pada pukul 14.00 dimana anak-anak pulang dengan membawa bingkisan yang telah disediakan oleh pelajar SMA Santo Yakobus. Setelah itu kami pun bermain dengan murid-murid SMA Santo Yakobus yang lainnya sampai pukul 14.00. Saya pun kembali kerumah untuk mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kapel di Dusun Ngasinan. Pada pukul 14.30 kami pun pergi ke Dusun ngasinan dengan menggunakan mobil pickup. Setibanya disana kami pun menjalankan misa penutupan kegiatan Live in sekaligus penyerahan plakat. Kami pun kemudian menikmati hidangan snack sambil menunggu kendaraan kami tiba. Kendaraan pun tiba dan kami pulang ke Dusun Setro untuk acara malam kebersamaan pada pukul 20.00. Pada pukul 20.00 malam kebersamaan pun dila ksanakan. Sayangnya acara ini tidak berjalan dengan baik karena kami menyianyiakan 1 jam hanya untuk mengobrol dengan teman-teman dan bukannya dengan warga sekitar sehingga banyak warga yang pulang. Melihat hat hal itu akhirnya dibentuk panitia acara malam kebersamaan yang terdiri dari saya, Gebi, Debby, Christa, Evan, Eldo, dan Fernaldy demi terlaksananya kegiatan malam kebersamaan. Acara pun akhirnya lebih tertata dan terlaksana dengan baik meskipun diwarnai dengan pertentangan diantara kami. Acara pun berakhir pada pukul 22.30 dan kami semua kembali kerumah masing-masing untuk berkemas-kemas untuk pulang pada besok pagi. Pada hari ketiga ini saya merasa bahwa batas-batas antara keluarga, masyarakat dan murid-murid SMA Santo Yakobus sudah hilang, para murid sudah tidak lagi kesulitan untuk berbicara dengan orang tua asuh dan masyarakat. Hal itu terlihat dari perbincangan dan keakraban diantara murid-murid dengan orang tua asuhnya termasuk saya dengan teman-teman satu rumah karena kami menjadi lebih nyaman untuk berbicara dengan orang tua asuh kami. Kemudian kami pun juga kembali bersosialisasi dan berpartisipasi dalam membantu dan melayani masyarakat yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti posyandu, pemeriksaan kesehatan, dan bimbel. Kami pun menjalankan tugas tersebut dengan penuh kebahagiaan karena kami dapat lebih berkenalan dan mengenal masyarakat sekitar. Nilai-nilai yang saya dapat pada hari ini adalah nilai kerelaan untuk melayani dan berkorban karena pada hari
PENGALAMAN LIVE IN DI DESA GEMUH Senin, 2 November 2015 Sekolah Santo Yakobus mengadakan kegiatan live in untuk kelas 11. Kelas 11 IPA termasuk saya live in di daerah Sukerejo, Jawa Tengah. Hari itu kami berkumpul di sekolah pukul 19.30 WIB. Pukul 20.30 WIB kami berangkat dari sekolah dan menuju Stasiun Senen. Lalu kami naik kereta dari sana hingga ke Stasiun Weleri selama lebih dari 6 jam. Saya tidak tidur sama sekali di kereta karena terlalu seru bermain dan mengobrol bersama teman – teman. Tidak terasa, pagi harinya kami sudah sampai di Stasiun Weleri. Dari situ kami melanjutkan perjalanan dengan bus ke paroki Santo Isidorus ,lalu naik pick up menuju desa masing – masing. Kami semua dibagi dan dipisahkan menjadi 5 desa. Saya dan 19 teman lain serta 1 orang guru pendamping yaitu Ibu Jessica pergi ke Desa Gemuh. Kondisi Desa Gemuh sangat indah karena desa ini terletak di kawah gunung, desa ini dikelilingi pegunungan yang sangat indah. Saat sampai di depan rumah orang tua asuh bersama teman serumah saya yaitu David, kami sangat senang karena dapat bertemu orang tua asuh saya, yaitu Bapak Tikno. Beliau adalah orang yang sangat baik dan asyik untuk teman ngobrol, serta rumahnya juga strategis karena terletak di tengah desa, tepat di sebelah gereja dan juga kondisi rumahnya yang bisa dibilang sangat baik di desa tersebut. Setelah meletakan tas di rumah Bapak Tikno, tiba- tiba guru pendamping kami yaitu Bu Jessica menyuruh kami kembali mengangkat tas kami karena kami dipindah ke rumah yang terletak di ujung desa Gemuh. Setelah pergi ke rumah orang tua kami yang sesungguhnya, kami mulai berkenalan lagi dan kami ijin untuk beristirahat karena kelelahan di perjalanan. Orang tua kami bernama Bapak dan Ibu Sukardi. Bapak Sukardi bekerja di ladang jagung sedangkan Ibu Sukadi bekerja sebagai petani tembakau. Setelah perkenalan dan obrolan singkat, kami diberikan minuman dingin dan buah mangga. Hari pertama saya habiskan untuk berkeliling desa, termasuk ke Gemuh Atas karena ternyata di Desa Gemuh dibagi menjadi 2 wilayah
dimana 10 orang di Gemuh Atas dan 10 orang lainnya termasuk saya di Gemuh Singkalang. Perjalanan menuju Gemuh Atas awalnya terasa sangat melelahkan karena lintasan yang menanjak serta dipenuhi batu – batuan. Namun pada hari – hari berikutnya ternyata tidak begitu melelahkan seperti di hari pertama. Di hari pertama ini kami juga mengajar bimbingan belajar yang hanya didatangi 6 orang, yaitu 3 anak kelas 1 SD dan 3 anak kelas 3 SD. Pertama kali saya mengajar kelas 1 SD saya agak bingung karena bahasa. Beberapa dari mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia. Hari kedua kami membantu Ibu Sukardi di sawah tembakaunya. Kami membereskan sisa sisa batang tembakau yang daunnya telah diambil. Kami mengetahui bahwa harga tembakau di desa ini rendah bila sampai ke Jakarta harganya naik berkali kali lipat. Kami sedih mendengar fakta ini dimana harga tembakau per kilo yang dijual Bu Sukardi adalah Rp. 1.700,00. Siang harinya kami kembali mengajar bimbel, namun saya mengajar anak kelas 3 SD dan masalah yang dihadapi masih sama seperti kemarin. Malam harinya ,kami berkumpul di rumah Bapak Tomo untuk bermain bersama. Hari ketiga Ibu dan Bapak Sukardi menyuruh kita untuk beristirahat. Saya dan teman – teman yang lain pergi ke sekolah yang ada disana untuk melihat – lihat. Sekolah di Desa ini hanya ada SD, SMP dan SMA terletak di luar desa. Kondisi SD disini cukup baik walaupun terletak di ujung desa, sehingga perlu waktu yang agak lama untuk pergi ke sekolah. Setelah berkeliling, saya kembali mengajar bimbel dan dilanjutkan dengan misa bersama warga sekitar. Agak membingungkan karena misa-nya menggunakan bahasa Jawa. Hari keempat kami tidak memiliki pekerjaan apapun, karena Ibu dan Bapak Sukardi menolak untuk dibantu. Ternyata teman – teman yang lain juga begitu. Sehingga kami memutuskan untuk berkumpul di pagi hari untuk membicarakan acara perpisahan yang akan kami laksanakan hari ini pukul 18.00 WIB. Kami menyusun lagu dan membicarakan isi acara. Setelah pukul 14.00 WIB, kami pergi ke gereja untuk bimbel lalu dilanjutkan dengan bermain volley dengan anak anak setempat. Setelah acara perpisahan selesai, kami mulai berbagi pengalaman satu sama lain dan makan bersama. Setelah acara itu
pergi ke ladang dan lapangan dengan berjalan kaki dan motor. Lalu kami juga kembali bersosialisasi dengan masyarakat baik dengan Masyarakat di Dusun Setro maupun Ngasinan melalui permainan olahraga. Kami pun bahagia karena kami dapat berkenalan dengan masyarakat di dusun lain. Suka kami pada hari ini adalah ketika bermain voli dengan pemuda di Dusun Ngasinan karena melalui permainan tersebut kami menjadi kenal dengan mereka. Sedangkan untuk duka adalah kurangnya campur tangan kami dalam membantu Pak Sugito dalam berladang. Kami juga menemukan nilai-nilai lain yang ada didalam keluarga kami yaitu nilai kesederhanaan dan nilai menghargai serta nilai kerendahan hati karena didalam keluarga ini kami melihat bahwa perlengkapan yang ada didalam rumah ini terbilang sederhana sehingga kami belajar bahwa dalam kehidupan ini tidak diperlukan benda-benda yang mahal untuk memenuhi kebutuhan kami karena kenyataannya benda-benda yang sederhana pun juga dapat memenuhi kebutuhan hidup kami. 3. Kamis, 5 November 2015 Pada hari Kamis, kami berempat mendapatkan tugas masingmasing dimana saya harus membantu teman-teman di Posyandu dan pemeriksaan kesehatan. Kegiatan di mulai pada pukul 7.30 WIB dimana tugas saya hanyalah membagikan snack kepada anak-anak yang sudah ditimbang kemudian mencatat tensi, keluhan, nama, dan umur pasien serta membukukan daftar pasien. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 7.30 sampai pukul 12.00 dimana kami melayani sekitar 99 pasien orang dewasa dan 40 orang balita dan anak-anak. Selama kegiatan posyandu dan pemeriksaan kesehatan saya banyak belajar dan berbincang dengan ibu-ibu setempat mengenai keadaan masayarakat disini. Keluhan yang dihadapi pun juga mulai dari pusing, kesemutan, sakit pinggang, demam, batuk-flu, hingga amandel. Setelah selesai mengerjakan tugas di posyandu dan pemeriksaan kesehatan, saya pun mandi dan langsung bergegas kerumah Pak Yahman untuk membantu kegiatan bimbel. Rumah Pak Yahman penuh dengan anak-anak yang sedang belajar bersama siswa-siswi SMA Santo Yakobus tentang menggambar, bahasa inggris, bernyanyi dan sebagainya. Kegiatan ini berjalan dengan menyenangkan karena antusias anak-anak dalam belajar terutama dalam
Ternyata Ibu Rusmi akan ke ladang pada jam 7 pagi sehingga kami diminta untuk membantunya pada pukul 7 pagi. Setelah mendengar kabar tersebut kami pun kembali tidur sampai pukul 6.45 . Pada pukul 7 kami pun kembali bertanya kepada Ibu Rusmi untuk mengajaknya pergi ke ladang. Namun sayangnya Ibu Rusmi tidak jadi ikut ke ladang sehingga kami pun akhirnya pergi ke ladang dengan arahan dari Ibu Rusmi. Perjalanan pun terasa cukup jauh karena kami pergi menuju ladang dengan berjalan kaki. Setelah 10 menit, kami pun bertemu dengan Pak Sugito dan membantunya membawakan perlengkapan yang ia bawa. Beliau kemudian mengajak kami ke ladangnya. Disana kami melihat berbagai macam tumbuhan yang dimiliki oleh beliau seperti nanas, jengkol, kopi, lada, durian, dan nangka. Pada pukul 8.30 WIB kami pun kembali ke rumah untuk beristirahat dan membersihkan diri. Setelah kami selesai mandi kami pun kembali tidur sampai pukul 1 siang. Pada jam 1 kami pun pergi ke rumah teman-teman kami untuk mengobrol dan bermain bersama. Pada pukul 2.30 sore kami kembali kerumah untuk bersiap-siap bermain voli dengan warga Dusun Ngasinan. Kami semua berangkat dengan menggunakan motor. Setibanya disana kami berbincang dan berkenalan terlebih dahulu dengan warga sekitar. Kemudian kami pun berjalan ke lapangan dan bermain voli dengan pemuda di Dusun Ngasinan. Permainan pun berjalan dengan menyenangkan dan berlangsung sampai dengan jam 5.30 sore. kami pun tiba dirumah pada pukul 6.00 sore dan langsung membersihkan diri. Setelah itu kami pun bermain dirumah dengan teman-teman sampai pukul 9.00 sore. Lalu kami pun tidur. Pada hari kedua ini kami merasa bahwa kami sudah mulai bisa beradaptasi dengan orang tua asuh dan masyarakat sekitar karena rasa cangggung di dalam rumah kami perlahan-lahan telah hilang meskipun kami masih sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena Pak Sugito mengalami gangguan pendengaran. Namun kami tetap berusaha berkomunikasi dengan beliau dengan menggunakan suara yang lebih keras. Kami juga sudah mulai berpartisipasi dalam membantu pekerjaan orang tua asuh kami yaitu dengan membantunya di ladang. Kemudian sikap kemandirian kembali dilatih karena kami harus
ditutup kami pergi ke rumah Bapak Tomo lagi untuk bermain dan ngobrol bersama – sama. Kami semua menginap disana dengan ijin dari orang tua asuh kita masing – masing. Hari kelima , kami memulai perjalanan di Desa Gemuh dari pukul 06.30 , hingga akhirnya sampai di Sekolah Santo Yakobus pukul 21.30. Banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari live in di Desa Gemuh ini. Mulai dari bagaimana saya harus menerima dan mensyukuri apa yang ada, dalam bentuk makanan, kondisi rumah ataupun bentuk lainnya. Serta saya juga belajar bersosialisasi dengan orang yang baru saya kenal dimana selama ini di Jakarta sangat sulit untuk bisa mengenal tetangga sebelah. Saya dan mungkin kami semua juga belajar bahwa sangat seru dan menyenangkan untuk bisa berkumpul bersama dan meninggalkan gadget dan teknologi yang kita punya seperti yang kita lakukan tiap malam di Desa Gemuh. Giovanno Alvin/ XIA2/10
LIVE IN YANG KUTUNGGU Senin, 2 November 2015 menjadi hari yang sangat kutunggutunggu karena pada hari itu, saya akan melakukan live in di Sukorejo. Kami di minta berkumpul di sekolah pukul 19.30 WIB di sekolah dan berangkat ke stasiun senen jam 22.00 WIB dan menunggu kereta hingga jam 23.00 WIB. Setelah kereta tiba kami langsung masuk dan menunggu hingga sampai dari jakarta menuju Sukerejo membutuhkan waktu kurang lebih 9 jam kami di kumpulkan di paroki untuk di jemput menggunakan mobil pick up ke desa masing masi ng, Selama di perjalanan menuju ke Santo Paulus Gebangan saya dan teman – teman heran karena jalanan yang kami lewat sangat rusak dan berliku – liku dan semakin ke dalam j alanannya semakin rusak sampai terlihat gapura selamat datang dan mulai terlihat beberapa rumah, kami turun dari pick up dan langsung di serahkan kepada orang tua asuh kami masing – masing, nama orang tua asuhku Bapak Sutoto tapi yang menyambut saya adalah seorang ibu yang merupakan istri bapak Sutoto, ibu Dewi namanya
Setelah berkenalan dengan ibu Dewi saya dan Gio diajak masuk ke dalam rumahnya, memang tidak seburuk yang ku pikirkan kamar kami cukup layak ada kipas angin, ranjang dan lantai berubin. Setelah beristirahat sebentar kami di ajak untuk makan, makananya juga tidak seperti yang kubayangkan makanan cukup enak setelah makan kami mempersiapkan diri untuk mengajar, saat berbincang – bincang aku bertanya " Bu, bapak kemana ? “ lalu bu Dewi menjawab “ bapak jadi koki dek di angke surabaya jadi jarang pulangnya mungkin nanti hari sabtu” lalu ada seorang anak kecil yang baru pulang sekolah Tirta namanya, putri Bu Dewi yang paling kecil, setelah berbincang lumayan lama aku mengajak Tirta mengikuti bimbingan belajar. Pelajaran pertama saat datang ke desa ini adalah sikap persaudaraan dan saling terbuka satu sama lain. Walaupun kami belum mengenal bu dewi dengan baik tetapi Bu dewi memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Warga kampung Gebangan hidup dengan damai yang sudah sulit kita temukan di kehidupan Jakarta. Pada sore hari kami melakukan bimbel, setelah bimbel kami pulang dan telah tersedia makanan yang sudah disiapkan bu Dewi, kami makan bersama, kemudian beristirahat karena sudah malam. Hari kedua kami bangun lebih awal dan membereskan tempat tidur kami. Mungkin hal yang sepele tetapi sering aku lupakan karena di rumah saya pasti dibereskan orang lain tetapi di sini saya belajar membereskannya sendiri. Kami keluar rumah dan mulai berjalan – jalan, ada seorang ibu yang lewat dan menyapa kami, itu adalah hal baru bagi saya karena jarang ada orang asing yang menyapa orang di jakarta setelah berjalan – jalan kami di ajak makan pagi oleh ibu Dewi, kemudian kami membantu bapak Sur untuk memasukan pupuk ke dalam karung. Pupuk tersebut berasal dari pupuk organic, hasil dari limbah peternakan sapi. Setelah selesai membantu kami diajak bermain ke sungai. Perjalanan ke sungai cukup jauh dan melelahkan, kami harus berjalan selama lebih dari 30 menit untuk sampai di sana. Kami bermain air sampai puas dan kembali lagi ke desa. Sampai di desa saya mandi dan makan siang karena akan melanjutkan bimbingan belajar kepada anak-anak SD sekitar desa kami. Kami pulang masing – masing ke rumah orang tua asuh. Sampai di rumah, ibu Dewi telah menyiapkan
lebih dari 50 tahun, memiliki 3 anak, dan sudah memiliki 3 cucu. Setelah kami meletakkan barang-barang kami didalam kamar tidur kami pun mulai berkenalan dan berbincang dengan orang tua asuh kami tentang berbagai macam hal seperti sudah berapa lama tinggal dirumah ini, berapa umur kedua orang tua asuh kami, dan lain-lainnya. Pada hari tersebut kami belum terlibat dalam aktivitas kedua orang tua kami karena biasanya mereka pergi ke ladang pada jam 5 atau jam 7 pagi. Kehidupan di dusun dan di kota pun sangat berbeda karena di dusun Setro kami dituntut untuk hidup mandiri dan sederhana dimulai dengan merapikan ranjang sendiri, menyapu rumah, mencuci pakaian sendiri, dan lain sebagainya. Setelah berbincang dengan orang tua asuh kami, kami pun pergi mengelilingi desa untuk berkenalan dan berbincang dengan orang tua asuh teman-teman kami yang lain seperti Pak Ayem, Pak Primus, Pak Walman, Ibu Ramini, dan lain sebagainya mengenai kehidupan di Dusun ini. Tentu saja kami mengalami kesulitan ketika kami pertama kali tiba di Dusun Setro karena kami baru bertemu dan berkenalan untuk pertama kalinya sehingga suasana yang muncul pun adalah suasana canggung. Namun untuk mengatasi kesulitan tersebut kami pun harus menghilangkan rasa malu kami untuk bertanya dan berbincang dengan orang tua asuh kami sehingga pada akhirnya kami pun dapat menikmati keakraban dan kegembiraan baik dengan orang tua asuh maupun masyarakat di dusun Setro. Pada hari ini kami menemukan nilai kemandirian di dalam keluarga dan masyarakat karena di hari pertama tersebut kami harus mencuci baju, merapikan ranjang, dan menyapu rumah. Suka kami pada hari ini adalah sikap keterbukaan dan keramahan para orang tua ketika pertama kali menerima kami seda ngkan duka kami pada hari ini adalah kurangnya sikap keterbukaan dan keberanian kami dalam menyambut orang tua dan masyarakat sekitar. 2. Rabu, 4 November 2015 Pada hari kedua ini kami bangun pada pukul 4 pagi dengan maksud untuk membantu Pak Sugito, namun ketika kami bangun kami tidak melihat sosok Pak Sugito sehingga pada akhirnya kami bertanya kepada Bu Rusmi tentang keberadaan Pak Sugito dan apa yang bisa kami bantu.
Kesederhanaan tidak hanya ada di rumah Ibu Ramini tetapi setelah saya mengenal tetangga-tetangga mereka semua hidup sederhana. Mereka memiliki sifat yang sangat ramah dan saling bertegur sapa, bahkan saya yang hanya tamu di desa tersebut saya sering ditawarkan untuk mampir ke rumah mereka, padahal mereka baru mengenal saya hanya 1 hari tetapi sudah akrab seperti sudah lama kenal. Antar tetangga pun mereka saling kenal dan akrab tidak seperti kehidupan di kota yang belum tentu mengenal tetangga. Saya juga terlibat dalam kegiatan masyarakat yaitu dalam pengobatan gratis. Tidak disangka ada 100 pasien yang mendaftar untuk berobat. Betapa susahnya berobat di daerah kecil seperti dusun Setro ini. Apa lagi saat diumumkan akan diadakannya pengobatan gratis banyak warga baik dari dusun Setro maupun Ngasinan mengambil kupon untuk berobat. Mayoritas yang berobat adalah warga yang berumur diatas 50 tahun. Biarpun proses pengobatan hanya dilakukan sederhana dan dengan fasilitas yang secukupnya. Bahkan saat pendaftaran sudah nomor 40 dan antrian pemeriksaan dokter baru sampai nomor 5. Tetapi mereka tetap mengantri dengan sabar walaupun hanya dilayani oleh 1 dokter. Dari semuanya saya sungguh senang bisa memiliki pengalaman untuk tinggal selama 4 hari di lingkungan yang penuh rasa syukur dalam kesederhanaan, kebersamaan dan keramah tamahan, dan saling mengenal antar warga yang seolah-olah terlihat tidak dalam masalah. Dari pengalaman ini saya banyak belajar untuk terus bersyukur, mengikhlaskan suatu hal, belajar untuk bisa saling menghargai, berbagi, memahami, dan peduli pada l ingkungan sekitar. Aurelia Angela Santosa/XI IPS 2 / 5 PAK SUGITO, ORANG TUA KEDUA SAYA 1. Selasa, 4 November 2015 Hari ini adalah hari pertama saya tiba di Dusun Setro sesudah melakukan perjalanan yang melelahkan dari Jakarta kemudian ke kecamatan Kandangan untuk bertemu dengan orang tua baru yang akan mengasuh saya selama 4 hari. Orang tua asuh saya bernama Pak Sugito dengan istrinya yang bernama Ibu Rusmi. Keduanya sudah berumur
makanan untuk kami santap. Kami istirahat di kamar dan bercerita pengalaman hari ini. Beberapa teman mengajak kami untuk l atihan di malam perpisahan. Kami selesai latihan cukup larut dan ternyata ibu Dewi dan ibu–ibu lain tetap menunggu kami hingga selesai latihan. Hal itu membuat saya sangat terkesan karena ibu Dewi sudah mencemaskan kami yang baru tinggal di sama selama 2 hari Hari ke tiga, pagi – pagi kami membantu membuat makanan sapi bersama pak Sur. Mata pencaharian warga desa Gebangan kebanyakan peternak, petani atau koki. Pemerintah setempat memberikan perhatian khusus kepada para petani dan peternak untuk meningkatkan produksi tanaman dan hewan ternak. Setelah itu kami semua pergi ke Goa Maria untuk berdoa. Setelah makan siang kami minta ijin bu Dewi untuk ke rumah maria dan tasya. Sebenarnya saya sangat jarang pamit kepada orang tua, jika ingin pergi langsung saja tetapi di sini saya belajar untuk berpamitan saat ingin pergi agar orang tua asuh ku tidak cemas mencari. setelah dari rumah tasya dan maria kami pergi mengajar anak - anak desa dan bermain bersama anak desa karena ini adalah hari terakhir kami disana. Malam hari kami mengadakan acara perpisahan yang diawali dengan perayaan misa. Hal yang menarik bagi saya adalah tempat untuk melaksanakan misa bersebelahan dengan masjid yang ini merupakan hal yang jarang kita lihat di kota – kota besar tetapi merupakan hal biasa di desa ini. Mereka dapat hidup berdampingan dengan baik dan tentram. Setelah misa dilanjutkan dengan sarasehan saling berbagi pengalaman hidup di desa dan hidup di kota kami. Soto khas Gebangan dihidangkan ditengah tengah kami sehingga suasana kekeluargaan sangat terasa. Saat pulang ke rumah saya dan gio merasa sedih karena besok paginya kami akan pulang ke jakarta Besok harinya saya bangun lebih awal untuk mempersiapkan barang – barang, tak terasa hari ini hari terakhir kami, kami makan pagi dan mendapatkan oleh – oleh dari ibu Dewi. Ibu berpesan agar makanan yang di berikan di makan hingga habis tidak boleh di buang. Bu Dewi memberikan nasihat – nasihat kepada kami, nasihat yang sangat berguna tentang hidup. Setelah berbincang – bincang kami pun pergi ke tempat berkumpul untuk ke paroki sebelum pulang ke Jakarta. Saat perpisahan ibu Dewi menangis dan itu membuat saya merasa sedih. Saya baru
mengenal ibu dewi beberapa hari tetapi hingga seperti itu ibu Dewi merasa kehilangan kami. Melalui live ini, saya belajar untuk berinteraksi dengan orang baru dan tidak terpaku pada diri sendiri. Semoga segala yang saya dapatkan selama live in tidak pernah saya lupakan Jonathan Naaman / XI IPA 2 /16 KAYLA Pada tanggal 2 November 2015, saya dan teman teman saya berangkat dari jakarta ke Desa Sukorejo. Kami menempuh perjalanan dengan menggunakan kereta selama 6 jam. Sesampainya kami di Stasiun Weleri, kami berangkat ke gereja Paroki Isodorus dengan menggunakan bus. Disana kami mengumpulkan HP dan dompet serta makan siang disana. Setelah makan siang disana kami dijemput menggunakan mobil pick up ke desa masing masing. Saya mendapatkan Desa Pilang Sari. Sesampainya saya di Desa Pilang Sari kami disambut oleh orang tua asuh kita semua. Kami diperkenalkan dan di ajak ke rumah masing masing sambil membawa sembako. Saya mendapatkan rumah Bapak Kristanto. Bapak Kristanto merupakan seorang petani jagung. Pak Kristanto sedang tidak memiliki pekerjaan karena musim kemarau sehingga ia hanya mengabil rumput setiap harinya. Rumah Pak Kristanto sangatlah sederhana. Lantainya beralaskan tanah dan atapnya langsung terlihat genteng. Kami berkenalan dengan semua orang yang ada dirumah itu. Ada Bapak Kristanto, istri Bapak Kristanto dan anaknya Angga serta ibu dari istri Bapak Kristanto. Hari pertama kami tidur pulas karena lelah di kereta. Kami bangun siang dan mandi. Kondisi toiletnya juga sangat sederhana. Beralaskan semen dan berisikan 2 buah gentong besar dan beberapa ember kecil. Saya dan teman saya Viero mandi bersama. Setelah mandi, saya dan Viero makan siang bersama bapak dan ibu Kristanto dan kemudian pergi ke rumah teman kami. Disana kami berkenalan dengan banyak warga desa. Kemudian kami duduk bersantai dan ngobrol sampai sore. Sore hari kita berkumpul di kapel daerah kami dan mengajarkan anak anak di desa itu
jauh dari rumah kurang lebih 16 km sehingga Putri harus membawa motor ke sekolah. Pekerjaan Ibu Ramini sehari-hari adalah membuat kerupuk yang berbahan dasar beras, singkong, pisang dan melinjo. Hari demi hari saya mulai mengenal setiap orang yang tinggal dirumah tersebut. Saya juga mulai mengobrol dengan mereka, biasanya saat makan siang dan saat setelah makan malam. Banyak sekali yang di perbincangkan dengan mereka mulai dari kehidupan kami di Jakarta sampai ke kehidupan mereka di dusun Setro dan perbincangan ini membuat kami semakin akrab. Pada hari Rabu saya membantu Ibu membuat kerupuk kerak. Ternyata pembuatannya tidak semudah yang di bayangkan . Setelah itu saya juga ikut Pak Primus ( saudara ibu Ramini) bersama Benja, Agassy, Aan, Daniel yang tinggal dirumah Pak Primus. Kami ke ladang untuk menanam kacang. Awalnya saya mengira ladang nya dekat, ternyata lumayan jauh dan banyak turunan curam, tetapi dengan adanya kebersamaan dan canda tawa tidak terasa jauh. Dalam kesederhanaannya dan sakit pada kakinya Ibu Ramini selalu bersyukur. Banyak hikmah dan pelajaran yang saya dapatkan dari seorang ibu Ramini. Beliau tidak pernah mengeluh, dia dengan kesederhanaannya menyambut dan melayani kami dengan senang hati, Tiada tersirat di wajahnya rasa capai ataupun kesal dengan keadaan terutama dengan kondisi kakinya yang sering sakit. Yang lebih saya kagum terhadap Ibu Ramini adalah Ia membuatkan kami ayam setiap hari nya tetapi ternyata ia tidak menyukai ayam. Pada saat kami hendak pulang kembali ke Jakarta pun kami di sediakan air panas untuk mandi pagi. Beliau bangun pagi hanya untuk merebus air panas padahal memasak air nya menggunakan tungku. Kondisi dapur nya pun belum menggunakan semen dan masih bercampur dengan ayam yang dibiarkan berkeliaran. Tidak terbayang oleh kami tidur dan tinggal dirumah yang sangat sederhana, rasanya malu pada diri sendiri karena selama ini saya merasakan tidur dan tinggal di rumah yang lebih baik tetapi suka marah pada keadaan karena tiadanya fasilitas yg saya inginkan atau bahkan tidak menyukai dengan apa yang ada.
dan hidup saling tolong menolong. Acara live in ini mengajarkan saya dalam pentingnya kebersamaan. Pengalaman Live in sangat berguna dalam hidup saya di kemudian hari untuk menghargai orang-orang kecil yang hidupnya tidak seberuntung seperti kita. Sikap sopan santun juga harus tetap di terapkan dalam kehidupan. Menyesuaikan diri dengan keadaan yang sederhana. Sangat terasa beda tinggal di desa dan di Jakarta, di Jakarta semuanya serba sibuk dengan urusannya sendirisendiri sedangkan di desa kita dapat hidup dengan tentram. Acara live in ini tidak akan terlupakan dan mengajarkan banyak hal-hal baik untuk hidup. Saya ingin lebih mandiri, tepat waktu dan berbuat baik kepada orang lain. Adella Charlene Oetama/XI IPS 2/01 IBU RAMINI DAN KESEDERHANAANYA Pada tanggal 2 November, kami seluruh siswa kelas 11 SMA Santo Yakobus melaksanakan Live In di dua daerah yaitu Rawaseneng bagi siswa IPS dan Sukorejo bagi siswa IPA. Kami pergi menggunakan bis AC saat ke stasiun senen tetapi menggunakan kereta ekonomi, saat di kereta. Pada awalnya kami mengeluh dengan sarana yang ada di kereta tersebut karena kursi nya yang keras membuat kami tidak bisa tidur dan AC yang tidak terlalu dingin. Tetapi kami sekarang bisa memahami bagaimana perjuangan orang yang bekerja di J akarta l alu ingin pulang ke kampungnya menggunakan kereta ekonomi. Karena diselingi dengan canda tawa kami pun tetap nyaman berada di kereta tesebut. Perjalanan kami cukup jauh kurang lebih 12 jam. Sesampainya disana kami berkumpul di kapel Ngasinan lalu menggunakan pick up menuju dusun Setro. Sangat seru saat naik pick up karena ini pertama kalinya, tetapi yang lebih membuat saya terkejut ternyata dari satu dusun ke dusun lain jarak nya cukup jauh dan di perjalanan tidak ada lampu dan banyak tikungan tajam. Dan yang lebih mengejutkan lagi saat menuju dusun Setro saya banyak melihat anak kecil yang sudah dapat mengendarai motor. Saya bersama dengan Christel, Vania, dan Natasha tinggal di rumah Ibu Ramini. Beliau tinggal bersama ibu nya dan anaknya bernama Putri yang berusia 17 tahun, kelas 3 SMA. Sekolah Putri cukup
berbagai pelajaran. Selesai mengajar, kami kembali ke rumah untuk mandi dan makan malam bersama keluarga kami masing masing. Malam hari, kita pergi lagi ke rumah teman kami dan berkumpul disana mengobrol bersama sama. Sekitar pukul 10 malam kami pulang dan mendapatkan semua penghuni rumah saya sudah tidur lelap. Dan kami tidak ingin membangunkannya sehingga kami pergi ke kamar diam diam. Hari pertama saya kesulitan tidur karena gatal dan panas. Tetapi pada akhirnya saya tertidur dan bangun esok harinya pukul 6 pagi. Kami menyapa orang tua asuh kami dan kemudian berjalan ja lan keliling kampung. Selama sekitar 2 jam saya berjalan jalan dan kemudian kembali ke rumah untuk tidur karena saya lelah. Saya bangun lagi sekitar jam 2 siang dan kemudian mandi dan makan. Setelah itu kita duduk duduk sebentar dan jam 4 sore kami pergi lagi ke kapel untuk mengajarkan anak anak lagi. Saya bertemu seorang anak kecil bernama kayla. Kayla sangat lucu dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Kayla awalnya pemalu dan pendiam. Namun setelah beberapa lama kenal dengan saya, dia mulai menjadi terbuka dan mulai bercanda canda. Pada hari pertama Kayla datang sendirian, namun hari berikutnya dia mengajak teman temannya yang lain yang tidak kalah semangat belajarnya. Kurang lebih begitulah rutinitas saya sehari hari di desa tersebut. Namun sa ya menemukan beberapa hal yang menarik dari pengalaman saya. Pertama, saya belajar bersyukur atas apa uang saya punya dan menghargai apapun yang saya punya. Kedua, saya belajar merasakan hidup sederhana seperti keluarga Bapak Kristanto yang sabar dan tidak pernah mengeluh seburuk apapun kondisinya, ketiga, saya belajar dari anak anak di Desa Pilang Sari bahwa saya harus lebih semangat belajar karena mereka yang fasilitas belajarnya terbilang kurang, justru memiliki semangat belajar yang lebih tinggi daripada saya yang fasilitasnya terbilang baik. Sekian refleksi saya, terima kasih. Carlos Indra/ XI A 2 / 4
DESA SEKECER, DESAKU YANG TAKKAN KULUPA Pada hari Senin 2 November 2015, saya dan teman teman berangkat ke Sukorejo untuk melakukan kegiatan live in. Kami berangkat dari Stasiun Kereta Api Senen pukul 11 malam dan tiba pukul 5 pagi di Stasiun Weleri. Setibanya kami disana, kami langsung menaiki bus untuk pergi ke Paroki Isodorus melakukan misa pembukaan dan juga persiapan untuk berangkat ke desa masing masing. Saya dan beberapa teman lainnya berangkat ke Desa Sekecer menggunakan pick up. Saat kami sampai, kami langsung disambut oleh warga desa tersebut. Kami dipertemukan dengan orang tua asuh. Saya di asuh oleh keluarga Ibu Tarni. Kami membawakan selimut dan sembako untuk keluarga. Mereka mengantarkan kami hingga rumahnya, dan langsung segera memperlihatkan kamar yang akan saya dan Valen gunakan. Awalnya kami merasa canggung karena tidak tahu apa yang ingin dibicarakan. Tetapi ibu nya mulai mengajak kami berbicara sehingga kami lama lama t erbiasa. Kami langsung disuguhi teh manis hangat, dan diperkenalkan dengan cucunya yang bernama Disa. Ibu Tarni seorang ibu rumah tangga. Ia memiliki suami yang bekerja di proyek irigasi. Namun karena kami perempuan, bapak tidak membiarkan kami untuk melakukan pekerjaan irigasi. Hari pertama kami tidak tahu ingin berbuat apa. Akhirnya kami membantu ibu masak, setelah itu mencuci baju live in yang akan dipakai lagi pada hari terakhir. Sore hari nya pukul 4 kami bersiap siap kumpul bersama teman lainnya untuk melakukan kegiatan bimbel. Saya mengajar anak kelas 3 sd bersama teman saya Jojo. Kami mengajarkan matematika dan IPA. Saya mengira bimbel ini akan sepi. Ternyata banyak anak yang ikut bimbel. Mereka terlihat senang dan semangat. Malam harinya kami diberi tahu akan ada doa bersama dirumah keluarga Ibu Yuli. Akhirnya kami berkumpul lagi untuk berdoa. Mereka menggunakan bahasa jawa yang membuat kami bingung. Walaupun begitu kami tetap menjalankannya dengan penuh hikmat. Waktupun semakin malam. Kami berpisah ke rumah masing masing untuk tidur malam.
bernama Jessica duduk di bangku SMP dan yang paling kecil bernama Fabian masih di kelas 6 SD. Pak Yahman sendiri hanya lulusan SMP. Pak Yahman memiliki mata pencaharian sebagai petani cabai, kopi dan jahe. Setiap hari beliau berladang dari pagi hingga sore hari. Keluarga mereka sangat baik dan sangat dekat satu sama lain. Di desa belum terpengaruhi oleh gadget yang membuat sibuk sendiri. Pak Yahman sebagai kepala keluarga memegang peranan penting dalam keluarga dan ibu Yahman sebagai ibu rumah tangga. Yang paling menentukan keputusan yaitu Ayah tetapi Ibu juga ikut menasehati dan mengarahkan. Sewaktu berladang sambil mengobrol saya ingat pak Yahman berkata “Pemerintah mengimpor cabai dari luar negri bagaimana petani cabai yang di Indonesia sejahtera….”. Sarana prasarana di desa setro cukup memadai jalanan sudah di aspal dan juga sudah ada listrik meskipun pada malam hari tidak terlalu banyak penerang jalan. Menurut kata Pak Yahman menjadi petani susah kerja keras tetapi penghasilan yang didapat tidak banyak. Usaha yang dilakukan tidak sebanding dengan penghasilan yang didapatkan. Relasi antar generasi di masyarakat sangat baik, yang muda menghormati yang sudah tua. Dan sopan santun masih sangat terlihat disana. Relasi antar umat Islam dan Khatolik saling menghormati. Di desa Setro terdapat masjid dan di desa ngasinan terdapat kapel untuk misa. Selama kami disana kami melihat latihan kesenian Leak atau semacam tarian reog yang di ikuti anak-anak di desa. Masing-masing warga memiliki kepercayaannya masing-masing, agama mayoritas di sana Khatolik dan Islam. Pada saat kami hendak pulang ke Jakarta, Ibu dan Pak Yahman memberikan kami 1 dus oleh-oleh. Banyak dari teman-teman kami dan orang tua asuh menangis ketika bus kami hendak berangkat. Kami Sangat senang dan berterima kasih sudah boleh merasakan tinggal didesa dan mendapat orang tua asuh yang sangat baik. Mereka titip pesan untuk mengapai cita-cita setinggi-tingginya dan tidak melupakan mereka dan kami juga berharap bisa bertemu mereka kembali suatu saat. Dari pengalaman dan pengamatan situasi yang saya dapat di desa Setro, banyak pelajaran yang saya petik yaitu belajar menghormati, bersikap ramah sat u sama lain, tidak mementingkan urusan pribadi saja
mengadakan bimbingan belajar, pertandingan olahraga setempat dan pemeriksaan kesehatan gratis. Saya sendiri ikut dalam kegiatan bersama bimbingan belajar dan pemeriksaan kesehatan di bagian posyandu. Saya sangat senang dapat membagi sedikit ilmu kepada anak-anak kecil di desa Setro. Tim bimbingan belajar mengajarkan bahasa Inggris dan menyiapkan snack sebagai hadiah untuk bimbingan belajar. Anak-anak sangat antusias dalam belajar, mereka mengikuti dengan baik belajar bahasa inggris dasar dan menyanyi lagu-lagu bahasa inggris. Di posyandu a da sekitar 50 anak yang menimbang berat badan dan kami dari tim posyandu menyiapkan bubur kacang hijau untuk anak-anak. Saya tidak mengalami kesulitan apapun selama kegiatan li ve in dan dapat bersosialisasi dengan baik bersama orang tua asuh ataupun warga. Banyak kebahagiaan yang saya dapatkan, mendapat orang tua asuh yang sangat baik, belajar bertani, kebersamaan yang kami dapatkan. Selama Live in kami makan dengan baik, Ibu Yahman selalu memasak makanan yang enak setiap hari. Setiap paginya kami dibuatkan teh hangat dan kopi hangat. Kebiasaan keluarga asuh saya mereka tidak mau makan sebelum kami berempat makan. Mereka sangat menghormati kami dan kami pun sangat menghormati mereka. Selama live in kebersamaan antar teman-teman juga terasa, kami berkumpul bersama sambil memakan roti bakar mas Eko. Saya sangat bahagia dapat belajar dari masyarakat yang ada di desa Setro mereka tidak sibuk dengan urusan pribadinya masing masing dan selalu bahu-membahu, pada malam terakhir kami disana para ibu-ibu masak bersama di rumah Pak Yahman. Pengalaman yang berkesan selama live in cukup banyak mulai dari hari pertama kami menemani ibu belanja dengan motor, pergi ke hutan pinus, berladang cabai, mengobrol dengan keluarga asuh, bermain dan berkumpul bersama teman-teman, mengajar di bimbingan belajar, bermain dengan anak-anak kecil di desa Setro, makan roti bakar mas Eko bersama teman-teman sore hari naik mobil pick up, bernyanyi bersama, bercanda dalam kereta, kaki luka pada saat naik motor dan takut karena disana banyak serangga. Keluarga Pak Yahman terdiri dari 5 orang. Pak Yahman memiliki 3 anak, yang paling besar sedang berkuliah di Yogyakarta, yang kedua
Keesokan harinya, jam 5 pagi saya dan valen dibangunkan oleh Pak Panab untuk pergi jalan pagi. Kami berjalan jalan di sawah sambil menghirup udara segar bersama teman yang lain. Setelah selesai, saya dan Valen pun kembali ke rumah untuk sarapan pagi. Karena tidak enak dengan ibunya, kami menanyakan apa kegiatan hari ini. Ibu nya bilang tidak ada yang harus dilakukan. Lalu saya dan Valen pun pergi ke rumah Chris dan Leon untuk ikut mereka pergi berladang. Kami jalan ke tengah hutan untuk mencari makanan kambing. Disana kami belajar bahwa untuk mendapatkan makanan kambing sangat susah. Harus diperlukan pengorbanan untuk mencarinya. Selain panas, juga susah karena daun daun itu berada tinggi di atas pohon. Setelah selesai, kami kembali ke rumah Leon dan Chris. Disana kami berkumpul untuk beristirahat dan bermain sebentar. Kami bermain dan ngobrol hingga sore. Sore hari, saya dan Valen kembali ke rumah untuk makan dan mandi. Setelah itu kami pergi lagi untuk mengajar bimbel. Karena tidak ada yang harus dilakukan, Pak Panab mengajukan usul agar saya dan teman teman bisa melakukan kerja bakti. Kami pun melaksanakan kerja bakti membersihkan gereja. Mulai dari menyapu, ngepel, membersihkan toilet, lap kaca, dan lain lain. Setelah selesai, kami pun kembali beristirahat dan makan malam. Hari ketiga, saya melakukan kegiatan yang sama lagi. Kami berladang dengan keluarga Leon dan Chris mencari makanan kambing, sore hari mengajar bimbel. Setelah itu kami bersiap siap untuk melakukan acara persiapan perpisahan. Satu jam sebelum acara dimulai, kami berkumpul untuk latihan bernyanyi, membantu ibu ibu masak makanan, cuci piring, gelas, dan berbagai alat makan la innya yang harus disediakan. Malam hari pukul 7 malam, kami melakukan acara itu. Kami bercerita, ngobrol, makan dan bermain bersama dengan warga Desa Sekecer. Karena hari itu hari terakhir kami, kami pun tidur sedikit lebih lama untuk mengobrol dengan teman dan ibu ibu lainnya. Keesokan harinya, kami bangun pagi untuk pulang. Kami berpamitan dengan keluarga. Sedih rasanya meninggalkan desa ini. karena kami sudah mulai terbiasa hidup dengan warga Sekecer. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Saya belajar banyak dari live in ini. saya belajar menjadi orang susah, saya
belajar menghargai, tolong menolong. Dan tak lupa saya selalu bersyukur atas apa yang saya miliki. Anastasia / XI A 2 / 2
My limousine car is my pickup
Memberi makan ternak sapi
INDAHNYA TINGGAL DI DESA SETRO Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta, akhirnya kami sampai di Stasiun Waleri. Kita di bagi menjadi dua tempat, IPA di Sukorejo sedangkan IPS di Rawa Seneng. Rombongan IPS menuju kapel di desa ngasinan terlebih dahulu untuk pembukaan acara Live in dengan menggunakan tiga bus yang sudah di susun oleh koordinator. Pepohonan yang masih asri dan sawah menghiasi sepanjang perjalanan kami. Setelah acara serah terima peserta Live in dari sekolah ke pihak orang tua asuh kami juga mendapat makan pagi. Karena IPS dibagi menjadi 2 desa, yang mendapat bagian di desa Setro harus melapor ke kantor kecamatan. Dari kecamatan menuju desa tujuan kami menggunakan 2 mobil pick up. Sesampainya di desa Setro kami langsung di bagi ke keluarga asuh masing-masing. Saya berempat dengan teman saya Gaby, Helena dan Debby mendapat rumah di keluarga Pak Yahman. Pak Yahman adalah ketua lingkungan di desa Setro. Begitu sampai dirumahnya kami langsung disambut dengan ramah oleh istri Pak Yahman. Saya menemukan nilainilai dari hidup dan kebiasaan keluarga tempat saya tinggal, mereka mengutamakan kebersamaan. Rumah yang kami tinggali lumayan bagus, nyaman dan bersih. Kami bertetanggaan dengan Pak Primus dan Pak Ayem. Selama tinggal di rumah Pak Yahman saya belajar lebih mandiri dan tepat waktu, mulai dari bangun pagi , mencuci baju sendiri, mencuci piring, menyapu dan membantu berladang cabai. Warga di desa Setro semuanya ramah dan bersahabat. Kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian petani. Kami dapat bersosialisasi dengan warga di sana. Di desa Setro mayoritas penduduknya beragama khatolik dan ada juga beberapa yang beragama Islam. Pada hari pertama saya dan ketiga teman saya di ajak pergi ke ladang dengan menggunakan motor karena ladang milik pak Yahman cukup jauh dari rumah. Kami membantu mengikat tali rafia di pohon cabai agar tidak tumbang ketika tertiup angin. Pak Yahman pernah menasehati kami berempat untuk belajar yang giat agar cita-citanya tercapai jangan seperti kami petani bekerja keras tetapi uang penghasilan yang didapat hanya sedikit. Selama Live in banyak kegiatan bersama yang diadakan seperti bakti sosial membersihkan jalanan,
Desaku yang kucinta…..
Membuat pupuk organic dari kotoran ternak sapi
Ayah dan Ibu asuhku
Belajar bersama anak-anak SD
Kembali ke alam
Ngasinan dan Setro…Kami datang
Bermain tanpa gadget lebih menyenangkan
Kami menyambutmu anak-anakku…..
Siswa IPA ternyata sudah sampai terlebih dahulu dibandingkan kami, seperti di Jakarta tiket kami dibagikan lalu di cek sebelum masuk. Lelah, ngantuk, bahagia, kangen semua bercampur menjadi satu. Di kereta saya berusaha untuk tidur namun susah karena udara sangat panas, malam harinya kami semua dapat konsumsi dari sekolah. Sesampainya di stasiun Jakarta kami semua turun perlahan-lahan dan memastikan tidak ada yang ketinggalan, kami menuju ke bis awal yang sudah mengantar kita dari sekolah ke stasiun Senin kemarin. Sesampainya di sekolah saya dijemput oleh keluarga dan kembali ke rumah masing-masing, tak lupa dengan membawa oleh-oleh dari dusun Setro. Catatan : 1) Kesederhanaan sangat tinggi nilainya jika disitu ada kebersamaan 2) Kerja keras sangat dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari 3) Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan Felicia Juan/XI IPS 1/05
Pengarahan Bu Elvi di Kapel
Belajar menjadi apoteker
Ayooo, kita meracik obat
MENUMBUHKEMBANGKAN KARAKTER MELALUI LIVE IN Karakter siswa tak hanya dibangun dari proses pembelajaran di sekolah. Siswa perlu pula terjun langsung ke lapangan untuk merasakan kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, dalam membantu proses pembentukan karakter siswa/i, SMA Santo Yakobus mengadakan kegiatan yang bertajuk Live In, yaitu setiap siswa tinggal bersama masyarakat pedesaan yang berlangsung pada tanggal 2 –6 November 2015. Selama 4 hari 3 malam, sebanyak 82 siswa/i jurusan IPA dan 79 siswa/i jurusan IPS tinggal di rumah penduduk yang telah ditetapkan di lokasi yang berbeda. Bagi siswa/i jurusan IPA ditempatkan di beberapa dusun di daerah Sukorejo, sedangkan siswa/i jurusan IPS melaksanakan kegiatan Live In di daerah Temanggung. Pengalaman ini akan menjadi kenangan yang paling mengesankan bagiku. Apabila diberi pilihan untuk bercerita mengenai suatu pengalaman, saya sangat bergairah apabila menceritakan pengalaman ini. Walaupun hanya 4 hari tak terasa berlangsung cepat, tetapi saya sangat menikmati kegiatan Live In. Kegiatan ini memiliki tujuan utama yakni membentuk rasa solidaritas dan kemandirian dalam pribadiku. Saya sebagai murid kelas XI jurusan IPA SMA Santo Yakobus Jakarta diwajibkan untuk mengikuti kegiatan ini. Saya mendapatkan tempat di Desa Pilangsari, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, Sukorejo. Dan inilah kisahku… Kisahku dimulai ketika saya harus berpamitan kepada kedua orangtua saya untuk mengikuti kegiatan Live In. Senin, 2 November 2015 pukul 19.15, saya telah siap dengan 2 buah tas yang akan kubawa, yakni sebuah tas ransel dan tas jinjing. Selama kegiatan Live In nanti, saya rasa sangat cukup untuk membawa 4 potong pakaian beserta 3 potong cel ana saja, toh saya bisa melatih diriku untuk mandiri dengan mencuci pakaianku di desa saya nanti. Saya ingin benar – benar mewujudkan tujuan – tujuan kegiatan ini dalam diriku. Bersama ayah, saya di antarkan menuju ke sekolah. Di sana telah berkumpul teman sekelasku beserta Wali Kelasku tercinta, Bpk. Yohanes Panab. Beliau sangat sabar dan tekun mengarahkan kami untuk mengikuti kegiatan Live In ini.
menyiapkan makan malam di rumah ketua lingkungan dalam rangka acara malam kekerabatan. Jadi hari ini kami nganggur dan hanya bermain bersama Patrix, kami diajari main kartu remi oleh Pak Walmin, memberi makan ikan di aquarium, juga teman-teman dari rumah lain datang untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Jam 3 sore kami semua sudah siap untuk berangkat ke kapel di Ngasinan menggunakan mobil pick-up untuk melaksanakan misa penutup. Setelah misa kami diberi snack dan kembali pulang untuk melanjutkan acara malam kekerabatan, dalam acara tersebut para anak dan orang tua asuh memberikan kesan pesan masing-masing dalam acara live in ini. Sambil diiringi lagu kami semua menikmati acara tersebut. Karena hari sudah malam maka kami pulang kerumah masingmasing, di rumah saya, Gio, Cindy, dan Amanda memberikan bingkisan berupa 2 buah selimut kepada bapak dan ibu sebagai tanda terima kasih kami. Rasa haru dan senang tak dapat kami tahan, akhirnya sisa waktu kami pergunakan untuk curhat. Temanggung, 6-Nov-2015 Kami diwajibkan bangun pagi dan berkumpul di Posyandu paling lambat pukul 7.30 WIB, mandi di pagi hari adalah tantangan buat kami semua karena airnya sangat dingin. Setelah mandi dan packing kami sarapan bersama sebagai kegiatan terakhir sebelum berpisah, kami juga tidak lupa untuk bertukar nomor telfon dan berfoto bersama. Terlihat dari wajah mereka bahwa mereka merasa kehilangan jika kami pergi, kami pun begitu merasa tak ingin pulang karena sudah betah, namun orang tua kami sudah menunggu di Jakarta, jadi kami harus rela berpisah dan mungkin akan bertemu di lain waktu. Bapak dan ibu mengantar kami sampai naik ke bis, pelukan hangat kami berikan kepada mereka agar mereka tidak lupa akan kami semua anak-anak SMA ST YAKOBUS. Dalam perjalan di bus kami semua tertidur karena lelah bangun pagi dan terbangung saat sampai di sukorejo, bis melaju menuju tempat makan terdekat dari stasiun Waleri, kami makan bersama sebelum pulang, setelah perut kenyang rombongan melanjutkan kembali ke stasiun Waleri.
Posyandu. Ketika bapak berladang, ibu yang menyiapkan makanan dan menjaga Patrix lalu sebaliknya jika ibu di Posyandu bapak yang mengasuh Patrix dan menjaga rumah. Hari ini tidak ada kegiatan apapun dari sekolah sehingga kami sekelompok memutuskan untuk istirahat, dan bermain kartu bersama bapak & ibu di malam hari. Temanggung, 4-Nov-2015 Hari ini kami sekelompok setelah sarapan pagi akan pergi ke ladang untuk membantu bapak membereskan tanaman cabe. Dengan menggunakan motor bapak membonceng saya dan cindy duluan setelah itu baru gio. Sesampainya di ladang saya diarahkan bagaimana cara merapikan tanaman cabe agar tidak salah menjalar ke arah lain. Dengan menggunakan topi yang saya bawa dari rumah kami berdua pun mulai mengerjakan apa yang sudah diterangkan tadi, sambil bercanda gurau tak terasa sudah banyak tanaman cabe yang saya rapikan. Gio pun datang dan melakukan hal yang sama tak lama kemudian dia tiba-tiba jatuh ke air lumpur dengan posisi memeluk s aya, kami semua tertawa melihat gio yang baru datang 10 menit tapi sudah kotor sekali karena jatuh. Setelah selesai kami pun ber istirahat di pondokan atau gubuk dekat pohon kelapa, sambil menunggu pak Walmin menyelesaikan tugasnya, kami pun berjalan-jalan ke sungai terdekat. Hari semakin siang kami pulang lalu makan siang dirumah, setelah cuci piring seperti biasa mengantri untuk mandi. Kamar mandi terletak di sebelah kandang kambing dan ayam tapi keadaan kamar mandi cukup baik. Setelah mandi dan beristirahat kami melanjutkan acara yaitu bimbel, Amanda pergi ke dusun Ngasinan untuk menyaksikan lomba voli sedangkan saya dan Gio membantu ibu-ibu membuat sate kambing & ayam untuk acara nanti malam. Setelah tusuk sate jadi, saya dan Gio ingin melihat lomba futsal dan ternyata sudah selesai jadi kami memutuskan untuk kembali pulang dan mandi, hari itu terasa lelah sekali sehingga malamnya kami tidak keluar kemana-mana hanya menikmati suasana rumah saj a. Temanggung, 5-Nov-2015 Tak terasa ini adalah hari terakhir kami di dusun Setro bersama keluarga Pak Walmin, hari ini ibu Yuni sibuk pergi ke pasar untuk
Setelah semua peserta Live In dari seluruh kelas dinyatakan lengkap, sekitar pukul 20.30 WIB, kami dibimbing untuk menaiki 3 buah bus pariwisata yang tersedia. Saya merasa bangga karena mendapat kepercayaan untuk menjadi Ketua Koordinator Bus 2 yang bertugas untuk mengisi absensi dan menandai setiap nama si swa/i yang hadir sebagai peserta Live In. Beberapa saat kemudian, ketiga bus berangkat menuju Stasiun Senen untuk naik Kereta Api Tawang Jaya menuju Stasiun Weleri. Perjalanan kami menempuh kira – kira 5 jam untuk mencapai stasiun tersebut. Setelah tiba di Stasiun Weleri, teman – temanku yang berasal dari jurusan IPS berpisah denganku dan teman – temanku yang berasal dari jurusan IPA. Seluruh siswa/I jurusan IPA bergegas menuju Paroki Santo Isidorus dimana di sana kami diberikan sarapan dan pembekalan informasi sebelum berangkat menuju desa masing – masing. Beberapa menit kemudian, dengan dibimbing oleh guru pendamping masing – masing, setiap siswa/i menaiki truk tronton terbuka menuju desa kerinduanku, Dusun Pilangsari. Perjalanan dari paroki menuju dusun tersebut tidaklah mulus. Dengan kata lain, perjalanan tersebut harus menempuh tajamnya kerikil dan kasarnya batuan selama set engah jam. Beruntungnya, saya tidak merasa khawatir karena saya duduk di samping supir truk sementara teman – temanku yang berada di belakang truk dengan terpaksa menikmati guncangan yang cukup hebat sehingga membuat mereka mabuk bukan kepalang. Sempatku berkata dalam hati,” Wajah orangtua asuhku bagaimana, ya?”. Ketika tiba di Dusun Pilangsari, kami dikumpulkan dalam sebuah kapel dan mendapat sambutan cukup meriah dari para calon orang tua asuh kami hingga membuat saya tercengang. Akhirnya, nama saya dan nama temanku, Malvin menjadi panggilan yang pertama. Dengan gembira dan kerendahan hati, kami berdua segera menyambut kedua orang tua asuh kami, yakni Bapak Riyono dengan didampingi oleh sang istri, Ibu Lucy. Sementara mereka membantu membawakan tas ransel milikku dan temanku, Malvin dan saya membagi tugas untuk membawa karung sembako sebagai persembahan sekolah kami untuk mereka berdua.
Ketika saya tiba di rumah mereka berdua, saya merasa terkejut. Rumah yang hanya terbuat dari bilahan kayu jati dengan lantai rumah yang hanya terdiri atas tanah lempung tak sebanding dengan nilai semangat juang mereka menjalani hidup ini. Setelah saya bersama temanku meletakkan barang – barang kami di sebuah kamar, kami diajak menuju ruang makan untuk menyantap makan siang. Makanan yang disediakan hanya sup sayur, tahu bacem, dan kerupuk, namun saya tetap menyukuri dan memahami keadaan mereka. Seraya menyantap makan siang, kami berdua berbincang –bincang mengenai kehidupan kami selama di perkotaan dengan mereka berdua. Oleh karena perbincangan itu, saya menjadi merasa kenal dan dekat dengan mereka, apalagi dengan kehadiran Sandrina, anak tunggal mereka membuat keluarga ini menjadi harmonis nan lengkap. Sebagai anak asuh mereka, saya sadar bahwa saya harus turut berperan serta meringankan beban mereka berdua. Dari hal yang sederhana saja, setelah menyantap makan siang, saya mencuci piring yang kotor secara mandiri. Saya mengenal betul pribadiku, yakni saya merupakan tipe orang yang rapi, bersih dan perfeksionis. Ha..ha..ha…Melihat lantai yang berupa tanah lempung tersebut berdebu, saya berusaha untuk menyapunya dengan sapu lidi.”Ya,ampun, sudah toh, ko. Biar ibu saja.” Melihat tanggapan ibu asuhku, saya tetap bersikeras membantu mereka. Bukankah sebagai anak harus meringankan beban terhadap orang tua? Kini, suasana rumah menjadi lebih baik. Ibu asuhku ternyata bangga terhadapku. Pujianpun saya dapatkan. Tetapi, itu bukan yang saya harapkan. Yang saya inginkan hanyalah agar saya bisa menyenangkan hati mereka, bukanlah suatu pujian. Setelah itu, saya beramah tamah dengan bapak dan ibu asuhku di ruang tamu. Sementara ibu menuangkan secangkir teh manis, bapak memulai perbincangan denganku mengenai latar belakang pekerjaannya sebagai petani di sawah. Setelah bapak selesai berbicara, giliran saya memulai perbincanganku dengan ibu. Mumpung sedikit bisa berbahasa Jawa, di saat inilah saya memulai perbincanganku dengan ibu.” carane pengalaman ibu apa?”. Lalu, beliau mulai menceritakan perjalanan
Kami semua berkumpul di Kapel untuk mendengarkan kata sambutan dari ketua lingkungan atas hadirnya kami semua untuk acara live in. Setelah kata sambutan dilanjutkan dengan doa makan siang dan kami semua menyantap makanan yang disediakan dengan lahap. Setelah diberitahu bahwa yang tinggal di dusun Setro akan naik bus lagi sedangkan yang di Ngasinan tetap di kapel, saya kembali ke bis untuk melanjutkan ke dusun Setro. Karena suatu kendala kami rombongan yang tinggal di Setro harus ke kantor kecamatan terlebih dahulu untuk pembukaan disana. Ternyata bis hanya bisa mengantar sampai kantor kecamatan, kami akan menggunakan mobil pick-up terbuka untuk pergi ke dusun Setro. Jalan naik dan turun membuat angin sepoi-sepoi sangat terasa sejuk, setibanya di Setro kami dikumpulkan di Posyandu untuk mengumpulkan hp dan dompet, juga untuk bertemu dengan orang tua asuh kami. Kelompok saya mendapatkan orang tua asuh yang bernama Pak Walmin. Ternyata saya dijemput oleh istrinya ibu Yuni, perjalanan dari Posyandu ke rumah pak Walmin tidak begitu jauh. Keadaan rumah Pak Walmin cukup baik. Masih menggunakan alas semen bukan lantai, berdinding kayu bukan tembok, tidak ada ac ataupun kipas angin, tetapi rumahnya bersih dan nyaman. Setelah berkenalan dengan Pak Walmin kami membereskan barang-barang di kamar dan mengantri untuk giliran mandi karena sudah sore. Kami tidur berempat dengan kasur dan selimut yang pas. Ternyata Pak Walmin dan bu Yuni mempunyai 2 orang anak, perempuan dan laki-laki. Patrix berumur 3 tahun dan Lavita berumur 13 tahun. Setelah mandi hujan turun membuat suasana menjadi sangat dingin, saya pun mengambil baju lengan panjang dan menggunakan jaket. Setelah mandi saya berbincang-bincang dengan bu Yuni sedangkan yang lain beristirahat. Keadaan ekonomi mereka tidak terlalu buruk, sudah bisa menggarap ladang sendiri dan hasilnya sangat menguntungkan namun biaya itu harus dibagi-bagi untuk kedua anaknya serta membiayai kehidupan sehari-hari. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap melangsungkan kehidupan dengan kesederhanaan yang ada, pekerjaan Pak Walmin adalah berladang juga berjualan hasil panen dan bu Walmin sebagai ibu rumah tangga juga menjadi sukarelawan di
bis kami membuat lingkaran untuk mengelilingi tas dan barang bawaan kami masing-masing. Sebelumnya kami sudah dibagikan tiket kereta beserta kartu pelajar agar memudahkan saat pemeriksaan. Kami mengantri bersama masyarakat yang juga menggunakan kereta api Tawang Jaya di bagian pengecekan tiket. Setelah di cek kami pun duduk di ruang tunggu sambil membereskan barang-barang. Kereta dijadwalkan pukul 11 malam kami sudah bersiap-siap lebih awal agar tidak ada yang ketinggalan, saya di gerbong 4. Di dalam kereta saya mengambil tempat duduk untuk 4 orang, tempat duduknya cukup unik karena sudah diatur berhadap-hadapan. Lelah rasanya karna perjalanan malam, tak lama setelah menaruh ta s di bagasi tepat diatas tempat duduk, saya pun berbincang-bincang dengan teman sebangku. Tak lama kemudian seorang pegawai kereta meminta tiket kami untuk dicek kembali, setelah pengecekan saya ngantuk dan kemudian tidur. Sekitar jam 3 saya bangun, badan terasa sakit, kepala agak pusing, dan lapar. Saya berinisiatif untuk jalan-jalan sekedar meluruskan kaki. Lapar yang membuat saya kembali lagi ke tempat duduk. Teman-teman yang lain baru saja tidur sedangkan saya sudah bangun. Sambil makan snack dari rumah saya pun menikmati kereta sambil mendengarkan lagu. Temanggung, 3-Nov-2015 Sampailah kami di stasiun Waleri, disini rombongan IPA dan IPS berpisah, IPA di Sukorejo sedangkan IPS di Rawa Seneng. Saya menunggu bis kecil untuk melanjutkan perjalanan menuju dusun Ngasinan dan Setro tempat dimana saya akan tinggal selama 4 hari 3 malam ini. Saya, Amanda, Cindy dan Gio kebetulan satu bis jadi tidak sulit untuk berkomunikasi. Setibanya bis datang kami bergegas menuju bis dan mendapat konsumsi pagi hari, setelah makan kami semua sa tu bis terlelap dalam tidur. Tak terasa pemandangan sudah berganti gunung dan sawah. Ternyata saya sudah tidur hampir 3 jam, tak lama sampailah bis kami di Ngasinan dengan jalan yang cukup sulit ditempuh untuk mobil biasa. Disini tidak ada angkutan umum, hanya ada mobil pick-up dan kendaraan bermotor.
karirnya. Sungguh, ibarat berjalan di atas saya. Beliau pernah meniti karir di Negeri Singa selama 3 tahun sebagai baby sitter . Inti dari perbincangan ini adalah bahwa Tuhan atas segalanya dan apabila kita menderita berarti tandanya kita sedang diproses oleh-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Dan amanat ini, saya petik sebagai nilai kehidupan yang sejati. Kisah ini saya alami pada hari Selasa, 3 November 2015. Baru satu hari saja, saya telah menemukan suatu nilai – nilai kehidupan yang sangat manis. Baru satu hari saja pula saya telah terlatih dan termotivasi untuk hidup mandiri dan sederhana. Secara keseluruhan, saya telah menangkap keprihatinan dari keluarga asuhku ini. Mulai dari dinding rumah yang hanya tersusun atas papan dari kayu jati, tanah lempung yang dijadikan lantai sehingga acap kali kakiku kotor dan saya merasa jijik karenanya. Belum lagi ketiadaannya kompor dan kulkas membuat saya sedih dalam hatiku, sekaligus merenungkan diri sejenak ketika saya sering tak bersyukur ketika saya hidup di perkotaan. Meskipun demikian, saya bisa belajar banyak hal dari mereka dimulai memasak dengan menggunakan janggel jagung dan teknik menyimpan bahan makanan agar tahan lama dengan menggunakan sebuah kendi. Pantas saja, lingkungan di desa sejuk, asri , bersih pula udaranya. Ketika matahari hendak menutup diri dan burung – burung pulang ke peraduannya, saya bersama Malvin berpamitan untuk pergi ke kapel. Ya, kami berdua bertugas untuk mengadakan bimbel bagi anak – anak para orang tua asuh, termasuk Sandrina, anak dari kedua orang tua asuhku. Dalam perjalanan menuju kapel, saya menyempatkan diri untuk singgah di beberapa rumah dan salah satunya adalah rumah Ibu Sugiyarni yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan kapel. Tingkat sosialisasi antara diriku dengan beliau dapat dikatakan cukup tinggi karena Ibu Sugiyarni merupakan tipe orang yang baik, ramah dan mau terbuka dengan diriku mengenai latar belakang keluarganya. Lewat cerita beliau, maka antara saya dengannya dapat saling bertukar pikiran dan berbagi cerita dengannya. Dusun Pilangsari sangat terkenal akan tingkat solidaritasnya yang tinggi. Meskipun suhu di daerah ini sangat tinggi, tetapi saya tetap menikmati lingkungan desa ini. Setiap saya bersua dari rumah ke rumah,
mereka menyambutnya dengan sukacita. Karena itulah, saya dengan rela membiarkan diriku kembung dengan teh manis karena sebenarnya saya ingin membuat hati mereka senang, apalagi yang sudah lanjut usia. Mendengar berbagai cerita mereka, saya turut prihatin terhadap kondisi jalan yang merupakan akses masuk desa yang ditelantarkan oleh pemerintah. Kepada Ibu Giyarni, panggilan akrabku terhadap beliau, saya memberikan solusi agar warga Dusun Pilangsari berembug untuk membentuk suatu organisasi yang dapat memberikan aspirasi, keluhan serta suara mereka kepada bupati setempat. Melalui usulku tersebut, Ibu Giyarni mengiyakan dan segera menyampaikan ide tersebut kepada Ketua Lingkungan setempat, Bapak Sutrisno. Secara pribadi, banyak hal yang menjadi kesulitan bagiku ketika saya masuk ke dalam keluarga baruku. Pertama, bagaimana saya harus tahan terhadap suhu di dusunku yang sangat ekstrim. Setiap hari, baik ketika saya di dalam rumah keluarga baruku maupun ketika saya keluar rumah, keringat selalu membasahi pakaianku. Di balik suhu yang ekstrim ini, saya prihatin kepada Bapak Yono yang harus menganggur di rumah. Beliau tidak bisa pergi ke ladang dikarenakan belum musim panen karena hujan sudah lama tidak turun. Saya hanya dapat berdoa agar keluarga ini turut dilindungi Tuhan dari segala macam bencana. Kedua, kesulitanku adalah bagaimana saya harus kuat diproses oleh Tuhan Yesus, dengan tahan untuk tidur tanpa mesin pendingin. Namun, saya bersyukur karena selama 4 hari 3 malam, saya cukup kuat menjalani smua ini tanpa ada suatu penat di hati. Haleluya, terpujilah namaMu,Bapa!” berulang kali saya mengucap syukur atas perlindungan-Nya. Dengan tekun dan setia berdoa baik saat teduh maupun doa malam, saya dapat mengatasi kesulitan tersebut. Meskipun saya menemukan suatu kesulitan saatbergabung dalam keluarga baru, saya tak mendapat suatu tantangan ketika saya bersosialisasi dengan masyarakat di tempat keluarga asuhku. Yang terpenting bagiku hanyalah keterbukaan mereka disertai keramahan mereka setiap kali saya menjumpai mereka sudah cukup membuatku merasa sukacita. Hari ini, saya mendapatkan banyak sekali pengalaman yang paling berkesan yang membuatku merasa bahagia.Kebahagiaan itu tak t erlepas
Santo Yakobus dapat berada di Dusun Setro ini dalam acara Live In ini. Banyak siswa-siswi SMA Santo Yakobus yang berpamitan dengan orang tua asuh dan warga sekitar. Tak lupa juga, kami anak asuh dari Pak Sugito dan Bu Rusmi juga berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka telah bersedia memberi tempat kami untuk menetap di rumah mereka dan telah memberi ilmu berharga mengenai perladangan, desa yang mereka tempati dan juga kehidupan sosialnya. Acara perpisahan dan pelepasan berlangsung dengan haru, tak sedikit pula yang menangis karena ini merupakan hari terakhir siswasiswi SMA Santo Yakobus berada di Dusun Setro dalah acara Live In tahun ini. Semoga suatu saat nanti kami dapat bertemu kembali dengan Bapak Ibu sekalian dalam kesempatan yang akan datang, mungkin dalam waktu luang kami akan mengunjungi kembali Bapak Ibu beserta warga sekalian. Akhirnya kami pun kembali ke Jakarta yang diawali dengan naik bis menuju ke Stasiun Weleri dan naik kereta api hingga malam hari akhirnya sampai di Stasiun Senen Jakarta. Daniel Geraldo/XI-S1/3
SEPENGGAL CATATAN BUKU HARIANKU Jakarta, 02-Nov-2015 Malam ini kami semua berkumpul di sekolah untuk bersiap-siap pergi ke stasiun. Dijadwalkan pukul 8.30 WIB kami seluruh anak kelas 11 IPA maupun IPS menggunakan bus menuju ke stasiun Senen. Setelah semua siswa-siswi berkumpul dan mendengarkan briefing, kami langsung menuju bis yang sudah ditentukan. Ransel yang berat tidak terasa karena kami semua antusias mengikuti kegiatan live in. Setelah di absen dan doa terlebih dahulu kami pun meninggalkan sekolah. Perjalanan dari SMA ST YAKOBUS ke stasiun Senen tak begitu lama, jalanan lancar karena sudah malam. Setibanya di stasiun Senen, rombongan kami disambut oleh hujan. Saya berada di bis 1 dan harus turun duluan dalam keadaan hujan, hanya mengandalkan jaket yang saya bawa dari rumah, daripada nanti saya sakit lebih baik jaket saya yang basah kuyup. Setelah semua turun dari
juga trotoar untuk pejalan kaki. Banyak yang berantusias mengerjakan kegiatan ini karena memang yang mengerjakan kerja bakti tersebut adalah kami siswa-siswa SMA Santo Yakobus dan juga dibantu oleh warga sekitar. Sebagian dari kami juga ada yang melakukan kegiatan pemeriksaan kesehatan bagi orang dewasa dan lansia yang dil aksanakan di posyandu yang terletak di rumah kepala dusun yang juga dibantu oleh para guru dan kebetulan juga datang seorang alumni SMA Santo Yakobus yang kini menjadi seorang dokter yang juga ikut memeriksa kesehatan para warga di sana. Kegiatan pemeriksaan kesehatan pun berlangsung ramai. Di sore harinya, kami siswa-siswi SMA Santo Yakobus yang menetap di Dusun Setro harus pergi ke Dusun Ngasinan lagi dengan menaiki mobil barang untuk melaksanakan misa bersama di Kapel Ngasinan bersama dengan warga setempat dan juga siswa-siswi yang menetap di Dusun Ngasinan. Misa bersama di sana berlangsung hikmat dan juga disertai hujan agak deras di luar kapel yang tentunya tidak menggangu kami dalam beribadah. Setelah misa bersama selesai dilaksanakan, kami yang menetap di Dusun Setro, kembali lagi ke tempat kami menetap dari Dusun Ngasinan menggunakan truk barang lagi. Kami pun akan beristirahat sebentar dan juga bersiap-siap untuk acara malam kebersamaan dengan masyarakat setempat. Tentunya saat malam hari, kami semua baik siswa-siswi SMA Santo Yakobus dengan warga sekitar mengadakan malam kebersamaan yang gunanya agar para siswa-siswi SMA Santo Yakobus dapat menjalin kebersamaan yang lebih erat lagi. Acara berlangsung sangat ramai yang diawali dengan ucapan-ucapan dan kesan-kesan baik dari perwakilan anak asuh dan juga orang tua asuh dan diakhiri dengan makan bersama yang mengajak seluruh warga yang berpartisipasi dala m acara ini, dan karena ini juga merupakan malam terakhir bagi siswasiswi SMA Santo Yakobus untuk menetap di Dusun Setro ini. Di hari keempat sekaligus hari terakhir, akhirnya kami berkumpul di depan kumah kepala Dusun Setro untuk melakukan pelepasan dan perpisahan secara simbolik karena inilah hari terkahir siswa-siswi SMA
dari kasih sayang dan kesabaran kedua orang tua asuhku. Kasih sayang mereka tampak ketika saya ingin tidur. Meskipun saya mengelak untuk menggunakan kipas angin, mereka tetap mengalah agar saya tidur dengan nyaman. Di lingkungan masyarakatpun, pengalaman yang paling berkesan adalah ketika saya bersama ketiga orang temanku mengantar anak dari kedua orang tua asuhku ke sekolah. Sukris, inspirator cilik yang membuat diriku lebih bersemangat lagi menjalani hidup. Saya kagum dengan perjuangan mereka menuju ke sekolah yang penuh dengan rintangan. Dimulai dari jalan bebatuan, jalan setapak yang curam dan licin, hingga dahan – dahan berduri. Namun Sandrina, Sukris, Dwi, dan Widyono beserta teman – temannya yang lain bersemangat pergi ke sekolah setiap hari secara kompak dan tak kenal lelah. Baru beberapa kilometer saja, saya sudah merasa lelah,namun tidak bagi mereka. Mereka tetap semangat meniti jalan menuju masa depan cemerlang yang sangat perih. Kisahku hari ini berakhir dengan suka dan duka. Pengalaman yang paling membuatku berkesan jelas ketika saya telah memperoleh suatu arti dari pelajaran yang saya dapatkan dari sekelompok anak dusun yang bersemangat menempuh perjalanan ke sekolah. Saya mengantar mereka menerobos jalan – jalan yang tak biasa. Kami bagaikan “laskar petualang”. Meskipun lelah, pengalaman tersebut membuat saya paling berkesan. Di sisi lain, pengalaman yang meninggalkan duka bagiku adalah ketika saya tersesat bersama teman–temanku seusai mengantarkan anak–anak dusun tersebut pergi ke sekolah. Namun, ternyata perlindungan Tuhan tetap nyata bagiku. Sesaat kemudian, dua orang pelajar dengan kendaraan bermotor bersedia mengantarkan kami menuju Desa Pilangsari sehingga saya bersama ketiga temanku yang lain pulang dengan keadaan selamat. Rasanya sudah cukup lengkap hari ini. Sudah ada dua pengalaman dalam satu hari yang sangat membentuk bingkai kehidupan yang baru bagi diriku. Keluarga asuhku merupakan keluarga yang ramah dan sederhana. Di dalam keluarga angkatku ini, tinggallah Bapak Riyono sebagai kepala keluarga, beserta istrinya Ibu Lucy dan Sandrina, anak tunggal
mereka yang masih duduk di kelas III SD. Bapak Riyono hanya berpendidikan sampai III SD, sementara Ibu Lucy berpendidikan lulus VI SD. Masa pendidikan yang singkat yang di alami bapak memiliki suatu alasan tersendiri, yakni sering berkelahi dengan teman sekelasnya sewaktu beliau masih sekolah. Selain itu, ketidakcukupan biaya untuk melanjutkan ke tingkat selanjutnya membuat Pak Yono terpaksa harus meninggalkan sekolah. Menurut mereka, sejauh ini pendidikan telah berperan dalam ruang lingkup pertanian, di antarana keahlian bertani, menyabut kelapa, dan memasak makanan. Pendidikan pula mengubah cara pandang mereka dalam hal memutuskan suatu masalah melalui musyawarah atau berembug. Bapak Yono sendiri merupakan seorang petani yang memiliki keahlian dan pengetahuan tentang tumbuhan yang ia panen, di antaranya jagung, padi, dan kacang tanah. Sementara itu, sang istri sekitar tahun 1987 (belum menikah dengan bapak) berpengalaman menjadi seorang pengasuh anak di Singapura selama 10 tahun dan pada tahun 1997 kembali ke Indonesia dan bekerja di Jakarta selama 10 tahun pula. Kini, beliau memilih bekerja di ladang untuk membantu bapak dan aktif berperan secara sukarela sebagai Bendahara Lingkungan. Rumah tangga Pak Yono dan Ibu Lucy dibangun dengan relasi yang sangat baik sehingga dalam kurun waktu 28 tahun, lewat suka dan duka yang ada, rumah tangga mereka masih bertahan. Dalam keluarga, Bapak Yono memegang peranan penting sebagai kepala keluarga. Menurut sang istri, beliaulah yang berkewajiban untuk menafkahi keluarga dan beliau paling mengerti dan memahami keadaan keluarga, sementara istri hanya tinggal mengelola pendapatan sebagai modal penghidupan. Alasannya mudah sekali, yakni agar keuangan menjadi lancar asal didasarkan dengan kejujuran. Dalam melaksanakan tugasnya, perempuan dan laki – laki menurut mereka sama saja. Kedudukan perempuan dalam keluarga tidak dibatasi. Meskipun hanya Pak Yono yang masih aktif bekerja bertani di ladang, tetapi Ibu Lucy dan anak mereka tetap kerjasama untuk membantu pekerjaan beliau di ladang. Demikian pula dengan pekerjaan rumah tangga, Pak Yono pun turut ambil andil. Dalam penentuan keputusan, Pak Yono pun menjadi
seperti lada, kopi, nangka, nanas, durian, bahkan jengkol. Namun dikarenakan kami mengunjungi di saat musim panen sudah selesai, kami hanya melihat-lihat apa saja yang di tanam pak Sugito. Kami juga akhirnya membawa pulang beberapa buah lada dan je ngkol muda. Di saat sore harinya, kami mengikuti kegiatan bermain bola voli yang mengharuskan kami untuk pergi ke dusun sebelah, yaitu Dusun Ngasinan. Kami harus menaiki sepeda motor untuk bisa sampai ke sana. Beberapa siswa juga bisa menaiki sepeda motor yang diberi pinjam oleh orang tua asuh masing-masing. Kebetulan orang tua asuh kami tidak memiliki sepeda motor, sehingga kami harus menumpang bersama yang lain. Bahkan karena keterbatasan sepeda motor, saya harus naik sepeda motor bertiga. Di Dusun Ngasinan, kami bertemu dengan siswa-siswi SMA Santo Yakobus yang live in di sana dan juga para warga yang mengikuti kegiatan bermain bola voli. Permainan bola voli di sana terlihat lumayan seru walaupun siswa-siswa SMA Santo Yakobus kalah, mungkin kekalahan tersebut terjadi karena kurang terlibatnya SMA Santo Yakobus dengan olah raga bola voli, karena lebih sering terlibat dengan futsal dan bola basket. Akhirnya kami memberi sebuah piagam sebagai kenang-kenangan olah raga bola voli kepada warga setempat yang berpartisipasi. Di Dusun Ngasinan, selain mengadakan kegiatan bermain bola voli, kami juga melihat-lihat kegiatan di sana seperti bimbingan belajar siswa-siswi SD di sana. Banyak sekali siswa-siswi SD yang terlibat dalam bimbingan belajar tersebut. Malam harinya, sebagian dari kami siswa-siswi SMA Santo Yakobus sepakat untuk mengadakan pesta sate kambing. Kami mengumpulkan dana bersama untuk dapat membeli beberapa kilogram daging kambing untuk dirayakan bersama warga sekitar. Pesta sate kambing pun berlangsung meriah karena l umayan banyaknya warga dan siswa-siswi SMA Santo Yakobus yang berpartisipasi. Di hari ketiga, kami kembali membantu Pak Sugito di pagi harinya untuk berladang dan membantu membawa alat-alat untuk berladang seperti biasa. Tapi saat menjelang siang, sebagian dari kami melaksanakan kerja bakti dengan membersihkan jalanan, selokan, dan
tumbuhan dan umbi-umbian. Tumbuhan yang ia tanam di ladangnya sangat beragam, seperti lada, kopi, nangka, nanas, durian, bahkan jengkol. Bu Rusmi yang walaupun ia merupakan ibu rumah ta ngga, tapi ia juga merawat see kor kambing dan beberapa ekor ayam yang mungkin digunakan untuk dijual atau keperluan mereka. Apa saja yang kami lakukan di rumah Pak Sugito pada hari pertama? Mungkin karena hari pertama cukup melelahkan karena perjalanan dalam kereta api dari malam hari 2 November 2015 hingga pagi hari 3 November 2015, dan mengingat tidak ada jadwal khusus di hari pertama, kami diperbolehkan istirahat ataupun berkeliling dusun untuk saling berkunjung ke rumah lain. Kami pun sepakat untuk saling berkunjung ke rumah warga lain. Banyak juga warga yang menjadi orang tua asuh bagi siswa-siswi SMA Santo Yakobus yang melakukan kegiatan live in. Di malam hari pun, di saat kami berada di rumah singgah kami, banyak juga siswa-siswi SMA Yakobus yang berkunjung ke tempat kami untuk melihat-lihat dan ikut bermain mengingat salah satu dari kami ada yang membawa kartu bridge untuk bermain macammacam permainan kartu. Tapi tentu saja permainan kami harus dibatasi hingga jam 9 malam karena itu sudah waktunya anak asuh untuk kembali ke rumah orang tua asuh masing-masing. Di hari kedua kami harus bangun tidur di hari yang sangat pagi untuk melihat kegiatan yang dilakukan Pak Sugito di pagi hari. Kami menemani sekaligus membantunya untuk berladang di ladang miliknya yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahnya. Saat kami berjalan ke ladang, kami bertemu beberapa warga yang juga pergi kerja baik itu berladang, bertani, memancing, maupun berburu. Orang-orang di sana ramah-ramah dan kami tentunya saling sapa karena itulah budaya di sana. Walaupun ladangnya tidak terlalu jauh dari rumah, tapi agak sulit untuk memasuki ladang tersebut karena undakan yang agak tinggi sehingga harus menaiki ke ladang tersebut sambil memegang pohon. Dari satu undakan ke undakan yanglebih tinggi juga agak sulit dan harus menggunakan tongkat untuk menaikinya. Di ladang miliknya dapat ditemukan bermacam-macan tumbuhan. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, yang ditanam Pak Sugito
pusatnya. Istri dan anak hanya memberikan masukan dan pertimbangan yang akan disetujui dan disahkan oleh Pak Yono sendiri. Ditinjau dari sektor ekonomi, sektor pertanian menjadi andalan dan penyangga hidup keluarga. Pertanian yang digerakkan di antaranya jagung, padi, dan kacang tanah. Sejauh ini, peredaran uang hasil pendapatan dalam keluarga terbilang labil, kadang–kadang st abil, dan kadang–kadang sebaliknya. Musim yang menentukan penghasilan mereka. Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan sektor ekonomi masyarakat Dusun Pilangsari tidak ada karena sesungguhnya semua infrastruktur dan tunjangan kebutuhan hidup merupakan sumbangan dari donator. Taraf hidup/ ekonomi masyarakat Dusun Pilangsari rata– rata menengah ke bawah. Hampir tiap tahun, jumlah hasil panen yang ditanam sebanding dengan modal yang digunakan, bahkan bisa sampai jauh di atas modal. Namun tahun terakhir, angka produksi pertanian mengalami penurunan produktivitas sehingga menciptakan kerugian bagi para petani. Di ruang lingkup masyarakat Dusun Pilangsari tercipta relasi yang sangat baik dan solidaritas yang tinggi antar umat beragama. Seperti halnya, ketika warga setempat yang beragama Kat olik merayakan Natal, umat muslim juga turut membantu dalam hal pengawasan dan penyusunan acara. Demikian halnya, ketika umat muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri, umat Katolik turut mengisi acara dengan hiburan kuda lumping dan tarian. Dusun Pilangsari terkenal akan kesenian tarinya, yaitu kuda lumping. Kesenian ini tetap dilestarikan dan dipelihara guna menunjukkan identitas desa tersebut. Kesenian ini sering kali dipentaskan untuk menyambut tamu dan mengisi perayaan keagamaan tertentu. Mitos atau kepercayaan nenek moyang masih dianut oleh sebagian besar warga setempat, di antaranya warga harus menutup pintu tepat maghrib dan tradisi suroan pada saat malam jumat kliwon. Sejauh ini, agama cukup berperan dalam pribadi masyarakat setempat. Hal ini dapat terlihat dari semangat baru mereka melakukan suatu pekerjaan dan tingkat kesadaran mereka untuk berserah penuh kepada Tuhan dalam setiap pergumulan hidup mereka. Kegiatan Live In ini membekaliku nilai–nilai kehidupan yang murni dan sejati. Kini, saya menyadari bahwa di luar sana masih banyak
saudara–saudariku yang masih hidup dalam kubangan kemiskinan. Dari situ, saya belajar bagaimana saya harus mampu untuk bersyukur akan kehidupanku sekarang ini dan berserah penuh kepada Tuhan apabila masalah datang menghadang. Saya akan selalu ingat akan kesan mereka terhadapku sebagai anak asuh mereka. Ketika saya melihat mereka menulis secara bergantian, “kesan kami koko baik, sopan, jujur, dan hormat pada keluarga saya” . Kesan ini tentu menjadi tolok ukur yang menunjukkan sampai sejauh mana saya sudah berubah oleh karena kehidupan di desa. Perubahan sikapku ini akan saya bawa ketika saya kembali ke Jakarta, bertemu dengan kedua orang tua saya dan ingin membuatnya bangga akan pribadiku yang baru. Apalagi ibu asuhku pernah berpesan kepada saya,” semoga koko tetap jujur dan rajin belajar dan jangan pernah lupa pada Tuhan”. Pesan ini akan saya pegang teguh bagi kehidupanku di kemudian hari. Melalui amanat kedua orang tua asuhku, saya ingin memperbaharui sikap dan tingkah lakuku. Saya mau lebih bersyukur, mampu menahan emosi, dan memberi dengan sukacita. Langkah konkret yang siap saya lakukan adalah mau menunjukkan pribadiku yang baru secara langsung kepada kedua orangtua saya. Setiap hari, saya mau menyiapkan selembar kertas dan menuliskan tahap – tahap perubahan yang terjadi terhadap diriku. Sungguh, Tuhan begitu baik terhadapku sehingga Ia bisa menggunakan siapapun sebagai sarana keselamatan yang membantu kita keluar dari dosa dan kesalahan kita. Terima kasih, Tuhan Yesus… Dennys Kurniawan Lianto XI-A-3/6 MBAH SIMON DAN NILAI KEHIDUPAN Pada hari senin tgl 2 November 2015, kami semua berkumpul di sekolah tepatnya pukul 19.30 WIB untuk melaksanakan live in di Kendal, Jawa Tengah. Sampai di sekolah kami diberikan makanan dan dua minuman sebagai bekal disana. Kami berangkat menggunakan bis dari sekolah ke stasiun Senen. Sesampainya disana, kami dibagikan tiket. Kami menunggu sekitar delapan jam untuk memcapai tujuan sampai ke Stasiun Weleri. Sesampainya di Stasiun Weleri kami naik bus
SEMOGA SUATU SAAT NANTI KAMI DAPAT BERTEMU KEMBALI Pada hari pertama tanggal 3 November 2015, tentunya kami datang untuk pertama kali ke Dusun Setro di Desa Sendangagung, Temanggung, Jawa Tengah yang dilalui dengan kereta api dari Stasiun Senen di Jakarta hingga Stasiun Weleri di Jawa Tengah selama kurang lebih 6 jam dan bus selama 3 jam. Kami terpilih untuk menetap di rumah Bapak Sugito yang berada di seberang rumah kepala dusun. Anggota keluarga di sana terdapat 2 orang, Pak Sugito sendiri beserta istrinya, Bu Rusmi. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang masih bekerja walau usia sudah lanjut. Pak Sugito adalah seorang petani ladang dan peternak. Sedangkan Bu Rusmi adalah seorang ibu rumah tangga. Mereka hanya tinggal berdua karena ketiga putrinya sudah berkeluarga masing-masing dan menetap di rumah suaminya masing-masing. Bahkan anaknya ada juga yang menjadi orang tua asuh bagi siswa lain di dusun ini. Kadang-kadang cucunya suka berkunjung ke rumah untuk sekedar bermain ataupun untuk menginap. Pak Sugito dan Bu Rusmi menerima kami dengan sangat baik dan bahkan kami disuguhkan makanan ringan untuk mengganjal perut karena perjalanan cukup jauh. Mereka berdua bersifat ramah dan murah senyum. Kami juga tentunya berbincang-bincang tentang segala hal tentang keluarga kami, keluarga mereka, dusun ini, dan sebagainya. Pak Sugito pernah menjadi seniman, ia mahir dalam menjadi dalang dalam sebuah perwayangan. Namun ia sudah tidak pernah mendalang lagi yang dikarenakan berkurangnya pendengaran Pak Sugito tersebut. Di rumah mereka berdua tinggal sekaligus rumah kami singgah, rumahnya lebih layak daripada yang kami kira. Lantainya sudah menggunakan keramik, walaupun di bagian dapur dan kamar mandi lantainya masih menggunakan semen. Sementara temboknya juga sudah menggunakan batu bata dan semen. Rumah ini juga sudah dilengkapi dengan listrik, jaringan telepon, serta dilengkapi dengan jaringan satelit. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Pak Sugito adalah seorang petani ladang. Ia berladang bermacam-macam tumbuh-
pun mengisi acara secara dadakan dengan mempersembahkan beberapa buah lagu. Itu adalah malam terakhir kami berada disana. Kami pun beristirahat untuk besok hari karena akan kembali ke Jakarta. Dan menyiapkan barang-barang untuk kembali ke Jakarta. Keesokan harinya yaitu hari Jumat, 6 November 2015. Kami berkumpul pukul 07.30 di depan Posyandu. Awalnya kami harus ke Desa Ngasinan terlebih dahulu untuk melaksanakan upacara penutupan tapi acara tersebut gagal dikarenakan bus yang kami tumpangi terlambat datang sehingga upacara penutupan pun dilaksanakan di masing-masing desa. Di hari terakhir itu banyak sekali siswa-siswi dam warga yang menangis karena akan berpisah dengan kami. Termasuk saya, jujur saya sangat sedih karena begitu cepat berlalu sehingga kami harus berpisah dan entah kapan kami bisa datang kesana lagi. Pengalaman-pengalaman tidak bisa kami dapatkan di tempat lain. Pelajaran yang di dapat, pesan yang di dapat sangatlah berarti bagi hidup kami khususnya saya. Karena sudah sangat jelas bahwa kehidupan di desa dan di kota sangatlah berbeda. Di kota hidup terlalu individual namun di desa mau dengan siapapun pasti kita kenal kita tahu. Saya pun mendapat pesan yang sangat berarti dari orangtua asuh saya. Orangtua asuh saya berpesan agar saya harus rajin belajar, hormat dengan orangtua, menghargai hidup, dan menghargai pemberian orangtua. Banyak cerita yang saya dapatkan disana, banyak pengalaman yang saya juga tidak bisa ceritakan satu persatu. Dan pasti orang yang membaca cerita saya bingung kenapa cerita saya selalu ibu tidak pernah Bapak Taryono? Bapak Taryono adalah seorang yang sangat pendiam. Kami pun jarang bertemu dengan Pak Taryono selama disana. Pak Taryono pagi hari sudah bekerja dan malam jikalau kami sedang berkumpul Pak Taryono sudah tertidur. Saya secara pribadi sangat bersyukur karena sekolah mau mengadakan Live In, karena Live In ini sangat berarti bagi kami karena bisa memberikan pembelajaran dan pengalaman yang tidak akan bisa dilupakan dan menjadi cerita dalam hidup kami. Terima kasih saya ucapkan untuk sekolah, orangtua asuh dan kerjasama satu angkatan IPS khususnya atas 5 hari ini. Gebi Frissilia/IX IPS 1/08
menuju Paroki Isidorus. Di perjalanan saya melihat banyak pohon dan alam sehingga hal ini membuat saya begitu antusias untuk mengikuti kegiatan live in. Di Paroki Isidorus kami mendapatkan sambutan dari Pastor disana. Lalu kami berangkat menggunakan truk menuju desa. Desa yang dimana saya ditempatkan adalah desa Sekecer. Sepanjang jalan menuju Sekecer banyak sekali pohon pala dan padi-padi. Sesampainya di desa Sekecer kami berkumpul di gereja Santa Maria untuk diperkenalkan dengan orang tua asuh kami. Saya merasa sedikit gugup karena dari semua siswa hanya saya sendiri yang tidak memiliki pasangam live in dikarenakan pasangan saya tidak dapat mengikuti live in. Orangtua asuh saya bernama Ibu Pur dan Pak Sulastono. Ibu Pur sedikit bingung karena anak asuh yang beliau dapat hanya satu orang tetapi saya senang saat sampai di rumahnya karena rumah Ibu Pur cukup besar. Disana saya memberikan sembako, karung beras, dan selimut yang saya bawa dari Jakarta. Pada hari pertama saya merasa tidak enak karena saya merasa sangat ngantuk saat sampai ke rumah Ibu Pur. Di kereta saat perjalanan ke Kendal saya tidak bisa tidur sehingga saat sampai disana saya tidak kuat lagi dan segera tidur setelah makan siang. Hal ini membuat saya telat bangun di hari pertama memberikan bimbingan belajar. Saya telat sekitar satu jam saat memberi bimbingan belajar. Disaat saya sampai ke gereja tempat bimbingan belajar diadakan untuk anak di desa itu ternyata bimbingan belajar sudah selesai dan saya sangat malu sekali karena tidak bangun saat itu. Saya tidak bangun dikarenakan saya terlalu lelah dan tidak mendengar alarm jam saya bunyi serta di rumah tidak ada orang. Ibu sedang pergi melayat ke kota Kendal dan bapak sedang melayat juga ke Yogyakarta. Untungnya pembimbing saya Pak Panab tidak menghukum saya. Pak Panab menginformasikan bahwa pada jam 8 malam dihari itu kami akan mengadakan doa bersama di rumah Ibu Yuli, orang tua asuh Ivan dan Jonathan. Sambil menunggu acara doa di rumah Ibu Yuli mulai, saya mengobrol bersama mbah Simon. Kami berbicara banyak hal mulai dari keluarga saya, pekerjaan orang tua saya hingga masalah alam dan politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Saya sangat menikmati waktu mengobrol saya dengan mbah. Mbah mengingatkan saya dengan opa saya di rumah. Sambil menunggu saya
juga berbicara dengan ibu Pur. Saya baru tahu jika ibu mempunyai dua anak perempuan yang sekarang sudah menjadi pramugari di maskapai penerbangan Lion Air. Disitu saya berpikir kalau keadaan daerah atau ekonomi tidak akan menjadi masalah untuk mencapai cita-cita jika kita mempunyai tekad dan kemauan semua hal itu pasti akan terwujud. Tak lama kemudian saya dijemput oleh teman-teman untuk pergi ke rumah ibu Yuli untuk berdoa. Disana kami mengadakan misa kecil dalam bahasa Jawa. Setelah selesai kami pun makan-makan dan minum teh. Tak terasa hari sudah bertambah malam sehingga saya pun memutuskan pulang kembali ke rumah. Dirumah saya pun segera tidur. Pada hari kedua saya dibangunkan oleh teman-teman untuk pergi berjalan-jalan melihat ladang padi milik orangtua asuh kami. Disana kami berjalan-jalan. Kami juga pergi ke tempat sungai yang sekarang sudah kering dikarenakan sudah jarangnya hujan. Jalan menuju sungai sangatlah curam. Saya dengan hati-hati jalan menuju kebawah. Usaha yang kita lakukan memang tidak pernah sia-sia karena sesampainya dibawah saya pun mendapatkan sebagian dari air sungai yang belum mengering. Air sungai itu adalah air paling segar yang pernah saya minum. Perjalanan keatas lebih susah dibandingkan perjalanan ke bawah. Saat berjalan ke atas saya melihat seorang nenek yang juga menuju keatas. Disitu saya merasa kagum karena nenek yang sudah berumurpun mampu mengapa saya tidak bisa naik keatas? Akhirnya semangat saya pun kembali meningkat dan saya berhasil keatas. Saya pulang dan segera mandi karena mau membantu ibu ke ladang. Saat berjalan menuju ladang ibu, saya bertemu banyak orang dan orangtua asuh lain. Sesampainya di ladang, saya kagum melihat ladang ibu yang sangat besar. Banyak sekali pohon yang ibu punya, dari pohon durian, petai, salak, nangka, dan lain-lain. Saat saya menuju aliran air yang ada di sekitar ladang ibu, saya sedih karena aliran airnya sudah kering dan tidak ada air lagi sehingga saya tidak bisa membantu ibu di ladang. Ibu pun juga merasa sedih karena cuaca yang sangat tidak mendukung ini. Karena jarang hujan, pohon-pohon ibu sudah banyak yang kering seperti pohon durian dan padi ibu yang tidak bisa tumbuh karena kurang air. Kami memutuskan untuk pulang. Sampai dirumah, saya disuruh ibu bermain saja karena tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukan. Saya pun
ke Gereja. Setelah kami mengobrol-ngobrol kami keluar dan berkumpul di rumah Pak Warijan untuk berjalan-jalan ke Posyandu bersama temanteman yang tempat tinggalnya berada di sekitar rumah kami. Di Posyandu kami berkeliling lalu kami mengunjungi rumah Icil. Kami berkumpul dan ngobrol-ngobrol disana. Jam pun akhirnya menunjukkan pukul 22.00 WIB, kami pun berjalan pulang ke rumah kami. Kami beristirahat. Ketika saya hendak berdoa dan tidur. Temanku Ferren ti batiba teriak “eh ada lebah ada lebah” saya dan Cella pun menanggapi dengan biasa saja. Namun, tiba-tiba lebah tersebut mulai mendekat dan menyengat kaki Ferren dibagian paha. Tapi pada saat Ferren bilang dia tersengat saya dan Cella tidak percaya, kami malah menertawakan dia. Sampai-sampai ketawa kami pun membangunkan ibu. Ibu pun terbangun lagi karena itu. Ibu membunuh lebah tersebut lalu ibu keluar. Setelah itu saya dan Cella mulai mengobati paha Ferren dengan salep agar tidak bengkak. Setelah itu kami pun mencoba untuk tertidur lagi dan akhirnya kami pun tertidur. Keesokan harinya, kami bangun pukul 07.00, kami sarapan dan kami diajak ibu membuat kue putu dan membantu ibu menanam jahe. Setelah itu kami menemani ibu ke Posyandu. Setelah selesai, kami pun pulang dan kami mandi untuk bersiap misa di Desa Ngasinan. Lagi-lagi kami naik mobil Pic k Up ke Ngasinan. Namun itulah pengalaman yang tidak bisa dilupakan juga. Setelah misa selesai kira-kira pukul 17.30 WIB kami akan kembali lagi ke desa Setro, untuk mengadakan malam keakraban dengan warga setempat. Namun acara ini tidak seperti yang diharapkan. Acara ini terganggu karena ada seorang bapak yang mengabarkan istrinya terkena alergi dengan obat, sehingga para guru berupaya mencari penawar alergi tersebut. Acara perpisahan ini terabaikan sampai-sampai acara yang harusnya mulai pukul 19.30 WIB, baru dimulai pukul 21.00 WIB. Anak-anak sudah mulai jenuh dan ingin kembali ke rumah masingmasing. Namun saya, Andrew, Eldo, dan teman-teman yang lain berusaha menahan agar mereka tidak pergi. Dan a khirnya acara tersebut dimulai jam 21.00 dengan saya dan Andrew yang membuka secara dadakan. Karena kami tidak tahu susunan acaranya sama sekali. Tapi disitulah kerja sama satu angkatan pun terasa. Disitu kami saling sharing dan dilanjutkan dengan makan-makan bersama. Saya, Benja dan Tata
naik motor. Tapi bagi saya perjalanan itu sangatlah berat. Di kebun kami membantu ibu memetik atau “merenteli” cabai dan menanam jagung. Yang sebenarnya saya tidak mengerti cara merenteli cabai tapi ibu selalu berkata “tidak apa-apa namanya juga kamu belajar, salah juga tidak ada yang marah toh”. Cukup banyak binatang yang menganggu selama kami di kebun misalnya kadal dan kodok yang banyak sekali ada di tanah tersebut. Setelah beberapa waktu dan telah membantu setengah pekerjaan ibu kepala saya mulai pusing dan saya pun berhenti membantu pekerjaan ibu. Kami menunggu di gubug sambil menunggu ibu yang terus melanjutkan pekerjaan dan mengambil rumput untuk makan sapi. Setelah selesai kami kembali ke rumah, kami berjalan dengan rasa sangat lelah dan ibu tetap terlihat tidak lelah dan bersemangat walaupun ibu memanggul rumput yang dibawa untuk makan sapi. Kami mampir ke tempat kerja bapak yang berada di bawah kebun untuk meletakkan rumput yang ibu bawa agar dibawa pulang oleh bapak. Akhirnya setelah beberapa lama perjala nan ini, kami pun sampai di rumah. Setelah sampai kami pun mandi dan ibu memasak untuk makan siang kami. Setelah makan siang kami beristirahat dan pukul 15.00 WIB ada pertandingan sepak bola antar pemuda sekolah kita dan pemuda desa sekitar. Selain pertandingan sepak bola ada juga pertandingan voli dan bimbingan belajar untuk anak-anak yang masih kecil-kecil. Sambutan dan sapaan mereka berikan dengan sangat baik. Itulah yang membuat ciri khas desa sana. Mereka menganggap kami keluarga dan sangat menerima kami dengan sangat baik. Jujur, pada hari kedua ini sangatlah “berasa” apa arti Live In yang diadakan oleh sekolah ini. Saya bisa mengerti apa arti kehidupan ini, saya bisa lebih mensyukuri hidup dan saya juga diajarkan harus bisa ramah terhadap orang-orang sekitar walaupun kita belum mengenal orang tersebut. Sore hari pun berlalu. Malam hari di malam itu kami pun berkumpul bermain dan ngobrol bersama. Saya bertanya kepada ibu “Bu, disini kalau ingin ke Gereja ibu ke Kapel ngasinan atau gimana?” jujur saya sangat kaget dengan jawaban ibu. Ibu mengatakan kalau ibu akan ibadah ibu harus ke Gereja di Rawa Seneng atau ibu harus ke Temanggung, dan perjalanan itu ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Orang- orang disana i ngin beribadah saja susah ta pi kita yang gampang ke Gereja terkadang malas
bermain bersama teman-teman hingga pukul dua kami pergi ke gereja untuk kerja bakti membersihkan gereja. Setelah bersih, saya kembali melakukan rutinitas setiap jam 4 yaitu memberikan bimbingan belajar bagi anak-anak di kampung sana. Saya mengajarkan siswa kelas tiga SD bersama J onathan. Pertama kami mengajarkan Bahasa Indonesia tet api anak-anak lebih memilih candaan Jojo untuk belajar tarian B-Boy daripada serius belajar sehingga merekapun belajar B-Boy bersama Jojo. Saya membantu Steven mengajar perkalian kepada siswa kelas 5 bernama Angga. Angga sampai sekarang tidak bisa perkalian sehingga saya pun bertekad untuk mengajarkan Angga hingga ia bisa perkalian. Saat ditanya cita-cita nya oleh Theo, Angga menjawab bahwa ia ingin menjadi TNI dan kami pun menyemangati Angga kalau jika ia ingin menjadi TNI maka ia harus menghafal perkalian. Hal ini sepertinya memacu Angga untuk belajar sehingga ia pun bisa perkalian hingga perkalian empat. Setelah semua selesai belajar, Leo mengajarkan bahasa mandarin kepada semua anak. Anak-anak disana sangat antusias untuk belajar mandarin. Saya pun berfikir kalau mereka saja yang fasilitas belajar tidak semaju di Jakarta mempunyai semangat yang jauh lebih baik daripada saya yang s ekolah dengan kelas dan sarana-sarana yang bagus, mengapa saya masih malas? Kami pun memberikan PR kepada mereka jika mereka bisa menghafal angka 1 sampai 5 dalam mandarin, besok kami akan memberikan hadiah. Setelah selesai mengajar kami pun pulang kembali ke rumah masing-masing. Pada saat malam semua teman-teman berkumpul di rumah saya dan kami mengobrol dan bercanda gurau di rumah saya. Disa na juga ada Pak Panab yang banyak mengobrol dengan mbah. Kami selanjutnya melakukan sesi pemotretan sebagai kenang-kenangan di desa Sekecer. Setelah jam 10 teman-teman memutuskan untuk pulang dan saya pun tidur. Pada hari ketiga saya kembali dibangunkan oleh Jojo untuk pergi ke pemakaman. Kami tidak pergi untuk melayat tetapi untuk melihat sunrise. Walaupun sebenarnya sudah terlalu siang untuk pergi kesana karena kami semua telat bangun tapi kami masih penasaran sehingga saya, Ivan, Jojo, Jordan, dan Randy pergi dan melihat pemandangan dari pemakaman. Kami pun segera kembali pulang ke rumah karena hari sudah panas dan matahari sangat terik. Saya pun mandi dan makan
sambil ditemani Ivan dan Jojo. Lalu kami memutuskan untuk pergi ke rumah Ivan dan Jojo. Disana saya diberi mangga oleh ibu asuh mereka, Ibu Yuli. Saya malu disana karena saya tidak bisa memotong mangga dan akhirnya di bantu oleh Jojo. Saya berada disana dari pukul 10 pagi sampai 2 siang. Saya pun pulang karena ibu Pur mencari saya untuk makan siang. Setelah makan siang, saya kembali mengobrol dengan teman-teman sambil menonton televisi. Lalu kami pergi ke gereja untuk mengajar pada pukul 4 sore. Saya mengajar bahasa inggris dan matematika untuk kelas 2 dan 6 SD. Karena mereka semua pintar menghafal angka 1-5 bahkan 1-10 dalam bahasa mandarin, kami pun memberi banyak hadiah. Sebagai kenang-kenangan saya memberikan pensil, penghapus, penggaris yang mama saya bawakan dari Jakarta. Mereka pun sangat senang dan hal itu membuat saya senang juga. Malam itu kami mengadakan pelepasan dengan orangtua asuh disana. Kami makan bersama dan memberikan banyak kesan pesan dari siswa dan juga dari orangtua asuh. Bapak asuh saya menyampaikan banyak hal disana. Pak Panab juga menyampaikan pelajaran-pelajaran yang ia dapat dari mbah saat mereka mengobrol kemarin. Pelajaran itu adalah bahwa hidup harus dijalankan dengan tidak banyak beban, itulah rahasia umur panjang mbah menurut mbah sendiri. Kita harus melaksanakan segala sesuatu dengan kebaikan dan jangan iri hati dengan apa yang orang lain punya dalam hidup. Itulah pesan-pesan mbah yang saat ini selalu saya kenang. Mbah adalah orang yang sangat baik dan bijaksana. Setelah acara selesai saya pun pulang dan segera tidur karena hari itu adalah hari yang sangat melelahkan. Hari keempat adalah waktunya pulang. Saya berat hati meninggalkan desa Sekecer. Sekecer banyak memberi saya kenangankenangan indah. Mulai dari orang-orang nya yang sederhana namun sangatlah ramah, mereka tidak pernah pandang bulu. Semua orang yang dikenal dan tidak dikenalpun disapa dan diundang ke rumah mereka untuk minum teh. Hal itu membuat saya betah tinggal disana. Anakanak disana juga sangat baik dan lucu. Saya sangat suka mengajar mereka dan bermain bersama mereka. Saya juga sangat bersyukur atas kebaikan Bapak Sulastono dan Ibu Pur. Terlebih lagi mbah Simon yang memberikan saya banyak nilai-nilai hidup dari pengalaman yang ia
adalah satu-satunya orang yang paling tua di desa ini yaitu berumur 80 tahun dan nenek ini tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia. Setelah kami perkenalan dan ngobrol-ngobrol kami pun mandi dan makan. Ketika kami selesai berkenalan tiba-tiba nenek keluar dan mengajak kami berbicara. Tapi hasilnya kami sama sekali tidak tahu apa yang nenek katakan, kami hanya bisa membaca dari gerak tangannya nenek saja. Yang kami tahu dari kata-kata nenek hanyalah “banyu” yang artinya air dan “mangan” yang artinya makan. Jujur saya sangat bingung tapi saya berusaha untuk mengerti apa yang nenek katakan. Setiap nenek berbicara saya hanya bisa tersenyum dan berkata “iya nek”. Setelah itu kami pun permisi dan kami pergi berkunjung ke rumah tetangga kami. Ternyata di sebelah rumah kami adalah rumah yang ditinggali oleh Christa, Jonatan, Marcel, dan Delvionico. Kami bercanda-canda dan kami ngobrol disana. Waktu pun berlalu, kami pun kembali kerumah. Kami beristirahat sejenak. Lalu kami pun diajak untuk makan malam bersama. Setelah makan malam kami pergi berjalan-jalan dan pukul 20.00 WIB kami pulang. Kami pun beristirahat karena kami sudah capek di perjalanan. Pada hari pertama kami susah tidur karena banyak sekali serangga yang mengganggu. Ada satu jenis serangga yang membuat kami tidak bisa tidur sampai ibu pun terbangun yaitu uret-uret. Uret-uret itu adalah serangga yang mirip dengan kumbang yang cukup besar dan berbunyi sehingga mengganggu. Sampai-sampai ibu mendatangi kamar kami dan mengambil serangga itu. Setelah itu barulah kami bisa tidur. Keesokan harinya kami bangun pukul 07.00 WIB, kami cuci muka lalu kami ganti baju. Setelah itu kami diajak ibu ke kebun cabai, jagung dan padi. Kami memulai perjalanan dengan berjalan kaki yang menghabiskan waktu cukup lama dan perjalanan itu sangat jauh. Disitu kami merasa pekerjaan yang tiap hari ibu lakukan sangat berat. Ibu harus memulai pekerjaan pukul 06.30 WIB dan pulang sekitar pukul 10.00 WIB berjalan kaki. Ditambah dengan beban yang ibu bawa setiap pulang dari kebun, misalkan rumput untuk makan sapi atau kayu bakar untuk memasak. Saya sendiri yang sudah cukup terbiasa berdiri lama dan berjalan-jalan di mall terasa sangat lelah ketika harus berjalan kaki ke kebun ibu yang letaknya sangat jauh. Gimana ibu yang harus setiap hari pergi kesana, walaupun terkadang bersama bapak
Setelah sampai di stasiun waleri kami naik bus ke desa Ngasinan yang ditempuh dengan waktu 3 jam. Selama di perjalanan saya mulai jenuh, bosan, kesal, dan rasa ingin kembali lagi ke Jakarta. Tiga jam pun berlalu, akhirnya kami pun sampai di Kapel Ngasinan. Kami berkumpul untuk pembagian tempat tinggal orang tua asuh kami selama di Rawaseneng, karena desa yang kami tempati terbagi menjadi 2, yaitu Setro dan Ngasinan. Dan kebetulan sekali saya mendapatkan Desa Setro. Saya tinggal bersama 3 orang temanku yaitu Ferren, Marcella, dan Elizabeth. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Elizabeth tidak jadi ikut Live In karena papanya meninggal dunia pada saat Elizabeth berada di Stasiun Senen. Kami pun merasa turut berduka atas meninggalnya ayahanda dari Elizabeth ini.. Pada saat kami menuju ke Desa Setro, kami mendapat kabar bahwa harus mengunjungi kantor kecamatan terlebih dahulu. Disitu kami merasa sangat jenuh, yang harusnya kami sudah bisa langsung bertemu dengan orangtua asuh, tetapi kami harus ke kantor kecamatan dulu. Setelah beberapa lama kami di kantor kecamatan kami pun berangkat ke desa Setro dengan menaiki mobil pick up. Pengalaman pun dimulai pada saat itu. Menaiki mobil pick up beramai-ramai yang mungkin kalau di Jakarta itu kami bisa dibilang seperti “kambing” karena naik mobil pick up. Setelah beberapa saat kami pun sampai di Desa Setro. Kami berkumpul di depan Posyandu Desa Setro. Kami diberikan sambutan oleh Pak Kadus. Lalu setelah berkumpul kami di panggil perkelas untuk mengumpulkan handphone kami. Setelah itu kelompok perkelompok pun mulai di panggil untuk diserahkan kepada orangtua asuh. Kelompok demi kelompok dan akhirnya kelompok saya pun dipanggil, kami segera menuju ke rumah tempat tinggal kami. Yang ternyata rumahnya cukup dalam dan kalau malam sangat gelap. Kami tinggal di rumah Bapak Taryono dan Ibu Suryati. Setelah kami sampai di rumah orangtua asuh kami, kami ke kamar untuk meletakkan barang-barang lalu kami ke ruang tamu untuk berkenalan dengan anggota keluarga disana. Bapak Taryono memiliki satu orang putra yang masih bersekolah di Sekolah Teknologi Mesin kelas 3 SMA. Nama anaknya ini adalah Agus. Dan dirumah Pak Taryono ini ada ibunya Ibu Suryati yang kami panggil nenek. Nenek ini
dapat. Saya tidak akan pernah melupakan mereka seumur hidup saya. Warga desa Sekecer sungguh mengajarkan saya untuk hidup sederhana tetapi selalu bersyukur dalan segala kesederhanaan kita dan bersikaplah ramah kepada semua orang. Laksanakan segala hal dengan sepenuh hati dan ikhlas. Kami pun berfoto-foto dengan keluarga asuh kami masing-masing dan ibu membawakan saya banyak oleh-oleh seperti mangga, petai dan emping melinjo. Saya pun mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih atas kebaikkan bapa dan ibu serta mbah yang saya terima selama tiga hari disana. Kami pun pulang dari dusun Sekecer menuju gereja Paroki Isidorus Kendal dimana kami mengadakan misa syukur dan kami pun menuju stasiun Weleri lalu pulang ke Jakarta. Hanna Naomi XI-A-3 DESA SEKECER Tanggal 2 November 2015 saya mengikuti kegiatan live in dari sekolah. Saya berangkat bersama teman-teman dan guru-guru dari stasiun Senen. Kami sampai di stasiun Weleri di Jawa Tengah pukul 5.11 WIB pagi di tanggal 3 November 2015. Setelah itu kami langsung ke paroki Sukorejo dan disana kami langsung menuju ke desa masingmasing. Saya dengan Chris mendapatkan daerah live in di desa Sekecer. Jalan ke Sekecer cukup jauh dan melewati hutan yang sepi. Sesampainya di Sekecer, saya langsung bertemu dengan orang tua asuh saya yaitu Ibu Sutami. Saya dan Chris langsung diantar ke rumah untuk beristirahat. Setelah istirahat, Ibu Sutami sudah menyiapkan kami makanan akhirnya kami makan. Ibu Sutami juga bercerita tentang kehidupannya. Ia tinggal bersama suaminya yaitu Pak Tukri dan anaknya yang sekarang kelas 8. Sore hari saya langsung menuju ke gereja untuk mengajar. Rumah saya tidak jauh dari gereja bahkan sangat dekat. Anak-anak yang kami ajari ada yang kelas 2 SD, 3 SD, dan 5 SD. Mereka sangat kurang dalam matematika, namun mereka sangat semangat untuk belajar walaupun ada yang nakal. Setelah mengajar, kami berkumpul bersama-sama bercerita tentang rumah kami masingmasing. Saat malam hari, kami berdoa di rumah Ibu Yuli, rumah yang
ditempati oleh teman sa ya Ivan dan Jonathan. Rumahnya berada tepat di seberang rumah saya. Keesokan harinya di pagi hari, kami berjalan-jalan mengelilingi Sekecer. Kami pergi ke sawah dan juga hutan. Perjalannya cukup jauh dan melelahkan. Setelah itu saya dan Chris pergi berladang untuk membantu Ibu Sutami mencari makan kambing. Saat berladang, kami dibantu oleh beberapa teman kami yaitu Vale ncia, Anas, Steven, Jordan, dan Randy. Ternyata mencari makan kambing tidak mudah dan melelahkan namun seru. Kami tidak sempat pergi ke sawah karena musim dan cuaca yang tidak mendukung sehingga sawah sangat kering. Di Sekecer juga sedang dibangun waduk untuk irigasi agar sawah tidak kering namun pembangunan waduk tersebut belum selesai. Setelah berladang, saya beristirahat dan berkumpul bersama teman-teman. Sore hari sebelum bimbel, kami kerja bakti membersihkan gereja. Pukul 4 sore saya kembali mengajar lagi. Setelah mengajar kami berkumpul kembali dan bermain bersama. Saat malam kami pulang dan istirahat. Keesokan harinya, saya dan Chris telat bangun sehingga kami tidak ikut jalan pagi. Mungkin kami sangat lelah sehingga kesiangan. Akhirnya kami jalan-jalan ke sekitar rumah kami. Setelah jalan-jalan, kami berladang lagi bersama teman-teman dan Ibu Sutami. Sehabis berladang kami istirahat. Siang hari, kami mempersiapkan segala hal untuk acara malam perpisahan yang akan diadakan hari ini. Ibu-ibu memasak sedangkan kami membersihkan tikar, mencuci piring dan lainnya. Setelah itu kami mengajar lagi. Hari ini anak yang datang lebih banyak dari hari kemarin. Setelah mengajar kami langsung mengadakan acara perpisahan. Kami sharing kesan-kesan, makan-makan bersama, dan juga bernyanyi bersama. Setelah perpisahan kami berkumpul untuk malam terakhir. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat. Tanggal 5 November 2015 kami harus kembali ke Jakarta. Pagi pagi hari kami sudah bangun dan siap-siap. Ibu Sutami juga memberikan kami oleh-oleh. Anak Ibu Sutami juga mengajak saya dan Chris berfoto bersama. Setelah itu kami berpamitan di gereja dan berfoto bersama. Kami kembali ke paroki Sukorejo untuk misa penutupan dan kembali ke Jakarta.
masyarakat desa. Pertandingan tersebut berupa futsal, menggunakan bola plastik. Kemenangan bukan yang pal ing utama, melainkan kebersamaan yang ingin kita capai. Setelah itu kami mandi dan hari pun berganti malam Kami bergegas untuk beristirahat. Hari ketiga, saya bangun kesiangan karena kelelahan, tetapi kami masih harus semangat karena hari ini kami bergotong royong untuk memindahkan tanah ke got. Beberapa menit saat berkerja kaki saya tercangkul oleh teman saya. Saya pun dibawa ke posyandu untuk di obati. Tetapi itu tidak menghalangi saya untuk berhenti bekerja. Tiga jam berlalu, kami pun beristirahat di rumah sampai pukul 4 sore. Kami berbincang dan beristirahat dengan orang tua asuh. Sore itu kami ada kegiataan misa di dusun Ngasinan. Karena letaknya yang cukup jauh, kami menggunakan mobil picpup untuk mencapai Ngasinan. Setelah misa kami makan bersama dengan masyarakat sekitar. Malam pun tiba dan kami pun pulang tuk beristirahat. Hari keempat merupakan hari terakhir, dimana kami akan berpisah. Di pagi hari, kami bangun kesiangan lagi karena kelelahan dengan aktivitas sebelumnya. Pagi itu juga kami dikejutkan dengan berita bahwa kambing milik keluarga melahirkan 2 ekor kambing. Kami juga diberikan oleh-oleh khas Jawa Tengah. Kami sarapan untuk yang terakhir di keluarga ini. Kami juga memberikan selimut kepada keluarga sebagai sovenir dan ucapan terima kasih. Setelah itu kami bersiap-siap untuk berangkat dan berpisah di depan posyandu. Perjalanan pulang kami menggunakan bus mini untuk menuju stasiun Weleri dan berjumpa lagi dengan teman-teman kami yang Live In di Sukerejo. Garent/XI IPS 1 TERIMA KASIH….. Senin, 2 November 2015 sekolahku mengadakan Live In di Rawa Seneng, Temanggung. Kami berkumpul di sekolah pukul 19.30 WIB, lalu jam 21.00 WIB kami berangkat dari sekolah ke stasiun Pasar Senen. Tiba di stasiun kami memasuki ruang tunggu untuk menunggu kereta yang akan kami tumpangi. Tepat pukul 22.30 WIB kami naik ke kereta, perjalanan yang kami tempuh adalah 6 jam untuk sampai di stasiun waleri. Kami tiba di Stasiun Waleri hari selasa, 3 November 2015.
karena tidak bisa tidur di kereta. Setelah sampai di stasiun Waleri kami melanjutkan perjalanan ke desa sekitar 2 jam lamanya. Kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus. Dua jam kami tempuh dengan jalanannya yang sedikit berlubang, tetapi kami tetap semangat dalam mengikuti kegiatan ini. Setelah berada di desa kami pergi ke Ngasinan dahulu untuk pembukaan acara. Setelah pembukaan kami diberikan konsumsi setelah itu kami pergi ke desa Setro. Kami menggunakan mobil pickup yang tidak biasa digunakan di jakarta. Setelah sampai kami bertemu dengan keluarga asuh. Rumah kami pali ng jauh dari rumah yang lainnya dan rumah kami juga yang paling unik dari yang lainnya karena rumahnya bertingkat seperti rumah panggung. Kami sangat bahagia dapat berkenalan satu sama lain. Dalam keluarga tersebut ada bapak Widi dengan istri serta anaknya. Kami bercerita hingga lelah. Kami pun memutuskan untuk berisitirahat sejenak, dan terbangun pukul 5 sore. Setelah makan sore bersama keluarga Widi, beberapa teman mengajak kami untuk berkeliling dan bersosialisasi dengan masyarakat yang lain. kami senang dapat diterima dengan bai k.. Keesokan harinya kami bangun pagi pukul 6.00 WIB. Keadaan di sana cukup sejuk karena habis hujan. Kami bangun pagi karena kami ingin melihat dan membantu serta belajar cara berladang dan seperti apa itu berladang. kami sarapan pagi dengan orang tua kami sebelum memulai aktivitas hari ini. Setelah itu kami di ajak untuk ikut berladang. Bapak Widi memiliki pekerjaan utama sebagai tukang bangunan selain sebagai petani. Sesampai di sana kami melihat banyak sekali pohon kopi di ladang bapak Widi. Bapak Widi pun menunjukan aksinya memanjat pohon tinggi sekali untuk melepaskan parasit yang mengganggu pertumbuhan pohon. Cukup jauh perjalanannya menuju sana ditambah lagi tanah yang masih basah sehingga merepotkan kami yang beralaskan sandal. Kami mengambil rumput dan umbi yang diberikan oleh saudara kandung bapak Widi. Kami mengambil rumput untuk memberi makan hewan kambing di rumah bapak widi dan ubi untuk dimakan di rumah. Kami berjalan menghabiskan waktu 3 jam lamanya. Setelah sampai di rumah kami beristirahat sejenak dan bersiap-siap dalam acara masyarakat dengan sekolah. Beberapa jam kemudian saya datang di acara tersebut, setelah itu saya ikut dalam pertandingan persahabatan antara kami dengan
Live in ini memberikan saya pengalaman yang banyak dan menyenangkan. Hidup di desa ternyata tidak semudah hidup di Jakarta. Namun walaupun hidup di desa sangat sederhana, saya bisa merasakan kesenangan. Orang-orang di desa juga sangat ramah. Walaupun saya tidak kenal dengan semua warga desa, tapi mereka tetap ramah dan mau menyapa saya. Dari live in ini saya belajar banyak hal yaitu saya harus menghargai hidup. Leonardo Nevlin / XIA3 LIVE IN DI GEBANGAN Pada tanggal 2 sampai 6 November 2015 kami pergi live in ke Sukorejo. Kami pergi ke Sukorejo menggunakan kereta api dari stasiun Senen. Kereta berangkat dari stasiun Senen pukul 23.00 WIB dan sampai di stasiun Weleri pada pukul 05.11 WIB. Setelah itu kami ke paroki Santo Isidorus dan sarapan di sana. Kemudian kami berangkat ke lingkungan masing-masing. Saya dan beberapa teman saya bertempat di lingkungan Santo Paulus Gebangan. Kami tinggal di Desa Gebangan selama 4 hari 3 malam. Pada tanggal 6 November, kami kembali ke paroki dan berkumpul dengan teman-teman yang lainnya. Kami mengadakan misa dan kemudian kembali ke Jakarta menggunakan kereta. Kami naik kereta pukul 14.30 WIB dan sampai di Jakarta pukul 21.30 WIB. Masyarakat di Gebangan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani atau peternak sapi. Sapi yang diternakkan adalah sapi potong. Selain diambil dagingnya, masyarakat Gebangan juga memanfaatkan kotoran sapi untuk dibuat menjadi pupuk. Selain sebagai petani dan peternak, mereka juga menanam berbagai macam tumbuhan seperti kapuk, manga, rambutan, petai, jambu dan masih banyak yang lainnya. Ada juga yang bermata pencaharian sebagai koki di kota besar. Orangtua asuh saya berprofesi sebagai petani, dan ia juga memelihara 2 ekor sapi. Setiap hari, bapak Supar selalu mencari rumput untuk makanan sapinya. Terkadang ia juga pergi ke sawah. Ia bercerita bahwa sudah lama tidak turun hujan sehingga masyarakat desa Gebangan tidak bisa menanam bibit padi maupun jagung.
Orangtua asuh saya memiliki 3 orang anak. Anak yang pertama sudah menikah dan memiliki 2 anak. Anak yang kedua juga sudah menikah dan memiliki 1 orang anak. Sedangkan anak ketiga belum menikah dan masih tinggal bersama orangtua asuh saya. Selama saya berada di desa Gebangan, saya melihat berbagai macam hal baru. Selain pemandangan alam yang indah, saya juga melihat keramahan masyarakat di sana. Mereka tidak hanya ramah kepada sesama penduduk melainkan juga kepada kami yang baru datang ke desa itu. Keramahan mereka sangat berbeda dengan keadaan di Jakarta karena kebanyakan orang di Jakarta sudah tidak peduli dengan orang lain. Selain keramahannya, saya juga belajar dari mereka bagaimana cara untuk bekerja keras. Walaupun penghasilan mereka sebagai petani tidak tetap karena hujan yang lama tidak turun, mereka tetap bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Berbeda dengan anak-anak di Jakarta yang selalu sibuk memainkan gadget mereka, anak-anak di desa Gebangan bermain permainan tradisional bersama-sama setiap sore hari. Ketika kami mengadakan bimbingan belajar dan mengajar mereka, mereka dengan antusias mengikuti pelajaran yang kami berikan. Dari live in yang saya jalani, saya dapat mempelajari berbagai pengalaman. Saya belajar untuk hidup mandiri dan menjalani hari tanpa gadget serta hidup dalam kesederhanaan. Selain itu saya juga dapat melihat bahwa ternyata saya kurang bersyukur akan apa yang ada. Setelah saya melihat kehidupan di desa, saya menyadari bahwa saya sangat beruntung dilahirkan di tengah keluarga yang berkecukupan. Ternyata, masih banyak orang di luar sana yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setelah melihat keramahan penduduk desa Gebangan, saya juga merasa bahwa kita di kota juga harus bersikap ramah kepada semua orang. Selain keramahannya, kita juga harus meniru sikap kekeluargaan yang ditunjukkan penduduk desa.bukan hanya kepada keluarga sendiri, tetapi juga kepada lingkungan sekitar kita. Namun, saya prihatin akan keadaan penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani karena musim kemarau yang
Sepulang dari misa masing-masing lingkungan merayakan malam kebersamaan bersama orangtua asuh. Dalam acara itu kami saling memberikan kesan kesan dalam acara live in dan diakhiri dengan makan bersama. Sesudah itu kami pun pulang ke rumah masing-masing dan istirahat karena besok kami akan berangkat ke Jakarta. Hari terakhir kami pun berpamitan dan foto bersama dengan Pak Marno dan ibu. Kami juga diberikan oleh-oleh sebungkus kopi dan 2 bungkus keripik pisang. Kami pun kembali menuju stasiun Weleri namun sebelum itu kami makan siang terlebih dahulu di sebuah restoran. Tiba di stasiun tak lama kereta kami datang dan setelah perjalanan 6 jam dengan kereta kami pun sampai di stasiun Pasar Senen dimana kami sudah ditunggu oleh bus yang akan mengantar kami pulang. Akhirnya kami pun tiba di sekolah pukul 21.30 WIB. Kesimpulan dari refleksi harian saya ini, banyak pengalaman yang saya dapat dari live in ini. Nilai sopan santun, kesederhanaan, kebersamaan, kerja keras, dan semangat. Nilai-nilai ini tentunya akan membangun diri saya menjadi pribadi yang dewasa dalam menghadapi kehidupan. Dan langkah konkret yang nantinya akan saya laksanakan adalah mengambil sisi positif yang saya dapatkan dan menerapkannya dalam kehidupan saya sekarang. Joice Moniaga/XI IPS 1/11 EMPAT HARI BERSAMA KELUARGA WIDI SMA Santo Yakobus mengadakan acara live in yang memiliki visi dan misi cukup bagus untuk moral anak-anak Santo Yakobus yang diselengarakan pada tanggal 2-6 November 2015. Kegiatan diadakan di Jawa Tengah menggunakan transportasi kereta api. Ini merupakan pengalaman pertama kali saya mengunakan kertea api untuk berjalan jalan. Perjalanan menuju sana membutuhkan waktu 6 jam. Hari pertama kami berada dalam perjalanan, semua siswa berkumpul di sekolah pada jam 18.30 W IB saya sudah jalan dari rumah. Jam 20.30 WIB siswa dan siswi menuju stasiun senen sampai pukul 11 malam. Pukul 23.30 WIB kami bersiap untuk naik kereta. Banyak sekali pengalaman seru dalam kereta. Kami datang tepat waktu sesuai dengan prediksi yaitu pukul 5 pagi dari stasiun senen sampai waleri, dalam kondisi lelah dan letih
Pak Marno adalah seorang petani kopi, pemburu burung dan juga tukang urut. Kadang-kadang beliau juga membuat gula a ren. Beliau juga pernah mendapat juara 1 cita rasa kopi sekabupaten Temanggung tahun 2014 lalu. Sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang sering membantu pekerjaan bapak, seperti memasak gula aren. Pak Marno j uga bercerita rumahnya ini adalah rumah yang masih baru dibangun karena dulunya Pak Marno tinggal di rumah yang ada di belakang rumahnya saat ini, rumah itu sekarang diberikan kepada anak perempuannya yang sudah menikah. Keesokan harinya kami bangun jam 6 pagi lalu mandi dan sarapan, pada pukul 08.00 WIB kami pun jalan ke ladang milik Pak Marno. Disana kami berempat mencoba untuk mencangkul, pertama-tama Pak Marno menanam beberapa tunas pohon pisang kemudian dilanjutkan membuat lubang pada tanah untuk menanam jagung. Setelah cukup lama menemani Pak Marno bekerja kami disuruh kembali ke rumah untuk makan siang. Sesampainya di rumah kami mandi lagi karena merasa berkeringat. Lalu kami pun makan siang dan dilanjutkan membantu menyiapkan snack untuk bimbingan belajar nanti sore. Sorenya saya dan beberapa teman lainnya menuju ke lingkungan Ngasinan untuk melihat pertandingan voli antara siswa SMA Santo Yakobus dengan pemuda disana. Sepulang dari Ngasinan saya menuju ke Posyandu yang berada di rumah Kepala Dusun untuk berkoordinasi dengan ibu PKK mengenai kegiatan posyandu esok hari. Saya dan beberapa teman diminta bantuannya untuk membungkus snack yang akan diberikan kepala balita yang datang ke posyandu. Esok harinya tepatnya hari kamis saya dan Olivia yang sudah bangun jam 5 pagi langsung mandi dan menuju ke posyandu, disana kami membungkus kacang hijau yang telah dibuat oleh ibu PKK ke dalam plastik-plastik kecil. Setelah itu kami kembali ke rumah Pak Marno untuk sarapan, selesai sarapan saya dan petugas yang bertugas di posyandu menuju ke posyandu karena kegiatan bakti sosial sudah dimulai sedangkan anak laki-laki yang lain ikut membantu warga kerja bakti. Sepulang kegiatan bakti sosial saya pun makan siang di rumah dan bersiap untuk misa di Ngasinan sore harinya.
berkepanjangan membuat mereka tidak dapat menanam padi ataupun jagung. Sel ain itu, jalan masuk ke desa sangat jauh dan berbatu besar sehingga akses keluar masuk desa susah. Hal ini menyebabkan susahnya fasilitas-fasilitas untuk masuk ke desa. Daniel Anderson Estefan/XI IPA 3/5
SISI PANDANG YANG BERBEDA DALAM KEHIDUPAN Pada hari Senin tanggal 2 November 2015 jam 19.30 WIB kami siswa siswa SMA Santo Yakobus berkumpul disekolah. Kami berangkat dari sekolah jam 9 dan berangkat ke stasiun Senen. Keadaan disana sangatlah ramai disertai hujan yang turun deras. Sambil membawa barang- barang yang cukup berat kita menunggu di stasiun. Jam 11 malam kereta pun sudah datang, kita semua naik ke kereta. Keadaan di kereta cukup padat. Keesokan harinya kami tiba di stasiun Waleri sekitar jam 5 pagi. Kami pergi dengan bis ke Sukerjo. Kami semua berkumpul di Paroki Santo Insidorus. Disana kami sarapan pagi dan mengumpulkan hp dan dompet. Kami tidak diperbolehkan membawa hp dan hanya membawa maksimal sepuluh ribu. Setelah itu kita diberi sambutan oleh Romo Agung. Setelah mendengarkan sambutan dari Romo Agung, kami pergi menuju dusun masing-masing menggunakan pick up. Perjalanan kesana cukup panjang dan jalannya sangat berbatu. Kita sampai menuju desa yang bernama desa Pinangsari. Kami berhenti di gereja dan turun sambil membawa barang bawaan kami. Disana kami melihat beberapa orang yang akan menjadi orang tua asuh kita. Satu persatu nama kita disebutkan. Kemudia nama saya dan Shani teman serumah saya dipanggil namanya, saya bersama Shani tinggal di rumah bapak Tugiyo. Kami disambut oleh isteri bapak Tugiyo benama ibu Margareth Supatmi. Kesan pertama yang saya lihat adalah orang orang disini begitu ramah dan mereka masih saling menyapa satu sama lain tidak seperti di kota. Dari gereja kita dituntun oleh bapak Tugiyo dan Ibu Patmi ke rumahnya berjalan kaki. Saya melihat banyak ayam dan anjing yang berkeliaran.
Sambil berjalan saya membayangkan tempat seperti apa yang akan saya tempati. Sesampai di rumahnya saya melihat kandang kambing dan juga 4 ekor anjing milik Pak Tugiyo. Rumah mereka tidakah seburuk dugaan saya. Kami masuk ke dalam rumah dan menaruh barang kami di kamar anaknya. Setelah itu kami keluar dan berbincang dengan ibu, bapak dan juga nenek yang berkunjung untuk menyambut kita. Saya melihat keluarga ini sangatlah sederhana, tetapi dalam kesederhanaan itu mereka tidak mengeluh dan terlihat seperti orang yang kesusahan. Kita banyak bercerita, pak Tugiyo memiliki 2 orang anak. Yang perempuan bernama Bella, dia seangkatan dengan saya dan dia berasrama di kanisius. Dan seorang anak laki laki yang sudah bekerja. Setelah lama berbincang saya dan Shani pergi jalan jalan agar lebih mengenal lingkungan serta mencari dimana rumah teman teman kami. Kami sempat ditemani oleh Ibu Patmi untuk berkeliling ke tetangga sebelah, tetapi saat saya ingin menyebrangi selokan, saya terjatuh dan membuat Bu Patmi khawatir, saya lalu dibawa ke rumah teman saya Shania dan Kevina di rumah Bapa Rohyadi untuk diberi obat. Kemudian saya dan Shani melanjutkan kembali berkeliling mencari rumah teman teman kami. Jam 12 siang kami kembali untuk makan siang, Bu Patmi telah menyiapkan makan siang untuk kami. Setelah itu kami beristirahat. Jam 4 sore adalah waktunya bimbingan belajar, kami pergi ke gereja dan disana kami ditugaskan untuk mengajar murid murid. Banyak murid yang datang. Kami pun mengajar mereka. Walaupun pendidikan disana sangatlah kurang dan harus ditingkatkan lagi. Saya merasa prihatin terhadap pendidikan disini karena sekolah mereka cukup jauh dengan sarana yang minim. Setelah bimbingan belajar kami pergi ke rumah masing masing, saat kami pulang kami disuruh mandi. Saya melihat ke kamar mandi mereka yang dekat dengan dapur dan juga kandang ayam. Setelah mandi dan makan malam kami berdua kelelahan dan pergi tidur. Keesokan harinya kami bangun jam 6 pagi karena jam setengah 7 kami mengadakan pengobatan gratis. Kita menyapu lantai gereja, membereskan obat dan lain lain. Kami memulai kegiatan pemeriksaan gratis dari jam 9 pagi sampai sekitar jam 12 siang. Banyak sekali orang yang datang terlebih orang-orang tua. Mereka sangat membutuhkan
petugas saat masuk. Setelah masuk dan menunggu di ruang tunggu, beberapa menit kemudian kereta pun datang dan saya beserta temanteman segera masuk ke gerbong kereta sesuai yang diinstruksikan oleh bapak/ibu guru pendamping. Perjalanan dari stasiun Pasar Senen ke stasiun Weleri memerlukan waktu 6 jam hal itu membuat saya dan teman-teman memilih untuk tidur. Cukup lama kami di kereta akhirnya sekitar pukul 05.11 WIB kami pun tiba di stasiun Weleri dan langsung melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bis yang lebih kecil. Di stasiun inilah rombongan IPA dan IPS berpecah karena lokasi live in yang berbeda. Dari stasiun Weleri ke lokasi live in masih memerlukan waktu sekitar 3 jam. Setelah 3 jam dalam bis akhirnya kami pun sampai ke kapel Ngasinan untuk sarapan dan upacara serah terima peserta live in kepada orangtua asuh. Lalu peserta live in yang berlokasi di Ngasinan tetap di tempat itu sedangkan yang lainnya harus kembali ke lingkungan Setra.Namun secara tiba-tiba peserta live in yang berlokasi di Setra dikabarkan bahwa kami harus pergi ke Kantor Kecamatan Kandangan terlebih dahulu. Perjalanan itu cukup memakan waktu dan membuat kami tiba di Setra tidak sesuai jadwal. Setelah sampai handphone kami pun dikumpulkan dan dilanjutkan serah terima peserta live in kepada orangtua asuh. Saya bersama Jane, Ivana dan Olivia mendapat bagian untuk tinggal bersama keluarga Bapak Marno. Setelah serah terima, kami pun diajak oleh Pak Marno untuk menuju ke rumahnya. Disana kami langsung disambut baik oleh ibu. Kami pun dipersilahkan masuk dan ditunjukkan kamar. Setelah perkenalan singkat akhirnya kami mandi, makan siang dan tidur. Setelah cukup istirahat sore harinya kami berempat berkeliling ke rumah yang lain sekitar rumah kami. Malamnya kami pun dirumah menghabiskan waktu dengan Pak Marno dan ibu. Kami bercerita tentang perjalanan kami yang melelahkan dan kami juga menanyakan mengenai keluarga Pak Marno. Beliau adalah bapak dari dua anak perempuan, anaknya yang pertama sudah menikah dan mempunyai anak berumur 3 tahun, sedangkan anaknya yang satu baru saja masuk kuliah di salah satu universitas di Jogjakarta dengan jurusan sastra inggris.
telah baik dengan saya dan teman-teman. Mereka seperti sudah saya anggap keluarga sendiri walaupun saya dan mereka tinggal berbeda rumah, tetapi kasih sayang untuk mereka tidak terlewatkan. Awalnya saya mengira saya sulit beradaptasi disana karena semua keadaan berbeda, namun akhirnya semua yang saya pikirkan sala h. Saya sangat mudah beradaptasi disana, bahkan saya sangat bahagia tinggal disana. Pengalaman yang paling berkesan disana adalah orang tua asuh saya yaitu Pak Walmin dan Bu Yuni sangat perhatian terhadap saya dan teman-teman, ketika saya dan teman saya sakit masuk angin, Ibu Yuni dengan segera berjalan kaki membawa obat untuk saya dan teman saya. Walaupun Pak Walmin hanya berkerja di ladang dan penghasilannya seadanya, Ia selalu berusaha membuat saya dan teman-teman merasa bahagia seperti Ia membelikan roti bakar untuk kami, membeli kue-kue dan snack-snack untuk kami makan disana. Pak Walmin dan Ibu Yuni memberikan kesan yang sangat baik kepada saya dan teman-teman dan memberikan banyak pesan kehidupan. Menurut saya, nilai yang dapat saya peti k disana adalah bahagia itu sederhana. Tidak hanya dengan materi kita dapat bahagia, kita lebih dapat merasakan kebahagiaan jika kita saling mencintai satu sama lain. Kehidupan desa dan kota sangat berbeda. Dapat dibandingkan dalam kehidupan sederhana yang berada di desa kita dapat memperoleh kebahagiaan yang jauh lebih indah dibandingkan kehidupan di kota. Untuk saat ini, syukurilah apa yang kalian punya, berbagilah kepada orang yang membutuhkan, dan ingatlah, kebahagiaan di mulai dari diri kita sendiri. Cindy Koessuryana/XI IPS 1/2
LIVE IN DAN NILAI KEHIDUPAN Pada hari senin, 2 November 2015 kami memulai perjalanan live in kami. Bermula dengan berkumpul di kelas masing-masing pada pukul 19.30 WIB, tak lama kemudian kami diabsen dan makan malam. Setelah menunggu cukup lama akhirnya kami pun berangkat menju stasiun Pasar Senen menggunakan bis. Setibanya di stasiun Pasar Senen kami pun dibagikan tiket dan kartu pelajar untuk pengecekan oleh
pemeriksaan kesehatan karena fasilitas mereka yang terbatas. Setelah pemerikasaan gratis kami mendapat waktu bebas sampai jam 4 sore kemudian dilanjutkan dengan bimbingan belajar. Setelah bimbingan belajar kami pergi ke rumah teman kami dan bermain sambil berbincang bincang tentang pengalaman di rumah masing masing sampai jam 7 malam. Setela h itu kami kembali ke rumah dan makan malam. Sambil makan malam kami ngobrol dengan bu Patmi tentang keluarganya dan juga keluarga kita masing-masing setelah itu kami tidur. Keesokan harinya kami bangun jam 7 pagi dan pergi ke ladang bersama bapak dan ibu. Kami bersama teman kami berfoto foto di ladang. Setelah dari ladang kami kembali ke rumah dan makan pagi, kemudian kami pergi berkumpul bersama teman-teman. Jam 2 siang kami memulai bimbingan belajar, anak anak sangat lah bersemangat dalam mengikuti bimbingan belajar. Sesudah bimbingan belajar kami persiapan perpisahan. Jam 7 malam kami semua berkumpul bersama orang tua asuh dan memberi kesan pesan serta makan malam bersama sama. Setelah acara selesai kami pulang ke rumah masing masing Malam itu kami ngobrol banyak sekali dan pak Tugiyo menyiapkan kita mangga untuk dibawa pulang. Malam itu kami bersiap siap mengemas barang barang kemudian pergi tidur. Hari jumat tanggal 6 November 2015 kami berkumpul di gereja jam 7 pagi dan pergi dari sana jam 7.30 WIB ke paroki. Disana hp dan dompet kami dikembalikan dan setelah itu kita misa. Kami tiba di stasiun jam setengah satu dan kereta berangkat pukul 14.30 WIB. Kami sampai di Stasiun Senen sekitar jam setengah sembilan kemudian sampai disekolah sekitar jam sepuluh malam. Saya merasa sangat berbeda sekali antara desa dan kota, di desa hidupnya penuh dengan kesederhanaan dan orang orangnya sopan santun tidak seperti di Jakarta. Saya sangat senang dapat pergi kesana karena saya dapat melihat sisi pandang yang berbeda dalam kehidupan. Margaretha angeline/XIA 3 / 20
Kebersamaan yang tak terlupakan
“Ibu jangan lupakan kami anak-anakmu……”
diadakan di Dusun Setro. Setelah selesai, kami kembali kerumah masing-masing. Saya dan teman-teman saya masak untuk makan malam bersama dengan Ibu Yuni karena Bapak Walmin sibuk membantu anakanak lain untuk masak sate kambing yang diadakan di dekat rumah yang saya tinggali. Setelah makan malam dan memasak, teman-teman kami datang kerumah saya, Felicia, Amanda, dan Giovani untuk bermainmain. Sedangkan, Pak Walmin dan Ibu Yuni mengikuti rapat yang diadakan di Posyandu. Seusainya bermain, kami beristirahat. Hari ketiga, kami sangat sedih karena mengetahui besok akan kembali ke Jakarta. Kami bangun pukul 08.00 pagi, lalu sarapan dan membersihkan diri. Pak Walmin pergi ke posyandu karena akan diadakan pemeriksaan gratis. Lalu kami bermain-main di rumah setelah Pak Walmin kembali. Lalu Ibu Yuni harus pergi menyiapkan makanan karena nanti malam akan diadakan malam keakraban. Saya dan temanteman saya beristirahat dan bermain bersama-sama dirumah hingga tak terasa hari sudah malam dan kami menyaipkan diri untuk datang ke tempat yang telah dipilih untuk melaksanakan malam keakraban dan mengikuti misa. Disana, kami makan bersama dan bapak ibu lainnya menyampaikan pesan dan kesan. Saya dan teman-teman sangat sedih dan harus menerima bahwa inilah malam terakhir bersama mereka. Setelah acara selesai, kami kembali ke rumah dan berkumpul bersama bapak ibu dan Patrix. Kami mengucapkan salam perpisahan dan Pak Walmin serta Ibu Yuni pun memberikan pesan kepada saya dan temanteman. Saya dan teman-teman sangat sedih dan tanpa sadar, kami menangis karena harus berpisah dengan mereka. Setelah itu kami bercerita banyak hal dan menikmati malam terakhir bersama Bapak, Ibu, dan Patrix. Tanpa disadari jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Lalu kami semua beristirahat dan packing barang-barang yang kami bawa. Keesokkan harinya, kami bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Sebelum kembali ke Jakarta, kami makan pagi bersama-sama terlebih dahulu. Lalu berpamitan kepada Pak Walmin dan Ibu Yuni karena telah menerima kita dengan baik disini dan telah mau berbagi pengalaman dengan kita, serta berbagi kebahagiaan dengan saya dan teman-teman. Disana kami juga berterima kasih kepada bapak dan ibu lainnya yang
bermain kartu bersama-sama. Setelah selesai bermain, kamipun istirahat untuk melanjutkan aktivitas esok harinya. Keesokkan harinya, saya dan teman-teman bangun kemudian sarapan, lalu kami membantu pekerjaan Pak Walmin yaitu berladang. Pertama-tama, Pak Walmin membonceng saya dan Felicia untuk menuju ladang tempat Pak Walmin berkebun. Lalu Pak Walmin memberitahu saya dan Felicia untuk merapikan tanaman-tanaman cabe yang telah Pak Walmin tanam. Selagi saya dan Felicia bekerja, Pak Walmin kembali ke rumah untuk menjemput Giovani. Teman saya Amanda tidak dapat ikut membantu karena kurang fit kondisi tubuhnya. Lalu setelah kami selesai merapikan tanaman cabe yang Pak Walmin tanam, kami duduk di gubuk yang berada di pinggir ladang. Lalu Pak Walmin memberitahu saya dan teman-teman bahwa terdapat sungai di dekat ladangnya. Selagi Pak Walmin melanjutkan pekerjaannya, saya dan teman-teman turun untuk mencuci kaki di sungai tersebut. Air disana sangat dingin dan segar. Ladang Pak Walmin jalannya terbuat dari tanah-tanah. Selesai mencuci kaki, kami kembali ke ladang dan membantu Pak Walmin mengikat tanamannya agar berdiri tegak. Setelah selesai, matahari terasa sangat panas sekali dan kami kembali ke rumah melewati jalan yang terjal dan curam serta berlumpur. Sangat banyak pengalaman-pengalaman tak terduga yang terjadi di ladang. Saya dan teman-temanpun sangat bersyukur dapat merasakan hal seperti yang Pak Walmin rasakan. Menurut kami, itu merupakan kegiatan yang menarik dan seru. Kami dapat belajar banyak dari hal tersebut, seperti cara mengikat tumbuhan yang benar, jalan menuju sungai yang sangat curam, dan lainnya. Teman saya, Giovani juga terjatuh disana tetapi karena itu kami sangat terhibur dan saling membantu dan Felicia ketika sedang menyabut daun, Ia memegang kodok. Kami sangat merasa dekat dengan alam yang indah. Setelah membersihkan diri, saya dan teman-teman makan siang bersama-sama. Setelah makan siang, kami beristirahat sebentar karena pada pukul 15.00 WIB kami akan mengajar bimbel. Saat mengajar bimbel bahasa inggris, kami senang karena mereka belajar dengan riangnya. Mereka belajar sambil bermain. Selagi bimbel juga terdapat pertandingan Voli yang diadakan di dusun Ngasinan serta futsal yang
“Kau tetap saudaraku, sahabatku yang paling seti a”
Moment yang tak terlupakan……