PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
Dr. Munadi, MA
PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm Cetakan Pertama: Oktober, 2017 Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights Reserved Penulis: Dr. Munadi, MA Perancang Sampul dan Penata Letak: Eriyanto Pracetak dan Produksi: Unimal Press Penerbit:
Unimal Press Jl. Sulawesi No.1-2 Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351 PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450 Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress. Email:
[email protected]
Dilarang keras memfotocopy atau memperbanyak sebahagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan buku ini. Rahmat dan sejahtera senantiasa kita kirimkan keharibaan Nabi Besar Muhammad Saw yang telah menunjuki umat manusia ke jalan kebenaran. Buku dihadapan pembaca ini berawal dari buku daras yang penulis susun sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah usul fiqh, lalu dilakukan beberapa penambahan dan penyempurnaan sebagaimana saat ini saat akan diterbitkan dan diedar secara luas. Hadirnya buku ini merupakan keniscayaan dari keterlibatan berbagai pihak, terutama para akademisi di IAIN Lhokseumawe. Dan juga dukungan moril dari keluarga saat buku ini disusun dan akhirnya diterbitkan. Penulis mengakui bahwa buku ini memiliki banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu masukan yang kontruktif dari para pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan ke depan. Hanya kepada Allah segenap ikhtiar dan amalan diserahkan, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi amal jariyah bagi akhirat kelak. Amin..
Lhokseumawe, 10 Oktober 2017 Penulis
Dr. Munadi, MA
v
Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................................................v Daftar Isi....................................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1 BAB II USUL FIQH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA .............. 5 A. Pengertian Usul Fiqh ............................................................................... 5 B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh ...................................................... 6 BAB III USUL FIQH DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM.....................11 A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya .......................................14 BAB IV CORAK ISTINBATH HUKUM ULAMA......................................25 BAB V MACAM-MACAM KAIDAH USUL FIQH.....................................39 A. Ijma’..............................................................................................................40 B. Qiyas.............................................................................................................44 C. Maslahah Mursalah ................................................................................47 D. Urf/Adat .....................................................................................................58 E. Sadd Zara’i..................................................................................................66 F. Istihsan ........................................................................................................70 G. Istishab........................................................................................................71 H. Siyasah Al-Syar’iyah ..............................................................................74 I. Syar’u Man Qablana.................................................................................81 J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) .............................................86 BAB VI PENUTUP..............................................................................................89 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................91 RIWAYAT PENULIS..........................................................................................95
⍝
vi
Pendahuluan
BAB I Pendahuluan Munculnya berbagai persoalan dalam masyarakat setiap waktu tanpa henti dengan bentuk dan modus yang beraneka ragam telah menuntut ahli hukum untuk berijtihad, guna menjawab persoalan tersebut dengan ketentuan hukum yang jelas. Setiap persoalan harus segera diberikan ketetapan hukum untuk menghindari kekosongan dan kegamangan hukum dalam masyarakat. Sesuai fungsinya hukum adalah untuk mengendalikan perilaku masyarakat supaya terarah sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Di sisi yang lain hukum merupakan alat untuk merubah dan merekayasa struktur sosial masyarakat dari suatu bentuk kepada bentuk lainnya yang lebih baik dan terarah. Tanpa adanya hukum sulit untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang ideal, bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat akan semakin kacau balau tidak terkendali. Ketiadaan hukum atau lemahnya sistem hukum masyarakat merupakan masalah yang krusial, semua aspek kehidupan masyarakat akan mengalami kekacauan, karena terjadinya penyalahgunaan hak dan wewenang secara bebas oleh individu dan kelompok dalam masyarakat. Agama Islam merupakan solusi bagi kehidupan dengan menghadirkan jawaban-jawaban hukum untuk setiap persoalan lewat petunjuk Alquran dan Hadist. Manusia dapat mengakses berbagai informasi hukum yang berkaitan dengan persoalan hidupnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah, munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Setidaknya kedua sumber hukum tersebut telah memberikan isyarat tentang ihwal kehidupan manusia, serta berbagai ketentuan yang mengaturnya. Tugas manusia adalah mengelaborasi lebih jauh kandungan nash untuk menetapkan hukum yang kongkrit bagi penyelesaian persoalan yang muncul. Dalam upayanya mencari jawaban hukum, umat Islam membutuhkan seperangkat metode atau teknik yang disebut juga dengan kaidah usul fiqh. Kaidah tersebut digunakan untuk menetapkan hukum. Dalam kegiatan ijtihad, seorang mujtahid harus menggunakan kaidah usul fiqh, guna memahami bentuk hukum yang akan diputuskan. Kaidah usul fiqh merupakan acuan penetapan hukum yang harus diikuti oleh mujtahid. Universitas Malikussaleh
1
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Mujtahid tidak boleh secara begitu saja memutuskan hukum tanpa melalui proses analisis dan pertimbangan usul fiqh yang matang. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan logika semata tidak dapat diterima sebagai hukum Islam, karena pembentukan hukum Islam harus melalui mekanisme atau langkah tersendiri. Setidaknya ada tiga langkah dalam penetapan hukum Islam, yaitu: Pertama, mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan; Kedua, menentukan metode istinbath yang relevan dan Ketiga, memperhatikan implikasi atau akibat dari hukum yang dibuat. Dalam mencari jawaban hukum bagi suatu permasalahan, seorang mujtahid terlebih dahulu mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, baik nash khusus maupun umum. Jika nash ditemukan, maka petunjuknya harus diikuti oleh mujtahid. Setelah menemukan nash, mujtahid melakukan analisis usul fiqh dengan menggunakan salah satu kaidah yang relevan. Biasanya kaidah yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Jika permasalahan tersebut mengandung manfaat yang tidak disentuh langsung oleh nash, maka mujtahid dapat menggunakan kaidah istislahiah untuk menguji manfaat tersebut apakah sesuai dengan prinsip syara’ atau tidak. Jika suatu permasalahan berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi masyarakat, maka untuk menganalisisnya dapat menggunakan kaidah ‘urf guna menguji apakah kebiasaan tersebut dapat dianggap sebagai ‘urf sahih sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pembentukan hukum ataupun termasuk ‘urf fasid yang harus ditolak. Demikianlah seterusnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hukum lainnya, mujtahid dapat menganalisisnya dengan kaidah usul fiqh yang relevan. Hukum yang ditetapkan juga harus diperhatikan implikasinya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Setiap hukum harus berdampak positif bagi masyarakat dalam rangka menanggulangi berbagai permasalahan. Keberadaan hukum harus menjadi solusi bagi masalah masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi bomerang dalam masyarakat. Setelah melalui tiga proses di atas, suatu hukum telah dapat ditetapkan dan diformalkan untuk dijadikan ketetapan hukum masyarakat. Banyak ketentuan hukum ternyata harus ditolak, direvisi bahkan direkonstruksi ulang karena tidak memenuhi syarat. Penetapan hukum Islam telah mencapai tahap yang mudah, karena telah adanya berbagai metode yang dikembangkan oleh para 2
Dr. Munadi, MA
Pendahuluan
berupa kaidah usul fiqh. Kaidah-kaidah tersebut dikembangkan oleh ulama lewat perenungan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam nash, seperti keadilan, kasih sayang, keselamatan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut lalu diaktualisasikan dalam bentuk kaidah usul fiqh yang bersifat praktis. Kaidah itu kemudian digunakan oleh mujtahid untuk menetapkan hukum. Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena menganggapnya salah. Perbedaan pendapat ulama tentang kaidah usul fiqh disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap maksud nash dan realitas kehidupan tempat tinggal mereka. Misalnya Abu Hanifah yang terkenal rasional dalam penetapan hukum, di samping mempunyai landasan dari dalil, realitas kehidupan masyarakat di Kufah yang rasional dan berkembangnya aliran Mu’tazilah di tempat itu turut mempengaruhi metode penelaran beliau. Demikian pula Imam Malik yang terkenal literal dan cukup teguh berpegang kepada hadis dalam penalaran hukum, dapat dikaitkan dengan domisili beliau di kota Madinah. Wilayah tersebut cukup banyak ditemukan hadis, karena Rasulullah dan sahabatnya mayoritas berdomisili di situ. Maka dalam penalaran hukum, Imam Malik lebih mengutamakan nash dibandingkan akal. Saat menghadapi suatu persoalan beliau mencari penyelesaiannya dari Al-Quran dan hadist, kemudian pendapat para sahabat dan amalan masyarakat Madinah. Dalam anggapan beliau, amalan masyarakat Madinah dapat menjadi acuan hukum, karena identik dengan pengamalan Rasulullah Saw. Setelah Abu Hanifah dan Imam Malik, tampillah Imam Syafei dalam kancah pemikiran hukum Islam. Imam Syafei tidak lain adalah murid dari Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam pengembaraan ilmunya, beliau pertama sekali berangkat ke Madinah untuk belajar Universitas Malikussaleh
3
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
hadis kepada Imam Malik serta metode penalaran hukum yang dikembangkannya. Setelah itu beliau berangkat ke Kufah untuk belajar kepada dua murid senior Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Al-Syaibani. Di sini beliau juga bersentuhan dengan metode penalaran yang dikembangkan oleh Abu Hanifah yang cenderung rasional. Imam Syafei mengembangkan metode penalaran hukumnya sendiri yang bercorak moderat. Metode yang dikembangkannya merupakan kombinasi dari metode yang dikembangkan oleh Abu Hanifah dan Imam Malik. Maka dalam penalaran hukum yang dikembangkan oleh Imam Syafei, pengunaan nash dan rasional bersifat proporsional (adil), namun di saat kesimpulan nash dan rasio saling bertentangan, dalam hal ini beliau lebih mengutamakan nash. Beliau merumuskan beberapa kaidah usul fiqh seperti qiyas, istishab dan ‘urf. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bentuk penalaran yang menggunakan nash dan rasio secara sekaligus dalam menetapkan hukum. Imam Syafei menjadi orang pertama yang merumuskan ilmu usul fiqh secara sistematis dengan mengarang sebuah kitab yang bernama Al-Risalah. Setelah Imam Syafei, diskusi mengenai usul fiqh semakin giat dilakukan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berusaha mengembangkan ilmu usul fiqh yang telah disusun oleh Imam alSyafei, namun ada juga yang membahasnya secara analisis dan memberikan berbagai kritikan. Perkembangan usul fiqh ditandai dengan banyak bermunculan buku-buku yang ditulis para ulama mengenai masalah ini. Masing-masing mereka menguatkan metode yang dikembangkan oleh imam mazhabnya dan mengkritik metode dari mazhab lain. Sampai sekarang, buku-buku usul fiqh senantiasa bertambah dengan corak yang beragam. Sebahagiannya merupakan ulangan dari literatur lama, namun sebahagiannya merupakan hasil modifikasi, revisi bahkan rekonstruksi dari usul fiqh lama. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat zaman modern. Buku ini membahas tentang ilmu usul fiqh dalam dua dimensi yaitu, teoritis dan praktis. Penulis berusaha untuk menjelaskan kaidah-kaidah usul fiqh satu persatu serta serta aplikasinya dalam kegiatan istinbath. Sebahagian buku usul fiqh hanya menjelaskan kaidah-kaidah semata, namun tidak menggambarkan tentang bentuk aplikasi kaidah tersebut dalam kegiatan istinbath. ⍝ 4
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
BAB II USUL FIQH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Usul Fiqh Secara bahasa usul berarti pokok, dalil dan dasar. Sedangkan fiqih berarti pemahaman yang mendalam tentang suatu ilmu dan membutuhkan potensi akal. Usul fiqh secara istilah adalah ilmu tentang metode penetapan hukum Islam dari dalil yang terperinci. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu tentang dalil-dalil hukum syara’ secara umum, metode penetapan hukum dari dalil dan kriteria seorang mujtahid. Sedangkan ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan usul fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain usul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah tersebut. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa usul fiqh merupakan seperangkat ilmu yang membahas secara komprehensif berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid. Pemahaman terhadap usul fiqh akan membawaki seseorang mampu memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer) maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa Alquran dan Hadis, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil, seperti hubungan Alquran dengan Hadis, hubungan ijma’ dengan nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling bertentangan. Masalah yang kedua yang dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah tentang metode istinbath hukum, yang disebut juga dengan Universitas Malikussaleh
5
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
adillah al-syar’iyyah. Metode istinbath hukum adalah kumpulan kaidah-kaidah usul fiqh bersifat operasional yang dirumuskan ulama untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Dengan kaidah tersebut, seorang mujtahid dapat memutuskan hukum secara tepat sesuai dengan prinsip nash dan akal sehat. Kaidah usul fiqh telah dirumuskan oleh para ulama dalam bentuk yang beragam, yang berasal dari hasil interprestasi mereka terhadap nash. Para ulama dengan cukup hati-hati meramu kaidahkaidah tersebut supaya tetap sejalan dengan prinsip nash, dan menghindari segala bentuk kekeliruan dan pengaruh hawa nafsu. Kaidah-kaidah usul fiqh yang telah dirumuskan oleh para ulama antara lain adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah, sadd zara’i, syar’u man qablana, qaul sahabi, istishab, dan ‘urf. Belakangan juga muncul beberapa qaidah lainnya seperti maqashid al-syari’ah yang dirumuskan oleh al-Syathibi dan metode InsyaiIntiqai yang dirumuskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Dari waktu ke waktu kaidah usul fiqh senantiasa bertambah berdasarkan perkembangan masalah dan kemajuan berfikir para ulama. Masalah yang terakhir dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah mengenai persyaratan seorang mujtahid. Penetapan hukum dalam Islam tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi semestinya dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam masalah ijtihad. Penetapan hukum Islam merupakan suatu pekerjaan yang sangat hati-hati lewat penelitian akademis yang matang. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Dalam ilmu usul fiqh, mengenai mujtahid dan persyaratannya menjadi perhatian tersendiri dan dibahas secara terperinci. Dengan demikian kita dapat mengetahui kapasitas mujtahid dan siapa saja yang telah sampai kepada derajat tersebut. B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh Saat Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’, semua permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga melalui sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya wahyu baik al-Quran maupun hadits, di samping itu mereka merupakan ahli bahasa, memiliki kecerdasan berpikir serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami hukum. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat tidak 6
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, meskipun prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai dan dapat digunakan saat memerlukannya. Setelah meluasnya wilayah Islam hasil dari penaklukan, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang sosial-budaya (peradaban), hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya. Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode dalam berijtihad. Pertama; Madrasah ahl arra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Kedua; Madrasah ahl al-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah. Perbedaan dua madrasah ini terletak pada kuantitas (banyaknya) penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahl al-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks dan berbeda dengan situasi di Mekkah maupun Madinah. Dalam berijtihad mereka mengikuti metode yang digunakan guru mereka Abdullah bin Mas’ud yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad untuk menyelesaikan berbagai masalah. Sedangkan madrasah ahl al-hadits lebih hati-hati menggunakan qiyas dalam berfatwa, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, di mana banyaknya perbendaharaan hadits di tangan mereka dan sedikit sekali kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad. Hal ini dapat dipahami karena di tempat itu Rasulullah Saw tinggal menyebarkan agama Islam hingga wafat, sehingga banyak persoalan telah dijawab ketika hidup beliau. Dalam berijtihad, ulama Madinah mengikuti metode Abdullah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa. Setiap pendapat hukum yang mereka kemukakan Universitas Malikussaleh
7
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
senantiasa dikaitkan dengan nash. Perbedaan metode istinbath dari kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, dan amat sering terjadi pertentangan pendapat. Realitas ini menurut para ulama waktu itu sangat perlu menyusun kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan untuk menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Abdurrahman al-Mahdi (135-198 H) yang meminta kepada Imam Al-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai kitab pertama dalam bidang ushul fiqh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab al-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi hal itu sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama sebelum Imam al-Syafi’i, hanya saja kaidah-kaidah tersebut belum tersusun rapi dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri secara sistematis dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam al-Syafi’i adalah ulama pemakarsa penulisan ilmu ushul fiqh dengan judul bukunya al-Risalah yang menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini. Beliau merupakan ilmuwan yang mumpuni yang dilahirkan oleh dua madrasah yang berkembang waktu itu, yaitu madrasah ahl al-hadits dan madrasah ahl al-ra’yi. Imam al-Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada usia 2 tahun beliau berangkat ke Mekkah bersama ibunya untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy (salah seorang ulama Mekkah) untuk memberi fatwa, beliau sudah menguasai hukum syara’ dalam usia yang relatif muda dan sudah dipercayakan sebagai mufti. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada ulama besar Madinah, yaitu Malik bin Anas (95-179 H) serta ulama-ulama lainnya lebih kurang 9 tahun, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam dibidang hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani (wafat th 187 H), murid dari Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H). Dari latar belakang pendidikannya, terlihat bahwa Imam Syafi’i menguasai ilmu dan metode yang dianut oleh kedua madrasah yang saling berbeda, maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama 8
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul, yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits. Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi, antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, AnNasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H), Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain, Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, AlMahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul AlKarkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadulfuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak disebutkan di sini.
⍝
Universitas Malikussaleh
9
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
This page is intentionally left blank
10
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
BAB III USUL FIQH DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM Kehidupan manusia senantiasa menghadirkan permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat seiring mobilasi dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap permasalahan yang muncul merupakan tantangan yang harus dihadapi terutama oleh hukum supaya masyarakat tidak terjebak dalam kegamangan, kegalauan karena tidak ada kepastian hukum tentang suatu permasalahan. Untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul diperlukan upaya pembentukan atau penemuan hukum, dalam hukum Islam biasa disebut dengan istinbath atau ijtihad. Sedangkan dalam hukum Barat disebut rechtsvinding (penemuan hukum), tujuannya adalah untuk memberikan jawaban hukum dan mengontrol segala kemungkinan dan permasalahan yang muncul akibat dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat. Perubahan sosial terjadi disebabkan munculnya suatu fenomena sosial yang baru ataupun juga permasalahan lampau yang belum ada penyelesaian hukumnya, di sinilah pembentukan dan penemuan hukum (istinbath) dilakukan untuk memberikan jawaban hukum dan mengontrol perubahan sosial supaya tetap sejalan dengan ketentuan syara’. Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi (penggabungan) ataupun penemuanpenemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koeng, perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab internal maupun sebab-sebab eksternal.1 Menurut Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soerjono Soekanto merumuskan bahwasanya perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1 ,h. 279. 1
Universitas Malikussaleh
11
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.2 definisi di atas menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat. Senada dengan itu, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial dan hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang sarjana Islam juga mengemukakan hal yang sama, bahwa perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.4 Pengaruh atau unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang berakhir kepada perubahan dalam khazanah pemikiran dan sistem hukum yang ada, tanpa terkecuali pada khazanah pemikiran dan hukum Islam. Menghadapi perubahan sosial tersebut hukum Islam harus mampu menjawab dan memberikan solusi hukum melalui pembaruan hukum. Pada dasarnya pembaruan hukum Islam hanya mengangkat dan berkaitan dengan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam yang bersentuhan dengan perubahan sosial, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya pembaruan hukum Islam maka terhindarlah kesulitan-kesulitan Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali Press: 1995), h. 337. 3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 96. 4 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444. 2
12
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
dalam memasyarakatkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat, khususnya saat terjadi perubahan sosial.5 Sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat, hukum Islam harus menunjukkan eksistensi dan fungsinya sebagai problem solving bagi setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan membuktikan relevansi dan fleksibelitasnya untuk setiap tempat dan zaman (salih li kulli makan wa zaman).6 Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional jika istinbath konsisten dilakukan dan ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkan. Untuk mengawal supaya hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan dapat ditempuh dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang relevan untuk setiap tempat dan zaman. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya, dan semakin bertambah saja dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat. Ibnu Rusyd mengomentari realitas tersebut dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid bahwasanya persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah naṣ, al-Qur’an dan alḥadīs, jumlahnya terbatas. Sesuatu yang terbatas jumlahnya mustahil dapat menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.7 Terbatasnya jumlah naṣ meniscayakan kepada adanya istinbath untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak secara ekplisit tersebut dalam naṣ, istinbath merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60. 6Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 176. 7Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, tt), h. 2. 5
Universitas Malikussaleh
13
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya Kata istinbath berasal dari kata nabth, yang berarti air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Maka menurut bahasa istinbath dapat dipahami sebagai perbuatan mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.8 Setelah dipakai menjadi istilah dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya atau usaha untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Adapun fokus atau objek istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīs-ḥadīs Nabi Saw. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath. Abdul Wahab Khalaf mengartikan istinbath adalah suatu upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.9 Istinbath merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan hukum baru yang senantiasa muncul sebagai akibat dari evolusi, mobilisasi dan perubahan perilaku dan realitas kehidupan masyarakat. Manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dituntut untuk senantiasa berpikir, dan menggali berbagai kemungkinan hukum bagi setiap permasalahan yang muncul, tetapi berpikir di sini bukan berarti yang bebas begitu saja tanpa kontrol dan batas. Dalam berfikir manusia harus menjaga batas-batas yang telah digariskan syara’, yakni selalu berlandaskan al-Qur’an dan ḥadis. Istinbath memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga legalitasnya tidak perlu diragukan. Adapun dalil mengenai istinbath antara lain adalah firman Allah Swt QS al-Nisa ayat 83 yang berbunyi:
ََِ ﻭﻟﻮﺭﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ َ ِ ﺃﻣﺮ ِ ِ ﻋﻮﺍ ِ ْ َ ْ ِ َ ﺍﻷﻣﻦ ٌ ْ َ ﺟﺎءﻫﻢ ْ َ َ ْ َ ﱡ,ﺑﻪ ْ ُ َﺃﻭﺍﻟﺨﻮﻑ َﺃﺫ ْ ُ َ َ ﻭﺇﺫﺍ ِ ْ َ ْ ﻣﻦ َ ِ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ َﻭﻟﻮﻻ َ ْ ﻟﻌﻠﻤﻪُ ﱠ ِ ْ ُ ﻭﺇﻟﻰ ْ ُ ِ ْ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ْ َ َ ,ﻣﻨﻬﻢ ِ ُْ ﱠ ْ ُ ْ ِ ُﻳﺴﺘﻨﺒﻄﻮﻧَﻪ ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ ِ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻰ َ ِ َ َ ﻣﻨﻬﻢ ُ َ ْ َ َ ﻋﻠﻴﻜﻢ ُ ْ َ .ًﻗﻠﻴﻼ ْ ِ َ ﺍﻟﺸﻴﻄﻦ ِﺇﻻﱠ َ َ ْ ﻻﺗﺒﻌﺘﻢ ﱠ ْ ُ ْ َ َ ِﻓﻀﻞ ﷲ ْ ُ ْ َ ﻭﺭﺣﻤﺘﻪُ َ ﱠ Artinya:
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), h. 25 9Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 7. 8
14
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. Al-Nisa: 83)
Ulama tafsir menjelaskan bahwasanya ayat ini membicarakan tentang pengambilan kesimpulan dari suatu berita tentang keamanan dan ketakutan yang disampaikan/diadukan kepada rasul dan ulil amri (pemerintah), lalu keduanya menetapkan (ber-istinbath) mengenai kesimpulan atau keputusan dari berita itu. Ibnu Zaid dan Muqatil meriwayatkan bahwa ulil amri adalah panglima perang, sedangkan Al-Syaukani meriwayatkan bahwa ulil amri artinya para ulama dan orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, yang kepada mereka urusan kaum muslimin dikembalikan (ditanyakan). Dalam ayat di atas jelas tersebut kata “yastanbithu” dalam bentuk mudhari’ dari kata masdar “istinbath” yang artinya menggali dan menyimpulkan suatu kesimpulan atau jawaban atas suatu berita yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa makna dari istinbath adalah upaya sungguh-sungguh dari orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mapan dalam menyimpulkan atau menetapkan suatu kesimpulan dan ketentuan mengenai suatu permasalahan yang muncul. Dalam ayat yang lain Allah Swt juga berfirman berkenaan dengan anjuran istinbath yaitu QS al-Syura ayat 38 yang berbunyi:
َ ﱠ ﻭﻣﻤﺎ ﻭﺃﻗﺎﻣﻮ َ َِْ ﱠ َﻬﻢ َ ِ ﱠ ْ ُ َ َ َ ﻟﺮﺑﻬﻢ ْ ُ َ َ ْ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ْ ُ ﺷﻮﺭﻯ َ ْﺑﻴﻨ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ﺍﻟﺼﻼﺓ ْ ِ ِّ َ ِ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ َ ْ ُ ﻭﺃﻣﺮﻫﻢ َْ َ .ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ َ ْ ُ ِ ْ ُ َﺎﻫﻢ ْ ُ ﺭﺯﻗﻨ Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang telah menerima seruan Allah untuk mengesakan-Nya, serta mengakui keesaan-Nya, tidak menyembah kepada selain-Nya, mendirikan shalat wajib ketika Universitas Malikussaleh
15
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tiba waktunya, dan ketika menghadapi suatu persoalan, mereka menyelesaikannya dengan jalan musyawarah.10 Ayat ini menerangkan tentang kedudukan syura yaitu musyawarah sebagai mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dikalangan umat Islam. dengan musyawarah ini suatu permasalahan dipecahkan bersama-sama dengan saling menawarkan opsi terbaik untuk persoalan tersebut, lalu memutuskan bersama keputusan yang tepat. Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kata syura yaitu mencari kebenaran terhadap setiap persoalan yang muncul sesuai dengan dalil syara’, baik permasalahan tersebut dijelaskan naṣ secara langsung atau tidak langsung. Khususnya mengenai permasalahan yang tidak memperoleh penjelasan memadai dari naṣ, menjadi tempat ijtihad atau istinbath dari bagi para mujtahid, dan mereka akan saling berbeda pendapat dalam hal ini tergantung sudut pandang masing-masing.11 Selain al-Quran juga terdapat beberapa ḥadīs yang berkenaan dengan istinbath, salah satunya yang paling populer adalah ḥadīs yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi Gubernur Yaman. Rasulullah bertanya kepadanya: Dengan apa kamu nanti akan memutuskan hukum?, Muadz menjawab: Dengan kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan di dalamnya (kitabullah)?, Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan di dalamnya (sunnah)? Muadz menjawab: Aku akan berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk bahu Muadz seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan terhadap utusan rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan rasul-Nya.12 Hadīs ini telah umum diketahui dan telah diterima oleh umat Islam sebagai dalil istinbath dan juga telah diperkuat oleh Ibnu Abdul Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Az-Zhahabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Al-Syaukani berkata: ḥadīs ini secara umum dianggap Hasan oleh para ulama. Dengan ḥadīs ini para ulama memahami bahwasanya ijtihad merupakan suatu yang dibolehkan, ketika Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an, Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah, 2001), Cet. I, h. 522. 11 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 77. 12 Ibid, ...h. 77. 10
16
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
menghadapi suatu permasalahan yang tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari naṣ. Setiap permasalahan harus dicarikan solusinya, pertama dari al-Qur`an, kemudian Sunnah dan terakhir yaitu ijtihad/istinbath. Kebolehan dan anjuran mengenai istinbath juga dilandasi oleh ijma’ ulama, di mana semua ulama dari semua mazhab mengakui keberadaan istinbath dan harus senantiasa dilakukan. Rasio menghendaki bahwa istinbath mesti dilakukan, karena dalil syara’ menerima untuk berbagai penafsiran, untuk itu diperlukan istinbath untuk menentukan yang mana penafsiran yang paling kuat dan juga sebaliknya. Demikian pula permasalahan yang tidak terdapat naṣ, juga tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa melakukan istinbath bagaimana ketentuan hukumnya, ini tentu saja dengan menggunakan suatu metode istinbath hukum yang berkembang. Syariat Islam mengatur semua perbuatan manusia dengan ketentuan hukum masing-masing, namun hal itu dapat ditemukan dengan jalan istinbath.13 Jadi legalitas istinbath tidak diragukan lagi, karena memiliki landasan hukum yang jelas berupa naṣ, al-Quran dan ḥadis maupun logika, istinbath merupakan suatu upaya yang dapat digunakan oleh para ulama untuk menggali dan menemukan hukum Islam dari sumbernya yaitu al-Quran dan Sunnah, dan setiap permasalahan yang tidak diatur di dalam keduanya. Melalui istinbath para ulama mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Istinbath dan tuntutan perubahan sosial terdapat hubungan atau interaksi yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa istinbath baik langsung maupun tidak langsung dipengaruhi dan berkaitan dengan perubahan sosial yang diakibatkan oleh perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. Perubahan-perubahan sosial tersebut harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga realitas masyarakat dan perubahan sosial tersebut mampu mewujudkan atau menjadi suatu yang maslahat bagi umat manusia. Perubahan masyarakat atau perubahan sosial terbagi dua macam, ada yang mempunyai efek menguntungkan dan membawa pengaruh positif bagi masyarakat, artinya membawa kemajuan dan perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif bagi
13
Ibid, h. 78.
Universitas Malikussaleh
17
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
masyarakat, artinya membawa kemunduran dan kepayahan (regress).14 Banyak perubahan sosial yang muncul, lalu menjadikan masyarakat tenggelam dan terjebak dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tanpa dapat mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu. Padahal seharusnya masyarakat mampu mengendalikannya dengan memberikan ketentuan hukum yang pasti buatnya, atau menjadikan perubahan tersebut sebagai wujud kemaslahatan bagi kehidupan mereka. Perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke waktu senantiasa terjadi dan menimbulkan permasalahan baru, perubahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya masyarakat dalam mengembangkan diri dan lingkungan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya masyarakat mampu mengimbangi perubahan tersebut dengan suatu ketentuan hukum sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan kekosongan hukum. Dalam kajian sosiologi hukum dalam menghadapi realitas di atas, hukum dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social enginering), dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.15 Tujuan dan fungsi hukum yang demikian, terdapat pada semua sistem hukum yang berlaku di dunia, tanpa terkecuali hukum Islam. Bahkan hukum Islam yang notabenenya berdasarkan kepada wahyu bukan akal belaka melalui istinbath harus mampu menampakkan perbedaan dan keistimewaan tersendiri 16 dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya Sehingga tidak menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak hanya oleh mereka yang beragama Islam saja. Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h. 19. 15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 99-107. 16 J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New York University Press, 1959), h. 116. 14
18
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, melalui harmonisasi hubungan manusia dengan objek di luar mereka secara vertikal (hablum min Allah) dan horizontal (hablum min al-nass).17 Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di atas, Allah Swt memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dalam bentuk aturan-aturan dalam bentuk akidah dan ibadah melalui naṣ yang relatif rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qath‘i (pasti).18 Dalam menghadapi permasalahan yang qath’i ini manusia tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh naṣ syara’. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah) serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh naṣ. Dalam bidang-bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia, yang dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan lapangan istinbath. Lain halnya permasalahan mu’amalah atau sosial kemasyarakatan dalam arti yang lebih luas, aturan-aturan hukum mengenai hal ini dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja (global) dan bersifat zanni (dugaan). Dari garis-garis besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepadanya, diberi kebebasan atau keleluasaan untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahanpermasalahan kehidupan yang dihadapinya selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.19 Tujuan diberikan kebebasan kepada manusia dalam mencari alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri, karena kemaslahatan dan kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami
Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic University, 2011), h. 140. 18 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 2. 19 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 42. 17
Universitas Malikussaleh
19
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
perubahan setiap saat, sehingga manusia dapat mencari alternatif yang terbaik buat dirinya.20 Pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan dalam kehidupan manusia melalui naṣ-naṣ dalam bentuk yang global saja, maka masalah sosial kemasyarakatan macam ini menjadi objek dan lapangan istinbath bagi manusia.21 Dalam bidang ini terlihat bagaimana prinsip dan dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam berbagai bidang, ini bukan berarti bahwa masalah sosial kemasyarakatan (mu’amalah) tidak mengandung dimensi ibadah sama sekali. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode istinbath dan pertimbangan yang diterapkan.22 Jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen, dan stabil, tidak berubah sepanjang masa seiring dengan kemajuan peradaban manusia yaitu menerima dan terbuka untuk pembaruan dan perubahan, mengingat peristiwa hukum, teknis, dan cabangcabangnya mengalami perubahan setiap saat, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan dan perkembangan cabang-cabangnya, terjaminlah modernisasi dan kemajuan hukum Islam secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh prinsip, norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam di bidang sosial kemasyarakatan semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin sempurna pembahasannya.23 Jadi obyek dan ranah istinbath adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam naṣ al-Qur’an dan Sunnah serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan naṣ. Pada permasalahan tersebut oleh para ulama dapat menerapkan Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45. 21Abdul Wahab Khallaf, Masadir, …h. 7-9. Lihat juga Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 107. 22Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006), h. 58. 23 Ibid, h. 59. 20
20
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
berbagai metode istinbath untuk menggali kemungkinan hukum yang dapat diterapkan, dan merekayasa sedemikian rupa agar perubahan masyarakat dapat menjadi suatu yang maslahat buat mereka bukan sebaliknya menjadi permasalahan yang mengganjal keharmonisan hidup mereka. Metode-metode yang diterapkan ulama dalam menggali hukum tentu banyak sekali dan metode tersebut juga terbuka peluang untuk berubah dan bertambah, di antaranya adalah qiyas, istislah, istishab, ‘urf dan lain-lain.24 Metode-metode tersebut akan bekerja pada setiap permasalahan yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan alḥadīs secara jelas. Menurut Amir Syarifudin permasalahan yang tidak diatur naṣ dapat dilihat dari dua segi, yaitu:25 a. Al-Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf. b. Secara jelas, al-Qur’an dan al-ḥadīs memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap kedua orang tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan naṣ-nya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-ḥadīs, maka diperlukan upaya istinbath. Menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek istinbath dibagi menjadi tiga macam, yaitu: pertama, istinbath dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap naṣ; kedua, istinbath dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, istinbath dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek istinbath yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan naṣ-nya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998), h. 196. 25Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos, 1999), h. 287. 24
Universitas Malikussaleh
21
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
menentukan makna yang umum atau yang khusus, yang mutlak dan makna yang dibatasi (al-muqayyad). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada naṣ-nya, pada permasalahan semacam ini, pemecahannya dilakukan melalui istinbath dengan menggunakan qiyas, istihsan, istihlah dan dalil-dalil hukum lainnya. Objek istinbath turut mempengaruhi pendekatan dan penalaran yang digunakan, dalam melihat suatu metode istinbath dan apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasid al-shari‘ah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang dilakukan harus bertitik tolak dari obyek istinbath itu sendiri. Penelaahan terhadap objek dan metode istinbath ditemukan adanya dua macam corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan maqasid al-syari‘ah yaitu corak penalaran ta‘lili, dan corak penalaran istislahi.26 Kata ta’lili berasal dari kata ‘illat yang berarti sesuatu yang menjadi sebab hukum atau suatu ketetapan hukum yang berdasar pada maksud syar’i yang memiliki ‘illat tertentu sebagai sesuatu yang menjadi sebab atau yang melatarbelakanginya.27 Adapun kata istislahi dalam pandangan sebagian ahli ushul diistilahkan dengan maslahat dan pada pandangan lain mengistilahkan dengan maṣlahah mursalah yang berarti menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada naṣ-nya dan tidak ada ijma’ ulama yang berdasarkan kemaslahatan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat serta tidak dibatalkan oleh syariat.28 Kedua model penalaran atau pendekatan di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu, sehingga terdapat tiga karakter yang melekat pada keduanya. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan naṣ tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam naṣ. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral naṣ dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan 26
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,…h.
132-133. Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fî Ma La Nas Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), Cet. VI, h. 49. 28 Ibid, h. 50. 27
22
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan. Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan, tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.29 Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.30 Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama ‘illat-nya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.31 Salah satu bukti konkrit betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat al-Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum ketika beliau berada di Mesir.32 Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang al-Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir. Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 221. 30 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 444. 31 Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), h. 550. 32M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: al-Ma’arif, 1994). 29
Universitas Malikussaleh
23
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maṣlahah almursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.33 Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam. Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di sinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat: Pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; Kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; Ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; Keempat, mengorientasikan istinbath hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis).⍝
Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 72-73. 33
24
Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
BAB IV CORAK ISTINBATH HUKUM ULAMA Hukum Islam sangat dinamis yang selalu terbuka bagi pembaruan yang ditempuh melalui berbagai metode istinbath. Para ulama dalam menghadapi berbagai persoalan hukum baru di mana naṣ tidak mengaturnya secara ekplisit, maka upaya mereka adalah menggali atau menempuh berbagai langkah penemuan hukum yang disebut dengan metode istinbath, antara lain melalui metode maṣlahah-mursalah atau istislah yang dikembangkan Imam Malik, istihsan oleh Imam Hanafi, qiyas oleh Imam Syafi’i, istishab oleh Imam Ahmad bin Hambal, maqashid al-syari’ah oleh al-Syatibi dan lain sebagainya. Di antara metode-metode yang telah dikemukakan di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena dianggap lebih dekat kepada naṣ tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ para sahabat.34 Sedangkan metode istinbath hukum yang lain seperti maṣlahahmursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik statusnya diperdebatkan, bahkan mayoritas penganut mazhab Syafi’i menolak metode ini.35 Seiiring perjalanan waktu, metode istinbath hukum Islam terus saja berkembang dan bertambah, sekalipun metode itu tidak terasing dan terlepas dari metode yang telah ada. Beberapa tokoh dengan pandangan dan pemikiran tersendiri dalam melakukan pembaruan hukum Islam menawarkan metode-metode baru, misalnya Yusuf al-Qaradhawi seorang ulama terkemuka masa kini menegaskan bahwa pembaruan hukum Islam tidak boleh berhenti dan harus tetap dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan, dalam batas tertentu ada sebahagian metode perlu disempurnakan, Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 1. 35Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; MaṣlahahMursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 184. 34
Universitas Malikussaleh
25
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
bahkan dibuat baru berdasarkan perkembangan yang paling mutakhir. Beliau mengatakan bahwa istinbath senantiasa diperlukan, bahkan untuk zaman sekarang istinbath lebih-lebih lagi diperlukan mengingat perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat yang semakin tidak terkendalikan dan melahirkan permasalahan yang semakin komplek saja. Adapun model istinbath pada masa sekarang ini mesti dilakukan melalui istinbath kelompok (jama’i) yang melibatkan para pakar dimasing-masing bidang.36 Beliau membantah anggapan dan pernyataan dari sebahagian orang yang mengatakan bahwa peluang ijtihad pada masa sekarang telah tertutup, sementara permasalahan hukum muncul silih berganti tanpa henti. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak logis jika peluang untuk ijtihad ditutup, sama dengan membiarkan manusia terperangkap dalam kegamangan dan ketidakpastian hukum. Sedangkan syariat Islam menegaskan Allah Swt selalu membuka peluang dan akses kepada kebutuhan manusia yang bersifat positif yang dapat menimbulkan kepayahan dan kesukaran bagi manusia bila saja itu tidak ada. Dengan demikian jika istinbath masih dibutuhkan tentu saja dibolehkan dan senantiasa terbuka peluang untuk dilakukan. Istinbath hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam seluruhnya, sama halnya mengurus kepentingan agama dan dunia yang lainnya. Jika ada sebahagian dari umat ini yang melakukan, maka terbebaslah yang lain. Sebaliknya jika tidak ada yang melakukan, maka semua umat Islam menanggung dosa, terutama para penguasa, karena mereka bertanggungjawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat termasuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Ulama mazhab Hanbali mengemukakan bahwa di setiap zaman tidak boleh kosong dari mujtahid yang menjadi tempat rujukan masyarakat untuk bertanya tentang hukum bagi berbagai permasalahan baru yang muncul. Mujtahid tersebut harus memberikan fatwa terhadap permasalahan tersebut berdasarkan hasil istinbath-nya dari naṣ yang tafsiliy.37
Adapun metode yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sekarang ini adalah:
36 37
26
Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah ..., h. 94. Ibid. h. 114. Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
a. Metode al-Intiqa’i Al-Intiqa’i berarti memilih satu dari beberapa pendapat terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada dalam berbagai literatur fiqh, yang berisi fatwa atau keputusan hukum. Istinbath yang dimaksud adalah mengadakan studi komparatif (perbandingan) di antara pendapat-pendapat para ulama, meneliti kembali dalil-dalil naṣ atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa memilih pendapat yang dinilai paling kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan alat pengukur yang digunakan untuk mengukurnya. Untuk mengukur pendapat yang kuat dapat ditempuh dengan cara mengamati dan mengoreksi kelengkapan indikator pendapat kuat padanya. Yusuf al-Qaradhawi menetapkan beberapa indikator pendapat yang kuat, yaitu: a) Hendaknya pendapat itu lebih cocok dengan zaman dan tempat b) Hendaknya pendapat itu lebih banyak mencerminkan kemaslahatan bagi manusia c) Hendaknya pendapat itu lebih dekat dengan kemudahan yang diberikan oleh syara’. d) Hendaknya pendapat itu lebih utama dalam merealisir maksud-maksud syara, maslahat makhluk dan usaha untuk menghindari kerusakan dari manusia.38 Jika suatu pendapat memiliki empat indikator di atas secara lengkap dapat dipastikan pendapat tersebut paling kuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Dalam prakteknya metode ini dilakukan dengan cara memilih pendapat yang kuat dalam madzhab empat, baik itu pendapat yang dijadikan fatwa dalam madzhab atau yang tidak dijadikan fatwa, sebab pendapat yang dijadikan fatwa pada situasi, dan kondisi tertentu terkadang tidak cocok untuk dijadikan fatwa lagi bila telah terjadi perubahan situasi dan kondisi. Atas dasar ini tasẖiẖat (perbaikan pendapat) dan tarjiẖat (pencarian pendapat yang terkuat) dalam satu madzhab telah berbeda dari satu masa ke masa yang lain. Banyak pendapat dalam suatu mazhab yang dulu ditinggalkan tidak terpakai sama sekali, lalu datang orang kemudian menampilkan dan mempopulerkannya. Banyak pula pendapat yang dulu dianggap tidak kuat, kemudian timbul kejadian dan hal-hal baru yang mendorong sebagian ulama untuk 38
Ibid, h. 114.
Universitas Malikussaleh
27
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
menguatkannya sehingga menjadi pendapat yang benar dan dijadikan fatwa.39 Pada masa ini tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi perubahan dan pergeseran diberbagai aspek kehidupan masyarakat seperti politik, sosial, ekonomi dan lainnya. Perubahan ini turut berpengaruh kepada nilai dan hukum dalam masyarakat, karena itu para ahli hukum dituntut untuk mengoreksi kembali hukum dari setiap persoalan, jika ditemukan hukum yang sudah kurang relevan dengan kondisi masyarakat, maka harus dicarikan hukum lain bagi persoalan tersebut, dengan cara mengambil dari pendapat lama yang dulu dianggap lemah, lalu di-tarjih-kan, mungkin telah relevan untuk kondisi sekarang atau menambahkan pendapat baru di luar pendapat yang telah ada.
1) Metode Ibda’i al-Insya’i Metode Al-Ibda’i al-Insya’i yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut belum pernah ditemukan pendapat dari ulama terdahulu, baik permasalahan itu sifatnya baru atau lama. Dengan kata lain, ijtihad ini mencakup sebagian masalah kuno yaitu dengan cara seorang mujtahid masa kini membuat ketentuan hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu mengenai permasalahan itu.40 Menurut pendapat yang sahih bahwasanya pada permasalahan ijtihadiyah perbedaan pendapat ulama terdiri dari dua pendapat, maka bagi ulama kemudian dapat membuat pendapat yang ketiga, jika perbedaan pendapat terdiri atas tiga buah, maka ulama kemudian dibolehkan membuat pendapat yang keempat dan seterusnya. Realitas ini menunjukkan bahwa pada suatu masalah sangat mungkin muncul banyak pendapat, bahkan juga pendapat yang telah ada sangat mungkin ditinjau ulang, sehingga menimbulkan konklusi hukum baru yang berbeda dari pendapatpendapat yang telah ada. Pendapat atau pandangan ulama tentang suatu masalah tidak mungkin dibatasi dengan jumlah yang ada, tetapi terbuka peluang untuk bertambah dari ulama yang lain sesudahnya jika ditemukan dalil dan ‘illat hukum yang baru. Dikarenakan perubahan sosial dan perkembangan masyarakat terus berjalan merubah tatanan yang telah ada tanpa kompromi, sehingga hukum juga mesti 39 40
28
Ibid, h. 115. Ibid, h. 116. Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
membarenginya, bahkan jika mungkin mendahuluinya dengan menjadikan hukum prediksi (fiqh taqdiriyah).
2) Metode gabungan antara al-Intiqa’i dan dan al-Insya’i Gabungan antara metode al-intiqa’i dengan al-insya’i, yaitu ijtihad dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Sehingga ketentuan hukum yang ditetapkan pada suatu permasalahan merupakan gabungan dari pendapat lama dan pendapat baru. Secara sederhana metode ini bertujuan menyempurnakan pendapat lama dengan beberapa perubahan di dalamnya, sesuai dengan perubahan sosial masyarakat.41 Contoh gabungan antara metode Intiqa’i dan Ibda’i al-Insya’i adalah aturan wasiat wajibah untuk cucu yang diberlakukan di Mesir semenjak tahun 1960. Aturan ini memuat ketentuan bahwa seorang kakek wajib mewasiatkan harta untuk cucunya dari anak laki-laki yang duluan meninggal darinya, atau mati bersamaan dengannya. Jumlah yang diwasiatkan sama dengan kadar atau bagian warisan yang diterima anak laki-laki jika ia hidup dan mewarisi. Wasiat tersebut diwajibkan atas kakek jika sebelumnya tidak pernah mewasiatkan harta sedikitpun untuk cucu tersebut, atau memberikan harta kepadanya dengan cara lain. Jika telah pernah memberikan harta kepada cucu tersebut melalui wasiat atau hibah dan lain sebagainya, namun jumlahnya tidak mencapai sepertiga, wajib diwasiatkan untuk menyempurnakan sepertiga. Wasiat wajibah ini diperuntukkan bagi golongan tingkat pertama dari anak laki-laki, dari anak perempuan, dan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya ke bawah dengan syarat setiap orang tua menghijab anaknya. Aturan wasiat wajibah ini didasarkan kepada pendapat sebahagian ulama salaf yang mengatakan bahwa wasiat wajib bagi selain ahli waris dan kerabat yang dipahami dari kandungan QS alBaqarah ayat 180 mengenai wasiat. Pendapat ini kemudian dipegang dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm, ia berkata: Wasiat wajib atas setiap orang yang memiliki harta, berdasarkan ḥadīs Ibnu Umar yang diriwayatkan Malik dan Nafi’. Kemudian ia juga meriwayatkan tentang kewajiban wasiat dari Talhah dan Zubair, keduanya sangat menekankan berwasiat, demikian pula Abdullah bin Abi Aufa, Talhah
41
Ibid, h. 118.
Universitas Malikussaleh
29
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
bin Mathraf, Thawus, Sya’bi dan lainnya. Pendapat ini juga dipegang oleh Daud dan pengikut Zhahiriyah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang yang mati dalam keadaan tidak berwasiat, maka wajib disedekahkan sebahagian kecil hartanya, dikarenakan wasiat adalah kewajiban atas setiap orang, dan sah dikeluarkan setelah meninggal bagi orang-orang yang tidak sempat berwasiat ketika masih hidup. Jika telah dilaksanakan maka kewajiban seseorang atas hartanya telah terpenuhi. Namun Ibnu Hazm tidak membuat batasan mengenai jumlah harta yang harus dikeluarkan, berdasarkan pendapat dari ulama salaf mengenai jumlah harta yang diwasiatkan sepenuhnya dipulangkan kepada ahli waris, mereka berhak menentukan jumlahnya yang mereka senangi dan tidak memberatkan mereka. Selain tidak menyebutkan jumlah harta wasiat para ulama salaf dan mazhab Zhahiri juga tidak menentukan siapa yang berhak menerima wasiat tersebut dari kalangan yang bukan ahli waris. Ibnu Hazm menjelaskan bahwasanya wasiat wajib dikeluarkan untuk melepaskan tanggungjawab orang yang mati, namun jumlahnya itu terserah kepada ahli waris dan orang yang diserahi amanah wasiat. Qanun wasiat wajibah Mesir sekalipun mengacu kepada pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm tentang kewajiban wasiat di atas, namun dalam qanun ini memuat beberapa aturan tambahan berupa jumlah harta yang harus diwasiatkan yaitu sepertiga, sedangkan penerima wasiat wajibah adalah cucu pada lapisan pertama dari anak yang duluan meninggal dari pada pewaris, atau kedua mati secara bersamaan. Kedua ketentuan ini tidak didapati dalam fiqh ulama salaf dan Ibnu Hazm dan merupakan tambahan atas ketentuan wasiat wajib yang telah ada. Qanun wasiat wajibah Mesir dibuat untuk menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi cucu baik laki-laki maupun perempuan yang bapaknya meninggal mendahului pewaris (kakek), sehingga ketika pewaris meninggal cucu-cucu tersebut tidak memperoleh harta warisan, karena dihalangi oleh paman mereka. Ketentuan semacam ini sangat tidak adil, cucu tersebut selain yatim ditambah lagi dengan tidak memperoleh warisan, apa lagi di zaman sekarang ini perubahan struktur keluarga dari keluarga luas kepada keluarga inti telah terjadi dalam masyarakat, anak yang menikah tidak tinggal lagi dengan orang tua, tetapi memilih untuk membuat rumah tangga sendiri di luar tempat tinggal orang tuanya. Dalam keluarga luas anak yatim menjadi tanggungjawab kakek, atau paman dan lainnya, namun seiring dengan perubahan struktur keluarga seperti 30
Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
digambarkan tadi mengakibatkan rasa kepedulian ini semakin longgar, masing-masing anggota keluarga cendrung melepaskan tanggungjawab dan lebih mengutamakan nasib keluarga dibawah rumah tangganya sendiri. Kondisi seperti ini mengakibatkan anak yatim akan terlantar atau barang kali tidak mendapat perhatian yang penuh dari keluarganya sendiri, padahal mereka sangat membutuhkan perhatian dan bantuan dari kerabatnya. Untuk mensiasati permasalahan ini maka pemerintah Negara Mesir membuat aturan baru berupa wasiat wajibah yang merupakan kombinasi dari pendapat ulama salaf dan ulama kemudian, sehingga melahirkan suatu konklusi hukum yang mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat akibat dari perubahan sosial yang terjadi dikalangan mereka. Wasiat wajibah bagi cucu merupakan salah satu bentuk hasil ijtihad dari kombinasi metode al-intiqai dan al-insya’i dengan pendekatan maṣlahah mursalah, yaitu salah satu metode yang berusaha menemukan hukum baru yang belum pernah ada sebelumnya dengan cara mencari kemaslahatan. Ketentuan ini merupakan kolaborasi antara pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm dengan pendapat baru yang muncul kemudian.42 Sedangkan dalam melakukan istinbath tehadap permasalahan yang muncul dewasa ini, Yusuf al-Qaradhawi bertumpu pada beberapa pedoman, yaitu:
a) Tidak fanatik dan tidak taqlid, yaitu melepaskan diri dari fanatik madzhab dan taqlid terhadap satu ulama, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun ulama belakangan. Meskipun demikian tetap menghormati sepenuhnya kepada para imam mazhab dan fuqaha.
b) Memberikan kemudahan dan tidak mempesulit, hal ini didasarkan pada dua alasan: - Bahwa syariat dibangun atas dasar mempermudah dan menghilangkan kesukaran bagi hamba. Hal ini dinyatakan secara jelas dan tegas oleh al Qur’an serta Sunnah, yakni bahwa Allah tidak tidak membebani kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dipikulnya. - Karakteristik zaman yang terus berubah, di mana zaman sekarang ini sikap hidup materialisme lebih dominan daripada spritualisme, individualisme lebih dominan 42
Ibid, h. 131-132.
Universitas Malikussaleh
31
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
daripada kebersamaan, pragmatisme lebih dominan dari akhlak. Menurut beliau seharusnya bagi ahli fatwa untuk memberikan kemudahan kepada manusia sesuai dengan kemampuan. Yang dimaksud dengan kemudahan disini adalah tidak bertentangan dengan naṣ yang sah dan muẖkam, dan tidak pula berbenturan dengan kaidah syar’iyah yang qath’i.
c) Berbicara kepada manusia dengan bahasa zamannya, dalam memberikan fatwa sebaik menggunakan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakatnya, dengan berupaya menghindari istilah-istilah yang sukar dimengerti. Berkenaan dengan masalah ini ada beberapa hal yang perlu diketahui seorang seorang mufti sehubungan dengan masalah penguasaan bahasa, antara lain: - Berbicara secara rasional dan tidak berlebih-lebihan - Tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit di mengerti (lafd al-gharib) - Mengemukakan hukum disertai hikmah dan ‘illat (alasan hukum) yang sesuai dengan falsafah umum syariat Islam.43
d) Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat, janganlah seorang mufti menyibukkan dirinya dan masyarakatnya kecuali dengan sesuatu yang berguna bagi manusia dan mereka butuhkan dalam kehidupan.44
e) Bersikap tawasuth (pertengahan) antara memperlonggar dan memperkuat, yaitu antara memperingan dan memperberat hukum suatu permasalahan, beliau tidak menginginkan sikap sebahagian orang yang hendak melepaskan ikatan-ikatan hukum yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan diri pada modernisasi. Beliau juga tidak ingin seperti orang-orang yang hendak membakukan dan membekukan fatwa-fatwa, perkataanperkataan, dan ungkapan-ungkapan lama karena menganggap suatu kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar.
Yusuf al-Qaradhawi, Hadyul Islam Fataw al-Mu’ashirah, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 45. 44Yusuf al-Qaradhawi, Al Fatwa Bain al Indhibath wa al-Tasayyub, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 100. 43
32
Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
f) Memberikan keterangan dan penjelasan terhadap fatwa, dalam hal ini beliau mengemukakan beberapa alasan, yaitu: - Suatu fatwa tidak mempunyai arti apa-apa kalau tidak disertai dalil. - Menyebutkan hikmah dan ‘illat hukum merupakan suatu yang sangat penting. - Membandingkan sikap dan pandangan Islam dengan sesuatu di luar Islam. - Memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskan (hukum) sesuatu yang dirasa aneh atau janggal. - Menunjukkan sesuatu yang dihalalkan sebagai yang diharamkan - Menghubungkan suatu ketentuan dengan ketentuan lain dalam hukum Islam - Seorang mufti tidak harus menjawab pertanyaan yang dianggap tidak urgen. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Yusuf alQaradhawi telah melakukan terobosan dalam pembaruan hukum Islam dengan memunculkan metode istinbath hukum yang baru, sekalipun hal itu jika dicermati dengan seksama tidak terlepas dari prinsip dan metode istinbath yang telah pernah dibuat oleh ulama mujtahid terdahulu. Hanya saja beliau meramu suatu pendekatan baru yang lebih responsif dan mudah digunakan untuk kegiatan istinbath di masa sekarang. Selain Yusuf al-Qaradhawi, pembaruan hukum Islam juga diserukan oleh ulama yang lainnya seperti Ibrahim Husen, seorang ahli hukum Islam dari Indonesia. Beliau juga menawarkan terobosan baru mengenai metode, langkah dan pendekatan yang dapat ditempuh untuk melakukan pembaruan hukum Islam saat ini, di antaranya adalah: a. Interprestasi ulang terhadap al-Quran, yaitu merekonstruksi makna al-Qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbȃb al-nuzûl. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. b. Pemahaman baru terhadap ḥadis, yang dilakukan melalui pengklasifikasian ḥadis, mana yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam rangka tasyri’ al-ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku Universitas Malikussaleh
33
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
manusia biasa sebagai sifat kemanusiaannya. Sunnah baru dapat dijadikan pegangan apabila dilakukan dalam rangka tasyri’ al-ahkam (penjelasan terhadap hukum syara’). Sedangkan yang dilakukan beliau dalam kapasitas sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan beliau kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainya. Di samping itu sebagaimana al-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di dalamnya. c. Pendekatan ta’aqquli (rasional). Para ulama terdahulu memahami rukun Islam dengan cara ta’abbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kualitas ‘illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan hukum Islam (ta’abudi wa ta’aqquli). Dengan pendekatan ini ‘illat dan tujuan hukum dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah sosial kemasyarakatan (muamalah). d. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana. Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Pengertian jawabir adalah dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah Swt. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan naṣ, seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghairu muhsan didera, setelah didera dengan hukuman tersebut pelaku pidana telah diampuni dosanya oleh Allah Swt. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera terhadap pelaku pidana sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam naṣ. e. Reaktualisasi ijma’ (konsensus). Pemahaman yang terlalu luas atas ijma’ dan keterikatan kepada ijma’ harus dirubah dengan menerima ijma’ sarih saja yang terjadi dikalangan sahabat (ijma’ sahabi, sebagai mana yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i. Kemungkinan terjadinya ijma’ sahabat sangat sulit, sedangkan ijma’ sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu, ijma’ yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qath’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma’ itu sendiri, tetapi pada dalil 34
Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
yang menjadi sandarannya. Sedangkan ijma’ yang mempunyai sandaran dalil dzanni sangat sulit terjadi. f. Masalik al-‘illat (cara penetapan ‘illat). Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi ‘illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas (rasio legis). Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan ‘iilat-nya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji ‘illat yang benar-benar baru. g. Maslahah al Mursalah. Di mana ada kemaslahatan di sana ada hukum Allah Swt, merupakan ungkapan yang cukup populer dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih al mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an dan Sunnah. h. Sadd al-Zari’ah. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada perbuatan maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan. i. Irtijab al akhaf al-dzararain. Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangat tepat dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam. j. Keputusan wali al-amry. Yaitu keputusan atau aturan pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan undangundangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Sesuatu yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani terhindar dari tipu muslihat lintah darat. k. Mem-fiqh-kan hukum qath’i. Kebenaran qath’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relatif. Menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap naṣ qath’i (naṣ yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya, maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada prinsip; al-Islam salih li kulli zaman wa makan dan Universitas Malikussaleh
35
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zaman (Islam relevan untuk setiap zaman dan tempat, hukum berubah berdasarkan tempat dan waktu). Untuk menghadapi masalah ini, qath’i diklasifikasikan menjadi 2 yaitu; pertama, qath’i fi jami’ al-ahwal (pasti untuk setiap kondisi) dan kedua qath’i fi ba’d al-ahwal (pasti untuk sebahagian kondisi). Pada qath’i fi jami’ al-ahwal tidak berlaku ijtihad,sedangkan pada qath’i fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qath’i dari segi penerapanya (tathbiq) berlaku pada semua zaman. Ibrahim Husen menambahkan bahwa tujuan dari pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini dapat ditempuh dengan beberapa cara: 1) Memberikan kebijakan administrasi. Hal ini sudah dilakukan di Mesir menjelang kehadiran Undang-Undang perkawinan. Dalam kitab fiqh yang belaku disemua madzhab tidak ditemukan pencatatan perkawinan. Pada masa mujtahid menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak perlu dan tidak bermanfaat. Pada masa kini pencatatan perkawinan sangat dibutuhkan untuk mengamankan perkawinan itu sendiri. 2) Membuat aturan tambahan. Tanpa mengubah dan mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain yang dapat mengatasi masalah sosial, seperti wasiat wajibah yaitu wasiat yang diberikan kepada cucu yang tidak menerima waris karena bapaknya telah meninggal lebih dahulu, sedangkan saudara bapaknya masih ada. 3) Talfiq (meramu). Hasil ijtihad tertentu diramu menjadi suatu bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan turki yang menggabungkan madzhab Hanafi yang mayoritas dengan madzhab Maliki yang minoritas. Undang-Undang ini hanya bertahan sementara menjelang diberlakukanya UndangUndang Perkawinan Swiss yang hingga sekarang masih berlaku di Turki. 4) Melakukan re-interpretasi dan re-formulasi. Dalil fiqh yang tidak aktual lagi dikaji ulang, yang menyangkut hubungan dalil dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah 36
Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
diiterpretasikan oleh mujtahid dahulu diinterpretasikan sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyakat pada saat itu. Formulasi baru berdasarkan interpretasi baru itu ada yang dituangkan dalam Undang-Undang dan ada pula yang berbentuk fatwa. Hal ini pada fiqh al munakahat (hukum perkawinan) dapat dilihat dalam masalah monogami, bigami, poligami yang dulunya mudah dan tidak bertanggungjawab, mulai dibatasi dan dipersulit, bahkan ditentukan untuk dilakukan dipengadilan. Di Indonesia pada mulanya masyarakat banyak menganut madzhab Syafi’i, namun pada saat ini telah terjadi pembaruan atau pergeseran, pendapat-pendapat dari madzhab lain sudah mulai diterima dan semakin berintegrasi dengan kultur pengamalan agama masyarakat. Perubahan ini mulai terjadi setelah ulama dan cendikiawan Indonesia kembali dari pusat ilmu hukum Islam di Timur Tengah yang memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai masalah hukum. Meskipun pada mulanya mengikuti madzhab Syafi’i secara baik, kemudian berusaha mengkaji kembali permasalahan hukum dan membahasnya berdasarkan seluruh pendapat dari mazdhab yang ada. Mereka menilai dan mengoreksi dalil-dalil yang menghasilkan pendapat yang berbeda-beda tersebut, kemudian mengambil satu pendapat yang lebih kuat. Pembaharuan hukum Islam di Indonesia juga bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. undang-undang ini adalah peraturan yang berlaku di kalangan warga Indonesia, terutama untuk umat Islam yang selama ini terikat pada fiqh al-munakahat. Undang-undang ini berbeda dengan fiqh almunakahat mazdhab al-Syafi’i yang selama ini dijalankan oleh umat Islam di Indonesia, bahkan pada masalah tertentu juga berbeda dengan ketentuan fiqh di luar fiqh al-Syafi’i, misalnya penentuan batas usia perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, hal ini berbeda dengan ketentuan fiqh yang membolehkan perkawinan anak-anak. Dalam hukum kewarisan di Indonesia juga terjadi pembaruan, ahli hukum seperti Hazairin juga menawarkan perubahan terhadap ketentuan kewarisan Islam menurut fiqh. Ia mengadakan interpretasi ulang terhadap QS al-Nisa: 33, kata mawali dalam ayat diartikan sebagai ahli waris pengganti, sehingga makna ayat tersebut adalah: “bagi setiap ahli waris kami jadikan pengganti”. Berdasarkan interprestasi tersebut maka disimpulkan bahwa cucu yang bapaknya sudah meninggal lebih dahulu dari pada pewaris Universitas Malikussaleh
37
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
dapat bertindak sebagai pengganti ayahnya, artinya berposisi pada kedudukan bapaknya dalam menerima warisan dari kakek. Ketentuan seperti ini tidak ditemukan dalam fiqh sunni atau syi’i. Pandangan Hazairin kemudian diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia yaitu Pasal 185 yang berbunyi: (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikanoleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembaruan hukum Islam merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar, mengingat perkembangan masyarakat dan perubahan sosial yang senantiasa terjadi setiap waktu tanpa dapat dibendung dan menyisakan berbagai tantangan dan permasalahan yang perlu dijawab oleh hukum Islam. Dalam menghadapi tantangan dan permasalahan hukum Islam harus selalu tampil sebagai sosial kontrol (alat kontrol perubahan sosial) di satu pihak dan sosial enginering (rekayasa sosial) dipihak yang lain, sehingga hukum Islam tetap dinamis dan relevan untuk setiap waktu dan tempat. Maksud tersebut akan dapat tercapai jika istinbath konsisten dilakukan oleh umat Islam dan terus mengupayakan pembaruan dan modifikasi terhadap metode dan pendekatan yang digunakan dalam memahami dan mengaktualisasi hukum Islam, dengan itu semua tantangan dan permasalahan yang muncul akan selalu mampu dijawab oleh hukum Islam. Jadi dalam pembaruan hukum Islam bukan saja membutuhkan metode/kaidah usul fiqh yang baru, namun juga penyempurnaan dan penyesuaian terhadap berbagai kaidah yang sudah ada. ⍝
38
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
BAB V MACAM-MACAM KAIDAH USUL FIQH Ulama usul fiqh telah menciptakan berbagai kaidah yang bersifat operasional untuk dipergunakan oleh ahli hukum dalam kegiatan ijtihad. Kaidah tersebut dapat disebut juga dengan teori, yang dengannya dapat menganalisis berbagai permasalahan. Dengan adanya teori seseorang akan mudah memahami dan memecahkan suatu masalah. Demikian pula kedudukan kaidah usul fiqh juga untuk memudahkan mujtahid dalam memahami hukum suatu masalah. Seiring waktu, jumlah kaidah usul fiqh senantiasa berkembang, ditandai dengan bertambah jumlah kaidah dan perubahan bentuknya. Jika pada awalnya hanya beberapa kaidah yang muncul, namun setelah melalui perenungan dan temuan baru, ulama merumuskan kaidah-kaidah usul fiqh lainnya. Perkembangan kaidah usul fiqh terkait erat dengan perubahan masyarakat dan munculnya berbagai permasalahan. Semakin banyak dan rumitnya permasalahan, dengan sendirinya menghendaki adanya kaidah usul fiqh yang lebih adaptif dan komprehensif. Saat ini beberapa kaidah telah direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Contohnya kaidah istislahiah, awalnya langkah penalaran menggunakan kaidah ini tidak dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sekarang ini demikian itu tidak lagi memadai. Maka dalam penalaran istislahiah juga perlu diperhatikan temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan. Misalnya temuan dalam ilmu antropologi, sosiologi, kimia, fisika, biologi, dan lain sebagainya. Temuan-temuan tersebut juga harus digunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Dengan menggunakan temuan atau capaian ilmu pengetahuan, maka akan memudahkan seorang mujtahid dalam melakukan analisis masalah. Capaian ilmu pengetahuan relatif sudah benar, karena telah melalui penelitian dan pengujian ilmiah. Seorang mujtahid tinggal memanfaatkan saja capaian tersebut untuk dijadikan acuan dalam penetapan hukum.
Universitas Malikussaleh
39
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Demikian pula kaidah ‘urf, yang notabenenya adalah kaidah usul fiqh yang berasal dari tradisi atau adat masyarakat. Maka dalam analisis ‘urf, seorang mujtahid tidak memadai lagi hanya menggunakan kontruksi lama. Namun harus pula memperhatikan capaian dari ilmu pengetahuan moderen seperti antropologi dan sosiologi. Keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk manusia dan masyarakat. Temuan-temuan dari kedua ilmu ini mengenai masyarakat harus dipertimbangkan oleh mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan ‘urf. Demikian juga dengan berbagai kaidah lainnya, menurut penulis tidak mungkin lagi dipadai dengan kontruksi lama, namun harus direvisi dengan memasukkan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam salah satu langkah analisisnya. Tujuannya supaya hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah tersebut bersifat adaptif dengan perkembangan zaman. Hukum yang ditetapkan tidak hanya sesuai dengan prinsip nash, namun juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa contoh tentang pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam kaidah usul fiqh, ini dapat dilihat pada penjelasan mengenai kaidah istislahiah, ‘urf dan siyasah al-syar’iyyah. Pada kaidah-kaidah tersebut, capaian ilmu pengetahuan dijadikan salah satu pertimbangan dalam kegiatan istinbath. Namun sayangnya penulis belum dapat melakukan secara menyeluruh terhadap kaidah-kaidah lainnya, karena keterbatasan ilmu dan juga waktu. A. Ijma’ Secara bahasa ijma’ adalah kesepakatan dan tekad yang bulat. Menurut Ahmad Hasan, istilah ijma‘ dalam arti bahasanya menunjukkan bahwa konsep ini tentunya muncul pada saat terjadi pertentangan di dalam Islam. Maka dasar dari kata ijma‘ adalah mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik bersama-sama. Istilah ini mungkin sekali berasal dari ungkapan bahasa Arab: “ajma‘tu al-nahabi” (saya mengumpulkan dari setiap penjuru unta-unta yang merupakan barang rampasan dari orang-orang yang sebelumnya adalah pemilik mereka, dan menggiring mereka pergi). Adapun secara istilah, pengertian ijma’ sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali adalah kesepakatan umat Nabi Muhammad secara khusus pada suatu masa mengenai hukum
40
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
syara’.45 Dari itu dapat dipahami bahwa kesepakatan ulama ketika Rasulullah Saw masih hidup tidak disebut ijma’, karena otoritas hukum pada waktu itu terpusat kepada beliau. Setiap keputusan hukum dari para sahabat harus memperoleh legalisasi dari beliau, walaupun hukum tersebut telah disepakati oleh para sahabat. Legalisasi Rasulullah terhadap pendapat para sahabat merupakan bagian dari hadis taqririyyah (pengakuan). Ijma’ hanya berlaku di antara umat Nabi Muhammad yang terjadi secara khusus, yaitu kesepakatan dari orang-orang tertentu (mujtahid) pada suatu masa mengenai masalah agama. Dari itu kesepakatan dari umat secara umum tidak disebut sebagai ijma’, melainkan ‘urf atau adat. Dari definisi di atas dapat dipahami unsur-unsur pokok dari ijma‘ atau disebut juga dengan rukun ijma‘, yaitu: 1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma‘, terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid; karena kesepakatan itu tidak berarti jika yang sepakat hanya satu orang. 2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh. 3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masingmasing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perseorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau
Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), h. 219. 45
Universitas Malikussaleh
41
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
secara bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat. 4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Jadi, kalau kesepakatan itu hanya dari kebanyakan mujtahid saja sedang sebagian mujtahid lainnya terdapat perbedaan, maka bukanlah merupakan ijma‘ yang dapat dijadikan hujjah syar‘iyyah.46 Dasar hukum ijma’ antara lain adalah QS. Yusuf ayat 15 yang berbunyi:
ْ َ ﻭﺃﺟﻤﻌﻮ ﺇﻟﻴﻪ ْ َ ْ َ َ ,ﺍﻟﺠﺐ ِ َ َ َ ﻳﺠﻌﻠﻮﻩُ ِﻓﻰ ِ ْ َ ِ ﻭﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ ِ ِ ﺫﻫﺒﻮﺍ ِ ّ ُ ْ ﻏﻴﺎﺑﺖ ََ ﱠ ْ ُ َ َ ﻓﻠﻤﺎ ْ ُ َ ْ َ ﺃﻥ ْ ُ َ ْ َ َ ﺑﻪ َ َ ﺑﺄﻣﺮﻫﻢ .ﻻﻳﺸﻌﺮﻭﻥ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ﻭﻫﻢ ْ ُ َ ﻫﺬﺍ ْ ِ ِ ْ َ ِ َﻬﻢ ْ ُ َﻟﺘ ُﻨ َِّﺒﺌَﻨ Artinya: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
Pada ayat di atas terdapat lafaz “ajma’u” yang berarti kesepakatan. Pada waktu itu kerabat Nabi Yusuf bersepakat memasukkan beliau ke dalam sumur saat mereka ingin menyingkirkannya dari rumah. Dari sini para ulama mengambil makna ijma’ sebagai kesepakatan ulama mengenai suatu masalah. Selain ayat di atas juga terdapat ayat lainnya yang dijadikan sebagai dasar hukum ijma’ oleh para ulama, yaitu QS. Al-Nisa: 59 yang berbunyi:
ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ,ﻣﻨﻜﻢ َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ َ ْ ُ ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ ِ ْ ُ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ ُ ْ ِ َ َ َﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ ْ ُ ْ ِ َ ﺃﻣﻨﻮﺍ ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ ِ ْ َ ْ ﻭﺃﻭﻟﻰ َ َ َﱡ ْ ِ ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ َِ ٍ ْ َ َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ َ ْ ُ ِ ْ ُ ﻛﻨﺘﻢ ِVﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ ْ ﺷﻲء َ ُ ﱡ ِ ْ ُ َ َ ِﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ ْ ُ ْ َ ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ ْ ُ ْ ُ ﺇﻥ ُ َ ْ َ َ ﺧﻴﺮ .ًﺗﺄﻭﻳﻼ ْ ِ ْ َ ﻭﺃﺣﺴﻦ َ ِ َ ,ﺍﻷﺧﺮ ٌ ْ َ ﺫﺍﻟﻚ ِ َْْ َ ِ ِ َ ْ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. 1 (Bandung: Alma‘arif, 1986), h. 60. 46
42
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas mengisyaratkan tentang keharusan untuk patuh kepada pemimpin (ulil amri). Pemimpin terbagi kepada dua, yaitu ulil amri fi din (pimpinan agama yaitu ulama) dan ulil amri fi dunya (pimpinan dalam permasalahan duniawi yaitu pemerintah). Umat Islam wajib mengikuti keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama, apalagi jika ketetapan itu telah disepakati oleh para ulama. Ijma’ dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu melalui kata-kata (ijma’ qauli), melalui perbuatan/praktek (ijma’ ‘amali) dan dengan diam saja (ijma’ sukuti). Ijma’ Qauli dan ‘Amali disebut juga dengan ijma’ qath’i atau ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang pasti dan jelas, karena kesepakatan ulama terlihat dengan jelas. Mereka sama pendapat atau melakukan suatu perbuatan yang sama bentuknya. Dengan demikian kesepakatan di antara mereka cukup mudah dipahami. Sedangkan ijma’ sukuti, disebut juga dengan ijma’ ghairu sharih (tidak jelas). Dalam ijma’ sukuti seorang ulama mengemukakan pendapatnya mengenai suatu masalah. Sedangkan ulama yang lain hanya diam saja tidak berkomentar. Diamnya ulama ini boleh jadi setuju, boleh jadi pula tidak setuju. Kemungkinan ulama lain segan berkomentar, karena yang mengemukakan pendapat tersebut merupakan ulama senior atau faktor lainnya. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kehujjahan ijma’ sukuti. Ulama Syafi’iyah menerima ijma’ sukuti sebagai hujjah syar’iyyah. Sedangkan ulama Malikiyyah menolaknya karena dianggap meragukan. Berdasarkan bentuknya ijma’ terbagi kepada empat macam, yaitu: a. Ijma’ sahabi, yaitu kesepakatan para sahabat mengenai suatu masalah; b. Ijma’ Khulafaurrasyidin, yaitu kesepakatan yang terjadi di antara empat sahabat besar Rasulullah Saw, yakni Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib; Universitas Malikussaleh
43
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
c. Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama yang berdomisili di Madinah mengenai suatu masalah; d. Ijma’ ulama kuffah, yaitu kesepakatan dari ulama-ulama yang berdomisili di wilayah Kufah (Bangdad); e. dan Ijma’ Ahlu Bait, yaitu kesepakatan mengenai suatu masalah yang terjadi dikalangan keluarga Nabi. B. Qiyas Qiyas secara bahasa adalah membandingkan, atau mengembalikan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan secara istilah, qiyas sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri adalah menerapkan hukum yang terdapat pada ashl (pokok) kepada far’u (cabang), karena terdapat kesamaan ‘illat hukum antara keduanya. Dari itu qiyas adalah upaya mengeluarkan hukum atas sesuatu yang belum ada hukumnya sebanding dengan sesuatu yang ada hukumnya, dengan memperhatikan kesamaan ‘illat (sifat) antara keduanya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa qiyas merupakan suatu proses ijtihad dengan cara membandingkan dua permasalahan yang mempunyai illat yang sama. Salah satu permasalahan terdapat dalam nash, namun permasalahan yang lain tidak ada dalam nash. atas dasar kesamaan illat (sifat) pada keduanya, maka keduanya dipersamakan hukumnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam nash. Dasar hukum qiyas adalah firman Allah Swt QS. An-Nisa’ : 59 yang berbunyi:
ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ,ﻣﻨﻜﻢ َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ َ ْ ﺍﻟﺮﺳ ِ ْ ُ َ ﻮﻝ ُ ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ ْ ُ ْ ِ َ َ َﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ ْ ُ ْ ِ َ ﺃﻣﻨﻮﺍ ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ ِ ْ َ ْ ﻭﺃﻭﻟﻰ َ َ َﱡ ْ ِ ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ َِ ٍ ْ َ َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ َ ْ ُ ِ ْ ُ ﻛﻨﺘﻢ ِVﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ ْ ﺷﻲء َ ُ ﱡ ِ ْ ُ َ َ ِﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ ْ ُ ْ ُ ﺇﻥ ْ ُ ْ َ ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ ُ َ ْ َ َ ﺧﻴﺮ .ًﺗﺄﻭﻳﻼ ْ ِ ْ َ ﻭﺃﺣﺴﻦ َ ِ َ ,ﺍﻷﺧﺮ ٌ ْ َ ﺫﺍﻟﻚ ِ َْْ َ ِ ِ َ ْ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
44
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Dalam ayat di atas umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan suatu urusan yang diperselisihkan di antara mereka kepada Allah dan Rasul, yaitu Alquran dan Hadis. Di saat para ulama mengalami kesulitan memahami suatu hukum yang tidak diatur dalam nash, sehingga mereka saling berselisih pendapat. Maka saat itu para ulama harus kembali kepada Alquran dan Hadis, guna melihat bagaimana petunjuk yang sebenarnya mengenai masalah itu. Dalam Alquran dan Hadis terdapat berbagai petunjuk yang dapat dipedomani oleh ulama dalam menetapkan hukum, salah satunya dengan memahami ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash pada kasus-kasus tertentu. Ulama dapat membandingkan permasalahan yang tidak diatur oleh nash dengan permasalahan yang telah diatur nash untuk menetapkan hukum yang sama. Alquran dan Hadis tidak memuat semua permasalahan hidup manusia, akan tetapi hanya sebatas prinsip-prinsip umum yang mungkin dijadikan rujukan untuk memahami setiap permasalahan. Tugas manusia adalah mengelaborasi lebih jauh isi Alquran dan Hadis untuk dimanfaatkan dalam proses penalaran, salah satunya melalui qiyas. Qiyas terdiri dari empat unsur, yang disebut juga dengan rukun qiyas, yaitu: (1) Asal, yaitu masalah yang dijadikan sandaran qiyas, pokok ini sering pula disebut dengan maqis alaih yakni yang menjadi tempat sandaran qiyâs, dan kadang-kadang disebut pula dengan tempat penyamaan sesuatu. (2) Far’u/maqis, yaitu permasalahan baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya yang disandarkan kepada maqis alaih; (3) hukum asal, yaitu hukum yang terdapat pada maqis alaih, dan (4) ‘illat, yaitu sifat yang ada pada asal/maqis alaih dan far’u/maqis yang sama, sehingga far’u dapat diqiyaskan kepada asal. Qiyas dilihat dari segi bentuknya dibagi kepada tiga macam, yaitu: qiyas 'illat, qiyas dalalah; dan qiyas syibh. 1. Qiyas 'Illat Qiyas illat ialah qiyas yang mempersamakan asl dengan far' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi kepada dua, yaitu qiyas jaly (terang) dan qiyas khafi (samar). Qiyas jali adalah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jaly terbagi kepada tiga, yaitu: Pertama, qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan merupakan 'illat larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam nas.
Universitas Malikussaleh
45
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Kedua, qiyas aulawi, yaitu qiyas yang hukum pada far'u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada asl. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orang tua berdasarkan ketentuan Alquran surah al-Isra ayat 23; "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." 'Illat hukumnya ialah menyakiti perasaan kedua orang tua. Jika mengatakan “ah” saja haram, maka memukul orang tua tentu lebih menyakiti dan tentu lebih tegas keharamannya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl. Ketiga, qiyas musawi, yaitu qiyas hukum yang ditetapkan pada far'u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada asl, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 10 : "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua kasus ini nampak bahwa ‘illat yang terdapat pada asl sama bobotnya dengan ‘illat yang ada pada far'u. Qiyas Khafy, yaitu qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk. 2. Qiyas Dalalah Qiyas dalalah adalah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib karena mengqiyaskan kepada harta orang dewasa, karena kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Mazhab 46
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang dewasa, namun kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil. Karena itu harta anak kecil tidak wajib dikeluarkan zakat. 3. Qiyas Syibh Qiyas Syibh adalah qiyas yang far'u dapat diqiyaskan kepada dua asl atau lebih, tetapi diambil asl yang lebih banyak persamaannya dengan far'u. Seperti diyat membunuh budak dapat diqiyaskan kepada hukum membunuh orang merdeka, karena keduaduanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta, budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya. C. Maslahah Mursalah Para ulama memberikan pengertian maṣlaḥah mursalah atau istiṣlāḥiah secara beragam. Menurut Muhammad Abu Zahrah maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlah yaitu:
ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻤﻼﺋﻤﺔ ﻟﻤﻘﺎﺻﺪ:ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻤﺮﺳﻠﺔ ﺍﻭ ﺍﻹﺻﺘﺼﻼﺡ ﻫﻲ 47
ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ ﻭﻻ ﻳﺸﻬﺪ ﻟﻬﺎ ﺃﺻﻞ ﺧﺎﺹ ﺑﺎﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﺃﻭﺍﻵﻟﻐﺎء
Artinya: Maṣlaḥah al-mursalah atau istiṣlāḥiahadalah kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syari’ tetapi tidak ada naṣ khusus yang memerintahkan dan melarangnya.
Al-Syāṭibi mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-mursalah adalah maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil yang mendukung kebenarannya atau menolaknya, dan ia sesuai dengan keinginan syara’. Yakni dalam maslahat itu ada aspek atau jenis yang dibenarkan oleh syara’, sekalipun dalil tidak menyebutkannya secara langsung, yaitu istidlal al-mursal yang dinamakan juga dengan istiṣlāḥiah atau maṣlaḥah al-mursalah. Ini dapat dimaknai bahwa Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 2000), h. 3. 47
Universitas Malikussaleh
47
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tidak mungkin ada pertentangan antara naṣ yang sahih dan maslahat, karena naṣ merupakan petunjuk untuk kemaslahatan.48 Amir ‘Abd al-‘Aziz mengemukakan maṣlaḥah al-mursalah adalah yang ditetapkan hukum padanya akan berhasil menarik manfaat dan berhasil pula menolak mudarat atau mafsadat bagi manusia, sementara tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang menjelaskannya, baik yang membenarkan maupun yang menolaknya.49 Senada dengan itu, Badran Abu al-‘Ainain mengatakan bahwa maṣlaḥah al-mursalah adalah maslahat yang tidak diketahui adanya dalil syara’ yang membenarkan atau yang membatalkannya.50 Ḥusain Ḥamid Ḥasan mengemukakan bahwa maṣlaḥah almursalah adalah maslahat yang masuk ke dalam dalil syara’ yang dipahami melalui penelitian terhadap berbagai naṣ.51 Menurut Wahbah al-Zuḥaily, maṣlaḥah al-mursalah adalah beberapa sifat yang sesuai dengan tindakan dan tujuan syara’ tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkannya hukum padanya, akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kemudaratan dalam kehidupan manusia.52 Abdul Karim Zaidan mengemukakan bahwa maṣlaḥah almursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit di dalam alQur`an,53 akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al-Qur`an dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam kontek ini al-Qur`an berposisi bukan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum tertentu, melainkan menjadi saksi atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya. Dengan demikian sistem analisa dengan menggunakan maṣlaḥah al-
Al-Syaṭibi, al-I‘tiṣam, Jilid II, (Riyaḍh: Maktabah al- Riyaḍh al-Ḥaditsah, t.th.), h. 115. 49Amir ‘Abd al-‘Aziz, Uṣul al-Fiqh al-Islami, JilidII, (Qahirah: Dar alSalam, 1997/1418), Cet I, h. 478-479. 50 Badran Abu al-Ainain, Uṣul al-Fiqh al- Islami, (Iskandariyyah: Muassasah Shahab al-Jami‘ah, t. th.), h. 209. 51 Ḥusain Ḥamid Ḥasan, Naẓariyyat al-maṣlaḥah fī al-Fiqh al- Islami, (Qahirah: Dar al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1971), h. 60. 52 Wahbah Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al- Islami, JilidIII, (Beirūt: Dār al-Fikr alMu‘āṣir, 1998), h. 757. 53Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz al-Fiqh,... h. 237. 48
48
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
mursalah dapat dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan syar’i dalam penetapan hukum suatu masalah.54 Al Yasa Abubakar memberikan pengertian maṣlaḥah almursalah atau istiṣlāḥiah yaitu pola penalaran yang berupaya mencari dan menemukan hukum (hukum syara’) atas suatu perbuatan, atau berupaya merumuskan pengertian (konsepsi) dari suatu perbuatan hukum, berdasarkan maslahat (yang hakiki) yang ada pada perbuatan itu, setelah terlebih dahulu mengembalikannya (membandingkannya) kepada naṣ yang relevan untuk mengetahui kesejalanan maslahat yang ada dalam perbuatan dengan maslahat yang dilindungi dan ingin dipenuhi oleh naṣ. Dengan kata lain apabila pemberian hukum terhadap suatu perbuatan, atau pembuatan definisi (konsepsi) atas sesuatu perbuatan hukum, dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa maslahat yang ada dalam perbuatan tersebut sejalan (mempunyai munasabah/relevan) dengan maslahat yang ditemukan di dalam naṣ, maka pemberian hukum tersebut dapat diterima (dianggap memenuhi persyaratan metodelogis).55 Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlaḥiah merupakan suatu pendekatan untuk memahami hukum atau memberikan definisi bagi suatu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuannya dalam naṣ, dengan cara mempertimbangkan aspek maslahat yang hakiki dan menolak mudharat guna melahirkan pedoman bijak dalam menata kehidupan manusia untuk mencapai kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Maṣlaḥah al-mursalah atau penalaran istiṣlāḥiah mempunyai dua fungsi yaitu untuk menetapkan hukum syara’ bagi kasus yang belum ada ketentuan hukumnya, dan mendefinisikan (konsepsi) bagi suatu aturan fiqh dan siyāsah al-syar’iyah yang belum ada definisi sebelumnya, atau tidak relevan lagi dengan definisi yang telah ada. Keduanya dilakukan melalui penalaran dengan pertimbangan kemaslahatan lalu membandingkan dengan maksud dan tujuan naṣ. Penetapan hukum Islam dengan menggunakan penalaran istiṣlāḥiah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kaidah kebahasaan (lughawiyah) yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan antara penetapan hukum berdasarkan pendekatan
54 55
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, ...h. 68. Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, ...h 75-76.
Universitas Malikussaleh
49
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
istiṣlāḥiah dengan pendekatan lughawiyah, maka pendekatan istiṣlāḥiah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sementara pengembangan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan relatif kaku (rigid) dan sering kehilangan nuansa kontekstualnya.56 Di samping itu jumlah peristiwa hukum yang terus berkembang seiring perkembangan waktu, sementara teks agama yang terbatas dan telah berhenti turun bersamaan dengan wafat Rasulullah Saw menimbulkan kesenjangan, namun kesenjangan ini dapat diatasi dengan mengembangkan pola istinbath hukum secara kreatif dan dinamis, antara lain melalui pola istiṣlaḥiah. Bahkan semua mujtahid memahami, bahkan sepakat bahwa latar belakang atau motif turunnya teks agama tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.57 Para ulama mengemukakan beberapa alasan ilmiah yang mendukung pola atau metode maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlah. ‘Ali Hasballah mengemukakan beberapa argumentasi sebagai berikut: a. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, dengan demikian kebolehan seseorang mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan disaat dharurat atau terpaksa dalam batas tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan. b. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan kepentingan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, apabila kemaslahatan tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan mengalami kesulitan. Maka Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip syarī’ah. c. Bahwa syara’ menjelaskan alasan (‘illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku bagi
Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; MaṣlahahMursalahdan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 104. 57Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah..., h. 120. 56
50
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
hukum yang ditetapkan berdasarkan maṣlaḥah almursalah.58 Mustafa Zaid juga mengemukakan alasan yang memperkuat penggunaan maṣlaḥah al-mursalah dalam penetapan hukum Islam, yaitu: a. Bahwa tujuan diturunkan syari’at Islam adalah supaya mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan menurut kehendak hawa nafsunya, karena perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu biasanya akan berhadapan dengan kebinasaan (mafsadat). b. Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan selalu terdapat aspek maslahat atau mafsadat, memelihara atau mewujudkan maslahat merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang layak dunia dan akhirat. c. Kebanyakan maslahat atau mafsadat dipengaruhi oleh perkembangan kondisional, karena itu kajian maslahat harus dilakukan secara kontinyu dengan senantiasa memperhatikan kondisi masyarakat.59 Sedangkan menurut Abu Yazid, alasan penggunaan maṣlaḥah al-mursalah sebagai metode kajian hukum Islam adalah karena mengingat realitas kehidupan masyarakat tidak seluruhnya diatur dalam naṣ, bahkan sebahagian besarnya sama sekali tidak diatur oleh naṣ secara relatif jelas, untuk itu sumber hukum primer berupa teks agama (al-Qur`an dan ḥadīs) perlu dikembangkan dan disandingkan dengan sumber-sumber yang lain yang berdimensi nalar ijtihad, salah satunya maṣlaḥah al-mursalah. Sumber hukum tambahan seperti ini sangat dibutuhkan dalam setiap aktivitas perumusan hukum untuk mensinergikan pesan-pesan umum teks agama dengan realitas perubahan yang tidak mungkin dihindarkan, sehingga menciptakan tata kelola kehidupan yang harmonis sesuai dengan cita-cita luhur agama Islam (maqāṣid al-syar’iyyah).60 Dari berbagai argumentasi yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa maslahat bukanlah hal yang asing bagi hukum ‘Ali Hasballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islamy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1997), Cet. 7, h. 141-142. 59 Musfata Zaid, al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamy, ...h. 50. 60Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam, Persepsi Fiqh Siyasah Tentang Pola Hubungan Agama dan Negara, “Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011, h. 97. 58
Universitas Malikussaleh
51
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Islam, maslahat merupakan tujuan utama disyari’atkan hukum Islam. Untuk itu pendekatan maslahat dalam pembentukan hukum Islam tidaklah bertentangan. Selanjutnya penalaran merupakan metode istinbath hukum Islam yang bersifat alternatif mengingat keterbatasan teks agama di satu pihak dan realitas kehidupan masyarakat yang senantiasa berkembang dan tidak semuanya diatur oleh naṣ dipihak yang lain. Dengan adanya metode ini diharapkan perkembangan hukum Islam tidak mengalami stagnan yang dapat menghambat tercapainya kemaslahatan bagi kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan oleh hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam bukan bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar di luarnya, yaitu untuk mengapresiasi keberadaan realitas yang mesti mendapatkan perhatian dan jawaban. Sekalipun maṣlaḥah al-mursalah dapat digunakan sebagai pola istinbath hukum, namun para ulama ushūl fiqh membuat sejumlah persyaratan dan ruang lingkup kerja metode ini. Al-Ghazali, al-Syāṭibī dan al-Ṭūfi membuat persyaratan dan ruang lingkup operasional maṣlaḥah, persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun mengenai ruang lingkup operasionalnya hampir semua mereka mempunyai pendapat yang sama. Al-Ghazali membuat persyaratan metode maṣlaḥah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, yaitu: Pertama, maṣlaḥah tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maṣlaḥah tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ (konsensus). Ketiga, maṣlaḥah tersebut menempati level al-ḍarūriyyāt (primer) atau al-ḥājiyyāt (sekunder) yang setingkat dengan al-ḍarūriyyāt. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qath’i atau zann yang mendekati qath’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qath’i, dharuri,dan kulli.61 Berdasarkan persyaratan yang dibuat oleh al-Ghazali di atas terlihat bahwa ia tidak memandang maṣlaḥah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Al-Ghazali memandang maṣlaḥah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam yang memiliki persyaratan yang ketat. Selain tidak bertentangan dengan naṣ, beliau juga mensyaratkan kemaslahatan
61
52
Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, ...h. 151. Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
itu bersifat qath’i yaitu kemanfaatannya yang hakiki, bukan bersifat khayalan dan dapat dibuktikan secara gamblang. Selain bersifat hakiki kemaslahatan tersebut juga harus bersifat cukup penting, al-Ghazali menyebutkan bahwa maslahat yang ditetapkan berdasarkan maṣlaḥah harus berada pada level alḍarūriyyāt atau paling kurang level al-ḥājiyyāt, ini menunjukkan bahwa penggunaan metode maṣlaḥah hanya untuk merealisasikan keperluan atau kepentingan yang lebih besar dan mendasar bagi kehidupan manusia, yang dapat menimbulkan kesulitan, kepayahan yang berkepanjangan bahkan kepunahan seandainya keperluan dan kepentingan tersebut tidak terpenuhi. Sedangkan penggunaan metode istiṣlāḥiah untuk merealisasikan kebutuhan al-taḥsiniyyāt (tersier) tidak dibenarkan, karena kebutuhan tersebut tidak mendesak untuk direalisasikan. Adapun mengenai ruang lingkup operasional maṣlaḥah, alGhazali tidak menyebutkan secara tegas, namun jika diamati dari penjelasannya mengenai maṣlaḥah dalam buku-bukunya seperti alMankhul, Asas al-Qiyas, Shifa’ al-Galil, dan al-Muṣtaṣfa dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maṣlaḥah yaitu hanya di bidang muamalah saja. Berbeda dengan al-Ghazali, al-Syāṭibī hanya membuat dua kriteria atau persyaratan agar maṣlaḥah al-mursalah atau istiṣlāḥiah dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama, maṣlaḥah tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu maṣlaḥah yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan dengan dalil syara’ yaitu al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maṣlaḥah seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka menurut al-Syathibi itu termasuk dalam kajian qiyas.62 Jika dibandingkan antara persyaratan yang dibuat al-Ghazali dengan al-Syāṭibī di atas, maka persyaratan yang dibuat oleh alSyāṭibī jauh lebih longgar. Ini merupakan suatu hal yang wajar karena al-Syāṭibī termasuk golongan ulama penganut mazhab Malikiyah yang sering menjadikan maṣlaḥah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Letak kelonggaran dari persyaratan yang dibuat oleh Al-Syātibi adalah membolehkan penggunaan metode maṣlaḥah untuk semua level keperluan manusia baik al-ḍarūriyyāt,
62
Al-Syatibi, al-Muwafaqat...,.h. 345.
Universitas Malikussaleh
53
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
al-ḥājiyyāt, dan al-taḥsiniyyāt, sepanjang kemaslahatan yang ditetapkan sejalan dengan prinsip syara’, yaitu tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Sebaliknya al-Ghazali membatasi penggunaan metode istiṣlah hanya untuk menetapkan kemaslahatan bagi keperluan al-ḍarūriyyāt (primer) dan al-ḥājiyyāt (sekunder) saja. Al-Ghazali dan al-Syāṭibī juga berbeda dalam memandang maṣlaḥah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Al-Ghazali memandang maṣlaḥah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri, sedangkan al-Syāṭibī adalah sebaliknya memandang maṣlaḥah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Al-Syāṭibī berpendapat demikian karena metode istiṣlāḥiahd alam menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada naṣ tertentu, tetapi hanya berdasarkan maṣlaḥah yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’. Adapun mengenai ruang lingkup operasional maṣlaḥah, alSyāṭibī dan al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang akidah dan ibadah. Begitu juga dengan al-Tufi yang dianggap sebagai orang yang paling berani dan paling kontroversi pendapatnya tentang maṣlaḥah juga menetapkan bidang mu’amalah dan sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maṣlaḥah. Menurut al-Thufi, maṣlaḥah tidak berlaku pada bidang ibadah, dan sejenisnya. Al-Thufi membangun pendapatnya atas empat dasar, yaitu: Pertama, akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maṣlaḥah dan mana mafsadat, karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat. Kedua, maṣlaḥah merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari naṣ. Ketiga, lapangan atau ruang lingkup operasional maṣlaḥah hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah. Dan keempat, maṣlaḥah merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena maṣlaḥah bukan hanya dalil ketika tidak ada naṣ dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas naṣ dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya.63 Pengutamaan maslahat atas naṣ dan ijma’ tersebut dilakukan oleh al-Thufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan naṣ, sebagaimana mendahulukan Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.64
63 64
54
Malcom H. Keer, Moral and Legal Judgment Indevendent,... h. 278. Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum,... h. 90. Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Al Yasa’ Abubakar, penulis buku Metode Istiṣlāḥiah membuat sejumlah persyaratan untuk diterimanya penalaran istiṣlāḥiah sebagai metode pembentukan hukum Islam, persyaratan yang dikemukakannya merupakan simpulan dari berbagai pendapat ulama terdahulu dengan beberapa tambahan darinya, yaitu; pertama, penalaran tersebut harus bertumpu pada pertimbangan maslahat (tepatnya maslahat yang hakiki); kedua, maslahat yang ada dalam perbuatan itu harus sejalan dengan maslahat yang ada dalam naṣ (prinsip-prinsip syari’ah); ketiga, kesejalanan antara maslahat seperti tersebut dalam syarat yang kedua diperoleh melalui langkahlangkah penalaran istiṣlāḥiah (akan disebutkan di bawah); keempat, kesimpulan yang diambil adalah menemukan atau memberikan hukum syara’ atas sesuatu perbuatan (hukum), atau membuat definisi (konsepsi) atas suatu perbuatan (hukum).65 Al Yasa’ Abubakar tidak membatasi penalaran istiṣlāḥiah untuk merealisasikan kebutuhan untuk level tertentu saja, namun semua level kebutuhan manusia baik al-ḍarūriyyāt, al-ḥājiyyāt dan altaḥsiniyyāt dapat dicari atau direalisasikan melalui metode istiṣlāḥiah. Dalam hal ini ia berpandangan sama dengan al-Syāṭibī di atas. Sebagai tambahan atas pendapat ulama terdahulu dalam penalaran istiṣlāḥiah, ia merumuskan cara kerja metode ini dalam bentuk langkah-langkah yang sistematis dalam penalaran istiṣlāḥiah. Dalam langkah tersebut bukan hanya mencari kemaslahatan dan kesesuaiannya dengan naṣ, namun juga perlu memperhartikan ‘urf masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Lebih jelas mengenai langkah-langkah metode istiṣlāḥiah akan disebutkan di bawah. Tambahan lainnya terletak pada out put atau tujuan dari penalaran istiṣlāḥiah yaitu untuk menentukan hukum atau memberikan definisi (konsepsi) terhadap permasalahan yang belum ada sebelumnya, ataupun tidak relevan lagi sehingga perlu diubah. Hukum pada tataran praktis harus bisa menjawab permasalahan masyarakat, tidak hanya menetapkan hukum bagi suatu masalah, tetapi pada tahap tertentu perlu memberikan definisi terhadap suatu perbuatan hukum, karena dalam kehidupan masyarakat adakalanya muncul permasalahan yang belum ada ketentuan hukumnya, kadang pula muncul dinamika baru yang mengharuskan penyesuaian definisi bagi suatu perbuatan hukum, hal itu dimungkinkan karena
65
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 76.
Universitas Malikussaleh
55
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
perubahan waktu dan tempat. Realitas tersebut menuntut penyesuaian definisi perbuatan hukum pada masing-masing tempat. Adapun langkah-langkah penalaran istiṣlāḥiah ada tujuh, yaitu: Pertama, mengetahui kategori-kategori kemaslahatan yang menjadi tujuan Allah dalam menurunkan syari’at, yang diperlukan manusia untuk mempertahankan, menyelamatkan dan bahkan meningkatkan kualitas kehidupan mereka, yang sudah dirumuskan oleh para ulama berdasarkan penelitian induktif (istiqra’ ma’nawi) atas naṣ yang ada. Dengan kata lain mengetahui kategori-kategori perbuatan berdasarkan keperluan manusia atas perbuatan tersebut serta mengetahui taklif (pembebanan) dan wadh’ (pengkondisian) yang diberikan Allah mengenainya (maqāṣid al-syar’iyyah), yaitu maqashid al-ḍarūriyyāt, al-al-ḥājiyyāt, dan al-al-taḥsiniyyāt. Kedua, mengidentifikasi (mencari hakikat dari) perbuatan yang ingin ditentukan hukum syara’-nya secara sungguh-sungguh, dan seoptimal mungkin dalam arti mempertimbangkan, sehingga diketahui secara meyakinkan (hakiki) apakah perbuatan itu mengandung (mendatangkan) kemaslahatan atau tidak. Ketiga, menghimpun naṣ yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibicarakan baik naṣ khusus maupun naṣ umum. Menghimpun dan menguraikan naṣ umum diperlukan untuk mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, yang pada giliran berikutnya diperlukan untuk mengetahui kesejalanan (relevansi, munasabah) antara maslahat yang ditemukan dalam pembuatan baru (yang akan ditetapkan hukumnya itu) dengan hukum yang akan dipilih (ditentukan) untuk perbuatan tersebut. Prinsip-prinsip ini perlu diketahui karena akan digunakan sebagai ukuran untuk menilai kesejalanan antara kemaslahatan pada langkah pertama dengan identifikasi pada langkah kedua. Adapun menghimpun naṣ khusus yang berkaitan atau lebih tepatnya naṣ-naṣ yang dianggap dekat (berhubungan) dengan perbuatan (masalah) yang akan diselesaikan hukumnya itu perlu dilakukan untuk mengetahui bahwa perbuatan tersebut memang tidak mempunyai naṣ khusus yang dapat dinalar secara langsung. Keempat, meneliti dan mempelajari pendapat para ulama masa lalu tentang masalah yang akan dicari ketentuan hukumnya itu sekiranya masalah ini sudah pernah dibahas. Penelitian ini meliputi dalil dan metode yang mereka gunakan, serta kesimpulan yang telah pernah mereka ambil. Tetapi untuk masalah baru yang (kuat dugaan) belum pernah dibahas, langkah ini tentu tidak perlu karena tidak dapat dilakukan. 56
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Kelima, mempelajari adat istiadat dari kaum atau masyarakat muslimin yang kepada mereka hasil istinbath (ijtihad) itu akan diberlakukan. Mempelajari adat ini perlu karena ada yang baik yang sejalan dengan fiqh tidak harus diubah dan dapat terus dipertahankan. Sebaliknya hasil ijtihad para ulama dari masyarakat muslim dengan adat yang berbeda boleh saja tidak diberlakukan dan diganti dengan ijtihad baru. Sistem hukum, ekonomi dan lainnya yang ada dan berlaku dalam suatu masyarakat adalah bagian dari adat mereka, karena itu bentuk dan sistem peradilan sebagai contoh harus dianggap sebagai bagian dari adat yang harus diteliti dan dipertimbangkan dengan cermat dalam penetapan hukum syara’ dan dalam pembuatan definisi atas perbuatan-perbuatan hukum. Keenam, menggunakan hasil dan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam kegiatan penalaran pada semua tingkatannya. Hasil capaian ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dipertimbangkan dan digunakan, karena pada biasanya apa yang dihasilkan dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan relatif telah terukur dan tersistematisasi bahkan terbukti kemanfaatannya dan kemudharatannya. Pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan ini diharapkan akan dapat menghemat tenaga dan waktu, serta lebih dari itu diharapkan akan dapat memberikan hasil penalaran yang lebih baik. Maksud dari “pada semua tingkatan” adalah penggunaan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut pada semua jenjang kegiatan penalaran. Jadi dimulai dari upaya untuk menguasai dan memilih penggunaan berbagai jenis dan bentuk logika sebagai aturan berfikir, sampai kepada pemanfaatan konsep-konsep, kategori, sistem dan berbagai hal lain yang diperlukan dalam pencarian dan perumusan hukum syara’ dan atau pembuatan, atau lebih dari itu dalam upaya penyusunan sebuah fiqih yang sistematis dan komprehensif. Dan ketujuh, mengaduk, mengocok atau memutar enam kegiatan di atas sampai jenuh sedemikian rupa, dan baru setelah itu menentukan sebuah aturan hukum, atau merumuskan pengertian dari suatu perbuatan hukum, sebagai kesimpulan akhir dari rangkaian kegiatan penalaran ini.66 Dari itu dapat dipahami bahwa penalaran istiṣlāḥiah merupakan upaya sistematis yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk memahami ketentuan hukum atau definisi dari suatu masalah melalui tujuh langkah atau tahapan yang dilakukan, yaitu memahami
66
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 77-78.
Universitas Malikussaleh
57
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
katagori maslahat, mengidentifikasi masalah yang akan dikaji, menghimpun naṣ yang berkaitan dengan permasalahan, mempelajari pendapat ulama terdahulu, mempelajari adat istiadat masyarakat, menggunakan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan terakhir adalah mengaduk dan memutar keenam kegiatan tersebut sampai jenuh, kemudian menyimpulkan hukum atau definisi bagi suatu permasalahan. D. Urf/Adat Secara bahasa kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘urfan, sering diartikan dengan “al-ma’ruf”, yaitu sesuatu yang telah dikenal. Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf, seandainya kedua kata ini digabungkan dalam suatu kalimat, misalnya: “hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf, tidaklah berarti keduanya berbeda maksudnya, meskipun digunakan kata hubung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata.67 Adapun secara istilah menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘urf adalah: 68
ﻣﺎﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ
Artinya: Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily, yaitu:
ﻣﺎﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺳﺎﺭﻭ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻓﻌﻞ ﺷﺎﻉ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻭ ﻟﻔﻆ ﺗﻌﺎﺭﻓﻮﺍ ﻭﻻ ﻳﺘﺒﺎﺩﺭ ﻏﻴﺮﻩ ﻋﻨﺪ,ﺍﻁﻼﻗﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﺧﺎﺹ ﻻ ﺗﺄﻟﻔﻪ ﺍﻟﻠﻐﺔ 69
ﺳﻤﺎﻋﻪ
Lihat Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. 2, h. 364. 68Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1997), Cet. 10, h. 273. 69Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1987), h. 67
58
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Artinya: Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulan mereka, atau lafaz yang telah ma’ruf penggunaan kepada makna yang khusus di luar makna baku, dan tidak terbayang kepada makna lain saat mendengarnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa ‘urf merupakan suatu kebiasaan masyarakat (adat) yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bentuk perbuatan ataupun perkataan. Sesuatu dianggap ‘urf jika dilakukan secara kontinyu oleh suatu komunitas, atau masyarakat di suatu tempat, ‘urf tidak harus terikat dengan kebiasaan atau makna yang telah baku, di luar itu ‘urf memungkinkan membuat bentuk lain yang berbeda, dan akan menjadi baku ketika suatu komunitas atau masyarakat ramai-ramai menyetujui dan melakukannya. Kedudukan ‘urf atau kesadaran hukum masyarakat dalam konteks pembentukan hukum cukup sentral, ‘urf juga dapat dipertimbangkan sebagai sumber hukum di kala naṣ tidak mengatur suatu masalah. Berkenaan dengan kedudukan ‘urf dalam pembentukan hukum Islam oleh Al-Qarafi, seorang ulama mazhab Maliki pernah mengharamkan pemberian fatwa hukum bila materinya bertentangan dengan adat-istiadat setempat. Lebih jauh ia menegaskan bahwa fatwa yang mencerminkan realitas masyarakat (‘urf) yang sudah melembaga dapat meruntuhkan tatanan konsensus (ijma’) yang telah dibangun bersama dengan susah payah oleh para ulama.70 Dalam ilmu sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum adalah bahagian dari kebudayaan suatu masyarakat, ia tidak dapat dipisahkan dari jiwa serta cara berfikir suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan hukum adalah penjelmaan dari pada jiwa serta cara berfikir masyarakat, yaitu penjelmaaan dari pada struktur rohaniyah suatu masyarakat.71 Maka dalam membentuk hukum perlu mempertimbangkan kesadaran hukum atau kebudayaan dari suatu masyarakat, di mana kebudayaan atau nilai yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat 828. Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam, Dalam Jurnal Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011 (Jakarta: Dirjen Pendis, Kemenag RI), h. 94. 71Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Edisi 2 (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 33. 70
Universitas Malikussaleh
59
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
lalu diformal menjadi hukum positif. Hukum yang demikian akan lebih mudah berjalan, karena jauh-jauh sebelum itu masyarakat telah dapat menerima eksistensi norma tersebut untuk dijadikan hukum positif. Kedudukan ‘urf (realitas masyarakat) sebagai dasar hukum maupun tatanan hidup yang pantas dipedomani berdasarkan bunyi sebuah kaidah (maxim): 72
ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺤﻜﻤﺔ
Artinya: Adat kebiasaan itu dapat dijadikan dasar hukum.
Maksud dari kaidah ini adalah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat dapat menjadi patokan atau pedoman (hujjah) dalam menetapkan hukum Islam bagi para mujtahid atau hakim pada pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan naṣ yang secara khusus mengatur suatu masalah. Artinya adat yang ada dalam suatu masyarakat dapat diterima dan diakui keberadaannya oleh fiqh. Kaidah di atas merupakan kaidah induk yang membawahi beberapa kaidah lain di bawahnya yang merupakan kaidah cabang, sebahagian kaidah cabang itu mempunyai makna yang sama dengan kaidah induk, sedangkan sebahagian yang lain merupakan qayid (batasan) bagi kaidah induk. Adapun kaidah-kaidah cabang tersebut antara lain adalah:73
ﺣﺠﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ ّ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱKebiasaan manusia menjadi dalil yang wajib diamalkan
ﺍﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﻋﺎﺩﺓ ﻛﺎﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﺣﻘﻴﻘﺔLarangan adat seperti larangan syara’
ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺷﺮﻁﺎSesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan.
‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd al-Mutadhammin li al-Taisir, Juz 1, (Madinah: Jamiah al-Islamiyyah, 2003, h. 297. 73‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd…, h. 298. 72
60
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
ﺍﻧﻤﺎ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﺫﺍ ﻁﺮﺩﺕ ﺃﻭ ﻏﻠﺒﺖ“Hanya saja yang dianggap adat adalah sesuatu yang telah duluan ada dan berlaku umum”
ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻟﻠﻐﺎﻟﺐ ﺍﻟﺸﺎﺋﻊ ﻻ ﻟﻨﺎﺩﺭ“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﺈﻣﻌﺘﺎﺩﻻ ﺑﺎ ﺍﻟﻨﺎﺩﺭ“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan yang dengan jarang terjadi”
ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭ ﻛﺎ ﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺑﻴﻨﻬﻢ“Sesuatu yang tealah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”
ﺗﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻛﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﺍﻟﻨﺺ“Ketentuan berdasarkan urf seperti berdasarkan naṣ”
ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺗﺘﺮﻙ ﺑﺪﻻﻟﺔ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
ﺍﻻﺫﻥ ﺍﻟﻌﺮﻓﻰ ﻛﻼﺫﻥ ﺍﻟﻠﻔﻈﻰ“Kerelaan yang berlaku secara ‘urf sama seperti kerelaan yang diucapkan dengan kata-kata”
Universitas Malikussaleh
61
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Legalitas ’urf (adat) sebagai rujukan hukum juga dikuatkan oleh ḥadīts yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya, yaitu:
َ َ َ َﻓﻤﺎ َ َ ﻭﻣﺎ ْ ِ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ َ ْ ُ ْ ُ ّ ﺭﺃﻯ ْ ُ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ َ َ ِﻋﻨﺪَ ﷲ َ َ ,ﺣﺴٌﻦ ِ ُ ِ ْ ُ ّ ﺭﺃﻯ َ ُ َ ً ﺣﺴﻨﺎ 74
ْ ِ ﻓﻬﻮ ﺳﻴﺊ ِّ َ ٌ ِّ َ ِﻋﻨﺪَ ﷲ َ ُ َ ً ﺳﻴﺌﺎ
Artinya: Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka disisi Allah hal itu juga baik. Dan sesuatu yang dipandang buruk oleh umat Islam, maka di sisi Allah hal itu juga buruk.
Jadi kedudukan realitas masyarakat (adat) yang dipresentasikan oleh kebanyakan umat Islam dapat dijadikan sumber pijakan hukum, ini menunjukkan bahwa keterkaitan realitas masyarakat dengan ketentuan hukum cukup erat. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat dapat berpotensi menjadi anjuran syara’, demikian pula hal yang buruk menurut masyarakat juga berpotensi menjadi larangan syara’. Secara umum metode ‘urf (adat) di amalkan oleh semua ulama fiqh dalam membuat ketentuan hukum syara’, terutama ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan bi al-‘urfi, yaitu istihsan yang bersandar kepada ‘urf, ulama mazhab ini mendahulukan ‘urf atas qiyas khafī dan juga atas naṣ yang umum, dalam hal ini kedudukan ‘urf untuk men-takhsis umum naṣ. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf atau tradisi masyarakat Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari ḥadīts aḥad. Ulama Syafi’iyah juga banyak menggunakan‘urf pada masalah-masalah yang tidak menemukan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa, ulama mazhab ini membuat sebuah ketentuan bahwa setiap yang datang dari syara’ secara mutlak, tanpa ada batasannya dalam syara’ maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.75
Imam Ahmad, Musnad li al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dar-AlHadis, 1995), h. 989. 75Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II...,h. 375. 74
62
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Saking eratnya hubungan realitas masyarakat dengan pembentukan hukum menjadikan perubahan atau perbedaan ‘urf suatu masyarakat dapat mempengaruhi pembentukan ataupun perubahan hukum, karena sejatinya hukum dibangun untuk kepentingan masyarakat, dengan adanya hukum dapat menjamin kenyamanan, menjadi solusi bagi setiap masalah yang muncul dalam masyarakat, bukan malah sebaliknya keberadaan hukum menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Ibnu Qayyim al-Jauziy mengemukakan bahwa: “Perubahan fatwa dapat terjadi disebabkan adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan”. Namun pembentukan hukum dalam konteks perubahan dan perbedaan ‘urf masyarakat juga tidak dengan begitu saja atau secara dipaksakan, tetapi harus melalui kajian dan berbagai pertimbangan yang matang, dan yang paling penting adalah memastikan bahwa hukum tersebut mempunyai akses untuk diterapkan, karena dibutuhkan dan adanya naṣ ataupun ‘illat syar’i padanya.76 Wahbah al-Zuhaily juga mengemukakan bahwa perubahan hukum disyaratkan untuk memperhatikan ‘urf masyarakat, hukum dapat berubah jika terjadi perubahan ‘urf, atau muncul keadaan darurat, atau kerusakan masyarakat yang telah menjadi-jadi yang tidak memadai lagidengan ketentuan yang telah ada.Dalam keadaan seperti ini hukum dapat dirubah demi menghindari kesukaran dan kemudharatan, karena kedudukan dan prinsip hukum Islam adalah mewujudkan kemudahan, dan menolak segala bentuk kepayahan dan kerusakan.77 Secara umum perubahan hukum disebabkan oleh dua faktor, pertama, karena munculnya kejahatan atau penyimpangan bentuk baru yang merusak tatanan masyarakat, menggangu kestabilan dan kenyamanan hidup masyarakat, sementara itu belum ada aturan yang mengatur masalah tersebut; kedua, karena perubahan situasi dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih kondusif atau sebaliknya semakin parah dan darurat, sehingga memerlukan perubahan hukum menjadi lebih longgar atau lebih ketat. Contoh perubahan hukum karena perubahan situasi adalah fatwa ulama generasi terakhir (mutaakkhirun) dari Mazhab Hanafi tentang bolehnya mengambil upah dari mengajar al-Qur`ān, imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamīn, Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), h. 11. 77Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy...,h. 835. 76
Universitas Malikussaleh
63
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
shalat, mengumandangkan azan, dan perbuatan ibadah lainnya. Pendapat ini berbeda dari ketentuan yang ada sebelumnya yang melarang demikian. Alasannya karena perubahan zaman, sekarang ini tidak ditemukan lagi lembaga Baitil Mal yang berperan membiayai upah guru agama, muazzin, imam shalat dan lain-lain. Jika dilarang mengambil upah, seseorang akan enggan melakukan pekerjaan ini, dan lebih memilih pekerjaan lain seperti bertani, bertukang dan lain sebagainya untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Akhirnya masalah pembelajaran al-Qur`ān, dan syiar Islam menjadi terabaikan, tidak ada orang yang memperdulikan. Contoh lainnya adalah larangan anak gadis keluar shalat berjamaah ke mesjid untuk masa sekarang ini, padahal sebelumnya pada masa Rasulullah Saw hal itu tidaklah dilarang. Alasan dilarang di masa sekarang karena banyak ditemukan gangguan di jalan yang membahayakan keselamatan dan kehormatan para perempuan, terutama bagi mereka yang masih gadis.78 Kedua contoh di atas menunjukkan kolerasi antara situasi masyarakat dan perubahan hukum, keadaan atau situasi masyarakat termasuk kebiasaan mereka mempengaruhi pembentukan dan perubahan hukum. Pembentukan hukum disesuaikan dengan situasi masyarakat, sesuatu yang awalnya haram kemudian dapat menjadi halal, sebaliknya hal yang sebelumnya halal kemudian menjadi haram tergantung kondisi masyarakat. Hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat, oleh sebab itu dalam pembentukan hukum juga perlu mempertimbangkan situasi dari masyarakat. Kedudukan ‘urf memang diakui dan cukup penting dalam perumusan hukum, namun bukan berarti setiap ‘urf dapat diterima sebagai dasar hukum, akan tetapi yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ketentuan naṣ.79 Para ulama, utamanya yang bermazhab Hanafi dan Maliki menerima ‘urf sebagai sumber (dalil) hukum Islam dengan dua syarat. Pertama, ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan naṣ dan kedua, ‘urf tersebut sesuai dengan akal sehat, atau dengan kata lain tidak berpotensi membawa mudharat atau ketidakadilan.80 Ditinjau dari segi keabsahannya ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan naṣ (Al-Qur’an dan
Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh...,h. 836-837. Ahmad bin Hamid, Syarah Warqat, (t.tp, tt), h. 16. 80 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 235. 78 79
64
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Hadis), serta tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.Sedangkan ‘urf fasid adalah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah, serta menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau menggugurkan kewajiban.81 Contoh ‘urf shahih adalah seperti tradisi masyarakat di Indonesia menggunakan kain sarung dan kopiah (peci) untuk shalat, ataupun tradisi masyarakat membuat makanan saat hari raya Islam untuk menyambut tamu, membawa kado atau hadiah pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain. Sedangkan contoh ‘urf fāsid seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya, kebiasaan minum khamar dalam masyarakat jahiliyyah, dan lain-lain. Dalam pembentukan hukum syara’ yang digunakan hanyalah ‘urf ṣahīh saja,‘urf tersebut digunakan karena dipandang relevan dengan kebutuhan masyarakat serta mampu memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat, dan yang paling penting bahwa ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan naṣ dan ketentuan syara’.82 Banyak kebiasaan masyarakat kemudian dipertahankan dan dijadikan landasan hukum, seperti beberapa transaksi pada masalah muamalat dan munakahat, seperti kebolehan melakukan akad istishna’ (memesan atau menempah barang), kebolehan menyerahkan uang panjar sebagai tanda telah ada transaksi atas suatu barang, dan lain-lain.83 Para ulama menggunakan ‘urf (adat) sebagai dalil dalam dua hal; pertama, sebagai dalil untuk kebolehan melakukan atau tidak melakukan sesuatu ketika naṣ tentang masalah tersebut tidak ada; kedua, sebagai dalil untuk menjelaskan makna lafaz atau konsep yang digunakan dalam naṣ, yang tidak memadai sekiranya hanya dijelaskan atau diberi arti secara lughawiyah (bahasa).84Jadi adat memiliki relasi yang erat dengan naṣ, yang saling melengkapi satu sama lain dalam konteks pembentukan hukum dan penafsiran terhadap lafaz-lafaz naṣ yang tidak jelas maknanya. Lebih lanjut mengenai relasi antara naṣ dan adat dalam kontek pembentukan hukum dapat dilihat dengan tiga cara; pertama, adat diterima secara penuh, sehingga adat tersebut dalam bentuk apa Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushūl al-Fiqh, Cet. 1, (Damsyiq: Dar alFikr, 1999), h. 98. 82Wahbah al-Zuhaily, al- Wajiz fi Ushūl al-Fiqh..., h. 98-99. 83Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah...,h. 236. 84Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah...,h. 235-236. 81
Universitas Malikussaleh
65
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
adanya terserap ke dalam fiqh dan menjadi bagian dari fiqh; kedua, adat tersebut menyebabkan perubahan pemahaman dan penafsiran terhadap naṣ, sehingga hukum syara’atau konsepsi yang dihasilkan menjadi tidak sama dengan hukum syara’ atau konsepsi yang sebelumnya digunakan, dan juga tidak persis sama dengan adat yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain naṣ mengubah adat sampai batas tertentu, demikian pula adat pada batas tertentu mengubah pemahaman atas naṣ; ketiga, ketentuan dalam al-Qur`an tidak dapat diubah, sehingga adatlah yang harus berubah, adatlah yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ. Aturan yang masuk kategori ketiga ini sebagian berhubungan dengan naṣ yang qath’i aldilalah dan sebagian berhubungan dengan naṣ yang zhann al-dilalah yang artinya belum berubah (tidak perlu berubah atau tidak cukup alasan untuk mengubahnya).85 Dengan demikian penggunaan‘urf harus memperhatikan keberadaan naṣ, yang digunakan pada saat naṣ tidak mengatur hukum suatu masalah, atau tidak memberikan akses yang lebih akurat tentang makna suatu lafaz, maka ‘urf dapat digunakan untuk menetapkan hukum bagi suatu permasalahan dan memberikan pengertian bagi suatu lafaz. Namun jika naṣ telah menetapkan hukum atau memberikan penafsiran secara lebih rinci dan akurat, maka ‘urf harus menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ tersebut. E. Sadd Zara’i Kata sadd al-zari’ah merupakan bentuk gabungan dari dua kata, yaitu sadd dan adz-dzari’ah. Secara etimologis, kata sadd berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan dzari’ah merupakan kata benda bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari ﺍﻟﺬﺭﻳﻌﺔ َ ﱠ. Karena itulah, dalam beberapa َ ْ ِ ﱠadalah ﺍﻟﺬﺭِﺍﺋﻊ kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya alQarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i. Ibn Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.86 Maka menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah itu mengandung
85 86
66
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah..., h. 246-247. Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III, hal. 147 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah). Pada awalnya, kata dzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata dzari’ah kemudian digunakan secara majaz terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Menurut al-Qarafi, sadd dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asySyaukani, dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (mafsadat). Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti al-Syaukani mempersempit arti dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan dzari’ah secara umum dan tidak mempersempit hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu alQayyim juga mengungkapkan adanya dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya. Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan atau cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib. Dasar hukum Sadd Zara’i antara lain adalah QS. An-Nur ayat 31 yang berbunyi:
Universitas Malikussaleh
67
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
َ َ ﻓﺮﻭﺟﻬﻦ ْ ِ ﻳﻐﻀﻀﻦ ﻣﻦ َ ْ َ ِ ِ ﱠ ﻭﻳﺤﻔﻈﻦ ُ ُ ْ َ ُ ﱠ ُْ َ ﻳﺒﺪﻳﻦ َ ْ َ ْ َ َ ﺃﺑﺼﺮﻫﻦ َ ْ ُ ْ َ َﺎﺕ َ ْ ِ ْ ُ ﻭﻻ ِ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨ ِ ْ ُ ْ ِ ﻭﻗﻞ َ َ ,ﺟﻴﻮﺑﻬﻦ ﻭﻟﻴﻀﺮﺑﻦ ِ ُ ُ ِ ِ ﱠ ﻋﻠﻰ ُ ُ ْ ِ ِ ﱠ ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ ﻭﻻ ْ ِ َ ْ ِ ْ َ ْ َ ,ﻣﻨﻬﺎ َ َ َ َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ َﻣﺎ َ ْ ِ ﻅﻬﺮ َ َ ﺑﺨﻤﺮﻫﻦ ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ ِ ِ ﱠ ﺃﺑﺎء ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ َ ِ ِ ﱠ َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ ِ ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ َﺎء ْ ِ ِ َﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ ِ َ َ ﺃﺑﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ َ َ َ ِ ِ ﱠ ﺃﺧﻮﺍﺗﻬﻦ َ ْ ِ َ ِ ِ ﱠ ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ ِ ْ َ ِ ِ ﱠ ُ ُْ َِ ِ ﱠ ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ ِ ْ ِ ِ ِ ﱠ ﺃﻭﻧﺴﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ ﻣﻠﻜﺖ َ ْ َ ُ ُ ﱠ ْ َ َ َ َﻣﺎ ﺍﻟﻄﻔﻞ َ ِ ﺍﻹﺭﺑﺔ َ ْ ِ ِ َ ْ َ ﺃﻳﻤﺎﻧﻬﻦ ِ َ ْ ِ ﻏﻴﺮﺃﻭﻟﻰ ِ ْ ُ َ ْ َ ﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ِ ْ ّ ِ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ َْﺃﻭ ِ َ ّ ِ ﻣﻦ َ َ ﻳﻈﻬﺮﻭﺍ ﻳﻀﺮﺑﻦ ِ َ ْ ُ ِ ِ ﱠ ﻟﻴﻌﻠﻢ َ ْ ِ ْ َ َ َﻭﻻ,ﺍﻟﻨﺴﺎء َ ِْﱠ ِ َ ْ َ ﻋﻠﻰ ِ َ ِّ ﻋﻮﺭﺍﺕ ْ ُ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َْﻟﻢ َ َ ْ ُ ِ ﺑﺄﺭﺟﻠﻬﻦ ْ ِ ﻣﺎﻳﺤﻔﻴﻦ ﺯﻳﻨ ِ ِ ﱠ ﻟﻌﻠﻜﻢ ْ ِ ﻣﻦ َ ِْ ْ ُ َ َ ْ ُ ِ ْ ُ ّ َﺟﻤﻴﻌﺎ َ ﱡﺃﻳﻪ ً ْ ِ َ ِﺇﻟﻰ ﷲ ْ ُ ْ ُ َ ,َﺘﻬﻦ ْ ُ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ َ َ ﱠ َ ِ ﻭﺗﻮﺑﻮﺍ .ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ َ ْ ُ ُِْ Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ayat lainnya yang menjadi dasar hukum sadd zara’i adalah QS. Al-An’am ayat 108 yang berbunyi:
68
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
َ َ ْ ِ ﻳﺪﻋﻮﻥ ,ﻋﻠﻢ َ ْ ُ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ ْ ِ ﺗﺴﺒﻮﺍ ﱠ ْ ﻭﻻ َ ُ ﱡ ْ ﺩﻭﻥ ﷲِ َ َ ُ ﱡ ِ ْ ِ ﻋﺪﻭﺍﺑﻐﻴﺮ ِ ْ َ ِ َ ْ َ َﻓﻴﺴﺒﻮﺍ ﷲ ِ ْ ُ ﻣﻦ ﻛﺬﺍﻟﻚ َ ﱠ ﱠ ِّ ُ ِ ﺯﻳﻨﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ٍ ﻟﻜﻞ ُ ﱠ َ ََِ ْ ُ َ ﺑﻤﺎ ْ ُ َ َ َ ﺃﻣﺔ ْ ُ ُ ِ ْ َ ﺛﻢ َِﺇﻟﻰ ْ ُ ُ ِّ ﻣﺮﺟﻌﻬﻢ َﻓﻴُﻨ ﻋﻤﻠﻬﻢ ُ ﱠ َ ِ َﺒﺌﻬﻢ .ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ َ ُْ َ ْ َ Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat di atas melarang umat Islam untuk mencaci sembahan orang kafir baik dalam bentuk berhala, batu, matahari, bulan dan lain sebagainya. Larangan ini bertujuan untuk menghindari celaan kepada Allah Swt karena balasan dari orang kafir yang tersinggung Tuhannyadi cela. Celaan terhadap Allah Swt merupakan suatu mafasid yang harus dihindari, maka untuk itu umat Islam dilarang menyinggung Tuhan umat lain. Contoh Sadd Zari’ah adalah zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram. Shalat jum’at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya. Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Mencegah sesuatu yang haram atau boleh untuk menutup kemungkinan munculnya mudharat. Umar bin Khatab sering menggunakan prinsip ini dalam penetapan hukum. Contohnya beliau pernah mencukur rambut seorang pemuda Madinah yang sangat tampan bernama Nasar bin Hajjaj, karena banyak perempuan yang tergoda dengannya. Setelah dicukur ternyata ia bertambah tampan, akhirnya Umar memutuskan untuk mengasingkannya. Umar bin Khattab juga pernah membakar sebuah warung di Madinah karena kondisinya yang gelap dan dikhawatirkan menimbulkan kemaksiatan di situ. Abu Hanifah juga menggunakan metode ini dalam kasus melarang perempuan untuk berhias dalam masa iddah, karena ditakutkan terjadi maksiat.
Universitas Malikussaleh
69
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
F. Istihsan Istihsan dari segi bahasa ialah menganggap sesuatu itu baik atau sesuatu yang disukai oleh seseorang serta cenderung ke arahnya sekalipun dipandang buruk (tidak disukai) oleh orang lain. sedangkan secara istilah istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari qiyas jali (terang) kepada qiyas kafi (samar-samar) karena adanya kemaslahatan. Untuk memahami pengertian istihsan secara lebih lengkap dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Menurut ulama Malikiah, yaitu Ibnu Arabi mendefinisikan istihsan adalah lebih mementingkan meninggalkan kandungan dalil dengan jalan istisna atau takhsis karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian kandungan dalil tadi. Menurut ulama hanafiah, diantaranya seperti Al-Bazdawi mendefinisikan istihsan yaitu perpindahan dari satu qiyas ke qiyas lain yang lebih kuat dasarnya atau mentakhsis dari qiyas dasar yang lebih kuat. Sedangkan menurut ulama hanabilah, di antaranya alTuhfi mendefinisikan istihsan,yaitu perpindahan penempatan hukum satu masalah karena adanya dasar hukum yang lebih khusus. Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa istihsan itu adalah suatu kejadian yang timbul yang dapat dimasukkan ke dalam umum nash atau dapat diqiyaskan kepada suatu kejadian yang telah ada hukumnya atau dapat diterapkan hukum kulli kepadanya, tetapi nampak pada mujtahid ketetapan itu mempunyai beberapa hal yang menyebabkan hilangnya maslahat atau menimbulkan mafsadat, karena itu mujtahid berpindah dari hukum umum kepada hukum yang lain, atau mengecualikan hukum itu dari hukum yang berlaku umum. Contoh istihsan yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun
70
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dasar hukum istihsan adalah QS. Al-zumar ayat 18 yang berbunyi:
,ُﻫﺪﺍﻫﻢ ﷲ َ ْ ِ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﱠ َ ْ ُ ِ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ ْ ُ ِ ﻘﻮﻝ َ َ ﱠ َ ِْﱠ َ ِ َ ْ ُ ,ُﺃﺣﺴﻨَﻪ َ ْ َ ﻳﺴﺘﻤﻌﻮﻥ ْﺍﻟ َ ْ َ ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ ُ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ .ﺍﻷﻟﺒﺐ َ َِ ُْ َ ِ َ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻮ ْ ُ ْ ُ ﻫﻢ ْ ُ ﻭﺃﻭﻟﺌﻚ Artinya: Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Al-Zumar: 18)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam diharuskan untuk mengikuti pendapat yang paling baik dari sekian pendapat yang didengarnya. Dari itu umat Islam, khususnya mujtahid dapat memilih opsi hukum yang paling sesuai dengan kondisi mereka berdasarkan petunjuk nash. Maka dalam keadaan tertentu mereka, dapat memilih alternatif hukum lain di luar ketentuan nash yang jelas, jika hal itu dianggap paling relevan. Seiring perkembangan zaman dan perubahan sosial masyarakat otomatis menghendaki perubahan hukum. Perubahan hukum tersebut boleh jadi menjadi lebih ketat atau lebih ringan. Dalam nash terdapat berbagai opsi hukum yang mungkin dipilih oleh mujtahid dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan realitas masyarakat, terutama menyangkut muamalah. Dengan pertimbangan tertentu oleh mujtahid dapat merubah ketentuan hukum sesuatu kepada hukum lainnya yang lebih sesuai. Sebagai contoh adalah jual beli secara online yang marak belakangan ini, berdasarkan qiyas jual-beli sah jika dilakukan secara musyahadah (melihat barang secara langsung), namun dalam jual beli online hal itu tidak dilakukan, melainkan hanya melihat gambarnya pada situs jual beli online. Maka berdasarkan qiyas hal ini tidak sah, sedangkan secara istihsan dapat saja dibenarkan jika ada kemaslahatan dan dipastikan barang yang dikirim sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan pada situs online. G. Istishab Secara etimologi istishab berasal dari kata istashhaba, yang berarti: ﺍﺳﺘﻤﺮﺍﺭ ﺍﻟﺼﺤﺒﺔ. Kalau kata ﺍﻟﺼﺤﺒﺔdiartikan “sahabat” atau Universitas Malikussaleh
71
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
“teman”, dan ﺍﺳﺘﻤﺮﺍﺭdiartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara bahasa berarti selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan secara terminologi, istishab memiliki beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Asnawi mengartikan istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan dengan suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut. Ibn al-Qayyim alJauziyah mengartikan istishab ialah mengukuhkan atau menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada. Sedangkan Abdul-Karim Zaidan mengartikan istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa istishab merupakan menetapkan hukum yang telah ada (berlaku) atau meniadakan hukum yang belum ada sampai ada dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut. Suatu hukum dianggap masih berlaku selama tidak dalil atau kondisi yang menghendaki perubahan hukum tersebut. Perubahan hukum akan terjadi jika terdapat dalil atau bukti baru yang menghendaki perubahan hukum. Para ulama ushul fiqih membagi istishab kepada lima macam, yaitu: 1. al-Ibahah al-Asliyyah, yaitu menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dengan mubah selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. 2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhu’nya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhu’nya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari 72
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah). Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Ibnu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada. Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil lain yang membatalkannya. Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhu’nya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa ragu atas keutuhan wudhunya, sedangkan ia di dalam shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya. 3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang membatalkannya). Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkankaidah bahasa. 4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i, yaitu umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab Universitas Malikussaleh
73
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang. 5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan. Istishab semacam ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan. Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu’ dan mengulangi shalatnya. Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air. H. Siyasah Al-Syar’iyah Siyāsah al-syar’iyyah merupakan metode pembentukan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap permasalahan yang belum ada ketentuan hukumnya atau tidak diatur secara ekplisit oleh naṣ melalui pertimbangan kemaslahatan bagi masyarakat. Disatu sisi siyāsah al-syar’iyyah menyerupai maṣlaḥah al-mursalah dari sisi pembentukan hukum terhadap permasalahan yang belum ada ketentuan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan, di sisi yang lain keduanya berbeda, maṣlaḥah almursalah digunakan oleh individu untuk membentuk hukum, sedangkan siyāsah al-syar’iyyah digunakan oleh pemerintah. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyāsah al-syar’iyyah sebagai tindakan atau kebijakan pemerintah berdasarkan 74
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
pertimbangan kemaslahatan bagi permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh naṣ.87Dalam hal ini pemerintah menempuh sebuah kebijakan atau membuat undang-undang yang dipandang mengandung kemaslahatan bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun kebijakan dan aturan tersebut tidak keluar dari koridor hukum syara’. Pemerintah mempunyai wewenang mengambil kebijakan atas dasar kemaslahatan masyarakat untuk menerbitkan suatu peraturan, atau menunda bahkan menghapus sebuah peraturan yang dianggap tidak tepat untuk diberlakukan. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya mempunyai hak untuk melakukan hal itu sepanjang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Khalifah Usman bin Affan pernah mengatakan: “Allah memberikan wewenang kepada sulthan untuk menanggani sesuatu yang tidak ditanggani langsung oleh Al-Qur`ān”.88Ungkapan ini menunjukkan adanya relasi kekuasaan dengan pembentukan hukum, di mana pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk memberlakukan sebuah aturan atau tidak memberlakukannya atas dasar pertimbangan mewujudkan manfaat dan menolak mudharat. Pemerintah dalam segala bentuk upayanya dalam menjalankan roda pemerintahan haruslah berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, dalam hal ini pemerintah perlu membuat sistem dan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip syari’at. Pemerintah tidak boleh berdiam diri membiarkan terjadinya kekosongan hukum dalam masyarakat yang mengakibatkan kegamangan dan ketidakadilan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkrit mengatasinya dengan membuat aturan yang dibutuhkan. Pemerintahan adalah suatu yang dharuri (penting) bagi masyarakat, di mana mereka tidak mungkin hidup secara layak tanpa dinaungi oleh suatu pemerintahan atau kekuatan politik yang mengatur dan melindungi. Tujuan pemerintahan adalah untuk menjamin kestabilan, keamanan dan ketentraman hidup masyarakat, sulit dibayangkan jika pemerintahan tidak ada, masyarakat akan mengalami kesulitan yang luar biasa yang mengancam eksistensi mereka. Kehidupan masyarakat tanpa dipayungi sistem Abdul Wahab Khallaf, Siyasah Syar`iyyah Aw Nizam al-Daulah Islamiyah Fi Syuun al-Dusturiyah wa al-Kharijiah wa al-Maliyah; (Kaherah: Dar al-Ansar, 1982), h. 18. 88Jamal al-Din al-‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqaṣid al-Syari’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), h. 50. 87
Universitas Malikussaleh
75
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
pemerintahan akan berlaku hukum rimba di mana yang kuat akan menindas yang lemah, kestabilan dan kenyaman sulit tercipta dan seterusnya. Untuk itu dilembagakanlah siyāsah al-syar’iyyah yang merupakan instrumen hukum Islam yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat di bawah sistem pemerintahan yang islami untuk mewujudkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi masyarakat. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa siyāsah alsyar’iyyah adalah suatu mekanisme untuk mengurus negara, melaksanakan hukum, dan merancang aturan perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah dapat menempuh dua langkah: (1) siyāsah al-diniyyah,yaitu menggunakan ketentuan atau prinsip yang terdapat dalam naṣ (al-Qur`ān-hadis) yang wajib dipatuhi oleh setiap orang beriman. (2) siyāsah al-‘akliyah, yaitu menggunakan konsep yang disandarkan kepada akal dalam bentuk tindakan dan kebijakan yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat seluruhnya.89 Dengan demikian pemerintah dalam mengurus rakyat pertama sekali harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam naṣ dengan cara menggali apa saja nilai dan prinsip yang diajarkan naṣ dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurus kepentingan rakyat. Di samping itu pemerintah juga dapat menggunakan rasio dalam menentukan kebijakan pada permasalahan yang tidak diatur secara langsung oleh naṣ, ataupun merasionalkan kandungan naṣ dengan kebijakan-kebijakan yang konkrit. Ibn Abidin mengemukakan bahwa siyāsah al-syar’iyyah adalah suatu mekanisme atau pengaturan yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara membimbing dan mengarahkan mereka kepada kesalamatan dunia dan akhirat.90 Definisi ini menunjukkan bahwa pemberlakuan hukum Islam di pemerintahan merupakan suatu yang primer dalam arti sebagai instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat supaya mendapat keselamatan dunia dan akhirat, karena hanya hukum Islam yang mungkin mewujudkan tujuan tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Haramain bahwasanya tugas pemerintah mencakup pemenuhan segala
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: t.p, tt), h. 302-311. Ibn Abidin, Hasyiah Radd al-Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Juz 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 15. 89 90
76
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
kepentingan masyarakat baik yang umum maupun yang khusus menyangkut urusan agama dan dunia. Pemerintah tidak hanya memikirkan kebahagian hidup didunia semata, akan tetapi juga kebahagian hidup diakhirat kelak. Untuk itu pemerintah di samping mengupayakan kesejahteraan dan keamanan yang berorientasi duniawi juga harus menegakkan dakwah dan memerintahkan pengamalan agama yang berorientasi ukhrawi kepada masyarakat. Pengaturan pemerintahan berdasarkan siyāsah al-syar’iyyah akan lebih terjamin kesejahteraan, kestabilan dan keharmonisan tatanan sosial masyarakat, sesuai dengan maksud syari’at (rahmatan lil ‘alamin). Sebaliknya pemerintah yang mengabaikan syari’at berpotensi muncul ketidakstabilan dan ketidakadilan. Masyarakat akan hidup di bawah bayangan tirani penguasa sehingga hubungan pemerintah dan masyarakat tidak harmonis dan langgeng. Pemerintahan yang tidak berlandaskan syari’at Islam cenderung mementingkan penguasa dan mengabaikan masyarakat, hal ini dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja, antara masyarakat dan penguasa akan terjadi bentrok dan pertumpahan darah. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan bahwa siyāsah alsyar’iyyah merupakan suatu sistem politik yang menjadikan syari’at Islam sebagai acuan, mengaplikasikannya dimuka bumi dan ditengah-tengah masyarakat, untuk mencapai tujuan hidup masyarakat sesuai syari’at.91 Yusuf al-Qaradhawi menolak dengan keras penggunaan sistem politik yang bukan Islam untuk pengaturan pemerintahan yang ada diberbagai negara muslim. Beliau menolak sistem politik sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan agama, sehingga dapat menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan politik sekalipun mengabaikan nilai-nilai moral. Dalam sistem politik yang bukan berdasarkan syariat Islam, segala upaya seperti adu domba, mengancam, menyingkirkan bahkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik merupakan norma yang biasa untuk dapat mencapai tujuan, sedangkan menurut siyāsah alsyar’iyyah hal-hal semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap merugikan pihak lain dan membuka jalan bagi munculnya pemerintahan tirani yang mengancam kestabilan dan keharmonisan hidup masyarakat.
91
Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syariah, (Beirut: Dar al Syuruq, tt), h.
230. Universitas Malikussaleh
77
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Abdurrahman Taj mengemukakan bahwa siyāsah alsyar’iyyah merupakan hukum atau peraturan yang dibuat pemerintah untuk mengatur pemerintahan dan rakyat yang sesuai dengan prinsip syari’at, qaidah kulliyah, dan dapat diterima oleh masyarakat, sekalipun hukum dan peraturan tersebut tidak dijelaskan secara langsung oleh naṣ (al-Qur`ān-Sunnah).92 Siyasah alsyarī’ah merupakan kebijakan pemerintah berupa ijtihadnya untuk membentuk hukum atau aturan yang dirasa penting dan maslahat bagi tata kelola pemerintahan dan rakyat. Pemerintah diberikan wewenang membuat kebijakan terhadap permasalahan yang tidak diatur secara langsung oleh naṣ, kebijakan tersebut dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan naṣ dan prinsip-prinsip umum hukum Islam. Dari berbagai perspektif yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa siyāsah al-syar’iyyah di satu sisi merupakan sistem politik atau tata cara pengelolaan pemerintahan yang berlandaskan kepada syariat Islam untuk mewujudkan kesejahteraan, kestabilan dan keharmonisan hidup masyarakat sesuai dengan maksud dan tujuan syara’. Maka dalam segala lini pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip Islam. Di sisi yang lain siyāsah al-syar’iyyah merupakan upaya pemerintah untuk membuat aturan hukum atau undang-undang bagi permasalahan yang tidak diatur secara jelas oleh naṣ, menggunakan metode istinbath hukum yang berlaku supaya terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan rakyat. Maka siyāsah al-syar’iyyah dapat dipahami sebagai sistem politik Islam untuk mengatur pemerintahan di satu sisi dan kebijakan pemerintah untuk membuat aturan perundang-undangan di sisi yang lain. Kedudukan siyāsah al-syar’iyyah dalam pemerintahan tidak bisa diabaikan, karena merupakan salah satu instrumen utama dalam penegakan hukum untuk mewujudkan maqashid syarī’ah. Melalui siyāsah al-syar’iyyah hukum Islam diupayakan atau hanya mungkin diaplikasikan dalam masyarakat, karena hukum tanpa adanya dukungan politik tidak mungkin dijalankan, kekuasaan sangat menentukan terutama perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, tatanan kehidupan dan segala aspeknya. Di sisi yang lain kekuasaan tanpa berlandaskan kepada aturan hukum juga tidak
Abd al-Rahman al-Taj, Al-Siyasah al-Syari’ah wa Fiqh al-Islamy, (Kaherah: al-Azhar, 1415 H), h. 12. 92
78
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
akan efektif dan akan menjurus kepada kedurjanaan penguasa, yang semena-mena dalam menjalankan hukum sehingga merugikan masyarakat. Pemerintahan merupakan sarana bagi pelaksanaan hukum dan mencapai tujuan syari’at, sebagaimana dipahami dari kandungan QS. Al-Anbiya (21) : 107 yang bunyinya:
ْ َ ْ َ ﻭﻣﺎ .ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﻴﻦ َ ْ ِ َ َ ْ ِ ًﺭﺣﻤﺔ َ َ َ ْ َ ﺃﺭﺳﻠﻨ ََﻚ ِﺇﻻﱠ Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Dan juga dipahami dari kandungan QS.Al-Hajj (22) : 41 yang berbunyi:
َ ﺃﻗﺎﻣﻮ ْ ﱠ ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ ﺍﻟﺼﻼﺓ َ َ َ َ ُ ﱠ ﻭﺃﻣﺮﻭﺍ َ ِْﱠ ْ َ ْ ﻣﻜﻨﺎﻫﻢ ِﻓﻰ ِ ﺍﻷﺭ ُْ ََ ﺽ ْ ُ َ َ َ َ ﻭﺃﺗﻮﺍﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ْ ُ ﺇﻥ َ َ ﱠ َ ِ ﱠ,ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ .ﺍﻷﻣﻮﺭ ِ ُْْ َْ ِ َ ِ َ ِ}ﻭ ْ َ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ َﻭﻧ ِ َ ْ ُ ْ ﻋﻦ ِ ْ ُ ُ ْ ُﻋﻘﺒﺔ ِ َ َﻬﻮ Artinya: (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al-Hajj (22) : 41)
Kedua ayat di atas menjelaskan tentang tujuan pemerintahan atau pemimpin, Rasulullah Saw diutus oleh Allah Swt sebagai pemimpin untuk membimbing umat manusia ke jalan yang lurus demi mencapai keridhaan-Nya dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Demikian pula diutusnya orang-orang saleh lainnya juga untuk menjalankan amanah Allah berupa mendirikan salat, menunaikan zakat dan mengajak manusia mengamalkan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar. Pemerintah bertugas memberikan tauladan yang baik dan menjalankan hukum dalam masyarakat, serta bertanggungjawab kepada terealisasinya maqaṣid al-syar’iyyah secara nyata dimuka bumi dalam kehidupan masyarakat. Dalam mengemban amanah tersebut pemerintah harus menggunakan panduan yang benar berupa siyāsah al-syar’iyyah, yang berarti tata cara mengurus pemerintahan dan urusan umat berdasarkan prinsip Islam, dan secara khusus siyāsah al-syar’iyyah juga berarti mengurus negara dan agama dengan membuat hukum bagi perkara yang tidak mempunyai naṣ yang jelas, atau melakukan Universitas Malikussaleh
79
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
suatu perubahan hukum yang bertumpu kepada prinsip umum naṣ untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Melalui siyāsah al-syar’iyyah pemerintah mengupayakan untuk mencapai tujuan syara’ dalam bidang pengelolaan negara dan persoalan umat secara optimal. Pemerintah melaksanakan aturan yang telah digariskan dalam hukum Islam dalam mengelola negara, atau melakukan ijtihad untuk mengambil suatu kebijakan bagi permasalahan yang belum mempunyai ketentuan hukum yang jelas dalam naṣ. Di samping itu pemerintah juga berhak melakukan perubahan hukum jika keadaan menghendakinya. Fungsi atau kegunaan siyāsah al-syar’iyyah dalam pembinaan dan penegakan hukum setidaknya terdiri atas dua bentuk, yaitu: a. Menentukan hukum bagi perkara-perkara baru yang tidak mempunyai dalil khusus dalam al-Qur`ān, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan pendapat para ulama Untuk itu pemerintah dapat menempuh upaya hukum melalui kaidah-kaidah Ushūl fiqh seperti maṣlaḥah al-mursalah, istihsan, sad al-zara’i, dan ‘urf. b. Menentukan kemaslahatan yang sifatnya kondisional atau temporal pada kasus-kasus tertentu yang mungkin berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat. Pada kasus-kasus tersebut pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang ada jika dinilai perlu perubahan hukum dengan yang baru.93 Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat melakukan kedua bentuk upaya di atas sepanjang mampu memastikan bahwa pembentukan hukum atau perubahannya merupakan kebutuhan masyarakat yang perlu dilakukan untuk menghindari kerusakan dan kebinasaan, selanjutnya kebijakan yang diambil pemerintah tersebut juga tidak bertentangan dengan maksud naṣdan prinsip-prinsipumum syari’at Islam. Kebijakan pemerintah atau siyāsah al-syar’iyyah tidak selamanya merupakan kebenaran dan harus diterima. Menurut Ibnu Farhun, siyāsah terbagi kepada dua macam yaitu: (1) siyāsah al‘adilah, yang membela suatu kebenaran dari upaya kezaliman, menolak pelbagai bentuk kejahatan, menghalangi pembuat kerusakan dan yang menghantarkan kepada tercapainya tujuanAbdul Ahmad al-Atwah, Al-Madkhal ila al-Siyasah al-Syari’ah, (Riyadh: Jamiah al-Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah, 1994), h. 13-14. 93
80
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
tujuan syara’. (2) siyāsah al-dzalimah, yang membela kesalahan, kezaliman, kejahatan, kerusakan dan menghambat tercapainya tujuan syara’.94 Dalam kontek pengambilan kebijakan, pemerintah harus mengacu kepada siyāsah al-‘adilah, yaitu siyāsah yang berpihak kepada kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam. Dalam masyarakat senantiasa muncul permasalahan yang membutuhkan perhatian pemerintah, sebahagiannya merupakan permasalahan yang tidak diatur secara jelas oleh naṣ, seperti permasalahan wasiat wajibah kepada anak angkat. Secara realitas aturan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap anak angkat. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan permasalahan ini dengan membentuk suatu ketentuan hukum yang dianggap tepat dan solutif. I. Syar’u Man Qablana Secara istilah syar’u man qablana merupakan syariat yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad, dan kepada umat Nabi Muhammad dianjurkan untuk mengamalkan selama tidak dalil yang melarangnya.95 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa syari’at umat terdahulu yang dibawa oleh nabi-nabi mereka masih dapat berlaku kepada umat kemudian, selama tidak dalil yang melarang atau menolak perbuatan tersebut. Dalam realitas hukum yang berlaku bagi umat Islam, terdapat beberapa amalan yang sama dengan umat nabi terdahulu. Seperti pelaksanaan haji dan umrah, menyembelih qurban, puasa dan lain sebagainya. Hukum-hukum tersebut pernah berlaku kepada umat terdahulu, dan ternyata juga berlaku bagi umat Islam. Syar’u man qablana mempunyai dasar hukum dari Alquran yaitu QS. Albaqarah ayat 183 yang berbunyi:
َ َ ﻛﺘﺐ ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ َ ْ ِ ﻋﻠﻰ ﱠ َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ َ ِ ُ ﻛﻤﺎ َ ِ ُ ﺃﻣﻨﻮﺍ ْ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ُ ُ ْ َ َ ﻛﺘﺐ َ َ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ َ َ َﱡ َ َ ّ ِ ﻋﻠﻴﻜﻢ .ﺗﺘﻘﻮﻥ َ ْ ُ ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ ْ ُ َِْ ْ ُ َ َ َ ﻗﺒﻠﻜﻢ Artinya: Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukam fi Ushūl al-‘Aqdiyyah wa Manahij alAhkām, (Beirut: t.p, tt), h. 35. 95 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, h. 162. 94
Universitas Malikussaleh
81
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Albaqarah: 183)
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban berpuasa bagi umat Islam, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu supaya memperoleh ketaqwaan. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kewajiban puasa tidak hanya diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad Saw, namun juga kepada umat nabi terdahulu. Ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa merupakan bagian dari syari’at nabi terdahulu yang berlaku kepada umat Islam. Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum Islam disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui Alquran, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat Islam terikat dengan hukum-hukum tersebut. Ada dua landasan yang dipegang ulama untuk mendukung argumen di atas, yaitu: 1. Pada dasarnya syari’at adalah satu, datang dari Allah Swt. Karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an juga berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Syura ayat 13 yang berbunyi:
ﺇﻟﻴﻚ ْ َ ْ َ ﻭﺍﻟﺬﻱ َ ِ ﻟﻜﻢ ِ ﻧﻮﺣﺎ َ ﱠ َ ْ َ ِ ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ ِ ِ ﻭﺻﻰ ً ْ ُ ﺑﻪ َ ََ ﺍﻟﺪﻳﻦ َﻣﺎ َ ﱠ ْ ُ َ ﺷﺮﻉ ِ ْ ّ ِ ﻣﻦ َﺍﻟﺪﻳﻦ َﻭﻻ ْ َ ,ﻭﻋﻴﺴﻰ ْ ﻭﻣﺎ َ ﱠ َ ْ ّ ِ ﺃﻗﻴﻤﻮﺍ ِ ِ ﻭﺻﻴﻨَﺎ ْ ُ ْ ِ َ ﺃﻥ َ ْ ِ َ ﻭﻣﻮﺳﻰ َ ْ ُ َ ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ َ َ َ ْ ِ َ ْ ِ ﺑﻪ َ َ ﻛﺒﺮ ﻳﺠﺘﺒﻰ َ ْ ِ ِ ْ ُ ْ ﻋﻠﻰ ِ ْ ِ ﺗﺘﻔﺮﻗﻮﺍ ِ ْ َ ِ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ ُْ َََ ﱠ ْ ُ ْ ُ ْ َ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ َﻣﺎ َ ُ َ ,ﻓﻴﻪ ِ َ ْ َ ُV َﺍ,ﺇﻟﻴﻪ ْ َ ﺇﻟﻴﻪ ْ َ ﺇﻟﻴﻪ .ﻳﻨﻴﺐ ِ ْ َ َ ﻳﺸﺎء ِ َِْ ِ ْ َ ِ ﻭﻳﻬﺪﻯ ُ ْ ِ ُ ﻣﻦ ُ َ َ ﻣﻦ Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
82
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Swt telah menurunkan syari’at kepada Nabi Muhammad, berupa syariat yang telah pernah diwahyukan kepada Nabi Nuh as, Ibrahim as, Musa as, dan Isa as, yaitu agama yang mengesakan Allah Swt. Dari itu dapat dipahami bahwa syari’at Islam dan syari’at sebelumnya memiliki kesamaan, sehingga memungkinkan untuk berlaku kepada umat Muhammad. Namun demikian tetap ada pengecualian terhadap halhal yang telah dibatalkan atau di revisi oleh ketentuan syari’at Nabi Muhammad Saw. 2. Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti syari’at para nabi terdahulu. Ini menjadi alasan lainnya yang mendukung keberlakuan syari’at umat terdahulu. Hal ini seperti diisiyaratkan oleh QS. Al-Nahl ayat 123 yang berbunyi:
ﺍﺗﺒﻊ ِ ﱠ ﻣﻦ ْ َ ْ َ ﺛﻢ َ َ ﻭﻣﺎ َ ِ ﻛﺎﻥ ٍ ْ ِ َ ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ َ ْ َ ِ ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ ْ ِ ﺃﻥ ﱠ ُﱠ َ َ ,ﺣﻨﻴﻔﺎ ِ َ ﺇﻟﻴﻚ َ ْ ِ َ ْ ِ َﻣﻠﺔ .ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ َ ِْ ِْ ُ ْ Artinya: Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” QS. An-Nahl: 123.
Ayat di atas menunjukkan adanya perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, lalu Allah menegaskan bahwa Ibrahim membawa agama hanif, dan ia sama sekali bukan orang musyrik. Keberlakuan syari’at Nabi Ibrahim dalam syari’at Islam terlihat jelas lewat beberapa ritual yang dilakukan oleh umat Islam selama ini, seperti haji, qurban, adab-adab dalam melakukan sembelihan dan lain sebagainya. Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. seperti firman allah dalam surat al-An’am (8) : 146 yang berbunyi: Universitas Malikussaleh
83
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
ََ َ ﺣﺮﻣﻨَﺎ ُ ﱠ َ ْ َ ﺍﻟﺒﻘﺮ ﻭﺍﻟﻐﻨ َِﻢ َ ْ ِ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﱠ َ ِ َ , ﻅﻔﺮ ْ ﻫﺎﺩﻭﺍ َ ﱠ ْ ُ َ ﺬﻳﻦ ٍ ُ ُ ﻛﻞ ِﺫﻯ ِ َ َ ْ ﻭﻣﻦ ْ َ َ َ ﺷﺤﻮﻣﻬﻤﺎ ِﺇﻻﱠ َﻣﺎ ﺃﻭﺍﻟﺤﻮﺍﻳﺎ ْ َ ﱠ َ َ َ ْ ِ َ ﻅﻬﻮﺭﻫﻤﺎ ْ ِ ْ َ َ ﺣﺮﻣﻨَﺎ َ ُ َ ْ ُ ُ ﻋﻠﻴﻬﻢ َ ُ ُ ُ ُ ﺣﻤﻠﺖ َ َ َ ْ ﺃﻭﻣﺎ .ﻟﺼﺎﺩﻗﻮﻥ ْ َ َ ﺫﺍﻟﻚ َ ْ ُ ِ َ َ ﻭﺇﻧﺎ ﱠ َ ِ َ ,ﺑﻌﻈﻢ ٍ ْ َ ِ ﺍﺧﺘﻠﻂ ْ ِ ِ ْ َ ِ َﺎﻫﻢ ْ ُ ﺟﺰﻳﻨ ِ َ ,ﺑﺒﻐﻴﻬﻢ َ َْ Artinya: dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku96 dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.
Ayat ini mengisahkan tentang makanan yang diharamkan Allah kepada orang Yahudi dahulu. Namun hal itu tidak berlaku kepada umat Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-An’am (6): 145 yang berbunyi:
ُ َ َ ﻣﺤﺮﻣﺎ ْ َ ﻳﻄﻌﻤﻪُ ِﱠﺇﻻ ُْ ﺃﻥ ٍ ِ َ ﻋﻠﻰ ُ َ ْ َ ﻁﺎﻋﻢ ً ﺃﻭﺣﻰ َِﺇﻟﻲ ُ َ ﱠ ِ َ ﻗﻞ َﻻ َ ِ ْ ﺃﺟﺪُ ِﻓﻰ َﻣﺎ ً ْ ِ ْ َ ﺭﺟﺲ ﺧﻨﺰﻳﺮ َ ِ ﱠ َ ْ َ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﻭﻓﺴﻘﺎ َ ُْ َ ً ْ ُ ْ َ ﺃﻭﺩﻣﺎ ٌ ْ ِ ُﻓﺈﻧﻪ ً َ ْ َ ًﻣﻴﺘﺔ ٍ ْ ِ ْ ِ ﻟﺤﻢ َ ْ َ ﻣﺴﻔﻮﺣﺎ َْﺃﻭ َ َ ٍﻏﻴﺮ َﺑﺎﻍ ﻋﺎﺩ َ ِ ﱠ ُِ ﱠ ّ ﻓﺈﻥ َ ﱠ ٍ َ ﻭﻻ ﺭﺑﻚ ِِ ﷲ ﻓﻤﻦ ْ ُ ﱠ ِ ﻟﻐﻴﺮ َ ْ َ ﺍﺿﻄﺮ ِ ْ َ ِ ﺃﻫﻞ ِ َ َ ,ﺑﻪ .ﺭﺣﻴﻢ ٌ ُْ َ ٌ ْ ِ ﻏﻔﻮﺭ ﱠ Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -
Yang dimaksud dengan binatang berkuku di sini ialah binatangbinatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa dan lain-lain. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan hewan yang berkuku satu seperti kuda, keledai dan lain-lain. 96
84
Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Kandungan ayat ini adalah tentang pembatalan hukum haram memakan binatang yang berkuku, sapi dan domba yang pernah berlaku bagi umat Yahudi terdahulu. Untuk umat Islam binatang-binatang tersebut halal dikonsumsi, kecuali babi, darah, bangkai dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Karena hal itu kotor dan tidak layak dikonsumsi. b. Hukum-hukum yang dijelaskan dalam Alqur’an maupun hadis nabi yang disyariatkan kepada umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya. Seperti kewajiban puasa, hal ini sebagaimana dipahami dari kandungan Qs. Albaqarah ayat 183 yang berbunyi:
َ َ ﻛﺘﺐ ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ َ ْ ِ ﻋﻠﻰ ﱠ َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ َ ِ ُ ﻛﻤﺎ َ ِ ُ ﺃﻣﻨﻮﺍ ْ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ُ ُ ْ َ َ ﻛﺘﺐ َ َ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ َ َ َﱡ َ َ ّ ِ ﻋﻠﻴﻜﻢ .ﺗﺘﻘﻮﻥ َ ْ ُ ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ ْ ُ َِْ ْ ُ َ َ َ ﻗﺒﻠﻜﻢ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan pula kepada umat Nabi Muhammad Saw untuk memperoleh ketakwaan. c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Alquran dan Sunnah. Ulama sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat Islam. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Alquran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu: Universitas Malikussaleh
85
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
1) Dinasakh oleh syariat Islam, tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh pada syari’at nabi Musa as pakaian yang terkena najis tidak suci, kecuali dipotong apa yang kena najis itu. 2) Dianggap syariat Islam melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat Islam atas kesepakatan ulama. Contohnya perintah menjalankan puasa. 3) Tidak ada penegasan dari syariat Islam apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat Islam. Contohnya ketentuan qisas, yaitu balasan serupa yang pernah berlaku dikalangan umat Yahudi. Nyawa dibalas dengan nyawa, jari dibalas dengan jari dan seterusnya. Namun ketentuan ini tidak dinyatakan secara tegas berlaku kepada umat Islam, maka boleh saja diberlakukan jika tidak ada larangan dan mempunyai nilai maslahat. J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) Pengertian qaul sahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.97 Setelah wafatnya Rasulullah Saw tampillah para sahabat yang memiliki wawasan yang luas dalam bidang fiqh dan lainnya untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw dan senantiasa bergaul dengan beliau dalam kesehariaannya. Rasulullah senantiasa menginternalisasikan nilai-nilai Islam kepada para sahabatnya melalui ucapan, perbuatan maupun pengakuan. Sehingga muncullah generasi emas pada waktu itu yang terdiri dari para sahabat. Selain menguasai ilmu yang luas, para sahabat juga memiliki kepribadian yang luhur. Ketika itu beberapa sahabat telah dipercaya oleh beliau untuk menjadi mufti diberbagai wilayah, seperti Muaz bin Jabal yang ditunjukkan sebagai mufti untuk negeri Yaman. Setelah wafatnya Rasulullah, tugas memberikan fatwa beralih kepada para sahabat. Setiap munculnya permasalahan, para sahabat berfikir dan bermusyawarah untuk menyelasaikannya. Di sinilah muncul berbagai pandangan dan pendapat para sahabat. Terkadang mereka mempunyai pandangan yang sama, namun tidak jarang mereka berpendapat berbeda. Pendapat para sahabat ini disebut juga 97
86
Satria Effendi, Ushul Fiqh..., h. 169. Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
“Qaul Sahabi” yang belakangan menjadi salah satu kaidah pembentukan hukum dalam usul fiqh. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in cukup memperhatikan riwayat, takwil maupun fatwa dari para sahabat. Di antara mereka ada yang mengklasifikasikannya bersama sunahsunah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam. Maka tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat merupakan hujjah (dalil) bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah Saw. Contohnya pernyataan Aisyah ra tentang lama masa kehamilan, beliau berkata; Tidaklah berdiam kandungan (bayi) dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun. Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad, karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah Saw. Maka dianggap sebagai Sunnah meskipun pada dzahirnya merupakan pernyataan sahabat. Pendapat sahabat tentang hukum atau lainnya dapat menjadi hujjah, karena pendapat mereka cukup dekat dengan maksud Rasulullah Saw, mereka merupakan orang hidup bersama Rasulullah dan mengetahui persis maksud dari ucapan dan pengamalan beliau. Salah satu ketentuan hukum yang tergolong kepada qaul sahabi adalah kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan ini pertama sekali dikemukakan oleh Abu Bakar, dan sahabat-sahabat yang lain tidak membantah, bahkan menyetujuinya. Pendapat para sahabat menjadi pegangan bagi penetapan hukum, baik bagi kalangan sahabat sendiri maupun umat Islam sesudah mereka. Abu Hanifah mengemukakan bahwa apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka akan mengambil pendapat para sahabat yang dikehendakinya dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak dikehendaki. Namun, beliau tidak keluar dari pendapat sahabat yang sesuai dengan yang lainnya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat Universitas Malikussaleh
87
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
lain. Alasannya pendapat mereka merupakan hasil ijtihad perseorangan dari orang yang tidak maksum (tidak terjaga dari dosa). Di samping itu, para sahabat juga dibolehkan menentang pendapat sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari Alquran dan Sunnah atau dari pendapat yang sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan di antara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.98 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa qaul sahabi merupakan pendapat tentang hukum yang berasal dari sahabat, yang merupakan hasil ijtihad mereka. Sedangkan pendapat mereka mengenai ucapan, kelakuan dan pengakuan Rasulullah Saw tidak disebut sebagai qaul sahabi, melainkan itu adalah Hadis. Pendapat sahabat kedudukannya diurutan kelima dari hujjah syar’iyyah setelah Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat sahabat perlu dirujuk dalam penetapan hukum, karena mereka merupakan orangorang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw dan paling faham dengan tingkah laku beliau.
⍝
98
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 141-
142.
88
Dr. Munadi, MA
Penutup
BAB VI PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Usul Fiqh merupakan suatu ilmu yang membahas tentang metode istinbath hukum Islam oleh para ulama. Dengan adanya metode tersebut, maka kedudukan hukum Islam menjadi senantiasa dinamis dengan perkembangan zaman. Hukum Islam tidak mengalami stagnan maupun uot to date dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat tanpa henti saban waktu berkat adanya kaidah usul fiqh. Seiring perkembangan zaman, ilmu usul fiqh dan subtansinya juga terus dikembangkan oleh para ulama. Perkembangan tersebut terlihat dari ulasan sejarah ilmu usul fiqh sejak pertama sekali dibukukan oleh Imam Syafei pada abad ke-2 Hijriah hingga sekarang. Kaidah baru dalam usul fiqh terus saja muncul untuk menjawab berbagai persoalan. Di satu sisi perkembangan ini merupakan tuntutan zaman, namun di sisi yang lain perkembangan ini merupakan bentuk kesungguhan dan kreatifitas para ulama dalam mengemas kaidah usul fiqh.
⍝
Universitas Malikussaleh
89
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
This page is intentionally left blank
90
Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA ‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd al-Mutadhammin li al-Taisir, Juz 1, (Madinah: Jamiah al-Islamiyyah, 2003). ‘Ali Hasballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islamy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1997), Cet. 7. A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: al-Ma’arif, 1994). Abd al-Rahman al-Taj, Al-Siyasah al-Syari’ah wa Fiqh al-Islamy, (Kaherah: al-Azhar, 1415 H). Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972). Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fî Ma La Nas Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), Cet. VI. Abdul Ahmad al-Atwah, Al-Madkhal ila al-Siyasah al-Syari’ah, (Riyadh: Jamiah al-Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah, 1994). Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Abdul Wahab Khallaf, Siyasah Syar`iyyah Aw Nizam al-Daulah Islamiyah Fi Syuun al-Dusturiyah wa al-Kharijiah wa alMaliyah; (Kaherah: Dar al-Ansar, 1982). Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003). Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam, Persepsi Fiqh Siyasah Tentang Pola Hubungan Agama dan Negara, “Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011. Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam, Dalam Jurnal Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011 (Jakarta: Dirjen Pendis, Kemenag RI), . Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah..., h. 120. Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maṣlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maṣlahah-Mursalahdan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Universitas Malikussaleh
91
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008). Al-Syaṭibi, al-I‘tiṣam, Jilid II, (Riyaḍh: Maktabah al- Riyaḍh alḤaditsah, t.th.). Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an, Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah, 2001), Cet. I. Amir ‘Abd al-‘Aziz, Uṣul al-Fiqh al-Islami, JilidII, (Qahirah: Dar alSalam, 1997/1418), Cet I. Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos, 1999). Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Badran Abu al-Ainain, Uṣul al-Fiqh al- Islami, (Iskandariyyah: Muassasah Shahab al-Jami‘ah, t. th.). Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996). Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444. Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Ḥusain Ḥamid Ḥasan, Naẓariyyat al-maṣlaḥah fī al-Fiqh al- Islami, (Qahirah: Dar al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1971). Ibn Abidin, Hasyiah Radd al-Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Juz 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992). Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, tt). Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukam fi Ushūl al-‘Aqdiyyah wa Manahij alAhkām, (Beirut: t.p, tt). Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: t.p, tt). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamīn, Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991). 92
Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka
Imam Ahmad, Musnad li al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dar-AlHadis, 1995). J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New York University Press, 1959). Jamal al-Din al-‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqaṣid al-Syari’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001). Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006). Lihat Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. 2. M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998). Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1997), Cet. 10. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 2000). Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic University, 2011), h. 140. Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986). Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. 1 (Bandung: Alma‘arif, 1986). Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996). Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998). Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999). Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Universitas Malikussaleh
93
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998). Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1. Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Edisi 2 (Jakarta: Rajawali, 1982). Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001). Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali Press: 1995). Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996). Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushūl al-Fiqh, Cet. 1, (Damsyiq: Dar alFikr, 1999). Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1987). Wahbah Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al- Islami, JilidIII, (Beirūt: Dār al-Fikr alMu‘āṣir, 1998). Yusuf al-Qaradhawi, Al Fatwa Bain al Indhibath wa al-Tasayyub, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt). Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt). Yusuf al-Qaradhawi, Hadyul Islam Fataw al-Mu’ashirah, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt). Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syariah, (Beirut: Dar al Syuruq, tt). ⍝
94
Dr. Munadi, MA
Riwayat Penulis
RIWAYAT PENULIS
Dr. Munadi, MA. Lahir di Pidie pada 10 Agustus 1983, anak keempat dari enam bersaudara. Pendidikan dasar sampai menengah atas ditempuh di tempat kelahirannya di Kota Bakti, kemudian melanjutkan pendidikan non formal pada Pondok Pesantren MUDI Mesjid Raya Samalanga (1998-2009). Pendidikan sarjana dalam bidang hukum Islam diselesaikan pada IAI Al-Aziziyah Samalanga (2005-2009), sedangkan pendidikan Magister (2009-2011) dan Doktor (2012-2017) dalam bidang yang sama diselesaikan pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saat ini penulis bekerja sebagai Dosen Tetap pada IAIN Lhokseumawe, dan sebagai dosen luar biasa pada IAI AlAziziyah Samalanga. Penulis aktif dalam berbagai organisasi keulamaan seperti Nadhlatul Ulama (PWNU Aceh) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB HUDA). Beberapa karya ilmiah yang telah diterbitkan dalam bentuk buku antara lain; (1) Diskursus Hukum LGBT di Indonesia, (2) Kodifikasi Tindak Pidana Ta’zir, (3) Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat, dan (4) Pengantar Ilmu Usul Fiqh. Selain itu penulis juga aktif menulis artikel dalam bentuk jurnal dan opini dengan tema hukum Islam dan lainnya.
⍝ Universitas Malikussaleh
95
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
This page is intentionally left blank
96
Dr. Munadi, MA