Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik I
Disingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan , aktivitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma
+ Bila diternukan 1 atau lebih dari :
+
I
Hematuria mikroskopik + proteinuria** Eritrosit dismolfik , silinder eritrosit Peningkatan kreatinin serum dari normal
I
(-1
+
ada riwayat sebagai berikut : Merokok pekejaanberhubungan dengan bahan kimia (amin aromatik) riwayat gross hematuria Usia > 40 tahun
v
Evaluasi penyakit ginjal primer
gangguan pengosongan kandung kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang
1 Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik
lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau tidak.
Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan Trombosis atau emboli arterial Malforrnasi arteri-vena Fistula arteri-vena Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis Glomerular Nefropati IgA Alport sindrom Glomerulonefritisprimer dan sekunder lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf Uroepltellum Keganasan ginjal dan saluran kemih Latihan yang berlebihan Trauma Nekrosis papillaris Sistitisluretritislprostatitis(biasanya disebabkan infeksi) Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis) Nefrolitiasisatau batu vesika urinaria Penyebab Lalnnya Hiperkalsiuria Hiperurikosuria Sickle cell diseaselpenyakit sel sabit
Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematllria juga merupakan variasi dari glomerulonefritis. Pada kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi dini. Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi. Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, IVU, CT scan atau MRI.
Apablla dltemukan protelnuria yang bermakna, hematuria, silinder erltroslt, insufisiensl ginjal atau dltemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dlsmorflk, segera dilakukan evaluasi kelainan parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Erltrosit
200-1.000 -< 200 mglg
hereditary nepk Hereditary nept small vessels (r Cystic kidney d neoplasms or u other than kidn~ Tubulointerstiti~ Urinary tract les disease May be present disease, but mc tubular necrosi: kidney disease failure)
200-1.000 mglg
Non-inflammatc disease, non-in tubulonterstitial affecting mediu
Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002) Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sedil obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in p proliferative glomerulonephritis. ** Oval fat bodies, fatty casts, free fat + Cut-off values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells. WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnorms abnormality may or may not be present *
I
+
paslen dengan hamaturia aslmptomatlk adanya tanda-tanda sugestif penyakit ginjal plmer 1
+ risiko linggi I I Pasien dengan
I Pasisn dengan risiko rendah]
I
I
+
pemeribaan IVU (urografi intravenous ) I
I fi
I
I
I Pemeriksaanlengkap IVU, sitologi j I
AA
Sitologi
Posilif
Ne atif
urinalisis,tekanan darah, sitologi ulang pada 6. 12, 24. 36 bulan
Evaluasi urologl
L Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik
evaluasi
Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonMs principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 211-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001. KlDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. evaluation, classification, and stratification. Part 5. Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease: clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd edition.2004.p. 1107- 12. Sukandar E. Masalah umum glomemlopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3* edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.
PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier
PENDAHULUAN Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2),tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalamjumlah yang bemariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalarn urin sangadah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 33%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya d i atas 200 mglhari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mghari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein
plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus
PATOFISIOLOGI PROTEINURIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin. 2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi. 3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. 4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel clan sekresi IgA (Irnunoglobulin A) dalam respons untuk inflamasi. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalarn urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
'
'
Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil P-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida. Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (>lo0 kDal) sementara foot processes dari epitellpodosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang krmuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bennakna. Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.
PROTElNURlA FlSlOLOGlS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainanlpenyakitginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan transfusi darahlplasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik (ortostatik proteinuria).
PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mglhari. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalarn urin yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa atau 40 mglm2/jampada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 gram124jam. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overj-low proteinuria.
PROTElNURlA GLOMERULUS Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomeruluslfraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik
dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan dikntukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan > 1glhari.
PROTEINURIA TUBULAR Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.
OVERFLOW PROTEINURIA Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel ) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gagal ginjal dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.
Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mgl hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis prolqeratif mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi
juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana meilgukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa kadar terendah yang hams dicapaj. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa dipe~igaruhifaktor-faktor risiko lain kardiovaskular. Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-11. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.
PROTEINURIA TERlSOLASl Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%. Proteinul-ia terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak, termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.
Proteinuria Fungsional Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien ini. Proteinuria Transien ldiopatik Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenamya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut. Proteinuria Intermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomeruluslinterstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adaiah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasany a tidak berbahay a pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan fungsi ginjalnya.
Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegaklortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari harnpir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selamafase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15%kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi mum. Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sarnpai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elekwon menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewamaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaMah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada
pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius. PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjaypenyalut sistemik yang menjadi penyebabnya. a Jika ditemukan tanda-tanddgejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa. b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dudtiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang . 2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN),heatinin dan klirens kreatinin, ukw ekskresi protein urin 24jam, USG ginjal dan tes protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali: a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun proteinuria (NB) b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk menyingkirkan proteinuria intenniten. a. Jika proteinuria intenniten. Pasien dewasa muda umur kurang dari 30 tahun, hams di-follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow up tiap 6 bulan. b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria <3 gram/24jam, perlu dikonfirmasi dengan imaging ginjal yang cukup untuk menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel rnieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. 2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram/24jam, lanjutkan ke-I A.
Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mgl hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
Proteinuria (Deteksl dengan dipstick)
dan mikroskopis urin
Bukti penyaklt ginjallsistemik
TlDAK ADA
Fungsi ginjal dan USG: Normal
Fungsi ginjal dan USG: abnormal
Prote~nuna ortostatiklpostural
Protelnuna
I
I
I
Test lain (-) F o l l o w u tiap ~ 1-2 thnl
I
U l a n g urin kwantitatif2-3x
Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria
1
Ekskresi protein urin 24 jam Atau rasio proteinlkreatinin urin pagi (mglg)
30-300 mghari atau 30-350 mglg
>3500 mglhari atau > 3500 mglg
300-3500 mglg
Keteranaan aambar:
/
Mikroalbuminuria
-'Awal diabetes melltus Hipertensi essensial - Stagingltingkat awal olomemlonefritis
-
(Terutama bila disertal silinder eritmsit atau
Silinder eritrosit I sel-sel darah merah oada urinalisis
Pendekatan pasien dengan proteinuria. Perneriksaan proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada perneriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional mendeteksi rnayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mgthari.
hematuria
kelainan dibawah ini
-Amiloidosis m:
- Penyakit !esi minimal - FSGS (Fokal Segmental - Proteinuria postural - Gagal jantung kongestif - Glomerulosklerosis) Glomerulonefritis membranosa - Demam - MPGN (Membranoproliferativ - Proteinuria intermiten
Glomerulonefritis)
I
/\
Horsfall I 1 - p mikrobulin 1
~ , 7 A q * l (temtamaalbumin) lrnenaaambarkan berberbaaa~sebab - Penyaki lesi kmtk-protein ~i~erte&i 'minimal plasma) - Gagal ginjal kronik - FSGS I- Diabetes I I
1I
I
I
I1-
I
I
rantai pendek (Ka t y A )
(
'
I
I
Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagitkreatinin (mglg). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagia'n dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringantpendek kappallambda telah siap disaring karena ukurannya yang kecil. FSGS
: Fokal Segmental ~lomerulosklerosis
MPGN
: Membrano proliferatif Glomerulonefritis
Gambar 2. Skema evaluasi proleinuria
Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5. Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S16-S7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine.15th edition. New York: The ~c~rab- ill; 2001; p. 266-8. Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co; 1996, 1981. 2003, 1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascular/renal risk marker, put also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:SZ-S6. Hoy W, McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S3 1. ~a'cobsonHR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056. Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology., London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managing patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.
Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an oniinous biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66 (supp1.92): S76-S89. Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: non diabetic nephropathies (REIN). . Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7. Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int.
2004:66:(suppl.92):S67-S78. Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997. Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion predicts de ilovo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S18S21. Warnock DG. Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92): S 12143.
SINDROM POLIURIA Shofa Chasani
Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter1 hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi dan lain-lain. Menurut Brenner poliuri dibagi 2 rnacam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literhari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan. Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus mempakan penyebab yang sering terjadi. Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.
Tujuan 1. Mampu menerangkan definisi poliuria 2. Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik karena faktor osmotik rnaupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya. 5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan poliuria.
Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osrnolalitas cairan tubuh. Osrnolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsrn/kg, tergantung adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan air bebas. Bila kemampuan ginjal untuk mernekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain: 1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior 2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiuerosrnotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan air kemih yang maksirnal, tidak peduli berapa banyak ADH yang tersedia dalam tubuh; 3. Ketidak rnarnpuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin 2 (V2) merniliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif rnaka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme urnpan balik osrnoreseptor ADH dapat dilihat pada Gambar 1.
SINDROM POLIURIA
-
DIABETES INSIPIDUS
eDefisit air
TSekresi ADH oleh hipofisis Posterior TADH plasma
f Perrneabilitas H20 Tubulus distal dan tubulus koligenitas
f Reabsorbsi H20
Garnbar 1. Mekanisrne urnpan balik osmoreseptor ADH
A
A
t
Cortex
Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADHIAVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bik mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipematremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik d m hal ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi menjadi: 1. CDI (diabetes insipidus sentral) 2 Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI) 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogeniW psychgenic polydipsi)
ETlOLOGl CDI
1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal dominant,AVP-Neurophysingene mutation. 2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake venom) 3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 4. Neoplastik (craniopharyngioma,germinoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis). 5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) 6. Trauma (neurosurgery, deceleration injury) 7. Vaskular (cerebralhemorrhage or infarction, brain death)
ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION
Garnbar 2. Mekanisrne pernekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)
1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 2 Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, meningioma, metastasis) 3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/ ligation, intrahypothalamic hemorrhage)
4. Other (hydrocephalus, ventricularlsupersellar cyst, trauma, degenerative deseases). 5. Idiofatik ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISh4"
2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).
PREGNANCY PATOFlSlOLOGlOSMORECEPTORDYSFUNCTION E'I'IOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) Hypercalcemia. Hypokalemia. Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). Vascular (sickle cell anemia). Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral ureteral obstruction) Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium, radiocontrast dyes) Idiophatic.
ETIOLOGI PRIMARY POLYDlPSlA Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restring of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).
PATOFlSlOLOGl CDI Pada umumnya basal AVP hams turun kurang dari 10 -20% dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang dari 300mOsm/kg H 2 0 dan aliran urin naik ke level sirnptomatik (>50 mllKgBW1day). Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga tejadi polidipsi. Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasi AVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu: 1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.
Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus. Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP juga terganggu, walau respons hormonal terhadap rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan I atau respon sekresi AVP : Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi AVP yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas antara 300- 340 mOsmlKg H20.
GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational DI. Hal ini dapat karena aktivitas enzyme - juga "cystine aminopeptidase" (oxytocimeatau vasopressinase) yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi. DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor agonist karena resisten terhadap degradasi oleh oxytosinase atau vasopressinase.
NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI) NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP. Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan
genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier padit wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptor AVPV2. Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang teqadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam: 1. IdiopatiMfamiliaVgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). 2 ~ i d a ~ a Akibat t: obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia,hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia). Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefritis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gagal ginjal h n i k , rnieloma multipel,penyakit sjogren,nefmpati analgetik).
Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunaxx air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.
encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidjpsi dan poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake air dan output urine cendemng fluktuatif, kadang hisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".
DIAGNOSIS KLlNlK
-
Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 literhari Secara umum NDI mempunyai gejala klinis sering haus akan air dingin, nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsrnIKg dan berat jenis urin <1.005 dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan percumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya, letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun pertama kehidupannya. Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah 3:2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun. 5-10% pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu: awalnya poliuritfase hipotonik, diikuti peningkatan kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes insipidus permanen. Tes Pemekatan Air Kemih Adanya peningkatan serum natrium (>143meqA) Berat jenis air kemih yang rendah Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan kadar vasopresin yangtinggi. Bila ketiga keadaan di atas terjadi rnaka diagonis NDI . bisa ditegakkan. 'Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).
POLlDlPSl PRIMER
Tes Genetik Gen-gen yang ditemukan sarnpai sekarang adalah AVPV2 dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal resesif dan autosomal dominan.
Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake airyang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer (Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi
Tes Penunjang Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.
TERAPI Untuk . :semua jenis diabetes insipidus secara umum adalah: 1. Koreksi setiap defisit air. 2 Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin. Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes insipidus.
MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS 1. Air: TBW = 0,6 x premorbid weight x (1- 140/Na) 2. Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin) 1-Deamino-8-D-argininvasopressin(Desmopressin, DDAVP) 3. Antidiuresis-enhancing agents: Chlorpropamide Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin, ibuprofen,tolmetin) 4. Natreuretic agents: Thiazide diuretic Arniloride. 5. OAINS (obat anti inflammasi non steroid).
Koreksi Air Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI maka secepatnya osmolality plasma hams diturunkan dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H20 atau mendekati 50%. Arginin Vasopressin (Pitressin) Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlrnl aqua. Mempunyai short-half life relative (2-4 jam lamanya efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI, dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol. Efek samping: meningkatkan tekanan darah. Desmopressin DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai halflife yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik)dqn tanpa adanya aktivasi AVP V 1. Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun kronis CDI. Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua, nasal spray 10 mg dalam 0,1 ml. atau dosis oral 0,1 atau 0,2
mg. Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau
intramuskularlsubkutan dengan kemasan 4 mglml. Pemberian parenteral jauh lebih baik 5- 10kali dibandingkan intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2 mg tiap 8- 12jam.
Chlorpropamid (Diabenese) Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal. Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria hingga 25-75% pada pasien dengan CDI. Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresiAVP di pitutari. Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek antidiuretika 1-2hari dan maksimum 4 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan anak-anak, serta bukan untuk kasus akut. Prostaglandin Synthese Inhibitors Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang efekAVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan NDI. Natriuretic Agents Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun terapi utamanya untuk NDI. Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering digunakan pada penderita NDI. OAINS Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid. Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik maupun kelainan sekresi asam lambung. Mengingat efek samping indometasin (penghambat siklooksigenase-l1Cox- 1), maka penggunaan penghambat Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun belum ada penelitiannya. PENGOBATAN PADA KEADAAN TER'TENTU 1. Pengobatan darurat pada dehidrasi. 2 Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan bedah. 3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis, hidroureter dan megakistik.
4. Penanganan sewaktu masa pertumbuhan 5. Penanganan perkembangan psikomotor.
PENDEKATAN KLlNlK PADA PASIEN POLlURl Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kin menunjukkan gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan diuresis osmotik. (Gambar 3)
2. Gangguan reabsorbsi natrium di tubulus sehinga terjadi kehilangan natrium dalamjumlah banyak dalam urin. 3. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH. 4. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri. 5. Pembersihan solute di dalam medulla, hal ini diperlukan kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient hipertonik didalam interstitial ginjal. Selma fase poliuria akan banyak kehilangan natrium dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan penanganan dan pengawasan yang ketat.
POLlURlA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT (GGGAIAKI = ACUTE KIDNEY INJURY) Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin sehingga disebut fase keluaran tinggi (high output phase) atau fase diuresis. Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga hanya berupa cairan saja. Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA antara lain : 1. Filtrat solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi oliguri misalnyaureum yang merupakan zat aktif secara osmotik.
1
POLlURlA PADA HlPOKALEMl Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme terjadinya poliuria karena hipokalemi antara lain : Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan. Menghambat respons ADH. Polidipsi primer. Merubah pelepasan ADH. Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal. Mengurangi medullary solute
I Langkah 1: bagalmena osomolaliis urin?
Apekah PneM40 mmolll
Cukupkahosmules yang disaring?
DIABETES INSIPIDUS
-1 POLIDIPSI
Langkah 3a: Respon terhedap Vasapresin?
1
, 1
DIABE;E;ZPIDUS~
,
TlDAK
1 ,
Lengkah 3b: Pen'ksaosmoles di urin dan tentukan sumbemya
Lnngkah4: Respon temadap DDAVP
VASOPRESIN
DIABETES INSIPIDUS NEFROGENIK
Glukosa Urea Moniiol -
-
Gambar 3. Algoritme poliuri
- Diuresis air inteniten - Delek ginlel mengkonsenvasikan
REFERENSI Edoute,Y, Davids,M.R, J0hnston.C. Halperin,M.L. An integrative physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a .patient with schizophrenia. Q J 'Med.2003. 96: 53 1-40. Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65. Halperin,M,L. Davids M,R, and Kame1,K.S. Interpretation of urin electrolyte and Acid-Base Parameter io Branner,B,M & Rector's, The Kidney, Seventt Edit, Vol2. Chapter 25. WB Saundm.UX)4: 1151- 81. Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent night-time voiding. The Joumal of Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 4. Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews, www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.
-
Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book. Copy right. 1992. 70 - 90. Lazorick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. httpIIwww.med.unc.edu/ medicine/web/diabetesinsipidus.htm.February. 2005. '1-5. Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ, Bennet L. Polyuria and impaired renal blood flow after. asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 286. 2004: ~ 5 7 6 - ~ 5 8 3 . Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solairnani M. Early polyuria and urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J Physiol Renal Physiol. 279: F655-663. 2000. Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Flight Edit. 2007. Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc Nephrol; 14;2003;2188-98.
GLOMERULONEFRITIS Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasamya berasal dari ginjal sendiri sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),mieloma multipel, atau arniloidosis. Di Indonesia GN masih mempakan penyebab utama PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi klinik GN sangat bemariasi mulai dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif cepat.
Glomerulonefritisadalah penyakit akibat respon imunologk dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan deposit in-situ dapat berasal darikomponen membran basal glomerulus (MBG) sendiri vied-antigen) atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen). Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu terbentuknya antibodi (Ab) spesifik,kemudian membentuk kompleks irnun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian
berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag nonglomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anionik glomemlus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated immunity). Studi eksperimentalmembuktikan bahwa sel T dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.
-
KERUSAKAN GLOMERULUS PADA GN Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi,dan komplemen berperan pada kerusakan glomemlus. Kemsakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen clan sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa keterlibatan sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. K e ~ ~ a k glomerulus an dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells). Pada sebagian GN, endapan kompleks imun a b n memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif @an tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau glomerulosklerosisfokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan jumlah endapan serta jenis Ab berpengaruh terhadap k e ~ ~ a k glomemlus. an
i
PROSES INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and rolling). Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD3 1 atau PECAM-1 (platelet-endothelial cell adhesion molecule-I) yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh VLA-4 (very-lateantigen 4) pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1) pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-1 (lymphocyte function-associated antigen-I) pada permukaan sel inflamasi dan ICAM- 1 (intracellularadhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah rnigrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada GN.
Selectins E-selectin 1-selectin P- selectin
19-like family ICAM-1 ICAM-2 VCAM-1
lntegrins p1 -integrins VLA-4 fl-integrins LFA-I Mac-I ~150.95 VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function associated antigen-1 ICAM-1: intercellular adhesion molecule-I ; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-1
Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kernokin-P dan kernokin-a, yang berturutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan - monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat.
SEL INFLAMASI PADA KERUSAKANGLOMERULUS Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear (PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN kresentik. Belakangan dilaporkan bahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan berkaitan dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitel atau sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel. Interaksi ini rnenyebabkan agregasi trombosit yang akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.
a subfamily
ENA-78 GCP-2 IL-8 (NAP-1) YIP-10 NAP-2, NAP-4 PF-4 SDF-la, SDF-1P
flsubfamily MCP-1 (MCAF) MCP-2, MCP-3 MIP-la, MIP-1P RANTES
ENA:epithelial-derived neutrophil activating factor; GCP: granulocyte chemotactic protein; 11-8 :interleukin-8; NAP:neutrophil activating protein-I; PF-4: platelet factor-4; SDF:stromal cell-derived factor; MCP :monocyte chemoattractant protein ;MIP :rnacrophage inflammatory protein; RANTES: regulated, on activation, normal T expressed and secreted
KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan rnikroskop imunofluoresen (IF) biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan altematif. Kompleks imun yang
mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasijalur klasik sedangkan aktivasi jalur alternatif dipicu oleh kompleks imun yang mengandung IgA atau IgM seperti terlihat pada Gambar 1.
radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors), TGF-P (transforming growthfactor-P) yang berperan pada patogenesis dan progresi GN.
EVALUASI KLlNlSDAN DIAGNOSIS GN
Jalur Klasik
Properdin
Jalur AlternaUl
Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan alternatif
Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC (membrane attack complex). Dalam jurnlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui reseptor komplemen CRl yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.
MEDIATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi, protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen
Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik. Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagai jenis GN baik penyebab maupun kelainan histopatologinya.Pada sindrom kelainan urin asimtomatik ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam serta hipertensi. Glomerulonefritisprogresif cepat ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom nefrotik ditandai proteinuria masif (23,5 g/1,73 m2/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat. Sumber pustaka lain membagi sindrom klinik GN menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai dengan hematuri, red cell cast, dan proteinuria <1.5 gl24 jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan lipiduria dan red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik. Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari 177kasus yang dilakukan biopsi ginjal35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19,296 sindrom nefritik akut, 3,996 GN progresif cepat, 15,396 dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8%hipertensi. Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,
imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem seperti diabetes melitus, arniloidosis, lupus dan vaskulitis juga diasosiasikandengan GN. Edema tungkai dan kelopak mata merupakan gejala klinik GN. Pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane), ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan. Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik.
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat bewariasi tetapi secara umum dapat dibagi menjadi GN proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosisfokal dan segmental, serta GN membranosa.
GLOMERULONEFRI'TIS LESl MINIMAL (GNLM) Glomerulonefritis lesi minimal merupakan salah satu jenis yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Pada pemeriksaan rnikroskop elektron menujukkan hilangnya foot processes sel epitel viseral glomerulus.
GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DANSEGMENTAL (GSFS) Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.
GLOMERULONEFRITISMEMBRANOSA (GNMN) Glomerulonefritismembranosa atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerulus.Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat tergantung pada stadium penyakitnya.
GLOMERULONEFRI'I'IS PROLIFERATIF Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif (GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik ekstraselular.Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular.
PENGOBATAN Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat. Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas GN. Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe
GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-la atau TNF-a dan aktivitas transkripsi NFkB yang berperan pada patogenesis GN. Siklofosfamid, klorambusil, dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflarnasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat, takrolimus, dan sirolimus juga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif terbukti memberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS, GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM prednison dosis 0,5-1 mglkg berat badan/ hari selama 6-8 minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap steroid atau relaps berulang, siklofosfamid atau siklosporin merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%. Kortikosteroidmasih efektif untuk pengobatan GNMP anak tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA prednison efektif menghambat progresivitas penyakit tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan pertama.
PENGOBATAN GN MASA DEPAN Kerusakan glomerulus pada GN terjadi akibat interaksi faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu yengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- 1, anti-VLA-4, anti LFA- 1 atau anti-ICAM- l dapat mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya proteinuria. Pemberian soluble IL- I receptor, IL- lra (IL-1 receptor antagonist),dan sTNFR (soluble TNF receptor) dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan anti-TGF-P dapat mengurangi akumulasi matrik ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti IL-4, IL- 10, IL- 13dikenal mempunyai efek anti-inflamasi. Pemberian IL-4 dapat mencegah produksi sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-
Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula diharnbat dengan pemberian IL- 13. Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan GN dan penyakit ginjal lain masa &pan. Dengan melakukan transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan target utama transfer gen untuk memodifikasi proses inflamasi. Transfer gen in vivo ke &lam glomerulus dapat dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis sel yang berbeda.
Arend WP. Interleukin-l receptor antagonist. A new member of interleukin-l family. J Clin Invest. 1991;88:1445-51. Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppI 7O):S3-S6. Bockenstedt LK, Goetzl El. Constituents of human neutrophils that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest. 1980;65: 1372-80. Burgess E. Management of focal segmental glomerulosclerosis: evidence-based recommendations. Kidney lnt. 1999;55(suppl 7O):S26-S32. Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 2005;365:1797806. Couser WG Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and the direct mediation of immune glomerulus injury: A new perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90. Couser WG Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. In: Johnson RJ. Feehally J. editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255. Ferrario F, Castiglione A. Colasanti G, Di Belgioso GB. Berroli S, D'Amico G. The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9. Glassock RJ, QAdler S G Ward HJ. Cohen AH. Primary glomerulus disease. In: Brenner BM. Rector FC, editors. The kidney. 2"* edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1991. p. 1182. Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement and complement regulatory protein in renal disease. In: Neilson E G Couser WG, editors. immunologic renal diseases. 1"edition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 377. Hebert MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser WG, editors. Immunological renal diseases. I " edition. Philadelphia: Lippincott-Raven: 1997. p. 519. Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin deposition in experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest. 1985;76: 1367-74. Hricik DE, Chung-Park M. Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J
-
Med. 19b,8;339:888-99. Imai E. Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72. Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int. 1994;45:352-9. Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243. Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein restriction and blood pressure control on the progression of chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study group. N Engl J Med. 1994;330:877-84. Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75. Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 7O):S47-S55. Nakao N, Yoshimura A. Morita H, et al. Combination treatment of angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24. Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 271.
Prodjosudjadi W. Monocyte chemoattractant protein-] in glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden University, ISBN 90-9009404-0, 1996. Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005 UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)9986374.(781)237-4788 Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42. Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309. Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and renal disease. Kidney Int. 1997;51:610-21. Sidabutar RP, Nico A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1987. Wheeler DC. Does lipid-lowering therapy slow progression of chronic kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004;44:917-20. Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5'h edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1253.
AMILOIDOSIS GINJAL M. Rachmat Soelaeman
PENDAHULUAN
Arniloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis berhubungan dengan penimbunan material derivat imunoglobulin dalam ginjal. Arniloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil metabolisme yang unik, dan yang ditimbun merupakan protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.
Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran ultrastruktur yang khas. Polimer protein merupakan struktur tersier dan mempunyai ciri khas dalam perwarnaan serta stabil dalam kedaan patologis. Penimbunan interstisial yang progresif akan menyebabkan disfungsi organ dan menimbulkan gejala.
sekarang adalah berdasarkan kirnia material. Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL (amiloidosis primer atau mieloma terkait amiloidosis) dan AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu, adanya deposit N terminal dari fragrnen kappa atau lamda rantai pendek imunoglobulin dan pendapat sekamng adalah berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik. Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1. Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau mempelajari morfologi. Setelah pengecatan congo-red ternyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat khas bentuk dikelilingi seperti ape1 hijau. Terlihat secara teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium glomerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi kristalogrofiakan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida tegak lurus sepanjang aksis fibril
ETlOLOGl DAN INSIDENS
Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama amiloidosisuntuk reaksi warna material yang khas, setelah pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut mengenai komposisi proteinnya.
Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat hanya 0,796 dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970. Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel mieloma, penyakit inflamasi menahun, tetapi kebanyakan tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan. plasma cell dyscrasias,tetapi etiologi amiloidosis sekunder bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit rernatik
Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang
Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan perubahan protein amiloidogenik dan konfmasi patologis
SEJARAH
Klasifikasi
r::p:F:
Distribusi: sistemik (S), lokal (L) . .
Penyakit dasar
AL
lmunoglobulin rantai ringan
S,L
Mielorna rnultipel, diskrasia plasma sel plasma, arniloidosis, AL primer.
AA
Arniloid serum A
S
AP2M
MikroglobulinP2.
S, L
AP
PP AP
L
AlTR
Transtiretin
S
Apr P
Protein Prion
L L
Penyakit Alzheirner sporadis, penuaan, sindrom Down FAP (tipe Portugis) Amiloidosis kardiovaskular senil CJD sporadis (iatrogenik) CJD familial, FFI
AApoAl
Apolipoprotein Al
S L
Amiloidosis sisternik Arteriosklerosis
AApo All
Apolipoprotein All
S
Arniloidosis ginjal herediter
Agel
Gelsolin
S
Alys
Lisozim
S
Acys
Sistatin C
S
FAP (tipe Finnish), Lattice corneal dystrophy Amiloidosis viseral familial (ginjal, hati, limpa) Amiloidosis familial (tipe' Icelandic) Amiloidosis sistemik herediter
Amiloidosis AA sekunder; infeksi kronik (malaria, TB) atau inflamasi (AR, spondilitis ankilosing); keganasan (limfoma Hodgkin dan gastrointestinal, karsinoma, GU) Hemodialisis; deposit primer di sendi.
Afib, or Aa Fibrinogen rantai a
S
Al APP
Polipeptida amil&d pankreas Peptida natriuretik atrial Prolaktin
L L
lnsulinoma langerhans pankreas
L
Fibrilasi atrial
L
Pituitari
L L
latrogenik Kornea
A (tbn)
Insulin Keratoepitelin tbn
L
Atau
Protein Tau
L
Tumor-tumor Pindborg Otak
AANF
Apro Ains Aker
Terdapat beberapa macam mekanisme: 1). protein dengan tendensi melipat secara tidak normal sesuai umur (transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau konsentrasi dalam serum tinggi disebabkan ekspresi yang berlebihan (AA amiloidosis) atau berkurangnya penjernihan dari sirkulasi (P,-mikroglobulin pada hemodialisis). 2). mutasi sehingga penggantian asam amino tunggal pada protein prekursor, sehingga keadaan tidak stabil (herediter). 3). preteolitik parsial dari protein prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursor protein b-amiloid (APP) pada penyakit Alzheimer). 4). kehilangan mekanisme penghilangan peptida amiloidogenik dengan konsentrasi lokal yang tinggi. Peranan Faktor perangsang amiloid (AEP) belum dimengerti secara baik dalam proses pembentukan fibril. Komponen serum amiloid P (SAP) dan komponen membrana basalis, diantaranya glukosarninoglikan sulfat, laminin, fibronektin, dan tipe IV kolagen terdapat pada kondisi yang berhubungan dengan fibril AA arnilod. Secara pasti semua ha1 tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mekanisme dan tempat penimbunan: 1. Penurunan fungsi organ disebabkan selain oleh perubahan fisis, arsitektur, dan fungsi karena adanya fibril arniloid; juga oleh secara pengaruh,lokal toksin fibril. 2. Dapat pula disebabkan oleh oxidative stress dan aktifasi apoptosis, seperti terjadi pada amiloidosis AL.
Gambar 1. Endapan arniloid pada kapiler rnenyurnbat glomerulus dan rnenyebabkan rnesangium menebal
Gambar 2. Arniloid dengan pengecatan congo red, terlihat amiloid tersebar dalarn glomerulus
Gambar 3. Membran basalis dan kapiler glomerulus menebal akibat penumpukan amiloid
12-15 bulan atau kurang bila a& mieloma. bila amioloid mengenai liver (9 %) prognosis lebih baik. Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering menyertai amiloidosis AA. AmiloidosisAA dapat disertai pula penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makanan dan saluran kemih. Prognosis amiloidosisAA, 50% selama 5 tahun dan 25% selama 15 tahun.
DIAGNOSIS
Gambar 4. Endapat atau deposit amiloid pada korteks ginjal seperti lilin abu
3. Sampai 25% kelainan hanya pada satu organ. Deposit mungkin spesifik organ, seperti pada amiloidosis P2 rnikroglobulin terdapat pada sendi, A a (A fib) amiloid pada parenkim ginjal.
Amiloidosis sistemik pada umumnya progresif dan fatal, tetapi perjalanan penyakitnya masih tetap belum diketahui pasti, sebab pengenalan klinis sangat kurang sampai pada fase terakhir. Amioloidosis dapat mengenai semua umur dan jenis kelamin. Presentasi atau manifestasi klinis tergantung dari distribusi dan jumlah timbunan arniloid, dan gejalanya tidak spesifik. Gejala dan tanda yang sudah diketahui pada amiloidosis sistemik adalah makroplosisa, sindrom -nefrotik, gagal ginjal, sindrom carpal tunnel, neuropati sensorik clan motorik, gagal jantung atau aritmia, hepatosplenomegali, diare, malabsorpsi, ulkus, limpadenopati, gangguan pembekuan darah, fragilitas kapiler, dan gangguan agregasi trombosit. Gejala amiloidosis AL yang paling sering terdapat pa& diskrasia sel plasma atau sel B, atau gamopati monoklonal; amiloidosis sering bersamaan dengan mieloma 15% tidak disertai penyakit lain. Pada amiloidosis AL yang mengenai gastrointestinal .(7%) sering disertai perdarahan hebat sehingga mengancam jiwanya. Prognosis arniolodosis AL
Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu tantangan dalam kedokteran. Langkah pert-ama adalah kecurigaan secara klinis, selanjutnya dilakukan pendekatan oleh beberapa disiplin ilmu dan terrnasuk dalam pendekatan ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis, dan mempelajarijaringan. Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokirnia gagal menemukan deposit protein hal yang mendukung pada organ yang terkena. Teknik ini penting pula untuk pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan amiloidosis familier. Lebih dari 100 mutan amiloidogenik telah dapat teridentifikasi sebgai amiloidosis sistemik herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuantipe fibril protein endapan (deposit), dan konseling genetik. Analisis DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan untuk mengetahui terjadi mutasi. ~ e k n i kyang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan skintigrafi untuk mendeteksi deposit pada organ dan pemeriksaan ini noninvasive.
Sampai saat ini tidak ada pengobafan yang diprediksi efektif untuk pencegahan fibrilogenesisatau memobilisasi deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah dilaporkan mengalami regresi deposit. Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau pembentukan fibril. Penggunaan melfalan, deksametason, kolkisin, atau kombinasinya dapat digunakan untuk amiloidosisAL dan ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena. Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum
tulang atau stem cell mungkin akan meningkatkan survival rates. Telah dilaporkan pula penurunan progresif fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati, kemudian diikuti transplantasi stem cell. Pada arniloidosis AA diberikan yang agresif untuk penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis diebrikan irnunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi amiloid, demarn mediteranian, dan memperbaiki fungsi organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki P2 mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-flwc hemodialysis mungkin mencegah HD-related amyloidosis.
Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p. 1418-23. Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications id multiple pyeloma; 2005;45(3):619-23. Brunt EM, Tiniakos DG. Metabolic storage disease: amyloidosis. Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30. Murphy CL. Renal apolipoprotein A-I associated with a novel mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis. 2004;44(6):1103-9. Schwartz MM, Korbet SM. Amyloidosis and the dysproteinemias. Immunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1997. p. 1147-60. Yazaki M. A patient with severe renal associated with an immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis. 2004;43(5):619-23.
PENYAKIT GINJAL DIABETIK Harun Rasyid Lubis
PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) telah mengumurnkan bahwa prevalensi'diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagianbesar dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 2 1ini. Pada dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga kelihatan di Indonesia. Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson pada tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGES). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang
dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-P (TGF- P) dan penurunan extracellular matrix (ECM). Peran TGF-P dalarn perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan micro-puncture menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin-I1 (A-11) dan endotelin. Apakah peningkatan jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia belum jelas, akan tetapi pada binatang percobaan pemberian penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker telah ditunjukkan mengurangi tekanan intraglomerulus. Oleh karena penghambat ACE bukan hanya mempengaruhi jalur terkait angiotensin-I1 tetapi juga mempengaruhi degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah diberikan oleh antagonis terhadap A-11. Begitupun berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwapengaruh utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural
-
ClNJAL HIPERTENSI
glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat A-11. Pasien dengan nefropati diabetikjuga mempunyai risiko tertinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular, sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor risiko tersebut, seperti LDL-kolesterol yang oksidatif, merokok, dan hipertensi, A-11 dan diabetes memicu aterosklerosis melalui aktivasi endotel. Keseluruhan faktor risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO) berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan mungkin juga sebagai penyebabnya. Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk. Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan hiperglikemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu genotip M235T dari angiotensinogen dan insersildelesi (ID) dari genotipACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada ras lain. Masih menjadi pertanyaan besar apakah nefropati diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan ini belum punya jawaban yang jelas.
DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLlNlS Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Bila jumlah protein1
albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg124 jam ataupun >20 uglmenit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam Tabel 1.
Kumpulan
Kumpulan
Kategori
urin 24 jam (mg124hr)
urin sewaktu (pglmin)
Urin sewaktu (pglmg creat)
Normal Mikroalbuminuria Albuminuria klinis
~ 3 0 30-299 ->300
<20 20-199 ->200
<30 30-299 >300 -
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)
Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahui sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali. Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Alburninuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage). Tahap KII. Ini adalah tahap awal nefropati (incipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih munglan dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.
Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlarnbat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah. Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan laju filtrasi glon~erulusmaka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir) PGTA. Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyalut jantung koroner, yang sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami gagal ginjal.
TERAPI DAN PENCEGAHAN Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlarnbat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.
Pengendalian Kadar Gula Darah Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbA 1c <7%, kadar gula darah preprandial 90- 130 mgldl, post-prandial < 180 mgldl. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan darah <130/90 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat, > l gr124 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu
penurunan kolesterol total, LDL kolesterol, dan apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenuhltak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda. Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol c 100 mgldl pada pasien DM dan 4'0 mgldl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.
Penanganan Multifaktorial Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor risiko yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan umum penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar gula darah, lemak darah, dan miroalbuminuria serta juga disertai pencegahan penyakit kardiovaskular dengan pemberian aspirin. Dalam kenyataannya pasien dengan terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACEI dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikernik oral dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein, pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian eritropoietin, dan lain-lain.
American Diabetes Association. Hypertension management in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S65-S7. American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S79-S83. Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in adults with hypertension and diabetes: NKF hypertension and diabetes. Executive committee Working Group. Am J Kidney Dis. 2000;36:646-61. Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of, diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9. Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Pawing HH and Pedersen 0 . Multifactorial intervention and cardiovascular disease in patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393. Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention and treatment. Diabetes Care. 2005;28:176-88. Kikkawa R, Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2003;41(SI):S19-S21. King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc diabetes reporting group. Diabetes care. 1993;16:157-77. Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl 5):24-5. Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Dalam: Suyono S, dkk, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 356-65. Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and Freedman BI. Nephropathy in siblings of African Americans with overt type 2 diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2002;40:489-94. Stehouwer CDA. Endothelial dysfunction in diabetic nephropathy: state of the art and potential significance for non diabetic renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2004;10:778-81. Shanna K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production of transforming growth factor - T p l in patients with type 11 diabetes. Diabetes. 1997;46:854-9. USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis. 2004;45(S):S57-S74. Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Involvement of the transforming growth factor- P system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol. 2002;6: 125-9.
NEFRITIS LUPUS Lucky Aziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum
PENDAHULUAN Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES telah diketahui sejak lebih dari '/z abad yang lalu. Sedangkan gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal tersebut baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11 rnanifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES. Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut adalah: 1). Malar rash, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivity, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif, 6). Serositis (pleuritislperikarditis), 7). Gangguan ginjal (proteinuria >500 mgthari atau silinder sellcellular cast, 8). Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) kelainan gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau trombositopeni), 10). Kelainan imunologis (hasil tes sel lupus eritematosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk sifilis, antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi
anti nuklear (ANA (+)). Walaupun kriteria di atas sensitivitasnya 96% dan spesifisitasnya 96%, tetapi kriteria tersebut didesain untuk klasifikasi, tidak untuk tujuan diagnostik. Jelasnya,banyak pasien masih sulitlgagaluntuk diagnostik klinis pasti untuk memenuhi kriteria tersebut di atas. Prevalensi keterlibatan ginjal dari LES yang dinamakan nefritis lupus sangat bervariasi dan berbeda-beda, bervariasi antara 3 1-65% (rata-rata 40%) pada awal LES. Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6% pasien, rnanifes kelainan ginjal merupakan kelainan pertama yang ditemukan sebelum gejala klinis LES lain muncul. Walaupun perempuan yang terkena lupus lebih banyak dengan perbandingan 5: 1 dibandingkan pria, tetapi pada pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus lebih tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras lainnya. Peningkatan risiko nefritis lupus dihubungkan dengan HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR8 dan HLA DQ-beta, difisiensi komplemen seperti Clq, C2, dan C4, serta produksi tumor necrosis factor (TNF) yang rendah.
Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor infeksi seperti infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga sebagai faktor predisposisi.
lnfeksi Virus Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan
perubahan-perubahan limfosit sel-p yang menyerupai limfosit sel-p yang terdapat pada LES aktif manusia.
Faktor HerediterIFaktor Genetik Sebagaimana kelainanlgangguan autoitnun, bukti telah menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada perkembangan LES maupun nefritis lupus. Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifikasi memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktor lingkungan mungkin memicu perkembangan penyakit ini. Studi epidemiologi klinis telah menemukan hubungan faktor herediter dengan LES antara lain: 1. Kembar (identical twin), terutama pada kembar monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran lingkungan juga besar. 2. HLA-fi haplotipe 3. Antigen DRW2 dan DRW5 4. Defisiensi C2 inborn. 5. HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES 6. HLA-DR4 dihubungkan dengan prevalensi yang rendah dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari serangan LES . Faktor Hormonal Studi epidemiologi klinis menemukan bahwa kejadian LES lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai hubungan dengan hormon androgen dan estrogen. Gen Komplemen 1. Defisiensi C lQ, C 1R dan CIS dihubungkan dengan LES, NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA) 2 Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan dengan LES atau sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome). 3. Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan dengan LES 4. FCgR gen: mediasi ini mengdat IgG dan IgG yang terdapat kompleks imun pada sel-sel seperti makrofag dan fagosit mononuklear yang lain. 5. Juga peran FCgRIIa dan RIIIa yang menglkat IgG2 dan IgGl secara berturutan, dimana R131 dihubungkan dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam. 6. Gen sitokin: gen E l 0 dan kemungkinan IL1 RN dan TNF-a dihubungkan dengan LES. 7. Gen apoptosis (nekrosis gen): Defek dari beberapa gen apoptosis dihubungkan dengan lupus like syndrome pada tikus dan jarang pada LES manusia termasuk CD95 dan CD178. PATOGENESIS Patogenesis timbulnya LES diawali oleh interaksi antara
faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q, laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, dan ribosom; yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis.
LES (Soluble immune complex disease)
Kompleks irnun pada glomeruli Aktivasi sistern pernbekuan Agregasi trombosit kinin dan fibrin
Aktivasi sistem komplemen
, 1
Kerusakan n e f r b
1
+
MAC (membrane attack complex o f complement)
Sindrorn klinis (garnbaran klinis)
Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus
-
lmmune complex yang rnernpengaruhi
(1)
Podosit t (2) I C5b6 + ~ 7 . 9
Sintesis kolagen
4
aktivasi proliferasi dan pelepasar PGE dan TNF
t
+ IL-I --+ sel mesangial Lekosit
1
1
PGE
PGE
Trornbosit
1 Tx82
Gambar 2.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk kernoatraktan C,a dan C,a. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran
sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel morr'onuklear. Secara histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuria. Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada glomerulus, yaitu: 1).Aktivitas komplemen oleh kompleks imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit, 2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas, PGE dan IL- 1. Radikal oksigen bebas mempunyai fungsi biologis terutama merangsang trombosit dan nekrosis jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan proliferasi sel mesangial.
Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunofluoresen, dan mikroskop elektron. International Society Nephrology/Renal Pathology Society (ISNRPS) membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas I11 dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas imunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di identifikasi komplemen C3 dan Clq. Pewarnaan untuk fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent dan lesi nekrotik segmental. Sebagai tambahan klasifikasi patologis, aktivitas dan kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit ginjal). Indeks aktivitas merefleksikan keadaan di inflamasi yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan banyaknya fibrosis dan jaringan parut/nekrosis yang tidak berespons terhadap terapi. Lesi ginjal dengan indeks aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang agresif dimana 1esi.ginjalyang kronisitasnya tinggi tidak respon. Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis dan pedoman umum terapi. Pengobatan yang agresif akan
Kelas (Katagori WHO)
Gambaran Mikroskop Cahaya
Normal (I)
Normal
Glomerulonefri tis mesangial proliperatif (11) Glomerulonefri tis fokal segmental proliferatif (111)
Normal atau pelebaran mesangial difus dan hiperselular Hiperselular mesangial difus dengan fokal dan segmental, segmehtal nekrosis d?n trombin hialin Hiperselular difus, interposisi mesangial, deposit subendotel, nekrosis segmental, trombus hialin, badan hematoksilin, infiltrasi sel, dan crescents Hiperselular mesangial ringan deposit epimembran a, tonjolantonjolan Fokal superimpose d dan segmental atau sklerosis pada kategori IVN Tubulointerstisi al akut dan kronis
Glomerulonefri tis difus proliferatif (W)
Glomerulonefri tis membran lupus (V)
Glomerulonefri tis sklerosis lanjut
Nefritis interstisial
Gambaran Mlkroskop Elektron (Deposit Elektron)
Gambaran Miroskopls lmunofluorescenc (Deposlt lglC
Mes : ++ SE : + Epi : 0
Mes : ++ CW : + SE : + Epi : 0
Mes : +++ SE : + Epi : 0
Mes : ++ CW : + SE : + Epi : 0
Mes : +++ SE : +++ Epi : +++
Mes CW SE Epi
& .
: +++ :++ : +++
: ++++ deposit tubulointerstisial ekstraglomerular
Mes : +++ SE : + Epi : +++
Mes : +++ CW : + SE : +
Mes : + CW : + Membran tubulus basement
Mes : ++++ CW : + Membran tubulus basement
++ Variabel
glomerulus de~osit
++ Lariabel glomerulus deposi.
memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievaluasi pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas ke kelas yang lain secara spontanJpengobatan.
GEJALA KLlNlS Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien LES, dan tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama dan satu-satunya yang akan mengikuti periode rernisi dan eksarsebasi sesuaidengan LESnya. Manifestasinya klinis NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam
Kelas
Deskripsi
I
Glomerulus normal (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop elektron) Perubahan pada mesangial a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresen dan atau mikroskop elektron. b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen dan atau mikroskop elektron. Focal segmental glomerulonephritis a. Lesi nekrotik aktif b. Lesi sklerotik aktif c. Lesi sklerotik Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapiler dan atau deposit luas sub endotel) a. Tanpa lesi segmental b. Dengan lesi nekrotik aktif c. Dengan lesi aktif dan sklerotik d. Dengan lesi sklerotik Glomerulonefritis membranosa difus: a. Glomerulonefritis membranosa murni b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
II
Ill
IV
V
VI
Glomerulonefritis sklerotik lanjut.
lndeks kronisitasl lesi kronis
lndeks aktivitasllesi aktif Glomerulus
-
-
Tubulo interstitial
Proliferasi endokapiler lnfiltrasi lekosit Deposit hialin subendotel Nekrosis fibrinoidl karioreksis
lnflamasi interstitial
-
Sklerosis glomerulus (glomerulosclerosis) Bentuk crescent fibrosis (fibrosis crescent)
Fibrosis interstitialis dan tubulus atrofi
keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis (sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive glomerulonephritis). Gejala NL biasanya berkorelasi baik dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.
GAMBARAN KLlNlS NL Glomerulopatilnefropati asimplomatik. Kelainan urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien, hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin (silinder eritrosit, silinder lekosit). Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus, gangguan tubular pada 60-80% pasien. S i d r o m RPGN (Rapidlyprogressiveglomemlonephritis). Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:
1. Onsetnya cepat 2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggul bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal 3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok 4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen aktif.
Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai dengan kelainan berikut: 1. Proteinuria bervariasi antara 1-3 gramlhari disertai kelainan sedimen aktif 2. Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun gagal ginjal. Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63% pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi. Hipertensi pada 15-50% pasien. Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien. Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal saat mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai. Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien LES terdapat proteinuria 11 gram124 jam denganlatau hematuri (>8 eritrosit1LPB) denganlatau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan klasifikasi morfologi dari WHO (1982) nefritis lupus dibagi dalam 6 kelas. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyalutnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain: 1. Ras kulit hitam 2. Hematokrit <26% 3. Kreatinin serum >2.4 mg/dL 4. Kadar C3 <76 mg/dL
Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan Manifestasi Klinis NL Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan prognosis dan indikasi biopsi ginjal. PENDEKATAN DlAGNOSTlK NL dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut, diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:
PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAN Jose Roesma
KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (50%) dan peningkatan laju filtrasi glomerulus.(l50%).Pembahan ini tejadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal. Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan tekanan darah sampai 10 mrn Hg dari normal dan naik kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal (pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.
KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL Keharnilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek, yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses kehamilan. Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di antaranya adalah: Infeksi traktus urinariuslinfeksi saluran kemih (ISK). Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik. Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan jurnlah bermakna dalarn urin (>100.000kurnanlrnl urin) tanpa
gejala klinik. Padaperempuan tidak hamil keadaan ini tidak diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya 10 hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjal/ Pielonefritis meningkat sampai 30 % pada kehamilan dan dapat ditekan sampai 3 % dengan pengobatan yang tepat dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waktu kencing dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada kehamilan disertai gejala nyeri pinggang, demam, menggigil, mud dan muntah dan terjadi pada 2% kehamilan. Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral, sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik, diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan.
Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a). Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik akibat dehidrasi, perdarahan (abruptio placentae), dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan pada abortus kriminal pada kehamilan muda. b). Gangguan ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskernia ginjal dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis akut (ATN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem
pelviokalises pada keharnilan melebar sehingga sukar dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi. Gangguan ginjal kronik. Keharnilan dengan gangguan ginjal kronik saling mernpengmhi. Gangguan ginjal kronik rnempengmhi keharnilan melalui beratnya gangguan fungsi ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin >1.5 rng%) kornplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran prematur dan kematian bayi meningkat. Penderita gangguan ginjal kronik yang harnil, progresi penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologiW retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien, utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Katz rnenernukan 16% perernpuan hamil dengan gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1.5 rng%) mengalarni progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir (GGTAl'ESRD). Cunningham rnendapatkan 6% perernpuan harnil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4 mg%) mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45% perernpuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5 rng%) akan rnencapai gagal ginjal tahap akhir. Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan keharnilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien lupus nefritis dimana 50% penderita lupus nefritis akan kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan 50% keharnilan akan disertai kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus h m s stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan sebelum keharnilan dirnungkinkan. Adanya antikoagulan lupus serta antibodi kardiolipin rnenambah kernungkinan risiko kornplikasi keharnilan pada lupus.
PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMIL DENGAN GANGGllAN FLINGS1 GINJAL Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil apalagi dengan gangguan fungsi ginjal rnerupakan masalah yang mernbutuhkan perhatian khusus. Dosis obat perlu disesuaikan dengan urnur kehamilan dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu maupun janin. Dalarn keadaan darurat, keselarnatan ibu merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin tetap perlu diperhatikan. Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta antihipertensif. ~ e t i a jenis p obat dari kelo'mpok tersebut perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat gangguan fungsi ginjal. Untuk ha1 tersebut tersedia berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur, dsb) karena tidak ada petunjuk umurn yang berlaku pada keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi ginjal) ini.
GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMlLAN Transplantasi mernperbaiki kesuburan pada penderita dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada 12% penderita transplan dengan sukses sampai 90% sehingga kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah 1-2 tahun post transplant dalam keadaan fungsi ginjal yang baik. Bila heatinin < 1.4 rng% 94% keharnilan bisa sukses, dibandingkan 74% bila kadar kreatinin > 1.4 mg%. Juga progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan, seperti di luar kehamilan, tergantung kepada fungsi ginjal prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
DIALISIS DAN KEHAMlLAN Gaga1 ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang menurun dengan anovulasi sehingga keharnilan jarang terjadi pada pasien dialisis, kurang dari 1%. Kehamilan pada dialisis sering disertai abortus, hanya 50% kehamilan sarnpai aterm, itupun disertai prernaturitas (85%) dan BB bayi rendah (28%). Sebaiknya pasien dialisis yang harnil didialisis setiap hari untuk rnenghindari komplikasi baik bagi ibu rnaupun bayi.
Agraharkar M. Renal disease and pregnancy. Available online on http:Nwww.emedicine.com. Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med. 1996;335(4):277-8. Schrier RW. Kidney diseases in pregnancy. Diseases of the kidney. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997.
-
PENYAKIT GINJAL KRONIK Ketut Suwitra
MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK Batasan Penyakil ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fi~ngsiginjal yang progresif, dan pada umuninya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang me~nerlukanterapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom,klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penill-unan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
yaitu, atas dasar derajat (stuge) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (140 - umur ) X berat badan 72 X kreatinin plasma (mgldl) *) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.
Penjelasan
Derajat
1.
2.
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : kelainan patologis - terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 mllmenit11.73m2 selama 3 bulan, dengan ' atau tanpa kerusakan ainial
*
LFG (mVmnt/1,73mz) =
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 7. Kerusakan ginjal dengan LFG k ringan Kerusakan ginjal dengan LFG k sedang Kerusakan ginjal dengan LFG & berat Gaaal ainial
LFG (mllmn11.73m2) 2 90
60 - 89 30 - 59 15-29 < 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 mYmenit/I ,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Klasiflkasl Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1
Epldemlologl Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18juta, diperkirakan terdapat 1800kasus baru gagal ginjal
Penyakit
Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sisternik,obat, neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit pernbuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporinl takrolirnus) Penyakit recurrent (glornerular) Transplant glomerulopathy
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya. insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang tel.jadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti traizsforming growthfactor P (TGFp). Beberapa ha1 yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara. perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%. pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%. mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti. anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisrne fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hip0 atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pemefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5. Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus. nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Penvebab
lnsiden
Diabetes rnellitus - tipe 1 (7%) - tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pernbuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis interstitialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis) Neoplasrna Tidak diketahui Penyakit lain
Penyebab
lnsiden
Glornerulonefritis Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain
46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%
PENYAKIT GlNJAL KRONIK
PENDEKATAN DlAGNOSTlK Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes nielitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritolnatosus Sistemik (ZES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloud), neuropati perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Gambaran Laboratoris Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan u ~ i t ~ ~ l i memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin: peningkatan kadm asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielogdl intravenajarang dikerjakan, karena kontrds sering tidak bisa melewati filter glomemlus, di samping kekhawatiran terjadinya pengamh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks y,ang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang lnasih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular pencegahan dan terapi terhadap komplikasi terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Derajat
LFG (m11mnt/1,73m~)
Rencana tatalaksana
1
> 90
2
60 - 89
- rnengharnbat pernburukan
3
30 - 59
4
15-29
- evaluasi dan terapi kornplikasi - persiapan untuk terapi peng ganti
5
< 15
-
terapi peyakit dasar, kondisi kornorbid, evaluasi pernburukan (progression) fungsi ginjal, rnernperkecilrisiko kardiovaskular (progression) fungsi ginjal
ginjal
- terapi pengganti ginjal
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasamya.
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada Gambar 1.
LFG mllmenit > 60
25 - 60 Nefropati
5
4 Hipertensi sistemik
1
+
L ~~~~~~~~~~~~~i~ -4 -
Angiotensin II
-
Kebocoran Protein lewat glomerulus
t Ekspresi growth medietorsi inflamasilfibrosis
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 mllmnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya rnerupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkalIkgBBlhari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang . terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pernberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penirnbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (proteiil overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hype$ltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karenaprotein dan f0Sfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan f o ~ f a peI-1~ t untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
- 25
< 60 (sindrom nefrotik)
Asupan protein glkglhari Tidak dianjurkan 0,6-D,Blkglhari, termasuk nilai biologi tinggi.
0.35 grlkglhr
Fosfat glkglhari Tidak dibatasi 5 log
0,6-0.8 Ikglhari, terrnasuk 0,35 rlkglhari protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
5 log
O.8lkglhr (+I gr protein Ig proteinuria atau 0.3 g Ikg tambahan asam amino esensial atau asam keton
C 9g
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pernburukan fungsi ginjal. Hal ini tejadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan ha1 yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-ha1 yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengenda-lian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa di antara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.
< 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap Derajat
Penjelasan
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
2
LFG (mllmnt)
status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi totallToru1 lroti Bitzding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdal-ahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan ha1 yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah I I - 12 gldl.
Komplikasl
2 90
60 - 89
- Tekanan darah mulai f -
3
Penurunan LFG sedang
30 - 59
4
Penurunan LFG berat
15 - 29
5
Gagal ginjal
< 15
-
Hiperfosfatemia Hipokalcemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomasistinemia Malnutrisi Asidosis Metabolik Cendrung hiperkalernia Dislipidemia Gagal jantung Uremia
Anemia Anemia terjadi pada 80-90%pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh drtisiensi eritropoitin. Hal-ha1 lain yang ikut berperan dal:uii trrjaciinyn anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hernolisis, defisiensi asam folat, penekanan slimsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
Osteodistrofi Renal Osteodistrofi renal merupakan kornplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada Gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pernberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cema. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalarn mengatasi hiperfosfatemia.
Penurunan fungsl glnjal I
Hiperfoslalemla
Osteifis librosa cystica (High -turnover bone disease)
Asidosis metabolik ---
Gambar 2.
Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal
-
GINJAL HIPERTENSI
Mengatasi Hiperfosfatemia a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara urnum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgkari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. ~emberianpengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, gararn magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate. Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. c. Pemberian bahan kalsium inemetik (calcium mimetic ctgerzr).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat ~nenghambatreseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calciun~. rnimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
Diet rendah fosfat AI(OH)3 Ca C03 Ca Acetat Mg(OH)2/MnC03
Tidak selalu mudah Bagus Sedang Sangat bagus Sedang
Malnutrisi lntoksikasi Al Hipercalcemia Mual, muntah lntoksikasi Mg
Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH,D,) Pernberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pe~nakaiannyatidak begitu luas, karena dapat ineningkatkan absorbsi fosfat dan kalsiurn di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar homo11paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pernbatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
n~asukke dalarn tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik rnelalui urin maupun irzsensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 rnlhari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500- 800 rnl ditambah jurnlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pernbatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh kareila itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) hams dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3 3 - 5 3 mEq1lt. Pembatasan natriurn dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah gararn natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 rnllmnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002. Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS. editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999. p. 463-73. Skorecki K. Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure. Hanison's principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et al, editors. 16Ihedition. Vol 1. New York: McGraw-Hill: 2005. p. 1551-61. Slatopolsky E, Brown A. Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary hyperparathyroidism. Kidney Int. 1999;73;S 14-S20. Wei Wang. Chan L. Chronic renal failure: manifestation and pathogenesis, In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte disorders. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 456-97. Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2" edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5. Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med. 2003;163: 1417-29. Goodman WG; Medical management of secondary hyperparathyroidisrn in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant. 2002; 18:S3;32-9.
GANGGUAN GINJAL AKUT H.M.S. Markum
PENDAHULUAN Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA-Acute Kidney Injury AKI) yang rnernerlukan dialisis, rnernpunyai rnortalitas tinggi rnelebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai kegagalan rnulti organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka rnortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien rnak'in tua dan pasien tersebut juga rnenderita penyakit kronik lainnya. Dengan mortalitas yang tinggi rnaka diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan terutama sglama perang dunia ke dua. Laporan lengkap yang pertama rnengenai GGA ditulis oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun 1917, yang rnenjelaskan keadaan' seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang sarnpai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London mendapat serangan Jerrnan, didapatkan banyak pasien crush kidney syndroine, yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat tertirnpa bangunan kernudian meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950-an yang amat rnengurangi kematian karena korban trauma akibat peperangan.Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwaGGA yang dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah yang tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure - ARF) Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury -A KI) Pada tahun 1951 Homer W Smith rnernperkenalkan istilah gagal ginjal akut - acute renal ,failure. lstilah ini rnempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun 200 1. Dengan rnortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal. Adanya pasien yang sernbuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal yang mendadak rnenunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacarn sebab. Perbedaan geografis juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda. Dengan dernikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat bagi pengehian rnekanisme tirnbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA. Perubahan istilah GGA - AKI menyebabkan : 1. Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat rnenyebabkan kondisi,yang lebih berat. 2 Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam rnemberikan pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal yhilure). 3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya penyakit dan peningkatan biaya perawatan.
Kenaikan
Kreatinin serum
(m~ldL)
Multivariable OR (95% CI)
Area under ROC curve
Kenalkan biaya total
GFR decrease >75%
Kategori RIFLE
Kriteria Kreatinin serum
Kriteria UO Irmvesibk?AKI or persislent
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria) <0.5 mUkg1jam Risk Kenaikan kreatinin serum for 2 61 jam -> I .5x nilai dasar atau penurunan GFR 225% Injury
1 AKIeadesl Ume point for pmviskn of RRT
Kenaikan kreatinin serum
->2.0x 5x nilai dasar atau
M I= weeks -I
ESRD
ESRD >3monlhs
<0.5 mUkgljam atau 21 21jam
penurunan GFR 250%
Failure
AKIN
Kenaikan kreatinin serum 2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau penurunan GFR 275% or an Nilai absolut kreatinin serum -> 4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg
<0.3 mLlkg1jam ->24 jam
Kriteria Kreatinin serum
Kriteria UO
anuria 212 jam
pritmria
Kriteria produksi urin
Tahap
Kriteria kreatinin serum
1
Kenaikan kreatinin serum 2 0.3 mgldl 26.4 pmolll) atau kenaikan ~150% to 200% (1.5- sampai 2 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 6 jam
2
Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipal) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4.0 mgldl 354 pmoll~) with an acute increase of at least 0.5 mgldl [44 umollll)
Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 12 jam
3
Kurang dari 0.3 mllkg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam
Klasifikasi ini kenilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk, penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan
Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with permission from Lameire et al.
nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian b e r s q a memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang.luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Definisi GGA Penurunan mendadak fad ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 20.3 rng/dl(> 26.4pmoUI), presentasi kenaikan kreatinin serum 250% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat 5 0.5 mVkg/jam dalam waktu lebih dari 6jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perdbahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni diasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kernih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat : 1. Sembuh sempuma
-
2 Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1 - 4) 3. Eksaserbasi berupa naik'turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1 - 4 4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar berikut.
100
Z
B C-
0
Z
2 2 4
5 a
~-AUJTE-~~CMWNIC
KIWYlnsms€
0
TIME Garnbar 2. Natural history of AKI. Patients who develop AKI may experience (1) complete recovery of renal function, (2) development of progressive chronic kidney disease (CKD), (3) exacerbation of the rate of progression of preexisting CKD; or (4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD.
DIAGNOSIS Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
perlu diperiksa: 1).Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya. c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahaan, nilai-nilai biokimia darah. Walaupun dernikian volume urin pa& GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (< 400 mljhari), walaupun kadang-
Etiologi Prerenal
Sedirnen Torak hialin
lskemia
Sel epitel, muddy-brown cats, pigmented granular casts Lekosit (WBC),Torak lekosit, eosinophilis, Eritrosit (RBC), sel epitel Dysmorphic RBCs, RBC cast Beberapa torak hialin, eritrosit Kristal asam urat
Nefritis interstitial akut GN Akut Postrenal Lysis tumor Arterial Ivenous thrombosis Ethylene glycol
FENA+ Fe-urea <1
<35 >2 >50 >1
<1 early
Proteinuria Tidak ada atau samar Samar ringan
-
Ringan - sedang Sedang - baik
Eritrosit
Tidak ada atau samar Tidak ada atau samar Ringan - sedang
Kristal kalsium oksalat
Sarnar - Rinnan
kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d). Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). ~etanda.biolo~is (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah marnpu dideteksi sebelum kenaikan kadarkreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLEIAKIN maka perlu dicari petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gambar berikut menunjukkan beberapa petanda biologis yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA. Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18,enzim tubular, N-acetyl-b-glucos~dase,alanine aminopeptidase, kindey injury molecule I. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocalin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jan setelah pembedahaan, 24jam lebih awal dari kenaikan kada. kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan diperlukan kombinasi dari petanda biologis.
Prosedur
lnformasi yang dicari
Anamnesis dan pemeriksaanfisik
Mikroskopik urin
Pemeriksaan biokimia darah Pemeriksaan biokimia urin Darah ferifer lengkap USG Ginjal
Tanda-tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya gangguan metabolik. Perkiraan status volume (hidrasi) Petanda inflamasi glomerulus atau tubulus. lnfeksi saluran kemih atau uropati kristal Mengukur pengurangan laju filtrasi glomerulus dan gangguan metabolik yang diakibatkanya Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis, dan kekurangan trombosit akibat pemakaian. Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang abnormal
Bila diperlukan : CT Scan abdomen Pemindaian radionuklir
Mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan traktus urinarus Mengetahhi perfusi ginjal yang abnormal
Pielogram
Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus urinarius Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi penyakit ginjal.
Biopsi ginjal
4,Ktdney Injury contlnuurn
Cell death
I
Gambar 3. Acute kidney injury and its biomarkers
I
CANGCUAN CINJAL AKUT
GAMBARAN KLI.N!S: ; + GANG:@J!W,G!y . .- JAL . .: < - , AKUT .. . . . .. . , 3 . . . ;, . . p. :.:<,: ,:, P :; . ? . ,;: < .' . :
,
,
'
., .
,
,;,:
,
..
.,
.
,
,,.:.:..:
,
;<.'-.:;.
:..,*
,
-:.': ..<>.
,
~
.: ,,..
...
GGA dapat diba&menjadi 3 bagian besar, antara lain: GGA pre-renal.Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apahila faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka aka11timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bemacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi girijal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi. melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovoleniia, penunman volume efektif intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal sepe~ti pada pemakaian anti inf'iamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang seianjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis? sisten~ renin-angiotensin serta merangsang pelepasaan vasopresin dan endothel in- 1 (ET- I ), yang merupakan mekanismes t&h.untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung s e ~ t aperfusi serebral. Pada keadaa~iini mekanisme otoregulasi ginjalakan n~empertahankanaliran darah ginjal dan .laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostagladill dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang telutama dipengaruhi oleh angiotensin11 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipopel-fusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rcrta < 70 mniHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana uteri01 afferen mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan strukrural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-reaa1,menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis h a ~ i dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis. internal.
GGA Renal. GGA renal yanp disebabkan oleh kelainan vaskuler sepelti vaskulitis. hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berhagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular. trauma (crushing injurylbencana alam, peperangan). toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) VTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terja~diNTApada 20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya pcnyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ~ ~ e n ~ b u l u h dxah, diabetes melitus, iktelus dan usia lanji~t,jenisoperasi yang berat seperti transplnntasi hati. transplantasi jantung. Dari golongan zat-ziit nefroloksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras. obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti ncoplastik. Meluasnya pemakian NARKOBA juga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskuler dari tubuler. misalnya : Kelainan vaskular. Pada NTA terjadi : 1 ). Peningkatan Ca2+ sitosolik pada nrteriol ,iffere11 glomerulcs yang menyebabkan pcningkatan scnsitifitas terhaiiap substansisubslansi vasokontriktor dan ganggi~anolcrcgulasi. 2).Terjadi pcningkatar~stress okriilittif yang rnenyebabkan kerusakan endotel vaskuler g i ~ ~ j ayang l , rnengakibatkan pengikacan A-11 dan EL-1scrla penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endorhelial NO syslhase (eNOS). 3). Peniugkatan mediator inflamasi sepec-ti tumor necrosis facior iTNF-) dan in~erleukin-18 (,IL 18). yang selan.jutnya akan meningkatkan ekspresi dari intet-c,ell~.!lcii. crdhesiotl tnol~c~irlc-l (ICAM- l j dan P-selectin dari sei endotel, sehingga ter-jadi peningkatan perlengketan dal-i sel-sel radang, terutalna sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara hersiin~a - sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan menyebabkan penurunan LFG. Kelainan tubuler. Pada NTA tgrjndi: I ). Pen~ngka!nn(La?+ in~raselyang menyebabkan peningkatan c.crlpcrin, i.i.
ke dalam tubulus ke dalarn bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang konsentasinya meningkat pada tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG Di duga juga proses iskemia dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury). GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi I keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.
Vasokontriksi renal Dopamin dosis rendah
Kerusakan r e m i Anti ICAM-1 mAb
Obst~ksi tubuler Furosemid
Reseptw anatognist endotelin
Anti-CDlB mAb
Manitol
Peptide natriuretik atrial Antagonis kakium
Peng~kat radikal bebas
Dopamin dosis rendah
Anlagonis reseplw leukotrien
Regerensi tubuler FaktM perturnbuhan epidermal dan hepatosit Faktor pertambahan hepalosit insulin-like growth factor
Penghambat prostease aMSH Membran biikmpatibel ,
PENGELOLMN Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangancairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
PENCEGAHAN GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefmpati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah. Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.
TERAPI KHUSUS OOA Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab
CANGGUANGINJAL AKUT
-
-
Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia, edema paru) Asupan nutrisi adekuat sejak dini Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis) Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal
Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h Anuria : produksi urin 50 mL in 12 h Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmol1L Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0 Azotemia : kadar urea > 30 mmollL Esefalopati uremikum Neuropati Imiopati uremikum Perikarditis uremikum Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL atau < 120 mmollL Hipertemia Keracunan obat
Komplikasi
Pennobatan -
beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairan/ nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat. Belum ada buktiyang nyata keunggulan antara terapi pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dilnana pada GGA kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA. GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asarn basa, elektrolit, tetap juga asam amino 1protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.
FASE PERBAIKAN Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan
Kelebihan volume intravaskular
Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1 Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis
Hipobatremia
Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus larutan hipotonik
Hiperkalemia
Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ; hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50 ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit), Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol), Agonis P2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5 menit)
Asidosis metabolik Hiperfosfatemia
Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmollL, pH > 7.2) Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari), obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium karbonat) Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%)
Hipokalemia Nutrisi
Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg BBIhari) jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal atau parenteral jika perjalanan klinik lama tau katabolik.
pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal harus tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempulna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)
KESIMPULAN Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut/ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria RIFLEYAKIN. Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir ban! dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
Continous renal replacment
Hemodialsis intermitten Keuntungan
theranv
- Resiko rendah untuk
-
perdarahan Lebih banyak waktu untuk rnencari diagnosis dan intervensi I terapi. - Lebih cocok untuk hiperkalernia berat - Biaya murah
-
-
-
-
Kerugian
Ketersediaan perawat HD Lebih sulit kontrol hemodinamik Dosis dialisis tidak mencukupi Kurang kontrol cairan Nutrisi kurang Tidak cocok untuk pasien dengan hipertensi intrakranial Tidak ada pernbuangan sitokin Potensial terjadi aktivasi kornplemen oleh membrane yang non kornpatibel (tidak sesuai)
Jenis dan cara dialisis Hernodialisis Konvensional
-
-
Masalah akses vaskuler Risiko tinggi terjadinya perdarahan lmobilisasi lebih lama Lebih banyak rnasalah pada filter (ruptur, penyumbatan oleh bekuan darah) Biaya mahal
Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersarnaan, interrniten Klirens difusi dan ultrafiltrasi dengan aliran darah dan dialisat yang pelan. intermiten Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, interrniten Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersamaan tanpa p,ornpadarah
Hernodialiser Hernodialiser Hernofilter
Hernodialisis dan hernofiltrasi Continuous Hernofilter arterivenous hernodialysis plus hernofiltration (CAVHDF) Continuous Hernofilter venovenous hernodialysis plus hernofiltration (CVVHDF) Ultrafiltrasi Isolated ultrafiltration Hernodialiser
lnterrniten
-
Hernodialiser
Sequential ultrafiltration & clearance Continuous arteriovenous hernodialysis (CAVHD) Continuous venovenous hernodialysis (CWHD)
Dialisis peritoneal Berkesinarnbungan
-
Prinsip kerja
Hernodialiser
Slow continuos ultrafiltration (SCUF)
-
Dialiser
Slow long extended daily dialysis (SLED)
.
-
Hemodinarnik lebi stabil Aritmia lebih jarang Perbaikan nutrisi Pertukaran gas di paru lebih baik Kontrol cairan lebih baik Kontrol biokimia darah lebih baik Waktu rawat inap ICU lebih singkat
Hernofilter
Peritoneum Peritoneum
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan dengan pornpa darah Klirens konvektif berkesinarnbungan tanpa pornpa darah
Klirens konvektif berkesinarnbungan dengan pornpa darah .
Klirens konvektif dan difusi berkesinarnbungantanpa pornpa darah Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan pompa darah Klirens dan ultrafiltrasi berkesinarnbungan ; ganti cairan selang beberapa jam Klirens dan ultrafiltrasi interrniten; ganti cairan tiap jam selama 12 jam setia~ 2-3 hari
GANCCUAN GlNJALAKUT
Tahap katabolisme Ringan
Sedang
Keadaan klinis
Toksik karena obat
Pembedahan + infeksi
lnjuri berat 1 sepsis
Mortalitas Dialisis I hemofiltrasi Pernberian makanan Rekomendasi Energi (kkallkgBBlh) Subtrat energi
20%
60%
> 80%
Jarang
Apabila perlu
Sering
Oral
Enterall parenteral
Enterall parenteral
25
25 - 30
25 - 35
Glukosa
Glukosa + lemak
Glukosa + lemak
Glukosa glkg Lemak glkg Asam amino I protein Nutrien oral I enteral Parenteral
3-5 0.5 - 1 0.6 - 0.8 EAA
3-5 0.8- 1.5 0.8 - 1.2 EAA + NEAA
3 - 5 (maks 7)
(+NEAA) Makanan
Formula
Berat
1.0 - 1.5 EAA +
NEAA Formula
Glukosa 50 -
Glukosa 50 70% 70% + emulsi lemak 10 - 20% EAA + NEAA (biasa atau khusus untuk ginjal) + multivitamin + multitrace element
Dari Druml W. Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephrology and Hypeltension. Philadelphia :WB Saunders Company ; 1999.
mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam. Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.
Bellomo R. Ragshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia: A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients'? (eds.): Acute Kidney Injury. Contrib I Ncphrol. Basel. Karger, 2007, Vol. 156. pp 1 - 9. Kelluni JA, Bellonio K. Ronco C.. The Concept of Acute Kidney Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney lnjury. Contrib Nephrol. Basel. Karger. 2007. Vol. 156, pp 10 - 16. Vincent Louis J . Critical Care Nephrology : A ~Mul~idisciplinary Approach. Contrib Nephrol. B;~sel,Karger, 2007. Vol. 156, pp 24 - 31.
Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 1 1 8. Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212. Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney lnjury : From Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219. A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339. Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008. Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008. Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to improve out-. comes in acute kidney injury. Critical Care, Vol. l l No.2 : 1 - 8; 2007. Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574. Himmelfarb J and lkizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International (2007) 71, 971-976. Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute Renal Failure. A LANGE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98. Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal failure.The renal system. 2001 ;5:65-73. Lameire N, Wim Van Biesen. Vanholder R. Acute renal fai1ure.t. 2005;365:4 17-30 Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6'Ih edition. New York London; 2005. Suhardjono, Sukahatya M. Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 417-22. Susalit E. Penanganan gagal gi~ijalakut di ICU. Nskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. . 18-22. Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. 1-7 The VA I NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal Support in Critically 111 Patients with Acute Kidney Injury. N. Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20. Druml W. Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.
HEMODIALISIS Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
PENDAHULUAN Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa T P dibutuhkan, perlu pemantauan yang 'ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan T P tersebut dapat dimulai.
TERAPI PENGGANTI Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1 tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya dilakukan dalam keadaan yaag sangat khusus atau pada penelitian.
I
Dialisis A. Dialisis Peritoneal (DP) - DP intermiten (DP) - DP mandiri berkesinambungan (DPMB) - DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) - DP nokturnal (DPN) B. Hernodialisis (HD)
II
Transplantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)
Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sarna di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar 1). Besar pori pada selaput akap menentukm besar malpkul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila ( I ) perbedaan
pJ-;ps;
Selaput Semipermeabel
0
Kompartemen 1
0
1
Kompartemen 2
Garnbar 1. Proses dialisis
konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosaterjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.
Darah kembali ke badan
Pembuangan Dialisat dialirkan pompa Garnbar 2. Bagan hemodialisis
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2sampai 2,l m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selarna proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang merniliki pori-pori kecil
sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman hams dijaga agar kurang dari 200 kolonilml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berlusar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akzn menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi. Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Amerika Serikat dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacatjasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid.Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke d a l q darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi. Pada proses 'dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di
mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan dar& yang mengalir ke dialisel; harm memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umurnnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, h a m otot, mud dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasiyang jarang terjadi rnisalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meqhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan urnbi-umbian tidak dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berza badan yang besar. ' Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi diaflisis. Terdapat korelasi yang h a t antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan {KT/
V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT1 N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sjima dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju fdtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 a m e n i t . yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5 rnL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 a m e n i t tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari hal tersebut di bawah : Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata K serum > 6 mEq/L Ureum darah > 200 mg/dL pHdarah<7,1 Anuria berkepanjangan ( > 5 hari) Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sak~t rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-120. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley & Belfus; 1986. Kaaono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono (ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.
DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter ( 1923).Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan dialisat komersial. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modern.
pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginial, pada gangguan faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.
Cairan Dialisat Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1.Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 33-4,5 mEq1 liter cairan dialisat.
Elektrolit
MEqlL
Tek. Osmosis lmOsmlLl
Mg++ CILaktatGlukosa
1,5 102,O 43.5
03 102,O 83,3
PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam
291,O rnEq/L
15,O gr/L
371,6 rnOsrn/L
Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat
-
mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3 5 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pelnbentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan.
lndikasi Pemakdian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : 1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis lain di mana D P telah terbukti manfaatny a. Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang beluln diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.Salah satu cara yang seiing digunakan untuk menilai efisiensi D P adalah dengan menentukan peritoneal clrc~r-ance (klirefls peritoneal) dengan rumus: Cp
=w
P Cp : Peritoneal Cleamrzce U : Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat y ang kel~lardari kavum peritoneum (mg%). p : Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) V : Volume cairan dialisat tiap menit (mL) Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell tirne = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, pe~meabilitasperitoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.
KOMPLlKASl DIALISIS PERITONEAL Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan komplikasi radang.
a. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (vsus, aorta, kandung kencing, atau hati). Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter . Gangguan drainasr (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut. b. Komplikasi metabolik Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan asam basa. Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali d m kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis. Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat. Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil penurunan ureum dalam otak d a n cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain: teori hipoglikemia, perubahan p C 0 2 dan pH. pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan WCa serum. c. Komplikasi radang Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis.
INDlKASl DP PADA GAGAL GlNJAL AKUT Pasien GGA dapat dilakukan D P atas dasar : 1. DP pencegahan :DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan. 2 DP dilakukan atas indikasi : a. Indikasi klinis :keadaan umum je1ek.b gejala klids nyata. b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%, Kalium <6 mEqIL, H C 0 3 < 10-15 mEqIL, pH<7,1.
DlAUSIS PERITONEAL
PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau HD tergantung keadaanl kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan bahwa dari kasus-kasus GGA, 20% lebih baik bila dilakukan DP, 20% lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 60% sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD. DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis pilihan pada keadaan-keadaan berikut : Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi. Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan (hemodinamiktidak stabil). Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock. Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis HD sukar dilakukan. Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat. Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan. Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak.
21/2 -3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum ( dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik. namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau IPD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin. Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut 99,77,67,60, dan 42%, sedangkan technical survival berturut-turut 77,58,46,40, dan 21%.
CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL DIAL YSlS (CAP D)
PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT
CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DPdapat berupa: a). Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selarna 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12-14jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama
Prosedur CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan 7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureurn antara plasma darah dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL dapat dicapai dengan 2 kali per- gantian dengan cairan dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik.
-
Cairan Dialisat Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%, 2 3 % dan 4,25% dalarn kantong plastik 2 liter. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi dari plasma 1Osmolalitasplasma 280 mOsm/L) dan ditambah laktat (Tabel 1).Bila pasien normokalernia atau hipokalemia, perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 m E q L untuk mencegah hipokalemia berat. Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat. KONTRAlNDlKASl CAPD Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.
HASlL PENGENDALIAN CAPD 1. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5 cclmenit dengan CAPD selama2-3 minggu, BUN= 50+5 mg% dan kreatinin plasma kurang dari 12 mg%. CAPD mempertahankan kedua parameter tersebut lebih rendah dari pada IPD. 2. Air Elektrolit dan Bikarbonat. Air dan natrium. Illtrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian dengan dekstrosa 1,5% dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4,25%. Setiap hari dapat dikeluarkan 3-4 gram Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak mernbutuhkan pembatasan air dan garam. Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3 mEq/L; CI = I00 :t 5 mEqL; K = 4,l :t 0,4 m E q L dan HC03 = 25 :t 4 mEq/L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan kalium per oral. Pengarnbilan solut tergantung dari konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel 2). Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEqL) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini
Konsentrasi Osmolalitas dekstrosa (mOsMIL)
Per hari Air (mL) Natrium (mEq) Kalium (mEq) Kreatinin (mg) Protein (g) Calcium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg)
,,,,
Na
Ca
Mg
CI
Laktat
Per kantong Dekstrosa 03%
1,5%
4,25%
734 129 20 803 7,1 23 313 37
diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja. Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratihid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih rnemerlukan obat pengikat fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 m E q L akan menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18 mEqL menjadi 22,23 mEqA 3. Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan kesepuluh dan akhirnya diikuti penurunan dan pada umumnya stabil pada kadar 8 gldl. Ini disebabkan kemungkinan karena pengambilan bahan toksik metabolik sehingga rnemunglunkan sumsum tulang bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan pada sistem eritropoietin menurun dan bila perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik metabolik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan kembali turun. 4. Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum protein pada umumnya stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 2 0.8 mg%. Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui rnembran peritaneurn selama CAPD dan 75% dari protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5- 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya. 5. Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam
-
1101
IUPERTENSl PADA KEHAMILAN
4. Hipertensi gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria. Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian dapat juga keadaan ini berlanjut rnenjadi hipertensi kronik.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna mernantau perubahan dalam hematologi, ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP ( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin 24jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang pada keharnilan umumnya kreatinin serum menurun. Asarn urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.
PENANGANAN HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Penanganan Non-farmakologis Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, rnenunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaanyang lebih baik. Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam. Pemberian Obat Antihipertensi Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak
begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat i rnengganggu perkembangan janin. ~ u k t penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belurn meyakinkan karena jurnlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup mempklihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik. Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 rnmHg pada perempuan hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin. Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik > 105 - 110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg. Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umurnnya adalah di atas 140mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang normal.
Obat-obat Antihipertensi Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral atau oral. Qbat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada Tabel 1.
Agonis Alfa sentral Penghambat Beta Penghambat Alfa dan Beta Antagonis Kalsium Inhibitor ACE dan Antagonis Angiotensin Diuretik
Vasodilator
Metildopa, obat pilihan Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada kehamilan trimester akhir Labetalol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan dapat diberi intra vena Nifedipin oral, isradipin i.v. dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi Kontra indikasi, dapat mengakibatkan kematian janin atau abnormalitas Direkomendasikan apabila telah dipakai sebelum kehamilan. Tidak direkomendasikan pada preeklampsia Hydralazine tak dianjurkan lagi mengingat efek perinatal
Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai maksimal4 gram sehari. Labetalol 100 mg 2 kali sehari, rnaksimum 2400 mg sehari. Atenolol, penghambat beta yang
1102 tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran apabila dibe~ikanniulai dari awal kehamilan. Labetalol yang mempunyai efek pengharnbat alfa dan beta dapat mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam keadaan yang maksimal. Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi ringan ~neningkatkanrisiko ~nendapatkanbayi yang lebih kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan 95% ( I -02- 1,82), ~isikoyang tidak lebih besar dibanding obat hipertensi yang lain. Semakin banyak pengalaman yang didapat dari golongan obat antagonis kalsii~myang terbukti cukup aman dipakai pada kehamilan. Nifedipin kerja panjang (dosis maksimum 120 mghari) dan golongan noiidihidropiridin verapamil dapat diberikan. FDA tidak n~eneriinanifedipin kerja cepat sebagai pengobatan hipertens1 darurat dan pemberian sub lingual karena terbukti nienumnkan tekanan darah berlebihan. Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada kehamilan didapat kesinipulan bahwa pemilihan antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1 efek obat terhadap ibu dan janinnya.
Target Tekanan Darah Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150 dan diastolik 90-100 mmHg. Pada percmpuan haniil yang telah mempunyai gangguan organ target. tekanan darah dianjurkan diturunkan kurang dari 140190 ~nmHgsampai mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah dilakukan belum ada bukti yang jelas apakah keuntungan dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120180 mmHg. bagi ibu dan janinnya. Hipertensi Pasca Partus dan Ibu yang Menyusui Data ~nengenaiha1 ini terbatas. Pada ulnumnya setelah partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perenlpuan yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan nienibaik dalam waktu beberapa minggu. rata-rata 16k9.5 hari &an sudah nlembaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus dievaluasi lebih lanjut.
GINJAL HIPERTENSI
Selain dapat nleneruskan pengobatan yang dipakai selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak menyusui bayi dapat diberikan'golongan obat penghambat ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretik yang diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila tekanan darah sebelum keha~nilannormal, setelah 3 minggu pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan peningkatan tekanan darah kembali. Semua obat antihipel-tensi akan masuk dala~nair susu ibu (ASI). Pada perempuan yang menyusui, obat golongan penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu. Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam AS1 sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah penghambat kalsium. Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin umuninya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi volume ASI.
August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD, editor. UpToDcitc 13.1. 2005. Chobanian AV. Bakris GL. Black HR. et al. The seventh report of the Joint National Cornrnittee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72. C i f k o v i R . Hypertension in pregnancy: recommendations for diagnosis and treatment. European Society of Hypertension Scientific Newsletter. Update on hypertension management. 2004:5:2. Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens. 2003;21:1011-53. Sibai BM. Diagnosis and management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet Gynecol. 7003;102: 181. Williams R. Poulter NR. Brown MJ, et al. British hypertension society guidelines. Guidelines for management ofhypertension: report of the fourth working party of the British Hypertension Society, 2004-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.
KRISIS HIPERTENSI Jose Roesma
PENBAHULUAN Krisis Hipertensi rnerupakan suatu keadaan klinis yang ditandai o l e h tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan tirnbulnya atau telah teqadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisis hipertensi rneliputi dua kelornpok yaitu: Hipertensi darurat (emergency hypertension): di rnana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalarn rnenit sampai jam) agar dapat rnencegahlmembatasi kerusakan target organ yang terjadi. Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di rnana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih larnbat (dalarn hitungan jam sampai hari). Pada umumnya krisis hipertensi diternukan di poliklinik gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang rnerupakan jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat di bagian penyakit dalarn, walaupun keluhan utarnanya berbeda-beda.
darah
Funduskopi
>220/140 perdarahan mm Hg eksudat edema papilla
Nt:&i
Prevalensi rata-rata 1-5 % penduduk dewasa tergantung dari kesadaran pasien &an adanya hipertensi dan derajat kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari dirinya adalah pasien hipertensi atau tak teraturl berhenti makan obat.
GEJALA Hipertensi krjsis urnumnya adalah gejalaorgan target yang terganggu, hi antarany a nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; rnata kabur pada edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1 ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada umurnnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ target. Selain pemeriksaan fisik, data laboratoriurn ikut rnernbantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat rnenunjukkan proteinuria, hernaturi dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureurn dan kreatinin rneningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritrnia.
Jantung
Ginjal
sakit kepala, kacau
denyut jelas,
uremia
gangguan kesadaran, kejang, lateralisasi
rnernbesar dekompensasi oliguria
proteinuria
Gastrointestinal mual, muntah
Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kii-i ataup~in gangguan koroner sel-ta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur ginjal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien. Gambaran klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada Tabel 1.
PENGOBATAN Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2. Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang segera menurunkan tekanan darah dalam menit-.jam sehingga umunlnya bersifat parenteral. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang tercantum pada Tabel 4.
R'",:
Obat
Dosis
Efek
Nifedipin 5-10 mg Kaptopril 12.5-25 mg Klonidin 75-150 ug
diulang 15 menit diulangl 112 jam
5-15 menit
4-6 jam
gangguan koroner
15-30 menit
6-8 jam
stenosis a.renalis
diulangl jam
30-60 menit
8-16 jam
Mulut kering, ngantuk
Propanolol 10-40 rng
diulangl 112 jam
15-30 menit
3-6jam
Bronkokonstriksi, Blok jantung
,
Perhatian Khusus
ye;
Obat
Dosis
Klonidin IV 150 ug
6 amp per 250 cc Glukosa 5% mikrodrip
30-60 menit
24 jam
Nitrogliserin IV
10-50ug 100uglcc per 500 cc 0,5 - 6 uglkglrnenit
2-5 menit
5-10 menit
1-5 menit
15-30 rnenit
Diltiazem lV
5-15 uglkglmenit lalu sama 1-5 uglkgl menit
sama
Nitroprusid IV
0,25 uplkglmenit
Langsung
Nikardipin IV
2-3 menit
Perhatian khusus ensefalopati dengan gangguan koroner
selang infus lapis perak
Kelom~ok Tekanan darah
Biasa ~1801110
Mendesak
Darurat
~1801110
Gejala
tidak ada, kadangkadang sakit kepala gelisah
sakit kepala hebat, sesak napas
sesak napas, nyeri dada, kacau, gangguan kesadaran
Pem Fisik
organ target taa
gangguan organ target
ensefalofati, edema paru. gangguan fungsi ginjal, CVA, iskemia jantung
Pengobatan
awasi 1-3 jam mulailteruskan obat oral, naikkan dosis
awasi 3-6 jam, obat oral berjangka kerja pendek
Rencana
periksa ulang dalam 3 hari
Periksa ulang dalam 24 jam
pasang jalur intravena, periksa laboratorium standar, terapi obat intravena rawat ruanganflCU
Data-data dari krisis hipertensi ini berasal dari pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan evidence based karena sedikitnya jumlah kasus dan sulit melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli berdasarkan pengalamannya masing-masing.
Kaplan NK. Hypertensive crises. I n : Kaplan's clinical hypertension. 8Ih edition. Lipincott Willianls & Wilkins; 2002. Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002. Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic med. 2003.
Soebandiri
BATASAN Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas: Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri atas sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang hentuknya dapat dilihat dengan mikroskop. Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut dalam plasma. Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed elements).Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu : Kompartemen sel-sel darah Kompartemen lingkungan-mikro Kompartemen zat-zat pemiculperangsang (stimulator) hemopoesis
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain: 1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur. 2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic-micro-environment. Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
3. ~ o d a r t e m e nke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi, berdiferensiasi danlatau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik (FPH).
I. KOMPARTEMEN SEL-SEL DARAH
Kompartemen sel darah terdiri atas:
A. Sel lnduk Pluripoten (SIP) Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan rnikro yang menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (1ineage)nya.Hal ini akan dibahas berikut ini. Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi
monoklonal (MonoclonalAntibody) (MoAb) dalarn jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-pcnemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Differentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atau flow cytometry. SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).
CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel matur). Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada Gambar1:
C. Sel-sel Darah Dewasa Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil,basofil, neutrofil), golongan-golongan monosit. makrofag, trornbosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang perlu dibahas tersendiri.
6. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Comitted Progenitor Hernopoetic Cells Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah, yaitu jalur-jalur turunan rnieloid dan makrofag disebut colonyforming unit granulocyte,erythrocyte,megakaryocyte, monocyte (CFUGEMM) dan jalur turunan limfosit (LymphoidProgenitor Cells = LPC). SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monosit/makrofag dan megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.
[
I.1.SIP
1.2.s~l-l-
!
/
!
i
i
I
I I I
I
CFU-G+MY
CFU-reg I
I BFU~ I CFU-E 1 B --
Gambar 1. Hierarki sel-sel darah
I
Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan kompartemen I1 yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang. Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag clan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macarri
SUMSUM TULANGIORGAN SENTRAL SEL-SEL MATUR
I I
CqU-GEMM
I I
1
II. KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MlKRO HEMOPOETIK (LMH)
b
+ ProMY-b MY+
I
I
-
PERIFER SEL MATUR
. v
I I
I I
Mo b + ProMo
PMo I I I I
G
-..-----,
M P ~
' bTr
~ e g - ~ .
Poli Kromato-
MetaMy
j DARAH TEPllORGAN
Ii
Eo
- I I
petic I
ERY
zat yang dapat menstirnulasi pertumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan colony stimulating factors (CSF) atau juga Hemopoetic Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimukztingfactor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini. Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag, endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-&an merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Nomenlclatur FPH menggunakan 3 cara yaitu: Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF,G-CSF, M-CSF dan sebagainya. Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL- 1, IL-2 dst. Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cellTfactor (SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya. Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat proses.
Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu: Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CW-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF) Redundansi hnya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misalnya:CFLT-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang berbeda. lkansmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.
KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA HGF (HEMOPOETIC GROWTHFACTOR)
Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH (tentu bila ada indikasi), narnun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sis'tem hemopoetik perifer, namun perlu pembahasari khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan diproduksi.
Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen 11). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di Mon Clan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).
Jenls Sel LMH Fibroblast Endotil Adiposit Matriks Ekstra Selular (ECM)
GGSF
GM-CSF
FGF
+
++ +++ + +++
++ + ++
+++ + +
+
VWF
H-CAM
Selektin
Cadherin
+++
++
+
++ +++
.+++
+++
+
+++
Gambar 2. Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitasl sel sasaran
Hampson L, Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis. Education Programme of The 26Ih Conggress of The ISH. Singapore: 25-29 August; 1996. p. 399. Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells. In: Lee GR, et al, editors. Wintrobe's clinical hematology. Volume IA. Chapter 8. edition. Philadelhia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 145. Mazza JJ. Hematopoesis. In : Massa JJ, editor. Manual of clinical hematology. 2" edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.
Mollineux G, Mazanet R. Hemopoetic growth factors. In: Provan D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London: Blackwell Science; 2000. p. 198. Soebandiri. Hemopoetic growth factors. Naskah Lengkap Konas VIII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM 11). Testa NG, Dexter TM. The regulation of hemopoetic cell production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD, Editors. Post graduate hematology. 4Ih edition. Oxford, Boston, Singapore: Butterworth Heinemann; 1999. p. 1.
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA I Made BaMa
PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di sarnping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic d e b i l i ~ yang ) mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunanjumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalarn mernilih, menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, perneriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit dalarn.
KRlTERlA ANEMIA Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut offpoint) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadw hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbedq yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11gldl (hematokrit 36%)untuk perempuan hamil, dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti terlihat pada Tabel 1.
Kriteria Anemia fHb) . ,
Kelom~ok Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil
< 13 gldl < 12 gldl < Ilaldl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kri teria hemoglobin kurang dari 10 gldl sebagai awal dari loork up anemia. atau di India dipakai angka 10- 1 1 gldl.
disebabkan oleh karena: I). Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Tabel 3.
A.
PREVALENSIANEMIA Anemia merupakan kelainan yang sangat sering diju~npai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
B.
C.
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik Anemia akibat hemoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular a. Gangguan membran eritrosit (membranopati) b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi GGPD c. Ganaauan hemoalobin (hemoalobino~ati) ~, , - 'rhalassemia - Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dl1 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler a. Anemia hemolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
--
Lokasi Negara rnaju ~egara berkernbang Dunia
Anak 0-4th
Anak 5-12 th
Laki dewasa
Wanita 15-49 th
Wanita hamil
12% 51%
7% 46%
3% 26%
14% 59%
11% 47%
43%
37%
18%
51%
35%
D.
-
-
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut: Anak prasekolah : 30-40% Anak usia sekolah : 25 - 35% Perempuan dewasa tidak hamil : 30 - 40% Perempuan harnil : 50 - 70% Laki-laki dewasa : 20 -30% Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40% Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik rnikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
ETlOLOGl DAN KLASIFIKASI ANEMIA
PATOFlSlOLOGl DAN GEJALA ANEMIA
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
I.
II.
Ill.
Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anen-:? akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik Anemia normokromik norlnositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom rnielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi 812, terrnasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia bada sindrom mielodisplastik
anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebutjuga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrop anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl). 2. Gejala khas masing-masinganemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh: Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomalitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B 12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3. C~jalapenyakit dasar. Gejala ymg timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering g e j a penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalarn diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: I). Pemeriksaan penyaring (screening test); 2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum tulang; 4). Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengu4uran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik. Pemerlksaan sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron
-
binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Per1:Y stain). Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain-lain. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang. Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
PENDEKATAN DIAGNOSIS Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (diseuse erztity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (urzderlying diseuse). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah: Menentukan adanya anemia Menentukan jenis anemia Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan
Pendekatan Diagnosis Anemia Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta pendekatan klinis. Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional dan Probabilistik Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif. Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia makrositer. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia
dan kemungkintun penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epideniiologi yuitu pola etiologi anemia di suatu daerah.
Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita pertamatama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah. Pendekatan Klinis Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1). Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2). Berat ringannyaderajat anemia. 3). Gejala yang menonjol. Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh: I). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >1 g/dl per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh: I). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat atau vitamin B12; 3). Anemia akibat penyakit kronik; 4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital. Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh: 1).Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau
)\g3
PENDEKATANTERHADAP PASIEN ANEMIA
kongenital seperti misalnya pada thalasemia major; 5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat ialah: ]).Anemia akibat penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik; 3). Thalasemia Trait. Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosis lain; atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.
Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (Garnbar 1 sad.Gambar 4)
QENDEKATANTERAPI Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik, b). rerapi suportif, c). Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi ~ Di sini harus dilakukan percobaan (terapi e .juvantivus). pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
+
j
I
4
&
Anemia hipokromik mikrositer
Anemia norrnokromik normositer
Anemia makrositer
I
I
I
Lihat Garnbar 2
+I &/I
Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia
ri Feritin normal
FeritinU
/
Feritin NIT
Keterangan: t=meningkat, .l= menurun, N= normal.
1
Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER I
I
I Normallmenurun I 4 Sumsum tulanq I
Tes Coomb
+ Negatif
I
CI
t Positif
1
Riwayat keluarga positif
Hemoglobinopati
Gambar 3. Algoritrne diagnosis anemia norrnokrornik normositer
Anemia
Gambar 4. Algoritrne pendekatan diagnostik anemia rnakrositer
PENDEKATANTEluIADAP PASIENANEMIA
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.
KESIMPULAN Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis &an pemeriksaan laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan terapi kausal.
Bakta 1M. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI). 1999;1(2):67-88. Bakta IM, Lila IN, Widjana DP. Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII. Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990. Bakta 1M. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6. Bakta IM, Sutjana DP, & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres nasional IV PHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983. Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan (suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI. Semarang: KOPAPDI; 1981 .
R..dtler E. Lichtman MA, Coller BS, Kipph TJ, Seligsohn U, Willia~nsWJ. Approach to the patient. In: licu~lcrE, Coller BS, Lichtman MA. Kipps TJ, editors. William5 hematology. 6Ih edition. New York: McGraw Hill. p. 3-8. Beutler E. The common anemias. JAMA. 1990;259:2433-7. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengohatan anemia. Surahaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan L,ah/UI'F llmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr. Sutomo; 1988. CawIey JC. Hae~narology.Londo~l:W. Heineman Med. Books; 1083. Conrad ME. Anemia. eMedicine Journal. 2002;3(2): 1-25. Evatt BL. Fundamen!r~.ldiagnostic hematology: anemia. Atlanta & Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO, 1992. DeMaeyer EM. Preventing and controlling deficiency anemia through primary health care. Geneva: WHO; 1989. Djuhelgovic B, Hadley T & Pasic RA. New algorithm for diagnosis of anemia. Postgraduate Medicine. 1989;85: 1 19-30. Djulbegovic B. Reasoning and decision making in hematology. New York: Churchil Livingstone; 1992. Fairbanks VF. The anemias. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical hematology. zndedition. Boston: Litte Brown; 1995. p. 17-69. Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology. I lIh edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 947-1009. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential hematology. 41h edition. Oxford: Blackwell Science; 2001. Husaini M, Husaini YK. Siagian UL & Suhamo D. Anemia gizi: suatu studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan program. Bogor: Puslitbang Gizi; 1989. lsbister HP, Pittglio DH. Clinical hematology: a problem-oriented approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988. Kellernieyer RW. General principles of the evaluation and therapy of anemias. Med Clin N Am. 1984;66:533-43. Linker CA. Blood. In: Tierney LM, h4cPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnosis & treatment. 36Ih edition. Stanford: ' ~ ~ p l e t o&n Lange; 1997. p. 463-51 8. Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison:~Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. New York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762. Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci. 2004;58:26-9. Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult and child with anemia. In: Hoffman R, Benz El, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology: Basic Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill Livingstone; 2000. p. 367-82. Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2004: b58:24-5. Weatherall DJ & Wasi P. Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors. Tropical and geographial medicine. New York: McGraw-Hill Book; 1985. WHO Technical Repon Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ANEMIA APLASTIK Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPlDEMlOLOGl
Anemia aplastik merupakan kegagalan hernopoiesis yang relatif jarang ditemukan narnun berpotensi mengancarn jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia surnsum tulang dan pertarna kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pernakaian narna anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang. Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisisdan anemia paralitik toksik. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoriurn. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir bab.
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sarnpai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa d m Israel sebanyak 2 kasus per 1juta penduduk. Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dm di Bangkok 3,7 kasus per 1juta penduduk per tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur dunia daripada di belahan Barat. Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih kecil rnuncul setelah usia 60 tahun. Umur danjenis kelarnin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30dan setelah urnur 60 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan berumur di atas 60 tahun. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikanmenjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (Tabel 1).Risiko rnorbiditas dan mortalitas
Klasifikasi Anemia aplastik berat Selulantas sumsum tulang * Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel da rah Anemia aplastik sangat berat Anemia aplastik tidak berat
Kriteria
Hitung neutrotil < 500lpL Hitung trombosit < 20.000lpL Hitung retikulosit absolut < 6O.OOOlpL Sama seperti di atas kecuali hitung neutrotil < 2001pL Sumsum tulang hiposelular namun sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan .sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
PATOFlSlOLOGlDAN PATOGENESIS Dahulu, anemia aplastik dihubungkan e 9 t dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2. Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak-menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung = latrogenik = Radiasi Kemoterapi Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat Penyebab yang diperantarai imun latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host disease = Fasciitis eosinofilik = Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatik
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, misalnya virus EpsteinBarr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrome(AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindiom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, d m non-C. Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis.Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan berikumya. Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi pan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Math6 et a1memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem cell). Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsurn tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan interferon-y dan TNF-a yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34'. Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastikjuga mensekresi sitokin T-helper-] yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat
kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik.Lagipula, derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secwa fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada aneinia aplastik, sel-sel CD34'j'uga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakatyositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan "tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperllhatkan penunman. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerrninkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Gambar 1. Destruksi imun
Destruksi lmun Banyak data laboratorium yangmenyokong hipotesis bahwa pad& pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosisfactor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Narnun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umurnnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling prirnitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya bejumlah h a n g dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel
pada sel hematopoietik (Modifikasi dari Young, 1997)
-
asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali. yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.
MANlFESTASl KLlNlS DAN DIAGNOSIS Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-rninggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh salut kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaanflow cytornetry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyot~pingsumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga 'sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan-diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Jenis keluhan
Jenis Pemeriksaan Fisis
Pucat Perdarahan Kulit = Gusi Retina Hidung . Saluran cerna Vagina Dernarn Hepatomegali S~lenorneaali
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit rnuda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
%
Perdarahan Badan lemah Pusing Jantung berdebar Dernam Nafsu rnakan berkurang Pucat Sesak napas Penglihatan kabur Telinga berdengung
PEMERIKSAAN FlSlS Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
Gambar 2. ~ums;rn tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan). (Diambil dari www.ashirnagebank.org)
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.
Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%)mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalarn jam pertarna. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal. Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis. Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik denganfluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular. Defisiensi lmun Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan perneriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Nuclear Magnetic Resonance Imaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berselular. Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
DIAGNOSIS BANDING Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital. Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Narnun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik sen myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplatik hipoplastik.
Myelodisplasia Hiposelular Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
1
Agranulositosis
Aplasia sel darah rnerah mum1
Trombos~topen~a amegakalyos~ttk
myelogenous akut
\
Anemia aplastikhemoglobinuria nokturnal paraksismal
Gambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis bandingnya (Modifikasi dari Young, 2002)
terjadi. Proporsi sel-sel CD34' di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asaV induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dad sel asal CD34'; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34' merupakan target serangan autoimun. Dengan dernikian, proporsi sel-sel CD34' adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5- 1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik. Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromosom umumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Narnun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tarnpak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.
Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi denganflow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan jaman (obsolete). Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut" bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat datang.
Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda ‘pads pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada p o w cytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T.
PENATALAKSANAAN Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
-
'
terapi irnunusupresi atau TST, Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang mernpunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi irnunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-5001 mrn3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebihpendek untuk resolusi neutropenia (harus diingat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif rnungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi hams dibuat setelah rnemperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar 4).
TERAPI KONSERVATIF Terapi lmunosupresif Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi irnunosupresif
Gambar 4. Algontme
adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerjaATG atau ALG pada kegagalan surnsurn tulang tidak diketahui dan mungkin rnelalui: Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal, Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Regimen irnunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 rngkg per hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 rngkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 m a g , bid) umumnya selama 6 bulan. Berdasarkanhail penelitian pada pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA mernberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA saja. Penarnbahan granulocyte colony-stimulatingfactor (G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan. Secara urnum, pasien yang berespons terhadap kombinasi ATG1 CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)
*
baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3 bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik dengan prognosis jangka panjang. Regimen imunosupresif yang lebih baru memakai nlycophenolate mofetil, dan dalam konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor [CD25] nzonoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat imunosupresif. Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undel*treatment atau kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan i dan hitung darah pasien penghentian d ~ n imunosupresi, sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regiF n ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengelirninasi sel-sel T autoimun. Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejuinlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang refrakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka panjang yang sangal baik. Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertama yang efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah terapi ini.-0leh karena itu, penggunaan siklofosfamid hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit: ATG atau ALG diindikasikan pada: 1). Anemia aplastik bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih dari 2001 mm3. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mgl kgbb selama zrninggu pertama pemberian ATG Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan semakin berat. Kira-kira 40-60% pasien berespons terhadap ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pernah dalam 2-3
minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira 30-50% dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira 25% pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi respons pada pemberian ATG 2-4 b~lan~setelah pernberian pertama. Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3-10 mg/kgBB/hari per oral dan diberikan selama4-6 bulan. Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka keberhasilan setara dengan ATG. Pada 50% pasien yang gaga1 dengan ATG dapat berhasil dengan siklosporin. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebasar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang diberikan 6 mg/kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis metilprednisolon 5 m g k g BB per oral setiap hari selama seminggu ken~udianberangsur-angsur dikurangi selama 3 minggu. -
, Relaps Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin membutuhkan periode pemeliharaan lami dengan CsA atau bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umpm, relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil, harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan untuk*imunusupresiyang mencegah relaps. Namun, ha1 ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
Penyebab Kelelahan cadangan sel asal lmunosupresi tidak cukup Salah diagnosis Kegagalan sumsum tulang herediter
Etiologi yang Mungkin Anemia aplastik diperaritarai imun Serangan imun persisten I
Patogenesis non-imun
1124
HEMAMLOC~
TERAPI PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES) Siklus lmunosupresi Berulang Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertarna dapat berespons terhadap siklus irnunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, angka penyelamatan yang berrnakna pada pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat rnenginduksi respons pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan terapi penyelarnatan dapat nlenunda transplantasi surnsum tulang. Narnun darnpaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi ATGI CsA harus rnenjalani TST. Selain terapi ATG berulang, obat-obat baru seperti Carnpath-l H atau antibodi n~onoklonalantiLCD3 dapat digunakan dalarn konteks uji klinik. Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik dan Steroid Anabolik Penggunaan gmnu1oc)~te-colonystimulating,factor (G-CSF, Fi lgrastirn dosis 5 igkgihari) atau GM-CSF (Sargrarnostim dosis 250 iglkglhari) berrnanfaat untuk rneningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hernatopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya rnodalitas terapi anemia aplastik. Beberapa pasien akan rnernperlihatkan pernulihan neutropenia dengan G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik biasanya refrakter. Jika dikornbinasi dengan regimen ATGI CsA, G-CSF dapat rnernperbaiki neutropenia dan respons terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di rnasa depan. Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSFdengan obat lain telah digunakan untuk terapi penyelarnatan pada kasuskasu's refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pernulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya rnonosomi-7. Steroid Anabolik Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia apalstik sebelum penemuan terapi irnunosuresif. Androgen rnerangsang produksi eritropoie~in , dsel-sel ~ <.-.-<*?*:' in~uk~su~sum;~la~:.~rin$$ndroge$ ,. .- . , hanya digunakan sebagai.teiipi penyd@atan ~ntuk''pasi&yangrefrakter en saat ini .terapi i r n u n ~ s u ~ r e s i : $ : ~ ~ h dy ri n~g~ tirsedia aritafa lain ejcyrii.e%h>lone'dan danazol. Obat-obat ini terbukti berrnanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan hepatotoksitas. >
< .;
TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG Regimen corzdirioning yang paling sering adalah siklofosfarnid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfarnid plus total thorcicocihdom.ina1 irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease telah mernbuat TST inenjadi prosedur yang jauh lebih aman dan menjadi kan TST suatu pili han bagi lebih banyak pasien anemia aplastik. TST rnenyediakan alternatif terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan kornplikasi jangka panjang terapi IS konservatif, terrnasuk perkembangan MDS dan angka relaps yang tinggi. TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang mernpunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umurn, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan dernikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang rnerniliki donor cocok. Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belurn dipastikan, narnun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi irnunosupresif intensif sebagai upaya pertama. Transplantasi sumsurn tulang alogenik dengan saudara kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka keberhasilan rernisi komplit permanen lebih dari 80% pada kelompok pasien terpilih yang berumur kurang dari 40 tahun clan bisa hidup lama. Makin rneningkat urnur, rnakin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsurn tulang donor yang disehut graft-versus-host disease (GVHD). Transplantasi surnsum tulang antara urnur 40-50 tahun rnengandung risiko meningkatnya GVHD dan rnortalitas. Transplantasi surnsum tulang dapat dikerjakan Pada umurnnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gaga1 dengan ATG, dan rnempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok rnaka pernberian transplantasi surnsum tulang perlu dipertirnbangkan. Akan tetapi dengan pernberian irnunosupresif sering diperlukan transfusi selarna beberapa bulan. Bila transfusi ktrnppaeq darah sangat diperlukan, sedapat m . ~ ~ & , d i ~ ~ k $ , ! & $ $ rnereka yang bq$,~+_potensfalsebagai donor i&s$rn tulang untuk ~iiembatasireaksi penolakan cangkokan (&aft rejection) yang kelak dapat .m . ..'e . *.n g .g i p ~ ikeberhasilan transplantqsi su&sbm~'tulang, kafena antibodi yang . , . .. . . d e r b e n t u k akibat transfusi. Pada hasien yang bklurn , ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi surnsurn tulang, ' . yang hidup rnencapai 8 1 %, sedangkan bagi yang telah rnendapat transfusi sebelurnnya yang hidup hanya 46%. ;;.,-t.-'l').*::.
%
i
" Kriteria Respons Kelompok European Bone Marrow Transplantation . 1 - ?
e
+"
(EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut: Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mm3. Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit di bawah 2OOO/mm3, dan trombosit di bawah 100.000/mm3. Refrakter: tidak ada perbaikan.
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.0001 mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.0001mm3 (profilaksis).Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila ialrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup selama 20 tohun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempuma. Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik. Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
Kejadian ini mungkin merupakaa riwayat alarniah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemu'kanpada transplantasi sumsum tulang.
ANEMIA APLASTIK HEREDITER Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik cafe'-au-lait pada anemia Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia. Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah pen yakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk-bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKCI, yang n~enghasilkanprotein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yangs disangka menderita AA didapat memiliki mutasi TERC. Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage di usia dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi, pasien sindrom ini mengalam peningkatan risiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda. Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini.
Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williams W J , Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4Ih edition. New York: Mc. Graw-Hill; 1990. p. 158-74 Alter BP. Bone marrow failure: a child is not just a small adult (but an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103. Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:3 18-36. Brodsky RA. Jones RJ. Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164756 Fibbe WE. Telomerase mutations in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352: 1481 -3. Gluckman E, Esperou-Bourdeau H. Bamchel A, Boogaens M, Briere J. Donadio D, et a]. Muticentre randomized study comparing cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with prednisone for treatment of severe aplastic anemi. Blood. 1992;79:2540-6. Gordon-Smith EC. Aplastic anemia and allied disorders. Cum Opin Hematol. 1993:45-51.
Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia. KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia & International scientific meeting of Haematologist from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993. Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult patients. Hematology. 2005: 110-17. Rosenfeld S. Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association between hematologic response and long-term outcome. JAMA. 2003;289(9): 1 130-5. Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983. Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2. Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock SJ. et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med. 2005;352(14):1413-24. Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med. 1997;336(19):1365-72. Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.
ANEMIA DEFISIENSI BESI IMade Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda
PENDAHULUAN Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromikmilcrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.
KOMPARTEMENBESl DALAM TllBllH Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mgl kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jurnlah besi pada perempuan pada umurnnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil.
METABOLISME BESl Besi merupakan trace element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzirn. Besi di darn terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
A
Senyawa besi fungsional
B C
Senyawa besi transportasi Senyawa besi cadangan Total
Hemoglobin Mioglobin Enzim-enzim Transferin Feritin Hemosiderin
2300 rng 320 mg 80 mg 3 mg 700 mg 300 mg 3803 mg
-
metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi heme dioksidasi menjadi hernin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor. Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh "set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel absorptif. Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase: FaseLurninal: besi dalarn makanan diolah dalam larnbung kemudian siap diserap di duodenum. Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.
Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu: Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat dan serat (fibre).Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali (carefully regulated).Besi dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp 2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
I
I I
Permukaan Apikal
Permukaan Basolateral
1
I 1
DMT 1 = divalentmetal transporter 1 DCYTB = duodenal wtochrome b like protei n Gambar 1. Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum
1129
ANEMIA DEFISIENSIBESI
FASE KORPOREAL Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalarn darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fez-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin (transferrin receptors = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fez-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coatedpit), cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan perubahan konformasional dalam protein sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalarni siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
MEKANISME REGULASI ABSORBSI BESl Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus : Regulator dietetik. Absorbsi besi dipengamhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari surnber hewani, serta adanya faktor enhancer akan meningkatkan absorbsi besi. ~edangkanbesi dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dari surnber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan disertai prosentase absopsi besi yag rendah. Padadietary regulator ini juga dikenal adanya mucosal block, seperti yang telah diuraikan di depan. Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regulasi ini bekeja belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cell programming sehubungan dengan respon saturasi transferin plasma dengan besi. Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubungan kecepatan eritropoesis. Erythropoietic regulator mempunyai kemarnpuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi dibandingkan dengan stores regulator. Mekanisme erythropaietic regulator ini belum diketahui dengan pasti. Eritropoesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi disertai penghancuran prekursor eritrosit dalam sumsum tulang), seperti misalnya pada thalassemia atau hemoglobinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi besi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan eritropoesis akibat destruksi eritrosit di darah tepi, seperti
misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan pertama dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir ini ditemukan suatu peptida hormonal kecil yaitu hepcidin yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble regulator absorbsi besi dalam usus.
SIKLUS BESl DALAM TUBUH Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi tejadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untukdapat memenuhi kebutuhan eritropoesissebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalarni proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengan demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed circuit) yang sangat efisien, seperti yang dilukiskan pada Gambar 2.
o-[ darah
I
--
Gambar 2. Skema siklus pertukaran besi dalam tubuh
KLASlFlKASl DERAJAT DEFlSlENSl BESl Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu Eritropoesisdefisiensibesi (iron dejkient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
PREVALENSI Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
Laki dewasa Wanita tak harnil Wanita harnil
Afrika
Arnerika Latin
Indonesia
6% 20%
3% 17-21%
16 - 50% 25 - 48%
60%
39 - 46%
46 92%
-
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia.Martoatmojo et al memperkirakanADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pi1 besi. Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES 111) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari I % pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4% pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-1 1% pada perempuan masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopause.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: - saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tarnbang. - saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia. - saluran kermh: hematuria - saluran napas: hemoptoe. Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalarn masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia. Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di rumah s&t atau praktek klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada umurnnya disertai anemia derajat berat. Lfi lapangan faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi rnungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-lakiialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing-masing 17%.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
-
ANEMIA DELlSW S l BESI
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menuiun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya tirnbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA DEFlSlENSl BESl Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen pcnting dari mioglobin dan berbagai ensim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan; (3) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi; (3) gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes. Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase, ~nenyebabkangangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terhukti menurunkan produktivitas keja. Dampak negatif ini dapat dihilangkan jika diberikan preparat besi. Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan kognitif dan non-kognitif pada anak clan bayi sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak. Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi
besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi: Di pihak lain besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas selular. Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan angka kematian maternal, iebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus.
GEJALA ANEMIA DEFlSlENSl BESl Gejala anemiadefisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 gldl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah: koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3) atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
Gejala Penyakit Dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kylit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar henloglobin menurun. Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis. Malun berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umurnnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.
Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi.
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah: Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi, menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis(A). Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya (B).
Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 ygldl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 ygldl, dan saturasi transferin < 15%.Ada juga yang memakai saturasi transferin < 16%, atau < 18%. Hams diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 ygn, tetapi ada juga yang memakai < 15 ygn. Untuk daerah tropik di mana
ANEMIA DELlSlENSl BESl
angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah salut di Bali pemakaian feritin serum < 12 pg/l dan < 20 pgfl memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/l, tanpa mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum < 20 mgA sebagai kriteria diagnosisADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas sepel-ti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 pg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratoriumuntuk diagnosis IDA yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di khnik rnaupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. Pro:oprErin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, rnisalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalarn eritrosit.Angka normal adalah kurang dari 30 rngldl. Untuk defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mgldl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam. Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan cam imunologi adalah 4-9pgL. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.
Sumsum tulang menunjukkanhiperplasianormoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasrnanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di Minik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, narnun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis. Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,
dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensibesi.Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut oflpoint anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik rnikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari a, b, c, atau d. -. Dua dari tiga parameter di bawah ini: - Besi serum <50 mg/dl - TIBC >350 mgldl - Saturasi transferin: <15%, atau Feritin serum <20 mg~l,atau Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau Dengan pemberian sulfas {erosus 3 x 200 mglhari (atau preparat besi lain yang setara) selarna4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl. Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya. Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi
-
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan perneriksaan feses untuk lnencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (rlir-ecr smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utarna ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau eggper.grarnfaeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan. Anemia akibat cacing tambang (hooku~ormanemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pernbengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibar cacing tambang dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tarnbang atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai. Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah sarnar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
-
-
Anemia Defisiensi Besi
Derajat anemia MCV MCH Besi serum
Ringan sampai berat Menurun Menurun Menurun < 30 Meningkat >360 Menurun < 15%
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokrolnik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah: a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tarnbang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal hams dilakukan, kalau tidak rnaka anemia akan karnbuh kembali b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacetnetz therapy): Terapi Besi Oral.Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, ~nurahdan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) mempakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus rnengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat lain: ferrous gluconate. ferrous ,furnurat, ferrous lactate dan ferrous succirznte. Sediaan ini harganya lebih rnahal, tetapi efektivitas dan efek saniping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan
-
Anemia Akibat Penyakit Kronik
Trait Thalassemia
MenurunlN MenurunlN Menurun < 50
Menurun Menurun Normal1 t
Menurun ~ 3 0 0 MenurunlN 10-20%
Negatif
Positif
Normal / d, Meningkat > 20% Positif kuat
Meningkat
Meningkat
Normal
Feritin serum
Merlurun <20 ygll
Normal 20-200 ygll
Elektrofoesis Hb.
N
N
Meningkat >50 IJClIl Hb. A2 meningkat
Saturasi transferin Besi sumsum tulang Protoporfirin eritrosit
Anemia Sideroblastik
Ringan sampai berat MenurunIN MenurunlN Normal,! ? Normal! d Meningkat >20% Positif dgn ring sideroblast Normal Meningkat >50 ygll N
ANJBUA DEFISIENSIBESI
enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan. Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untukmeningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi. Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal: Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gaegguan pencernaan seperti kolitis. ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditar?, hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gaga1 ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. ' Preparat yang tersedia ialah 'iron dextran complex (mengandung 5 0 mg besilml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih amafl. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, m&kipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai
1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di buwah ini: Kebutuhan besi (mg)
= (15-Hbsekarang) x BB x atau 1000 mg
2,4
+ 500
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian. c. Pengobatan lain diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorposi besi transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: - Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung - Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok - Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena. Respons Terhadap Terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama. mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15 glhari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4- 10 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum. Dosis besi kurang Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, . keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat Diagnosis defisiensi besi salah. Jika dijulnpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.
PENCEGAHAN Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
berupa: Pendidikan kesehatan: - kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang - penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan harnil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. ~ e York: w McGraw Hill, 2001. p. 491-762. Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. Illh edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins, 2004. p 947-1009. Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-1995. Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2). Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana, 2001. Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi). Surabaya:Universitas Airlangga, 1993. Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap KOPAPDI VIII, 1990. Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV:1054-1073. Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati, Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 123 1-1244. Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506. Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana 1996;27: 112-1 18. Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1994;25: 459-463. Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of iron deficiency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study. Proceedings of VIIlth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane 15-18 October 1995. Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infection and iron stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501. Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl 1): S33 Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill Livingstone, 2000. p 367-382. Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Journal, Vol 3, No 2, February 19,2002. DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989. Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 6Ih edition. New York: McGraw Hill,. 2001. p 447 - 470. Fleming RE, Sly WS. Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162. Frewin R, Henson A, Provan D. ABC of Clinical Haematology: Iron Deficiency Anaemia. BMJ. 1997;3 14:360. Goddard AF, McIntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Suppl 1V):ivl-iv5. Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. International Child Health 1991; 11:44-60. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology. 4Ih edition. Oxford: Blackwell Science, 2001. Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD. Postgraduate Haematology. 4Ih edition. 0xford:Butterworth Heineman, 1999. Hillman RS, Ault KA. Hematology in Clinical Practice: A Guide to Diagnosis and Management. 3rd edition. New York: McGraw Hill, 2002. Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam F K Universitas UdayanaJRS Sanglah, 2003 Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency Anemia - A Prospective Study. Aust NZ Med J 1979;9:402-407. Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG. Clinical utility of the soluble transfemn receptor and comparison with serum ferritin in several populations. Clin Chemistry 1998;44:45-5 1. Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch M, Sastroamidjojo S. Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya dengan pola konsumsi makanan. Penelitian Gizi dan Makanan 1973;3:22-41 Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2004;58:7981. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-11. Indian J Med Sci 2004;58:134-137. Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-111. Indian J Med Sci 2004;58:214-216.
Suega K, Dharmayuda TG Sutarga M, Bakta IM.Iron deficiency in pregnant women in Baii, Indonesia: a profile of risk factors and epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2002;33:604-607. Somayana G. Pemeriksaan feritin serum sebagai sarana diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar: Program Pendidikan Spesialis llmu Penyakit Dalam FK Universitas UdayanaIRS Sanglah, 2005. WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva: WHO; 1968.
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun 1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- 11 gtdL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Laporantdata penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil. Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan aruitis
reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis. Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asirntomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia). -
a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological stress syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis d i sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T 4 (tetraiodothyronine) menjadi T 3 (tri-iodothyronine), menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 0 2 sehingga sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang. b. Penghancuran Eritrosit Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa (compvlsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahankerusakan minor dari eritrosit.
AW.MlA PADA PENYAKIT KRONIS
c. Produksi Eritrosit Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemia tersebut (Tabel 1).
Fe plasma (rng/~) TlBC Persen saturasi Kandungan Fe di makrofag Feritin serum Reseptor transferin serum
Normal
Anemia Defisiensi Fe
Anemia Penyakit Kronis
70-90 250-400 30
30 >450 7
30
20-200 8-28
10 228
150 8-28
++
+++
TIBC-total iron binding capacity
Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang sangat bervariasi, sehingga tidak dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronis. (kalimat ini dihapus) Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya penglepasan atau menurunnya respons terhadap eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa penelitian kadar eritropoietin tidak berbeda bermakna pada pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan penelitian lain menunjukkan penurunan produksi eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya ha1 ini disebabkan oleh sitokin, seperti IL-I dan TNF-a yang dikeluarkan oleh sel-sel yang cedera. Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin. Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-a, IL-1, IFN-y yang ditemukan dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kgker, dan terdapat hubungan secara langsung antara kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-a dihasilkan oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus
menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efek TNF-a ini nlelalui IFN-y yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma. IL- l berperan dalarn berbagai manifestasi inflamasi,juga terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1, seperti halnya TNF. akan mengind~iksianemia pada tikus dan menekan pembzntukan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia. Kedua interferon tadi diduga dapat langsung menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-a, serta dapat menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian, bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara pasti belum dapat dijelaskan, kareila masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan penting dalam patogenesis anemia jenis ini.
GAMBARAN KLlNlS Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai garnbaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL.Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya. Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Ee dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFa dan interferon-y.Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher. Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor, dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus. Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan ha1 yang harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi maupun eritropoietin. ,
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat. Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis: 1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut. 2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced Izemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis. 3. Perdarahan kronis. 4. Thalasemia minor. 5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek dan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang. 6. Metastasis pada sumsum tulang. PENGOBATAN Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain: a Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr1dL. h Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan Alasan lain, besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA. Coller BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6Ih ed. New-York: McGraw-Hill Medical publishing division 2001; 41:481-7. Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of response to iron sucrose in inflammatory bowel diseaseassociated associated anemia. Am J Gastroenterol. 200 1 ;96:2382-7. Henke M, Laszig R, Rube C, et al. Erythropoietin to treat head and neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy: randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet. 2003;362: 1255-60. Leyland-Jones B. Breast cancer trial with erythropoietin terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60. Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V et al. Anemia of chronic disease in rheumatoid arthritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood. 2002; 100:474-82. Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology (hunting). 2002;16:Supp110:25-33. Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001;16:Supp17:36-40. Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G. Role of IL-I0 for induction of anemia during inf1ammation.J Immunol. 2002;169:2204-9. Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in inflammatory bowel disease: a systematic review of the literature. Am J Med. 2004;116:Supp17A:S44-S9. Weiss G Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352(10):1011-23. Weiss G. Pathogenesis and treatment qf anaemia of chronic disease. Blood Rev. 2002;16:87-96. Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int. 2000;58: 647-57. '
'
ANEMIA MEGALOBLASTIK Soenarto
PENDAHULUAN Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi menurut WHO 1972 sebagai berikut: Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu : Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11 g/100 ml : 12g/100ml 6 tahun - 14 tahun : 13 grJ100 ml Pria dewasa Perempuan dewasa tak hamil : 12gr/100 ml : 11gr1100ml Perempuan dewasa hamil Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12. Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah, combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung. Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel a4al hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA. $el-sel awaVpendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak efektif (ineffective erythropoiesis).
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat. Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperti yang tertera berikut ini.
KLASlFlKASl ANEMIA MEGALOBLASTIK Defisiensi Kobalamin Asupan tidak cukup: vegetarian Uarang) Malabsorbsi - Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam - Produksi faktor intrinsik yang tak niencukupi: anemia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau talc adanya faktor intrinsik yang bersifat kongenital. .- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa Uarang), sindrom Imerslund (rnalabsorbsi kobalamin selektif) Uarang) - Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm (Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop syndrome - Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin, neornisin. Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin I1 (jarang), defek enzim kongenital Uarang). Defisiensi Asam Folat Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering
pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi) Keperluan yang meningkat :kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hernatopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit eksfoliatif kronik, hernolisis Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat: phenytoin, barbiturat (?) ethanol Metabolisme yang Terganggu: penghambat dihydrofolat red~~ctase (metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin). Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihydrofolat reductase, dll). Sebab-sebablain Obat-obatyang mengganggu metabolisme DNA: antagonis purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonis pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain : prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin Gangguan metabolik (jarang): asiduria urotik hereditel; sindrom Lesch-Nyhan, lain lain Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui: anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoietik kongenital.
ASAM FOLAT DAN VITAMIN 812 Asam folat dan vitainin B 12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur rnakanan yang sangat penting bagi tubuh. Peran utarna asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan rnenghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi. Jaringan-jaringan yang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis, antara lain adalah sistem hernatopoiesis yang sangat sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik. Asam folat adalah narna yang biasa diberikan pada asampteroylrnorzogl~~tanlic. Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat rnenjadi iusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan. Defisiensi folat merupakan kornplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel parenkim hati, ha1 ini yang menjadi penyebab utama dari defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis
megaloblastik. Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain metotreksat, trimetopriin) atau yang dapat mengganggu absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh (antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda dalam sumsum tulang. Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-rnetiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat di dalam sel. Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu, dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan pengangkutan tetrahidrofolat. Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme histidin, yang menyarnpaikan gugus formimino tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon moieties". Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat memberikan "1 -karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawapenerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan blok-blok tersebut adalah: Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dirnasukkan dalam reaksi ketergantungan pada folat; Deoksitimidilatmonofosfat (dTMP), disintesis dari N5- 10 metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat (dUMP); dan
ANEMIA MECAL.OBLASTIK
Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein. Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat sebagai berikut (Gambar 1).
NS.l0- metil THF atau Ns - formil THF
\
segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon. Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen 1-karbon telah direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya ke dalarn siklus perpindahan 1-karbon,DHF telah direduksi menjadi THE Reaksi ini dikatalisis oleh dihidrofolat reduktase.
Vitamin Bi2
NS - metil THF
CH2CH2CONH2
S~ntase
+
dTTP
Dihidrofolat Reduktase
IL
Homosistein
Metil THF
Gambar 1. Metabolisme folat
Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin, deoksitimidilat monofosfat ( d m ) , dan metionin, sebagai lanjutan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon yang digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF).
Folat
7
Gambar 2. Rumus kirnia folat
THF memperoleh fragrnen 1-karbon, terutama dari serin, yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi. Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat. Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin, fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus methyl, lalu dikirirnkan ke homosistein. Dalam reaksi ini kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat
Gambar 3. Rumus kimia vitamin 812 (Kobalamin) Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.
Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon tambahan. Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino. Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan komponen organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan hams di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug. Selama pencemaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi (rnisalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit dan plasma. Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang
kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik umurnnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks kobalamin-FI dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin, adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor pengikat kompleks kobalamin-FI akan dibawa masuk ke sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu transkobalamin (TC) 11. Kompleks kobalamin-TC I1 kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan cepat dibawa ke hati, surnsum tulang, dan sel lain. Jalur penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4. Cbl
FmM Lumen
I
Ep~thelium
Ileum terminal
cbl&
Darah
Sel jaringan
Gambar 4. Jalur penyerapan kobalamin
Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selain itu 2 mg disimpan di jaringan seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila absorbsi dihentikan secara tiba tiba. Meskipun T C I1 adalah suatu acceptor guna penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I, yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya dengan pengikat .R gaster. TC I tampaknya diturunkan sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari pada yang terikat pada T C 11; meskipun demikian pengangkutan awalnya dari semua kobalamin yang diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC I1 dengan
cepat dibersihkan dari darah ($4 sampai 1jam), sedangkan pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini fungsi TC I belum diketahui. Di dalam sel sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase dan metil malonil-koenzimA(CoA) sintase. Kobalarnin ada dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom Cobalt yaitu : metilkobalamin dan adenosilkobalamin (juga disebut vitamin B 12). Sianokobalamin belum diketahui peran fisiologisnya dan hams diubah ke bentuk biologis aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan. Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1).Bila reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau; dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang kerusakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi megaloblastik. Pada defisiensi kobalamin, maka N5-metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang baru diambil dari aliran darah, tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotese folat trap. Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan pelan keluar d& sel. Karenanya defisiensi folat dijaringan akan terjadi, dan ini akan menimbulkan hernatoporesis megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara substansial, maka dengan penuiunan yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau supranormal. h dapat pula menerangRan mengapa dengan pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi hematologik parsial pada pasien dengan defisiensi kobalamin. Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiensi folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi dari homosistein plasma tampaknyamerupakan faktor risiko untuk kejadian trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui bahwa hiperhomosistein yang dialubatkan oleh defisiensi folat atau kobalamin merupakan predisposisi untuk trombosis atau mengubah respons dari pengobatan. Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari metilmalonil CoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya kofaktor ini yang berperan penting dalarn peningkatan yang cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang mengandung sejurnlah atom karbon yang berlebihan akan disintesis dan bergabung menjadi Lipid neuronal.
-
Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan &ante rjadinya kornplikasi neurologis defisiensi kobalamin.
GANGGUAN KLlNlS Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia rnegaloblastik, kausa dari anemia rnegaloblastik sangat bervariasi tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalarnin disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria rnerupakan tipe yang sering dari anemia rnegaloblastik. Di wilayah tropis, sprue adalah endernik yang merupakan penyebab penting tirnbulnya anemia rnegaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing . pita dalam &an yaitu Difilobotriurnlatumi, rnungkin sebagai penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di rnasyarakat Bali perlu rnendapat perhatian. Defisiensi kobalarnin kebanyakan selalu berkaitan dengan rnalabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian. Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena sirnpanan asam folat dalam tubuh relatif rendah, rnaka defisiensi asam folat dapat tirnbul rnendadak selama periode berkurangnya asupan atau rneningkatnya keperluan rnetabolik. Dan terakhir, defisiensi asarn folat dapat disebabkan oleh rnalabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang berdampingan akan berakibat pada pasien. Tidak jarang kornbinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue " sering tirnbul defisiensi kedua vitamin tersebut. Lesi biokirniawi sebagai akibat dalam rnaturasi rnegaloblastik dari sel sel surnsurn tulang juga dapat rnengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari rnukosa intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat rnengakibatkan rnalabsorbsi. Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan obpt obat yang rnengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, rnaturasi rnegaloblastik dapat rnerupakan gambaran defek sel induk hernatopoietik yang didapat. Dan sangat jarang ialah adanya defisiensi enzirn spesifik yang kongenital.
Defisiensi Kobalamin Gambaran klinis defisiensi kobalamin rnelibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sisterna nervorum. Manifestasi hernatologis sepenuhnya selalu berakibat anemia, rneskipun sangat jarang purpura, dapat pula tampak, karena trornbositopeni. Keluhan dari anemia dapat
termgkap sepei-tirasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalarn surnsurn tulang. Nadi denyutnya cepat, dan jantung rnungkin rnernbesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising sistolik. Manifestasi gdstrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan kernerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan bersarnaan dengan diare dan lain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini rnungkin rnerupakan bagian dari rnegaloblastosis dari epitel usus halus, yang rnengakibatkan malabsorbsi. Manifestasi gangguan neurologis, sering rnengakibatkan gaga1 sepenuhnya dalarn upaya pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah demielinasi, kernudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kernatian neuronal; dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Ternpat yang rnenderita gangguan termasuk syaraf perifer; rnedula spinalis, dirnana kolurnna posterior dan lateral rnengalami demielinasi; dan juga serebrurn sendiri. Keluhan dan gejala terrnasuk rnati rasa dan parestesia pada ekstremitas, kelernahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau rneningkat. Tanda Rornberg dan Babinsky rnungkin dapat positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang. Gangguan mental rnulai dari sifat rnudah rnarah yang ringan dan mudah lupa sarnpai dernensia yang berat atau psikosis yang sesungguhnya. Hendaklah diingat bahwa penyakit neurologik dapat pula tarnpak pada pasien dengan hernatokrit dan indeks sel darah rnerah yang normal. Kernungkinan akan banyak keuntungannya dengan pernberian suplernen folat dalarn rnakanan, yang rnungkin dapat rnernperbaiki keadaan seperti gejala neurologis karena defisiensi kobalarnin. Gangguan pelepasan kobalarnin dari rnakanan, kejadiannya belum dapat diketahui, Seperti diketahui kobalamin dalam rnakanan terikat pada enzirn dalarn daging dan kemudian dipisahkan dari enzirn tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung. Umurnnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun rnengalami aklonidria. Karenanya mereka talc mampu untuk rnernbebaskan kobalarnin dari surnber rnakanan tapi rnernelihara kernampuan absorbsi kristalin B12, suatu bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin. Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini terrnasuk kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC I1
dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat meramalkan defisiensi kobalamin Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan kobalamin dari makanan. Namun, '>roton punzp inhibitor" tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
Anemia Pernisiosa Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan defisiensi pada bayi atau anak sangat muda. Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme. Pasien anemia pernisiosa juga inempunyai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik. Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik bjasanya tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya. Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa. Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin darl lambung; terkecuali antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung clan epitel intestinum dan
perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cell~llaratypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini hams dibedakan dengan hati hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalarnin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial, yang sebabnya belum jelas. Organisme Intestinal Anemia rnegaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka problema tersebut dapat diatasi. Abnormalitas Ileum Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "~zontropicalsprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah reseksi ileum. ~ i n d r b mZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang
dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang melibatkan suatu defek yang selektif dalarn absorbsi kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatir mutasi cubulin, yaitu suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.
Nitrous Oxide Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalainin yang endogen. Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut. Defisiensi Asam Folat Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian .telah disarankan oleh US Food and Drug Administrution sejak Januari 1998,maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi. Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan dapat mengalami defisiensi asarn folat karena sumber utama asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat. Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat. Keperluan yang meningkat.Jaringan jaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang, mukosa usus, rnemerlukan cukup besar akan folat. Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan mengalami deflsiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Kadang kadang l>;rtl;r kchitmilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampai clcl'ck tcrsebul telah berkembang; jadi, ketentuan suplcmcn~nsiI'ol:rl pada perernpuan setelah mereka mengetahui hamil, licl;tkl;rh cl'ektif. Namun dernikian, si~plenientasirnakanan yang ~ncngandungfolat, dapat menguntrigi defek saluran saral' sirmpai lebih dari 50%. Dei'isiensi rolat dapal lampak seli~rnalnasa pertumbuhan cepal bayi dim remaja. Para pasicn dengan hemodialisa kronik perlu diberi suplementasi folal guna mengganti folat yang hilang. Mslabsorbsi. Ilcf'isiensi folat sering menyertai Tropical spnie, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan membaik dengan pemberian asam folat atau dengan antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enterolmtlzy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi folat.
Obat- obatan Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalarnin yang sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut: Langsung penghambat sintesis DNA, mereka terrnasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV, sering menimbulkan anemia megaloblastik berat. Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan pirimetamin. Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari mekanismenyayang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants" fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
Mekanisme Lain Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental. Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sarnpai sedang dan perjalananny a tidak ganas. Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada defisiensi TC I yang diwariskan. ANEMIA MEGALOBLASTIKYANG REFRAKTER Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid " yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. "Megaloblastoid " tidak berarti " megaloblastoid ringan". Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan peningkatan kejadian leukemia akut. Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.
Diagnosis Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit, retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit,MCV dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1 hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100fl maka
perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik.Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110fl, makapasien tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun, terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan berlimpah besi yang tercat. Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morfologi yang abnormal. Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan 10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma. , Guna mengevaluasi pasien dengan anemia megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalarnin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi
ANEMIA ~ B L A S T I K
6ynifrome")atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral. Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioaktif yang diaduk dengan telur. Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik. Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil malonat dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik. Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut dan munghn berhasil memperbaiki kesehatan pasien. Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat disimak pada Gambar 5.
pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama atau di bawah 4 nglrnl secara umum dipertimbangkanuntuk diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat. Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular kobalamin tanpa dilabel. Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling hams abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitasdalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yhng menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin rflhsih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop
ANEMl A
I
Hitung Sel Darah, Jumlah Retikulosit I
Morfologi SDM I
Normositik Normokromik
I Hipoproliferatif I
I
I
I Index > 2,51
Ilndex < 2,51
Hemolisisl Hemorrhagia I
Mikro atau Makrositik Gangguan maturasi
- Kehilangan darah - Hemolisis intravaskular - Defek
metabolik
-Abnormalitas membran - Hemoglobinopati - Defek autoimun
- Hemolisis fragmentasi
- Defek sitoplasma
- Defisiensi Fe - Talasemia -Anemia side - Roblastik - Defek inti - Defisiensifolate
- Defisiensi vitamin 812 - Keracunan obat -Anemia refrakter
Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik
HEMATOLOCl
Pengobatan Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular. Awal pelnberian terapi parenteral dengan kobalan~in 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, keniudian dilanjutkan suntikan i.m kohalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lehih besar pada terapi oral dibanding terapi i.ni. Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis Lidak tampak, atau bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. TrombosiLosis mungkin ditemukan. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang demikian dapat berkemba~igmenjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC (Pocked Red Blood Cells), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari nasala ah gagal kardiovaskular akut. Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para pasien akan mengalami Lidak berlanjutnya manii'cs~asi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.
Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Manifeslasi neurologik mungkin tetap tidak menjadi huruk oleh Lerapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang makan folat dosis tinggi. Dalam ha1 yang demikian, respons hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin risikonya meningkat. Defisiensi kobala~ninyang berat akan member1 gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kcis$sJin\ kobalamin oral dengan dosis 0,I mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.
DEFlSlENSl FOLAT Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah I mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral jarang diperlukan. Respons he~natologissama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus lneningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.
Penyebab Lain Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan caw menycdiakan suatu benluk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene T H E Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.
ANEMIA MU;ALOBLASTIK
KESIMPULAN Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab lain. Asain folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B 12ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik. Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.
Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. Volume 1. New York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36. Babior BM, Bunn H E Megaloblastic anemias. Harrison's principles of internal medicine. 16"' edition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7. Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatmeyt of megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Ph,armacological Basis of Theurapeutic, editors. l o r hedition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14. Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc; 2000. p. 662-8. Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Hanison's principles of internal medicine. 16'h edition. Volume I. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1. Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1 2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA 1AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancumya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur altematif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG 1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga
I
'
mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalarn sel sehingga sel membengkak dan ruptur. h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah meiijadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran. 2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi pemsakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
I. Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA) A. AlHA tipe hangat 1. idiopatik 2. sekunder (karena cll, limfoma, SLE) B. AlHA tipe dingin 1. idiopatik 2. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler) C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri 1. idiopatik 2. sekunder (viral, dan sifilis) D. AlHA Atipik 1. AIHA tes antiglobulin negatif 2. AlHA kombinasi tipe hangat dan dingin II. AlHA diinduksi obat Ill. AlHA diinduksi aloantibodi A. Reaksi Hemolitik Transfusi B. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1)
DIAGNOSIS Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AlHA
ETlOLOGl Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan tejadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Test
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test):sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutarna IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan tejadi aglutinasi.
Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test
Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. 1. Gejaia dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan dernam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. UM berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali w a d i pada 50-60%,hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan lirnfonodi. 2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyqmbuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selamaperiode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 1525%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari. 4. Terapi: a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik
(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes c o o positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sarnpai mencapai dosis 10-20 mglhari. Terapi steroid dosis < 30mglhari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. b. Splenektorni.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukantapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancumn sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, narnun akan dibutuhkanjurnlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. c. Imunosupresi.Azathioprin 50-200mg/hari (80 mg/m2), siklofosfarnid50-150 mg/hari (66 mgIm2) d. Terapi lain: Danazol 600-800 mglhari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkanmenjadi 2 0 0 4 0 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. -Efekdanazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome Terapi immunoglobulininiravena(400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 40%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara. Mycophenolatemofetil500mg perhari sampai l000mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
-
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapyi7.Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial. e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (rnisal Hb 5 3 gtdl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
ANEMIA HEMOLlTlK IMUN TlPE DlNGlN Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen Ui. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada ummnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen Ili bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P. c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan merniliki survival yang baik dan cukup stabil d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorambucil2-4mglhari Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik ha1 ini sukar dilakukan.
PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINURI Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan bemlang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen
.
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner ~erdisosiasidari sel darah merah. c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnyajuga baik dengan survival yang panjang. d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya.
ANEMIA HEMOLlTlK IMUN DllNDUKSl OBAT Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerayanladsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit.dengan kuat Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dimsak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat perrnukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh,Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh
-
pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit. a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, rnaka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN 'TRANSFUSI
KARENA
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.
Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. lothed. Williams&Wikins, Baltimore. 1999: 1233-1255 Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-1 14 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2 Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. lmmunobiology: the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil Livingstone. 2001 Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Physician 2004;69:2599-2606. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TI, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 133-136. Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202 Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired lmmune Anemias of lncreased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2"* ed. Lippincott, Philadelphia, 1998:280-292 Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodnte 2004 (12) 2 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6"'ed. McGraw Hill, 2003: 137-142 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 513-520 Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. Hematology 2006: 1-6 Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia Am J Clin Pathol 2006: 125(Supl ) : S7 1 -S77 Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia. Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin Proc 2003:78: 1340-1346 Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92:1695- 1698.
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN :Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo
PENDAHULUAN Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma, mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:
Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah: Defek enzim/enzimopati - Defek jalur Embden Meyerhof - Defisiensi piruvat kinase - Defisiensi glukosa fosfat isomerase - Defisiensi fosfogliserat kinase - Defek jalur heksosa monofosfat - Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase
- Defisiensi glutation reduktase Hemoglobinopati - Thalassemia - Anemia sickle cell - Hemoglobinopati lain Defek membran (membranopati): sferositosisherediter
Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah: Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia
Purpura (TTP), Sindrom Urernik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)lDisseminated Intravascular Coagulatioan (DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibe1,'sedangkansel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi: Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).
Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eiitrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan hemoglobinopati lain.
-
Patofisiologi Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular.Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi e~itrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplernen dan aktivasi sel pe~mukaanatau >infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi men~bransel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis .ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga 'difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada perneriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia 'hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. . Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifzt khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.
Pemeriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; Schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin rnenjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi heinoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalarn bentuk hemoglobinuria.
Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil' metabolisnie tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.
Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun dernikian, kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis.
1159
ANEMIAHEMOIS~~K NON AUTOIMUN
Defisiensi GGPD
Etiologi dan epidemiologi.Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asam amino. Banvaknva , , varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tmpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas. 1Wanifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson),isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau saqpai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells". Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulrninan setelah terpajan.
Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua. Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self- limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasihemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afnka atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD. Defek Jalur Embden Meyerhof
Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit. Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Pada perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan) normokram deogan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama setelah splenektomi. Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat. Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam folat 1 mglhari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.
Tipe
Sebab
.
Kegagalan degradasi faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa
Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Trombus trombositfibrin predominan di ginjal
Pajanan dengan toksin Shiga
Klasik, kanak-kanak atau Hemolytic Uremic Syndrome yang berhubungan dengan E. Coli Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) familial (atau rekuren)
Defek faktor H plasma
Pada hemolisis rnikroangiopatik terjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit. Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Mikroangiopati Trombotik Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau intra,?.~lal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma mek,.;ni.ksel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelainan ini adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP) ~ e l a i n a nini ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkanoklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari rnikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan. Patogenesis. Pada TTP trombus tombositlagregasi trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Presentasi klinis -
Trombus tombosit sistemik
Trombus renal atau sistemik
Transplantasi atau obat (mytomicin, cyclosporin, tacrolimus, quinine)
Hemolytic Uremic Sydrome atau Thrombotic Trombocytopenia Purpura
Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada?TP diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa, yang lebih mudah:berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah multimer faktor von Wilebrand.Defek atau defisiensi enzim ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitas ADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal. Manifestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP adalima, yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia, kelainan neurologik fokal atau difus, penuiunan fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad ITP:trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya TTP. Gejala dan tanda TTP bervariasi tergantung pada jumlah dan lokasi lesi arteriol. Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya tarnpakjika jumlah trombosit (40.000-30.000). Demam tidak selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen darah (BUN) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika berkembang menjadi gagal ginjal. Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis, afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma. Keterlibatan pembuluh darah jSCntung bisa mengakibatkan kematian mendadak. Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat
ANEMIA H E M o m NON AVrOIMUN
anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH. Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan . konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bilapemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear antibody (ANA) yang positif.
Klasifikasi Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang pasien yang menerima Mopidogrel. Kelainan ini juga bisa terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpartum. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi normal, demam, kelainan neur~logidan gangguan fungsi ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuklTP. Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas. Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura (ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pemberian fresh frozen plasma yang mengandung sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat (cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari. Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik (trombositmeningkat dan LDH menurun) frehensi plasma tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini. Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13
titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi. Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter respons terapi. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat inemprovokasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia berat.
Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S ) Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada 9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary, Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak. Biasanya diawali dengan diare berdarah yang disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu minggu sebelum HUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerulardan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa. HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang, mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripadaHUS pada anak-anak (5%). Sebagianbe.sar pasien HUS familialmengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur altematif komplemen. Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan. Herediter resesif bermanifestasi HUS pa& dewasa muda sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan. Di sarnping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus. Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan lTP, bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama. Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik, trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik. Kebanyakanpasien mengalami hemoglobinuriaatau anuria. Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat
-
dibedakan dengan 'M'P. Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan elektrolit cukup. Pada dewasa sering teriadi gagal ginjal akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun progresivitas penyakit ginjal. Antimotilitas dan antibiotik dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokortikoid, dekstran dan heparin belum jelas.
Koagulasi lntravaskular Diseminata (KID) Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan 'M'P dan HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya. Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain Hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi alograf ginjal, kanker diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak ditemukan fragmentasi eritrosit di darah tepi. Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan hemolisis. Katup Prostesis Pada 10% pasien dengan katup prostesis aorta terjadi framentasi sel eritrosit. Meski sedikit ha1 ini bisa terjadi juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral juga diamati mengalami hemolisis traumatik Sferositosis Herediter Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada lebih kurang 20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.
Etiologi dan patogenesis. Kelainan utama pada sferositosis herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn dan atau protein pita 3 atau protein 4.2. Hal ini menyebabkan defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas
permukaan secara progresif diiku'ti pembentukan mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Terjebaknya sel eritrosit dalam limpa
Manifestasi klinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak 'masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak. Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks. Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus. Splenomegali merupakan ha1 yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normaltsedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 gtdl. Untuk mt-ngetahui secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs. Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi enzim G6PD. Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam folat 1 mglhari sebagai profilaksis. Elipsitosis Herediter Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Insiden sebenarnya tidak diketahui karena derajat keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala. Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini
ANEMIA HEMOLSIlKNON AUTOIMUN
disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin a dan p, protein 4.1 dan glicophoryn C pembentuk membran eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan.
Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B 12 atau adanya KID. Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan gambaran eritrosit bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragmen. Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada beberapa kasus yang jarang diperlukan pemberian tranfusi sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.
Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH) PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin (hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami kejadian trombosis mayor. terbanyak trombosis pada aorta abdominalis. Kebanyakan pasien meninggal akibat trombosis ini.
Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah defisiensi ensim PIG-A (phosl~halidylinositol&can class A ) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfatidilinositol (GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya protein perniukaan yalig melindungi sel dari komplemen hilang, sehingga mejnudahkan penghancuran sel darah. Persentase sel darah merah yang niengalami kerusakan menentukan beratnya penyakit. Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan pasien.Granu1ositopenia dan trombositopenia sering terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis. Gambaran sumsum tulang nonnoselular. Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis intravaskular (hemoglobinemia. hemoglobinuria dan peningkatan LDH). Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik, tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan
produksi sel darah merah di sumsum tulang selamakeadaan hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon androgen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian preparat glukokortikoid (prednison 60 mglhari) dapat nienurunkan kecepatan hemolisis.
Hipersplenisme Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun benda asing. Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu: Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen darah di pulpa merah (oleh makrofag) Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah normal pun akan mengalami perlambatan serta proses penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali, ~nenyebabkanterjadinya sitopenia yang berakibat terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang. Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan splenektomi.
lnfeksi Mikroorganisme Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis. Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Closrridium perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
Malaria Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami
peningkatan. Penghancurap eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung, peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan prosfs otoimun. Namun tidak satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat pada malaria. Proses penghancuran sel daiah merah sebagian besar berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik. Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA. Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan mengeradikasi parasit penyebzb. Transfusi darah segera, sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 gldl. Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda sampai tegbukti adanya defisiensi besi.
Bartonellosis Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit. Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi, dengan cepat dihancurkan olek hati dan limpa. Anemia hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan sampai 750.000/uL. Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna merah jingga. Pengobatan dengan penisilin, streptornisin,klorardenikol dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik. Babesiosis Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun hew an liar. Pada manusia penyakit ini tidak hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat ,ransfusi darah. e
Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR dapat membantu penegakkaq diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang memuaskan. Transfusi tukar juga rnemberikan perbaikan :tang nyata. Anemia Sel Spur Anemia sel spur merupakanjenis anemia hemolitik dengan iwntuk eritrosit yang aneh, terjadi pada 5%pasien dengan penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap lmjut. ).
Patogenesis. Hampir 50-70% kolesterol terdapat pada permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya splenomegali kongestif akibat sirosis. Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat. Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis dengan sel spur.Se1darah merah irreguler dengan tambahan taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai pada preparat. Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai pada pulasan darah. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di limpa dan penghancuran dini. Namun splenektorni sangat berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.
Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 633-5. Bunn F, Rosse W. Hemolytic anemias and acute blood loss. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hause SL, Longo DL, Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p. 607-16. Dhaliwal G Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Am Fam Physician. 69:2599-606. Erslev AT. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 6835. Gallagher PG, Forget BG. Hereditary spherocytosis, elliptocytosis and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 503-11. Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S, et al. Major hematologic diseases in the developing worldnew aspects of diagnosis and management of thalassemia, malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc Hematol Educ Program). 2001;479:98. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias. In: Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH, editors. Essential hematology. London: Blackwell Science; 2001. p. 57-70. Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347589600. Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment thrombotic trombositopenia purpura. J Am Soc Nephrol. 2003;14: 1072-81.
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN Ibnu Purwanto
PENDAHULUAN Purpura TrombositopeniaIrnun (PTI) yang dahulu dikenal sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune thrombocytopenic purpura rnerupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoirnun yang rnengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trornbosit secara dini dalam sistern retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trornbosit yang biasanya berasal dari Irnmunoglubolin G Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka uornbosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini disebebkan oleh merernbesnya darah dibawah kulit. Adanya trombositopenia pada PTI ini akan rnengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena uombosit bersarna dengan sistern vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam rnernpertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sarnpai dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asirnptornatik.Oleh karena rnerupakan suatu penyakit autoirnun maka kortikosteroid rnerupakan pilihan konvensional dalarn pengobatan PTI. Pengobatan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan rnengatasi penyakit yang rnendasari PTI sehingga tidak rnengakibatkan keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau relaps. Di dalarn rnakalah ini akan disajikan pegangan mengenai diagnosis klinis dan laboratoriurn, epidemiologi, patofisiologi, rnenilai dan rnenentukan respon terhadap pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter. Berdasarkan etiologi, PTI dibagi rnenjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit
dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (urnurnnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi imun terjadi bila pada anak-anak.Purpura tromb~sito~enia trornbosit rnengalami destruksi secara prernatur sebagai hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks irnun dalarn rnembran sistern retikuloendotel limpa dan urnumnya di hati.
Purpura Trornbositopenia Imun (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trornbositopenia yang menetap (angka trornbosit darah perifer kurang dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang rnengikat antigen trombosit rnenyebabkan destruksi prernatur trombosit dalarn sistern retikuloendotel terutama di limpa. Insidensi PTI pada anak antara 4,O-5,3 per 100.000, PTI akut umumnya tejadi pada anak-anak usia antara 2 6 tahun. 7 - 28 % anak-anak dengan PTI akut berkernbang menjadi kronik 1540% .Purpura Trornbositopenia Irnun (PTI) pada anak berkernbang rnenjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000anak per tahun. Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58 - 66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Arnerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura Trornbositopenia Imun (PTI) kronik pada umurnnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40 -45 tahun. Ratio antara perernpuan dan laki-laki adalah 1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik adalah2-3: 1.
Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gaga1 diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira 25 - 30 persen darijurnlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16 9% .
Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein IIbhIIa (CD41) sebagai antigen yang dorninan dengan mendemostrasikan bahwa autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal. Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita ITI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,
!,
Klon 2 sel B ~
.
~
.
~
~
akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatk@ produksi trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil denganjurnlah trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani pengobatan untuk menghindari risiko perdarahan internall organ-organ dalam. Antigen pertarna yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein IIbDIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein IbhX, IaIIIa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang' berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni (Gambar1).
Klon 2 sal T . ----..---p-.---p...-
i
d
Garnbar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia idiopatik (PTI) (Sumber; Cines dan Blanchette, 2002).
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein IIbfiIIa memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari displai phage menunjukkan penggunaan gen V, . Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIbfiIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti. Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIbl IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel
dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIbIIIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel -penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida b a pada ~ permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh i.nteraksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2) (5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan dernikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein 1bl IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein IIbIIIIa antibodi oleh B-cell clone 1. Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Gambar 2). Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat tejadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan ( I ) . Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan
Kortikosterold
I
-
-
-
Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)
sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan mabofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetinberperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresannon spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pa& tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga mash dalam penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6). Transfusi Dari gambar 2, dapat untuk menggambarkan bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan sebagai terapi awal PTI ddam menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun munglun pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pa& beberapa penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangikernampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154yang saat ini menjadi target uji klinik, me~pcikankostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibodi..Antibodi monoklonalyang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (S).(Plasmaferesisdapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan. Efek dari stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih dalam penelitian (7).
Geneti k Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan autoantibodi pada anggota keluarga yang 'saha. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4 dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
dan HLA-DRB 1* 1501 telah diiubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun demikian, banyak penelitian telah gaga1 menunjukkan hubungan yang konsisten antara FTI dan kompleks HLA yang spesifik .
Antibodi-anti Trombosit Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita. Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG, dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi IgM juga ditemukan pada sejurnlahkecil pasien tetapi tidak pemah sebagai autoantibodi tunggal. Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi - berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal. Masa Hidup Trombosit Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan sampai sedang mempunyai rnasa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat. GAMBARAN KLlNlS PTI Akut PTI akut lebih sering dijumpai pada anak,jarang pada umur dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat , infeksi mengawali terjadinya perdarahan b e ~ l a n gsering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trornbositopenia imunologik.Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranialterjadi h a n g dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulrninan. PTI akut pada anak biasanya self limitirig, remisi spontan terjadi pada 90%penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
PTI Kronik Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan sampai sedang. infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki perjalar~anklinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Relnisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap. Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki, purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara jurnlah trombosil dan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000 - 50.000 /mL terdapat luka memarl hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria) dan risiko perdarahan sistem saraf pusat. Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinari:l merupakan tempat perdarahan yang paling sering. menoragi dapat merupakan ge.jala satu-satunya dari PTI dan n~ungkintampak pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lngi dengan hematemesis. Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari peteki sampai ekqtravasasi darah yang luas.
DIAGNOSIS Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI aku: dan kronik. sel-tatidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura, perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir yang lain). Purpurn Thrombocytopenic Imnrune dewasa terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih sering mengenai wanita dari pada pria. Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi
oleh j l o ~ jsitornetri berdasarkan ntessetzger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak rnegakariosit dan agranuler atau tidak mengalldung trombosit. Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasieil lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi merekomendasikan di lakukan pemeriksaan surnsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi, secara langsung uji untuk mengukur trombosil yang berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonlrlAtztigerr-Capture Assay sensitivitas 4 5 4 6 % ) . spesifisitasnya 78 - 92% dan diperkirakan bernilai positif 80 - 83 %. Uji negatif tidak menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan. Uji ini tidak melnbedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik, leukemia akul, Disscinlittated intravascular coag~ilutiorz (DIC), Thrombotic thrornbocytopenicpurpura-hemolytic uremic syndrome ('TTF-HUS), Antiphospholipid antibody syndroine (APS), Myelodysplastic syndr-onre, hipersplenisme, alcoholic liver diseuse, bentuk sekunder PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik), pseudotrombositopenia karena ethylenediamine tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis.
Terapi Awal PTI (Standar) Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,O- 1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
a). Trombositopenia artifaktual Trombosit bergerombol disebabkan oleh anticoagulant-dependent immunoglobulin (Pseudotrombositopenia). Trombosit satelit Giant trombosit b). Penurunan produksi trombosit Hipoplasia megakariosit Trombopoesis yang tidak efektif Gangguan kontrol trombopoetik Trombositopenia herediter c). Peningkatan destruksi trombosit Proses imunologis - Autoimun ldiopatik Sekunder : Infeksi, kehamilan, gangguan vaskuler kollagen, gangguan lirnfoproliferatif. - Alloimun Trombositopenia neonatus Purpura pasca-transfusi Proses Non lmunologis - Trombosis mikroangiopati Disseminated intravascular coagulation (DIC) Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) Hemolytic-uremic syndrome (HUS) - Kerusakan trombosit oleh karena abnormalitas permukaan vaskular lnfeksi Transfusi darah masif Lain-lain Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling Gangguan pada limpa (neoplastik, kongestif, infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya) Hipotermia Dilusi trombosit dengan transfusi masif
urnumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AT > - 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.0001pL, AT 50.0001pL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap > 50.0001pL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopeniaberat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgN) dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.000lpLmeskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang perogresif. Harnpir 80% penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor; antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi.Splenektorni untuk terapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an.Splenektomi pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menenis. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut: a. Bila AT < 50.000/pL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai AT > 50.000lpLdalam 4 rninggu). b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8 minggu (karena problem efek samping). c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering om. Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan AT 250.0001pL beberapa waktu setelah splenektomi,Relaps bila AT turun < 50.000 /& Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi antara 50% sarnpai dengan 80%. Penanganan Relaps pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid, immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D. Dari garnbar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT < 30.0001pL sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000/pL. Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/pL sampai 50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/pL perlu diberi IgIV sebelurn pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada penderita PTI kronik dan AT < 30.000lpL I g N atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi.Daftar medikasi untuk terapi PTI kronik pada pasien yang mempunyaiAT < 30.0001 pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. I g N dan anti-D imunoglobulin umurnnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi medis diteruskan atau dosis ditumnkan
dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik dengan AT 30.000lmL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan penderita.
morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. FTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a. PTI menetap lebih dari 3 bulan b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi. c. AT < 30.0001pL.
Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai
Pendekatan Terapi Konvensionai Lini Kedua Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)
1
Diagram Perdarahan
Trornboslt 40.000 lmrn3
1
1
Transfusi trombosit lmunoglobulinintravena (lglkglhari atau 2-3 hari) Metilprednisolon (lglhari atau 3 hari)
Trornboslt 30.000-50.000/mrn3
Trombosit r50.000lrnm~
1
1
Prednison (1-1.5 rnglkglhari) lmunoglobulin Anti-D (75 pgikg)
Prednison atau tidak diterapi
lidak diterapi
I
Purpura trornbositopenia lmun kronls
,
Trornbosit 30.000-50.0001mm3
+I
Trornbosit i30.0Wmm3
4
4
Pradnison atau tidak diterapi
,
Penjarahan
aktif
1
lmunoglobulin intravena Metilprednisolon Solenektomi
lidak ada perdarahan aktif r Prednison danazol (10-15 mglkglhari) dapson (75-100 mglhari) lmunoglobulin anti-D intravena: medis lmunoglobulin intravena
I
Trombosit c30.0001mm3 ,
$- i
Trombosit ~30.0001mm3
Spleniktomi
Splenektomi
Hentikan terapi secara perlahan atau terapi medis dilanjutkan
lmun refraktor kronis Purpura trornbositopenia Trombosit >~1).1)~/m&3 Tdak d~terap~
Trombosit k0.0001mm3
Tdak dlterapi
Penahambat kllreno t r o m h l t Prednison lmunoglobulin lntravena Alkaloid vinka Danazol
I Terapi q d i s
0 b q t ~ b aImunooupreoU t Azatioprin Siklofosfamid Sikloporin
Obat-ohat percobaan Antibodi penyerang CD 20 Antibodi penyerang CD.145 Transplantasi sumsum tulang Trombopoietin
Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)
Danazol; (vi) Obat imunosupresif; azathioprin, siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii) Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. Steroid Dosis tinggi. Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksarnetason 40 mglhari selama4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT > 100.000/yL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mglkg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai I mgl kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat sementara pada sernua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat. IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi I mglkglhari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. Anti-D intravena Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 yg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. *. Alkaloid vinka Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinkristin I mg atau 2 mg iv, Vinblastin 5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams a
diperiksa setiap bulan. Bila 'respon terjadi, dosis ditenlskan sampai dosis niaksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada limfoma . Siklofosfamid 50- I00 mg p.o atau 200 mg/iv/ bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.0, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.
Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya rnengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath-IH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A columns, dan (vi) terapi lainnya.
REKOMENDASITERAPI PTI YANG GAGAL TERAPI LINIPERTAMA DAN KEDUA Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang
PURPURA TROMBOSFOPENIA lMUN
selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlm2 tiap minggu selarna 4 ininggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasil kan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.
PELUANG PEMAKAlAN AGEN TERKlNl Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsumption of Platelet.
PROGNOSIS Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibat fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.
Braendstrup P, Bjenrum OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT. Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.. Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280. Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N Engl J Med. 2003; 349: 831-6.
Cines LIB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl .I Mcd. 2002: 346 (1.3): 995-1006. Eniilia G. Morcclli M: Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini 13, Ferraro L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in Refractory Idiopathic Thro~nbocytopenic Purpura. Blood. 2002;99(4): 1482-5. George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpul-a 1-11 in: Up ToDate, Rose B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004. George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA. editors. 2004. Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher. E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 15Ihed. 2001. Levine SP. Thrombocytopenia Caused by Immunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer. GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 10"' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-61 1. McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic lmmunc Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med. 1997; 126; 307-3 14. Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J Hematol. 2002; 118: 933-944. Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults, Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120574596. Provan, D., Butler. T., Activity and safety profile of Low-dose Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98 Psaila. B.. Podolanczuk, AJ., Bussel. J.. 2007. Recent Advances in the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura. ww.medscape.com. Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A. Eldor A, Bussel JB. Long Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am JHematol. 2003; 72: 94-98. Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957 Vesely S, Buchanan GR, Cohen A. Raskop G, George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol Oncol. 2000: 22: 55-61.
PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOCLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana
PENDAHULUAN Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertarna kali dipublikasikan oleh Strubbing pada tqhun 1882, sedangkan karateristik Winisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun 1911serta Micheli ditahun 1931, karena itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak dan orang tua. Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang dan sitogenetik.
Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi garnbaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bewariasi pada berbagai populasi dan lebih
sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua. Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut, dengan "Median Suwival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.
Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAECD55), membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dun urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-
PAROXYSMAL NOCTURNAL HENIOGLOBINURlA (PNH)
ment-mediated hemolytic Sebagai akibatnya, sel eritrosit PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari hemolisisnya. Kedua : tejadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan rnenyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari kornplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap kornplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu :PNH I,II,III.PNH I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas normal terhadap komplemen. PNH 11dan JIIsecara berturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari sensitivitas normal. Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.
TANDA DAN GEJALA KLlNlS Anemia, ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun terjadi hemolisis kronis. Adanya anemia hemolitik kronik. Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia. Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral, vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.
LABORATORIUM Gambaran anemia hemolitk. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik. Retikulositosis ~ s ~ h asumsum si tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.
Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif. Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria, Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu bangun tidur dan makin siang warna urine makin terarig, seperti tampak pada gambar berikut:
Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH
DIAGNOSIS Gejala : anemia, hemoglobinuria. Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri :pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.
DIAGNOSIS BANDING Anemia Hemolitik Lain. Anemia Defesiensi besi Anemia aplastik Black water fevel: Paroxysmal cold hemoglobinuria.
PENGOBATAN Bila anemia transfusi darah dengan Washed Erythrocyte.
Asam folat 1 mg/hari. Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab. Prednison 20 - 60 m g k , tetapi tidak untuk pemberian jangka panjang.. Hormon androgen :Fluoxymesteron : 5 - 30 mglhari; Oxymetholon 10 - 50 mg/hari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan. Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah tejadinya trombosis. Streptokinase; urokinase :bila ada trombosis. Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi defenitiflcemudiandilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody rnonoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol tejadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, 1minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai. minggu ke 26. Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat diberikan pengobatan imunosupresif dengan Antilirnfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.
PROGNOSIS Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; SindromaMielodisplasia;Mielofibrosis;
Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukernia. Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut
Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355: 1233. Lichtman MA, Bentlii E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur JR, Sinagapore August, 25-26. Parker CJ. Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, p. 1264. Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 : 3699. Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition . Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York, p. 660. Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C, Heudier. Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet. 348 : 573.
KELAINAN HEMATOLOCI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubairi Djoerban
PENDAHULUAN Lupus eiitematosus siste~nik(systemic lupi~sel:\~thenzaionrs, SLE) daprzt mempengaruhi banyak organ di t ~ ~ b udan h menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spektrum yaiig luas. Kelainan hematologi seringkali diremukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan melvpakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, halnpir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia,kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya tidak niembutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Q-iteria Diagnosis SLE d a r i pads ~ ~197 ~1 menyatakan bahwa leukopenia, trombo~ito~enia, dan anemia hemolitik lnerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anci~iiahelnolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada dua knli atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4) trombositopenia (
hiposelularitas menyeluruh (47,6%), peningkatan proliferasi retikulin (76,2%) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis (19%). Plasmasitosis tampak pada 26,7% pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada pada 73,3% pasien.
ANEMIA Prevalensi Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinyacukup tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar hemoglobin kurang dari 12 gldl. Pada umumnya, yang terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang diperantaraiimun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pemisiosa. Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE, 37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan 12,9% karena penyebab lain. Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan
anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan pada 21% pasien SLE dengan anemia dan berhubungan bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons peningkatan eritropoietin juga akibat penuru.nan hemoglobin juga tidak adekuat pada 4 1,2% pasien anemia hemolitik autoimun dan 42,4% pasien anemia penyakit kronik.
Anemia yang Tidak Diperantarai lmun Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil yang normal dengan cadangan besi yang adekuat. Anemia berkeinbang dengan lambat jika tidak ada komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat anemianya. Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek supresif interleukin terhadap eritropoiesis. Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya. Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak organ berbeda dari normal, dengan peeingkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatanjumlah besi yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah, pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang buruk. Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura, kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. Ko-eksistensi SLE
dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit.
Anemia yang Diperantarai lmun Anemia hemolitik autoimun, Anemia hemolitik autoimun (AHA) merupakan penyebab anemia pada 5- 19% pasien SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi.Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif. Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid, trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang. Voulgarelisjuga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa karakteristik serologik tersebut dengan manifestasi klinik. Kelly dkk. melaporkan bahwa terdapat bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEH1, pada kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia hemolitik. Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat (didefinisikan sebagai hemoglobin <8g/dl, tes Coomb positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 gldl sejak pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu ginjal dan susunan saraf pusat. , Klasifikasi
AHA dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe utama menurut antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37°C. AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit pada suhu 4°C.
AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling
1179
KELAINAN HEMATOLOCI PADA LUPUS ERITEMATOSUSSISTEMIK
banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi, terutarna oleh sekue'strasipada limpa. Sel darah inerah yang dilapisi anti bodi kemudian mengalami perubahan membran, sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang kemudian difagositosis secara lengkap oleh makrofag lirnpa, dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus. Kebalikannya, di hati, fagositosis eritrosit tersensitisasi oleh sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi eritrosit. Gejal a klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala disebabkan karena anemianya seperti kelelahan, pusing, dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan. urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik progresif yang cepat. Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian melaporkan bahwa 7% pasien AHA yang mendapat transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap terjadinya hemolisis. Sekitar 20% pasien dari kelompok tersebut menderita SLE.
Pengobatan Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sisternik, 1-1,s mg/ kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6 minggu dan secara bertahap diturunkan. Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai. Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional. Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik. Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah pemberian azatioprin 2-2,5 mglkg dikombinasikan dengan prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1 dengan pemberian prednison. Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mglhari atau lebih), pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi steroid.
Secara umum, splenektomi kurang efektif untuk AHA tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun. Tkansfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapijuga karena pengamatan menunjukkan adanya isoantibodi melawan sel darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap beberapa antigen eritrosit yang berbeda. Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut, dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 g/ dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara umum sangat baik, sehingga transfusi darah biasanya tidak diperlukan. Antibodi antieritrosit di sirkulasi dapat membuat uji cocok silang darah menjadi sulit.
TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN TROMBOSIT LAINNYA Frekuensi dan Masalah Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit di bawah 150.000/mm3,cukup sering ditemui pada pasien SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan trombositopenia terjadi pada 13% pasien SLE, sementara angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi yaitu sekitar 30%. Adanya trornbositopenia dapat dijadikan indikator untuk mebperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan median selama 11 tahun menyatakan bahwa adanya trombositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas yang terkait SLE sebanyak2,36 kali. Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurangkurangnya 2 orang anggota keluarga dengan SLE melaporkan bahwa trornbositopenia berhubungan dengan bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada gen 1q22-23 dan l l p 1 3 yang berkontribusi terhadap garnbaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi. Etiologi Penyebab trombositopenia pada SLE dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi abnormal, sepertipooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia hemolitik mikroangiopatik atau trombositopenia yang diperantarai antibodi. Purpura Trombositopenik lmun Purpura Trombositopenik Imun (Immune Thrombocy-
-
topenic Purpura, ITP) mempunyai hubungan yang khusus dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik temyata di kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalanan penyakit SLE. Manifestasi klinis, manifestasi klinis trombositopenia pada pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada pasien ITP atau trombositopenia akibat penyebab lain, dan tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung trombosit di bawah 50.000/mm", perdarahan spontan atau purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit. Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie danlatau ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi. Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang ditakuti dan dapat berakibat fatal. Pengobatan, u'mumnya dianjurkan terapi dengan kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1,5 mglkglhari. Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan perbaikan dalam 1-8 rninggu. Metilprednisolon IV dosis tinggi juga digunakan unruk trombositopenia yang berat, namun kelebihannya dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti. Pemberian yang berulang akan mengurangi respons trombosit. Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomi pada pasien SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dadatau splenektomi. Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200 mg, tiga atau empat kali sehari. Siklofosfamid IV interrniten juga efektif pada pasien SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi. Obat lain yang dilaporkan efekfif adalah azatioprin, siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama. Seperti pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna untuk pengobatan perdarahan yang mengancamjiwa atau untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawatdarurat.
Purpura Trombositopenik Trombotik Kelainan ini rnempakan kelainan yangjarang terjadi pada
pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam, disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, dan kelainan neurologis. Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.
Kelainan Sel Darah Putih Leukopenia teQadi pada sekitar 18-50% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Neutrofil danlatau limfosit di sirkulasi dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat menekan jumlah limfositabsolut akibat sekuestrasi limfosit di limpa dan sumsum tulang. Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia. Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi limfositotoksik dan apoptosis limfosit. Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh faktor selain SLE sendiri.Pengobatan dengan kortikosteroid dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit, yang mana mungkin bukan merupakan cerminan aktivitas penyakit. Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada 84% pasien dan dihubungkan dengan peningkatan sedimentation rate. Saat diagnosis, limfopenia ditemukan pada 75% pasien, namun pada pemantauan selanjutnya, beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia sehingga secara kumulatif 93% pasien mengalami lirnfopenia. Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang dari ,1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan frekuensi demam, poliartritis, dan keterlibatan susunan saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi trombositopenia dadatau anemia hemolitik lebih rendah. Trombosis Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada SLE selain akibat penyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan. Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE melaporkan bahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun pertama dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa trombosis merupakan penyebab kematian utarna pada pasien SLE setelah 5 tahun. Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom Antifosfolipid Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai pen yakit trombofilia autoimun yang ditandai adanya
KELAWANHEMATOLOCI PADA LUPUS EXUTEMATOSUS SISTEMlK
antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian berulang dari trombosis venalarteri, keguguran, atau trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner. Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada pasien SLE harus ditelusuri pada pasien perempuan muda (kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwapat trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antikardiolipin 1gG danlatau IgM positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai dengan pemanjangan masa protrombin atau lnasa protrombin teraktivasi. Antibodi antifosfolipid, seperti antibodi antikardiolipin (anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus (lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE. F a l c b dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan pada 50% dari 70 pasien SLE di mana LA dan ACA masingmasirig ditemukan pada 10% dan 44,3% pasien. Fraksi IgG dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi platelet dan berperan dalam trombosis arterial pada pasien SLE. Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan protein plasma seperti a 2 glikoprotein I (P2GPI), protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojinia melaporkan antibodi antifosfolipid dependen P2GP1, protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan pada masing 30%, 56%, 21%, 28%, dan 30% pasien SLE dan berhubungan dengan trombosis arteri danlatau vena, trombositopenia, dan keguguran. Antibodi anti-P2GP1 dan antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.
Mikroangiopati Trombotik Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif, dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen sedang terjadi. Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral (antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan
1181 peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal terbentuknya mikrolrombus, aktivasi komplemen lokal, dan kemudian kerusakan endotel.
Al-Shahi R. Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus, thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997;36:794-8. Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital pol'r~lation-what does it signify'? Aost NZ J Med. 1997;27:1704. Cervera R, Khamashta MA. Font J , el al. Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during a 10-year period a comparison of early and late manifestations in a Cohort of 1.000 patients. Medicine. 2003;82(5):299-308. Cooper GS. Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec, and age in the clinical and immunologic features of recently diagnosed systen~iclupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002; 1 1 : 161-7. Falcso CA, Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N. Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol. 2002:79:285-9 1. Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB. Crow MK. Interleukin-I0 promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes mediated by Fas ligand. J Clin Invest. 1997;100:2622-33. Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS, Lango DL, Braunwald E, Hauser SL. Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16"' edition. New York: McGraw Hill; 2005. p. 1960-7. Kao AH, Manzi S? Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic criteria in systemic lupus erythematosus. Lupus. 2004;13:8658. Kelly JA, Thompson K. Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptihility gene (SLEHI) on chromosome 1lq14 for systemic lupus erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia. Proc Natl A Sci. 2002;99( 18):1 1766-7 I. Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204. Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et al. Platelet activation induced by combined effects of anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb Haemost. 1999;81:436-41. Nojima J. Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the 6 i prothrombin, n prevalence of antibodies to ~ 2 - G l ~ c o ~ r o t I, protein C, protein S, and annexin V in patients with systemic lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic complication. Clin Chem. 2001; 47(6):1008-15. Pereira RM, Velloso ER, Menezes Y, Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythematosus patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol. 1998; 17(3):2 19-22. Abstrak. Quismorio Jr. FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' lupus erythematosus. 4Ih . ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.
Scofield RH, Bruner G R , Kelly JA, et al. Thrombocytopenia identifies a severe familial phenotype of systemic lupus ertythematosus and reveals genetic linkages at lq22 and 1lp13. Blood. 2003; 101 :992-7. Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, patterns of disease and outcome in patients with systemic lupus erythematosus who develop severe haematological problems. Rheumatology. 2003;42:230-4. Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG, Kyriaki D, Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus: aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum Dis. 2000;59:217-22. Ward MM, Pyun E, Studenski S . Mortality risk associated with specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996;156:1337-44. Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.
HIPERSPLENISME Budi Muljono
PENDAHULUAN
PENYEBAB PEMBESARAN LIMP
Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat akibatlbersama-sama dari suatu penyakit atau dapat menyebabkan penyakit sistemik. Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit dicetuskan sejak 1866 oleh Gretsel dan 1880Banti dan pada tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai diperkenalkan.
Proses lnflamasi Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi mononukleosis, endokarditis bakterial subakut Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis, (Amazonian splenomegali dan American splenomegalies, histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid Boeck's, beryllium disease.
Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana: a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila dilakukan pengangkatan limpa.
Hipersplenisme dapat primer atau sekunder. Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya, sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri, antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain. Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan kerja limpa bertambah atau sebaliknya.Beberapa penyakit dapat disenai pembesaran limpa dan akan menyebabkan kenailcan kerja limpa.
CongestivelBendungan Splenomegali: Sirosis hati Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena porta Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena splenika Tidak diketahui penyebabnya Kegagalan jantung Hiperplasia Splenomegali Anemia hemolitik murni Anemia kronik dengan adaltidak ada kerusakan darah: - Anemia pernisiosa, anemia mikrositik - Talasemia, hemoglobin C disease. - Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis, megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid agnogenik - Penyakit hemolitik sejak bayi - Lupus eritomatosus sistemik Trombositopenia purpura Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's Polisitemia Vera Splenik neutropenia/panhematopeniaprimer Kriptogenetik, splenomegali tropikal '
lnfiltratif SplenomeQali Penyakit Gaucher's Penyakit Niemann-pick's Arniloidosis Diabetik lipernia Gargoilisme Kista dan Neoplasma Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma) Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi) Hamartoma Leukemia Penyakit Hodgkin's Bukan penyakit Hodgkin's Histokistosis X Metastasis keganasan
GEJALA KLlNlS Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa. Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat jmendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat. Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder). Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya
PENGOBATAN Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya. Tindakan splenektomidilakukan bila pemeriksaan sumsum tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell, mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia Vera, penyaht gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll. Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi portal, leukemia dan liinfoma.
RlSlKO Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat jumlah trombosit yang disertai jurnlah eritrosit.
Dennis L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. 2005. p. 343-8. G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematology. 9th edition. 1993. p. 1704-19.
DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH Zubairi Djoerban
PENDAHULUAN
RlSlKO TRANSFUSI
Irnunohematologi adalah bidang ilrnu yang rnerupakan interseksi antara hematologi dan irnunologi. Imunohematologi dapat dibagi rnenjadi dua, yang terkait dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi, penyakit hernolitik pada bayi baru lahir, graft versus host disease, irnunomodulasi dan petanda genetik darah. Irnunohernatologi yang tidak terkait dengan genetik antara lain adalah autoimunitas, anemia hernolitik akibat obat, dan anemia hernolitik yang diinduksi neurarninidase. Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip irnunologi untuk mernpelajari kelainan-kelainan hernatologi. Narnun, saat ini imunohernatologi lebih difokuskan pada ilrnu rnengenai antigen dan antibodi pada sel darah rnerah yang berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa kornplikasi kehamilan. Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transfusion Medicine (Ilrnu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banking (penyirnpanan darah). Transfusi darahlproduk darah yang arnan dan konservasi darah adalah fokus utarna dari I'lmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Secara luas, irnunohernatologi juga rnencakup imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk rnemaharni kedokteran transfusi secara kornprehensif rnaka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi, serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru rnengenai enzirn, DNA rekornbinan, dan teknik biornedis lainnya menyebabkan rneluasnya batasan pengertian imunogenetik.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, di mana sebagian besar (55%) berupa demam. Gejala lain adalah rnenggigil tanpa dernam sebanyak 14%, reaksi alergi (terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%,reaksi hernolitik 4%. dan overload sirkulasi 1%.
Demam Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trornbosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien yang rnendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah dengan rnernberikan produk darah yang mengandung sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat dilakukan dengan rnernasang mikrofiltrasi yang mernpunyai ukuran pori 40 mrn. Dengan filter berukuran tersebut jurnlah leukosit dapat berkurang sampai 60%. Pemberian prednison 50 rng atau lebih sehari atau 50 mg kortison oral setiap 6jam selama 48 jam sebelum transfusi atau aspirin 1 g saat rnulai menggigil atau 1jam sebelum transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat transfusi. Reaksi Alergi Renjatan anafilaktik terjadi 1 pada 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan yang rnenyerupai urtikaria tirnbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.
Reaksi Hemolitik Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah rnerah setelah transfusi akibat darah yang inkornpatibel. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan pernanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian. Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju, namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar 1 dari 1000 pasien secara Minis menunjukkan manifestasi reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi. Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit (sickle cell disease). ~ e n u l a r a nPenyakit Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah transfusi. Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya tes penyaring untuk semua sampel darah donor, diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penulpran HIV melalui transfusi darah. Kontaminasi Kontarninasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh Zenterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah
dan 1 per 65.000 unit sel darah rnerah. Risiko terjadinya kontarninasi tersebut berhubungan langsung dengan lamanya penyimpanan. Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada transfusi menggunakan konsentrat trornbosit yang berasal dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri yang mengkontaminasi trombosit yang dapat menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneurnoniae, Serratia marcescens, dan Staphylococcus epidermidis.
Cedera Paru Akut Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang berhubungan dengan transfusi (transfusion-related acute lung injury, TRALI). Kondisi ini adalah suatu diagnosis klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral yang terjadi dalarn 6 jam setelah transfusi. Manifestasi Minis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardi, hipo-hipertensi, dan leukopenia akut sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari 1.200 sarnpai 25.000 transfusi; Finlay dkk rnernperkirakan bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.
Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar hams dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,O atau 8,Ogl dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30 hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar hemoglobin di bawah 10,O gldl dan 7 ,O gldl, namun penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar masih diperlukan. Kadar hemoglobin 8,O gldl adalah ambang batas transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,O gl dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan. Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas
1187
DASAX-DASAR TRANSFUSIDARAH
pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6 jam setelah transfusi.
Golongan Darah
Antigen
Antibodi
A B AB 0
A B A dan B Tidak ada
Anti-B Anti-A Tidak ada Anti-A, anti-B, anti-A,B
ANTIGEN DAN AN'TIBODI ERI'TROSIT Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit. Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA. Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan antig e n eritrosit tertentu akan memilikinya seumur hidup. Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen. Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh terhadap adanya antigen asing atau secara natural memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang normal, seperti anti-A dan anti-B.
GOLONGAN DARAH Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada 1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE (Lewis), FY (Duffy),JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cmright), XG, SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, CWRG, H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH. Antigen yang tidakhelum termasuk ke dalam sistem golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar: berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada. Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan Darah. Sistem golongan darah yang diperiksa dalam pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif Negatif Positif
Negatif Negatif Positif
Tipe Rh
D+ D- (d) Harus diulang atau diperiksa dengan Rh,(D) typing (Saline tube test)
DONAS1 DARAH Seleksi Donor Darah Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam (temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut nadi normal, tekanan darah 50-100190- 180rnmHg, dan tidak ada lesi kulit yang berat. Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal 8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut), tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah. Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2). campak, gondong, demarn kuning, polio (oral): dua rninggu setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan setelah imunisasi terakhir. Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulanasetelah kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak rninum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya admptomatik atau obat dihentikan.
-
Pengambilan dan Pengumpulan Darah Informasi untuk donor. Semua calon donor harus mendapat infornzed consent beserta penjelasan mengenai risiko transfusi. Donor harus dijelaskan bahwa darah akan diuji terhadap penyakit infeksi seperti hepatitis, sifilis, dan
Hn! Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual. Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan kesadaran, atau berkemihldefekasi involunter. Masalah pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi, walaupun sangat jarang (1 ddri 10 juta donor). Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi a)penetapan golongan darah berdasarkan ABO, b)penetapan goiongan darah berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pemah mendapat transfusi atau hainil, dan d)uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis. dan tes antibodi HIV.
Teknik Pengambilan Darah Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke donor atau pasien. Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana sejurnlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan plasma atau fresh frozen plasma. Plasma yang didapatkan juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin serum dan gama globulin. Plasmaferesis biasanya dilakukan menggunakan mz~ltibnysystem, namun dapat juga menggunakan separasi darah sentrifugal. Sitaferesis. Sejumlah besar trombosit atau leukosit dapat dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi aliran intermiten atau kontinyu. Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah prosedur diinana trombosit dipisahkan secara sentrifugal dari wlzole bloocl. Leukaferesis/granulositaferesis.Prosedur ini mengambil granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke donor. Transfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien sendiri. Prosedur ini mulai sering dilakukan setelah diketahui adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIV, melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya
transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan, transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan, yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontarninasi bakteri atau overloacl volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan adininistratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO, 3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik, 4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi. Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor lain karena alasan kepercayaan. Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi volume darah dan kadar Hb 1 lgldl atau lebih. Donasi dilakukan dengan frekuensi minimal 4 hari sekali. Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalam 72 jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial protein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albumin. Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi oral kepada donor. Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl, selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada suhu kamar, atau sampai dengan 24 jam pada 1-6°C.
Uji Cocok-Silang Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas adalah prosedur yang paling penting dan paling sering dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari sel darah merah donor setelah transfusi. Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien, dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien.
DASAR-DASAR TRANSPUS1 DARAH
Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes pratransfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobulin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik salin, albumin, enzim, antiglobulin direk dan indirek. Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing, atau semua antibodi ireguler pada resipien serum.
Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood products. Lancet. 1983; 1 :956-8. Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rdedition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions. MMWR. 2005;54(7): 168-70. Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a computer-based screening system for transfusion-related acute lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl-J Med. 1999;340(6):438-47. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl J Med. 1999;340(7):525-33. Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P. Kormoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp Immunol. 2005;14: 155-7. Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome (AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 1982;3 1:652-4.
DARAM DAN KOMPONEN: KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN Harlinda Haroen
PENDAHULUAN I'znggunaun darah untuk traal'usi hendakl;rh selalu dilakukan secilr-n rasional clan efisien yaitu tlengan lnelnberi kiln hunya komponen darnhlt1criv;rt pli~snii~ yang dibutuhkan saja. Pemikirirn i n i didasarkan bnliwa darah tcrdiri dari berrnncum-rnirca111elemen selular dun jug;^ ber.macam macam protein plasma deagun I'ungsi yarig berbedil-beda yirng tcntunya dapirt dipisahkan, jugn biasanya pasien hanyu rnemerlukan kompone11 tertentu si~jasehingga komponen koniponen darah luinnya dirl>al cli beriknn pada pasien Iirin yang mcmbututik~~~i. Triinfusi tlarilh pada hakekatnyir adnlul~per~~beriurl di1r;rh atau komponen dirrah diiri saiu individu (donor) kc ilidividu lirinnyu (resipien), diriinna clapat 111cnj;rdi penyela~natnyawa, tapi dapat pulir berbirhaya cle~~gari ber-bagni komplikasi yang dapal terjadi sehingga traril'usi darah henduklah dilukukan tlerigi~riiodiknsi yi11ngjelas t1a11 tepat sehingga diperoleh manfilat yirng ,jiruli lebih Ixsirr daripadu risiko yuny mungkin terjadi. Dari sat11 unit duralr Icngkap dotior dcr~gariproses srntrit'ugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisnhkicn plasr~lir tnclijadi sel darah meri~lipckut (SI)Ml'),~ror~ibosit, scgar hekic =ji.csh ji.o?,c,tr plttstrrtr (I:I:I'), kl.iol)rcsil)itat diui laill lain, sedangkan dari plasri~adengan proses Iraksioasi akan didapar bcberapa derivatnya aotara Inin nlbu~nio, i~~iuooglobulin dan faktor-faktor koilgulasi pckal ~nis;llny;r faktor V111 pekat dun laktor 1X pckat. Dcngan inakin niajunyu teknologi al'ercsis snat ini, riiirkil peliryanan ~ranl'usidarah dapat lebih tepat rne~nenul~i krbutuhnn komponen darah melalui penggunaali lncsin ~nultikompoaer~ dengan menggunakan dollor runggul. Hi11 i r i i tlilakuknn untirk ri~crninilnalisasirisiko ~l.allsrr~isi penyakic y;rrig dischi~bkanoleh trar~l'usidi1r;lli.
DEFlNlSl
C'raksi I'lascua ildaluh tlerivot plus~niryirng tliperoleh dengao cirra kinria/I'raksi~rirsitlclrgan melrggunakan scjurnlah besor p1;rsmu yang tliproiluksi di pabrik. I'roduk I)i~ritlliirlali istila11urnunl yang mcoci~kupketlua istilali kornl>oncridarah dan ilerivirt ~)l;lsrnu.
MA'AM
MACAM KOMPONEN DARAH
Selular 1)aral I Utuh (bvlrolr blooil) Sel tlarilh ~iicrilhpckilt ( p r c . k ( ~t.rrl ~ l l)loorl r.c.11): - Scl clilrah r~icrill~ 1)ckilt dengan sedikit lekosit (/)(rt'krcl t ~ t /)loot/ l r,cll /rlrkoc~~.r~~.s r.nlrrceil) Scl durirli ri~el.ilIipckut cuci (prc.Xecl t.c~cl/)loot1 (,ell ~r~cr.shrtl) Scl claral~111cral1 pckat 1)cku (/)tlc.krrl t.crl blootl c.c~ll /i-o,-rrr,/~ic~X~.cl t.c,tl 1)loocl (,ell tlrgl\c~c~t~oli:c.cl). 'I'ror~~hosit konsentut (c~otrc~c2tr/t~r~c p1trrcle1.s ): 'Tronrbosit dcrigan scclikit Iekosit (/~lcr/olc~.v c.c~trc.c~tr-
Non Selular Plasrni~scgal bcku (/i.c~.slr,/i~o:c~tr /)l(csttrtr) I'laslllil dollol' tllliggiII (.sillg/iztk1110r/ ) ~ t r . s t l l t l ) Kriopt~esi1)11;11 I'irkto~,i111ti I i ~ ~ ~ ~ r o ~( '( i. lI i; i\ .r~ ~ ) I . C ~ ( ~ ~ / ) I I ~ I I L , AiiN
DARAH DAN KOMPONEN:KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERUN
MACAM MACAM DERIFAT PLASMA Albumin Imunoglobulin Faktor VIII dan Faktor IX pekat Rh Imunoglobulin Plasma ekspander sintetik
DARAH LENGKAP (WHOLE BLOOD) Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 37 mL antikoagulan, ada juga yang satu unit kantong berisi 350 mL darah dengan 49 mL antikoagulan.Suhu simpan antara lo-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin (CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2 macam darah lengkap yaitu darah segar dan darah baru. Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam, sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor pembekuan labil (V, VIII) masih cukup untuk terjadinya pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan oksigen dari hemoglobin mulai menurun.
lndikasi Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volum plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total. Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volum darah pasied jauh lebih penting dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk tranfusi lnemerlukan waktu. Kontraindikasi Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah. Dosis dan Cara Pemberian Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah lengkap 8 mLkg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl. Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah
1191
dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4jam
SEL DARAH MERAH PEKAT(PACKEDRED BLOOD CELL) Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit 60-70 %. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel darah merah 100-200mL. Sel darah merah ini disimpan pada suhu lo-6"Celcius. Bila menggunakan antikoagulanCPDA maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 %, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 21 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60 % dan masa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti darah lengkap.
lndikasi Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan. Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit. Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung. Kontraindikasi Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Dosis dan Cara Pemberian Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena dapat terjadi kelebihan beban.
-
SEL DARAH MERAH PEKAT DENGAN SEDlKlT LEUKOSIT (PACKED RED BLOOD CELL LEUCOCYTES REDUCED) Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 1OY lekosit. American Association of Blood Bank Standard for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah merah yang disebut dengan sedikit lekosit jika kandungan leukositnya kurang dari 5 x 106leukosidunit. Sel darah ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang hilang, maka kandungan sel darah merah kurang dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan lo-6O Celcius, sedang masa simpan tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini hams dipakai secepatnya (dalam 24 jam).
lndikasi Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering mendapadtergantung pada tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit. Perhatian Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah bila komponen darah tersebut diradiasi. Dosis dan Cara Pemberian Pemberian komponen sel darah ini paling baik di berikan dengan menggunakan filter darah generasi ketiga.
SEL DARAH MERAH PEKATCUCI (PACKED RED BLOOD CELL WASHED) Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80 % dengan volum 180 mL. Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh plasma (98 %), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1-6O Celcius.
lndikasi Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri. Perhatian Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi. Dosis dan Cara Pemberian Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa kecuali. SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl (PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED) Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan pada suhu minus 65Oatau minus 200' Celcius (tergantung sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun. Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam karena proses pencucian biasanya memakai sistem terbuka.
lndikasi Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka. Perhatian Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo virus (CMV) Dosis dan Cara Pemberian Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena banyak sel darah yang hilang selama proses pembuatan.
DAM
DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKAS~ DAN CARA PEMBERJAN
TROMBOSIT PEKAT(C0NCENTRATEPLATELETS) Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran (sentrifi~gasi)darah lengkap segar atau dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor berisi kira kira 5,s x I 01° trombosit dengan volum sekitar 50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong trombosit yang berasal dari donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi terhadap trombosit. Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20"-24'' Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang, trombosit dapat disimpansel~ma3 hari, sedangkan den& kantong darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca tranfusinya lebih baik. Pada suhu 1°-60Celciustrombosit ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi hemostatiknya lebih baik namun viability pasca tranfusinya kurang.
lndikasi Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini ditranfusikan intravena dengan meniakai saringanlfilter darah standar. Sebaiknya diberi'kan trombosit pekat yang sama golongan ABO nya dengan pasien. Kontraindikasi dan Perhatian Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan trombositopenia yang disebabkail oleh sepsis atau hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi trombosit. Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin karena dapat menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA
1193
dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit. Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan beban, serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya traiifusi komponen lain.
Dosis dan Cara Pemberian Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit110 kg BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-1 1.000/ull m'luas permukaan tubuh; pada dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 5000- 10.000lul. Penghitungan peningkatan jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan memakai rumus: CCI = f Post tx plt ct ) - (Pre tx ~ 1ctt ) x BSA ( Plt transfused x 10" ) Post tx: pascatransfusi Pre tx: pratransfusi BSA: bod)]surface area (luas permukaan tubuh). Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi dimana CCI >7,5-10 x 109/L atau CCI >4,5 x 109/L yang diperiksa 18-24jam pasca transfusi.
TROMBOSIT DENGANSEDlKlTLEUKOSIT(PLATELETS LEUKOCYTES REDUCED) Trombosit berisi leukosit sekitar0.5-1 x 108/unittrombosit, sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung leukosit hanya 8.3 x 1O5Iunit.
lndikasi Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan terjadinya alloimunisasi HLA terutama pada pasien yang harus menerima kemoterapi jangka panjang. Kontraindikasi dan Perhatian Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, peng'gunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan leukosit selama penyimpanan.
Dosis dan Cara Pemberian Penggunaannya dengan menggunakan filterlsaringan khusus trombosit dengan sedikit lekosit.
GRANULOSIT FERESIS (GRANULOCYTES PHERESIS) Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal, berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung sekitar 1.0 x 10"' granulosit, sejumlah limfosit, trombosit, 25-50 ml sel darah merah, d a n mungkin sedikit hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml. Suhu simpan dari sediaan ini 20-24°C dan harus segera ditransfusikan.
lndikasi Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasi. Kontraindikasi dan Perhatian Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam, tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi , namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk memperkecil kemungkinan tejadinya efek samping dapat diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi. Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian pula untuk dapat terjadinya GVHD.
dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18°C atau lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun. Volume sekitar 200-250 ml.
lndikasi Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP, dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif. Kontraindikasi dan Perhatian Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum darah. Dosis dan Cara Pemberian Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 m l k g (4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2% (1 unit/kg). Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil, demam dan hipervolemia. KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK (CRYOPRECIPITATEDAHF)
PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN PLASMA = FFP)
Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating waterbath4O C selarna 75 menit dan kemudian memisahkan komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut d e n g a n cara pemutaran. Komponen yang masih berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan adalah minus 18" C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml. Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80- 120 unit, 150-250 mg fibrinogen, sekitar 40-70% faktor Von Willebrand, 2030% faktor XIII.
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah
lndikasi Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia, kekurangan F Xm, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien penyakit Von Willebrand.
Dosis dan Cara Pemberian Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABOnya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru memperlihatkan hasil.
1195
DARAH DAN KOMPONEN: KOMWSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
Kontralndikasi dan Perhatian Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak defisiensi faktor-faktor tersebut di atas. Dosis dan Cara Pemberian Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkun terlebih dahulu dengan menenipatkannya dalam kvaterbath bersuhu 30-37" C. Komponen ini harus diberikan pada pasien dalam waktu 6 jam setelah peiicairan atau 4 jam setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan dengan saringanlfilter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, sedang dosis pada arlak anak adalah 1 kantongIl0 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60- 100 mg/dI. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat yang mengandung 100 unit F VIII. 1 kantong16 kg dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping yang rnungkin terjadi adalah reaksi alergi dan deniam.
KONSENTRAT FAKTOR Vlll (FACTOR Vlll CONCENTRATE) Konsentrat faktor VIII dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil, murni dan beku kering. Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai cairan pelarut tri(n-butil) fosfat. Sediaan ini memiliki volume yang seclikit. Produk yang tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah, kemurnian tinggi atau bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian menengah memiliki 1-10% dari tot'il protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling murni dibuat melalui kromatografi'imunoafinitslsdengan menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya hencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari kuItur sel marnalia melalui rekombinan DNA juga sudah tersedia secara luas.
lndikasi Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan inhibitor F VIII titer rendah yang kadariiya tidak lebih dari 5-10 Bethesda unitsIm1.
Kontraindikasi dan Perhatian Dosis tinggi pemberian konsentrat F Vlll dengan kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen secara bermakna. L>ire~.rantiglobulin tes (DAT) atau hen~olisisdapat tcrjndi karena adanya anti A atau anti B. Reaksi yaiy licl:tk clih;~raphiarneliputi malaise. panas. niual, dan menggigil. I'acla Lclii~irriiany a y tinggi. konsc~lll.atF Vlll lebih jarang mttnimbulkan e t k samping. Dosis dan Cara Pemberian Banyaknya aktivitas F Vlll koagulan digunakan dengnn mempergunakan Inrelnntional Utzits (IU). Satu 1U adalah jumlah aktivitas F VIll koagulan dalam I mL plasma normal. Dosis pel-rnulaan untuk rnencapai kadar 30- 100% dihitung dengan rumus: Plasma Volume (PV mL) = 40 mUkg x 66 (kg) F Vlll yang diinginkan (unit) = PV x [ kadar vana d e i ~ k ~ a _ n . l ~kadar / ~ ) sekarana(?/oi]
Cara lain adalah: tiap unit F VllIIkgBB akan ~neningkatkan 2% (0.02 1UImlj Peinberiannya dapat inelalui infus dengan menggunakan saringanlfilter darah standar atau dengan jarum suntik dengan filter yanp telah tersedia bcrsama sediaannya.
KONSENTRAT FAKTOR I X (FACTOR IX CONCENTRATES) Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai husil rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX nierupakan sediaan yang mengandung selain FIX juga sejumlah F 11, VII, X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. lsi dari F VII dalam beherapa produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IXlmg protein. Hal sebaliknya dengan kompIeks F IX, F IX koagulasi merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F 11, F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 30-30%dari produk ini adalah F IX di~nanasediaan ini mengandung 50 dan 200 IU F IXImg protein. Konsentrat F 1X dibuat dengan heat treated solvent/ detergent treated dcngan teknik rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis. HIV dan infeksi virus lainnya.
lndikasi Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas inhibitor F VIII.
lndikasi Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolernia dan hipoproteinemia misalnya pasien dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk meningkatkan protein plasma.
Kontraindikasi dan Perhatian Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati. Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan penurunanbersihan hati, akumulasi faktor kOagulasitersebut Konsentrat IX koagulasi t a m ~ a k n ~ a lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks F M.Efek samping dari kompleks F M bila diberikan secara cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan cepat dari IX k o a ~ l a sadalah i vasomotor.
Kontraindikasi dan Perhatian Larutan albumin 25 % tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrosa 5%.
Dosis dan Cara Pemberian 1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII, namun secara in vivo hanya sekitar 50 % yang dipakai karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 1% F
IX. ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA (ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION) Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas virus. Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan 17% globulin. Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%, sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll L (145 mEqlL). Larutan albumin 5%, osmotik dan onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16jam dan dapat disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.
Dosis dan Cars Pemberian Albumin dan fraksi plasma tidak memerlukanfilter dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Dosis 500 mL 0-20 mUkg pads anak diberikan secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar protein diberikan &lam dosis albumin atau fraksi dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma 5.2 gldL atau lebih tinggi.Albumin tidakdapat memperbaiki hipoalburninemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka panjang.
IMUNOGLOBULIN(IMMUNE GLOBULIN) Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan.Berisi imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL. Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG) meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular. Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi antara 18-32hari.
lndikasi Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk
DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI.INDIKASIDAN CARA PEMBER~AN
trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumstun tulang.
"
Kontraindikasi dan Perhatian Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A) atau terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma sebaiknya jangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan diberikan secara IV karena mengandung agregat , immuglobulin yang dapat mengaktitkan komplemen serta sistim kinin yang dapat menyebabkan I-eaksianafilaktik. Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pe~nberian i~nunoglobulinadalah nyeri kepala, menggigil. kepalii tclasa ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan niual. Dosis dan Cara Pemberlan Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang digunakan (IM, IV). , ITP dan penyakit autoimun lainnya: 1V 400mgkglhr selama 2-5 hari atau 0.8- 1 .O g/kg/hr selama 1-2 hari. Defisiensi imunoglobulin kongenital: - IM: 0.7 mWkg Ibulan - IV: 200-800 mgkglbulan. Profilaksis hepatitis A: IM 0.02-0.04 f i g . Hepatitis B: 0.06 mLAg IM diulang satu bulan Varicella zooster: 1 'vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM diberikan dalam 72 jam pasca paparan. * Virus citomegalo: , - Protilaksis: 100-150mgkg - Pengobatan infeksi: 200 mglkg (IV)
RH IMMUNE GLOBULIN
RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra muskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug RhIG baik 1V maupun Ih4akan melindungi efek imun lebih dari 15 ml darah dengan D positif. Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).
lndlkasl dan Dosis Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis
1197
penuh 1M RhlG dapat diberikan. Dosis penuh juga dian-jurkan setelah dilakukan amniosentesis. I'asca persalinan, seniua perenipuan dengan (Rh) D negatif y;ing mclahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG sc.c;lrn IM atnu 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.
American Association of Blood Banks. Blood component therapy: a physician's handbook. 6"' edition. Bethesda: 1999. Boshkov LK. Platelet tranfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE. editors. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2""edition. New h r k : The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 489-94. Friedman ,KD, Menitove. JE. Prepwation and clinical use of plasma and plasnla fractions. In: Beutler E, Lichtman MA. Coller BS. et PI, editors. Williams henlatology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill: 2001. p. 1917. Goodnight SH, Hathaway WE. Plasma. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"'edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 495-500. Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. Zn%dition. New York: The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 501-4. Goodnight SH. Hathaway WE. Coagulation factor concentrates. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guid edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. Goodnight SH. Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. .guyders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2""edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 523-7. Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use o intravenous immune globul~n.In: Up To Date. Rose Wellesley MA. editors. 2004. Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. In: UpToDate. Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to immunocompromi~edpatiens and means for reduction. Br J Haematol. 2004; 135: 107. Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. The trnnfusion of platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in cli&al medicine. I(rh edition. USA: Blackwell Science; 1997. p. 459-86. Murphy S. What so bad about old platelets? Transfusion. 2002;433. Pamphilon D. Viral inactivation of fresh frozen plasma. Br J Haematol. 2000; 109:680. Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage leukoreduction in Canada decrease; platelet alloimmunization and refractoriness. Blood. 2004;103:333. Silvergleid AJ. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editon. 2004. Wallas CH. Use of red blood cells. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI D A M IY.Tamtoro Harmono
PENDAHULUAN Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan, pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri dikejakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi sebagai alat pengobatan berkembang pesat. Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu. yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang 'kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi darah donor,perbaikan cara shining donor,pengembangan inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien (penerima darah), pengembangan produk rekombinan, jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.
&
KOMPLIKASITRANSFUSI Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini disebabkan oleh rangsangan al~antigen~asing yang terdapat
pada eritrosit, leukosit, lrombosit dan protein plasma. Bila resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen tersebut maka akan tejadi pembentukan antibodi sehingga kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafilaksis yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.
Komplikasi dapat di golongkan menurut: Komplikasi Imunologi Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA - Antigen trombosit - Antigen netrofil - Protein plasma Reaksi transfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed) Reaksi febris transfusi Kerusakan paru akut karena transfusi Reaksi transfusi alergi Purpura pasca transfusi Pengamh imunosupresi Penyakit graft versus host KomplikasiNon Imunologi Kelebihan (overload) volum Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru Lainnya: plasticizer, hemosiderosis transfusi Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human immunodeficiency virus- 11-2; H u m n T lymphotropic virus-11-11; Virus sitomegalo; Virus Epstein Barr; Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria, babesiosis, tripanosoma; organisme lain
PENCECAHAN DAN PENANMAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
KOMPLIKASI IMUNOLOGI Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk). Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit, terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan multi transfusi. Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi. Reaksi Transfusi Hemolitik Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit, biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di daiiiln sirkulasi, yang lanibat terjadi di sistem retikulo endotelial. Uinuninya terjadi karena kesalahan pencatatan dan 'ABO mismatching'. Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi. Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas, takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada: 600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44% bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L. Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi antara antibodi dan membran sel eritrosit yang mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun, aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi, vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular. Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan
1199
infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan meningkatkan air kencing agar mencapai 100cc/jam. Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara terbentuknya kencing. Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan harus dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada reaksi transfusi hemolitik intravaskular yang berat mungkin diperlukan 'exchange transfusiotz '. Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut hams dilakukan: Identitas pasien harus ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah donor harus diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan pencatatan. Darah pasien harus diarnbil lagi, dikirim ke bank darah. Darah pasca transfusi harus dilihat adanya hemolisis. Harus diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk antiglobulin harus dilakukan pada saat reaksi hemolisis terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi juga harus diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk antiglobulin. Penieriksaan 'typing' eritrosit harus dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi pasien atau typing. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik mayor hams dinilai untuk kemungkinan adanya koagulasi intravaskular dan fungsi ginjal harus dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin harus juga diperiksa, adanya urin benvarna anggur khas pada hemolisis intravaskular. Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien, contoh darah atau komponen transfusi harus benar penempatannya. Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih ringan dari yang segera dan terjadinya perusakan eritrosit terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak cocok disingkirkan dari sirkulasi. Reaksi ini umurnnya bersifat sekunder, terjadi sesudah kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo endotelial.
-
Pemeriksaan yang hams dilakukan disini,bila pasien dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif, dokter hams memberi tahu dan memberi kartu identitas yang menunjukkan adanya antibodi. Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus, tapi pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan hidrasi.
Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik Terjadi pada 0,5-3% pasien yang diberikan transfusi, umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi. Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi. Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya reaksi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu transfusi sitolun, yang berkembang di dalam trombosit asal dasah segar (whole blood) yang disirnpan pada suhu karnar. Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini harus dipertimbangkan. Pendekatan menangani febris ini harus berdasar atas pengertian pada ha1 yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi panas ini maka transfusi hams dihentikan. Kemungkinan adanya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Darah donor dan contoh serum pasien harus dikirim ke bank darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison. Pencegahan, sebaiknya diberikan darah dengan pengurangan jumlah leukosit. Kerusakan Paru Akut karena Transfusi Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulinonal non kardiogenik, mirip 'adult respiratory distres.~ s,vnclrot~zr'. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dari sidnosis, sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya rnungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi ini lebih jarang daripada febris, dengan angka kejadian I dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru, rnenyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli. Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan, karena menghambat agregasi granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan multipara.
Reaksi Transfusi Alergi Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-3%, mungkin lebih tinggi lagi karena tak dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes',. spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis. Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancarn kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan basofil. Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang, dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Biladengan antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan eritrosit yang dicuci. Purpura Pasca Transfusi Ini merupakan pengembangan trombositopeni yang rnengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5- 10 sesudah transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit. Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat. lmunomodulasi yang Berhubungan dengan Transfusi Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan eritrosit,tapijuga sejumlah efektor sel imun, produk sitokin, dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan resipien sebagai antigen asing. Substansi yang iuemodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang ditransfusikan,meningkatkan kemungkinan sindrom klinis yang umumnya dikenali dengan transfusion-related immunomodulation. Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga misal pada cangkok ginja1,hasilnyalebih baik bila sebelum operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya karnbuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi. Penyakit Donor Cangkok Versus Host Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T lymphocyte', bila ditransfusikan ke resipien yang non imunokom~eten,makasel limfosit T ini akan memperbanyak diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan (reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa panas, diikuti 'rash' kulit berupa eritema, makulopapula mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti
PENCEClAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSl D
pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adany a keluhan yang perlama. Diagnosis berdasar gambaran klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pcngobatan dilakukan dengan pemberiali kortrikosreroid, g l o b ~ ~anti l~n timosit, siklosporin dan 'g,wl~'th,firctol.'. tapi hasilnya lidak memuaskan.
KOMPLlKASl NON IMUNOLOGI Kelebihan Cairan Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan kelebihan cairan di dalam sirkulasi. Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga volum cairan normal,maka pada anemia dengan gaga1 jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru yang bet-akibat fatal. Pada orang tua transfusi diberikan dengan ritrne 3- ml darahlkg berat badanljam. Transfusi Masif Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain dengan darah di dalaln sirkulasi, bila sejumlah besar darah simpanan diberikan dengan cepat lnaka ion K menyebabkan risiko pada pasien dengan gaga1 ginjal, syok dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia. Hipotermia. Hipoter~niaterjadi bila sejumlah besar darah yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan ha1 ini. Pada pasien berat, denga transi'usi masif ini dapat mengalami asidosis, hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi, dan hip0 atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko aritmiajantung. Pengaruh pengenceran. Transfilsi dzngan sejumlah besar produk darah lnenyebabkan pengenceran trombosit dan faktor koagulasi yang labil. Sejumlih pasien dengan sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskul&dapat memberat dengan pengar~~h transfusi ini. Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat yang terdiri dari trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan transfusi sejunilah besar darah simpanan lalu mengalami sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena mikroagregat. Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli udara, terutama jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka ini terhindarkan.
M
1201
Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang mengandung 'phthcilnte', bahan ini lipofilik maka dapat larut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan waktu penyimpanan. Bahan ini memungkinkan keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan lain. Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang berulanp ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan sumsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi sekitar 0.25g. KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSFUSI DARAH Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk Penyakit lnfeksi Di tahun 1960, hepatiti karena transfusi lnencapai 30% pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun 1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan munc~llnyapenyakit AIDS, ~ ~ n t uinik dilakukan pemeriksaan antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko tertular AIDS lewat transfusi. Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada tahun 1992 di AS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di AS) ialah: Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid Asam nukleat virus hepatitis C HIV -1 1-2 IgM dan IgG anti HIV- 11-2 Asam n~lkleatHIV-I 1-2 HTLV-I/-Il IgG anti HTLV-11-11 Sipilis IgM dan IgG pada treponema antigen, atau reaktivitas serologi non treponemal (rapid plasma reagin). Hepatitis karena Transfusi Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab hepatitis pada transfusi, semua hepatitis ini disebut serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukan,diketahui 30% dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B. Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV (cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus) sebagai penyebab hepatitis pada transfusi. Pada tahun 1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non Anon B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga kemudian hepatitis karena transfusi yang semua marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non ABC.
-
Virus Hepatits B Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner m r ' l inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase, dan di ekspresikan dengan nntigenik determinan sebagai 'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda s berukuran 42 nm. Bungkus virus, dengan b u n g k ~ ~dobel HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat parented, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6 bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian menimpa sekitar 0,2-0,5YoSemuapasien mengalami hepatitis sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan pemeri ksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada dewasa sekitar 5 1 0 % menjadi karier kronik,kini diduga yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu I%.Dari 1 % ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik, setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma hepatoselular. Setelah 12 minggu dnri awal serangan, umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcornponen ', merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius yang tinggi. Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, niaka penurunan angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis. Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chairz reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan HBV DNAdi dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga terdapat pada 1per 50000 kasus.
positip untuk petanda virus (VHA
Virus Hepatitis C Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB. Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang
Virus Hepatitis E Menular secara 'water borne', menyebar seperti VHA,tidak bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat transfusi.
Virus Hepatitis D Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B. Hanya terdapat bila bersama hepatitis B. Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya seromarker VHB hams disingkirkan. Virus Hepatitis A Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil pada saat viremia fase asimtomatik.
PENCEGAHAN DANPENANGANAN KOMPLIKASITRANSNSI DARAH
Hepatitis Non-A-B Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak terrnasuk hepatitis C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT. Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagairnanapun kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis. Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2 HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid, dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral (transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah 2-3 rninggu terpajan virus, pasien rnenderita seperti influenza akut atau penyakit rnirip rnononukleosis. Penyakit rnemasuki masa laten tapi virus terus berkernbang biak. Fase asirntomatik ini mencapai 10 tahun, lalu C D 4 T cell menjadi tertekan, pasien berkembang rnenjadi irnunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis yang berat, neoplasrna atau keduanya dan meninggal. Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral therapy ', secara drarnatis rnenurunkan rnorbiditas dan mortalitas di AS. Vlrus Human T Lymphotropic I Dan li V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa. V HTL I1 rne~vpakanretrovirus, diternukan pada tahun 1982 pada pasien dengan lekerni 'hairy sel'. Kedua virus ini menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau lirnfoma dan kelainan nerologi HTLV I associated rnyelopathy (HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP). Infeksi V HTL I endernik di Jepang, Karia, Brazil, Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks, menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kornpnen plasma yang didinginkan, Limforna sel T dewasa muncul pada usia 40-60, rnenggambarkan adanya masa infeksi laten yang lama sebelurn serangan klinisnya muncul. Pada keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat rnuncul dalarn waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi. Skrining donor. Tes donor,dengan rnemeriksa antibodi pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA rnenginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11. Kemudian yang dites hanya IgG dengan periode jendela agak lama, 51 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428 000 unit. Virus Sitomegalo Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes. dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual. Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat bersifat laten, kemudian dapat mengalarni reaktivasi.
1203
Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat rnulai dari tanpa keluhan sampai sindrom seperti mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi primer atau reaktivasi beleupa trombositopeni, anemia hemolitik, penrnonitis, kolitis, hepatitis, rneningoensefalitis dan rneninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia. Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang, mernerlukan banyak darah segar. Garnbaran berupa adanya sindrom panas dengan rash, lirnadenopati dan splenornegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik 8- 12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian secara serologis definitif disebabkan oleh virus Sitomegalo. Sekarang ini insidens tertular virus Sitornegalo sangat rendah dengan rnengunakan kornponen darah yang d i s h p a n pada pasien dengan status irnunologi normal. Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat kornponen selular darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara rnengurangi sejumlah besar leukosit.
Virus Esptein-barr Sernbilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi terhadap virus Epstein-Bnrr, karena infeksi berhubungan dengan leukosit rnaka narnpaknya akan arnan dengan rnenggunakan darah yang leukositnya dikurangi. Parvovirus B 19 Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat kebal terhadap pengolahan fisik untuk rnenonaktifkan. Infeksi sering pada anak urnur 15 tahun. Sekitar 50% anak telah punya antibodi.Virus menyebar terutarna lewat traktus respiratorius. Penyakit dengan garnbaran berupa eritema infeksiosurn dan poliartropati. Pada orang normal virus B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat rnenyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan imunodefisien, dapat meni~nbulkananemia kronik yang mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled plasma product', dimana B 19 ini resisten terhadap proses inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan deterjen dan pemanasan; untuk rnenghindari ini dipakai cara menghilangkan plasma yang rnengandung banyak titer DNA B 19. lnfeksi yang Disebarkan Artropoda Malaria merupakan penyakit infeksi global narnun di AS penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor, 3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik. Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada
keluhan sampai yang ringan sepe~ziinfluenza atau malaria. dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal. Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burpdorferi. tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena transfusi. Triparzosonta cr-uzi, protozoa yang menyebnbkan penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan miokarditis, meningoensefalitis dan dapat fatal pada pasien dengan imunokompromais. Virus West Nile, merupakan flavivi~us,disebarkan oleh gigitan nyamuk, umurnnya menyebabkan panas,yang berat dapat dengan meningitis, enset'alitis atau paralisis flusid. yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat transfusi.
Penularan Encefalopati Spongioform Penyakit Creutzfeld tJakob dan variannya. Penyakit infeksi ini progresif dan fata1,menyerang saraf pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di Inggris,diketahui spongiform atau prion ini menyerang sapi sehingga disebut 'mad cow disrctsc'. dipikirkan orang yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat tertular.
Kontaminasi Bakteri Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat, Transfusi tronibosit yang disiinpan pada suhu kamar lebih sering meninibulkan febris dibanding eritrosit yang didinpi nkan. Organisnie yang sering menimbulkan kontaminasi pada transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas, enterobakler, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non hemolitik sarnpai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro organisme derigan endotoksin. Pengobztan sama seperti pada sepsis karena organisnie lain yang sesuai
Galel SA. ct al. Transfusion metlicine. In: Greer JP, et al, editor. Wintrobe's clincal hematology. I I!" edition. Vol I. Lippincot Wiliams & Wilkins: 7003. 11. 83 1-82. WHO. Adverse effects of transf~~sion. in the clinicals use of blood in medicine. obstetl-ic. paediatrics. surfer). and anaesthesia. trauma and burn. Malta Gcneva: 200 1 . p. 126-52.
Ronald A. Hukom
PENDAHULUAN Aferesis dalarn bidang Hernelologi-Onkologi rnerupakan suatu tindakan pengambilan/pengumpulan kornponen darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan mengernbalikan komponen darah lainnya ke tubuh seseorang menggunaican alat separasi sel. Tujuan tindakan aferesis ini adalah untuk mengarnbil sebagian komponen darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor), atau mengurangi junilah komponen darah yang berlebihan di da!arn tubuh (aferesis terapeutik). Tindakan rnengarnbil, rnencuci, dan mengembalikan darah telah dilakukan sej& tahun 1902 di Perancis pada pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah 'suatu proses rnengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terrninologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti pengarnbilan komponen tertentu dari darah dengan menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk keperluan terapeutik digunakan pertarna kali pada tahun 1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada penderita rnieloma rnultipel. Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi, dalam perkernbangannya sekarang aferesis lebih penting lag! untuk mernperoleh komponen darah bagi transfusi (Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula untuk rnemperoleh granulosit dan trombosit dari donor tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat lebih tepat mernenuhi kebutuhan komponen darah (sel darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini terrnasuk lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan
rnulai dipakainya interleukin dan lynlphocyte activated killer dalam pengobatan kanker. Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis (eritrositaferesis, lekaferesis, trombaferesis), plasmaferesis, dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT). Tujuan utarna tindakan aferesis adalah rnengeluarkan hanya sebagian kornponen darah, bisa berupa sel atau plasma saja. Alat yang digunakan rnemiliki plastik disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat dan heparin, tanpa menirnbulkan efek sistemik. Sebagian besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran darah 30 - 80 mllmenit dengan melalui akses vena perifer atau kateter vena sentral multi-lumen. Di RS Kanker Dharrnais, dalam periode 1997 - 2004 tercatat lebih dari 2 100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali setiap tahun), di mana lebih dari 90% prosedur aferesis ini merupakan aferesis donor (trombaferesis).
AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI SEL ASAL DARAH TEPl Transplantasi sumsurn tulang (bone marrow transplantation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi Qeripheral blood stem cell transplantation, PBSCT) merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) &lam tubuh pasien yang hancur sesudah kernoterapi dan latau radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir. Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini memungkinkan pasien menerima radioterapi dantatau kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa
didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi. Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pnda berbagai jenis kanker darah (leukemia. sindrom mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin, mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi. imunodefisiensi congenital). Transplantasi dapat dilakukan secara autologus (pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic (pasien menerima sel asal dari saudara kembar identik), atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi allogenik dapat menimbulkan efek grft-\,er.slrs-t~rr~~or. (GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa di tubuh pasien sebagai benda asing dan menghancurkannya. Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis). Pada donor misalnya, dapat diberikan growth factors (5 mcglkg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi 'autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai ,mulai pengambilan PBSC (harvesting). Lekaferesis dilakukan pada hari 10 - 15 pasca kemoterapi, saat jumlah lekosit sudah minimal 2 jutdml. Prosedur lekaferesis diulang hari berikutnya sampai maksimal5-6 kali, untuk memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jutaJkg. Semua sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis, diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34 (dengan flow cytometry). Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril, pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan kesemutan.
Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,
~ ~ U I iI;~ri'sel asal yang t e r ~ ~ t ; ~I ~I iI i~ ;I~I ~ ; I I ~s~lriiber digun;~l\;~~i. I
AFERESIS TERAPEUTIK Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis, leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes). Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density lipoproteirz) apheresis yang digunakan pada pasien dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di
1207
APERESIS DONOR DAN TERAPEUnK
Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di A~nerika Serikat pada tahun 1996.
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Sickle cell disease Komplikasi akut Pencegahan rekurensi strok Nyeri berat + sering Malaria dengan hiperparasitemia Leukemia + hiperlekositosis Transplantasi sel asal (PBSC) Reumatoid artritis (dalarn keadaan tertentu) Trornbositemia simtomatik
Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pndn lekemia akut I kronik dengan resiko pendarahan, trombosis, atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas tahun terakhir ini lekoferesis dikai*an pula dengan pengambilan stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau transplantasi sel asal (PBSCT).
Paraprotein
Metabolit toksis lmunologis
Vaskulitas Defisiensifaktor koagulasi
Sindrom hiperviskositas Krioglobulinemia Penyakit cold agglutinin Hiperkolesterolemiafamilial Sindrom Goodpasture Miastenia Gravis Sindrom Guillain - Barre Pemfigus Inhibitor faktor koagulasi Purpura trombositopenia imun S.L.E Glomerulonefritismesangiokapiler Purpura trombositopenia trombotik
KOMPLlKASl AFERESIS Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi berhubungan dengan vascular access, perubahan homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi alergi, dan infeksi. Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia, maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gejala hilang. Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht, lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan
ABOIRhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi (cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti mengandung HbsAgIanti HCVIHIVNDRLImalaria, berat badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita penyakit serius (jantunglparulginjal dan lainnya). Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi. Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan hemodinamik. Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara, tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIV, umurnnya lebih baik digunakan albumin 5 % in saline sebagai cairan pengganti dari pada plasma.
MESlN AFERESIS Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat, trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000, Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro) Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS1 04. Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur pengambilan sel asal darah perifer (PBSC). Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable (preconnected separation channel and blood tubing) dan mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan t r o m b ~ s i t o ~ e nyang i a memerlukan transfusi multipel.
Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World Apheresis Association IOlh Congress, 2004, U.S.A. Burt RK, Loh Y , Pearce W, et al: Clinical Applications o f Blood-Derived and Marrow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.
COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993. Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion. Little, Brown and Company - BostonlToronto, 4 Th ed.,1988. Kang HJ, Lee HY, Na SH, et al: Differential Effect of lntracoronary lnfusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2006, 114: 11451151.
Padley D, Strauss RG Wieland M. et al: Concurrent Comparison of the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collect~onof Peripheral Blood Mononncleal. Call!, for Aurologous Pcr~pbcrzl Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991, 6: 77-80. Reksodiputro AH, Djoerban Z, Hukom RA: Beberapa Permasalahan Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990, Jogjakarta
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman
PENDAHULUAN Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia yang pertama dltemukan serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1.Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22ql1). (Gambar2) Gabungankedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga h a t sebagai penyebab utama terjadinyakelainan proliferasipada LGK. Secara klasifikasi, dahulu LGK tennasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari sen granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi sen granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai granulosit.
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositikkronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda
Gambar 1. Kromosom Philadelphia. Sumber: Laboratorium Sitogenetika Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen llmu PenyakiiDalam FKUIIRSCM
dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak.
TANDA DAN GEJALA KLlNlK Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan,pasien rnasih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para operasi, dirnana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejalagejala infeksi. Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan
tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada Tabel 1.
Keluhan
tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini rnenyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-AFJL pada krornosom 22 dan gen resiprokal AFJL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak pada Gambar 2.
Frekuensi (%)
Splenomegali Lemah badan Penurunan berat badan Hepatomegali Keringat malam Cepat kenyang P.erdarahan/purpura Nyeri perut (infark limpa) Demam
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalarni akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan,pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat rnielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit c100.000/mm3.Secara klinis, fase ini dapat diduga bila lirnpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertarnbah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.
Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada krornosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCRABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhimya mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Pernahanan mekanisne kerja gen BCR-AFJL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik,perjalanan penyakit, prognostik, serta irnplikasi terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diket'ahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak
..-.-..
BCR
ABL
BCR ABL
Gambar 2. Translokasi kromosom 9 dan 22. Dikutip dari Savage and Antman. N Engl J Med 2002
Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalarn kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995; Melo, 1996;Verfaillie, 1998). Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 2. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q l l , akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelrnan, 1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.
Karyotipik t(9;22)(q34;q12) t(9;22)(q34;q13) t(9;22)(q34;qlI ) t(8;22)(pll;ql I ) t(4;22)(ql2;qI 1) t(9;12)(q34;p13) De1(4)(q12)
Gen-gen yang Terlibat BCR-JAK BCR-PDGFRB BCR-FGFRI BCR-FGFRI BCR-PDGFRA ABL-TEL FIPILI-
lstilah Klinik LGK atipik LGK atipik LGK BCR-ABL negatif LGK BCRABL negatif LGK atipik LGK atipik LGK hipereosinofilia
PDGFRA
Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, ha1 ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalarni fase
krisis blas dtemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang lcromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang .berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.
Biologi Molekular pada Patogenesis LGK Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya di tulis p2 10BCR-ABL Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e l yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio db pads tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (y -bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (ybcr) ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di y-bcr berhubungan dengan netrofilia dantatau trombositosis. mempunyai Pada gambar 2 tampak bahwa p210BCR-ABL potensi leukemogenesisdengan cam sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SHl), sehingga tejadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik, seperti tampak pada Gambar 3. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis. Diagnosis Banding : LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik LGK fase krisis blas: leukemiarnieloblastik akut, sindrom mielodisplasia
Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL ( ~ 1 4 5yang ~ ~ ~normal ) dikontrol oleh Exon l a , Ib dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.
Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.
PEMERIKSAANPENUNJANG
~ematologirutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikitmenurun, lekosit antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/rnm3.Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. Apus Darah Tepi Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metarnielosit meningkat, demikianjuga persentasi eosinofil dan atau basofil.
Apus Sumsum Tulang Selularitas meningkat (hiperselular)akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio rnieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, w p a k bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. Karyotipik Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +19, +21, i(17). Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan hipenuikemia. PENGOBATAN Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai rernisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal. Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah: Hydroxyurea (Hydrea) - Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK. - Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorarnbusil. - Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru. - Dosis 30mglkgBBlhari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3,dosis boleh ditinggikan sampai' maksirnal2.5 grarn~hari. - Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/ mm3atau trombosit <100.000/mm3 - Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan neurotoksisitas. - Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.
Busulfan (Myleran). - Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. - Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sarnpai
-
-
-
12mg/hari.Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3,dan bam dimulai kembali setelah lekosit >50.000h3. Tidak boleh diberikan pada wanita harnil. Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan.menurunkan efeknya. Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik. Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan
Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec) - Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk mengharnbat aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL. - Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral - Untuk fase kronik, dosis 400mglhari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mgl hari bila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau'pernah mencapai respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi rendah danlatau lekosit meningkat dengadtanpa perubahan jumlah trombosit. - Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3)atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. - Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 80Omg/hari(400mg bid). - Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang - Tidak boleh diberikan pada wanita hamil - Interaksi obat: ketokonazol, simvastatin dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat. - Selain remisi hematologik, obat ini dapat menghasilkan rernisi sitogenetik yang ditandai dengan hilangnyalberkurangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang dihasilkannya. Interferon alfa-2aatau Interferon alfa-2b - Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat mencapai rernisi sitogenetik - Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3juta IU/m2/hari.Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.
LEUKEMIA GRANULOSlTlK KRONIS
1213
-
Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk mencergahhengurangi efek sampinp interferon berupa flue-like syndrome. - Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon. - Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien epilepsi. Cangkok sumsum tulang - Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangkok sulnsum tulang (CST) dapat niemperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. - Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.
PROGNOSIS Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini deilgan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih rnenjanjikan, tetapi inedian kelangsungan hidup belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung. Faktor-faktor di bawah ini m'emperburuk prognosis pasien LGK, antara lain: Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam. * Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat
Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. Interferon alf'a versus chen~otherapy for chronic myeloid leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl Cancer 111st. 1997;89(2 I ) : 16 16-20. Druker BJ, Tnlpaz M. Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14): 1031-7. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med. 2001:344(14): 1038-42. Giles FJ, Corles JE. Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and blastic phases of chronic ~nyelogenousleukemia. Hematol Oncol Clin North An). 2004; 18(3):753-74. Goldman JM. Druker BJ. Chronic myeloid leukemia: current treatment options. Blood. 2001;98(7):2039-44. Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia- advances in biology and new approaches to treatment. N Engl J Med. .2003;349(15): 145 1-64. Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med. 1994;330( 12):820-5. Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med. 2002;346(9):645-52. Kantarjian HM. Cortes JE, O'Bricn S. lmatinib mesylate therapy in newly diagnosed patients with Philadelphia chromoso me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of early complete and major cytogenetic responses. Blood. 2003;101(1):97-100. Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6. Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol. 1998; 16(9):2897-903. McGlave PB. Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelogenous leukemia with unrelated donor bone marrow transplantation: results in 102 cases. Blood. 1990;75(8):1728-32. Savage DG and Antman KH. lmatinib mesylate-a new oral targeted therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93. Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. lmatinib induces hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase I1 study. Blood. 2002;99(10):3530-9. Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase. Cancer. 2004;100: 116-21. Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. lmatinib induces durable hematologic and cytogenetic responses in patients with accelerated phase chronic myeloid leukemia: resultsof aphase 2 study. Blood. 2002;99(6): 1928-37.
,
'
POLISITEMIA VERA M. Darwin Prenggono
PENDAHULUAN Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedang Vera (benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (heniatopoietic stern cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis. Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau spurious). Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera nama sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit VaquezS, penyakit Osler S, polisitemia mielopati (Weber), polisitemia kriptogenik (R. C. Cubot). Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari
eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat) biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non fisiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang dijumpai daripada ~nanifestasineoplasma lain yang mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma mencapai >49% pada perempuan (kadar Hb > 16 mg1dL) dan >52% pada pria (kadar Hb >17 mgIdL), dan di dapati peningkatan jumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 jutd mL pada perempuan dan >6 j u t d m l pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan dari leukosit dan trombosit. Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.
EPIDEMIOLOGI Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan antara 2: 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah 2.3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab terjadinya Polisitemia Vera tidak diketahui, tetapi Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia Vera dimana tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia Vera saat terdiagnosis sedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari I0 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom yaitu: deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisorni 9 (7%), trisomi lq (4%), deletion 5q atau rnonosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).
KLASIFIKASI DAN PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN ERlTROSlTOSlS Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah (red cell muss) (eritrositosisrelatif atau polisilernia dengan polisitemia aktualj. Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer (polisitemia Vera dan polisitemia famili primer) dan polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (polisitemia sekunder).
--
--
-
-
-
-
-
-- -
-
-
-
Eribositosis relatif atau polisitemia (pseudoerbositosis) Hemokonsentrasi Polisitemia spurious (sind rom Gaisbok) Polisitemia (eritrositosis absolu t) Polisitemia primer - Polisitemia Vera - Polisitemia familial primer Polisitemia sekunder - Se ku nder ole h kerena pen urunan oksigenisasi pada jari ngan (Pl7ysiologically app ropria te polycythemia atau hypoxia e ytrhocytosis) - High-altitude erytrhrocytosis (Monge disease) - Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik, sindrom Ayerza) - Cyanotc congenital heart disease - Sindrom hipoventilasi - Hemoglobin abnormal - Polisitemia familial - Sekunder oleh karena penympangan respon atau produksi e ritropoie tin (physiologically inappropriate polycythemia) Polisitemia idiopatik
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase: Gejala awal (early symptoms). Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui rnelalui tes laboratorium.Gejala awal yang tejadi biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%),
rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%). Gejala Akhir (latersymptoms) dan Komplikasi. Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan (hemorrhage) atau trornbosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus pepticum (10%). Fase Spenomegali (Spentphase). Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.Pada fase ini tejadi kegagalan sumsurn tulang dan pasien rnenjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan lirnpa mernbesar. Beberapa ha1 yang penting berhubungan dengan gejala yaitu: Hiperviskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kernudian akan menyebabkan: Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat dari penggurnpalan eritrosit, dan Penurunan laju transport oksigen. Kedua ha1 tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat tirnbul karena terganggunya oksigenasi target organ (iskern~alinfark)seperti di otak, penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas. Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hernostasis primer yaitu agregasi trornbosit pada endotel ha1 tersebut akan rnengakibatkan tirnbulnya perdarahan, walaupun jurnlah trombosit > 450 ribu/mL. Perdarahan tejadi pada 10-30%kasus PV, manifestasinya &pat berupa epistaksis, ekiposis, dan perdarahan gastrointestinal. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL). Trombositosisdapat menirnbulkan trombosis, pa& PV tidak ada korelasi trornbositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau trornboflebitis dengan emboli terjadi pada 3050% kasus PV. Basofilia (hitung basofit >65/mL).Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutarna setelah rnandi air panas, dan 10% kasus PV datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalarn darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histarnin. Splenomegali. Splenornegali tercatat pada sekitar 70% pasien PV. Splenomegaliini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra rnedular. Hepatomegali. Hepatornegali dijumpai pada kira-kira sejurnlah 40% PV. Sebagaimana halnya splenomegali,
'
-
hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular. Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat. disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus PV Defisiensi vitamin B,,, dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B ,,, ha1 ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B I 2(UB,, - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada >75% kasus. Sepel-ti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam tinibulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis.
PEMERIKSAAN LABORATORILIM Eritrosit Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada sad1 perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 jutalml pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit. Granulosit Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV, berkisar antara 12-25 ribulml tetapi dapat sampai 60 nbul mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia. Trombosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribul mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
B,, Serum B,, serumdapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada k 30% kasus, dan kadar UB ,,BC meningkat pada >75% kasus PV. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
megakariosit, dan niielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik PV. Pemeriksaan Sitogenetika Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,, atau kemoterapi sitostati ka dapat dijumpai karyotip ((lihat etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetikadapat dijumpai selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif Negatif Positif
Negatif Negatif Positif
Tipe Rh
D+ D- (d) Harus diulang atau diperiksa dengan Rh,(D) typing (Saline tube test)
DIAGNOSIS Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif,PV dapat memberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder). Karena kompleksnya penyakit ini, lnrernational Polycythemia Study Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkdn diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria: a).Dari kategori: Al+A2+A,,atau, b). Dari kategori: Al+A,+ 2 kategori B.
Kategori A Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 2 36 rnLkg, dan pada perempuan 2 32 mL/kg. Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut berada dalam keadaan: - Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02 akan bergeser ke kiri, dan - Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser ke kiri. Spenomegali.
1217
POL~S~TEM~A VERA
Kategori B Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL, Leukositosis: leukosit 2 12.000/mL (tidak ada infeksi). Neutrophil alkaline phospharase (NAP) score meningkat lebih dari I00 (tanpa adanya panas atau infeksi). Kadar vitamin B ,>900 pg/mLdan atau UBl,BC dalam serum> 2200 p g / k . Dalarn beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
Spenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growth yang karakteristik Diagnosis polisitemia Vera: Kategori :A 1 + A2 dan A3 atau A4 atau Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteria katagori B.
PENATALAKSANAAN
Kategori A Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0 5 6 Tidak ada penyebab polisitemia sekunder spenomegali yang teraba Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)
Prinsip Pengobatan Menurunkan viskositas darah sarnpai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi. Menghindari pembedahan elektif pada fase eriuositiw polisitemia yang belum terkontrol. Menghindari pengobatan berlebihan (over treabnent). Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda. Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor ' radioaktif atau kernoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
Kategori B Trombositosis >4 00 000 per mm" Jumlah neutropil r I0 x 109/ L dan bagi perokok r 12,5 x lo9k
Flebotomy untuk mempertahankan hematokrit < 0,45
b Urnur
70 th
aspirin dosis rendah jika ada riwayat
ya
tidak
Adanya r~wayatatau ada trornbosis atau phlebotomy yang seringkali atau jumlah trombosit > 400.000 atau splenomegali yang progresif
ya
Tanpa rnielosupresi .':.
;
ada komplikasi
Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia Vera
Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea (pertirnbangkan interferon atau anagrelld pada pasien rnuda) dan asplrin sebagai profilaksis
- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, -
-
terutama jika disertai gejala trombosis. Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik. Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Media Pengobatan Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama bertahun-tahun d a n merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi: Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 555%). Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan.penurunan shear rate, atau sebagai penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik. Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit 1 4 2 % pada perempuan, dan 5 4 7 % pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur. Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 g). Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan pemberian preparat besi. Fosfor radioaktif (PJ.Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil, re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%
dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama. Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 80% pasien untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontrol. Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatika golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan (approvecT) Chlorambucil dan Busulfan digunakan pada
a! Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika: hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV), flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebulan, trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis, urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistarnin, splenomegali simptomatiMmengancam ruptura limpa. Cara pemberian kemoterapi sitostatika: Hidroksiurea ("Hydrea 500mgltablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10- 15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan. Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. Busulfan (@Myleran2mgltablet) O,O6mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan. Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit: Pada pria 9 7 %dan memberikannya lagi jika >52%, Pada perempuan 142% dan memberikannya lagi jika >49%. Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm'), produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interjeron a (%~tron-A3 & 5 juta Iu, "overon-A 3 & 9 jutaIu) digunakan
WLISlTEMlA VERA
terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di kontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c, atau i.m. 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatika Siklofosfamid (Tytoxan 25mg & 50mgltablet) dengan dosis 100mglm21hari,selama 10-14 hari atau sampai target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100mg/m2 1-2 kali seminggu. Pengobatan Suportif Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/ hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA) * Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H,. Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat menekan trombopoesis.
PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV Pembedahan Darurat Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup (lqe-saving). Tindakan splenekromi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya. Pembedahan Berencana Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih dari 75% pasien dengan PV tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi autologus pada saat pembedahan.
Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan: Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik (elastic stocking) atau pulsatting boots. Heparin dosis rendah jika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis 1 0-20 Iu/kgBB/jam dengan target A m 40"-60 sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50100 Iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12jam sampai pasien kembali ke aktivitas normal.
PROGNOSIS Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Penyebab utamamorbiditi dan mortaliti adalah: Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian. Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang menjadi mielofibrosis dan pansitopenia Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom mielodisplasia pada 1 3 % pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapatjuga 5.9% dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF. Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2. Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505. Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis. Haematologica. 2004;l 194-8. Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench,AJ, et al. A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65. Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42. Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. 1997. p. 679-81. Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician. 2004. White P. Myeloproliferative and myelodysp1astic syndromes: polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3Ih edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991. p. 324-5.
TROMBOSITOSIS ESENSIAL Irza Wahid
PENDAHULUAN Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa disebut thromboc.ythenlia Vera. Trombositosis esensial merupakan anggota dari kelompok gangguan mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah trombositosis esensial, polisitemia primer dan mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah leukemia granulositik kronik (BCRJABL positif), leukemia eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit mieloproliferatif yang tidak tergolongkan. Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400 orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun, walaupun demikian pemah dilaporkan kasus pada anak berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.
Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun demikian beberapa sitokin seperti interleukin-6 dan interleukin-11juga berperan dalam proses ini. Dalarn keadaan normal, pengaturan produksi trombosit dari megakariosit di sumsum tulang melibatkan pengikatan
trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1A). Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar IB). Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang akhirnya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik dan produksi trombosit (Gambar 1C). Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2 terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data terakhir memperlihatkan bahwa JAK2 ini berperan terhadap berkurangnya c-MPL. Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi lamina elastika intema, 2). Perubahan arsitektur dan fungsi trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin, 4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatanjumlah trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.
4). Peningkatan j u d a h trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI,) yang akan menekan penglepasan granul trombosit dan agregasi.
GAMBARAN KLlNlS
Garnbar 1. Regulasi norrnallabnorrnal produksi trornbosit
Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya trombosis pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial. Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan trombosis masih dieksplorasi secara luas. Karena trombosis ,tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif, maka diduga jumlah trombosit saja tidak merupakan dasar untuk terjadinya trombosis. Perubahan arsitektur megakariositltrombosit dengan trombosit yang abnormaIlmembesar ditemukan pada pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gagal membuktikan hubungan ini dalam menimbulkan trombosis. Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan platelet factor (pf 4)heta tromboglobulin menyokong aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya trombosis. Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: 1). Abnormalitas fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi; 3). Konsumsi faktor koagulasi;
Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama pada .trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi mulai dari episode iskemia transient pada retina, susunan saraf pusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang lengkap, sekunder dari penurunan aliran darah dengan manifestasi angina pektoris, infark miokard akut, strok dan trombosis vena dalam. Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis esensial adalah eritromelalgiadan trombosis mikrosirkulasi. Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial. Keluhan ini biasanya dimulai dengan acroparesthesis atau sensasi gatal pada kaki yang bisanya dikuti dengan rasa nyerilterbakar serta kemerahan dan bendungan yang kadang dapat dicetuskan oleh exerciselpanas. Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan arteriol menghasilkan gejala berupa episode iskemia yang transient dengan manifestasi berupa gangguan visus, claudicatio intermittent dan infark pada jari. Karena oklusi hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering masih teraba pada pada palpasi. Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis esensial. Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum digunakan untuk gambaran klinis trombositosis esensial, perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas, tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis, ginggiva ataupun perdarahan ringan pada gastrointestinaygenitourinarius. Splenomegali didapatkan pada 70% pasien trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan sebanyak 30%. Trombosis vaskular plasenta dengan infark berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan dengan trombositosis esensial. Abortus spontanfberulang dan retardasi pertumbuhan janin terjadi pada 50% pasien perempuan dengan trombositosis esensial. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan 76% pasien tanpa komplikasi trombosis
ataupun hernoragis, 20% dengan rnanifestasi trornbosis, dan hanya 4% dengan rnanifestasi hernoragis. Walaupun jarang, dalarn perjalanan penyakitnya trombositosis esensial dapat rnengalarni transforrnasi menjadi rnielofibrosis dan leukemia rnieloblastik akut.
DIAGNOSIS Peningkatan jurnlah trornbosit yang rnenetap rnerupakan gambaran diagnosis utarna trornbositosis esensial. Walaupun dernikian penyebab lain peningkatan jurnlah trombosit harus disingkirkan. Trornbositosis yang disertai dengan splenornegali lebih rnengarahkan diagnosis kepada trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis reaktif. Kriteria diagnosis: Hitung trornbosit A50.000 ul (dikonfirmasi lebih dari I Tidak diternukan penyebab lain peningkatan hitung trornbosit Tidak diternukan sindrorn mielodisplasia atau gangguan mieloproliferatif lainnya. Surnsurn tulang dengan: hiperplasia rnegakariositik fibrosis < 113 bagian Kriteria tarnbahan: Splenornegali Invitro: pernbentukan koloni rnegakariositik spontan
Campbell PJ dan Green AR rnengusulkan kriteria diagnosis untuk trornbositosis esensial sebagai berikut: Al. Hitung trornbosit >600 x 109/1minimal dalarn waktu 2 bulan A2. Mutasi JAK2 B1. Tidak didapatkan penyebab trornbositosis reaktif B2. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi B3. Tidak didapatkan bukti polesiternia Vera B4. Tidak didapatkan bukti leukemia rnielositik kronik B5. Tidak didapatkan bukti rnielofibrosis B6. Tidak didapatkan bukti sindrorn rnielodisplasia Diagnosis trornbositosis esensial dapat ditegakkan apabila A1 + A2 + B3 - B6 (V617F-tronzbositosis esensial positif) atau A1 + Bl - B6 (V617F-trombositosisesensial negatif ) Keadaan klinis yang berkaitan dengan trornbositosis reaktif:
Akut dan transient Menetap (menit-jam): epinefrin, berkuat *. Menetap (jam-beberapa hari): - Kehilangan darah akut - Penyernbuhan infeksi akut - Pasca (rebouizd) trornbositopenia - Pasca irnunisasi - Pasca kernoterapi qtoreductive - Pasca anemia rnegaloblastik - Pasca trornbositopenia alkoholik Kronik Menetap dalarn waktu yang lama: kehilangan darah kronik dengan defisiensi besi, penyakit inflarnasi kronik, penyakit infeksi kronik, kanker, anemia hernolitik Menetap dan potensial untuk berlangsung seumur hidup Pasca splenektorni
DIAGNOSIS BANDING
Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial. A. Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah trombosit termasuk adanya trombosit raksasa. B. Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatan jurnlah megakariosit
Pada keadaan diternukannya peningkatan jurnlah trombosit (>450.000/rnrn" terlebih dahulu harus disingkirkan bahwa ha1 ini bukanlah disebabkan oleh suatu keadaan trornbositosis reaktif. Pada trornbositosis reaktif sering diternukan adanya penyakit dasar dan tidak diternukan adanya keadaan trornbosis/hernoragis serta splenornegali. Di samping itu fungsi trornbosit, garnbaran darah tepi dan garnbaran surnsurn tulang dalarn batas normal, Selanjutnya harus dibedakan antara trombositosis esensial dengan gangguan rnieloproliferatif lainnya yakni polisiternia primer, rnielofibrosis idiopatik, leukemia granulositik kronik, leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Trombosis Klonal Penyakit dasar lskemla D~g~tallserebmvaskular Trombosis arteri lvena besar Hemoragis Splenomegah Gambaran darah tepi Fungsl trombosit Gambaran sum-sum tulang Jumlah Morfologl
Trombosis Reaktif
Tidak ada Karakteristik
Sering Tidak ada
Risiko t~nggi
Tidak ada
Risiko Tinggi Ya, sekltar 40 % Trombosit raksasa Mungkln abnormal
Tldak ada Tidak ada Trombosit normal Normal
Meningkat Giant, dysplastic forms with increased ploydy associated with larges masses of platelet debris
Meningkat Normal
Trombositosis Esensial
Pollsltemla Vera
Mlelofibrosls ldlopatlk
Normal IL
777
.1
12 - 25
Bervariasi,
600 - 2500
450 - 800
450 - 1000
Eritrosit berinti
Jarang
Jarang
Umum
Alkali fosfatase leukosit
Normal
Biasanya 7
Normal - 7 7
Sum-sum tulang
Hiperselular Megakariosit 7TT
Hiperselular Cadangan Fe T
Fibrosis, dry tap
Fibroblast
(-1 -7T
(-) - 7
77- 777
40% - 50%
80%
80%- 99%
Transformasi blastik (%)
5%
10 - 15%
5%- 20%
Pemeriksaan khusus
Tes fungsi platelet abnormal
Masa eritrosit 7 Etitropoetin L
Marrow imaging
tlemog!obin Leukosit (xloBn) Trombosit (~10~11)
Splenomegali
("1
Be~ariaSi
PENATALAKSANAAN Hidroksiucea ~nerupakanterapi pilihan pertama pada trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam nlengurangijurnlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah 15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya masih dalam perdebatan. Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah
terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhari (terbagi dalam 2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mgl hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit dengan dosis maksimal 10 mgthari. 30% pasien tidak dapat mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan, palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi Amelaporkan pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi. Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi. Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek samping yang ditimbulkannya. 20% pasien tidak dapat mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang berkeinginanlsedang hamil maka interferon alfa lnenjadi pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin. Trombosit dapat dikurangi hingga <600000/mms pada 90% pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari. Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua. Aspirin sangat efektif sebagai terapi udjungtive, pasien trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum banyak ditemukan kepustakaan yang membahas antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel. Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial sebagai berikut: 1). Semua pasien. Pengelolaan terhadap faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit >I500 X 1Wll. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxy urea (anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua); 3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi cytoreductive jika didapatkan faktor risiko kardiovaskular; 4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia < 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah.
Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic states: experience i n 577 Patients. A m J Med. 1992;92:69-76. Barbui T, Finazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6. Campbell PJ, Green AR. Management o f polycythemia Vera and essential thrombocytheniia. Hematology. 2005:201-9.
Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders. Harmening DM Clinical hematology and fundamentals of hernostasis. 4Ih edition. In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. p. 331-57. Cortelazzo S, Finazzi G Ruggeri M, et al. Hydroxyurea for patients with essential thrornbocythemia and high risk of thrombosis. N Engl J Med. 1995;332:1132-6. Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand thrombocythemia. Hernatol Oncol Clin N Am. 2003;17:63 83. Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative diseases. Hematology. 2005:409-15. Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloproliferative disorders: it all makes sense. Blood. 2005;105:418790.
Messinezy M. Pearson TC. ABC of clinical haernatology: polycythernia, primary (essential) thrornbocythemia and myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587. Schafer AI. Thrornbocytosis. N Engl J Med. 2004;350:1211- 9. Spivak JL, Barosi G Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative disorders. Hematology. 2005:200-24. Storen EC. Teffery A. Long-term use of anagrelide in young patients with essential thrombocythernia. Blood. 2001;97:8636. Tomer A. Effects of anagrelide on in vivo rnegakaryocyte proliferation and maturation in essential thrombocythernia. Blood. 2002;99: 1602-9.
MIELOFIBROSIS Suradi Maryono
PENDAHULUAN Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya tirnbunan substansi kolagen berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara definitif rnerupakan kelainan sel stem hematopoiesisklonal, dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders ( C M P D ) , dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran rnenyolok. Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan narna lebih 30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, rnielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMMJ. MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. ( Tabel 1) Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat, misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.
ETlOLOGl DAN PATOGENESIS Penyebab MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor pencetus, secara epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, simtom pertama rnuncul
Kondisi Neoplastik. ~angguanmielo~roliferatif kronik Metaplasia mieloid agnogenik Polisitemia rubra Vera Leukemi mieloid kronik Kondisi neoplastik lainnya. Leukemia megakarioblastikakut (Mi') Fibrosis dengan mielodisplasia Agnogenik transisional Mielodisplatik metaplasia mieloid Sindrom mieloproliferatif Mieoloid akut lain Leukemia Leukemia limfoid akut Leukemia Hairy cell Mieloma Karsinoma Mastositosis sistemik Kondisi Non Neoplastik. Penyakit granulomatosa Penyakit paget Hipoparatiroidisme Hiperparatiroidisme Osteoporosis Osteodistrofi ginjal Defisiensi Vitamin D Gray pletelet syndrome Lupus eritematosus sistemik Sklerosis sistemik Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical hematology, 2005).
6 tahun setelah eksposur.Tefferi (2003) menemukan insidens MMM di Amerika utara 0,3- 1,5 kasus per 100.000populasi.
HEMATOPOIESISKLONAL Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV
(Policythemia vera) dan ET (Essential thromhocythemia) seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sulnsum tulang dan suatu tendensi terhadap terlninasi leukemia akut. Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu lnutasi somatik sel stem hematopiesis pluripoten. Beberapa observasi memperjelas adanya hematopoiesis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah: neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi kromosom x pada perempuan, defek sel ~nembrandan mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dala~nsirkulasi pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor dalam sirkulasi meningkat 400 kali di atas level normal. Sel progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada pasien MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan fisiologis.
PERUBAHANTINGKAT MOLEKULAR Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM. Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian. Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien MMM dengan progenitor cytokine-dependent (diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi GATA- 1 aktif pada diferensiasi rnegakariosit normal. Pada penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1 menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.
FIBROSIS SLIMSUM TULANG DAN HEMATOPOlESlS EKSTRAMEDULARE Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap helnopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi. sel ini normal dan bersifat poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum tulang. Empat dari linia tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan tinlbunan kolagen nieningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat ~nolekul matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan mungkin ha1 ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-P sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-P lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada growth factor derivat platelet atau epidermal growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-P juga stimulus yang poten terhadap angiogenesis. Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian Lundberg et al (2000), dengan membandingkan penyakit mieloproliferatif (PV, CMLdan mielofibrosis/ MF) dengan pemeriksaan biorsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada PV dibandingkan dengan normal ( G a m b a r l c ) . Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dan vascular endothial cell growth factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat tersebut. Kenaikan kadar TGF-P dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin- 1, basic fibroblast
growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsumtulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulaclmegakariosit,megakariosit displastik yang msak dalam sumsum Mang dan ~ s a k n y megakariosit a sitoplasrna oleh leukosit PMN. Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare.Walaupun begitu peranan TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakankarena mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada MMM. Distribusi hematopoiesis ekstrarnedular pada MMM fetus melibatkan l e e r dan limpa. Model mielofibrosis dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis. Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme uIllum
GAMBARAN KLlNlS UNTUK DIAGNOSIS MMM menyerang golongan umur menengah dan tua, rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor familial.
GWALA Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali.(Tabel 2) Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%),sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang diketemukan.
Sangatsedng ditemukan (>50% kasus) Splenomegali Hepato megali
Fatique Anemia Le ukositasis Trombositosis Senng ditemukan (10-50% kasus) Asimtomatik Penuru nan berat badan Keringat malam Perdar ahan Nyeri spleni k Le ukositopenia Trombositopenia Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus) Edema perifer Hipertensi portal Lim fadenopati Kuning Gout -
- -
'Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
TANDA Splenomegali yang cukup besar mempakan penemuan fisik yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien mernperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosisyang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intralcranial meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kemsakan motorik, sensorik dan paralasis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Gambar la,lb). Retikulosit meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan.Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih belum jelas.
Anemia dengan Hb kurang 10 grldl, ditemukan 60% kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang dan hemolisis. Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas hematologi, Heckner & Freud, 1999) Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus, sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok. D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000) Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H yang didapat dan adanya sensitivitas membran komplemen yang serupa PNH (Paroxysmal noctrunal hemoglobinuria). Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah'leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >1% memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak normal, gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatal Disseminated Zntravascular Coagulation (KIDIDIC) subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar enzim alkalinefosfastase serum yang merupakan keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin, kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang merupakan refleksi dengan peningkatan masa neutrofil.
Gambar l a . Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran 400x) (Sumber: Clark dan william, Wintrob's 2005).
;?&;?Fif ;"" u., I
.::, . -.
.'k>. ,
,
:
-.,,,
Gambar l b . Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-poikilositosis,oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblast). (Sumber:Atlas hematologi, Heckner 8 Freud,1999)
Gambar I c . Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi sumsum tulang normal (A), PV. (B), MF.(C) dan CML (D)
SUMSUM TULANG Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (dvtap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah dibuat oleh Italian Society of Hematology. Data morfologi dan klinis digabungkan untuk mendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3) Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x) (Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005) Kriteria Mayor Fibrosis sumsum tulang difus Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada sel darah perifer Splenomegali. Kriteria Minor Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells Sel darah merah berinti dalam sirkulasi Clustred marrow megakaryoblastdan anomalous megakariocytes Metaplasia mieloid 'Catatan : Ketiga kriteria mayor ditambah dua'kriteria minor manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis
MMM. *Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
Fibrosis hams terjadi pada semua kasus MMM, dan biasanya pada pasien lanjut. Pada stadium awal fibrosis minimal dan hiperplasia sumsum tulang mungkin lebih jelas. Keadaan tersebut disebut fase selular MMM. Bilamana fibrosis sumsum tulang tidak terbukti pasien yang dicurigai MMM, perlu diambil material dari tempat lain, karena penyebaran tidak merata. Fibrosis mungkin perlu digradiasi menurut sistem yang telah dipublikasi dan bukt~adanya osteosklerosis (Gambar 2a, 2b). Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun, tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi hematopoiesis intravaskular (Gambar 3). Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan apus sumsum, sepintas tidak terlihat kelainan, tetapi sering didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit. Adanya mikromegakariosit dan makromegakariosit dapat ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytoplasmic asynchrony.
Gambar 2b. Ada fungsi sumsum tulang: Fibrosis sumsum tulang total, kegagalan hematopiesis. (Sumber: Heckner 8 Freud, Atlas hematologi,7999).
Granulosit dapat hip0 atau hiperlobulated sehingga memperlihatkan anomali Pelger-Huet didapat atau adanya nuclear-cytoplasmic asynchrony. Prekusor eritroid normal atau meningkat, yang dapat diperiksa dengan scanning isotop sumsum tulang dengan koloid sulfur untuk sel retikuloendotelial dan dengan koloid besi untuk sel eritroid yang menunjukkan adanya ekspansi sumsum tulang sampai pada tulang panjang normal inaktif.
ABNORMALITAS KROMOSOM Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada pasien MMM. menyisakan sel hematopoiesis
PEMERIKSAAN PATOLOGI
Gambar 3. Potongan biopsi surnsurn tulang dari 2 pasien metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase proliferatif sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x) (A) Fibrosis intens dengan pembentukan tulang baru, dilated sinusoids, dan residualmegakaryocytes (hematoksilindan eosin, pembesaran 100x) (0) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's 2005).
normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del 13(q13q21)dan del20q. Kromosom yang sering terganggu adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas kromosom pada MMM.
KERUSAKANSISTEM IMUN Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada MMM, hal ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel lirnfosit T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral telah ditemukan. Menurumya kadar C3 dapat terjadi dan menyebahkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial. Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain: autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid. Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel plasma pemah dilaporkan.
Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 3070% kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum, usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, marnmae, dura, ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin mengandung beberapa campuran turunan prekusor rnieloid dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis atau tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jaringan normal, tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan. PERKEMBANGAN ALAMl DAN KEMAMPUAN HlDUP Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan kurang 20 % dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak memberikan survival lebih pendek. Prognosis lebih baik bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb 210 grldl, platelet 2 100 x 109/Ldan tidak ada hkpatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnomalitas sitogenetik termasuk single clone dengan translokasi kromosom I, 5q-, bisomy 8,13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut mempunyai survival lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb,simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas, bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien
;
tejjadi semakin ~ ei.r'!5.!!z.:' m b , e r asehingga t~ . ;sp],enomegali..yang . , .... ,+,;!,! r , . ..... :!:
-\:.-.I,;
t i q b y \ w s a k.i t. _danan-nyeri _ . _ . _ ~ I,_., I _tulang.. _ ,,, g ; j ,.--i:,, .; ; * ; i . ;:;19fb,a;gsianpasien terjadi lGpertens1 portal' dengan vaiises esofagus, akiba't . . . . . dari: . . ,~.eriaikan ..:.. .. aliran _:. darah . splenoportal, trombosis vena hepitika, trombosisvena portal, hernokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pernbekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi sitostatika,kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut. .Ci.,ll
,
.I!!:!!
&.
.,
_ i l
PENATALAKSANAAN
MMM mungkin &pat disernbuhkan dengan hematopoietic sfets; ce11.~Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya
berhasil untuk pasien mu& dm merupakan risiko kematian yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival atau rnencegah progresi rnielofibmsis. Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptornatis dan rnernerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa terapi gagal memperbaiki hernatopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnyakejadian hemolisis.
ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL Transplantation (AHSCT) Hampir semua pasien CMPD rnungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan rnenggunakan donor yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenornegali rupanya bukan hambatan untuk HSCT. Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) dm Jurado et al. (200 1) &.Clark dan William (2005) kelornpok lnternationul cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical
. : Pada seri, Seatle . . . .8 .dari . , , 19 . pasien. , donor related: &nor. matcled tetapi; unrelated, 2 dari 19,dqnor adalah . :, . . ,, one-antigen mismatches. kurvival ke'selunihan dalam 5 tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia uhur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun sebanyak 14%. Sernakin menjadi jelas, bahwa pada pasien lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak. Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum banyak dilaporkan. .I
' '.I..
,<,,$,,,
;
t ,
Terapi Androgen dan Kortikosteroid Horrnon androgen dapat diberikan pada anemia akibat MMM. Dengan respon rate 29-57%. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga resyon terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Perempuan dengan splenornegali minimal dan pasien dengan kariotipe normal rnernberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis rnaupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selarna terapi dengan androgen perlu dimonitor faal hati. Beberapa skedul dosis telah mernberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dosis: 2-3 kali 10 mg sehari.Bila tidak ada perbaikan setelah, 3-6 bulan terapi, androgen hams dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap androgen, kernungkinan rnernberikan respon preparat lain, karena daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkina~, kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis: lmgkg. berat badan sehari, rnemberikan respon pada 25-50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien perernpuan. Pasien dengan hernolisis perlu diberikan suplemen asam folat. Androgen dan kortikosteroid kadang dapat dikornbinasikan. Dosis dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10mg dua kali sehari, bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan secara tapering off, sedangkan fluoksimesteronj dilanjutkan. Kemoterapi Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan" tidak rnemberikan perubahan secara umum pada MMM, tetapi rnungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala. Kemoterapi dapat rnengurangi hepatomegali dan splenornegali serta memperbaiki penurunan berat badan,
demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi hams lebih hati-hati karena cenderung terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian Busulfan 2-4 mgthari sudah merupakan dosis maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan pada MMM. Pasien hams dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia. Hidroksiurea dapat diberikan dosis terreduksi 500- 1000 mg selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung respons klinis dan hitung darah.
lradiasi Pasien dengan hipersplenismemungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan 2 50% terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per rninggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoiesisekstramedular simptomatisjuga memberikan respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusal. Splenektomi Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan. Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern turun
Pengobatan Lain \ Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas. TGF-P dan efektivitasnya pada CML. ~nterferon-amungkin\ bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia. dan sper~ektomi,tetapi efektivitas ini menurun dengan : adanyaj7ulike symptoms berat dan memberatnya anemia,? Vitamin D beserta analognya dapat menekan proliofera4, magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya~. Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebifi baik bila dikombinasikandengan interferon. Pasien dengaq MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogeni$ Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengaq menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dad perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporka$ antara lain: leukositosis dan trornbositosis bera? hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadr, pada dosis awal yang sangat rendah 50 mghari. Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 5% mghari dengan prednison O,Smg/ks/hari, 95% memberik~ respon komplit dalam 3 bulan pengobatan. Suramin dan imatinib dilaporkan pernah diberikan p a d MMM, dengan hasil yang belum jelas. Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkaq hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil padd semua pasien. ?i HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busur? fan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalit& cukup tinggi (6 dari 12pasien), hampir semua pasien tetjaa perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasieri terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia. $, 4'.
7
Dlagnosls Banding Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsua tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoies$ klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yank mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bilh kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis d@ membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuv panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlak$ untuk fase awal MMM.
i: 4
Mieloflbrosis Akut MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis aka, Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005) melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsuth 4 I;,
IY
J
A
;*y $$:;, . if$! ,. .
$',:i ; .,,
...
vs 'I!
!?!<:
s
,' ,
ip., >. .,J.C
..
,@.
$.;,I
tulang. pansitopenia, demam dan secai-a cepat menjadi fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan: "Malignant myelosclerosis" dan ha1 ini yang disebut sebagai: mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik dari leukemia megakarioblastik akut (French-AmericanBritish, M7). Mielofibrosis akut harus dibedakan dengan MMM, karena bentuk ini diterapi sebagai leukemia akut, tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang terdapat peningkatan megakarioblas.
Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV (Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20% pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah beberaya tahun parjalanan penyakit. Karena pasien dengan postpolisitemik PV, menjadi simptomatik akibat ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian, serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosis sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perjalanannya lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa geneti k. Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan gen bcr/ abl, dapat melengkapi sumsum tulang dan gambaran darah tepi. Lebih kurang 95% pasien CML yang tipik, terdapat kromosom abnormal, t9:22 Philladelphia (Phl) dan hampir semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/ abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanya bcr/ abl. Pada CML pembesaran lien sebanding dengan jumlah leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang dari 100x 1O9 per L, mungkin kearah MMM daripada CML. Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh. Mielofibrosis Sekunder Mielofibrosis mungkin dapat terjadi akibat reaksi terhadap: Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1). Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi dan hernatopiesis dengan penampilan seperti MMM.
Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 215 atau 0,4%. Dua pertiga kelompok ini mempunyai riwayat keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005). Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder merupakan gambaran reguler dari kondisi tertentu termasuk postpolycythemic PV dan komplikasi jarang dari Systemic lupus erythematosusdan rickets. Bila mielofibrosis karena infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksi jamur biasanya sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder .Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu metabolit dari kolagen dapat membedakan antara mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan mielofibrosis sekunder. Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat dan karsinoma mammae.
Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 200 1; 193: 180-92. Clark DA, Willlam WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster. Lukens, Paraskevas. Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William & Vilkins; 2005. p. 2273-83. Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4. Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19. Mesa AR, et al. A phase 2 trial of comb~nationlow-dose thalidomide and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid metaplasia. Blood. 2003;101:7: 1534-5 1. Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals Oncology. 2004;15: 1 15 1-60. Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31. Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1. Vannocchi AM, e t al. Development of myelofibrosis in mice genetically impaired for GATA- I expression (GATA- I low mice). Blood. 2002: 100;1123-3. Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT Johan Kurnianda
PENDAHULUAN Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyalut ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa lninggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan teknik diagnostik leukemia dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi
LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA: tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan. dengan ras Kaukasia.
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri penyamakan ku'lit di negara sedang berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
multipel, kanker payudara, kankcv ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering lnemicu timbulnya LMA adalah golongan alkykrtiw,g tr,qrr~/(Ian topoisomerase 11 inhibitor. LMA akibat [erapi rnc~~lpu~lyai prognosis yang lebih buruk dibandingkam LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi World Healtl~ Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).
Patogenesis utama LMA adalah adany a blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi bjast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya tro~nbositopenia akan menyebabkan tanda-tsnda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, ternlasuk infeksi oportunis dari tlora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang cian berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
TANDA DAN GEJALA Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pisien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling
sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia tejadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tandalgejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipunjarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
DIAGNOSIS Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokirnia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenoqping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M 1, M2, M3, M4 dan M6. '
-
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33. Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal1960 dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian dari materi kromosom (delesildel) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosorp juga dapat bersifat sebagian (duplikasild) atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasilt) atau perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom (inversilinv). Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)lt dan translokasi 1lq23 merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada 21 %-28% pasien LMA dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan
sitogenetik: t (15;17), inv (l6), t (16;16) atau del (l6q) dan t (8;21) yang tidak disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y, +6, del(12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik-5 atau del(5q),-7 atau del Uq), inv (3q), del(9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat terapi) . Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah diadopsi di banyak negara (Tabel 1). Pada Tabel 2 dapat dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.
I.
LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren LMA dengan t(8;2 1)(q22;q22), AML 1(CBFa)ETO APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PMLRARa LMA dengan eoanofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(pl3q22) atau t(16;16)(p13;ql I), CBWMHY11 LMA dengan abnormalitas 1 lq23 (MU) II. LMA d engan multilineage @splasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom myelodisplasia Ill. LMA dan sindrornamyelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi akibat epipodofilotoksn (beberapa merupakan kelainan limfoid) tipe lain IV. LMA yang tidak terspesifikasi LMA diferensiasi minimal LMA tanpa mahr rasi LMA dengan mahrrasi LMA dengan diferensiasi monositik Leukemia monostik akut Leukemia eritroid akut Leukemia megakariositik akut Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis
Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60 tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil sitogetik yang favorable (lihat bawah). Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,
1237
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT
Subtipe FAB
Nama Umum (% kasus)
Mo
Leukemia mieloblastik akut dg diferensiasi minimal (3%) Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi ( I 520%) Leukemia mieloblastik dengan maturasi (25-30%) Leukemia promielositik akut (510%)
MI
M2 M3
M4
Leukemia mielomonositik akut (20%)
M4Eo
Leukemia mielomonositik dengan eosinofil abnormal (5-10%) Leukemia monositik akut (2-9%) Eritroleukemia (3-590) Leukemia megakariositik Akut (3-12%)
M5 M6 M7
Hasil Pengecatan Myeloper Sudan Esterase Oksidase Black non-spesifik
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
Gen yang terllbat
inv(3q26) dan t(3;3) (1%)
EV11
t(8;21) (40%) t(6;9) (1%)
AMLI-ETO, DEK-CAN
t(15;I 7) (98%) t(l1;l 7) (1%) t(5,17) (1%)
PML-RARa PLZFRARa, NPM RARa MLL, DEC-KAN EV11 CBFPMYHI1
+ + +
t
Translokasi dan penyusunan kembali (% kasus)
11q23 (20%) inv(3q26) & t(3;3) (3%), inv(16),t(16,16) (80%) 11923 (20%) t(8.16) (2%)
1
MLL,
+
I
+*
t(1.22) (5%)
tdk diketahui
sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll dan negatif terhadap naflilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)
gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100.000/mm'), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempuny ai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang sterillsemi-steril untuk peIaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi. Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif hams dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan
strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. lstilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnyapopulasl sel di sumsum tulang termasuk tercapainyajumlah sel-sel blast 4%. Perlu ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu , ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel'
-
Jeukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat 'tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).
Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3) Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mglm2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gaga1 terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.
Sitogenetik Awal
Kemoterapi lnduksi
Favorable
Standar 7+3
Intermediate
Standar 7+3
- Unfavorable
Standar 7+3
'
Terapi Post Remisi Donor HLA sesuai HDACx 3-4 siklus, atau 2-3 siklus diikuti HSCT otolog HSCT alogenik Sesegera mungkin atau HDACx 2-4 siklus HSCT alogenik Sesegera mungkin
Tidak ada donor HDACx 3-4 siklus, atau 2-3 siklus diikuti HSCT otolog HDACx 2-4 siklus + HSCT otolog HDACx 2-4 siklus f HSCT otoloq
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose cytarabine (ara-C)lHDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 glm2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 glm2 selama 2 jam setiap 12jam pada hari 1,3, dan 5. Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca
remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien usia tua. Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif danlatau HSCT untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
Terapi Leukemia Promielositik Akut Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15;17)yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15; 17)akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPAdengan ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%. LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam ha1 ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera rnendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide acid. Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya.ATRA adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsurn tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoic acid syndromelRAS). Terapi induksi rnenggunakan ATRA45 mgIm2hari per oral yang terbagi dalarn 2 dosis setiap hari sampai remisi
komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mgl m21hari selama 3 hari atau idarubisin 12mglm2Ihari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidaai dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA. RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7- 14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penye~nbuhanakibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard, dan gaga1 ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000- 10.000/uL, ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih darl 10.000/uL induksi kelnoterapi harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kernungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10 rng iv 2 kali sehari).Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan. Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mecapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang lalu, saat ini diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu kornponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, AT0 mempunyai mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta rnenghambat apaoptosis. AT0 umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi AT0 menghasi lkan respon sebesar 70% hingga 100%.
MASA DEPAN MANAJEMEN LMA Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna untuk menentukan prognosis dan strategi terapi yang lebih baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui merupakan faktor prognostik yang independen pada pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan
strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik (targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang spesifik, obat-obat ini umumnya lnempunyai profil efek samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi, sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat yang sedang dikernbangkan saat ini adalah anti-FLT3, suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari 90% kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 30% protein FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut rnenyebabkan proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis yang lebih jelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLT3 menghasilkan respons sebesar 18%-25%dengan efek samping yang ringan. Beberapa targeted therapy lain yang dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi protein RAS yang ditemukan pada sekitar 10%-15% penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (stern-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy pada klinik praktis masih rnenunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala besar.
Abraham J. Monahan BP. The acute leukemias. In: Abraham J,. Allegra CJ, editors. Handbook of clinical oncology.' Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85. Appelbaum FR. Impact of age on the biology of acute leukemia.' Educational book of the 41st Annual ASCO Meeting. 2005. p.. 528-32. Arber DA, Stein AS. Carter NH, et al. Prognostic impact of acute myeloid leukemia classification. Am J Clin ~ a t h o l . ' 2003;l 19(5):672-80. Breems DA. Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J Clin Oncol. 2005;23: 1969-78. Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia:, introduction. In: Jaffe ES. Harris NL, Stein H & Vardiman JW,? editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. Lyon: IARC Press; 2001. p. 76-80. Burnett AK & Knapper S Targeting treatment in AML Hematology, 2007 Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience with an old medication in hematologic malignancies. J Clin' Oncol. 2005;23:2396-410. Evens MA and Tallman MS. Acute leukemias. In: Skeel RT, edilors. Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia; Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 41 1-59. Farag SS. Rupert AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and
-
post remission therapy in younger adults with acute myeloid leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93. Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009, 20 (Supplement 4): iv100-iv101. Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood ME, Philips GK, editors. Hematology/oncology secrets. 3rd edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003. p. 114-8. Horwitz M. Epidemiology and genetic of acute and chronic leukemia. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p. 1-18. Bmweleit M, et al. Analysis of concerted expression Loges S, Heil of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia: expression of angiopoietin-2 represents an independent
prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol. 2005;23:1109-17. Montesinos P, Lprenzo I , Martin G et al.. Tumor lysis syndrome in patients with acute myeloid leukemia: identification of risk factors and developmentof a predictive model. Hematologica, 2008, 93 : 67 - 74. Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol. 2003;2 1 :2326-34. Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP & Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87. Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005. Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.
Ami Ashariati
PENDAHULUAN Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal rnaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya. SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak diketahui. SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya. Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan oleh Bennet dan Vincent.
SDM sering ditemukanpada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pa& sebagian kasus pada umur 4 0 tahun ;laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dan gejala secara.umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena
trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan dengan leukopenial neutropenijuga dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau hepatomegali.
DIAGNOSIS Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut: 1. Anemi dadperdarahan-perdarahan dantfebris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan. 2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari sistem darah - Adanya sel-sel mudahlas dalam jumlah sedikit ( ~ 3 0 %dengadtanpa ) monositosis di darah tepi. - Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya). - Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain seperti ITP, lekemi, anerni aplastik. Dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sediMt tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu &ngan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de now. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisome, monosomi clan anomali struktur ('hbell).
Penggolongan SDM menurut kriteria FAT3 (1,13) adalah Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refactory A n m i a with Excessive Blast (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia (RAEBt),clan Chronic MyelomonocyticLeukemia (CMML) (Tabel 2). Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD), Refractory anemia with excess blast (RAEB-type 1 = 59% bluts in blood or marrow and RAEB- type 2 = 1019% blats in blood or marrow), 5q- syndrome, therapyrelated myelodysplastic syndrome, dan Myelodysplastic syndrome unclassified. SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferafive disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek obat dan toxic exposures.
Delesi 5q Monosomi 7 Trisomi 8 Kehilangan kromosom Y Delesi 20q 3q rearangements Berbagai abnormalitas kromosom 11 Berbagai abnormalitas kromosom 17p Defek kromosom kompleks lain Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127- 138.
Darah Tepi Hb Leukosit Blast (%) Trombosit Sumsum Tulang Eritrosit Sideroblas (%) Granulopoesis Blast (%) Trombopoesis
RA
RASB
RAEB
RAEBt
CMML
N atau
N atau cl N atau
<5
6 3 0
<5 N atau
+++
+++
+++
+++
>I5 O.+ <5 O.+
4 5
+++
++++
5-20
20-30
5-20
+++
+++
+++
TATALAKSANA Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM, tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya.Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umurnnya bersifat indolent sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cukup suportif saja. Cangkok sumsum tulang (BM Transphntation) Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada SDM temtama dengan usia c30 tahun, dan mempakan terapi kuratif, tetapi masih mempakan pilihan ~ 5 dari % pasien. Kemoterapi Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan 2-14 bulan setelah pengobatan.-~osisARA-c yang direkomendasi adalah 20 mg/m2hari secara drip atau 10 mg/m2 secara subkutan setiap 12jam selama 21 hari. GM-CSFatau GCSF Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dari hemutopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2hari atau G-CSF 50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcg/kgBBhari/subkutanselarna 7-14 hari. Lain-lain Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mghari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mg/hari/oral selama 3 bulan dapat meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mgkgBBharil oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3 minggu pengobatan.
++
*The descriptions of the syndromes are f om Bennett et a/. 130 FAB de-notes F ench-American-British. Keterangan : RA : Refractory Anemia RASB : Refractory Anemia with Ringed Sideroblasts RAE6 : Refractory Anemia with Excessive Blasts RAEBt : RAE6 in transformation to Leukemia CMML : Chronic Myelomonocytic Leukemia
PROGNOSIS
+++
Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis menjadi kronis dan secara bertahap terjadi kemsakan pada sitopeni. Survival sangat be~ariasidari beberapa minggu sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30% pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic Leukemia) atau bone murrowfailure (Tabel 3). Indikator prognosis baik dan bumk dari SDM (Tabel 4 dan 5).
Klasifikasi FA6
Klasifikasi WHO Refractory anemia with excess blasts-2 (RAEB-2)
Prediksi Survival
Karakteristik 10-19% marrow blasts
10 bulan
< 5% peripheral-blood blasts
213 cylopenia Myelodysplasticsyndrome, unclassified (MDS-U)
113 cylopenia abnormal white or megakaryocyte cells < 5% marrow blasts
Not listed
MDS associated with isolated del(5q) Acute myeloid leukemia (AML) with multi-lineage dysplasia following a myelodysplasticsyndrome
anemia deleted chromosome 5q
9 tahun, 8 bulan
20-30% marrow blasts > 5% peripheral-blood blasts
6 bulan
Chronic myelomonocylic leukemia (CMML)
Myelodysplastic/ myeloproliferativediseases (MDSIMPD)
absence of Philadelphia chromosome < 20% marrow and peripheral-blood blasts dysplasia of one cell line
18 bulan
Refractory anemia
Refractory anemia
< 5% marrow blasts no peripheral-blood blasts anemia
5 tahun, 9 bulan
Refractory anemia with ringed sideroblasts
Refractory anemia with ringed sideroblasts
< 5% marrow blasts
5 tahun, 9 bulan
Refarctory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD)
213 or 313 cytopenia dysplasia of two cell types c 5% marrow blasts
2 tahun. 9 bulan
Refarctory cytopenia with multilineage dysplasia and ringed sideroblasts
213 or 313 cytopenia dysplasia of two cell types c 5% marrow blasts 5 15% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
2 tahun, 8 bulan
Refractow anemia with excess bksts-1 (WEB-1)
5-9% marrow blasts 5% peripheral-blood blasts 213 cvtopenia
1 tahun, 6 bulan
Refractory anemia with excess blasts in transformation (RAEB-t)
Refarctow Cvto~enia with excess blakts (WEB)
no peripheral-blood blasts anemia 5.15% marrow red-cell precursors with ringed sideroblasts
GOOD
FA6 Type (% of patients) RA (28) W R S (24) RAEB (23) W E B - T (9) CMML (16)
Leukemic Evolution (%) 12 8 44 60 14
Median Survival
Survival Range
50 51 11 5 11
18-64 14-76+ 7-16 2.5-1 1 9-60+
Months
Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32: 1-9
Months
Younger age Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts Low blasts counts in the bone marrow and n o blasts in the blood No Auer rods Ringed sideroblasts Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex chromosome abnormalities In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth pattern
POOR -
-
Advanced age Severe neutropenia (<0.5x103/mm3) or thrombocytopenia (<50~103/mm3) High blasts count in B M or blasts in peripheral blood Auer rods Absence of ringed sideroblasts
Appelbaum FR,Anderson J (1998). Allogeneic bone marrow transplantation for myelodysplastic syndromes:outcomes analysis according to IPSS score.Leukemia ; I2:Suppl I :S25S29. Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG, Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 5 1 : 189-99. Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic syndromes. Blood; 89: 2079-2088. Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a andomized phase I 1 study and long-term follow-up of 71 patients.Blood; 92:68 75. Hellstrom E,Robert KH,Gahrton Get al. (1988). Therapeutic effects of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon,1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59. HofmannWK, Ottmann OG. Ganser A, Hoelzer D (1996). Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol; 33: 177-85. Khouri IF,Keating M,Korbling M,et al. (1998). Transplant1ite:induction of graft-versus-malignancy using fludarabine-based nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J Clin Oncol.; 16:2817-24. Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et al. (2000). Myelodysplastic Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders. 3" edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430. Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et al. (1998). Randomized study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic disorders.Blood; 7 1 :703-8. Mark LH., and David WG (1999). Myelodysplasia. New England Journal of Medicine, May 27, Vol. 340 No. 21:1649-1660. Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)-a myelodysplastic or myeloproliferative syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-4 1.
Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS. Barett AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-705. Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P. (1996). P ognostic factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the impact of age and gender and failure to identify a very-low-risk g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol ; 94: 1 16-9. Nevill TJ.Fung HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly predictive of outcome after allogeneic bone marow transplantation. Blood ; 92: 1910-7. Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance treatment of patients with myelodysplastic syndromes using ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor. Blood; 76:36-43. Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in: Postgraduate Hematology. 4Ih edition. Editors : Hoffbrand AV, lewis SM, Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ. Ltd, Italy; pp 445-461. Parker JE,Pagliuca A,Mijovic A,et al. (1997). Fludarabine,cytarabine, G-CSF and idarubicin (FLAG-1DA)for the treatment of poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid leukaemia.Br J Haematol; 99:939-44. Pradono AP. Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985). Medika 92326. Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematologic syndrome preceeding acute leukemia. Am J Clin Pathol. 55:28390. Saitoh K,Miura [,Takahashi N,Miura AB (1998). Fluorescence in situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by chromosome abnormality trisomy 8 in patients with myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92. Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I. Penyakit Dalam FK Unair / RS Dr. Sutomo Surabaya. Konas PHTDI V, Semarang 14- 16 Oktober.
DASAR-DASAR BIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
Kelainan limfoproliferatif yaitu leukemia limfoid' dan limfoma maligna merupakan keganasan sel limfoid yang terjadi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pa& tahap perkembangan sel pre-B dan pre-T pa& sunsum tulang, keganasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel prekursor B dan T yang bennanifestasi di sumsum tulang. Sebaliknya, pada limfoma maligna terjadi perubahan keganasan dari sel lirnfoid yang terdapat terutarna pada jaringan limfoid. Meskipun leukemia dan lirnfomakeduanya melibatkan organ retikuloendotelial, mereka berbeda secara klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelainan limfoproliferatif menjadi dasar pemaharnan patogenesis, diagnosis dan terapi. Gambar I,. Keganasan sel limfosit B dan tahap perkembangan sel
PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA BERDASARKAN DlFERENSlASl SEL Leukemia dan Limfoma Sel B Delapan puluh perscn IeuLnlua Moblastikdan90% limfoma non-Hodgkln's berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada didapatkannya ekspresi antigen B-lineage-restricted dan c'lonal rearrangements gen imunoglobulin rantai berat dan ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan subpopulasi sel pre-B dan sel B matur dan secara klinis dibedakan menjadi indolen dan agresif. Pada Gambar 1 dapat dilihat keganasan sel limfosit B dan hubungannya dengan tahap perkembangan sel. Leukemia dan Limfoma Sel T Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda
sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 &pat dilihat hubungan antara keganasan sel T dan tahapan perkembangan sel T.
Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer (NK) Neoplasma sel NK merupakan neoplasma yang jarang ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan berhubungan dengan sel limfosit T yang berkembang secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mernpunyai TCR (T cell receptor) gene rearrangement, protein TCR, CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya mempunyai ekspresi NK-associated antigen (CD16, CD56, CD57).2Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada 'Pabell.
IMUNOGLOBULIN (IG) DAN T CELL RECEPTOR (TCR) REARRANGEMENT MBnfnity 01 f %dlALL
8 q e2
Manonlyaf f=ALL Mqoaty at t=ALL
I
!
M~lunt Helper Cell CD: 2,3,4,B, $,7:fCW
Gambar 2. Diferensiasi dan keganasan sel T
-
'
lmatur
MyeloidlNK cell precursor acute leukemia Elastic NK-cell lymphoma
,
Matur
Leukemia : Indolent : Large granular lymphocyte (LGL) leukemia Agresif : NK-cell leukemia NasaVnasal type NWT cell lymphoma
Sebagian besar keganasan limfoid berasal dari sel B atau T yang telah mengalami clonal immunoglobulinatau TCR rearrangement yang fisiologis. Karena itu, identifikasi clonal IgITCR rearrangement (lymphoid clonality) digunakan untuk membantu diagnosis dan pernantauan terapi.
Perkembangan Sel B dan immunoglobulin Gene Rearrangement Perkembangan sel B di surnsum tulang dimulai dengan pembentukan gen-gen untuk variable region antibodi rantai ringan dan berat pada progenitor sel B melalui proses yang disebut V(D)J, (Variable-Diversity-Joining) recombination. Pada proses ini, DNA yang terletak di antara bagian g n mengalami delesi. Gen-gen pada variable region immunoglobulin rantai ringan (k atau 1) terbentuk dari elernen V dan J, sedangkan pada irnunoglobulinrantai berat, variable region terbentuk dari elernen V, D dan J. Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat bermacarn-macam segrnen V, D &n J pada germ line sehingga setiap sel B memiliki gen tertentu untuk variable region yang berbeda satu sama lain dan mengkode antibodi yang berbeda. Gene rearrangement ini juga membuat setiap sel B mernpunyai petanda klonal tersendiri yang penting dalarn analisis limfoma sel B.
Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplnsma, Merupakan neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrikl angiodestruktif dengan nekrosis zonal. Tumor ini mempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus paranasal. Sering disebut juga lethal midline granuloma atau polimorfik retikulosis.Nasal type limfoma mempuny~ gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis, ginjal, traktus respiratori bagian atas dan rnatalorbita. Hodgkin's Disease Reed-Stemberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit Hodgkin's. Sel RS dibedakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannyaT atau B-cell associated antigens. Sel RS mernpunyai ekspresi: 0 1 5 Merupakan antigen golongan darah Lewis X yang berfungsi sebagai reseptor adhesi. 030(Ki-1) Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal immunoglobulin gene rearrangements. Pada beberapa kasus ditemukan juga T cell receptor b-chain rearrangements.
I
I
Gambar 3. V(D)J Recombination pada Perkembangan Sel 6
Sel B nayve yang mengenali antigen melalui membranebound antibodi, terdapat pada senter germinal organ lirnfoid sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue).Genornik DNA sel B kemudian mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4): Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada imunoglobulin rantai ringan. Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi
-
Iffi IgA atau I&. Proses ini menimbulkan perubahan fungsi efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region. HipermutasiSomatik. Proses mutasi (terutarnaperubahan single-nucleotide,juga delesi dan duplikasi) terjadi dengan frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B rnutan yang tidak rnempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami apoptosis.
Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal mempunyai 2 gen IgG rearrangement :VH-N-D,-N-J, dan VL-N-JLyang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut poliklonalitas Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma rnempunyai sekuens VH-N-DH-N-JH dan VL-N-J, yang identik. Hal ini rnenunjukkan bahwa sel limfoma berasal dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas Perkembangan sel B, immunoglobulin gene rearrangement dan hubungannya dengan limfoma dapat dilihat pada tabel 2 dan garnbar 5.
*ef yf?;., . .
. . . . . . . ;,.
-?+' =' -.
I
. .
<. . . . . . ~.
.
..
.
. , '
.
.
rn
.
s&nabz . . .
..
-i: -
,
% I F I
.
.. : :
I..
;>
bmaHc mutatlonr in-av
Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B
'.<
. e
,,:., . ,,,:. .
~
. ' , . ..
-
Gambar'4. Proses Modiiikasi Mdekular Gen yang Mengkode Antibodi
No mutations In vsrlable.reglon genes
c-.
gem
.,.,, ,.. ,, .
.. , / , .
Gen
Sel B Sel induk Sel pro-B
G e m line G e m line
Sel pre-B
IgH rearrangement, p-chain (sitoplasma)
Sel B imatur
IgUlgH rearrangement, IgM (rnernbran)
Mutasi sornatlk
Protein Ig
Limfoma
Marker CD34 CD19,CD79a, BSAP,CD34,CDIO, TdT CD19, C D ~ ~ CD79a. R. BSAP, CD34, CD10, TdT
IgM (membrane)
lgHlL rearrangement, IgM, IgD (mernbran)
B-LBUALL
CD19, CD20, CD45R, CD79a, CDIO. BSAP CD19, CD20, CD45R, CD79a, BSAP, CD5
B-CLL. MCL
Geminal center (CB. CC)
lgHlL rearrangements, class switch
rnulai mutasi somatik
lg (minimal atau tidak ada)
CD19. CD20. C D ~ ~ R , C D ; ~BSAP, ~, CD10, BCL6
BF. FL. LPHL. DLBCL, CHL'
Sel B rnernori
lgHlL rea&ngement
rnutasi sornatik
IgM
MZL, B-CLL
Sel plasma
lgHlL rearrangement
mutasi sornatik
IgG>IgA>IgD
CD19, CD20, CD45R, CD79A. BSAP CD38, ~ s 3 8 cMUM-1, , CD138
Plasmasitomal mieloma
Keterangan : CB
: centroblast
LPHL
: lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma
CC
: centrocyks
DLBCL
: Diffuse large cell 6 -cell lymphoma
lg B-LBL
: irnunoglobulin : 6-cell lymphoblasticlymphoma
cHL
: classic Hodgkin lymphoma
MZL
: marginalzone Scell lymphoma
B-CLL
: chronic lymphocytic leukemia
BSAP
: B cell specific activator protein
MCL
: mantle cell lymphoma
MUM-I
: Multiple myeloma oncogene
BL
: Burkilt lymphoma
TdT
: ~ermihaldeoxynucleotidyl
FL
: follicle center lymphoma
Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor (TCW T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri dari a h atau g/d heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses rearangement segrnen V, D ,J dan C juga terjadi pada TCR seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk matur TCR pada sel T.
gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel. Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini (onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non Hodgkin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 6.
BL
PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfow dan leukemia. Abnormalitas'sitogenetiktelah ditemukan pada beberapa tipe limforna dan leukemia. Translokasi kromosom merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi gen sebagai akibat juxtaposition regulatory sequens dari kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-
F L - - - - - - - - - - +DLBCL -C3-
*4
*
Garnbar 6. Translokasi gen pada iimfoma
-
Tlpe hlstologls
Tfanslokasl
%
Mekanisme aktlvasi proto-onkogen
Proto-
kasus
Onkogen
Fungsi protoonkogen
Limfoplasmasitik
t(9;14)(p13;q32)
50
PAX4
Deregulasi transkripsional
Folikular
t(14;18)(q32;q21) t(1;18)(pll;q21) t(18;22)(q21 ;ql 1)
90
BCL-2
Deregulasi transkripsional
Mantle cell
t(l1;14)(q13;q32)
70
MALT
t(l1;18)(q21;q21) t(1;14)(p22;q32)
50 jarang
BCL-1 lcyclin Dl APl2lMLT BCL-10
Diffuse large 8-cell
der(3)(q27)
35
BCL-6
Deregulasi transkripsional Protein fusi deregulasi transkripsional Deregulasi transkripsional
Burkiti
t(8;14)(q24;q32) t(2;8)(pll ;q24 t(8;22)(q24:qll) t(2;5)(p23;q35)
80 15 5 60
c-MYC
Deregulasi transkripsional
Faktor transkripsi regulasi proliferasi sel
NPMIALK
Protein fusi
ALK merupakan tirosin kinase
Anaplasfic large T-cell
Keterangan: : Paired homeobox family-5 PAX-5 :8-cell leukemiallymphoma-2 BCL-2 BCL-1 : B-cell leukemia/lymphoma-1 : Apoptosis inhibitorkinase AP121MLT
IMPLlKASl KLlNlS PENGETAHUAN DASAR BlOLOGlS Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan moleku1,ar genetik. Pengetahuan tentang ha1 tersebut mempunyai implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis antara lain:
Gambaran Klinis siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik
Regulator siklus sel Anti apoptosis
Represor transkrlpsional pada pembentukan senter germinal
:8-cell leukemiallymphoma-6 : 8-cell leukemiallymphoma-10 : Nucleophosminlanaplastic lymphoma kinase
BCL-6 BCL-10 NPMIALK
Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B. * t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson) rearrangement yang menghasilkan tirosin kinase abnormal (p 190atau p2 10BCR-ABL) didapatkan pada 30 % kasus. Translokasikromosom 1lq23 ( gen MLL, HRX,ALL 1) (...........) didapatkan pada 5% kasus. Translokasi ini menghasilkan abnormal DNA binding protein yang selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal. Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T, ditemukan translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T (14q11,7q34)yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tertentu.
Faktor transkripsi regulasi proliferasi dan diferensiasi sel B Regulasi negatif apoptosis
*
limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B. Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati senter germinal. Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas dan sentroblas cenderung berkembang dengan cepat dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada keadaan istirahat seperti CLLISLL cenderung bersifat indolen Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan berkembang pada daerah ekstranodal.
Patogenesis Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin. Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar translokasi kromosom pada neoplasma limfoid memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor sel T).
Klasifikasi dan Diagnosis Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif. Pengobatan Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat menjadi target terapi seperti arztisense oligonucleotida terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan target protein fusi seperti NPMIALK atau API2IMLT1 atau obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin Dl. Deteksi Minimal Residual Disease (MRD) Dengan tehriik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat dideteksi 1 sel tumor di antara lo5-LO6sel normal. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan apakah terapi hams diteruskan, dihentikan atau diganti dengan yang lebih intensif.
Delves PI, Roitt 1M. Advanced in immunology: the immune system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49. Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Fauci AS. Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine. 14Ihed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8. Gaidano G Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6 ' h d . Philadelphia: Lippincot-Raven; 2001. p. 22 1535. Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and N K cell lymphoproliferat~vedisorders. Hematology 200 1 : 259-8 1. Hanis NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasquducci L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematology 200 1 : 194-220. Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma: molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000: 180-94. Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of human B-cell lymphomas. N Engl J Med 1999;341:1520-9. '
LIMFONIA NON-HODGKIN (LNH) A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan
PENDAHULUAN
KELENJAR LlMFE
Limforna Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang ( m a t jarang) berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi'secara talc terkendali yang mengakibatkanterbentuknya tumor. Seluruh sel LNH beisal d&i satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH baru terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun. Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut National Cancer Institute tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000. LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertarnbahnya usia dan mencapai puncak pada kelornpok usia 80-84 tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-10% pertahunnya ,menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering. Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam tersering .Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara LNH dengan infeksi.
Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH, rnarilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar limfe, yaitu organisasi struktur, asal clan migrasi limfosit, serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabangseperti pembuluh darah. Pembuluh limfe berisi cairan bening yang berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan sel limfosit keseluruh tubuh.
Gambar 1. Struktur kelenjar getah bening. Folikel-folikel dihuni padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germinal. Sel B juga menghuni daerah medulasedangkan daerah parakorteksterutarna mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH. Stities DE, Caldwell JL, Wells JV. Basic and Clinical Immunology. Los Altos California : Lange Publications, 1979;82.
Gambar 1 memperlihatkan bagan stmktur kelenjar limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yhtu: korteks, para korteks dan medulla: Di dalam korteks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B. Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal ("centrum germinativum") yang di dalamnya dapat ditemukansel blast, sel besar clan makrofag; yang memberi
garnbaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks berisi limfosit T, sedang daerah medulla pada dasarnya dihuni oleh sel B .
PATOGENESIS TRANFORMASI DAN MlGRASl LlMFOSlT Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil (matangltua) bukanlah merupakan sel tahap akhir dari perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan permulaan liqopoiesis baru yang timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan oleh Nowcll pada tahun 1960 dsn peneliti lain yang memperlihatkan sel limfosit kecil (matang) mampu . mengadakan perubahan morfologi (transformasi) dan berproliferasi sebagai reaksi terhadap rangsangan lektin nabati (plant lectin) Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar limfejuga berasal dari sel-sel induk multipotensialdi dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pa& tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami "pematangan" dalam kelenjar thymus untuk menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar / limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi mknjadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "sesuai" maka limfosit T maupun B &an bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T aktif menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan lirnfosit B aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini, dirnana sitoplasmayang sedikit I kecil pa& limfosit B "ma"
menjadi bersitoplasma banyaklluas pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di dalam "centrumgenninativum"; sedangkan limfosit T aktif berukuran lebih besar dibanding limfosit T "tua". (Gambar 2 Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limforna merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum genninativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebihWhalus";3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?). Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudahmasuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
ETlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa.faktor risiko terjadinya LNH, antara lain: ImunoDefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah: severe combined immunodeficiency, hypogamma
Gambar 2. Transforrnasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ. Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation. International Course on Malignant Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2. /
Penulis
1. Rappaport
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Gambar 3. Transformasilimfosit B dan T menurut konsep Lennert. E Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-lg= Surface Immunoglobulin, C-lg= lntacytoplasmic Immunoglobulin, Ag=Antigenic stimulation. Modifikasidari Lennert K, Stein H, Mohri N, Katserling E, Muller-Herrnelink HK.Malignant Lymphomas other than Hogkin's disease. Berlin. Springer-Verlag, 1978: 99.
globulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Lirnfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Bm virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, dan lebihjarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belurn dlketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jurnlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lymphoproliferative disorders (PTLDs)dan AIDS-associated lymphomas. Paparan L i k u n g a n dan Pekerjaan:Beberapapekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida clan pelarut organik. Diet dan paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
KLASlFlKASl I-IMFOMA NON HODGKIN Penggolongan histologis LNH mempakan masalah yang rurnit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Lukes Lennert Gerard Marchant Bennet Dorfman WHO Formulasi Praktis
9. REAL revised10. WHO IREAL
Tahun
1966 dan 1976 1974 1974 1974 1974 1974 1976 1982
1993 1997
Nama Klasifikasi Modified Rappaport Lukes-Collins Lennert Kiel BNLC* Dorfrnan WHO" Formulasi Praktis 1 Working Formulation 1 WF REAL WHO 1 REAL
* British National Lymphoma Classification " World Health Organization
6-cell neoplasms I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute lyrnphoblast~cleukemiallymphoblastic lymphoma (8ALL, LBL) II. Peripheral B-cell neoplasms A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall lymphocytic lymphoma B. B-cell prolymphocytic leukemia C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma D. Mantle cell lymphoma E. Follicular lymphoma F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma &monocytoid B-cells) H. Splenic marginal zone lymphoma &villous lymphocytes) I. Hairy cell leukemia J. Plasmacytomalplasma cell myeloma K. Diffuse large B-cell lymphoma L. Burkitt's lymphoma T-cell and putative NK-cell neoplasms I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute lymphoblastic leukemiallymphoblastic lymphoma (TALL, LBL) II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic leukemia B. T-cell granular lymphocytic leukemia C. Mycosis fungoideslSezary syndrome D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized E. Hepatosplenic gammaldelta lymphoma F. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma G. ~n~iommunoblastic T-cell lymphoma H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma J. Adult T-cell lymphomafleukemia (HTLV I + ) K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous type M. Aggressive NK-cell leukemia
Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi praktis ("Working Formu1ation"lWF) dan REAL / WHO. WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi WHOmEAL beranjak dari karakter imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa "lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara ahli hernatologi-onkologimedik. Hal yang perlu dicatat idalah 25% pasien LNH menunjukkan gambaran sel limforna yang bermacam macam pada satu lokasi yang sama; maka dalam ha1 ini pengobatannya hams berdasarkan gambaran histologis yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan evaluasi sitologi atau biopsi surnsum tulang semata.
Low grade lymphomas A. Small lymphocytic. consistent with CLL plasmacytoid B. Follicular, predominantly small cleaved cell C. Follicular, mixed small cleaved and large cell Intermediategrade lymphomas D. Follicular, large cell E. Diffuse, small cleaved cel F. Diffuse, mixed small and large cell G. Diffuse large cell Highgrade lymphomas H. Large cell, immunoblastic I. Lymphoblastic J. Small, non-cleaved cell Burkis, Non-Burkilt's
B-cell neoplasma (REAL)
PENDEKATAN DlAGNOSTlK Anamnesis Umum: Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum - Berat badan menumn 10% gejala dalam waktu 6 bulan - Demam tinggi 38°C 1 minggu sistemik tanpa sebab - Keringat malam Keluhan anemia Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring) Penggunaan obat (Diphantoine) Khusus: Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma) Kelainan darah Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)
I+
WF
T-cell neoplasma (REAL)
WF
A
T-cell CLUPLL LGL ATUL (chronic and smouldering types Mywsis fungoides/Sezarysyndrome
A.E A-E A.E
Small lymphocytic CLUPLL Lymphoplasmacytoid-immunocytoma
Plasmacytomalrnyeloma Hairy cell leukemia
A,F
Other Other
Marginal zone lymphoma Splenic ExtranodallMALT Nodal Follicle center, follicular Grade1 Grade 1 I Grade Ill Follicle center, diffuse small cell Mantle cell lymphoma Diuse large B-cell, including : T-cell rich lmmunoblastic Mediastinal Precursor B-cell (lymphoblastic) Burkitt's lymphoma Burkilt's-like (High grade B-cell lymphoma)
,
8
,
A,B,E,F F G,H G,H I J J
Peripheral T-cell lymphoma (+I- HTLV-1) Unspecified Angioimmunoblastic Anoiccentric Intestinal
Anaplastic large cell lymphoma Precursor T-cell (Lymphoblatsic)
E,F,G,H,J E.F,G,H E.F.G,H E.G,H
H I
Referensi : Rosenberg SA, Berard CW; Brown BW et al. National Cancer Institute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's Lymphomas. Cancer 1982;49(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid neoplasms : a proposal from the International Lymphoma study group, Blood 1994 ;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non Hodgkin's Lymphoma . In DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, Srnedition. Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1997.pp 2165-220.
Pemeriksaan Fisik Pembesaran KGB Kelainanlpembesaran organ Performace status: ECOG atau WHOlKarnofsky Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium Rutin Hematologi: - Darah perifer lengkap (DPL) - Gambaran darah tepi (GDT) Urinanalisis: - Urinlengkap Kirnia W: - SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat - Alkali fosfatase - Gula darah puasa dan 2 jam pp - Elektrolit: Na, K, C1, Ca, P Khusus - GarnmaGT - Cholinesterase (CHE) - LDWfraksi - Serum Protein Elektroforesis (SPE) - lmuno Elektroforese (IEP) - Tes Coombs - B, Mikroglobulin b. Biopsi Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar periferlsuperfisial yang representatif,maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa: - Rutin Histopatologi: REAL-WHO dan Working Formulation - Khusus Imunoglobulin permukaan Histolsitokimia Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sito1ogi:FNAB dilakukan atas indikasi tertentu. Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi. c. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. d. Radiologi - Rutin: - Toraks foto PA dan lateral - CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah) - Khusus: - CT scan toraks - USGAbdomen - Limfografi, limfosintigrafi e. Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan
gastroskopi atau foto saluran cerna atas dengan kontras. f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan punksilaspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan rutin lainnya. g. lmmunophenon,pirzg:Parafin panel: CD 20, CD 3.
STADIUM PENYAKIT Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai hasil pengobatan.
Stadium
Keterangan
I
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya 1 regio I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus Ibatas tegas Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu s~sidiafragma 11 2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma 11 3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisl diafragma II E: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus 1 batas tegas Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus
II
111 IV
Catatan: 1. Untuk kesepakatankode S: Spleen (jika terkena limfa) H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (jika terkena parulpleura) C: Cerebral (jika terkena susunan syaraf pusat) 0 : 0 s (jika terkena tulang) I: Intestinal (jika terkena saluran cerna) 2.Yang dimaksud dengan organ limfatik adalah: KGB, timus, limpa, plagues payer, appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah 1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1 lokalisasi 5. Mediastinum dan hilus adalah 1 lokalisasi 6. Pertumbuhanjaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium IV 7 . Bulky Mass adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama dengan 10 cm dan ratio mediastinurn: thoraks > 0,35. Setiap pernbesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak ditemui gejala sistemik dan B bila diternui 1 atau lebih gejala sistemik.
FAKTOR PROGNOSTIK LNH dapat dibagi kedalarn 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphomu dan AgresifLymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki
perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif. International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien usia <60 " (age ndj~tstedIPI), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status "peformance", tanpa status ekstra nodal.
Umur
-< 60 tahun = 0 > 60 tahun = 1
TUMOR STAGE ANN ARBOR
I atau II = 0 Ill atau 1V = 1
LDH serum
Normal = 0 Meningkat = 1
ECOG PERFORMANCE STATUS
Tak ada gejala Ada gejala
= 0-=0 = I--
Bedridden < 112 day = 2-----Bedridden 1112 day = 3 Chronically bedridden = 4--Keterlibatan ekstranodal
=1
< 1 tempat = 0 > Itempat = I Skor Total
Kev scores Low risk = 0.1 Intermediate = 2
high intermediate = 3 high risk = 4.5
LNH lndolen Indolen, Stadium I dan Stadium II,Kontrol penyakitjangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("diseasefree survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah pasien LNH indolen stadium I atau stadium I1 dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait dengan ekstra nodal yang terlibat) Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi
dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi, untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi saja atau "Wait arzd see" jika terapi radiasi tidak dapat dilakukan. 5). Sub totalltotal iradiasi lymphoid ('jarang). Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan nantinya Indolen, Stage II/III/IV, Pengelolaan optimal pada LNH indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi: Tanpa terapilwait and see: pasien asimptomatik dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi ) Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan, Mab Thera) sebagai '5rst line therapy" , diberikan tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik Tsel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan memperantarai sinyal intraseluler: - Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%. Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis. - Dosis baku rituximab 375 mglm2 IV setiap minggu selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang memberikan respons 40%. - Efek samping berupa demam dan menggigil biasa dijumpai terutama pada infus pertama. Efek samping yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kladribin) memberikan respons sampai 50% pada pasien yang telah diobatiikambuh. Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid) - Siklofosfamid - Klorambusil Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%). Terapi ditemskan sampai mencapai hasil maksimum. Terapi "maintenance" tak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan mempertinggi efek leukemogenik
I
, I !
protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan. Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma ( C B C L ) . Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokalisir diobati dengan radioterapi,juga unhlk yang multifokal. Kemoterapi dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan. Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal dengan target antigen CD23, CD 19,CD20, CD22 atau untuk beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5, CDU, CD80, CD40. Alemtuzumab (Campath - lH), antibodi terhadap CD52 untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa jenis lirnforna sel T. Imunotoksin Vaksin idiotipe Antisense oligonukleotida Inhibitor selektif Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosis tinggi sedang diteliti secara mendalam. Transplantasi sumsum tulang alogenik atau transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia muda yang refrakter dengan donor yang masih ada ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan terakhir. Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi: Terapi radiasi paliatif Kemoterapi Rituximab (anti CD 20-monoclonal antibodies) Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap evaluasi klinis)
Beberapa protokol kombinasi antara lain: - CVP : Siklofosfamid+ Vinkristin + Prednison - C(M)OPP :Siklofosfarnid+Vinkristin + Prokarbazin + Prednison - CHOP :Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison - FND :Fludarabin+Mitoksantron +- Deksametason Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara 50-80% pada kasus yang pemah diterapi. Sediaan yang tersedia antara lain :I3'I-anti CD20 (tositumomab, Bexxars) dan "Y-anti CD20 (1britumomabtiuxetan,Zevalin8), digunakan pada pasien relaps denganltanpa keterlibatan sumsum hllang minimal (< 25%). Suatu penelitian acak yang membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imunokonjugasi. Kemoterapi Intensif denganltanpa "total-body irradiation" diikuti dengan transplantasi sumsum tu1angl"stem cell perifer autologous atau allogenic"1 PBSCT (masih dalam evaluasi klinis). Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti anti-idiotype vaccine (penelitian fase 111) EW-a. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian menunjukkan efek potensiasi angka respons, perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan pengaruhnya pada harapan hidup. Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor besar (bulky) atau untuk mengurangi obstruksi dan nyeri.
Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal). Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan
Number of risk Factor All Patients (adverse risk factors, age >60y; performance status 2 2 LDH greater than normal; Ann Arbor Stage Ill or IV; 2 2 extranodal sites) 0.1 Low 2 Low intermediate 3 High intermediate 4.5 High Patients 5 60 y old (adverse risk factors: Ann Arbor stage Ill or IV, LDH greater than normal, performance status 22 0 Low 1 Low intermediate 2 High intermediate 3 High
Percentage Of patients
5-Y
Complete Response Rate(%)
5.Y Dlseasefree survlval
("4
Suwlval
87 67 55
73 51 43 26
83 69 46 32
35 27 22 16
44
70 50 49 40
22 32 32 14
92 78 57 46
86 66 53 58
. .
("4
.
LNH Agresif
R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi I1 / I11 seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan ProMACECYtaBOM oleh "The Inter Group Study" melaporkan tidak ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar antara 40% sampai 45%. Dengan demikian protokol CHOP tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif. Selain itu, hasil GELA study (Coifier et a]) menunjukkan bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3 tahun dari 49% menjadi 62% bila dibandingkan dengan CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat
LNH Zntermediate/High Grade Terlokalisir. Non bulky stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin (CHOPICHVmPlBV) minimal 3 siklus, dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada stadium awal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.
Stadium1-11(BuUcy),IIIdan N.diterapi dengan CHOP siklus lengkap-atau CHVmPIBV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk daerah "bulky" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokal kontrol. Mc Kelvey melaporkan dengan regimen CHOP 50% sampai 7 1% pasien mencapai remisi lengkap dan 75% diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto
Response Category
Physical Examinations
Lymph node
Lymph Node Masses
Bone Marrow
CR
Normal
Normal
Normal
Normal
Cru
Normal Normal Normal Normal Decrease in LiverISpleen Enlarging IiverISpleen, new sites
Normal Normal Normal > 50% decrease > 50% decrease New or increased
Normal >75% decrease Normal 2 50% decrease 2 50% decrease New or increased
Indeterminate Normal or indeterminate Positive Irrelevant Irrelevant Reappearence
PR Relapse/Progression
WHO
Stadium
Umur
Premier1 Residif
Trial
W & S, chloorambucil, fludarabine atau CVP
LNH limfoplasmasiter makroglobulinemia LNH ektranodal Sel B zone Marginaljenis MALT
Lambung l dan HP t Lambung l dan HP I IV
Eradikasi HP RT, chloorambucil,CVP W 8 S. RT, (chirurgie); chloorambucil. CVP Chloorambucil, CVP, fludarabine
PIR PIR PIR
-
LNH sel , zona marginal nodal
PIR
LNH sel B zona marginal pada limpa LNH follicular derajat 1-2
Splenectomi, chloorambucil 1/11
> 15
1111 18
P
> 65
P
> 18
LNH folikular derajat 3 R-CHOP = CHOP + rituximab
'hanya bila CD 20 + " bila residif Irefrakter pada berbagai pengobatan S dalam waktu dekat setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin W & S Wait and see
P
EORTC 20971' IF-RT +I- low dose TBI
R 2
n
Terapi dalam Trial
R of refractair
PIR
HOVON 48" (bila CWPR setelah 8x CVP oral 1 bila tidak 90y - ibritumomab tiuxetan (Zevalin) HOVON 47 : chloorambucil vs 2 x 2 Gy IF-RT EORTC 209811 HOVON 39*" R-CHOP vs CHOP, +I- rituximab "maintenance" Lihat LNH difus
IF-RT W & S, chloorambucil, CVP. RT W 8 S, chloorambucil. CVP. fludarabine
W 8 S, chloorambucil,CVP, fludarabine, RT CVP, chloorambticil, fludarabine, RT. CHOP; p.m. non-myeloablativeallo SCT*'
menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan menengah dan tinggi
LNH intermediate/high grade yang refrakterl relaps: pasien refrakter yang gaga1 mencapai complete respons diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem cell autologus/PBSCT Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPPIB, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan infus EPOCH. Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT Allogenic BMT
MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkandilakukan transplantasi autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari. Protokol Leiden khususnya untuk stadium 111 dan IV, mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan rnieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi
WHO
Umur
I II
< 66
PIR P
IIIIIV
< 66
P
Il-IV
>65
P
Il-IV
18-65
R
> 65
R
LNH sel B sel besar difus
Mediastinal LNH sel B besar LNH mantel sel
Premier1
Stadium
sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-a setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi yang mengandung kombinasi antrasiklin Terapi induksi 1 :(R-Hyper VCAD) Rituximab 375 mg/m2 IV hari I dan 8 Siklofosfamid 300mg/m2IV setiap 12jam hari 1-3 Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 1 1 Doksorubisin 25 mglm2, infus selama 24 jam hari ke 4 dan 5 Deksametason 40 mg IV atau PO, hari 1-4 dan hari ke 1114 Granulosit Colony-stimulatingfactor (G-CSF), 5pgJkg IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6 sarnpai neutropil >4500/pL Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2iv infus hari I Metotreksat 200 mg/m2iv bolus hari 1, diikuti 800mgI m2 infus IV selam 24 jam; berikan lamtan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus metotreksat selesai diikuti 15mgPOsetiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum metotreksat) Sitarabin 3000mg/m2iv selama 1jam setiap 12jam total 4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000mg/m2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1Jmg/dl)
Trial HOVON 26 : LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP HOVON 26 : (LDH < 1.5 x ULN) HOVON 46' : (aa-IPI" 2 LI) CHOP - 14 +Irituximab HOVON 44' : DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab, diikuti SCT auto
I
P
II - IV I IV Il-IV
<66
P R P
Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT Lihat LNH sel B besar difus HOVON 45" : 3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT
2 66
P
HOVON 46" (lihat LNH sel B sel besar)
-
R * hanya apabila CD 20 + "aa-IPI = age-adjusted IPI $ dalam waktu dekat dibuka Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35 ULN = upper limit of normal R-CHOP = CHOP + rituximab
Terapi dalam trial 3 x CHVmPIBV + RT 8 x CHVmPIBV 8 x CHVmPIBV 8 x CHVmPlBV
HOVON 44, tanpa rituximab p.m. non-myeloablatieveallo SCT DHAP, (CHOP), RT; p.m. nonmyeloablatieveallo SCT 6 x CHVmPIBV + IF-RT
8 X C H V ~ P I B+~auto SCT; p.m. nyeloablatievepada usia muda 8 x CHV~PIBV'
DHAP
WHO
Stadium
Trial
LNH lirnfoblastik LNH Burkitt
I - IV I - IV
ALL-4 ALL 3-95
T e r a ~Dalam i Trial ALL-4 ALL 3-95
Lirnfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal: protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen: Terapi induksi 1 bulan Profilaksis CNS 1 bulan Terapi konsolidasi 3 bulan Terapi maintenance 7 bulan.
Regimen Siklofosfamid 400 mgIm2 PO untuk 3 hari pada minggu 1,4,9,12,15dan 18 Doksorubisin 50mg/m2iv pada rninggu 1,4,9,12,15dan 18 Vinlaistin2mgIVminggu1,2,3,4,5,6,9,12,15,dan18 Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu (tappering 08, dilanjutkan selama 5 hari pada minggu 9,12,15,dan 18 Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400 cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal(l2 mg setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4 dan 9. L-asparaginase 6000 Ulm2 (maximum 10.000 U) untuk 5 dosis pada awal peberian profilaksis CNS. Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2 PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (75 mglm2 PO setiap hari) dari minggu 23 sampai 52. Difuse Small Cleaved Cell/Burkitt's Limfoma.Terapijenis ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium lanjut ;mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien dengan lirnfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian metotreksat intratekal(4- 6 kali) direkomendasikan untuk semua pasien. Beberapa pusat kesehatan mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi sumsum tulang.
Adult Non-Hodgkin's Lymphoma (PDQ") Treatment- Health Professional Version. National Cancer Institute. U.S. National lnstitutes of Healt Armitage J 0 , et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principal and practice of oncology. Editor: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2001;2256-303. Atmakusuma D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma NonHodgkhDivisi Hematologi Onkologi Medik Departemen
llmu Penyakit Dalam FKUI RSCM. Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQ"). National Cancer Institute Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et al. Gela Study Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median follow-up with an analys~saccording to comorbidity factors.Presentation at the 39'" Annual Meeting of the American Society of Clinical Oncology, 31 May-3 June 2003, Chicago, USA Complete Summary of GUIDEL1NE:The use of chemotherapy and growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphdma. 19982004 National Guideline Clearinghouse Czuczman MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patients With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. Volume 22. Number 23. December 1 2004 Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD2O Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma: Safety and Efficacy of Re-Treatment. Journal of Clinical Oncology, Vol 18 No. 17, 2000:pp 3135-43. Emmanouillides C , Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma.In Manual of clinical oncology, 5Ih Ed. Edited by Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56. Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW. Non Hodgkins lymphomas.In Cancer priciples & practice of oncology 7Ih Ed. Edited by DeVita VT, Hellman S. Rosenberg SA. 2005 : 1957 931 Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen for advanced NHL. N Engl J Med 1993; 328: 1002-6. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the addition of rituximab to a combination of fludarabine. cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and refractory follicular and mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group (GLSG). Blood 2004;104:3064-71. Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.a.1. Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular lymphoma significantly increases event-free survival and response duration compared with the standard weekly x 4 schedule. Blood, 14 June 2004.Volume 103, Number 12 Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3" Ed. Edited by Mazza JJ. Lippincot Williams & wilkins, 2002 : 318-33. Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra U. Lippincot williams & wilkins, 2001: 319-31. Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. NonHodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair medisch centrum.Leiden ,1999 :82-98 http:llwww.nci.nih.govl cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma. 2004. International Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N Engl J Med 1993; 329 : 987-94. McLaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD 2 0 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent
.
Lymphoma: Half of Patients Respond to a Four-Dose Treatment progra& Journal of Clinical Oncology, Vol 16, No 8, 1998:pp2825-33
Mounier N. Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma (DLBDCL).Blood. I June 2003. Volume 101, number 11. National Comprehensive Cancer Network. Clinical Practice Guidelines in Oncology-v. 1.2004. Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Network
Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid tissues. WHO classification of tumours. Edited by Jaffe ES, Hams NL. Steir H, Vardiman JW. 2001 Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic use of rituximab in CD2O-positive diffuse large B-cell nonHodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology. 2003.121.44-48
Pfreundschuh M. et al. Frist Analysis of the completed MabThera' International (MInT) Trial in young patients with low risk diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab to a CHOP-like regimen significantly improves outcome of all patients with the identification of a very favorable subgroup
with IPI=O and no bulky disease. Oral presentation at ASH 2004.
Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB. Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 60720. Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from Ash 2003. Roche Pharmaceuticals
Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National Institute for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65. September 2003
Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer ( 2 M 3 ) 89. 1389-1394
Stein RS. John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of cancer chemotherapy. 6Ih Ed. Editor Skeel RT. Lippincot williams & wilkins. 2003: 503-23 The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients with Newly Diagnosed. Advance-Stage. Aggressive Histology Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7, June 25, 2003. Program in Evidence-Based Care - A Cancer Care Ontario Program.
PENYAKIT HODGKIN Rachmat Sumantri
PENDAHULUAN Penyalut Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel ReedSternberg. Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1872,disusuloleh laporan teipisah dari Sternberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg. Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFlcl3),kedua ha1 tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.
EPlDEMlOLOGl BAN FAKTOR RlSlKO Di Amerika Serikat terdapat 7500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3-1,4 berbanding 1 . Terdapat distribusi umur bimoda1,yaitu pada usia 15-34 tahun dan usia di atas 55 tahun. Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkangen asing ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virusd (HHV-6).Faktor risiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok
sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri. Gejala sistemik yaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat malam hari,penurunan berat badan, lemah badan rlan pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu terdapat nyeri di daerah abdomen alubat splenomegali atau pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang
GEJALA KLlNlS Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri Demam, tipe Pel-Ebstein Hepatosplenomegali Neuropati Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas, sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi hollow viscera.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau lirnfositosis dalarn sirkulasi. Pada perneriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati
yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis. Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat Inemperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan 1imfoma.KadarLDH darah yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin.
Biopsi sumsum tulang Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulangpada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang. Radiologis Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu). USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfodenopati. Pemeriksaan CT Scan torak untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.
PENTAHAPAN(STAGING) Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor (1971). StadiumI keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik. Stadium I1 Keterlibatan 22 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium 11); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada Jumlah regio anatomik yang sisi diafragma yang sarna (m). terlibat ditulis dengan angka (contoh 91,). Stadium I11 Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (111), dapat disertai lien (IIIs), atau
keterlibatan 1organ ekstranodal (mE)atau keduanya (IIISE). 111, Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar,seliak atau portal.
n12
keterlibatai kelenjar getah bening paraaotl,
Dengan iliaka dan mesenterika.
Stadium IV Keterlibatan difusldiseminata padal atau lebih ekstranodal atau Jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening. Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium: A Tanpa gejala B Demarn (suhu >38 "C),keringat malarn, penurunan berat badan >10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya) X Bulky disease (pembesaran mediastium >1/3, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm) E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening CS Clinical stage PS Pathologic stage (rnisalnya ditentukan pada laparotomi)
Karakteristik
Limfoma ,odgkin
Ternpat asal
Nodal
Distribusi nodal
Sentripetal (aksial)
Penyebaran nodal Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan surnsurn tulang Keterlibatan surnsurn tulang mempengaruhi buruknya prognosis Sembuh dengan kemoterapi
Contiguous Jarang (el %) Jarang Jarang
Limfoma n o n Hodgkin In termedia t l Low grade high grade Ekstranodal (10%) Sentrifugal
Ekstranodal (35%) Sentrifugal
Noncontiguous Noncontiguous Jarang (< 1 %)
Sering (> 50 %) Sering (>50 %)
(< 10%)
Jarang (~10%) Jarang Jarang (c20 %)
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tldak
Ya
Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucuk jamm (Fine Needle Biopsy);
Klaslfikasi Rye: Lymphocyte Predominant Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion
-
and Parker
Lukes and Butler
Rye Conference
WHO classification
REAL classification
Paragranuloma
Lymphocytic or histiocytic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse
Lymphocytepredominant
Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD
Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD
Granuloma
Nodular sclerosis Mixed cellurarity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Nodular sclerosis Mixed cellularity
Sarcoma
Diffuse fibrosis Reticular
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD
Klasifikasi WHO: Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.
Pengobatan lirnfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko. Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT) pada Limfoma Residual atau Bulky Disease. Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's Lymphomastudy Group (GHSG) meliputi: Massa mediastinal yang besar Ekstranodal Peningkatan laju endap darah, 2 50 untuk tanpa gejala atau 2 30 untuk dengan gejala (B) Tiga atau lebih regio yang terkena Menurut EORTCIGELA (European Organization for Research and Treatment of CarcinomdGroupe dJEtude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: Massa mediastinal yang besar Usia SO tahun atau lebih Peningkatan laju endap darah 4 regio atau lebih Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,
imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi C D 16ICD 3 0 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.
PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa ha1 penting yang perlu diketahui: Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai melahirkan kecuali pada "BulkyDisease" dan diberikan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada semester pertama, tidak terjadi pada semester berikutnya. Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.
Kelompok
Stadium
Rekomendasl
Stadium dini (favorable)
CS I-IIA 16 tanpa faktor risiko
EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy
Stadium dini (unfavorable)
CS 1-11 N B + RF
4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy
Stadium lanjut
CS IIB +RF;CS IIINB CS IV N B
6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 Gy pada limfoma residual dan bulkv disease
PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelarnin, 2). Usia >45 tahun; 3). Stadium W,4). Hb < l o gr%;5). Leukosit > 15000/mm3; 6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum alburnin <4 gr%
Regimen
Dosis (mglm2)
Pemberian
Jadwal (hari)
IV
21
MOPP
- Mechloretamine - Oncovin - Procarbazine - Prednisone
Siklus (hari)
6 1,4 100 40
PO PO.
1,8 13 1-14 1-14
- Procarbazine - Prednisone
650 1,4 100 40
IV IV PO PO
1,8 1,8 1-14 1-14
ABVD - Adriamycin - Bleomycin - Vinblastine - Dacarbazine
25 10 6 375
IV IV IV IV
lY
COPP
- Cyclophosphamide - Oncovin
Stanford V - Mechlorethamine - Adriamycin - Vinblastine - Vincristine - Bleomycin - Etoposide - Prednisone - G-CSF
Pasien tanpafaktor risiko FFP= 84%,dengan satu faktor risiko FFP = 77%, dengan dua faktor risiko FFP = 67%, tiga faktor risiko FFP = 60%, empat faktor risiko FFP = 5 1 %, lima faktor risiko atau IebihFFP = 42%.
Terapi Relaps setelah
.rarlint~rani --.- .- .* Nodal relaps CS I - II tanpa gejala B,
Kemoterapi
F.
*
tanpa radioterapi sebelumnya Progresif prlmer Relaps dini Relaps !anjut
Radioterapi salvage
High dose chemotherapy (HDCT) diikuti oleh transplantasi sel asal "Autologous Stem Cell Transplantation" (ASCT)
12 minggu minggu 1,5,9 minggu 1,3,5.9,11 minggu 1,3,5,9,11 minggu 2,4,6,8,10,12 minggu 2,4,6,8,10,12 minggu 3,7,11 minggu 1-9, tappering minggu 10 - 12
REFERENSI Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004 Diehl V, Mauch PV, Harris N L : Hodgkin's Disease in Vincent T Devita Jr Eds. Cancer, Principles and Practice of Oncology, Lippincot Williams & Wilkins, 6Ih Ed., 2001, pp 2339-87. Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's Clinical Hematology,, Lippincott Williams & Wilkins, 1 IthEd., 2004, pp 2521-51. Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoma~iDiagnosis dan Terapi Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Panji Irani Fianza
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya mempakan leukemia sel T. Leukemia ini mempakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun dernikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.
Insidensi LLA adalah 1160.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,l untuk berkembang menjadi LLA; 2). Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA
pada usia di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5). Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan WiskottAldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.
PATOGENESISMOLEKULAR Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada LLA dewasa adalal~t(9;22)/BCR-ABL(20-30%) dan t(4; 1I)/ ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini berhuhungar~dengan prognosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dan 22 [t(9;22)(q34;qll)] yang dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis atau reversetranscriptase polymerase chain reaction. ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga terjadi aktivasijalur transduksi sinyal yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel. Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang buruk; sedangkan t(10; 14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalali delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau iebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.
KLASIFIKASI Klasifikasi lmunologi Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)70%:commonALL (50%), nullALL, pre-BALL TALL (25%) B-ALL (5%) Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL. Null cellALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burlutt).
Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FAB): L1: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah L3: Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2, sedangkan tipe L1 paling sering ditemukan pada anak.' Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B rnempunyai ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferuse (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin. Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA dicurigai.
GAMBARAN KLlNlS
(c) Gambar 1. Morfologi sel blas LLA. (a) Tipe L1; (b) Tipe L2; (c) Tipe L3
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis rnenggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terj adi. Gejala-gejaladan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: Anemia: rnudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada Anoreksia *. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsurn tulang oleh sel-sel leukemia) Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah ~ ~ l o k o k ustreptokokus, s, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur. Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak Hepatomegali Splenomegali Limfadenopati Massa di rnediastinum (sering pada LLA sel T) Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologk fokal Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium,tonsil
GAMBARANLABORATORILIM Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi Jurnlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3)terjadi pada kira-kira 15%pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%.Kira-kira sepertigapasienmempunyai hitung trombosit kurang dari 25 .000/mm3. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirrnasi diagnosis dan Masifikasi, sehingga semua pasien LLA hams menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan lirnfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia,maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint darijaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi. Sitokimia Ganbaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna 'untuk membedakan precurs'or B dan B-ALL dari T-ALL. Pewamaan fosfatase asam akan positif pada lirnfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atauflow cytometry. lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry) Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifrkasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap: Untuk sel prekursor B: CDlO (common ALL antigen),CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT
Untuk sel T: CD la, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan TdT Untuk sel B: kappa atau lambda, CD 19,CD20, dan CD22 Pada Sekitar 1554% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalahCD13, CD15, danCD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
Sitogenetik Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel 1).Translokasi t(8;14),t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;ql I) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada 4 % LMA dewasa dan 20%-30% LLA dewasa. Biologi Molekular Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Tehik ini juga hams dilakukan untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan Lainnya Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskulardiseminatajarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutarna pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal.Perlu atau
Kelainan
Prognosis
Perubahan nurnerik Hiperdiploiditinggi (lebih dari 50 kromosom) Hiperdiploidi(47-50) Pseudodiploidi(46 dengan perubahan st~kturlnumerik Hipodiploidi (kurang dari 46) Kelainan struktur Kromosom Philadelphia t(9;22)* t (12;21)*. t (1;19) t ( 4 1 1) t (8; 14)'"
Baik Sedang Sedang Bu~k
Gen yang terlibat BCR-ABL TEL-AMLI E2A-PBX1 MLLAF4 MYC
Buruk Baik Baik Bumk Baik
-- HaNS dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik ...Terjadi pada 30% kasus LLA anak. Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3
1269
LEUKEMIA L.IMFOBLASTIKAKVT
tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SSP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : - Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis imunofenotip,analisis molekular BCR-ABL
DIAGNOSIS BANDING
Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma Anemia aplastik
PENDEKATAN DIAGNOSIS Pendekatan diagnosis L L A dewasa :
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratonum : - Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan darah ABO dan Rh, penentuan HLA Foto toraks atau computed tomography Pungsi lumbal
Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi intratekal danlatau sistemik dosis tinggi, dan pada
Studi dengan > 500 pasien GMALL 02/84
1993
562
28
V,P,A,D,C, AC, M,MP
FGTALL
1993
581
33
MRC-UKALL XA MRCIECOG
1997 1999
618 920
> 15
V,P,DIR,C[ AD,AC] V,P.A,D V,P,D,A,C, AC,MP
GMAL! 05!93
2001
1163
35
V,P,A,D,C, AC,M,MP
GIMEMA 0288
2002
794
28
V,P,A,D,C, [HDAC,Mi]
Total (% = we~ghfec! mean)
V, DX,AD,AC.C,T G,VM AD,AC,A [AC,VP,D,TG] HDM,A [AC,VP,V,DX,D. C,TG] SCT V,DX,AD,AC,C, TG,VM,AC,HD M,A,C [HDAC,Mi] V,HDM,HDAC, DX,VM
MP,M
75%
39% pd 7th
MP,M,V,C,P,AD ,AC MP,M,V,P MP,M,V,P
76% 82% 89%
30% pd 10th 28% pd 5th
MP,M
83%
MP,M,V,[AC,Mi, VM,HDAC,HDM ,DX]
82%
29%pd9th
82%
31%
86%
41% pd 4th
85%
36% pd 3th
85%
36% pd 3th
91% 84%
38% pd 5th 49% pd 3th
82%
35% pd 5th
+
4638
Studi terbaru dengan > 100 pasien Pethema ALL-93
1998
108
28
V,P,D,A,C
CALGB
1998
198
35
V,P,D,A,C
Sweden
1999
120
44
MDACC Lombardra
2000 2001
204 121
39 35
HDAC, C,D,V,BX V,AD,DX,C I,V.A,P,[C]
Netherlands
2001
193
33
Standar
HDM, V,D,P,A,C,VM,A
e
C,MP,AC,V,A,M, AD,DX,TG,P AD,HDAC,V,BX, C,D,VP SCT HDM,HDAC,C,P I,V,C,VM,HDAC, HDM,DX SCT HDAC, VP 16 + allo/auto SCT
+
+
MP,M [V,P,Mi,A,C,VM, ACI MP,M,V,P Tidak dilaporkan MP,M,V,P MP,M
-
944 86% 38% Total (% = weighted mean) * median umur atau rentang Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free suwival; V, vinkrrstin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C, cyclophosphamide; AC, cytarabine; M, methotrexate; MP, merca~topurine;DX, deksametason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, teniposide; R, rubidazone; VP, etoposide; HDAC, high dose AC; HDM, high dose M; SCT, stem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; EX, betametason; I, idarubisin.
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI PADA PROSES INFLAMASI Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan
PENDAHULUAN Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia memberikan bukti tentang adanya komunikasi antara sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi, antigenik atau infeksi oleh sistem imun danpsikologis atau fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem tranduksi yang sama untuk mencetuskan respons terhadap gangguan yang ada. Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapijuga menekan atau merubah respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat memberikan sinyal pada SSP melaluijalur neuronal, seperti saraf vagus, dan SSP dapat memberikan sinyal pada sistem imun melalui jalur saraf perifer atau simpatik. Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun clan SSP tersebut merupakan mekanisme fisiologik penting untuk mengatur intensitas respons imun dan keradangan, mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit
keradangan. Pemutusan komunikasi tersebut pada tahap yang mana saja dan melalui mekanisme apa saja akan dapat meningkatkan kerentanan atau menambah beratnya penyakit keradangan. Sebaliknya,pemulihan komunikasi tersebut akan mengurangi keradangan. Dengan demikian, beratnya' keradangan sebagai respons terhadap rangsangan asing tak hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan itu sendiri tapi juga tergantung pada intensitas respons neuronal dan neuro endokrin yang timbul. Pengetahuan tentang ha1 ini dapat memberikan dasar rasional mengenai mekanisme bagaimana "stress" dapat mempengaruhi timbulnya maupun beratnya penyakit keradangan dan autoimun, oleh karena hormon.respons stres yang dicetuskan oleh stres mempunyai efek yang nyata pada respons imun atau keradangan. Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa aspek tentang interaksi neuroendokrin dengan sistem imun: 1). Respons fisiologis sistem endokrin dan sistem saraf dalam menghadapi stres. 2). Responsl aktivasi sistem endokrin dan sistem saraf pada keradangan. 3). Pengaruh sistem neuro-endokrin yang secara simultan memberi sumbangan pada patogenesa dan gambaran klinis keradangan dan 4). Pendekatan alternatif yang didasarkan pada aspek neuro-endokrin untuk terapi keradangan.
~
Lingkungan
)
Respons neuro endokri
0k
dan an
I
L Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir keseimbangan antara aktivitas respons imun dan respons neuro endokrin dalam menghadapi gangguan dari lingkungan luar.
~
RESPONS STRES NEURO ENDOKRIN Hipotalamusyang mempakan organ sentral resppon stress neuro endokrin,akan memberikan respons terhadap berbagai rangsangan dengan mensintesa dan mensekresi neuropeptida corticothropin-releasing hormon (CRH). CRH akan merangsang hipofise anterior mensekresi adrenocorticotropin (ACTH), yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresi i oleh hipotalamus dikontrol kortikosteroid. ~ e k r e sCRH ketat oleh beberapa sistem neurotransmiter yang akan merangsang sekresi tersebut (sistem noradrenergik, serotonergik,dan dopaminergik) dan beberapa sistem lain yang akan menghambat (y-aminobutyric acid: GABA, benzodiasepin maupun glukokortikoid). .pBehavior v..
neuroendokrin juga mempakan unsur fisiologis yang penting dari respons stres.
RESPONSNEUROENDOKRINPADAKERADANGAN
Selama terjadi proses keradangan lokal terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oeleh sel-sel imun yang dapat mempengaruhi sel-sel disekitarnya (parakrin) maupun selsel ditempat yang jauh melalui aliran darah (endokrin), seperti TNF,IL- 1, IL-2, IL-6, IL- 10, IL- 12 dan interferon-*. Di samping imun mediator ini, sel-sel imun yang teraktivasi juga beredar diseluruh tubuh. Pada tempat k e r a b g a n lokal, serabut afferen saraf sensoris teraktivasi oleh faktor kimiawi, mekanis, panas dan rangsangan imun, sehingga akan terlepas sejumlah neurotransmiter disekitar saraf terminal. Ketiga mekanisme ini (mediator imun, sel-sel yang teraktivasi, afferen saraf sensoris) semuanya akan menemskan rangsangannya ke SSP dan organ-organ lain (hati, kelenjar adrenal, kelenjar gonad, dll).
PERUBAHAN Dl 'TINGKAT SENTRAL PADA HIPOTALAMUS DAN HlPOFlSE
Immune System
4-"'.
Garnbar 2. Skerna komunikasi antara sistern imun dan neuro endokrin
Di samping pengaruh neouroendokrinnya melalui hipofise, CRH juga bekerja sentral dalam otak sebagai suatu neuropeptida, untuk mencetuskan sejumlah perubahan perilaku seperti peningkatan kewaspadaan, perhatian dan penekanan h g s i - h n g s i vegetativ seperti pencernaan dan reproduksi. Bersama-sama respons seperti itu dikenal sebagai respons "kabur atau melawan". Komunikasi sistem CRH hipotalamus dengan denganjalur noredrenergikjuga teraktivasi selama respons stres, melalui hubungan anatomis antara hipotalamus dan pusat noredrenergik dibatang otak. Sebaliknya, sistem noredrenergik batang otak mengirim sinyal ke perifer melalui saraf simpatis. Melalui hubungan seperti itu, unsur fisiologik respons stres, seperti peningkatan denyut jantung, tonus otot dan keringat, bersamaan dengan respons perilaku, membentuk respons stres seluruhnya. Penelitian dalam waktu akir-akhir ini menunjukkan bahwa modulasi respons imun baik dleh sistem simpatis maupun
Pada rangsangan mediator prokeradangan yang h a t , SSP akan bereaksi dengan mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) merangsang peningkatan kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan steroid adrenal (Gambar 3). Peningkatan aktivitas saraf simpatik akan menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter disekitar saraf terminal. Tetapi, sitokm prokeradangan yang sama misalnya IL- 1,TNF atau endotoxin, akan menghambat sekresi gonadotropin-releasing hormon dari hipotalamus, Iuteinizing hormon dari kelenjar pituitari, dan berdampak pada produksi testosteron pada pria dan estrogen pada wanita. Secara fisiologis, selama proses keradangan sistemik sistem reproduksi terhambat dan aksis HPA teraktivasi. Pada manusia dan t~kuspada keadaan akut (hari ke 1 terapi IL-6), IL-6 akan merangsang hipotalamus dan diikuti sekresi dari ACTH. Keadaan yang sama juga terjadi pada pemberian sitokin yang lain seperti IL-1 pada tikus, IL-2 pada manusia serta TNF pada manusia dan tikus. Pemberian sitokin jangka panjang seperi IL-6 akan menghasilkan respons ACTH yang tumpul pada manusia. Pada acute adjzrvant-induced arthritis terjadi aktivasi yang h a t pada ACTH, dimana pada artritis kronik akan diikuti oleh CRH hipotalamik yang rendah tetapi dengan kadar arginin vasopresin yang meningkat. Keadaan ini menunjukkan adanya perubahan respons pada tingkat hipotalamus dan kelenjar pituitari jika sitokin ditingkatkan secara kronik (misal selama keradangan kronik). Pada keadaan seperti itu sekresi CRH dan ACTH relatif rendah meskipun kadar sitokin meningkat.
MTERAKSI NEUROIMUNOENIXlKRINOLOCIPADAPROSES MPI
Adaptasi (perubahan respons) pada hipotalamus tersebut merupakan prinsip yang fisiologis, namun belum diketahui berapa konsentrasi sitokin dan waktu yang diperlukan untuk menginduksi proses adaptasi ini pada tingkat hipotalamus atau hipofise pada pasien dengan keradangan menahun. Apabila pada pasien tidak terjadi peningkatan kadar perangsangan sitokin yang konstan, maka perubahan adaptasi pada tingkat ini mungkin tidak teiadi. Terdapat beberapa cara bagaimana sitokin dari sistem imun di perifer dapat merangsang SSP.Sitokin mungkm secara aktif dibawa dari darah ke otak melewatibarier otakdarah,atau munglun melewati secara pasif melalui beberapa titik kebocoran tertentu di barier tersebut. Jalur tersebut mungkin lebih banyak timbul pada keradangan atau penyakit lain dimana barier otak-darah menjadi lebih permiabel.~k&tetapi sitokin juga dapat menimbulkan efeknya tanpa masuk ke otak.Sitokin dapat diekspresikan pada endotel pembuluh darah otak dan dapat merangsang dilepaskannya mediator kedua, seperti prostaglandin dan nitric oxid, di jaringan otak sekitarnya dan merangsang neuron pada daerah tersebut. Fakta bahwa efek demam yang ditimbulkan oleh IL-1 dapat dihambat oleh obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) memberikan bukti tentang adanya mekanisme seperti itu. Di samping pengaruhnya langsung pada SSP, sitokinjuga dapat mempengaruhiotak melaluijalur saraf, terutama saraf vagus. Perubahan di Tingkat Perifer : Kelenjar Adrenal dan Gonad Beberapa penelitian pada pasien AR menunjukkan sekresi kortisol yang rendah dan tidak seimbang dalam hubungamya dengan kadar sitokin prokeradangan dan keradangan sisternik. Pada penyakit keradangan kronik lain terdapat penurunan relatif kadar kortisol, misalnya pada : Crohn's disease, Sjorgen's syndrome, SLE dan penyakitpenyakit yang lain. Data tersebut menunjukkan adanya ketidak seimbangan antara sekresi kortisol yang rendah dengan keradangan kronik yang berkelanjutan seperti pada artritis reumatoid Reseptor glukokortikoid didapatkan normal atau meningkat pada monosit pasien AR, yang sebelumnya tidakmendapat terapi glukokortikoid. Hal ini mendukung konsep gangguan sekresi kortisol pada beberapa penyakit keradangan menahun seperti artritis reumatoid. Pada pasien AR didapatkan juga penurunan kadar serum androgen adrenal yang bermakna . Keadaan yang sama (dengan penurunan androgen adrenal), terutama DHEASjuga terjadi pada penyakit keradangan kronik lain, seperti Crohn's disease, Ulcerative colitis, SLE, Systemic Sclerosis dan Polymyalgia rheumatica. Sitokin prokeradangan (IL- 1, TNF) merupakan penghambat yang penting pada berbagai fase produksi hormon seksual, seperti halnya aktivitas enzim P450 ssc
dan P450c17 pada sel Leydig. Kondisi ini menyebabkan pengurangan hormon seksual dalam kelenjar gonad. Sebaliknya sitokin prokeradanganyang sama (IL-1, TIW) dan IL-6 mampu merangsang aktivitas enzim aromatase kompleks pada jaringan nongonadal, dan menyebabkan konversi androgen disepanjang jalur estrogen di perifer. Jadi pada jaringan kaya makrofag, didapatkan hubungan bermakna antara aktivitas aromatase dan produksi IL-6, yang menghasilkan kadar androgen rendah dan kadar estrogen tinggi. Hasil rasio yang tinggi antara estrogen : androgen telah diamati pada cairan sinovial pada pasien AR pria dan wanita. Selama proses keradangan, terdapat pengurangan produksi hormon seksual pada tingkat kelenjar gonad diikuti oleh kadar androgen yang rendah pada serum dan cairap tubuh. Namun kadar estrogen relatif tetap normal karena sitokin prokeradangan merangsang produksi estrogen dari prekursor di sel-sel perifer (sel-sel mama, osteoblast, sel-sel lemak, makrofag) Secara keseluruhan respons SSP/neuro endokrin ditujukan untuk menghambat proses keradangan di perifer. SSP menghambat keradangan di perifer dengan menggunakan duajalur secara paralel: 1)Aksis HPAdengan hormon anti keradangan utamanya yaitu kortisol, dan 2). Sistem saraf simpatik dengan anti keradangan utama neurotransmiter norepinefiin (melalui badrenoseptor), adenosin (melalui adenosin 2 [A21 reseptor) dan opioid endogen.Kedua aksis ini mempunyai kemampuan sebagai anti keradangan yang sangatkuatjika mereka bekerja secara paralel. Namun pada AR, aksis-aksis ini mengalami gangguan secara nyata, sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan anti keradangan yang di perantarai oleh SSP pada keradangan artikular lokal.
7
~ u m o i a li Neuronal
I
Gambar 3. Jalur umpan balik anti-keradangan pada proses keradangan sistemik (model : artritis rematoid).
Perubahan di Tingkat Perifer : Saraf Simpatis dan Sensoris. Beberapa penelitian membuktikan pengaruh sistem saraf simpatis pada binatang model dengan artritis menahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa a-2 adrenergik dan reseptor A1 terlibat pada sensitisasi serabut afferen saraf sensoris, yang menyebabkan pelepasan prokeradangan substansi P ke dalam lumen sendi. Sebaliknyapada penelitian lain menunjukkan bahwa artritis eksperimental dapat dikurangi dengan pemberian b- adrenergrk agonis. Sistem saraf simpatis memainkan dua peran penting tergantung dari ikatan antar* neurotransmitersimpatik dengan a-2 atau P- adrenoseptor dan A1 atau A2 adenosin reseptor secara berurutan (Gambar 4). Perbedaan efek dari neurotransmiter simpatik (norepineprin, epineprin, adenosin) konsisten dengan konsep bahwa stimulasi b-adrenoseptor atau A2 reseptor meningkatkan cAMP intraselular, dan menghambat produksi sitokin prokeradangan seperti TNF,interferon y, IL-2, dan IL-12. Efek yang berlawanan terjadi jika a-2 adrenoseptor atau A1 reseptor di rangsang (Tabel 1).
Hormon atau Neurotransmiter
Modulasi fungsl imun alami dan adaptif
Kortisol
Menghambat kerusakan oksidatif, phagositosis, produksi kollagenase, presentasi antigen, COX-2, 11-1, IL-2, IL-6, IL-12, INF y, TNF, NF-KB dsb. DHEA Menghambat produksi radikal oksigen, IL1, IL-6, TNF Testosteron Menghambat IL-6, aktivitas NK sel Estrogen Menstimulasi produksi immunoglobulin (konsentrasi fisiologis), menghambat IL-1, IL-6, TNF (konsentrasi farrnakologis) CAMP Menghambat radikal oksigen, phagositosis, ekspresi HLA klas I and II, IL-2, IL-12, INF y, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th2) Norepinephrin(a2) Menghambat cAMP intraseluler (meningkatkan of TNF) Norepinephrin (P) Menghambat radikal oksigen, phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi HLA klas II, IL-2, INF y, IL-12, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th 2) Adenosin (Al) Menghambat cAMP intraseluler Adenosin (A2) Menghambat radikal oksigen, phagositosis, aktivitas NK sel, IL-8, IL-12, INF y, TNF (tetapi meningkatkanjalur Th2) Substansi P Menstimulasi radikal oksigen, phagositosis, kernotaksis monosit, aktivitas NK sel, IL-1, IL-2, IL-4, IL-8, IL-10, IL-12. TNF, produksi immunoglobulin, prostaglandin E2
Konsentrasi lokal neurotransmiter simpatik sangatpenting untuk imunomodulasi, sehingga kehilangan secara lengkap dari serabut saraf simpatik pada eksperimen simpatektomi akan mengurangi keradangan karena jalur a-2 adrenergik di hilangkan.
Dari salah satu studi menunjukkan konsentrasi yang rendah dari P-adrenoseptor pada limfosit sinovial pasien AR, dan menyebabkan penurunan kadar cAMP intraselular (penurunan jumlah reseptor 1) sehingga menimbulkan keadaan prokeradangan dari sel tersebut. Pada studi yang lain tidak mengkonfmasikan jumlah yang rendah dari P--adrenoseptor, tetapi mendapatkan penurunan ekspresi dan aktivitas G protein receptor coupled kinase dalam monosit pasien AR. Pengurangan aktivitas kinase akan menghasilkan stabilisasi jalur signaling b-adrenoseptor (Gambar 4), jalur kemokin dan substansi P. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan produksi cAMP dan penghambatan sekresi TNF oleh rangsangan P-2 adrenergik pada monosit pasien AR. Pengobatan yang menggunakan bahan penginduksi cAMP pada pasien AR memberi efek yang menguntungkan, pengobatan dilakukan dengan injeksi p- adrenergik agonis atau sintesis analog cAMP kedalam sendi. Dosis rendah methotrexate (MTX) memberikan efek anti-keradangan, melalui induksi akumulasi adenosin ekstraselular yang berikatan dengan reseptor A2 dan peningkatan cAMP intraselular. Studi terakhir dengan kelompok yang sama menunjukkan bahwa obat anti reumatik yang lain seperti sulfasalazin atau salisilat menimbulkan efek anti keradangan melalui peningkatan konsentrasi adenosine ekstraselular. Kemungkinan lain efek lokal sistem simpatis melalui pelepasan opioid endogen yang terlokalisir pada ujung terminal saraf simpatik. Beberapa studi saat ini menunjukkan bahwa injeksi intra artikular terutama menggunakan p-opioid-agonis morfin spesifik dapat mengurangi keradangan pada AR yang kronik. Neurotransmiter simpatis norepineprin (melalui P), adenosin (melaluiA2) atau opioid endogen (melalui p) akan dapat menimbulkan efek anti-keradangan, hanya jika serabut saraf simpatik ada pada jaringan sinovial. Studi terakhir yang panjang pada pasien AR yang lama (rata-rata sakit 10 tahun) menunjukkan pengurangan serabut saraf simpatis yang sangat bermakna dibandingkan pasien OA, keadaan ini tergantung dari derajat keradangan pasien AR Hal ini bunglunkan karena pengurangan serabut saraf simpatis pada penyakit kronik akan menyebabkan uncoupling keradangan lokal dari input anti-keradangan oleh SSP Substansi P sebagai neurotransmiter utama prokeradangan, telah diakui sacara luas. (Tabel 1) Pemberian lokal antagonis substansi P secara bermakna mengurangi beratnya keradangan pada binatang model. Lebih lanjut pada keadaan normal substansi P mensensitisasi serabut saraf afferen artikuler dan pada tikus yang mengalami keradangan pada sendi lututnya, sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap tekanan mekanik, nyeri dan peningkatan terus menerus dari pelepasan substansi P ke dalam lumen sendi. Substansi P memberikan rangsangan sensasi nyeri yang terus
-
[NTERAKSINEUR0UlNNOENDOKRINOUX;I PADAPROSESINF
menerus di perifer. Kapsaisin sebagai obat analgesik, yang primer merusak terminal afferen saraf sensoris, saat ini telah dipergunakan sebagai obat topikal analgesik pada artritis reumatoid. Ada tidaknya afferen serabut saraf sensoris pada jaringan sinovial yang terkeradangan sampai saat ini masih menjadi pertanyaan. Seperti pada penemuan serabut saraf simpatlk, kadar substansi P berkurang pada jaringan sinovial AR. Pada suatu studi perbandingan menunjukkan bahwa kadar substansi P yang agak tinggi di dapatkan pada pasien AR dibandingkan dengan pasien OA. Perbandingan langsung substansi P dan serabut simpatik menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 10:1, untuk afferen sensoris primer dibandingkandengan efferen simpatis,jurnlah afferen sensoris yang besar ini tergantung dari keradangan lokal. Kesimpulannya adalah bahwa jumlah yang berlebihan ini mungkm menyebabkan keadaan prokeradangan yang tidak baik, kondisi ini mendukung proses penyakit AR.
-
di sel-sel perifer seperti makrofag. Androgen seperti halnya testosteron, mempunyai kemampuan anti keradangan. DHEA dan DHEAS, merupakan kumpulan hormon yang bertanggungjawab pada kondisi anti-keradangan di perifer, pada saat kelenjar gonad mengalami involusi selama proses penuaan. DHEA mempunyai reseptor intraselular yang berpengaruh langsung pada efek anti-keradangan pada manusia dan hewan. Secara umum, androgen pada konsentrasi fisiologis cenderung untuk menekan respons imun. Pada konsentrasi fisiologis (10-8 M) dan farmakologis (konsentrasi yang lebih tinggi dari fisiologis) (lo4 M) testosteron mampu menghambat sekresi IL-1P oleh monosit pada pasien AR. Pada konsentrasi fisiologis testosteron menghambat sintesa IL-1 pada Mturprimer makrofag sinovial manusia. Pada studi lain dihidrotestosteron mampu menekan ekspresi dan aktivitas human IL-6 gen promotor pada fibroblast manusia. Hal ini mendukung konsep anti keradanganlefek imunosupresif androgen. Secara umum pada konsentrasi fisiologis, estrogen meningkatkan respons imun dan terutama berperan sebagai stimulator imunitas hurnoral. (Gambar 5). Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa 17 P - estradiol mampu meningkatkan produksi IgG dan IgM oleh PBMC pada pria dan wanita, tanpa merubah viabilitas atau proliferasi sel.Studi lebih lanjut mengkonfirmasikan bahwa 17 Pestradiol mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi poliklonal IgG yang meliputi anti double stranded DNA IgG pada PBMC pasien SLE oleh peningkatan aktivitas sel B melalui IL-10. Efek estrogen bimodal pada produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF), pada konsentrasi farmakologis yang tinggi M) terjadi penurunan sintesa, dan peningkatan produksi sitokin terjadi pada konsentrasi fisiologis (51O4M). Ditunjukkanjuga bahwa estrogen mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sekresi matriks rnetaloproteinase oleh sinoviosit . Kadar estrogen serum pasien dengan AR tidak mengalami perubahan yang berbeda dengan kadar androgen. Hormon steroid dapat dikonversi di sepanjang jalur aktivasi hormon di perifer. Dari hasil penelitian ditunjukkan . bahwa konversi DHEA terjadi di dalam makrofag dan tergantung dari status diferensiasi serta adanya endotoksin. Pada wanita posf menopause dan pria tua, ketersediaan DHEA adrenal sangat penting untuk memelihara kadar hormon seksual secara bermaha di perifer. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti makrofag atau sel imun perifer lain yang mampu mensintesishormon steroid dalam jumlah cukup dengan menggunakan kolesterol. '
I
'
I
Gambar 4. Keterlibatan dari serabut saraf simpatik dan sensoris pada keradangan jaringan sinovial artritis reumatoid
PERAN NEURO ENDOKRIN PADA MODULASI RESPONS IMUN
Selama lebih dari 50 tahun telah dipelajari secara intensif efek multipel anti keradangan kortisol. Hormon ini mempunyai aktivitas yang multipel sebagai anti keradangan, meliputi: penghambatan sitokin, fagositosis, kerusakan oksidatif, dan menginduksi siklooksigenase 2 (Tabel 1). Selain itu, kortisol secara langsung mengaktifkan respons imun Th-2 in vivo, melalui peningkatan sitokin anti keradangan IL-10. Beberapa studi menunjukkan efektivitas dari terapi glukokortikoid pada binatang dengan artritis clan pada pasien AR. Disimpulkan bahwa pada konsentrasi fisiologis yang tinggi, kortisol (1C610") akan berfungsi sebagai anti keradangan Dua horrnon adrenal yang disekresikan karena pengaruh stimulasi ACTH adalah dehydroepiadrosterone @HEA) dansulfatedderivativeDHEAS. DHEA merupakan hormon aktif, yang dapat dkonversi dari reaksi androgen
PENGARUH SISTEM SIMPATIS PADA RESPONS IMUN
Hormon epineprin adrenal, neurotransmiter simpatis norepineprin dan adenosin (setelah konversi dari ATP)
mempunyai peran. ganda dalam imunomodulasi, karena ikatan mereka pada G protein-coupled receptor subtypes yang berbeda. Epinefiin lebih cenderung berikatan dengan P-adrenoceptor (reseptor 1, pada konsentrasi fisiologis tinggi a-adrenoseptorjuga menunjukkan sebagai reseptor 2), dan norepineprin lebih senang berikatan dengan a-adrenoceptor (reseptor 2, pada konsentrasi fisiologis tinggi P-adrenoceptorjuga menunjukkan sebagai reseptor 1). Adenosin lebih suka berikatan dengan reseptor A1 (reseptor 2). Pada konsentrasi fisiologis tinggi juga berikatan dengan reseptor A2 (reseptor 1). Ikatan Padrenoseptor atau reseptor A2 meningkatkan kadar CAMP intraselular, dan ikatan a,-adrenoceptor atau reseptor A1 menurunkan kadar cAMP intraselular(Garnbar 6). Synovlal fluld, Cartilage, Bone TNF IL-~P IL-6
t
IgG
IL-4 11-2 lFb
t
t
~~ Macrophage
B lymphocyte
T lymphocyte/
Synovlal tissue
Garnbar 5. Efek langsung dan tidak langsung dari androgen (A) dan estrogen (E) pada produksi sitokinlimunoglobulinoleh sinoviall sel-sel imun pada jaringan sinovial pasien Rheumatoid Arthritis. Tanda (+) : perangsangan dan tanda (-) : penghambatan.
kadarnya, ha1 ini berhubungan dengan aktivitas antikeradangan yang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi fisiologis 1O4 M. Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter prokeradangan (Tabel 1). Sebagai contoh, substansi P mampu menstimulasi IL- 1, IL-2, TNF dan Nuklear Factor KB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa substansi P merupakan agen prokeradangan yang poten. Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah dibuktikan. Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi respons imun yang lebih h a t dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada pengobatan asma secara lokal atau sistemik,P-adrenergik agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang simultan aksis HPA melalui peningkatan kortisol dan aksis adrenerglk melalui peningkatan norepineprin, mempunyai efek tambahan dalam meningkatkaa cAMP intraselular (Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel. Kortisol akan membantu meningkatkan produksi norepineprin dan epineprin dari saraf simpatisterminal dan medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara bersamaan dengan konsentrasi lokal lo4 - 10" M mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik hams diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit keradangan kronik.
PERJALANAN PENYAKIT ARTRlTlS RELIMATOID: SEBUAH MODEL UNTUK INTERAKSI NEUROENDOKRIN IMUN
-
Garnbar 6. Jalur anti-keradangan yang sinergistik antara kortisol dan neurotransmiter- neurotransmiter simpatik.
Secara umum peningkatan tonus simpatik akibat dari aktivitas saraf simpatis akan menghasilkan peningkatan kadar epineprin, norepineprin, dan adenosin (sesudah konversi dari ATP) pada sirkulasi sistemik dan disekitar saraf terminal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan CAMPintraselular pada beberapa sel target. Peningkatan CAMPoleh mekanisme ini mampu merangsang beberapa efek anti-keradangan pada mekanisme imun. Konsentrasi lokal molekul efektor simpatik penting untuk diperkirakan
Pada fase awal atau aktivasi dari penyakit, jalur imun alamiah clan adaptif diaktifkan untuk mengelirninasi faktor pencetus yang mungkin untuk AR, pada lingkungan mikro sinovial. Pada fase ini, adanya respons imun prokeradangan yang kuat untuk mengeliminasi faktor pencetus lokal, akan menyebabkan aktivasi organ-organ jauh seperti SSP, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal dm hati .Pada fase awal respons prokeradangan, terjadi umpan balik anti-keradangan untuk mengontrol proses keradangan di sendi-sendi yang jauh. Namun, setelah beberapa rninggu, proses keradangan tidak dapat dikontrol lagi secara adekuat karena aksis HPA dan aksis HPG akan menghasilkan hormon steroid anti-keradangan dalam jumlah yang kurang dan sangat tidak sesuai untuk
-
2441
INTERAKSl NEUROlMUN0ENDOKRLNOUX;I PADA PROSES INFLAWIS1
mengatasi keradangan tersebut. Pada kenyataanya serum kortisol dan kadar androgen gonadladrenal rendah pada keradangan menahun, tetapi kadar serum estrogen tetap normal. Secara simultan dalam periode 14 hari dari fase akut penyakit, jumlah serabut saraf simpatis dan serabut saraf sensoris menurun. Regenerasi serabut saraf terjadi inkomplit dan terbatas hanya pada serabut saraf sensoris saja setelah fase akut keradangan. Hasilnya substansi P dari serabut saraf hampir mencapai kadar normal selama perjalanan panjang dari penyakit, tetapi didapatkan kadar yang sangat rendah dari serabut saraf simpatis. Selanjutnya,kedua hormon steroid dan neurotransmiter anti-keradangan dari sistem saraf simpatis (antikeradangan hanya terdapat pada konsentrasi tinggi) di sekresi dalam jumlah rendah yang sangat tidak memadai (Gambar 7).Kondisi ini menyebabkan ketidak seimbangan yang berkelanjutan pada lingkungan mikro sinovial dan menyebabkan perburukan penyakit, walaupun pada situasi tanpa adanya trigger awal yang persisten. Pada skenario patogenesa AR ini, mekanisme patogenik yang telah diketahui pada lingkungan mikro sinovial lokal (mekanisme imun lokal) juga dipertimbangkan bersama-sama dengan konsep yang mengalami beberapa perubahan dari dua jalur umpan balik utama sistem anti-keradanganyaitu aksis HPA dan aksis HPG (Gambar 7)
Taraet
Teraai
Substitusi kelenjar adrenal Substitusi kelenjar gonad
Kortisol dan analognya : dehidroepiandrosteron Testosterone (pasien pria); progesteron (estrogen) Adenosin lokal (meningkat dengan metotrexat, sulfasalazin, salisilat); opioid lokal (popioidergic seperti morpin); P-agonis adrenergik lokal; mekanisme peningkatan CAMP lokal Antagonis Neurokinin receptor; kaspaisin lokal
Substitusi sistem saraf simpatis lokal Qalurantikeradangan)
Blokade substansi P
Pada suatu studi besar double blind dengan kontrol plasebo terhadap pasien dengan SLE aktif ringan, menunjukkan bahwa DHEA menghasilakan efek hemat glukokortikoid. Pada waktu yang lebih singkat (4 bulan) studi terbuka terhadap pasien AR, tidak ditemukan efek DHEA pada aktivitas penyakit, namun studi ini tidak difokuskan pada densitas mineral tulang dan paramater jangka panjang lainnya. Efek klinis yang positif, misalnya terpeliharanya densitas mineral tulang dan perlindungan dari atherosklerosisdiharapkan timbul setelah 1 tahun dan bukan dalam waktu 4 bulan. DHEA di perifer di ubah oleh sel target (rnisal makrofag) menjadi sejumlah testosteron dan estrogen yang mencukupi, sehingga DHEA dapat dipakai sebagai tambahan terapi pengganti testosteron atau i i dn.w.*;, ; ' ' a; ....... 11 ........ I. . . . . . estrogen pada pria atau wanita dewasa yang menderita AR. Terapi penganti hormon dengan DHEA dapat dipertimbangkanuntuk dipakai sebagai terapi pada pasien AR, jika kadar hormon tersebut menurun secara signifikan. Hal ini bermanfaat pada pasien yang secara simultan menerima terapi kortikosteroid dan berisiko tinggi untuk osteoporosis. Studi jangka panjang diperlukan untuk Gambar 7. Ringkasan skenario patogenesis penyakit kronik pada mengevaluasi efek yang mungkin timbul dari terapi reurnatoid artritis pengganti hormon pada pasien tanpa osteoporosis. Kadar serum estrogen yang normal pada pasien AR dan fimgsi estrogen sebagai pemacu respons imun seperti PlLlHAN PENGOBATAN BERDASARKAN diuraikan sebelumnya, menunjukkan kerterkaitan yang PERSPEKI'IF IN'TERAKSI NEUROENDOKRIN-IMUN lemah dalam pengujian terapi pengganti hormon estrogen pada pasien AR. Ketertarikan akan pengaruh estrogen ini Pendekatan terapeutik yang baru hams dipertirnbangkan terlihat pada penggunaan kontrasepsi oral yang rnemiliki seiring dengan adanya perubahan jalur umpan balik antiefek protektif terhadap perkembangan RA. Hasil dari keradangan pada AR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya beberapa studi terkontrol dengan kontrasepsi oral ternyata interaksi imun-endoknn, substitusi kortisol pada pasien memberikan hasil yang saling bertentangan. Studi terbaru AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi menunjukkan hanya pada pemakaian awal dari kontrasepsi yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan oral, pada saat fase inisiasi dari AR yang memiliki efek keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah proteksi dari keradangan poliarthritis. Sampai saat ini, (2 7,5 mg Prednisonlhari) telah ditetapkan dalam belum ada kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen penggunaan kontrasepsi oral dan kaitannya dengan adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang prevensi dan perkembangan RA. Namun jika ada efek, ha1 menguntungkan pada penyakit keradangan kronik. Ikh*no
.d.ofmkl.m
'
i2
-
itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral hanya merupakan modulator yang lemah pada AR. Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif estrogen (SERM - Selective Estrogen Receptor Modulators) dapat diperhitungkan.Kandidat SERM dapat menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek prokeradangan sel imun. Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya, tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang paling menjanjikan. Studi terbaru mendukung adanya efek positif dari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial. Terapi penggantian sistem saraf simpatis iokal hams ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar CAMP intasel pada sel imun target (Tabel 1). Peningkatan lokal dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor A2 sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan dengan sulfasalazin atau salisilat. MTX dosis rendah merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin, ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis m-opiodergik dan agonis b-adrenergik akan menjadi prinsip yang sangat penting. Substansi-P merupakan neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal AR Berdasarkan pilihan terapi ini, perlu dikaji beberapa percobaan farmakologi klinis untuk dilakukan pada pasien dengan AR. Ini di mungkinkan untuk dijadikan percobaan di masa mendatang, yang memerlukan penelitian multisenter dengan cara kontrol-plasebodan double blind, sebagai berikut : 1) Terapi kombinasi sistemik setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus DHEA dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang), 2) Terapi sistemik kombinasi pada pasien pria setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus testosteron dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang), 3) Terapi kombinasi sistemik setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah, korikosteroid dosis rendah plus obat anti depresan (misal amitriptilin dosis rendah atau antagonis substansi-P yang baru, MK-869) dibandingkan dengan MTX dan
kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang), 4) Terapi lokal dengan kombinasi kortikosteroid plus morfin dosis rendah dibandingkan dengan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir :pembengkakan sendi, skor nyeri, durasi efek). Hal-ha1 yang diungkapkan di atas merupakan 4 contoh kemungkinan percobaan klinik yang menunjukkan pandangan yang sesuai dengan patogenitas penyakit. Hal tersebut menunjukkan adanya pilihan pengobatan yang menawarkan strategi tambahan terhadap pengobatan AR berdasarkan pendekatan yang difokuskan pada faktor imun-neuroendokrin.
Dari uraian yang telah disajikan di atas, pernyataan berikut ini menjadi jelas : 1). Sekresi yang rendah dan tidak memadai dari kortisol sehubungan dengan keradangan merupakan gambaran yang tipikal dari penyakit keradanagan menahun 2). Sekresi androgen adrenal berkurang secara signifikan, yang menjadi problem pada wanita postmenopause dan pria usia lanjut karena kekurangan hormon seks. 3). Kadar serum testosteron berkurang secara nyata pada penyakit keradangan menahun. 4). Serabut saraf simpatik berkurang secara nyata di jaringan sinovial pada pasien dengan artritis menahun sedangkan serabut saraf sensorik prokeradangan (substansi-P) masih ada. 5). Substansi-P bekerja untuk terus menerus merasakan rangsang nyeri di perifer, dan input nosiseptif dari sendi yang meradang menunjukkan amplifikasi yang besar pada medula spinalis. Hal ini menyebabkan nyeri yang terus menerus dengan stabilisasi input afferen sensori dan pelepasan yang kontinyu dari substansi-P prokeradangan di lumen sendi. Dari fakta ini jelas bahwaperubahan sistem umpan balk anti-keradangan memberikan sumbangan yang penting pada patogenesis artritis menahun. Terapi yang di tujukan pada perubahan ini, harus menghasilkan sebuah mekanisme untuk menggantikan kelenjar adrenal (glukokortikoid), kelenjar gonadal (androgen), dan serabut saraf simpatik (peningkatan adenosin oleh MTX dosis rendah, sulfasalazin dan salisilat) untuk mengintegrasikan efek imunosupresinya di tempat lokal dari proses keradangan sendi tersebut. Walaupun proses lokal dari sistem imun adaptif penting pada patogenesis fase akut artritis, mekanisme ini menjadi kurang penting pada fase kronik dari penyakit ini dimana tidak ditemukan faktor pencetus yang spesifik. Adanya defek dari sistem umpan balik anti-keradangan merupakan faktor penting pada perburukan artritis menahun. Pendekatan terapi kombinasi dengan dasar imun-neuroendoknn merupakan kepentingan yang mendasar dalam terapi artritis menahun yang berorientasi secara patogenik.
-1
NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI PADA PROSESINFLAMASI
Baenvald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR, Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor. BrJ Rheumatol 1997;36: 1262-9. Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ; 42 : 2499 - 506. Carson DA. Rheumatoid arthritis: pathogenesis and future therapies. Annual Scientific Meeting of the American College of Rheumatology; 1999 Nov 13-1 7;Boston. Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, DI Falco M, Bellavia V, Carmba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N Y Acad Sci 1999:876: 180-91; discussion 191-2. Chikanza IC, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS. Defective hypothalamic response to immune and inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8. Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and imune-mediated inflammation. N Engi J Med 1995:332:1351 - 62. Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et al. Androgen metabolism and inhibition of interleukin-1 sythesis in primary cultured human synovial macrophages. Mediators Inflamm 1995;4: 138. Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Carmba G, et al. Evidence for the presence of androgen receptors in the synovial tissue of rheurnatiod arthritis patients and healthy controls. Arthritis Rheum 1992 ; 35 :1007-15. Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AT, Estrogens, the immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995; 13:2 17-26. Cutolo M, Wilder R. Different roles for androgens and estrogens in the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases. Rheum Dis Clin North Am 2000 ; 26:825 - 39. Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ; 27 : 559 - 63. Ehrhart-Bomstein M, Hinson JP, Bomstein SR, Scherbaum WA, Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998;19: 101 -43. Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C, et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone, cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998;37: 1 138-9. Firestein CIS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in rheumatoid arthritis synowium. Am J Pathol 1996: 149:2 143 - 5 1. Hales DB, Interleukin-l inhibits leydig cell steroidogenesis primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase / C 17-20 lyase cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;13 1:2 165-72. Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxford) 1999:38:298 - 302. Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin 1 synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988; 10:247 - 52. Imai S, Takunaga Y, Konttinen YT, Maeda T, Hukuda S, Santavirta S. Ultrastructure of ihe synovial sensory peptidergic fibers is distinctively altered in different phases of adjuvant induced arthritis in rats : ultramorphological study Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G. Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage immunoregulation. Lancet 1981 ; 2: 839-42.
2443
Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human PBMCs: J , A l l e r g y Clin lmmunol 1999;103:282 - 8. Khalkali-Ellis Z, Seftor EA; Nieva DRC, Handa RJ, Price RH Jr, Kirschmann DA, et al. Estrogen And progesterone regulation of human fibroblast-like synoviocyte function -in vitro: implications in rheumatoid arthritis. J *Rheumatol-2000;27:1622-3 1. Konttinen YT, Kemppinen P, Segerberg M, Hukkanen 'M, Rees R, Santavirta S, et al. Peripheral and spinal neural 'mechanism in arthritis, with particular reference to treatment of inflammation~andpain. Arthritis Rheum 1994 ; 37 : 965 - 82.. Laemont KD, Schaefer CJ, Juneau pL,' Schrier DJ. Effects of the phosphodiesterase inhibitor rolipram on streptococcal cell wall-induced arthritis in rats. Int J Immunopharmacol 1999;21:711-25. Lechner 0, Wiegers GJ, Oliveira-Dos-Santos AJ, Dietrich H, Recheis H, Waterman M, et al. Glucocorticoid production in the murine thymus. Eur J Immunol 2000;30:337 - 46. Levine JD, dark R, Devor M, Helms C, Moskowitz MA, Basbaum Al. lntraneuronal substance P contributes to the severity of experimental arthritis. Science 1984;226:547-9. Li ZG, Danis VA, Brooks PM. Effect ofgonadal steroids on the production of IL-I and 1L-6 by blood mononuclear cells in vitro. Clin Exp Rheumatol 1993;! 1:157-62. MacDiarmid F, Wang D, Duncan LJ, Purohit A, Ghilchick MW, Reed MJ. Stimulation of aromatase activity in breast fibroblasts by tumor necrisis factor alpha. Mol cell Endocrinol Metab 1994; 106:17-21. Mapp PI, Kidd BL, Gibson SJ, Terry JM, Revel1 PA, Ibrahim NB, et al. Substance P, calcitonin gene-related peptide- and C flanking peptide of neuropeptide Y-immunoreactive fibres are present in notmal synovium but depleted in patients with rheumatoid arthritis. Neuroscience 1990;37:143-53. Masi AT, Bijisma JW, Chikanza IC, Pitzalis C, Cutolo M. Neuroendocrine, immunologic, and microvascular system interactions in rheumatoid arthritis : physiopathogenetic and theraupeutic perspectives. Semin Arthritis Rheum 1999 ; 29:65-81. Matucci-Cerinic MM, Konttinen Y, Generini S, Cutolo M. Neuropeptides and steroid hormones in arthritis. Curr Opin Rheumatol 1998 ; 17 : 64 - 102. Miller LE, Justen H-P, Scholmerich J, Straub RH. The loss of sympathetic nerve fibers in the synovial membrane of patient with rheumatoid arthritis is accompanied by increased norepineprine release from synovial cells. FASEB J 2000,14:20972107. Muller-Ladner U, Kriegsmann J, Franklin BN. Matsumoto S, Geiler T, Gay RE, et al. Synovial fibroblasts of patients with rheumatiod arthritis attach to and invade normal human cartilage when engrafted into SC 1 D mice. Am J Pathol 1996: 149: 1607-15. 33. Naitoh Y, Fukata J, Tominaga T, Nakai Y, Tamai S, Mori K, et al. Interleukin-6 stimulates the secretion of adrenocorticotropic hormone in conscious, freely-moving rats. Biochem Biophys Res Commun 1988; 155:1459 - 63. Niijima A, Hori T, Aou S, Oomura Y. The effects of interleukin- l beta on the activity of adrenal, splenic and renal sympathetic nerves in the rat. J Auton Nerv Syst1991;36:183-92. Sanden S, Tripmacher R, Weltrich R, Rohde W, Hiepe F, Burmester OR, et al. Glucocorticoid dase dependent downregulation of glucocorticoid receptors in patient with reumatic diseases. J Rheumatol 2000;27: 1265-70. Schmidt M, Kreutz M, Loffler G, Scholmerich J. Straub RH. Conversion of dehydroepiandrosterone to downstream steroid
-
hormones in macrophages. J Endocrinol 2000:164:161 9. Seriolo B, Cutolo M, Gamero A, Accardo S. Relationships between serum 17 beta-oestradiol and anticardiolipin antibody concentrations in female patients with rheumatoid arthritis. Rheumatology (Oxford) 1999;38: 1159 - 6 1. Spector TD,Perry LA, Tubb G, Silman AJ, Huskisson EC. Low free testosterone levels in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 1988;47:65 8. Strenberg EM, Komarow HD. Neuroendocrine immune interactions. Principles and relevance to systemic lupus erythematosus. In Wallace DJ., Hahn BH (eds). Dubois lupus erythematosus 6' ed. Lipincott William, Wilkins. Philadelphia.-2002. 319-338.
-
Takeda T, Mizugaki Y, Matsubara L, Imai S, Koike T, Takada K. Lytic Epstein-Barr virus infection in the synovial tissue of patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43 : 1218 25. Trang LE, Lovgren 0, Roch-Norlund AE. Horn RS, Waalas 0, Cyclic nucleotides in joint fluit in rheumatoid arthritis and in reiter's syndrome. Scand J Rheumatol 1979;8:91-6. Van der Poll T, Barber AE, Coyle SM, Lowry SF. Hypercortisolemia increases plasma interleukin-10 concentrations during human endotoxemia - a clinical research center study. J. Clin Endocrinol Metab 1996;81:3604 - 6.
-
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi
Sebelum melangkah lebih lanjut sebaiknyaterlebih dahulu dikenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam menggunakannya. Berbagai istilah yang perlu diketahui adalah : Artralgia: merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisis tidak didapatkan kelainan. Artritis: kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi disertai tanda inflamasiyang komplit (tumor, rubor, kalor, dolor, gangguan hngsi) Monohtis: h t i s yang hanya mengenai satu sendi saja. Oligo artritislpausi-artikular:artritis yang menyerang 2 sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam ha1 ini sendi interfalang distal = DIP, sendi interfalang proksirnal = PIP, sendi metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis, sendi metatarsofalangeal = MTP dan sendi tarsalis merupakan kelompok sendi yang kecil yang di hitupg sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa sendi. Contoh bila yang diserang sendi PIP 11, PIP 111, PIP IV, dan PIP V baik secara serentak atau berurutan maka di hitung hanya sebagai satu sendi yang terserang. Poliartritis: artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Sinovotis: inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata Tenosinovitis: inflamasi sarung tendon Tendinitis: inflamasi tendon Bursitis : inflamasi bursa Entesopati: inflamasi atau kelainan entesis (tempat melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke periosteum tulang).
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan pasien.
Umur Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi fiekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Jenis Kelamin Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tibe1 2 dapat dilihat perbedaan tersebut. Nyeri Sendi Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristikyang disebabkan oleh penekanan radiks saraf. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari mempakan
tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertarnbahberat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Pada artritis reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya serlimiting dan sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikular akibat suatu nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang berat. Nyeri yang menetap sepanjanghari (siang dan malarn) pada tulang merupakan tanda proses keganasan.
Usia Muda (2-25 th)
Usia pertengahan (30-50 th)
Penyakit Still + +/Spondilitis ankilosis ++ + Penyakit Reiter ++ + Demam reumatik ++ + Artritis pada kolitis ulseratif + ++ Artritis septik ++ + Gonokok Stafilokok dan infeksi lain + ++ +I++ Artritis gout Lupus eritematosus sistemik +++ ++ Artritis reumatoid ++ ++ + ++ Polimiositis + ++ Skleroderma SLE akibat obat + + + Penyakit paget + Osteoartritis Polimialgia reumatika + Penyakit deposit kalsium pirofosfat + +IOsteopenia + Mestastasis karsinoma atau mieloma multipel - : hampir tak pernah terjadi; +/- : sangat jarang; + : jarang; ++ : sering terjadi; +++ : sering terjadi
Artritis reurntoid Lupus eritematosus sistemik Spondilitis ankilosis Penyakit Reiter Artritis psoriatik Artropati intestinal Artropati reaktif Artritis gout Osteoartritis koksae Osteoartritis lutut dan tangan
Usle lanju(
(65+th)
+/+/-
+++ ++ + ++ ++ ++
+++ ++ +++ ++ +++ +++
+++
Pria c wanita (1 : 3) Pria c wanita Pria > wanita Pria > wanita Pria c wanita Pria = wanita Pria = wanita Pria > wanita Pria = wanita Pria wanita
biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears o f l . Lama dan beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis reumatoid ringan). Bengkak Sendi dan Deformitas Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan warna, perubahan bentuk atau perubahan posisi struktur ekstremitas.Biasanya yang dirnaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau sublukasi. Disabilitas dan Handicap Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehari-hari, aktivitas sosial ataumengganggu pekerjaanljabatanpasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang amputasi kakinya di atas lutut mungkm tidak akan mengalami kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap. Gejala Sistemik Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah temngsang. Kadang-kadang pasien mengeluh ha1 yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental. Gangguan Tidur dan Depresi Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan aktivitas seksual yang akhirnya akan menimbulkan problem perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikanpula adanyagejala depresi terselubung seperti rqtardasi psikomotor, konstipasi, ; mudah menangis dsb.
Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakan sendi (worn
on.Keadaan ini
Pemeriksaanjasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi :
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN P~SSP E N Y MUSKU~SKELETAL ~
Inspeksi pada saat diam 1 istirahat Inspeksi pada saat gerak Palpasi
Gaya Berjalan Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan swingphase. Pada heel strikephase, lengan diayun diikuti gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/ stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strikephase. Pada toe offphase, sendi koksae ekstensi dan turnit mulai terangkat dari lantai. Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi talokruralis. Gaya berjalan Heel strike phase Loading/stance phase Toeoflphase Swing phase. rya berjalan yang abnormal : Gaya berjalan antalgik,yaitu gaya berjalan pada pasien artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri. Gaya berjalan Trendelenburg, disebabkan oleh abduksi koksae yang tidak efektif sehingga panggul kontralateral akan jatuh pada swing phase. Waddle gait, yaitu gaya berjalan Trendelenburg bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat bergoyang. Gaya berjalan histerikaltpsikogenik, tidak memiliki pola tertentu. Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram h a t sebagai usaha agar tidak jatuh. Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping gait=steppage gait), yaitu gaya berjalan seprti ayam jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis anterior. Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan digerakkan ke samping dulu barn diayun ke depan karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan. Gaya berjalan ataktiklserebelar(broad basegait), kedua tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai secara berjauhan satu sarna lain. Gaya berjalan parkinson (stopping,festinant gait), gerak berjalan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-
2447
tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan, lengan tidak diayun. Scissor gait, yaitu gaya berjalan dengan kedua tungkai bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lain secara bergantian.
Gays Berjelan 1. Heel sfrike phaser, 2. Loadinglsfancaphaser, 3. Toe-offphase; ISwingphas
Garnbar 1. Gaya berjalan 1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4. swing phase
Sikaplpostur Badan Perlu diperhatikanbagaimana cara pasien mengatur posisi bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan. Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas spondilitis ankilosa. Deformitas Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu varus, genu valgus, genu rekuvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara lain boutonniere finger, swan neck yifirtger, ulnar deviation, subluksasi sendi metalcarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable-Zshaped
'
thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.
merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak jauh dari batas daerah sendi merupakan tanda bursitis atau entesopati.
~erubahanKulit Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan eritema nodosurn. Kemerahan disertai deskuamasipada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi periartikular,yang sering pula merupakan tanda arttitis septik atau artritis kristal.
Pergerakan Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pa& satu arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas dibandingkan dengan gerakan aktif maka kemunghan ada gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi. Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan periartikular.Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka ha1 tersebut barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya pada : Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tan& tendinitis aduktor. Tahanan pada aduksi glenohumeral yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi pada tendon. Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis elbow. Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test, bila pasien mengkuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain (passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).
Kenaikan Suhu Sekitar Sendi Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamsi.
.
Bengkak Sendi Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya : Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda. Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pa& sisi posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen kolateral bagian lateral. Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot pektoralis. Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pa& sisi anterior.
Bulge sign ditemukanpada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit &lam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukanpijatanpada cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke sisi medial. Baloon sign ditemukan pada keadaan efusi denganjumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan pasif. Nyeri Raba Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan ha1 yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsuldartikular terbatas pa& daerah sendi
Krepitus Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung
ANAMNESIS DAN PEMEWCSAAN PISISPENYAKIT MUSKULOSKELXTAL
tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang. Bunyi Lainnya Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan ha1 yang biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan, keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap. Cloncking merupakan suaril yang ditimbulkan oleh permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan iga. Atrofi dan Penurunan Kekuatan Otot Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar otot. KetidakstabilanlGoyah Sendi yang tidak stabiVgoyah dapat terjadi karena proses trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamenl perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya. Gangguan Fungsi Fungsi sendi dinilai dengan obsewasi pada penggunaan normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk manilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup sehari-hari (activities of daily living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar, memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner daripada diperiksa langsung. Nodul Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umurnnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).
2449
Perubahan Kuku Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik, antara lain: Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan penyakit Reiter kronik. Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada vaskulitis pembuluh darah kecil. Lesi Membran Mukosa Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung, telangiektasia. Gangguan Mata Gangguan mata meliputi : Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis dan polikondritis. Intis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter kronik. Irdosklitis pada arh-itisjuvenilkronik jenis pausiartikular. Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom sika. EVALUASI SEND1SATU PERSATU Sendi Temporomandibular (temporomandibular joint = TMJ) TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat di palpasi dengan meletakkanjari di anterior liang telinga dan menyuruh pasien untuk membuka dan menutup mulut dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan mengukurjarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar 3-6 cm. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan mengakibatkan mikrognatia. Pada artritis yang berat, dapat dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking. Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan Sternokostal Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial klavikula dan kedua sisi batas atas sternum. Di keduanya terdapat sendi sternokostal I. Sendi manubriosternal
terletak setinggi sendi sternokostalI1. Sendi stemokostal 111 sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi sternum di distal sendi sternokostal 11. dari ketiga sendi tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat diartrosis., sedangkan sendi yang lain merupakan amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular, berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi ini akan mudah dillhat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan osteoahtis. Pada sendi sternokostal, sering hdapatkan nyeri pada sendi tersebut atau rawan iga, keadaan ini disebut osteokondritis. Sendi Akromioklavikular(acromioclavicularjoint ACJ) ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati depan dinding dada, menunjukkan adanya kelainan pada ACJ. Sendi Bahu Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid, sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan menggembung ke anterior. Palpasi sendi bahu dan strkturstruktur di sekitarnya hams di ikuti dengan pemeriksaan lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus memeriksa kemungkinan cedera dan rotator cuff. Tendon yang membentuk rotator cuff terdiri dari ligamen supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukan resisted active movements sendi bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari lesi pada tendon bisep, resisted active abduction untuk mencari lesi pada tendon supraspinatus, resisted active external rotation untuk mencari lesi pada tendon infiaspinatus dan teres minor dan resisted active internal rotation untuk mencari lesi pada tendon suskapularis. Tes Speeddilakukanpadaposisi siku ekstensi, kemudian pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa menahannya. Tes ini positif bila pasien merasa nyeri pa& bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90°, kemudian pasien melakukan supinasi, sementarapemeriksa berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif bila pasien kesakitan. Pada resistedactiveabduction pasien melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien tidak menimbukan nyeri, maka nyeri berasal d m bursa subakrornnion. Pada resistedactive external rotation pasien
.
melakukan rotasi eksternal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan, sedangkan resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi internal sendi bahu dan pemeriksamenahannya.Tes positif bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga hams dicari kemungkman robekan rotator cuffyangdapat diperiksa dengan drop-armsign, yaitu pasien tidak mampu menahan abduksi pasif 90" sendi bahu. Sendi Siku Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaitu sendi humeroulnar yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan lateral sulkus paraolekranon, sedangkan latau 2 jari lainnya pada medial olekranon. Siku harus dalam keadaan santai, digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikonhlus lateral dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral
m
i
BAHU
--
: ;.-.A
7
a---,*
*- .
J
a
o
BAHU atduksii adduks!
10mm
Garnbar 2. Gerak sendi siku
I
a mm 1 0
b
R
ANAMNESIS DAN PENlEWCSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSI
(tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer elbow). Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan 150° - 160" dan ekstensi 0". Gangguan ekstensi penuh menunjukkan tanda awal sinovitis. Hiperekstensi lebih dari 5" menunjukkan hipermobilitas. Pergelangan Tangan Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks. Tulang-tulangkarpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid, lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, trapezoid, kapitatum dan hamatum. Kedelapan tulang tersebut, di proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar pergelangan tangan di dalam sarung tendon di bawah fleksor retinakulurn (ligarnen transversum karpal). Fleksor retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk terowongan karpal. N e w s medianus melalui terowongan ini superfisial terhadap tendon fleksor. Aponeurosis palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren, aponeurosispalmar menebal dan kontarktur sehinggajarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal, pergelangan tangan dapat difleksikan 80"-90°, ekstensi 70°, deviasi ulnar 50" dan deviasi radial 30". Jepitan n e w s medianus pada terowongan karpal, akan menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus, yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah (tanda tinel). Palmar fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detik juga PERGELANGAN TANGAN FIebl- ebtend
PERGELANGAN TANGAN dwlasl radlwnler
L
u
u
R
Gambar 3. Gerak pergelangan tangan Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal (Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal joints = MCP, PIP, DIP)
akan mencetuskan parestesi (Phallen 's wristflexion sign). Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis (de quervain's stenosing tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkan nyeri pada daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein). Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada sendi karpometakarpal. Sendi MCP, PIP dan DIPmerupakan sendi engsel. Pada waktu jari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan dorsal tangan. Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar; deformitas &an neck yang merupakan fleksi kontraktur sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP; dan deformitas boutonniere yang merupakan kontraktur fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan hiperekstensi interfalangI. Pada osteoartritistangan sering didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi interfalang proksimal. Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi falang pada artritis psoriatik sehingga menimbulkan lipatan kulit yang konsentrik (opera-glass hand atau la main en lorgnette). Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga harus diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud, sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan hiperkeratosis subungual yang khas untuk artritis psoriatik dan jari tabuh (clubbingfinger) yang khas untuk osteoartritis hipertrofik. Sendi Koksae Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulurn. Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu. Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang h a t dan dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral Bertini, lig pubofemoral clan lig iskiokapsular.Send koksae juga dikelilingi oleh otot-otot yang h a t . Otot fleksor yang utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus maksimus dan harmstring muscle merupakan otot
6070
a 4 30
&
d, B"
KOKSAE
-
Fleksi (Tungkai Hiprekstensi lurus)
60 70 6o 50 40 Y)
20
20
10
-------
10
m
- --. ..
.
.~. ..
-
.
8
10
.0
.
I
I
.-,--.' , ,
10 ‘
lW "O,,
60 70
KOKSAE
-
Fleksl (lulut d~tekuk)
50 40
10
-
,
m
50
4
-
-0
10
M
KOKSAE M.
M QO
adukasi -adukasl
70
,
40
40 Y)
L
Em.
Y)
INT.
INT.
; '
a
10
' Y )
10
20
Em.
R.
Gambar 4. Gerak 'sendi koksae
ekstensor koksae. Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul terlihat miring, maka munglun terdapat skoliosis, anatomic leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi. Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada koksae danlatau gaya berjalan Trendelenburg pada kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes Trendelenburg,yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan terdapat kelemahan otot gluteus medius. Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan. Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan tes Thomas, yaitu dengan memfleksikantungkai yang sehat sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari
SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh yang tetap, misalnya xifisternum dan hasilnya disebut apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas. Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah anterior atau inguinal. Untuk menilai secara cepat geraksendi koksae, dapat dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan turnit pada bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam keadaan fleksi 90' clan dilakukan prosedur yang sama, maka disebut tes Fabere. Sendi Lutut Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yaitu patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral. Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat, ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial; dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut. Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela mempunyai fimgsi untuk memperbesar momen gaya pada waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, hams diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakandi atas patela, biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut, biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar (jumper b knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda, biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Osgood-Schlatter5. disease) Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat diperiksa adanya ehsi sendi. Stabilitas ligamen kolateral
-
2453
ANAMNIBIS DAN PEMER~KSAAN FISISPENYAKIT MUSKULOSKELETAL
dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100°;kondilus femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu sernentara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen krusiatum, lutut di fleksikan 90°, kemudian tungkai bergerak (drawersignp~sitfi,berarti sudah ada kelemahan ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitu tungkai diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi jempol pada 1 sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai bawah rotasi eksterna 15", bunyi snap yang teraba atau terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan dari posisi ekstensi ke fleksi 90" menunjukkan adanya robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30" dan digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan pada meniskus lateral.
Gambar 5. Deforrnitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut
Pergelangan Kaki Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar (true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi subtalar memunglunkan gerak inversi dan eversi dari kaki. Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi talus dari medial clan lateral dan memberikan kestabilan sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki sangat h a t pada bagian posterior dan memungkinkan untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi. Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini, menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila
tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan eversi oleh otot peroneus longus dan brevis. m - o Q 4 0 ~ 'O
EmEWMW Fleksi ~lantar-dorsal
Gambar 6. Gerak pergelangan kaki
Kaki Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan jari-jari k&. Kaki mempunyai struktur melengkung ke dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior. Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas kaki pada waktu bejalan dan berlari. Lengkung ini dapat betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity, mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti ekstensi dan subluksasiglantar sendi MTP disebut cock-up toe deformity. Nyeri pada turnit, sering disebabkan oleh plantar, spur, sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan oleh artritis gout.
Gambar7. kaki
Vertebra Vertebra hams diperiksa dalarn posisi duduk atau berbaring telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra, pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri. Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot
paraspinal hams selalu di palpasi untuk mencari adanya nyeri dan spasmus. Gerak vertebra servikal, meliputi antefleksi45", ekstensi 50"-60°, laterofleksi 45" dan rotasi 60"-80". Separuh dari fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian oksiput C 1, sedangkan,sisanya terbagi rata pada C2-C7. Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi atlantoaksial (odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson. Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adanya jepitan saraf. Pada foraminal compression test, leher dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test), nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, 1 tangan pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan pemeriksa yang lain diletakkanpada kepala kemudian bahu di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau hernia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam keadaan glotis tertutup, adanya kelainan di atas akan menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang sesuai. Tes Adson, digunakan untuk menilai adanyajepitan pada arteri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi yang diperiksa, jepitan arteri subklavia akan menyebabkan denyut arteri radialis melemah atau menghilang. Pada pemeriksaan vertebra lumbal, pasien sebaiknya disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai berbagai deformitas seperti lordosis lumbal, kifosis torak dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga hams diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal, dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal, kemudian ditentukan4 titik mulai dari prominentia spinosus sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik dengan titik lainnya masing-masing 10 cm. Kemudian pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut diukur lagi, dalam keadaan normal akan tejadi pemendekan
jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas adalah 50%, 40% dan 30%. Cara lain adalah dengan mengukurjarak C7-Th 12dan T 1 2 41dalam keadaan berdiri tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka jarak C7-T12 akan memanjang 2-3 cm, sedangkan jarak T12 - S1 akanmemanjang7-8cm. Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan tes Lasegue dan Femoral nerve stretch test. Tes Lasegue (SLR = sraight legraising) merupakan tes yang sering dilakukan. Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai, kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan sampai 70" dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri. Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif kakinya didorsofleksikan,nyeri yang timbul menandakan regangan dura, rnisalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot harmstring, atau nyeri dari daerah lurnbal atau sakroiliakal. Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai kontra latecal (cross over sign atau well leg raises test), menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersarna (SLR
Blleteral SLR
Garnbar 8. Gerak sewikal
--snemw
Garnbar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerve Strech Test
ANAMNESIS DAN-P
PISISPENYAKIT MUSKULQSKELETAL
bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70" mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila nyeri timbul pada sudut 70" mungkin berasal dari daerah lumbal. Pada femoral nerve stretch test, pasien disuruh berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut ditambah dan koksae diekstensikan.Bila timbul nyeri pada tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada L2, L3 dan LA. Sendi sakroiliakajuga hams diperiksa dengan seksama, karena pada spondiloartropati seronegatif, sering disertai sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi, kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes mi hanya bermakna bila lumbal clan koksae dalam keadaan normal.
2455
Doherty M, Doherty J. Clinical examination rheumatology. London :Wolfe Publishing; 1992. Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid analysis. 2nded. Philadelphia: Lea & Febiger; 1991. Michet CJ, Hunder GC. Evaluation of the joint. In: Kelly WN,Hans JED. Ruddy S et al eds. Textbook of Rheumatology. 4Ih ed. Philadelphia :WB Saunders; 1993.p.35 1-67. Shmeiling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic disease. In: Scumacher HR, Klippel JH,Koopman WJ,eds. Primer o n t h e rheumatic diseases. loahed. Arthritis Foundation. 1993.p.64:6
ARTROSENTESIS DAN ANALISIS CAIRAN SENDI Sumariyono
PENDAHULUAN
SlNOVlA
Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa di analogikanseperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik. Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shrnerling menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan diagnosis artropati kristal. Pa& umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki.
Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang mengisi mang sendi normal, cairan sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme &ri kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga befingsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai pelumas sinovia melumasi permukaan sendi yang mendapat beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia meningkatkan stabilitas clan menjaga agar permukaan sendi tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh $broblas-like B cells di dalam sinovium.
Sinovium adalahjaringan yang menutupi semua permukaan sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial manusia normal. Jaringan ini terdiri dari 1-3 lapis sel dan menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi. Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan menghasilkan sinovia atau cairan sendi.
FlSlOLOGl SlNOVlA (CAIRAN SENDI) Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadarnya didalam plasma, sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama hams melewati endotel mikrovaskular, kemudian hams melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya. Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke plasma tidak size selective . Setelah molekul protein melewati endotel dan masuk ke interstitiel, protein ini akan dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe. Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan
ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAIRAN SEND1
sinovia mencerminkan keseimbangan dari dua proses tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CSIP) dari protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3pada sendi lutut normal, sedang rasio fibrinogenjauh lebih kecil karena ukuranya jauh lebih besar. Relatif tidak adanya fibrinogen pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi normal tidak membeku. Pada efusi patologis, permeabilitas endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi menjadi beku.
Bahan dan Alat Spuit sesuai dengan keperluan Jarum spuit :no 25 untuk sendi kecil, no 21 untuk sendi lain, no 15 -8 untuk efusi purulen @us) Desinfektan iodine Alkohol Kasa steril Anestesi lokal (bila diperlukan) Sarung tangan Pulpen Plester Tabung gelas Tabung steril untuk kultur Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid
ARTROSENTESIS lndikasi Diagnostik Membantu diagnosis artritis Memberikan konfirmasi diagnosis klinis Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi. Terapeutik Artrosentesis saja - Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang lain. - Evakuasi serial pada artritis septik untuk mengurangi destruksi sendi. Pemberian kortikosteroid intraartikular - Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkman akan gagal atau merupakan kontraindikasi. - Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout. - Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat - Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi. Kontraindikasi Diagnostik Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi Bakteriemi Secara anatomis tidak bisa dilakukan Pasien tidak kooperatif Terapeutik Kontraindikasi diagnostik Instabilitas sendi Nekrosis avaskular Artritis septik
Prosedur Tindakan (umum) Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi : - Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu periksa foto sendi yang akan diaspirasi - Harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untukmenghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai iodine dan alkohol. Dokter hams memakai sarung tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan cairan sendi pasien. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan semprotan etiklorida. Bila diperlukan dapat digunakan prokain untuk anastesi lokal. Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakkan sendi. PROSEDURTINDAKAN (KHUSUS) Sendi Lutut Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah tonjolan suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas patella (cephalad border of patella). Tada ini akan masih terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di bawah titik tengah patella.
purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifikjarang bisa dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja. Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat dilaihat pada Tabel 2 dan 3.
Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada efusi sendi yang banyak.
Jenis pemeriksaan
Nilai normal
Rata rata
PH Jumlah leukosiffrnrn3 PMN Limfosit Monosit
7.3 - 7.43 13 -180 0 -25 0 -78 0 -71
7.38 63 7 24 48
0 -12
4
Protein total gldl
1.2- 3.0
1.8
Albumin (%)
56
Globulin (%)
37 -44
Sel sinovia
Garis tengah patela
- 63
0.3
Hyaluronat gldl
~oninflamasi n f l a m a s i (grup 11) (grup 1) Biasanya > 4 Biasanya > 4 Xantokrom Xantokrom atau putih Transparan Translusen atau opak Rendah Tinggi
Pumlen (Grup Ill) Biasanya > 4 Putih
Sedang sampai buruk Sering 3.000 -50.000
Buruk
Bekuan spontan Jumlah leukositlmm3
Sedang sampai baik Sering < 3000
Polimorfonuklear (%)
< 25 %
> 70 %
Kriteria
Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial
Volume (ml, lutut) Warna Kejernihan Viskositas
Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.
Rutin Perneriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas, potensi terbentuknya bekuan, volume Perneriksaan mikroskopis: jurnlah leukosit, hitung jenis leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop polarisasi dan fase kontras Khusus Mikrobiologi: pengecatan khusus (silver, PAS, Ziehl Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis, analisis antigen atau asarn nukleat rnikroba (PCR) Serologi: kadar kornplernen hernolitik (CHSo), kadar Komponen kornplernen (C3 dan C4), autoantibodi (RF. ANA, Anti CCP) Kimiawi: glukosa, protein total, pH, p02, asarn organik (asarn laktat dan asam suksinat), LDH (lactate dehydrogenase) Keterangan : ANA: antinuclear antibody; CCP :cyclic citrullinated peptide; PAS : periodic acid Schiff, RF : rheumatoidfactor
60 40
Bekuan musin
Opak Sangat rendah
Sering 50.000300.000 > 90 %
BEKUAN Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi "membran dialisat " sendi menjadi msak sehingga protein dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.
VOLUME PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3 -4 ml cairan sinovia. Pada kondisi sinovitis, yang mengakibatkan msaknya "membran dialisat" sendi, sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada mang sendi.
ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAlRAN SEND1
Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya sesuai dengan perbaikan klinis.
Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama cairan sinovia dan berperan penting pada lubrikasi jaringan sinovia. Pada penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau mengalami depolimerisasi, yang m e n d a n viskositas cairan sendi.viskositas merupakan penilaian tidak langsung dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia. Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi normal akan dapat membentuk juluran (string out) 7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan dengan cara menarnbahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2%. Pada cairan sendi normal atau kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan sendi kelompok I1 dan I11 (inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.
selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan memberikan warna kekuningan (xantochrome)pada cairan send inflarhasi. Leukosit akan membuat wama cairan sendi menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan berwama putih atau krem seperti pada artritis septik. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis kuman dan kristal yang ada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan, serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan dan laistal monosodium urat akan memberikan warna putih seperti susu.
Normal
Inflamasi
Purulenlseptik Hemoragk
Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi
Jumlah dan hitung Jenis Leukosit Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok inflamasi clan non inflamasi. Pada caiian sendi kelompok I1 seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya 3000-50.000 s e l l ml, sedang pada kelompok I11 jumlah leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi normal umurnnya PMN kurang dari 25%, sedang pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70% (inflamaii kelompok I1 PMN > 70%, kelompok 111> 90%).
Gambar3. Pemeriksaan viskositas (kekentalan) cairan sendi dengan string test
WARNA DAN KEJERNIHAN Cairan Sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia
Kristal Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama disebut polarizer yang diletakkan antara sumber cahaya dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizel: Dengan posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,
yang dilihat observer hanya lapangan gelap. Setiap bahan yang membiaskan cahaya (termasuk MSU atau CPPD) bila diletdckan pada objek gelas di antara kedua polarizing plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tamp& sebagai warna putih pada lapangan gelap. Gambaran pada lapangan gelap dapat .diperkuat dengan menambahkan kompensator merah yang diletakkan di antara kedua polarizingplate. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45 derajat terhadap analzer maupun . -polarizer. Kompensator ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar seperempat panjang gelombang, yang mengakibatkan lapangan pandang menjadi berwarna merah. Pada kondisi demikian kristal MSU atau CPPD akan berwarna kuning atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah kristal biru menjadi kuning dankuning menjadi biru Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar 40 urn (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang. Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel, dan berwarna biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering berbentuk rhomboid. CPPD berpendar lemah sehinggabagi yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini. Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan berwarna biru bila arah kristal paralel, dan akan berwarna kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow vibration dari kompensator.
PEMERIKSAAN MlKROBlOLOGl
Artritis septik hams selalu dipikukan terutarna pada artritis inflamasi yang : tejadi bersama dengan infeksi ditempat lain (endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan cairan sendi, arhitis septik termasuk kelompok 111, yang
EVEPIECE BirsMngent Crystal on mse background
ANALYZER
c o m ~ ~ k s m ~
SODIUM URATE cmAL
r i 6 '
Garnbar 6. Kristal Monosodium urat a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa. b.Kristal MSU pada lapangan pandang gelap dengan menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.
Garnbar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi
biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/ml. Tetapi kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi gambaran sebagai kelompok 11, sebaliknya cairan sendi kelompok I11 dapatjuga terjadi pada artritiis inflamasi non
c.Krista1 MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensatar merah; disini tampak kristal MSU berwarna kuning bila aksis kristal paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan berwarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis slow vibration dari kompensaror.
Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalm FKUYRSCM.
2461
ARTROSENTESISDANANALISA CAIRAN SENDI
infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa pengecatan dan biakan pada media khusus sangat membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk mycobacterium tuberkulosis dan jamur.
serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan ini adalah dapat mempersempit diagnosis banding artritis.
REFERENSI KESIMPULAN Artrosentesi dan analisis cairan sendi m e r u ~ a k a n pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus. Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan sendi abnormal dapat diielompokkan menjadi cairan sendi non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik. Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,
Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12Ih edit. 2001 : 138-144. Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid analysis. 2" edit. 199 1. Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland LW. Arthritis and allied conditions. ISth edit. 2005 : 81-96. Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In : Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis 2002 ; 61: 493-498.
PEMERIKSAAN CRP, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN Arnadi, IUG Suryadhana, Yoga IKasjmir
Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi merupakan garnbaran patologik jaringan yang utama. Pada proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut akibat kerusakanjaringan.Di samping itu faktor imunologis juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaanpenyakit reumatik diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium.
C-REACTIVE PROTEIN (CRP)
CRP merupakan salah satu protein fase akut. CRP terdapat dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalarn serum setelah terjadinya proses inflamasi.Awa1nyaprotein ini disangka mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel fagosit melalui jalurproinflamasi dan anti inflamasi.Pada proses tersebut., CRP diduga mempunyai peranan dalam proses inflamasi. Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah 2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan
relatif cepat dengan waktu paruh sekitar 18 jam. Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten menggambarkan adanya proses inflamasi kronik seperti arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan. Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2 mgldl.
Normal atau peningkatan tidak signifikan ( < 1 mgldl )
Peningkatan Sedang ( 1 - 10 mgldl )
Peningkatan tinggi ( > 10 mgldl )
Kerja berat Common cold Kehamilan Gingivitis Stroke Kejang Anaina
lnfark miokard Keganasan Pankreatitis lnfeksi mukosa bronkitis, sistitis ) Penyakit reumatik
lnfeksi bakteri akut Trauma berat Vaskulitis sistemik
Hamplr selalu ada
Serlng ada
Kadangkadangada
Demam reumatik, artritis reumatoid, infeksi bakteri akut, hepatitis akut
Tuberkulosis aktif,tumor ganas stadlum lanjut, leprosy, sirosis aktif, luka bakar luas, peritonitis
Sklerosis multipel, sindroma Guillain Barre, cacar air, pasca bedah, penggunaan alat kontrasepsi intrauterin
*
Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan adanya protein fase akut yang mencerminkan besaran
inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh peralihan yang relatif cepat dari CRP.' Terutama pada penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di anjurkan dalam situasi sebagai berikut: 1. Penapisan proses radanglnekrotik 2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal, septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis, komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan. 3. Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut ataupun infeksi intermiten 4. Diagnosis diferensial kondisi radangseperti SLE, AR ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan kistitis akutlpielomielitis
CARA PEMERIKSAAN CRP
Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahun 1947 berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka peluang pemeriksaan protein secara irnunokimiawi. Teknik endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25 tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat mendeteksi konsentrasi yang kurang dari 10 mikrograd cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang 2 mikrogradcc, sementara teknik radioimunoassay yang amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini sebenarnya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena tidak praktis tetapi lebih di utarnakan &lam pengembangan penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapunjuga, akhirakhir ini dikembangkan cara nephelometrik yang mengandalkan penggunaan peralatan yang rnenjamin ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif. Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam bentuk kit yang rneskipun tidak kuantitatif tetapi mungkin memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal penapisan adanya CRP.
Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks polystyrene yang permukaannya dibungkus dengan anti CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol positif ataupun negatif pada permukaan kaca benda atau
slide plastik hitam. Pertama-tamaserum pasien di inaktifkan pada suhu 56" Celcius. Lalu diencerkan dan masing-masing diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya, dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan yang biasanya akan tampak setelah 2 menit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone yaitu terhadap hasil positif yang sebenarnya sangat h a t tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran. Dengan teknik kit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri. Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid. Terutamakalau kadar FR nya >I200 I.U/cc. Karenaitu &lam pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut. Bahan Pemeriksaan Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah minus 25" Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum hams dijaga kejernihannya dengan memusingkan sehingga benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun fibrin setelah sentrifugasi.
FAKTOR REUMATOID
Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri terhadap determinan antigenik pada fragmen Fc dari imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari antibodi ini ialah IgM, IgA IgG dan IgE. Tetapi yang selama ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi tersebut. Dapat disebutkan seperti uji aglutinasi, presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensidan radioimun. Sejarah Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid pertamakali di introduksi oleh patolog Nonvegia, Eric Waaler, tahun 1937. Pada waktu itu beliau melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan zat antinya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat
-
digumpalkan oleh serum pasien lues dan artritis reumatoid (AR). Hasilnya, suatu aglutinasi yang agak aneh dibanding hernolisis biasa, kemudian ditelusuri berbagai literatur clan ternyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis. Terputus oleh perang dunia kedua, hasil penemuan Waaler ini, seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya fenomenayang sama ditemukan oleh Rose dkk (1948) yang pada waktu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi yang kuat dengan aktivitas penyakit. Meskipun, penerapan klinik yang dilakukan Waaler, masih belum jelas dibandingkan dengan Rose tetapi Waaler dengan jelas menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji pemeriksaan FR, sampai sekarang dikukuhkan sebagai pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler. Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai upaya modifikasi telah dilakukan, di antaranya Heler dkk (1956) menyatakan kelemahan uji Rose-Waaler oleh adanya faktor imunoglobulin manusia sebagai penghambat aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan mengabsorbsikan imunoglobulin manusia pada tanned eritrosit biri-biri. Dasar sistem ini selanjutnya lebih berkembang lagi dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit, partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesifik terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut, menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi merupakan suatu kelompok zat anti IgG dengan aviditas dan afinitas yang berbeda.
Ciri-ciri Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin, tetapi yang mendapat perhatian khusus hanyalah IgM-FR dan IgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya, sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgEFR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru. IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri seperti yang terjadi pada IgG-FR. IgM-FR juga menunjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih besar dibanding IgG-FR. Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal imunitas humoral tubuh terhadap rangsangan antigen tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.
Reaksi positif uji FR yang selama ini ditunjukkan baik terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci, terutama termasuk dalam kelas IgM antibodi. Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan terdapat terutama di dalam cairan sendi. Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit. Kebanyakan pasien dengan AR hasil pemeriksaan FR nya bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi dalam hitungan bulan/tahun4 Sedangkan pemberian NSAID tidak selamanya dapat mempengaruhi titer FR. Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dqpat menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif. FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis, psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis dan penyakit Still.
Terjadinya Faktor Reumatoid Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenarnya tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis penyakit AR dan terjadi sebagai respons terhadap seuantigen (endogenous) ataupun non self-antigen (exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seakan-akan sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri, yang kemudian menjadi konsep dasar penyakit oto-imun. Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen), ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yang bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling banyak di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai infective agent. Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan berkembang dalam persendian merangsang pembentukan antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul IgG-nya. Adanya ikatan kompleks dan altered IgO sebagai antigen baru inilah yang membangkitkan produksi zat antibodi baru yang dikenal sebagai zat anti antibodi. Zat inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor Reumatoid (FR). Selanjutnya sarana yang paling adekuat bagi perkembangan lanjut reaksi ini ialah persendian. Karena itu tidak jarang terjadi pada tiap infeksi asalkan melibatkan
PEMEW(SAAN CPR, FAIClDR REUMATOID, AmANTlBODI DAN KOWLEhIEN
h s u r imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada persendian yang maksudnya' agar individu yang bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses pemulihan dapat berlangsung secara alami. Ternyata persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi berkembanglmenetapnya respons imun. Tiadanya anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim lisozim. Namun enzim ini sebalilcnyaakan bertindak sebagai mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan melepaskan limfokin yang juga dapat menimbulkan radang tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi. Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan dalam beberapa postulat sebagai berikut: 1. Agregat IgGI kompleks imun melahirkan nilai antigen baru pada bagian Fc dari IgGI denaturasi. 2. Daya gabung yang meningkat dari agregat IgG terhadap reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang berpotensi membentuk FR. 3. Anomali struktur IgG nya sendiri 4. Kegagalan fungsi kendali dari sel-T penekan, menimbulkan kecenderungan pembentukan autoantibodi terhadap IgG oleh sel B. 5. Interaksi antara ideotip-antiideotip 6. Reaksi silang antara nilai antigenik Fc. IgG dengan antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel. 7. Sensitisasi selama kehamilan 8. Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan HLA-DR4. Penemuan terakhir menunjukkan bahwa artritis reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen keselarasan jaringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi h a t dalam menginduksi produksi FR. Spesifisitas I Sensitivitas IgM-FR poliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya AR. Dengan demikian, spesifitas FR pada AR, cenderung lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak
2465
bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik. Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi kompleks IgG. Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas. Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin biasa dari orang sehat. Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan (Suryadhana dkk, 198l), FR ini tidak spesifik terhadap AR. Kenyataan, faktor ini secara urnum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada individu normal. Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut : Infeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi. Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria, schistosomiasis, filariasis, dsb. Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis endokarditis bakterial subakut, salmonellosis, periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia Polutan: silikosis, asbestosis Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi. Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri. Banyak kelainan ini dikaitkan dengan keadaan hipergammaglobulinemia ataupun kompleks imun yang beredar dalam darah, maka dapat pula di masukan, penyakit hati kronik, paru kronik, cryobulinemia. Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit dengan latar belakang kompleks imun dengan kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesifikAR, tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit AR. Sementara hasil positifjuga ditemukan pada penyakit reumatik laimya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung meningkat seiring meningkatnya usia. Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan Klein dkk Tempat Diproduksinya Faktor Reumatoid Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi oleh sdl-sel yang berada dalam sirkulasi. Bagaimanajuga, limfosit-limfosityang terdapat dalam
-
aliran darah, dapat dirangsang oleh mitogen sel-sel-B untuk memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah dapat ditunjukkanmemproduksi FR. Telah diketahui bahwa cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, IgM-FR dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum dlketahui.Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya. secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger) untuk timbulnya penyakit tersebut. Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin umurnnya. lmunopatogenesis Faktor Reumatoid Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada tranhsi dengan IgM-FR tidak dapat menginduksi artritis bahkan IgM-FR dapat mengurangi serum sickness, lisis oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi hadirnya FR dapat menjadi pemacu clan pemantapan proses yang ditunjang oleh hal-ha1 sebagai berikut: Pasien seropositif, menunjukkan penampilan klinik dan komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif. Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih baik. Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa IgM-FR diproduksi secaxa spontan oleh limfosit perifer pa& seropositif, sedang seronegatif, tidak. *. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini dikaitkan dengan ditemukan CIC (Circulating Immune Complex). IgM-FR poliklonal mampu mangaktifkan kom-plemen, sehingga tidak diragukan keterlibatannya, dalam berbagai kerusakanjaringan. Meningkatnya kadar IgG-FRYdikaitkan dengan meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan, LED, jumlah persendian yang terlibat dan menurunnya kadar komplemen.
Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data klinik yang menunjukkan hubungan FR dengan aktivitas penyakit terutama manifestasi ekstra-artikularnya.Hal ini juga berlaku bagi IgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding sinovitis. Efek biologiknya, yang utama ialah kemampuannya mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dan sinilah
dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangan, yang berakhir dengan kerusakanjaringan. Hampir semua klinisi reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan titer IgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang, titer yang tinggi, dengan jelas menampilkan gambaran khas AR. Pada anak-anak, adanya IgM-FR menunjukkan poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi,justru IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding IgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR. Inflamasi dan respons imun pada hakekatnya merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan hngsi sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa kendali dengan tidak lagi mengindahkan norma-norma sel recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel-T penekan. Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong melepaskan zat IL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin aktivitas sel-TA, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR lah yang pertama dibentuk dari tempat terjadinya inflamasi. Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya. Artntis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justru memegang peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun ekstravaskular yang nantinya menghasilkan sinovitis reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah menurunkan arti dan peranan FR tersebut, tetapi dengan berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini, maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4. Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh
.
PEMERlKSAANCPR,FAKTQR REUMATOID,AUTOANTIBOD1DAN KOMPLEMEN
Penvakit Rematik
Artritis Reumatoid. L u ~ u s Eritematosus ~istemik. Skleroderma, Mixed Connective Tissue Disease, Sindrom Sjogren's Acquired immunodeficiency syndrome, mononukleosis, hepatitis, influenza dan setelah vaksinasi Trypanosomiasis, kala azar, malaria, schistomiasis, filariasis Tuberkulosis, leprosi, sifilis, brucelosis, infektif endokarditis, salmonelosis Pasca radiasi atau kemoterapi, PurPura hipergammaglobulinemia, kryoglobulinemia, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik
lnfeksi Viral
lnfeksi parasit lnfeksi bakterialis kronik
Neoplasma Hyperglobulinemic state
Faktor Reumatoid
Artritis Reumatoid
Penyakit nonreumatik
-
Tinggi
Rendah
lengkap
tidak lengkap
klM, IgG, IgA Sinovium dan tempat ekstravaskular lainnya
terutama IgM tidak jelas, tetapi bukan pada daerah sinovial.
Titer Heterogenitas - Reaksinyaterhadap gammaglobulin manusia dan hewan - Klas imunoglobulin - Lokasi produksi
++
+
lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara tuntas. Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru, akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.
KEMAKNAAN KLlNlK
Faktor r eumatoid IgM. Klas ini sepertijuga antibodi IgM lainnya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini
2467
kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun yang berinteraksi h a t . Antibodi inijuga akan mengendapkan agregat IgG, baik dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih sering terjadi, antibodi ini bergabung dengan IgG monomerik membentuk kompleks yang larut, yang dapat diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara ultrasentrifugal. Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak memberi makna apapun bagi penyakit yang bersangkutan. Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali menjadi seropositif walaupun secara klinik menunjukkan adanya pemulihan. Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra artikuler.
Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung sendiri, daripada bergabung dengan agregat IgG,justru akan menyulitkan pengenalannya. Pada prinsipnya FR-IgG ini, dapat dikenal dengan profil sedimentasinya yang tersendiri sebagai kompleks intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensitidak langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata laborious, demikian juga teknik Elisa. Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan suspensi eritrosit 10% golongan darah 0 , diinkubasi dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan 1/10 serum pasien ataupun serum kelola. Akhirnya dibubuhi dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang hendak diteksi FR dari klas IgA tentu saja digunakan konyugat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam 60% serum pasien reumatoid vaskulitis dan hanya 9% pada pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya kadar IgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis. Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambaran klinik yang didapat, demikian juga IgM dan IgA-FR Titer IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR. Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodi dari klas IgA, di samping dengan ca,ra tersebut di atas, juga dapat
-
ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis dan irnunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam serum,juga dapat ditemukan dalam saliva. Kepentingan pemeriksaan antibodi ini masih dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkkmenemukan bahwa polimer IgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial secara in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis IgA-FR dan IgM-FR. Dalam ha1 ini dipertanyakan apakah perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada pasien AR. Faktor reumatoidIgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam jumlah kecil (50-600 nglcc). Zuraw dkk menemukan peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan histarnin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan meningkatkan deposit kompleks IgG dalam dinding pembuluh darah.
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini dimaksudkan sebagai perantaralamboseptor yang memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi. Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan maka perlu digunakan gabungan serum positif h a t dan serum positif lemah yang telah diketahui titernya sebagai kontrol kualitas internal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol sera dari WHO sehingga pengukurannya dapat diseragarnkan dalam hitungan unit internasional.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit otoimun termasuk di dalamnya kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjogren dan sebagainya. Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan adanya kompleks (oto)antigen (0to)antibodi yang keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.
Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan. Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses patogenik penyakit reumatik. Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactivepeptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklcnal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan sernakinbertambahnya usia seseorang. Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya ha1 tersebut hams ditunjang oleh sensitivitaspemeriksaan labaoratoriurn yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain otoantibodi dapat merupakan ha1 fisiologik. Dari sudut pemeriksaan laboratorium, adanya anggapan demikian menimbulkan dua ha1 yang dapat menjadi hambatan dalam terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama, otoantibodi dapat ditemukan dalam serum orang normal tanpamanifestasi penyakit. Umurnnya otoantibodi tersebut berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk terhadap antigen yang berkesuaian, serta sebagian besar tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi pada umumnya memerlukan data ernpink dalam ha1 ambang batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki kemaknaan klinis. Umumnya otoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks (oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya. Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen dapat dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda dan yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak spesifik. Salah satunya yang dapat dikelompokkan pada
PENIEW(SAAN CPR. FAlCTOR REUMATOID. AUTOANllEODl DAN KOMPLEMEN
otoantibodi ini adalah anti nuclear antibody (ANA). Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari banyak ahli. Narnun ha1 ini masihjauh dari kenyataan karena adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan keterbatasan pemeriksaan otoantibodi. Antibodi Antinuklear (ANA) Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok autoantibodi yang . - spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, diternukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948 pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitasANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Rol SS-A dan LaISS-B.ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien sindrom Sjogrens dan 40% pada pasien skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. Antibodi terhadap DNA (Anti dsDNA) Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid. Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan metoderadioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. Antihiston (Nukleosom) Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substruktur dari inaktif kromatin transkripsi). Potein histon terdiri dari Hl,H2A,H2B,H3 dan H4.Antibodi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect immuno~uoresenceatau imunoblot. Pada 50-70% LES terdapat antibodi antihiston terutarna terhadap protein H1, H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan anti dsDNA.Antibodi inijuga ditemukan pada lupus induksi obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi antihiston juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier
primer, hepatitis autoimun, sklerodenna,Epstein Barr virus, penyakit Chagas, schizofrenia, neuropati sensorik, gammopati monoklonal dan kanker. Anti-Ku Anti-Ku adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang terdapat pada kromatin 10s. Anti-Ku terdapat pada scleroderma-polymyositisoverlap syndrome.Anti-Kujuga ditemukan pada 20-40% serum pasien LES, > 20% pada pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50% serum pasien penyakit Graves. Anti snRNP Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoprotein dari RNA. Anti-Sm dan anti U1 snRNP tennasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD dan dijumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99%),walaupun hanya ditemukan pada 20 -30% pasien SLE. SS-Alanti Ro Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap partikel ribonucleoproteinyaitu partikel ribonucleoprotein 60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95% sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular (keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia, trombositopenia) dan 40% pasien SLE. SS-Blanti La Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 47 kD yang mempunyai peranan dalarn proses terminasi transkripsi RNA polimerase 111. Antibodi ini dijumpai pada 80% pasien sindroma Sjogren, 10% pasien SLE'&-n 5% pasien skleroderma
Scl70 atau Anti Topoisomerase 1 Topoisomerase 1 merupakan antigen yang terdapat dalam sitoplasma.Anti topoisomerase 1terdapat pada 2240% pasien skleroderma dan 25-75% pasien sklerosis sistemik.Secara umum anti tropoisomerase 1merupakan faktor pediktor untuk keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan dengan kanker, fibrosisparu, timbulnya parut (scar)pada jari jari dan keterlibatan jantung. Antisentromer Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36% pasien sklerosis sistemik.Antisentromer mempunyai korelasi yang erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis, Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility, sclerodactily dan telengiectasia)
-
PEMERIKSAANKOMPLEMEN Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediatoryang aktif untuk menghancurkA antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari & 20 protein palasma dan bekerja secara berantai (sevamplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis: Komplemen sudah ada dalam serum neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas elektroforesis,termasuk kelompok alfa dan beta globulin. Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor), bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung kelalui dua jalur, yaitujalur klasik (imunologk)danjalur alternatif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran sel atau komplek Ag-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh :CIq, Clr, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan ~ 3 . Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9. Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein pengatur yaitu inhibitor C1, inaktivator C3b, protein pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai subkomponen dari beberapa komponen yaitu: Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh C3a clan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil ataupun mastosit dan seritinin dari platelet. Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja meningkatkan permebilitas vaskular dalam sisteh arnplikasi humoral Memacu fagositosis oleh C3b
Komplemen clq Clr CIS CI-INH C4
Penyaklt SLE, glomerulonefritis, poikilodema kongenital SLE, glomerulonefritis, lupus like syndrome SLE SLE,lupus diskoid SLE,rheumatoid vasculitis,dermatomyositis.lgA
nephropathy, subacute sclerosing panecephalitis.sclerodema,sjogrens
C2
syndrome,grave disease SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog
C3 C5 C6
C7 C8 C9
ammaglobulinemia Vasculitis, lupus like syndrome. glornerulonefritis SLE, infeksi Neisseria infeksi Neisseria SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds phenomenon, sclerodactyly, vasculltis, infeksi Neisseria SLE ,infeksi Neisseria infeksi Neisseria
Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. ha1 ini memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut . sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan. Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di samping sebagai trigger dalam menggiring proses penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi. Pada SLE, kadar C 1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.
REFERENSI Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol 25; 1998: 3-7. Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic diseases. Gmne & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985. Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom. Ann. Rheum Dis. 38; 1979:161. Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900 Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis. Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980: 452-464. Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90. H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J. 1991; 32: 272-275. Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on Rheumatic Disease 12Ih ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001. Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 200 Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology. Proc 4Ih Asean congress of rheumatology Singapore 1993: 117-122. Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N Y Acad. Sc 475; 1986: 107. N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan tes hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis. Kopapdi V, 1981: ha1 1675-1691. Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys Textbook Of Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders Company,2001. Roitt 1. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997: 399-405 Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds: Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix
PEMEWWAN CPR,FAKTOR REUMATOID,IA -
DAN KWWUMW
Suryadhana N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit sendi, bull Rheumatol ind. 1994; 1: 7-1 1. Suryadhana N G clan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993; 43: 24 - 29. Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit. Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044 Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld FC. Predictive value of IgG autoantibodies against C l q for nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993; 52: 851-6. Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical Diagnosis & Treatment 43' ed, Lange Medical Books/McGiawHi11,2004.
2471
Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's. Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p 24 1-249 Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune system reporters and initiator of pathogenesis. Proceeding 9th APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association. 2000: 10-19. Yanossy. G, Duke 0.Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T Lymfhosyte I Macrophage immunoregulation Lancet 2; 1981:839.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANC REUMATOLOCI Zuljasri Albar
PENDAHULUAN Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis, memungkinkan penilaian aktivitasiberatnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler serta meningkatkan pemahaman bam tentang proses penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi, computerizedtomography (CT-scan), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging, artrografi, pengukuran densitas tulang dan angiografi. Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas, sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling tepat dan paling cost-effective. Di bawah ini akan dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek spatial dan resolusi (yang menentukan struktur mana yang dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien, kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala muskuloskeletal.
FOTO POLOS Pemeriksaan foto polos mempakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan MRI.Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama
dirasakan jika kita ingin mengevaluasi jaringan lunak. Meskipun foto polos mempakan sarana yang berguna untuk menilai pengamh massa jaringan lunak terhadap tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi dalam jaringan lunak, teknik ini tidak cocok untuk mengevaluasi jaringan lunak. Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan kaki relatif rendah, sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa hams kuatir terhadap radiasi yang berlebihan. Dilain pihak, pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis tinggi terhadap pasien. Kedekatan dengan kelenjar kelamin dan sumsum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek yang merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah panggul perempuan hamil atau yang masih dapat hamil tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anakanak hendaklah diusahakan seminimal munglun. Jikapada pasien ini memang diperlukan pemeriksaan radiologii, ahli fisika radiasi &pat menghitung dosis radiasi minimum yang diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar ini berlaku untuk semua jenis pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat dan menyenangkan. Tambahan lagi, pengetahuan tentang kelainan radiologi (konvensional)pada bermacam-macam penyakit reumatik sudah banyak diketahui dan sudah tersebar luas.
Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah dengan anatomi yang kompleks, dimana struktw yang berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi. Biayanya harnpir sarna dengan CT-scan. Resolusi struktur
PEMEW(SAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMAMLOGl
tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan lunak jauh lebih buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada CT-scan. Dalam praktek, teknik ini telah digantikan oleh CT-scan.
COMPUTED TOMOGRAPHY
Meskipun relatif mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto konvensional, walaupun tidak sebaik MRI. CT tersebar luas dan banyak dokter dapat membaca hasil fotonya. CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit degeneratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua. Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen intervertebralis lebih mudah dievaluasi daripada MRI. Mielografi CT dan CT-scan dengan bahan kontras intravena merupakan teknik tomografi lain yang digunakan untuk mengevaluasi penyakit diskus intervertebralis dan kelainan vertebra lain. MRI lebih disukai sebagai pilihan kedua-setelah foto polos-untuk menyelidiki penyakit diskus intervertebralis,tetapi CT-scan merupakan alternatif yang baik dan mungkin bermanfaat pada situasi di mana keterangan lebih lanjut tentang osteofit sangat diperlukan. CT-scan juga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di daerah dengan anatomi yang kompleks di mana struktur yang saling berhimpitan menyulitkan pandangan pada foto konvensional. Misalnya koalisi talokalkaneus yang tidak dapat dilihat pada foto konvensional, sakroilitis (terutama yang disebabkan infeksi) dan kolaps kaput femoris akibat osteonekrosis yang memerlukanjoint replacement. Sendi sternoklavikular yang sangat sulit dilihat dengan foto konvensional, cukup jelas terlihat dengan CT-scan. Dosis radiasi CT-scan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan satu foto konvensional pada daerah yang sama. Tetapi dosis radiasi ini sebandingjika diperlukan beberapa foto konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis radiasi lebih rendah daripada tomografi konvensional pada banyak keadaan. Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan dengan kelainan paru-paru, cukup beralasan bahwa pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada paru-paru dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal. Terlihatnya infiltrat 'ground glass' menunjukkan proses aktif yang mungkin memberikan respons terhadap pengobatan.
MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena kesanggupannya memperlihatkan
struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain, pencitraan yang berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan mengubah parameter tertentu. MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. Di masa depan, perlu dipertimbangkan pengurangan sekuens pencitraan sehingga dapat menurunkan biaya pemeriksaan. Juga perlu dikembangkan sekuens pencitraan yang lebih cepat, yang dapat mengurangi waktu dan biaya MRI di samping memungkmkanstudi dinamika gerakan sendi. MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi, suatu keuntungan besar dalam memeriksa bagian sentral tubuh di mana pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga beberapa bahayanya. Medan magnet yang kuat dapat menggerakkan obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan logam kedalam magnet. Bahan logam yang berdekatan dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas pencitraan MRI. Karena itu, operator MRI hams menyaring pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Kadang-kadang pasien kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan kontras yang digunakan pada pemeriksaan MRI. Akhirnya, pasien perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena pengaktifan medan magnet menimbulkan bising. Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan ligamen krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik intravena seperti gadolinium. Demhan juga kelainan lain seperti ehsi sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan intergritas tendo dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligamen antara tulang-tulang karpal dan fibrokartilago trianguler. Kalsifikasijaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang rendah akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum tulang yang mempunya sinyal tinggi, MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur akibat trauma atau stres sering disebut bone bruises tidak dikenal sebelum MRI. Sekarang, keberadaan mikrofraktur ini penting untuk diketahui. Sebagai contoh, kebanyakan nyeri yang menyertai robekan meniskus akut mungkin disebabkan oleh mikrofraktur yang ditemukan bersama-sama. Ketika mikrofraktur menyembuh, nyeri
-
hilang walaupun robekan meniskus masih ada. Penemuan ini mempunyai pengaruh penting dalam pengobatan. Ini juga membantu menerangkan mengapa MRI lutut pada usia tua sering menunjukkan robekan meniskus yang asimtomatik. Mikrofrakturjuga mempunyai hubungan erat dengan cedera ligarnen. Setelah foto polos, MRI merupakan cara yang bagus untuk mempelajari tulang belakang dan isinya seperti pada kasus tersangka hemiasi diskus intervertebralis terutama pada pasien muda karena tidak menimbulkan ionisasi. MRI merupakan sarana terbaik untuk mendiagnosis osteonekrosis. Osteonekrosis dapat menyerupai penyebab lain nyeri sendi, terutama sendi panggul. Pada masa awal penyakit, foto polos tidak menunjukkankelainan. MRI juga merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi luasnya neoplasma jaringan lunak dan tulang, dan telah menggantikan CT-scan dalam ha1 ini, meskipun foto polos tetap merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis tumor tulang. CT-scan mungkin juga bermanfaat dalam mengidentifikasikarakteristikkalsifikasi matriks yang akan membantu diagnosisjenis tumor. MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena perubahan sinyal sumsum tulang. Ini merupakan pilihan yang baik untuk mengevaluasi daerah tertentu yang diduga terkena osteomielitis, meskipun radionuclide bone scan lebih disukai untuk penilaian proses hematogenik yang multifokal. MRI juga dapat mengidentifikasi abses jaringan lunak. Kelainan otot seperti robekan dan memar dapat diidentifikasi dengan MRI. Aktivitas masing-masing otot selama gerakan sendi dapat dipelajari dengan memperhatikan perubahan sinyal yang terjadi selama aktivitas otot. MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk mengevaluasi osteokondritis disekans jika kita ingin mengetahui apakah sebuah hgmen tulang terlepas atau tidak. Perubahan rawan sendi dapat dilihat dengan MRI. Tetapi hams diingat bahwa penemuan kelainan minimal hanya bermanfaat secara klinis jika ha1 ini mengubah pengobatan yang diberikan. Pengobatan medikamentosa biasanya diteruskan sampai diperlukan penggantian sendi, yang dapat didiagnosis dengan foto polos biasa. Pada keadaan tertentu, MRI merupakan pilihan pertarna yang cost efective dalam menilai sendi lutut di mana diduga terdapat kerusakan internal, karena artroskopi terbukti tidak perlu pada sebagian besar kasus.
Tehik ini merupakan cara yang mudah untuk melihat pola keterllbatan sendi dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti 99m teknisiurn metilen difosfat (99mTc MDP) untuk sken tulang, 99mTc sulfur koloid untuk sken sumsum tulang, galium sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan
Indium (111In-labeled WBCs) berguna untuk mengevaluasi berbagai macam kelainan muskuloskeletal. Biaya pemeriksaannya hampir sama dengan CT-scan dan dosis radiasinya sebanding dengan pemeriksaan CT-scan abdomen. Sintigrafi cukup sensitif untuk menemukan banyak proses penyakit, dan seluruh tubuh dapat diperiksa sekaligus. Tetapi t e h i k ini tidak spesifik karena sejurnlah proses penyakit dapat menyebabkan akumulasi radionuklid. Jika terdapat daerah dengan uptake yang meningkat, sering diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologik untuk meningkatkan spesifisitas guna mengidentifikasi jenis kelainan. Pada situasi Minis di mana kelainan tulang tidakjelas, sken tulang mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit. Sendi yang terkena oleh proses inflamasi atau degeneratif menunjukkan uptake yang meningkat dan dapat memetakan luas penyakit dalam 1 kali pemeriksaan. Secara umum ini tidak selalu berguna, tetapi mungkin bermanfaat pada keadaan tertentu. Misalnya pada pasien dengan artritis inflamasi dan kelainan yang luas pada pemeriksaan radiologik, sintigrafi dapat membantu menentukan daerah di mana terdapat inflamasi aktif. Sken tulang merupakan pilihan yang masuk aka1 untuk penemuan dini osteonekrosis jika tidak ada MRI. Sken tulang juga dapat mendeteksi cedera akibat stres seperti avulsi tendo, fraktur akibat stres, shin splints yang kadangkadang menyerupai keluhan artritis.
USG memberikan informasi unik dengan menimbulkan gambaran berdasarkan lokasi interface akustik dalam jaringan. Relatif murah, mudah didapat dan bebas dari bahaya radiasi. Resolusi spatial sama dengan CT-scan dan MRI, bergantung kepada transducer. Tetapi resolusi dibatasi oleh dalamnya jaringan yang diperiksa. Resolusi jauh lebih baik pada jaringan superfisial. Salah satu kekurangan USG ialah ketergantungannya kepada operator. Seorang peneliti tidak selalu dapat mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain. Karena USG tidak memiliki gambaran potong lintang yang lengkap untuk menentukan orientasi, sulit bagi orang yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain. Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa USG dapat mendeteksi robekan rotator cufdengan tepat. Hasilnyajuga baik dalam mengevaluasipenumpukan cairan seperti efusi sendi, kista poplitea dan ganglioma, sehingga dapat dipakai untuk menuntun aspirasi cairan sendi maupun ditempat lain. Tendo yang terletak superfisial seperti tendo Achiles dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan adannya robekan. USG sangat baik untuk membedakan tromboflebitis dengan pseudotromboflebitis. Dengan teknik real-time
dan penekanan, trombosis vena dan kista poplitea dapat diidentifikasi. USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang memberikan informasi tentang struktur mikrotrabekula yang berkaitan dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat dinilai langsung dengan teknik radiografi. Informasi ini salingmelengkapi dengan informasi tentang komposisi mineral tulang dalam mengevaluasi risiko ffaktur pada pasien. USG juga telah dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.
ARTROGRAFI Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras kedalam sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras yang mengandung yodium dan kadang-kadarig udara. Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atau MRI dan dapat dilakukanjika tersedia fluoroskopi. Tetapi kenlungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal hams dipertimbangkan, meskipun komplikasi ini sangatjarang. Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun demikian, masih ada ha1 tertentu yang memerlukan artrografi. Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras yang mengandung yodium, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat mendeteksi robekan total rotator cufl CT-scan dapat ditambahkan pada artrogram udara kontras (artrografi CT), memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari labrurn glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin lebih baik daripada MRI. Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan. Artrografi pergelangan tangan sangat baik untuk mengevaluasi integritas fibrokartilago trianguler, ligamen antara os skafoid dan os lunatum serta ligamen antara os lunatum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini sebagian besar klinikus lebih menyukai artrografi daripada
MRI. Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan labrum glenoidalis dan rotator cufl
Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan lokasi jarum intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan asal spesimen.
DENSITOMETRITULANG Densitometri tulang digunakan terutama untuk mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dan quantitative computed tomography (QCT). DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x pada setiap titik sepanjang penyidik dapat ditentukan. DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang hams diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa. Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian proksimal femur, yang merupakan bagian yang paling banyak dipelajari. QCT menyidik beberapa vertebra lumbal bersama-sama dengan sebuah fantom yang berisi materi yang bone-equivalent dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik ditentukan dengan merujuk ke kurve standar. Biaya pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah, meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini ialah dapat mengevaluasi bagian tengah vertebra karena korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.
Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik di mana terdapat komponen vaskular. Pada poliarteritis nodosa, adanya aneurisma kecil yang multipel pada arteri viseral yang berukuran sedang merupakan gambaran yang penting. Pada lupus eritematosus sistemik, angiografi mungkin bermanfaat dalam mendiagnosis keterlibatan susunan saraf pusat. Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan merupakan prosedur invasif. Sebaiknya hanya dilakukan
-
pada situasi tertentu di mana cara lain tidak dapat memberikan data diagnostik yang diperlukan. Teknik pencitraan lain yang kadang-kadang dipakai misalnya: Sialografi: untuk memperlihatkanpengaruh sindrom sika terhadap kelenjar ludah dan membedakannya dengan sumbatan mekanis akibat batu kelenjar ludah. Tenografi: untuk memperlihatkan ruptur tendo atau massa akibat hipertrofi sinovium. Mielografi, radikulografi, ascending lumbar venography dan diskografi : untuk menilai nyeri pinggang atau penyakit reumatik pada vertebra serfial. Tennografi:dasarnya ialah pancaran panas infra-merah dari kulit di atas tulang dan sendi. Aktivitas sinovitis dan respons terhadap pengobatan dapat dilihat dan diukur. Teknik inijuga dapat digunakanuntuk menyelidiki aliran darah perifer yang berkurang misalnya pada fenomen Raynaud dan peningkatan aliran darah pada tulang, misalnya pada penyakit Paget.
Harnpir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai dengan foto polos. Sering pemeriksaan foto polos ini saja sudah cukup. Jika diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan MRI hams dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau erosi ringan pada korteks. Penelitian MRI akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sering terdapat kelainan anatomi yang tidak berkaitan dengan keluhan. Karena itu gejala klinis dan kelainan pencitraan hams dinilai bersama-sama. Pemeriksaan pencitraan sebaiknya tidak dilakukan, kecuali jika mereka mempunyai potensi untuk menjawab pertanyaan klinis. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pencitraan yang biayanya murah sudah dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan klinis. Jika foto
polos bahu memperlihatkan subluksasi kaput humeri keatas dan menyentuh bagian inferior akromion, klinikus &pat memastikan tanpa pemeriksaan MRI bahwa rotator cufltelah robek dan atrofi. Foto lutut anteroposterior dan posteroanterior (fleksi) dalam keadaan berdiri baru dapat memperlihatkan kelainan jika rawan sendi sudah habis, tetapi tidak dapat memperlihatkan erosi minimal yang tampak pada MRI. Akhirnya, sangat penting bagi klinikus untuk bekerja sama dengan ahli radiologi untuk memutuskan dengan tepat apa yang diharapkan dari pemeriksaan pencitraan, lalu menetapkan pemeriksaan apa yang dipilih untuk memperoleh informasi tersebut. MRI dapat memberikan banyak informasi dari beragam struktur, sehingga pemeriksaan MRI secara mendalam mungkin tepat pada penyakit sendi yang membingungkan. Pada situasi lain, pemeriksaan MRI standar atau pemeriksaan pencitraan lain yang lebih sederhanamungkindapat memberikan informasi diagnostik yang spesifik dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya yang lebih murah.
Bellamy N, Buchanan WW.Clinica1 evaluation in the rheumatic diseases. 1n:Koopman WJ Editor. Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 13Ih ed., Ba1timore:Williams and Wilkins; 1997, Vol. I, Ch. 3, p 47-70. Katthagen B-D. Ultrasonography of the shoulder. New York:Thieme Med Publ; 1990. Marcelis S, Daenen B, Ferrara MA. Peripheral musculoskeletal ultrasound atlas. Dondelinger RF editors, New York:Thieme Med Publ; 1996. Peterfy C 4 Genant HK : Magnetic resonance imaging in arthritis. In: Koopman WJ,editor. Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 13'h ed. Baltimore:Williams and Wilkins; 1997.p.115-49. Resnic D, Yu JS, Sartoris D.Diagnostic tests and procedures in rheumatic diseases - imaging. 1n:Kelley WN editors.Textbook of rheumatology. 5Ih ed., WB Saunders; 1997.p. 626-86. Scott Jr WW. Imaging techniques. 1n:Klippel JH, editor. Primer on the rheumatic d i ~ e a s e s l l ' ~ ed. At1anta:Arthritis Foundation;1997.p. 106-1 5. Van Holsbeeck M, Introcaso JH. Musculoskeletal Ultrasound. St. Louis:Mosby-Year Book; 1991.
Bambang Setiyohadi
Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai dengan compromised bone strength sehingga tulang mudah fiaktur. Osteoporosis merupakan keadaan yang sering didapatkan karena setelah menopause, seorang wanita akan kehilangan hormon estrogen didalarn tubuhnya dan proses resorpsi tulang menjadi tidak terkendali dan tidak dapat diimbangi oleh proses formasi tulang. Di Amerika, 44 juta penduduknya mengalami osteoporosis atau densitas massa tulang yang rendah. Osteoporosis merupakan keadaan yang serius karena akan mengakibatkan fiaktur dan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Dianosis osteoporosis sangat mudah dilakukan, yaitu dengan cara mengukur densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis akan dapat dideteksi lebih dini sebelum fiaktur terjadi. Pengobatan osteoporosis juga tersedia lengkap saat ini yang dapat menurunkan risiko fiaktur sampai 50%. Densitometri tulang merupakan tehnik yang noninvasif yang dapat mengukur kepadatan tulang. Ada bermacam-macam tehnik densitometri mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Saat ini yang banyak digunakan adalah tehnik Dual X-ray absorptiometry
@=I.
Sebelum membicarakan DXA secara lebih detail, ada baiknya dibicarakan dulu berbagai tehnik densitometri secara garis besar yang meliputi teknik radiografik, single energy densotimetry, dual energy densitometry, quantitative computed tomography dan quantitative ultrasound.
TeKnik radiografik. Berkembang sebelum densitometer kuantitatif berkembang seperti saat ini. Tehnik ini membandingkan gambaran tulang pada film radiografik
yang lebih terang dibandingkan dengan sekitarnya yang lebih gelap. Pada tulang yang mengalami demineralasisi, gambarannya akan lebih gelap mendekati gambaran jaringan lunak. Walaupun dernikian, dibutuhkan kehilangan massa tulang mkinimal30% agar didapatkan gambaran yang jelas pada pemeriksaan radiologik konvensional. Karena metode ini tidak sensitif, maka dikembangkan metode pengukuran secara radiologik yaitu dengan cara absorpsiometri radiografik uotodensitometri) dan radiogrametri. Pada tehnik absorpsiometi radiografik, keabu-abuan gambaran radiografik dikalibrasi dengan menggunakan potongan alumunium atau hidroksiapatit yang berbentuk baji yang diletakkan dipermukaan film dan difoto bersama dengan obyeknya. Sedangkan tehnik radiogrametri mengukur ketebalan korteks tulang pada film, biasanya diambil tulang-tulang tangan, humerus atau radius. Yang tersering diambil adalah pada mid-metakarpal 11. Single Energy Densitometry. Tehnik ini menggunakan gelombang radiasi yang melalui lengan bawah distal dan dibandingkan antara radiasi yang dipancarkan oleh alat (radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah melalui obyek (disebut radiasi tarnsmisi) sehingga didapatkan penipisan radiasi (atenuasi) karena diserap oleh obyek tersebut. Makin tinggi mineralisasi tulang, makin besar atenuasinya. Densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) diukur dengan cara membagi Bone content (sesuai dengan atenuasi) &ngan area tulkg yang diukur. Walaupun demikian, cara ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya : 1. Teknik ini membutuhkan isotop radioaktif sebagai sumber radiasi yang harganya mahal dan dapat menghasilkan eror pada pengukuran bila sumber tersebut diganti. Karena itu tehnik ini disebutjuga Single photon absorptiometv (SPA). 2. Teknik ini tidak praktis, karena obyek yang akan diukur harus direndam dalam air debngan tujuan untuk
-
menghilangkan absorpsi radiasi pada jaringan lunak yang akan mengganggu pengukuran densitas tulang. Oleh sebab itu, tehnik ini hanya dapat mengukur densitas tulang perifer, seperti lengan bawah distal atau tumit dan tidak dap'at digunakan untuk mengukur densitas tulang aksial. Dengan berkembangnya tehnik radiologik, maka penggunaan isotop sebagai sumber radiasi akhirnya diganti dengan sinar-X dan tehnik ini disebut Single Xray absorptiometry (SXA).
Dual Energy Absorptiometry. Menggunakan 2 energi radiasi sehingga pengaruhjaringan lunak dapat dieliminir. Semula sumber energi yang digunakan adalah isotop sehingga tehnik ini disebut Dua photon absorptiometry (DPA), kemudian sumber energinya diubah menjadi sinarX dan teknlk ini disebut DualX-ray absorptiometry (DXA). Tehnik DXA inilah yang saat ini banyak digunakan, karena dapat mengukur densitas tulang di daerah lumbal, femur proksirnal, lengan bawah, dan bahkan total body. Dengan perkembangan tehnologi, digunakan tehnik fan beam geometry yang dapat meningkatkan waktu scanning. Quantitative Computed Tomography (QCT),mempakan satu-satunya tehnik non-invasif yang dapat mengukur densitas tulang secara 3 dimensi. Hasil dari tehnik QCT adalah densitas volumetrik (dalam gram/cm3).QCT sangat baik digunakan untuk mengukur densitas tulang belakang dan sementara ini belurn dapat digunakan untuk mengukur area yang lain. Walaupun demiluan, QCT membutuhkan radiasi yang besar dibandingkandengan DXA, karena DXA hanya membutuhkan radiasi 1-5 mSv, sedangkan QCT membutuhkan radiasi sampai 60 mSv. Quantitative Ultrasound (QUS). Dengan menggunakan tehnik ultrasonografik,dapat diukur densitas tulang, tetapi terbatas pada tulang-tulang perifer, rnisalnya tumit,jari atau lengan bawah. Walaupun demikian, sampai saat ini tidak jelas, struktur tulang yang mana yang diukur dengan tehnik ini, mungkin ukuran trabekula atau ukuran kristal atau struktur lainnya. Walaupun tehnik ini sangat menjanjikan karena ukurannya yang kecil, waktu scanning yang relatif cepat dan tidak ada radiasi, tetapi presisinya buruk dan akurasinyajuga diragukan bila dibandingkan dengan tehnik sinar-X, sehingga sementara ini hanya digunakan untuk penapisan massal dan belum digunakan untuk patokan terapi.
DXA merupakan tehnik BMD yang banyak dipakai secara luas. Di Arnerika sendiri saat ini terdapat sekitar 10.000alat DXA. Di Indonesia terdapat sekitar 15 alat DXA yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makassar. DXA mempakan baku emas untuk pengukuran BMD yang dapat mengukur tulang-
tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan femur proksimal; maupun tulang-tulang perifer seperti lengan bawah, bahkan dapat mengukur BMD seluruh tubuh (total body). Data-data epidemiologik osteoporosis dengan menggunakan DXA juga sudah banyak dipublikasikan dan secara in vitro diketahui berkorelasi baik dengan kekuatan tulang. Tujuan pengukuran BMD adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi risiko fralctur dan memonitor terapi. Pada pengukuran BMD dengan DXA, akan didapatkan nilai BMD areal (dalam satuan gr/cm2),T-score dm Z-score. T-score adalah perbadingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang muda normal dan dinyatakan dalam skore deviasi standard (SD); sedang Z-score membandingkan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien, juga dinyatakan dalam skore deviasi standard. Pada pengukuran BMD spinal (tulang belakang), maka semua L 1-L4 hams diukur rata-rata BMDnya, kecuali bila terdapat perubahan struktur atau artefak pada ruas vertebra yang bersangkutan. Dalam ha1 ini, gunakan 3 mas vertebra bila 4 mas tidak mungkin, atau 2 ruas bila 3 ruas tidak mungkin, tetapi tidak dapat diukur bila hanya digunakan 1 ruas vertebra. Selain itu pengukuran spinal lateral juga tidak dapat digunakan untuk diagnosis, kecuali untuk pemantauan, karena memiliki presisi yang lebih buruk dibandingkan dengan BMD spinal PA, tetapi memiliki respons yang baik terhadap pengobatan. Pada penyakit degeneratif (osteoartritis) lumbal atau adanya fraktur pada mas-mas tulang lumbal, akan menyebabkan BMDnya lebih tinggi, sehingga dalam ha1 ini mas-mas lumbal yang mengalami penyakit degeneratif atau mengalami fraktur tidak dapat ikut dinilai untuk mendiagnosis osteoporosis. Beberapa artefak lain yang juga dapat mengganggu penilaian BMD spinal adalah kalsifikasi aorta, larninektomi, fusi spinal, kontras gastrointestinal, tablet kalsium, batu ginjal atau kandung empedu, kalsifikasi pankreas, alat-alat metal yang diimplan kedalam tubuh, kancing baju, dompet, perhiasan dan lain sebagainya. Pada BMD panggul, dapat dipilih apakah akan diukur sisi kiri atau kanan, karena tidak ada perbedaan BMD yang bermakna. Dari ROI ini yang dapat digunakan untuk diagnosis adalah BMD yang terendah dari femoral neck, totalproximalfemur atau trokanter. Ward's area tidak boleh digunakan untuk diagnosis osteoporosis karena akan didapatkan hasil positif palsu, karena area Ward pada hasil DXA hanya menunjukan area kecil di leher femur yang terendah BMDnya dan tidak sesuai dengan area Ward secara anatomis. Selain itu BMD pada Wardarea memiliki presisi dan akurasi yang buruk dan tidak termasuk dalam kriteria WHO. Selain itu pengukuran rata-rata BMD panggul kiri dan kanan juga tidak perlu dilakukan, karena tidak ada data yang menggambarkan nilai rata-rata tersebut lebih baik untuk diagnosis osteoporosis.
Wanita berusia di atas 65 tahun Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan faktor risiko Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih . Orang dewasa dengan fraktur fragilitas = Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya tinggi badan > 5 t l 7 in, berat badan < 127 Ib, riwayat merokok, riwayat maternal dengan fraktur panggul. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya hiperparatiroidisme, sindrom malabsorpsi, hemigastrektomi, hipertiroidisme dsb Orang dewasa yang minum obat-obatan yang potensial menyebabkan densitas massa tulang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya glukokortikoid, anti konvulsan, heparinisasi kronik dsb Setiap orang yang dipertimbangkan memerlukan terapi farmakologik untuk osteoporosis Seseorang dalam terapi osteoporosis, untuk memantau efek pengobatan Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa tulang yang karena satu dan lain ha1 sehingga tidak mendapatkan terapi, walaupun sesungguhnya membutuhkan terapi .
BMD pasien - BMD rata-rata orang dewasa muda T-score = 1 SD BMD rata-rata orangdewasa muda
BMD pasien - BMD rata-rata orang seusiapasien Z-score = 1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien
Z-score yang rendah (< -2,O) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab osteoporosis sekunder
Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI): 1. Tulang belakang (Ll-L4) 2. Panggul - Femoral neck - Total femoral neck - Trokanter 3. Lengan bawah (33% radius), bila : - Tulang belakang danlatau panggul tak dapat diukur - Hiperparatiroidisme - Sangat obese Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis
Klasifikasi Normal Osteopenia Osteoporosis Osteoporosis berat
T-score -1 atau lebih besar Antara -1 dan -2,5 -2,5 atau kurang -2.5 atau kurang damfraktur fragilitas
T-score
Risiko fraktur
Tindakan
> +1
Sangat rendah
0 sld +1
Rendah
-
-1 sld 0
Rendah
-1 sld -2,5
Sedang
<-2,5 tanpa fraktur
Tinggi
<-2,5 dengan fraktur
Sangat tinggi
Tidak ada terapi Ulang densitornetri tulang bila ada indikasi. Tidak ada terapi - Ulang densitornetri tulang setelah 5 tahun - Tidak ada terapi - Ulang densitornetri tulang setelah 2 tahun - Tindakan pencegahan osteoporosis - Ulang densitornetri tulang setelah 1 tahun - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Ulang densitornetri tulang dalarn 1-2 tahun - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Tindakan bedah atas indikasi - Ulang densitornetri tulang dalarn 6 bulan -1 tahun
.
Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis cukup dilakukan BMD pada ROI spinal dan femur proksimal. Walaupun demikian, bila kedua ROI tersebut tidak dapat dinilai atau pada keadaan sangat obese atau pada pasien hiperparatiroidisme, dapat dilakukan pengukuran BMD pada lengan bawah. Berbeda engan lumbal maupun femur proksimal, BMD lengan bawah merupakan prediktor yang baik untuk menilai densitas tulang kortikal. Pada ROI ini, pilihlah ROI 33% radius (kadang-kadang disebut 113 radius) pada lengan bawah non-dominan. Kriteria WHO tidak boleh digunakan untuk menilai BMD perifer, kecuali pada ROI 33% radius. BMD perifer juga tidak dapat digunakan untuk memantau hasil terapi, kecuali untuk menilai risiko fraktur. ROI lain yang dapat dinilai pada pemeriksaan BMD adalah total body. BMD total body sangat baik untuk menilai tulang kortikal, karena 80% rangka manusia terdiri dari tulang kortikal. Kadang-kadang BMD total body juga digunakan untuk menilai komposisi tubuh, misalnya lean body mass, persentase lemak tubuh. Dalam ha1 ha1 yang terakhir ini diperlukan piranti lunak yang khusus dan standardisasi tersendiri yang biasanya sudah disediakan oleh pabrik yang memproduksi mesin BMD yang bersangkutan. BMD total body juga menjadi pilihan ROI untuk menilai densitas tulang anak-anak di bawah umur 20 tahun, selain BMD lumbal. Nilai T-score -2,5 atau kurang, tidak selalu menunjukkan osteoporosis, karena pada osteomalasia juga akan memberikan hasil T-score yang rendah. Selain itu, diagnosis osteoporosis juga dapat ditegakkan walaupun T-score lebih besar dari -2,5, misalnya bila didapatkan fraktur vertebra atraumatik. Pada pengguna glukokortikoid
jangka panjang (>6 minggu) atau dosis tinggi (dosis prednison >7,5 mg/hari), maka terapi dapat dimulai bila nilai T-score - 1 3 atau lebih rendah. Selain itu nilai T-score yang rendah juga tidak berhubungan dengan penyebab osteoporosis, sehingga hams dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya faktor risiko osteoporosis yang mungkin membutuhkan penatalaksanaantersendiri. Setiap pasien osteoporosis harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai dapat disingkirkan semua kemungkinan penyebab osteoporosis yang diderita pasien, apalagi bila didapatkan 2-score -2 atau lebih rendah. Mengapa untuk diagnosis osteoporosis digunakan T-score dan bukan Z-score ? Nilai T-score berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Bila digunakan nilai Z-score untuk diagnosis osteoporosis maka akan didapatkan banyak hasil negatif palsu walaupun terdapat fraktur fragilitas dan osteoporosis tidak akan makin meningkat dengan bertambahnya umur.
PREDlKSl RlSlKO FRAKTUR Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah BMD yang endah merupakan prediktor fraktur fragilitas yang penting. Beberapa faktor risiko fraktur yang lain yang juga hams diperhatikan adalah tinggi badan >5 ft 7 in, berat badan <127 lb, merokok dan riwayat maternal dengan fraktur panggul. Setiap penurunan BMD 1 SD identik dengan peningkatan risiko fraktur relatif sebesar 1,9-3,O. Tetapi ha1 ini juga ditentukan oleh umur pasien, karena ternyata umur di atas 60 tahun merupakan faktor risiko fraktur tersendiri yang tidak tergantung pada BMD. Pasien benunur 80 tahun dengan T-score -1,9 akan memiliki risiko fraktur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Data risiko fraktur pada orang berusia lanjut ternyata harnpir sama pada semua lokasi tulang walaupun lokasi yang diukur dan mesin yang digunakan berbeda. Oleh sebab itu, hasil BMD yang rendah pada satu lokasi tulang sudah menunjukkan penurunan BMD pada tulang-tulang yang lain. Kekecualian hanyalah pada prediksi risiko fraktur panggul, karena yang nilai prediksinya paling tinggi hanya BMD pada femoral neck. Saat ini diketahui bahwa faktor kekuatan tulang memegang peran yang sangat penting sebagai faktor risiko fraktur akibat osteoporosis. Ada 2 variabel yang hams diperhitungkan yang menentukan kekuatan tulang, yaitu kuantitas tulang dan kualitas tulang. Kuantitas tulang meliputi ukuran tulang dan densitas tulang, sedangkan kualitas tulang meliputi bone turnover, arsitektur tulang, akumulasi kerusakan tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen pada jaringan tulang tersebut.
DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS PADA WANITA PREMENOPAUSAL,LAKI-LAKIDANANAK-ANAK Kriteria klasifikasi diagnosis osteoporosis tidak dapat digunakan untuk kelompok wanita premonopausal sehat (umur 20 tahun sampai usia menopause), laki-laki dan anak-anak. Pada wanita pre-menopausal, tidak ada data hubungan BMD dengan risiko fraktur sebagaimana didapat pada wanita pasca menopause. Oleh sebab itu, adanya fraktur pada wanita premenopausal yang disertai BMD yang rendah sudah cukup untuk mendiagnosis osteoporosis. Dalarn ha1 ini, nilai Z-score lebih memiliki nilai diagnostik daripada T-score. Selain itu, osteoporosis pada anita premenopausal juga dapat didiagnosis bila didapatkan BMD yang rendah dengan penyebab osteoporosis sekunder, misalnya pengguna steroid jangka panjang, pengguna anti konvulsan, hipogonadisme, hiperparatiroidisme dan sebagainya. Pada laki-laki yang berumur 65 tahun atau lebih atau laki-laki yang berumur 50-64 tahun dengan faktor rislko osteoporosis, maka nilai T-score dapat digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis dan osteoporosis didiagnosis bila didapatkan nilai T-score -2,s atau lebih rendah. Pada laki-laki yang berumur 20-50 tahun atau laki-laki yang berumur 50-64 tahun tetapi tidak memiliki faktor risiko osteoporosis, maka tidak dapat digunakan T-score untuk mendiagnosis osteoporosis. Dalam ha1 ini, sama halnya dengan diagnosis osteoporosis pada wanita premenopausal, dimana nila Z-score lebih berkorelasi dengan risiko fraktur daripada nilai T-score. Walaupun demikian, nilai-nilai ini masih memerlukan standardisasi lebih lanjut. Diagnosis osteoporosis pads laki-laki yang berumur <50 tahun tidak dapat hanya didadasarkan pada nilai BMD. Bila didapatkan risiko osteoporosis sekunder pada laki-laki pa& setiap umur, maka diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan secara klinis. Pada anak-anak, baik laki-laki maupun wanita yang berumur <20 tahun, nilai T-score tidak dapat digunakan untuk diagnosis osteoporosis, sebagai gantinya digunakan nilai Z-score. Selain itu, diagnosis osteoporosis pada anak-anak tidak boleh hanya didasarkan pada nilai BMD. Terminologi BMD rendah pada anak-anak ditetapkan bila nilai Z-score <-2,O. Selain itu ROI yang dianjurkan pada anak-anak adalah lumbal dan total body. Penggunaan nilai BMD untuk prediksi fraktur pada anakanak sampai saat ini masih belum ditentukan.
BMD SERIAL BMD serial dilakukan untuk menentukan bilamana terapi osteoporosis dapat dimulai pada pasien-pasien dengan risiko kehilangan massa tulang yang bermakna atau terdapat indikasi untuk terapi osteoporosis.Selain itu BMD
serial juga dapat menilai respons terhadap terapi osteoporosis. Dalam ha1 ini, pada pasien-pasien yang tidak memberikan respons yang baik terhadap pengobatan, dapat dilakukan re-evaluasi terhadap terapi yang diberikan atau evaluasi terhadap kemungkinan adanya pemyebab osteoporosis sekunder yang harus diterapi secara terpisah. Interval BMD serial tergantung pada keadaan klinik pasien. Pada pasien yang baru mendapatkan terapi atau baru diubah terapinya, maka BMD ulangan dapat dilakukan setiap tahun dan bila hasilnya sudah menetap, maka dapat dilakukan BMD serial tiap 2 tahun. Pada pasien-pasien dengan risiko kehilangan massa qlang yang besar, seperti pada pengguna steroid, maka BMD serial dapat dilakukan lebih cepat, misalnya setiap 6 bulan. Untuk melakukan BMD serial, setiap Pusat BMD harus menentukan Least Sign$cant Change (LSC). Selain itu setiap pergantian sistem DXA atau perubahan operator BMD,juga harus dihitung presisinya. Bila perubahan BMD serial sama atau lebih dari LSC yang telah dihitung, maka perubahan tersebut dianggap bermakna. Pada BMD serial, yang dibandingkan adalah nilai BMD areal, bukan nilai T-score. Selain itu BMD yang dilakukan dengan alat yang berbeda tidak dapat dibandingkan, karena mungkin berbeda surnber energinya, berbeda kalibrasinya, berbeda detektomya dan berbeda ROInya.
Gambar
1
PELAPORAN BMD Pelaporan hasil pemeriksaan BMD awal dan BMD ulangan berbeda dan harus diperhatikan baik oleh operator, analis yang mengevaluasi hasil BMD maupun dokter yang membaca hasil BMD tersebut. Pelaporan BMD awal harus meliputi data demografik (umur,jenis kelamin, ras, tinggi badan, berat badan), dokter yang meminta pemeriksaan BMD, dokter yang membaca hasil pemeriksaan BMD, indikasi pemeriksaan, status menopause pasien, alat BMD yang digunakin, hasil BMD yang meliputi ROI, BMD areal dalam gr/cm2, T-score, Z-score, I&teria diagnostik WHO, risiko-fiaktur, anjuran evaluasi medik untuk mencari kemungkinan penyebab osteoporosis sekunder, anjuran untuk BMD ulangan berikutnya. Pada pelaporan BMD ulangan (serial) harus dicantumkan ROI yang sebelumnya dan berikutnya yang dibandingkan, nilai LSC di Pusat BMD tersebut, pelaporan adanya perubahan yang bemalcna atau tidak, baik dalam g/cm2 maupun &lam%, dan anjuran untuk pemeriksaan BMD berikutnya. Selain itu, pada pelaporan BMD juga dapat dicantumkan rekomendasi untuk menyingkirkan kemungkinan etiologi osteoporosis sekunder, evaluasi laboratorium, identifikasi faktor risiko fraktur dan kehilangan massa tulang yang cepat, evaluasi radiolog&, tindakan pencegahan umum dan anjuran terapi.
Gambar 2. Densitornetri lurnbal
Gambar 3. Densitornetri panggul
REFERENSI
Gambar 4. Densitometri lengan bawah
Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application and Interpretation. Humana Press, 1998, New Jersey. Bonnick SL, Faulkner KG, Miller PD, McCLung MR. ISCD Certification Course Clinical Track: Learning objectives, Core teaching points and Suggested readings. International ociety of Clinical Densitometry, 2000. Faulkner KG. Clinical Use of Bone Densitometri. In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis, vol 2, 2nd edition. Academic Press, San Diego 2001:433-58. Kanis JA. Assessment of Fracture Risk: Who Should be Screened ? In: Favus MJ et a1 (eds). Primer on the Mertabolic one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of Bone and mineral Research, Washington DC 2003:316-22. Miller PD, Bonnick SL. Clinical Application of Bone Densitomeby. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Mertabolic one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. American Society of Bone and mineral Research, Washington DC 1999: 152-9.
NYERI Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim
Menurut The International Association for the study of pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion. Nosisepsion merupakan langklah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas. Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya strvktur atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak dilapisi mielin. Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih dari 50°C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeritertinggi yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri berbeda-beda antara satu individu dengan inhividu lain dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek
sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan dengan ambang nyeri.
'rERMINOLOGI NYERI Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat rangsang non-noksius yang pada orang normal, tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkanpada pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik dan neuropati perifer lainnya. Hiperpatia adalah nyeri yang berleblhan, yang ditirnbulkan oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi memberikan respons yang berlebihan pada rangsang multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebutjugadisestesi sumasi. Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi n e w s femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral tungkai dan disebut meralgia parestetika. Parestesi adalah rasa seperti tertusuk jarum atau titik-titik yang dapat timbul spontan atau dicetuskan,misalnya ketika saraf tungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri; bila disertai nyeri maka disebut disestesi. Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan infiltrasi anestesi lokal. Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan kebalikan dari alodinia.
-
Anestesia dolorosa, yaitu nyeri yang timbul di daerah yang hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi. Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi suatu persarafan. Neuralgia yang timbul di saraf skiatika atau radiks S1, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering ddalah neuralgia trigeminal.
sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan disestesia. Nyeri psikogenik, yaitu nyeri yang tidak memenuhi knteria nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik.
Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan .lokasinya sulit dideskripsikan. Nyeri pindah (referredpain) adalah nyeri yangdirasakan ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis yang dirasakan di bahu kanan.
( Nyeri nosiseptifi
1
Nyeri somatik
Nyeri viseral
Nyeri Nyeri neuropatik Nyeri non-nosiseptif Nyeri psikogenik
Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada. Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi subkutaneusdari luar, yang dapat mengaktifkan nosiseptor, misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-P, K', Prostaglandin. Serotonin, histamin, K ' , H', dan prostaglandin terdapat di jaringan; kinin berada di plasma; substansi-Pberada di terminal saraf aferen primer; histarnin b e d didalam granul-granul sel mast, basofil dan trombosit Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hi@ng setelah penyembuhan. Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.
KLASlFlKASl NYERl Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal. Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri tulang, nyeri artritik. Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah. Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya
MEKANISMENYERl Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas di medula spinalis menuju batang otak dan talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu menimbullcan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.
I
Lower limb
---,
T~nk
Antemlateral
neuron susunan saraf pusat di kornu dorsalis medula spinalis. Medula Spinalis Kornu dorsalis medula spinalis merupakan relay point pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung axon yang naik atau turun dari otak. Rexed membagi gray matter menjadi 10lamina. Lamina I - VI terdapat pa& komu dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay informasi sensoris menuju ke otak . Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi atau interneuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi. Terdapat 3 kategori neuron pada korna dorsalis yaitu neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi, yang terdiri dari 3 tipe neuron yaitu nocicptive-spesiJc cells (NS), low treshold (LT) neuron dan wide dynamic range (WDR) neuron.
NEUROTRANSMI'TER PADA KORNU DORSALIS Dorsal root ganglion
---
Garnbar 1. Mekanisme proses nyeri
Type
Conduction velocity
(mls) Aa
Ap AT AS B C
60-120 50-70 '3570 530 530 <3
Neuron diameter
Characteristics
~um) 12-22 4-12 4-12 1-5 1.54 < 1.5
Skeletal motor (M) Touch, vibration, light pressure (M) lntrafusal proprioception (M) Primary nociceptive afferent (M) Autonomic preganglionic(M) Primary noclceptive afferent (unM) Autonomic postgangllonic (unM)
Aspek Perifer Nosisepsi Terdapat 2 tipe serabut saraf aferen primer nosiseptif yaitu serabut A dan serabut C. Dua b g s i utama serabut saraf aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis. Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitif terhadap stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan
Terdapat banyak neurotransmiter yang berperanan pada proses nosiseptif di kornu dorsalis. Meskipun neuropeptida dan asam amino tertentu berperan penting, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan adanya neurotransmiter tunggal untuk nyeri. Distribusi dari neuropeptida ini bisa berbeda di antara beberapa jaringan. Misalnya neuron radix dorsalis yang menginervasi viseral umunmnya umumnya kaya akan substansi P dan CGRP dibanding dengan yang menginervasi kulit. Stimulus noxious akan mencetuskan pelepasan glutamat dan dan beberapa asam amino lain yang terdapat bersama-sama peptida pada terminal aferen primer. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmiter utama dalam exitatory transmission pada tingkat spinal. Bahan ini disimpan pada terminal aferen primer nosiseptor dan dilepaskan sebagai respons terhadap aktivitas nosiseptif. Terdapat banyak neurotransmiter inhibitor yang memodulasi nosisepsi di segrnen kornu dorsalis, seperti somatostatin, GABA, adenosin, alfa 2 adrenergik, taurin dan endocanabinoid. Dari Medula Spinalis Menuju ke Otak Sinyal nosiseptif yang menuju ke kornu dorsalis di relay menuju pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa jalur yaitu traktus spinotalamikus, yang merupakan jalur nyeri utama; traktus spinoretikularis dan traktus spinomesencephalic
Di Tingkat Otak Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan bagian posterior dari nucleus ventromedial; serta di daerah medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta daerah disekitarnya di parietal operculum, insula, anterior cingulate cortex. dan korteks prefrontal.
MODULASI NOSISEP'TIF Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang paling banyak diketahui adalah pada komu dorsalis medula spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis dan descending system yang berasal dari supra spinal.
KONTROL SEGMENTAL (SPINAL) Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input aferen lainya serta descending control mechanism. Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah melalui inhibisi presinap dari injuly-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih dari 70% dari total OP3 (%) receptor site terdapat pada terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive kornu dorsalis. Transrnisi input nosiseptif pada medula spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis, dimana disini merupakan neurotransrniterinhibisi utarna. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.
Gate Control Theory Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat dirnodifikasi oleh input dari neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control theoly. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen AP menghambat respons neuron kornu dorsalis dari input
serabut A dan serabut C. TENS untuk menghilangkan nyeri didasarkan pada teori ini.
Kontrol SupraspinallDescendingControl Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain (periaqueductal gray matter dun locus cemleus) dan medula oblongata(nuc1eus raphe magnus dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi nyeri ini menuju medula spinalis melalui h i k u l u s dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, I1 dan V. Sehingga stirnulasi neuron di rostroventral medula oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dorsalis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden lain yang berasal dari medula oblongi\tabn pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfiiial dan menekan aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis. Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendingpain control ini adalah serotonin (5-hydroxytryptamine, 5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron serotoninergikdan noradrenergik turun melalui funikulus dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan berakhir pada kornu dorsalis, sangat berperanan pada modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor 2 adrenergik akan mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepineprin endogen.
*
Gambar 2. Teori gate control
NYERl INFLAMASI Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan
berbagai mediator bikomiawi selama proses inflamasi terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk kompleks trimolekuler. Kompleks trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL- 1, IL-2) sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan menendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim protease yang pada akhimya akan menyebabkan kerusakan pada organ target tersebut. Kompleks imun juga dapat mengaktifasi sistem komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Selain itu komponen komplemen C5ajuga mempunyai efek kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan mononuklear akan berdatangan ke daerah inflamasi. Sejak tahun 1971, telah diuketahui bahwa produukjalur siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi. Terdapat 2 isoform jalur COX yang disebut COX-1 dan COX-2. Jalur COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang aktifasinya akan membebaskan eikosanoid yang terlibat dalam proses fisiologis sepeertiprostasiklin, tromboksanA, danprostaglandin-E, (PGE,). Sebaliknya,jalur COX-2 akan menghasilkanprostaglandinproinjlamatifyang akan bekerjasama dengan berbagai enzim protease dan mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi. Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin seperti PGE,, PGE,, PGI,, PGD, dan PGA,, dapat menimbulkan vasodilatasi dan demam. Di antara berbagai jenis prostaglandin tersebut, PGI,, merupakan vasodilator terkuat. Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada proses inflamasi ternyata lebih kompleks. Pemberian PGE pada binatang percobaan tidak terbukti dapat memprovokasi nyeri secara langsung, tetapi hams ada kerjasama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain seperti histamin dan bradikinin. Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa prostag: landin dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara
langsung. Sebagian kerusakan jaringan pada proses inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG, menjadi PGH, atau pada proses fagositosis. Pada proses inflamasi, terjadi interaksi 4 sistem yaitu sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis dan sistem komplemen, yang akan membebaskan berbagai protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke daerah inflamasi. Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi peningkatan konsumsi 0, dan produksi radikal oksigen bebas seperti anion superoksida (0;) dan hidrogen peroksida (H,O,). Kedua radikal oksigen bebas ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerisasi hialuronat sehingga dapat merusak rawan sendi clan m e n d a n viskositascairan sendi.
NYERl PSI'KOGENIK
Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan psikiatrik, psikosomatik dan depresi terselubung. Pasien nyeri kronik akibat trauma yang berat, misalnya kecelakaan, peperangan dan sebagainya, seringkali mennjukkan gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien selalu merasa dirinya sakit walaupun secara medikkelainan fisiknya sudah sembuh. Dalam ha1 ini, pasien harus diyakinkan bahwa keadaan psikologik ini sering terjadi dan dia hams berusaha untuk mengatasinya dengan baik karena keadaan fisiknya sebenamya sudah sembuh. Nyeri pada merupakan salah satu bentuk kelainan psikosomatik, dimana pasien mengekspresikan konflik yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik. Keluhan ini dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-harinya, termasuk pekerjaannya, aktivitas sosialnya dan hubungan interpersonalnya. Biasanya pasien akan merasa selalu sakit dan membutuhkan perhatian medik mengenai penyakitnya. Pasien dengan nyeripsikosomatik akan mengeluh nyeri pada satu bagian tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga membutuhkan perhatian dokter. Keluhan nyeri ini sangat menonjol dan tampak bahwa faktor-faktorpsikologik akan sangat mempengaruhi timbulnya nyeri, perjalanan penyakit dan eksaserbasi nyerinya, tetapi ha1 ini tidak disadari oleh pasien dan selalu akan disangkal sehingga sangat menyulitkan pengobatan. Pasien akhirnya akan tergantung pada berbagai obat analgesik, apalagi bila psikoterapi tidak berhasil atau diabaikan.
DEPRESI PADA NYERl KRONIK
Secara tradisional perbedaan nyeri akut dan kronik didasarkan pada interval waktu sejak mulainya nyeri, ada
-
yang menyebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 6 bulag sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan cedera jaringan. Batasan ini relatif tidak tergantung pada batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti. Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya atau yang norma. Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama waktu yang singkat dan sembuh bila kelainan yang mendasari sudah sembuh. Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara patogenesis maupun fisik jauh dari penyebab aslinya. Pada nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya faktor lingkungan clan afektif akhimya berinteraksi dengan kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada terjadinya persistensi nyeri dan perilaku nyeri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum. Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9% pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8% pada populasi nyeri pinggang kronik6.Pada penelitian ini juga didapatkan orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak nyeri. Demikianjuga sebaliknyaangka kejadian nyeri pada pasien depresi lebih tinggi (30-60%) dari pada orang yang tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresi5. Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari sudut pandang teori biologi.
Sensitivitas Nyeri Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi. Beberapa penelitian menujukkan angka kejadian nyeri lebih tinggi pada pasien depresi dibandingpopulasi umum. Data prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bewariasi, tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai yaitu antara 10%- 100%. Sebaliknya keluhan nyeri didapatkan pada 30-60% pada pasien depresi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus noxious, dengan kata lain pasien depresi memiliki ambang nyeri yang lebih rendah. Pada penelitian terdahulu beberapa penelitian mendukung teori ini, tetapi pada penelitian akhirakhir ini tidak terbukti. Nilai ambang nyeri baik terhadap stimulus thermal maupun electric didapatkan meningkat pada pasien depresi. Pada penelitian Lautenbacher dkk didapatkan bahwa nilai ambang nyeri pasien depresi justru lebih tinggi dari pada pasien dengan panic disorder maupun orang sehat.
Biogenic Amine : Serotonin dan Norephineprine Tingginya variasi hubungan antara tingkat beratnya cedera dan beratnya nyeri telah diketahui sejak penelitian Henry Behcer terhadap tentara di Anzio Beach pada perang dunia ke dua. Sejak th 1970 banyak kemajuan yaitu identifikasi adanya central nervous system mechanism of endogenous pain modulaition. Stimulasi pada rostra1 ventomedial medulla atau dorsolateral pontine tegmentum akan mengakibatkan analgesia pada binatang percobaan dan inhibisi dari spinal pain transmission. Rostra1 ventromedial medulla adalah tempat utama neuron serotoninergik yang menuju ke komu dorsalis medula spinalis. Dorsolateral pontine tegmentum merupakan tempat utama neuron noradrenergik yang menuju kornu dorsalis. Kedua neurotransmitter ini menghambat nociceptive neuronneuron komu dorsalis. Terdapat hipotesis bahwa mekanisme analgesia dan antidepresi obat antidepresan yang memberikan efek analgesia melalui peningkatan neurotransmisi serotoninergik dan noradrenergik. Saling ketergantungan antara sistem opioid dan nonopioid sudah dipikirkan pada penelitian-penlitian yang menunjukkan peningkatan analgesi opioid bila diberikan antidepresan,dan penurunan analgesia opioid setelah penurunan serotonin dan norephineprin. Berdasarkan ha1 ini tampaknya biogenic amine berperan sangat penting pada modulasi nyeri endogen. Oleh karena terdapat deplesi atau gangguan fungsi biogenic amine seperti serotonin dan norefineprin pada depresi, maka bisa dipahami bahwa ha1 ini bisa berperanan pada pengalaman dan penyampaian rasa nyeri pada pasien depresi mayor.
KAJIAN 4WAL TERHADAP RASA NYERI Terdapat beberapa ha1 penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien, yaitu:
Lokasi Nyeri Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.
Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien. Misalnya pada keluhan nyeri sciatic yang dirasakan pasien sepanjang tubngkai bagian belakang, bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.
Gejala Lain yang Menyertai Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa nyeri seperti mual dan muntah, konstipasi, gatal, mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta kelemahan?
lntensitas Nyeri Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS). Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya (0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.
Kesan dan Perencanaan Pengobatan Buatlah kesimpulan akan nyeri yang diderita pasien serta lakukan pemeriksaan fisik termasuk terhadap tanda-tanda vital. Evaluasi terhadap pengobatan sebelumnya dan apakah masih memberikan manfaat dalam mengatasi rasa nyeri yang diderita pasien atau tidak. Pada bagian ini perlu dievaluasi pula seberapa jauh pasien memahami akan masalah nyeri yang dialaminya. Selanjutnya pengobatan nyeri itu sendiri sebaiknya dikomunikasikan lehih dalam dengan pasien agar terdapat kesenjangan yang dapat ditekan sekecil mungkin antara harapan seorang pasien terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter dan hasil pengobatan sebagai suatu kenyataan. Pada pengobatan nyeri perlu diingat bahwa pendekatan awal adalah menggunakan tekhnik yang non invasif, sebagai contoh menggunakan alat fisioterapi seperti ultra sonic lebih diutamakan dibandingkan blok saraf dan sebagainya. Mengenai pemeriksaan fisik nyeri reurnatik, maka diperlukan tekhnik tersendiri guna mendapatkan gambaran rasa nyeri yang diderita pasien. Terdapat beberapa metoda untuk mengkaji nyeri tekan, yaitu menggunakan 4-point compression technique, two-point technique, two-thumb technique, single tuhum pressure technique, dan two finger technique. Terhadap nyeri gerak umumnya dilakukan gerakan pasif fleksi ekstensi sesuai dengan batas lingkup gerak sendi (LGS) dari setiap sendi yang akan diperiksa.
Kualitas Nyeri Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya. Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)? Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien berkaitan dengan rasa nyeri, yaitu: aching, stabbing, tendei; tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing, burning, penetrating, miserable, radiating, deep, shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable, squeezing dan pressure. Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita pasien dan faktor apa yang meringankan nyeri hendaklah ditanyakan kepada pasien tersebut. Pengaruh nyeri Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar kualitas hidup atau terhadap hal-ha1 yang lebih spesifik seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan, enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living), hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood (sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri), kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan dan sebagainya.
PENGUKURAN NYERl Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana dikemukakanpada kajian awal terhadap nyeri di atas, belurn terdapat metoda yang baku baik klinis maupun menggunakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan pada semuajenis nyeri. Sebagaisalah satu contoh sulitnya mengukur nyeri adalah ketidaktepatan apa yang dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikanrasa nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan penyangkalan terhadap intensitas nyeri. Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta obsewasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah
yaitu: pengukuran nyeri dengan skala kategorikal, numerikal dan pendekatan multidimensional. Masingmasing pendekatan pengukuran nyeri ini memiliki kelebihan dan kekurapgan masing-masing serta tingkat obyektifitassubyektifitas berbeda-beda dan area yang menjadi tujuan pengukuran apakah sensorik saja, apakah mencakup afektif serta adakah sifat evaluatif dari instrumen dimaksud. Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja (one-dimensional) atau pengukuran berdimensi ganda (multi-dimensional).Pada pengukuran satu dimensional umumnya hanya mengukur pada satu aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri menggunakan pain rating scale yang dapat berupa pengukuran kategorikal atau numerikal misalnya visual analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multidimensionaldimaksudkan tidak hanya terbatas pada aspek sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari segi afektif atau bahkan prosesd evaluasi nyeri dimungkinkanoleh metoda ini. Pengukuran Nyeri Secara Kategorikal Pengukuran nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu dimensi (one dimensional)dan baik pasien maupun dokter dapat menggunakannya dengan mudah. Umumnya pengukuran kategorikal ini menempatkan pasien pada bebeapa kategori yang umum dipakai yaitu: tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri hebat. Satu contoh kelompok ini yang banyak dipakai adalah verbal rating scale. Tidak terdapat nyeri tentunya diartikan pasien sebagai tidak merasakan rasa nyeri. Sedangkan nyeri ringan umumnya diartikan sebagai nyeri yang umumnya bersifat siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian. Analgetikum biasanya efektif mengatasi nyeri ringan ini. Dikatakan nyeri sedang bila nyeri bersifat episodik, terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat ditolerir walaupun pasien membutuhkan analgetikum. Pengobatan dengan analgetikum ini umumnya tidaklah menghilangkan nyeri secara total. Rasa nyeri yang terjadi akan meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas eseharian atau aktivitas yang tidak biasa dilakukan pasien. Apabila pasien dalam melakukan aktivitas kesehariannya merasa nyeri dan. rasa nyeri tersebut mengganggu aktivitasnya maka dikatakan pasien menderita nyeri hebat. Nyeri hebat tidak dapai diatasi dengan analgetikum sederhana atau hanya memberikan respons yang minimal.
pain
Mild
Moderate
Severe
Likert pain scale
possible pain
Kelemahan dari pengukuran nyeri secara kategorikal ini adalah kecenderungan pasien untuk lebih condong pada kategori ke arah tengah yaitu nyeri sedang dibandingkan ke arah ringan atau hebat. Juga tidak terdapat panduan deskripsi rasa nyeri yang memadai. Pengukuran Nyeri Secara Numerikal Numerical rating scale (NSR) merupakan pengukuran nyeri dimana kepada pasien dimintakan untuk memberikan angka 1 sampai 10. No1 diartikan sebagai tidak ada nyeri sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang hebat dan tidak tertahankan oleh pasien. Pengukuran ini lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien tersebut dmintakan secara lisan atau mengisi form kesioner. Salah satu bentuk yang dianggap oleh sebagian peneliti tidak identik adalah penggunaan visual analogue scale atau VAS.
Bentuk di atas dapat diubah menjadi bentuk lain yang dikenal dengan 11-points box scale dimana angka-angka diletakkan dalam kotak berjajar serial. Pasiendmintauntuk memberikan tanda silang pada intensitas nyeri yang dirasakan.
Angka 0 menunjukkan tidak terdapat rasa nyeri sedangkan 10 menandakan nyeri yang sangat hebat dan tidak tertahankan. Visual Analogue Scale VAS adalah instrumen pengukuran nyeri yang paling banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan terhadap berbagai jenis nyeri. Metoda pengukuran ini sebagaimanayang dikembangkan oleh Stevenson KK dan kawan-kawan dari Pusat Penanganan Nyeri Kanker di Wisconsin. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang 10 cm. Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk memberikan garis tegak lurus yang menandakan derajat beratnya nyeri yang dirasakannya. Sebagai contoh bila pasien tidak merasakan nyeri apapun, maka ia hams menggariskannya pada ujung sisi kiri dari garis VAS tersebut. Instrumen VAS ini tidak menggambarkan jenis rasa nyeri yang dialamai pasien, mislanya shootingpain dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran
kategorikal, maka VAS juga mengukur nyeri secara satu dimensi saja. Pengukuran dengan VAS pada nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan; nilai antara 4-7 dinyatakan sebagai ny'eri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. Visual analogue scale ini memiliki beberapa tipe. Namun tetap mencermmkan satu dirnensi pengukuran nyeri saja. Dua bentuk lagi hampir sama dengan tipe a namun dalam posisi vertikal serta satu lainnya dibagi menjadi 20 skala interval. Masih dalam kategori ini terdapat skala pengukran nyeri yang lebih banyak dipakai pada anak-anak dan dikenal sebagaifaces scale. Intensitas nyeri digambarkan oleh karikatur wajah dengan berbagai bentuk mulut. No pain
Extreme pain
No Pain1 No Pain1
Mild
Moderat
severe
Mild Modetra Severe
1
Extreme pain
I
Extreme pain
I
No change Extreme pain
severe
1
No
Slight pain
Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami pasien. Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (painscale). Hingga saat ini terdapat 40 instrumen yang potensial dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal rating scale, VAS, numerical rating scale, wisconsin brief pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat h i , serta dampak nyeri pada fimgsi dan hasil pengobatan; memorial pain questionaire (Fishman 1987)berupa kartu dua sisi dimana salah satu sisi menggarnbarkan intensitas nyeri dan mood pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky. Perrlgukuran Nyeri Secara Multi-dimensional Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada
berbagai dimensi yang berbeda-beda. Mislanya skala 3 dimensi yaitu: sensorik, afektif clan evaluatif sebagaimana terlihat pada salah satu pengukuran yang paling banyak dipakai untuk pendekatan multi-dimensional ini yaitu the McGill Pain Questionaire (MPCi, Melzack 1975) dalam bentuk format lengkap atau Short Form (SF-MPQ). McGill Pain Questionaire di atas membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit untuk mengisinya, sedangkan Short form nya cukup 2-5 menit saja. Apabila dikaitkan dengan artritis, maka arthritis impact measurement scales atau AIMS (Meenan 1980) lah yang umumnya dipakai. AIMS ini mengukur sembilan skala dimensi berbeda yaitu mulai dari nyeri, mobilitas, aktivitas fislk, peran sosial, aktivitas sosial, aktivitas hidup keseharian, depresi, ansietas dan dexterity. Bentuk-bentuk lain pengukuran nyeri multidimensional adalah: Patient outcome questionare didesain untuk mengukur beratnya nyeri, intervensi, kepuasan terhadap kontrol nyeri dan beberapa aspek lain dalam pengobatan dan pemberian obat; Descriptor diflerential scale (Gracey 1988) yang megukur komponen sensorik dan afektif nyeri meggunakan skala rasio; Integratedpainscore (Ventafridda 1983)yang mengukur baik intensitas maupun durasi nyeri; Pain perceptionprojle (Tursky 1976) yang digunakan untuk pengukuran dimensi sensorik, afektif dan intensitas nyeri; West Haven-Yale multidimensional pain inventoly (Kerns 1985) berupa 52 itens pengukuran nyeri kronik; Brief pain inventory (cleeland 1994) bagi pengukuran nyeri kanker, demiluan pula halnya dengan Unmet analgesic needs questionaire dan masih banyak lagi yang dibuat untuk tujuan pengukuran ini baik pada pasien dewasa maupun pada pasien anak-an&. Pengukuran Nyeri Menggunakan Alat Elektromekanikal atau Alat Mekanis Dolorimeter merupakan alat mekanis yang dipakai untuk kwantifikasi ambang nyeri baik pada sendi maupunjaringan lunak. Alat yang paling banyak dipakai adalah Chatillon dolorimeter yang merupakan bentuk penyempurnaan dari dolorimeter kuno Steinbrockerpalpometer dan Hollander palpameter. Dua jenis Chatillon dolorimeter yaitu dengan tekanan 10 pound dan 20 pound. Angka sepuluh pound dikemukakan oleh McCarty sebagai tekanan maksimurn ibujari pada pemeriksaan sendi. Analogi ibujari digantikan dengan rubber stopper setebal 1.5 cm pada alat tersebut. Selanjutnya alat ini memiliki pula pegas lingkar dan readingpoiater yang akan memberikan pembacaan pada skala tertentu. Kepada pasien dimintakan untuk memberitahukan manakala ambang rasa nyeri tercapai dengan dilakukannya tekanan sebesar 5 pounds per detik atau 2 kg per detik. Alat serupa dengan tekanan 20 pound dipakai apabila dengan alat 10 pound terlihat skor yang rendah. Jenis lain dolorimeter adalahpneumaticpressure dolorimeter dari Langley.
PENATALAKSANAAN NYERl DENGAN OBATOBATAN Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki risiko relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan analgesik. Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin, asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat, langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain. Dosis pengobatan hams dijadwal secara teratur untuk memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri. Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba. Obat-Obatan Untuk Nyeri RinganSampai Sedang Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat,AINS, atau asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan seperti kodein atau oksikodon.
Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida; pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksanA2 tetapi tidak ieukohien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi aspirin akan cepat dideasetilasi membentuk metabolit aktif salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara reversibelAspirin umumnya digunakan sebagai obat pilihan pertarna untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang, aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti inflarnasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 81;325; dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau2 tablet (325-650 mg) setiap 4 jam saat diperlukan, diminum dengan air minum. Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan dan an'tasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat. Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau pemberianjangka panjang adalah iritasi lambung dan pada pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pa& usus. Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal
masif, biasanya pada peminum berat atau pasien dengan riwayat ulkus peptik. Alergi aspirin jarang terjadi dan mungkin bermanifestasi sebagai rinorrhea, polip nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis. Aspirin pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang mempengaruhi vitamin K, sehingga memperpanjangwaktu penggumpalan.
Asetaminofen. Asetaminofenpada dosis yang sama dengan aspirin (650 mg oral setiap 4jam) mempunyai efek analgetk dan antipiretikyang sebandingtetapi efek antiinflamasinya lebih rendah dibanding aspirin. Ini sangat berguna untuk orang yang tidak dapat mentoleransi aspirin atau pada gangguan perdarahan dan pada pasien yang mempunyai risiko Reye b syndrome. Pada setiap dosis tinggi (misal>4 mg/hari pada pemberian jangka panjang, >7 mglhari sekaligus) asetaminofen dapat menyebabkan hepatotoksik, manifestasinya nekrosis hepatis yang ditandai dengan meningkatnya kadar aminotransferase serum. Toksisitas dapat terjadi pada dosis lebih rendah pada pengguna alkohol kronik. Anti Inflamasi Non Steroid. Semua obat AINS mempakan analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang kerjanya tergantung dosis. Prinsipnya, obat-obat tersebut digunakan untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada beberapa gangguan muskuloskeletal, nyeri menstruasi dan lainnya terutama keadaan yang bisa sembuh sendiri termasuk ketidaknyamanan pasca operasi.Aktivitas AINS menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin adalah famili hormone-like chemicals, beberapa di antaranya dibentuk karena respons kerusakan jaringan. Mekanisme yang lazim untuk semua AINS adalah menginhibisi enzim siklooksigenase (COX). COX ini diperlukan dalam pembentukan prostaglandin. Enzim ini dikenal dalam dua bentuk, COX- 1yang melindungi sel-sel lambung dan intestinal dan COX-2 yang terlibat pada proses inflamasi jaringan, tidak identik dengan siklooksigenase yang ada pada kebanyakan sel lain di dalam tubuh (COX-1). Banyak dari obat ini pada beberapa tingkat, menginhibisi agregasi platelet dan bisa menyebabkan perdarahan lambung (risiko ini berhubungan dengan perdarahan traktus gastrointestinal atas 1,5 kali normal dan hidensi lebih tinggi pada pasien berusia lanjut), kerusakan ginjal (termasuk gaga1 ginjal akut, penurunan filtrasi glomerulair, sindroma nefiotik, nekrosis papilaris, nefiitis interstitial, dan asidosis renal tubuler tipe IV), supresi sumsum tulang, rash, anoreksia, dan nausea. Kemsakan ginjal lebih sering terjadi pada laki-laki tua, pengguna diuretik, dan pasien dengan penyakit jantung. AINS secara umum tidak diberikan pada pasien yang menerima terapi antikoagulan oral. Keuntungan lain AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yang lebih lama sehingga frekuensi pemberian lebih rendah dan kepatuhan pasien lebih baik dan frekuensi efek samping pada gastrointestinal lebih rendah.
Obatobatan untuk Nyeri Sedang sampai Berat Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat yang tidak berkurang dengan obat lain. Contohnya termasuk nyeri akut pada trauma berat, luka bakar, infark miokard, batu ureter, pembedahan dan nyeri kronik pada penyakit progresif seperti AIDS. Opioid efektif, mudah dititrasi dan mempunyai rasio manfaat-risiko yang baik. Dosis besar opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri jika nyeri berat dan penanganan lebih luas diperlukan jika nyerinya kronik. Opioid analgesik berguna juga untuk menangani pasien yang dengan jalan yang lain tidak berhasil. Terapi opioid yang berkelanjutan seharusnya ldidasarkan pada evaluasi dokter terhadap kesimpulan penanganan (tingkat pengurangan nyeri, perubahan fungsi fisik dan psikologis, jumlah peresepan, nomor telepon, kunjungan klinik atau unit kegawatan, rawat inap di rumah sakit, dan lain-lain). Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang terus-menerus dapat mengakibatkan toleransi (peningkatan dosis opioid yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek analgesik yang sama) dan ketergantungan fisik (gejala putus obat terjadi bila tiba-tiba opioid dihentikanl withdrawal syndrome atau abstinence syndrome, teriadi variasi tingkat dan periode penggunaan). Toleransi dan ketergantungan fisik merupakan reaksi fisiologik normal dari terapi opioid dan jangan dibingungkan dengan adiksi. Adiksi adalah ketergantungan psikologik karena penyalahgunaan obat (bervariasi dari manipulasi mencari obat sampai penggunaan obat terus-menerus dengan tujuan non medis dengan efek yang merugikan). Pasien dan anggota keluarga dapat diedukasi tentang perbedaan toleransi, ketergantungan fisik, serta adiksi dan risiko kecil adiksi pada penggunaan opioid jangka panjang atau dosis tinggi untuk mengurangi nyeri. Contoh obat agonis opioid yang sering digunakan antara lain:
Morfin Sulfat. Merupakan opioid yang sering diresepkan dan tersedia dalam beberapa bentuk. Morfin 8-15 mg subkutan atau intrarnuskularefektif untuk mengontrol nyeri berat pada pasien dewasa. Pada infark miokard akut atau edema pulmo akut terjadi kegagalan vaskular kiri, 2-6 mg disuntikkan pelan-pelan intravena pada 5 ml cairan salin. Metadon. Metadon 5-10 mg secara oral tiap 6-8 jam sering digunakan untuk menangani adiksi karena durasi kerjanya lama. Kodein (sufat atau fosfat). Kodein sering digunakan bersama dengan aspirin atau asetaminofen untuk memperkuat efek analgesiknya. Kodein adalah penekan batuk yang kuat pada dosis 15-30 mg oral tiap 4 jam. Oksikodondan hidrokodon.Obat-obat ini diberikansecara qral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-73
mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin 325 mg atau 500 mg.
Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral atau intramuskuler setiap 3-4jam memberikan efek analgesikyang sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang. Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan garnbaran opioid dan non opioid, mempunyai kerjarangkap. Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid: tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk memblok pengambilan kembali norepinefiin dan serotonin. Dosis yang dianjurkan adalah 50- 100mg tiap 4-6 jam sampai dosis total 400 mgihari (maksimum 300 mgihari pada pasien umur 75 tahun atau lebih).
Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri Kortikosteroid sangat membantu manajemen nyeri kanker. Deksametason 16-96 mghari secara oral atau intravena atau prednison 40-1 00 mghari secara oral mempunyai aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini menguntungkan untuk penanganan kakeksia dan anoreksia. Antikonvulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mhhari per oral, Carbamazepin 200- 1600 mgihari per oral, Gabapentin 900-1 800 mglhari per oral), antidepresan (misalnya Amitriptilin atau Desipramin 25- 150 mglhari per oral), dan anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna pada manajemen nyeri neuropati. Antikonvulsan generasi baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra luas. Neuroleptik (misalnya Metotrimeprazin40-80 mgihari intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.
PENATALAKSANAAN NYERl DENGAN METODE YANG LAIN Macam terapi non obat untuk manajemen nyeri adalah.
Blok Saraf. Blok saraf sederhana dengan anestetik lokal jangka panjang ditambah suntikan steroid dapat meringankan nyeri bahu, nyeri dada dan nyeri paha. Blok pada saraf simpatik dapat membantu untuk mengurangi nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kronik dan anginakronik. Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi nyeri dan radang pada sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan dengan bimbingan sinar X. Prosedur ini juga dapat meredakan nyeri kronikpada sendi panggul dan sendi bahu.
-
Terapi Stimulasi ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation) menggunakan bantal khusus yang. dihubungkan dengan mesin kecil yang menghantarkan a h a n listrik lemah ke perrnukaan kulit dari area nyeri .'.,.,. . Akupuntur .I '
Program Manajemen Nyeri dan Bantuan @$ikologi Merupakan program rehabilitasi berdasarkan 'psikologi untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih de&an metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik melalui pengajaran fislk, psikologis dan teknis praktis untuk memperbaikikualitas nyeri. Program ini meliputi pemulihan fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan psikologis dan intervensi (terapi kognitif), bersamaan dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap. Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini terakhir yang dilakukan bila semua usaha untuk mengurangi nyeri gagal.
REFERENSI Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception. In: Kanner R (ed). Pain Managemen secrets. 9Ih ed. Hanley & Belfus Inc. Philadelphia, 1997:8- 12 Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134. Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In : Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management, Acute pain. 2003 : 1-16. Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in general Canadian population. Pain 2004 ; 107 54-60. Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional. Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 : 3-8. IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds. Classification o f chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994: 209-2 14. Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri neuropatik. 2004. Sullivan MD, Turk DC. Psychiatric illness, depression, and psychogenic pain. In : Bonicas, Management o f pain. 3rd edition . 2001 : 483-500. Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas, Management of pain. 3rd edition . 2001 :17-25
ARTRITIS REUMATOID :[ Nyoman Suarjana
PENDAHULUAN Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatanpiramid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR.
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,s -1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%.5PrevalensiAR di India dan di negara barat h a n g lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik ReurnatologiRSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari sld Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%)? Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.
Faktor genetik Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR sepertidaerah 18q21 dari gen TNFRSRl 1A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB).Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik.gJOPada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnyaAR lebih dari 30% dan
pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%. Hormon sex Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Thl). Oleh karena pada AR respon Thl lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembanganAR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat. Faktor infeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit seperti tampak pada Tabel 1. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.
Agen infeksi Mycoplasma Parvovirus B19 Retrovirus Enteric bacteria Mycobacteria Epstein-Barr Virus Bacterial cell walls
Mekanisme patogenik lnfeksi sinovial langsung, superantigen lnfeksi sinovial langsung lnfeksi sinovial langsung Kemiripan molekul Kemiripan molekul Kemiripan molekul Aktifasi makrofag
mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry)
FAKTOR RlSlKO Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Konsurnsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated munglun juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.
PATOGENESIS Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi malcrofag dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnyaterjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. (Gambar 1) Berbagai macarn sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. (Gambar 2 dan 3).
Protein heat shock (HSP) HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandunguntaian (sequence)asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis
Gambar 1. Destruksi
sendi oleh jaringan pannus
-
e-GIII
Mearophngs ~thlpolon
aothlntmn
t
PffmBtlo" or rnrumnmm gnator
f
lmrnlnr oomclrx *metion and
CytoWnuz.
aotlYBtl0n
1
FlbroblnI.ts a~mndrocvtea Svnovial aelk,
wolnrrntmn
~IOPOSIID~
1
mwraobn 01 Pdha%slon rnolaculra
f
Ae10am3 01 a*towrrrl
C
Wbolont mtlgsnDraanlW Od1
-.
RaIor aollnoanesa. stromrly.ln. m d omrr rnrymea alpotaao.
f
Somt lnlury
1
-mulOtton 01 RIknmmatow aalm
L r ~ e n l l l S Tormetl~n: dsatruatlon 01 bone. aartIlags; M r o s t s ; - l O l m ~
I
Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid.
Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid
Peran sel T Induksi respon sel T pa& artritis reumatoid di awali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari major histocompatibility complex class ZZ(MHCI1-SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252), inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi &lam aktivasi sel T melalui ikatan dengan lymphocyte finction-associated antigen &FA)-1 (CDl la/CD18),OX40 (CD134),
ICOS (CD278), and CD28. Fibroblasf-likesynoviocytes (FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin (1L)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-P) kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17 menginduksi pengeluaran 11-17. IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflarnasi l a i ~ y (TNF-a a dan IG1 P) pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,
produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD254), dan osteoklastogenesis.Interaksi CD40L (CD154) dengan CD40jugamengakibatkan aktivasi monosit1 makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan munglun di non-aktifkan oleh TNF-asinovial. IL-10 banyak didapatkan pada cairan sinovialtetapi efeknya pada regulasi Th17 belum ddcetahui. Ekspresi molekul tambahan pada sel Th17 yang tampak pads. Gambar 4 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang ditemukan padapopulasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetukan struktur tersebut pada subset sel Th17 pada sinovium manusia.
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan memproduksi RE Selain itu kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi. 4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B. Berdasarkan mekanisme diatas,menginddcasikan bahwa sel B berperanan penting dalam penyakit AR, sehingga layak dijadikan target dalarn terapi AR.
Peran sel B Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut : 1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan h g s i efektor dari sel T CD4+. 2. Sel B dalam membran sinovialAR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-adan kemokin. 3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka
Gambar 5memperlihatkan peranan potensial sel B dalam terpapar regulasi respon imun pada AR. Sel B mature oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like rebeptor ligand) akan berdiferensiasi menjadi short-livedplasma cells atau masuk kedalam reaksi GC (germinal centre) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-livedplasma cells yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk kompleks imun yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada sel T sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi IL-10 yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.
y_ang
Effector Phase
-- . .-- -. -- .-- - -Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironmentpada artritis reumatoid -
--
Gambar 5. Partisipasi sel B pada artritis reumatoid
Awitan (onset) Kurang lebih 213 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan filminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan. Manifestasi artikular Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga peoderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) munglun ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik. Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.
Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat. Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada Tabel 2.
Metacarpophalangeal(MCP) Pergelangan tangan Proximal interphalangeal (PIP) Lutut Metatarsophalangeal (MTP) Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar) Bahu Midfoot (tarsus) Panggul (Hip) Siku Acromioclavicular Vertebra servikal Temporomandibular Sternoclavicular
Manifestasi Ekstraartikular Walaupun a t i t i s merupakan manifestasi klinis utama,
tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid meppakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak rnernerlukan intervensikhusus. Nodul reumatoid umurnnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan munghn dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraartikulerseperti vaskulitis dan Felty syndromejarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikularAR dirangkum dalam Tabel 3.
Bentuk deformitas*
Keterangan
Deformitas leher angsa (swanneck) Deformitas boutonniere
Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP. Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP. Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna. Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar. Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensidari sendi interfalang. Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi rnengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan tarnpak mengecil (opereff? glass hand). MTP I terdesak kearah medial dan jernpol kaki rnengalarni deviasi kearah luar yang terjadi secara bilateral.
Deviasi ulna Deformitas kunci piano (pianokey)
Deforrnitas Z-thumb
Arthritis mutilans
Hallux valgus Sistern organ Konstitusional Kulit
Mata
Kardiovaskular Paru-paru
Hematologi
Gastrointestinal Neurologi Ginjal Metabolik
Manifestasi Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan, limfadenopati Nodul rematoid, accelerated rheumatoid nodulosis, rheumatoid vasculitis, pyoderma gangrenosum, interstitial granulomatosus dermatitis wHh arthritis, palisaded neutrophilic dan granulomatosis dermatitis, rheumatoid neutrophilic dermatitis, dan adult-onset Still disease. Sjogren syndrome (keratoconjunctivits sicca), scleritis, episcleritis, scleromalacia. Pericarditis, efusi perikardial, edokarditis, valvulitis. Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis, nodul reurnatoid pada paru, Caplan's syndrome (infiltrat nodular pada paru dengan pneumoconiosis). Anemia penyakit kronik, trornbositosis, eosinofilia, Felty syndrome ( AR dengan neutropenia dan splenomegali). Sjiigren syndrome (xerostomia). amyloidosis, vaskulitis. Entrapment neuropathy, myelopathylmyositis. Amyloidosis, renal tubular acidosis, interstitial nephritis. Osteoporosis.
Deformitas Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamenturn)menyebabkan terjadinya deformitas. Bentukbentuk deformitas yang bisa diternukan pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 4.
*Lihat foto artritis reumatoid
KOMPLlKASl Dokter hams melakukan pemantauan terhadap adanya komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6.
PEMERIKSAAN PENUNJANG DlAGNOSTlK Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirrnasi diagnosis AR. The American College of Rheumatology Subc0,mmittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikanpemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor reurnatoid (RF),laju endap darah atau C-reactiveprotein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkornendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi.Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk. Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada awal perjalanan penyakit rnungkin hanya ditemukan pernbengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada
.
Komplikasi
Keterangan
Anemia
Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi. Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia 2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid; penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS. 113 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan; miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atnoventrikular jarang ditemukan. Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada foto sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia. Episkleritis jarang terjadi. Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit. Umumnya merupakan efek dari terapi AR. Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal. Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan adanya ronki pada pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6). Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum atau vertebra. Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus, artentis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD; berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.
Kanker
Komplikasi kardiak
Penyakit tulang belakang leher (centical spine disease) Gangguan mata Pembentukan fistula Peningkatan infeksi Deformitas sendi tangan
Deformitas sendi lainnya Komplikasi pernafasan
Nodul reumatoid
Vaskulitis
PIP = proximal interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid factor
Pleural disease Pleural effusions, Pleural fibrosi lnterstltial lung disease Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial pneumonia. Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid nodules Pulmonary vascular disease Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis Secondary pulmonary complications Opportunistic infections Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis. Pneumocystis jeroveci pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis Drug toxicity Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin
pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderitaAR akan mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana ha1 ini menandakan penyakit berjalan secara progresif Erosi tulang bisatampak pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan
pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila' diperlukan terapi pembedahan.Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR dirangkum pada Tabel 7 dan perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR tampak pada Tabel 8.
Pemeriksaan penunjang C-reactive protein (CRP)' Laju endap darah (LED)' Hernoglobinlhematokrit' Jumlah lekosit' Jurnlah trombosit' Fungsi hati* Faktor reumatoid (RF)'
Foto polos sendi*
MRI Anticyclic citrullinated peptide antibody (anti-CCP) Anti-RA33 Antinuclear antibody (ANA) Konsentrasi komplemen lrnunoglobulin (lg) Pemeriksaan cairan sendi Fungsi ginjal Urinalisis
Penemuan yang berhubungan Umurnnya meningkat sampai > 0,7 picograrnlmL, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Sering rneningkat > 30 mmljam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 gldL, anemia norrnokrornik, mungkin juga normositik atau mikrositik Mungkin meningkat. Biasanya meningkat. Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat. Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika perneriksaan awal negatif dapat diulang setelah 6 - 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sj6gren1s, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit. Mungkin normal atau tarnpak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pernbanding dalarn penelitian selanjutnya. Marnpu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, tarnpilan struktur sendi lebih rinci. Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya rneningkat bila dikornbinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua laboratoriurn rnempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP. Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif. Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR. Normal atau meningkat. lg a-I dan a-2 mungkin rneningkat. Diperlukan bila diagnosis rneragukan. Pada AR tidak diternukan kristal, kultur negatif dan kadar glukosa rendah. Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk mernonitor efek samping terapi. Hernaturia rnikroskopik atau proteinuria bisa diternukan pada kebanyakan penyakit iarinaan ikat.
* Direkornendasikan untuk evaluasi awal AR
(%I RF titer > 20 Ulrnl RF titer tinggi (2 50 Ulml) Anti-CCP Anti-RA33
55 45
(%) 89 96
("/.) 84 92
41 28
98 90
96 74
'PPV = positive predictive value
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh kriteria dari American College ofRheumatology seperti tampak pada Tabel 9. Pada penderita AR stadium awal (early)munglun sulit menegakkan diagnosis definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan awal, penderita hams ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas. Liao dkk30 melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang
kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis, sehingga jumlah kriteria menjadi enam. Diagnosis AR ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria diagnosis ini ternyatamemperbaiki sensitivitas dari knteria ACR (74% :5 I%), tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari knteriaACR(81% : 91%).
DIAGNOSIS BANDING
AR hams dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya kelainan endohin juga hams disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan AR, bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. PROGNOSIS
Prediktor prognosis bumk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi
Ada
Kaku pagi hari (morning stiffness) Artritis pada 3 persendian atau lebih
Artritis pada persendian tangan Artritis yang sirnetrik Nodul reumatoid Faktor reumatoid serum positif Perubahan gambaran radiologis
Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung paling sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal. Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya perturnbuhan tulang saja) yang diobsewasi oleh seorang dokter. Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat yaitu : PIP, MCP, pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki dan MTP kanan atau kiri. Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan tangan, MCP atau PIP. Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan (keterlibatan b~lateralsendi PIP. MCP atau MTP dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris). Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang, permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang diobsewasi oleh seorang dokter. Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan metode apapun, yang memberikan hasil positif < 5% pada kontrol subyek normal. Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis reumatoid pada foto posterioanterior tangan dan pergelangan tangan, berupa erosi atau dekalsifikasi tulang yang terdapat pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartrit~ssaja tidak memenuhi persyaratan).
gejala atau tanda* : Tidak ada
39
14
32
13
33 29 50 74 79
Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overallprobability)untuk AR adalah 30%
- Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, rnemperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6.Tetapi hasil ini rnungkin akan rnenurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.
Setiap kunjungan penderita AR, dokter hams menilai apakah penyakitnya aktif atau tidak aktif (Tabel 10).Gejala penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya kelelahan (ratigue) dan adanya sinovitis aktif pada pemeriksaan sendi, mengindikasikan bahwa penyakit
Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk penyakit aktif : - Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale
-
Durasi WAS) kaku pagi hari Durasi kelelahan Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik (jumlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi) - Keterbatasanfungsi Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas penyakit Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik (keterbatasan gerak, instabilkas, malalignment, danlatau deformltas) Penlngkatan LED atau CRP Perburukan kerusakan radlologls pada eendl yang terllbat Parameter laln untuk menilai respon terapi Physician's global assessment of disease activlty Patlent's global assessment of dlsease act/v/ty Penllaian status fungsional atau kualltas hldup dengan menggunakan kuesioner standar
-
-
-
dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi perlu dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada pemeriksaan sendi saja mungkin tidak adekuat dalam penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur, sehingga pemeriksaan LED atau CRP, demikian juga
,
radiologis hams dilakukan secara rutin. Status fungsional bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact Measurement Scale atau Health Assessment Questionnaire. Perlu ditentukan apakah penurunan status fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau keduanya, karena strategi terapinya berbeda. Ada beberapa instumen yang digunakan untuk mengukur aktivitas penyakit AR antara lain : Disease Activity Index including an 28-joint count (DAS28), Simplified Disease Activity Index (SDAI), European League Against Rhezrmatism Response Criteria (EULARC), Modified Health Asse.ssment Questionnaire (M-HAQ) dan Clinical Disease Activity Index (CDAI). Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut antara lain : 1. TenderJoint Count (TJC) : penilaian adanyanyeri tekan pada 28 sendi. 2. Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan pada 28 sendi. 3. Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 0 - 10 crn). 4. Patient glohal assessment ofdiseuse activity (PGA) : penilaian umuln oleh pasien terhadap aktivitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala O10 cm). 5. Physician glohal assessment of' disease activity (MDGA) : penilaian umum oleh dokter t e r h a d a p aktifitas penyakit, diukur dengan Viszral Analogue Scale (VAS, skala 0 - 10 cm). 6. Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang sering digunakan adalah HAQ (HealthA s s e s s m e n f Questionnaire)atau M-HAQ (ModifiedHealth Assessrnmf Questionnaire). 7. Nilai acute-phase reacfants : yaitu kadar C-reactive protein (CRP) atau nilai laju endap darah (LED) DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS28-LED) menghasilkan skala 0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang penderita AR pada saat tertentu. Nilai arnbang batas aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan DAS28-CRP tampak pada Tabel 11. Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam praktek sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai
oenvakit
Remisi Rendah Sedang Tinaai
< 2,6 -< 3,2 > 3,2 sld 5 5,l > 5.1.
-< 2,3 < 2,7 > 2,7 sld < 4,l > 4.1
DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan dimulai. Terdapat korelasi yang jelas antara nilai rata-rata DAS28 dengan jumlah kerusakan radiologis yang terjadi selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi. Dalam praktek sehari-hari pengukuran DAS28 dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
Tender 28 = nyeri tekan pada 28 sendi, Swollen 28 = pembengkakan pada 28 sendi, ESR = laju endap darah dalam 1 jam pertama, GH = Patient's assessment ofgeneral health diukur dengan VAS
American College O f Rheumatology (ACR) membuat kriteria perbaikan untuk AR, tetapi kriteia ini lebih banyak dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbaikan 20% jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan 20% terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patient's global assessment,physician b glohal assessment, penilaian nyeri oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria perbaikan 50% dan 70% (ACRSO dan ACR7O) Kriteria remisi Menurut kriteria ACR, AR dikatakan inengalami remisi bila memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut : 1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 rnenit 2. Tidak ada kelelahan 3. Tidak ada nyeri sendi (rnelalui anamnesis) 4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi 5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung tendon 6. LED < 30 mrntjam untuk perernpuan atau < 20 mrntjam untuk laki-laki (dengan metode Westergren)
Destruksi sendi pada AR dimulai dalarn beberapa rninggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan rnenurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk inelakukan diagnosis dan rnemulai terapi sedini mungkin. ACRSRA mekomendasikan bahwa
.
-
penderita dengan kecurigaan AR hams dirujuk dalarn 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik. Tujuan terapi pada penderita AR adalah : 1. Mengurangi nyeri 2. Mempertahankan status fungsional 3. Mengurangi inflamasi 4. Mengendalikan keterlibatan sistemik 5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular 6. Mengendalikan progresivitas penyakit 7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
'TERAPI NON FARMAKOLOGIK Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (codliver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaatjangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan hams dipertimbangkan bila : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.
TERAPI FARMAKOLOGIK Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen,opiat, diproqualone dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek menguntungkan.
Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan radiologis hams dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa dipertimbangkan. Katagori obat secara individual akan dibahas dibawah ini. OAINS OAJNS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai risiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis,oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal. Glukokortikoid Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid hams diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek samping seperti osteoporosis, katarak,gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid hams disertai dengan pemberian kalsium I500 mg dan vitamin D 400 - 800 IU per hari. Bila artritis hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara.Adanya artritis infeksi hams disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan, terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan &lam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound efect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat. DMARD Pemberian DMARD hams dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan
-
yang merupakan chimeric IgGl anti-TNF-a antibody. Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga merupakan rekombinan human IgGl antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan MTX.58 Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi, khususnya reaktivasi tuberkulosis. Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa uji klinis tersamar ganda mendapatkan*bahwaanakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo, baik diberikan secara tunggal maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD2O) menunjukkan efek cukup baik.Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum dalam Tabel 12.
sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena DMARD membahayakan fetus. Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis TNF menurunkan konsentrasi TNF-a, yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,
DMARD
Mekanisme kerja
Dosis
Waktu Timbuinya
Efek Sarnping
NON BIOLOGIK (Konvensional)
2 - 6 bulan
Mual, sakit kepala, sakit perut, myopati, toksisitas pada retina
1-2bulan
Mual, diare, kelemahan, ulkus mulut, ruam, alopesia, gangguan fungsi hati, penurunan leukosit dan trombosit, pneumonitis, sepsis, penyakit hati, limfoma yang berhubungan dengan EBV, nodulosis Mual, diare, sakit kepala, ulkus mulut, ruam, alopesia, mewarnai lensa kontak, oligospermia reversibel, gangguan fungsi hati, leukopenia Mual, leukopenia, sepsis, limfoma
Hidroksiklorokuin (Plaquenil), Klorokuin fosfat
Menghambat: sekresi sitokin, enzim lisosomal dan fungsi makrofag
200 -400mg p.0.
Methotrexate (MTX)
Inhibitor dihidrofolat reduktase, menghambat kemotaksis, efek antiinflamasi melalui induksi pelepasan , adenosin
7,5- 25 mg p.0, IM
Sulfasalazin
Menghambat : respon sel B, angiogenesis
2 -3 gr p.0. per hari
1 3 bulan
Azathioprine (Imuran)
Menghambat sintesis DNA
50-150 mg p.o.per
2 - 3 bulan
Leflunomide (Arava)
Menghambat sintesis pirimidin
100 mg p.0. per hari selama 3 hari kemudian 10 20 mg p.0. per hari
4 -12minggu
Cyclosporine
Menghambat sintesis IL-2 dan sitokin sel T lainnya
2,5- 5 mglkgBB p.0.
2 - 4 bulan
per hari 250 mg p.0. per hari
atau SC per minggu
-
hari
-
per hari
Mual, diare, ruam, alopesia, sangat teratogenik meskipun obat telah dihentikan, leukopenia, hepatitis, trombositopenia Mual, parestesia, tremor, sakit kepala, hipertrofi gusi, hipertrikosis, hipertensi, gangguan ginjal, sepsis
DMARD
Mekanlsme kerja
Dosls
Waktu timbulnya respons
~ f e sarnping k
D-Penicillamine (Cuprimine)
Menghambat fungsi set T helper dan angiogenesis
250 -750 mg p.0. per hari
3 - 6 bulan
Mual, hilangnya rasa kecap, penurunan trombosit yang reversibel
Garamemas thiomalate (Myochrysine)
Menghambat : makrofag, angiogenesis dan protein kinase C Menghambat makrofag dan fungsi PMN
25-50mg IM setiap 2 - 4 minggu
6 - 8 minggu
3 mg p.o.2 kali per hari atau 6 mg p.0. per hari
4 - 6 bulan
Ulkus mulut, ruam, gejala vasomotor setelah injeksi, leukopenia, trombositopenia, proteinuria, kolitis Diare, leukopenia
Antibodi TNF (human)
40 mg SC setiap 2 minggu
-4
Anakinra (Kineret)
Antagonis reseptor IL-1
100 - 150 mg SC per hari
12-24 minggu
Etanercept (Enbrel)
Reseptor TNF terlarut (soluble)
lnfliximab (Remicade)
~ntibodi TNF (chimeric)
Rituximab (Rituxan. Mabthera)
Antibodi anti-set B (CD20)
25 mg SC 2 kali per minggu atau 50 mg SC per minggu 3 mglkgBB IV (infus pelan) pada minggu ke- 0,2 dan 6 kemudian setiap 8 minggu 1000 mg setiap 2 minggu x 2 dosis
Abatacept (Orencia)
10 mg/kgBB (500, 750 atau 1000 mg) setiap 4 minggu
6 bulan'
Belimumab
Menghambat aktivitas sel T (costimulation blockers) humanized monoclonal antibody terhadap Blymphocyte stimulator (BlyS)
1 mg, 4 mg atau 10 mg/kgBB IV pada hari 0, 14,28 kemudian setiap 28 hari selama 24 minggu
24 minggu'
Uji klinis fase II
Tocilizumab (Actemra TM)
Anti-IL-6 receptor MAb
24 minggu'
Uji klinis fase Ill (OPTION trial)
Ocrelizumab
humanized antiCD20 antibody
4 minggu*
Uji klinis fase II
lmatinib (Gleevec) Denosumab
Inhibitor protein tirosin kinase human monoclonal lgG2 antibody terhadap RANKL human anti-TNF-a antibody
4 mg atau 8 mg/kgBB infus setiap 4 minggu 10 mg, 50 mg, 200 mg. 500 mg, dan 1000 mg infus pada hari 1 dan 15 400 mg per hari
3 bulan*
Uji klinis fase II
60 mg atau 180mg SC setiap 6 bulan selama 1 tahun 1 mg; 5 mg atau 20 mg/kgBB infus tunggal 300 mg, 700 mg atau 1000 mg infus pada hari 0 dan 14
6 bulan'
Uji Klinis fase II
4 minggu*
Uji klinis fase II
24 minggu*
Uji Klinis fase II
Auranofin (Ridaura) BlOLOGlK Adalimumab (Humira)
Certolizumab Pegol (CDP870) Ofatumumab (HuMaxCD20)
human monoclonal anti-CDPO lgG1 antibody
Beberapa hari bulan
Beberapa hari
- 12 minggu
Reaksi infus, peningkatan risiko infeksi termasuk reaktifasi TB, gangguan demyelinisasi lnfeksi dan penurunan jumlah netrofil, sakit kepala, pusing, mual, hipersensitivitas Reaksi ringan pada tempat suntikan, kontraindikasi pada infeksi, demyelinisasi
Beberapa hari - 4 bulan
Reaksi infus, peningkatan risiko infeksi termasuk reaktivasi TB, gangguan demyelinisasi
3 bulan'
Reaksi infus, aritmia jantung, hipertensi, infeksi, reaktivitas hepatitis B, sitopenia, reaksi hipersensitivitas Reaksi infus, infeksi, reaksi hipersensitivitas,eksasebasi COPD
DMARD
Atacicept
Golimumab
Fontolizumab
Mekanisrne kerja
Dosis
Waktu Timbulnya respons
Efek sarnping
Recombinant fusion protein yang mengikat dan menetralkan 19lymphocyte stimulator (BlyS dan a proliferation-inducingligand (APRIL) Fully human protein (antibody) yang mengikat TNF-a
70 mg, 210 mg, atau 630 mg SC dosis tunggal atau 70 mg, 210 mg atau 420 mg SC dosis berulang setiap 2 minggu 50 mg atau 100 mg SC setiap 2 atau 4 minggu
3 bulan'
Uji klinis fase Ib
16 minggu*
Uji klinis fase II (Uji klinis fase Ill mulai Februari 2006-Juli 2012)
humanised anti-intefferon gamma antibody
Uji klinis fase II
Keterangan : 'Waktu terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk mengevaluasi respon terapi IM = intramuscular; IV = intravenous; p.0. = per oral; SC = subcutan; EBV = Epstein-Barr Virus; MMPs = matrix rnetalloproteinases; TB = tuberkulosis; PMN = polymorphonuclear; MAb =
PEMANTAUAN KEAMANAN TERAPI DMARD
Terapi Kornbinasi Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi kombinasi lebih superior dibandingkan dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas. Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin, MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX + sulfasalazine+ prednisolone, MTX + leflunomide, MTX + infliximab,MTX + etanercept, MTX + adalimumab, MTX + anakinra, atau MTX +rituximab. Penderita AR yang memberikan respons suboptimal dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi. Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kemsakan radiografi, temtama untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau sulfasalazine.
Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanan pemberian. DMARD tersebut. ACR merekomendasikan evaluasi dasar yang hams dilakukan sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer lengkap (complete blood counts), kreatinin serum dan transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik berupa pemeriksaan retina dan lapangan pandang. Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yaitu screening terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 13) Setelah DMARD diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala untuk mengidentifikasi sedini mungkin adanya toksisitas.
REKOMENDASI KLlNlK Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam penanganan penderita AR dalam praktek klinik sehari-hari tampak dalam Tabel 14.
Jenis DMARD
Non biologik Hidroksiklorokuinl Klorokuinfosfat Leflunomide Methotrexate Minocycline Sulfasalazine Blologlk Semua aaen bioloaik *CBC = complete blood counts
Perneriksaan Kreatlnln Hepatitis serum B dan C
CBC*
Transarnlnase hat1
X
X
X
X X X X
X X X X
X X X X
X
X
X
Oftalrnologik
X X X
Rekomendasi klinik
Tingkat bukti (evidence rating)
Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit.
A
Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 - 8 minggu) yang sudah mendapat terapi analgetik atau OAlNS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih baik sebelum 12 minggu.
C
Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan. OAlNS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik. 8
Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus peptikum. lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam setahun.
,
Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode pemberian yang pendek. Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. 8
Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against Rheumatismbermanfaat untuk menilai perburukan penyakit. Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli occupational, ahli gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.
8
Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri. -
-
-
FOTO ARTRlTlS REUMATOID
--
Foto 1. Pembengkakan PIP
Foto 4. Deformitas boutonnMre dengan nodul reumatoid multipel
Foto 2. Erosi sendi
Foto 5. Deviasi ulna
Foto 3. Deformitas leher angsa (swan neck)
Foto 6. Deformitas Z-thumb
Foto 7. Artritis mutilans
Foto 8. Nodul reumatoid
Foto 10. Hallux valgus
Foto 1l.Vaskulitis reurnatoid
Foto 13. Scleritis pada AR
Foto 14. Sclerornalacia perforans pada AR
REFERENSI Buch M,Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid arthritis. Hospital Farm 2002;9:5-10. Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosis & Therappeutics. 2Ih ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p.323-333. Smith HR. Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 21 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.emedicine.com/med/ TOICZO24.HTM. Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of Rheumatoid arthritis. Am Fam Physician 2005;72:1037-47. Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid arhtritis. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3):S265-S272. Mijiyawa M. Epidemiology and semiology of rheumatoid arthritis in Third World countries. Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.
Foto 9. Accelerated rheumatoid nodulosis
Foto 12. Episcleritis pada AR
Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD.The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol 1993;32(7):537-40. Albx Z . Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematik. Kajian khusus terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan perkembangannya di masa depan. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 54 hal. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bowes J, Barton A. Recent advances in the genetics of RA susceptibility. Rheumatology 2008 47(4):399-402. Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid arthritis. Mayo Clin Proc 2006;81(1):94-101. Nelson JL, Hughes KA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM, Hansen JA. Maternal-Fetal Disparity in HLA Class I1 Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med 1993;329:466-71.
Firestein GS. Etiology and pathogenesis of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S, Hams ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 2005:996-1042. Harris ED. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2005:1043-78. Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Merlino L, Mudano AS, Burma M, et al. Coffee, tea, and caffeine consumption and risk of rheumatoid arthritis: results from the Iowa Women's Health Study. Arthritis Rhetrm 2002;46:83-91. Merlino LA, Curtis J, Mikuls TR, Cerhan JR, Cnswell LA, Saag KG Vitamin D intake is inversely associated with rheumatoid arthritis: results from the Iowa Women's Health Study, Arthritis Rheum 2004;50:72-7. Feldmann M, Brennan FM, Maini RN. Role of cytokines in rheumatoid arthritis. Annu Rev Immunol. 1996; 14:397-440. Goldman JA. Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis and Its Implications for Therapy - The Need for EarlyIAggressive Therapy. (dikutip Tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.prince~oncme.com/pdf/programs/report629.pdf: Choy EHS, Panayi GS. Cytokine pathways dan joint inflammation in rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2001 ;344:907-16. Lundy SK, Sarkar S, Tesmer LA, Fox DA. Cells of the synovium in rheumatoid arthritis. T lymphocytes. Arthritis Research & Therapy 2007;9(1): 1 - 1 1. Shaw T, Quan J, Totoritis MC. B cell therapy for rheumatoid arthritis: the rituximab (anti-CD2O) experience. Ann Rheum Dis 2003;62:55-59. Mauri C, Ehrenstein MR. Cells of the synovium in rheumatoid arthritis. B cells. Arthritis Research & Therapy 2007;9(2): 1-6. Wikipedia. Rheumatoid Arthritis. (dikutip tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://en.wikipedia.org/wiki/ Rheumatoid-arthritis. Syah A, English JC. Rheumatoid arthritis: A review of the , cutaneous manifestations. J Am Acad Dermatol 2005;53: 191-209. Brown KK. Rheumatoid lung disease. Proc Am Thorac Soc 2007;4:443-448. American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the management o f rheumatoid arthritis: 2002 update. Arthritis Rheum 2002;46:328-46. Nell VPK, Machold KP, Stamm TA, Eberl G, Heinz H, Uffmann M, et al. Autoantibody profiling as early diagnostic and prognostic tool for rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 2005;64;173 1-36. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early rheumatoid arthritis. SIGN No. 48. (dikutip tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.sign.ac.uk/
guidelines/fulltext/48/index.html. Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of anti-CCP (cyclic citrullinated protein) antibodies in rheumatoid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis 2006; doi: 10.1 136/ard.2006.05 1391. Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G, Nakazawa T, Kawano S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy o f Anti-Cyclic Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med. 2007;146:797-808. Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH. Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Ann Rheutn Dis 2008: doi: 10.1 136lard. 2007.082339. Amen FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper NS, et al. The American Rheumatism Association 1987 revised
criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1988;3 1 :3 15-24. Berglin 'E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis. A clinical, laboratory and radiological study (dikutip tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : h , t t v : / / w w w . d i v a - ~ o r l a l . o r e / d i v a / getDocument?urnnbn s e u m u f . Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum Dis Clin North Am 2001;27:405-14. Lindqvist E, Eberhardt K. Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheutn Dis 1999;58:11-4. Chehata JC, Hassell AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA, Jones PW, et al. Mortality in rheumatoid arthritis: relationship to single and composite measures of disease activity. Rheumatolo g y 2001;40:447-52. Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes. Rheumatology 2005;44:360-365. Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G, e t al. A simplified disease activity index for rheumatoid arthritis for use in clinical practice. Rheumafology 2003;42:244-257. Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M, Bombardier C, et al. Reporting disease activity in clinical trials of patients with rheumatoid arthritis: EULARIACR collaborative recommendations. Ann Rhetrm Dis 2008;67;1360-64. Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rhettm 2008;59: 762-784. lnoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N. Comparison of DAS28-ESR and DAS28-CRP threshhold values. Ann Rheum Dis 2006;doi: 10.1 1361 ard. 2006. 054205. EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip , tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : htfp:N www.das-score. nl. van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint counts. Arthritis Rheum 1998;41: 1845-50. Leeb BF, Andel I, Sautner J. Fassl C, Nothnagi T, Rintelen B. The Disease Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis and Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57: 256-60. Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Definition of Improvement In Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum I995;38:727-35. Makinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and randomised clinical trials for the rate of remission. Clin Exp Rheumatol 2006; 24 (Supp1.43):S22-S28. Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide. Ann Rheum Dis 2002;61:290-7. Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD.Effects of altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti:inflammatory drugs in patients with rheumatoid . . arthritis: a double blind placebo controlled study. Ann Rheum Dis 1988;47;96-104. Kavuncu V, Evcik D. Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis. Medscape General Med 2004;6:3. Verhagen AP, Bierma-Zcinstra SM. C'ardoso JR, de Bie RA, Boers M,
de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst Rev 2008;(4): CD0005 18. Van Den Ende CH, Vliet liel land TP, Munneke M, Hazes JM. Dynamic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst Rev 2008;(1):CDq00322. Galarraga B, Ho M, Youssef HM,Hill & McMahon H, Hall C, et al. Cod liver oil (n-3 fatty acids) ad:arrnon-steroidal anti-inflammatory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. RheumatolI: .... ogy 2008;47:665-9. . . ..,.. .. Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet MA, Rees S, Wells G, et al. Splints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD0040 18. Olsert NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2004;350: 2167-79. ~ i j l s m aJWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37. van Everdingen AA, Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifying properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136: 1-12. Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et al; Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with methotrexate. Arthritis Rheum 2001;44:1984-92. Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH, Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343: 1586-93. Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the heatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594-602. Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman MH, Birbara CA, et al. Adalimumab, a fully human anti-tumor necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant methotrexate: the ARMADA trial. Arthritis Rheum 2003;48:35-45. Nuki Q Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and maintenance of clinical improvement following treatment with anakinra (recombinant human interleukin-l receptor antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Arthritis Rheum 2002; 46: 2838-46. Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A systematic review. Einstein 2007;5(4):378-86. Siddiqui MAA. The Efficacy And Tolerability Of Newer Biologics In Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence. Curr Opin Rheumatol 2007;19(3):308-13. McGonagle D, Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery P. Rituximab use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis. Rheumatology 2008;47(6):865-67, Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI. Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthritis: real-life experience. Rheumatology 2007;46:980-82. Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arthritis. Aust Prescr 2003;26:36-40. Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Sherrer Y, Kremer J, et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor Necrosis Factor d Inhibition. N Engl J Med 2005;353: 1114-23. 67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. J Postgrad Med 2004;50:293-9. '
#
Cohen SB, Dore RK,Lane NE, Ory PA, Pete* CG, Sharp JT, et al. Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone turnover in rheumatoid arthritis: a twelvemonth, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase I1 clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5):1299309. Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www. medscape. com /viewarticle/ 567522. Fox RI. Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.medscape.com/ viewarticle/567521. Smolen J. The investigational compound tocilizumab (ActemraTM) significantly reduces disease activity in patients with moderate to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http:// www.medicalnewstoday.com/ healthnews. php?newsid=74370. Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.medscape.com/ viewarticle/538181. EULAR 2007. Preliminary Results Show Potential Of Ofatumumab In Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.medicalnewstoday.com/ articled7443 7.php. Novartis Pharma AG. A Study of Imatinib 400 Mg Once Daily in Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : htip://clinicaltrials.gov/ct2/show/ NCT00154336? term=imatinib & rank=30. Tak PP. Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V, et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of a multicenter, phase Ib, double-blind, placebo-controlled, doseescalating, single- and repeated-dose study. Arthritis Rheum 2008;58(1):6 1-72. Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab (CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http:// clinicaltrials.gov/ct/show/~C~O0299546. Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez P, Hall S, et al. ~olimlimabin patients with active rheumatoid arthritis despite treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, placebo-cqntrdled, dose-ranging study. Arthritis Rheum 2008;58:964-75. BioPharma, 'Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerability, and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/ ~~~00281294: Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibition of T-cell Activation with Fusion Protein CTLA4Ig. N Engl J Med 2003;349:1907-15. Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann RM, Fox RI, et al. A Trial of etanercept, a recombinant tumor necrosis factor receptor : Fc fusion protein, in patients with rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med 1999;340:253-9.
Edwards JCW, Szczepafiski L, Szechifiski J, Filipowicz-Sosnowska A, Emery P, Close DR, et al. Efficacy of B-Cell-Targeted Therapy with Rituximab in Patients with Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med 2004;350:2572-81. O'Dell JR. Therapeutic Strategies for Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med 2004;350:2591-602. Breedveld FC, Emery P, Keystone E, Patel K, Furst DE, Kalden JR, et al. Infliximab in active early rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 2004;63;149-55. Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, Smolen JS, Burmester GR, Sieper J, et al. Updated consensus statement on biological agents for the treatment of rheumatic diseases, 2007. Ann Rheum Dis 2007;66;iii2-iii22. Goekoop-Ruiterman YPM, de Vries-Bouwstra JK, Allaart CF, van Zeben D, Kerstens PJSM, Hazes JMW, et al. Comparison of Treatment Strategies in Early Rheumatoid Arthritis. A Randomized Trial. Ann Intern Med. 2007;146:406-415. Sebba A. Tocilizumab: The First Interleukin-6-Receptor Inhibitor. Am J Health-Syst Pharm 2008;65(15): 1413- 18. Scott DL, Smolen JS, Kalden IR, van de Putte LBA, Larsen A, Kvien TK, et al. Treatment of active rheumatoid arthritis with leflunomide: two year follow up of a double blind, placebo controlled trial versus sulfasalazine. Ann Rheum Dis 2001;60;91323. Hochberg MC, Tracy JK, Hawkins-Holt M, Flores RH, et al. Comparison of the efficacy of the tumour necrosis factor a blocking agents adalimumab, etanercept, and infliximab when added to methotrexate in patients with active rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 2003;62(Suppl II):iil3-iil6. Fan PT, Leong KH. The Use of Biological Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis. Ann Acad Med Singapore 2007;36: 128-34. Gossec L, Dougados M. Combination therapy in early rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol 2003; 21 (Suppl. 31):S174-S178. Capell A, Madhok R, Porter DR, Munro RAL, McInnes IB, Hunter JA, et al. Combination therapy with sulfasalazine and methotrexate is more effective than either drug alone in patients with rheumatoid arthritis with a suboptimal response to sulfasalazine: results from the double-blind placebo-controlled MASCOT study. Ann Rheum Dis 2007;66;235-41.
Strand V, Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmann R, Cannon 4 et al. Treatment of Active Rheumatoid Arthritis With Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch Intern Med 1999;159:2542-50. van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tornero J, Melo-Gomes J, Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheumatoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis 2006;65;328-34. Burmester GR, Mariette X, Montecucco C, Monteagudo-Sbez I, Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in combination with disease-modifying antirheumatic drugs for the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann Rheum Dis 2007;66;732-39. van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen R, et al. Efficacy and safety of combination etanercept and methotrexate versus etanercept alone in patients with rheumatoid arthritis with an inadequate response to methotrexate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83. O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis with methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine, or a combination of all three medications. N Engl J Med 1996;334: 1287-91. Saag K 4 Teng G 4 Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatlc Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum 2008;59:762-84. Saag KG Teng G 4 Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum 2008;59:762-84.
SINDROM SJOGREN Yuliasih
PENDAHULUAN Sindrom Sjogren (SS) adalah penyakit sistemik autoimun yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan penyakit yang larnbat. Gejala kliniknya tidak terbatas hanya pada gangguan sekresi kelenjar tetapi disertai pula dengan gejala sistemik atau ekstraglanduler.Gejala awal biasanya ditandai dengan mulut dan mata kering yang kadangkadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi limfosit yang mengganti epitel yang berfungsi untuk sekresi kelenjar (exocrinopathy).Patogenesisnyadikaitkan dengan adanya autoantibodi yaitu anti-Ro (SS-A) clan antiLa (SS-B). Berdasarkan penyakit yang mendasari SS dikelompokkan menjadi 2, primer bila tidak terkait dengan penyakit autoimun yang lain, dan sekunder bila ada penyakit autoimun yang mendasari misalnya SLE, RA, skleroderma. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1800, kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi anti-Ro dan antiLa. Sinonim SS ini antara lain Mickulicz's d i s e ~ s e , Gougerot h syndrome, Sicca syndrome, dan autoimune expcrinopathy
SS bisa dijumpai pada semua umur, terutama perempuan dengan perbandingan perempuan dengan pria 9: 1. Sampai saat ini prevalensinya belum diketahui dengan pasti karena seringnya sindrom ini bertumpang tindih dengan penyakit reumatik lainnya. Selain itu gejala klinik yang muncul pada awal ljenyakit sering kali tidak spesifik.
di Amerika diperkirakan yang menderita SS sekitar 2-4 juta orang, hanya lima puluh persennya saja yang tegak diagnosisnya, dan hampir 60% ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya antara lain AR, LES, skleroderma .
Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi SS tidak hanya sistem imun selular tetapi juga sistem imun humoral. Bukti keterlibatan sistem humoral ini dapat dilihat adanya hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam sirkulasi. Autoantibodi yang dapat dideteksi pada SS ini ada dua jenis yaitu: Antibodi spesifik organ: autoantibodi kelenjar saliva, tiroid, mukosa gaster, eritrosit, pankreas, prostat dan serat saraf. Autoantibodi ini dijumpai sekitar 60% pasien SS Antibodi non spesifik organ : faktor reumatoid, ANA, anti-Ro, anti-La Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah kelenjar eksokrin dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar saluran kelenjar atau duktus gambaran histopatologi ini dapat ditemui di kelenjar saliva, lakrimal serta kelenjar eksokrin yang lainnya misalnya kulit, saluran napas, saluran cerna, dan vagina. Fenotip limposit T yang mendominasi adalah sel T CD4+,Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2, IL-4, IL-6, IL-lb dan TNF-a, sitokin sitokin ini merubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan protein, merangsang apoptosis sel epitelial kelenjar melalui regulasi Fas. Sel B selain menginfiltrasi pada kelenjar, sel B ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi. Adanya infiltrasi limfosit yang mengganti sel epitel kelenjar eksokrin, menyebabkan menurunnya fungsi
kelenjar yang menimbukan gejala klinik. Pada kelenjar saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. peradangan dengan manifentasi kelenjar eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjar. Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanya suatu gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan imunoglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA dan antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan teknik imunofloresen Tes ANA menunjukkan gambaran spekledyang artinya bila diekstrak lagi maka akan dijurnpai autoantibodi Ro dan La (profil ANA). Pada tahun 1984 ditemukan autoantibodi terhadap Ro(SS-A) yang dikenal sebagai ribonukleoprotein partikel yang terdiri dari hY-RNA dan 60 k Da protein, sedang anti-La (SS-B) juga suatu ribonukleoprotein partikel yang dihubungkan dengan RNA polimerase 111 transkrip. Adanya antibodi Ro dan anti-La ini dihubungkan dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjar parotid yang berulang, splenomegali, limfadenopati dan anti-La sering dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjar eksolain minor Oligoklonal hiperaktiviti serta monoklonal garnmopati merupakan imunologi humoral dijumpai pada SS. Produksi globulin dan autoantibodi melalui infiltrasi pada kelenjar eksokrin minor, dan fenotip sel B yang mensintesis imunoglobulin adalah CD5+. Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap patogenesis, yang mungkin sistem imun teraktivasi
Artritis reumatoid Lupus eritematosus sistemik Skleroderma Mixed connective tissue disease Sirosis biliar primer Miositis Vaskulitis Tiroiditis Hepatitis kronik aktif Mixed cryoglobulinemia
Mata Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun konjungtwa, bila kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi kronik pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaranklinik keratokonjungtivitisSicca.Gejalanyayaitu pasien mengeluh rasa panas seperti terbakar, seolah-olah di dalam kelopak mata seperti ada pasir atau benda asing, gatal, mata merah dan fotosensitif. Pada pemeriksaan didapatkan pelebaran pembuluh darah di daerah konjungtiva, perikornea dan pembesaran kelenjar lakrimalis.
GAMBARAN KLlNlK Gambaran klinik sindrom Sjogren sangat luas, berupa suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik atau ekstraglandular. Xerostomia dan xerotmkea merupakan gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau keratoatokunjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paruparu, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala sistemik yang dijumpai pada SS, sama seperti penyakit autoimun lainnya dapat berupa kelelahan demam, nyeri otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk artritis yang khas pada SS. Raynaud"~phenomena merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan, biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun digital ulserasi. Manifestasi ekstraglandular lainya tergantung pada penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, LES, dan sklerosis sistemik. Meskipun sindrom Sjogren tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hal ini diduga adanya transformasi sel B ke arah keganasan
Gambar 1. Keratokunjungtivitis sicca
Orofaringeal Keluhan xerostomia meupakan eksokrinopatipada kelenjar ludah yang menimbukan keluhan mulut kering karena menurunnya produksi kelenjar saliva Akibat mulut kering ini seringkalipasien mengeluh kesulitan menelan makanan
dan berbicara lama. Selain itu kepekaaan lidah berkurang dalam merasakan makanan, geligi banyak yang mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar parotis. Organ lain Kekeringan bisa terjadi pada saluran napas serta orofaring yang sering menimbulkan suara parau, bronkitis berulang serta pnemonitis. Gejala lain yang munglun dijumpai adalah menurunnya h g s i kelenjar pankreas MANlFESTASlEKSTRAGANDULAR Manifestasi kulit Manifestasi kulit merupakan gejala ekstraglandular yang paling sering dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin, dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis di kulit merupakan petanda prognosis buruk. Manifestasi pada Paru Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan bronluolar dan saluran napas kecil yang sering kali terkena. Zntersititial lung disease lebih sering dijumpai pada SS primer dengan gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat. Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma) Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder memberikan gambaran yang berbeda. Pada sekunder SS, manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang mendasari Manifestasi Pembuluh Darah Vaskulitis ditemukan hanya sekitar 5% dapat mengenal pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang, ullcus kulit dan mononeuritis multiplek. Vaskulitis pada organ internal jarang ditemukan. Berdasarkan infiltrasi selnya terdapat 2 macam bentuk vaskulitis, vaskulitis dengan infiltrasi sel mononuklir, neutrofil, dan vaskulitis dengan tipe infiltrasi sel neutrofil seringkali dihubungkan dengan hipergammaglobulin Raynaud's fenomena dijumpai pada 35% kasus dan biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah bertahun-tahun, dan tanpa disertai teleektasis dan ulserasi seperti pada skleroderma
a. Kutaneus vaskulitis Sjogren sindrom yang terkait dengan pembuluh darah kecil Kryoglobulinemia vaskulitis Vaskulitis urtikaria Vaskulitis leukoklastik Sindrom Sjogren yang terkait dengan pembuluh darah sedang b. Manifestasi kutaneus yang lain Fotosensitive cutaneus lesions Erythema nodosum Livedoretikularis Trombositopenic purpura Lichen planus Vitiligo Nodular vaskulitis Kutaneus amyloidosis Granuloma anuler Granulomatus panikulitis
vaskulitis
vaskulitis
Manifestasi pada ginjal Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10%. Manifestasi yang tersering berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremik, renal tubular asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai di klinik gambarannya tidak jelas dan acapkali menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan h g s i ginjal. Gejala hipokalemiaseringkali dijumpai di klinik dengan manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan intersisial Manifestasi glomuruler kondisinya lebih serius dan biasanya terkait dengan knoglobulinemia. Manifestasi Neuromuskular Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada sistem saraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat dijumpai pada SS, gambaran klinis kranial neuropati biasanya mengenai serat saraf tunggal, misalnya neuropati trigeminal, atau neuropati optik. neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang tersering pada sindrom Sjogren kemungkinan terjadi kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan ganglia gasserian Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas normal Gambaran Gastrointestinal Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena kekeringan daerah kerongkongan, mulut dan esofagus, selain itu faktor dismotilitas esofagus akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukkan gastritis kronik atropik yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini
Multiple sklerosis like disease Mielopati : Akut dan kronik myelitis Centralpontine my8linalisis Parkinson Dystonic spasme Bell's palsy Neuritis optik SSP Vaskulitis SSP T lirnforna Cerebralamyloid angiopathy
persis seperti yang didapati pada kelenjar liur. didapatkan juga Hepatomegali,AMA positif, serta peningkatan alkali fosfatase, sirosisbilier primer lebih sering pada tipe primer
Artritis Lima puluh persen didapatkan gejala artritis pada sindrom Sjogren. Artritisnya mungkin muncul'lebih awal sebelum gejala sindom sicca muncul. Artritis pada sindom Sjogren tidak erosif. Atralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis kronis gejala lain yang munglun dijumpai. Pada beberapa kasus ditemukan dengan Jaccoud b arthropathy Manifestasi Hematologi Gambaran hematologi tidak spe'sifik seperti pada penyakit autoimun lainnya. Pada pemeriksaan rutin laboratorium hanya didapatkan anemia ringan. Leukopenia hanya didapatkan lo%, peningkatan LED tanpa disertai peningkatan CRP khas pada SS primer,hipergammaglobulin ditemukan hampir pada 80% .
Rose Bengal Staining Kerato konjuntivitis merupakan sequele pada komea dan konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan pengecatan rose bengal yang menggunakan anilin, yang dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva. Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak sebagai keratitis puntata, bila dilihat dengan slit lamp Tear film break up: tes ini dilakukan untuk melihat kecepatan pengisian flouresin pada kertas film Sialometri Sialometri adalah mengukur kecepatan produksi kelenjar liur tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur kelenjar parotis, submandibula, sublingual atau pun total produksi kelenjar liur, Pada SS menunjukkan p e n m a n kecepatan sekresi Sialografi Pemeriksaan secara radiologis untuk menetapkan kelainan anatomi pada saluran kelenjar eksokrin. Pada pemeriksaan ini tampak gambaran teleektasis Skintigrafi Untuk mengevalusi kelenjar dengan menggunakan 99m Tc, dengan pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m TC di mulut selama 60 menit setelah injeksi intravena Biopsi Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran yang sangat spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi lirnfosit yang dominan
Beberapa tes untuk mendiagnosis kerato konjungtivitis
DIAGNOSIS Tes Schimer's Tes ini digunakanuntuk evaluasi produksi kelenjar air mata. Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filer dengan panjang 30 mrn, caranya kertas ditaruh kelopak mata bagian bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit kemudian dilihat seberapa panjang pembasahan air mata pada kertas filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit maka tes positif.
Banyak gejala SS yang non spesifik sehingga seringkali menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang. Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik akhimya American European membuat suatu konsensus untuk menegakkan diagnosis SS kriteria ini mempunyai sensitivitas spesifisitas sebesar 95% Adapun kriteria tersebut: gejala mulut kering gejala mata kering tanda mata kering dibuktikan dengan tes Schimer atau tes Rose Bengal tes fungsi kelenjar saliva, abnonnalflow rate dengan skintigrafiatau sialogram biopsi kelenjar ludah minor autoantibodi(SS-A, SS-B) SS bila memenuhi 4 kriteria, 1 di antaranya terbukti pada biopsi kelenjar eksokrin minor atau positip autoantibodi
Diagnosis Banding amiloidosis diabetes melitus sarkoidosis infeksi virus trauma psikogenik
'
Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid, sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan pembesaran kelenjar parotis ditemukan juga pada akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik, pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosis hepatis, infeksi virus
PENGELOLAAN Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering, efek samping pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur .Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi Bila gaga1 dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2 jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu golongan pilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15 mg diberikan 3 kali sehari Pengobatan' xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balance7, karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula. Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok, obat-obat kolinergik.
OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskletal, hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia, hipergammaglobulin.Kortlkosteroid sistemik 0,5- 1Ikglhari dan imunosupresan antara iain siklofosfamid digunakan untuk mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung diseases, glomerulonefritis, vaskulitis.
REFERENSI Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 '* edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia 2 0 0 5 . ~1736-73. . Brun JG, Madland TM, Gjesdal CB, Bertelsen LT. Sjogren syndrome in an out-patient clinic:classification of patients according to the preliminary European criteria and the proposed modified Europian criteria.Rheumato1. 2002:4 1 ;301-4. Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M, Cavazzana I, et al. Clinical'and morphological features of kidney involvement in primary Sjogren syndrome. Nephrol.Dial.Transplant.200 1; 16:2328-36. Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and cyclophosphamide. Arch. Neurol. 2001;58:815-9. Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:34754. Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004;164:1275-84 Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et al. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren Syndrome. Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren syndrome. In : Rheumatology.Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" Edition .Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; Hongkong. 1994.p. 6.27.7.1-12 Moore PM, Richardson B. Neurology o f the vasculitides and connective tissue diseases. J Neuro1.Neorosurg. Psychiatry.1998:65;10-22 Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease. Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4. Price EJ, Venables PJW. Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup of patients presenting with sicca symptoms. Rheumatol. 2002;41: 416-25.
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIK JUVENIW ARTRITIS KRONIS JUVENIL) Yuliasih .
.
PENDAHULUAN
KLASlFlKASl
Arthritis rematoid juvenile (ARJ) merupakan penyakit artritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun. Penyakit ini ditandai dengan keradangan pada sinovium dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. Sarjana Cortil pertama kali melaporkan 4 kasus artritis pada anakanakurnur 12 tahun, selanjutnya George Frederik Still tahun 1896 melakukan penelitian terhadap 19 kasus artritis pada anak dan membagi ARJ ini dalam subtipe. ARJ dikenal juga sebagai Still S disease. Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan artritis ini. Istilah ARJ lebih banyak digunakan di Amerika Serikat (AS) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut artritis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita artritis rematoid dengan faktor rematoid positif. Istilah artritis kronik juvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam ha1 pengunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR (European League Agaiust Rhematism) untuk mengunakan istilah yang seragam. lstilah yang disepakati oleh EULAR adalah artritis idiopatik juvenil (AIJ) yang dibagi dalam 7 subtipe. ARJ sering memberikan dampak buruk pada anak-anak berupa kecacatan atau gangguan psikososial. Permasalahan yang sering mereka hadapi antara lain ketergantungan, keterlambatan proses belajar, permasalahan dalam keluarga, depresi, atau kesulitan mencari pekerjaan. Untuk itu ARJ memerlukan penanganan yang serius.
Ada 2 kriteria klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan pada tahun 1995. Perbedaan kedua kriteria ini dapat dilihat pada Tabel 1.
ARJ (AS) ~
Umur saat onset Lama sakit Tanda artritis Subtipe setelah 6 bulan
Artritis Kronik Juvenile (EULAR 1
-
4 6 tahun
> 6 bulan Bengkak, efusi, nyeri tekan ROM terbatas, hangat pada perabaan Pausiartikular 5 4 Poliartikular 2 5 Artritis sistemik
> 3 bulan
Pausiartrikular 5 4 Poliartikular 2 5 IgM RF + IgM RF Artritis Sistemik Artrltis psorlatik Entesitis Lain-lain
-
Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, artritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartrikular lainnya. Pausiartrikular ditandai dengan artritis yang mengenai sendi 5 4 Poliartrikular ditandai dengan nyeri sendi 2 5
-
Penyaklt
Krlterla
Eksklusl
Diskripsi
Artritis sistemik
Demam setiap hari Minimal selama 2 minggu Artritis Disertai satu atau lebih dari berikut ini : Bercak kemerahan yang tidak - menetap Limfadenopati, - Serositis, - hepatosplenomegali Artritis 1-4 sendi pada 6 bulan awal dibagi dalam 2 kelompok. Persisten: menyerang tidak lebih dari 4 sendi. Eksten: menyerang >4 sendi setelah 6 bulan pertama.
Menyingkirkan infeksi keganasan
Umur saat artritis. Pola artritis pada 6 bulan pertama: oligoartritisl poliartritisl tanpa artritis. Pola artritis setelah 6 bulan oligoartritis,lpoliartritisltanpa artritis. Faktor rematoid positif kadar CRP meningkat
Riwa~atkeluarga + ~soriatik, spondilitis ankilosing (HLA 827). Faktor rematoid + laki-laki HLA B27+, munculnya artritis setelah Btahun menderita artritis slstemlk
Umur saat artritis Pola artritis 6 bulan Hanya sendi besar Hanya sendi kecil Terutama ekstremitas bawah Artritis simetris Uveitis anterior Tes ANA positif HLA klas 11II faktor predeposisi Umur saat artritis Artritis simetris Tes ANA positif Uveitis akut Ikronis umur saat artritis artritis simetris tes ANA positif imunogenetik umur saat artritisl psoriatik pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yang terserang khas, dan simetris. bentuk artritis : oligolpoliartritistes ANA positif uveitis anterior kronis lakut umur saat terjadinya arthritis1 entesitis pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yg terserang khas, dan simetris bentuk artritis : oligolpoliartritis tes ANA positif uveitis anterior kronis lakut
-
Oligoartritis
Poliartritis RF negatif
artritis > 4 sendi pertama RF negatif
pada 6 bulan
RF positif artritis sistemik
Poliartritis RF positif
artritis > 4 sendi pada 6 bulan pertama RF positif
RF negatif arthritis sistemik
artritis psoriatik
artritis dan psoriasis dan minimal 2 gejala daktilitis, nail pitting onikolisis. dengan riwayat keluarga + psoriasis
RF positif artritis sistemik
Entesitis terkait artritis
Artritis dan entesitis artritis atau entesitis dengan gejala minimal 2 nyeri SII inflamasi spinal positif HLA 827 riwayat keluarga positif
Riwayat keluarga + psoriasis
EPlDEMlOLOGl DAN E'TIOLOGI ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi artritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-21100.000populasi, di Rochester sekitar 111100.0001tahun dan Minnesota 351100.000ltahun.ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3: 1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa
ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok oligo-artrikular, dengan RF positif. Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi
ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem, yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit artritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan amitis kronik yaitu
ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respons imun yai9 ditemukan autoantibodi pada pasien ARJ. Adapun autoantibodi tersebut antara lain antibodi ANA, faktor rematoid dan antibodi heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis
ART. Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain IL-2, IL-6, TNF- a, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T dalam meni~libulkankeradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif itu yang masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, ha1 ini dibuktikan dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVI14+) yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain HLADRB1*0801,DQA 1*0401,clan DQB 1*0402. Sitokinjuga memegang peran dalam patogenesisARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan TNF P, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-1 0, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengamhi keseimbangan respons selular dan humoral. Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I yang lebih dominan, temyata demikianjuga yang ditemukan pada ARJ, kecuali padapausiarbikular,sel T tip2 yang dominan. Kemokm diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ. Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T. Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1,
Acute diseases Initiator
* lnhibitoiy
lmmunelinflammatory response
Chronic diseases lnhibito$'y' loop
d
7
Damagelapoptosis
Irnrnunelinflammatory Autoamplifying loop
Garnbar 1. Peran infeksi dalarn mencetuskan penyakit autoimun
sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang menentukan perbedaan patogenesis. Dari penelitian Thompson SD dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peran patogenesis ARJ dan yang menentukan subtipenya. Aktivasi komplemen banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian tentang patogenesis ARJ. Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit, dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternatif. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternatif. Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan yang berperanan dalam patogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan artritis. GAMBARAN KLlNlK Artritis Sistemik Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat seriys dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur di bawah 4 tahun. Gejalanya sangat spesifik. ditandai dengan anak mendadak sakit berat yang diawali dengan panas tinggi mendadak, dan mencapai puncaknya pada sore hari dan selanjutnya kembali normal keesokan harinya. Saat panas kadang disertai bercak kemerahan seperti warna daging ikan salmon. Bercak ini dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Sifat bercaknya biasanya berkelompok, bentuknya makula atau pruritus, biasanya bercak menghilang bila panas turun. Pada pemeriksaan patologi anatomi bercak hanya didapatkan edema dan inflitrasiperiarhikuler. Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada % kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jarijari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan lekositosis dengan jumlah leukosit di atas 20.000mm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi, jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe inidengan komplikasi KID. Gejala inibiasanya membak setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik artritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya,
komplikasi lainya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.
OligoartritislPausi-Artrikular Insidennya 35% dari ARJ, ditandai dengan artritisnya pada 1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun dan sering dengan komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku, danjari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA ~ 2 positif. 7 Dikelompokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok persisten ditandai dengan artritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kemakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.
Poliartritis Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun negatif.
Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan artritis yang hanya pada beberapa sendi dan baru beberapa bulan kemudian terjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda, ditandai erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstra-artrikular jarang, 25% didapatkan tes ANA positif, pada RF negatif hanya terdapat 5%.
Entesitis yang Terkait dengan Artritis Hanya 15-20% dari ARJ yang biasa menyerang anak umur 8 tahun dengan HLA B27 positif. Artritisnya asimetrik, menyerang sendi besar. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak, pada pemeriksaan fisik didapatkan entesitis pada patela atau kalkaneus gambaran sendi sakroilika pada awal penyakit normal. Artritis psoariatik hanya terjadi sekitar 40-50%.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP
~RTRITIS KRONISJUVENIL)
meningkat khususnya pada kelompok artritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4 amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit. Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi.CRP yang disintesis di hati dirangsang pembentukannya oleh IL-6, karena CRP merupakan komponen komplemen. Peningkatan CRP ini merefleicsikan aktivasi komplemen yang meningkat. CH'O, C3, C4 tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit karena adanya peningkatan komponen. Pemeriksaan Radiologi Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartrikular.
Diagnosis Banding Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis Post-infeksi streptokokus Trauma Kelainan hematologi: leukemia, hemofilia Penyakit kolagen
PROGNOSIS Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam tinggi,' membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan 213 pasien ARJ mengalami erosi sendi. Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama Poliartritis Perempuan
2523
Faktor reumatoid positif Kaku sendi yang persisten Tenosinovitis Nodul subkutan Tes ANA + Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit Erosi yang progresif Pausiartrlkular tipe eksten
PENGELOLAAN Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak ha1 yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat. Mengontrol Nyeri Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks, karena pada urnumnya anakanakbelum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan.antinyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut, anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nehtis interstitial merupakan efek samping pada ginjal yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali, dan para orang tua hams tahu dan waspada terhadap efek-efek samping ini. Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: Aspirin 75-90 mgkg/hari. Dosis yang lebih tinggi dapat ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4 kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT, SGPT dapat terjadi pada beberapa anak. Tolmetin 25 mgkg/hari, dibagi dalam 4 dosis. Naproksen 15 mgkghari dibagi dalam 2 dosis. Ibuprofen 35 mgkghari dibagi dalam 4 dosis. Diklofenak 2-3 mgkghari terbagi dalam 2 d~sis.
DMARD (DiseaseModiflying Antirheumatic Drugs). Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi yang lebih lanjut Hidroksiklorokuin:4-6 mglkghari, maksimal300 mg/ hari. Mempunyai efek itnunomodulatordan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan
adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina tiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15-75%. Preparat emas oral maupun intra muskular dosis 5 mgl minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75-1 mg /kglminggu. Efek sampingnyaadalah supresi sumsum tulang dan ginjal. D-penisilamin: 10 mg/kg/hari, tidak banyak laporan tentang efektivitas penggunaan obat ini. Obat-obat sitotoksik: - Azatioprin: Tidak banyak laporan tentang pengunaannya - Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50 mg/kg/hari sampai 2,5gr/kg/hari. Tidak dianjurkan untuk anak-anak yang sensitif terhadap sulfasalazin. - Metotreksat (MTX): Dosis 10mghd luas permukaan tubuhlminggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh para rematologis oleh karena efek sampingnya yang lebih ringan dan memberikan respons yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, ha1 ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alkohol dan mengurangi obat-obat hepatotoksik. - Leflunamid: tidak banyak laporan tentang pengggunaan leflunamid pada ARJ meskipun banyak laporan tentang efektivitas obat ini pada artritis rematoid dewasa. - Etanercept: belum banyak anjuran meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik. - Infliximab laporan penggunaan infliximabpada ARJ juga masih belum banyak.
Glukokortikoid Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis, perikarditis,dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2 mg/kgl hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat &pat diberikan per oral dengan dosis 30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan. Fisioterapi Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96OF sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-
anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.
Pengelolaan Nutrisi Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi laonis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penuninan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penuninan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, ha1 ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1- 10 tahun adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.
REFERENSI Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of the alternate complement pathway in patients with juvenile rheumatoid arthriti~.Rheumato2003;39: 189-92. Carter BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler KN, Causey DL. Psychological symptoms in chronic fatigue and juvenile rheumatoid arthritis.Pediatric.1999;103:975-9. Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation o f methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatric. 1997; 100;994-7. Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DT,Martini A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis. Haskes PJ, Friedland 0,Uziel Y. New treatments for juvenile idiopathic arthritis. IMAJ 2002;4:39-43. ilowite NT. Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis. Pediatric.2002; 109-1 5. Jarvis JN, Dozmorov I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, Alex P,et al. Novel approaches to gene expression analysis o f active polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther. 2004;6: R15-R32 Kietz DA, Pepmueller PH, Moore TL. Therapeutic use of etanercept in polyarticuler couse juvenile idiopathic arthritis over atwo year period. Ann. Rheum.Dis. 2002; 61 : 171-3.
ARTRITISREUMATOIDJUVENIL (ARTIUTIS~DIOPATIK JUVENWARTRITISKRONIS JUVENIL)
Malleson PN, Beauchamp RD. Rheumato: diagnosing musculos keletal pain in children . CMAJ. 2001;24:183-188 Murray K, Thomson SD, Glass DN. Pathogenesis of juvenile chronic arthritis: genetic and environmental factors. Arch.Dis.Child.1997; 77:530-4 Meeder G, Van eden W, Rijkers GT, Prakken BJ, Kuis W Voorhorst Ogink MM,et al. Juvenile chronic artrhitis: T cell reactivity to human HSP60 in patients with a favorable course of arthritis. J Clin. Invest 1995;95:934-40. Nepom B. The immunogenetic of juvenile rheumatoid arthritis . Rheum Dis.Clin.North. Am. 1991;17:825-42. Patience W. Juvenile chronic arthritis. In : Rheumatology.Klippe1 JH, Dieppe K PA. I" Edition .Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; 1994.p.3.17.1-10 Rose CD and Singsen BH. Pathology and pathogenesis. In : Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" edition .Hongkong: Mosby-Year Book Europe Limited; 1994.p.3.19.1-6 Seppanen OK,Savolainen A.Changes in the incidence of juvenile rheumatoid arthritis in Finland. Rheumato2001;40:928-32. Thomson SD, Luyrink LK, Graham BT, Soras M, Ryan M, Passo MH,et al. Chemokin reseptor CCR4 on CD+4 T cells in juvenile rheumatoid arthritis synovial fluid defines a subset of cells with increased IL-4:IFN-g mRNA ratios. The Journal Of Immunology 2001; 166:6899-6906
2525
Thomson SD, Grom AA, Luyrink LK, Passo M, Glass DN,Enmund C. Dominant T-cell-receptor 1 chain variable region V i14+ clones in juvenile rheumatoid arthritis. Proc Natl. Acad.Sci.USA 1993; 90;11104-8. Villla J, Lee S, Giannini EH, Braham TB, Passo MH, Filipovich A,et al. Natural killer cell dysfunction is a distinguishing feature of systemic onset juvenile rheumatoid arthritis and macrophage activation syndrome. Arthritis Res Ther. 2005;7:R30-R37 Smolewska E, Brozik H, Smolewski P, Zielinska MB, Danynkiewicz Z,Stanczyk J. Apoptosis of pheripheral blood lymphocytes in patients with juvenile idiopathic arthritis. Ann.Rheum.Dis 2003;62:761-3. Victoria M, Morin G, graham TB, Blebea JS, Dardzinski BJ, Laor T, et al.Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging findings.Radio200 1;220:696-706. Weyand CM, Gorony JJ. Pathogenesis of rheumatoid arthritis. Med.Clin.North. Am 1997;8 1:29-55 Warren RW,Perez MD, Curry MR, Wilking AP, Myones BL. Juvenile idiopathic arthritis Cjuvenile rheumatoid arthritis). In: Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 ed edition.Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2005.p.1270-323. Wilkinson N, Jackson G, Medwin JG. Biologic therapies for juvenile arthritis. Arch.Dis.Child. 2003;88:186-91.
SPONDILITIS ANKILOSA Jeffrey A.Ongkowijaya
PENDAHULUAN Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari spondiloatropati seronegatif, yang terdiri atas artritis psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitisdan bisa mempunyai manifestasi ekstraarthlar.
Garnbar 1. Famili Spondiloartropati seronegatif
Prevalensi spondiloartropati mencapai 1-2% dari populasi urnurn dan risiko akan meningkat menjadi 20.kali lipat pada individu dengan HLA-B27 positif. Spondilitis ankilosa terutama mengenai laki-laki, dewasa muda dengan awitan pada umur kurang dari 40 tahun dan puncaknya pada 20-30 tahun. Rasio pada laki-laki dibanding wanita mencapi 3 : 1.Di Amerika Serikat,prevalensi mencapai 1,4% dengan variasi pada berbagai kelompok etnis; ha1 ini menggambarkan perbedaan ekspresi HLA-B27 pada kelompok etnis tersebut. Ekspresi HLA-B27 lebih banyak ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit
hitam. Populasi spondilitis ankilosa pada individu dengan HLA-B27 positif mencapai 10-20% sedangkan jumlah pasien spondilitis ankilosa yang menekspresikan HLAB27 mencapai 80-95%. Perjalanan penyakit sangat bervariasi dari ringan tanpa gangguan status hngsional sampai berat dengan berbagai disabilitas. Keterlibatan vertebra merupakan determinan utama yang mempengaruhi status fungsional pasien.
Etiologi clan spondilitisankilosa belurn dlketahui. Penelitian menunjukkan hubungan kuat dengan HLA-B27 yang berarti ada faktor imun yang berperan, dan diperlukan peran dari infeksi bakteri gram negatif untuk mencetuskan penyakit. Hasil riset yang ada menggambarkan peran Klebsiela pneumonia dalam patofisiologi spondilitis ankilosa. Klebsiela mempunyai 6 asam amino yang homolog dengan HLA-B27 yang mengesankan adanya moIecuIar mimicry. Ekspresi HLA-B27 menyebabkan peningkatan respon imunologik atau setidaknya menyebabkan perubahan toleransi imun terhadap bakteri gram negatif. Banyak bukti yang mendukung peran sitokin proinflamasi seperti TNFa dan IL-1 serta adanya infiltrasi sel-sel inflamasi pada jaringan patologis pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 sendiri mempunyai 45 subtipe dimana sebagian berhubungan dengan spondilis ankilosa seperti HLA-B2705, -B2702 dan -B2704 sehngkan-B2706 dan -B2709 malah tidak berhubungan. Populasi di Indonesia umumnya mempunyai HLA-B2706. HLA-B60 dan HLA-DR1 dilaporkanjuga mempunyai keterkaitan dengan penyakit ini.
Gambaran patologis spondilitis ankilosa yang unik pertama kali .dideskripsikanoleh Ball (1971) dan disempumakanoleh Bywaters (1984). Lokasi patologis primer adalah entesis yaitu insersi dari ligament, kapsul dan tendon ke tulang. Perubahan .entesopati yang terjadi adalah fibrosis dan osifikasi jaringan. Pada vertebra, entesopati pada situs insersi annulus fibrosus menyebabkan squaring dari korpus vertebra, destruksi vertebral endplate, dan formasi sindesmofit.Osifikasi pada regio diskus, epifiseal dan sendi sakroiliaka serta ekstraspinal diinisiasi oleh lesi pada insersi ligament.
menyebabkan resorpsi tulang yang diikuti perubahan reparasi pada korpus vertebra akan berperan dalam terjadinya squaring. Jaringan granulasi akan mengalami metaplasia kartilago yang diikuti dengan kalsifikasi pada tepi vertebra dan sisi luar annulus; dan menyebabkan gambaran sindesmofit pada foto polos. Kertelibatan menyeluruh seluruh vertebra memberikan gambaran bamboo spine. Lesi ekstraspinal terjadi di daerah artikular dan nonartikular. Lesi artikular meliputi sendi sinkondrotik seperti simfisis pubis dan sendi manubriosternal, sendi synovial seperti sendi panggul dan lutut dan entesis. Inflamasi pada situs nonartikular meliputi uvea, katup jantung, fibrosis apeks paru.
GAMBARAN KLlNlS
Gambar 2. Squaring korpus vertebra. Tanda panah adalah sklerosis tulang pada situs entesopati
Spondilitis ankilosa dapat bermanifestasi pada skeletal maupun ekstraskeletal. Presentasi klasik terjadi pada dewasa muda yang mengeluh nyeri punggung bawah dan kekakuan yang sering memburuk pada pagi hari atau setelah istirahat lama. Nyeri akan menghilang dengan aktivitas fisik dan biasanya terpusat di vertebra lumbosacral meski bisa juga terasa pada sendi panggul dan pantat dan kadang-kadang menjalar ke paha. Kekakuan biasanya berlangsung lebih dari 30 menit.
Gambar 4. Distribusi nyeri pada pasien spondilitis ankilosa Gambar 3. Sindesmofit
Perjalanan penyakit tipikal dirnulai dari sendi sakroiliaka. ~akroilitisditandai dengan sinovitis dan formasi panus dan jaringan granulasi. Semua proses tersebut akan mengerosi, mendestruksi dan mengganti rawan sendi dan tulang subkondral. Tulang parartikular juga akan menipis akibat peningkatan aktivitas osteoblastik. Inflamasi pada sendi sakroiliaka mempunyai predileksi pada sisi iliaka, ha1 ini mungkin karena jaringan fibrokartilago yang lebih banyak dan shear stress yang lebih besar pada sisi tersebut. Pada vertebra terjadi inflamasi kronik di annulus fibrosus, khususnya pada insersi ke tepi vertebra,
Pasien bisa mengeluh nyeri dan kaku pada vertebra torakalis, leher dan bahu. Keterlibatan kostovertebral menyebabkan gangguan ekspansi dada. Sendi perifer dapat mengalami sinovitis, terutama sendi besar dan proksimal seperti bahu dan panggul. Umumnya monoartikular atau oligoartikular asimetris. Nyeri pergelangan kaki bisa tejadi akibat entesopati di calcaneus sedangkan Tendinitis Achiles cukup sering ditemukan. Manifestasi ekstraskeletal yang bisa timbul adalah gejala konstitusional seperti kelemahan, penurunan berat badan dan subfebril; gangguan mata, kardiovaskuler, paru, neurologis dan ginjal
-
-
-
-
-
Nyeri punggung bawah inflamasi pada usia muda Keluhan berlangsung sekurangnya 3 bulan Gambaran radiologis menunjukkan sakroilitis Berkurangnya mobilitas vertebra Berkaitan dengan anterior uveitis Riwayat keluarga yang menderita spondilits ankilosa. psoriasis, inflammatory bowel disease Risiko meningkat pads individu dengan HLA-627 positif
Garnbar 5. Tes Schobe
Keterlibatanmata merupakan manifestasi ekstraskeletal yang cukup sering pada pasien spondilitis ankilosa,berupa uveitis anterior atau iridosiklitis. Umumnya unilateral dan sering berulang dengan terjadi jaringan parut dan glaucoma sekunder. Manifestasi kardiovaskuler bempa aortitis, regurgitasi katup aorta, gangguan konduksi dan perikarditis. Keterlibatan paru cukupjarang dan mempakan manifestasi lanjut dari spondilitis ankilosa, berupa fibrosis lobus superior yang progresif lambat. Nefropati IgA dan amiloidosis sekunder dapat ditemui pada pasien spondilitis ankilosa. Komplikasi neurologi yang sering timbul adalah akibat fraktur, instabilitas, kompresi atau inflarnasi. Fraktur sering pada vertebra C5-C6 or C6-C7, instabilitas mengakibatkan subluksasi sendi atlantoaksial dan atlanto oksipitalis. Osifikasi dari' ligament longitudinal posterior akan menyebabkan kompresi mielopati dan stenosis spinalis. Sindroma kauda equina jarang terjadi tapi merupakan komplikasi serius.
PEMERIKSAAN FlSlK Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada sendi sakroiliaka d m nyeri akibat spasme otot paraspinal vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test) yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adanya sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipelvic rock sign, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen. Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya bempa berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal. Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan dengan memberi tanda pada prosesus spinosus vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior) lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri. Kelaingn yang mengenai vertebra torakalis akan
menyebabkan gangguan ekspansi dada. Pengukuran dilakukan pada ruang antar iga V saat inspirasi dan ekspirasi maksimal, normalnya .mencapai 5 cm. Keterbatasan ini disebabkan fusi dari sendi kostovertebral. Gangguan pada vertebra servikalis biasanya merupakan manifestasi lambat dari spondilitis ankilosa. Kekakuan menyebabkan pasien kesulitan untuk mengekstensi kepala. Beratnya deformitas ini dapat diukur dengan mengukur jar& oksipital-dinding. Manifestasi lain yang bisa didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien spondilitis ankilosa adalah artritis perifer, biasanya asimetris dan pada sendi proksimal, yang cenderung menyebabkan kontraktur dini dan manifestasi ekstraartikular seperti uveitis, regurgitasi aorta.
PEMERIKSAANPENUNJANG Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaranyang khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 akan didapatkan pada lebih dari 90% pasien dan akan mencapai 100%jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung. Laju endap darah (LED) dan C-reactiveprotein (CRP) akan meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan spondilitis ankilosa. Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume residual pam. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada sendi sakroiliaka. Gambaran yang tampak adalah erosi pada sisi iliaka temtama pada sepertiga bawah sendi sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi
Grade
0 1
2 3 4
PenAaian Normal Mencurigakan Sklerosis, sedikit erosi Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis Ankilosis kom
lesi katilago dan entesis. Perubahan pada vertebra pada fase awal spondilitis adalah erosi yang dikelilingi sklerosis pada tepi korpus vertebra sebagai akibat inflamasi pada situs insersi annulus fibrosus di korpus vertebra (tanda Romanus). Selanjutnya periostitis di perifer korpus vertebra akan menyebabkan terbentuknya squaring. Karakteristik yang penting adalah formasi sindesmofit akibat dari kondritis vertebra dan osteitis subkondral yang diikuti dengan fibrosis dan osifikasi. Orientasi dari sindesmofit adalah vertical yang akan membedakannya dengan osteofit akibat penyakit degeneratif. Pada tahap akhir, gambaran radiologis vertebra dikenal dengan nama bamboo spine.
Kriterla 1.
Nyerl punggung bawah sekurangnya berlangsung 3 bulan, membaik dengan latihan dan tldak berkurang dengan istirahat 2. Llmitasi pergerakan vertebra lumbal~spada bidang r; frontal dan sagital & , 3. Berkurangnya ekspansi dada 4. a Sakrollltls unilateral gr 3-4 5. b. Sakrollitls bilateral gr 2-4 ' Diagnosis pasti jika dldapatkan kriterla 4a atau 4b diserta~ salah satu kritena 1 - 3 Diagnosis probable hanya ada kriterla klinis saja atau hanya kr~teriaradlologis tanpa gejala kllnis
DIAGNOSIS BANDING Beberapa penyakit yang hams dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal, penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISHIpenyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka. ~engawasan Status Penyakit Spondilitis Ankilosa Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa, beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Bath AS Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G), Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale (VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis k t u k menil'aikemsakan strukturaldan manifestasi ekstra artikular.
Gambar 6.Tampak fusi dari sendi sakroiliaka bilateral dan bamboo spine
DIAGNOSIS Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel 3). Meskipun demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang sensitif untuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang masih dini.
Penatalgksanaan Modalitas penata1aksr)naanadalah program fisioterapi dan modifrkasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan kekakuan serta deteksi dan penanganan yang tepat untuk komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaan yang dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada pasien spondilitis ankilosa. Program fisioterapi bertujuan untuk mempertahankan postur tubuh ysng tepat u ~ t u kberbagai aktivitas. Pasien hams tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup baik untuk mempertahankan mobilitas sendi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal. Terapi farrnakologis biasanya membutuhkan OAINS untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan mempertimbangkan.risiko efek samping yang mungkin terjadi. Sulfasalazip dapat mengatasi keluhan spinal terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan
-
Steroid eyedrops If symptoms persisx r 3 days refer to opthalrnologin (or if symptoms are severe or recurrent)
Upper bbe pulmonary (sbm Treatment: ignore!
Cheat wall pain Secondary w enthesopathy. maunem-local
icrjcctbn
Psorluk 1. Trea skin lesions with local therapy
2. Conslder sulfuahrjm if mild anhropathy or methotrerate if additional -re ythrltis Treat as separate entity
~rea&n+gd
Cardiac dbsease Usually mild. No specific rreatment needed
Irritable hlp Mildlmoderate,withou severc radiographic change: intra-anicular steroid If sewre-rota1 hip reflacement
Dactytldr fnflltrate with steroid
Arth-thy Imra-artlcutar steroid
ptWpks
1. Education 2 Exercise = keep fit 3. Stop smoking 4. Specik physiotherapy and hydrotherapy 5. NSAlD for rpinal d l s e a ~ 6. ? Sulfardazinefor periphval joint disease 7. Self-help group ifavailable (e.6 NASS)
A c h l W tendlntds lntratesional steroid with Feat c a n to avoid ruprure
Gambar 7. Beberapa modalitas penatalaksanaan pada spondilitis ankilosa
azatioprinjuga &pat membantu walaupun efikasinya belum didukung penelitian klinis. Pemberian anti malaria tidak bermanfaat. Pemberian steroid sistemik dan lokal dapat diberikan pada keadaanflare. Terapi anti reumatik baru yang mempunyai potensi pengobatan pada spondilitis ankilosa adalah anti TNF-a.Dengan penghambatan sitokin tersebut, dilaporkan terjadi penurunan kekakuan dan nyeri nokturnal, perbaikan asesment global pasien, indeks fungsional dan memperbaiki ROM spinal dan dada serta resolusi entesitis. Operasi merupakan pilihan jika ada deformitas yang mengganggu f h g s i tubuh atau keluhan nyeri yang tidak teratasi dengan terapi farmakologis. Beberapa prosedur yang sering dilakukan pada pasien dengan spondilitis ankilosa adalah total hip replacement (THR), total knee replacement (TKR), osteotomi servikal dan lumbal untuk mengurangi derajat kifosis dan stabilisasi subluksasi atlanto-axial.
PROGNOSIS Perjalanan spondilitis ankilosa sangat bervariasi. ~ e b e r a ~ a pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi. Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan
sedikit ketidaknyamanan dan beberapa hanya mengalami sakroilitis tanpa keterllibatan spinal. Meski spondilitis ankilosa tidak bisa disembuhkan, program rehabilitasi mempunyai pencapaian yang cukup impresif sehingga dianjurkan untuk tetap dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Alvares I, Lopez de Castro. HLA-B27 and immunogenetics of spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248 253 Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631 Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al. The unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy in ankylosing spondy litis. Rheumatology 2005;44: 1277-1281 Brandt I, Listing I, Haibel H, Sorensen H et al. Long-term efficacy and safety of etanercept after readministration in patients with active ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005;44:342-348 Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatology 2008;47;132-137 Ebringer A, Rashid T ,Wilson C, Ptaszynska T,Fielder M. Ankylosing Spondylitis, HLA-B27 and Klebsiella - An Overview: Proposal for early diagnosis and Treatment. Cum Rheumatol Rev 2006, 2: 55-68 Gadsby K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of
-
patients satisfying the BSR guidelines for anti-TNF in ankylosing spondylitis. Rheumatology 2007;46:439-441 Gorman JD, Imboden JB. Ankylosing Spondylitis and the Arthritis of Inflammatory Bowel Disease. In: lmboden JB, Hellmann DB, Stone JH (eds). Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 20d ed. McGraw Hill, New York. 2007: 175 - 182 Jois RN, Leeder J, Gibb J, Gaffney K et al. Low-dose infliximab treatment for ankylosing spondylitis: clinically and cost-effective. Rheumatology 2006;45: 1566-1569 Sidiropoulos PI, Hatemiz G, Song IH et al. evidence based recommendations for the management of ankylosing spondylitis: systematic literature search of the 3E Iniatiative in Rheumatology involving a broad panel of experts and practicing rheumatologist. Rheumatology 2008; 47: 355-361 Sieper J, Braun J, Rudwaleit M, Boonen A, Zink A. Ahkylosing Spondylitis: an overview. Ann Rheum Dis 2002; 6l(supl 111): iii8 - iiil8
. '
Van der Heijde D. Ankylosing Spondylitis. A. Clinical Features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH (eds). Pnmer on the Rheumatic Diseases 13Ihed. Spinger, New York. 2008; 193199 Van der Linden S, Valekburg HA. Cats A. Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis. A Proposal for modification of New York Criteria. Arthritis Rheum 1984; 27: 361-368 Van der Linden S, van der Heijde D, Maksymowych WP.Ankylosing Spondylitis. In: Firestein GS, Budd RC. Harris Jr ED et a1 (eds). Kelley's Textbook of Rheumatology 81h ed. Saunders, Philadelphia. 2009; 1169 -- 1190 Yoong KCJ. Ankylosing Spondylitis. N Engl J Med 2008; 359:4 Zeboulon N, Dougados M, Gossec L. Prevalence and characteristics of uveitis in the spondyloarthropathies: a systematic literature review. Ann Rheum Dis 2008;67:955-959 Zochling J, van der Heijde D. Burgos-Vardas R, Collanter E et al. ASASJEULAR recommencation for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006; 65: 442-452
ARTRITIS PSORIATIK Zuljasrl Albar
Spondiloartropati seronegatif merupakan sekelompok penyakit radang multisistem yang saling berhubungab satu sama lain. Sebagai penyakit reumatik, mereka mengeriai tulang belakang, sendi perifer struktur periartikuler atau ketiga-tiganya. Mereka juga berkaitan dengan manifestasi ekstra-artikuler yang berbeda-beda. Misalnya inflamasi traktus gastrointestinal atau traktus urinarius baik akut maupun kronik yang kadang-kadang akibat infeksi bakteri, inflamasi mata bagian anterior, lesi kulit dan kuku yang psoriasiform dan- jarang lesi pangkal aorta, sistem konduksi jantung dan apeks paru. Kebanyakan kelainan ini menunjukkan peningkatan prevalensi pada individu yang memiliki gen HLA-B27. Kelainan-kelainan yang telah diketahui sebagai diagnostic entity dalam kelompok spondiloartropati seronegatif ini ialah spondilitis ankilosa, artritis reaktif, spondilitis dan artritis perifer yang berkaitan dengan psoriasis atau penyakit radang usus, spondiloartropati juvenile onset dan beragam kelainan yang agak sulit diklasifikasikan yang sering disebut undifferentiated spondiloarthropathy atau - lebih singkat - spondiloartropati saja. Berbagai kriteria diagnostik untuk bermacam-macam spondiloartropati telah diajukan dalam 3 dekade terakhir. Dalam makalah ini akan dibicarakan diagnosis dan pengobatan salah satu kelainan yang termasuk dalam kelompok spondiloartropati seronegatif, yaitu artritis psoriatika.
GEJALA KLlNlS Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dari segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagi dalam tiga kelompok : 1. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %. 2 Poliarhitis, sering simetris sehingga rnirip dengan artritis reumatoid : 30 % - 50 %. 3. Terutama mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa kelainan sendi perifer :5 %. Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 %), artritis mutilans (5 %), sakroiliitis (35 %) dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk ke bentuk lain tidak jarang tejadi sehingga menghasilkan gambaran klinis yang heterogen. Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya sarnarsamar, pada 113 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa (+I5 %) - lebih sering pada anak-anak artritis timbul sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.
-
Kelainan sendi
Prevalensi artritis psoriatika di Amerika Serikat + 0.1 %. Artritis timbul pada + 5-7 % penderitapsoriasis. Psoariasis relatif sering pada bangsa kulit putih dan jarang pada penduduk Asia.
Oligoartritis atau monoartritis. Manifestasi awal yang paling sering, ditemukan pada 213 kasus ialah oligo- atau monoartritis yang mirip dengan artritis perifer pada spondiloartropati lain. Pada 113 - 112 penderita ini, artritis akan berkembang menjadi poliartritis simetris yang sulit dibedakan dari artritis reumatoid.
Oligoartritisyang klasik mengenai sendi besar misalnya sendi lutut- dengan 1 atau 2 sendi interfalang dan daktilitis salah satu jari atau ibu jari. Pada beberapa kasus artritis timbul setelah trauma. Jika pada anamnesis didapatkan riwayat psoriasis pada keluarga, pencarian psoriasis pada daerah yang tersembunyi (kulit kepala, umbilikus dan daerah perianal) disertai kelainan radiologis yang khas akan menghasilkan bukti penting untuk diagnosis yang tepat. Lesi psoriatik mungkin terbatas pada 1 atau 2 tempat dengan atau tanpa terkenanya kuku. Terkenanya sendi DIP merupakan tanda yang khas dan hampir selalu berkaitan dengan perubahan psoriatik pada kuku. Poliartritis. Poliartritis simetris yang mengenai sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan tangan, pergelangan kaki, lutut dan siku merupakan pola arhitis psoriatik yang paling sering. Artritis mungkin sukar dibedakan dari AR, tetapi sendi DIP lebih sering terkena dan terdapat kecenderungan ankilosis tulang pada sendi PIP dan DIP yang mengakibatkan deformitas 'claw' atau 'paddle' pada tangan. Penderita dengan poliartritis simetris dan psoriasis tetapi tanpa gambaran klinis (daktilitis, entesitis, terkenanya sendi DIP atau sakroiliaka) atau radiologis yang khas serta faktor reumatoidnya positif mungkin secara bersamaan juga menderita AR. Artritis mutilans. Artritis mutilans akibat osteolisis jari dan tulang metakarpal Cjarang pada kaki) jarang, tetapi jika ada merupakan gambaran yang sangat karakteristik untuk artritis psoriatika. Kelainan ini mengakibatkan timbulnya jari teleskop, ditemukan pada 5 % kasus. Kelainan sendi aksial. Kelairlan sendi aksial &pat terjadi pada penderita artritis perifer yang faktor reumatoidnya negatif dan sering asimtomatik. Pria dan wanita sama kemungkinan terkenanya. Biasanya timbul beberapa tahun setelah artritisperifer. Keluhan low back pain inflamatif atau nyeri dada mungkin tidak ada atau minimal meskipun kelainan radiologis tarnpak lanjut. Manifestasi lain. Peradangan pada tempat melekatnya tendo dan ligarnen pada tulang (entesitis) sebuah gambaran yang karakmistik untuk spondiloartropati sering ditemukan terutama pada insersi tendo Achilles dan fasia plantaris pada hlhneus. Entesopati cenderung lebih sering terjadi pada bentuk oligoartritis. Konyungtifitis tidak jarang,. ditemukan pada 113 kasus. Sebagaimana halnya dengan spondilitis ankilosa, komplikasi seperti insufisiensi aorta, uveitis, fibrosis paru yang mengenai lobus superior dan amiloidosis dapac$rjadi tetapi jarang.
_
Kelainan Kulit Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut, kulit kepala, telinga dan daerah presakral.
Dapat juga ditemukan pada bagian tubuh yang lain seperti telapak tangan dan kaki, bagian fleksor, pinggang bawah, batas rambut, perineum dan genitalia. Ukurannya bervariasi, berkisar dari 1 rnm atau kurang pada psoriasis akut awal sampai beberapa sentimeter pada penyakit yang well-established. Terkenanya kuku merupakan satu-satunya gambaran klinis untuk mengetahui penderita psoriasis mana yang mungkin akan mengalami artritis. Kelainan kuku dapat berupa pitting, onikolisis (terlepasnyakuku dari nail-bed), depresi melintang (ridging) dan retak, keratosis subungual, warna kuning-kecoklatan (oil drop sign) dan leukonychia dengan permukaan yang kasar. Tidak ada kelainan kuku yang spesifik untuk artritis psoriatik. Meskipun pitting tidak jarang pada orang normal, multipel pit (biasanya lebih dari 20) pada satu kuku pada jari yang mengalami daktilitis atau peradangan sendi DIP dianggap khas untuk artritis psoriatik.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR. Gambaran yang khas ialah : 1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusifom dengan distribusi bilateral asimetris, mineralisasi yang normal; 2 Hilangnya celah sendi dengan atau tanpa ankilosis sendi IP tangan dan kaki 3. Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi; 4. Proliferasi tulang pada pangkal falang distal dan resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan; 5. Erosi sendi dengan pengecilan falang proksimal disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup deformity) 6. Flu& periostitis. Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang paling sering) tangan, kaki, sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis mungkin unilateral atau sirnetris pada fase awal, tetapi dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.
DIAGNOSIS BAN.DING Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari spondiloartropati lain dan AR. Kelainan tulang belakang tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis
pada keluarga dan kelainan radiologis yang kurang sirnetris. Adanya daktilitis dan entesitis, kelainan psoriatik pada kulit dan kuku, riwayat psoriasis pada keluarga, terkenanya sendi DIP, faktor reumatoid negatif, adanya kelainan tulang belakang atau sakroiliitis dan adanya pembentukan tulang baru atau ankilosis tulang yang tampak pada pemeriksaan radiologis dapat membantu membedakannya dari AR. Yang lebih sulit ialah membedakan artritis psoriatik dari spondiloartropati seronegatif lain. Artritis reaktif, artritis yang berkaitan dengan penyakit radang usus dan artritis psoriatik memiliki banyak kemiripan dalam gejala klinis.
dihindarkan suntikan steroid lokal melalui lesi psoriatik karena mungkin terdapat koloni kuman disana. Penggunaan anti-TNF untuk pengobatan artritis psoriatik menunjukkan efek yang baik terhadap keluhan artritis perifer dan tulang belakang. Preparat yang banyak digunakan adalah ialah Infliximab dan Etanercept Pada penderita dengan nyeri sendi yang tidak dapat diatasi (intractable) dan hilangnya fungsi sendi, diperlukan tindakan operatif.
PROGNOSIS PENGOBATAN Pembicaraan dalam ha1 ini dititlk beratkan pada pengobatan kelainanlkeluhan sendi. Prinsip dasar penganganan penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan kulit. Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan penyakit poliartikuler,progresif dan erosif, DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin. Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis. Diberikan 7.5 mg - 25 mglminggu, disesuaikan dengan respon dan toleransi penderita. Sulfasalazin 2-3 g/hari bermanfaat pada artritis aksial dan artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit. Kortikosteroid boleh digunakan dalam dosis rendah baik dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja. Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat, Flare yang hanya mengenai 1 atau 2 sendi dapat diatasi secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Hams
Secara ynurn, keluhan sendi artritis psoriatika tidak seberat pada AR. Faktor prognostik yang pasti belum ada. Meskipun demikian, riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun, adanya HLA-DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penderita seperti ini memerlukan pengobatan yang lebih agresif.
Khan MA : An overview of Clinical Spectrum and Heterogeneity of ~~ond~loarthropathie's. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 1-10, Febr 1992. Boumpas DT, Tassiulas I 0 : Psoriatic Arthritis. Dalam Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997. Gladman DD : Psoriatic Arthritis : Recent Advances in Pathogenesis and Treatment. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 247-256, Febr 1992. Jackson CG, Clegg DO : The Seronegative Spondyloarthropathies (Ankylosing Spondylitis, Reactive Arthritis, Psoriatic Arthritis). Dalam Weisman MH et al (Eds.) Treatment of the Rheumatic Diseases. Companion to Kelley's Textbook of Rheumatology. 2nd ed., Philadelphia, WB Saunders Co., 200 1 . Inman RD : Treatment of Seronegative Spondyloarthropathy. Dalam Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 1 lth ed, Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997.
REACTIVE ARTHRITIS Rudi Hidayat
PENDAHULUAN
PATOGENESIS
Reactive arthritis (ReA) atau sindrom Reiter merupakan salah satu bentuk atau varian dari spondiloartropati seronegatif. ReA didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi ekstraartikular, terutama infeksi urogenital dan enterik. Banyak studi yang telah dilakukan untuk memahami bagaimana patogenesa terjadinya ReA, dan diduga adanya reaksi imun baik serologis maupun seluler terhadap suatu patogen penyebab, meskipun patogen tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi di jaringan maupun cairan sinovial. Insidens lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda (20-40 tahun), tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan. Suatu studi prospektif di Swedia mendapatkan insidens ReA adalah 28 kasus 100.000 penduduk, lebih tinggi dibandingkan insiden RA (241100.000). Pada studistudi yang lain seperti di Yunani, Finlandia, dan Norwegia, rata-rata didapatkan 33-10 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian ini juga dipengamhi oleh karakteristik populasi tertentu, seperti ReA yang lebih sering ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, atau ReA yang ditemukan lebih banyak pada kelompok dewasa dibandingkan anak-anak setelah adanya wabah Salmonella. Faktor genetik terutama yang berkaitan dengan human leukocyte antigen-B27 (HLA-B27) juga dianggap berperan. Dari suatu studi epidemologi didapatkan lebih dari 50% kasus ReA atau oligoartritisyang tidak terklasifikasi, didapatkan hubungan dengan patogen yang spesifik baik dengan pemeriksaan serologis maupun kultur. Organisme yang terdeteksi terutama Chlamydia sp (patogen urogenital), Salmonella, Shigella, Yersinia dan Campylobacter sp (patogen enterik). Beberapa organisme yang lain juga terdeteksi dari beberapa studi regional.
Dari berbagai organisme yang telah terbukti menjadi pemicu terjadinya ReA, Chlamydia sp merupakan penyebab paling sering, dan juga paling sering diamati. Pada jaringanlcairan sinovial, atau darah tepi penderita ReA dapat ditemukan Chlamydia DNA, mRNA, rRNA maupun Chlamydia like-cells. Menetapnya Chlamydia sp atau komponennya, karena kemampuan organisme ini untuk menurunkan ekspresi major outer membrane protein, meningkatkan ekspresi heat shock protein (HSP) dan lipopolysaccharide(LPS). Selain itu juga menurunkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) antigen pada permukaan sel yang terinfeksi, meriginduksi apoptosis sel-T dengan cam merangsang produksi lokal tumor necrosing factor (TNF), serta menghambat apoptosis sel host dengan menurunkan pelepasan cytocrome C dan menghilangkanprotein kinase C-delta. Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagaimana infeksi sebelumnyadapat menyebabkan inflamasi dan erosi (proses autoimun) pada persendian tanpa adanya organisme yang viable. Selain adanya komponen mikroorganisme yang menetap, juga diduga adanya molecular mimicry yang menyebabkan reaktivitas silang sel host dengan antigen microbial. Analisa pada tikus yang terinfeksi S. typhimurium ternyata menghasilkan pembahan peptida tertentu yang homolog dengan peptida dari DNA C. trachomatis. HLA-B27 juga dianggap berperan pada mekanisme molecular mimicry, dimana struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari mikroorganismepencetus. Proses inflamasinya melibatkan fibroblas sinovial yang menimbulkan diferensiasi dan aktifasi osteoklas. Sebagaimana kelompok spondiloartropati seronegatif yang lain, kaitan ReA dengan HLA-B27 telah banyak dianalisa, namun masih belum dapat dibuktikan adanya
hubungan yang kuat seperti pada kasus ankilosing spondilitis. Kecuali dua ha1 yang telah diketahui berhubungan dengan HLA-B27, yaitu sel imun dengan HLA-B27 ternyata kurang efektif kemampuannya membunuh salmonella dibandingkan sel kontrol, dan adanya perangsangan LPS yang menghasilkan peningkatan sekresi TNF. Selain itu dianalisajuga besamya peran sel T CD8+ yang herhubungan dengan molekul MHC kelas I temasukHLA-B27. Observasi pada kelompok individu dengan defisiensi sel T CD4+ termasuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS), ternyata masih terdapat manifestasi ReA. GAMBARAN KLlNlS Karakteristik klinis dari ReA adalah oligoartritis asimetrik terutama pada ekstrimitas bawah, meskipun pada 20% kasus dapat berupa poliartritis. Keterlibatan daerah panggul dan 'ekstrimitas atas sangat jarang. Sendi yang terlibat mengalami bengkak, hangat dan nyeri sehingga menyerupai gambaran artritis septik. Aspirasi dan analisa cairan sendi akan membedakan kedua keadaan tersebut. Gejala khas yang lain yaitu entesitis (inflamasi pada insersi ligamenltendon ke tulang), terutarna tendinitis achilles dan fasiitis plantaris. Keluhan sakit pingganghlang belakang dan bokong ditemukan pada lebih dari 50% pasien, tapi tidak progresif seperti pada ankilosing spondilitis. Beberapa manifestasi ekstraartikular dapat membantu penegakan diagnosis, terutama pada keadaan dimana infeksi pemicunya tidak diketahui. Keratoderma blenoragika adalah ruam papuloskuamosa yang mengenai telapak tangan dan kaki. Gambaran klinis dan histopatologinya menyerupai psoriasi pustular, termasuk adanya distropi kuku. Balanitis sirsinata adalah ulkus yang dangkal di batang atau glans penis, berupa plak dan hiperkeratotik. napat ditemukan eritema maupun ulkus yang tidak nyeri di palatum durum atau lidah, lebih jarang di uvula, palatum mole atau tonsil. Sedangkan uveitis anterior akut dapat ditemukan pada 20% kasus, dengan keluhan mata merah, nyeri, berair, kabur dan fotofobia. Gejala sistemik seperti demam dan malaise, atau keterlibatan organ lain seperti ginjal dan jantung lebih jarang ditemukan. Perjalanan penyakitnya diperkirakan akan mereda dalam jangka waktu 3-6 bulan. kecuali pada sekitar 20% kasus yang menetap sampai lebih dari 12 bulan, sebagian besar berhubungan dengan HLA-B27 positif. DIAGNOSIS Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ReA yang tervalidasi dengan baik, tetapi pada tahun 1996 the Yd International Workshop on Reactive Arthritis telah menyepakati kriteria untuk ReA, yaitu didapatkannya dua
gambaran : 1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau entesitis 2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya Bukti adanya infeksi diperoleh dan hail tes laboratoriurn seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan laboratoriurnyang lain menunjukkan proses inflamasi yaitu , peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP). Diagnosis semakin h a t dengan adanya suseptibilitasgenetik HLA-B27, dan ha1 ini ditemukanpada 30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampaiberat, sedangkan pada biopsi sinovialjuga menunjukkan adanya reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan. Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis maupun laboratoris yang ditemukan:
pinggang inflarnasi, atau entesitis PLUS Riwayat adanya gejala uretritis, servisitis atau enteritis akut PLUS Tes bakteri positif (kultur atau serologi) PLUS HLA-627 positif
30 - 50% 70 - 80% >80%
Diagnosis banding yang hams dipikirkan antara lain arthritis septik dengan konsekuensi tata laksana yang sangat berbeda. Selain itu juga hams dibedakan dengan arthritis gout, rheumatoid arthritis, arthritis psoriatik, dan ankilosing spondilitis. Dengan anmnesis yang baik banyak informasi yang dapt digunakan untuk membedakan berbagai diagnosis tersebut.
TATA LAKSANA
. .
Pilihan pertama tata laksana ReA adalah obat anti-inflarn~i' non-steroidal (OAINS), yang pada banyak keadaan marnpu memperbaiki keluhan arthritis, entesitis dan sinovitis akut. Selain itu juga perlu disarankanuntuk menghindari aktifitas yang berlebihan pada sendi yang terlibat. Pada monoartritis dapat diberikan injeksi kortikosteroid intraartikular (pada tempat-tempat yang aman untuk dilakukan injeksi). Sedangkan untuk keratoderma blenoragika, balanitis sirsinata dan uveitis anterior digunakan kortikosteroid topikal yang ringan, seperti golongan hidrokortison valerat. Pilihan berikutnya pada keadaan sinovitis yang menetap
2537
REACTIVE ARTHRITIS
adalah penggunaan sulfasalazin dan metotreksat, seperti pada RA. Kortikosteroid sistemik dianggap tidak banyak memberikan manfaat klinis. Patogenesa ReA yang berkaitan dengan adanya pemicu infeksi sebelumnya, menimbulkan pertanyaan tentang penggunaan antibiotika. Beberapa studi mengmakan siprofloksasin 2x500 mg atau lyrnecyclin 3x300 mg selama tiga bulan, mendapatkan manfaat perbaikan yang signifikan hanya pada ReA dengan pencetus Chlamidya. Penggunaan antibiotika ini dianggap hanya mampu mencegah penyebaran infeksinya, terutama pada kasus yang dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya, dan dianggap tidak mempengaruhi perjalanan penyakit KeA.
PROGNOSIS I'ada umurnnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah bebernpa bulan. Hanya beberapa kasus rnenjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor stress non-spesifik. Pada beberapa studi juga didapatkan sekitar 20-70% kasus, pada follow-up selanjutnya diketahui mengalami masalah di persendian termasuk osteoartritis.
REFERENSI lnman RD. Reactive and enteropathic arthritis. In : Klippel JH, Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer o n the rheumatic diseases. 13Ih ed. New York: Arthritis Foundation; 2008. p. 217-23. Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment. In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3* ed. Edinburg 2003: Elsevier; 2003, p. 1233-40. David TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd RC, Firestein GS, Genovese MC. Sergent JS, Ruddy S, editors. Kelley's textbook of rheumatology. 7" ed. Philadelphia: Elsevier; 2005. p. 1142-54. El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'* ed. Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32. Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic idiopathic arthropathies. In: Rose NR, M a ~ k a y , ~ ~ ! ~ e d i t o r s . The autoimmune Diseases. 4Ih ed. Amsterdam: E'lsevler; 2006. p. 437-41. Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F, et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in patients with reactive arthritis and undifferentiated oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study. Arthritis Rheum 1999;42(7): 1386-96. Laaslla K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long term prognosis of reactlve arthrltls. Ann Rheum Dis 2003;62:655-8.
OSTEOARTRITIS Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo
PENDAHULUAN Osteoae(~(fis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria, dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat -dirasakanterus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua. Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk mernbantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid (OAMS). Karena keluhan nyeri pa& OA yang kronik dan progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika, penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi, bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat
baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective agents atau disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs).
ETIOPATOGENESIS OSTEOARTRITIS Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, perturnbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder (Woodhead, 1989;Sunarto, 1990;Rahardjo, 1994). Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor umur, sees mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990).Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990). Osteoartritisditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair) (Brandt, 1993).Osteoartritis
terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan &Mi, ~bhdddllih&tulitig dan inflarhasi cairan sendi (Woodhead, 1989). Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru (Woodhead, 1989; Dingle, 1991). Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan. .Eaktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-I), growth hormon, transforming growth factor p (TGF-P) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek IGF- 1 (Pelletier, 1990). Faktor pertumbuhan TGF-P mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzym yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E, (PGE,) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE, oleh interleukin-1 (IL-I). Hormon lain yang inempengaruhi sistesis komponen kartilago adalah testosteron, P-estradiol, platelet derivat growth factor (PDGF), jibroblast growth factor dan kalsitonin (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1991) Pathogenesis of OA Pathogenesis of OA T ~ a t r i xdegeneration Cytokin
' Enzymes
1
I
Nitric oxide Genetic
4
Chondroitin $Matrix synthesis
1
Chondroitin
+ Chondroitin
4
Chondroitin IGF-I = insulin like gmwth fector TGF-p transforming gmwth fector
Garnbar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan faktor keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks (surnber : Doherty & Jones, 1994)
Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989; Pelletier, 1990).Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan, matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih
rendah.$$anding,no,rmal yaitu 0,29 dibanding 1 (Dingle, . ,1991j. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosisjaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992). Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987), peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan (Ruoff, 1986). Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada&Ma dan subkondrial(Moskowitz, 1987;Brandt, 1987). Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF a dan P, dan interferon (IFN) a dan z (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990; Dingle, 1991). Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya (Moskowitz, 1990). Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi (Ghosh, 1992). Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan sistesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Pada percobaan binatang ternyata pemberian human recombinant IL- 1a sebesar 0,O 1ng dapat menghambat sistesis glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal (Dingle, 1991). Kondrosit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL- 1 secara lokal (Dingle, 1991). Faktor pertumbuhan dan sitokin tarnpaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama (Moskowitz, 1990;Pelletier, 1990). Percobaan pada kelinci membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi
-
setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu (Dingle, 1991).
Kelainan disekitar rawan sendi tergantung pada sendi yang terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi seperti persambun-gan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif.
Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago N O merupakan gas yang diproduksi oleh berbagai sel tubuh dan mempunyai peran sentral pada pertahanan tubuh dan imunitas.Produksi NO di rangsang oleh nitric oxide synthase (NOS), dimana terdapat 3 isoforin NOS: Constitutively expressed NOS (cNOS, mis; neuronal cNOS = ncNOS = NOS-I) -. Endothelial cNOS (ecNOS =NOS-III) InducibleNOS (iNOS=NOS-II) NeuronalcNOS dan ecNOS adalah konstitutif dan fisiologis, sedangkan iNOS bersifat patologis. iNOS merangsang produksi NO berlebihan yang kemudian bereaksi dengan 0, membentukperoksinitrit yang toksik. Sakurai dkk. (1995), mendapatkan peningkatan kadar inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien OA maupun rheumatoid arthritis (RA). Mc Innes (1996), juga melaporkan peningkatan kadar NO pada kultur kartilago pasien kedua penyakit tersebut. Hayashi dkk (1997), juga mendapatkan adanya peningkatan ekspresi iNOS mRNA pada kartilago pasien OA. Pada eksplan (kultur dari eksisijaringan) kartilago yang di tambah dengan S-nitroso- acetyl penicillamine (donor NO), juga terjadi peningkatan produksi tumor necrosisfactor (TNF) a oleh makrofag dan sinoviosit. NO dapat bersifatpro- inflamasi, karena NO mempunyai efek vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, walaupun secara kostitutif N O mempunyai efek anti-inflamasi (Tabel 2.) . Efek NO terhadap kondrosit meliputi: inhibisi produksi kolagen dan proteoglikan aktivasi metaloproteinase meningkatkan kepekaan trauma oksidan lain (H,O,) menurunkan ekspresi IL-1 reseptor antagonis inhibisi polimerisasi &tin dan sinyal IL-1 integrin apoptosis (programmed cell death) Kartilago normal tidak memproduksi T W kecuali atas rangsangan IL-1, tetapi pada eksplan kartilago pasien OA dan RA produksi NO masih berlangsung setelah 72 jam pada keadaan tanpa rangsangan lipopolysacharide (LPS),
IL-1 atau TNF yang dapat memperpanjang waktu p a d NOS rnRNA atau protein tertentu. Ini menunjukkan adanya NOS up-regulating factors lain pada kartilago yang meliputi: 1. sitokin dan growth factors produksi kondrosit 2. interaksi dengan komponen matriks yang meningkatkan NOS 3. difusi soluble stimuli ke matriks dari sumber sinovial lain.
cNOS (NOS-I) Lokasi
Stimuli
Lokalisasi kromosom Lokalisasi enzim
Neuron susunan syaraf pusat dan perifer, platelet, sel b, pankreas, sel epitel NMDA, insulin, trombin
Cnos
(NOS-Ill)
(iNOS atau NOS-11)
Endotel, neuron, miosit jantung
Makrofag, endotel, kondrosit, hepatosit, sinoviosit, set otot polos
Asetilkolin, ADP, trombin, shear stress,
Endotoksin, Interferon g, IL-I, TNF a
12 (rnanusia)
VEGF 7 (manusia)
Sitosol
Kaveolae
17 (manusia). Il(tikus)
Sitosol
Pro-inflamasi Vasodilatasi dan hiperpermeabilitas Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis Efek sitotoksik Aktivasi cyclo-oxygenase Bereaksi dengan 0 2 membentuk peroksinitrit yang toksik lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental Stimulasi produksi TNFa pada sinoviosit
Pada kartilago sendi sapi yang diberi stres oksidan, menunjukkan NO pada cairan sendi merupakan mediator apoptosis kondrosit yang tergantung IL-1 (IL-1 dependent apoptosis). Proses ini disertai deplesi nicotiamide adenine dinucleotide (NAD) dan aktivasi ensim stress activated protein kinase (SAPK). Pada kultur kartilago pasien OA juga ditunjukkan adanya deplesi NAD dan peningkatan aktivitas SAPK. Aktivasi SAPK juga merangsang produksi metaloproteinase pada kartilago dengan OA. Pada IL- 1 dependent apoptosis IL- 1 yang berperan adalah IL- 1P.
Regulasi NO dan Mediator Radang pada Kartilago Eksplan kartilago OA juga mengekspresikan cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin E, (PGE,). Inhibisi NOS dengan L-monomethyl-L-arginine (L-NMA) meningkatkan PGE, maupun matrix metalloproteinase-3
(MMP-3) dua kali lipat pada kartilago OA, sedangkan penambahan nitroprusid natrium yang merupakan donor NO, dapat menghambat PGE2 dan MMP-3. Produksi spontan dari mediator inflamasi (NO dan PGE,) pada eksplan kartilago OA dan RA menghasilkan stimuli yang berlanjut dengan degradasi kartilago, misalnya ekspresi IL-1P yang menyebabkan pelepasan NO dan PGE,. IL-6, IL-8 dan TNF juga terlibat dalam degradasi kartilago. NO dan PGE, juga meningkatkan IL-17 yang independen dengan peningkatan IL- 1P.
FAKTOR-FAKTOR RlSlKO OSTEOAR'TRITIS
Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor risiko (faktor yang meningkatkan risiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor risiko untuk timbulnya OA (primer) adalah seperti di bawah ini. Hams diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk masing-masing OA tertentu berbeda. Dengan melihat faktor-faktor risiko ini, maka sebenarnya semua OA individu dapat dipandang sebagai Faktor yang mempengaruhi predisposisi generalisata. Faktor-faktor yang menyebabkan beban biomekanis tak normal pada sendi-sendi tertentu. Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelarnin adalah faktor risiko umum yang penting. Umur Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak pemah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada OA. Jenis Kelamin Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuknsi OA lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA. Suku Bangsa Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih jarang di antara orang-orang kulii hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering
dijumpai pada orang-orang~merikaasli (Indian) daripada orang-orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan Genetik Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuanperempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen I1 atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecendemgan familial pada OA tertentu (terutama OA banyak sendi). Kegemukan dan Penyakit Metabolik Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan temyata tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis temyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa osteoartritis. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetii kapas) berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitastertentu dapat menjadi predisposisi OA cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak stabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu faktor untuk timbulnya OA. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.
-
Kelainan Pertumbuhan Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Mekanisme inijuga diduga berperan pa& lebih banyaknya OA paha pada laki-laki dan ras tertentu. Faktor-faktor Lain Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (kern) talc membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan kaitan negatif antara osteoporosis dan OA. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum jelas. Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik)dan OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita clan orang yang gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih dan psikologis yang tak baik. Gangguan
1
Cedera
1
Ketidaksfabllan
Kelainan metabolik
Ketuaan. faktor-faktor intrinsik. ekstrinsik
lama.
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan.
Nyeri Sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya). Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada OA semikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio intermitten. Hambatan Gerakan Sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
Keluhanlketldakmarnpuan: rlngadudak ada
,
tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali. Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering tekena OA adalah sendi-sendi yang paling akhir mengalami perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki. Sendi-sendi tersebut munglun mempunyai rancang bangun yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal daripada sendi-sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih
Dekwrnpensata
Keluhan/keUdakrnarnpuan:
I(
Osteoflt Osteoflt
I
Metabolsme Kondrcslt
Jawaban Slnovlel
Reaksl kapsul
I1
I
Gambar 4. Penggambaran OA sebagai suatu proses petbalkan yang dapat kornpensata atau gagal dalamjawaban pada betbagai gangguan
Kaku Pagl Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.
SENDlSENDl YANG 'TERKENA
Krepltasl Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu (carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal
Pembesaran Sendi (deformltas) Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya
(seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar. Perubahan Gaya Berjalan Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan paasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua.
PEMERIKSAAN FlSlS Harnbatan Gerak Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang inasih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Krepitasi Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi. Pernbengkakan Sendi yang Seringkali Asirnetris Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi. Tanda-tanda Peradangan Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki. Perubahan Bentuk (deformitas) Sendiyang permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.
Perubahan Gaya Berjalan Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.
PEMERIKSAANDlAGNOSTlK Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Radiografis Sendi yang Terkena Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup memberikan garnbaran diagnostik yang lebih canggih. Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA ialah : Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban). Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral. Kista tulang Osteofit pada pinggir sendi Perubahan struktur anatomi sendi. Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain. Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan tulang belakang). Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkanjuga pada pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakitpenyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkinjuga diperlukan pada pasien dengan
----
-~
-
.
.
.,
.
.'
.
OA tulang belakang untuk menetapkan sebabLsebab gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikulk atau medulla spinalis.
i,,.;:
Hasil pemeriksaan laboratorium p a d a - biasanya ~~ tak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan imunologi'(ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal,.Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan . penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.
PEMANTAUAN PROGRESIVITAS DAN OUTCOME OA Terdapat 3 cara utama untuk memantau progresivitas dan outcome OA : Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien (patient-related measures of joint pain and diability), misalnya nilai algofungsional dari WOMAC, indeks beratnya nyeri lutut dan panggul. Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi yang terserang (measurement of the structural / anatomical changes in the aflected joints) misalnya radiografi polos, MRI, artroskopi dan ultrasound frekuensi tinggi Pengukuran proses penyakit yang dinyatakan dengan perubahan metabolisme atau perubahan kemampuan fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral atau jaringan sendi lainnya (measurements of the disease process exemplified by changes in metabolism o r functional properties of the articular cartilage, subchondral bone or other joints tissues) misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi tulang, pengukuran resistensi terhadap kompresi pada rawan sendi dengan mengukur kemampuan identasi atau penyebaran. Nilai algofungsional, radiologik polos dan artroskopi telah banyak digunakan pada berbagai uji klinik OA, tetapi hanya nilai algofungsional saja yang telah divalidasi sebagai instrumen outcome Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai standard emas untuk menilai perubahan struktur sendi pada berbagai uji klinik penggunaan obat DMOA (Disease Mod~fiing Osteoartritis Drugs). Kelemahan teknik ini terletak pada kenyataan bahwa teknik ini hanya dapat menilai secara tidak langsung, suatu surrogate marker, perubahan yang tetjadi akibat destruksi rawan
sendi dan bukan penilaian secara langsung proses yang terjadi pada rawan sendi. Hal yang sama ditemukan pada MRI, hingga saat ini MRI tidak dapat memantau kualitas dan komposisi rawan sendi, informasi yang diperoleh hanyalah pengukuran tidak langsung dari proses penyakit. Melihat ha1 tersebut maka diperlukan suatu metode yang secara cepat memberikan infonnasi dari fungsi, komposisi dan proses metabolik pada rawan sendi yang dapat digunakan untuk memantau hasil pengobatan. Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan prQses degradasi matriks molekul yang akan dilepaskan kedalam cairan tubuh seperti dalam cairan sendi, darah dan urin. Beberapa marker molekuler dari metabolisme matriks rawan sendi dapat digunakan dalam diagnosis, prognostik dan monitor penyakit sendi seperti pada RA dan OA dan dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme penyakit pada tingkat molekuler. Walaupun banyak publikasi yang telah melaporkan bahwa pada OA terjadi peningkatan pelepasan marker rawan sendi, tulang dan sinovia ke dalam cairan sendi, serum dan urin, namun penggunaan marker ini untuk memantau proses penyakit pada OA masih sukar dilakukan. Kata marker telah digunakan pada berbagai keadaan. Pada OA maka yang dimaksud dengan marker ialah sitokin, enzim protease dan inhibitomya, komponen matriks rawan sendi dan fiagmennya, antibodi terhadap kolagen rawan sendi dan membran protein kondrosit serta hormon pertumbuhan.
JENIS MARKER MOLEKULAR,PADA OSTEOARTRI'TIS Terdapat berbagai jenis marker molekuler yang dapat ditemukan dalarn cairan sinovia atau dalam serum pasien OA yang berasal dari berbagai komponen ekstraselular matriks (lihat Tabel 3)
HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI MARKER DENGAN METABOLISME RAWAN SEND1 Hal yang perlu dipertirnbangkandalam ha1marker molekuler pada OA ialah : Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi marker molekul dengan tingkat metabolisme dari rawan sendi. Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi marker molekul pada berbagai cairan tubuh seperti pada cairan sendi, serum dan urin . Pengaruh adanya perubahan tubuh seperti inflamasi sinovial, gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal terhadap konsentasi marker. Spesifitas dari marker molekul pada tulang rawan terutama pada rawan sendi.
Marker Cartilage Aggrecan Core Protein epitopes Core Protein epitopes (cleavage site specificneoepitopes) Keratan Sulfate epitopes Chondroitin sulfate ratio (846, 383, 7D4, etc.) Chondroitin sulfate ratio 65145 Small proteoglicans Cartilage matrix proteins Cartilage oligometric matrix protein Cartilage collagens Type II collagen C-propeptide Type II collagen a chain fragments Matrix metalloproteinases and inhibitors Meniscus Cartilage oligometric matrix protein Small proteoglicans Synovium Hyaluronan Matrix metalloproteinases and inhibitors Stromelvsin (MMP-3) Interstitial collagenase (MMP-1) Tissue inhibitors of metalloproteinases Type Ill collagen N-propeptide Bone Bone sialoprotein Osteocalcin 3-hidroxypyridinium crosslinks
Marker OA pada cairan sendi
Proses
Marker OA pada serum
Degradasi dari agregan Degradasi dari agregan Degradasi dari agregan Sintesis Idegradasi dari agregan Sintesis Idegradasi dari agregan Degradasi dari proteoglikan kecil Degradasi dari COMP Sintesis dari kolagen tipe II Degradasi dari kolagen tipe II Sintesis dan sekresi Degradasi dari COMP Degradasi dari proteoglikan kecil Sintesis dari hialuronan Sintesis dan sekresi dari MMP-3 Sintesis dan sekresi dari MMP-1 Sintesis dan sekresi dari TlMPs Sintesisldegradasi dari kolagen tipe Ill Sintesisldegradasi dari BSP Sintesis dari osteokalsin Degradasi dari kolagen tulang
Pengetahuan tentang hubungan antara perubahan konsentrasi marker pada berbagai cairan tubuh dan perubahan metabolisme matriks sangatlah terbatas. Sebagai contoh bahwa konsentrasi dari marker degradasi matrlks dalam cairan tubuh tidak hanya tergantung pada tingkat degradasi matriks rawan sendi tetapi juga tergantung banyak faktor seperti kecepatan eliminasi (bersihan) fiagmen molekul tersebut dari cairan tubuh dan jumlah matriks rawan sendi yang inasih tersisa. Walaupun ada faktor perancu tersebut konsentrasi marker dalam cairan tubuh sangatlah erat hubungannya dengan tingkat metabolisme matriks molekul rawan sendi, Komponen yang seperti itu antara lain: agrekan, COMP (cartilage ologomeric matrix protein) dan collagen 11C -propeptide yang nampak berubah konsentrasinya dalam cairan tubuh setelah cedera atau pada OA. Perubahan ini konsisten baik pada hewan percobaan in vivo atau pada rawan sendi OA in vitro Identifikasi dari sumber asal fragmen molekul merupakan pula masalah dalam hubungan antara proses dengan jaringan. Suatu peningkatan pelepasan fragmen molekul ke dalam cairan tubuh dapat berasal dari suatu proses degradasi saja (dengan akibat kerusakan jaringan) atau sebagai akibat peningkatan degradasi yang bersamaan pula dengan peningkatan pembentukan barn/ perbaikan (yang menghasilkan keadaan steady state),
dengan demikan diperlukan marker untuk kondisi degradasi (misalnya fragmen agrekan) dan sintesis (misalnya collagen 11pro-peptide) Masalah lain ialah bila suatu marker katakanlah tidak berhubungan dengan proses degradasi tetapi hanyalah berhubungan dengan proses sintesis maka sumber spesifik fragmen tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut. Suatu fiagrnen molekul yang telah diidentifikasi dapat berasal dari: pemecahan matriks barn yang belum masuk ke dalam matriks fingsional pemecahan matriks yang sudah matang
,
Selain itu masih ada masalah lagi ialah berasal dari kompartemen yang mana marker molekuler yang ditemukan di cairan tubuh tersebut, apakah dari periselular, matriks teritorial atau matriks interteritorial
POTENSI PENGGUNAANMARKER Kebutuhan pemakaian marker berbeda tergantung pada kegunaannya yaitu untuk uji diagnostik, uji prognostik atau uji evaluatif. Uji diagnostik biasanya lebib diarahkan pada kemampuan untuk nembedakan antara individu yang
terserang dengan individu yang tidak terserang yang biasanya diekspresikan sebagai sensitivitas $an spesivitas uj i tersebut Uji evaluatif diarahkan pada kemampuan marker tersebut untuk memantau perubahan sepanjang waktu pada seorang pasien yang diekspresikan pada sensitivitas uji tersebut pada perubahan. Uji diagnostik yang sering digunakan di bidang reurnatologi misalnya pemeriksaan Faktor Reurnatoid (RF) dan ANA pada Artritis reumatoid. Marker yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain Keratan sulfat dalam serum yang dapat digunakan untuk uji diagnostik pada OA generalisata. Problema yang muncul ialah ternyata marker tersebut tidak seperti yang diharapkan walaupun marker serum ini erat hubungannya dengan degradasi proteoglikan rawan sendi, terdapat tumpang tindih di antara individu yang terserang dengan yang tidak terserang, selain itu marker ini dipengaruhi umur dan gender. Marker uji diagnostik lainnya ialah konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP, metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam cairan sendi. Walaupun hasil penelitian menunjukkan tumpang tindih yang moderat, tetapi peneltian yang ada masih bersifat potong-lintang dan retrospektif, karena itu untuk dapat digunakan lebih luas perlu penelitian prospektif. Marker sering pula digunakan untuk menentukan beratnya penyakit. Pada penyakit bukan OA misalnya pada penyakit tiroid maka TSH selain dapat digunakan sebagai uji diagnostik dapat pula digunakan untuk menentukan beratnya penyakit. Pada OA beratnya penyakit biasanya ditentukan dengan berbagai cara antara lain: derajat radiologik Kellgren dan Lawrence, jumlah kehilangan rawan sendi pada artroskopi dan derajat kapasitas fungsional pasien. Penggunaan marker molekuler dapat digunakan sebagai tambahan dalam menentukan derajat penyakit. Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan oleh karena marker molekuler mempunyai potensi yang cukup besar dalam memberikan informasi tentang kualitas rawan sendi yang tidak dapat diperoleh dengan pemeriksaan lainnya. Marker molekuler dapat digunakan pula sebagai marker prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan memburuknya penyakit. Pada OA maka hialuronan serum (bukan keratan sulfat) dapat digunakan untuk membuat prediksi pada pasien OA lutut akan terjadinya progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP serum dapat membuat prediksi terhadap progresifitas radiologik pasien OA dalarn 5 tahun. Seperti halnya dengan penggunaan untuk petanda lainnya maka marker untuk prognostik ini masih perlu diteliti lagi secara prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien yang lebih besar. Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi terhadap respons pengobatan, contoh pada penyakit
bukan OA ialah pengukuran reseptor estrogen pada kanker payudara. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks rawan sendi yang dilepaskan dan yang masih tertinggal dalam rawan sendi mungkin dapat memberikan informasi penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang dilepaskan dalam caiaran tubuh dan yang masih tertinggal dalam matriks, sangatlah konsisten dengan aktivitas 2 enzim proteolitik yang berbeda hngsinya terhadap matriks rawan sendi pada OA. Enzim tersebut ialah stromielisin dan agrekanase. Penelitian penggunaan marker ini sedang di kembangkan. Marker dapat digunakan pula untuk monitor respons pengobatan. Marker ini perlu dikembangkan agar dapat digunakan dalam memantau hasil pengobatan dengan DMOA (Disease modifyang osteoarthritic drugs) yaitu obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit.
PENGELOLAAN Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 ha1 Terapi non-farmakologis : - Edukasi atau penerangan; - Terapi fisik dan rehabilitasi; - Penurunan berat badan. Terapi farmakologis : - Analgesik oral non-opiat; - Analgesik topikal; - OAINS (obat anti inflamasi non steroid); - Chondroprotective; - Steroid intra-artikuler Terapi Bedah : - Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb; - Arthroscopic debridement dan joint lavage; - Osteotomi; - Amoplasti sendi total.
TERAPI NON-FARMAKOLOGIS Penerangan Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
Terapl Flslk dan Rehabllltaal
;
Terapi ini untuk melatih pasieli agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasie'n u n a melindungi sendi yang sakit.
Penurunan Berat Badan Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan hams selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka haius diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal. TERAPI FARMAKOLOGIS Analgesik Oral Non Opiat Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama dalam ha1 mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui ha1 ini dari iklan pada media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi. Analgesik Topikal Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umurnnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya. Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS). Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umurnnya pasien mulai datang kedokter. Dalam ha1 seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena obat gologan ini di samping mempunyai efek analgetikjuga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obatobatanjenis ini hams sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkmantimbulnya efek samping selalu hams dilakukan. Chondroprotective Agent Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan sebagaimya Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja enzim MMP dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.
Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara intra-artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi. Glikosaminoglikan,dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteogllkan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia. Dari penelitian Rejholec tahun 1987 (dikutip dari Fife & Brandt, 1992) pemakaian glikosaminoglikan selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik bermakna. Juga dilaporkan pada pemeriksaan radiologis menunjukkan progresivitas kerusakan tulang rawan yang inenurun dibandingkan dengan kontrol. Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan terutama terdapat padamatriks ekstraselular sekeliling sel. Salah satu jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini menlpakan bagian dari proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan sendi, terdiri dari 2% sel dan 98% matriks ekstraselular yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut. Menurut penelitian Uebelhart dkk (1998) pemberian kondroitin sulfat pada kasus OA mempunyai efek protektif terhadap tejadinya kerusakan tulang rawan sendi. Sedang Ronca dkk (1998) telah mengambil kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondroitin sulfat sebagai berikut :efektivitas kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu : 1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif. Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi OA. (Fife & Brandt, 1992) Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai kemampuan untuk menghllangkan superoxidedan hydroxil radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam
-
hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi keluhan-keluhan pada pasien OA.(Fifi & Brandt, 1992) Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang-kadang dijurnpai pada pasien OA, oleh karena itu kortikosteroid intra artlkulertelah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya dalam ha1 ini masih kontroversial.
TERAPI BEDAH Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
REFERENSI Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya arthritis-artritis lain. Kongres nasional I, Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang tgl. 28,29,30 Juli 1983, hal. 43-57. Altman R, Asch E, Bloch D. et al. Development of criteria for the classifications of osteoarthritis. Classification of osteoarthritis of the knee. Arthritis. Rheum. 1986;29 : 1039-44. Bennet JC. Osteoarthritis. Controlling pain and stiffness; avoiding degenerative changes; pinpointing low back pain. Modern Medicine Nov 1981; 58-74. Bland JH. Osteoarthritis. Pathology and clinical patern, in : Text Boox of Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981 : 1471-90. Bonomo I. Osteoarthritis. The management. In : Rheumatology, 1982; 7 : 64-9. Brandt kd. Pathogenesis of Osteoarthritis. Text Boox of Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981 : 1457-67. Brandt KD. Management of osteoarthritis. In : Textboox of rheumatology. Eds : Kelley WN, Harris DE, Ruddy S, Sledge CB. Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 1394-1403. Clancy RM, Amin A, Abramson S. The role of nitric oxide in inflammation and immunity. Arthritis Rheum. 1998; 41 :114 151. Clancy RM, Rediske J, Nijher N, Abrarnson SB. Activation of stress activated protein kinase in osteoarthritic cartilage: Evidence .o~ for nitric oxide dependence at a c r ~ r h e u m a t o 1 o ~ v 1998. Darmawan J, Wirawan S. Soenarto P, Soeharjo H. Prevalensi penyakit reumatik di pedesaan di Jawa Tengah. Simposium Reumatologi. Eds : Tanwir JM, Pramudiyo R, Tohamuslim A. Bandung : Universitas Padjadjaran 1987 : 20-36. Fife RS 1. A short history of Osteoarthritis. In : Moskowitz RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis diagnosis and medical /surgical management. 2ed ed. WB Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, USA, pp: 11-14, 1992.
Fife RS2. Osteoarthritis. A Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL. Eds. Primer on the Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp : 216-217, 1997. Fife RS & Brandt KD. Other approaches to therapy. In : Moskowitz RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2nded. W.B. Saunders Coy, Philadelphia, Pennsylvania, USA, pp: 511-526, 1992. Felson DT, Anderson JJ, Naimark A, Walker AM, Meenan RF. Obesity and knee osteoarthritis. The Framingham Study. Ann. Inetrn Med 1988; 109: 18-24. Goldie I. Osteoarthrosis; a review, Simposium Reumatologi di'Jakarta 13 Maret 1982, ha1 14-21. Hany Isbagio. Tinjauan tentang praktek sekarang dan masa akan dating diagnosa dan penanganan klinik dari penyakit-penyakit reumatik yang banyak di Indonesia. Simposiu~nAnti Rumatik Baru 19 Juni 1982, ha1 11-29. Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control. Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA, ~akarta9 Mei 1981, ha1 23-28. Hardingham T. Chondroitin sulfat and joint disease. In : Altman RD. Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci, 6 Supp A, p :3-5, 1998. Hochberg MC. Osteoarthritis. B. Clinical features and treatment. In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL. Eds. Primer on the Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp : 218-221, 1997. lnoue H. Arthroscopic diagnosis and treatment of the arthritis (Abstr). 5Ih SEAPAL Congress of Rheumatology, Bangkok, 26 Jan 1984. Kraus VB. Pathogenesis and treatment of osteoarthritis. In : Snyderman R & Haynes BE Eds. The Medical Clinics of North America. W.B. Saunders Coy. Philadelphia, Pensylvania, USA, 81, p : 85-112, 1997 Kuettner KE. Cartilage integrity and homeostasis In : Rheumatology. Editors : Klippel JH,Dieppe PA. St. Louis Mosby Company 1994: 6.6. 16. Mathies H. Osteoarthrosis (degenerative joint disease). Characteristic features of the most important rheumatic disease. A practical diagnostic guide. Enlar Publishers Blask Switzerland, 1977 : 64-68. Muirden KD. Treatment of osteoarthritis. Medical Progress 1980; 7(10):24-8. Nasution AR. Penatalaksanaan penyakit reumatik pada usia lanjut. Acta Medica Indonesiana AprilJSept 1979 : 39-50. Nienhuis RLF. Gambaran Radiologik penyakit sendi. Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, 66-73. Uebelhart D, Thonar E. J-M.A, Jinwen Zhang, Williams JM. In : Altman RD. Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci, 6, Supp A, p : 6-13, 1998. Poople AR. Cartilage in Health and Disease. In : Koopman WJ Ed. Arthritis and Allied Conditions. A Textboox of Rheumatology. 13" ed. William & Wilkins, Baltimore, Maryland, USA, pp : 225-308, 1997. Pollison R. Non-Steroidal anti inflammatory drugs : Practical and the~riticalconsiderations in their selection. Am J Med 1996; lOO(2A): 2A-3 1s-2A-35s. Presle N, Cipolletta N, Jouzeau JY, Netter P, Terlain B (1998) In vivo chondroprotection by,NO synthase (NOS) inhibitor in IL induced arthritis at
[email protected] 1998. Ronca F, Palmieri L, Panicucci P, Ronca G. Anti Inflamatory
'
activity of chondroitin sulfate. In : Altman RD. Ed. Soemargo Sastrodiwiryo. Aspek neurologik spondiloartrosis servikalis. Kumpulan naskah nyeri pada pasien penyakit Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarthr Research Soci, 6, Supp reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, 16-22. A, p: 14-21, 1998. Sokoloff L. the remodeling articular cartilage. Rheumatology 1982; Robinson WD. Management of Degenerative Jolnt Disease. Idem NO. 3, 1941-9. , 7 . 11-8. ,: Sterba G. The needle. A useful technique for evaluating ~nflamed Rodwan GP. Primer on the rheumatic diseases 7Ih Ed. JAMA 1973; , joints. Geriatrics 1981; 36 : 5 : 113-26. 224 : 5 : 740-4. Van der Korst JK. Osteoarthrosis. Penataran Berkala Reumatology, Rodwan GP, Schumacer HR. Primer on the rheumatic diseases 8Ih Ed. Published by the Arthritis Foundation, Atlanta GA, 1983 : :;: . ;.. . . Jakarta 9-13 Agustus 1982, 57-63. . .. : Wigley RD. clinical diagnosis of osteoarthritis. Kongres Nasional I 104-8. Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang Juli 1983, 35-42. Schumacher HR. Osteoarthritis. What to do when it isn't just wear Zainal Effendi. Pengenalan praktis penyakit reumatik. The journal and tear. Modem Medicine 1978; 46 (20) : 46-58. of the Indonesian Family Physician 1983; 3 (1) : 4-9. . . ,
",
Tjokorda Raka Putra
Hiperurisemia adalah keadaan di mana tejadi peningkatan kadar asam urat (AV) darah di atas normal. Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU (oveltprodaction), penurunan pengeluaran AU urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Banyak batasan untuk menyatakan hiperurisemia, secara umum kadar AU di atas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal dikatakan sebagai hiperurisemia (Schurnacher, 1992). Batasan pragmatis yang sering digunakan untuk hiperurisemia adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU yang bisa mencerminkan adanya kelainan patologi. Dari data didapatkan hanya 5-10% pada laki normal mempunyai kadar AU di atas 7 mg%, dan sedikit dari gout mempunyai kadar AU di bawah kadar tersebut. Jadi kadar AU di atas 7 mg% pada laki dan 6 mg% pada perempuan dipergunakan sebagai batasan hiperurisemia (Emmerson, 1983; WHO, 1992 ;Cohen et al, 1994; Kelley & Wortmann, 1997:Becker & Meenaskshi, 2005). Kejadian yang pasti dari hiperurisemia dan gout di masyarakat pada saat ini belum jelas. Prevalensi hiperurisemiadi masyarakat diperkirakan antara 2,3 sampai 17,6%. Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1,6 sampai 13,6 per seribu penduduk (Kelley & Wortmann, 1997). Prevalensi hiperurisemia dan gout pada penduduk Maori di Selandia Baru cukup tinggi dibandingkan dengan bangsa Eropa. Prevalensi hiperurisemia pada laki 24,5% dan perempuan 23,9%, sedangkan prevalensi gout 6 4 % (Klemp et al, 1996). Hiperurisemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan gout atau pirai, namun tidak semua hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologi berupa gout. Gout atau pirai adalah penyakit akibat adanya penumpukan kristal monosodium urat pada jaringan akibat peningkatan kadar AU (Terkeltaub, 200 1; Becker & Meenaskshi, 2005). Penyakit gout terdiri dari kelainan
artritis pirai atau artritis gout, pembentukan tophus, kelainan ginjal berupa nefiopati urat dan pembentukan batu urat pada saluran kencing (Terkeltaub, 200 1;Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005).
PENYEBAB HlPERURlSEMlA
Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan idiopatik. Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau penyebab lain. Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas (Schumacher Jr, 1992; Kelley & Wortmann, 1997). Hiperurisemia dan Gout Primer Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dangan kelainan molekular yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia primer kelainan molekular yang belum jelas terbanyak didapatkan yaitu mencapai 99%, terdiri dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%) dan karena overproduction (10-20%). Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik diperkirakan hanya 1%, yaitu karena peningkatan aktivitas varian dari ensim phoribosyIpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan 'sebagian' dari ensim hypoxanthine phosphoribosyltranferase (HPRT) (Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005).
Tlpe 1. Primer Kelainan molekular yang belum jelas: (99% dari gout primer) - Underexcretion (80-90% dari gout primer) - Overproduction (10-20% dari gout primer) Kelainan ensim spesifik : ( < I% dari gout primer) - Peningkatan aktivitas varian dari enzim PRPP synthetase, - Kekurangan 'sebagian' dari enzim HPRT. 2. Sekunder Peningkatan biosintesis de novo - Kekurangan menyeluruh enzim HPRT
- Kekurangan ensim glucosa-6: phosphatase
-
kurangan ensim Fructose-Iphosphate aldolase Peningkatan degradasi ATP, peningkatan pemecahan asam nukleat
UnderexcretionAU pada ginjal
Kelainan Metabolik
Keturunan
Belum jelas
Poligenik
Belum jelas
Poligenik
overproduction AU , peningkatan PP-ribosa-P Overproduction AU, peningkatan aktivitas biosintesis de novo karena peningkatanjumlah PRPP ,pada sindrom Kelley-Seegmiller OverproductionAU, peningkatan biosintesis de novo, pada sindrom Lesch-Nyhan Overproduction dan underexcretion AU, pada glycogen storage disease tipe I (Von Gierke) Overproduction dan underexcretionAU
X-linked
Overproduction AU, pada hemolisis kronis, polisitemia, metaplasia mieloid.
Bukan keturunan
Penurunan filtrasi, hambatan sekresi tubulus dan atau perubahan resorpsi dari AU,
Beberapa autosomal dominan, bukan keturunan, banyak belum diketahui
Autosomal recessive Autosomal recessive
Tidak diketahui.
Keterangan ATP : adenosine triphosphate; HPRT: phoribosylpyrophosphatasesynthetase.
enzim hypoxanthine phosphoribosyltranferase ; PRPP
Hiperurisemia primer karena underexcretion kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran AU sehingga menyebabkan hipemrisemia. Keadaan ini telah lama dikenal, peneliti Garrod telah lama mengetahui, terjadi gangguan pengeluaran AU ginjal yang menimbulkan hiperurisemia primer (dikutip :Kelley & Wortmann, 1997). Kelainan patologi ginjal yang berhubungan dengan underexcretion tidak menunjukkan gambaran spesifik. Peneliti Massari PU mendapatkan gambaran patologi pada ginjal bempa sklerosis glomemlus yang global fokal dan segmental dengan fokus atropi tubulus, peradangan intersisial kronis, pembahan basal membran tanpa adanya deposit electro-dense, Leuman EP mendapatkan focal tubuloinsterstitiil nephropathy, Puig mendapatkan gambaran lesi interstitiil tubulus ginjal, dan Simmond mendapatkan kelainan nefritis interstitil non spesifik (Massari et al, 1980; Leuman,l098; Puig et al, 1993; Sirnmonds, 1994). Bagairnana kelainan molekuler dari ginjal sehingga menyebabkan gangguan pengeluaran AU belum jelas diketahui. Kemungkinan disebabkan karena
: enzim
gangguan sekresi AU dari tubulus ginjal (Cohen et al, 1994; Reiter et a1 1995; Kelley & Wortmann, 1997).Kadar ficctional uric acid clearance pada hipemrisemia primer tipe underexcretion didapatkan lebih rendah dari orang normal (GibSon et al, 1984; Kelley & Wortmann,l997; Becker & Meenaskshi, 2005). Terdapat suatu kelainan yang disebut familial juvenile gout atau familial juvenile hyperuricaemic nephropathy (FJHN) yaitu hipemrisemia akibat adanya penurunan pengeluaran AU pada ginjal dalam suatu keluarga yang diturunkan secara genetik (Moro, 1991;Puig et al, 1993; Simmonds, 1994; Saeki, 1995;Reiter et al, 1995). Kelainan ini sering diturunkan secara autosomal dominant. Secara klinis sering terjadi pada usia muda, mengenai laki dan perempuan, terjadi penurunanfiactional uric acid clearance (FUAC) dan sering menyebabkan penumnan fungsi ginjal secara cepat (Simmonds, 1994). Kelainan molekular dari FJHN belum diketahui, kemungkinan karena kelainan pada gen yang menyebabkan penumnan fungsi pengeluaran AU ginjal, kemungkinan melalui kelainan transporter AU pada basal
membran atau pad@brush border dari tubulus proksimalis ginjal (Simmonds, 1994). Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik akibat peningkatan aktivitas varian dari ensim PRPP synthetase menyebabkan peningkatan pembentukan purine nucleotide melalui sintesis de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe overproduction. Telah diketahui ensim ini disandi oleh DNA pada khromosom X, dan diturunkan secara dominan (Kamatami, 1994; Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005). Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik yang disebabkan kekurangan 'sebagian' dari ensim HPRT disebut sindrom Kelley-Seegmiller.Ensim HPRTberperan dalam mengubahpurine bases menjadi purine nucleotide dengan bantuan PRPP dalam proses pemakaian ulang dari metabolisme purh Kekurangan enzirn HPRTmenyebabkan peningkatan produksi (overproduction)AU sebagai akibat peningkatan de novo biosintesis. Diperkirakan terdapat tiga mekanisme overproductionAU. Pertama, kekurangan ensim menyebabkan kekurangan inosine mono phosphate (IMP) ataupurine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibition proses biosintesis de novo. Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de novo meningkat. Ketiga, kekurangan ensim HPRT menyebabkan hipoxanthine tidak bisa di ubah kembali menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hypoxathine menjadi AU (Kelley & Wortmann, 1997). Kekurangan enzim HPRT diturunkan secara X-linked dan bersifat resesif, sehingga didapatkan terutama pada laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai jenis mutasi genetik dari kelainan ensim ini (Kamatami, 1994: Kelley & W o m 1997;Becker & Memaskshi,2005;Wortmann,2005). Hiperurisemia dan Gout Sekunder Hiperurisemiadan gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis d e novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan underexcretion. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh ensim HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan, kekurangan ensim glucosa 6-phosphatase pada glycogen storage disease (Von Gierkee), dan kelainan karena kekurangan enzim fructose-1 -phosphate aldolase Sindrome Lesh-Nyhan disebabkan karena kekurangan menyeluruh ensim HPRTyang diturunkan secara X-linked dan bersifat resesif. Telah diketahui terdapat berbagai jenis mutasi dari kelainan gen penyandi enzim ini. Kekurangan ensim HPRT akan menyeb,abkanpeningkatan biosintesis de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe overproduction. Sindrom ini terjadi pada usia anak-anak
dengan gejala hiperurisemia tipe overproduction, dan gout prematur bersama gejala neurologis berupa retardasi mental berat, self mutilation, choreoathetosis, dan spastisitas. Kelainan neurologis ini kemungkinan karena aktivitas ensim HPRT berkurang sehingga menyebabkan dishngsi neurokemikal otak (Wilson et al, 1984). Diagnosis sindrom ini dibuat berdasarkan klinis dengan pemeriksaan aktivitas ensim HPRT pada eritrosit. Kekurangan aktivitas ensim ini dapat mencapai 1-70% (Wilson et ul, 1984; Katami, 1994; Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005). Penyakit glycogen storage disease tipe I (Von Gierke), akibat penurunan ensim glucosa 6-phosphatase (G 6-Pase) menyebabkan hiperurisemia yang bersifat automal resesif Hiperurisemia terjadi karena kombinasi overproduction dan underexcretion karena peningkatan pemecahan dari ATP (adenosine triphosphate). Ensim G 6-Pase berperan mengubah glucosa 6-phospate (G 6-P) menjadi glukosa dalam metabolisme karbohidrat, sehingga kekurangan ensirn ini gampang menyebabkanhipoglikemia. Untuk memenuhi kebutuhan glukosa, tubuh mengadakan pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis). Karena kekurangan ensim G 6-Pase, glukosa tidak terbentuk sehingga menimbulkan penumpukan G 6-P (Becker & Meenaskshi, 2005; Kelley & Wortmann, 1997).Terjadijuga glikolisis anaerob yaitu pemecahan glukosa menjadi G 6-P dengan pemecahan ATP dengan hasil lain berupa peningkatan asam laktat, asam lemak bebas, trigliserida dan piruvat (Rosenthal, 1998). Hipenuisemia disebabkan karena overproduction melalui peningkatan melalui biosintesis de novo akibat peningkatan PRPP Peningkatan PRPP ini diperkirakan melalui dua mekanisme. Pertama, peningkatan glukosa 5-phospate menyebabkan peningkatan reaksi pentosa phosphate pathway peningkatan ribose 6-phosphate dan menghasilkan PRPP. Kedua, berkurangnya feedback inhibition terhadap biosintesis de novo pada hati selama terjadi hipoglikemia sehingga menyebabkan peningkatan ensim amido PRT dan PRPP synthetase (Becker & Meenaskshi, 2005). Underexcretion diperkirakankarena adanya hasil metabolit yaitu hiperlaktemia clan ketonemia (Lihat Gambar 1). Tanda klinis sindrom ini adalah terjadi pada usia anakanak dengan tanda yang khas berupa bentuk tubuh pendek, dengan hepatomegali dan gejala hipoglikemia yang berulang (Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005). Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage disease tipe 111, V dan VI yang disebut hiperurisemia miogenik. Aktivitas fisik yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahan ATP dan adanya resorpsi abnormal pada ginjal. Pada keadaan normal atau keadaan anaerob, aktivitas yang menyebabkan peningkatan hasil pemecahan ATP berupa inosine, hypoxanthine, dan didalam hati dipecah menjadi
1994; Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005). Pada penyakit hereditalyfiuctose intolerance karena kekurangan ensirn Fructose-1-phosphate aldolase dapat rnenyebabkan hiperurisernia. Ensim Fructose-lphosphate aldolase mengubah fructose 1-phosphate menjadi dihidroksi-asetofosfonat dan gliseraldehida. Kekurangan ensirn ini dan dengan diet tinggi fruktosa menyebabkan penumpukan fructosa 1-phosphate, kernudian akan diubah menjadi fructosa 6-phosphate dengan bantuan ATP sebagai surnber fosfat (Lihat Skema 3). Asam, lemakbebas,
Gambar 1. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit glycogen sforage disease tipe I (Von Gierke).
xantine clan AU. Pada penyakit glycogen storage disease tipe 111, V dan VI, akan terjadi hiperurisernia walaupun hanya rnelakukan aktivitas fisik ringan, terjadi pernecahan ATP yang tinggi akibat tidak cukup bahan karbohidrat pembentuk ATP. Pemecahan ATP akan rnernbentuk adenosine mono phosphate (AMP) dan berlanjut membentuk inosine mono phosphate (IMP) atau purine nucleotide dalam metabolisme purin (Lihat Gambar 2). Penyebab glycogen storage disease tipe I11 karena gangguan debranching enzime, tipe V karena kekurangan ensirn myophosphorilase dan tipe VII karena kekurangan enzim phosphocytokinase pada otot (Katarni,
Asidosis laktat
underexcretionH Hiperurisemia
1.
I
Gambar 2. Skema mekanisme hiperursemia miogenik pada glycogen storage disease (Kelley & Wortmann, 1997)
.
&IMSI~ mor~phosphafeG1P :glume I- phosphate. GBP: glucare 6 phospheleF6P: hudw 6 phosphate, IMPlnoslnemono phosphate gl~nslomgedlseeseUpe l (van Glerke) kamnepenurunan ens1rrGE-R Ill : glycogenslwege diseese tp Ill karena gmgwan debrandiing enzyme. tipe V ksmna kekurangan enslm V :glymgsnstoregedlsaase myophosphwilsse. VII :giycogenslor6gedseese Upe VII karena kekurangan
Gambar 3. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit Heredifary fructose intolerance
Fructose 6-phospate juga merupakan salah satu senyawa antara di jal& glikolisis anaerob (Hardjasasmita, 1999). Peningkatan pemecahan ATP rnenyebabkan pernbentukan AU rneningkat, dan laktic acidosis serta renal tubular acidosis rnenyebabkan harnbatan pengeluaran AU rnelalui ginjal, sehingga terjadi hiperurisemia (Kelley & Wortrnann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005). Hiperurisemia sekunder tipe overproduction dapat disebabkan karena keadaan yang rnenyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau peningkatan pemecahan asarn nukleat clan intisel. Peningkatanpemecahan ATP akan rnernbentuk AMP dan berlanjut rnernbentuk IMP atau purine nucleotide dalam rnetabolisme purin. Keadaan ini bisa terjadi pada penyakit akut yang berat seperti pada infark rniokard, status epileptikus atau pa& pengisapan asap rokok yang rnendadak (Kelley & Wortmann, 1997). Pemecahan inti sel akan rneningkatkan produksi purine nucleotide dan berlanjut rnenyebabkan peningkatan
produksi AU. Keadaan yang sering menyebabkan pemecahan inti sel adalah penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan dari rnieloproliferatif d h limfoproliferatif atau keganasan lainnya (Katami, 1994, Kelley & Wortmann, 1997;Becker & Meenaskshi, 2005). Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan hiperurisemia sekunder karena gangguan pengeluaran AU melalui ginjal (underexcretion). Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat melalui gangguan dalam filtrasi, reabsorpsi, sekresi dan reabsorpsi paska sekresi. Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena underexcretiondikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penurunanfiactional uric acid clerance dan pemakaian obat-obatan.(Nulu, 1998). Hiperurisemia karena p e n m a n masa ginjal disebabkan penyakit ginjal kronik yang menyebabkan gangguan filtrasi AU. Hiperurisemia karena penurunan filtrasi glomerulus dapat terjadi pada dehidrasi, dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena gangguan fractional uric acid clerance adalah pada penyakit hipertensi, myxodema, hiperparatiroid, sindrom Down, peningkatan asam organik seperti pada latihan berat, kelaparan, peminum alkohol, keadaan ketoasidosis, lead nephropaty, sarkoidosis, sindrom Barter dan keracunan berilium. Pemakaian obat seperti obat diuretik dosis terapeutik, salisilat dosis rendah, pirasinamid, etambutol, asam nikotinat dan siklosporin. Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat dihitung dengan pemeriksaan fractional uric acid clerance. Pada keadaan normal pengeluaran AU melalui ginjal (kliren urat) berbanding lurus dengan kliren kreatinin, sehingga kadar AU darah berkorelasi dengan kadar kreatinin darah . Pada keadaan gaga1 ginjal karena penyakit ginjal primer penmnan pengeluaran AU akan diikuti dengan peningkatan kadar AU darah, namun tidak pemah melebihi 10 mg% . Diperkirakan terjadi peningkatan pengeluaran AU melalui ekstra renal, sebagai kompensasi hambatan pengeluaran melalui ginjal walaupun belum diketahui secara pasti jumlahnya (Ernmerson BT,1983). Hiperurisemia sekunder karena gangguan fungsi ginjal jarang sampai menyebabkan penyakit gout (Kelley & Wortmann, 1997).
PEMERIKSAANPENUNJANGLlNTUK MENENTllKAN PENYEBABHlPERURlSEMlA Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan (Emrnerson, 1983; Kelley & Wortmann, 1997). Anamnesis terutama ditujukan untuk mendapatkan faktor keturunan, dan kelainan atau penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari
'
penyebab hiperurisemia sekunder perlu ditanyakan apakah pasien peminum alkoh~l,memakan obat-obatan tertentu secara teratur, adanya kelainan datah, kelainan ginjal atau penyakit lainnya. Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia atau phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular dan tekanan darah, keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan pada sendi. Pemetiksaan penunjang ditujukan untuk mengarahkan dan memastikan penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan dipilih berdasarkan perkiraan diagnosis setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Kelley & Wortmann,1997). Pemenksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin untuk AU darah dan kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin untuk AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam; dan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pemeriksaan ensim sebagai penyebab hiperurisemia dilaksanakan tergantung pada perkiraan diagnosis. Pemeriksaan AU dalam urin 24 jam penting dikerjakan untuk mengetahui penyebab dari hiperurisemia apakah overproduction atau underexcretion . Kadar AU dalam urin 24 jam di bawah 600 mghari adalah normal pada orang dewasa yang makan pantang purin selama 3-5 hari sebelum pemeriksaan. Namun anjuran untuk pantang makan purin selama 3-5 hari sering tidak praktis. Maka pada orang yang makan biasa tanpa pantang purin kadar AU urin 24 jam di atas 1000 mglhari adalah abnormal (hipereksresi AU), dan kadar 800 sampai 1000 mglhari adalah borderline (Kelley & Wortmann, 1997;Becker & Meenaskshi, 2005). Kadar AU urin 24 jam di atas 800 m g h dengan makan biasa tanpa pantang purin merupakan tanda hipereksresi AU (SchurnacherJr, 1992). Batasan overproduction AU adalah kadar AU urin 24 jam di atas normal, kadar 1000 mgflnari pada orang yang makan biasa tanpa pantang purin dapat dikatakan overproduction (l3ecker & Meenaskshi, 2005). Cohen MG mengatakan apabila kadar AU urin 24 jam lebih dari 670 mglhari pada diet rendah purin perlu diteliti kemungkinan adanya kelainan overproduction karena keturunan. Overproduction dapat juga diketahui dengan menghitung perbandingan AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam atau perbandingan kliren AU dan kliiren kreatininfiactional uric acid clearance (FUAC) yaitu perbandingan kliren urat dibagi kliren kreatinin dikalikan 100. Nilai perbandingan AU kreatinin urin lebih dari 0.75 menyatakan adanya overproduction. Dengan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, terutama kadar AU darah dan pemeriksaan AU dan kreatinin urin 24 jam dapat diperkirakan faktor penyebab hiperurisemia sehingga penanganan hiperurisemia dapat diberikan sacara menyeluruh dan rasional.
Hiperurisemiaadalah keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU darah di atas normal. Asam urat adalah bahan normal dalam tubuh dan merupakan hasil akhir dari metabolisme purine, yaitu hasil, degradasi dari purine nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi dalam inti sel Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU (overproduction), penurunan pengeluaran AU urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan idiopatik . Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri dari hiperurisernia primer dengan kelainan molekular yang masih belum jela~dan hiperurisemiaprimer b e n a adanya kelainan ensim. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan underexcretion. Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas. Penyebab hiperurisemia dapat ditelusuri dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin AU darah, kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin, kadar AU urin 24 jam, kadar kreatinin urin 24 jam, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Becker & Meenaskshi J 2005. Clinical gout and pathogenesis of hyperuricaemia. In Arthritis and Allied Conditions, A textbook of Rheumatology. 13th Ed, Vol 2, Editor WJ Koopman, Baltimore: Williams & Wilkins a Wavelry comp, 2303-2339. Calabrese 4 Simmond HA, Cameron JS, Davies PM, 1990. Precoious Familial Gout with Reduced Fractional Urate Clearance and Normal Purine Enzymes. Quarterly J of Med.75(277): 441-450. Cohen MG, Emmerson BT, 1994. Gout. In Rheumatology.Editor JH Klippel, PA Dippe, Part 2, St Louis Baltimore: Mosby.12. 1-12.16.
Emmerson,BT, 1983. Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice. Sydney: ADIS Health Science Press. Gibson T, Watenvorth R, Hatfield P, Robinson G, Bremner K, 1984. Hyperuricaemia, Gout and Kidney Function in New Zealand Maori Men. British J of Rheumatology. 23:276-282. Kamatami N, 1994. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian Med J. 37(2): 651-656. Kelley WN, Wortmann RL, 1997. Gout and Hyperuricemia. In Textbook of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S Ruddy, ED Harris, CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp, 1314-1350. Klemp P, Stanfield SA, Caste1 B, Robertson MC, 1996. Prevalence hyperuricaemia and gout in New Zealand. Eight APLAR Congress of Rheumatology, April 2 126.Melbourne.(Abstrak). Leumann EP, Wegmann W, 1983. Familial nephropathy with hyperuricaemia and gout. Nephron. 34(1): 51-57. Massari PU, Hsu CH, Barnes RV, Fox IH, Gikas PW, Weller JM, 1980. Familial hyperuricemia dan renal disease. Arch Intern Med. 140(5): 680-684. Moro F, Ogg CS, Simmond HA, Cameron JS, Chantler C, McBride MB, Duley JA, Davis PM, 1991. Familial juvenile gouty nephropathy with renal urate hypoexcretion preceding renal disease. Clin Nephrol. 35(6): 263-269. Nuki G, 1998. Gout. Medicine International. l2(42) :54-59. Puig JG. Miranda ME, Mateos FA, Picazo ML, Jimenez ML, Calvin TS, Gil AA, 1993. Hereditary nephropathy associated with hyperuricaemia and gout. Arch Intern Med. 153(3): 357365.(Abstrak). Reiter L, Brown MA, Edmonds J, 1995. Familial hyperuricaemic nephropathy. Am J K ~ d n e yDis.25(2):235-241. Rosenthal AN, 1998. Crystal arthropathies. In: Oxford Textbook o f Rheumatology, Second Ed.,Voll, Ed. PJ Madison, DA Isenberg, P Woo, DN Glass. Oxford New York Tokyo; Oxford University Press, 1555-1581. Saeki A, Hosoya T. Okabe H, Saji M, Tabe A, Ichida K, Itoh K, Joh K, Sakai 0 , 1995. New discovered familial juvenile gouty nephropathy in a Japanese family. Nephron. 70(3): 356-366. Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of Rheumatology, 13th-18th September 1992, Bali, Indonesia, Edit.: A.R.Nasution, J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York, Edinburgh, London, Merbourne and Tokyo: Churchill Livingstone, 293-243. Simmonds HA, 1994. Purine and pyrimidine disorder. In the Inherited Metabolic Diseases,Second Edition, Edinburg: Churchill Livingstone, 297-349. Terkeltaub,R., 2001. Gout, Epidemiology, Pathology and Pathogenesis. In Primer on the Rheumatic Diseases, Ed. 12, Edit. J.H.Klippe1, Atlanta Georgia : Arthritis Foundation, 307-312. WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific Group,Geneva, 55-58. Wilson JM, Young AB, Kelley WN, 1984. Hypoxathine-Guanine Phosphoribosyltraferase deficiency. N Engl J Med,309(15): 900-9 10. Wortmann RL, 2005. Disoder o f purine and pyrimidine metabolisme.In: Harrison's Principle of Internal Medicine 16 th Ed., Vo1.2, Editor DL Kasper, AS Fauci, D L Longo, EB Braunwald, AL Hauser, JL Lameson. MacGraw-Hill. New York, 2308-23 13.
ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT) Edward Stefanus Tehupeiory
PENDAHULUAN Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal 'monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hipenuisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,O mVdl dan 6,O mg/dl.
pasien gout yang mengobati sendiri (self medication). Satu study yang lama di Massachusetts ( ~ r a m i n ~ h a m Study) mendapatkan lebih dari 1% dari populasi dengan kadar asam urat kurang dari 7 mg/100 ml pemah mendapat serangan artritis gout akut. Hasil penelitian terlihat pada Tabel 1.
Kadar Sodium (rng1100 ml)
Total Pasien diperiksa
<6
6 - 6,9 7 - 7,9
Total -.~ ~
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens) sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause. Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika Serikat adalah 13.611000 pria dan 6.411000 perempuap. Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya taraf hidup. Prevalensi di antara pria Afican American lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria caucasian. Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter kebang~aanBelanda bernama Van der Horst telah melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan kecacatan (lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa Tengah. Penelitian lain7mendapatkan bahwa pasien gout yang berobat, rata-rata sudah mengidap penyakit selama lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak
-
Artritis Gout Yang Tirnbul
1281 970 162
No 11 27 28
Persen 0,9 23 17,3
2463
86
3.5
Dikutip dari Framingham Study (11)
PATOLOGI GOUT Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal monosodiumurat (MSU). Reaksi inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk jarum (needle shape) dan seringmembentuk kelompok kecil secara radier. Komponen lain yang penting dalam tofi adalah lipid glikosaminoglikandan plasma protein.' Pada artritis gout akut cairan sendi juga mengandung krital monosodium urat monohidrat pada 95% kasus.
ARMS
PIRAI (ARMS
2557
GOUT)
Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis.
PATOGENESISARTRlTlS GOUT Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum. P e n m a n urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul pada keadaan asirnptomatik.Pada penelitian penulis didapat 2 1% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut. Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti MTP- 1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro melalui pembentukan dari protonatedsolidphases. Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada p e n m a n pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas bufSer pada sendi dengan gout, gaga1untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi pembentukan kristal MSU sendi. Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah: Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab;
Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas. Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C) dm selular.
AKTIVASI KOMPLEMEN Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C 1 tanpa peran imunoglobulin. Pada kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatifterjadi apabilajalur klasik terhambat.Aktivasi C l q melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktor (Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil, monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan membrane attack complex (MAC). Membrane attack complex merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion channel yang bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal ini membuktikan bahwa melaluijalur aktivasi komplemen cascade ", kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui mediator IL- 1 dan TNF serta sel radang neutrofil dan makrofag. "
ASPEK SELULAR ARTRlTlS GOUT Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalarn proses peradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil sel sinovial dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama +lam proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1, TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara sehinggga menimbulkan respons fungsional sel dan gene expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gene expression sel radang melalui jalur signal transduc&ion
-
pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. Signal transduction pathway melalui 2 cara yaitu, dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik pada membran sel. Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membran akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan imunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (C 1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan second messenge akan mengaktifkan transcription factor. Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1.Telah dibuktikanneutrofil yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur transduksi signal. Pengeluaran berbagai mediator akan
'I
"
I
'
f
,
,
,
menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan menimbulkan kerusakanjaringan.
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat deposisi yang progresif kristal urat.
STADIUM AR'TRI'TIS GOUT AKUT Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang
.
i i
Endotel Pernbuluh da&
IL-8
I
I
Neutral protease 1
Low
Molecular Medjator
mllagenase Proteoglicanase
(PQE,POR,NO)
j
1 i
I
i '8,
; <;,
t t r c ~ ,
,
'
'
i
I
Kerusakanjantung
---
--
.
.- >--
-
-
~ a 4 b i i r ' l 'Mediator . Kirniawi pada Peradangan Akut
Keterangan : Stimulasi dapat berupa produk bakteri (plisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul e n d o ~ nseperti kompleks imun dan fiagmen komplemen. HEV = high endothelial vessel, MSU= mono sodium urate, NO = nitrit oksid, PGE = prostaglandin E, POR = produk oksigen reaktif, TNF = tumor necrosisfactor, IL-I = interleukin -1, IL-6 = interleukin - 6, IL-8 = interleukin - 8. (19,20)
paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangankaki, lutut dan siku. Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham febagai: sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi.16 Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemeaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. P e n m a n asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbukan kekambuhan.
STADIUM INTERKRITIKAL
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
STADIUM ARTRlTlS GOUT MENAHUN
Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri (selfmedication) sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP- 1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
DIAGNOSIS
Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan
diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostikini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuanpenemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis: Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP- 1; Diikuti oleh stadium interkntlk di mana bebas simptom; Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin; * Hiperurisemia. Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40% pasien gout mempunyai kadar asam urat normal. Hasil penelitianpenulis didapatkan sebanyak 21% artritis gout dengan asam urat normal. Walaupun hiperurisemia dan gout mempunyai hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektif inflamasi pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan pertama artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan utama radiografipada kronik gout adalah inflamasi asirnetri, artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak.
PENATALAKSANAANARTRlTlS GOUT
Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksirnal6 mg. Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat ini juga mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mglhari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mghari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau
-
parenteral. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik yang lain.
Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia. In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. 14'h edition. Williams & Ailkins; 2001 .p.2281-306. Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis 'of hyperuricemia.In: Arthritis and allied condition. A textbook of Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15Ih edition. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self medication of chronic gout in a developing country : Outcome after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ; 2437-43. Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney: Adis Health Sciences; 1983.p.3-60. Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH, Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86 Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,l6Ih edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 205.p.29-30. Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in the incidence of gout the role of hypertension. Arthritis Rheum. 1995; 381628-32. Healey LA. Epidemiology of Hyperuricemia. Gout and purine metabolism. Proceeding of a conferrence The Arthritis Foundation 1974 : 709-12. Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology of gout and hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.
Mc. Carty DJ. Gout without hyperuricemia. JAMA. 1994 ; 2 1 : 2 175-6. Naccache PH, Bourgoin S, Plante E et al. Crystal induced neutrofil activation 11. Evidence for the activation of a phosphatidyl choline specific phospholipase D. Arthritis and Rheumatism. 1993 ; 30 : 117-25. Klippel JH Gout. Epidemiology, pathology and pathogenesis. In: Primer on the rheumatic diseases.121h edition. At1anta:Arthriti.s Foundation 2001.p.307-24. Kelley WN, Wortman RL. Gout and hyperuricemia. Kelley, Ruddy S, editors. Textbook of rheumatology SLhed Philadelphia: WB Saunders; 1997.p. 13 14-50. Logan JA. Morrison E. Mc Gill P,Serum uric acid in acute gout. Ann Rheum Dis 1997 ; 56: 696-7. Peterson F, Symes Y, Springer P. Perspective on pathophysiology. Coopstead editors. Philade1phia:W.B Saunders; 1999.p.173. Rodnan GP Gout : A Clinical round table conference. When and how to treat New York:Park Row Pub1;1980.p.6-23. Tehupeiory ES. Gouty arthritis and uric acid distribution in several ethnic group in Ujung Pandang disertasi 1992. Terkeltaub RA. Pathogenesis and treatment of crystal induced inflammation. 1n:Arthritis and allied condition. a textbook of rheumatology. Koopman WJ. Ed 151h edition. Baltimore: Lippencott Williams and Wilkins; 2005.p.2357-69. Tjokorda RP. Hubungan interleukin-1 (IL-1) dan IL-I reseptor antagonis dengan keradangan pada artritis pirai akut disertasi, Surabaya 2004. Telketaub RA. Gout . N Engl J Med.2003: 349 : 17. van der Horst. Het Voorkonien Van Jicht. Ned Ind Tv.G 1935; 12:1483-5. Walker BAM, Fantone JC. The inflammatory response. Immunology and inflammation basic and clinical consequences. Sigal LH, Ron Y,editors. New York: Mc Graw-Hill; 1994.p.359-84. Walport MJ, Duff GW. Cells and mediators. Maddison PJ Isenberg DA,editors. Oxford textbook of rheumatology . 2ndedition Oxford University Press; 1988.p.503-24. Wallace SL, Bemstein D, Diamond H. Diagnosis value of colchicine therapeutic trial .JAMA ; 1967 ; 199 : 525-8.
KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT Faridin
PENDAHULUAN Sampai dengan tahun 1960, penyebab radang sendi akibat kristal monosodium urat (MSU crystal) dikenal dengan artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout (pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia Ca,P,O, 2H,O. Istilah pseudogout dipakai untuk menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout dan sering tampak pada pasien-pasien dengan penimbunan kristal CPPD. Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi, meniskus, sinovium, danjaringan sekitar sendi. I d e n t i f h i kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya. Istilah chondrocalcinosis didasarkan atas ditemukannya kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai radiolusen di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik., Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calcium phosphate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite, octacalcium phosphate, tricalcium phosphate (whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushite) (Lihat tabel 1).Kristal ini merupakan bentuk kristal
periartikular patologik yang menyebabkan keradangan sendi mirip dengan keradangan sendi gout dan pseudogout. Selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai kelompok apatit atau BCP.
Monosodium urat monohidrat Calcium pyrophosphate dihydrate Basic Calcium Phosphate (BCP) Apatite Tricalcium phosphate Octacalcium phosphate Dicalcium phosphate dihydrate (brushite) Calcium magnesium phosphate (whitlokite) Calcium carbonates (calcite and aroganite) Calcium oxalate (monohydrate and dihydrate) Lipid Kristal kolesterol Krisral - kristal lipid Kristal - kristal protein Kryoglobulin Hematoidin Charcot-Leyden Kristal - kristal steroid (karena suntikan steroid intra artikuler)
Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pernah dilaporkan menyatakan bahwa 10- 15% mengenai mereka yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat 30-60% pada usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding laki-laki dengan perbandingan 2-3: 1. Penelitian-penelitian prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu
penelitian radiologis, prevalensi kondrokalsinosis pada populasi umum sekitar 0,9 per 1000 penduduk. Kondrokalsinosis akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur dan urnurnnya asimptomatik. Hubungan antara CPPD dengan osteoartritis masih kontroversi. Suatu penelitian kohort pasien 70 tahun, pada awal penelitian insiden kondrokalsinosis 7,8%, padafollow up 7-10 tahun kemudian dengan pemeriksaan radiologis, tidak memperlihatkanpeningkatan risiko kejadian osteoartritis. Prevalensi penyakit timbunan kristal kalsium hidroksiapatit (HA) masih belum diketahui, demikian pula dari kelompok BCP lain. Kejadian radang sendi akibat penimbunan kristal HA pernah dilaporkan pada pasien umur 30 tahun, di mana biasanyajarang terjad osteoartritis. Berdasarkan data-data epidemiologi di atas maka pembahasan tentang kristal artropati selain gout dibatasi pada penjelasan mengenai radang sendi akibat penimbunan kristal CPPD dan kelompok BCP.
PSEUDQGOUT Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalinyang dipicu oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan garnbaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi di mana sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan predileksi untuk terkena radang. Patogenesis Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan melepaskan enzim-enzim lisosom yang akan mengakibatkan keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi keduanya. Episode akut serangan artritis pseudogout timbul karena terjadinya pelepasan kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam fibrokartilagodan kartilago hialin yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal atau perubahan matriks kartilago sekitarnya, keduanya dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi. Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2 Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago. Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa
pembentukan PPi oleh karena adanya ATP dan ekstrak tulang rawan pasien deposisi CPPD. Komposisi ion matriks juga mempengaruhi pembentukan kristal CPPD, di mana ionfewo menghambat pirofosfatase, ion ferri menurunkan pembentukan kristal CPPD in vitro dan memperlambat degradasi intraselular kristal CPPD. Sedangkan hipomagnesemia dihubungkan dengan kondrokalsinosis dimana magnesium adalah kofaktor untuk pirofosfatase dan meningkatkan kelarutan kristal CPPD, sehingga bila terjadi defisiensi akan menurunkan hidrolisis PPi dan dapat memperlambat kelarutan knstal. Kerusakan sendi akibat penimbunan kristal CPPD disebabkan oleh faktor fisis dan perubahan kimia pada rawan sendi yang mempermudah pembentukan kristal. Bepasnya kristal CPPD pada ruang sendi diikuti oleh fagositosis neutrofil dari kristal dan lepasnya substansi inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan glikopeptida yang bersifat suatu kemotaktik untuk neutrofil yang memperhebat proses keradangan. CPPD juga dapat mengaktivasi faktor Hagemen yaitu kinin dan bradikinin yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin, selanjutnya akan mengkativasi siklus komplemen yang merupakan mediator untuk inflamasi akut. Manifestasi Klinis .Gambaran klinis pasien dengan penimbunan kristal CPP dapat asimtomatik atau dengan gejala-gejala keradangan sendi yang nyata. (Lihat Tabel 2).
Mono atau oligoartritis akut dengan serangan pseudogout Osteo-artritis tipe peculai Artropati pirofosfat Pseudo spondilitis ankilosing Artropati destruktif Bentuk tofaseous atau pseudoturnoral Osteokromatosis sinovial Deposit pada mata Bursitis, tendinitis Carpal tunnel syndrome Cubital t u n ~ esyndrome l Ruptur tendon Nyeri punggung akut Stenosis spinal Mielopati servikal Pseudomeninaitis
Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut, episodik dan dapat menyerupai penyakit gout, di mana inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Menurut Mc ~ i r t yartritis ; CPPD akut disebut pseudogout, karena sangat menyerupai gout. Pada saat serangan akut didapatkan adanya pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas lokal sekitar sendi yang sakit dan disertai eritema. Gambaran
KWSTALARTROPATI S E W N GOUT
tersebut sangat menyerupai gout. Serangan akut dapat pula diprovokasi oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat self-limiting. Sekitar 5% dari pasien dengan penimbunan kristal CPPD memberikan gambaran klinis seperti artritis pseudoreumatoid. Gejala-gejalanyamirip dengan gambaran artritis reumatoid, seperti melibatkan beberapa sendi bersifat simetris, kekakuan pagi hari, penebalan sinovium, dan peningkatan laju endap darah, dan sekitar 10%pasien dengan penimbunan kristal CPPD mempunyai titer faktor reumatoid serum yang rendah. Hal ini biasa akan mengacaukan diagnosis dengan artritis reumatoid. Penimbunan CPPD pada tulang belakang khususnya pada segmen servikal a k a berrnanifestasi klinis berupa nyeri tengkuk, kekakuan, dan kadang-kadang disertai demam, sehingga menyerupai meningitis. Resnik, dkk,sekitar 9 1% pasien CPPD servikal, akan mengalami kelainan vertebra servikal seperti hilangnya diskus intervertebral, subluksasi vertebra servikal, destruksi vertebra, dan pseudo-angkilosing spondilitis.
Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit meninggi. Sekitar 20% pasien dengan timbunan kristal CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU. Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti kubus (Rhomboid), atau batang pendek bersifat birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal ini bersifat birepingence pada pemeriksaan kristal dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya. Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintikbintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan di meniskus fibrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi postero-anterior dari pergelangan tangan. Diagnosis Pseudogout dicurigai bila didapatkan adanya serangan radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan adanya kondrokalsinosis.
Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk timbunan kristal CPPD yang didasarkan atas gambaran kristal dan radiologis (Tabel 3).
Kategori Definit : Harus memenuhi kriteria I atau Ila Probable : Harus memenuhi kriteria Ila atau Ilb Possible : Kriteria llla atau lllb seharusnya mengingatkan klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan CPPD Kriteria I. Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat cairan sendi, biopsi atau nekroskopi II. a. ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas refraksi ganda (membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator. b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin yang khas pada gambaran radiologis. Ill. a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia. b.Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha, pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan sendi metakarpofalangeal, terutama bila disertai eksaserbasi akut; artritis kronik yang menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk membedakan dengan OA. - Letak OA yang tidak lazim, seperti sendi pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal, atau sendi bahu. - Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama bila terisolasi (patela yang membungkus femur). - Pembentukan kista subkondral - Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi dengan pembentukan badan-badan radiodens intra artikular.
Pengobatan Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan diagnostik untuk pemeriksaan kristal. Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600 mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin dosis 75- 150 mghari atau dengan OAINS lainnya, dengan tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran cerna dan pemberian pada usia lanjut. Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor kemotaktik seperti sel-sel neutrofil dan mononuklir dan juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel. Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.
Mepgisti~abatkansendi penting selama serangan akut dan lat*qq 6Ndilakukan setelah serangan akut bertujuan memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi untuk menghindari kontraktur. Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium Phosphate Penimbunankelompok basic calciumphosphate (BCP) ditemukan pada jaringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri dan jaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal dapat ditemukan pada tendon otot, diskus intervertebral, kapsul sendi, sinovium,dan kartilago. Umumnya kalsifikasi krbbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit (HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat, terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut dan bahu. Meskipun pepyakit ini jarang, namun manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA, maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan golongannya. Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan,kristal BCP dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu terjadinya radang sendi. Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA mempunyai ukuran 5-120 pn, berbentuk bundar atau gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence. Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder syndrome) Sindrom bahu Milwaukee, inerupakan kelainan pada bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cufi robekan tendon otot-otot rotator cu& bursitis. Pada sindrom ini biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator cufyang luas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan sendi ditemukan kristal BCP,jumlah leukosit sinovial yang rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum
diketahui cara pengobatan ataupun pencegahan penimbunan kristal BCP. Pengobatan hanya ditujuan pada gejala-gejala yang ditemukan. Beberapa radang sendi akibat penimbunan kristal kelompok BCP yaitu periartritis kalsifikasi, dan kalsinosis, narnun sangatjarang ditemukan. Secara urnum patofisiologi dan gambaran klinis sama dengan HA, sehingga pada makalah ini tidak dijelaskan semuanya.
REFERENSI Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay P,Gerster JC.The cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition disease. A prevalent case control study. J Rheumatol. 2004;3 1: 545-9 Gatter RA, Schumacher HR . Special studies for crystalline material. In Joint fluid a n a l y ~ i s . 2 "edition, ~ Philade1phia:Lea & Fabiger;1991 .p.78-84 Halversos PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium containing crystal. In: Klippel JH.Primer on the rheumatic disease, 12Ih edition, At1anta:Arthritis foundation; 2001.p.298-306 Halverson PB. Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vol. 2, Koopman WJ, Moreland LW. Philade1phiaL:Lippincot William & Wilkins; 2005.p.2397-416 Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis and Milwaukee shoulder associated with calcium pyrophosphate and apatite crystal deposition. J Rheumatol. 2000;27 : 471-80 Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In Arthritis and allied conditions, 15th edition, Koopman WJ, Moreland LW. Philade1phia:Lippincot William & Wilkins; 2005.p.2373-96 Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition of calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook of rheumatology. 6Ih edition, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Philade1phia:W.B. Saunders; 2001 .p. 1377-90 Soenarto.Krista1 artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI;1996.p.89-96 Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 : 49-52
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Harry Isbagio, Yoga IKasjmir, Bambang Setyohadi, Nyoman Suajana
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenic loaq, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper l(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternaVlingkunganseperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi SLE merupakan ha1 y'ang sangat penting agar bisa memberikan terapi yang sesuai. Dalam makalah ini akan dibahas berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis SLE.
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000.SLE lebih sering ditemukanpada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,s-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia1 RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama periode 5 tahun (1972- 1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiapa 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan kriteria ARA yang telah diperbaiki. Insidensi di Yogyakarta anatara tahun 1983- 1986ialah 10,l per 10.000 perawatan (Punvanto, dkk). Di Medan anatara tahun 19840-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000perawatan (Tarigan).
LJUJ
FAKTOR GENETIK Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%); peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis SLE. Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil pasien (< 5%), hanya gen tunggal yang bertanggungjawab. Sebagai contoh pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal komplemen mempunyai risiko terkena SLE atau penyakit yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi pada sebagian besar pasien inemerlukan keterlibatan banyak gen. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit. Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas 11. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan risiko relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5. Gen HLA kelas I1 juga berhubungan dengan adanya antibodi tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein) clan anti-DNA. Gen HLA kelas 111, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar belakang etmk, mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi Clq, Clrls dan C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri (selfantigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitasmungkin terjadi. Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen yang mengkode mannose bindingprotein (MBP), TNFa, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6),CR1, imunoglobulin Gm dam Km allotypes, FciiRIIIA dan heat shockprotein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.
FAKTOR HORMONAL SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang
perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana peningkatan hidroksilasi 169 dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna konsentrasi 169 hidroksiestron. Metabolit 169 lebih kuat dan merupakan feminising estrogen. Perempuail dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinising hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat. Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi respon imun homural dan selular, yang diduga berperanan dalam patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan autokrin. PRL diketahui inenstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen. Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam patogenesis SLE adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales dkk,4' mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat.
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE ( labih dari 95%). Anti-double strandedDNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu small nuclear ribonucleoprotein (snRNP), terdiri dari rangkaian uridine yang kaya molekul RNA, berikatan
LUPUSERITEMATOSUS SISTEMlK
dengan kelompok protein inti dan protein lain yang berhubungan dengan RNA. Anti-Sm antibodi berikatan dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA berikatan dengan conserved nucleic acid determinant yang tersebar luar dalm DNA. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit, sedangakan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Antibodi anti-DNApada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis,walaupun korelasi antara antibodi anti-DNA dengan nefritis lupus tidaklah sempuma karena beberapa penderita dengan nefritis lupus yang aktif tidak ditemukan antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa penderita dengan titer antibodi anti-DNA yang menetap tinggi, tidak menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Keterlibatan antibodi anti-DNA pada nefritis lupus didukung oleh adanya bukti-bukti : 1. Observasi klinis pada sebagian besar pasien menunjukkan bahwa nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan p e n m a n nilai total komplemen hemolitik. 2. Antibodi antiDNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga bahv~akompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan mediator inflamasi yang utama. Meskipun gangguan ginjal mungkin akibat terbentuknya kompleks imun yang mengandung antibodi anti-DNA, tetapi keberadaan kompleks imun dalam sirkulasi sulit dideteksi oleh karenadalam serum konsentrasinya rendah. Antibodi antiDNA berikatan dengan bagian DNA yang melekat pada membran basal dari glomerulus melalui histon atau berinterkasi dengan antigen glomerular yang lain seperti C lq, nukleosom, heparan sulfat dan laminin. Ikatan antibodi anti-DNA dengan antigen ini akan menginisiasi inflamasi lokal dan aktivasi komplemen sehingga terbentuk kompleks imun di ginjal. Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara gainbaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi seperti antibodi anti-ribosomal P dengan psikosis, antibodi anti-Ro dengan blok jantung bawaan dan lupus kutaneus subakut, tetapi patogenisitas dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang pasti dari kelainan ini masih belum jelas. Patogenesis dari manifestasi selain glomerulonefritisbelurn diketahui secara baik, meskipun kemungkinan mekanisme yang mendasari adalah deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen pada tempat-tempat tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya didapat hubungan antara hipokomplemenemia dengan tanda-tanda vaskulitis pada SLE yang aktif. Kerusakan langsung yang diperantarai oleh antibodi dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel pada jaringan target, merupakan mekanisme yang mungkin mendasari. Walaupun antibodi anti-dsDNA adalah antibodi yang paling banyak diteliti pada penderita SLE, namun ada antibodi lain yang juga berperan dalam manifestasi klinis khususnya pada anemia hemolitik autoimun, trombositopenia, kelainan kulit dan lupus neonatus. Autoantibodi yang umum didapatkan pada penderita SLE
dan hubungannya dengan manifestasi SLE tampak pada Tabel 3. Adanya antibodi anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya pada kehamilan memberikan risiko terkena blok jantung fetus sebesar 1-2%.Antigen Ro terpapar pada permukaan otot jantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehinggajantung mengalami remodeling melalui apoptosis, dan antibodi anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak jaringan konduksi jantung fetus.Tidak adanya efek pada jantung ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan autoantibodi dan paparan antigen secara bersama-sama pada jaringan jantung. Antibodi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) mungkin berperanan penting dalam sistem susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalah asam amino excitatoly yang dikeluarkan oleh sel saraf. Penelitian yang dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita SLE yang mengandung antibodi DNA dan reseptor NMDA menyebabkan gangguan kognitif dan kerusakan hipokampusjika disuntikkan secara intravena kepada tikus. Mereka juga menemukan antibodi anti-reseptor-NMDA pada jaringan otak penderita lupus serebral.
Antigen spesifik . Anti-dsDNA Nukleosom RO La
Prevalensi (%) 70-80 60-90 30-40
15-20 10-30 Reseptor NMDA 33-50 Fosfolipid 20-30 a-Actinin 20 Clq 40-50 NMDA = N-methyl-D-aspartate
Sm
Efek klinik utama Gangguan ginjal, kulit Gangguan ginjal, kulit Gangguan kulit, ginjal, gangguan jantung fetus Gangguan jantung fetus Gangguan ginjal Gangguan otak Trombosis, abortus Gangguan ginjal Gangguan ginjal
Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom memegang peranan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya ruam fotosensitif. Antibodi anti-nukleosum bisa ditemukan dari jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita dengan nefritis lupus aktif tanpa ruam pada kulit. Autoantibodi yang merusak sel darah merah dar~trombosit berperanan penting dalam kejadian anemia hemolitik dan trombositopenia pada penderita 1upus.Pujo dkk, mendapatkan korelasi yang h a t antara trombositopenia dengan adanya antibodi anti-trombosit. Beberapa autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro, anti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE. Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi antidsDNA berada dipertengahan antara kedua kelompok
seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
Lain-lain Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambur rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah Manifestasi Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi Artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan Artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Satu ha1 yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid, Polymyositis, Sklerodema atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis LES. Manifestasi Kulit Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES. Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol benvama putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir. Manifestasi Paru Berbagai manifestasi kilinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik dengan pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.
Manifestasi Kardiologis Baik perikardium, miokardium, endokardium atau-pun pembuluh darah oroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis hams dicurigai apabila dijumpai ada-nya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak jelas penyebabnya, maka kecu-rigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gaga1 jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada penderita LES. Vegetasi pada katub jantung merupakan akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolik. Manifestasi Renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pen-derita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES . Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan puncak insidensi antara usia 20 - 30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefiotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mgl24 jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi keter-libatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas. Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan antara gambaran klinis, laboratorik,
klasifikasi patologi. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan fungsi ginjal (chat Tabel 1). Namun demikian adanya proteinuria, piuria serta bumknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal. ManifestasiGastrointestinal Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, injlamatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Disfagia mempakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktlkan adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita LES ,lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa idiopatik karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda. Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang, dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.
Mesangial IIA Gejala Hipertensi Proteinuria gldl Hematuria EriILPB Piuria LILPB Cetakan LFG mllmin CH50 C3 Anti-dsDNA Kompleks imun
IIB
Focal prolif. 111
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita LES. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat menyebab-kan pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula pankreatitis pada penderita yang tidak mendapatkan steroid. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOTISGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat. Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOTISGPT. Transaminase ini akan kembali normal apabila akitifitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan LES, atau mempakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan infeksi virus hepatitis B (HBV). Manifestasi Neuropsikiatrik Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemunkginan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis ini. Dapat dijurnpai kelainan EEG namun tidak spesiflk,pada
Diffuse prolif. IV
Membranous
GG,SN sering 1-20 Banyak Banyak Banyak <60 << <<
SN Late onset 3,5-20
>> >>
Tubulointerstisial
lnfeksi
Druginduced
V
N N N N N
Late onset
Disuria Late onset
+ +
Banyak
N N N N N
N N N N N
+
+ +
Keterangan: ~ri=~ritr;sit, LPB=luas pandang besar, L=leukosit, LFG=Laju filtrasi glomerulus, CHSO=komplemen hemolitik serum total (dalam 50% hemolitik unit), C3=komplemen 3, N=Normal, +=jarang, sedikit, >=meningkat, <=menurun, >>=sangat meningkat, <<=sangat menurun, GG=gagal ginjal, SN=sindroma nefrotik
2571
LUPUS E R I T E M A ~ U SSETEMU<
Kriteria
Batasan
Ruam malar Ruam diskoid
Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial. Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLEi keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLEi lanjut dapat ditemukan parut atrofik. Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeli, bengkak dan efusi
Fotosensitifitas Ulkus mulut Artritis non-erosif Pleuritis atau perikarditis
Gangguan renal
Gangguan neurologi
Gangguan hematologik
Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura. atau Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial. a. Proteinuria menetap 20.5 gram per hari atau >3+ atau b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan. a. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik. misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbanganelektrolit. atau b. Psikosis - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit. a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau Leukopenia - <4.000/mm3pada dua kali pemeriksaan atau c. Limfopenia - <1 .500/mm3pada dua kali pemeriksaan atau d. Trombositopenia- ~100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan. a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal. Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensiatau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat. b.
Gangguan imunologikb
Antibodi antinuklear positif (ANA)
Keterangan: Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
cairan serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM, peningkatan jumlah sel , peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa. Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik atau non-organik.
Manifestasi Hemik-limfatik Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sarnpai 3-4,cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang iasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah
dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis. Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantaraiproses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses otoimun seperti anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.
Diagnosis Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorim American College ofRheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 1 1 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah : 1. Ruammalar 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitifitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 grl hari, atau adalah silinder sel 8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia 10. Kelainan imunologlk,yaitu sel LE positif atau anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu. 11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1. jender wanita pada rentang usia reproduksi. 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan. 3. Muskuloskeletal:artritis, artralgia, miositis 4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. 5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrorna nehtik 6. Gastrointestinal:mual, muntah, nyeri abdomen 7. Pam-paru:pleurky, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru. 8. Jantung: perikarditis, endokarditis,miokarditis 9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, clan trombositopenia 1 1. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.
PRlNSlP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN SLE Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelotnpok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Karena infeksi sering terjadi pads pend&ita SLE, rnaka penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gaga1 ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika hams dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupa kan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya anti malaria atau siklifosfamid.
I. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya. 2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. 3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutarna yang terkait dengan pernakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu rnaupun diet, rnengatasi infeksi secepatnya maupun pernakaian kontrasepsi. 4. Pengenalan rnasalah aspek psikologis: bagairnana pernaharnan diri pasien SLE, rnengatasi rasa lelah, stres ernosional, trauma psikis, rnasalah terkait dengan keluarga atau ternpat kerja dan pekerjaan Itu sqndlrl, rnengatasi rasa nyeri. 5. Pernakaian obat rnencakup jenis, dosis, lama pernberian dan sebagainya. Perlukah suplernentasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya terrnasuk antibiotikurn. 6. Dirnana pasien dapat rnemperoleh lnformasi tentang SLE ini, adakah kelornpok pendukung, yayasan yang bergerak dalarn pernasyarakatan SLE dan sebagainya
LUPUS ERlTEMATOSUSSlSTElWC
Kehamilanjuga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktifitas penyakit hams lebih ketat selama kehamilan. Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, hams diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunisupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
TERAPI KONSERVATIF
Artritis, artralgia dan mialgia. Artritis, Artralgia dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan urnurn penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan,misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkanpemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin400 mglhari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, hams segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekwat dengan analgetik atau obat anti-inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat dipertirnbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (73- 15 mglminggu),juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE.Nyeri pada 1 atau 2 sendi yang menetap pada penderita SLE yang tidak menunjukkan bukti tambahan peningkatan aktifitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan adanya osteonekrosis, apalagi bila penderita mendapat terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto radiologk konvensional, sehinggamemerlukan pemenksaan MRI. Lupus kutaneus.Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadangjuga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoidlokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal hams hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis clan fragilitas. Untuk kulit muka dianjur kan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat di-gunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya didaerah palmar dan plantar pedis, dapat digun akan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi hams dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk meng-atasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek imunosupresan antimalaria berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehingga mengganggu metabolisme rantai a dan 13 HLA klas 11. Selain itu antimalariajuga mengurangi pelepasan interleukin (1L)- 1, IL-6 dan tunor necrosis factor (TNF)-a oleh makrofag dan IL-2 dan Interferon (1FN)-y oleh sel T. Antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Pada penderita yang resisten terhadap anti-malaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Hams diperhatikan efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik, seperti methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruarn LE di kulit. Fatigue dan keluhan sistemik Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikianjuga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam mengatasi masalah ini. Seringkaliha1 ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
-
menunjukkan peningkatan aktifitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
Serositis. Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mghari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segeradimulai bila timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia,sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE, seperti artritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/ kgBBhari, sedangkan pada manifestasi major dan serius dapat diberikan prednison 1- 1,5mgikgBBkari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mgkgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1- 1,5 mg/kgBBl hari. Respons terapi dapat terlihat sedini mungkm, tetapi dapatjuga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE merupakan problem tersendiri pada penatalaksanaan SLE. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka hams mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5- 10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mghari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mghari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif sebelum nya sampai beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan kembali. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2dalam 250 ml
NaCl0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter124 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. siklofosfamid diindikasikan pada: 1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) 2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang 4. Glomerulonefitis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid. 6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkat an kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya 7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/ m2.Setelah pemberian siklofosfamid,jumlah lekosit darah hams dipantau. Bilajumlah lekosist mencapai 1500lm1,maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekanjumlah lekosit sampai 4000lrnl menunjukkan dosis siklofosfamidyang tidak adekuat, sehingga dosisnya hams ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mgl kgBBkari dan diberikan secara per-oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE; setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan. Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari)dan mofetil rnikofenolat. SiklosporinAdapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian hams diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadarkreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin A, maka dosisnya hams diturunkan. Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah terapi hormonal, imunoglobulin dan afaresis (plasmafaresis, lekofaresis dan kriofaresis). Salah satu
2575
LUPUS HUTFMATOSUS SISTEMIK
Jenis Obat
Dosis
Jenis toksisitas
Azatioprin
50-150 mg per hari, dosis terbagi 1-3, tergantung berat
Mielosupresif, hepatotoksik, gangguan limfoproliferatif
Siklofosfamid
Per oral: 50-150 mg per hari. IV: 500 mgIM2 dalam Dextrose 250 ml, infus selama 1 jam.
Metotreksat
7.5 - 20 mg I minggu, dosis tunggal atau terbagi 3. Dapat diberikan pula melalui injeksi.
Mielosupresif, gangguan limfoproliferatif, keganasan, imunosupresi. sistitis hemoragik, infertilitas sekunder Mielosupresif, fibrosis hepatik, sirosis, infiltrat pulmonal dan fibrosis.
Siklosporin A
2 . 5 5 mglkg BB, atau sekitar 100 - 400 rng per hari dalarn 2 dosis, tergantung berat badan.
Mofetil mikofenolat
2000 mglhari mg dalam 2 dosis.
Pembengkakan, nyeri gusi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pertumbuhan rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu rnakan rnenurun, tremor. Mual, diare, leukopenia.
Pemantauan Laboratorik Gejala Darah tepi lengkap Darah tepi lengkap, mielosupresif tiap 1-2 minggu dan kreatinin, AST I selanjutnya 1-3 bulan ALT interval. AST tiap tahun dan pap smear secara teratur. Darah tepi Darah tepi lengkap Gejala lengkap, hitung mielosupresif, dan urin lengkap tiap hematuria dan bulan, sitologi urin jenis leukosit, infertilitas. dan pap smear tiap urin lengkap. tahun seumur hidup. Evaluasi Awal
Klinis
Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien risiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin. Darah tepi lengkap, kreatinin, urin lengkap, LFT.
Gejala . mielosupresif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus mulut.
Darah tepi lengkap terutama hitung trombosit tiap 4-8 minggu, AST IALT dan albumin tiap 4-8 minggu, urin lengkap dan kreatinin.
Gejala hipersensitifitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal.
Kreatinin, LFT, Darah tepi lengkap.
Darah tepi lengkap, fese lengkap.
Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah.
Darah tepi lengkap terutarna leukosit dan hitung jenisnya.
terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol, suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanisme kerjanya tidak diketahui secara pasti. Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mglkg BBIhari, diberikan selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. ~ontraindikasi-mutlak pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.
PENATALAKSANAANKEADAAN KHUSUS Trombosis pada SLE Trombosis seringkali merupakan manifestasi dari SLE dan sering berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid.Dalam keadaan ini, antdcoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai INR (International Normalization Ratio) 3-33. Hal ini terutama sangat penting pada ,
trombosis arteri karotis interna. Trombosis arteri biasanya mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus, biasanya mempunyai respons yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.
Abortus berulang pada SLE Abortus berulang pada penderita SLE dapat diakibatkan oleh aktifitas SLEnya atau adanya antibodi antifosfolipid. Untuk menekan aktifitas SLE, glukokor-tikoid cukup aman clan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalarn bentuk yang aktif. Pada penderita dengan antibodi antifosfolipid yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, maka kemungkinan untuk mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi hams diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis tinggi
dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenikpada kehamilan trimester I). Semua regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.
LllPUS NEONATAL
Lupus neonatal merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala yang paling sering adalah ruam kemerahan di kulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal. Itulah sebabnya setiap wanita penderita SLE yang hamil harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya antibodi anti-Ro. Trombositopenia pada SLE Pada penderita SLE yang mengalami trombositopenia, harus dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenia yang lain, misalnya efek samping obat, purpura trombositopenia trombotik, infeksi virus (HIV, HBV, CMV) dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gramnegatif). Berikan prednison 0,5-1 mglkgBBhari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit <50.000/ml,kemu-dim dosis prednison diturunkan secara bertahap. Target terapi ini adalah jumlah trombosit mencapai >50.000/ml. Bila prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat dipertimbangkan pemberian danazol 400-800 mghari, imunoglobulin atau splenektomi. Pada penderita yang resisten terhadap semua modalitas atau pada penderita dengan keterlibatan organ mayor, dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sarnpai 6 bulan. SLE pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Penderita SLE pada Susunan Saraf Pusat dapat dibagi 2, yaitu penderita dengan strok dan penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas. Pada penderita dengan strok, pemberian antikoagulan lebih banyak gunanya daripada imunosupresan, sedangkan pada penderita dengan kelainan SSP yang has, apalagi bila disertai vaskulitis perifer, maka pengobatan dengan imunosupresan merupakan pilihan. Pada penderita SLE yang mengalami kejang-kejang tanpa keterlibatan aktifitas pada organ lain, seringkalipemberian antikonvulsan tanpa imunosupresqn cukup memadai. Demikian juga penderita psikotik tanpa manifestasi SLE yang lain, seringkali cukup diberikan obatobat psikoaktif. Kelainan kognitif yang ringan dapat juga diberikan prednison 30 mghari selama beberapa minggu, kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada sindrom otak organik yang berat, koma atau mielopati, diperlukan terapi yang agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.
Pengobatan lupus serebral pada dasarnya bersifat empirik karena belum banyak ditunjang dengan bukti uji klinis. 1. Pada keadaan yang berat atau terjadi perburukan cepat dapat diberikan pulse steroid therapy menggunakan metil prednisolon 1 glhari selama 3 hari berturut-turut. Altematif lain adalah pemberian deksametason 12-20 mg. Bila tidak memberikan respon baik dapat diberikan siklofosfamid intra vena dengan dosis 0,75- 1.00 g/m2 setiap 3-6 minggu. 2. Pada kondisi pasien tidak terlalu buruk berikan prednison 1 mglkgBBlhari dalam dosis terbagi. 3. Bila terdapat bukti vaskulitis yang berat maka pemberian kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan segera. Demikian pula pemberian obat sitotoksik. 4. Atasi trombosis terutama bila terkait dengan adanya antibodi antifosfolipid. Hati-hati pemberian heparin berlebihanjustru dapat memperburuk keadaan. 5. Pasien dengan gejala kejang dapat diatasi dengan pemberian anti konvulsan seperti fenitoin. Kecuali bila terjadi status epileptikus atau kejang berulang, berikan kortikosteroid dosis tinggi. 6. Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah plasmaferesis, imunoglobulin intravena (IVIG), terapi oksigen hiperbarik, intratecal CSF-feresis, transplantasi stemcell
NEFRI'I'IS LUPUS Penatalaksanaan umum : 1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontra indikasi, karena ha1 ini akan menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut. 2 Kurangi asupan gararn bila ada hipertensi, asupan lemak bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi ginjal mulai terganggb. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid. 3. Berikan loop diuretics untuk mengtasi udem 4. Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi non-steroid. 5. Terapi agresif terhadap hipertensi 6. Hindari kehamilan, karena penderita nefiitis lupus yang hamil akan benisiko tinggi untukmengalamigaga1ginjal. 7. Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria 8. Pemantauan berkala aktifitaspenyakit dan fimgsi ginjal yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin serum, albumin serum, protein urin 24 jam, komplemen C3 dan anti DNA.
Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi spesifik untuk nefritis lupus sebagai berikut : 1. Klas I. Tidak diperlukan terapi spesifik 2. Klas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak memerlukan terapi spesifik. Penderita kelas 1% dengan proteinuria >1 gramlhari, titer anti ds-DNA yang tinggi dan C3 yang rendah, hams diberikan prednison 20 mgl
LUPUS ERlmMATOSUS SISTEMLK
hari selan~a6 minggu sampai 3 bulan, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap, tergantung &tititas penyakit. ;. K1~z.q111dun IV. Pada keadan ini, risiko untuk terjadinya gaga1 ginjal dalam 10 tahun lebih dari SO%, sehingga hams dibenkan terapi yang agresif. Berikan prednison 1 mg/kgBB/hari minimal selama 6 minggu tergantung respons kliniknya. kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap dan dipertahankan pada dosis 10-15 mglhari selamn 2 tahun. Bila respons terhadap glukokortikoid tidak dapat dicapai, berikan siklofosfamid 500-1000mg/m2setiap bulan selama 6 bulan kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila setelah dicapai perbaikan kemudian timbul perburukan lagi, dosis siklofosfamid bulanan dapat diulang kembali atau diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap bulan. Bila terjadi perburukan fungsi ginal, dapat dipertimbangkan pemberian bolus metilprednisolon atau afaresis. Sebagai pengganti siklofosfamid, dapat juga diberikan azatioprin, tetapi efektifitasnya lebih rendah daripada siklofosfamid. 4. Klas V. Diberikan prenison 1 mg/kgBB/hari sela-ma 6-12 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai mencapai 10mglhari dan dipertahankan samapai 1-2 tahun. Obat sitotoksik jarang diperlukan, kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi membranosa murni sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan dapat dipertimbang kan pemberian siklosporin-A. 5. Penderita dengan kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/ dl untuk jangka panjang, tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi ekstrarenal, dapat diberikan prednison dosis pemeliharaan 5- 10 mghari. Restriksi protein dan garam juga harus diperhatikan, demikian juga tekanan darahnya.
REFERENSI Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm 2001 ;7: 1-7. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol 2003;56:481-490. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis o f systemic lupus erythematosus. J Nether1 Med 2003;61(11):343-346. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression in a cohort of 1,000 patients. The European Working Party on Systemic Lupus Erythematosus. Medicine (Baltimore) 1993;72: 1 13-24. Formiga F, Moga 1, Pac M, et al. Mild presentation of systemic lupus erythematosus in elderly patients assessed by SLEDAI. Lupus 1999;8:462-5.
French MA, Hughes P. Systemic lupus erythematosus and Klinefelter's syndrome. Ann Rheum Dis 1983;42:471-3. Lahita RG, Bradlow HL, Kunkel HG, et al. Alterations of estrogen metabolism in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1979;22: 1 195-8. Athea N,Tron F, Jungers P. Nahoul K. PClissier C, Bach JF. Plasma androgens in women with disseminated lupus erythematosus. Presse Med 1983; 12:685-8. Lahita RG, Bradlow HL, Ginzler E, et al. Low plasma androgens in women with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1987;30:241-8. Lahita RG, Kunkel HG, Bradlow HL. Increased oxidation of testosterone in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1983;26:1517-21. Folomeev M, Dougados M, Beaune J, et al. Plasma sex hormones and aromatase activity in tissues of patients with systemic lupus erythematosus. Lupus 1992;l: 191-5. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus 1993;2:315-17. ' M o k CC, Lau CS. Profile of sex hormones in male patients with systemic lupus erythematosus. Lupus 2000;9:252-7. McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2003;48:2 100-1 0. Sthoeger ZM, Chiorazzi N, Lahita RG. Regulation of the immune response by sex hormones. I. In vitro effects of estradiol and testosterone on pokeweed mitogen-induced human B cell differentiation. J Immunol 1988;14 1 :91-8. Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergj Clin Immunol 1999; 103:282-8. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of anti-double-stranded DNA antibody and immunoglobulin G production in peripheral blood mononuclear cells from patients with systemic lupus erythematosus. Arthrrtis Rheum 1999;42:328-37. Evans MJ, MacLaughlin S, Marvin RD, et al. Estrogen decreases in vitro apoptosis of peripheral blood mononuclear cells from women with normal menstrual cycles and decreases TNF-alpha production in SLE but not in normal cultures. Clin Imrnunol Immunopathol 1997;82:258--62. Wyle FA, Kent JR. Immunosuppression by sex steroid hormones. The effect upon PHA- and PPD-stimulated lymphocytes. Clin Exp Immunol 1977;27:407-15. McMurray RW, Ndebele K, Hardy KJ, et al. 17-beta-estradiol suppresses IL-2 and IL-2 receptor. Cvtokine 2001:14:324-33. Rider V , Foster RT, Evans M, et al. Gender differences in autoimmune diseases: estrogen increases calcineurin expression in systemic lupus erythematosus. Clin Immunol Immunopathol 1998;89: 171-80. Rider V, Jones S, Evans M, et al. Estrogen increases CD40 ligand expression in T cells from women with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 2001 ;28:2644-9. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone inhibits immunoglobulin production by human peripheral blood mononucleal. cells. Clin Exp Immunol 1996; 106:410-15. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone suppresses anti-DNA antibody production in peripheral blood mononuclear cells from patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1997;40:1703-11. Suzuki T. Suzuki N, Daynes RA, et al. Dehydroepiandrosterone enhances 1L-2 production and cytotoxic effector function of human T cells. Clin Immunol Immunopathol 199 1;61:202-10.
.-
Suzuki T, Suzuki N, Engleman EG, et al. Low serum levels of dehydroepiandrosterone may cause deficient IL-2 production by lymphocytes in patients with systemic lupus erythematosus. Clin Exp Immunol 1995;99:251-5. Jimena P, Aguirre MA, Lopez-Curbelo A, de Andres M, GarciaCourtay C, Cuadrado MJ. Prolactin levels in patient with systemic lupus erythematosus: a case controlled study. Lupus 1998;7:383-386. Yu-Lee LY. Prolactin modulation of immune and inflammatory responses. [cited2007November7]. Available from http:// rphr. endojournals. org/cgi/reprint/5 7/ 11435 Jacobi AM, Rohde W, Ventz M, Riemekasten G, Burmester GR, Hiepe F. Enhanced serum prolactin (PRL) in patients with systemic lupus erythematosus: PRL levels are related to the disease activity. Lupus 2001; 10:554-61. Blanco-Favela F, Quintal-Alvarez G, Lean-0s-Miranda A. Association between prolactin and disease activity in systemic lupus erythematosus. Influence of statistical power. J Rheumatol 1999;26:55 - 59. Leaiios-Miranda A, Chavez-Rueda KA, Blanco-Favela F. Biologic activity and plasma clearance of prolactin-IgG complex in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 200 1;44:866-75. Jara-Quezada L, Graef A, Lavalle C. Prolactin and gonadal hormones during pregnancy in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1991;18:349-53. Ferreira C, Paes M, Gouveia A, Ferreira E, Padua F, Fiuza T. Plasma homovanillic acid and prolactin in systemic lupus erythematosus. Lupus 1998;7:392-7. Rovensky J, Jurankova E, Rauova L, Blazickova S, Lukac J, Veselkova Z, et al. Relationship between endocrine, immune, and clinical variables in patients with systemic Lupus erythematosus. J Rheumatol 1997;24:2330-4. Jara LJ, Gomez-Sanchez C, Silveira LH, Martinez-Osuna P, Vasey FB, Espinoza LR. Hyperprolactinernia in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. Am J Med Sci 1992;303:222-6. Buskila D, Lorber M, Neumann L, Flusser D, Shoenfeld Y. No correlation between prolactin levels and clinical activity in patients with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1996;23:629-32. Pacilio M, Migliaresi S, Meli R, Ambrosone L, Bigliardo B, Di Carlo R. Elevated bioactive prolactin levels in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. J Rheumatol 2001;28:2216-21. Miranda JM, Prieto RE, Paniagua R, Garcia Amato D, Barile L, Jara LJ. Clinical significance of serum and urine prolactin levels in lupus glomerulonephritis. Lupus 1998;7:378-39 1. Alvarez-Nemegyei J, Cobarrubias-Cobos A, Escalante-Triay F, Sosa-MuRoz J, Miranda JM, Jara LJ. Bromocriptine in systemic lupus erythematosus: a double-blind, randomized, placebocontrolled study. Lupus 1998;7:414-419. Garcia-Gonzales A, Gonzales-Lopez L, Valera-Gonzales IC, CardonaMunoz E 4 Salazar-Paramo M, Gonzales-Ortiz M, et al. Serum leptin levels in women with systemic lupus erythematosus. Rheumatol Int 2002;22: 138-141. Faggioni R, Feingold KR, Grunfeld C. Leptin regulation of the immune response and the immunodeficiency of malnutrition. FASEB J 2001;15:2565-2571. Karmiris K, Koutroubakis IE, Kouroumalis EA. The emerging role of adipocytokines as inflammatory mediators in inflammatory bowel disease. Inflamm Bowel Dis 2005; 11:847-855.
Lavens D, Montoye T, Piessevaux J, Zabeau L, Vandekerckhove J, Gevaert K, et al. A complex interaction pattern of CIS and SOCS2 with the leptin receptor. J Cell Sci 2006;119:22142224. Huising MO, Kruiswijk CP, Flik G. Phylogeny and evolution of class-I helical cytokines. J Endocrinol 2006; 189: 1-25. Fantuzzi G, Faggioni R. Leptin in the regulation of immunity, inflammation, and hematopoiesis. J Leukoc Biol 2000;68:437446. Lam QL, Lu L. Role of leptin in immunity. Cell Mol Immunol 2007;4(1): 1-13. Matarese G, La Cava A, Sanna V, Lord GM, Lechler RI, Fontana S, Zappacosta S. Balancing susceptibility to infection and autoimmunity: a role for leptin? Trend Immunol2002;23(4):182-187. Lord GM, Matarese 4 Howard JK, Baker RJ, Bloom SR, Lechler RI. Leptin modulates the T-cell immune response and reverses starvation-induced immunosuppression. Nature 1998;394:897-901. La Cava A, Matarese G. The weight of leptin in immunity. Nature Rev 2004;4:37 1-379. Mak A, Cheung BMY, Mok CC, Leung R, Lau CS. Adrenomedullin a potential disease activity marker and suppressor of nephritis activity in systemic lupus erythematosus. Rheumatol 2006;45: 1266-72. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1982;25:1271-7. Bootsma H, Spronk P, Derksen R, et al. Prevention of relapses in systemic lupus erythematosus. Lancet 1995;24;345:1595-9. Kalaaji M, Mortensen E, Jorgensen L,Olsen R, Rekvig OP. Nephritogenic lupus antibodies recognize glomerular basement membrane-associated chromatin fragments released from apoptotic intraglomerular cells. Am J Path01 2006, 168:17791792. van Bruggen MC, Kramers C, Walgreen B, et al. Nucleosomes and histones are present in glomerular deposits in human lupus nephritis. Nephrol Dial Transplant 1997;12:57-66. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Eng J Med 2008;358:929-39. Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus. Postgrad Med J 2001;77:157-65. Clancy RM, Kapur RP, Molad Y, Askanase AD, Buyon JP.Immunohistologic evidence supports apoptosis, IgG deposition, and novel macrophagelfibroblast crosstalk in the pathologic cascade leading to congenital heart block. Arthritis Rheum 2004;50: 173-82. Kowal C, Degiorgio LA, Lee JY, et al. Human lupus autoantibodies against NMDA receptors mediate cognitive impairment. Proc Natl Acad Sci U S A 2006;103:19854-9. Sontheimer RD, Maddison PJ, Reichlin M, Jordon RE, Stastny P, Gilliarn IN.Serologic and HLA associations in subacute cutaneous lupus erythematosus, a clinical subset of lupus erythematosus. Ann Intern Med 1982;97:664-7 1. Grootscholten C, van Bmggen MC, van der Pijl JW, et al. Deposition of nucleosomal antigens (histones and DNA) in the epidermal basement membrane in human lupus nephritis. Arthritis Rheum 2003;48:1355-62. Quismorio FP. Other serologic abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007:527-49. Pujol M, Ribera A, Vilardell M, Ordi J, Feliu E. High prevalence of platelet autoantibodies in patients with systemic lupus erythematosus. Br J Haematol 1995;89: 137-41.
LUPUS ERITEkW'SUS SISTEMlK
Arbuckle M, McClain MT, Rubertone MV, Scofield RH,Dennis GJ, James JA, et al. Development of autoantibodies before the clinical onset of systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2003;349: 1526-33. Hahn BH. Antibodies to DNA. N Engl J Med 1998;338:1359-68. Klinman DM, Shirai A, Ishigatsubo Y, et al. Quantitation of IgMand IgG-secreting B cells in the peripheral blood of patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1991;34:1404-10. Liossis SN, Kovacs B, Dennis G, et al. B cells from patients with systemic Lupus erythematosus display abnormal antigen receptor-mediated early signal transduction events. J Clin Invest 1996;98:2549-57. Linker-Israeli M, Deans RJ, Wallace DJ, et al. Elevated levels of endogenous IL-6 in systemic lupus erythematosus. A putative role in pathogenesis. J Immunol 1991;147:117-23. Monneaux F, Muller S. Epitope spreading in systemic lupus erythematosus: identification of triggering peptide sequences. Arthritis Rheum 2002;46: 1430-8. La Cava A. T-regualtory cells in systemic lupus erythematosus. Lupus 2008; 17:42 1-25 Valencia X, Yarboro C, Illei G, Lipsky PE. Deficient CD4+CD25(high) T regulatory cell function in patients with active systemic lupus erythematosus. J Immunol 2007;178:2579-88. Dean GS, Tyrrell-Price J, Crawley E, Isenberg DA. Cytokines and systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 2000;59:243251. Houssiau FA, Lefebwe C, Vanden Berghe M, et al. Serum interleukin 10 titers in systemic lupus erythematosus reflect disease activity. Lupus 1995;4:393-5. Park YB, Lee SK, Kim DS, et al. Elevated interleukin-10 levels correlated with disease activity in systemic lupus erythematosus. Clin Exp Rheumatol 1998;16:283-8. Grondal G, Gunnarsson I, Ronnelid J, et al. Cytokine production, serum levels and disease activity in systemic lupus erythematosus. Clin Exp Rheumatol 2000; 18:565-70. Charles PJ, Smeenk RJ, De Jong J, Feldmann M, Maini RN.Assessment of antibodies to double-stranded DNA induced in rheumatoid arthritis patients following treatment with infliximab, a monoclonal antibody to tumor necrosis factor alpha: findings in open-label and randomized placebo-controlled trials. Arthritis Rheum 2000;43:2383-90. Mohan AK, Edwards ET, Cot6 TR, Siege1 JN,Braun MM. Druginduced systemic lupus erythematosus and TNF-alpha blockers. Lancet 2002;360:646. Gabay C, Cakir N, Moral F, et al. Circulating levels of tumor necrosis factor soluble receptors in systemic lupus erythematosus are significantly higher than in other rheumatic diseases and correlate with disease activity. J Rheumatol 1997;24:303-8.
Herrera-Esparza R, Barbosa-Cisneros 0 , Villalobos-Hurtado R, Avalos-Diaz E. Renal expression of IL-6 and TNF-8 genes in lupus nephritis. Lupus 1998;7: 154-8. Aringer M, Graninger WB,Steiner G, Smolen JS. Safety and efficacy of tumor necrosis factor alpha blockade in systemic lupus erythematosus: an open-label study. Arthritis Rheum 2004;50:3 16 1-9. Crow MK,Kirou KA. Cytokines and Interferons in Lupus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007:161-75. Illei GG, Tackey E, Lapteva L, Lipsky PE. Biomarkers in systemic lupus erythematosus. 11. Marker of disease activity. Arthritis Rheum 2004;50:2048-65. Tsokos, GC. Exploring complement activation to develop biomarkers for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2004;50:3404-3407. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Nether1 Med 2003;61:343-346. Hemnann M, Voll RE, Zoller OM, et al. Impaired phagocytosis of apoptotic cell material by monocyte-derived macrophages from patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1998;41:1241-50. Linker-Israeli M, Quismorio FP Jr, Horwitz DA. CD8+ lymphocytes from patients with systemic lupus erythematosus sustain, rather than suppress, spontaneous polyclonal IgG production and synergize with CD4+ cells to support autoantibody synthesis. Arthritis Rheum 1990;33:1216-25. Munoz LE, van Bavel C, Franz S, Berden J, Hemnann M, van der Vlag J. Apoptosis in the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Lupus 2008;17:371-375. Dieker, JW, van der Vlag, J, Berden, JH. Deranged removal of apoptotic cells: its role in the genesis of lupus. Nephrol Dial Transplant 2004; 19: 282-285. Savill, J, Dransfield, I, Gregory, C, Haslett, C. A blast from the past: clearance of apoptotic cells regulates immune responses. Nut Rev Immunol 2002; 2: 965-975. Ronnblom, L, Eloranta, ML, Alm, GV. The type I interferon system in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2006; 54: 408-420. Dieker, JW, Fransen, JH, van Bavel, CC, et al. Apoptosis-induced acetylation of histones is pathogenic in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2007; 56: 1921-1933. Hepburn, AL, Lampert, IA, Boyle, JJ, et al. In vivo evidence for apoptosis in the bone marrow in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 2007; 66: 1106-1 109. Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan Duiagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, 2004.
KEHAMILAN PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Yuliasih
PENDAHULUAN Dengan kemajuan pengetahuan di bidang pengobatan five years survival rate pasien LES bisa mencapai 90% sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang dan hams mendapat pengawasan ketat. Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatkan risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya autoantibodi-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa kehamilan dengan LESterdapat gangguan pertumbuhan plasenta oleh berbagai sebab antara lain trombosis, vaskulopati dan vaskulitis Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada LES bisa berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatnya penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian janin intra uterin, gangguan pertumbuhan serta kongenital lupus. Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan kerjasama antara spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak perinatologi dengan harapan mendapatkan hasil kehamilan yang baik.
PENGARUH KEHAMILAN NORMAL TERHADAP PENYAKIT LES Pada kehamilan normal terdapat peningkatan volum cairan, meningkatnya volum cairan dalam tubuh berdampak buruk pada pasien LES dengan gangguan fungsijantung, ginjal serta hipertensi. Kenailcan volum intravaskular sampai 30% tidak mampu ditoleransioleh pasien LES dengan gangguan fungsi ginjal danjantung. Perubahan hormonal antara lain peningkatan hormon estrogen, dan prolaktin serta penurunan progesteron. Hormon-hormon ini diyakini berperan dalam patogenesis lupus, sehingga bila ada gangguan keseimbangan hormon ini dapat mencetuskan kobaran atau memburuknya LES. Banyak laporan mengenai gangguan pertumbuhan plasenta pada kehamilan dengan LES. Pada kehamilan normal umur trombosit menurun, sedangkan produksinya meningkat ha1 ini seringkali menimbulkan trombopenia yang mana kadang menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasi nya. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktivasi sistem koagulasi yang disertai dengan peningkatan sintesis faktor koagulan. Faktor-faktor koagulan yang meningkatpada kehamilan antara lain fibrinogen,faktor V, VIII, X, VWF, trombosit activation inhibitorl, trombin-antitrombin kompleks. Aktivasi sistem koagulasi ini dapat mencetuskan atau mengaktifkan penyakit lupus.
BEBERAPAASPEKYANG PERLU DlTlNJAU PADA KEHAMILAN DENGAN LES tingkat kesuburan
PADA LUPUS ElUTEbM'SUS SlSTEMK
perencanaan kehamilan risiko obstetrik segi pediatrik pengelolaan masa laktasi jenis kontrasepsi
Kehamilan Sistem hematologi Anemia karena hemodilusi Menurunnya masa hidup trombosit Peningkatan fibrinogen Sistem endokrin Meningkatnya kortisol Meningkatnya estrogen Ginjal Menurunnya kliren
Diduga eksaserbasi LES Diduga LES aktif Diduga ada eksaserbasi Merangsang remisi Memperburuk LES
Volum overload atau preeklamsia, eksaserbasi lupus nefritis Dikutip : Locksin MD, Sammaritano LR , and Schwartzman S. Lupus Pregancy. In :Systemic lupus erythematosus editor by Lahita RG. 4rd edition . Elsevier Academic Press London,2004 ; p659
TINGKAT KESUBURAN PASIEN LES Tingkat kesuburan pasien LES sama dengan perempuan tanpa LES, kecuali pada pasien-pasien yang pernah mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid dosis tinggi atau menderita gagal ginjal terminal. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid pada pasien dengan lupus neliitis sering menimbulkan ovarianfailure. Insiden Ovarian failure karena siklofosfamid berkisar antara 11-59%.Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko ovarian failure karena siklofosfamid yaitu urnur relatif muda saat pemberian, pemberian secara oral dan dosis kurnulatif yang besar. Dilaporkan bahwa ovarian failure lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat siklofosfamid per oral dibandingkan dengan intravena.
PERENCANAANKEHAMllAN Sejumlahpenelitian menujukkan bahwa LES aktif bukanlah waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa risiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%, sedangkan pada kehamilan dengan lupus neliitis angka kekambuhan berkisar 7,4%-63%. Bila ada lupus nefiitis saat
kehamilan, maka lupus nefritisnya akan mudah jatuh ke arah gagal ginjal akut. Kekambuhan LES dengan kehamilan dapat tejadi setiap saat baik saat awal kehamilan maupun pasca persalinan. Gejala klinik biasanya, hanya berupa artritis atau bercak di kulit, demam, lelah, serositis, atau trombositopenia, sedangkan yang mengenai organ mayor seperti ginjal, CNS berkisar antara 5-46%. Penghentian obat-obatan perlu dipertimbangkansejak perencanaan kehamilan. Klorokuin atau hidroksiklorokuin sebaiknya dihentikan sebelum kehamilan terjadi, idealnya dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan, dengan asumsi 3 bulan awal waktu yang dibutuhkan untuk mengekskresi obat secara keseluruhan dan 3 bulan berikutnya untuk mengamati apakah terjadi kekambuhan setelah obat tersebut dihentikan. Siklofosfamid, metotreksat dan warfarin bersifat teratogenik maka bila ada kehamilan segera mungkin dihentikan, bila pasien mendapat warfarin sebaiknya dilanjutkan dengan suntikan heparin.
Gambaran klinik kobaran pada LES dengan kehamilan biasanya ringan Kekambuhan LES dapat terjadi setiap saat, mulai awal kehamilan sampai pada pasca persalinan LES dengan kehamilan perlu diperhatikan karena termasuk dalam kelompok risiko tinggi dan diperlukan pemantauan secara ketat aktivitas
RlSlKOOBSTETRlKPADA KEHAMllAN DENGAN LES
Preeklamsia Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi preeklamsia selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%. Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida, adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus sebelumnya,obesitas, dan antibodi fosfolipid. Peningkatan tromboksan A, plasental diduga berperan pada timbulnya preeklamsia. Membedakan preeklamsia dengan lupus nefiitis pada kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanya dapat menimbulkan hipertensi,proteinuria, edema dan faal ginjal yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang membantu untuk membedakan kedua kondisi hi. Pada proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain, misalnya ulkus di mulut, artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati. Sedimen urin pada lupus neliitis lebih sering menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu didapatkan peningkatan leukosit, eritrosit dan torak grander. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia. Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasznya
normal, sedangkanpada lupus nefritis C3 dan C4 menurun dan disertai peningkatan kadar anti ds-DNA. Pemberian prednison pada preeklamsia akan memperburuk kondisi, sedangkanpada lupus nefritis menunjukkan respons yang baik. Kedua kondisi ini hams dipastikan dengan segera karena cara pengelolaannya jauh berbeda. Kehamilan dengan LES yang mempunyai riwayat preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya hams dilakukan terminasi kehamilannya pada atau sebelum umur kehamilan mencapai 32 minggu.
Lupus nefritis terdapat Artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati, ulkus mulut, dan proteinuria cepat memburuk Perbaikan klinis pada pemberian kortikosteroid Penurunan C3 dan C4, peningkatan C l q B Anti ds-DNA positif dan meningkat Proteinuria persisten postpartum
Lupus Nefritis dengan Kehamilan Insiden lupus nefritis pada kehamilan dengan LES sangat tinggi bisa mencapai 60% dibanding pada LES tanpa kehamilan. Gambaran klinis lupus nefritisnya juga lebih berat dan sering mencetuskan eklamsia dan gaga1 ginjal akut. Pasien lupus nefiitis jenis histopatologis proliferatif difus, sindrom nefrotik, hipertensi berat, dan serum kreatinin >2mgldL dianjurkan untuk tidak hamil. Menurut Boumpas and Balow pasien lupus nefritis diperbolehkan hamil dengan syarat yaitu penyakitnya terkontrol berlangsung paling sedikit 6 bulan, proteinuria < lgrhari dengan fungsi renal yang stabil dan kadar C3 yang normal. Secara umum lebih lama pasien dalam keadaan remisi akan lebih baik kehamilannya. Bila lupus nefritis dengan kehamilan yang menunjukkan kliren kreatinin mencapai 50 mL/dt dianjurkan untuk segera dilakukan hemodialisis. Trombositopenia Merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada pasien LES dengan kehamilan, terutama pasien dengan antifosfolipid. Penyebab trombositopenia pada kehamilan dengan LES: Kehamilannya sendiri Sindrom antibodi antifosfolipid LESaktif Preeklamsia Keadaan trombositopenia yang perlu diperhatikan pada kehamilan: Bila trombositopeniaterjadi pada awal kehamilan(
sebaiknya diberi pengobatan aspirin. Trombositopeniayang terjadi pada umur kehamilan 25 minggu, dan tidak terkait dengan aktivitaspenyakit LES. Ini merupakan petanda akan terjadinya preeklamsia atau sindrom HELLP. Pengobatan yang dianjurkan adalah melakukan terminasi dengan segera bila memunglunkan. Trombositopenia tanpa disertai tanda aktivitas LES maka trombositopenia ini merupakan bentuk dari ITP, bila trombositopenia disertai tanda aktivitas LES, trombositopenia ini mencerminkan aktivitas penyakit LES. Biasanya trombositopenia ini respons terhadap steroid. Trombositopenia ringan yang tidak terkait dengan LES, bisa terjadi pada akhir kehamilan. Anemia Anemia karena penyakit kronis merupakan komplikasi yang tersering dijumpai pada LES. Anemia autoimun hemolitlk sangat jarang dan biasanya disebabkan oleh sindrom antifosfolipid. Anemia pada kehamilan sesegera mungkin diatasi, mungkin diperlukan steroid yang agak tinggi atau tranfisi untuk mencegah hipoksia pada janin. Perlu diingat keharnilan sendiri menimbulkan anemia.
lnsiden preeklamsia meningkat Hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan ACA meningkatkan risiko pre-eklamsia Insiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR meningkat Hipertensi, hipokomplemen, lupus nefritis aktif pada konseosi dan ACA meninakatkan risiko kematian ianin
SEGl PEDlATRlK Kehamilan dengan LES mempunyai risiko tinggi terdapat peningkatan insiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR, insidennya berkisar antara 6-35%. Faktor risikonya antara lain hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan antibodi fosfolipid. Risiko abortus pada lupus dengan kehamilan bervariasi antara 6-35%. Antifosfolipid merupakan faktor prediktor terjadinya "eta1 wastages". Keberadaan antibodi fospolipid yaitu IgG ACA dan LA (lupus aritikoagulan) serta hipokomplemen (C3 yang rendah) merupakan prediktor kuat terjadi kematian janin. Bagaimana mekanisme antibodi fosfolipid ini dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belurn diketahui dengan pasti. Diduga antibodi fosfolipid bereaksi terhadap b2GPI (beta 2 glikoprotein I), yang terikat dengan trofoblas menekan produksi HCH (Human chorionic gonadotropin) dan menimbulkan gangguan
PADA LUPUS -TOSUS
2583
SISTEMIK
perlekatan plasenta.Faktor lain yang dapat menimbulkan kematian janin atau abortus yaitu adanya aktivasi komplemen yang menimbulkan trombosis pada plasenta Pemberian heparin sub-kutan 20.000 U h bersamaan dengan aspirin dosis rendah 80mgIhr pada kehamilan dengan LES sangat efektif untuk mencegah abortus maupun kematian janin akibat adanya antibodi fosfolipid. Demikian juga dengan pemberian prednison 40 mglhr bersama aspirin dosis rendah sama efektifnya dengan pemberian heparin bersama aspirin dalam mencegah abortus dan kematian janin. Pasien dengan kecenderungan preeklamsia dan pecah ketuban dini lebih baik menggunakan heparin dari pada prednison. Profilaksis aspirin baru bermanfaat pada keharnilan dengan kadar antibodi fosfolipid yang tinggi terutama untuk primipara tanpa riwayat kehilangan janin dengan atau pada semua ibu hamil dengan LES. Segi obstetrik dan pediatrik LES dengan kehamilan Meningkatnya risiko terjadinya preeklamsia Hipertensi sistolik dan lupus nefiitis Antifosfolipid merupakan faktor risiko preeklamsia dan fetal loss Fetal wastage, prematur dan IUGR sering terjadi
SINDROM NEONATALLUPUS ERITEMATOSUS Sindrom NLE (Neonatal Lupus Eritematosus) terdiri dari CHB (congenital heart block; paling sering), ruam kutaneus transien, sitopenia, dan manifestasi sistemik lainnya dari LES. Tidak hanya pada LES, NLE juga dapat timbul pada ibu hamil dengan sindrom Sjogren dan penyakit reumatik lain yang membawa antibodi Anti SSAI Ro dan Anti SSBLa The Research Registryfor Neonatal Lupus di AS membuat knteria diagnosis NLE: Ibu dengan hasil tes terhadap 52 kD Anti SSA/Ro, 60 kD Anti SSAIRo, atau 48 kD Anti SSBILa, atau anti ribonukleoprotein. CHB atau ruam kutaneus transien
Insiden CHB adalah sekitar 0,005% pada bayi lahir hidup. Pada pasien LES dengan anti SSAIRo positif risiko CHB adalah sekitar 1,5% dan 20,5%. Patogenesis CHB belum jelas, diduga anti SSAIRodan anti SSBLa menembus plasenta pada trimester 2 clan menimbulkanjejas imunologik pada sistem hantaran jantung. Uji saring terhadap anti Ro dan anti La sangat penting pada kehamilan dengan
LES. Ekokardiografijanin hams dilakukan pada kehamilan 16-24 minggu termasuk untuk mendeteksi kemungkinan miokarditis dan regurgitasi. Jika pada ekokardiogram serial kondisi klinis janin memburuk, misalnya timbul dekompensasi jantung maka dapat diberikan
deksametason melalui ibunya, walaupun banyak yang masih meragukan.
P-OwKEHAMllANDANPASCAPrinsip Umum Ibu hamil dengan LES, jelas merupakan kehamilan dengan risiko sangat tinggi. Sejak awal kehamilan harus dibuat sistem yang dapat mengawasi perubahan aktivitas penyakit, termasuk pelibatan suami dan keluarganya. Sejak diketahui ada kehamilan maka secepat mungkin menentukan organ yang terkena,aktivitas penyakit, pada trimester pertama harus dievaluasi tiap bulan dan evaluasi ditingkatkan menginjak trimester I1 dan 111, pengukuran tekanan darah, perkembangan janin, jantung janin, NST= non-stress test. Evaluasi kondisi muskuloskletal khususnya pelvis dan hip untuk mengantisipasi kemungkman adanya komplikasijuga sangat penting. Pemeriksaan anti Ro dan anti La diperlukan untuk memprediksi kemungkinan adanya neonatal lupus, selain itu pemeriksaan antibodi antifosfolipiduntuk memprediksi kemungkinan abortus, prematur atau IUGR. Pada paruh pertama kehamilan evaluasi dilakukan tiap bulan, dilakukan pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, kobaran seperti; panas, ruam, peningkatan tensi. Pemantauan laboratorium juga dilakukan (Tabel 5). Jika terdapat tandatanda kobaran baik selarna hamil maupun postpartum hams dilakukan terapi yang agresif. Bila ada lupus nefiitis dan atau tanpa HT aspirin dosis rendah mulai pada minggu ke- 10 untuk mencegah preeklamsia, IUGR danfetal loss Pemantauan terhadap pertumbuhan janin dilakukan melalui USG, ekokardiografi, dan non-stress test. Sectio Caesaria harus dilakukan pada ibu dengan hipertensi
Anjuran
Pemeriksaan
Kunjungan pertama
Darah lengkap Urin 24 jam pada nefritis lupus Bun, serum kreatinin, kliren kreatinin Glukosa darah 0 Tes Coombs, C3 dan C4 VDRL, ACA dan APTT 8 Anti ds-DNA, anti SSA, anti SSB, anti UlRNP Darah lengkaplurinalisis Kliren kreatinin. Protein uria 24 jam komplemen Anti ds-DNA Antenatal fetal heart rate testing (non-stress teso
-
Kunjungan perbulan setiap trimester Tiap minggu pada akhir trimester (ibu dengan APL+) Pada minggu 18 dan 2 (ibu dengan antiRolLa+)
Fetal echocardiogram
-
berat, trombositopenia berat, ganguan fungsi ginjal berat, penyelamatan nyawa ibu dengan kelainan jantung dan paru yang berat, avaskular nekrosis pada caput femoris, fetal distress, non-stress test yang abnormal, dan indikasi obsterik biasa seperti disproporsi kepala panggul dan letak lintang. Aktif lupus bukan indikator untk terminasi kehamilan, beberapa indikator ibu untuk mengakhiri kehamilan: LESflare yang berat yg mengancam jiwa ibu, gaga1 terapi, psikologis, sosialfetal distress, amniotikfluid indeks < 5 cm, eklamsia yang progresif, sindrom HELLP, payah jantung berat dan trombositopenia berat Penanganan Janin Selama Kehamilan Pertumbuhan dan perkembanganjanin hams diperhatikan, beberapa yang mempengaruhi terkait dengan aktivitas penyakit ibu, antibodi fosfolipid, anti Rolanti La, meningkatnya a fetoprotein pada pasien LES mengindikasikan pratus prematur, tingginya dosis prednison yang diterima ibu serta adanya antibodi fosfolipid IgG mediasi trombositopenia mungkin dapat melalui plasenta. Demikian juga IgG Coombs hemolitik antibodi dapat menembus plasenta sehingga menimbulkan anemia hemolitik pada janin, anti ds-DNA juga dapat menembus plasenta tapi tidak berefek pada janin, sedangkan antibodi fosfolipid sering menyebabkan plasenta insufisiensi, IUGR& kematian janin. Sedangkan antibodiAnti Rolanti La menyebabkan neonatal lupus serta heart block sehingga dianjurkan untuk elektrokardiografi pada kehamilan 15-25 minggu. Kecepatan pertumbuhan janin dan volum plasenta sebaiknya dievalusi dengan USG serninggu sekali antepartumfetal heart rate testing, bila ada bradikardi merupakan prediktor komplikasijanin.
OBAT-OBATAN PADA LES DENGAN KEHAMllAN Aspirin dan OAINS Aspirin dalam dosis besar (>3gr) dapat memperpanjang waktu kehamilan maupun kelahiran, menimbulkan oligohidroamnion, menyebabkan penutupan prematur duktus arteriosus, hipertensi pulmonal, dan perdarahan postpartum, walaupun demikian aspirin tidak menimbulkan anomali kongenital. OAINS (obat anti inflarnasi nonsteroid) dapat bersifat teratogenik, mempengaruhi kontraksi uterus, mengganggu fungsi trombosit, dan menimbulkan penutupan prematur duktus arteriosus. Sebaiknya OAINS dan aspirin dosis tinggi dihindari pada ibu hamil dengan LES. Pada suatu RCT (Randomised Controlled Trial) dari aspirin dosis rendah (0,45 mg/kg/BB) yang dikombinasi dengan heparin menurunkan angka abortus dan prematuritas serta meningkatkan angka lahir hidup (71%) dibanding aspirin dosis rendah saja (42%) odds rasio 3,37 (95% CI 1,40-8,lO). Penggunaan aspirin dosis rendah juga mencegah pre eklamsia. Aspirin dosis rendah dapat
diberikan pada ibu hamil dengan LES yang tidak menderita hipertensi, mulai minggu ke-10 sampai ke-36 untuk meminimalis timbulnya pre eklamsia.Aspirin dosis rendah bersama dipiridamol dapat menurunkan insiden IUGR secara signifikan.Aspirin pada postpartum tetap diberikan 1 bulan setelah postpartum untuk mencegah trombosis sedang yang mengunakan heparin diganti dengan antikoagulan oral selarna 3 bulan. Kortikosteroid Prednison dan metilprenisolon sangat kecil dapat menembus plasenta meskipun diberikan dosis besar pada ibu, sehingga aman diberikan pada ibu hamil, golongan deksametason dan betametason sebaiknya tidak digunakan, karena dapat menembus plasenta. Penggunaan kortikosteroid dapat menimbulkan palatoskisis pada hewan, tetapi jarang pada manusia. Prednison, prednisolon, metilprednisolon hanya sedikit yang melewati plasenta ke janin, sehingga merupakan kortikosteroid pilihan pada kehamilan. Fluorinat kortikosteroid seperti deksametason dan betametason jangan digunakan pada kehamilan karena dapat melewati plasenta jauh lebih banyak dan hanya digunakan untuk mengobati kelainan pada fetus. ~ortikosteroihdosis tinggi dapat menimbulkan ketuban pecah dini, IUGR (intrauterine growth restriction). Pada pasien cangkok ginjal hamil yang diberi terapi berbagai imunosupresan kortikosteroid yang memberi insiden malformasi leblh tinggi (33%) dibanding azatioprin dan mofetil mikofenolat. Ibu hamil yang menggunakankortikosteroid lebih dari 2 tahun harus dipikirkan adanya insufisiensi adrenal terutama menjelang partus. Untuk itu perlu pemberian kortikosteroid selama partus, misalnya dengan pemberian hidrokortison i.v 100 mg tiap 8jam segera sebelum partus. Pada hari ke-2 diturunkan 50 mg tiap 8 jam, kemudian pada hari ke-3 diberikan sesuai dosis kortikosteroid sebelumnya. Klorokuin Hidrosiklorokuin yang biasanya digunakan untuk artritis atau untuk pencegahan kobaran, bisa diteruskan pada kehamilan. Hidroksiklorokuin memang aman, tetapi klorokuin dilaporkan dapat menimbulkan anomali kongenital. Dilaporkan dari 36 kehamilan yang memakai hidrosiklorokuin tidak terdapat anomali kongenital. Azatioprin Azatioprin banyak digunakan untuk transplan ginjal dan dilaporkan aman untuk kehamilan dengan LES, Azatioprin bersifat teratogenik pada binatang, tetapi pada manusia dilaporkan tidak menimbulkan anomali kongenital yang berat, kecuali sangatjarang dapat menimbulkanpolidaktili dan pes ekuinovarus pada janin. Dilaporkan, pemberian
KEHANllLAN PADA LUPUS ERITEMATOSUS SiSTEMIK
azatioprin bersama prednison dapat menimbulkan IUGR, BBL (berat badan lahir) rendah dan prematuritas pada pasien cangkok ginjal. Sebaliknya banyak dilaporkan ibu hamil dengan LES yang sukses dengan pemberian azatioprin bersama kortikosteroid. Siklofosfamid Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan karena bersifat teratogenik, walaupun ada laporan kehamilan yang sukses dengan siklofosfamid. Siklofosfamid juga menimbulkan risiko kanker yang meningkat pada janin yang pernah terpapar. Siklosporin A Siklosporin A tidak teratogenik pada binatang, juga tidak ada peningkatan risiko anomali kongenital pada manusia. Pada pasien cangkok dengan 154kehamilan hanya didapat BBL rendah tanpa adanya kelainan kongenital. Studi prospektif pada 22 anak dari ibu yang diterapi dengan siklosporinmenunjukkan tidak ada efek nefiotoksd Mofetil Mikofenolat Mofetil mikofenolat mempakan imunosupresanyang relatif baru. Pada terapi lupus nefritis, mofetil mikofenolat menunjukkan hasil yang setara dengan siklofosfamid. Belum ada laporan yang luas dari penggunaan mofetil mikofenolat pada ibu hamil dengan LES. Terdapat satu laporan kasus malformasi kongenital dari penggunaan mofetil mikofenolat pada kehamilan.
Aspirin dosis tinggi dan OAINS sebaiknya dihindari terutarna pada beberapa rninggu trimester ke-3 Kortikosteroid dan hidroksiklorokuin dapat digunakan dengan hati-hati Azatioprin dan siklosporin rnasih dapat digunakan sebagai irnunosupresan pada ibu harnil dengan LES Siklofosfarnid harus dihindari karena teratogenik
MASA LAKTASI Laktasi dan Aktivitas LES Prolaktin mempunyai peran multipel pada sistem imun dan bersifat imunostimulan. Pada kehamilan kadar prolaktin meningkat pada trimester 2 atau 3 dan menetap selama laktasi. Peningkatan ini disebabkan karena adanya makroprolaktinemia yang persisten akibat adanya antibodi antiprolaktin. Diduga peningkatan prolaktin meningkatkan aktivitas LES dan berperan pada kobaran postpartum. Sebaiknya pada ibu menyusui dilakukan pemantauan yang lebih ketat untuk mengantisipasi kobaran.
Obat-obatan pada Laktasi Aspirin sangat mudah melintas ke dalam AS1 dm dapat menimbulkan intoksikasi salisilat pada bayi. Pada pemberian aspirin 450-650 mg pada ibu hamil, 0,1%-2 1% akan mencapai janin dalam waktu 24 jam. AAP (American Academy of Pediatrics) merekomendasikanbahwa aspirin hams diberikan dengan peringatan dan dosis yang besar hams dihindari pada ibu yang menyusui. Kebanyakan OAINS tidak diekskresi ke ASI. AAP merekomendasi indometasind m naproksen atau OAJNS kerja pendek yang lebih aman untuk ibu hamil, sedangkanOAJNS yang lewat siklus enterohepatik (misalnya; sulindac) sebaiknya dihindari. AAP menganggap prednison dan prednisolon aman untuk ibu menyusui. Tidak ada data pada penggunaan deksametason dan betametason pada ibu menyusui. Hidroksiklorokuin hanya sedikit diekskresi pada ASI, tetapi AAP memperbolehkan penggunaannya pada ibu menyusui dengan peringatan, karena hidroksiklorokuin eliminasinya cukup lama. Siklofosfamid, azatioprin dan metotreksat tidak direkomendasikan untuk ibu menyusui. Dikhawatirkan bisa timbul imunosupresi, gangguan pertumbuhan dan karsinogenesis pada bayi.
= Laktasi dapat meningkatkan insiden kobaran = Aspirin dosis tinggi harus dihindari OAINS adalah kontraindikasi pada ibu LES yang menyusui = Prednison, prednisolon, dan hidroksi klorokuin bisa diberikan = Pada ibu LES yang rnendapat irnunosupresan seperti siklofosfarnid, azatioprin, siklosporin dan rnetotreksat tidak boleh rnenyusui.
Estrogen memang berperan pada patogenesis LES. Beberapa laporan kasus menunjukkan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen meningkatkan insiden kobaran. Jungers et a1 melaporkan insiden kobaran sebesar 43% pada pasien LES dengan nefritis yang menerima kontrasepsi oral, sebaliknya Julkunen et a1 tidak menemukan kobaian pada 3 1 pasien LES yang memakai kontrasepsi oral selama 12 minggu, sedangkan Buyon et a1 melaporkan insiden kobaran sebesar 13% pada pasien LES yang memakai kontrasepsi oral. Studi Safety of Estrogens Lupus Erythematosus National Assessment (SELENA) di AS yang sedang berlangsung akan memberi informasi yang lebih baik tentang pengaruh kontrasepsi estrogen pada LES. Terdapat peningkatan insidens tromboemboli pada pasien LES dengan ACA yang menggunakan kontrasepsi oral lebih banyak. Kontrasepsi oral tidak boleh diberikan kepada pasien dengan ACA. Pada pasien LES muda,
-
normotesif, tanpa ACA dan riwayat keluarga dengan tromboemboli, dan penyakit yang inaktif stabil tidak dikontradiksikan untuk kontrasepsi oral. Pemantauan ketat tanda tromboemboli hams dilakukan selama penggunaan kontrasepsi oral. Progestogen dan depot progestogen (Depo-Provera) dapat digunakan pada LES sebagai pengganti preparat estrogen, tetapi dapat memberi efek samping seperti iregularitas menstruasi, amenore, spooting, edema dan peningkatan berat badan. IUD pada pasien LES sering menimbulkan infeksi terutama pada pemakai imunosupresan. Paling aman adalah kontrasepsi mekanis seperti kondom dan diafragma.
= Estrogen dosis rendah dapat diberikan kepada pasien dengan penyakit inaktif, tanpa risiko tromboemboli dan ACA negatif. Progestogen dapat digunakan jika estrogen merupakan kontraindikasi IUD dapat meningkatkan risiko infeksi intrauterine. * Kondom dan diafragma paling aman
Boumpas DT, Howard A. Austin HA, Ellen M. Vaughan EM, Cheryl H. Yarboro, CH John H. Klippel JH, James E. Ballow JE. Risk for sustained amenorrhea in patients with systemic lupus erythematosus receiving intermittent. Cortez-Hernandez J, Ordi-Ros J, Prededes F, Casselas M, Castillo F, Villardel-Tarres. Clinical predictors of fetal and maternal outcome in systemic lupus erythematosus: A prospective study on 103 pregnancies. Rheumatology 2002;41:643-50. Costedoat-Chalumeau N, Amoura Z, Hong DLT, Wechler B, VauthierBrouzes D, Ghilani P, Papo T fain 0 , Musset L, Piette JC. Question about dexamethasone use for the prevention of anti-SSA related congenital heart block. Ann Rheum D ~ S 2003:62:1010-12. Danesy R, Del Tacca M. Teratogenesis and immunosuppressive treatment (abstract). Transplant Proc. 2004 Apr;36(3):705-7. Georgiou PE, Politi EN, Katsimbri P, Sakka V, Drosos AA.,Outcome of lupus pregnancy: A controlled study. Rheumatology 2000;39: 1014-19 Huong DLT, Wechsler B, Vautjier -Brouzes D, Seebacher J, Lefebvre, Bletry 0 , Darbois J, Godeau P, Piette JC. Outcome of planned pregnancies in systemic lupus erythematosus: A prospective study on 62 pregnancies. Brit J Rneumatol. 1997;36:772-777. Hardy CJ, Palmer BP, Morton SJ, Muir KR, Powell RJ. Pregnancy outcome and family size in systemic lupus erythematosus. A case control study. Rheumatology 1999;38:559-663. Ioannou Y, Isenberg DA. Current concepts for the management of systemic lupus erythematosus in adults: a therapeutic challenge Postgraduate Medical Journal 2002;78:599-60.
SINDROM VASKULITIS Laniyati Hamijoyo
BENDAHULUAN Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan struktur dinding pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, dan adanya gangguan pada lumen pembuluh darah menimbulkan iskemik maupun nekrosis. Secara umum, vaskulitis dapat mengenai berbagai ukuran, tipe maupun lokasi pembuluh darah, dan berhubungan dengan suatu kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai suatu proses primer ataupun sekunder dari penyakit lain (penyakit reumatik, keganasan atau infeksi dll.). Pembahasan di sini lebih ditujukan kepada vaskulitis primer.
Epidemiologi vaskulitis masih sulit dilaporkan karena beberapa hal, antara lain: 1) kejadian vaskulitisyang masih relatif jarang; 2) seringkali ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis vaskulitis yang tepat (terutama untuk membedakan satu bentuk vaskulitis dari yang lain); 3) kenyataan penyebab sebagian besar vaskulitis masih belum diketahui; dan 4) riwayat ketidak pastian dalam klasifikasi vaskulitis ini. Meskipun demikian epidemiologi beberapa jenis vaskulitis telah dilaporkan. Gambaran epidemiologi vaskulitis sangat bervariasi sesuai dengan sebaran geografi. Variasi ini dapat merefleksikanketerlibatan faktor genetik, paparan terhadap lingkungan yang berbeda, dan prevalensi faktor risiko yang lain. Sebagai contoh penyakit Behcet, jarang sekali terjadi di utara Amerika namun angka kejadian penyakit ini beberapa ratus kali lebih banyak di negara-negara jalur
sutera. Demikianjuga arteritis Takayasu dilaporkan hanya ada 3 kasus baru per tahun di AS namun dilaporkan merupakan penyebab paling sering stenosis arteri renal di India, dimana insidensnyamencapai 200-300 kasus per satu juta penduduk. Usia juga merupakan suatu pertimbangan penting dalam menegakkan diagnosis vaskulitis. Delapan puluh persen penderita penyakit Kawasaki berusia di bawah 5 tahun. Sebaliknya arteritis temporalis tidak pernah terjadi pada penderita berusia kurang dari 50 tahun. Usia juga berpengaruh pada parahnya penyakit dan prognosis penderita. Pada purpura Henoch Schonlein, mayoritas kasus terjadi pada anak-anak clan umumnya sembuh sendiri dalam beberapa minggu. Namun pada orang dewasa sering menjadi kronis dan menyebabkan gangguan ginjal yang buruk. Distribusi jenis kelamin juga berpengaruh terhadap bentuk vaskulitis. Penyakit Buerger predominan pada pria. Predileksi tersebut mungkin disebabkan karena prevalensi merokok lebih banyak di antara kaum pria. Sebaliknyaarteritis Takayasu bertendensi lebih sering terjadi pada wanita (9: 1) dibandingkan pria, kenyataan ini masih belum dapat dijelaskan hingga saat ini. Beberapa bentuk vaskulitis lebih banyak pada suatu etnik tertentu misalnya granulomatosa Wegener dan arteritis temporalis lebih banyak pada orang kulit putih sedangkan Takayasu dan Kawasaki lebih banyak pada keturunan Asia. Meskipun faktor risiko genetik tidak diragukan merupakan faktor yang penting, namun kejadian vaskulitis dalam keluarga sangatjarang. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini poligenik dan kompleks. Contoh salah satu vaskulitis yang berhubungan suatu gen tertentu dengan vaskulitis adalah penyakit Behcet dengan gen HLA-B5 1.
-
Mekanismepasti yang mendasari kelainan ini masih belum jelas. Ada beberapa patogenesis berbeda yang diajukan untuk membantu menjelaskan mengapa lesi pada jenis vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah tertentu. 1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap vaskulitis menentukan pola pembuluh darah yang terlibat. 2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel, termasuk ekspresi dari molekul adhesi, sekresi peptida dan hormon, dan interaksi yang spesifk dengan sel-sel inflamasi. Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sela-sel radang, sernentara sel yang lain tidak. Struktur non-endotel dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai ko-stimulator, komponen sel-sel lain berfungsi sebagai antigentpresenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap mediator proinflamasi. Inflamasi umurnnya terjadi pada pembuluh darah arteri, namun dapat juga melibatkan pembuluh vena maupun kapiler. Tanda dan gejala khas keradangan vaskular timbul akibat gangguan fungsi dan perfusi serta terjadi kerusakan pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah terjadinya infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen pembuluh darah. Secara histologi, infiltrasi mielornonosit yang prominen tampak pada dinding pembuluh darah yang terlibat. Infiltrasi granuloma seringkali tampak sebagai gambaran khas beberapa tipe vaskulitis. Infiltrasi ini pada pembuluh darah arteri kadang menyebabkan destruksi lamina elastik intema dan menimbulkan kelainan pada lapisan intima, medial dan adventisia, membentuk trombus dan menyebabkan oklusi total lumen pembuluh darah.
Vaskulitis seringkali merupakan penyakit yang serius dan fatal yang membutuhkan deteksi dan terapi yang cepat. Gejala yang melibatkan organ tubuh dapat muncul secara terisolasi maupun kombinasi dengan keterlibatan organorgan lain. Keterlibatan suatu organ tertentu dapat menjadi petunjuk untuk jenis vaskulitis tertentu namun dapat juga terjadi overlap. Keterlibatan berbagai organ pada penyakit vaskulitis ini dengan beragam manifestasi menjadi suatu tantangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosa dan memberikan terapi yang tepat. Selain itu, pengenalan proses patologik yang tepat sedini mungkin dapat menolong mencegah sekuele yang berat yang dapat terjadi akibat penyakit ini. Pengobatan dini yang tepat dan efektif dapat memberikan perbaikan klinis maupun fungsional yang berarti bagi penderita.
Selama lebih dari setengah abad, berbagai klasifikasi vaskulitis telah diajukan, namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan, karena pengetahuan mengenai kondisi penyakit ini terus berkembang. Semua skema klasifikasi masih terus dalam perbaikan. Vaskulitis dapat dibedakan berdasarkan pembuluh darah yang dominan terlibat (Tabel 1).
Pembuluh darah yang dominan
Tipe vaskulitis -
~embuluhdarahbesar:
Pembuluh darah sedang Pembuluh darah sedang dan kecil Pembuluh darah kecil
-
Arteritis temporal (Giant cell arteritis) Arteritis Takayasu Polilarteritis nodosa Penyakit Kawasaki Granulomatosa Wegener Sindrom Churg-Strauss Poliangiitis mikroskopi Purpura Henoch-Schonlein Krioglobulinemia Vaskulitis lekositoklastik kutaneus
Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Chapel Hill 1994 American college of Rheumatology (ACR) mengeluarkan suatu seri klasifikasi vaskulitis pada tahun 1990 yang mengelompokan tujuh kelainan vaskulitis. Kriteria ini dirancang untuk mengidentifikasi kelainan inflamasi pada pembuluh darah danjuga untuk membedakan satu kelainan vaskulitis dari yang lain (Tabel 2) Pada tahun 1994 suatu panel intemasional yang terdiri dari para dokter dan ahli patologi mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan Konsensus Chapel Hill untuk menjawab beberapa kebingungan dalam kriteria yang dikeluarkan oleh ACR 1990. (Table 3). Mereka mengemukakan penjelasan terhadap definisi penyakit dan menetapkan terminologi diagnostik standart yang digunakan dalam menggambarkan vaskulitis. Klasifikasi yang dilakukan adalah menggolongkan keradangan pembuluh darah berdasarkan kaliber pembuluh darah yang terlibat. Pembuluh darah besar meliputi aorta dan cabang-cabangpaling besar (misalnya arteri subklavia dan karotid); pembuluh darah sedang meliputi arteri utama yang memberikan suplai darah ke organ-organ dalam (misalnya arteri renal, hepatika, koroner dan mesenterika); dan pembuluh darah kecil meliputi arteriol, kapiler dan venul, termasuk di dalamnya arteri kecil yang memperdarahi parenkim organ-organ yang terlibat (misalnya arteri renal terminal yang berhubungan dengan arteriol aferen pada ginjal). Sebagai tambahan dari kriteria ACR, klasifikasi Chapel Hill ini mengikutkan kadar antibodi sitoplasmik anti netrofil (ANCA) dalam penentuan diagnosis. Contohnya
Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis temporalis (Giant cell arteritis)
Usia 250 tahun Awitan nyeri kepala baru LED 250 mmljam Bukti histologik arteritis nekrosis, dengan inflamasi granulomatosa disertai sel-sel giant yang multinuklear
Arteritis Takayasu
Usia 540 tahun Klaudikasio pada ekstremitas Penurunan pulsasi arteri brakialis Perbedaan tekanan darah sistolik > I 0 mmHg antara kedua lengan Bruit pada arteri subklavia atau aorta Bukti adanya penyempitan atau oklusi pada aorta, cabang primernya atau arteri besar ekstremitas proksimal atas maupun ekstremitas bawah pada arteriografi
Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa
Penurunan berat badan 24 kg Livedo retikularis Nyeri dan nyeri tekan testikular Mialgia Mononeuropati atau polineuropati Tekanan darah diastolik >90 mmHg Peningkatan kadar BUN atau serum kreatinin Adanya hepatitis B antigen dalam serum Arteriografi abnormal Pada biopsi terdapat infiltrasi granulosit atau leukosit campuran pada dinding pembuluh darah
Vaskulitis pembuluh darah kecil Granuloma-tosa Wegener
Hematuria (sediment sel eritrosit atau >5 sel darah merah per lapang pandang kecil) Kelainan pada foto toraks (nodul, kavitas atau infiltrat) Ulkus mulut atau sekret hidung Bukti histologi adanya keradangan granulomatosa
Sindrom ChurgStrauss
Asma Eosinofilia > l o % pada hitung jenis lekosit Mononeuropati (termasuk multipleks), polineuropati lnfiltrat pada paru yang tidak menetap Kelainan sinus paranasal Bukti histologi adanya eosinofilia ekstravaskular pada dinding pembuluh darah
Purpura HenochSchonlein
Usia 520 years Purpura yang dapat diraba Nyeri perut akut Bukti histologi adanya granulosit pada dinding pembuluh darah arteriol atau venul
Vaskulitis hipersensitivitas
Usia 216 tahun Riwayat obat-obatan pada saat awitan penyakit yang mungkin merupakan faktor presipitasi Purpura yang dapat diraba; ruam makulopapular Bukti histologi adanya granulosit sekitar arteriol or venul
Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Chapel Hill 1994
granulomatosa Wegener, sindrom Churg-Strauss dan poliangiitis mikioskopi berhubungan erat dengan ANCA yang positif. Selain itu kriteria ACR tidak memisahkan poliangiitis mikroskopi sebagai suatu kriteria tersendiri melainkan memasukkannya kedalam PAN. Istilah vaskulitis hipersensitif dihilangkan karena bukti adanya hipersensitivitas sering tidak ditemukan pada banyak kasus, mereka lebih memilih istilah angiitis lekositoklastik kutaneus karena penyakit ini tipikal melibatkan kulit dan predominan sel netrofil. Berbeda dengan poliangiitis mikroskopi, angiitis lekositoklastik kutaneus tidak melibatkan ginjal, paru-paru, saraf perifer dan organ dalam lainnya dan tidak berhubungan dengan ANCA.
Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis ternporalis (Giant cell afteritis))
Arteritis Takayasu
Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa Penyakit Kawasaki
Vaskulitis pembuluh darah kecil Granuloma-tosa Wegener *)
Sindrorn Churg-Strauss*)
Poliangiitis rnikroskopi')
Purpura Henoch-Sch6nlein
Vaskulitis hipersensitivitas
*) berhubungan dengan ANCA
Klasifikasi vaskulitis untuk pediatrik berdasarkan EULAR 2006 Dengan berkembangnyajaman, kriteria vaskulitis ini masih dirasakan belum sempuma karena itu Pediatric Rheumatology European Society (PRES) dan European League against Rheumatism (EULAR) berusaha mencari koreksi terhadap kekurangan dalam kriteria klasifikasi vaskulitis khususnya untuk penderita anak-anak. Alasan dibuat suatu klasifikasi baru ini adalah tidak semua vaskulitis dijumpai pada anak, dan adanya perbedaan etiologi, manifestasi klinis, faktor prognosis penderita anak dengan dewasa terutama untuk penyakit granulomatosa Wegener dan poliarteritis nodosa. Pada tahun 2006 panelis kelompok kerja ini menyusunkriteria klasifikasi untuk lima vaskulitis yang bermanifestasi pada anak-anak yaitu: purpura
Arteritis granulornatosa yang rnelibatkan aorta dan cabang utarnanya dengan predileksi cabang-cabang ekstrakranial arteri karotis. Sering rnengenai arteri ternporalis. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan sering dihubungkan dengan polirnialgia reumatika Keradangan granulornatosa aorta dan cabang-cabang utamanya. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 50 tahun.
Keradangan nekrosis pernbuluh darah sedang dan kecil tanpa glornerulonefritis atau vaskulitis pada arteriole, kapiler dan venul. Arteritis yang rnelibatkan arteri besar, sedang dan kecil serta berhubungan dengan sindrom rnukokutaneus- kelenjar getah bening. Arteri koronaria sering terkena, juga aorta dan vena. Umurnnya terjadi pada anak-anak. Keradangan granulornatosa yang rnelibatkan traktus respiratorius, vaskulitis pernbuluh darah kecil dan sedang (seperti kapiler, venul, arteriol dan arteri). Urnurnnya terjadi glomerulonefritis nekrosis. Hipereminofilia dan keradangan granulornatosa yang rnelibatkan traktus respiratorius, dan vaskulitis nekrosis yang rnengenai pembuluh darah kecil dan sedang, serta berhubungan dengan asrna dan eosinofilia. Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atau tanpa deposit irnun, rnengenai pernbuluh darah kecil (seperti kapiler, venul dan arteriol). Arteritis nekrosis yang rnelibatkan arteri kecil dan sedang. Glornerulonefritis nekrosis dan kapilaritis pulrnonal sering terjadi. Vaskulitis dengan deposit irnun lg-A yang dominan, rnengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul dan arteriol). Penyakit ini khas rnelibatkan kulit, saluran cerna dan glomerulus, dan berhubungan dengan artralgia atau artritis. Vaskulitis dengan deposit irnun krioglobulin, rnengenai pernbuluh darah kecil (seperti kapiler, venul atau arteriol) dan berhubungan dengan krioglobulin dalarn serum. Kulit dan glomerulus sering terlibat.
Henoch-Schonlein, penyakit Kawasaki, ~oliarteritis nodosa, granulomatosa Wegener dan arteritis Taka~asu (Tabel 4) PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic - ANCA Klasifikasi kriteria berdasarkan EULAR ini lebih jauh membagi vaskulitis pembuluh darah kecil menjadi keradangan granulomatosus dan bukan granulomatosus. PanelinimenPsulkan~engPnaankata~redominandalam
membagi kelainan tertentu berdasarkan pembuluh darah yang terlibat. Sehingga keterlibatan pembuluh darah sedang bersama pembuluh darah kecil dapat terjadi.
PATOFlSlOLOGl
Pembentukan kompleks imun dan deposit produknya pada pembuluhdarahdapatmenerangkanpatofisiologi
Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis Takayasu
Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa pada anak
Penyakit Kawasaki
Kriteria wajib: Angiografi yang abnormal pada aorta atau cabang-cabang utamanya (secara konvesional, CT atau MRI) ditarnbah 21 dari 4 kriteria berikut: - berkurangnya pulsasi arteri perifer atau klaudikasio ekstremitas; - perbedaan tekanan darah >10 mmHg; bruit pada aorta atau cabang-cabang utamanya; hipertensi (relatif terhadap data normotensi pada anak) Kriteria wajib: Suatu penyakit sistemik yang khas dengan adanya vaskulitis nekrosis arteri kecil dan sedang pada biopsi ATAU angiografi yang abnormal (aneurisma atau oklusi) ditarnbah 22 kriteria berikut: keterlibatan kulit (livedo retikularis; nodul subkutaneus yang nyeri pada penekanan dan lesi vaskulitis lain); mialgia atau nyeri tekan otot; hipertensi sistemik (relatif terhadap data normotensi pada anak); mononeuropati atau polineuropati; analisis urin yang abnormal atau gangguan fungsi ginjal; nyeri dan nyeri tekan testis; tanda dan gejala mengarah pada vaskulitis sistim organ tubuh (gastrointestinal,jantung, pulmonal atau sistim saraf pusat) Kriteria wajib: Demam menetap sekurang-kurangnya 5 hari ditarnbah 24 dari 5 kelainan berikut: Adanya perubahan pada ekstremitas bagian perifer atau area perineal; - eksantem polimorfi; injeksi konjungtiva bilateral; perubahan pada bibir dan rongga mulut (injeksi mukosa mulut dan farings); limfadenopati servikal; Jika terdapat keterlibatan arteri koronaria (terdeteksi lewat ekokardiografi maka demam ditambah <4 kriteria di atas sudah mencukupi
Vaskulitis pembuluh darah kecil Granulomatosus Granuloma-tosa Wegener
Harus terdapat 23 di antara 6 kondisi berikut: - urinalisis yang abnormal (hematuria atau proteinuria); - keradangan granulomatosa pada biopsi; - keradangan sinus nasal; stenosis subglotis, trachea atau endobronkhial; - Radiografi toraks atau CT scan yang abnormal; PR3-ANCA atau C-ANCA positif
-
Non-granulomatosus Purpura Henoch-Schtinlein
Kriteria wajib: Purpura yang dapat diraba Ditambah adanya 21 di antara 4 kondisis berikut: - Nyeri abdomen yang difus; - Bukti histologis adanya predominan deposisi IgA; - artritis atau artralgia; - keterlibatan ginjal (baik hematuria maupun proteinuria) PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic - ANCA
vaskulitis ini. Sistim organ yang umumnya terkena adalah yang kaya akan pembuluh darah kecil seperti kulit menimbulkan suatu rash lekositoklastik dengan purpura yang dapat diraba, pada sendi menyebabkan poliartritis inflamasi dan pada ginjal menyebabkan glomerulonefritis dengan mediasi imun kompleks. Pada saat kompleks imun ini menetap pada dinding pembuluh darah, maka timbul aktivasi jalur efektor (seperti reseptor FcR, kaskade komplemen klasik). Mediator mediator ini kemudaian menyebabkan kelainan pada jaringan dan organ tubuh melalui aktivasi kaskade komplemen dan pengumpulan selsel mielomonosit. Mekanisme patofisiologi granulomatosa Wegener atau poliangiitis mikroskopi berbeda dengan vaskulitis yang lain. Pada kedua vaskulitis tersebut arteriole dan arteri otot yang berukuran sedang dan kecil merupakan target inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan dan organ terminal akibat hipoperfusi. Infark dapat melibatkan saraf perifer, saluran cerna dan fungsi ginjal. Kelompok antibodi tertentu diperkirakan berperan dalam patogenesis vaskulitis ini yaitu antibodi anti netrofil sitoplasma (ANCA) yang bekerja melawan granula sitoplasmik dalam netrofil polimorfonuklear sirkulasi. Antibodi tersebut mengikat dan mengaktivasi netrofil yang berada dalam dinding pembuluh darah, menyebabkan sitoplasmik melakukan degranulasi dan merangsang respon keradangan. Hasil akhir adalah kerusakan yang berlanjut pada dinding pembuluh daran dan jaringan parenkim yang diperdarahinya.
Meskipun gambaran klinis vaskulitis sangat beragam, gambaran umum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori klinis yang merujuk kecurigaan ke arah vaskulitis. (Tabel 5). Gambaran klinis yang pertama adalah gejala-gejala konstitusional (seperti demarn, malaise, berkeringat, lelah, nafsu makan menurun, dan berat badan turun). Gejala-gejala yang tidak spesifik ini, tanpa adanya tanda yang lebih khusus untuk suatu penyakit tertentu, biasanya mengelabui perjalanan panyaht vaskulitis. Petunjuk kedua adalah awitan yang subakut dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Bertolak belakang dengan penderita infeksi akut, penderita vaskulitis tidak dapat
1. Gejala-gejala konstitusional 2. Awitan yang subakut 3. Tanda dan gejala inflarnasi 4. Nyeri 5. Bukti adanva ~envakitrnultisistirn
menentukan dengan pasti jam atau hari di mana sakitnya dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnosis vaskulitis menjadi terlambat. Petunjuk ketiga adalah tandatanda inflamasi berupa demam, artritis, rash, perikarditis, anemia karena penyakit kronis, atau peningkatan LED yang bermakna. Nyeri merupakan petunjuk berikutnya, bisa berasal dari banyak sumber seperti artritis, mialgia, atau infark pada jari, pembuluh saraf, saluran cerna maupun testis. Petunjuk kelima adalah penyakit vaskulitis umurnnya menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistim tubuh. Kulit, sendi, sistim saraf, ginjal, paru-paru atau saluran cerna merupakan organ target yang sering terkena pada vaskulitis. Selanjutnya manifestasi yang timbul dapat dibedakan menurut tipe pembuluh darah yang terkena (Tabel 6). Petunjuk 'manifestasi ini dapat membantu menentukan pembuluh darah yang terlibat.
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis vaskulitis merupakan tantangan bagi para klinisi, dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama dan didasarkan pada gejala umum serta gejala dan tanda yang lebih spesifik bagi pembuluh darah tertentu yang terlibat, dapat dibangun suatu alur diagnosis (Gambar 1). Kriteria diagnosis membantu dalam penggolongan penyakit ini dan biopsi merupakan kunci pada sebagian besar diagnosis penyakit vaskulitis. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang abnormal dapat dijumpai pada penyakit vaskulitis menyertai kelainan klinis yang terjadi. Beberapa kelainan tidaklah spesifik seperti peningkatan laju endap darah (LED) dan anemia dapat
Pernbuluh darah besar
Pernbuluh darah sedang
Pernbuluh darah kecil
Klaudikasio ekstrernitas Tekanan darah asirnetrik Tidak ada pulsasi Bruit Dilatasi aorta
Nodul kutaneus Ulkus pada kulit Livedo retikularis Ganggren pada jari Mononeuritis rnultipleks Mikroaneurisrns
Purpura Lesi vesikulobulous Urtikaria Glornerulonefritis Hemoragik alveolus Granuloma kutaneus nekrosis ekstravaskular Splinter hernoragik Uveitislepiskleritislskleritis
khususnya daerah Indonesia kawasan Timur (Irian, Maluku, Timor Timur, NTT, Kalimantan dan sebagian besar Sulawesi), beberapa daerah Sumatera (Lampung, Riau, Bengkulu dan Sumatera Barat dan Utara) dan sebagian kecil Jawa (Jepara, sekitar Yogya dan Jawa Barat). Walaupun kina merupakan obat pertama yang digunakan untuk mengobati demam (diduga oleh malaria) pada tahun 1820 oleh Pelletier dan Caventou, obat untuk malaria baru dapat disintesa secara kimiawi yaitu primakuin (1924), quinacrine (1930), klorokuin (1934), amodiaquine(l946), primakuin (1950) dan pirimetamin (1951). Dengan meluasnya resistensi terhadap pengobatan kloroquin, sulfadoksinpirimetamin serta onat-obat lainnya, WHO melalui RBM ( Roll Back Malaria) telah mencanangkan perubahan pemakaian obat baru yaitu kombinasi artemisinin (Artemisinin-base Combination Therapy = ACT) untuk mengatasi masalah resistensi pengabatan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas.
DlSTRlBUSl DAN INSIDEN Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100negara di benua AiEka, Asia, Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik; walaupun demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di import karena pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria. P.falciparum dan P. malariae umumnya di jumpai pada semua negara dengan malaria; di Afiika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. falciparum; P. vivax banyak di Arnerika Latin. Di Amerika Selatan,Asia Tanggara, negara Oceania dan India umumnya P falciparum dan P. vivax. P. ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah samapai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombor sampai Nusatenggara Timur serta Timor Timur merupakan. daerah endemis malaria dengan P. falciparum dan P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cendemng meningkat.
anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum dan 15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkanbanyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada P v i v a dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps padamalaria. Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada T1 vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor antigen Duffi Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah DufJj, negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P falciparum diduga suatu glycophorins, sedangkan pada P malariae dan P ovale belurn diketahui. Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk stereo - headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dlkelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigment yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada P falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob yang nantinya penting dalam proses cytoadherence dan resetting. Setelah 36 jam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluarkan 6 - 36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P falciparum, I? v i v a dan P ovale ialah 48 jam dan pada P malariae adalah 72jam. (Gambar 1) Di dalam darah sebagian parasit akan mernbentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk menghisap darah
TRANSMlSl DAN EPlDEMlOLOGl Daur Hidup Parasit Malaria Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk
Gambar I. Daur hidup plasmodiumdanmekanisme invasi eritrosit. (disalin dari: Miller LH . The pathogenic basis of Malaria. Nature 2002,415 : 673 - 679)
-
manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhimya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia. Tingginya side positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi : HIPOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 0 - 10% MESOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 10-50% HIPERENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 50 - 75% HOLOENDEMIK :bilaparmitrate atauspleenrate > 75% Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9 tahun. Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 - 10 tahun), sedangkan pada daerah hipoendemikldaerah tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.
PATOGENESISDAN PATOLOGI Setelah melalui jaringan hati f? falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang di lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang 1010s dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnyaparasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P falciparum. Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke 11. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan
mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoadherensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskuler. Perlekatanterjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak dipermukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1, Pfalciparum erythrocyte membrane protein-1. Molekul adhesif dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin, intercellularadhesion molecule-I (ICAM-I), vascular cell adhesion molecule - 1 (VCAM), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-I) dan glycosaminoglycan chondroitin sulfate A. PfEMP- 1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar. Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi,karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokalldalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren. Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a (tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-I), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-a yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karenajuga dijumpai penderita malaria yang mati
dengan TNF normallrendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagaifi-ee-radicaldalam kaskade ini seperti nitrit-okside sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat. Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat masih controversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.
Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falsiparum karena kematian biasanya disebabkan oleh l? falciparum. Selain perubahan jaringan dalam patologi malaria yang penting ialah keadaan mikro-vaskular dimana parasit malaria berada. Beberapa organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru, hatilimpa, ginjal, usus, dan sumsum tulang. Pada otopsi dijumpai otak yang membengkak dengan perdarahan petekie yang multipel pada jaringan putih (white matter). Perdarahan jarang pada substansi abu-abu. Tidak dijumpai herniasi. Hampir seluruh pembuluh kapiler dan vena penuh dengan parasit. Pada jantung dan paru selain sekuestrasi, jantung relatif normal, bila anemia tampak pucat dan dilatasi. Pada paru di jumpai gambaran edema paru, pembentukan membran hialin, adanya aggregasi leukosit. Pada Ginjal tampak bengkak, tubulus mengalami iskemia, sekuestrasi pada kapiler glomerulus, proliferasi sel mesangial dan endotel. Pada pemeriksaan imunofluorensen dijumpai deposisi imunoglobulin pada membran basal kapiler glomerulus. Pada saluran cerna bagian atas dapat terjadi perdarahan karena erosi, selain sekuestrasi juga dijumpai iskemia yang menyebabkan nyeri perut. Pada sumsum tulang dijumpai dyserythropoises, makrofag mengandung banyak pigmen, dan elythrophagocytosis.
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen sistim imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived ) dan barangkali tidak ada imunitas yang permanen dan sempurna. Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas : 1). Imunitas alarniah non-imunologis berupa kelainankelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin C, hemoglobin E, talasemia arb, defisiensi glukosa-6 pospat dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duf& negatif kebal terhadap infeksi P. vivax, individu dengan human Ieucocyte antigen (HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat; 2). Imunitas didapat non-spesifik (nonadaptive/innate). Sporozoit yang masuk darah segera dihadapi oleh respon imun non-spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan monosit, yang menhasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL- 1 ,IL - 2 , IL- 4 , IL - 6 , IL-8, IL- 10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik); 3). Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sisti~nimun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. Imunitas terhadap stadium siklus hidup parasit (stage spesiJic), dibagi menjadi: Imunitas pada stadium eksoeritrositer : Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respons imun pada stadium ini : a). antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit. b). antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi Contoh : Sirkumsporozoid protein (Circumsporozoid proteinlCSP), Sporozoid Threonin andasparagin rich protein (STARP), Sporozoid and liver stage antigen (SALSA), Plasmodium falcifamm sporozoite surface protein-2 ( SSP-2 I Trombospondin- relatedanonymous protein = TRAP). Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini: Limfosit T sitotoksik CD8+, antigen1 antibodi pada stadium hepatosit: Liver stage antigen I (LSA-l), LSA-2, LSA-3 Imunitas pada stadium aseksual eritrositer berupa: antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin parasit. Contoh :Antigen dan antibodi pada stadium merozoit : Merozoit surface antigen/ protein 1(MSAtMSP-1), MSA-2, MSP-3, Apical membrane Antigen (AMA-I),
Eritrocyte Binding Antigen - 175 (EBA- 175), Rhoptry Associated Protein - 1 (RAP- l), Glutamine Rich Protein (GLURP) Antigen dan antibodi pada stadium aseksual eritrositer : Pf - 155lRing Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Pf- 155Ring Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Serine n Histidine Rich protein-2 Repeat ~ n t i ~ e(SERA), (HRP-2), l? falcifarum Eritrocyte Membrane Protein 1 1 Pf - EMP-1, Pf-EMP-2, Mature Parasite Infective Erytrocyte Surface Antigen (MESA), Pf-EMP-3, Heat Shock Protein-70 (HSP-70) Imunitas pada stadium seksual berupa : antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi,antibodi yang menghambat transformasi zigot menjadi ookinete, antigenlantibodi pada stadium seksual prefertilisasi : Pf- 230 (Transmission blocking antiboal), Pf - 48/45, Pf- 7125, Pf-16, Pf-320, dan antigenlantibodipada stadium seksual post fertilisasi, misal : Pf-25, Pf-28 Perhatian pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik ini diatur danlatau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas seluler dan limfosit B untuk imunitas humoral.
MANIFESTAS1MALARIA TANPA KOMPLlKASl Dikenal4 jenisplasmodium (P) yaitul? vivax, merupakan infeksi yang paling sefing dan menyebabkan malaria tertianal vivax, P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan memyebabkan malaria tropikdfalsiparum, P. malariae, cukup jarang namun dapat menimbulkan sindroma nefiotlk dan menyebabkan malaria quartand malariae dan l? ovale dijumpai pada daerah Afiika dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale. Manifestasi Umum Malaria Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. (Tabel 1) ~ e l u h &prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadangkadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada l? vivax dan ovale, sedang pada l?falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak. Gejala yang klasik yaitu terjadinya " Trias Malaria secara berurutan: periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur; diikuti denganperiodepanas : penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat bBnyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat.Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi l?vivax, pada l?falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada F! falciparum, 36 jam pada l?vivax dun ovale, 60 jam pada l? malariae. Anaemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme terjadinya anaemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3- hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, "
GEJALA KLlNlS Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmissi infeksi malaria. Beratl ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (l? Falciparum sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis dan pengobatan sebelumnya. (Gambar 2)
~l I
Faktor parasit :
- Resistensi obat - Kecepatan
multiplikasi - Cara invasi - Sitoadherens - Roseting, Polimorfisme antogenik Variasi antigenic(PfEMP1) - Toksin malaria
-
-
1-
,
Faktor sosial dan geografi :
Faktor pejamu (Host):
- Imunitas - Sitokin
- Akses mendapat pengobatan
pminflamasi Genetik Umur Kehamilal
1
1
- Faktor faktor
budaya dan ekonomi
- ~tabjlitaspolitik - Intensitas
transmisi nyamuk
I
1 Manifestasi klinik Asimptomatik
1
Demam (spesifik)
Malaria berat
Kematian
Gambar 2. Garnbaran klinis ditentukan oleh faktor parasit, pejamu dan sosial4eografi. (Sumber : Miller LH, Baruch D I, Marsk K, Dournbo Ok. The pathogenesis basis of malaria, Nature 2002; 415:673)
Plasmodium
Masa lnkubasi (hari)
Falsiparum
12 (9-14)
Vivax Ovale Malariae
13 (12-17) + I 2 bulan 17 (16-18) 28 (18-40)
---
TiT:r 24,36, 48
Relaps
Recrudensi
--
+
Gejala gastrointestinal; hemolisis; anemia; ikterus hemoglobinuria; syok; algid malaria; gejala serebral; edema paru; hipoglikemi; gangguan kehamilan; kelainan retina; kematian. Anemia kronik; splenomegali ruptur limpa. sama dengan vivax Rekrudensi sampai 50 tahun; splenomegali menetap;limpajarang ruptur; sindroma nefrotik.
-
++
48 48 72
--
++
--
Manifestasi Klinik
+
(disalin dari Cook 1988)
1
2
3
4
5
6
5
6a
BANG PlROGENlTAS
SIMPTOM KLlNlS PARASmMlA PATEN
PARASITEMIA PATEN Stadlurn jaringan hatl Primer 8 Sekunder/ 1. Mass lnkubsd
2. Mass Prepaten
3. Serangan phmer pamksisnal
3. Ma6a hten ( rnasa bten Minis) 4. Rekrudensi 5. Masa laten
5s. Masa laten parasit 6. Rekurensi Minis (relaps ranjang) 6a. Relaps parasit
Gambar 3. Pejalanan klinis infeksi malaria
antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi. Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah: (Gambar 3) Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksismal yang terdiri dari dinginlmenggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan immunitas penderita. Periode latent : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Recrudescense:berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhimya seranganprimer. Recrudescense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhimya serangan primer. Relapse atau Rechute: ialah bemlangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara serangan.periodikdari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari masa latent (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale. Manifestasi Klinis Malaria Tertianal M.Vivax1 M.Benigna. Inkubasi 12-17 hari, ladang-kadang lebih panjang 12 - 20 hari. Pada hari-hari pertama panas iregular, kadangkadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari. Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari, limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas mulai turun secara krisis. Pada malaria vivaks manifestasi klinik dapat berlangsung secara berat tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett). Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi morbiditas tinggi karena seringnyaterjadi relapse. Pada perideritayang semiimmune perlangsungan malaria v i v a tidak spesifk dan ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat. Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di
-
Irian Jaya dan di daerah lainnya. Relaps sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal di hati pada saat status imun tubuh menurun. Manifestasi Klinis Malaria MalariaelM. Quartana M. malariae banyak dijumpai didaerah A£iika, Amerika latin, sebagian Asia. Penyebarannya tidak seluas Pvivax dan rlfalcipai~um.Masa inkubasi 18 - 40 hari. Manifestasi klinik seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anaemia jarang terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah < 1%. Komplikasijarang terjadi, sindroma nefiotik dilaporkan pada infeksi plasmodium malariae pada an&-anak Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena deposit kompleks immun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan Ig M bersama peningkatan titer antibodinya. Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema, asites, proteinuria yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa uremia dan hipertensi. Keadaan ini prognosisnya jelek, respons terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong, diet dengan kurang garam dan tinggi protein, dan diuretik boleh dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan dengan azatioprin dengan dosis 2-2,s mgkg B.B selama 12 bulan tarnpaknya memberikan hail yang baik; siklofosfamid lebih sering memberikan effek toksik. Recrudescense sering terjadi padaplasmodium malariae, parasit dapat bertahan lama dalam darah perifer, sedangkan bentuk diluar eritrosit (di hati) tidak terjadi pada P malariae. Manifestasi Klinis Malaria Ovale Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria. Masa inkubasi 11-16 hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain, maka I? ovule tidak akan tampak didarah tepi, tetapi plasmodium yang lain yang akan diternukan. Gejala klinis hampir sarna dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan menggigil jarang terjadi dan splenomegalijarang sampai dapat diraba. Manifestasi Klinis Malaria TropikalM. falsiparum Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anaemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9- 14 hari. Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan parasitemia yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakangl tungkai, lesu, perasaan dingin, mual, muntah,
dan diare. Parasit sulit ditemui pada penderita dengan pengobatan supresif. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas 40oC. Gejala lain berupa konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur normal. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea, muntah, diarea menjadi berat dan diikuti kelainan paru (batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan; hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan monositosis.
DIAGNOSISMALARIA Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratip maupun preventip. Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip tidak mengenyampingkandiagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatip maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering membahayakan terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak sebagai card diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :
Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialahjumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
Tetesan darah Tpis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 -sel'darah merah. Bilajumlah parasit > 100.000/uldarah mknandakan infeksi yang berat. Hitung parasit pentiig untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.
Tes Antigen : P-F test Yaitu mendeteksi antigen dari PFalciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksii sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasidul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P Falciparum atau P viva. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes ini tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya Tes Serologi Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirectfluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1: 20 dinyatakan positip. Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay. Pemeriksaan PCR (PolymeraseChain Reaction) Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
DIAGNOSIS BANDING MALARIA Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistim respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksis saluran kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding tergantung manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demarn lagi. Pada malaria serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolik (diabetes, uremi), gangguan serebrovaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.
MALARIA PADA KEHAMILAN Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan I1 dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita hamil dan masa puerperium di daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama kehamilan. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya respon imun pada kehamilan seperti : peningkatan dari hormon steroid dan gonodotropin, a foetoprotein dan penurunan dari lmfosit menyebabkan kemudahan terjadinya infeksi malaria. Ibu hamil dengan infeksi HIV cenderung mendapat infeksi malaria dan sering mendapatkan malaria congenital pada bayinya dan berat bayi lahir rendah. Komplikasi pada kehamilan karena infeksi malaria ialah abortus, penyulit pada partus (anemia, hepatosplenomegali), bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia, gangguan fungsi ginjal, edema paru, hipoglikemia dan malaria kongenital. Oleh karenanya perlu pemberian obat pencegahan terhadap malaria pada wanita hamil di daerah endernik. Pencegahan terhadap malaria pada ibu hamil dengan pemberian klorokuin 250 mg tiap minggu mulai dari kehamilan trimester I11 sampai satu bulan postP.-
PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN MALARIA Yaitu penyakit atau keadaan klinik yang sering dijurnpai
MALARIA
pada daerah endemik malaria yang ada hubungannya dengan infeksi parasit malaria yaitu Sindrom Splenomegali Tropik (SST), Sindroma Nefiotik (NS) dan Burkit Lirnfoma @L).
Sindrom Splenomegali Tropik (SST) SST sering dijumpai dinegara tropik yang penyebabnya antara lain malaria, kala-azar, schistosomiasis, disebutjuga Hyperreactive Malarial Splenomegaly (Big Spleen Disease) SST berbeda dengan splenomegali karena malaria. Splenomegalikarena malaria sering dijumpai di daerah endernik malaria dengan parasitemia intermitendan ditemukan hemozoin (pigmen malaria) pada sistem retikulo-endotelial. Sering pada umur dewasa dengan terbentuknya imunitas, parasitemia men&lang dan limpa mengecil. Pada SST terjadi pada penduduk daerah endemik biasanya anak-anak, spleen tidak mengecil, bahkan membesar, terjadi peningkatan serum IgM and antibodi terhadap malaria. Etiologi diduga merupakanrespon imunologkterhadap malaria dimana terjadi peningkatan dari IgM. Gejala klinik berupa bengkak pada perut karena splenomegali, merasa lemah, anoreksia, berat badan turun dan anemia. Pembesaran limpa mencapai umbilikus sampai fossa iliaka (derajat 4-5 Hackett). Anemia biasanya normokromik-normositik dengan peningkatan retikulosit. Anemia hemolitik dapat terjadi pada kehamilan dengan SST, sedangkan trombositopenia jarang menyebabkan manifestasi perdarahan. Kriteria diagnostik yang dipakai untuk menegakkan SST yaitu : splenomegali (limpa > 10 cm bawah arcus costarum) dan anemia. antibodi terhadap malaria meningkat IgM meningkat > 2 SD dari normal setempat penurunan besarnya limpa, IgM dan antibodi setelah 3 bulan pengobatan kemoprofilaktis limfositosis pada sinusoid hati respons imunitas selluler dan hurnoral normal terhadap antigen. respons limfosit normal terhadap Phytohaemagglutinin (PHA) . hipersplenism terjadi hanya pada beberapa kasus dan berhubungan dengan besarnya splenomegali limfositosis perifer dan pada sumsum tulang. volume plasma meningkat. Pengobatan : pemberian kemoprofilakstis dalam jangka waktu panjang akan menurunkan besarnya limpa dan immunogolbulin. splenektomi tidak dianjurkan karena mortalitas yang meningkat karena memudahkan terjadinya infeksi. tanpa pengobatan prognosis jelek, 50% meninggal dalamfollow up.
2821 Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik berupa albuminuria, hipoalbumin, edema dan hiperkolesterolemia, dapat terjadi pada penderita anakanak dengan infeksi plasmodium malariae. Gambaran patologi dapat bervariasi berupa penebalan setempat dari kapiler glomerulus, sklerosis sebagian, dan peningkatan sel-sel mesangial. Gambaran klinik penderita umumnya < 15 tahun, edema, proteinuria > 3 g/24 jam, serum albumin < 3 g/dl, dan dijumpai asites. Hipertensi dan uremi dijumpai pada penderita SN dewasa dan jarang pada anak-anak. Komplikasi berupa infeksi, trombosis yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan secara konservatif dengan pemberian diuretika, diet, mengkontrol hipertensi dan mencegah infeksi. Pemberian steroid hanya bermanfaat pada lesi minimal dan biasanya mudah relaps. Apabila steroid tidak berhasil dapat dicoba dengan siklofosfamid, azathioprin. Pemberian hanya obat antimalaria pada SN oleh karena malaria tidak menunjukkan manfaat, akan tetapi penulis lain menyatakan perbaikan yang dramatik. Akan tetapi Giles dalam penelitian di Nigeria mengobati SN dengan anti malaria selarna 6 bulan temyata tidak membawa hasil. Burkitt's Limfoma (BL) Pada daerah hiper atau holo-endemik malaria sering dijumpai Burkttt's limfoma yaitu merupakan tumor limfosit B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguan pada sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh P falciparum sehingga sel limfosit T kurang menghambat pembiakan virus Epstein Ban: BL sering dijumpai pada usia 2 - 16 tahun dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun, dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai pada rahang atau massa pada perut, ovarium, ginjal dan kelenjar limfe mesenterial. Tumor dapat berkembang dengan cepat, ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada gastro intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi. Pengobatan dengan sitostatika memberikan survival yang panjang kira-kira 50%.
Malaria Oleh Karena Trasfusi Darah Malaria karena transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria cukup sering terutama pada daerah yang menggunakan donor komersial. Dilaporkan 3500 kasus malaria oleh karena transfusi darah dalam 65 tahun terakhir. Parasit malaria tetap hidup dalam darah donor kira-kira satu minggu bila dipakai anti-coagulant yang mengandung dekstrose dapat sampai 10 hari. Bila komponen darah dilakukan ciyopresewed, parasit dapat hidup sampai 2 tahun. Inkubasi tergantung banyak faktor, asal darah, berapa banyak darah dipakai, apa darah yang disimpan di Bank Darah, dan sensitivitas dari penerima darah. Umumnya inkubasi berkisar 16 - 23 hari (bervariasi P
falciparum 8 - 29 hari, l?vivax 8 - 30 hari). Bila seseorang pernah mendapat transhsi darah, dan setelah 3 bulan terjadi demam yang tak jelas penyebabnya, harus dibuktikan terhadap infeksi malaria dengan pemeriksaan darah tepi berkali-kali tiap 6-8 jam.
Pencegahan terhadap malaria akibat transfusi : deteksi darah donor dengan pemeriksaan tetes tebal : biasanya sulit karena parasit malaria biasanya hanya sedikit. pemeriksaan serologis donor dengan metode indirect fluorescent antibody (IFA), bila negatif boleh sebagai donor, bila hasill :256 tidak boleh sebagai donor (infeksi baru). pengobatan pencegahan untuk semua donor darah rutin. pengobatan terhadap donor tiba-tiba, 48 jam sebelum Parah diambil. pengobatan terhadap recipient (penerima darah)
RESlSTENSl TERHADAP OBAT MALARIA Kira-kira 40 tahun lalu telah terdeteksi beberapa strain PFalciparum yang resisten terhadap proguanil dan pirimetamin. Ini menandakan kemampuan PFalciparum tetap hidup dengan pemberian kemoterapi anti malaria. Beberapa laporan tentang resisten terhadap obat malaria, yaitu terhadap 4 Aminokuinolin (Klorokuin dan Amodiakuin) tahun 1957 di Thailand dan tahuii 1959 diperbatasan Kolumbia dan Venezuela. Tahun 1978 dilaporkan beberapa daerah Afrika yang resisten terhadap klorokuin, yaitu Kenya, pulau Komoro, Madagaskar, Tanzania,Uganda dan Zambia, dan tahun 1983 di daerah Pasifik Barat, India dan Cina Selatan.Tahun 1993beberapa daerah PFalciparum yang masih sensitif terhadap klorokuin antara lain Karabia, Terusan Panama, Oman dan daerah perbatasan Yaman dengan Arab Saudi. Malaria Falsiparum yang resisten terhadap klorokuin in vitro atau in vivo pernah dilaporkan di 27 propinsi Indonesia dengan bervariasi dari derajat RI - RIII. Resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamindi 11 propinsi (Irianjaya, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sulawsi Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara), dengan derajat RI-RII, resisten terhadap kina di 5 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) sedangkan terhadap meflokuin di 3 propinsi (Jawa Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) dengan derajat RI - RIII dan Halofantrin di Kalimantan Timur, walaupun obat-obatan tersebut belum dipakai di Indonesia. Kasus resistensi yang ditemukan di DIU Jakartadan Bali adalah merupakan kasus impor. Dalam 5 tahun terakhir perkembangan kasus resistensi sudah demikian meluas, tercatat sudah lebih dari 10 propinsi yang mengalami resistensi lebih dari 25% terhadap obat klorokuin maupun SP.
Respons
Keterangan
Kegagalan Pengobatan Dini (ETF= Early Treatment Failure)
Bila penderita berkembang dengan salah satu keadaan : - Ada tanda bahayalmalaria berat pada H1,H2,H3 dan parasitemia. - Parasitemia pada H2 > HO. - Parasitemia pada H3 >= 25 % HO. - Parasitemia pada H3 dengan Temp. > 37,5 C Kegagalan Bila penderita berkembang dengan salah Pengobatan satu keadaan sbb pada H4-H28 yang Kasep sebelumnya tidak ada persaratan ETF (LTF=Late sbb: Treatment Failure) - Ada tanda bahayal malaria berat setelah H3 dan parasitemia (jenis parasit =HO). - Parasitemia pada H4 - H 28 disertai temperature > 37,5C disebut Late clinical Failure = LCF ) - Parasitemia pada H71 HI41 H211 H28 (jenis parasit=HO), tanpa demam disebut Late ParasitologicalFailure ( LPF) Respon Klinis Bila pe;lderita sebelumnya tidak Memadal berkembang dengan salah satu (ACR=Appropriate persaratan ETF dan LTF, dan tidak ada Clinical Respon) parasitemia selama diikuti.
DETEKSI RESlSTENSl TERHADAP OBAT MALARIA Tes In Vivo Secara praktis, dugaan resistensi terhadap obat malaria dapat dilihat pada kasus akut malaria falsiparum yang tidak berespon dengan pengobatan standar atau terjadi rekrudesensi dari gejala dan parasit dalam darah yang terdeteksi setelah hilang sementara waktu oleh karena pengobatan. Kriteria untuk mengetahui parasit malaria resisten terhadap 4 Aminokuinolin dipergunakan sejak tahun 1974 sebagai prosedur baku untuk menentukan respons parasit malaria terhadap klorokuin dan telah direkomendasi oleh WHO. Tes in vivo meliputi tes standard yaitu dilakukan pemeriksaan darah tets tebal malaria setiap hari selama 7 hari yang biasanya dilakukan di RS atau PUSKESMAS rawat nginap; atau tes diperpanjangllengkap (extended test) yang basanya dilakukan di lapangantdi lokasi yaitu tes selama 28 hari, pemeriksaan malaria ditambah dengan hari 14,21 sarnpai 28 hari setelah pengobatan. Untuk mengetahui resistensi lebih awal dipergunakan tes 3 hari (SimpliJied 3 days resistency test), yaitu dilakukan pemeriksaan malaria tiap hari sampai 48 jam setelah pengobatan (hari ke-3). Interpretasi hasil tes : resisten derajat I11 : bila parasit tidak menurun atau malahan naik pada standard tes 7 hari; atau hitung
parasilt pqd8 48 jam pengobatan tidak turun di bawah 75 % m Q n l& a q hari I (sebelum terapi) pada tes 3 hari. 9 resisten' hrajat I1 : bila parasit menurun tetapi tidak pernah hilang selama 7 hari atau hilang sementara kemudian mupcul kembali pada hari ke-7 pada tes standar. * resistensi derajat I dini : parasit menjadi negatip selama 7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke-8 sampai hari ke-14. * resistensi derajat I kasep :parasit menjadi negatif selama 7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke- 15 sampai hqi ke- 28. Tes resistensi di atas hanya ditentukan berdasarkan pemeriksaan parasit, oleh karena WHO pada tahun 1996 yang disempurnakan pada tahun 2001 menetapkan penentuan respons terhadap pengobatan yang memasukkan kriteria klinis di samping pemeriksaan parasitologis. ,
,
Tes In Wtro Dengan menggunakan:tes standar kit yang didistribusi oleh WHO di Manila. Medium yang sama digunakan pada TRAGER'S kultur. Tes terdiri dari :
Nama Obat Artesunat
KemasanfrableV C ~ D Oral : 50 m i l 200mg lnjeksl imliv : 60 mglamp
Artemeter
Suppositoria : 1001 200 mglsup Oral : 40mgI 50mg lnjeksi 80 mglamp
Artemisinin
Oral 250mg Suppositoria: 100120013001 4001 500mglsupp
1
Dihidroarte mlslnin
Artheether
Asam artellnlk
Oral : 20/60/80 mg Suppositoria : 80 mgl sup lnjeksi i.m : 150mglamp
Dosis Hari 1 : 2 mglkg BE, 2 x sehari, hari II-V : dosis tunggal 2,4 mglkg hari 1; 1,2 mglkgl hari minimal 3 hari Ibisa minum oral 1600 mgl 3 hari atau 5 mglkgl12 jam 4mglkg dibagi 2 dosis hari I; 2rngIkgl hari untuk 6 hari 3,2 mglkg BE pada hari I; 1,6 mglkg selama 3 haril bisa minum oral 20mgIkg dibagi 2 dosis hrl; l0mgIkg untuk 6 hari 2800mgl3 harl; yaitu 600 mg dan 400mg hari I dan 2 x 400 mg , 2 hari berikutnya 2mglkg BBIdosis 2 x seharl hari I dan Ix sehari 4 hari selanjutnya
p arteeher (artemotil) : 4,8 dan 1,6 rnglkg 6 jam kemudian dan hari 1; 1,6 mglkg 4 harl selanjutnya
piringan plastik ukuran 8 X 12 cm,mengandung 12 obat yang diencerkan (klorokuin, quinine atau meflokuin sesuai kebutuhan) dan kontrol. darah heparinEDTAditeteskanpadamedi~rn~kemudian diinkubasi pada suhu 37,50 C selama 24 - 26 jam setelah itu supernatan diambil dan dibuat preparat tebal. setelah pengecatan, hasil tes didapat dengan menghitung proporsi schizont dewasa dibandingkan dengan kontrol.
PENANGANAN PENDERITATANPAKOMPLlKASl (MALARIA BIASA)
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya plasmodium aseksual didalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukanparasit dalam darahnya perlu diobati. Prinsip pengobatan malaria : I). Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/ dengan komplikasi. "Penderita dengan komplikasil malaria berat memakai obat parenteral (lihat bab. Penanganan Malaria berat), malaria biasa diobati dengan per oral"; 2). Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy); 3). Pemberian pengobatan dengan ACT hams berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang positif dan dilakukan monitoring efeklrespon pengobatan; 4). Pengobatan malaria klinisl tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT PENGOBATAN PENDERITA MALARIA
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, I?falciparum, I?vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilap~rkansaat ini. Golongan Artemisinin Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Karena
-
beberapa. penelitian bahwa pemakdan obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, makii direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain,. Dengan demikianjuga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan a& yang oral, parenterallinjeksi dan suppositoria.
PengobatanACT (Artemisinin base Combination Therapy) Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap fixed dose) atau kombinasi tidak tetap (non-Jxed dose). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi artemeter (20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah dihidroartemisinin(40mg) +piperakuin (320mg) yaitu "Artekin". Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam, masingmasing 2 tablet. Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya : Artesunat + meflokuin Artesunat + amodiakin Artesunat + klorokuin Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin Artesunat + pironaridin Artesunat + chlorproguanil-dapson (CDAlLapdap plus) Dihidroartemisinin-t Piperakuin + Trimethoprim (Artecom) Artecom + primakuin (CV8) Dihidroartemisinin+ naptokuin Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate + amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis untuk orang dewasa yaitu artesunate (5Omgltablet)200mg pada hari 1-111(4 tablet). Untuk Arnodiakuin (200mgltablet) yaitu 3 tablet hari I dan I1 dan 1112 tablet hari 111. Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister1 hari (artesunate + amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 25 -30 mgkg BB selama 3 hari. Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik. Catatan :Untuk pemakaian obat golongan artemisinin
HARUS disertaildibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinisltidak ada hasil pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.
Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Dibeberapa daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin- pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan. Obat non - ACT ialah Klorokuin DifosfatlSulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basalkg BB untuk 3 hari, terbagi 10 mgkg BB hari I dan hari 11, 5 mg /kg BB pada hari 111. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & I1 dan 2 tablet hari 111. Dipakai untuk P Falciparum maupun P Vivax. Sulfadoksin-Pirimetamin(SP),(500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mglkg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk Pvivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP
Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10mgl kg 'BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P Vivax.Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai. Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkaplpengobatan radical terhadap P Falciparum maupun P Vivax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk I? Eva dosisnya 15mgl hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).
Penggunaan Obat Kombinasi Non-act Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut : a). Kombinasi Klorokuin + SulfadoksinPirimetamin; b). Kombinasi SP + Kina; c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklid Tetrasiklin; d). Kombinasi SP + DoksisiklidTetrasiklin; e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin; f). Kina + Klindamisin Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus
dilakukan monitorillg respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.
PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan ternyata tidak memberikail perlindungan secara penuh. Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk mepghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara : 1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida : pemethrin atau deltamethrin). 2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents) : gosok, spray, asap, elektrik; 3). Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kauslstocking).Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00 sampaijam 06.00. Nyamukjarang pada ketinggian di atas 2000 m; 4). Memproteksi tempat tinggavkamar tidw dari nyamuk dengan kawat anti-ny amuk. Bila akan di gunakan kemoprofilaktis perlu di ketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga dipakai pada wanita hamil di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100mglhari atau mefloquin 250 mglminggu atau klorokuin 2 tablet1 minggu ditambah proguanil 200 mgl hqri. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mgkg BBI hari; Etaquin, Atovaquonel Proguanil (Malarone) dan Azitromycin. Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembanganl. Hal yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah Pfalciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap l? falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu
vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicoba ialah SPF-66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujauan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumspol-ozoit.Uji coba pada manusia tampahnya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stuge (sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan inemberikan respon terbaik dan harga yang h a n g mahal.
Krogstad DJ :Plasmodium spesies ( Malaria). In. G.L. Mandell, J.E. Bennett, R. Dolin (eds). Mandell, Douglas and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases..Sth edition. U.S.A: Churchill Livingstone; 2000.p. 28 17 - 283 1. Olliaro PL, Taylor WR : Developing artemisinin based drug combinations for the treatment of drug resistant falciparum malaria: A review. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :40-44 RBM : ACT : the way foeward for treating malaria. Http:ll www.rbm.who.int/cmc~upload/0100010 1513641 RBM Infosheet-9. htm Taylor TE, Strickland GT: Malaria. In. Strickland GT. Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th edition., USA: WB Saunders; 2000.p. 614 - 43 White NJ, Breman JG: Malaria and Babesiosis: Diseases caused by Red Blood Cell Parasites. In Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, et al (eds), Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1, 16 th ed. New York: Mcgraw -Hill; 2005, p : 1218 1233. White NJ. : Malaria. In : Cook GC (Ed). Manson's Tropical Disease, 20th ed.,London: W.B. Saunders; 1996 : 1087 - 64 WHO : A global strategy for malaria control, Geneve, World Health Organization : Geneva, 1993 WHO : The use of Artemisinin & Its derivates as AntiMalarial Drugs. Report of ajoint CTD/DMP/TDR, Geneve June, 1998 . WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation, April 2001 Woodrow CJ, Haynes RK and Krishna S : Review. Artemisinins. Postgraduate Medical Journal 2005; 81:71-8.
Iskandar Zulkarnain, Budi Setiawan, Paul N. Harijanto
PENDAHULUAN Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup intra sel, yang dapat bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia Oceania, Amerika Latin, Kepulauan Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard penduduk daerah ini berada selalu dalam risiko terkena malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1 juta di daerah Sahara Afrika. Sebagian besar yang meninggal adalah bayi dan anak-anak. P.malariae dan Pfalcifarum terbanyak di negara ini. Di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia dan lain-lain, malaria telah dapat diberantas. Hanya Plasmodium falcifarum yang dapat menyebabkan malaria berat. Selain J?falcifarum malaria berat dapat juga disebabkan J? Vivax dan P. knowlesi. Malaria berat terutama malaria serebral yang merupakan komplikasi terberat yang sering menyebabkan kematian.
KOMPLIKASI MALARIA BERAT Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena
J? falciparum dan sering di sebut pernicious manyestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5- 10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di RS dan 20% dari padanya merupakan kasus yang fatal. Data di Minahasa insiden malaria berat ialah 6% dari kasus yang dirawat di RS dengan mortalitas 10-20%. Penderita malaria. dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO
didefinisikan sebagai infeksi J? falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut: 1. Malaria Serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang; derajat penurunan kesadaran hams dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale); 2. Acidemialacidosis:pH darah < 7.25 atau plasma bicarbonate < 15mrnoV1, kadar laktat vena o 5 mmoY1, klinis pernafasan dalamlrespiratory distress; 3. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%)pada keadaan parasit > 10.000/ul; bila anemianya hipokromik danlatau miktositik hams dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemial hemoglobinopati lainnya; 4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 my24 jam pada orang dewasa atau 12 mVkg BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mgldl; 5). Edema paru non-kardiogeniWARDS (Adult Respitarory Distress Syndrome); 5. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg/dl; 7). Gagal sirkulasi atau Syok :tekanan sistolik < 70 mmHg (anak 1-5 tahun <50 mmHg); disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 100C; 8). Perdamhan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna, danl atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler; 9). Kejang berulang lebih dari 2 kali.124 jam; 10). Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria 1 kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD); 11). Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak. Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat ialah : 1). gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) di Indonesia sering dalam keadaan delirium;2). kelemahan otot (tak bisa duduk/ berjalan) tanpa kelainan neurologik;
3). hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daearah tak stabil malaria; 4). ikterik (bilirubin > 3 mgldl) bila disertai gaga1 oragan lain; 5). hiperpireksia (temperatur rektal > 400 C) pada orang dewasalanak. Pada kriteria WHO 2006 telah dimasukkan ke dalam kriteria malaria berat ialah malaria dengan klinis klinis jaundiceliktorik dan juga malaria dengan hiperlaktemia.
Penelitian patogenesis malaria berat terutama malaria slrebral berkembang pesat akhir-akhir ini, meskipun demikian penyebab yang pasti masih belum diketahui dengan jelas. Perhatian utama dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit stadium matang kedalam mikrovaskuler organ-organ vital. Faktor lain seperti induksi sitokin TNF-a dan sitokinsitokin lainnya oleh toksin parasit malaria dan produksi nitrik oksid (NO) juga diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesa malaria berat. (Gambar 1) .-~ m K s l
u T m 0-
-
.
e'?tR$+Y1 . -
~~Too'~(aIs FALBIFARUM
Garnbar 1. lnteraksi sel-sel utama dalam patogenesis malaria. (Sumber: Elsevier. Infectious diseases. 2nd edition. www.idreference.com. 2004)
Seperti pada penyakit-penyakit infeksi lainnya faktorfaktor yang berperan dalam terjadinya malaria berat antara lain : a). Faktor Parasit antara lain meliputi intensitas transmisi, dan virulensi parasit. Densitas parasit dengan semakin tingginya derajat parasitemia berhubungan dengan semakin tingginya mortalitas, dernikian pula halnya dengan virulensi parasit; b). Faktor host meliputi endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi. Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat terutama terdapat pada anak kecil, sedangkan di daerah endemisitasrendah, malaria berat terjadi tanpa memandang usia.
Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopheles menggigit manusia selanjutnya akan masuk kedalam selsel hati (hepatosit) dan kemudian terjadi skizogoni ekstra eritrositer. Skizon hati yang matang selanjutnya akan pecah (ruptur) dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit (EP) mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpot membran sel, penurunan deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob, ekspresi varian neoantigen dipermukaan sel, sitoaderen, rosseting dan sekuestrasi. Skizon yang matang akan pecah, melepaskan toksin malaria yang akan menstimulasi sistim RES dengan dilepaskamya sitokin proinflamasi seperti TNF alfa dan sitokin lainnya dan mengubah aliran darah lokal dan endoteliumvaskular, mengubah biokimia sistemik, menyebabkan anemia, hipoksia jaringan dan organ.
GEJALA KLlNlS Manifestasi malaria berat bervariasi, dari kelainan kesadaran sampai gangguan organ-organ tertentu dan gangguan metabolisme. Manifestasi ini dapat berbedabeda menurut katagori umur pada daerah tertentu berdasarkan endemisitas setempat. Pada daerah hipoendemik malaria serebral dapat terjadi dari usia anak sampai dewasa. Faktor predisposisi terjadinyamalaria berat : 1).An&anak usia balita; 2). Wanita hamil; 3). Penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, misalnya penderita penyakit keganasan, HIV, penderita dalam pengobatan kortiko streroid; 4). Penduduk dari daerah endemis malaria yang telah lama meninggalkan daerah tersebut dan kembali ke daerah asalnya; 5). Orang yang belum pernah Itinggal di daerah malaria. Gejala-gejalaklinis meliputi :
Malaria Serebral Terjadi kira-kira 2% pada penderita non-imun, walaupun demikian masih sering dijumpai pula didaerah endemik seperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Secara sporadikjuga ditemui pada beberapa kota besar di Indonesia umumnya sebagai kasus import. Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan memberikan mortalitas '20-50% dengan pengobatan . Penelitian di Indonesia mortalitas berkisar 21,5%- 30,5%. Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tak bisa dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) ialah di bawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang lebih ringan seperti apati, somnolen, de-
lirium dan perubahan tingkah laku (penderita tidak mau bicara). Dalam praktek keadaan ini harus ditangani sebagai malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan. P e n m a n kesadaran menetap untuk waktu lebih dari 30 menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi membantu meyakinkan keadaan malaria serebral. Kejang, kaku kuduk dan herniparese dapat terjadi walaupun cukupjarang. Pada pemeriksaan neurologikreaksi mata divergen, pupil ukuran normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjadi perdarahan. Papiledemajarang, refleks kornea normal pada orang dewasa, sedangkan pada anal refleks dapat hilang. Refleks abdomen dan kremaster normal, sedang Babinsky abnormal pada 50% penderita. Pada keadaan berat penderita dapat mengalami dekortikasi (lengan flexi dan tun* extensi), decerebrasi (lengan dan tungkai extensi), opistotonus, deviasi mata ke atas dan lateral. Keadaan ini sering disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada orang dewasa dapat 2-3 hari, sedang pada anak satu hari. Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan sekuestrasi parasit. Akan tetapi penelitian Warrell DA menyatakan bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vasculer resistence, ataupun cerebral metabolic rate for oxygen pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan serebro-spinal (CSS) meningkat pada malaria serebral yaitu > 2.2 rnrnoV 1(19,6 mg/dl) dan dapat dijadikan indikatorprognosis; yaitu bila kadar laktat > 6 mmoVl mempunyai prognosa yang fatal. Pada pengukuran tekanan intrakranial meningkat pada anak-anak (80%), sedangkan pada penderita dewasa biasanya normal. Pada pemeriksaan CT scan biasanya normal, adanya edema serebri hanya dijumpai pada kasus-kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan h g s i organ lain seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila terjadi lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian > 75%. Gagal Ginjal Akut (GGA) Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Kelainan h g s i ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (> 50%) dan hanya 5-10% disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya anoksia karena p e n m a n aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler. Sebagai akibatnya terjadi p e n m a n filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi fase oliguria ataupun poliuria. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopk, berat jenis win, natrium urin, serum natrium, kalium, ureum, kreatinin, analisa gas darah serta produksi win. Apabila berat jenis (B.9urin < 1.010 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedangkan urin yang pekat B.J. > 1,015,
rasio urea urin: darah > 4:1, natrium urin < 20 mmoM menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadmya GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuri. Penanganan penderita dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa memberikan mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan untuk menurunkan mortalitas. Seperti pada hiperbilirubinemia, anuria dapat terus berlang negatif Ditandai dengan tanda-tanda penurunan kesadaran berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering kali disertai kejang. Gejala lainnya berupa gejala-gejala upper motorneuron, tidak didapatkan gejala-gejala neurologi yang fokal, kelumpuhan saraf kranial, kaku kuduk, deserebrasi, deviasikonjuge, dan kadang-kadang ditemukan perdarahan retina. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS (Glasgow Coma Score). P e n m a n kesadaran ini selain karena kelainan neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis. Kelainan Hati (Malaria Biliosa) Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum. Pada penelitian di Minahasa dari 836 penderita malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9% dan peningkatan serum transarninase 5,7%. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%; ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip 78,6%, peningkatan SGOTrata-rata 121rnUln-11dan SGPT 80,8 mu/ ml dengan ratio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang dan jarang melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan hati. Penelitian di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah 36,4 mgldl, bilirubin normal (< 1,2 mgldl) dijumpai 28 penderita (25%) mortalitasnya 1 1%, bilirubin 1,2 mg% - 2 mgldl dijumpai pada 17 penderita (16%) mortalitasnya 17%, bilirubin > 2 mgldl - 3mgldl pada 13penderita (12%) dengan mortalitas 29% serta bilirubin > 3 mgldl dijumpai pada 5 1 penderita (46%) dan mortalitasnya 33%. Serum SGOT bervariasi dari 6 -243 d l sedangkan SGPT bervariasi dari 4 - 154 d l . Alkali fosfatase bervariasi dari 5 534 u/l dan gamma-GT bervariasi 4 - 603 d l . White (1996) memakai batas bilirubin >2,5 mgldl, SGOTI SGPT > 3 x normal menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria dengan ikterus termasuk dalam kriteria malaria berat.
-
Hipoglikemia Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan malaria berat. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan metabolik dari parasit telah menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaran. Pada penderita dengan malaria cerebral di Thailand dilaporkan adanya hipoglikemi sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden hipoglikemia berkisar 17,4%-21,8%. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina (dapat terjadi 3jam setelah infus kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang meningkat. Hipoglikemi &pat pula terjadi pada primigravida dengan malaria tanpa komplikasi. Hipoglikemia kadangkadang sulit diobati dengan cara konvensionil, disebabkan hipoglikemia yang persisten karena hiperinsulinemiaakibat kina. Mungkin dengan pemberian diazoksid dimana terjadi hambatan sekresi insulin merupakan cara pengobatan yang dapat dipertimbangkan. Blackwater Fever (Malaria Haemoglobinuria) Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristikserangan akut, menggigil, demam, hemolisis intravaskular, hemoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal. Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi l?falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis karena kina ataupun antibodi terhadap kina belurn pemah dibuktikan. Malaria hemoglobinuria dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan ensim G-6-PD dan biasanya parasit falsiparum positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-PD yang biasanya disebabkan karena pemberian primakuin. Malaria Algid Yaitu terjadinya syok vaskular, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik kurang dari 70 mrnHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya pefisi jaringan. Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur rektal tinggi, kulit tidak elastik, pucat. Pemafasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun dan sering tekanan sistolii tak terukur dan nadi yang normal. Keadaan ini sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCl 0,9% dan obat inotropik.
.
Kecenderungan Perdarahan Perdarahan spontan berupa perdarahan p s i , epistaksis, perdarahan di bawah kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria tropika. Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau gangguan koagulasi intravaskular ataupun gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati. Trombositopenia disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi
intravaskular jarang terjadi kecuali pada stadium akhir dari suatu infeksi l?falciparum yang berat. Edema Paru Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru merupakan komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering menyebabkan kematian. Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau adult respiratory distress syndrome. Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema paru ialah kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemi, hipotensi, asidosis dan uremi . Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal, bila fiekwensi pernafasan> 35 kalil menit prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai adanya kombinasi edema yang difus, kongestif paru, perdarahan, dan pembentukan membran hialin. Oleh karenanya istilah edema paru mungkin kurang tepat, bahkan sering disebut sebagai insuffisiensi paru akut atau adult respiratory distress syndrome. Pada pemeriksaan radiologik dijumpai peningkatan gambaran bronkovaskular tanpa pembesaran jantung . Manifestasi Gastro-intestinal Manifestasi gastro-intestinal sering dijumpai pada malaria, gejala-gejalanya ialah : tak enak diperut, flatulensi, mud, muntah, diare dan konstipasi. Kadang-kadang gejala menjadi berat berupa sindroma billious remittent fever yaitu gejala gastro-intestinal dengan hepatomegali, ikterik (hiperbilirubinemia dan peningkatan SGOTISGPT) dan gagal ginjal, malaria disenteri menyerupai disenteribasiler, dan malaria kolera yang jarang pada l? falciparum berupa diare cair yang banyak, muntah, kramp otot dan dehidrasi Hiponatremia Hiponatremia sering dijumpai pada penderita malaria falsiparum dan biasanya bersamaan dengan penurunan osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia dapat disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma abnormalitas hormon anti-diuretik (SAHAD), akan tetapi pengukuran hormon diuretik yang pemah dilakukan hanya dijumpai peningkatan pada 1 diantara 17 penderita. Gangguan Metabolik Lainnya Asidosis metabolik ditandai dengan hiperventilasi (pemafasan Kussmaul), peningkatan asam laktat, pH turun dan peningkatan bikarbonat. Asidosis biasanya disertai edema paru, hiperparasitemia, syok, gagal ginjal dan hipoglikemia. Gangguan metabolik lainnya berupa : Hipokalsemia dan hipophosphatemia Hipermagnesemia Hiperkalemia (pada gagal ginjal) Hipoalbuminemia Hiperfosfolipedemia
-
Hipertriglisererniadan hipokolesterolemia T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid syndrome)
PENANGANAN PENDERITA MALARIA BERAT Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan dalam melakukan diagnosa seawal mungkin. Sebaiknyapenderita yang diduga menderita malaria berat dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat. Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan penanganan dan pengobatan yang perlu dilakukan adalah: Tindakan umurnl suportif Pengobatan simptomatik Pemberian obat anti malaria Pengobatan komplikasi
Tindakan umumlsuportif : Apabila fasilitas tidaklkurang memungkinkan untuk merawat penderita malaria berat maka persiapkan penderita dirujuk ke rumah sakitlfasilitaspelayanan yang lebih tinggi, yang memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan tersebut antara lain : 1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi. 2. Hindarkan trauma : dekubitus,jatuh dari tempat tidur 3. Hati-hati komplikasidari tindakan kateterisasi, i n h s yang dapat memberikan infeksi nosokomial dan kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru 4. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap 112 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan, ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot. 5. Baringkanl posisi tidur sesuai dengan kebutuhan 6. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi, lakukan posisi Tredenlenburg's; perhatikan wama dan temperatur kulit 7. Cegah hiperpireksi: 1). tidak pemah memakai botol panasl selimut listrik, 2). kompres airlair eslalkohol, 3). kipas dengan kipas anginkertas 4). baju yang tipisl terbuka, 5). cairan cukup 8. Pemberian cairan : Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan ti&bulnya tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang, penderita juga sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi. Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, dengan cara : 1). Maintenence
cairan diperhitungkan berdasar BB, misal untuk BB 50 kg dibutuhkan cairan 1500cc. ( 30 mVkg BB). Derajat dehidrasinya:dehidrasi ringan ditambah 10 %, dehidrasi sedang ditambah 20% dan dehidrasi berat ditambah 30% dari kebutuhan maintenence, 2). Setiap kenaikan suhu l o ditambah 10% kebutuhan maintenence, 3). Monitoring pemberian cairan yang akurat dilakukan dengan pemasangan CVP line, 4). Cara diatas tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas/RS Kabupaten. Sering kali pemberian calran Jenyan perkiraan , misalnya 1500 - 2000 ccl 24 jam dapat sebagai pegangan. Mashaal membatasi cairan 1500 cc I 24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan yang sering dipakai ialah 5% Dekstros untuk menghindari hipoglikemi khususnya pada pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium)dan natrium rendah ( <120 meqIL), perlu dipertimbangan pemberian cairan NaC1. 9. Diet : porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam. 10. Perhatikan kebersihan mulut 11. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi. 12. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan . 13. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan kainlgaas lembab. 14. Perawatan pasien tidak sadarl koma meliputi : Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway, B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug (dejibrilasi) Airway (jalan nafas ). l).Jaga jalan nafas agar selalu bersihltanpa hambatan, dengan cara : Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll, 2). Pasien posisi lateral, 33. Tempat tidur datarltanpa bantal, 4). Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pemafasan, dengan jalan : posisi lateral dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung. Breathing (pemafasan) Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan penunjang pemafasan, misal : 02, dan bila perlu pemasangan ventilator Sirkulasi (kardiovaskular) o Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila memungkinkan), turgor kulit, dll. o Jaga keseimbangan cairan : lakukan pemantauan cairan dengan mencatat asupan dan keluaran cairan secara akurat. o Pemasangan kateter urethra dengan drainage1 bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapatjuga diketahui dari volume win. o Normal volume urin : 1 mlKg BBljam. Bila volume urin < 30 mlljam, mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehirasi). Bila terbukti ada dehidrasi, tambahkan
I
o o
o
o
o o
o
intake cair'an melalui IV-line. Bila volume urin > 90 mlljam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru. Monitoring paling tepat dengan menggunakan CVP-line. Buat grafik suhu, nadi dan pemafasan secara akurat. Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari. Pasang k a ~ c t e rurethra dengan drainasel kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhati-kan kaidah antisepsis. Mata dilindpngi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi rongga mulut pada pasien tidak sadar. Merubahhalik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan pneumonia hipostatik. Hal-ha1 yang perlu dimonitor : 1). Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit, 2). Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam, 3). Hitung parasit setlap 12-24jam, 4). Hb, lekosit, bilirubin dan kreatinin pada hari ke 111, dan VII, 5). Gula darah setiap 4 jam, 6). Parameter lain sesuai indikasi (misal: ureum, kreatinin dan kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).
Penggbatqn Sir;llptomat.ik o Pemberian aotipiretik 'untuk mencegah hipertermia : pwwetamol15 mgkg bblx, beri setiap 4 jam clan lakukan juga kompres hangat. o Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 510 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mdmenit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 md24 jam. Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai altematif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x (dewasa) diberikan 2 x sehari. Pemberian Obat Anti Malaria Pemberian ' ,::>- apti malaria(0AM) pada malaria berat . , berbeda deftgqg.:&ari:ria'l3iasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per parenteral (intravena, per infusl intra muskuler) yang berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya resistensi.
at
Derivat artemisinin :Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten. Artemisinin mempunyai kemampuan farmakologik sebagai berikut, yaitu: i) mempunyai daya bunuh parasit yang cepat dan menetap ii) efektif terhadap parasit yang resisten, iii) memberikan perbaikan klinis yang cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan schizont maupun bentuk-bentuk lain, vi) untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin juga menghambat metabolisme parasit leblh cepat dari obat anti malaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang di pergunakan parenteral untuk malaria berat yaitu artesunate, artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior dibandingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate telah dibandingkan dengan kina HC1, artesunate menurunkan mortalitas 34.7%. a. Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral : Artesunate injeksi ( 1 flacon = 60 mg), Dosis i.v 2,4 mgkg BB/ kali pemberian. o Pemberian intravenous :dilarutkan pada pelarumya lml 5% bikarbonat dan diencerkan dengan 5-10 cc 5% dekstrose disuntikan bolus intravena. Pemberian pada jam 0,12 jam, 24 jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 m&gBB. Bila sadar diganti dengan tablet artesunate oral 2 mg/ kgBB sampai hari ke-7 mulai pemberian parenteral. Untuk mencegah rekrudensl dikombinasikan dengan doksislklin 2 x 100mghari selama 7 hari atau pada wanita hamiV anak diberikan klindamisin 2 x 10mgkg BB. Pada pemakaian artesunate TIDAK memerlukan penyesuaian dosis biIa gagal organ berlanjut. Obat lanjutan setelah parenteral dapat menggunakan obat ACT
Artemeter i.m (1 ampul80mg). Diberikan atas indikasi: 1). Tidak boleh pemberian intravenal infis, 2). T i d a k ada manifestasi perdarahan ( purpura dsb), 3). Pada malaria berat di RS periferIPuskesmas, 4). Dosis artemeter : xi I : 1,6 mgkg BB tiap 12jam, Hari-2 - 5 : 1,6 mgtkg BB.
Kina HCI (1 ampul = 500 mg/ 2 ml). 1. C q a Kina 8jam berkesinambungan : Dosis 10 mgKg BB ( 500 mg untuk BB 40-50 Kg) dalam infus 5% dekstrose 500 cc selama 8 jam secara terus menerus sampai penderita sadar dan
diganti Kina dosis oral. 2. Cara lain : Kina HCL 25 % (perinfus) dilarutkan dalam 500 cc dextrose 5 %, dosis 1OmgKg BBldosisl4jam diberikan setiap 8 jam, diulang dengan cairan dan dosis yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat dan diganti dosis oral.
Catatan : Dosis loading (awall pemberian I) dapat diberikan dosis 20mglkg BB, asal dipastikan tidak mendapat kina1 mefloquin sebelumnya, dapat ditimbang BB nya(tidak estimasi) dan tidak usia> 70 thn atau QT interval yang panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi WHO dan memberikan bersihan parasit lebih cepat. Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus, kina dilanjutkan per oral dengan dosis 3 x IOmglkgBB 1hari sampai hari ke 7. Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi sehingga menyebabkan toksisitas pada jantung dan kematian. Bila karena alasan kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 112 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila mungkin untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsenhasi 60- 100 mdd
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenance kina diturunkan 112 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan diagnosis lain. Dosis kina yang diperlukan : Hari 0 : 30 mgKg BB Dosis maksimum dewasa : 2.000 mghari. Bila pada hari ke-3 keadaan tidak membaik, dosis kina diturunkan menjadi : 15-20 mg/Kg BB Hindari sikap badan tegak pada pasien akut sela~na terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat. .* Monitor.ii~gpada pengobatan kina parenteral ialah : 1). Kadar gula darah tiap 8 jam, 2). Tekanan darah dan nadi, bila nadi ireguler buat EKG, 3). Serum bilirubin dan kreatinin pada hari ke-3, 4). Hitung parasit tiap hari Cara pemberian yang lain : Dosis loading 20 mglkg BB sebagai dosis awal pemberian kina, diberikan per-infus dengall larutan dextrose 5% atau NaCl250 ml diberikan selama 2 - 4 jam. Dosis ini dilanjutkan dengan dosis 10 mglkg BB selama 2-4 jam setiap 8 jam berikutnya. Bila dipakai dosis loading, beberapa ha1 hams diperhatikan : BB penderita hams ditimbang, TIDAK diperkirakanl diduga. . 24 jam sebelumnya tidak memakai kina/ meflokuin Tidak ada pemanjangan QTc interval pada EKG Pemberian cepat di ICU, 7mglkg BB i.v injeksi melalui pumpa infus selama 30 menit, diikuti 10 mglkgBB perinfus selama 4 jam
sodium artesunate, kemudi& dilarutkan dalah 5 ml5% dextrose untuk siap diberikan intra-ve;;ouslintr~-r;)uscular Dosis 2,4 mglkg BB pada hari pertama diberikan tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan dosis 2,4 mglkg BB pada hari ke-2 - 71 24 jam. Tidak diperlukan penyesuaianl penurunan dosis pada gangguan fungsi ginjall hati; tidak menyebabkan hipo- glikemia dan tidak menimbulkan aritmial hipotensi Artemeter ( 1 flacon=80 mg) Dosis : 3,2 mg1kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti dengan 1,6 mgIkgBB1 24 jam selama 4 hari. Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak menimbulkan hipoglikemia Kina HCL (1 Ampul = 220 mg) Dosis 10 mglkgBB Kina HCI dalam 500cc cairan 5% Dextrose (atau NaCl 0,9%) selama 6 jam8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosls yang sama diberikan tiap 6-8 jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500 2000cc. Dosis loading 20 mglkg BB dipakai bila jelas TIDAK memakai kina 24 jam sebelumnya atau mefloquin, penderitanya tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam pada paha. Kinidin Gluconate Dosis 10 mglkg BB per infuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02 mglkglmenit sampai parasit < 1 %, digantikan oral 3 x 600 mg sampai negatif Artesunate ( 50mgl100 m g l 400 m g ) Dosis 10mglkg BB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa Artemislnln Dosis 10-40mglkgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12,24.48, dan 72 jam. Dihydroartemisinln 40 mg. 80 mg Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40mg pada jam 24 dan 48.
MALARIABERAT
Manifestasil Komplikasi Koma (malaria serebral)
Hiperpireksia Convulsilkejang Hipoglikemia (GI darah < 40 mg%) Anemia berat ( Hb < 5 gr% atau PCV < 15% ) Edema Paru Akut, sesak napas, resp > 35 x r. Gagal Ginjal Akut Perdarahan spontanl koagulopati Asidosis Metabolik Syok Hiperparasitemia
Tindakan awal Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu, sampingkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, strok, sepsis, diabetes koma, uremia, gangguan elektrolit), hindari obat tak bermanfaat, intubasi bila perlu. Turunkan suhu badan dengan kompress, fan, air condition, anti-piretika Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang ivl per rektal diazepam, i.m. paraldehyde Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10% smapai gula darah stabil, cari penyebab hipoglikemia Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab anemianya Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg iv, perlambat cairan infus, intubasiventilation PEEP Kesampingkan gagal gijal pre-renal, bila dehidrasi 3 koreksi; bila gagal ginjal renal segera dialysis Berikan vitamin K 10 mgl hari selama 3 hari; transfusi darah segar; pastikan bukan DIC Kesampingkanl koreksi bila hipoglikemia, hipovolemia, septichaemia. Bila perlu dialisisl hemofiltrasi Pastikan tidakhipovolemia, cari tanda sepsis, berikan anti-biotika broad-spektum yang adequat Segera anti malaria (artesunate), transfusi ganti (exchange transfusion)
Transfusi ganti :(exchange transfusion) Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice (bilirubin total > 25 mg%) dan anemia berat. Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24jam anti malaria. Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (lanjut usia, late stage parasiteslskizon pada darah perifer) Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis) PENANGANANKERUSAKANIGANGGUANFUNGSI ORGAN. TindakanlPengobatan Tambahan Pada Malaria Serebral Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral. Penangananlpencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi. Penanganan kejang dapat dipilih di bawah ini : Diazepam : i.v 10 mg; atau intra-rektal0,5- 1,O mgkgBB. Paradelhid :0,l mgkgBB K1ormetiazol (bila kejang bemlang-ulang) dipakai 0,8% larutan infus sampai kejang hilang Fenitoin : 5 mgkgBB i.v diberikan selama 20 menit. * Fenobarbital Pemberian fenobarbital 3,5 mg/kgBB (umur di atas 6 tahun) mengurangi terjadinya konvulsi. Anti-TNF dan pentoksifilin dan desferioksamin, prostasiklin, asetilsistein merupakan obat-obat yang pemah dicoba untuk malaria serebral dan tidak terbukti manfaatnya, sedangkan heparin, dekstran, sislosporin,
epinefrin dan hiperimunglobulintidak terbukti berpengaruh menurunkan mortalitas. Kortikosteroid seperti deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria serebral, karena itu seyogyanyatidak dipergunakan lagi. Penggunaan steroidjustru memperpanjang lamanya koma dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastrointestinal. TindakanlPengobatan pada Gagal Ginjal Akut Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus 300-500 ml NaCl0,9 untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan , kalau produksi urin kurang dari 60 mll jam, diberikan hosemid 40-80 mg i.v. Setelah2 - 3 jam tak ada urin, pertimbangan melakukan dialysis, semakin dini 'dialysis dilakukan prognosa lebih baik. Bila penderita hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,O ugkglmenit. Kebutuhan protein dibatasi 20 ghari dan kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 glhari. Hemodialisis lebih baik dari peritoneal-dialisis karena efek samping perdarahan dan infeksi. Indikasi dialisis antara lain ialah gejala uremia, gejala kelebihan cairan seperti edema paru atau gagal jantung kongestif, adanya bising gesek perikard, hiperkalemia, asidosis HC03 < 15 meqll. Bila terjadi hiperkalemia, diberikan regular insulin 10unit i.vl i.m bersama-sama 50 ml dekstrose40%, monitor gula damh dan serum kalium. Sebagai pilihan lain dapat diberikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% i.v pelan-pelan.Altematif lain yaitu resonium A 15 g/8 jam per oral atau resonium enema 30 g/8 jam. Bila pemeriksaankadar kaliurn darah tak tersedia dapat dilakukan monitoring dengan pemeriksaan elektrokardiografi. Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3,O - 3,5 meqll diberikanKC1per infus 25 meq;
i
i
kalium 2,O - 2,9 meqll diberikan KC1 per infus 50-75 meq. Pemberian KC1 tidak melebihi 100 meqlhari dan tidak diberikan i.v bolus. Hiponatremi dapat memberikan penurunan kesadaran. Kebutuhan Natriuin dapat dihitung: BB (kg) x 60% x Na. defisit (meqll). Satu liter NaCl0,9% = 154 meq; 1 g NaCl puyer = 17 meq. Asidosis (pH < 7,15) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering bersama-sama dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat. Kebutuhan Bikarbonat (meq) = 113 B.B(kg) x defisit bikarbonat dikonfersikan dalam jumlah ml 8,4% NaHC03. Bila pemberian natrium dikuatirkan terjadinya edema paru, dapat diberikan THAM (tris-hydroxymethyl-aminomethan) atau pyruvate dehydrogenase activator dichloroacetate. Dialisis merupakan pilihan terbaik. Tindakan Terhadap Malaria Biliosa Vitamin K dapat diberikan 10 mg/hari i.v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vitamin K. Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada penderita dengan ikterik yang berat. Hati-hati dengan obat-obatan yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin.
Periksa kadar gula darah secara cepat dengan glukometer pada setiap penderita malaria berat (malaria serebral, malaria dengan kehamilan,malana biliosa). Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dl, maka diberikan 50 ml Dekstrose 40%i.v dilanjutkan dengan glukosa 10% per infus. Monitor gula darah tiap 4-6 jam, bila gula darah masih di bawah 40 mgldl, diulang pemberian bolus 50 ml Dextrose 40%. Bilaperlu obat yang menekan produksi insulin seperti diazokside, glukagon atau somatostatin analogue. Penanganan Malaria Algid Tujuan dalam penanganan malaria algidlmalaria dengan syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik. Diberikan cairan infus plasma atau NaCl0,9% untuk mengembalikan volume darah (1 L cairan mengandung dekstranlplasma diberikan dalam 1jam). Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan denyut jantung, di berikan lagi 1 L cairan isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan. Bila tak berhasil dapat dipakai dopamin dengan dosis 2-4 ampul dopamin (lamp = 200 mg) dalam 500 ml Dekstrose 5%, dengan tetesan infus mulai 1-2 mcg/ kglmenit. Tetesan sampai 5 mcglkglmenit dopamin menyebabkan vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi ginjal. Penanganan Edema Paru Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, pada
malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk mencegah terjadinya edema paru. Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP line. Peinberian cairan melebihi 1500 ml cenderung memberikan edema panl. Bila ada anemi, transfusi darah diberikan perlahan-lahan. (1 unit darah dalam 4 jam). Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah duduk, pada edema paru karena kelebihan cairan dapat diberikan diuretika, yaitu furosemide 40 mg i.v. Untuk memperbaiki hipoksia diberikan oksigen konsentrasi tinggi (6-8 llmenit) dan bila mungkin dengan bantuan respirator mekd. Penanganan Anemi Bila anemi kurang dari 5 gldl atau hematokrit kurang dari 15% diberikan tranfusi darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik dibanding darah biasa. Transfusi sebaiknya pelan-pelan, kalau perlu dengan monitoring CVP line atau dengan memberikan hrosemid 20 mg sebelum transfusi. Penanganan Terhadap lnfeksi SekunderlSepsis Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi, sepsis yang berasal dari infeksi perut dan infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter. Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau bila mungkin sefalosporin generasi ke I11 (seftizoksim, seftriakson atau ceftazidime), atau karbapenem Prognosis Pada infeksi malaria hanya terjadi mortalitas bila mengalami malaria berat. Pada malaria berat, mortalitas tergantung pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosa dan penanganan yang tepat. Walaupun demikian mortalitas penderita malaria berat di dunia masih cukup tinggi bervariasi 15%-60% tergantung fasilitas pemberi pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi akan diikuti dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan malaria serebral dengan hipoglikemi, peningkatan kreatinin, dan peningkatan bilirubin mortalitasnya lebih tinggi dari pada malaria serebral saja. Prognosis pada malaria berat tergantung pada: Kecepatanlketepatandiagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.
Kegagalan fungsi organ. Kegagalan fungsi organ dapat tejadi pada malaria berat terutama organ-organ vital. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.
Ke~adatanparasit. Pada pemeriksaan hitung parasit (paiasite count) semakin padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan, semakin bumk prognosisnya, terlebih lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan &rah tepinya.
REFERENSI Baird JK. Effectiveness of antimalarial drugs. New Eng J Med. 2005;352: 1565-77. Barnes KI, Mwenechanya J, Tembo M et all : Efficacy of rectal artesunate compared with parenteral quinine in initial treatment of moderately severe malaria in Afrika children and adults: a radomised study. Lancet 2004 : 363 (9421) : 1598 - 605 Harijanto, PN : Management of Cerebral Malaria. Medical Progress 1999 : 23 -7. Harijanto PN : Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku Kedokteran ECG 2000 : 224 -236 Harijanto PN. Gejala klinik malaria berat. Da1am:Harijanto PN (ed). Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta:EGC. 1999.p. 166-84. Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et all : Clinical experience with intravenous quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003: 34(1): 5 4 -61.
Njuguna PW, Newton CR : Management of severe fakiparum malaria. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :45- 50 Pasvol G. Malaria. 1n:Cohen J. Powderly WG,(eds). Infectious Diseases. Edinburgh. London. New York. Oxford. Philadelphia. St.Louis. Sydney Toronto. Mosby, 2004. p.1579-91. . Squth East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT) group. Artesunate versus quinine for treatment of severe falcifarum malaria: a randomized trial. Lancet. 2005;366:77-25. .Trapuz A, Jereb M, Muzlovic I et all : Clinical review : Severe Malaria. Critical Care 2003 : 7 :315 -323 Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and Complicated Malaria. 2nd ed. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases. White NJ, Breman JG. In: Braunwald E, Fauci A, 15th ed. Harrison's Principles of Internal Medicine, 2001 .p.1203-13. White NJ 1n:Sherman IW. Malaria : Parasite Biology, Pathogenesis and Protection. 1998.p.371-85. WHO : Severe Falcipamm Malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 2000 WHO. The diagnosis and management of severe and complicated falsifamm malaria. Paret I1 Tutor's Guide. Training Unit Division of Control of Tropical Diseases World Health Organization. Geneva, 1995. WHO. Severe falsifarum malaria. World Health Organization 2000. WHO. Guidelines for the treatment of malaria 2006. World Health Organization 2006. ~
.
~
DIARE AKUT
ENA INFEKSI
Budi Setiawan
3iare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang neningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari lengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan 3ersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat, dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu, dan disebut diare persisten hila berlangsung selama 2 sampai dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu disebut sebagai diare kronik. I
Pada tahun 1995 diare akut karena infeksi sebagai penyebab kematian pada lebih dari 3 juta penduduk dunia. Kematian karena diare akut dinegara berkembang terjadi terutama pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun, dimana dua pertiga diantaranya tinggal didaerahllingkungan yang buruk, kumuh dan padat dengan sistem pembuangan sampah yang tidak memenuhi sarat, keterbatasan air bersih dalam jumlah maupun distribusinya, kurangnya sumber bahan makanan disertai cara penyimpanan yang tak memenuhi syarat , tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan . Di Amerika Serikat dengan perbaikan sanitasi dan tingkat pendidikan, prevalensi diare karena infeksi berkurang. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukan bahwa infeksi karena Salmonella, Shigella. Listeria, Escherichia coli, dan Yersinia berkurang berkisar 20-30% berkat perhatian atas kebersihan &n keamanan makanan. Sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukan diare akut karena
infeksi masih menduduki peringkat pertama sampai dengan keempat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.
Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10% karena sebab-sebab lain antara lain obat-obatan,bahan-bahan toksik, iskemik dan sebagainya. Diare akut karena infeksi dapat ditimbulkan oleh :
Bakteri. Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A/B/C, Salmonella spp, Shigella dysentriae, Shigella jlexneri, Vibrio cholerae 01 dun 0139, Vibrio cholerae non 01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium perfringens, Campylobacter (Helicobacter) jejuni, Staphlyllococcus spp, Streptococcus spp, Yersinia intestinalis, Coccidosis. Parasit. Protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis, Isospora sp. Cacing: A. lumbricoides, A. duodenale, N. americanus, Ttrichiura, O.vermicularis, S.stercoralis, I: saginata, T sollium. Virus. Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus. Pola mikro organisme penyebab diare akut berbedabe& berdasarkan umur, tempat dan waktu. Di negara maju penyebab paling sering Nonvalk virus, Holicobacter jejuni, Salmonella sp, Clostridium dvficile, sedangkan penyebab paling sering di negara berkembang adalah Enterotoxicgenic Escherichia coli (ETEC), Rota virus dan Y cholerae. Penelitian di RS. PersahabatanJakarta T i(1993- 1994) pada 123 pasien dewasa yang dirawat di bangsal diare akut, didapatkan hasil isolasi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
DIAREAKUT KARENA INFEKSI
Jenis
E. coli V. cholarae ogawa Aerornonas sp S. flexneri Salmonella sp. E. hystolitica A. lumbriciodes Rotavirus Candida sp. NAG vibrio T. trichiura P. shigelloides B. horninis Jumlah
Jumlah
YO
67 32 25 11 10 9 6 5 3 2 2 1 1
38.29 18,29 14,29 6,29 5,71 5,14 3,43 2,86 1,71 1,14 1 ,I4 0,57 0,57
175
100
(Surnber dari : Budi Setiawan. Pola mikrobiologi penyebab diare akut pada penderita dewasa yang dirawat di bangsal Gastroenteritis UPF. Penyakit Dalarn RSUP. Persahabatan Jakarta Timur. Final paper 1995)
Sebanyak sekitar 9- 10 liter cairan memasuki saluran cerna setiap harinya, berasal dari luar (diet) dan dari dalam tubuh kita (sekresi cairan lambung, empedu dan sebagainya) Sebagian besar (75%-85%) dari jumlah tersebut akan diresorbsi kembali di usus halus dan sisanya sebanyak 1500 ml akan memasuki usus besar. Sejumlah 90% dari cairan tersebut di usus besar akan diresorbsi, sehingga tersisa sejumlah 150-250 ml cairan yang akan ikut membentuk tinja. Faktor-faktor faali yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu sama lain, misalnya saja, cairan intraluminal yang meningkat menyebabkan terangsangnya usus secara mekanismemeningkatnya volume, sehingga motilitas : usus meningkat. Sebaliknya bila waktu henti makanan di usus terlalu cepat akan menyebabkan gangguan waktu penyentuhan makanan dengan mukosa usus sehingga penyerapan elektrolit, air dan zat-zat lain terganggu. Bagan patofisiologi diare secara sederhana dapat dilihat pada gambar 1. Jelas bahwa meskipun infeksi merupakan penyebab diare akut terbanyak di Indonesia narnun ia hanya merupakan sebagian dari faktor-faktor faal yang berperan dalam patofisiologi diare.
Dua ha1 umum yang patut diperhatikan pada keadaan diare akut karena infeksi adalah faktor kausal (agent) dan faktor penjamu (host). Faktor penjamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri atas faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan intern traktus intestinalis
seperti keasamam lambung, motilitas usus, imunitas dan juga mencakup lingkungan mikroflora usus, sekresi mukosa, dan enzim pencernaan. Penurunan keasaman lambung pada infeksi shigella terbukti dapat menyebabkan serangan infeksi yang lebih berat dan menyebabkan kepekaan lebih tinggi terhadap infeksi oleh Fcholerae. Hipomotilitas usus pada infeksi usus memperlama waktu diare dan gejala penyakit, serta mengurangi absorbsi air dan elektrolit, tambahan lagi akan mengurangi kecepatan eliminasi sumber infeksi. Peran imunitas dibuktikan dengan didapatkannya frekuensi pasien Giardiasis yang lebih tinggi pada mereka yang kekurangan IgA, demikian pula diare yang terjadi pada penderita HIVIAIDS karena gangguan imunitas. Percobaan lain membutikan bahwa bila lumen usus dirangsang oleh suatu toksoid berulang kali, akan terjadi sekresi antibodi. Pada percobaan binatang untuk mempelajari hubungan antara mikroflora usus dan tantangan infeksi, didapatkan perkembangan Salmonella typhi murium dapat dikurangi pada mikroflora usus yang normal. Faktor kausal yang mempengaruhi patogenesis antara lain adalah daya lekat dan penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan di usus halus. Kuman tersebut dapat membentuk koloni-koloni yang juga dapat menginduksi diare. Patogenesis diare disebabkan infeksi bakteri terjadinya oleh: Bakteri Non-invasi (Enterotoksikgenik) Diare yang disebabkan oleh bakteri non-invasi disebut juga diare sekretorik, atau watery diarrhea. Pada diare tipe ini disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak mukosa. Bakteri non-invasi misalnya V.cholerae non 0 1, V.cholerae 0 1 atau 0 139, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), C.perf?ingens, Staph.aureus, B.cereus, Aeromonas spp. V.cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi dan enterotoksin ini mengakibatkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenin dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar adenosin 3',5'-siklik monfosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalarn lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation Natrium dan Kalium. Namun demikian mekanisme absorbsi ion Na melalui mekanisme pompa Na tidak terganggu; karena itu keluamya. ion C1(disertai ion HCO;, H20,Na+dan K+)dapat dikompensasi oleh meningkatnya absorbsi ion Na (didiringi oleh H20, K+,HCO; dan C1-). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus. Glukosa tersebut diserap bersama air, sekaligusdiiringi oleh ionNa+,K+,C1-dan HCO;. Inilah dasar terapi oralit per oral pada kolera, sebagaimanaterlihat pada skema berikut (Gambar 1).
Dindlna - eDnel . Enlem loksln
Lumen
1
Sel epltel usus
Plnlu absorbsi glukw Glukosa (dllrlngl (HpK.ka. ACO)
CI
,
Na*(dlinngl (HQK. Na, VCO)
Diare pada keadaan ini ditandai dengan kerusakan dan kematian enterosit, dengan peradangan minimal sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke sel epithel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri kedalam sel epithel, atau pada IBD mulai terjadinya inflamasi. Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara lain interleukin 1 (IL-l), TNF-a, dan kemokin seperti interleukin8 (IL-8)dari epithel clan subepithelmiofibroblas (Gambar2).
HCO, I DIRECTCEU D A M O E DEITH
Pompa naiiium (sodium pump)
PUUNl
~hblDYUsl
w d " ,
Romrlnn
m l l a 9010111
BrUm
A
Gambar 1. Mekanisme keja enterotoksin AMF siklik dan cara kornpensasioleh larut glukosa elektrolit (Dikutip dari Hendarwanto, 2000)
Secara klinis dapat ditemukan diare berupa air seperti cucian beras dan meninggalkan dubur secara deras dan banyak(vo1uminous). Keadaan ini disebut sebagai diare sekretorik isotonikvoluminial. (watery diarrhea). ETEC mengeluarkan 2 macam enterotoksin ialah labile toxin (LT) dan stable toxin (ST). LT bekerja secara cepat terhadap mukosa usus halus tetapi hanya memberikan stimulasi yang terbatas terhadap enzim adenilat siklase. Dengan demikianjelas bahwa diare yang disebabkan E.coli lebih ringan dibandingkan diare yang disebabkan V.cholerae. Clostridium perfringens (tipe A) yang sering menyebabkan keracunan makanan menghasilkan enterotoksin yang bekerja mirip enterotoksin kolera yang menyebabkan diare'yang singkat dan dahsyat. Bakteri Enterovasif Diare yang disebabkan bakteri enterovasifdisebut sebagai diare Inflammatory. Bakteri non-invasif misalnya: Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella spp, Shigella spp, Cjejuni, Kparahaemolyticus, Ersinia, C.petjhgens tipe C, Entamoeba histolytica, Pshigelloides, C.d@cile, Campylobacter spp. Dihe terjadi disebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercarnpur dengan lendir dan darah. Walau demikian infeksi oleh kuman-kuman ini dapat juga bermanifestasi sebagai suatu diare sekretorik . Pada pemeriksaan tinja biasanya didapatkan sel-sel eritrosit dan leukosit.
U IMMUNE 8 Y 8 l W Y W l T C D CEU DIMLOE ID U T H
C
1 muuld-'
DyplmmFwa LHlP
Gambar 2. 1. Kerusakanlkematian sel-sel entrosit akibat invasi mikroorganisme secara langsung; II. Kenrsakanlkematiansel-sel entrosit berdasarkan mekanisme imunologi
IL-8 adalah molekul kemostatik yang akan mengaktikm sistim fagositosis setempat dan merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil akan bergerak menembus epitel dan membentuk abses kripta, dan melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrin, actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus. -Terdapat3 mekanisme dare inflamatori, kebanyakan disertai kerusakan brush border clan beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi. Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel, enterosit. Jika infeksi mikrorganisme begitu kompleks, misalnya
infeksi Nematoda (cacing tamhang) maka diare yang tejadi terutama karena terjadinya reaksi anafilaksis usus. Infeksi cacing akan mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di Mast sel, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin, prostaglandin, dan lekotrin. Respons patofisiologi di usus hampir sama seperti seperti yang terjadi di dalam saluran nafas pada rhinitis alergika atau asthma, yang mana terdapat respon anafilaksis di usus yang diikuti oleh peradangan (infla~nasi)dengan akibat lebih lanjut terjadi proses sekresi yang hebat disertai kontraksi otot usus untuk mengeluarkan nemotoda dari usus. Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit T akan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan subepithel miofibroblas akan melepas kandungan (matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrana basalis dan kandungan molgkul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-sel epithel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel epithel) yang mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kriptakripta di usus halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon). Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana vilivili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Selsel imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya Itidak terdapat mekanisme Nu-coupled sugar atau mekanisme transport asam amino, dan berkurangnyaftakterjadi transport absorbsi NaC1. Sebaliknya sel-sel kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi C1(mungkin HC0,-). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang irnatur. Kerusakan immune mediated vaskular mungkin menyebabkan kebocoranprotein dari kapiler. Apabila terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat beperan terhadap terjadinya diare. Setelah mengalami kerusakan, epitel akan mengalami pemulihan dan proliferasi dan secara sekunder akan terjadi pelepasan prostaglandin dan faktor pertumbuhan, seperti transforming growth factor, hepatocyt growth factor , keratinocyt GI;: epidermal GI;: danfzbroblast GF dari sel-sel epithel, sel-sel imun, miofibroblas.Proses-proses inilah yang akan memperbaiki sel-sel epitel permukaan.Bila terjadi peradangan (infiamasi)
yang berulang maka terjadinya fibrosis akan lebih dominan dibanding proses penyembuhan. Aktifasi limfosit dan netrofil akan melepaskan IL- 1 dan TNF-or ke dalam darah, selanjutnya di otak akan menyebabkan timbulnya gejalagejala sistemik berupa reaksi peradangan yang berat (demam, malaise, anoreksia, dan obtudation). Sitokinsitokin juga akan menggiatkan corticotropin-realesing factor di otak yang akan merangsang aksis hipotalamusadrenal dan memprakasai respon stress glukokortikoid. Terdapat 4 katagori inflamatori diare : infeksi, hipersensitif, sitostatik (anticancer) agent, dan penyakit idiopatik (mungkin autoimun).
Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekaloral langsung dari penderita diare atau melalui makananl minumaan yang terkontaminasi bakteri patogen yang berasal dari tinja manusiakewan atau bahan muntahan penderita. Penularan dapat juga berupa transmisi dari manusia ke manusia melalui udara (droplets infection) misalnya Rotavirus, atau melalui aktifitas seksual kontak oral-genital atau oral-anal. Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandungl memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai atau tanpa nyerikejang perut, dengan feses lembeklcair. Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makadminuman y ang terkontaminasi. Diare sekretorik (watery diarrhea) yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi bempa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat (> 120/menit),tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmiajantung. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi
ginjal menurun dengan sangat dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang dapat mengakibatkan gaga1 ginjal akut. Sedangkan keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pada pembagian darah dengan pemusatan darah yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting sekali karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali. Bakteri yang invasif akan menyebabkan diare yang disebut sebagai diare inflarnasi dengan gejala mual, muntah dan demam yang tinggi, disertai nyeri perut, tenemus, diare disertai lendir Can darah. Pada diare akut karena infeksi, dugaan terhadap bakteri penyebab dapat diperkirakan berdasarkan anamesis makananlminuman dalam beberapajamlhari terakhir (Tabel I), dan anamesis/observasi bentuk diare (Tabel 2).
Sarana Air
Makanan Unggas Sapi, Juice buah yg tidak dipasteurisasi Babi Seafood & kerang
Keju, susu Telur Mayonnaise + makanan & cream Nasi goreng Berrie segar Sayuran atau buahbuahan kaleng Kecamba h Hewan ke manusia Manusia ke manusia (termasuk seksual kontak) Day care center
Rumah sakit, antibiotic, Khemoterapi Kolam renang Wisatawan asing
Bakteri Patogen Vibrio cholerae, Norwalk agent, Giardia, Cryptospordium (termasuk makanan yg dicuci dengan air tsb) Salmonella, Campylobacter, dan Shigella spp. Enterohemorrhagic Escherichia coli. Cacing pita (Tapeworm). V.cholerae non 01, V.parahaernolyticus;vibrio spp, Salmonella Spp, Aeromonas spp, Hepatitis A,B,C. Tapeworm dan anisakla. Listeria spp. Salmonella spp. Staphylococcus dan Clostridium. Bacillus cereus. Cycklospora spp. Clostridium.spp. Enterohemorrhagic E.coli dan Salmonella spp. Salmonella,Campylobacter, Crypt osporidium, Giardia spp. Semua bakteri enterik, virus, parasit.
Yersinia dapat menginvasi mukosa ileum terminalis dan kolon bagian proksimal, dengan nyeri abdomen disertai nyeri tekan di regio titik Mc. Burney dengan gejala seperti Apendisitis akut. Diare akut karena infeksi dapat disertai gejala-gejala sistemik lainnya, seperti Reiter Z syndrome (arthritis, uretritis, dan konjungtivitis) yang dapat disebabkan oleh Salmonella, Campylobacter, Shigella, dan Yersinia. Shigella dapat menyebabkan hemolytic-uremic syndrome. Diare akut dapat juga sebagai gejala utama beberapa infeksi sistemik antara lain hepatitis virus akut, listeriosis, legionellosis, dan toksik renjatan sindrom.
Travelers Diarrhea Sebagian besar travelers diarrhea bersifat watery diarrhea. Penyebab travelers diarrhea paling sering enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Shigella spp, Campylobacter jejuni, Samonella spp, Plesiomonas shigeloides, non cholerae vibrio, dan Aeromonas spp. Watery diarrhea yang berat, dan segera disertai dehidrasi yang berat patut dicurigai kemungkinan disebabkan oleh K cholerae 0 1 atau 0 139. Diare Karena Antibiotika Kemungkinan terjadinya diare pada penderita yang sedang mendapat pengobatan antibiotika berspektrum luas sekitar 20%, tetapi hanya sekitar 30-50% yang dapat diketahui penyebabnya yaitu Clostridium dzjficile yang mengakibatkan kolitis pseudomembran. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa diare yang hebat yang dapat mengakibatkan kematian. Diare pada Perawatan Sehari-hari Diare dapat terjadi pada perawatan sehari (day-care), umumnya dapat terjadi dengan penularan bakteri dalarn jumlah rendah misalnya Shigella, Giardia, Cryptosporidium, atau karena rotavirus, astrovirus, adenovirus. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah - Darah perifer lengkap. - Ureum, kreatinin. - Serum elektrolit :Na', K', C1-. - Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull) - Immunoassay : toksin bakteri (C.dzflcile), antigen virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia, E.histolytica) Feses - Feses lengkap (mikroskopis : peningkatan jumlah ,
Shigella, Campylobacter, Cryptosporidium, Giardia spp., Virus,, Clostridium difficle. C.difficile. Giardia dan Cryptospondium spp. E.coli,Salmonella, Shigella, Campylobacter, Giardia, Cryptosporidium spp., Entamoeba histolytica.
-
lekosit di feses pada injlamatoly diarrhea; parasit : amoeba bentuk tropozoit, hypha pada jamur) Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan sampai pada terapi definitif
DIAGNOSIS
Diare akut karena infeksi dapat ditegakkan diagnostik etiologi bila anamesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang menyokongnya. Beberapa petunjuk anamnesis yang mungkin dapat membantu diagnosis : 1). Bentuk feses (wately diarrhea atau disentri diare); 2). Makanan clan minuman 6-24 jam terakhir yang dimakadminum oleh penderita. (Tabel 2); 3). Adakah orang lain sekitarnya menderita ha1 serupa, yang mungkin oleh karena keracunan makanan atau pencemaran sumber air; 4). Dimana tempat tinggal penderita. Asrama, penampungan jompolpengungsi dan lain-lain, dapat merupakan tempat kontak dengan Shigella, Giardia; 5). Siapa: Wisatawan asing patut dicurigai kemungkinan kholera, E.coli, amoebiasis, Giardiasis. Pola kehidupan seksual. Umumnya diare akut bersifat ringan dan merupakan selJllimiteddisease.Indikasi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu diare berat disertai dehidrasi, tampak darah pada feses, panas > 38,5O C, diare > 48 jam tanpa tandatanda perbaikan, kejadian luar biasa (KLB), nyeri perut hebat pada penderita berusia > 50 tahun, penderita usia lanjut > 70 tahun, dan pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas: 1). Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan; 2). Memberikan terapi simptomatik; 3). Memberikan terapi definitif. ' Rehidrasi sebagai Prioritas Utama Pengobatan Ada ha1 yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu : Jenis cairan yang hendak digunakan. Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran, meskipunjumlah kaliumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik. Sebaiknya ditambahkan satu ampul
Nabikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam 1-4jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran cairanlbubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak terjadi rehidrasi dengan berbagai akibatnya. Jumlah cairan yang hendak diberikan.Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai denganjumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara : B.D. Plasma dengan memakai rumus : Kebutuhan cairan : BD plasma- 1.025 x BB x 4 ml 0.00 1
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberikan penilaiadskor sebagai berikut: Jalan masuk atau cara pemberian cairan. Rutepemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral clan intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang komposisinya berkisar antara 29g glucosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Na bikarbonat dan 1,5 g KC1 setiap litemya. Cairan per oraljuga digunakan untuk mempertahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial. Jadwal pemberian cairan. ~ n t u jadwil k rehidrasi inisial yang dihitung dengan rumus BD plasma atau sistem skor Daldiyono diberikan dalam waktu 2 jam. Tujuannyajelas agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadwal pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3, didasarkan kepada kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhirjam ke-3. Melakukan Terapi Simtomatik Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah benar-benar dipertimbangkan karena l'ebihbanyak kerugian daripada keuntungannya. Anti motilitas seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri yang entero invasif karena potensial akan memperpanjang waktu kontak antara bakteria dengan epitel usus. Kalau memang dibutuhkan karena pasien amat kesakitan diberikan dalam jangka pendek (1-2 hari saja) dan jumlah sedikit serta memperhatikan ada tidaknya glaukoma atau hipertropi prostat. Hal yang sama harus sangat diperhatikan pada pemberian antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya dapat memberikan kejang pada anak dan remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat dipertiinbangkan pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam waktu singkat. Pada diare yang berat obat-obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat
dikombinasi dengan pemberian obat antimikrobial. Pada penderita diare mungkin &pat disertai dengan keadaan lactosa intolerance, oleh karena itu sementara hindari pemberian makanan/minuman yang mengandung susu sampai diarenya membaik. Makanan yang pedas atau banyak mengandung lemak dapat memperberat penyakitnya.
Melakukan Terapl Definltlf Pada infeksi saluran cerna pencegahan sangat penting. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunitas melalui vaksinasi memegang peran. Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi : * Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mghari, selama tiga hari atau Kortimoksazol, dosis awal2x3 tab, kemudian 2x2 tab selama 6 hari atau Kloramfenikol, 4x500 mg/ hari selama 7 hari atau golongan Fluoroquinolon K parahaemolyticus E. coli : ETEC, enterohemorrhagic E.coli C.pet@ingens : spesifik S.aureus :kloramfenikol4x500 mghari Salmonellask :Ampisilin 4x1g M atau kotrikmoksazol 2x2 tab masing-masing selama 10-1 hari atau golonganfluoroquinolon seperti Siprofloksasin 2x500 mg selarna 3-5hari. Shigellasis : Ampisilin 4xlghari selama 5 hari atau Kloramfenikol 4x500 mghari selama 5 hari. Telah dilaporkan adanya Shigella yang resisten terhadap Ampisilin. Infeksi helikobakterjejunieritromisin 3x500 atau 4x500 mg/hari selama 7 hari. a. Amubiasis :Metronidazol4~500mg/hari selama 3 hari atau Tinidazoldosis tunggal2ghari selama 3 hari atau Seknidazol dosis tunggal 2g/hari selarna 3 hari atau tetrasiklin 4x500 mghari selama 10hari.
Giardiasis : Quinakrin 3xlOOmghari selama 1 minggu atau Khloroquin 3x100 mghari selama 5 hari atau Metronidazol3~250mghariselama 7 hari. Balantidiasis :Tetrasiklin 3 x500 mghari selama 10 hari. Kandidosis :Nistatin 3~500.000unit selama 10hari Virus : simtomatik dan suportif.
REFERENSI Ahlquist David A, Camilleri M. Diarrhea & Costipation. Dalam buku: Horrison's Principles of Internal Medicine. l 51h edition. Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2001, 241 - 50. Cook G.C, Tropical Gastroenterological Problems. Dalam buku: Manson's Tropical Diseases. 21" edition. Cook GC, Zumla A. (Editor). London : WB Saunders Co Itd; 2003.p. 817-22. Daldiyono. Diare. Buku ajar Gastro Enterologi Hepatologi, Infonnatika, 1990 edisi 1: 21. Hendarwanto. Diare akut karena infeksi. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sarwono WP (Editor),Jakarta: Balai Penerbit U1; 2000.p.451 - 7. Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Pathogenesis dan Pathofisiologi Diarre pada Orang Dewasa, Diare , Penaggulangan dan hasilhasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70. Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Penatalaksanaan diare pada orang dewasa, Diare, penanggulangan dan hasil-hasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70. Pavia AT. Diarrhea and food borne Illness. Dalam buku: Infectious Diseases. 2ndedition. Cohen J, Powderly W.G (Editor). London : Mosby. Elsevier Ltd; 2004.p. 1445 - 591. Pietzak M, Fasano A. Acute Infectious Diarrhea. Dalam buku: Conn's Current Therapy 2003, Rakel R.E, Bope E.T (Editor). Philadelphia USA: Elsevier Science; 2003.p. 20-27. Powel Don W: Approach to the patient with diarrhea. Dalam buku : Textbook of Gastroenterology. 4Ih edition. Yamada T (Editor). Philadelphia . USA: Limphicot Williams & Wiekeins; 2003.p.844 - 893.
KOLERA H. Soemarsono
PENDAHULUAN Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan Vibrio cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksinyang dihasilkan bakteri tersebut. Bentuk manifestasi Minisnya yang h a s adalah dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis metabolik yang terjadi dalarn waktu sangat singkat akibat diare sekretorik dan &pat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemlk, epidemik, atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi penyalut ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.
fibrio cholerae adalah kuman aerob, Gram negatif bendcuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,Ornrn, mudah dikenal dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan Gram sebagai batang-batang pendek sedikit bengkok (koma), tersusun berkelompok seperti kawanan ikan yang berenang. Z cholerae dibagi menjadi 2 biotipe, Masik d& El Tor, yang dibagi berdasarkan struktur biokimiamya dan parameter laboratorium lainnya. Tiap biotipe dibagi lagi menjadi 2 serotipe, Inaba dan Ogawa. Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan menggunakan mikroskop fluoresensi. dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabel dengan fluoresein, atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe-spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase. Vibrio chalerae tumbuh cepat dalam berbagai macam media selektif seperti agar garam empedu, agar-gliserintelurit-taurokolat, atau agar thiosulfate-citrate-bile salt-
sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakaiannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwana kuningsuram. Identifikasi Vibrio cholerae biotipe El Tor penting untuk tujuan epidemiologis. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.
Sejak tahun 1917 dikenal tujuh pandemi yang penyebarannya bahkan mencapai Eropa. Vibrio yang bertanggungjawab terhadap tejadinya pandemik ke-7 yaitu cholerae 0 1, biotipe El Tor. Pandernik ke-7 baru-baru ini dimulai pada tahun 1961 ketika Vibrio pertama kali muncul menyebabkan epidemi kolera di Sulawesi, Indonesia. Penyakit ini lalu menyebar dengan cepat ke Negara Asia timur lainnya dan mencapai Bangladesh pa& tahun 1963, India pada tahun 1964, dan Uni soviet, Iran dan Iraq pada tahun 1965-1966. Pada tahun 1970kolera menyebar ke Afiika barat, suatu wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama lebih dari 100 tahun. Penyakit ini menyebar dengan cepat ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak benua. Pada tahun 1991 kolera menyerang Amerika latin, di mana penyakit ini juga telah hilang selama lebih dari satu abad. Dalam waktu setahun penyakit ini menyebar ke 11 negara dan secara cepat menyebar lintas benua.. Sampai tahun 1992, hanya serogrup E cholerae 01 yang menyebabkan epidemi kolera. Serogrup lainnya dapat menyebabkan kasus-kasus diare yang sporadis, tapi tidak dapat menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992 ledakan kasus kolera dimulai di India dan Bangladeshyang
disebabkan oleh serogrup K cholerae yang sebelumnya belum teridentifdcasi, yaitu serogrup 0 139 atau Bengal. Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-8. Isolasi dari Vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di Asia Tenggara..Namun masih belum jelas apakah K cholerae 0 1 39 akan menyebar ke daerahlwilayah lain, dan pengawasan epidemiologik yang cermat dari situasi ini sedang dilakukan.
Pada daerah endemik, air terutama berperan dalam penularan kolera; namun pada epidemi yang besar penularan juga terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh tinja atau air yang mengandung K cholerae. Khususnya pada kolera El Tor, yang dapat bertahan selama beberapa bulan di air. Penularan dari manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi. Pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik berperan penting pada penyebaran penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan simtomatik (bermanifestasi klinis yang khas) pada suatu epidemi diperkirakan4: 1 pada kolera Asiatika, sedangkan untuk kolera El Tor, diperkirakan 10: 1 . Dengan kata lain terdapat fenomena gunung es. Hal ini merupakan masalah khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El Tor. Pada kolera El Tor angka karier sehat (pembawa kuman) mencapai 3 %. Pada karier dewasa Mbrio cholerae hidup dalam kantong empedu. Prevalensi kolera di daerah endemik pada anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada orang dewasa insiden pada pria lebih tinggi dari wanita. Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada kelompok umur maupun jenis kelamin tertentu.
Gambar 1. Pandemic spread of vibrio cholerae
PATOGENESIS DAN IMUNITAS Kolera ditularkanmelalui jalur oral. BilaVibrioberhasil 1010s dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, bakteri ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan. Bila Vibrio dapat selamat melalui asam lambung, maka ia akan bekembang di dalam usus halus. Suasana alkali di bagian usus halus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10 per ml cairan tinja. Langkah awal dari patogenesis terjadinya kolera yaitu menempelnya Vibrio pada mukosa usus halus. Penempelan ini dapat terjadi karena karena adanya membran protein terluar dan adhesin flagella. Vibrio cholerae merupakan bakteri non invasif, patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan K cholerae yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yeyunum. Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat molekul84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam, resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2 sub unit yaitu B (binding) dan A (active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida, dimana masing-masing molekul memiliki berat 11500 dan terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifdc, reseptor GM1, yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A kemudian dapat masuk menembus membran sel epitel. Sub unit ini memiliki aktivitas adenosine diphospate (ADP) ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine dinucleotide(NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi CAMP,yang menghambat absorpsi
NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air, NaCI, kalium dan bikarbonat. (Tabel 1)
Natrium
Kalium
124 I01
16 27
Klorida
Bikarbonat
90 92
48 32
-
Dewasa Anak
Toksin-toksintambahan dan faktor-faktor lain sekarang telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. Zonula occludens toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction interseleluler.Accessoly cholera exotoxin (Ace) ditemukan pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan transpor ion transmembran. Imunitas terhadap toksin kolera clan antigen permukaan bakteri sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan studi terhadap respon imun telah mengukur antibodi bakterial serum, meskipun proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik. Kolera ditandai dengan diare yang sangat berat yang dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan hipovolemia, dengan angka kematian (mortality rate) yang berkisar kurang dari 1% hingga 40%. Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik, ringan hingga berat.
Ada beberapa perbedaan pada manifestasi klinis kolera baik mengenai sifat dan beratnya gejala. Terdapat perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi epidemi. Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat. Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan perawatan. Manifestasi klinis yang khas ditandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa niulas maupun tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis, tapi 'manis' menusuk. Cairan yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalanputih. Cairan ini akan keluar berkalikali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan
ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai teriakan nyeri karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular. Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadaan lunglai, tak berdaya, namun kesadarannya relatif baik dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru akan terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih 10% bayi dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral dan stupor, yang disebabkan hipoglikemia. Tanda-tanda dehidrasi tampakjelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara menjadi serak seperti suara bebek Manila (vox cholerica), turgor kulit menurun (kelopak mata cekung memberi kesan hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang menonjol), mulut menyeringai karena bibir kering, perut cekung (skafoid) tanpa ada stelJirng maupun kontur usus, s w a peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari jari tangan dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit, terutama ujung jari yang keriput (washer women hand), diuresis berangsur-angsur berkurang dan berakhir dengan anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tak diobati. TANDA-TANDAGAGAL SlRKULASl
Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,5OC), sekalipun sedang berlangsung infeksi. Frekuensi nadi menjadi cepat dengan isi yang kurang dan akhirnya menjadi cepat dan kecil (filiform). Denyut jantung cepat, suara jantung terdengar jauh dan kadang-kadang hanya suara sistolik yang terdengar, namun dengan irama yang tetap teratur.Tekanan darah menurun sebagai tanda renjatan hipovolemik, akhirnya terukur hanya dengan palpasi. Warna kulit, bibir dan selaput mukosa serta kukujadi ungu akibat sianosis, memberi kesan pasien berwarna hitam pada orang yang berkulit gelap; pada perabaan kulit terasa lembab. Sianosis yang terjadi adalah bersifat perifer. Asidosis metabolik terjadi akibat kehilangan bikarbonat jumlah besar dan metabolisme anaerob akibat kegagalan sirkulasi. Tampilan klinis berupa pernapasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam (Kussmaul). Perubahan patofisiologis ireversibel lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan homostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih mudah dikoreksi. Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau kematian. Penyulit yang diakibatkan oleh penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit yang terjadi biasanya disebabkan oleh keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti
uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gaga1 ginjal dengan anuria yang berkepanjangan terjadi dalam persentase kecil berupa nekrosis tubular yang akut (ATN) yang umumnya dapat diatasi dengan terapi konsematif dan tidak memerlukan dialisis. Penyulit lain yang perlu perhatian ialah abortus pada pasien dengan hamil muda, komplikasi iatrogenik seperti gaga1 jantung, reaksi infus berupa demam, infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis bakterial). Pada umumnya dengan pengobatan dini dan adekuat, prognosis pasien kolera cukup baik dan tidak sampai menyebabkan kematian.
DIAGNOSIS Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakkan diagnosis kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan dan sedang, terutama di luar endemik atau epidemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu badan tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis. Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini, pengobatan hams segera dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera, dapat disebabkan oleh enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC). Berbagai bakteri penyebab diare sekretorik dapat dilihat pada Tabel 2.
Vibrio cholerae Vibrio cholerae non 0 group 1 Escherichia coli Clostridium perfringens Bacillus cereus Staphylococcus aureus
Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan diarnati di bawah mikroskop lapangan gelap, akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola motilitas seperti shootingstar. Untukpemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali, atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. K cholerae 0 1 menghasilkan koloni yang oksidase-positif yang berwarna kuning, yang dapat dikonfirmasi dengan slide aglutinasi spesifik dengan antiserum.
PENATALAKSANAAN Dengan diketahuinya patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi simtomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan kehilangan insensibel), serta terapi antimikrobial. Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini perlu diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi, terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi hams diberikan secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan, rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS). Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi berat, sedang maupun ringan. Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam yang rendah seperti: air minum biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu terutama untuk bayi dan anak-anak. Petunjuk terapi rehidrasi dan pemeliharaan secara umum dapat dilihat masing-masing pada Tabel 3 dan 4.
Derajat dehidrasi
Macam cairan
Ringan
ORS
Sedang
ORS
Berat
lntravena Ringer Laktat
Jumlah cairan 50 ml1kgBB Maks. 750 mlljam 100 mllkgBB Maks. 750 mlljam 110 mllkgBB
Jangka waktu pemberian 3-4 jam 3 jam
3 jam pertama guyur sampai nadi teraba kuat, sisanya dibagi dalam 2 jam berikutnya
KRI'TERIA DERAJAT DEHlDRASl Untuk dapat memberikan panatalaksanaan pengobatan sebaiknya pada pasien diare akut perlu dilakukan penentuan derajat dehidrasinya antara lain berdasarkan: 1). Penilaian klinis, 2). Perhitungan skor Daldiyono, 3). Berat jenis plasma/plasma specific gravity (PSG), 4). Tekanan vena sentral (CVP).
Jumlah Diare Dlare rlngan Tidak lebih dari I x mencret setiap 2 jam atau lebih lama, atau kurang dari 5 ml tinjal kgBBljam Dlare sedang Leblh dari I x mencret setlap 2 jam atau lebih dari 5 ml tinjal kgBB1jam
Dlare berat Dengan tanda tanda dehidrasil renjatan
-
Macam Calran
Jumlah Cairan
Cara Pemberlan
ORS .
100 mllkg BB/hari sampai diare berhenti
Oral di rumah
ORS
Ganti kehliangan volume tinja dengan volume cairan. Bila tak terukur beri 10-15 mllkgbbljam
Oral di rumahl rumah sakit
Beri pengobatan untuk dehidrasi berat (tabel31
Penilaian Klinis Cara menentukan penilaian tingkat dehidrasi yang tepat secara klinis sulit didapat karena pengaruh subyektivitas. Secara klinis derajat dehidrasi dibagi menurut tingkatan dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sesuai kehilangan cairan 5%, 8% dan 10%dari berat badan. Kriteria ini praktis penggunannya untuk pengobatan massal pada suatu wabah dan dapat dilakukan oleh tenaga paramedik setelah dilatih. Skor Daldiyono Modifikasi cara penilaian klinis dilakukan Daldiyono dengan menilai derajat dehidrasi inisial berdasarkan gambaran klinis yang diterjemahkan ke dalam nilai skor (Tabel 5). Kemudian penjumlahan skor tersebut dibagi dengan nilai skor maksimal yaitu 15.Defisit cairan dihitung dengan mengkalikan hasil perhitungan tersebut dengan defisit cairan pada dehidrasi berat yaitu 10% dari berat badan. Secara matematis perhitungan tersebut dituangkan dalam rumus empirik: Defisit cairan (ml)= Skor/lS x berat badan (Kg) x 0,1 x 1000
Berat Jenls Plasma Cara penilaian derajat dehidrasi yang lebih tepat untuk mengukur kebutuhan cairan yang akan diberikan ialah dengan menentukan berat jenis plasma, dengan memakai rumus: '
Berat jenis pbma/0,001 (ml) = 1,025 x berat badan (Kg) x 4 ml
Cara yang digunakan di rumah sakit ini lebih tepat dan bila perlu dapat pula diusahakan pemakaiannya di suatu pusat rehidrasi danuat pada suatu endemi.
Klinis
Skor
Rasa haus Imuntah Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg Tekanan darah sistolik < 60 mmHg Frekuensi nadi >I20 xlmenit Kesadaran apatis Kesadaran somnolen, sopor atau koma Frekuensi napas >30 xlmenit Fasies kolerika Vox cholerica Turgor kullt rnenurun 'Washer woman's hand" tangan keriput seperti kena air Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50-60 tahun Umur >6O tahun
1 1 2 1 1 2 1 2 2 I I 1 2 -1 -2
Tekanan Vena Sentral Cara menghitung keperluan cairan yang tepat lainnya ialah dengan pengukuran tekanan vena sentral (CVP). Cara yang invasif ini memerlukan keahlian dan tidak dapat diterapkan di lapangan. Nilai CVP normal adalah 12-14cm air. Menentukan pemilihan jenis cairan yang akan diberikan adalah langkah berikutnya. Dalam sejarah pengobatan kolera sejumlah besar cairan telah diciptakan orang, kebanyakan tidak memberikan hasil baik karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit ini. Cairan yang terbukti baik manfaatnya ialah ringer laktat yang komposisinya kurang lebih sama dengan susunan elektrolit tinja kolera dan terbukti dapat perfhi ke sel tubuh dengan baik. Cairan lainnya yang juga bermanfaat ialah NaCl fisiologis dan larutan segar isotonik bikarbonas natrikus 1 !4 % dalam perbandingan 2: 1. Sebagai pengganti bikarbonas, dapat pula diberikan larutan 116 mol Na laktat dalam larutan Darrow glukosa, yang lebih stabil berada dalam larutan daripada bikarbonas natrikus. Dalam pemakaianjenis cairan ini perlu diberikan substitusi kaium dalam bentuk oral atau parenteral. Susunan elektrolit tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Suatu perkembangan maju dalam usaha pengobatan kolera ialah tindakan rehidrasi oral dengan cairan khusus rehidrasi oral (ORS). Dasar patofisiologinya ialah kemampuan usus pasien kolera untuk resorpsi elektrolit dan cairan dari dalam lumen bila ditambahkan glukosa dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan resorpsi tersebut. Suhu suam cairan oral akan membantu tercapainya net gut balance (balans usus netto) yang maksimal. Rehidrasi oral dengan ORS diberikan sebagai terapi inisial pada kasus ringan dan sedang, serta sebagai terapi pemeliharaan pa& kasus berat. Pada keadaan terpaksa ORS dapat diberikan pada kasus berat sekalipun. Pemberian secara konsekuen dan sabar terbukti juga berhasil baik (Tabel 6).
-
2848
TROPIKINFEKSI
3
Cairan camDuran: 1. a) 2 L ga;am isotonik b) 1 L 1,3 % Bik. Nat. 2. a) 2 L garam isotonik b)lL116Nalaktat Cairan Tunggal: 1. 5:4:1 5 a NaCl 4 NaHC03 1 g KCllliter 2. Ringer laktat Cairan Rehidrasi Oral:
175
-
I55
158
-
lo355
27
133 130
14 4
99 109
28
s9
9
48
-
1. WHO 2. Orqlit 3. Kristalit 4. P3M 5. Pediallt
-
I
Terqpi rehidrasi dengan cairan oral (ORS) pelaksanaannya sederhana sekali, namun memerlukan pencatat& yang seksama tentang pengeluaran cairan tinja clan pemasukan cairan oral. Untuk memperkirakan volume cairan pemeliharaan, dapat dipakai cholem cot. Cara pengobatan yang efektif ini mempunyai efisiensi &lam segi klinis berupa meminirnalkan risiko seperti hidrasi berlebihan dengan segala akibatnya, efek samping pada terapi infus, di samping keuntungan dalam penghematan cairan infus dengan 50-80%, sekaligus memecahkan problem logistik pada keadaan epidemi. Selai~ terapi rehidrasi secwa intravena maupun dengan cairan oral pada kolera, tidak kalah pentingnya adalah terapi kausal dengan antibiotika. Terapi antibiotik dini mungkin dapat segera mengeradikasi Vibrio dan mengurangi fiekuensi serta volume diare secara bermakna. Tetrasiklin dengan dosis 500mg 4 kali sehari secara oral selama 3 hari pada umumnya cukup efektif. Sebagai alternatif dapat dipilih obat-obat lain seperti siprofloksasin, doksisklin dan trirnetoprim-sulfametoksasol. (Tabel 7).
Terapi Lini Pertama Dewasa
Tetrasiklin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 3 hari Doksisiklin 300 mg per oral dosis tunggal
Anak
Tetrasiklin 12,5 mg kg per oral 4 kali sehari selama 3 hari + Doksisiklin 6 mglkg per oral dosis tunggal
PENCEGAHAN Imunisasi dengan vaksin komersial standar (cholera sec) yan$mengandung 10milyar Vibrio mati per ml,mernberikan proteksi 60-80% untuk masa 3-6bulan, Valcsin ini tidak berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik daripada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikan higiene saja yang qemberikan perlindungan yang berarti dalam mewegah kolera.
Alternatif Siprofloksasin 1000 mg per oral dosis tunggal Eritromisin 250 mg per oral 4 kali sehari selama 3 hari trimetoprimsulfametoksasole (5 mgl kg trimetroprim + 25 mglkg sulfametoksasol) per oral 2 kali sehari selama 3 hari Furazolidon 100 mg peroral 4 kali sehari selama 3 hari Eritromisin 10 mglkg per oral 3 kali sehari selama 3,hari Trimetoprimsulfametoksasol(5 mglkg trimetroprim + 25 mglkg sulfametoksasol) per oral 2 kali sehari selama 3 hari Furazolidon 1,25 mglkg per oral 4 kali sehari selama 3 hari
Dipakai jika dicurigai lini pertama telah resisten @taupaslen alergi terhadap terapi linl pertama ' Tldak dianjurkan pada anak di bawah 8 tahun
'
REFERENSI Arduino RC, W o n t HL. enteritis, Enterocolitis and Infectious Diarrhea Syndromes. In: Cohen's Infectious Disease. Hq1 35.1-39, Bannister BA, Begg NT. Imported and Travel-assacigted Disgese, In: Infectious ~ i & a s e2nd edition. Losd~n;Blwltwall 8ci$n~@, 2OOO.p.440-2.
Daldiyono, Muthalib A, Gultom' L, Ruslyn E, Nasution R, Soemarsono.' Experiences with a Scoring System for the Determination of Rehydration Fluid Needed in patients with Acute Gastroenteritis. Act Med Ind. 1972; 111 (3-4): 1-6. ~ a m i rDH, Cash RA. Secretory Diarrheas: Cholera and Enterotoxigenic Eschericia Coli. In: Cohen's Infectious Disease. Hal 22.1 -4. Hart CA, Shears P. Gastrointestinal Bacteria. In: Manson's Tropical Diseases 21st edition. London: Saunders: 2003.p. 928-32. Keusch GT, Walder MK. Cholera and Other Vibriosess. In: ~arrisbns Priciples of Internal Medicine 15th edition. New York: McGrawHill; 2001.p.980-6. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare Akut. Si_mposium Penatalaksanaan Kedamratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam 11, Jakarta: 2002. ~ o e m a r s o n o , Nelyan RHH. Beberapa Pengalaman dalam Penggunaan cairan Elektrolit Glukosa per os Pada Penderita Kolera Eltor. Dalam: Koiman I, Prosiding Pertemuan Ilmiah Penyakit Diare di Indonesia. Badan Litbang Kes. RI. Jakarta, 1983; 256. '
'
'
Soemarsono. Effort on Development of Method of Treatment of Dehydration and Shock in Cholerae, with special reference on the Estimation of amounts of Rehydration Fluid Needed, with Method of Clinical Scoring System. Proceeding Seareo Interreginal Meeting on the Treatment of acute Diarrhea (WHO) i,:,.: ,.~akarta,Jan 10-19 1983: 1-11. :i. ~oem&sono.Beberapa Pandangan Baru Tentang Pengelolaan Diare Akut. Proceeding Symposium Hospital Administration dan Penyakit Tropik Infeksi. Jakarta 5 Nov 1983: 1-1 1. . "?wCitd:;~~~lth Organization: Guidelines for cholera control. Geneva: . . world' Health Organization; 1993. World Health organization: Management of the patient with cholera. Geneva: World Health Organization; 1992. woiid ~ k a l t hOrganization: Cholera fact sheet. Geneva: World Health Organization; 2000 World Health Organization: Cholera: basic facts for travelers. Geneva: World Health Organization; 1998. World Health Organization: WHO cholera web pages. Geneva: World Health Organization; 2000. World Health Organization: Cholera cases reported to WHO, by country, 1998 (annual). Geneva: World Health Organization; 1999.
Eddy Soewandojo Soewondo
PENDAHULUAN Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histoiytica. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi sosial ekonomi dan kultural yang menunjang. Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara sekitar 10% lainnya menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari disentri sampai abses hati atau organ lain.
Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air minum atau makanan yang tercemr). Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negara-negara sedang berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk. Di negara beriklim tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim sedang. Oleh karena itu di negara sudah maju banyak dijumpai penderita asimtomatik, sementara di negara sedang berkembang yang beriklim tropis banyak dijumpai pasien yang simtomatik. Kemungkinan faktor diet rendah protein, di samping perbedaan strain ameba, memegang peran. Di negara yang sudah maju misalnya Amerika Serikat prevalensi amebiasis berkisar antara 1-5%. Walaupun selama tiga dekade terakhir insidensnya menurun, akan tetapi penyakit ini masih tetap ada, terutarna
di daerah atau di tempat-tempat dengan keadaan sanitasi yang buruk, misalnya di tempat perawatan pasien cacat mental serta tempat penampungan Indian dan imigran. Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi berdasarkan laporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah sakit besar, dapat diperkirakan insidensnya cukup tinggi. Penularan dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya: pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia,juru masak Cfood handlers), vektor lalat dan kecoak, serta kontak langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar. Sekitar 10% populasi hidup terinfeksi entamoeba, kebanyakan oleh entamoeba dispar (E. Dispar) yang non infeksius. Perbedaan dan persamaan sifat antara E.histolytica dan E. Dispar dapat dilihat pada Tabel 1.
Persamaan 1. Kedua spesies dibedakan lewat adanya infeksi kista (cvste) 2. Kista dari kedua spesies tersebut secara morfologi sama (identik) 3. Kedua s~esiesini menakolonisasi intestinal luar Perbedaan 1. Hanya E. histolytica yang dapat mengakibatkan penyakit 2. Hanya infeksi E. histolytica yang menunjukkan serologi ameba positif 3. Kedua spesies mempunyal perbedastlgekudnei mRNA. 4. Kedua spesies mempunyai perbedaan Bntigen permukaan dengan masker isoantigen 5. SallSalNAC lectin dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies dalam stool ELISA. 6. E. dispar tidak mempunyai kapasitas mgnyebabkan penyaklt infeksi.
E. histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, trofozoit komensal (<10 rnrn) dan trofozoit patogen (>10 rnm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkangejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit bergerak aktif dengan pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun di luar usus (ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (sampai 50 mrn) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya, karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haernatophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia. Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang berbentuk batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijuvpai di dalam lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalarn dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus (Gambar 1). Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus besar, menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh beberapa penulis dibagi menjadi dua ras yaitu ras besar dan ras kecil, bergantung pada apakah dapat membentuk kista berdiameter lebih besar atau lebih kecil dari 10 mrn. Strain kecil ternyata tidak patogen terhadap manusia, dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmanni. Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung trofozoit dapat diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenitas ameba (zymodeme).Ameba yang didapat dari pasien dengan gejala penyakit yang invasif menunjukkan pola zymodeme. Imunitas terhadap ameba sampai saat ini masih belum banyak diketahui dengan pasti perannya. Beberapa sarjana meragukan adanya peran tersebut, karena di daerah endemik banyak terjadi infeksi berulang, dan morbiditas
Gambar I. Skematis E. histolytica (pembesaran 2000 X) A : Trofozoit mengandung eritrosit B : Ameba benhdc pre kisw C : Kista muda berinti sahl D : Kista berinti dua E : Kista dewasa berinti empat
c ect
: chromatoid bodies
end g k n r.b.c
: endoplasma
: ectoplasma
: glycogen V ~ C U O ~ ~
: karyosoma : nucleus/inti : sel darah merah
(dikutip dari Textbook of Clinical Parasitology. 2nd ed., 1952, New York, Appleton-Cenruy-Crogts).
serta mortalitasnya meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pendapat tersebut kurang tepat karena telah terbukti bahwa ullcus ameba dapat kambuh kembali apabila pasien menerima tindakan yang menurunkan daya tahan tubuh, misalnya splenektomi, radiasi, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Berdasarkan penyelidikan pada binatang dan manusia dapat dibuktikan bahwa E. histolytica dapat merangsang terbentuknya imunitas humoral dan selular. In vivo, imunitas humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in vitro tidak. Belum diketahui apa sebabnya keadaan tersebut dapat terjadi. Tampaknya irnunitas yang terbentuk tidak sempurna dan hanya dapat mengurangi beratnya penyakit, tidak dapat mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas selular lebih besar perannya daripada imunitas humoral.Antibodi di dalam serum (terutama klas IgG) terutama berperan dalam uji' serologik. PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalarn lumen usus besar, dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) ameba, maupun lingkungamya mempunyai
peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kerentanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya. Strain ameba di'daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan mengizinkan. Beberapa faktor lingkungan yang diduga berpengaruh, misalnya suasana anaerob dan asam (pH 0,6 - 6,5), adanya bakteri, virus dan diet tinggi kolesterol, tinggi karbohidrat, dan rendah protein. Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri basiler, di mana mukosa usus antara ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus. tampak sel leukosit dalarn jumlah banyak, akan tetapi lebih sedikitjika dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula kristal Charcot Leyden dan kadangkadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muskular akan terjadi pefforasi dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reak-si terbentuknya massa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dan ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan "metastasis" ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa, dan menimbulkan abses di sana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.
Berdasarkanberat ringannya gejala yang htirnbulkan maka amebiasis dapat dibagi menjadi: carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat, disentri ameba kronik.
Carrier (Cyst Passer) Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena ameba yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan invasi ke dinding usus. Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan) Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadangkadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip ulkus peptik. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan. Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang) Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai hepatomegali yang nyeri ringan. Disentri Ameba Berat Keluhan dan gelala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 1.5 kali sehari. Demam tinggi (40°C - 40,5"C), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopikarena dapat mengakibatkan perforasi usus. Disentri Ameba Kronik Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, seranganserangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.
PEMERIKSAANPENUNJANG Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Pada disentri ameba biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru (segar). Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulangulang, minimal 3 kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan sebelurnnya atau
minimal 3 hari sesudahnya. Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista, karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat, berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang, dengan ujung tumpul, sedang inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya dibuat sediaan dengan larutan lugol. Sebaliknya badan-badan kromatoid tidak tampak pada sediaan dengan lugol ini. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan dengan metoda konsentrasi yaitu dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat, kista akan terapung di permukaan, sedang dengan larutan eterformalin kista akan mengendap. Di dalam tinja pasien akan ditemukan bentuk trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar. Apabila pemeriksaan ditunda untuk beberapa jam, maka tinja dapat disimpan di lemari pendingin (4OC) atau dicampur di dalam larutan polivinil alkohol. Sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong, dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan nampak ameba dengan eritrosit di dalamnya. Bentuk inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. Untuk membedakan dengan leukosit (makrofag), perlu dibuat sediaan dengan cat supravital, misalnya buf-fered methylene blue. Dengan menggunakan mikrometer, dapat disingklrkan kemungkinan E. hartmanni. Pemeriksaan prostoskopi, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan ameba. Pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Tampak ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Pemeriksaan mikroskopis bahan eksudat atau bahan biopsi jaringan usus akan ditemukan trofozoit. Foto rontgen kolon tidak banyak membantu, karena sering ullcus tidak tampak. Kadang-kadang pada amebiasis kronik, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampakJilling defect yang mirip karsinoma. Ameba hanya dapat dibiakkan pada media khusus, misalnya media Boeck Dr. Bohlav. Tetapi tidak semua strain dapat dibiakkan. Oleh karena itu pemeriksaan ini tidak dikerjakanrutin. Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis. Uji serologi positif apabila ameba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri ameba, dan negatif pada earner. Hasil uji serologi positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis. Indirect ji'uores-cent antibody (IFA) dan enzyme linked
immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji yang paling sensitif. Juga up indirectfluorescent anti-body (IFA) dan agar gel difjsionprecipitin. Sedang uji serologi yang cepat hasilnya adalah latex aglutination test dan cellulosa acetate dijiusion. Oleh karena antibodi yang terbentuk lama sekali menghilang, maka nilai diagnostlknyadidaerah endemis rendah.
DIAGNOSIS Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel syndrome (IBS), divertikulitis, enteritis regional, dan hemoroid interna, sedang disentri ameba sukar dibedakan dengan disentri basilar (shigellosis) atau salmonelosis, kolitis ulserosa, dan skistosomiasis (terutarna di daerah endemis). Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan ameba (trofozoit). Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat pengobatan spesifk masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu dilakukan pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema, atau biakan tinja. Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma dan kista hidatidosa. Ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukan echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi abses.
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya (komplikasi). Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstra intestinal, yang disebut amebiasis ekstra intestinal. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi:
Komplikasi Intestinal Perdarahan usus. Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal. Perforasi usus. Terjadi apabila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peri-
tonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat terjadi akibat pecahnya abses hati ameba.
Ameboma. Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid, sukar dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus. Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi segera. Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma. Komglikasi Ekstra Intestinal Amebiasis hati. Abses hati ameba merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara, insidensnya berkisar 5-40%. Lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada wanita, tersering pada usia 30-40 tahun. Abses dapat timbul beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba; kadang-kadang terjadi tanpa diketahui menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi "hepatitis ameba" yang merupakan stadium dini abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Dapat pula terjadi abses majemuk. Sesuai dengan arah aliran vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi "nanah" kental yang steril tidak berbau, berwama kecoklatan (cho-colatepaste), terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwama kuning kehijauan, karena bercampur dengan cairan empedu. Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalau berjalan posisinya membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Hati teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat intermiten atau remiten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan lokal di daerah antara iga ke-8, ke-9 atau ke-10,jarang terjadi ikterus. Padapemeriksaanlaboratorium ditemukan leukositosis moderat (15.000- 25000/mm3)yang terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear. Faal hati jarang terganggu dan jarang ditemukan ameba di dalam tinja. Ameba dapat ditemukan di dalam bahan cairan aspirasi abses bagian terakhir atau bahan biopsi dinding abses. Pada pemeriksaan penerawangan tampak peninggian hemidiafragma kanan, gerakannya menurun atau kadangkadang terjadi gerakan paradoksal (pada waktu inspirasi diafragma justru bergerak ke atas). Pada pemeriksaan foto dada postero-anterior maupun lateral kanan, tampak sudut kostofienik kanan tumpul di bagian depan (pada abses
hati piogenik, tumpul di bagian belakang).
Amebiasis pleuropulmonal. Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kira-kira 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura, atelektasis, pneumonia, atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial,penderita batuk-batuk dengan sputum berwama kecoklatan yang rasanya seperti hati. Abses otak, limpa, dan organ lain. Abses otak, limpa, dan organ lain dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi. Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar, dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
PENGOBATAN Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efaktif di semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan.
Amebiasis Asimtomatik (CarrierAtau Cyst Passer). Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Di samping itu carrier juga merupakan sumber infeksi utama. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superfisia1,tidakmencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan gangguan peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya:
Diloksanit furoat (diloxanitefuroate). Dosis : 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi (8085%), sedangkan efek sampingnya sangat minimal hanya berupa mual dan kembung. Diyodohidroksikin (Diiodohydroxyquin).Dosis : 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari. YodoMorohidroksikin (lodochlorohydroxyquin) atau Miokinol (clioquinol). Dosis : 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari.
Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxyquinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal. Efektivitasnya60-70%. Efek samping yang terjadi biasanya ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga berat, berupa subacute myelooptic neuropathy (SMON). Efek samping ini hanya terjadi apabila dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai yang telah ditentukan. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit optic neuropathy. Juga sebaiknya tidak diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit kelenjar gondok, karena obat ini dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok.
Karbarson (Carbarsone). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Bisthmuth glycoarsanilate. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen, yang saat ini sudah jarang dipakal lagi. Sering timbul efek samping diare. Klefamid (Clefamide). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari. Paromomycin. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari. Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisidjaringan yang dapat dipakal adalah :
Klorokuin difosfat (chloroquine diphosphate). Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan dengan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12 hari. Obat anti malaria ini mudah diserap dan saluran pencemaan, tetapi lambat ekskresinya. Konsentrasi obat di dalam jaringan, terutama jaringan hati sangat tinggi sehingga dipakai untuk profilaksis timbulnya abses hati ameba. Efek samping obat berupa mual, pusing dan nyeri kepala. ,Pemberian jangka lama dapat mengakibatkan retinopati. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil, karena dapat mengakibatkan anak lahir tuli. Metronidazol.Dosis 35-50 mgkg berat badan atau 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari. Tinidazol. Dosis 50 mgkg berat badan atau 2 g sehari, selama 2-3 hari. Ornidazol. Dosis 50-60 mgkg berat badan atau 2 gm sehari, selama 3 hari. Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus (ekstraintestinal). Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri kepala. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pasien yang mengidap penyakit darah (blood
discrasia), juga kepada ibu hamil karena terbukti pada binatang percobaan obat ini mempunyai sifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi bakteri. Disentri Ameba Ringan-Sedang Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan submukosa, dan dapat mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infis cairan elektrolit atau transksi darah. Oleh karena didapatkantrofozoit di &lam lumen dandi &lam dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah mettonidazol dengan dosis 3 x 750 mg sehari selarna 5-10 hari. Dapat pula dipakai tinidazol atau ornidazol dengan dosis seperti tersebut di atas. Oleh karena pada pasien yang sudah sembuh dengan pengobatan metronidazol dapat timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3-4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Dapat dipakai diyodohidroksikin, kliokinol, atau diloksanid firoat dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi tetrasiklin, dengan dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari.
I.
"Carrier" Asirntomatik (Luminal Agents) : 1. lodoquinol (tablet 650 rng), dosis 650 rng tiga kali sehari selama 20 hari. 2. Paromomycin (tablet 250 rng), dosis 500 rng tiga kali sehari selama 10 hari.
II. Kolitis Akut Metronidazole (tablet 250 atau 500 mg), dosis 750 mg per oral atau "intravena" (IV) tiga kali sehari selarna 5-10 kali ditambah dengan bahan luminal dengan dosis yang sama. Ill. Abses Hati Ameba 1. Metronidazole, dosis 750 rng per oral atau i.v tiga kali sehari selama 5-10 hari. 2. Tinidazole, dosis 2 g per oral 3. Omidazole, dosis 2 g per oral ditambah bukan luminal dengan jumlah yang sama.
Disentri Ameba Berat Pasien ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti pada disentri ameba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau dehidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan yang dalam. Tidak diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin 1 mgkg berat badan sehari (maksirnurn 60 mg sehari)selama 3-5 hari; dehidro-emetin 11,s mglkg berat badan sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek
samping emetin terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita meninggal mendadak. Oleh karena itu penderita perlu diobservasi dengan teliti, terutama tekanan darah, denyut nadi, dan elektrokardiografi. Kelainan EKG yang sering terjadi adalah kelainan gelombang T yang mendatar atau terbalik. Dapat pula terjadi aritmia. Amebiasis Ekstra Intestinal dan Ameboma Penderita abses hati ameba dapat diberi metronidazol atau obat lain golongan nitroimidazol dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi klorokindifosfat dengan dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari; dilanjutkan dengan 600 mg sehari, selama 4 minggu. Masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroemetin atau emetin dengan dosis seperti tersebut di atas selama 10 hari. Kadang-kadang apabila abseS hati sangat besar (lebih dari 5 cm), akan sukar sembuh, sehingga perlu dipertimbangkan tindakan pungsi abses untuk mempercepat penyembuhan. Pada amebiasis ekstraintestinallainnya dan ameboma obat-obat tersebut di atas dapat diberikan, kecuali klorokin.
PROGNOSIS Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberdcan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan amebiasis yang disertai pe~yulit ehsi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak ameba.
PENCEGAHAN Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan 50°C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membinasakan kista. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan. Pengobatan massal secara berkala dengan metronidazol dan dilosanid furoat hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.
ASPEK KHUSUS Oleh karena amebiasis erat hubungannya dengan kebersihan individu dan lingkungan hidup maka higiene dan sanitasi merupakan faktor yang penting. Air dari persediaan air minum (PAM) perlu dimasak dulu sebelum diminum karena kista ameba tahan terhadap kadar klor standar yang ada didalamnya. Vaksinasi merupakan pencegahan penyakit yang ideal bagi individu atau masyarakat yang belum memiliki kekebalan terhadap amebiasis.
Adam EB, McLeod. Invasive amebiasis. Medicine 1977;56:315-7. Akbar N, Sulaiman A, Noer HM. Combined treatment of metronidazole and chloroquine in fulminant amebic dysentri complicated by hepatic and lung amoebiasis. Acta Medica Indoneslana 1975:19-25. Amebae. In: Joklik EK. Willet HP, Bernard Amos D. Zinsser Microbiology 18" ed. Norwalk, Connec-ticut: Appleton Century-crofts 1984: 1206-9. Balasegaram M. Amoeblasis: diagnosis and sur-gical treatment with emphasis on hepatic aspects. Med.Progr 1976; 16-17. Behrens MM. Optic atrophy in children after diiodohydroxyquin therapy. JAMA 1974: 228-693. Garcia EG. Treatment of amebiasis in Southeast Asia. Mod. Progr. 1981; 8: 11-4. Hunter GW, Swartnvelder JC, Clyde DR. Amebiasis. In: Trop. Mod. 5"' Ed. Phi1adelphia:WB Saunders;1976.p.323-44. Krupp IM, Powell SJ. Antibody respons to invasive amebiasis in Durban, South Africa. Am.J.Trop. Med.Hyg. 1971; 20: 414-20. Latonio AA. Treatment of amebiasis : reminders and pit falls. Med.Progr. 1976; 5: 13-4. Moerdowo R, Bakta IM. Beberapa segi klinis abses hati amubik dl RSUP Sanglah, Denpasar Bali. Naskah Lengkap Simposium Penyakit Hati Menahun, Jakarta 1979: 351-7. Paterson M, Heaty GR, Shabot JM. Serologic testing for amoebiasis. Gastroenterology 1980;78: 136-41. Plorde JJ. Amebiasis. 1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors: Wllson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Martin JB, Petersdorf RQ, Fauci AS, Root RK. I l t hEds. New YorkToronto: McGrawHill. Inc; 1991.p.778-8 1. Reed SL. Amebiasis and infection with free-living amebas. In: 1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors:Kasper DL, Fauci DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jarneson JL. 16 Eds. New York-Toronto: McGrawHill. Inc; 2005.p. 1214-18. Signh U. Diagnosis and management of amebiasis. Clin Infect Dis 29.1999:117. Stamm WP. Amoebic aphorism. Lancet 1970; 2:1355-6. Sulaiman A, Pang RTL. Noer HMS. Amubiasis hati: diagnosis dan pengobatannya. KPPIK FKUI VII, 1972: 12-16. TrissI D. Immunology of Entamoeba histolytica in human and animal hosts. Rev Inf Dis. 1982; 1154-71 Zaman V. Amoebiasis in Southeast Asia. Life-cycle and pathology of Entameba histolytica. Med. Progr. 1976; 5: 11-2.
"
DISENTRI BASILER Akmal Sya'roni
PENDAHULUAN
CARA INFEKSI
Disentri basiler atau shigellosis adalah suatu infeksi akut pada kolon yang disebabkan kuman genus shigella. Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies shigella yaitu S. dysentriae, S.Jexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe 0 dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya spesies yang memiliki serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda Genus ini mempunyai kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah lo2-1O3 organisme. Penyakit ini, kadang-kadang ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda sebagai berikut : diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, kram perut dan tenesmus.
Shigella memasuki host melalui mulut. Karena secara genetik bertahan terhadap PH yang rendah, mereka dapat melewati barier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Secara endemik pada daerah tropis penyebaran melalui air yang tercemar oleh tinja pasien, makanan yang tercemar oleh lalat, dan pembawa hama (carrier). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja dengan teliti karena basil shigella mudah mati, untuk itu diperlukan tinja yang baru.
Di dunia sekurangnya 200juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basiler didapatkan di mana-mana di seluruh dunia, tetapi kebanyakan ditemukan di negara-negara sedang berkembang, yang kesehatan lingkungannya masih kurang. Di Amerika Serikat, insidensipenyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centersfor Disease Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999,dari 3848 orang penderita dime berat, ditemukan 5 % shigella.
Gambar 1. Siklus transmisi (Contoh transmisi: makanan, jari-jari. tangan, air, lalat
KELAINAN ANATOMIS
Basil disentri tidak ditemukan di luar rongga usus dan tidak merusak selaput lendir. Kelainan pada selaput lendir disebabkan oleh toksin kuman. Lokasi usus yang terkena adalah usus besar dan dapat mengenai seluruh usus besar,
-
dengan kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ileum hanya ditemukan hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemis, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan adanya infiltrat, tetapi tidak pernah berbentuk ulkus bergaung (seperti pada disentri amuba). Selaput lendir yang rusak ini mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.
tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat halus, muntahmuntah. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada. Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan umum memburuk, inkotinensia urin dan alvi, gelisah, tapi kesadaran masih tetap baik, kelainan-kelainan menjadi bertambah berat. Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi, dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama, penyembuhan yang cepat jarang terjadi.
KELUHAN DAN GEJALA KLlNlS
Bentuk yang sedang. Keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darahllendir
Masa tunas penyakit ini berlangsung dari beberapa jam sampai 3 hari, jarang lebih dari 3 hari. Mulai terjangkit sampai timbulnya gejala khas biasanya berlangsung cepat, sering secara mendadak, tetapi dapat juga timbul perlahanlahan. Gejala yang timbul bervariasi : defekasi sedikitsedikit dan dapat terus-menerus, sakit perut dengan rasa kolik dan mejan, muntah-muntah, sakit kepala. Sifat kotoran mulanya sedikit-sedikit sampai isi usus terkuras habis, selanjutnya pada keadaan ringan masih dapat mengeluarkan cairan, sedangkan bila keadaan berat tinja berlendir dengan warna kemerah-merahan (red currant jelly) atau lendir yang bening dan berdarah, bersifat basa. Secara mikroskopik didapatkan sel-sel pus, sel-sel darah putihlmerah, sel makrofag yang besar, kadang-kadang dijumpai Entamoeba coli. Suhu badan bervariasi dari rendah-tinggi, nadi cepat, dan gambaran sel-sel darah tepi tidak mengalami perubahan. Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat (jiulminating cases) : biasanya di sebabkan oleh S.dysentriae. Berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air, muntahmuntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Pada kasus yang berat ini gejala-gejalanya timbul secara mendadak dan berat, dengan pengeluaran tinja yang banyak berlendir dan berdarah serta ingin berak yang terus menerus. Akibatnya timbul timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin, dan viskositas darah meningkat (hemokosentrasi). Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka dan nyeri, kadang-kadang timbul proplaps. Bila ada hemoroid yang biasanya tidak timbul akan menjadi mudah muncul ke luar. Suhu badan tidak khas biasanya lebih tinggi dari 39°C
Bentuk yang ringan. Keluhan-keluhadgejala tersebut di atas lebih ringan. Bentuk yang menahun. Terdapat serangan seperti bentuk akut secara menahun. Bentuk ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.
GAMBARAN ENDOSKOPI
Gambaran endoskopi, memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada dibagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus besar.
KOMPLIKASI DAN GEJALA SlSA
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler, terjadi pada pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi oleh S.dysentriae tipe 1 dan S.$exneri pada pasien dengan keadaan gizi yang buruk. Misalnya bakteremia, relatifjarang terjadi di Amerika Serikat, tetapi di Dacca Bangladesh, bakteriemia tercatat 8% dari seluruh pasien disentri basiler yang dirawat. Adanya bakteriemia, akan menyebabkan angka kematian yang tinggi pada pasien yang berumur kurang dari 1 tahun. Faktor lain yang memperberat bakteriemia di Amerika Serikat yaitu apabila pasien dengan acquired immunodefiency syndrome (AIDS). Komplikasi lain disenti basiler oleh infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah izaemolytic uremic syndrome (HUS). Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler, pada saat disentri basilernya mulai membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit ( sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul
anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula dengan HUS ini, terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000 per mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000 trombosit per mikro liter). Juga dapat tiinbul hiponatremia dan hipoglikemia berat. Bisa pula timbul gejala susunan saraf pusat, termasuk disini keluhan ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh. Selanjutnya pada disentri basiler, dapat timbul komplikasi berupa artritis, yang biasanya timbul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut, biasanya dihubungkan dengan infeksi S.jlexneri. Kelainan ini dapat terjadi pada kasus yang ringan, cairan sinoval sendi mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, sedangkan keluhan artritis ini dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun ha1 ini jarang terjadi. Neuritis periferjarang terjadi, biasanya timbul setelah serangan S.dysentriae yang toksik. Iritis atau iridosiklitis biasanya timbul bersama dengan artritis. Komplikasi intestinal seperti tokslk mega kolon, prolaps rektal dan perforasi. Peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat mempunyai angka kematian yang tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding disentri basiler ialah radang kolon yang disebabkan oleh kuman enteroheinoragik dan enteroinvasif E.coli, Campylobacter jejuni, Salmonella entereditis serotipe, Yersinia enterocolitica, Clostridium diSJicile dan protozoa Entamoeba histolytica. Diagnosis banding yang tidak berhubungan dengan infeksi yaitu kolitis ulseratif atau Chron k colitis.
DIAGNOSIS DENGAN CARA KHUSUS
Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis disentri basiler ialah pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab juga untuk ameba dan kista ameba serta biakan hapusan (rectal swab). Metode diagnostik lainnya adalah polymerase chain reaction (PCR) yang spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas. Pemeriksaan enzim immunoassaydapat rnendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi dengan S. dysentriae tipe 1, atau toksin yang dihasilkan E.coli. Pada stadium lanjut dilakukan
pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitologi (sigmoidoskopi). Aglutinasi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50, dan pada S.jlexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.
PROGNOSIS
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk j7exneri mempunyai angka kematian yang rendah.
PENGOBATAN
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat mencegah atau memperbaiki dehidrasi, dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika. Cairan dan Elektrolit Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita akan turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui i n h s untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu, atau dapat juga oralit. Jika penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan. Diet Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kalikari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan Spesifik Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tak ada perbaikan antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan perbaikan diagnosis hams ditinjau ulang dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis tinja, kultur dan resistensi mikroorganisme. Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, klorainfenikol dan tetrasiklin, hampir universal terjadi dan
banyak shigella saat ini resisten terhadap ampisilin dan sulfametoksazol. Situasi pada tiap wabah penyakit ini menimbulkan resistensi yang berbeda-beda, karena itu pada wabah sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila pada setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman penyebabnya, tetapi tindakan ini akan mengakibatkan pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kilman terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan, dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mglhari, selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2x 960 mglhari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler, karena tidak efektif. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti siprofloksasin, atau makrolide azithromisin berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mghari selama 3 hari. Pemberian siprofloksasinmerupakan suatu kontraindikasi terhadap an&-anak dan wanita hamil. Dosis azitromisin yang dianjurkan adalah 1 g dosis tunggal dan untuk sefiksim 400 mglhari selama 5 hari. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S. dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3x1 ghari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler. Obat-obat antispamodik (misal, tinktura beladona) dapat menolong dalam pengobatan bila terjadi kram yang berat. Obat-obat yang menghambat peristaltik usus (paregorik, difenoksilat dengan atropin dan loperamid) belum jelas penggunaannya dalam fase permulaaan disentri basiler. Obat-obat ini, mempunyai efek membantu dalam membatasi diare. Obat-obat ini tidak diindikasikan pada fase disentri.
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk shigella. Penularan disentri basiler dapat dicegah dengan lingkungan yang bersih dan diri yang bersih. Membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih dapat mengurangi penularan disentri basiler. Pengobatan antibiotikatidak dianjurkan untuk karier yang asimptomatik.
Arizona Department of Health Services. Shigellosis. Arizona Department of Health Services.com. August, 2004. Centre for Disease Control and Prevention National Centre for Infectious Diseases. Shigellosis. September, 2003. Chambers HF. Infectious diseases: bacterial and chlamydial. In: Tiemey LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnostic and treatment. 43 th ed. USA: Mc Graw Hill; 2004.p.1363-64. ICD-9 004; ICD-10 A03. Shigellosis (Bacillary Dysentery).527-531. Keusch GT. Shigellosis. In: Isselbacher, Wilson, Braunwald et al, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16Ih ed. USA: Mc Graw Hill; 2005.p. 902-6. Kroser JA. Shigellosis. eMedicine.com. Inc. May 17, 2002. Listing of disease related to water and environmental sanitation. Bacillary Dysentery, Shigellosis. Controlling and Preventing Disease. Maryland Department of Health and Mental Hygiene- Epidemiology and Disease Control Program. Shigellosis fact sheet. May, 2002. Master PA, 0 Bryan TA, Zurlo J, Miller DQ. Trimethoprime sulfamethoxazole revisited. Archieves of Internal Medicine. 2003;163: 402-10. Nivogi SK. Shigellosis. The Journal of Microbiology. Vo1.43. No.2. Apri1,2005: 133-143. Smith.JF. Medical library. Shigellosis. May I I, 2005.http :// www.cholibrary.org Subekti D, Oyofo BA, Tjaniadi P et al. Shigella spp. Surveillance in Indonesia: the Emergence or Re-emergence of S. dysenteriae. Emerging Infectious Diseases. Vo1.7 No. I. January, 2001. WHO. Weekly Epidemiological Record. September, 2004:355-356.
HIVIAIDS Dl INDONESIA Zubairi Djoerban, Samsuridjal Djauzi
PENDAHULUAN Masalah HIVIAIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIVIAIDS. HIVIAIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIVIAIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.
AIDS (Acquired lmmunodejiciency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodejiciency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi H N
SWARAH Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari beberapa literatur sebelurnnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi sumeilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria
berusia 15 tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularannya berasal dari orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an, atau lebih awal. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-111. Sedangkan tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa baru tersedia pada tahun 1985. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan HIVIAIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekadar objek, sebagai pasien. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehinggatidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-progessor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.
TROPIK IN-I
Penularan HIVIAIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok rislko tinggi terhadap HIVIAIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana. Narnun, infeksi HIVIAIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok rislko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual. Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIVIAIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIVIAIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksl HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 19951 1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di JakartaUtara, dan 5 3 % di Jawa Barat. Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika'hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga tampaknya semakin luntur. P e n g a ~ hteman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol. Pengguna narkotika suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey
sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIVIAIDS pada masyarakat umum. Jikapada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lamamakin meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 199211993, 0,003% pada periode 199411995,0,004% pada periode 19981 1999 dan 0,016% pada tahun 2000." Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor darah berasal tahanan di lembaga pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di nunah sakit yang beluln mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara. Pada narapidana, suatu survey cross sectional di penjara narkotika di Bandung, memperlihatkan prevalensi HIV pada warga binaan yang 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka nasional. Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif terinfeksi HIV.
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ behngsi mengoordinasikan sejumlah fimgsi imunologis yang penting. Hilangnya hngsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian ImmunodeJiciency firus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada m k o s a vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening makaka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in s i b dalam 7 sampi 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah , bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid
'
HIV/AlDS Dl INDONESIA
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state' beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksijamur, herpes, dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhimya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnyabukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar lo9sel setiap hari. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna: narkotika. Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan dengan infeksi pneumonia dan' tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat' pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3.Temyata 56,14% mempunyai jumlah virus dalam darah (viral load) yang melebihi 55.000 kopilml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik. i
TES HIV Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karenc pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah' bertahun-tahun lamanya. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar
-
dapat di$&i meqjqdi pemeriksan serologik untuk mendeteks'i adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalarn tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lelrih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV, Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELIS4 (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakaq di Indonesia adalah dengan ELISA. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien (Tabel 1).
~ u j u a nPemeriksaan Keamqnan .,. transfusi dan transplantasi Surveillance Diagnosis
.
.
Prevalensi infeksi HIV
Strategi Pemeriksaan
Semua prevalensi
I
>I0 %
Bergejala infeksi HIV /AIDS Tanpa gejala
-
>30 %
-c30 %
>I0 % 4 0% -
Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya Strategi I, hanya dilakukan 1kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini hams memiliki sensitivitasyang tinggi (> 99%). Strategi I1 menggunakan 2 kali pemeriksaanjika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil
pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. Strategi I11 menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HlV, yang paling sering dipakai saat ini adalah tehnik Western Blot
W). Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis hams mendapatkan konseling pra tes. Hal ini hams dilakukan agar ia dapat mendapat infoimasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIVI AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjangmasa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.
KRI'TERIA DIAGNOSIS
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan meteode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik (Tabel 2) atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/rnrn3.
HIV/AlDS Dl INDONESIA
getah bening) CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan) Ensefalopati HIVa Herpes sirnpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis, pneurnonitis, atau esofagitis Histoplasrnosis, diserninata atau ekstraparu Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru Kandidiasis esofagus Kanker sewiks invasive Koksidiodornikosis, diserninata atau ekstraparu Kriptokokosis, ekstraparu Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Leukoensefalopati rnultifokal progresif Lirnforna, Burkitt Lirnforna, irnunoblastik Lirnforna, primer pada otak Mikobakteriurn aviurn kompleks atau M. kansasii, diserninata atau ekstraparu Mikobakteriurn tuberkulosis, paru atau ekstraparu Mikobakteriurn, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diserninata atau ekstrapulrnoner Pneumonia Pneumocystis carinii Pneumonia rekurenb Sarkoma Kaposi Septikernia Salmonella rekuren Toksoplasrnosis otak Wasting syndromeC 'Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggukerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan atau MRI) b~erulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun qerdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan dernam lama (>30 hari, intermiten atau konstan), tanpa dapat dijelaskan oleh penyakitlkondis~lain (mis. kanker, tuberkulosis. enteritis spesifik) selain HIV
PENATALAKSANAAN HIVIAIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIVIAIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a). pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b). pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIVJAIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c). pengobatan suportif, yaitu
makanan yang mempunyai nilai' gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. T E M P I ANTIRETROVIML (ARV) Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadijauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasisyang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakteriumatipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan oclha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut. Sarkoma Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian sarkoma kaposi. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia (Tabel 3). Waktu memulai terapi ARV hams dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikanpada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk masuk dalam kriteria diagnosis AIDS,atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan llimfosit CD4+ kurang dari 200 sell mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 se1/mm3dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sell mm3danviral load leblh clan 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda.Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3danviral Ioadkurang dari 100.000kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan(Tabe1 4), dengan
Dagang Duviral
Tablet, kandungan: zidovudin 300 rng, 2 x I tablet larnivudin 150 rng Kapsul: 2 x 4 0 mg <:2x3Omg 30 mg, 40 mg Tablet 150 mg Lar.oral 10 mglml 2x150mg
w:
Stavir Zerit Hiviral 3TC
Stavudin (d4T)
NsRTl
Lamivudin (3TC)
NsRTl
Viramune Neviral
Nevirapin (NVP)
NNRTl
Tablet 200 mg
Retroyir Adovi Avlmid Videx
Zidovudin (ZDV, AZT)
NsRTl
Kapsul100 mg
Didanosin (ddl)
NsRTl
Tablet kunyah: 100 mg
Efavirenz (EFV,EFZ) Nelfinavir (NFV)
NNRTI
Kapsul200 mg
Stocrin,
-:
,
2 mglkg, 2xlhari 1 x 200 mg selama 14 hari, dilaniutkan 2 x 200 mg 2 x 300 mg, atau 2 x 250 mg (dosis alternatif) > 60 kq: 2 x 200 mg, atau 1 x 400 mg < 60 kq: 2 x 125 mg, atau 1 x 250 mg 1 x 600 mg, malam
Nelvex , PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg Viracept NsRTI= nucleoside reverse transcriptase inhlbitor, NNRTl = non-nucleosidereverse transcnptase inhibitor, PI = protease inhibrtor Diperbaharui dari: (37)
keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP) . ObatARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV @ostexposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitaspenulamn HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%.Artinya dari 100 ibu harnil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagianbesar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu. Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1%. Namun sayangnya di negara berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.
lnteraksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada
prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang teIah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya (Tabel 5) Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddI yang hams diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai bufjr antasida. Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada odha dengan TB pada kolom B (Tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun, jika evafirenz tidak memungkinkan diberikan, pada pemberian
Kolom A lamivudin + zidovudin lamivudln + dldanosin lamivudln + stavudin lamivudln + zldovudln lamivudln + stavudin lamivudin + didanosin lamivudin + zidovudin ,,,-- . lamivudin + stavudin , lamivudin + didanosin
Kolom B Evaflrenz* Nevlrapln Nelvinafir
Tidak dianjurkan pada WX hamil trimester pertarn? atau r . wani$ yang berpotensi tinggi untuk hamil Catatan.: kombinasi vana - - sama sekali tidak boleh adalah : ~id~vudin + stavudin
WIV/AU)S Dl INDONESIA
Kondisi
Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB ekstrapulmonal
Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV jika toleransi terhadap OAT telah tercapai. Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2 bulan.
TB paru, CD4 50-200 sel/mrn3atau hitung limfosit total < 1200 sel/rnrn3 TB paru, CD4 > 200 sel/rnm3atau hitung limfosit total > 1200/mrn3
lstilah
Definisi
Kegagalan virologis
Gagal untuk mencapai: VL (viral load) < 400cImL dalam 24 minggu atau VL < 50cIrnL dalam 48 minggu atau Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL > 50cImL setelah VL < 50cImL. Catatan: kebanyakan pasien akan rnengalami penurunan pada VL > Iloglo c/rnL pada 1-4 rninggu. Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 2550 cell/mm3 dalarn satu tahun. Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitun 1 CD4 150 celllmm3 dalarn 1 tahun pertarna dengan HAART pada pasien yang belum pernah diobati. Terjadinya atau kekarnbuhan gejala terkait HIV lebih dari 3 bulan setelah terapi HAART dirnulai. Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus disinakirkan.
Mulai terapi TB. Jika rnemungkinkan monitor hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi setelah terapi TB selesai. Kegagalan imunologis
bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikkan. Kegagalan klinis
EVALUASI PENGOBATAN Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan. indikator yang dapat dipercaya untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV. Jika tidak terdapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit total yang sudah dapat dikerjakan di banyak laboratorium pada umumnya. Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tepat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV. Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektifitas obat ARV. Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi ARV lini pertama menjadi ha1 yang banyak diteliti. Definisi kegagalan terapi dapat dilihat pada Tabel 6. Obat-obat golongan protease inhibitor (PIS) seperti lopinavirl ritonavir, atazanavir, saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap resistensi. Obat golongan lain memiliki barier yang rendah. Walau demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan PIS- terkait HAART (highly active anti-retmviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitif,kecuali bila digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis. Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit secara klinis dimulai setelah > 6 bulan memakai ARV
Pada WHO stadium 3: penurunan BB > 10 %, diare atau demam > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat atau "bedridden " lebih dari 50% dari satu bulan terakhir Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu penghentian regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan ha1 yang kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.
lndikasi
Tidak diindikasikan
Kegagalan virologis dengan VL (viral load) > 1.000 c/mL Supresi viral suboptimal dengan VL > 1.000clrnL lnfeksi HIV akut Baseline, untuk mendapatkan terapi inisial. Setelah penghentian terapi antiretroviral > 1 bulan terapi VL < 1.000 c/mL
UPAYAPENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di beberapa negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu a). pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda; b). program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran; c). program kerjasama dengan media cetak dan elektronik; d). paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaanjarum suntik steril;
-
'
e). program pendidikan agama; f). program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); g).prograin promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat; h), pelatihan ketrampilan hidup; i). program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling; j). dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak; (k) integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk odha; dan (1) program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV. Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, kita sebenarnya sudah inampu melakukannya. Hanya sayangnya program-program tersebut belum dilaksanakan secara berkesinambungan dan belum merata di seluruh Indonesia. Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda, perlu dipikirkan strategi penerapannya di sekolah, akademi dan universitas dan untuk remaja yang ada di luar sekolah. Walaupun sudah ada SK Mendiknas mengenai masalah ini, namun secara nasional belum diterapkan. Selain itu, sampai saat ini kurikulum nasional pendidikan HIVIAIDS untuk mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan tenaga keperawatan masih dalam proses awal penyusunan. Penyelesaian kurikulum ini penting untuk disegerakan mengingat kebutuhan akan tenaga kesehatan yang mengerti seluk-beluk HIVIAIDS sudah amat mendesak. Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pengalaman dengan sasaran yang berbeda-beda. Program magang, akan berguna untuk daerah-daerah yang belum mengerjakan atau ingin memperluas cakupan kelompok sasarannya. Sistem magang antar LSM yang sekarang ini sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan perlu ditingkatkan. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait dengan HIVIAIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Kehidupan beragama yang berjalan baik selama ini tentu tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan di rumah. Namun demikian ada beberapa ha1 yang mungkin dapat diperbaiki. Di antaranya, diperlukan strategi belajar-mengajar yang berpijak pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penggunaan bahasa dan idiom-idiom yang disesuaikan dengan peserta didik. Sebagai misal, istilah khamr atau alkohol tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari remaja. Demikan pula istilah heroin, metiletilendioksi metamfetamin, kokain, dan LSD tidak begitu dikenal oleh remaja kita. Mereka lebih mengenalnya dengan nama putauw, ekstasi, dan cimeng.
Pelatihan keterampilan hidup amat diperlukan oleh remaja agar mengenal potensi diri, tahu memanfaatkan sistem informasi, serta mengenal kesempatan dan cara-cara mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomi dan pendidikan membaik, niscaya penularan HIVIAIDS dapat ditekan. Pengadaail tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan menyebabkan orang-orang yang merasa mempunyai risiko tinggi beringan kaki mendatangi tempat-tempat tes dan konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan orang yang terinfeksi HIV akan menerapkan seks aman dan tidak menularkan HIV ke orang lain. Sayangnya teinpat-tempat tersebut masih langka sekali. Di Jakarta hanya ada beberapa buah, sementara di luar Jakarta sukar ditemukan. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak memang bukan merupakan kegiatan yang mudah dikerjakan. Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan kepedulian dan partisipasi aktif berbagai lapisan masyarakat seperti LSM, ahli hukum, ahli ilmu sosial, media massa, kepolisian, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan lain-lain. Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk odha merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program penanggulangan HIVIAIDS. Bila kita melaksanakan program pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila dilakukan bersama program pengobatan, layanan dan dukungan untuk odha. Masyarakat yang mendapat penyuluhan saja, kemudian merasa mempunyai perilaku risiko tinggi tidak akan mau melakukan tes HIV bila ia melihat tidak ada yang mau merawat odha, atau bila ia mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaannya, dan dikucilkan dari keluarga dan masyarakat. Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIVIAIDS yang terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah kita terapkan untuk menekan kecepatan peningkatan prevalensi HIVIAIDS di Indonesia. Namun demikian perbaikan masih hams dilakukan di sana-sini. Bukan hanya yang menyangkut kualitas program, namun juga perluasan cakupan penerima program.
REFERENSI Borrow P, Lewicki H, Hahn BH, Shaw GM, Oldstone MB. Virusspecific CD8+ cytotoxic T-lymphocyte activity associated with control o f viremia in primary human immunodeficiency virus type 1 infection. J Virol 1994; 68:6103-10. CDC. 1993 revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents and adults. MMWR 1992;41(no. RR-17). Chakrabarti L, Isola P, Cumont M-C, et al. Early stages of simian immunodeficiency virus infection in lymph nodes. Am J Pathol 1994; 144: 1226-34.
-
CD8(+) T cell depletion in simian immunodeficiency virusinfected macaques. J Exp Med 1999; 189:991-8. ted Sarcoma: Biology and ndvel theraKrown SE. ~ l ~ s - ~ e i aKaposi's peutic strategies. Dalam: Perry MC, Chung M, Spahlinger M, editor. Proceeding of 38th Annual Meeting of ASCO; 18- 21 May 2002; Orlando,FL.Alexandria:ASC0;2002.h. 249-59.. Komlsi Penanggulangan AIDS Nasional. Ancaman HIVIAIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Jakarta: Depkes RI; 2002. Kovacs JA, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infection in patients with human immunodeficiency patients. N Eng J Med 2Ob0;342(19): 1416-29. Lederman MM, Valdez H. Immune restoration with antiretroviral therapies. JAMA 2000;284(2):223-8. Lathey JL, Hughes MD,Fiscus Sa, Pi T, Jacson B, Rasheed S et al. Variability and Prognostic Values of Virologic and CD4 Cell Measures in Human Immunodeficiency Virus Type1 - Infected Patients with 200-500 CD4 cells/mm3 (ACTG 175). J Infect Dis 1998; 177:6 17-24. Lydia A. Hitung Limfosit Total sebagai Prediktor Hitung Limfosit CD4 pada Pasien AIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. 1996 Internal error: Invalid file format. I In-line.WMF *]Gal~yRF, Witte MH, Gottlieb AA, Elvin-Lewis M, Gottlieb MS, Witte CL, Alexander SS, Cole WR, Drake WL Jr. Documentation of an AIDS virus infection in the United States in 1968. JAMA. 1988 Oct 14;260(14):2085-7. Montagnier L, Chermann JC, Barre-Sinoussi F, Klatzmann D, WainHobson S, Alizon M, et al.Lymphadenopathy associated virus and its etiological role in AIDS. Princess Takamatsu Symp. 1984;15:3 19-31. Monitoring the AIDS Pandemic (MAP). The Status and Trends of HIVIAIDSISTI Epidemics in Asia and the Pacific. Washington DC:;2001. Mercader M, Nickoloff BJ, Foreman KE. Induction of Human Immunodeficiency Virus I Replication by Human Herpesvirus 8. Arch Pathol Lab 2001;125:785-9. Palella FJ,DelaneyKM, Moorman AC, Loveless MO,FuhrerJ, Satten health/rtis/MTCT/mtct~consultation~october~2000/ GA,et al. Declining Morbidity and Mortality among Patients consultation~documents/efficacy~of~arv~regimens/ with Advanced Human Immunodeficiency Virus Infection. N efficacy~of~antiretroviral~regimens.en.html Eng J Med 1998,38(13):853-60 Gotlieb MS. AIDS-Past and Future. N Engl J Med 2001;344(23):1788Pantaleo G, Graziosi C, Demarest JF, et al. Role of lymphoid organs 90. in the pathogenesis of human immunodeficiency virus (HIV) Goldie SJ, Kaplan JE, Losina E, Weinstein MC, Paltiel AD, Seage GR infection. Immunol Rev 1994; 140: 105-30. 3rd, et al.Prophylaxis for human immunodeficiency virus-reReimann KA, Tenner-Racz K, Racz P, et al. lmmunopathogenic lated Pneumocystis carinii pneumonia: using simulation modelevents in acute infection of Rhesus monkeys with simian iming to inform clinical guidelines. Arch Intern Med munodeficiency virus of Macaques. J Virol 194;68:2362-70. 2002;162(8):921-8. Sarngadharan MG, DeVico AL, Bmch L, Schupbach J, Gallo RC. HTLVGortmaker SL, Hughes M, Cervia J, Brady M, Johnson GM, Seage 111: the etiologic agent of AIDS. Princess Takamatsu Symp. GR. Effect of Combination Therapy including Protease Inhibi1984; 15:30 1-8. tors on Mortality among Children and Adolescents Infected Subdit PMS & AlDS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. Statistik Kasus with HIV-I. N Engl J Med 2001; 345: 1522-28 HIVIAIDS di Indonesia: s.d Maret 2005. Majalah Support. Huminer D, Rosenfeld JB, Pitlik SD. AIDS in the pre-AIDS em. Rev Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu.2005. Infect Dis. 1987 Nov-Dec;9(6): 1102-8. Suryamin M. Hitung limfosit total sebagai indikasi memulai terapi Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance for AIDS antirehoviral pada pasien HIVIAIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.2002. defining opportunistic illnesses, 1992-1997. MMWR CDC Surveil1 Summ 1999;48(SS-2): 1-22. UNAIDS-WHO. Revised recommendations for the selection and Jones JL,Hanson DL, Dworkin MS,et al. Incidence and trends in use of HIV antibody tests. Weekly Epidemiological Report Kaposi's sarcoma in the era of effective antiretroviral therapy. 1997;72:81-8. J Acquir Immune Defic Syndr 2000;24:270-4. O'Brien WA, Hartigan PA, Martin D, Esinhart J, Hill A, Benoit S et Jin X, Bauer DE, Tuttleton SE, Lewin S, Gettie A, Blanchard J, Irwin al. Changes in Plasma HIV-1 RNA and CD4+ Lymphocyte Counts CE, Safrit JT, Mittler J, Weinberger L, Kostrikis LG, Zhang L, and the Risk of Progression to AIDS, N Engl J Perelson AS, Ho DD. Dramatic rise in plasma viremia after Med1996;334:426-43.
Collier AC, Coombs RW, Schoenfeld DA, Bassett RL, Timpone J, Baruch A. Treatment of Human Immunodeficiency Virus Infection with Saquinavir, Zidovudine, and Zalcitabine. N Engl J Med 1996; 334: 101 1-8. Djoerban Z. Membidik AIDS: lkhtiar memahami HIV dan odha. Ed 1 . Yogyakarta:Penerbit Galang;1999 Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman Nasional - Perawatan, dukungan dan pengobatan bagi odha.Jakarta:Departemen Kesehatan RI, 2003. Djoerban Z, Wydiatna, Solehudin U, Sri Wahyuningsih. KAP STUDY on Narcotics and HIVIAIDS among Teenagers in South Jakarta. Proceeding of the XI11 International AIDS Conference . 9-14 Juli 2000; Durban, South Africa. Bologna:Monduzzi Ed;2000. D~tjenPPM & PL Depkes RI. Rencana strategis penanggulangan HIVIAIDS di Indonesia 2003-2007,Jakarta:Departemen Kesehatan RI.2003 Djauzi S, Djoerban Z, Eka B, Djoko P, Sulaiman A, Rifayani A,dkk. Profile of drug abusers in Jakarta's urban poor community. Med J Ind 2003;Kustin, Djauzi,dkk. Hasil survey pada wanita hamil di Jakarta 1999-2000. Yayasan Pelita Ilmu, 2000. Djauzi S. Penatalaksanaan indeksi HIV. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Uji Diri. Jakarta: Yayasan Penerbit ID1,1997.UNAIDS/WHO. AlDS epidemic update 2004. [accessed Jan 20 20051. Available at url: http://www.unaids.org/ wad2004lreport.html Djoerban Z. Viral Load Profiles in Drug Users with Asymptomatic HIV Infection with Normal CD4 Cell Counts. Med J Ind 2002; 1 l(3). Depkes RI. Protap TB Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV Infection. Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-Infected Adults and Adolescents.0ctober 29 2004. [access 10 Jan 20051, available at url: http://aidsinfo.nih.gov/ Farley T, Buyse D, Gaillard P, Perriens J. Efficacy of Antiretroviral Regimens for the Prevention of Mother to Child Transmission of HIV and Some Programmatic Issue. Background documents for WHO Technical Consultation October 2000. [accessed 20 Feb 20031, available at url:http:/lwww.who.int/reproductive-
Vaccher E, Spina M, Talamini R, Zanetti M, di Gennaro Ci Nasti 4 et al. Improvement of systemic human immunodeficiency virus-related non-Hodgkin lymphoma outcome in the era o f highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis. 2003;37(11):1556-64. Wei X, Decker JM, Wang S, Hui H. Kappes JC, Wu X, SalazgrGonzalez JF, Salazar MG, Kilby JM, Saag MS. Komarova NL, Nowak MA, Hahn BH, Kwong PD, Shaw GM. Antibody neutralization and escape by HIV-I. Nature 2003; 422:307-12. Wigati. Hubungan antara pola penggunaan jarum suntik dengan risiko terjadinya infeksi rnaupun penurunan sistem imun selular pada
pengguna heroin suntik. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis I llmu Penyakit Dalam, FKUI. 2003. Wahl SM, Greenwell-Wild T, Peng G, Hale-Donze H, Doherty 'TM, Mizel D, Orenstein JM. Mycobacterium Avium Complex augments macrophage HIV-I production and increases CCRS expression. Proc Natl Acad Sci 1998;95: 12574-9. WHO. The use o f antiretroviral therapy: A simplified approach for resource-constrained countries. New Delhi. World Health Organization.2002.
INFEKSI JAMUR Nasronudin
PENDAHULUAN Infeksi jamur, dikenal sebagai mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien yang rawat inap di rumah sakit terutama yang imunokompromis. Indonesia sebagai negara berkembang belum sepenuhnya berhasil membasmi penyakit infeksi jamur, kini dihadapkan pada masalah baru dengan hadirnya infeksi HIVJAIDS. Penyakit ini potensial mendesak status imun penderita kearah imunokompromais sehingga infeksi jamur dapat tumbuh kembang dengan subur. Infeksi jamur pada manusia dibagi menjadi infeksi jamur endemik dan infeksi jamur oportunistik. Infeksi jamur oportunistik tidak saja merupakan bagian dari infeksi HIVIAIDS tetapi juga merupakan infeksi oportunistik pada leukemia, tumor padat, limfoma maligna, transplantasi organ. Beberapa keadaan dapat mendorong individu terinfeksi jamur. Infeksi jamur umumnya akibat paparan dari sumber lingkungan dan aktivasi flora jamur endogen akibat penyakit yang melandasi maupun sebagai akibat dari intewensi diagnostik dan terapi. Infeksi jamur tidak hanya mengenai bagian tubuh luar saja, tetapi juga menimbulkan penyakit sistemik yang mengancam jiwa. Akibat paparan jamur sangat tergantung dari derajat dan jenis respons imun host. Respons imun selular merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Neutrofil dan fagosit mempunyai peran penting dalam mengeliminer infeksi jamur. Di masa lalu infeksijamur mash kurang diperhitungkan, maka kini harus mendapatkan perhatian serius karena bukan saja diagnosisnya yang sering terlewatkan, tetapi potensi mendorong penderita ke kearah kematian semakin tinggi.
Infeksi jamur atau mikosis digolongkan menjadi infeksi jamur endemik (histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, dan parakoksidio-idomikosis), dan infeksijamur oportunistik. Kandidiasis, merupakan mikosis dengan insidens tertinggi pada infeksi oportunistik. Hal tersebut disebabkan karena jamur tersebut merupakan bagian dari mikroba flora normal yang beradaptasi dengan baik untuk hidup pada inang manusia, terutama pada saluran cerna, saluran urogenital, dan kulit. Histoplasmosis, meskipun ditemukan diberbagai belahan dunia, terutama di Amerika utara dan tengah. Koksidioidomikosis,terutama di Arizona dan California, Mexico dan Texas, sertaAmerika selatan. Kriptokokus, kebanyakan ditemukan di daerah subtropik dan tropik termasuk Australia, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika. Sebelum era highly active antiretroviral theraphy (HAART), kriptokokus meliputi 5-10% penderita AIDS terutama bila CD4 kurang 50 seV mm3. Pada populasi non AIDS, kriptokokus terutama sebagai infeksi oportunistik pada individu yang mengalami transplantasi organ, penderita yang mendapatkan imunosupresan jangka lama, penderita diabetes melitus, gaga1 ginjal, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik. Sekitar 20% terjadi infeksi kriptokokus tanpa diketahui penyakit yang mendasari.
STRUKTUR DAN PERTUMBUHANJAMUR Ada dua tipe jamur, yaitu : yeasts atau ragi dan molds. Yeasts tumbuh kembang melalui sel tunggal secara aseksual. Molds tumbuh kembang dengan bentuk filamen panjang (hyphae) dan berbentuk kusut semacam tikar (mycelium). Beberapa hifa membentuk dinding transversal (septate hyphae).
-
TROPIK INFEKSI
Pertumbuhan dalam bentuk mold melalui produksi koloni filamentosa multisenter. Koloni ini mengandung tubulus silindns dari 2- 10mm. Kumpulan hifa jalin-menjalin dan berakumulasi selama pertumbuhan aktif disebut miselium. Beberapa hifa terbagi oleh dinding pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur selama pertumbuhan hifa. Ragi merupakan sel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips, diametemya bervariasi dari 3-15 mm. Kebanyakan ragi bereproduksi melalui pertunasan. Spesies yang gaga1 melepaskan diri menghasilkan ragi rantai panjang disebut pseudohifa. Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting untuk menentukan bentuknya. Struktur sel jamur terdiri dari dua bagian penting, yaitu: 1). Dinding sel jamur terdiri dari chitin. Chitin tersusun dari rangkaian panjang N-acetylglocosamine. Dinding sel jamur juga mengandung polisakarida yang merupakan bagian penting yaitu beta-glucan, merupakan polimer D-glukosa. Di bidang medis beta-glucan ini mempunyai arti penting karena merupakan tempat interaksi obat antifungal caspofungin. 2). Membran sel jamur mengandung ergosterol, tidak seperti meinbran sel manusia yang mengandung kolesterol. Aktivitas obat-obatan anti jamur seperti amfoterisin B, azole (flukonazol, ketokonazol) terhadap jamur sangat tergantung dari perbedaan sterol mernbran. Beberapa karakter penting dari jamur antara lain adalah dimorfik termal ;membentuk struktur yang berbeda-beda pada temperatur yang berbeda. Molds terbentuk pada keadaan saprofit, situasi yang bebas pada temperatur ambient dan yeasts pada jaringan host pada temperatur tubuh. Kebanyakan jamur adalah obligate aerobes ; beberapa facultative anaerobes ; tetapi tidak ada yang obligate anaerobes. Semua jamur memerlukan karbon organik. Habitat alamiahjamur sebagian besar berada bebas di lingkungan,kecuali Candida albicans yang merupakan flora normal pada manusia. Beberapa jamur berkembang biak secara seksual melalui mating dan membentuk spora seksual yaitu zygospores, ascospores, dan basidiospores. Zygospore merupakan spora sederhana dan besar dengan dinding tebal; ascospora berbentuk semacam kantong yang disebut ascus; dan basidiospores dibagian luar terdapat pedestal yang disebut basidium. Kebanyakan jamur berkembang biak secara aseksual dengan membentuk conidia (asexual spores). Bentuk, warna, dan susunan conidia membantu di dalam identifikasi jamur. Beberapa conidia penting adalah: 1). arthrospores,yang berkembang melalui fiagmentasi melalui ujung hyphae dan cara transmisi pada Coccidioides immitis;2). chlamydospores,berbentuk bulat, mempunyai dinding tebal, dan tidak mudah terlepas (bagian terminal chlamydospores C.albicans); 3). blastospores, berbentuk semacam bintang; 4). sporangiospores, berbentuk kantong (sporangiurn).
Berbagaijenis jamur dapat menginfeksi manusia dan hidup dalam jaringan ekstraseluler maupun dalam fagosit. Kulit yang intak sangat efektif sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi jamur (kandidiasis, dermatofitosis),kulit yang lesi memudahkan masuknya jamur. Asam lemak di kulit dapat menghambat pertumbuhan dermatofit. Saluran nafas, membran mukosa nasofaring penting untuk melindungi tubuh dari pengaruh invasi sporajamur yang terinhalasi, demikian juga makrofag alveolar. Jamur yang masuk kedalam tubuh akan mendapat tanggapan melalui respons imun host. IgM dan IgG didalam sirkulasi diproduksi sebagai respons terhadap infeksi jamur, tetapi peranan didalam proteksi tubuh masih belum diketahui. Respons cell-mediated immune (CMI) adalah protektif karena dapat menekan reaktivasi infeksi jamur asimptomatis dan mencegah terjadinya infeksi jamur oportunistik. Respons imun yang terjadi terhadap infeksi jamur merupakan kombinasi pola respons imun terhadap mikroorganisme ekstraselulerclan respons imun intraseluler fakultatif. Respons imun seluler merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Sel T CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk mengeliminer jamur. Dan subset sel T CD4+, respons sel Thl merupakan respons protektif, sedangkan respons sel Th2 merugikan host. Oleh karena itu inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pada host yang terinfeksi jamur intraselular Respons cell-mediated immune (CMI) dapat menginduksi terbentuknya granuloma. Granuloma terutama terbentuk oleh berbagai penyakit jamur sistemik, misalnya koksidioidomikosis, histoplasmosis, dan blastomikosis Supurasi akut, ditandai oleh adanya neutrofil di dalam eksudat, juga terjadi pada penyakit jamur tertentu seperti aspergilosis dan sporotrichosis. Jamur tidak memiliki endotoksin pada dinding sel dan tidak memiliki produk bakterial seperti eksotoksin. Aktivasi sistem CMI menghasilkan respons delayed hypersensitivity pada tes kulit. Skin tes positif menunjukkan adanya paparan antigen jamur di masa lampau. Skin tes negatif untuk diagnosismenyulitkan bagi penderita imunokompromais. Karena pada umumnya individu membawa kandida sebagai flora normal, tes kulit dengan menggunakan antigen kandida berguna untuk menentukan apakah CMI normal. Kulit yang terinfeksi akan berusaha menghambat penyebaran infeksi dan sembuh, menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi ini diduga berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap jamur bersangkutan.Gangguan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV menyebabkan terjadinya infeksi kronik atau kepekaan untuk kandidiasis. Hal ini sering terjadi pada penderita yang mendapat obat imunosupresif.
Diagnosis Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu: 1). pemeriksaan mikroskopik langsung, 2). biakan, 3). DNA probe test, dan 4). pemeriksaan serologi. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan bahan dari sputum, biopsi pam, kulit, kuku. Beberapa yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mlkroskopik adalah : 1). sphemles pada C.immitis dan 2). kapsul Ciyptococcus neoformans dengan pengecatan India ink. Pemeriksaan dengan DNA probe mampu mendiagnosis lebih cepat. Dapat menentukan infeksi Cocciodiodes, Histoplasma, Blastomyces, dan Ciyptococcus. Kebanyakan diagnosis definitif ditegakkan memakai berbagai pemeriksaan yang berbeda-beda dari satu dengan daerah lain pada daerah endemik. Untuk menegakkan diagnosis definitif dapat dilakukan biopsi, dilanjutkan pemeriksaan histopatologi, serta biakan. Pemeriksaan serologis temtama digunakan untuk pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis. ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu menentukan keterlibatan histoplasmosis pada pasien AIDS. Pada infeksi jarnur oportunistik, diagnosis invasif sering mengalami kesulitan. Kandida sp. merupakan flora normal, dapat tumbuh pada tempat yang kotor seperti sputum. Penentuan antibodi, antigen dan metabolit kandida umumnya kurang sensitif dan spesifik. Pemeriksaan yang spesifik dan sensitif melalui pengukuran aglutinasi latex terhadap kapsul polisakharida C. Neofomzans.Pemeriksaan histopatologis dari jaringan oleh intervensi infeksi jamur oportunistik penting dilakukan untuk diagnostik, terutama pada individu dengan sakit berat. Terapi Obat-obatan untuk terapi bakteri tidak mempengaruhi penyakit jamur. Penisilin dan aminoglikosida dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhann jamur. Hal tersebut dimungkinkan akibat perbedaan struktur, misalnya pada bakteri terdapat peptidoglikan dan 70s ribosom, tetapi tidak dimiliki oleh jamur. Obat antifungal yang efektif adalah amfoterisin B dan golongan azole karena adanya ergosterol pada membran sel jamur tetapi tidak terdapat pada bakteri maupun membran sel manusia. Antifimgal lain, caspofungin (Candidas), dapat menghambat sintesis beta glucan. Terapi mutakhir anti jamur meliputi target ergosterol membran seljarnur (polyenes, azoles, allylamines), glucans pada dinding seljarnur (echinocandins), serta sintesis DNA dan RNA jamur (flucytosine). Amfoterisin B merupakan obat terpilih pada semua infeksi jamur, tetapi terdapat keterbatasan yaitu pada toksisitasnya. Efek toksik pada ginjal terjadi pada pasien
yang mendapatkan terapi amfoterisin. Formulasi lipid dapat mengurangi toksisitas amfoterisin B. Ada 3 formulasi amfoterisin saat ini yaitu: amfotericin B liposomal, amfoterisin B kompleks lipid, dan amfoterisin dispersi koloid. Ada 4 azole yang belakangan dapat dipergunakan secara sistemik, yaitu: ketokonazol, itrakonazol, flukonazol, dan varigonazol. Golongan azole bersifat hngistatik tetapi preparat terbaru m&un)ai sifat fungisid temtama untuk jamur filamentous. Toksisitas golongan azole sangat bervariasi tergantung spesifitas dalam mengikat ergosterol pada sel jamur. Karena besarnya toksisitas, absorpsinya kurang baik, serta aktivitas spektrum moderate maka ketokonazol sekarang sudah jarang digunakan. Itrakonazol mempakan azole terpilih temtama untuk infeksi jamur endemik, juga digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh beberapa infeksi jamur oportunistik dan beberapa infeksi jamur superfisial. Karena absopsi yang kurang baik pada kapsul itrakonasol, maka penggunaan secara oral digunakan bentuk suspensi atau pemberian secara intravenus. Flukonazol dapat diberikan secara oral maupun intravenal. Sering digunakan untuk pengobatan berbagai infeksi jamur termasuk kandida sp, C.neoforman, koksidioides immitis dan beberapa infeksi jamur oppoutinistik. Efek farmakologis flukonazol sangat sempurna tetapi aktivitas spektmmnya paling sempit diantara azole yang lain, termasuk tidak mempunyai aktivitas aspergillus Vankonazol tersedia dalam bentuk oral (50 dan 200 mg), dan maupun intravena (vial 200 mg), mempakan bentuk triazol terbam. Pada dewasa diberikan rerata 6 mg/kg i.v. setiap 12 jam, dilkuti 4 mglkg i.v. tiap 12 jam. Bila telah memungkinkan atau menunjukkan perbaikan di teruskan per oral 200 mg, 2 kali sehari, kalau dipandang perlu dosis peroral dapat dinaikkan menjadi 2 kali 300 mg per hari. Aktivitas genetik polirnorfismedi kendalikan oleh CYP2C19, yang memandu dan menentukan berbagai substansi yang dilibatkan didalam metabolisme voriconazol. Variconazol diabsorbsi dengan baik pada mukosa s a l u ~ ncerna dan di metabolisisme sempurna oleh liver melalui kendali CYP2C9, CYP2C 19 dan CYP3A4. Varikonazol mempunyai spektrurn yang luas termasuk terhadap semua spesies kandida dan C.neoforman, mempunyai efek fbngisid terhadap aspergillus dan beberapa filamen jamur. Semua bentuk azol berinteraksi secara berbeda-beda dengan enzim sitokrom p-450. Potensi terjadinya interaksi obat hams selalu diperhatikan sebelum pemberian. Semua azole mempunyai efek hepatotoksik, oleh karena itu pemeriksaan secara berkala terhadap faal hati perlu dilakukan. Bentuk obat lain adalah yang mempakan sintesis ergosterol adalah allylamine terbinafine. Digunakan pada infeksi primer kulit tetapi kadang-kadang digunakan secara
kombinasi dengan anti jamur yang lain pada infeksijamur opportunistik berat. Caspofimgin merupakan echinocandin pertama yang digunakan pada nianusia. Echinocandin bermanfaat untuk menghambat sintesis betaglucan pada dinding sel jamur, bekerja fungisid terhadap spesies kandida dan aspergillus tetapi tidak mampu melawan C.neoformans. Caspofungin hanya tersedia intravena dan memiliki toksisitas minimal. Flucytosine (5-fluorocytosine) merupakan bentuk oral fluorinated pyrimidine yang merupakan konversi ke 5-fluorourasil yang mempunyai kinerja terhadap sintesis DNA dan RNA jamur. Terutama digunakan untuk terapi kriptokosis dan kandidiasis. Selama penggunaannya perlu difollow up terhadap terjadinya efek samping penekanan sumsum tulang.
yang terkontaminasi kotoran burung dan sebagai yeast di jaringan. Meskipun namanya kapsulatum, tetapi jamur ini tidak mempunyai kapsula. Epidemiologi Histoplasmosis,meskipun ditemukan diberbagai belahan dunia, terutama di Amerika utara dan tengah. Merupakan penyebab infeksi jamur endemik tersering di Amerika, terutama di lembah Missisipi dan Ohio. Infeksi ini self limited, tetapi dapat menyebabkan infeksi pulmoner alcut berat. Patogenesis Masuknya mikrokonidia per inhalasi kedalam alveoli, menimbulkan infeksi pulmoner lokal. Neutrofil dan makrofag berusaha memfagositosisjamur tersebut. Jamur yang mampu bertahan dari terkaman makrofag akan meningggalkan makrofag menuju nodus lirnfatikusdi hilar dan mediastinum, ke sistem retilculoendotelial. Setelah beberapa minggu sel T tersensitisasi oleh antigen H. Capsulatum, kemudian mengaktifasi neutrofil, makrofag untuk mengeliminerjamur intreaseluler. Di jaringan mikroorganisme yang berada di dalam makrofag berubah menjadi oval yeast sehingga masuk ke &lam fase yeast. Di &lam makrofag tetap mempertahankan hidupnya dengan memproduksi substansi alkalin, seperti bikarbonat, amonia, meningkatkan pH sehingga terhindar dari pengaruh degradasi enzim fagolisosom. Mikroorganisme yang mencoba tetap bertahan di dalam makrofag akan menuju ke pembuluh limfe hilus dan mediastinal. Selanjutnya menyebar luas secara hematogen ke seluruh tubuh, sehingga mencapai organ-organ penting , terutama hati dan limpa. Individu dapat mengalami infeksi simtomatis maupun asimtomatis. Meskipun demikian sebagian besar infeksi berlangsung asimtomatis, fokus granulomatus kecil-kecil sembuh dengan meninggalkan kalsifikasi. Bila paparan terjadi terus-menerus akan berkembang ke arah manifestasi klinis histoplasmosis pulmonalis primer akut. Pada keadaan tertentu, terutama pada sistem kekebalan yang tertekan seperti pada AIDS. atau pada saat terjadi penurunan aktivitas CMI, maka infeksi berkembang kearah kronik. Manifestasinya berupa histoplasmosis pulmonalis progresif kronik yang dapat disertai terbentuknya kavitas dan jaringan fibrosis. Pada situasi tersebut penyakit dapat berkembang menjadi histoplasmosis diseminata berat yang progresif dan berakhir fatal. Pada pasien AIDS, lesi ulseratif pada lidah merupakan ciri khas histoplasmosis diseminata kemudian memunculkan infeksi pulmoner.
Garnbar 1. Histoplasma capsulatum. Yeast di dalam makrofag (dikutip dari Levinson).
INFEKSI JAMUR ENDEMIK Infeksi jamur: histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis,dan parakoksidioidomikosispotensial menimbulkan infeksi jamur endemik. Derajat beratnya infeksi tergantung dari intensitas paparan maupun status imun host. Jamur yang terinhalasi melalui saluran nafas selanjutnya memasuki sirlculasi hematogen dan menjadi reaktif beberapa tahun kemudian. Infeksi jamur endemik menyerupai dengan infeksi bakteriil yang menyerang paru, kulit, maupun berbagai organ lain. Diagnosis infeksi jamur di daerah nonendemik kurang mendapat perhatian dari pada daerah endemik. Dengan semakin lajunya mobilisasi penduduk akhir-akhir ini kemungkinan terinfeksijamur di daerah endemik dan non endemik meningkat.
HISTOPLASMOSIS Histoplasmosisdisebabkan oleh Histoplasma capsulatum. Merupakanjamur dimorfik, sebagai mold di tanah terutama
Manifestasi Klinis '
Histoplasmosispulmoner akut. Meskipun ada infeksi
tetapi sering asimtomatik. Infeksi pulmoner simtomatik umumnya selflimited beberapa minggu setelah paparan. Simtomatikterutarna ditandai panas, menggigil, kelelahan, batuk non produktif, rasa kurang enak di dada depan, nyeri otot: Artritis dan artralgia, sering ditandai eritema nodartralgiaosum yang terjadi pada 5-10% pasien dengan histoplasmosis pulmoner akut. Pada foto toraks tampak gambaran nodul lobar atau multilobar infiltrat. Deferensial diagnosis histoplasmosis pulmoner akut adalah dengan pneumonia yang disebabkan oleh Blastomises dermatidis, Mikoplasma pneumoniae, Legionella spp., dan Chlamydia pneumoniae.Kecurigaan kuat ke rah infeksi Histoplasmosis pulmoner akut bila didapatkan pembesaran nodus limfatikus pada hiler dan mediastinal. Histoplasmosis pulmoner kronik. Histoplasmosis pulmoner kronik berjalan progresif, berkembang ke penyakit pulrnoner obstruktif dan berakhir fatal. Keluhan terutama panas, kelemahan, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, batuk produktif dengan sputum purulen, dan hemoptoe. Foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat uni atau bilateral pada lobus atas dengan multipel kavitas, serta fibrosis luas pada lobus bawah. Fistula bronkopleural serta pneumotoraks sering terjadi. Histoplasmosis pulmonar kronik sering bersamaarn dengan tuberkulosis, pneumonia fungal lain terutama blastomikosis, dan sporotrikosis. Histoplasmosis diseminata. Histoplasmosis simtomatik diseminata terjadi terutama pada pasien imunokomprornais. Pasien AIDS dengan CD4 kurang dari 150 sel/mm3, keganasan hematologi, transplantasi organ atau terapi kortikosteroidberislko tinggi mengalami histoplasmosis diseminata akut. Keluhan dan gejala yang muncul diseminata adalah menggigil, panas, nafsu makanmenurun, berat badan menurun, hipotensi, sesak nafas, hepatosplenomegali, lesi pada kulit dan mukosa. Pansitopenia, infiltrat pulmoner difus pada gambaran radiologis, koagulasi intravaskular diseminata, gaga1 nafas akut sering terjadi.Gejala tersebut sulit dipisahkan dengan sepsis karena bakteri maupun virus. Pada pasien AIDS, diferensial diagnosis dengan infeksi sitomegalo, infeksi mikobakterium avium kompleks diseminata, dan tuberkulosis. Histoplasmosis diseminata progresif kronik merupakan bentuk histoplasmosis yang fatal. Ditandai demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, dan kelemahan. Penderita nampak mengalami sakit kronik, hepatosplenomegali, ulserasi mukokutaneus, dan adrenal insufisiensi. Peningkatan laju endap darah, peningkatan posfatase alkali, pansitopenia, dan infiltrat retikulonoduler difus pada gambaran foto toraks. Untuk ini perlu disingkirkan tuberkulosis milier, limfoma, dan sarkoidosis. Hampir semua organ terdapat kelainan pada infeksi ini.
Diagnosis Sampel dari biopsi jaringan atau aspirasi sumsum tulang, sel jamur oval di dalam makrofag dapat terlihat pada pemeriksaan mikroskop. Biakan memakai agar Sabouraud5 dapat terlihat hyphae dengan makronidia tuberkulae. Antigen Histoplasma dapat ditentukan dengan radioimmunoassay atau DNA probe. Pada kondisi irnunokompromais bila antibodi dalam urin tidak terdeteksi, dapat dilakukan pemeriksaan antigen dalam urin. Kultur dapat dilakukan melalui sampel yang diambil darijaringan, lavas brokhoalveoler, cairan tubuh, sputum, dan darah. Biakan darah merupakan langkah terbaik menggunakan sistem lysis-centrifugation (isolator tube). Biopsi liver dan sumsum tulang perlu dilakukan untuk membuat diagnosis H.capsulatum dseminata. Jika histoplasmosis pulmoner dicurigai, maka pemeriksaan biakan dengan medium khusus dari sampel pulmoner. Terhadap penderita serangan akut, biopsi jaringan harus dikerjakan guna menentukan adanyajamur oval, ukuran 2-4 mm. Biopsi hams segera disusul dengan melakukan pengecatan dengan methenamine silver atau pengecatan periodik acid- Schiff: Pada penderita diseminata, sampel yang diambil dari susum tulang, liver, kulit, dan lesi mukokutaneus dapat menunjukkan beberapa organisme. Organisme juga dapat ditunjukkan melalui pengecatan Wright 5 dari darah perifer penderita infeksi diseminata. Bagi penderita histoplasmosis pulmoner kronik atau mediastinitisgranulomatous,biopsi paru atau nodus limfatikus dapat menunjukkan organisme. Pemeriksaan serologi mempunyai peran penting pada beberapa bentuk histoplasmosis. Complement-assay dapat dipergunakan untuk membedakan miselial dan jamur. Pemeriksaan immunod~fision(ID) lebih spesifik dari pada CF tes, tetapi CF tes lebih sensitif. Titer antibodi CF sering memberikan hasil positif pada titer rendah jamur setelah terinfeksi. Pemeriksaan serologis merupakan sarana diagnostik penting guna menentukan diagnosis histoplasmosis pulmoner akut. Diagnosis ditegakkan bila ada kenaikan titer empat kali lipat titer CF. Pemeriksaan serologis kurang definitif pada pasien limpadenopati mediastinal dan hams selalu dikonfirmasi dengan biopsi jaringan. Hasil positif palsu CF terjadi pada limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis, dan infeksijamur lain. Pemeriksaan enzim immunoassay ferhadap antigen polisakarida H.capsulatum pada urin dan serum sangat membantu penderita diseminata yang dilandasi AIDS. Terapi Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan amfoterisin B bagi infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu dipertimbangkan penggunaan sebagai lini kedua. Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.
Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak memerlukan pengobatan khusus. Tetapi bila gejala muncul dapat diberikan itrakonazol200 mg per hari selama 6-12 minggu. Pada keadaan outbrake atau pada kondisi imunokompromais hams diberikan terapi. Terapi awal diberikan amfoterisin B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti itrakonazol oral. Terapi antifungal perlu diberikan bagi histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol200 mg satu atau dua kali sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol6-12 bulan di rekomendasikan terhadap pasien mediastinitis granulomatus simtomatis. Bila nodus menyebabkan obstruksi pembedahan diindikasikan. Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik perlu mendapatkan terapi antifungal. Pasien dengan infeksi simtomatik ringan-sedang diseminata akut dan histoplasmosis diseminata progresif kronik dapat diberikan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi adekuat bila diberikan 12 bulan. Pasien AIDS perlu terus mendapat terapi itrakonazol 200 mg per hari setelah sebelumnya mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu. Pasien imunokompromais dengan infeksi sedang hingga berat harus diberi amfoterisin B 0.7- 1 mglkg per hari. Kebanyakan pasien dapat diteruskan oral itrakonazol begitu telah membaik.
I
Gambar 2. Stadium Coccidioides lmmitis (dikutip dari Levinson).
KOKSlDlOlDOMlKOSlS Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan Koksidioides Spp. Penyebab C. Immitis dan C. posadasii merupakan fungi dimorfik yang diklasifikasikan sebagai ascomisetes yang homolog gen ribosom. C. immitis mempunyai dua bentuk, yang pada sebagian besar media perbenihan tumbuh sebagai bentukjamur yang putih tetapi pada jaringan tubuh pejamu atau pada keadaan khusus, tumbuh berbentuk sferis tanpa tunas, yaitu bentuk sperula. Setelah infeksi, arthrokonidium membesar, berdiameter 75 mm,berubah menjadi sperula. Pa& kondisi matur, sperula berdinding tebal, refraktil ganda, diameter 80 mm. Sperula terbungkus bersama endospora, bila
dindingnya pecah akan melepaskan endospora dan kemudian membentuk sperula baru. C. Immitis menghasilkan koloni seperti kapas. Hifa membentuk rantai arthrokonidia, yang mudah terpecah menjadi arthrokonidia individual. Bentuk ini mudah tersebar di udara, sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Arthrokonidia individual, ukuran 3 x 6 mm, dapat bertahan lama bertahun-tahun, dan sangat infeksius. Epidemiologi Koksidioides sp. dapat ditemukan di tanah, ditempattempat dengan curah hujan yang sedang, suhu udara dingin dan kelembaban yang rendah. Infeksi ini bersifat endemis di daerah terbatas dari Amerika barat daya, Arnerika tengah, Amerika selatan. Risiko infeksi pada daerah endemik sekitar 3%, dengan 150.000 infeksi baru setiap tahunnya. Lebih dari 60% infeksi baru terjadi di Arizona. Patogenesis Rangkaian arthrokonidia yang terbentuk dari hifa bersifat mudah terlepas menjadi arthrokonidia tunggal. Bentuk ini mudah tersebar di udara, sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Arthrokonidia tunggal, ukuran 3 x 6 mrn, dapat bertahan lama hingga bertahun-tahun, dan sangat infeksius. Infeksi pada manusia teQadi &bat inhalasi artrospora yang berasal dari tanah yang terbawa oleh angin. Arthrokonidia yang terhisap tersebut akan masuk ke bronkioli terminal mengawali terjadinya infeksi koksidioida. Inhalasi arthrokonidia menyebabkan infeksi primer yang asimtomatis pada 60 % penderita. Adanya infeksi dapat diketahui dengan terbentuknya presipitin serum dan terjadinya konversi tes kulit menjadi positif dalam waktu 2-4 minggu. Empat puluh persen yang lain menunjukkan simtom infeksi berupa sindroma semacam flu, yaitu batuk, demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot, dan sakit kepala. Kurang lebih 1% penderita mengalami infeksi sistemikberat atau koksidioidomikosissekunder yang mengancamjiwa. Potensi terjadinya infeksi sistemik ini umurnnya dilandasi oleh adanya umur ekstrim, gangguan imunitas cell mediated Laki-laki umurnnya lebih rentan daripada wanita, kecuali wanita hamil yang ha1 ini dipengaruhi oleh efek hormon seks terhadap jamur. Hal ini dimungbkan karena C. Immitis mengandung protein spesifik yang mampu berikatan dengan estrogen serta progesteron yang kemudian menstimulir pertumbuhan jamur. Pada penderita AIDS karena terjadi imunosupresi seluler, terganggunya respons imun cell-mediated, maka mempunyai potensi besar terinfeksi koksidioidomikosis sistemik. Pada individu yang terserang AIDS, manifestasi koksidioidomikosis merupakan pneumonitis retikulonoduler difusa. C. immitis memicu reaksi granulomatosakronikdi &am jaringan tubuh penjamu dengan nekrosis yang disertai proses kaseasi. Lesi pada paru dan kelenjar limfe hiler &pat
INFEKSIJAMUR
.
memperlihatkan kalsifikasinya. Baik antibodi IgM maupun IgG yang bereaksi terhadap C. immitis akan ditimbulkan dengan adanya infeksi. Jumlah antibodi IgG yang spesifik merupakan patokan kasar untuk mengukur masa antigen, yaitu intensitas infeksi, dan titer antibodi IgG yang tinggi merupkan tanda prognostik yang jelek. Timbulnya hipersensitivitaslarnbat terhadap antigen C. immitis sering ditemukan diantara bentuk klinis penyakit ini dengan pronosis baik, seperti penyakit pulmoner primer yang sembuh sendiri. Hasil tes kulit yang negatif terhadapantigen Coccidioides terdapat pada kurang lebih separuh penderita dan menunjukkan pronosis yang buruk. Pada pemenksaan radiologis, infeksi koksidioidomikosis dapat memberikan gambaran adenopati hilus disertai adanya infiltrat pulmoner, garnbaran pneumonia, terkadang efusi pleura maupun nodul-nodul atau kavitas. Selain paru sebagai organ sasaran, infeksi ini juga bisa mengenai organ lain termasuk tulang, kulit, persendian dan selaput otak. Manifestasi Klinis Infeksi pulmoner primer yang simtomik manifestasinya adalah febris, batuk, nyeri dada, malaise, kadang-kadang reaksi hipersensitivitas.Foto toraks dapat memperlihatkan infitrat, adenopati hiler, ataupun efusi pleura. Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia yang ringan. Pembentukan kavitas kronik dengan dinding tipis ditandai gejala batuk atau hemoptisis pada separuh kasus, sebagian pasien lain tetap asimtomatik. Koksidioidomikosis pulmonalis progresif kronik menyebabkan gejala batuk kronik, disertai sputum, febris, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus akan mengalami reaktivasi, dan penyebarluasan infeksi (diseminasi) setelah beberapa tahun kemudian. Keadaan tersebut terutama jika terdapat penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, transplantasi ginjal, penyakit AIDS, atau keadaan imunosupresi lainnya. Proses diseminasi tersebut harus dicurigai bila terdapat gejala febris, malaise, limfadenopati hiler atau paratrakeal, kenaikan laju endap darah, dan titer fiksasi komplemen yang tinggi. Diagnosis Bila ada kecurigaan infeksi koksidioidmikosis, maka spesimen untuk biakan meliputi sputum, eksudat dari lesi kulit, cairan spinal, urine, biopsi jaringan, dan pus hams diperiksa untuk menemukan C. Immiti. Permintaan pemeriksaan laboratorium hams menyebutkan dengan jelas adanya kecurigaan terhadap kemungkinan koksidioidmikosis karena jenis jamur ini hams ditangani dengan ekstra hati-hati untuk mencegah terjadinya infeksi pada petugas laboratorium. Pada biopsi, sperula bedcuran kecil, hams dibedakan dengan bentuk tanpa tunas dari Blastomyces dan Cryptococcus, namun gambaran sperula yang matur merupakan petunjuk diagnosis.
Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis koksidioidmikosis. Tes aglutinasi lateks dan difusi gel agar merupakan pemeriksaan yang berguna untuk melakukan skrining serum guna menemukan antibodi terhadap jamur, terutama 2-4 minggu setelah infeksi. Tgs fiksasi komplemen (CF) dipakai pada pemeriksaan cairan serebrospinal dan untuk memastikan serta mengukur kadar antibodi (IgG) dalam serum yang terdeteksi lewat tes skrining. Jumlah kasus dengan hasil tes fiksasi komplemen positif akan tergantung pada beratnya penyakit dan laboratorium yang mengerjakan tes tersebut. Hasil tes positif setidaknya sering ditemukan diantara pasien-pasien dengan kavitas pulmoner yang soliter atau dengan infeksi paru, sementara pemeriksaan serum dari pasien dengan penyakit diseminata pada lebih dari satu organ tubuh hampir seluruhnya memperlihatkan hasil yang positif. Serokonversi amat membantu dalam menegakkan diagnosis koksidioidmikosispulmonalis primer tetapi mungkin baru ditemukan 8 minggu setelah paparan. Hasil tes fiksasi komplemen positif pada cairan serebrospinal yang tidak dipekatkan merupakan petunjuk diagnostik untuk meningitis. Kadang-kadang fokus para meningen akan menyebabkan hasil pemeriksaan serologi cairan serebrospinal yang positif. Pada pasien AIDS dengan kokosidioidomikosis, pemeriksaan serologi tersebut sering memberi hasil negatif. Konversi tes kulit dari hasil positif menjadi negatif (indurasi2 5 rnm setelah 24 atau 48jam), dengan koksidiodin dan sferulin 2 jenis antigenjamur yang tersedia dipasaran, terjadi pada hari ketiga hingga ke-21 setelah timbulnya gejala pada gejala koksidiodomikosis pulmonalis primer. Tes kulit juga dapat membantu dalam penelitian epidemiologi, seperti penyelidikan terhadap kelompok kasus atau penentuan daerah endemik. Terapi Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan. Amfoterisin B intravena selama beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan ke arah berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya penyakit pulmonalis kronik atau diseminata. Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau yang berjalan progesif dengan cepat hams segera dimulai pengobatannya dengan penyuntikan amfoterisin B intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mglkg BB per hari. Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan infeksi diseminata yang tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari, atau itrakonazol, 200 hingga 400 mghari. Preparat oral ini berguna untuk tindakan supresi infeksi jangka panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun. Untuk pasien meningitis koksidioides, pengobatan biasanya dapat dimulai dengan flukonazol400mg per hari tetapi pasien tersebut mungkm pula memerlukan pemberian
amfoterisin B intratekal. Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis yang tidak terkontrol. Tindakan debridemen lesi tulang atau drainase abses dapat membantu. Reseksi lesi pulmoner yang progesif kronik merupakan tindakan pelengkap kemoterapi kalau infeksi hanya terbatas pada paru dan pada satu lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal cenderung menutup spontan dan biasanya tidak direseksi. lnfeksi Jamur Oportunistik ~ e n i n ~ k a t ninfeksi ~ a jamur dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien imunokoinpromais di rumah sakit. Infeksi jamur oportunistik dapat disebabkan oleh organisme semacam jamur maupun filamen jamur. Penyebab tersering infeksi jamur oportunistik adalah kandidiasis. Spesies kandida merupakan flora normal pada manusia terutama pada saluran cerna maupun saluran urogenital, serta kulit. Infeksi terjadi melalui inhalasi atau inokulasi kulit. Kebanyakan non kandida patogen adalah filamen jamur termasuk genus Aspergillus dan klas Zygomycetes serta Ciyptococcus neoformans. Kejadian infeksi ini sering akibat berbagai keadaan yang menginduksi imunosupresan. Pada situasi imunokompromais terjadi penyebar luasan infeksi secara angioinvasijamur temtama Aspergillus, Pseudallescheria, Zygomycetes, danFusarium, C.neoformans.Berbagaijenis jamur tersebut dapat menyebabkan meningitis dengan atau tanpa melibatkan organ lain.
Individu dalam posisi imunokompeten umumnya resisten terhadap infeksi jamur, tetapi pada situasi imunokompromise sangat rentan terhadap infeksi jamur. Candida albicans merupakan penyebab kandidiasis yang paling sering di temukan, namun C. tropicalis, C. parapsilosis, C. guilliermondii, C. glabrata, C. krusei serta beberapa spesies lainnya dapat menyebabkan kandidiasis profundus dan bahkan membawa akibat yang fatal. C . parapsilosis sering sebagai penyebab endokarditis. C. tropicalis menyebabkan sekitar sepertiga kandidiasis profundus pada pasien neutropenia. Semua spesies kandida yang patogenik untuk manusia juga ditemukan sebagai mikroorganisme komensal pada manusia, khususnya di kulit, dalam mulut, tinja, dan vagina. Spesies ini tumbuh dengan cepat pada suhu 25 hingga 37°C pada media perbenihan sederhana sebagai sel-sel oval dengan pembentukan tunas. Pada media perbenihan yang khusus akan terbentuk hifa atau struktur cabang memanjang yang .dinamakan pseudohifa. C. albicans dapat dikenali secara presumtif dengan kemampuanya untuk membentuk tabung benih (gemr
tubes) dalam serum atau dengan tebentuknya spora besarbesar berdinding tebal yang diriamakan klamidospora. Identifikasi akhir semua spesiesjamur tersebut memerlukan tes biokimiawi. Patogenesis Kandidiasis merupakan infeksi jamur sistemik yang paling sering. Respons imun cell-mediated terutama sel CD4 penting dalam mengendalikan kandidiasis mukokutan. Neutrofil penting terutama dalam resistensi terhadap kandidiasis sistemik. Kandidiasis sistemik terjadi bila kandida masuk ke dalam aliran darah terutama pada saat ketahanan fagositik host menurun. Faktor-faktor lokal atau sistemik dapat mempengaruhi invasi Candida ke dalam jaringan tubuh. Usia mempakan faktor penting mengingat kolonisasi neonatal sering kali menyebabkan kandidiasis oral (oral thrush). Perempuan dengan kehamilan trimester ketiga cenderung untuk mengalami kandidiasis vulvoginal. Pasien diabetes mellitus, keganasan hematologi, pasien yang mendapatkan antibiotik spektrum luas atau kortikosteroid dosis tinggi rentan terhadap kandidiasis. Kandidiasis oral sering dijumpai kapan saja dalam perjalanan infeksi HIV. Dengan terjadinya penurunan jumlah sel CD4, esofagitis Candida juga sering ditemukan. Terganggunya keutuhan kulit atau membran mukosa dapat memberikanjalan ke jaringan tubuh yaiig lebih dalam. Contohnya adalah perforasi traktus gastrointestinal oleh trauma, pembedahan serta ulserasi peptikum; pemasangan kateter indwelling untuk pemberiaan alimentasi intravena (enternal feeding), dialisisperitoneal serta drainase traktus urinarius; luka bakar yang berat; dan penyalahgunaan obat bius intravena. Kandidemia merupakan penyebab urutan keenam sepsis akibat penggunaan kateter intravena atau infus. Spesies Cundida, kecuali C. glabrata tampak dalam jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Lesi viseral ditandai oleh nekrosis dan respons inflamatorik neutrofilik. Sel neutrofil membunuh sel jamur Candida serta merusak segmen pseudohifa secara in vitro. Kandidiasis viseral akan menimbulkan komplikasi neutropenia sehingga menunjukkan peranan utama neutrofil dalam mekanisme pertahanan pejamu terhadap jamur ini. Melalui sirkulasi, kadida dapat menimbulkan berbagai infeksi pada ginjal, hepar, menempel pada katup jantung buatan, meningitis, arthritis, endophthalmitis. ManifestasiKlinis Kandidiasis kulit dan mukosa sering menyertai berbagagai keadaan seperti penyakit AIDS, diabetes, kehamilan, usia ekstrim, trauma. Kandidiasis oral (oral thrush) ditemukan sebagai bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat pada mukosa oral serta faring, khususnya di dalam mulut dan lidah. Lesi ini biasanya tanpa rasa nyeri tetapi pembentukan fisura pada sudut mulut dapat menimbulkan
MFEKSl JAMUR t ,
nyeri. Kandidiasis kulit ditemukan sebagai dherah intertriginosa yang mengalami maserasi serta menjadi . merah, paronikia, balanitis, ataupun pruritus ani. Kandidiasis kulit di daerah perineum dan skrotum dapat disertai dengan lesi pustuler yang diskrit pada permukaan dalam paha. Kandidiasis mukokutaneus kronik atau kandidiasis granulomatosa secara khas ditemukan sebagai lesi kulit sirkumskripta yang mengalami hiperkeratosis, kuku ' jari yang mengalami distrofi serta hancur, alopesia parsial di daerah lesi pada kulit kepala, dan kandidiasis oral serta vagina. Gejala lainnya mencahp epiderrnofitosis kronik, displasia gigi, dan hipofungsi kelenjar paratiroid, adrenal, serta tiroid. Kandidiasis vulvaginalis menyebabkan gejala pruritus, terkadang nyeri pada saat hubungan sek atau buang air kecil. Pemeriksaan dengan speculum memperlihatkan mukosa yang mengalami inflamasi dan eksudat encer yang sering dengan cairan bewarna putih. Ulserasi kecil, dangkal, soliter hingga miltipel akibat Candida dapat terlihat dalam esophagus cenderung terdapat pada bagian sepertiga distal dan dapat menyebabkan keluhan disfagia atau nyeri subternal. Lesi laimya seperti itu cenderung bersifat asimtomatik tetapi mempunyai arti yang penting pada pasien leukemia sebagaiport d 'entreuntuk kandidiasis diseminata. Dalam traktus urinarius, lesi yang paling sering ditemukpn dapat berupa abses renal atau kandidiasis kandung kemih. Invasi ke dalam kandung kemih biasanya terjadi setelah tindakan kateterisasi. Atau instnunentasi pada penderita diabetes atau pada pasien yang mendapatkan antibiotik berspektrum-luas. Lesi umumnya asimtomatik dan benigna. Invasi retrograd ke dalam pelvis renalis menyebabkan nekrosis papilla renal. Penyebar luasan kandida secara hematogen diternukan dengan gejala demam tinggi. Dapat timbul abses di retina, perlahan-lahan abses ini meluas ke dalam vitreus. Pasien dapat mengeluh nyeri orbital, penglihatan yang kabur, skotoma, atau opasitas yang melayang-layang dan menghalangi lapangan penglihatan. Kandidiasis pulmonalis hampir selalu terjadi secara hematogen dan terlihat pada foto toraks, bila abses tersebut cukup banyak untuk menimbulkan infiltrat noduler yang samar-samar atau . difus. Kandidiasis pada endokard atau di sekitar prostesa intrakardial menyerupai infeksi bakteri pada tempat-tempat ini. Meningitis atau arthritis kandida kronik dapat terjadi akibat penyakit diseminata atau penyisipan prostesa dalam ha1 arthritis atau infeksi pintas ventrikuloperitoneal. Manifestasi fokal penyakit diserninatayangjarang dijumpai mencakup ostemiolitis, lesi kulit yang pustuler, miositis, dan abses serebri. t
Diagnosis Diagnosis laboratorik dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen, pemeriksaan mikroskopis, biakan, dan serologi. Gambaran psedohifa pada sediaan apus, dikonfirmasi
lewat pemeriksaan kultur merupakan pilihan untuk menegakkan diagnosis kandidiasis superficial. Kerokan untuk pembuatan sediaan apus dapat di lakukan pada kulit, kuku, dan mukosa oral serta vaginal. Diagnosis pada lesi kandida yang lebih dalam lagi dapat dilakukan dengan pemeriksaan histologi terhadap sayatan spesimen hasil , biopsi atau dengan pemeriksaan kultur cairan serebrospinal, darah, cairan sendi, atau spesimen bedah. Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis. Pemeriksan ini sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit diseminata lainnya.
Terapi Kandidiasis oris dan kandidiasis mukokutan dapat diobati dengan nystatin topikal, gentian violet, ketokonazol, maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah yang mengalami maserasi, memperlihatkan respons terhadap upaya untuk mengurangi kelembaban kulit dan iritasi dengan pemakaian preparat antifungus yang dioleskan secara topikal dalam bahan dasar nonoklusif. Serbuk nisatin atau krem yang mengandung preparat siklopiroks atau azol cukup berkasiat. Klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan oksikonazol tersedia dalam bentuk krem atau losion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik terhadap golongan azol daripada terhadap preparat supositorianistatin. Di antara formula vaginal klotrimazol, mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya terdapat sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan sistemik terhadap vulvovaginitis Candida dengan menggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah dilakukan daripada pengobatan topikal, tetapi potensi preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan yang lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari lebih efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi nistatin. Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari juga berkhasiat untuk esofagitis Candida tapi banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut dengan baik karena mendapatkan preparat antagonis reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200 mg per hari merupakan preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan asofagus. Kalau gejala esophagus yang terjadi sangat menonjol atau pada kandidiasis sistemik, pemberiaan amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3 mgkg BB per hari selama 5 hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung kemih akan memperlihatkan respons terhadap tindakan irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 gImL, selama 5 hari. Jika tidak ada kateter kandung kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per
hari kemungkinan merupakan obat pilihan untuk kandidiasis mukokutsneus yang kronik. Amfoterisin B intravena merupakan obat pilihan pada kandidiasis diseminata,dosis 0,4 hingga 0,5 m a g BB per hari. Candidayang diisolasi dari pemeriksaan kultur darah yang diambil dengan benar hams dianggap signifikan; hasil positif- palsu yang sejati jarang terdapat. Semua pasien dengan Candida yang dikultur dari darah perifer hams mendapatkan amfoterisi B intravena untuk mengatasi infeksi yang akut dan memcegah sekuele lanjut. Pa& pasien tanpa neutropenia, endokarditis, atau fokus infeksi yang dalam lainya, pengobatan selama 2 minggu sering sudah memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil yang dilatasi sangat bermanfaat untuk mendeteksi endoftalmitis sebelum kehilangan penglihatan permanen terjadi. Kesulitan sering didapatkan terutama dalam menentukan diagnosis awal dari kandidiasis sistemik karena gejala klinis kurang spesifik, biakan sering negatif. Penelitian terhadap resipien cangkok sumsum tulang, terapi profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg, akan menurunkan jumlah kasus kandidiasis profundus. Flukonazol juga dapat digunakan untuk melengkapi pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutarna bila amfoterisin B diberikan sampai pasien tidak lagi memperlihatkan neutropenia.
REFERENSI Abbas AK, Lichtman AH . Effector Mechanisms of Cell-Mediated Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition. International edition. China. 2005.p.298-317. Bennett JE. Diagnosis and Treatment of Fungal Infections. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1. 16 th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo D, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2005.p. 1176-88. Burik JV,Myerson D, Schreckhise RW, Bowden RA (1998). Panfungal PCR Assay for Detection of Fungal Infection in Human Blood
Specimens. Journal of Clinical Microbiology 36, 1169-75. Chen KY, KO SC, Hsueh PR, Luh KT, Yang CP. Pulmonary Fungal Infection: Emphasis on Microbiological Spectra, Patient Outcome, and Prognostic Factors. Chest 2005; 120, 177-84. Digby J, Kalbfleisch J, Glen A, Larsen A, Browder W, Williams D (2003). Serum Glucan Levels Are Not Specific for Presence of Fungal Infections in Intensive Care Unit Patients. Clinical and Diagnostic Lboratory Immunology 10, 882-5. Findik D . Nosocomial Fungal Infections in a Teaching Hospital in Turkey: Identification of the Pathogens and Their Antihngal Susceptibility Patters. Turk J Med Sci 2002;32-35 Galgiani JN . Coccidioidomycosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p.2046-47. Jawetz,'Melnick, Adelberg's. Medical Mycology.In: Medical Microbiology.Editors: Brooks GF, Butel JS, Morse SA. McGrawHill Companies Inc.2005.p. 313-352. Kauffman CA. Introduction to the Mycosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22" ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p. 2042-43. Kauffman CA Histoplasmosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p.2043-45. K a u h CA. Candidiasis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22"d ed. Editors: Goldman L, Ausiello D. Philadelphia, 2004.p.2053-56. Kresno SB . Respons lmun Terhadap Infeksi Jamur. Dalam: Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI, Jakarta:ZOO.p. 181-2. Levinson W, Jawetz E Mycology. In: Medical Microbiology and Immunology. Seventh Edition. Editors: Levinson W, Jawetz E. International Edition. Singapore, 2003.p.299-313. Rex JH, Walsh TJ. Sobel JD, Filter SG, Pappas PG, Dismekes WE, Edwards JE. Practice Guidelines for the Treatment of Candidiasis. Clinl Infectious Diss 2000;30: 662-78. Sobel JD. Practice Guidelines for the Treatment of Fungal Infections. Clin Infectious Dis 2000;30:652. Spicer WJ. Fungi. In: Clinical Bacteriology, Mycology and Parasitology. Melbourne:, 2000.p.62-70 Wheat J. Sarosi G, McKinsey D, Hamill R, Bradsher R, Johson P, Loyd J, K a u t h a n C . Practice Guidelines for the Management of Patients with Histoplasmosis. Clin Infectious Dis 2000); 0:688-95.
.
.
TOKSOPLASMOSIS Herdiman T. Pohan
PENDAHULUAN Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toxoplasmagondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Toksoplasma (Yunani: berbentuk seperti panah) adalah sebuah genus tersendiri. Infeksi akut yang didapat setelah lahir dapat bersifat asimtomatik,namun lebih sering menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan gejala klinis termasuk limfadenopati,ensefalitis, miokarditis, dan pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada bayi baru lahir yang berasal dari penularan lewat plasenta pada ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya asimtomatik, namun manifestasi lanjumya bervariasi baik gejala maupun tanda-tandanya, seperti korioretinitis, strabismus, epilepsi, dan retardasi psikomotor. Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan pada seekor kelinci di suatu laboratorium di Brazil. Pada tahun 1973 parasit ini ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis. Walaupun transmisi intrauterin secara transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi yang sensitif oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti T. Gondii ditemukan kosmopolit, terutama di daerah dengan iklim panas dan lembab.
EPlDEMlOLOGl Di Indonesia prevalensi zat anti I: gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2% dan 63%. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador, Amerika Tengah 90%. Prevalensi zat anti i7 gondii pada
binatang di Indonesia adalah sebagai berikut: pada kucing 25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing 11-61%, pada anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di Amerika Serikat didapatkan sekitar 3-70% orang dewasa sehat telah terinfeksi dengan Toxoplasma gondii. Toksoplasmagondiijuga menginfeksi 3500 bayi yang barn lahir di Amerika serikat. Pada pasien dengan HIV positif didapatkan angka sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma gondii. Di Eropa Barat dan Afrika prevalensi Toxoplasma gondii pada penderita HIVIAIDS sekitar 50-78%. Sementara itu prevalensi ensefalitis toksoplasma (ET) pada pasien HIV di Amerika Serikat sekitar 16% dan 37% di Perancis. Pada umumnya prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah, sedangkan di daerah tropik prevalensi lebih tinggi. Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengamhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang temtama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang &pat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Toxoplasma gondii adalah parasit intraselular yang menginfeksi burung dan mamalia. Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (pejamu definitif). Dalam sel epitef usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersarna tinja.
Ookista yang bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5 mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (tachyzoit = bentuk yang membelah cepat). Takizoit dapat menginkksi dan bereplikasi seluruh sei pada mamalia kecuali sel darah merah. Kecepatan takizoit Toksoplasma membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan); masa ini adalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan. Hasil dari proses ini adalah infeksi organ yang memberikan gambaran sitopatologi khas. Kebanyakan takizoit dielirninasi oleh respon imun pejamu. Gsta jaringan yang mengandung banyak bradizoit berkembang 7-1 0 hari setelah infeksi sistemik oleh takizoit. Kista jaringan terdapat di berbagai organ, namun menetap terutama di sistem saraf pusat (SSP) dan otot. Infeksi aktif pada pejamu imunokompromais biasanya diakibatkan pembebasan spontan parasit di dalam kista yang kemudian bertransfomasi cepat menjadi takizoit di SSP. Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi, maka terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bila hospes perantara mengandung kista jaringan Toksoplasma maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista) adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yang mengandung takizoit, masa prapaten biasanya 5-10 hari. Tetapi bila ookista langsung tertelan oleh kucing, maka masa prapaten adalah 20-24 hari. Kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista jaringan daripada oleh ookista. Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista jaringan. Pada manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya 4-8 mikron dan mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira di tengah. Takizoit pada manusia adalah parasit obligat intraselular. Takizoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan takizoit, maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Kista jaringan ini dapat ditemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak, ototjantung, dan otot lurik. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di otot kista mengikuti bentuk sel otot.
PATOGENESIS
,
Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit tertelan oleh pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista oleh proses pencemaan. Bradizoit resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi traktus gastrointestinal pejamu. Di dalam eritrosit, parasit mengalami transfonnasi morfologi, akibatnyajumlah taluzoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal, parasit kemudian menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP. Di tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut. Pada pejamu imunokompeten, baik imunitas humoral maupun seluler mengontrol infeksi. Respon imun terhadap takizoit bemacam-macam, termasuk induksi antibodi parasit, aktivasi makrofag dengan perantara radikal bebas, produksi interferon gamma, dan stimulasi limfosit T sitotoksik. Limfosit spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraselular maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Selagi takizoit dibersihkan dari pejamu yang mengalami infeksi akut, kista jaringan yang mengandung bradizoit mulai muncul, biasanya di dalam SSP dan retina. Padapejamu imunokompromaisatau pada janin, faktor-faktor imun yang dibutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung menyebabkan kegagalan organ (necrotizing encephalitis, pneumonia, dan miokarditis). Infeksi menetap dengan kista yang mengandung bradizoit biasa ditemukan pada pejamu imunokompeten. Infeksi ini biasanya menetap subklinis. Meski bradizoit menjalani fase metabolik lambat, kista tidak mengalami degenerasi dan ruptur di dalam SSP. Proses degeneratif ini bersamaan dengan perkembangan kista baru yang mengandung bradizoit merupakan sumber infeksi bagi individu imunokompromais dan merupakan stimulus untuk menetapnya titer antibodi pada pejamu imunokompeten. Pada pasien dengan keadaan imunokompromais seperti pada pasien HIVIAIDS, terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T helper. Subset sel T ini digambarkan secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai reseptor sel primer terhadap HIV. Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan turun di bawah level yang kritis (< 2001~1)dan pasien menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik. Walaupun demikian, dengan kontrol viremia plasma dengan terapi antiretroviral yang efektif, bahkan pada individu dengan CD4 yang sangat rendah, telah dapat meningkatkan survival meskipun jumlah CD4nya tidak meningkat secara signifikan.
Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral. Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk menghadapi infeksi. Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii, tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154 (diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL- 12 dan produksi Interferon gamma oleh sel T. Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T supresor.Pada pasien ini memilikijumlah sel T helper yang lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor. Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel CD4, gangguan produksi IL- 12 dan interferon gamma, serta gangguan hngsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama IL-12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi sistem imun ini memegang peranan dalam timbulnya infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu: pada toksoplasmosis kongenital transmisi Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit Toksoplasma. Pa& orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan i? gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan i? gondii. Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan i? gondii yang hidup. Infeksi dengan i? gondii juga pemah terjadi waktu mengerjakan autopsi. infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten. transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk i? gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-5S°C, jugamati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium. Transmisi inelalui bentuk ookista menunjukkan infeksi i? gondii pada orang yang tidak senang, makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.
Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi inflamasi. Namun, pewamaan imunofluoresensi dengan antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas, proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista menetap di otak sampai mengalami ruptur. Kelenjar Getah Bening (KGB) Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan gambaran khas termasuk hiperplasia folikular dan kluster tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR. Mata Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa dan korioretinitis dapat dilihat di bilik mata belakang mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi infeksi lainnya termasuk iridosiklitis,katarak, dan glaukoma.
SSP Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pa& pasien tanpa AIDS memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cufJing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS, selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan jaringan nekrotik.
-
TROPIK INFEKSI
Paru Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada jantung dan pprunya. Pneumonitis interstisial dapat terjadi pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi dengan sel monondcleus dan sel plasma. Inflamasi ini dapat meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang mengandung bradizoit ditemukan pada membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan oleh mikroba lain. Jantung Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis.Nekrosis fokal yang dikelilingi sel lnflamasi berhubungan dengan terjadinya nekrosis' hialin dan kekacauan struktur sel rniokardium. Perikarditis terjadi pada beberapa pasien. Lain-lain Otot lurik, pankreas, lambung, dan ginjal pasien AIDS dapat terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan ditemukannya takizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan glomerulonefritis.
GAMBARAN KLlNlS Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis,sebagian lain berkembang biak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidak berinti). Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seurnur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang diserang. Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh
karena ependimitis mengakibatkan hidrosefaluspada bayi. Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata (okular); 4). Infeksi kongenital. lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah limfadenopati leher, tetapi mungkinjuga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah. Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat menyebabkan nyeri abdomen. Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin dijurnpai adalah demam, malaise, keringat malam, nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali, splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosis kongenital. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan. Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap &lam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi terbuka atau meluas mengancam maut. Karena manifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever), sarkoidosis, dan sebagainya. Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis, miokarditis, polimiositis dengan penyebab lain atau demam berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0). Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal
Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral. Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk menghadapi infeksi. Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii, tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154 (diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL-12 dan produksi Interferon gamma oleh sel T. Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T supresor. Pada pasien ini memiliki jumlah sel T helper yang lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor. Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel CD4, gangguan produksi IL-12 dan interferon gamma, serta gangguan fungsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama IL- 12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi sistem imun ini memegang peranan dalarn timbulnya infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu: pada toksoplasmosis kongenital transmisi Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit Toksoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontarninasi dengan T gondii. Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga pernah terjadi waktu mengerjakan autopsi. infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten. transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-55"C, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium. Transmisi ~nelaluibentuk ookista menunjukkan infeksi T. gondii pada orang yang tidak senang, makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.
Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi inflamasi. Namun, pewarnaan imunofluoresensi dengan antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas, proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista menetap di otak sampai mengalami ruptur. Kelenjar Getah Bening (KGB) Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan gambaran khas temasuk hiperplasia folikular dan kluster tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit. biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR. Mata Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa dan korioretinitis dapat dilihht di bilik mata belakang mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi infeksi lainnya termasuk iridosiklitis, katarak, dan glaukoma.
SSP Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pada pasien tanpa AIDS memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cuffing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS, selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan jaringan nekrotik.
Paru Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada jantung dan p w y a . Pneurnonitis interstisial dapat terjadi pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi dengan sel mononukleus clan sel plasma. Inflamasi ini dapat meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang mengandung bradizoit ditemukan pa4a membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan oleh mikroba lain. Jantung Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis. Nekrosis fokal yang dikelilingi sel inflarnasi berhubungan dengan terjadinya nekrosis hialin dan kekacauan struktur sel miokardium. Perikarditis terjadi pada beberapa pasien. Lain-lain Otot lurik, pankreas, lambung, clan ginjal pasien AIDS dapat terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan ditemukannyatakizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan glomerulonefiitis.
GAMBARAN KLlNlS Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, makapenyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidakberinti). Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kemsakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kemsakan lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang diserang. Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh
karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata (okular);4). Infeksi kongenital. lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah limfadenopati leher, tetapi mungkin juga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah. Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat menyebabkan nyeri abdomen. Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin dijumpai adalah demam, malaise, keringat rnalam, nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali, splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosiskongenital. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan. Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap dalam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi terbuka atau meluas mengancam maut. Karenamanifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever), sarkoidosis, dan sebagainya. Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis, miokarditis,polimiositis dengan penyebab lain atau demam berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0). Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal
toksoplasmosis merupakan 7- 10% dari limfadenopati yang klinis jelas. Titer tes serologi untuk diagnosis toksoplasmosis akut biasanya didapatkan sesudah biopsi kelenjar yang dicurigai sebagai toksoplasmosis. lnfeksi Akut Toksoplasmosis pada Pasien lmunokompromais Pasien imunokompromais mempunyai risiko tinggi untuk mengidap toksoplasmosis yang berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun reaktifitas. Penyakitnya dapat berkembang dalam berbagai bentuk penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis, meningoensefalitis atau space occupiying lesion (SOL). Selanjutnya dapat pula miokarditis atau pneumonitis, pada transplantasi jantung toksoplasmosis timbul pada pasien seronegatif yang menerima jantung dari donor yang seropositif, dan nlanifestasinya dapat menyerupai rejeksi organ seperti yang terbukti dengan biopsi endomiokard. Penemuan lain ialah bahwa pasien yang menerima jantung dari donor seropositif menunjukkan titer antibodi IgM dan IgG yang meningkat sesudah transplantasi. Pada pasien dengan transplantasi sumsum tulang, toksoplasmosis timbul sebagai akibat reaktivitas infeksi yang laten. Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah limfosit CD4 < 100lml. Manifestasi klinis yang tersering pada pasien HIVIAIDS adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada sekitar 80% kasus. Rabaud et al. menunjukkan bahwa selain otak terdapat beberapa lokasi lain yang sering terkena, yaitu mata (50%), paru-paru (26%), darah tepi (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), dan kandung kemih (1%). Pada pasien dengan ET, gejala-gejala yang sering terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik (70%), sakit kepala (50%),demam (45%),tubuh terasa lemah serta gangguan nervus kranialis. Gejala lain yang juga sering terdapat yaitu gejala parkinson, focal dystonia, rubral tremor, hemikorea-hemibalismus, dan gangguan pada batang otak. Medula spinalis juga dapat terkena dengan gejala seperti gangguan motorik dan sensorik di daerah tungkai, gangguan berkemih d m defekasi. Onset dari gejala ini biasanya subakut. Pneumonitis akibat Toxoplasma gondii juga makin meningkat akibat kurangnya penggunaan obat antiretroviral serta profilaksis pengobatan toksoplasma pada penderita HIVIAIDS. Pneumonitis ini biasanya terjadi pada pasien dengan gejala AIDS yang sudah lanjut dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan batuk dan sesak nafas. Gejala klinis tersebut kadang susah dibedakan dengan pneumonia akibat Pneumocystis carinii dengan angka kematian sekitar 35% meski sudah diterapi dengan baik. Gejala lain yang juga sering timbul adalah gangguan pada mata. Biasanya timbul korioretinitis dengan gejala seperti penurunan tajam penglihatan, rasa nyeri pada mata,
melihat benda berterbangan, serta fotofobia. Pada pemeriksaan funduskopik terdapat daerah nekrosis yang multifokal atau bilateral. Keterlibatann. Optikus tejadi pada 10% kasus. Gejala klinis lain yang jarang timbul pada pasien HIVI AIDS dengan toksoplasmosis yaitu panhipopituari dan diabetes insipidus, gangguan gastrointestinal dengan nyeri perut, asites, serta diare. Gaga1 hati akut dan gangguan muskuloskeletal juga dapat timbul. Kegagalan multiorgan dapat terjadi dengan manifestasi klinis gaga1 nafas akut serta gangguan hemodinamik yang menyerupai syok sepsis. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan pembesaran KGB yang kenyal, tidak nyeri, berkonfluens, clan paling sering timbul di daerah servikal. Pemeriksaan fisik lain biasanya menunjukkan low grade fever, hepatosplenomegali d m timbul rush pada kulit. Pada pemeriksaan hduskopik menunjukkan multipleyellowish white,bercak menyerupai wol dengan batas yang tidak jelas di daerah kutub posterior. Pada ET pemeriksaan fisik yang mendukung adalah gangguan status mental, kejang, kelemahan otot, ganggguan nervus kranialis, tanda-tanda gangguan serebelum,meningismus, serta movement disorder. Sebenarnya dalam klinik dewasa, toksoplasmosis ini sangat underdiagnosed pada pasien-pasien imunokompromais. Hal ini terlihat dari banyaknya kasuskasus yang terdiagnosis pada beberapa institusi, besarnya jumlah kasus positif pada laporan-laporan otopsi, dan dari persentase toksoplasma yang non spesifik dan beraneka ragam ini. Infeksi akut susunan saraf pusat hams dibedakan dengan meningoensefalitis oleh penyebab lainnya seperti herpes simpleks, fungus dan tuberkulosis, abses otak, lupus, dan sebagainya. Pada pasien imunokompromais, bila ditemukan pleiositosis mononuklear dengan kadar protein tinggi, tanda-tanda adanya bakteri atau fungus perlu dipertimbangkanadanya toksoplasmosis. Toksoplasmosis Mata Pada Orang Dewasa Infeksi toksoplasma menyebabkan korioretinitis. Bagian terbesar kasus-kasus korioretinitis ini merupakan akibat infeksi kongenital. Pasien-pasien ini biasanya tidak menunjukkan gejala-gejalasampai usia lanjut. Korioretinitis pada infeksi baru bersifat khas unilateral, sedang korioretinitis yang terdiagnosis waktu lahir khasnya bilateral. Gejala-gejala korioretinitis akut adalah :penglihatan kabur, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora. Gangguan atau kehilangan sentralterjadi bila terkena rnakula. Dengan membaiknya peradangan, visus pun membaik, namun sering tidak sempurna. Panuveitis dapat menyertai korioretinitis. Papilitis dapat ditemukan apabila ada kelainan susunan saraf pusat yang jelas. Diagnosis banding adalah tuberkulosis, sifilis, lepra, atau histoplasmosis.
-
lnfeksi Kongenital
antaranya memiliki IgM positif saat diperiksa dalam 4 bulan setelah onset limfadenopati. 22% di antaranya tetap positif saat diperiksa lebih dari 12 tahun setelah onset. Pada beberapa kasus, IgM reaktif tidak dapat terdeteksi. Anti-IgE immunosorbent agglutination assay diduga merupakan pemeriksaan yang lebih akurat untuk mendeteksi toksoplasmosis akut. Namun, pemeriksaan ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan CT Scan otak pada pasien dengan ensefalitis toksoplasma (ET) menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 7040% kasus. Pada pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasnza gondii dan gambaran cincin yang multipel pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction. MRI merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik dari CT Scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak terdeteksi dengan CT Scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku bila memungkinkan terutama bila pada CT Scan menunjukkan gambaran lesi tunggal. Namun gambaran yang terdapat pada MRI dan CT Scan tidak patognomonik untuk ET. Salah satu diagnosis banding yang penting adalah limfoma dengan lesi multipel pada 40% kasus. Pengapman Polymerase Chain Reaction (PCR) dalarn mendeteksi Toxoplasma gondii telah digunakan dewasa ini. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat untuk toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal dan infeksi toksop!asmosis akut pada wanita hamil dan penderita imunokompromais. Spesimen tubuh yang digunakan adalah cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal,cairan amnion, dan darah. Jose E Vidal et a1 mendapatkan bahwa PCR memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100% dengan spesifitas 94,4%. Lamoril J et a1 menunjukkan bahwa PCR memiliki spesifitas yang rendah (16%) bila bahan yang diambil berasal dari darah. PCR juga menjadi negatif apabila sebelum dilakukan PCR pasien telah diberikan pengobatan.
Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat bersifat asimtomatik atau dapat memberikan gejala setelah lahir. Risiko toksoplasmosis kongenital bergantung pada saat didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-25% dalam trimester I, 30-54% dalam trimester 11, 60-65% dalam trimester 111). Sebaliknya, derajat keparahan penyakit kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada awal kehamilan. Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan pada 21-28% dari mereka yang terinfeksi pada trimester 11, dan kurang dari 11% pada trimester 111.Ringkasnya, 10% mengalami infeksi berat. Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus, korioretinitis, ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi pslkomotor, kejang, anemia, ikterus, hipotemia, trombositopenia, diare, dan pneumonitis. Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsi, dan gangguan penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit mi. Korioretinitis pada pasien imunokompeten hampir selalu akibat sekunder dari infeksi kongenital. Diperkirakan 213 individu dengan infeksi kongenital asimtomatik mengalami korioretinitis dalam hidupnya (biasanya dalam 4 dekade). Lebih dari 30% mengalami relaps setelah terapi.
DIAGNOSIS
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit &lam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel. Tetapi dengan cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi ha1 ini memerlukan waktu lama. Isolasi parasit dari cairan badan menunjukkan adanya infeksi akut, tetapi isolasi darijaringan hanya menunjukkan adanya kista dan tidak memastikan adanya infeksi akut. Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat anti fluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgG dan IgM. Tes Sabin-Feldman didasarkan oleh rupturnya T gondii yang hidup dengan antibodi spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini masih merupakan rujukanpemeriksaan serologi.Hasil serologi menjadi positif dalam 2 minggu setelah infeksi, dan menurun setelah 1-2 tahun. . Serologi IgG banyak digunakan untuk infeksi lama. Awalnya IgM muncul terlebih dahulu sebelum IgG, kemudian menurun cepat, dan merupakan petanda infeksi dini. Pada kasus limfadenopati toksoplasmosis, 90% di
PENATALAKSANAAN
,.
Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoit T gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali. Pirimetamin dan sulfonamid bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan hemopoiesis dan dapat menyebabkan trombositopenia dan leukopenia. Untuk mencegah efek sampingan ini, dapat ditambahkan asam falinik atau ragi. Pirimetamin bersifat teratogeruk,maka obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Pirimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari untuk dewasa selam 3 hari dan kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5- 1mg/kgBB/hari) selama beberapa minggu pada penyakit berat. Karena half-lifenya adalah 4-5 hari, pirimetamin dapat diberikan 2 kalihari atau 3-4 kali sekali. Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari. Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan dosis 50- 100 mglkgBB1hari selama beberapa minggu atau bulan. Spiramisin adalah antibiotika makrolid, yang tidak menembus plasenta, tetapi ditemukan dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100 mgkgBBhari selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer, sebagai obat profilaktik untuk mencegah transmisi T. gondii ke janin dalam kandungannya. Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat menyebabkan kolitis pseudomembranosa atau kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan mtin pada bayi dan wanita hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata, tetapi tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal. Obat makrolid lain yang efektif terhadap T. gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang diberikan bersama pirimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasma. Obat yang bam adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazin atau obat lain yang aktif terhadap I: gondii, dapat membunuh kista jaringan pada mencit. Tetapi hasil penelitian pada manusia masih ditunggu. Toksoplasmosis akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberikan pengobatan. Penderita imunokompromais (AIDS, keganasan) yang terjangkit toksoplasmosis akut hams diberi pengobatan. lnfeksi pada Kehamilan dan Kongenital Pada toksoplasmosis kehamilan, pengobatan dapat ditujukan untuk ibu, janin, atau bayi baru lahir. Spiramisin merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di plasenta, sehingga mengurangi infeksi plasenta sebesar 60%. Obat ini tidak secara terus-menems melalui barier plasenta dan digunakan untuk mengurangi transmisi vertikal. Spiramisin 3 g/hari dalam dosis terbagi 3 selama 3 minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut sejak diagnosis ditegakkan hingga kelahiran, kecuali terbukti terjadi infeksi pada janin. Pada kasus demikian, regimen terapi diubah ke sulfadiazin 4 g dan pirimetamin 25 mg, serta asam folat 15 mghari hingga persalinan. Risiko mengidap penyakit serius pada kehamilan dini membawa risiko efek teratogenik antifolat. Semua bayi baru lahir yang terinfeksi hams mendapat pengobatan anti I: gondii (sulfadiazin 50 mglkg 2 kali per hari dan pirimetamin 1 mg/kgBBhari, serta asam folat 5 mgkgBBhari selama sedikitnya 6 bulan). Belum ada pengobatan yang menurunkan angka kejadian
korioretinitis. Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan pemeriksaan USG dan cairan amnion untuk pemeriksaan PCR dan kultur I: gondii. Pengambilan darahjanin dengan kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi antibodi janin dan kultur I: gondii. Pengakhiran kehamilan biasanya ditawarkan pada wanita dengan serokonversi dalam 8 minggu pertama kehamilan dan mereka yang mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk menganjurkan aborsi adalah hanya jika pada USG didapat hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil mengalami gangguan neurologik pada saat lahir. lnfeksi pada Pasien lmunokompromais Pasien AIDS hams diterapi untuk toksoplasmosisnya, karena pada pasien imunokompromais infeksi dapat menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien dengan ensefalitis adalah pirimetamin (dosis awa1200 mg, lanjutan 50-75 mghari) dan sulfadiazin (4-6 ghari dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologik. Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mghari) diberikan untuk pencegahan toksisitas sumsum tulang berkaitan dengan pirimetamin. Baik pirimetamin maupun sulfadiazin melewati sawar darah-otak. Komplikasi obat ini antara lain gangguan hematologik, kristaluria, hematuria, batu ginjal radiolusen, dan nefrotoksisitas. Pirimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit, sehingga pada pasien imunokompromais terapi awal hams diberikan selama 4-6 minggu. Merekajuga hams mendapat terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-50 mglhari) dan sulfadiazin (2-4 ghari). Jika sulfadiazintidak dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mghari) dan klindamisin (450 mg 3 kali per hari) dapat digunakan. Dapsone (diaminodiphenylsulfone) merupakan alternatif efektif pengganti sulfadiazin karena memiliki waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas. Spiramisin diberikan untuk mengurangi transmisi plasenta. Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar puncak dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian. Kombinasi pirimetamin oral (25-75 mglhari) beserta klindamisin intravena (1200-4800 mghari) terbukti efektif untuk pasien AIDS dengan ensefalitistoksoplasmosis. Efek samping klindamisin termasuk mual, muntah, netropenia, ruam, dan kolitis pseudomembranosa. Penelitian menunjukkan bahwa makrolid tunggal tidak efektif, namun kombinasi pirimetamin dan klaritromisin tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 kali per hari) merupakan pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain. Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi edema intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk mengatasi kejang, namun harus diperhatikan interaksi potensial antara sulfadiazin dan fenitoin. Regimen kotrimoksazol atau dapson beserta pirimetamin dengan
TROPIK llVFEKSl
leukovorip dapat mencegah perkembangan ensefalitispada pasien HIV dengan seropositif I: gondii setelah jumlah limfosit CD4 berkurang hingga mencapai 100/ul.
Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis yang buruk.
REFERENSI Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang berbeda: pencegahan infeksi primer * pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais Untuk mencegah infeksi primer, pajanan parasit dapat dikurangi dengan edukasi kesehatan. Faktor risiko utama adalah makan daging belum matang Cjarang) dan hidup bersama kucing. Kistajaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66°C atau diasap. Setelah memegang daging mentah Cjagal, tukang masak), sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan hams ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap hams dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung. Saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah toksoplasmosis. Imunitas maternal akibat toksoplasmosis yang diturunkan sebelum terjadi konsepsi melindungijanin dari infeksi. Pasien imunokompromais yang mendapat kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk infeksi pneumosistis juga terlindungi dari toksoplasmosis. Serologi IgG untuk I: gondii hams dilakukan pasien sebelum dilakukannya transplantasi organ. Transplantasi organ padat dari donor seropositif ke resipien seronegatif hams dihindari. Jika transplantasi seperti itu dilakukan, maka resipien harus mendapat terapi anti I: gondii setidaknya selama 2 bulan. Individu dengan HIV dan yang memiliki seronegatif hams dihindari dari pajanan dengan parasit. Skrining maternal masih merupakan kontroversi. Skrining serologik ditujukan untuk mendeteksi infeksi maternal akut. Namun, kadang sulit untuk menentukan apakah benar terjadi infeksi maternal akut dan janin. Saat diagnosis infeksi akut ditegakkan pada wanita hamil, terapi anti T gondii dan pemeriksaan lanjutan atas kemungkinan infeksi pada janin diberikan, dan aborsi ditawarkan.
PROGNOSIS Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang baik. Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis. Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi yang persisten, umurnnya mempunyai prognosis yang baik I dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang.
Carlos S Subauste. Toxoplasmosis and HIV. University of Cincinnati College o f Medicine. HIV Insite. Knowledge Base Chapter.January. 2004. Diakses dari www.hivinside.com pada tanggal 16 September 2005. Cohen 0 , Weissman D, Fauci AS. The immunopathogenesis of HIV infection. In: Paul WE, ed. Fundamental Immunology. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1999:1455-1509. Ezpinosa, Luis. Toxoplasmosis. In : HIV/AIDSPrimary Guide. FloridaICarribean AIDS Education and Training Center. Florida. USA. 2005; Chapter 11-section 6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV): AIDS and Related disorders. In: Braunwald, et.al (Eds). Hamson's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill; 2001: 1852-1913. Frenkel JK. Toxoplasmosis. Hunter's London, WB Saunders. 7 th ed 1991: 200-2 Ganda Husada S, Sutanto I. Kumpulan makalah Simposium Toxoplasmosis. 1990. Gandahusada S. Toxoplasma gondii. Dalam: Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000: 153-161. Jones JL, Hanson DL,Dworkin MS. Survailance for AIDS-defining Oportunistic IIlnesses, 1992- 1997. MMWR CDC Surveil1 Summ. 1999. Apr;48(2): 1-22. Jose E Vidal, Fabio A Colombo, Roberto Foccacia. PCR Assay Using Cerebrospinal fluid for Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in Brazilian AIDS Patient. Journal o f Clinical Microbiology. October 2004. Vol. 42, No 10; p4765-4768. Juwono R. Perkembangan diagnosis dan indikasi pengobatan toksoplasmosis. Dalam Jotas : Alkatiri J, Akil Ham ed : Naskah Lengkap KOPAPDI VII jilid 111. Ujung Pandang, Agustus 1987.p. ' 124-32. Kasper LH. Toxoplasma Infection. In: Braunwald, et.al (Eds). Harrison's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill; 200 1: 1222-1226. Lamoril J, Molina JM. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in Patients with AIDS. Journal Clinical Pathology. January. 1996. 49(1):89-92. Mathew MJ, Chandy MJ. Central nervous system toxoplasmosis in acquired immunodeficincy syndrome : An emerging disease in India. Neurol India 1999; 47: 182-7. Mcleod R. Remington, JS. Dalam : Hamson's Principles of Internal Medicine 11th edition. New York. Mc. Grawhill. I988 : 791-7 Nelwan RHH, Kusharyono, Daldiyono, Soemarsono. Toxoplasmosis in Indonesia. Acta Med. Indones. 1975; 36. Nicole and Manceauk. Toxoplasma. Dalam : Manson's Tropical Disease. Ed Balliere-Tindal London, 17 th edition. 1980; 148-52, 886-7. Rabaud C, May T, Amiel C. Extracerebral Toxoplasmosis in Patients Infected with HIV. A French National Survey. Baltimore. 1994. November;73(6) :306-14. Remington J S and Desmonts GS: Toxoplasmosis. Dalam Proc. Symposium Bio Merieuk. Ed. Rhone-Puollenc, 187-201. Spicer WJ. Sporozoa. In: Clinical Bacteriology, Mycology and Parasitology. London: Churchill Livingstone; 2000.~: 72-3.
A. Guntur H.
INFEKSI DAN INFLAMASI Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan di sebut penyakit infeksi. ~ a d penyakit a infeksi terjadijejas sehingga timbulah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sisternik. Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasamya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama. Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut sistemic injlammation respons syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.
Definisi untuk sepsis dan gaga1 organ serta petunjuk penggunaan terapi inovatif pada sepsis berdasarkan Bone et al. Systemic Injlammatory Response Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut:
1. 2. 3. 4.
Suhu > 38 OC atau < 36 OC. Denyut jantung > 90 denytimenit. Respirasi >20/menit atau Pa CO, < 32 mrnHg. Hitung leukosit > 12.000/mm3atau > 10% sel imatur (band).
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak hams positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak hams terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeks'i intravaskuler atau ekstravaskular. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan h i p o p h s i meliputi ( tetapi tidak terbatas ) pada: 1. Asidosis laktat. 2. Oliguria. 3. Atau perubahan akut pada status mental. Berdasarkan konferensi intemasionalpada tahun 200 1, terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.
yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-I), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respons klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO) (Dikutip dari Levy MM, et al. 1256)
ETlOLOGl SEPSIS Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel irnun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator \ inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggungjawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian i f i s substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam b a n , misalnya a-hemolisin (S. A m ) , E. Coli haemolisin @. Coli) dapat merusak integritasmembran sel imun secara langsung. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatip dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem irnun seluler dan humoral, yang dapat inenimbulkanperkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida,
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksijaringan sebagai sumber bakteriemia, ha1 ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram negatip merupakan komensal normal dalam salwan gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi apendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Selainitu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positip biasanya timbul dari infeksi M i t , saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF,IL- 1, Interferon (EN-y) yang bekerja rnembantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang mengmfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1reseptor antagonis (IL- 1ra), IL-4, IL- 10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-inflarnasimediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh. Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag m e l a l ~ TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran
SEPSIS
dengan perantaraan reseptor CD 14-t dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, ha1 ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram negatip yang mempunyai LPS dalam dindingnya. Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2 ) tetapi ada juga eksotoksin sebagai superantigen. Padahal sepsis dapat terjadi pada rangasangan endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik. Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram negatip saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positip yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocornpatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas I1 akan berikatan dengan CD4' (limfosit Thl dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor). Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Thl yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-y, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulatingfactor).Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-y merangsang makrofag mengeluarkan IL-1b dan TNFa . IFN-y, IL-1P dan T N F - a merupakan sitokin proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL- 1 P dan TNF-a serum penderita. Pa& beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat ILL P dan TNF-a berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-a selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini belum jelas. IL-1 P sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial tennasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PGE,) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulatingfactor (GMCSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu : 1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif. 2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD- 18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan
molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel. 3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan megeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radial bebas yang akan mempengaruhi oksigenasipada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel sesuai dengan pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator. Pendapat tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian. Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai dengan hipotensi (tekanan darah turun < 90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan angka kematian syok septik adalah 72% dan 50% penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30% - 80% penderita dengan syok septik menderita ARDS. Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gaga1 ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan,Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-% TNF-a dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaikijaringan yang rusak akibat paradanganApabila 1L-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan syok septik, maka kita dapat mengetahui, sitokin yang berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda.
GEJALA KLlNlK Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak
-
I
macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang palkg sering : paru, tr&tur digestifus,traktus urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf puaat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi : sindroma distress pernafasan pada dewasa, koagulasi intravaskular, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati, *. disfungsi sistem saraf pusat , *. gagal jantung, 8). kematian
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat,pemeriksaan fislk, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik. . .
Riwayat Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari kornunitas atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang hams diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tan& terjadinya sepsis meliputi: 1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi. 2. Hipotensi, Oliguria atau anuria. 3. Takipnea atau hiperpnea, Hipotermia tanpa penyebab jelq. 4. Perdarahan.
.
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan rekturn, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dadatau perineal, penyakit danlatau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.
Datq laboratorium Uji lab~ratoriurnmeliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit,uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan ternpat lain yang terinfeksi hams dilakukan. Lakukan Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah hams diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakteriurnlml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Atnbil 10.20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam interrniten, bakteremia dominan O,5jam sebelum spike. Jika terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik &pat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan resiko resiko terkait, penelitian dapat juga mengunakan foto ronsen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, danlatau lumbar puncture.
Temuan laboratorium lain: Sepsis awal. leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Se1anjutnya.Trombositopeniamemburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, &n keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azoternia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jurnlah gejala SIRS dan berat proses penyakit.
Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome) Koagulasi intravaskulardiserninata (DIC, disseminated intravascular coagulation) , Gagal ginjal akut (ARF, acute renalfailure) Perdarahan usus Gagal hati Disfungsi sistem saraf pusat 'Gagaljantung . Kematian
SEPSIS
Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda adalah 19% untuk dishngsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8- 18% untuk DIC. Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal50%.
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu: 1. Stabilisasi Pasien Langsung Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukanjuga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu inenurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotroplvasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean arterialpressure > 65mm Hg; Urine output > 0.5 mL/kgl/ jam-'; Central venous (superior vena cava) oxygen saturation 2 70% atau mixed venous > 65%. (Sepsis Campaign, 2008). Pasien dengan sepsis berat hams dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) hams dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefiin. 2. Pemberian antibiotlk yang adekuat Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon. Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa diberikan antibiotikasebelum hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman didapatkan.
Pemberian antimikrobial secara dini diketahui m e n d a n perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensivitas didapatkan maka terapi empirik dimbah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah antibiotikayang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi. Obat yang digunakan tergantung surnber sepsis* 1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan aminoglikosida(biasanya gentamisin). 2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan aminoglikosida 3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida 4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B. 5. Kulitljaringan lunak: vankomisin dan imipenemsilastatin atau piperasilin-tazobaktam. 6. Kulitljaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim. 7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida 8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim 9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem 10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin *Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa bahan antimikrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.
3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi. Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren. 4. Pemberian Nutrisi yang adequat Pemberian nutrisi merupakan terapi tarnbahan yang sangat penting bempa makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 clan golongan nukluetida yaitu glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.
5. TerM sqpalttif Eli Lillywd Company mengurnumkanbahwa hail uji klinis Phase 111 menunjukkan drotrecogin alfa (protein C tera&i%an rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif kematian qkibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4persen. Zovant merupakan antikoagulan.
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yaog mengunakan pa* awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikanpdalah dengan low doses corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam keadaan septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan septic shock. (sepsis campaign, 2008).
GLUKOSA KONTROL Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai dengan < 150mg 1 dL. Dengan rnelakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2jam dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana tersedia di ICU.
PENCEGAHAN Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-negatif Gunakan trimetoprirn-sulfametoksazolsecaraprofilaktik pada anak penderita leukemia Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada pasien luka bakar. Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah pneumonia Gram-negatif nosokomial Sterilisasiflora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien neutropenia.
Lingkunganyang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian besar infeksi berasal dari dalarn (endogen). Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab) vaginalrektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pad neonatus). Jika positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intraparturn pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.
Barron RL. Patophysiology Septic Shock and Implicat~onsfor Therapy. Clinical Pharmacy. 1993.12: 829-845. Belanti J. Immunologi III Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1993. 443-448. Billiau A, Vandeckerckhove. Cytokines and Their Interactions with other Inflammatory Mediator. In the Pathogenesis of Sepsis and Septic Shock. Eur J Clin Invest. 1991. 21: 73-559. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCPISCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest PhysicianslSociety of Critical Care Medicine. Chest. 1992. 10I:I644-1655. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: A New Hypothesis of Pathogenesis of the Disease Proces. Chest. 1997. 112 : 235-243. Bone RC. Gram-positive organisme and Sepsis. Arch Intern Med. 1994. 54: 26-35. Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward Resolving the Challenges of Sepsis Diagnosis. Clinical Chemistry. 2004. 50(8):1301-1314. Cohen J. Sepsis Syndrom. Journal of Med Int. Infection. 1996. 31-34. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathologic Basic of Disease. WB Saunders Co. London Toronto. 1999. 6Ih edition. Dale DC. Septic Shock. In Horison's Text Book of Internal Medicine. 1995. 232-238. Endo YYS, Kikuchi SM, Wakabayashi N 4 Tanaka T, Taki K, Inada K. Interleukin 1 Receptor Antagonis and Interleukin 10 Level Clearly Reflect Hemodynamics during Septic Shock. 1999. Hamblin AS. Cytokines in pathology and therapy. Citokines And Citokines Receptor. 1993. 65-75. Hoeprich MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790. Howard MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790. Israel LG, Israel ED. Neutrophil function mechanism hematology. 1997. 2" edition. 121-123. Janeway, Traver. The Immune System In Health And Disease. Immunobiology. 1996. 2" edition. 9-15. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Review of Medical Microbiology. 14. 1997. Kelly JL, Sulivan, Riordain M. Is circulating endotoxin the trigger for systemic Inflammatory respons syndrom seen after injury. Ann Surg. 1997. 225 ( 5 ): 530-541. Kremer JP, Jarrar D, Srckholzer U, Ertel W. Interleukin-I, -6 and TNF-alfa release is down regulated in whole bloodfrom septic patients. 1996. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, et al. 2001 SCCMI
SEPSIS
ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med. 2003. 3 1: 1560-1567. Muraille E and Leo 0.Resiviting the Thl / Th2 Paradigm. Scandinavian Journal of Immunology. Instistute of immunology and Rheumatology Norway. 1997. 1-6. Openheim JJ. Cytokines Basic and Clinical Immunology. 1995. 7Ih edition. 78-98. R.Phillip Dellinger et al, 2008, Surviving Sepsis Campaign : International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. CritCare Med 2008 Vol 36 No.1 Rangel-Frausto, M. Ptett D., Costigan M., et al. The natural history of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). JAM. 1995. 273:117-123. Roger, Bone C. The Pathogenesis of Sepsis. Ann in Med. 1991. 1 15: 68-457. Sands KE. Epidemiology of Sepsis Syndrom in 8 Academic Medical Centers. .JAMA. 1997. 278: 234-240. Sissons P & Carmicael A. The Immunology of Infection. Med.
Intertrational Infection. Australia and Far East Edition. 1996. 35 (10): 1-5. Srikadan S, Cohen J. The Pathogenesis of Septic Shock. Journal of Infection. 1995. 30: 20 1-206. Thijs LG Introduction To Mediators Of Sepsis. 5'" Symposium On Shock & Critical Care. 1998. 67-70. Unenue ER. Macrophages, Antigen - Presenting Cell and the Phenomena of Antigen Handling and Presentation. In Fundamental Immunology. Raven Press. 1993. 3'd edition. 111-118. Warren J. Sepsis in Textbook of the Biologic & Clinic Basic of Infectious Diseases. Stanford. 1994. 4Ih edition. 52 1-437. Werdan K, Pilz G. Suplement immunoglobulin in sepsis : a critical apprasial. Clin Exp Immunol. 1996.104: 83-90. Whitnack E. Sepsis in Mechanisme of Microbial Disease. Williams & Wilkins. 1993. 2"* edition. 770-778. Yoshida M. Human response in Endotoxemia, endotoxin Pathophysiology and Clinical Aspects. One Day Sympos~umon Endoroxin. Jakarta. 1994. 7-10.
PEMAKAIAN ANTIMIKROBA SECARA RASIONAL DI KLINIK R.H.H. Melwan
PENDAHULUAN
KEADAAN KLlNlS PASIEN
Beberapa masalah yang berupa dampak negatif pada penggunaan antimikroba yang tidak rasional meliputi : 1. pesatnya pertumbuhan kuman-kuman yang resisten; 2). efek samping yang potensial berbahaya untuk pasien; 3. beban biaya untuk pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang urutan penyakit-penyakit utama nasional masih ditempati oleh berbagai penyakit infeksi yang memerlukan antibiotikalantimikroba sehingga amplifikasi permasalahan dengan sendirinya akan terjadi bilamana penggunaan antimikroba tidak rasional. Perlu selalu diingat bahwa pemakaian obat antimikroba yang tidak tepat akan memboroskan dana yang tersedia baik milik pemerintah maupun pasien sendiri. Selain itu seperti telah diutarakan di atas akan dapat membahayakan kenyamanan pasien.
Beberapa faktor yang perlu diperhitungkan pada pemberian antimikroba dari segi keadaan pasien adalah :
KRlTERlA POKOK PENGGUNAAN ANTlBlOTlKA
Sebelum pemberian antimikroba dimulai, selalu hams dipertanyakan lebih dahulu apakah ada pembenaran pemakaian antimikroba. Pertanyaan berikut menyangkut obat yang akan digunakan, dosis, cara dan lamapemberian, serta apakah perlu tindakan tambahan seperti insisi dan sebagainya. Selanjutnya perlu untuk selalu diingat agar obat yang akan digunakan efektif untuk hampir semua pasien dengan penyakit sejenis. Pemilihan antimikroba ditentukan oleh : 1. keadaan klinis pasien; 2. kuman-kuman yang berperan (parameter mikrobiologis); 3. sifat obat antibiotika itu sendiri (parameter farmakologis).
Kegawatan atau Bukan Kegawatan Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih dari satu jenis antimikroba. Sebaliknya suatu keadaan yang tidak gawat dan baru mulai serta tidakjelas etiologinya tidak memerlukan antimikroba kecuali bilamana dapat ditunjukkan dengan jelas melalui pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi adalah suatu infeksi bakterial. Usia Pasien Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel clan perlu diingat bahwa kelompok pasien ini lebih peka terhadap pemberian obat. Juga distribusi dan konsentrasi obat dapat berbeda mengingat penurunan konsentrasi albumin darah dan fungsi ginjal. lnsufisiensi Ginjal Beberapa antimikroba seperti bensilpenisilin dan gentamisin ekskresinya hanya melalui ginjal sedangkan yang lainnya masih memilik mekanisme ekskresi altematif atau mengalami metabolisme dalam tubuh. Antimikroba yang nefrotoksik seperti amfoterisin B (untuk jamur sistemik) tidak boleh diberikan pada insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosid potensial nefrotoksik dan bila terjadi akurnulasi dapat juga bersifat neurotoksik. Mengukur konsentrasi obat dalam darah &pat memandu pengobatan. Pa& anuria beberapa antimikroba yang tidak berbahaya yang dapat diberikan tanpa mengurangi dosis antara lain
kloramfenikol, eritromisin, rifampisin dan kelompok penisilin (kecuali tikarsilin). Pada pasien dengan dialisis perlu diingat baBwa beberapa antimikroba seperti : amfoterisin B, klindamisin, linkomisin dan teicoplanin tidak dapat dibersiM6.n melalui dialisis. Penisilin yang stabil terhadap penisilinase hanya sebagian dapat dibersihkan melalui dialisis. Gangguan Faal Hati Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat. Antimikroba yang tidak dapat didetoksifikasi karena terdapat gangguan pada faal hati akan dapat memberikan efek samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida dan norfloksasin dikonjungasi dengan asam glukuronida dalarn hati untuk selanjutnya diekskresi dalam urin. Jenis antibiotika ini merupakan kontraindikasi pada penyakit hati yang berat terutama bila terdapat gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika yang diekskresi melalui hepar ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin, sefoperason, seftriakson dan eritromisin hams digunakan secara hatihati pada pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 glhari dapat menyebabkan distrofi hepar dengan akibat fatal. Obat-obat tuberkulostatik oral seperti rifampisin, isoniazid dan pirazinamida dapat pula menyebabkan gangguan fungsi hati. Gangguan Pembekuan Darah Bilarnana pada pasien terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obat antimikroba yang cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin sefoperason, aztreonam dan imipenem perlu dihindari. Gangguan Granulositopenia Pada keadaan granulositopenia daya tahan tubuh sangat menurun sehingga perjalanan penyakit selanjutnya cenderung untuk didominasi oleh infeksi-infeksiberat kulit, selaput lendir dan organ-organ tubuh. Daya tahan terhadap infeksi makin menurun pada penggunaan kelompok obat sitostatik untuk keganasan. Setelah diambil spesimen u'ntuk pemeriksaan mikrobiologik,kombinasi obat bakterisidal perlu diberikan segera dan biasanya sesuai suatu protokol tertentu. Penurunan demam merupakan petunjuk terbaik berhasilnya pengobatan yang diberikan. Bila belum ada respons dapat diberikan lagi obat antimikroba lainnya dan bila tetap masih belum ada perbaikan hams dipertimbangkan apakah diperlukan obat antijamur. Kehamilan dan Laktasi Dalam trimester pertama semua antimikroba yang memiliki efek sitotoksik seperti kloramfenikol, kotrimoksasol,
rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol, serta obat anti jamur seperti amfoterisin B, flusitosin dan griseofulvin perlu dihindari. Dalam trimester kedua dan ketiga, obat antimikroba seperti tetrasiklin dan kelompok amimoglikosid perlu dihindari terkecuali pada keadaan di mana jiwa pasien terancam. Dalam minggu terakhir kehamilan sulfonamid, kotrimoksasol dan nitrofurantoin merupakan kontra indikasi. Pada umumnya penisilin, sefalosporin dan eritromisin aman diberikan bila tidak terdapat alergi terhadap obat-obatan ini. Pada masa laktasi obat-obat seperti metronidazol dan tetrasiklin sebaiknya dihindari karena kemungkinan timbulnya efek samping pada bayi.
PARAMETER MlKROBlOLOGlS Tiga ha1 yang perlu dikuasai dari segi milcrobiologis adalah 1. Pengertian kepekaan, 2. Relevansi hasil pemenksaan laboratorium, 3. Bagaimana cara untuk membatasi dan menghindari penyebaran galur-galur yang resisten. Pengertian Kepekaan Kadar hambat minimal merupakan konsentrasi terendah obat antimikroba.yang dapat menghambat pertumbuhan kuman setelah diinkubasi selama satu malam. Karena metoda dilusi untuk menetapkan. ini agak rumit untuk dikerjakan, yang lebih popular dan lebih mudah untuk dilaksanakan adalah metoda difusi. Lempeng (disc) antimikroba yang diletakkan di tengahtengah pembiakan kuman akan mengakibatkan ketidaktumbuhankuman di sekitarnya dan tergantung zona yang tampak sekitarnya yaknijarak antara pinggir lempeng dan batas kuman yang tumbuh dan tidak tumbuh dapat diinterpretasikan sebagai sensitif, indiferen atau resisten. Relevansi Hasil Pemeriksaan Laboratorium Situasi di mana pasien ternyata dapat disembuhkandengan sebuah antibiotika tertentu walaupun laporan laboratorium menunjukkan kuman tersebut sudah resisten terhadap antibiotika yang digunakan dapat dijumpai diklinik d& sebaliknya tidak asing juga keadaan di mana kuman yang tidak resisten terhadap antibiotika yang dipakai tetapi pasien tidak dapat disembuhkan dengan obat yang sudah tepat tersebut. Inkonsisten seperti h i dapat mengakibatkan polifannasi dan preskripsi irasional. Perlu selalu diingat bahwa obat yang digunakan in vivo sangat dipengaruhi faktor-faktor environmental. Kadang-kadang hanya diperlukan analisis sederhana untuk dapat menginterprestasi hasil yang inkonsisten tersebut dan kadang-kadang baru dapat dijawab setelah proses penelitian yang panjang.
TROPIK INFEKSI
Antimikroba yang in vitro berkhasiat terhadap suatu jenis kuman tertentu tidak automatis juga efektif in vivo. Untuk memastikan khasiat ini perlu dilaksanakan uji klinis yang obyektif dan pedoman penggunaan antimikroba tersebut harus berdasarkan hasil-hasil uji klinis yang telah dilaksanakan sesuai GCRP (good clinical research practice). Mencegah Berkembangnya Resistensi Mikroba Penggunaan rasional antimikroba akan mengurangi perkeinbangan resistensi. Setiap wilayah perlu mengembangkan suatu kebijaksanaan penggunaan antimikroba sesuai prevalensi resistensi setempat. Kebijaksanaan ini perlu diterapkan untuk setiap antibiotika yang akan dapat digolongkan sebagai antibiotika yang boleh digunakan secara bebas atau yang perlu dibatasi pemakaiannya (restriktif). Kadangkadang perlu dilarang penggunaan antibiotika tertentu untuk sementara waktu. Situasi penggunaan antibiotika memang perlu dievaluasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan dengan hasil monitoring kepekaan kuman yang mutakhir serta masukan yang dapat diberikan oleh para klinikus.
PARAMETER FARMAKOLOGIS Parameter ini dapat dibagi dalam farmakodinamik, farmakokinetik, penggunaan kombinasi antimikroba dan efek samping antimikroba. Farmakodinamik Antimikroba Ciri antibiotika yang ideal adalah bebas dari efek pada. sistem atau organ pasien. Terjadinya depresi sistem hemopoetik pada penggunaan kloramfenikol dan gangguan vestibular pada kelompok obat aminoglikosid sebenarnya sangat tidak ideal sehingga untung rugi pemakaian obat ini perlu selalu diperhitungkan atau digunakan obat alternatif lainnya yang tidak menyebabkan efek samping tersebut. Efek farmakodinamik pada kuman dapat berupa pengrusakan terhadap sintesis dinding luar (kelompok betalaktam) atau gangguan pada sintesis komponen sitoplasma (kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid dan eritromisin) atau gangguan pada sintesis asam nukleat (kuinolon dan rifampisin). Pengetahuan mengenai mekanisme kerja akan dapat memperbaiki pemilihan obat kombinasi yang tepat agar tercapai sinergi atau potensiasi kerja terutama bilamana kombinasi yang digunakan memiliki mekanisme kerja yang berlainan. Tetapi segala sesuatu dengan sendirinya harus melalui proses pengujian dalam klinik.
Farmakokinetik Antimikroba Untuk antibiotika yang diberikan secara oral perlu dipastikan agar absorpsi berlangsung dengan baik sehingga konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan kuman dapat tercapai. Pada infeksi-infeksi serius atau di mana terdapat gangguan seperti mual dan muntah perlu diberikan terapi parenteral. Selanjutnya perlu selalu diingat bahwa tempat infeksi hams dapat dicapai oleh obat dalam konsentrasi yang cukup untuk menghambat pertumbuhan dan penyebaran kuman. Difusi obat dalam jaringanlorgan atau sel-sel tertentu sangat menentukan dalam pemilihan antimikroba. Beberapa antimikroba seperti misalnya seftriakson mencapai konsentrasi berpuluh kali lebih tinggi di empedu dibandingkan dengan konsentrasi dalam darah. Selain itu juga selalu harus diingat cara ekskresi obat sehingga dapat dicegah gangguan negatif dan akumulasi obat dalam tubuh pasien. Pada umumnya dianggap bahwa hanya bagian antibiotika yang tidak terikat protein darah memberikan efek antimikrobial. Tetapi sebenamya yang hams diingat adalah bahwa keadaan ini berupa suatu ekuilibrium. Dalam jaringan yang mengalami radang dapat terkumpul banyak protein sehingga konsentrasi antibiotika yang aktif bekerja pada tempat-tempat tersebut lebih besar. Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi. Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjungasi dihasilkan senyawa-senyawa yang inaktif tetapi kadang-kadang dapat terjadi produk yang toksik inisalnya pada asetilisasi sulfonamid. Sebaliknya beberapa antibiotika memiliki metabolit yang aktif seperti misalnya metabolit sefotaksim sehingga mempakan suatu sifat yang sangat menguntungkan pada penggunaannya. Eliminasi antibiotika pada umumnya melalui ginjal, beberapa jenis seperti seftriakson, sefoperason dan rifampisin mengalami eliminasi terutama melalui empedu. Konsentrasi intraluminal antimikroba tersebut dalam saluran cerna dapat meningkat terutama bila diekskresi secara utuh. Kombinasi Antimikroba Biasanya digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas kuman atau kuman-kuman penyebabnya. Dalam ha1 ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu kombinasi digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang digunakan. Efek Samping Antimikroba Efek samping dapat berupa efek toksis, alergis atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomisin, gentamisin, tobramisin,
PEMMWANANTIWKROBA SECARA RASIONAL DI KWNIK
streptomisin atau amikin secara intraperitoneal atau intrapleural. Eritromisin estolat sering menyebabkan kolestasisl hepatitis. Perlu juga diingat bahwa antimikroba yang bekerja pada metabolisme kuman seperti rifampisin, kotrimoksasol dan isoniasid potensial hemato dan hepatotoksik. Yang dapat menekan hngsi sumsum tulang adalah pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas keamanan dan menyebabkan anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasiem setelah pemakaian kloramfenikol. Efek samping alergi lainnya terutama disebabkan oleh penggunaan penisilin dan sefalosporin. Yang paling jarang adalah kejadian renjatan anafilaktik. Lebih sering timbul r u m , urtikaria dan sebagainya. Pasien yang alergi terhadap sulfonamid dapat mengalami sindrom Steven Johnson. Efek samping biologis disebabkan karena pengaruh antibiotika terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antiinikroba berspektrum luas. Candida albicans dalam hubungan ini dapat menyebabkan super infeksi seperti stomatitis, esofagitis, pneumonia, vaginitis dan sebagainya. Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang memerlukan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotika seperti klindamisin, tetrasiklin dan obat antibiotika berspektrum lebar lainnya.
POLA PEMBERIANANTlMlKROBA Berdasarkan parameter yang telah diuraikan di atas, kemoterapi antimikrobial dapat diberikan berdasarkan beberapapola tertentu, antara lain: a).direktif, b). kallculatif, c). interventif, d). omnispektrif dan e). profilaktif. Pzlda terapi antimikroba direktif kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antimikroba sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat
EFEK SAMPING
FARMAKOLOGI ANTIMIKROBIAL
I
1 I
HOSPES
/
\
MlKROBlOLOGl
SlTUS (EVIDENCE BASED) -
Garnbar 1. lnteraksi terapi rasional
-
-
---
.
antimikroba efektif dengan spektrum sempit, misalnya infeksi saluran napas dengan penyebabnya Streptococcus pneumoniae yang sensitif terhadap penisilin diberikan penisilin saja. Jelas bahwa kesulitan yang dihadapi dalam ha1 ini terletak pada tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat. Pada terapi antimikrobakalkulatif, obat diberikan secara best guess. Dalam ha1 ini pemilihan hams didasarkan pada antimikroba yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada orgadjaringan yang dikeluhkan. Misalnya infeksi kulit yang sering disebabkan stafilokok berbeda pemilihan antimikroba dengan infeksi saluran kemih yang sering disebabkan enterobakteri. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antimikroba kalkulatif. Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antimikroba selalu hams berpedoman pada sebuah protokol pemberian antimikroba dan dapat menambah kelompok obat antimikroba lainnya bilamana tidak berhasil didapat respons yang memuaskan dengan terapi antimikroba inisial. Protokol-protokol ini akan menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan dan pengalamanpengalaman mutakhir dengan penggunaan berbagai jenis antimikroba yang baru. Misalnya protokol penggunaan obat antimikroba pada infeksi pasien keganasan yang mengalami granulositopenia. Cara pengobatan ini juga dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif bertahap. Terapi antimikroba omnispektrif diberikan bilamana hendak dijangkau spektrum antimikroba seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang memerlukan terapi semacam ini meliputi infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan renjatan septik. Sebagai profilaksis, obat antimikroba dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasi-komplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.
L
-
PENUTUP \
Keinginan dari segi individual pasien perlu kita hormati yakni pemberian obat yang akan menyebabkan dirinya cepat sembuh dari infeksi dalam jangka waktu sependek mungkin dan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan. Sisi lain dari keinginan ini bermakna global. Dari segi pengertian global perlu dirumuskan apa yang diartikan dengan pemberian obat rasional. Sesuai perumusan yang telah disepakati dalam jajaran organisasi kesehatan sedunia pengertian ini meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.
REFERENSI Nelwan RHH.Usaha ke arah penggunaan antibiotika secara rasional di Jakarta. Dalam : Naskah lengkap Lokakarya Nasional Penggunaan Antibiotika Sacara Rasional 11, Surabaya, Januari 1992.
Simon C, Stlle W, Wilkens PJ. Antibiotic Therapy in Clinical Practice 24Ih Edition, Schattauen-Stutgart.1993
RESISTENSI ANTIBIOTIK Usman Hadi
PENDAHULUAN Resistensi antibiotika merupakan suatu masalah yang besar yang berkembang diseluruh dunia. Kurnan-kuman resisten yang muncul akibat penggunaan antibiotika yang berlebihan, akan menimbulkan masalah yang serius dan sulit diatasi. Saat ini kuman resisten antibiotika yang sudah banyak dikenal dan menimbulkan banyak masalah di seluruh dunia diantaranya adalah methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) , vancomycin resistance enterococci, penicillin-resistance pneumococci, extendedspectrum betalactamme-producingKlebsiela pneumoniae (ESBL), carbapenem-resisten Acinetobacter baumanni, dan multi resisten lMycobacterium tuberculosis. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman resisten terhadap antibiotika, faktor yang paling penting adalah faktor penggunaan antibiotika dan pengendalian infeksi. Oleh karena itu penggunaan antibiotika secara bijaksana merupakan ha1 yang sangat penting, di samping penerapan pengendalian infeksi secara baik untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten tersebut ke masyarakat.
TERMlNOLOGl RESlSTENSl Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: resistensi alami dan resistensi yang didapat. Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap suatu kuman, contohnya Pseudomanas aeruginosa yang tidak pernah sensitive terhadap khlorampenikol, juga Streptococcus pneumoniae secara alami 25% resisten terhadap antibiotika golongan makrolid (erythromycin, clarithromycin, azithromycin).
Resistensi yang didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotika kemudian berubah menjadi resisten. Contohnya resistensi yang didapat ialah Paeuruginosa resisten terhadap ceftazidime, Haemophillus influenzae resisten terhadap imipenem, P.aeruginosa resisten terhadap siprofloksasin, H.influenzae resisten terhadap ampisiliin, dan Escherichia coli resisten terhadap ampisilin. Resistensi antibiotika yang didapat dapat bersifat relatif atau mutlak. Resistensi antibiotika didapat yang relatif: yaitu apabila didapat secara 'bertahap peningkatan dari minimal inhibitory concentration (MIC) dari suatu ltuman terhadap antibiotika tertentu contohnya resistensi yang didapat pada gonococci;, dan pneumococci. Resisten antibiotika didapat yang mutlak (absolute) terjadi apabila berdapat suatu mutasi genetic selama atau setelah terapi ailtibiotika sehingga kurnan tersebut yang sebelumnya sensitif berubah menjadi resisten dengan peningkatan yang: sangat tinggi M C yang tidak dapat dicapai dengan pernberian antibiotika dengan dosis terapi. Psuedo-resistance: pada test kepekaan didapat hasil resisten tetapi di dal.amtubuh (in vivo) masih efektif, contoh E coli dan Klebsiela pneumoniae resisten terhadap sulbactam/ampicill~in,Paeruginosa resisten terhadap ameonam. Resistensi silanp (cross-resistance):contoh Extendedspectrum B-lactam~rs'eyang diproduksi untuk cefiazidime menghasilkan res istensi untuk seluruh sefalosporin generasi ke 111.
MEKANISME TEIRJADINYA RESlSTENSl Selaput Bagia~nLuar Kuman Gram-negatif (Gram-negative( Outer Membrane) Untuk mendapatka~n effek terapi, antibiotika pertarna kali
-
sebagaimana pada a-laktam binding protein yang normal.
hams mencapai target kedalam sel kuman. Kuman gram negatif mempunyai outer membrane yang sedikit menghambat antibiotika masuk kedalam sitoplasma. Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer membrane berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk ke dalam sitoplasma atau menurunnya permeabilitas membrane terhadap antibiotika, oleh karena lubang pori dari outer membrane tersebut tidak bersifat selektif maka satu mutasi dari pori tersebut dapat menghambat masuknya lebih dari satu jenis antibiotika.
Resistensi terhadap antibiotika golongan glikopeptida. Mekanisme resistensi pada vancomycin masih belum diketahui secarajelas, tetapi nampaknya melibatkan 2 gen (vanA dan vanB) merupakan pengkode protein yang menggabungkan D-ala-D-hydroxybutirate sebagai pengganti D-ala-D-ala kedalam UDP-muramilpentapeptida. Bentuk D-hydroxybutyrate tidak mengikat vankomisin tapi masih dikenal oleh enzyme transglycosylating dan transpeptidation dari bakteri. Jadi sintesis peptidoglikan terus berlangsung dengan adanya antibiotika.
lnaktivasi Antibiotika Melalui Jalur Enzimatik Resistensi terhadap antibiotika golongan b-Laktam. Salah satu mekanisme timbulnya resistensi terhadap antibiotika golongan b-laktam terutama pada kuman gram negatif adalah enzim b-laktamase yang dapat memecah cincin b-laktam sehingga antibiotika tersebut menjadi tidak aktif. b-laktamase disekresi ke rongga periplasma oleh kuman gram negatif dan ke cairan ekstra selular oleh kuman gram positif.
Resistensi terhadap tetrasiklin. Tipe resistensi yang penting terhadap tetrasiklin ini adalah perlindungan terhadap ribosome. Perlindungan ini diberikan oleh protein sitoplasma, bila protein sitoplasma ini muncul pada sitoplasma bakteri maka tetrasiklin tidak akan mengikat ke ribosome. Tipe resistensi ini sekarang sudah diketahui secara luas pada beberapa kuman patogen, termasuk kuman-kuman gram positif, mikoplasma, dan beberapa kuman gram negatif seperti Neisseria, Haemophillus, dan Bakteriodes. Tiga jenis pengkode genetik untuk tipe resistensi ini adalah tetM, tetO, dan tetQ.
Resistensi terhadap golongan aminoglikosida. Berbeda dengan b-laktamase yang berkerja dengan memecah ikatan C-N pada antibiotika maka aminoglycosida-modzbing enzyme menginaktifkan antibiotika dengan menambah group phosphoryl, adenil atau aceryl pada antibiotika. Pada kuman gram negatif aminoglycoside-modzbing enzyme terletak di luar membrane sitoplasma. Modifikasi dari antibiotika tersebut akan mengurangi transport dari antibiotika ke dalam sel sehingga fungsi antibiotika akan terganggu. Serta pengeluaran secara aktif antibiotika dari dalam sel kuman (active efflx).
Resistensi terhadap makrolide dan linkosamide. Mekanisme kerja antibiotika ini adalah dengan mengikat ribosome dengan adanya perubahan pada ribosome oleh enzyme rRNA methylase maka tidak terjadi ikatan antibiotika dengan ribosome kurnan. Resistensi terhadap kuinolon dan rifampin. Resistensi terhadap quinolon pada umumnya muncul dari titik mutasi yang merubah afinitas dari DNA gyrase B-subunit untuk antibiotika. Resistensi terhadap rifampin oleh karena adanya mut~si pada B-subunit dari RNA polymerase yang mengurangi afinitas sub unit tersebut terhadap antibiotika tetapi RNA polymerase tersebut masih tetap berhngsi.
Resistensi terhadap tetrasiklin. Telah ditemukan bahwa terdapat enzim yang menginaktifkan tetrasiklin, tetapi cara kerjanya masih belum diketahui dengan jelas. Modifikasi pada Target Antibiotika Resistensi Terhadap Antibiotika Golongan b-Laktam. Terjadi perubahan pada target antibiotika sehingga antibiotika tersebut tidak dapat berikatan dengan kuman. Ikatan yang spesifik daripenicillin-bindingprotein (PBP) telah dirubah pada strain resisten. Mekanisme resistensi ini yang pada umumnya terjadi pada kuman-kuman gram positif, dan saat ini yang menyebabkan banyak masalah di klinik. Resistensi oleh karena P-laktamase dapat ditanggulangi dengan P-laktamase inhibitor, tetapi tidak dapat pada resistensi oleh karena perubahan pada penisilin binding protein. Contoh mekanisme resistensi tipe ini adalah mecagene pengkode resisten terhadap meticilin yang ditemukan pada S.aureus. Gene resisten ini mengkode penisilin binding protein 2' (PBP2 '), yang tidak mengikat metisilin
Kuman Mengembangkan Jalur Metabolisme Lain yang Memintas (Bypass) Reaksi yang Dihambat oleh Antibiotika
'
Penyebaranlperpindahan gene resisten. Kuman dapat menjadi kebal terhadap antibiotika dengan cara mutasi gen yang sudah ada, tetapi sebagian besar kasus resistensi terjadi oleh karena mendapat gen baru yang resisten. Walaupun kuman dapat memperoleh gen baru melalui bacteriophage, transduction atau melalui transformation, tipe transfer seperti ini hanya terjadi terutama diantara anggota-anggota spesies yang sama. Masalah klinis yang besar ialah adanya perpindahan gene pada genus atau spesies yang berbeda, penyebaran secara luas ini sangat mungkin diperantarai dengan conjugation (perpindahan) dari DNA melalui saluran yang dibentuk dari
penggabungan sel membrane dua bakteria. Ada dua jenis bahan konjugat yaitu plasmid dan conjugatiftransposons Plasmid. Plasmid yang dapat berpindah sendiri dari satu sel ke sel yang lain harus membawa sejumlah gene pengkode protein yang diperlukan untuk konjugasi (tra genes). Beberapa plasmid yang tidak dapat berpindah sendiri masih dapat berpindah melalui konjugasi .Plasmid tersebut dapat lebih kecil dari plasmid yang bisa berpindah sendiri karena hanya memerlukan satu atau dua gene saja (mob genes). Kedua jenis plasmid tersebut dapat membawa beberapa gene resistensi antibiotika. Conjugatif Transposons. Merupakan elemen konjugasi yang biasanya terletak pada kromosom bakteri dan dapat berpindah sendiri dari kromosom donor ke kromosom penerima, dan dapat pula berintegrasi ke dalam plasmid. Conjugatiftransposons ini dapat berpindah dari kuman gram negatif ke kuman gram positif atau sebaliknya.
ART1 KLlNlS RESISTENS1AN'I'IBIOTIK Beberapa contoh berikut akan menunjukkan pengaruh penggunaan antibiotika terhadap munculnya kumankurnan resisten terhadap antibiotika tersebut. Gonokokus: Ketika sulfonamid pertama kali digunakan untuk pengobatan gonore pada akhir tahun 1930-an, hampir semua kasus dapat disembuhkan dengan obat ini. Beberapa tahun kemudian, sebagian besar strain gonokukus sudah menjadi resisten terhadap sulfonamid dan gonore jarang dapat disembuhkan dengan obat ini. Namun, sebagian besar gonokukus masih sangat peka terhadap penisilin. Beberapa dasawarsa berikutnya, pelanpelan resistensi terhadap penisilin meningkat, tetapi dengan dosis tinggi obat ini masih dapat menyembuhkan penyakit itu. Pada tahun 1970-an timbul gonokukus penghasil b-laktamase, pertama-tama di Filipina dmAfXca Barat, kemudian menyebar sehingga menimbulkan pusat endemik diseluruh dunia. Infeksi gonokukus ini tidak dapat diobati secara efektif dengan penisilin, tetapi diobati dengan spektinomisin. Sekarang mulai timbul resistensi terhadap spektinomisin. Dianjurkan menggunakan . sefalosporin generasi kedua dan ketiga atau kuinolon untuk mengobati gonoroe. Meningokokus :Sampai tahun 1962, semua meningokukus peka terhadap sulfonamid, dan obat ini efektif untuk profilaksis maupun terapi. Kemudian, meningokukus yang resisten terhadap sulfonamid menyebar luas, dan sekarang sulfonamid telah kehilangan kegunaannya untuk infeksi meningokukus. Penisilin masih efektif untuk terapi, dan rifampin digunakan untuk profilaksis. Namun, mengingokukus resisten rifampin masih terdapat pada sekitar 1% penderita yang telah mendapat rifampin untuk profilaksis.
Stapilokokus: pada tahun 1944, sebagian besar stapilokukus peka terhadap penisilin, meskipiun ditemukan beberapa strain yang resisten. Setelah meluasnya penggunaan penisilin, pada tahun 1948, 65-85% staphilokukus yang diisolasi di rumah sakit ternyata menghasilkan P-laktamase sehingga resisten terhadap penisilin-G. Ditemukannya penisilin yang resisten terhadap P-laktamase (misalnya, metisilin) dapat mengatasi sementara, tetapi sekarang kadang-kadang timbul wabah infeksi MRSA. Pada tahun 1986,MRSA tidak hanya dijumpai pada bakteri yang ditemukan di rurnah sakit, tetapi juga pada 80-90% stapilokukus yang diisolasi di>masyarakat. Organisme ini juga cenderung resisten terhadap obat lain, misalnya tetrasiklin. MRSA kadang-kadang menyebabkab wabah di rumah sakit, tetapi untung masih peka terhadap vankomisin. Pneumococcus :Sampai tahun 1963, sebagian besar pneumokukus peka terhadap penisilin-G, pada tahun itu juga, ditemukan beberapa pneumokukus yang relatif resisten terhadap penisilin di New Guinea. Sejak tahun 1977,organisme ini telah ditemukan dalam berbagai wabah di rurnah sakit, mula-mula di Afiika Selatan dan kemudian di tempat lain. Meskipun pneumokukus tidak menghasilkan P-laktamase, resistensinya terhadap penisilin G, mun&n akibat PBP yang berubah. Bakteri usus gram-negatif. Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada saat ini di banyak tempat di dunia kira-kira separuh strain Shigella sp resisten terhadap obat. Bakteri Salmonella yang dikandung oleh hewan juga berkembang menjadi resisten, terutama terhadap obat (khususnya tetrasiklin) yang digunakan dalam makanan temak. Kebiasaan mencampurkan obat dalam makanan hewan menyebabkan temak tumbuh lebih cepat tetapijuga menyebabkan peningkatan organisme usus yang resisten terhadap obat dalam flora usus para pekerja petemakan. Peningkatan infeksi Salmonella yang resisten obat di Inggris menyebabkan dibuatnya aturan pembatasan penambahan antibiotika pada makanan ternak. Penggunaan tambahan tetrasiklin pada makanan temak di Amerika Serikat ikut menyebabkan penyebaran plasmid resisten dan salmonela yang resisten obat. Plasmid pembawa gen - resistensi obat terdapat pada banyak bakteri gram negatif pada flora usus normal. Penggunaan obat antimikroba secara berlebihan khususnya pada penderita di rumah sakit menyebabkan penekanan organisme yang peka obat dalam flora usus dan membantu pertumbuhan bakteri yang resisten obat, termasuk Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Psedomonas, Serratia, dan jamur. Organisme ini menimbulkan masalah yang sulit terutama pada penderita dengan granulopenia . dan imunitasnya tertekan. Rumah sakit, yang merupakan lingkungantertutup, membantu penularan organisme yang
resisten melalui personelnya dan peralatan, juga kontak langsung.
PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIBIOTIKA
Kuman tuberkulosis. Telah timbul mutan resisten obat pada tuberkulosis, khususnya pada pasien yang terinfeksi dengan HIV. Kuman tuberkulosis resisten dapat men~ulitkanpengobatan ~enderitatuberlculosis dan dapat ditularkan pads orang-orang Yang berkontak dengan penderita tersebut, sehingga menimbulkan infeksi primer yang resisten obat.
Pembatasa n Anti biotika pads Formularium Rumah Sakit Pada pemilihan antbiotik dalam formularium faktor resistensijuga hams diperhatikan.Antibiotika yang sudah diketahui rnenimbulkan masalah resistensi hams dibatasi penggunaannya atau dimasukkan&lam fomularium atau penggunaannya hams disetujui oleh ahli penyakit
Antibiotik
Target utama sel
B-Lactams (Penisillin dan sefalosporin)
Dinding sel
Vancomycin
Dinding sel
Bacitracin
Dinding sel
Macrolides (erythromycin) Lincosamides (clindamycin
Sintesa Protein Sintesa Protein
Cars kerja
Mekanisme Utama Resistensi
Menghambat dinding sel
inaktivasi obat (p-latamase) membuat target sel menjadi tidak sensitif menurunkan permeabilitas pengeluaran antibiotik secara aktif
Penambahan pada struktur dinding sel (muramilpepta-pepti) Merusak dinding sel
Tidak dijelaskan
Bind to 50s ribosomal subunit Bind to 50s ribosomal subunit
perubahan dari target sel pengeluaransecara aktif Perubahan pada target sel (ribosomal methylation)
Binds to 50s ribosomal subunit Binds to 30s ribosomal subunit
lnactivasi obat (chloramphenicol acetyltransferase) pengeluaran secara aktif membuat target sel menjadi tidak sensitif inaktivasi obat (aminoglicoside-modifying enzyme) penurunan permebialitas pengeluaran obat secara aktif
Perubahan pada target sel
Chloramphenicol
Sintesa Protein
Tetracycline
Sintesa Protein
Aminoglycosides (gentamicin
sintesa protein
Bind to 30s ribosomal subunit
Mupirocin
Sintesa Protein
Inhibits isoleucine tRNA synthetase
Mutasi genetik pada target protein atau penerimaan gen baru yang menyebabkan target sel tidak sensitive terhadap antibiotik
Quinupristinldatfopri stin (Synercid)
Sintesa Protein
Bind to 50s ribosomal subunit
perubahan dari sel target (ribosomal methylation: dalfoprist~n) pengeluaran secara aktif inaktivasi dari obat (quinipristinand dalfopristin)
Linezolid
Sintesa Protein
Sulfonamides dan trimethoprim
Metabolisme sel
Bind to 50s ribosomal subunit
Perubahan dari target sel (mutation of 23s rRNA)
Kompetisi hambatan enzim pada sintesa asam folat
Produksi sel target yang tidak sensitif (dihydropteroate synthetase) (sulfonamides)) dan produksi dihydrofolate reductase (trimethoprim) yang memintas hambatan metabolis dari antibiotik.
Rifampin
Sintesa asam nukleat
menghambat DNAdependent RNA polymerase
Membuat target menjadi tidak sensitii (mutasi dari gen polymerase)
Metronldazole
Sintesa asam nukleat
Merusak DNA sel
Tidak dijelaskan
Quinolones (ciprofloxacin)
Sintesa DNA
Menghambat DNA gymse (A subunit) dan topoisomerase IV
membuat target menladl tldak eensltif (mutetion of gymse genes) pengeluaran antibiotik secara aktif (active efflux)
Novobiocin
Sintesa DNA
Polymyxins (polymixin B)
Membrane sel
Menghambat DNA gyrase (6 subunit) Menurunkan permebialitas sel
Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan
infeksi. Sedangkan antibiotika yang diketahui tidak menimbulkan masalah resistensi penggunaannya tidak perlu dibatasi. Pelaksahaan pengendalian infeksi yang baik dapat meminimalkan masalah resistensi oleh karena penyebaran kuman resisten di rumah sakit ataupun antar rumah sakit dapat dibatasi. Pengendalian resistensi-antibiotika di masyaraKat tergantung pada pemilihaii antibiotika oleh para dokter di masyamkat, biasanya penggunaan antibiotikaoral. Umurnnya para dokter memberikan antibiotika tidak memperhitungkan efek jangka panjang yaitu munculnya kuman resisten. Jadi faktor penting mencegah terjadinya kuman resisten di masyarakat adalah dengan mendidik para dokter untuk menggunakan antibiotika secara lebih bijaksana yaitu menggunakan antibiotika dengan indikasi yang jelas. Suweilans dari kuman-kuman resisten sangat penting dilakukan dalam upaya mencegah munculnya kuman resisten. Dan pelaporan hasil suweilans secara teratur dapat dipakai dasar untuk melihat kecenderungankuman yang akan menjadi resisten clan kebijakan yang hams dilakukan.
PENGENDALIAN RESlSTENSl ANTlBlOTlKA Dl RUANG PERAWATAN INTENSIF (INTENSIVE CARE UNIT)
Ruang perawatan intensif merupakan lokasi yang sangat penting untuk pertumbuhan dan penyebaran kuman resisten ini oleh karena itu monitoring penggunaan antibiotika dan surveilans kuman resisten ditempat tersebut perlu menjadi perhatian. Muncul dan berkembangnya kuman resisten sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu pengendalian infeksi yang kurang baik dan penggunaan antibiotika (antibiotic selective pressure). Tiga kuman utama yang hams menjadi perhatian pada pengendalian kuman resisten antibiotika adalah: Methicillin resistant S.aureus (MRSA), Cephalosporinresistant (Extended spectrum beta-1actamaselESBL) Klebsiela pneumoniae, dan Vancomycin-resistantentero-
Strategl pencegahan yang terbukti berhasil Ellmlnasl antlblotlk darl makanan binatana Pembatasan formularium rumah sakit (pingendahan secara ketat penggunaan antibiotik yang mempunyai potensi resistensi yang tinggi) Pengendalian resistensi antibiotik yang berhasil Pengendalian infeksi nosokomial Suveilance kuman-kuman untuk mendeteksi masalah resistensi secara dini lmplementasi pengendalian infeksi secara cepat untuk membatasi penyebaran kuman-kuman resisten Pembatasan forrnularium rumah sakit (mengendalikan antibiotik yang mempunyai potensi resisten secara ketat)
coccusfaecium (VRE). Untuk kuman MRSA, pengendalian infeksi merupakan kunci utama untuk mencegah penyebaran MRSA tersebut. Dari data di Belanda dan Denmark menunjukkan bahwa pengendalian infeksi yang ketat dapat menekan penyebaran kuman tersebut. Diduga bahwa kolonisasi MRSA pada rongga hidung petugas kesehatan yang sehat merupakan faktor utama dari MRSA. Untuk Klebsiela pneumoniae penggunaan antibiotika secara bijaksana merupakan kunci pengendalian resistensi antibiotika pada kuman ini. Penggunaan golongan sefalosporin spektrum luas yang berlebihan akan memunculkan strain Enterobacteriaceae yang resisten terutama K. pneumoniae yang resisten terhadap extendedspectrum cephalosporin. Untuk VRE, pengendalian infeksi dan penggunaan antibiotika secara bijaksana keduanya merupakan faktor penting untuk mengendalikan kuman ini.
Bronzwaer S.L.A.M., Cars O., et all. A European Study on the Relationship between Antimicrobial Use and Antimicrobial Resistance.Emerg Infect Dis 2002; 8(3):278-82. Brooks GF., Butel JS, and Ornston LN. In :Jawet, Melnick and Adelberg. Mikrobiology Kedokteran.(Medical Microbiology) Alih Bahasa: dr. Edi Nugroho dan dr. RF Maulany editor: dr Irawati Setiawan Edisi 20 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.p. 157-9. Christidou A., Gikas A., Sculica E. at all. Emergence of vancomycinresistant enterococci in a tertiary hospital in Crete, Greece: a cluster of cases and prevalence study on intestinal colonization. Clin M~cribiolInfect 2004;10:999-1005. Cunha B.A. Antibiotic Therapy, Part I. The Medical Clinics of North America. 2000;84: 1407-2 1. Delisle S., Per1 TM. Antimicrobial management measures to limit resistance: A process-based conceptual framework. Crit Care Med 2001; 29(4) suppl.: N121 - N127. Directorate General of Medical Care Ministry of Health, Republic of Indonesia.Antirnicrobia1 Resistance, Antibiotic usage and Infection control : A self-assessment program for Indonesian hospitals (2005) Filius PMG., and Gyssens IC. Impact of Increasing Antimicrobial Resistance on Wound Management. Am J Clin Dermatol 2002; 3(1) 1-7. Man P., Verhoeven BAN., Verbrugh HA. An antibiotic policy to prevent emergece of resistant bacilli. Lancet 2000;355: p.973-8. Rice LB. Controlling antibiotic resistance in the ICU: Different bacteria, different strategies. Clev Clin J of Med 2003.; 70(9) p.793-800. Salmenlinna S., Lyytikainen O.,and Vuopio-Varkila J. CommunityAcquired Methicillin-Resiatant Staphylococcus aureus, Finland. Emerg Inf Dis 2002 ; 8(6): 602 - 605. Salyers A.A., and Whitt D.D. Antibiotic: Mechanisms of Action and Mechanism of Bacterial Resistance. In Bacterial Pathogenesis A. Molecular approach, Washington, D.C: ASM Press; 2005. p.97 -110. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance. World Health Organization 2001.
INFEKSI NOSOKOMIAL Iskandar zulkarnain
PENDAHULUAN , ,
Seorang pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan tentu berharap mendapat kesembuhan atau perbaikan penyakitnya, setidaknya mendapat keringanan keluhannya. Sebagian besar, terutama pengidap penyakit akut berhasil memperoleh perbaikanlpenyembuhan tadi. Namun ada kalanya, terutama pada pengidap penyakit kronik atau yang keadaan umumnya buruk, justm ia dapat terkena infeksi baru yang mei~gakibatkanpenyakitnya lebih berat, lebih lama dirawat, lebih banyak tindakan diagnostik dan obat yang diperlukan, biaya meningkat dan mungkin menyebabkankematian. Infeksi yang didapatnya di rumah sakit tersebut disebut sebagai infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital acquired infection), untuk membedakannya dengan infeksi yang didapat di masyarakat (community acquired Infection). Infeksi yang didapat di rumah sakit lebih dikenal sebagai infeksi nosokomial (lN). Definisi Infeksi Nosokomial adalah : Infeksi yanq didapat di rumah sakit. Infeksi yanq timbuyterjadi sesudah 72 jam perawatan pada pasien rawat inap. Infeksi yanq terjadi pada pasien yang dirawat lebih lama dari masa inkubasi suatu penyakit. Pada suatu rumah sakit yang mempunyai ICU, angka (rate) infeksi nosokomial-nya lebih tinggi dibanding yang tidak mempunyai ICU. Kejadian infeksi nosokomial juga lebih tinggi di rumah sakit pendidikan oleh karena lebih banyak dilakukan tindakan pemeriksaan (diagnostik) dan pengobatan yang bersifat invasif.
Penularan dapat terjadi melalui cara silang (crossinfection) dari satu pasien kepada pasien lainnya atau infeksi diri sendiri di mana kuman sudah ada pada pasien, kemudian melalui suatu migrasi (gesekan) pindah tempat dan di tempat yang baru menyebabkan infeksi (selfinfection atau auto infection). Tidak hanya pasien rawat yang dapat tertular, tapi juga seluruh personil rumah sakit yang berhubungan dengan pasien, juga penunggu dan pengunjung pasien. Infeksi ini dapat terbawa ke tengah keluarganya masing-masing. Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan karakteristik usia tua,berbaring lama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya tahan tubuh yang menurun pada pasien luka bakar, pada pasien yang dilakukan prosedur diagnostik invasif, infus lama atau pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi nosokomial pa& luka operasi. Sebagai sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan, jarum suntik, kateter intravena, kateter win, kain hatverban, cara keliru dalam menangani luka, peralatan operasi yang terkontarninasi,dan lain-lain
EPlDEMlOLOGl
Bagan di bawah ini sering digunakan untuk memperjelas bagaimana infeksi nosokomial dapat terjadi di suatu rumah sakit.
Kuman penyebab infeksi nosokomial yang tersering adalah Proteus, E.coli, S.aureus, clan Pseu-domonas. Selain itu terdapat juga peningkatan lN oleh kuman Enterocococus faecalis (Streptococcus faecalis) . Dibandingkan dengan kuman yang sama yang ada di masyarakat
2906